makalah dpt.docx

16
A. NAMA PENYAKIT: Tungro tanaman padi B. INANG: Padi ( Oryza sativa ) C. ARTI PENTING PENYAKIT Tungro disebabkan oleh infeksi dua macam virus, yaitu rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) and rice tungro spherical waikavirus (RTSV). RTBV menyebabkan gejala tungro meliputi perubahan warna daun kuning sampai oranye dan tanaman menjadi kerdil. RTSV sendiri tidak menyebabkan gejala yang jelas, hanya kerdil ringan, tetapi memperparah gejala yang disebabkan oleh RTBV. Biasanya terjadi pada fase pertumbuhan vegetatif dan menyebabkan berkurangnya jumlah anakan. D. Patogen 1. Morfologi Bentuk partikel RTBV adalah bacilliform dengan diameter 30-35 nm dan panjang kira-kira 100-300 nm yang bervariasi antara isolat (Hibino et al., 1978). Asam nukleat RTBV adalah DNA utas ganda dan bulat lebih kurang 8 kb (kilo base). Asam nukleat tersebut mengandung dua daerah yang tidak bersambung yang merupakan hasil dari proses replikasi oleh reverse transcriptase dan mempunyai empat open reading frames (ORFs) (Hull, 1996). RTSV mempunyai genom poliadenil ssRNA, unipartit, terbungkus partikel isometrik dengan diameter 30 nm (Hibino et al., 1978). Genom RNA RTSV kira-kira 11 kb dan 1

Transcript of makalah dpt.docx

Page 1: makalah dpt.docx

A. NAMA PENYAKIT: Tungro tanaman padi

B. INANG: Padi ( Oryza sativa )

C. ARTI PENTING PENYAKIT

Tungro disebabkan oleh infeksi dua macam virus, yaitu rice tungro bacilliform

badnavirus (RTBV) and rice tungro spherical waikavirus (RTSV). RTBV menyebabkan

gejala tungro meliputi perubahan warna daun kuning sampai oranye dan tanaman menjadi

kerdil. RTSV sendiri tidak menyebabkan gejala yang jelas, hanya kerdil ringan, tetapi

memperparah gejala yang disebabkan oleh RTBV. Biasanya terjadi pada fase

pertumbuhan vegetatif dan menyebabkan berkurangnya jumlah anakan.

D. Patogen

1. Morfologi

Bentuk partikel RTBV adalah bacilliform dengan diameter 30-35 nm dan panjang

kira-kira 100-300 nm yang bervariasi antara isolat (Hibino et al., 1978). Asam nukleat

RTBV adalah DNA utas ganda dan bulat lebih kurang 8 kb (kilo base). Asam nukleat

tersebut mengandung dua daerah yang tidak bersambung yang merupakan hasil dari

proses replikasi oleh reverse transcriptase dan mempunyai empat open reading frames

(ORFs) (Hull, 1996).

RTSV mempunyai genom poliadenil ssRNA, unipartit, terbungkus partikel

isometrik dengan diameter 30 nm (Hibino et al., 1978). Genom RNA RTSV kira-kira

11 kb dan protein selubungnya terdiri dari dua jenis molekul protein (Agrios, 1997).

2. Klasifikasi

a. (RTBV)

Group : Group VII (dsDNA-RT)

Family : Caulimoviridae

Genus : Tungrovirus

Species : Rice tungro bacilliform virus

b. (RTSV)

Group : Group IV {(+)ssRNA}

Family : Sequiviridae

Genus : Waikavirus

Spesies : Rice tungro spherical virus

1

Page 2: makalah dpt.docx

3. Sifat patogen

Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi yang menjadi

permasalahan dalam usaha peningkatan produksi padi nasional. Penyakit yang

disebabkan oleh dua jenis virus (virus bulat dan virus batang) yang ditularkan oleh

wereng hijau Nephotettix virescens telah menyebar dan menyebabkan kehilangan hasil

di beberapa sentra produksi padi di Indonesia. Tiga faktor utama penyebab terjadinya

serangan tungro adalah ketersediaan sumber inokulum virus, adanya serangga penular

dan keberadaan tanaman peka.

E. Gejala penyakit

Gejala utama pada tanaman padi yang terinfeksi virus

tungro adalah perubahan warna daun menjadi kuning-oranye,

kerdil, dan penurunan jumlah anakan (Hibino et al., 1978). Virus

tungro juga menyebabkan helaian dan pelepah daun memendek,

dan jumlah anakan sedikit. Pada bagian bawah helai duan muda

terjapit oleh pelepah daun sehingga daunnya terpuntir dan

menggulung. Daun tanaman padi yang terinfeksi virus tungro kadang terlihat ramping

menggulung keluar dan seperti spiral. Selanjutnya infeksi virus tungro menyebabkan malai

pendek, gabah tidak terisi sempurna atau kebanyakan hampa dan terdapat bercak-bercak

coklat yang menutupi malai (Ling, 1972).

F. Epidemi Penyakit

1. Siklus penyakit

Masa inkubasi dalam tanaman adalah 6 – 9

hari. Infeksi tungro dapat terjadi mulai persemaian.

Pada stadium ini tanaman sangat rentan terhadap

infeksi virus. Apabila infeksi terjadi pada stadium

persemaian maka gejala tungro akan terlihat pada

tanaman umur 2-3 minggu setelah tanam (mst).

Tanaman muda yang terinfeksi merupakan sumber

infeksi di lapangan. Serangga dapat menularkan

virus dengan segera dalam waktu 2 jam setelah memperoleh virus dan mempertahankan

dalam tubuhnya selama tidak lebih dari 5 hari. Setelah masa itu, serangga menjadi

tidak infektif lagi. Kembali menjadi infektif setelah menghisap tanaman sakit.

2

Page 3: makalah dpt.docx

2. Penyebaran penyakit

Menularkan penyakit secara non persisten. Nimfa wereng hijau dapat

menularkan virus, tetapi infektif setelah ganti kulit. Virus tidak dapat ditularkan

melalui telur serangga maupun melalui biji, tanah, air dan secara mekanis.

3. Faktor-faktor lingkungan yang mendukung

Populasi wereng hijau pada musim kemarau lebih rendah dari pada musim hujan

(Carino, 1980). Keberadaan wereng hijau sangat dipengaruhi oleh iklim terutama suhu

yang berpengaruh terhadap daur hidup wereng hijau. Curah hujan dan kelembaban

relatif berpengaruh terhadap dinamika populasi wereng hijau (Siwi et al., 1987).

Peningkatan intensitas serangan tungro seiring dengan meningkatnya populasi vektor

infektif di lapangan.

4. Cara bertahan patogen

Penyakit tungro akan tetap ada walaupun sudah di cegah. Karena patogen tungro

dapat bertahan hidup pada organisme lain seperti wereng hijau.

G. Pengendalian

1. Waktu Tanam Tepat

Waktu tanam berhubungan erat dengan pola fluktuasi populasi wereng hijau.

Waktu tanam tepat diidentifikasi berdasarkan pola fluktuasi populasi wereng hijau,

keberadaan virus tungro dan curah hujan. Pola fluktuasi populasi wereng hijau di suatu

tempat akan berbeda dari musim ke musim tergantung keadaan curah hujan sehingga

akan terjadi puncak populasi pada waktu atau bulan tertentu (Sogawa, 1976). Tingginya

serangan tungro dapat disebabkan oleh tingginya tekanan vektor. Semakin tinggi

populasi vektor maka semakin tinggi intensitas serangan tungro (Tiongco et al., 1983).

3

Page 4: makalah dpt.docx

Pada saat populasi wereng hijau tinggi, pertanaman telah masuk fase generatif sehingga

mengurangi tekanan infeksi virus (Hasanuddin, 2002)

2. Penggunaan Varietas Tahan

Komponen yang paling penting dan mudah di lakukan dalam strategi

pengendalian tungro adalah penggunaan varietas tahan (Sama, 1985), bahkan paling

efektif dalam usaha pengendalian tungro pada berbagai ekosistem di Indonesia

(Daradjat et al., 1999). Ketahanan varietas terhadap virus tungro akan menekan

intensitas serangan dan ketahanan terhadap vektor akan menekan penularan tungro.

Peningkatan proporsi varietas tahan di suatu hamparan berpengaruh nyata dalam

mengurangi keberadaan tungro (Holt, 1996).

Beberapa varietas tahan virus tungro dan wereng hijau telah dilepas untuk

mengendalikan tungro seperti Tukad Unda, Tukad Petanu, Tukad Balian, Kalimas dan

Bondoyudo (Daradjat et al., 2004). Namun ketahanan varietas bersifat spesifik lokasi

yang berarti bahwa suatu varietas menunjukkan tahan terhadap strain virus di daerah

tertentu tetapi tidak tahan terhadap strain virus di daerah lain (Baehaki dan Suharto,

1985).

3. Pergiliran Varietas

Pergiliran varietas tahan akan memperpanjang durasi ketahanan varietas dan

mengurangi tekanan seleksi wereng hijau. Pergiliran varietas memerlukan informasi

tingkat adaptasi wereng hijau terhadap varietas tahan (Widiarta et al., 2004). Varietas

tahan tidak boleh ditanam terus-menerus karena dapat meningkatkan tekanan seleksi

vektor dan memungkinkan berkembangnya wereng hijau biotipe baru (Sama, 1985;

Daradjat et al., 1999). Koloni wereng hijau sangat mudah beradaptasi terhadap varietas

tahan bila telah berhasil terbentuk hingga enam generasi (Siwi dan Suzuki, 1991),

bahkan dapat terjadi setelah generasi ke-3 dan generasi selanjutnya, khususnya generasi

ke-6, aspek biologi wereng hijau tidak berbeda nyata apabila berada dalam varietas

peka (Taulu et al., 1987). Telah dilaporkan pula bahwa durasi ketahanan varietas

terhadap wereng hijau sekitar 2 generasi siklus hidup wereng hijau (Heinrich et al.,

1982).

4. Kultur Teknis

Pengelolaan tanaman terpadu dalam pengendalian tungro meliputi beberapa

komponen yaitu tanam serempak, sebar benih sebelum puncak kepadatan populasi

wereng hijau, sebar benih setelah lahan dibersihkan, tanam dengan cara legowo dan

manipulasi faktor lingkungan (Muis et al., 1990). Vektor dewasa pada pola tanam tidak

4

Page 5: makalah dpt.docx

serempak lebih aktif memencar dibandingkan pada pola tanam serempak (Aryawan et

al., 1993 dalam Widiarta et al., 2004).

Penanaman dengan cara legowo dua baris atau empat baris dapat menekan

pemencaran wereng hijau. Mengatur ketersediaan air merupakan bentuk manipulasi

lingkungan yang mempengaruhi penyebaran tungro. Kondisi pertanaman yang kering

akan merangsang pemencaran wereng hijau yang akan memperluas penyebaran tungro

(Widiarta et al., 2004).

5. Penggunaan Insektisida

Penggunaan insektisida dalam mengendalikan tungro bertujuan untuk eradikasi

vektor pada pertanaman yang terserang tungro agar tidak menyebar ke pertanaman lain

dan mencegah terjadinya infeksi virus pada pertanaman sehat. Insektisida sistemik

bentuk butiran lebih efektif dalam mencegah infeksi tungro oleh vektor seperti

carbofuran, aminosulfan dan UC54229 (Habibuddin et al., 1987). Insektisida

imidacloprit atau tiametoksan dapat digunakan pada persemaian untuk manghambat

penularan tungro oleh vektor. Penggunaan insektisida hayati dengan jamur

entomopatogen diketahui dapat mengurangi dan menekan pemencaran vektor. Jamur

Beauveria bassiana dan Metharizium anisopliae dapat menekan pemencaran dan

menyebabkan mortalitas vektor dengan masa inkubasi yang berbeda (Widiarta et al.,

2004). Aplikasi insektisida pada satu hari setelah tanam (HST) dan 30 HST dapat

mengendalikan populasi wereng hijau dan mengurangi intensitas serangan tungro

(Manwan et al., 1987).

5

Page 6: makalah dpt.docx

DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN (1997). Plant pathology, 4th ed. Academic Press. Dan Diego, CA. 635 pp.Baehaki, S.E. dan H. Suharto. 1985. Penyakit Tungro. Makalah temu lapang pengendalian penyakit

tungro di Banyumas, 18-19 September 1985.Carino, F. O. 1980. Role of natural enemies in population suppression and pest management of the

green leaf hopper. UPLB. MS. Thesis.Daradjat, A. A., I.N. Widiarta dan A. Hasanuddin. 1999. Breeding for rice tungro virus resistance in

Indonesia. Rice Tungro Disease Management. IRRI.Daradjat, A. A., I.N. Widiarta dan Jumanto. 2004. Prospek perbaikan varietas padi tahan virus tungro

dan serangga wereng hijau. Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar, 7-8 September 2004. Puslitbang Tanaman Pangan.

Habibuddin, H., T. Takita and N.K. Ho. 1987. Research and management of tungro disease in Peninsular Malaysia. In Proc.of the workshop on rice tungro virus. Ministry of Agriculture. AARD-Maros Research Institute for Food Crops.

Hasanuddin, A. 2002. Pengendalian penyakit tungro terpadu : Strategi dan implementasi. Orasi pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Puslitbang Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian.

Heinrichs, E.A., F. Madrano, L. Sunio, H. Rapusas, A. Romena, C. Vega, V. Viajante, D. Centina and T. Domingo. 1982. Resistance of IR varieties to insect. Int. Rice Res. Newsl. 7: 9-10.

Heru R. Praptana. 2005. Penyakit Tungro dan Pengendaliannya. Loka Penelitian Penyakit Tungro Lanrang.

Holt, J. 1996. Spatial medelling of rice tungro disease epidemics. In. Rice Tungro Disease Epidemiology and Vector Ecology. eds. Chancellor, Teng and Heong, IRRI and NRI, 74-86.

Hibino H., M. Roechan and S. Sudarsman, 1978. Association of two types of virus particles with Penyakit Habang (Tungro disease) of rice in Indonesia. Phytopathol. 68: 1412-16.

Hull R. 1996. Molecular biology of rice tungro viruses. Annu. Rev. Phytopathol. 34:275-297.Ling, K.C. 1976. recent studies on Rice Tungro Disease at IRRI. Research Paper Series. No. 1.Manwan, I., S. Sama and S. A. Rizvi. 1987. Management strategy to control rice tungro in Indonesia.

In Proc. of the workshop on rice tungro virus. Ministry of Agriculture. AARD-Maros Research Institute for Food Crops. 92-97p.

Muis, A., M. Yasin, S. dan A. Hasanuddin. 1990. Epidemiologi penyakit tungro, pergiliran varietas dan waktu tanam. Hasil Penelitian Padi, Balai Penelitian Tanaman Pangan Maros, 1990, (1): 47-52.

Sama, S. 1985. Penerapan konsep pergiliran varietas dalam pengelolaan penyakit tungro. Makalah temu lapang pengendalian penyakit tungro di Banyumas, 18-19 September 1985.

Siwi, S.S. dan Y. Suzuki. 1991. The green leafhopper (Nephotettix spp.): vector of rice tungro virus disease in Southeast Asia, particularly in Indonesia and its management. Indonesian Agricultural Research & Development. Journal.Vol. 13.

Sogawa, K. 1976. Rice tungro virus and its vectors in tropical Asia. Rev. Plant Protec. 9. p. 25-46

Taulu, L.A., S. Sosromarsono, I.N. Oka and E. Guhardja. 1987. Adaptation of green leafhopper, Nephotettix virescens (Distant) to several varieties of rice. Proceeding of the Workshop on Rice Tungro Virus. AARD – Maros Research Insitute for Food Crops. p: 56-62.

Tiongco, E.R., R.C. Cabunagan and H. Hibino. 1983. Resistance of five IR varieties to tungro. Int. Rice. Res. Newsl. 8(4): 6

Widiarta, I.N., D. Kusdiaman dan A. Hasanuddin. 2003. Pemencaran wereng hijau dan keberadaan tungro pada pertanaman padi dengan beberapa cara tanam. Penelitian Pertanian tanaman Pangan. 22(3): 129-133

Widiarta, I.N., Burhanuddin, A.A. Daradjat dan A. Hasanuddin. 2004. Status dan Program Penelitian Pengendalian Terpadu Penyakit Tungro. Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar, 7-8 September 2004.

6

Page 7: makalah dpt.docx

A. NAMA PENYAKIT :Layu Sclerotium

B. INANG : Kedelai

C. ARTI PENTING PENYAKIT

Kelayuan dapat terjadi pada tanaman stadia vegetatif hingga stadia generatif. Gejala

ketika kecambah belum muncul di permukaan tanah disebut preemergence damping-off

dan ketika kecambah sudah muncul di permukaan tanah disebut postemergence damping-

off. Penyakit ini sangat berbahaya jika terjadi pada biji kedelai di penyimpanan atau dalam

pengiriman, karena satu dapat berkembang pada biji yang masih sehat. Penyebab layu ini

adalah cendawan Sclerotium rolfsii (Semangun, 1991). Sclerotium rolfsii merupakan salah

satu jamur patogen yang menyebabkan beberapa penyakit pada tanaman, seperti busuk

batang, layu serta rebah kecambah.

D. PATOGEN

1. Morfologi

Cendawan S. rolfsii membentuk miselium tipis, berwarna putih, teratur seperti

bulu ayam (Agrios, 2005). S. rolfsii mampu bertahan dalam tanah dengan membentuk

struktur bertahan berupa sklerotia. Sklerotia merupakan kumpulan miselia cendawan

yang memampat, berbentuk butiran keras dengan diameter sekitar 1-2 mm berwarna

kecoklatan, dan mampu bertahan lama di dalam tanah dan residu tanaman. Sklerotia

mampu bertahan dalam tanah dalam waktu yang cukup lama dari 2 tahun hingga 10

tahun (Messiaen, 1994). Sklerotia terdiri atas tiga lapisan, yaitu kulit dalam, kulit luar,

dan kulit teras. Pada kulit dalam terdapat 6–8 lapisan sel, kulit luar 4–6 lapisan sel,

sedangkan kulit teras terdiri atas benang-benang hifa yang hialin dan tidak mengalami

penebalan dinding sel (Chet et al. 1969).

2. Klasifikasi

Kingdom: Fungi

Phylum: Basidiomycota

Class: Agaricomycetes

Order: Atheliales

Family: Atheliaceae

Genus: Athelia

Species: Athelia rolfsii Synonym Sclerotium roflsii anamorph sacc

7

Page 8: makalah dpt.docx

3. Sifat Patogen

Sclerotium rolfsii merupakan salah satu jamur patogen yang dapat menyebabkan

beberapa penyakit mematikan pada tanaman seperti busuk batang, layu dan rebah

kecambah. Patogen ini merupakan penyebab penyakit potensial pada tanaman kedelai,

karena langsung menyerang pada jaringan tanaman dengan memproduksi miselium

yang berlimpah dan menghancurkannya dengan mensekresi asam oksalis, pektinolitik,

selulolitik, dan enzim lain setelah penetrasi pada jaringan inang (Agrios, 2005).

E. Gejala penyakit

Infeksi S. rolfsii pada kedelai biasanya mulai terjadi di

awal pertumbuhan tanaman dengan gejala busuk kecambah

atau rebah semai. Pada tanaman kedelai berumur lebih dari 2-3

minggu, gejalanya berupa busuk pangkal batang dan layu,

pada bagian terinfeksi terlihat bercak berwarna coklat pucat

dan di bagian tersebut tumbuh miselia cendawan berwarna

putih (Punja, 1988). Tanda yang paling mudah dikenali dari

penyakit ini adalah adanya miselium cendawan berwarna putih seperti bulu pada pangkal

batang yang sakit atau pada permukaan tanah.

F. Epidemi Penyakit

1. Siklus Penyakit

Seperti cendawan yang lain, S. rolfsii juga mempunyai hifa, tetapi hifanya tidak

membentuk spora melainkan sklerotia, sehingga identifikasinya didasarkan atas

karakteristik, ukuran, bentuk, dan warna sklerotia. Pada media buatan, sklerotia baru

terbentuk setelah 8–11 hari.

2. Penyebaran Penyakit

Penyebran penyakit oleh cendawan Sclerotium biasanya melalui medium tanah

(soil borne) yang sering disebut cendawan tular tanah karena dapat bertahan di tanah.

Di samping itu, jamur tersebut dapat menyebar melalui air irigasi dan benih pada lahan

yang ditanami secara terus menerus dengan tanaman inang dari Sclerotium rolfsii

tersebut, sehingga mengakibatkan turunnya produksi tanaman yang akan dipanen

(Timper et al. 2001).

3. Faktor Faktor lingkungan yang mendukung

8

Page 9: makalah dpt.docx

Pada kelembapan yang tinggi, infeksi S. rolfsii pada tanaman semakin meningkat.

Sebaliknya jika kelembapan berkurang, intensitas dan luas serangan penyakit berkurang

dan miselium akan membentuk sklerotia. Pada medium buatan, sklerotia akan

berkecambah pada kisaran kelembapan 25–30% (Domsch et al., 1980).Cendawan S.

rolfsii berkembang dengan baik pada kisaran pH 3,5–6,0 (Domsch et al., 1980), namun

peneliti lain menyatakan pertumbuhan optimum miselium cendawan ini berada pada

kisaran pH 1,4–2,0. Perkecambahan sklerotium yang optimum terjadi pada kisaran suhu

21−30°C. Pada suhu 0°C, hifa akan mati dan tidak dapat membentuk sklerotium, dan

pada suhu -10°C sklerotium akan mati (Domsch et al.,1980).

4. Cara bertahan hidup

Cendawan Sclerotium bertahan hidup di dalam tanah atau sisa-sisa tanaman

dalam bentuk hifa atau sklerotia sebagai mikroorganisme yang bersifat parasit

fakultatif. Sklerotia mampu bertahan dalam tanah dalam waktu yang cukup lama dari 2

tahun hingga 10 tahun (Messiaen, 1994). Cendawan tersebut akan hidup sebagai

saprofit apabila tidak dijumpai tanaman inang. Mikroorganisme yang demikian

mempunyai kemampuan aktivitas kompetisi saprofit yang rendah.

G. PENGENDALIAN

Pengendalian penyakit tular tanah sebaiknya disesuaikan dengan cara bertahan hidup

cendawan. Cara pengendalian penyakit yang dapat diterapkan adalah aplikasi

mikroorganisme antagonisnya, penggunaan varietas tahan, dan cara mekanis. Rotasi

tanaman sulit dilakukan karena kisaran tanaman inangnya sangat luas. Pengendalian

dengan fungisida kimiawi tidak tepat karena penggunaannya harus sering sesuai dengan

sifat tanah yang menyerap, selain dapat mencemari lingkungan dan mematikan musuh

alami dan mikroorganisme pendegradasi senyawa kimia beracun. Selain itu, fungisida

dapat mencemari air tanah dan berdampak buruk bagi kesehatan penduduk sekitar. Cara

pengendalian penyakit yang sering dilakukan adalah dengan mencabut tanaman yang

sakit. Cara ini dapat diteruskan jika jumlah tanaman yang terserang dalam suatu area

pertanaman hanya sedikit. Tanaman yang telah dicabut harus segera dibenamkan ke dalam

tanah atau dibakar supaya tidak menular. Di Hawai, pengendalian S. rolfsii dilakukan

dengan memadukan kultur teknis, rotasi tanaman, pengolahan tanah lebih dari 20 cm,

pemberian kompos, solarisasi tanah, mulsa plastik hitam, pengendalian hayati dengan

memanfaatkan antagonisnya, dan penggunaan fungisida (Ferreira dan Boyle, 2006)

9

Page 10: makalah dpt.docx

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, ON. 2005. Plant Pathology. Edisi ke-5. New York: Academic Pr.

Chet, I., Y. Henis, and Kislev. 1969. Ultrastructure of sclerotia and hyphae of Sclerotium

rolfsii Sacc. Gen. Microbiol. 57: 143–147.

Domsch, K.H., W. Gams, and T.H. Anderson. 1980. Compendium of Soil Fungi (Vol. 1).

Academic Press, London.

Ferreira, S.A. and R.A. Boyle. 2006. Sclerotium rolfsii. Department of Plant Pathology,

University of Hawaii at Manoa.

Messiaen, CM. 1994. The Tropical Vegetable Garden. London: CTA Macmillan Press Ltd.

Pp. 441-442.

Punja, ZK. 1988. Sclerotium (Athelia) rolfsii, a pathogen of many plant species. Di dalam :

Sidhu GS, editor. Genetic of Plant Pathogenic Fungi. London: Academic Press. 16:

523-534.

Semangun, H. 1993. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Timper P, Minton NA, Johnson AW, Brenneman TB, Culbrreat AK, Burton GW, Baker SH,

Gascho GJ (2001) Influence of cropping system on stem rot (Sclerotium rolfsii),

Meloydogyne arenaria, and the nematode antagonist Pasteuria penetrans in peanut.

Plant Disease. 85: 767-772.

10