makalah bdp.doc
-
Upload
ibnu-darmawanto -
Category
Documents
-
view
10 -
download
0
description
Transcript of makalah bdp.doc
PERBEDAAN INDIVIDU DAN IMPLIKASI DALAM PEMBELAJARAN
A. Latar Belakang
Dari bahasa bemacam-macam aspek perkembangan individu, dikenal ada dua fakta
yang menonjol, yaitu (i) semua manusia mempunyai unsur-unsur kesamaan di dalam pola
perkembangannya dan (ii) di dalam pola yang bersifat umum dari apa yang membentuk
warisan manusia secara biologis dan sosial, tiap-tiap individu mempunyai kecenderungan
berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut secara keseluruhan lebih banyak bersifat kuantitatif
dan bukan kualitatif. Sejauh mana individu berbeda akan mewujudkan kualitas perbedaan
mereka atau kombinasi-kombinasi dari berbagai unsur perbedaan tersebut.
Setiap orang, apakah ia seorang anak atau seorang dewasa, dan apakah ia berada di
dalam suatu kelompok atau seorang diri, ia disebut individu. Individu menunjukkan
kedudukan seseorang sebagai orang perorangan atau perseorangan.Sifat individual adalah
sifat yang berkaitan dengan orang perseorangan, berkaitan dengan perbedaan individual
perseorangan. Ciri dan sifat orang yang satu berbeda dengan yang lain. Perbedaan ini disebut
perbedaan individu atau perbedaan individual. Maka “perbedaan” dalam “perbedaan
individual” menurut Landgren (1980: 578) menyangkut variasi yang terjadi, baik variasi pada
aspek fisik maupun psikologis.Seorang ibu yang memiliki seorang bayi, bertutur bahwa
bayinya banyak menangis, banyak bergerak, dan kuat minum. Ibu lain yang juga memiliki
seorang bayi, menceritakan bahwa bayinya pendiam, banyak tidur, tetapi kuat minum. Cerita
kedua ibu itu telah menunjukkan bahwa kedua bayi itu memiliki ciri dan sifat yang berbeda
satu sama lainnya.
Seorang guru setiap tahun ajaran baru selalu menghadapi siswa-siswa yang berbeda
satu sama lain. Siswa-siswa yang berada di dalam sebuah kelas, tidak terdapat seorang pun
yang sama. Mungkin sekali dua orang dilihatnya hampir sama atau mirip, akan tetapi pada
kenyataannya jika diamati benar-benar antara keduanya tentu terdapat perbedaan. Perbedaan
yang segera dapat dikenal oleh seorang guru tentang siswanya adalah perbedaan fisiknya,
seperti tinggi badan, bentuk badan, wurna kulit, bentuk muka, dan semacamnya .Dari
fisiknya seorang guru cepat mengenal siswa di kelasnya satu per satu. Ciri lain yang segera
dapat dikenal adalah tingkah laku masing-masing siswa, begitu pula suara mereka. Ada siswa
yang lincah, banyak gerak, pendiam, dam sebagainya. Ada siswa yag nada suaranya kecil dan
ada yang besar atau rendah, ada yang berbicara cepat dan ada pula yang pelan-pelan. Apabila
ditelusuri secara cermat siswa yang satu dengan yang lain memiliki sifat psikis yang berbeda-
beda.
Upaya pertama yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan individu, sebelum
dilakukan pengukuran kapasitas mental yang mempengaruhi penilaian sekolah, adalah
menghitung umur kronologi. Seorang anak memasuki sekolah dasar pada umur 6 tahun dan ia
diperkirakan dapat mengalami kemajuan secara teratur dalam tugas tugas sekolahnya dilihat
dalam kaitannya dengan faktor umur. Selanjutnya ada anggapan bahwa semua anak
diharapkan mampu menangkap/ mengerti bahan-bahan pelajaran yang mempunyai kesamaan
materi dan penyajiannya bagi semua siswa pada kelas yang sama. Ketidakmampuan yang
jelas tampak pada siswa untuk menguasai bahan pelajaran umumnya dijelaskan dengan
pengertian faktor-faktor seperti kemalasan atau sikap keras kepala. Penjelasan itu tidak
mendasarkar, kenyataan bahwa para siswa memang berbeda dalam hal kemampuan mereka
untuk menguasai satu atau lebih bahan pelajaran dan mungkin berada dalam satu tingkat
perkembangan.
Telah disadari bahwa perbedaan-perbedaaan antara satu dengan lainnya dan juga
kesamaan-kesamaan di antara mereka merupakan ciri-ciri dari semua pelajaran pada suatu
tingkatan belajar. Sebab-sebab dan pengaruh perbedaan individu ini dan sejauh mana tingkat
tujuan pendidikan, isi dan teknik-teknik pendidikan ditetapkan, hendaknya disesuaikan
dengan perbedaan-perbedaan tersebut, tampaknya hal ini telah mendapat banyak perhatian
dari para ahli ilmu jiwa dan petugas sekolah.
B. Tujuan
Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Belajar dan Pembelajaran
C. Batasan Materi
1. Intelegensia
2. Sosial Ekonomi
3. Budaya
4. Implikasi Prinsip Perbedaan Individual
5. Aplikasi konsep perbedaan individu dalam pelajaran kimia
D. Pembahasan
I. Intelegensia
Pengertian Inteligensi
Inteligensi adalah suatu istilah yang popular. Hampir semua orang sudah mengenal
istilah tersebut, bahkan mengemukakannya. Seringkali kita dengar seorang mengatakan si A
tergolong pandai atau cerdas ( inteligen ) dan si B tergolong kurang cerdas ( tidak inteligen ).
Istilah inteligen sudah lama ada dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman Cicero yaitu
kira-kira dua ribu tahun yang lalu dan merupakan salah satu aspek alamiyah dari
seseorang.Inteligensi bukan merupakan kata asli yang berasal dari bahasa Indonesia. Kata
inteligensi adalah kata yang berasal dari bahasa latin yaitu “ inteligensia “. Sedangkan kata “
inteligensia “ itu sendiri berasal dari kata inter dan lego, inter yang berarti diantara,
sedangkan lego berarti memilih. Sehingga inteligensi pada mulanya mempunyai pengertian
kemampuan untuk memilih suatu penalaran terhadap fakta atau kebenaran. Untuk
memperjelas pengertian inteligensi, maka penulis memaparkan beberapa definisi
inteligensi yang dikemukakan oleh beberapa ahli psikologi maupun pendidik diantaranya :
Menurut para ilmuwan, dewasa ini manusia menggunakan 10 persen dari kemampuan
otaknya. Dari 10 persen itu sebagian besar hanya mengoptimalkan belahan otak kiri (Stanford
Research Institute).Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi jenius. Idealnya memang harus
dipersiapkan sejak kecil dengan mengaktifkan fungsi otak untuk mengembangkan
kecerdasan-kecerdasan yang menunjang proses pembelajaran. Usia remaja juga dapat
memberdayakan otak secara optimal, untuk itu kita harus mengetahui terlebih dahulu cara
kerja otak tersebut. (Sidiarto L. 2008)
Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai kecerdasan otak, diketahui bahwa
kecerdasan otak yang bersumber di sistem limbik justru memberikan kontribusi jauh lebih
besar dibandingkan dengan kecerdasan yang bersumber dari neokorteks. Terdapat dua
kecerdasan yang bersumber selain dari neo kortex yaitu pada emosional di sistem limbik
dan spiritual di God spot (temporal). Kontribusi kecerdasan emosional dan spiritual
terhadap keberhasilan karir atau hidup seseorang diperkirakan sekitar 80 %, sedangkan
sisanya merupakan kontribusi dari kecerdasan rasional. Dari 80 % kontribusi tersebut
ternyata spiritual mendominasi sekitar 60 % dan sisanya merupakan kontribusi emosional .
Potensi kecerdasan sebagai inti Inteligensi merupakan pusat kreativitas dan inovasi
yang dihasilkan oleh suatu fungsi organ otak pada manusia (Cattel,1971 dalam Pasiak 2008).
atau manusia dapat beraktifitas bermanfaat yang merupakan kegiatan kreatif dan inovatif
berdasar derajat inteligensi yang dimotori oleh otak yang sehat.
Dengan demikian untuk mengatasi segala tantangan dan perubahan yang terjadi. Oleh
karena itu harus cerdas dan juga mampu menggunakan semua kecerdasan otak yaitu
intelektual, emosional dan spiritual.
Menurut pendapat Munandar U. (1999) “bahwa inteligensi meliputi terutama
kemampuan verbal, pemikiran lancar, pengetahuan, perencanaan, perumusan masalah,
penyusunan strategi, representasi mental, keterampilan pengambilan suatu keputusan dan
keseimbangan serta integritas intelektual secara umum”
Wechler, “merumuskan inteligensi sebagai keseluruhan kemampuan individu untuk
berpikir dan bertindak secara terarah serta kemampuan mengolah dan menguasai lingkungan
secara efektif”.
Dari pendapat ini bahwa hal-hal yang mempengaruhi perkembangan intelek itu antara lain :
1. Bertambahnya informasi yang disimpan (di dalam otak) seseorang sehingga ia mampu
berpikir reflektif.
2. Banyaknya pengalaman dan latihan-latihan untuk memecahkan suatu masalah,
sehingga seseorang dapat berpikir proporsional.
3. Adanya kebebasan berpikir menimbulkan keberanian seseorang dalam menyusun
hipotesis-hipotesis yang radikal, kebebasan menjajaki masalah secara keseluruhan dan
menunjang keberanian anak dalam memecahkan suatu masalah dan menarik
kesimpulan yang baru dan benar.
Menurut dasar-dasar teori Piaget, “ perkembangan inteligensi yaitu :
1. Fungsi inteligensi termasuk proses adaptasi yang bersifat biologis.
2. Bertambahnya usia menyebabkan berkembangnya struktur inteligensi baru, sehingga
pengaruh pula terhadap terjadinya perubahan kualitatif”
Beberapa faktor yang mempengaruhi intelegensi, sehingga terdapat perbedaan
intelegensi seseorang dengan yang lain ialah:
1. Pembawaan, Pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan cirri yang dibawah sejak
lahir. Batas kesangupan kita yakni dapat tidaknya memecahkan suatu soal, pertama
ditentukan oleh pembawaan kita.Orang itu ada yang pintar ada pula yang bodoh.
Sekalipun menerima latihan dan pelajaran yang sama, perbedaan-perbedaan itu masih
tetap ada.
2. Kematangan, tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan
perkembangan. Tiap organ(fisik maupun non fisik) dapat dikatakan telah matang jika
telah mencapai kesangupan menjalangkan fungsinya masing-masing. Anak tidak
dapat memecahkan soal-soal tertentu karena soal-soal itu masih terlampau sukar
baginya.Organ-organ tubuhnya dan fungsi-fungsi jiwanya masih belum matang untuk
mengenai soalitu dan kematangan erat hubungannya dengan umur.
3. Pembentukan, pembentukan ialah segala keadaan diluar diri seseorang yang
mempengaruhi perkembangan intelegensi. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja
seperti yang dilakukan disekolah-sekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh
alam sekitar)
4. Minat dan pembawaan yang khas, Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan
dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan –
dorongan(motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia
luar. Motif menggunakan dan menyelidiki dunia luar (manipulate and exploring
motivasi) dari manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadap dunia luar itu, lama
kelamaan timbulah minat terhadap sesuatu, apa yang mereka minat seseorang
mendorongnya untuk berbuat lebih giat dan lebih baik
5. Kebebasan, kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang
tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan
memilih metode juga bebas dalam memilih masalah sesuati dengan kebutuhannya.
Dengan adanya kebebasan ini berarti bahwa minat itu tidak selamanya menjadi syarat
dalam pembentukan intelegensi. (Dalyono, 2007.)
II. Sosial Ekonomi
Mekanisme Pembentukan Perilaku Menurut Aliran Holistik (Humanisme)
Holistik atau humanisme memandang bahwa perilaku itu bertujuan, yang berarti aspek-
aspek intrinsik (niat, motif, tekad) dari dalam diri individu merupakan faktor penentu untuk
melahirkan suatu perilaku, meskipun tanpa ada stimulus yang datang dari lingkungan.
Holistik atau humanisme menjelaskan mekanisme perilaku individu dalam konteks what
(apa), how (bagaimana), dan why (mengapa). What (apa) menunjukkan kepada tujuan
(goals/incentives/purpose) apa yang hendak dicapai dengan perilaku itu. How (bagaimana)
menunjukkan kepada jenis dan bentuk cara mencapai tujuan (goals/incentives/pupose), yakni
perilakunya itu sendiri. Sedangkan why (mengapa) menunjukkan kepada motivasi yang
menggerakan terjadinya dan berlangsungnya perilaku (how), baik bersumber dari diri
individu itu sendiri (motivasi instrinsk) maupun yang bersumber dari luar individu (motivasi
ekstrinsik).
Perilaku individu diawali dari adanya kebutuhan. Setiap individu, demi
mempertahankan kelangsungan dan meningkatkan kualitas hidupnya, akan merasakan adanya
kekurangan-kekurangan atau kebutuhan-kebutuhan tertentu dalam dirinya. Dalam hal ini,
Maslow mengungkapkan jenis-jenis kebutuhan-individu secara hierarkis, yaitu:
1. kebutuhan fisiologikal, seperti : sandang, pangan dan papan
2. kebutuhan keamanan, tidak dalam arti fisik, akan tetapi juga mental, psikologikal dan
intelektual
3. kebutuhan kasih sayang atau penerimaan
4. kebutuhan prestise atau harga diri, yang pada umumnya tercermin dalam berbagai
simbol-simbol status
5. kebutuhan aktualisasi diri.
Sementara itu, Stranger (Makmun, 2003) mengetengahkan empat jenis kebutuhan individu,
yaitu:
1. Kebutuhan berprestasi (need for achievement), yaitu kebutuhan untuk berkompetisi,
baik dengan dirinya atau dengan orang lain dalam mencapai prestasi yang tertinggi.
2. Kebutuhan berkuasa (need for power), yaitu kebutuhan untuk mencari dan memiliki
kekuasaan dan pengaruh terhadap orang lain.
3. Kebutuhan untuk membentuk ikatan (need for affiliation), yaitu kebutuhan untuk
mengikat diri dalam kelompok, membentuk keluarga, organisasi ataupun
persahabatan.
4. Kebutuhan takut akan kegagalan (need for fear of failure), yaitu kebutuhan untuk
menghindar diri dari kegagalan atau sesuatu yang menghambat perkembangannya.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi dorongan (motivasi) yang
merupakan kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan
antusiasmenya dalam melaksanakan suatu aktivitas, baik yang bersumber dari dalam diri
individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Jika kebutuhan yang serupa muncul kembali maka pola mekanisme perilaku itu akan
dilakukan pengulangan (sterotype behavior), sehingga membentuk suatu siklus.
Bentuk perilaku salah (maldjustment), diantaranya : Agresi marah, kecemasan tak
berdaya, regresi (kemunduran perilaku), fiksasi, represi (menekan perasaan), rasionalisasi
(mencari alasan), proyeksi (melemparkan kesalahan kepada lingkungan), sublimasi
(menyalurkan hasrat dorongan pada obyek yang sejenis), kompensasi (menutupi kegagalan
atau kelemahan dengan sukses di bidang lain), berfantasi (dalam angan-angannya, seakan-
akan ia dapat mencapai tujuan yang didambakannya).
Di sinilah peran guru untuk sedapat mungkin membantu para peserta didiknya agar
terhindar dari konflik yang berkepanjangan dan rasa frustasi yang dapat menimbulkan
perilaku salah-suai.Sekaligus juga dapat memberikan bimbingan untuk mengatasinya apabila
peserta didik mengalami konflik yang berkepanjangan dan frustrasi.
III. Budaya
Goodenough, 1971; Spradley, 1972; dan Geertz, 1973 mendefinisikan arti kebudayaan
di mana kebudayaan merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki
oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi
masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat
mereka berada (Sairin , 2002).
Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat
merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisble power), yang mampu menggiring dan
mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai
dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut, baik di bidang
ekonomi, sosial, politik, kesenian dan sebagainya.
Pada dasarnya pendidikan tidak akan pernah bisa dilepaskan dari ruang lingkup
kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil perolehan manusia selama menjalin interaksi
kehidupan baik dengan lingkungan fisik maupun non fisik.Hasil perolehan tersebut berguna
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Proses hubungan antar manusia dengan lingkungan luarnya telah mengkisahkan suatu
rangkaian pembelajaran secara alamiah. Pada akhirnya proses tersebut mampu melahirkan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia. Disini kebudayaan dapat disimpulkan
sebagai hasil pembelajaran manusia dengan alam. Alam telah mendidik manusia melalui
situasi tertentu yang memicu akal budi manusia untuk mengelola keadaan menjadi sesuatu
yang berguna bagi kehidupannya.
Fungsi pendidikan dalam konteks kebudayaan dapat dilihat dalam perkembangan
kepribadian manusia. Tanpa kepribadian manusia tidak ada kebudayaan, meskipun
kebudayaan bukanlah sekadar jumlah kepribadian-kepribadian.Para pakar antropologi,
menunjuk kepada peranan individu bukan hanya sebagai bidakbidak di dalam papan catur
kebudayaan. Individu adalah creator dan sekaligus manipulator kebudayaannya. Di dalam hal
ini studi kebudayaan mengemukakan pengertian “sebab-akibat sirkuler” yang berarti bahwa
antara kepribadian dan kebudayaan terdapat suatu interaksi yang saling menguntungkan. Di
dalam perkembangan kepribadian diperlukan kebudayaan dan seterusnya kebudayaan akan
dapat berkembang melalui kepribadian–kepribadian tersebut. Inilah yang disebut sebab-
akibat sirkuler antara kepribadian dan kebudayaan. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa
pendidikan bukan semata-mata transmisi kebudayaan secara pasif tetapi perlu
mengembangkan kepribadian yang kreatif.Pranata sosial yang disebut sekolah harus kondusif
untuk dapat mengembangkan kepribadian yang kreatif tersebut. Namun apa yang terjadi di
dalam lembaga pendidikan yang disebut sekolah kita ialah sekolah telah menjadi sejenis
penjara yang memasung kreativitas peserta didik.
Kebudayaan sebenarnya adalah istilah sosiologis untuk tingkah-laku yang bisa
dipelajari.Dengan demikian tingkah laku manusia bukanlah diturunkan seperti tingkah-laku
binatang tetapi yang harus dipelajari kembali berulang-ulang dari orang dewasa dalam suatu
generasi. Di sini kita lihat betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pembentukan
kepribadian manusia.
Di sinilah peran pendidikan di dalam pembentukan perilaku manusia. Begitu pula
psikolog aliran psikoanalis menganggap perilaku manusia ditentukan oleh dorongan-
dorongan yang sadar maupun tidak sadar ini ditentukan antara lain oleh kebudayaan di mana
pribadi itu hidup. John Gillin dalam Tilaar (1999) menyatukan pandangan behaviorisme dan
psikoanalis mengenai perkembangan kepribadian manusia sebagai berikut.
1. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk belajar.
2. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi perilaku
tertentu. Jadi selain kebudayaan meletakkan kondisi, yang terakhir ini kebudayaan
merupakan perangsang-perangsang untuk terbentuknya perilaku-perilaku tertentu.
3. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment” terhadap perilaku-perilaku
tertentu. Setiap kebudayaan akan mendorong suatu bentuk perilaku yang sesuai
dengan system nilai dalam kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikan hukuman
terhadap perilaku-perilaku yang bertentangan atau mengusik ketentraman hidup suatu
masyarakat budaya tertentu.
4. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses
belajar. Apabila analisis Gillin di atas kita cermati, tampak betapa peranan
kebudayaan dalam pembentukan kepribadian manusia, maka pengaruh antropologi
terhadap konsep pembentukan kepribadian juga akan tampak dengan jelas.
IV. Implikasi Prinsip Perbedaan Individual
Implikasi adanya prinsip perbedaan individual bagi siswa diantaranya adalah
menentukan tempat duduk dikelas, menyusun jadwal belajar, atau memilih bahwa implikasi
adanya prinsip perbedaan individu bagi siswa dapat berupa perilaku fisik maupun psikis.
Guru sebagai penyelenggara kegiatan pembelajaran dituntut untuk memberikan perhatian
kepada semua keunikan yang melekat pada setiap siswa. Dengan kata lain guru tidak
mengansumsikan bahwa siswa dalam kegiatan pembelajaran yang diselenggarakannya
merupakan satu kesatuan yang memiliki karakteristik yang sama.
Implikasi atau penerapan prinsip-prinsip perbedaan individual dalam proses pembelajaran,
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan guru sebagai berikut:
1. Para siswa harus dapat dibantu untuk memahami kekuatan dan kelemahan dirinya dan
untuk selanjutnya mendapat perlakuan dan layanan kegiatan belajar yang mereka
butuhkan.
2. Para siswa harus terus didorong memahami potensi dirinya dan untuk selanjutnya
mampu merencanakan dan melaksanakan kegiatan.
3. Peserta didik membutuhkan variasi layanan, tugas, bahan dan metode yang selaras
dengan minat, tujuan, dan latar belakang mereka. Hal ini terutama disebabkan para
pesrta didik cenderung memilih kegiatan belajar yang sesuai dengan pengalaman
masa lampau yang mereka rasakan bermakna untuk dirinya.
4. Para siswa harus dapat dibantu untuk memahami kekuatan dan kelemahan dirinya
serta pemenuhan kebutuhan belajar maupun bimbingan yang berbeda dengan siswa-
siswa yang lain.
5. Kesempatan-kesempatan yang tersedia untuk belajar dapat lebih diperkuat bilamana
para siswa tidak merasa terancam oleh proses yang ia ikuti serta lingkungannya
sehingga mereka memiliki keleluasan untuk berpartisipasi secara efektif dalam
kegiatan belajar.
6. Para siswa yang telah memahami kekuatan dirinya akan lebih cenderung memiliki
dorongan dan minat untuk belajar secara lebih sungguh-sungguh.
V. Aplikasi konsep perbedaan individu dalam pelajaran kimia
Dalam proses belajar, guru membagi kelompok. Siswa yang ada di dalam kelas
tersebut di bagi ke dalam beberapa kelompok. Pada tiap kelompok terdapat siswa yang
pandai dan kurang pandai. Hal ini dilakukan guru agar siswa yang kurang pandai bisa
mengerti pelajaran tentang koloid, yaitu materi Efek Tyndall. Jika di dalam kelompok hanya
terdapat, misalkan siswa yang pandai semua, maka siswa yang kurang pandai akan
mengalami kesulitan untuk memahami materi tentang Efek Tyndall tersebut. Siswa yang
kurang pandai cenderung akan malas dalam belajar, karena di dalam kelompoknya tidak ada
yang bisa membantunya untuk mengerti materi Efek Tyndall. Jadi intinya di dalam
pembagian kelompok guru harus membagi kelompok secara random atau hetrogen bukan
kelompok yang homogen, baik intelegensi, social ekonomi maupun budayanya.
Selain cara diatas ada juga cara lain dalam mengaplikasikan konsep perbedaan
individual dalam kelas , kuhsusnya kimia materi koloid. Dalam menyampaikan materi
tentang koloid guru dapat membagikan materinya menjadi sub-sub materi yang akan
disampaikan dalam beberapa kali pertemuan, misalnya pertemuan pertama membahas tentang
pengertian koloid, pertemuan ke-2 membahas tentang macam-macam koloid dan yang
terakhir tentang Efek Tydall. Maka untuk menerapkan konsep perbedaan individu ini
hendaknya guru mengunakan metode yang bervariasi dalam menyampaikan materi, misalnya
pertemuan pertama mengunakan metode ceramah sedangkan pertemuan ke-2 dan 3 bisa
menggunakan metode diskusi kelompok dan lain-lain. Hal ini dilakukan karena
mempertimbangkan banyaknya perbedaan karakteristik siswa didalam kelas karena kelas di
Indonesia pada umumnya masih bersifat klasik, yaitu dalam kelas terdapat banyak siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Alan. 2011. Perbedaan Individu dan Implikasi Dalam Pembelajaran. (online).
(http://blog.umy.ac.id/ucihaklan/2011/11/09/perbedaan-individu-dan-implikasi-dalam-
pembelajaran/, diakses tanggal 6 Januari 2013).
Depoter, Bobbi & Mike Hernachi 1999, Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman
dan Menyenangkan, Kaifa, Bandung.
Hakim, Zainal. 2010. 7 Prinsip Belajar. (online). (http://www.zainalhakim.web.id/7-prinsip-
belajar.html, diakses tanggal 7 Januari 2013).
Hartono S., 1999. Perkembangan Peserta Didik, Rineka Cipta, Jakarta
Wirapanjunan , Rivai. 2012. Prinsip-Prinsip Belajar. (online). (http://akhmadrifai1.blogspot.com/2012/12/prinsip-prinsip-belajar.html, diakses tanggal 7 Januari 2013).