Makalah Emon Final (1)

download Makalah Emon Final (1)

of 21

Transcript of Makalah Emon Final (1)

HUBUNGAN TIMBAL BALIKBI RATE DENGAN TINGKAT INFLASI

DI INDONESIATIM PENYUSUN

LAUW LUCKY OLIVIA K - MARIETTA BIENAMULIA IRENNY CHRISTIN N

MATA AJAR EKONOMI MONETER DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 20121

STATEMENT OF AUTHORSHIPKami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah terlampir adalah murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.

Materi ini belum pernah digunakan sebagai bahan untuk tugas pada mata ajaran lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami menyatakan dengan jelas bahwa kami menyatakan menggunakannya.

Kami memahami bahwa makalah yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.

Mata ajaran Judul tugas

: Ekonomi Moneter : Hubungan Timbal Balik BI Rate dengan Tingkat Inflasi di Indonesia

Tanggal Dosen

: 22 Maret 2012 : Thia Jasmina

Nama Marietta Bienamulia

NPM 1006696371

Tanda Tangan

Lauw Lucky Olivia Kurniawati

1006696333

Irenny Christin Nanda

1006774801

2

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN COVER ................................................................................................................. STATEMENT OF AUTHORSHIP .......................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................................................... 1.2 Ruang Lingkup Masalah ....................................................................................................... 1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................................... BAB II LANDASAN TEORI 2.1 BI rate ................................................................................................................................... 2.2 Inflasi .................................................................................................................................... BAB III PEMBAHASAN 3.1 BI rate sebagai Alat Kebijakan Moneter .............................................................................. 3.2 Tren Inflasi di Indonesia Berdasarkan IHK .......................................................................... 3.3 Hubungan Timbal Balik antara BI Rate dan Inflasi.............................................................. BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ........................................................................................................................... 4.2 Saran ..................................................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. LAMPIRAN................................................................................................................................

3

BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia pada masa awal-awal kemerdekaannya mengalami kondisi ekonomi yang tidak cukup stabil. Pada tahun 1960, Indonesia sempat mengalami hiperinflasi sampai dengan 600%. Hal ini bukan menjadi sau-satunya inflasi yang yang pernah terjadi. Krisis ekonomi Indonesia yang terjadi pada tahun 1997-1998 disebabkan oleh ketidakstabilan ekonomi dan politik yang terjadi saat itu. Sebagai negara yang memiliki utang luar negeri yang cukup besar, Indonesia dilanda isu ketidaksiapan mengalami tekanan inflasi yang tinggi saat itu dan bagaimana caranya membayar hutang. Bank Indonesia saat itu telah melakukan kebijakan moneter yaitu menaikkan tingkat suku bunga untuk mengurangi uang yang beredar demi mengembalikan kestabilan ekonomi. Dalam uraian singkat contoh kasus diatas, Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral mempunyai otoritas untuk melakukan kebijakan moneter. Secara umum instrumen kebijakan moneter ada tiga yaitu Giro Wajib Minimum (GWM), Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operations), dan tingkat suku bunga (Discount Rate). Instrumen ini wajib dilakukan BI demi kestabilan ekonomi juga untuk memperlancar kegiatan kredit yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemberian kredit salah satunya dilakukan dengan penetapan tingkat suku bunga dengan BI rate sebagai patokan. BI rate ini berpengaruh terhadap tingkat suku bunga kredit maupun suku bunga tabungan. BI rate biasa berkisar sekitar 6-6,5%. Suku bunga kredit yang rendah akan mendorong orang untuk meminjam dan berinvestasi sedangkan suku bunga tabungan yang rendah membuat orang enggan untuk meminjam. Suku bunga tinggi menghambat debitur untuk meminjam karena tingkat pengembalian kredit akan cukup tinggi, akibatnya mereka akan lebih suka menabung di bank karena value dari uang yang mereka simpan akan bernilai lebih. Perlakuan suku bunga rendah atau tinggi tentu saja mempunyai dampak tersendiri bagi inflasi. Tingkat inflasi menjadi salah satu indikator yang turut menentukan tingkat suku bunga. Jika inflasi tinggi, maka BI akan segera menaikkan tingkat suku bunga yang membuat orang akan menyimpan uangnya ditabungan dengan demikian uang beredar dapat dikurangi jumlahnya. Namun, jika tingkat suku bunga rendah orang cenderung lebih suka memegang uangnya sendiri dan dihabiskan daripada menabung.

4

Hal ini membuat uang yang beredar di pasaran cukup banyak sehingga terjadi inflasi. Inflasi sendiri memiliki banyak dampak yang cukup berpengaruh terhadap iklim ekonomi yang kondusif. Inflasi membuat berkurangnya kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sedangkan tingkat bunga memiliki hubungan yang terbalik dengan inflasi, tetapi juga menimbulkan posisi yang tidak selamanya menguntungkan diantara keduanya. Hal inilah yang membuat kami mengangkat kedua hubungan tesebut dalam makalah yang berjudul Hubungan Timbal Balik antara Tingkat Suku Bunga dengan Inflasi.

1.2 Ruang Lingkup Masalah Makalah ini membahas mengenai kebijakan-kebijakan moneter di Indonesia dalam rangka mencapai stabilitas nilai rupiah secara umum. Selain itu, juga terdapat pembahasan secara khusus mengenai BI rate sebagai alat kebijakan moneter yang mengatur tingkat inflasi.

1.3 Tujuan Penulisan Makalah mengenai Hubungan Timbal Balik antara Bi rate dan Inflasi ini dibuat guna: 1. mengenal sistem penetapan BI rate dan hubungannya dengan tingkat inflasi 2. menanalisa tingkat kestabilan inflasi di Indonesia 3. mengetahui langkah apa saja yang diambil BI dalam menyetabilkan tingkat inflasi

5

BAB II LANDASAN TEORI2.1 BI rate 2.1.1 Bank Indonesia Bank Indonesia merupakan Bank Sentral Republik Indonesia yang mana merupakan lembaga yang berdiri sendiri, dan terpisah dari pemerintah maupun pihak swasta. Sebagai Bank Sentral, menurut pasal 1 UU nomor 23 tahun 1999, Bank Indonesia memiliki peraturan yang mengikat setiap orang maupun badan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. sebagaimana telah diatur oleh UU No. 3 Tahun 2004 dinyatakan bahwa sekurang-kurangnya 1 kali dalam sebulan dilaksanakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter. RDG Bulanan merupakan RDG untuk melakukan evaluasi atas kebijakan moneter yang ditempuh serta untuk menetapkan arah kebijakan moneter ke depan Berdasarkan UU nomor 23 tahun 1999 pasal 7 tentang Bank Indonesia, tujuan dari Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Demi tercapainya tujuan untuk menjaga kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesa memiliki kewenangan penuh atas kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan Bank. Kebijakan moneter adalah semua upaya atau tindakan Bank Sentral dalam mempengaruhi perkembangan variabel moneter (uang beredar, suku bunga, kredit dan nilai tukar) untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu (Mishkin, 2004: 457). Sedangkan hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. 2.1.2 Definisi BI rate BI rate atau suku bunga Bank Indonesia, merupakan suku bunga dengan tenor satu bulan yang diumumkan oleh Bank Indonesia secara periodik untuk jangka waktu tertentu yang berfungsi sebagai sinyal (stance) kebijakan moneter. BI rate juga merupakan patokan bagi suku bunga pinjaman maupun simpanan bagi bank dan atau lembaga-lembaga keuangan di seluruh

6

BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia dan diterapkan pada operasi moneter yang dijalankan oleh Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter. BI rate bagi Bank Indonesia sendiri merupakan bentuk operasi moneter yang

menerapkan tingkat BI rate sebagai tingkat bunga bagi Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Suku Bunga SBI (SBI) merupakan tingkat suku bunga yang ditentukan oleh BI atas penerbitan SBI yang diukur dalam persen. Sedangkan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) adalah tingkat suku bunga yang ditentukan oleh pihak bank kepada bank yang melakukan pinjaman di PUAB. Bank-bank yang menyimpan dana mereka di Bank Indonesia berupa SBI menerima bunga sebesar tingkat BI rate yang telah ditetapkan. Kenaikan pada BI rate dapat mendorong bank swasta untuk menyalurkan tabungan nasabahnya di Bank Indonesia dibandingkan dengan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit. Sekalipun BI rate memiliki tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan bunga kredit, namun risiko menabung di Bank Indonesia mendekati nol. Apabila dana dari masyarakat dipegang oleh Bank Indonesia, maka jumlah uang beredar akan berkurang sehingga dapat menurunkan tingkat inflasi. Turunnya tingkat inflasi dapat menyebabkan kelesuan perekonomian karena investor lebih cenderung memilih untuk menabung dibandingkan dengan berinvestasi. Hal ini berdampak buruk bagi perekonomian, karena pengangguran akan meningkat. Apabila hal ini terjadi, Bank Indonesia akan mengeluarkan kebijakan moneter ekspansif dengan menurunkan BI rate supaya masyarakat akan menarik tabungannya dan

memilih untuk melakukan konsumsi, salah satunya melalui investasi.

2.2 Inflasi 2.2.1 Definisi Inflasi Inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga barang dan jasa dalam suatu perekonomian secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Kenaikan harga yang digolongkan sebagai inflasi yakni kenaikan harga yang dapat mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya. Inflasi dalam jangka panjang diakibatkan oleh pertumbuhan jumlah uang beredar yang lebih cepat daripada PDB potensial. Terdapat beberapa faktor penyebab inflasi, yaitu: Demand-pull inflation7

Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan permintaann secara agregat. Faktor penyebab kenaikan permintaan secara agregat, yaitu pemotongan tingkat suku bunga, peningkatan jumlah uang beredar, pengeluaran pengeluaran pemerintah, dan pemotongan pajak. Cost-push and supply shocks inflation Inflasi disebabkan akibat dorongan kenaikan biaya produksi dari suatu barang dan jasa. Umumnya terdapat dua penyebab utama dari kenaikan biaya, yaitu: peningkatan dari tingkat upah dan dari harga bahan mentah. Selain itu, depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadinya negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya inflasi. Ekspektasi inflasi Ekspektasi ini dipengaruhi oleh perilaku para pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam pengambilan keputusan dalam kegiatan perekonomian. Ekspektasi inflasi ini dapat bersifat adaptif atau forward looking, yang dicerminkan dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR).

2.2.2 Indikator Pengukuran Inflasi Perhitungan inflasi memiliki beberapa indikator yang dapat digunakan, antara lain: 1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) diukur berdasarkan harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas. Indeks harga ini ditetapkan dalam kuantitas borongan. 2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran tingkat harga barang dan jasa final yang diproduksi di dalam suatu perekonomian. Deflator PDB diperoleh dari pembagian PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan. 3. Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga sekeranjang barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah8

dilaksanakan berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 dan dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Selanjutnya, setiap bulan BPS akan memantau perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.

2.2.3 Pengelompokan Inflasi Berdasarkan the Classification of individual consumption by purpose COICOP, pengukuran inflasi dengan menggunakan indikator IHK di Indonesia dapat dikelompokan menjadi 7 kelompok pengeluaran (Tabel 1), yaitu : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Kelompok Bahan Makanan Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau Kelompok Perumahan Kelompok Sandang Kelompok Kesehatan Kelompok Pendidikan dan Olah Raga Kelompok Transportasi dan Komunikasi

Selain COICOP, saat ini BPS juga mempublikasikan tingkat inflasi berdasarkan pengelompakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi ini dilakukan guna menghasilkan indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental. Disagegasi inflasi IHK di Indonesia dikelompokan menjadi: 1. Inflasi Inti, yaitu inflasi yang memiliki tren untuk menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti: interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal, ekspektasi inflasi dari sisi pedagang dan konsumen. 2. Inflasi non Inti, yaitu inflasi yang memiliki tren kevolatilitasan yang tinggi yang dipengaruhi oleh faktor non fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari :o

Inflasi

Komponen

Bergejolak

(Volatile

Food):

Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok

9

bahan makanan seperti panen, faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun internasional. o Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices): Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik 2.2.4 Inflation Targeting Framework Inflasi yang tinggi dapat menurunkan standar hidup dari masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya pengendalian atas inflasi. Di Indonesia bentuk pengendalian ini berupa Inflation Targeting Framework (ITF). ITF merupakan kerangka kerja kebijakan moneter yang secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi beberapa tahun ke depan yang secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan.

10

BAB III PEMBAHASAN3.1 BI rate sebagai Alat Kebijakan Moneter Kebijakan moneter memiliki tujuan untuk menjaga kestabilan nilai rupiah, di mana BI rate merupakan alat kebijakannya. Salah satu indikator kestabilan rupiah yaitu tingkat inflasi yang relatif stabil. BI rate sendiri dapat mempengaruhi tingkat inflasi dengan berbagai faktor, yakni: a. Tingkat suku bunga Tingkat suku bunga yang dipengaruhi BI rate adalah tingkat suku bunga deposito dan tingkat suku bunga kredit. Ketika perekonomian melemah maka pemerintah akan menurunkankan tingkat suku bunga guna merangsang investasi dan kegiatan produksi masyarakat. Sebaliknya, ketika perekonomian dinilai memiliki inflasi yang tinggi maka akan ada peningkatan BI rate guna membatasi jumalah dana yang dipegang masyarakat. b. Nilai tukar Kenaikan suku bunga akan akan memicu apresiasi nilai rupiah. Apresiasi rupiah akan mengakibatkan nilai rupiah menjadi kurang kompetitif dengan mata uang lain sehingga akan tercipta nilai net impor yang negatif. c. Harga aset Penetapan BI rate pada tingkatan tertentu akan mempengaruhi harga aset. Apabila suku bunga mengalami peningkatan maka akan berdampak pada penurunan harga aset. Selanjutnya, hal ini juga akan berdampak pada menurunnya kekayaan masyarakat yang memegang aset tersebut. d. Ekspektasi Perkiraan-perkiraan yang tumbuh di masyarakat akan memperngaruhi kecenderungan perilaku masyarakat. Ketika terjadi perkiraan akan ada kenaikan tingkat suku bunga, maka akan yang berakibat pada upaya penghematan. e. Suku Bunga Kredit Pada teorinya penurunan tingkat suku bunga akan meningkatkan permintaan kredit, dan begitu pula sebaliknya. Namun, peningkatan maupun penurunan permintaan kredit juga dipengaruhi oleh faktor selain suku bunga seperti, kondisi perekonomian.

11

BI rate bukanlah satu-satunya alat bagi Bank Indonesia dalam mengendalikan tingkat inflasi. Sebaliknya, dalam menentukan BI rate bukan hanya didasarkan pada tingkat inflasi semata, namun juga ditentukan oleh berbagai faktor lain seperti: a. Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. BI rate yang tinggi membuat investasi dari asing mengalir ke Indonesia dan sebaliknya tingkat BI rate yang rendah akan menyebabkan dana asing keluar dari Indonesia. b. Selisih tingkat BI rate dengan tingkat suku bunga (Fed Fund Rate) Semakin besar selisih yang ada akan memacu negara lain untuk berinvestasi di Indonesia c. Peringkat Surat Hutang Indonesia Peringkat surat hutang menyatakan kualitas kemampuan suatu perusahaan / negara dalam melunasi kewajibannya. Negara yang memiliki peringkat hutang yang lebih baik dapat memberikan tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan negara dengan peringkat hutang yang lebih rendah. d. Kondisi perekonomian negara Kondisi perekonomian negara ditentukan oleh GDP (Gross Domestic Product) dan Cadangan Devisa. Suatu negara yang sehat memiliki pertumbuhan GDP positif e. Faktor lain yang dapat berubah-ubah, seperti kondisi ekonomi global. Penetapan dan penentuan kebijakan moneter ini dilakukan setiap bulan melalui mekanisme RDG Bulanan. Respon kebijakan moneter (BI Rate) ditetapkan berlaku sampai dengan RDG berikutnya. Penetrapannya sendiri dilakukan dengan memperhatikan efek tunda kebijakan moneter (lag of monetary policy) dalam memengaruhi inflasi.

3.2 Tren Inflasi di Indonesia Berdasarkan IHK IHK merupakan indeks untuk mengukur laju kenaikan barang-barang yang diukur berdasar kebutuhan sehari-hari. Tabel 1 merupakan perkembangan tingkat inflasi di Indonesia berdasarkan IHK dalam kurun waktu 6 tahun. Jika dilihat perbandingannya, sudah dapat terlihat. Tingkat inflasi secara umum paling tinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 11.06% dan terendah pada dua bulan pertama 2012 yaitu sebesar 0.81%.

12

Pada tahun 2006, tingkat inflasi secara umum yaitu 6.6% dengan inflasi paling tinggi terjadi pada bahan makanan yaitu sebesar 12.94%. Hal ini terjadi karena pengaruh lonjakan inflasi akhir tahun 2005 karena adanya efek multiplier naiknya harga minyak mentah dunia yang diiringi dengan kenaikan harga BBM dan pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah. Di tahun 2007, tingkat inflasi secara umum berada pada kisaran 6.59% dengan inflasi tertinggi masih dipegang bahan makanan yaitu sekitar 11.26%. Penurunan tingkat inflasi terutama pada sektor bahan makanan merupakan indikasi perekonomian yang mulai membaik dari segi makro seperti pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa dan surplus negara yang meningkat. Namun, tingkat inflasi 6.59% ini sedikit meleset dari prediksi yaitu sebesar 6% disebabkan oleh naiknya harga bahan makanan meski tidak sebesar sebelumnya, dan bencana alam di Jawa Timur saat itu. Pada tahun 2008, tingkat inflasi secara umum melonjak naik ke 11.06%. Selain itu, tingkat inflasi di berbagai sektor juga mengalami lonjakan yang cukup signifikan yaitu rata-rata diatas 6%. Tertinggi masih dipegang oleh bahan makanan yaitu sekitar 16.35%. Krisis ekonomi AS dan tingginya harga minyak mentah dunia yang berakibat pada tingginya harga komoditas dunia. Perekonomian Indonesia sendiri tetap tumbuh meski lebih kecil daripada tahun sebelumnya yaitu 6.1%. Resesi memberi dorongan pada inflasi komoditas lokal yang ditentukan pemerintah (administered price) seiring naiknya subsidi BBM. Namun pada akhir 2008, tingkat inflasi mulai menurun seiring turunnya harga minyak mentah dunia. Pada tahun 2010, tingkat inflasi secara umum berada pada level 6.96%. Tingginya angka tesebut masih disumbang oleh tingkat inflasi pada bahan makanan sebesar 15.64% yg disebabkan perubahan cuaca cukup ekstrim yang menghambat produksi bahan makanan. Pada tahun 2011, tingkat inflasi berada pada level 3.79% secara umum dengan tingkat inflasi tertinggi pada sektor sandang yaitu 7.57%. Jika pada paruh pertama di tahun ini inflasi lebih banyak disebabkan karena bahan makanan, maka kali ini sandang menjadi penyebabnya dipicu oleh naiknya harga emas yang termasuk dalam komoditas sandang. Namun, tingkat inflasi inti yang rendah menunjukkan penguatan pada sektor ekonomi tahun 2011. Pada bulan Januari 2012, terjadi inflasi umum sebesar 0.76% dan inflasi bahan makanan sebesar 1.85% pada bahan makanan yang diiringi oleh kenaikan pada makanan13

jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 0.65%, kenaikan ini terjadi karena Indonesia sedang dilanda musim hujan yang menyebabkan pasokan agak terhambat. Pada bulan Februari 2012, inflasi secara umum berada pada tingkat 0.05% yang dominan disebabkan oleh naiknya harga beras di pasaran. Namun kenaikan ini diseimbangkan dengan penurunan harga daging dan ayam broiler sehingga laju dapat ditekan. Dari beberapa analisis tren inflasi IHK dari tahun ke tahun, kecenderungannya adalah tren inflasi akan terus menurun. Hal ini didukung oleh nilai tukar rupiah yang relatif stabil, tingkat demand yang terjaga, terjaganya ekspektasi inflasi di masyarakat, dan masih berlanjutnya penurunan harga komoditas global. Pada bulan April 2012,pemerintah berencana menaikkan harga BBM yang bisa berdampak pada naiknya harga bahan pokok yang sudah terjadi pada bulan Maret ini dan naiknya biaya transportasi. Tetapi, kenaikan harga ini diharapkan hanya dampak termporer dan kebijakan pemerintah mengatasi inflasi ini akan difokuskan pada penguatan moneter untuk mengendalikan likuiditas jangka pendek.

3.3 Hubungan Timbal Balik antara BI Rate dan Inflasi Di negara berkembang, inflasi tidak hanya merupakan fenomena moneter, melainkan merupaka fenomena struktural. Hal ini disebabkan pola perekonomian di negara berkembang, masih didominasi oleh sektor agraris, sedangkan supply dari sektor pertanian tidak elastis karena masih sangat tradisional sehingga supply pertanian domestik tidak mampu mengimbangi permintaannya (inflationary gap). Hal ini memaksa pemerintah untuk mengimpor barang dari luar negeri untuk memenuhi permintaan di dalam negeri. Permasalahannya disini adalah jumlah pendapatan ekspor yang lebih sedikit dibanding pembiayaan impor, sehingga cadangan valuta asing menurun. Permasalahan struktural ini semakin dipicu oleh terbatasnya penerimaan rutin dibandingkan dengan biaya pembangunan. Menghadapi permasalahan defisit anggaran ini, pemerintah bersama BI pada umumnya akan membiayai defisitnya dengan pinjaman dan pencetakan uang. Inilah alasannya mengapa pencetakan uang ini disebut dengan biaya inflasi. Di Indonesia sendiri, selain karena excess demand dari sektor pertanian, penyebab inflasi lainnya yaitu imported inflation karena ketergantungan Indonesia akan barang impor. Selain itu, administrated goods, barang yang harganya diatur oleh pemerintah, secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat inflasi secara signifikan.14

Misalnya saja BBM, kenaikan harga BBM secara tidak langsung akan meningkatkan harga barang lain yang dapat memperparah tingkat inflasi. Faktor lain yang turut menyumbang angka inflasi ialah tingkat suku bunga yang dipengaruhi secara langsung oleh BI rate. Dari sisi penawarannya, suku bunga merupakan salah satu komponen dari biaya produksi dan investasi. Tingginya tingkat suku bunga menyebabkan naiknya biaya produksi dan investasi dimana akan mendorong kenaikan harga barang di pasar yang berdampak pada membengkaknya angka inflasi. Relasi antara tingkat suku bunga dan inflasi ini merupakan interest rate-price spiral, di mana saling mempengaruhi satu sama lainnya. Menjalankan perannya sebagai bank sentral, BI bertugas menjaga kestabilan nilai rupiah yang tercermin dalam tingkat inflasi yang rendah. Bank Indonesa berwenang penuh atas kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan Bank. Penentuan kebijakan moneter di dalam suatu negara ditentukan dari channels dalam transmisi moneter yang diterapkan. Pada dasarnya terdapat berbagai kerangka kebijakan moneter yang dapat digunakan yakni monetary targeting, exchange rate targeting, inflation targeting, dan implicit nominal anchor (no anchor). Menyesuaikan dengan kondisi ekonomi dan moneter di Indonesia, maka sejak tahun 2000 BI mengeluarkan UU No 23 Tahun 1999, di mana BI telah menentukan dan mengumumkan sasaran inflasi sebagai tujuan akhir dari kebijakan moneter. Sedangkan, berdasarkan amandemen UU BI No 3 Tahun 2004, penentuan target inflasi ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Inflation targeting atau yang sering disebut sebagai ITF (Inflation Targeting Framework) menggunakan perkiraan tingkat inflasi di masa depan sebagai intermediate targetnya. Dalam penerapannya ITF menggunakan empat elemen dasar untuk mencapai penguatan kebijakan moneter yaitu melalui: BI rate, strategi antisipatif, strategi komunikasi, dan koordinasi kebijakan dengan pemerintah dengan tetap memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Penentuan ITF ditujukan kepada para pelaku usaha dan masyarakat agar mereka bisa menyesuaikan kegiatan ekonominya dengan tingkat inflasi sehingga tercipta inflasi yang rendah dan stabil. BI rate merupakan instrumen kebijakan moneter yang berperan sebagai suku bunga acuan dalam menetapkan besar kecilnya tingkat deposito. Penetapan ini direalisasikan melalui penetapan tingkat suku bunga SBI dan PUAB. Liquidity theory menyatakan bahwa semakin tingkat likuiditas sebuah aset meningkat, aset tersebut15

menjadi relatif lebih diminati dibandingkan dengan aset lain. Fakta dari teori ini tercermin pada tingkat suku bunga SBI. Peningkatan suku bunga SBI akan menyebabkan jumlah permintaan terhadap SBI meningkat sehingga masyarakat akan relatif memilih untuk membeli SBI dibandingkan dengan menggunakan uang tersebut untuk dikonsumsi. Dari sisi lain, peningkatan permintaan SBI ini akan berpengaruh pada peningkatan suku bunga kredit oleh bank-bank umum. Hal ini menyebabkan permintaan kredit menjadi menurun, dan masyarakat relatif memilih untuk menabung dibanding menggunakan uang mereka untuk konsumsi dan investasi. Dampaknya, jumlah uang yang beredar di masyarakat akan turun, dan terdapat penurunan tingkat inflasi dalam perekonomian. Penerapan BI rate juga perlu menilai rekomendasi dari fungsi reaksi kebijakan dalam model ekonomi yang bertujuan mencapai sasaran inflasi. Terlihat pada Grafik 1. Respon Kebijakan Moneter bahwa Pemerintah berkoordinasi dengan BI pada awalnya telah menetapkan target inflasi dengan proyeksi yang cukup stabil dengan kecenderungan menurun. Selanjutnya apabila diperkirakan akan terjadi penyimpangan dari tingkat inflasi baik itu naik maupun turun, maka BI rate akan berusaha menyesuaikan diri guna melakukan pengendalian inflasi. Ketika inflasi aktual diperkirakan akan turun maka BI akan melakukan kebijakan ekspansi di mana BI rate akan diturunkan. Hal ini dilakukan dengan tujuan merangsang tumbuhnya kegiatan perekonomian. Sebaliknya, ketika tingkat inflasi aktual diperkirakan akan mengalami kenaikan melebihi target inflasi maka akan ditetapkan kebijakan kontraksi, yakni meningkatkan BI rate.

Grafik 1. Respon Kebijakan Moneter

Kebijakan ekspansi dan kontraksi merupakan langkah yang diambil BI setelah adanya koordinasi dengan Pemerintah. Sebelum dibentuknya Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan, dan Pengendalian Inflasi (TPI), kebijakan moneter hanya dapat mengelola inflasi yang berasal dari aggregat demand. Apabila kenaikan inflasi16

disebabkan oleh faktor kejutan dari penawaran yang bersifat sementara maka tidak akan ada langkah yang diambil oleh BI. Inflasi yang bersifat kejutan ini akan hilang dengan sendirinya setelah beberapa waktu. Meskipun BI rate dapat menekan inflasi namun, tidak ada banyak hal yang dapat dilakukan tanpa adanya intergrasi yang baik antara kebijakan moneter, fiskal, dan sektoral apabila terdapat faktor kejutan dalam penyebab inflasi. Secara garis besar, BI rate akan mengikuti tingkat inflasi. Namun, BI tidak bisa serta merta merubah besarnya BI rate pada saat terjadi fluktuasi inflasi. Hal ini di dasarkan pada fakta bahwa apabila sering terjadi perubahan BI rate maka perekonomian akan menjadi tidak stabil. Grafik 2 menunjukkan pergerakan BI rate secara aktual dalam merespon tingkat inflasi. Pergerakan BI rate sejak beberapa tahun terakhir relatif stabil padahal, tingkat inflasi terus berfluktuasi. Pada tahun 2009, inflasi turun secara drastis dari 11,06% ke angka 2,78%. Sedangkan BI rate masih berada di kisaran 6% -8%. Ini tidak berarti bahwa BI tidak berusaha mengatasi ketidakstabilan tingkat inflasi. Sering kali inflasi timbul sebagai akibat dari adanya pergejolakan yang bersifat sementara. Dalam hal ini BI tidak perlu melakukan apapun karena tingkat inflasi ini akan kembali normal dengan sendirinya.

17

BAB IV PENUTUP4.1 Kesimpulan BI rate dapat mempengaruhi tingkat inflasi dengan menggunakan berbagai cara seperti, dengan memperngaruhi tingkat suku bunga, ekspektasi inflasi, dan lain-lain. BI rate tidak mempengaruhi tingkat inflasi secara langsung. BI rate hanya akan berubah apabila inflasi ditimbulkan oleh faktor selain kejutan. BI rate maupun inflasi saling mempengaruhi namun efeknya tidak dapat dilihat secara langsung dalam waktu yang singkat. Perubahan inflasi tidak akan diikuti oleh pereubahan BI rate secara drastis karena Bank Indonesia harus menjaga kestabilan perekonomian. Bank Indonesia sebagai bank sentral bertugas untuk menjaga stabilitas nilai rupiah, di mana tingkat inflasi menjadi salah satu indikatornya. Pemerintah Indonesia mengupayakan hal ini dengan menggunakan Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini tidak hanya mengandalkan kinerja Bank Indonesia, tetapi juga dengan kesinergisan antara Pemerintah dan Bank Indonesia. Dengan demikian dapat tercipta situasi yang kondusif, di mana stabilitas harga terjamin, guna menunjang pertumbuhan ekonomi.

4.2 Saran j

18

LAMPIRAN

Tabel 1. Inflasi Indonesia Menurut Kelompok Komoditi, Januari 2006-Mei 2008 (2002=100), Juni 2008-Februari 2012 (2007=100)

Makanan Jadi, Minuman, Tahun/ Bulan 2012 Februari Januari 2011 2010 2008 2007 2006 Bahan Makanan 1.11 -0.73 1.85 3.64 15.64 16.35 11.26 12.94 Rokok, dan Tembakau 1.00 0.34 0.65 4.51 6.96 12.53 6.41 6.36 Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar 0.81 0.27 0.54 3.47 4.08 10.92 4.88 4.83 Sandang 1.14 1.22 -0.08 7.57 6.51 7.33 8.42 6.84 Kesehatan 0.65 0.15 0.51 4.26 2.19 7.96 4.31 5.87 Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga 0.23 0.08 0.15 5.16 3.29 6.66 8.83 8.13 Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan 0.30 0.06 0.23 1.92 2.69 7.49 1.25 1.02 Indeks Umum 0.81 0.05 0.76 3.79 6.96 11.06 6.59 6.60

*) Sejak Juni 2008, IHK berdasarkan pola konsumsi didapat dari 2007 Survei Biaya Hidup di 66 kota (2007=100) Sumber: www.bi.go.id

Grafik 2. BI rate versus Headline Inflation, %

19

Tabel 2. Perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011* 2012* Target Inflasi 4% - 6% 9% - 10% 9 +1% 5,5 +1% 6 +1% 8 +1% 6 +1% 5 +1% 4,5 +1% 5+1% 5+1% 4.5+1% Inflasi Aktual (%, yoy) 12,55 10,03 5,06 6,40 17,11 6,60 6,59 11,06 2,78 6,96 3,79 -

*) berdasarkan PMK No.143/PMK.011/2010 tanggal 24 Agustus 2010

Tabel 3. BI rate (Berdasarkan hasil dari Rapat Dewan Gubernur)

BI Rate(%)

Jan 6 6,5 6,5 8,75 8 9,5

Feb 5,75 6,75 6,5 8,25 8 9,25

Mar 5,75 6,75 6,5 7,75 8 9

Apr

Mei Jun

Jul

Agt

Sep

Okt

Nov

Des

2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006

6,75 6,5 7,5 8 9

6,75 6,75 6,75 6,5 6,5 6,5 6,75 8,75 8,25

6,75 6,5 6,5 9 8,25

6,75 6,5 6,5 9,25 8,25

6,5 6,5 6,5 9,5 8,25

6 6,5 6,5 9,5 8

6 6,5 6,5 9,25 8

7,25 7 8,25 8,5 8,75 8,5

12,75 12,75 12,75 12,75 12,5 12,5 12,25 11,75 11,25 10,75 10,25 9,75

20

DAFTAR ISI

1. 2.

Mishkin, Frederic S. 2009. Parkin, Macroeconomics Ninth Editions . http://id.shvoong.com/social-sciences/economics/2140623-indeks-hargaperdagangan-besar-wholesaler/#ixzz1pIClf3IS

3. 4. 5. 6.

http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/BI+Rate/Penjelasan+BI+Rate/ http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Edukasi+Moneter/edukasim4.htm http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Transmisi+Kebijakan+Moneter/ http://www.depkeu.go.id/ind/Read/?type=ixNews&id=22824&thn=2012&name=br_ 090312_16.htm

7.

http://businessenvironment.wordpress.com/2006/11/23/menyimak-karakter-inflasidi-indonesia/

8.

http://financeroll.co.id/news/23513/bps-akhir-pebruari-beras-penyebab-inflasiterbesar

9.

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3698&Ite mid=29

10.

http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/aku/article/viewFile/15656/15648%26e mbedded%3Dtrue

11. 12.

http://repository.mb.ipb.ac.id/34/5/E31-05-Musni-BabIPendahuluan.pdf http://jurnal.unhalu.ac.id/download/Peranan-Jalur-Suku-Bunga-dalam-MekanismeTransmisi-Kebijakan-Moneter-di-Indonesia.pdf

21