Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

72
EDISI 12-DESEMBER 2011 dia dia S E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N Sosok Motor Diskusi dari Makassar Pindai Deaf Art Coommunity - Yogja Tapak Diploma untuk Tunagrahita Jendela Perintis Olimpiade Disabilitas Majalah Keluarga Humanis No. 12 - Desember 2011 Rp. 21.500,- Refleksi Hari Disabilitas FA diffa 12 ok.indd 1 11/19/11 9:53 PM

description

Laporan Utama: Refleksi Hari Disabilitas

Transcript of Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

Page 1: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

1EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

diffaS E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N

SosokMotor Diskusi dari Makassar

PindaiDeaf Art Coommunity - Yogja

TapakDiploma untuk Tunagrahita

JendelaPerintis Olimpiade Disabilitas

Majalah Keluarga HumanisNo. 12 - Desember 2011 Rp. 21.500,-

Refleksi Hari Disabilitas

FA diffa 12 ok.indd 1 11/19/11 9:53 PM

Page 2: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

2 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

FA diffa 12 ok.indd 2 11/19/11 9:53 PM

Page 3: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

3

MATA HATI M

Pemimpin Perusahaan/Pemimpin RedaksiFX Rudy Gunawan

General ManagerJonna Damanik

Redaktur EksekutifNestor Rico Tambunan

KonsultanYunanto Ali, HandoyoSinta Nuriah WahidMohamad Sobary, Jefri Fernando

RedakturIrwan Dwi KustantoAria IndrawatiMila K. KamilPurnama Ningsih

KontributorAndhika Puspita Dewi (Semarang)Fadjar Sodiq (Bandung)Jerry Omona (Papua)Muhlis Suhaeri (Pontianak)Yovinus Guntur (Surabaya)Bambang Prasetyo (Bandung)

Redaktur BahasaArwani

Redaktur KreatifEmilia Susiati

Fotografer Adrian Mulja

IlustratorDidi Purnomo

PemasaranSigit D. Pratama

AdministrasiEka Rosdiana

Distribusi dan SirkulasiJonna DamanikBerliaman HalohoPT Trubus Media SwadayaJl Gunung Sahari III/7Jakarta Pusat 10610

Diterbitkan Oleh:PT Diffa Swara MediaYayasan Mitra Netra

PercetakanPT Penebar Swadaya

Alamat RedaksiJl. Salemba Tengah No. 39 BB Lt. 2 Jakarta Pusat 12430

Telepon 62 21 44278887Faxs 62 21 3928562e-mail [email protected]

Dicari: Juru Bicara Disabilitas

3

Cove

r: W

imar

Wito

elar

& A

ria In

draw

ati

Foto

: Adr

ian

Mul

ya

EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

Ilust

rasi

: Did

i Pur

nom

o

SEANDAINYA Anda membaca sebuah iklan di surat kabar atau media online seperti ini: “Dicari: juru bicara disabilitas. Persyaratan: Mau bekerja tanpa digaji, cerdas,

peduli pada penyandang disabilitas, berhati mulia, bersedia bekerja tanpa jam kerja yang jelas, siap menghadapi rasa haru, kesedihan, dan kepedihan hidup. Apakah Anda kandidat yang tepat? Apakah Anda si manusia langka itu? Kirim lamaran Anda secepatnya.” Apa reaksi Anda membaca iklan itu? Tak bisa

tidak, kebanyakan dari kita mungkin akan menganggap itulah iklan lowongan pekerjaan paling gila, paling aneh, paling tidak bermutu, atau paling ngawur di antara semua iklan lowongan pekerjaan lain yang pernah ada di mana pun.

Namun, seorang juru bicara untuk dunia disabilitas memang harus memiliki kualifikasi yang ajaib dan gila. Nyatanya, sampai kini belum ada seorang pun yang pernah melakukan pekerjaan atau profesi itu. Yang ada adalah juru bicara presiden. Dan untuk posisi atau profesi yang pernah dijalani antara lain oleh Wimar Witoelar (juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid) itu, saya yakin ribuan atau ratusan ribu orang berlomba-lomba untuk merebutnya. Sementara, untuk posisi juru bicara penyandang disabilitas, adakah 10 orang saja yang akan tertarik untuk melamar dan melakoninya? Semoga ada. Semoga tidak hanya 10 orang, tapi mungkin 100 atau 1.000 orang. Meski sampai saat ini masyarakat masih menempatkan para penyandang disabilitas sebagai kelompok marginal atau bahkan outsider dalam tatanan masyarakat, pasti ada 10 atau 100 atau 1.000 atau bahkan 100.000 orang yang memandang penyandang disabilitas dengan cara yang benar.

Dengan adanya juru bicara, angka-angka itu bukan sebuah kemustahilan untuk dicapai. Seorang juru bicara yang tiap saat menyampaikan kepada siapa saja bahwa para penyandang disabilitas juga manusia dengan harkat dan martabat yang sama. Bahwa para penyandang disabilitas juga harus diperlakukan setara dan sederajat, meskipun membutuhkan kekhususan-kekhususan tertentu dalam aksesibilitas dan sarana pendukung lainnya. Namun mereka berhak atas hak-hak sebagai warga negara yang sama dengan warga negara lainnya. Mereka justru harus menjadi prioritas dalam menjadi tanggung jawab negara dan pemerintah yang berkuasa. Kenyataan yang ada sampai saat ini sangat bertolak belakang dengan hal-hal seharusnya itu. Dan tak pernah ada juru bicara yang lantang menyuarakan suara para penyandang disabilitas di negeri ini. Tidak pernah ada sosok yang mengabarkan bahwa para penyandang disabilitas telah melakukan banyak hal dan mampu melakukan lebih banyak hal lagi jika punya kesempatan yang sama.

Semoga segera lahir juru bicara disabilitas yang memiliki kualitas dan kualifikasi seperti iklan di atas. Di tengah semangat peringatan Hari Penyandang Cacat Sedunia dan semangat perayaan Natal yang maknanya kira-kira juga semacam kelahiran juru bicara yang tak digaji, bekerja 24 jam sehari, dan siap mengorbankan nyawa untuk menyampaikan suara Tuhan, mari kita bersama-sama berharap lahir juru bicara disabilitas yang siap mendedikasikan hidupnya untuk menyuarakan hak para penyandang disabilitas. FX Rudy Gunawan

1EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

diffaS E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N

SosokMotor Diskusi dari Makassar

PindaiDeaf Art Coommunity - Yogja

TapakDiploma untuk Tunagrahita

JendelaPerintis Olimpiade Disabilitas

Majalah Keluarga HumanisNo. 12 - Desember 2011 Rp. 21.500,-

Refleksi Hari Disabilitas

DRAF diffa 12.indd 1 11/19/11 8:30 PM

FA diffa 12 ok.indd 3 11/19/11 9:53 PM

Page 4: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

4 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

SAMBUNG RASAC

Diffa Menumbuhkan Empati

Ilust

rasi

: Did

i Pur

nom

o

4 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

Di indonesia masih sangat kurang perhatian dan informasi tentang penyandang disabilitas , saya sangat senang dengan adanya majalah DIFFA. Membaca majalah diffa membuat wawasan saya semakin luas melalui bermacam informasi yang disajikan di dalamnya. Saya percaya dengan pemahaman yang benar dan wacana yang luas, pada akhirnya akan menimbulkan rasa empati saya terhadap teman-teman penyandang dissabilitas. Lalu akhirnya empati itu akan terus tumbuh dalam diri saya dan seluruh pembaca diffa lainnya. Walaupun saya belum dapat memberikan sesuatu yang berarti buat teman-teman penyandang disabilitas. saya berharap suatu hari nanti bisa menyumbangkan sesuatu bagi mereka. Sama seperti majalah diffa yang dapat memberikan informasi berbobot juga jalan keluar bagi teman-teman disabel...

“Matahari baru saja terbit. Maju terus majalah DIFFA “Terima kasih.

salam diffa,

SARAHibu rumah tangga di Gunung Putri.

FA diffa 12 ok.indd 4 11/19/11 9:53 PM

Page 5: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

5EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

3 Dicari: Juru Bicara Disabilitas

14

24

DAFTAR ISI D

6 Kocak dan Bersemangat

7 Refleksi Hari Disabilitas

Iis MasdianaMotor Pendidikan inklusif dari Makassar

32 Kolom Kang Mas Bejo

34 Menyiapkan ABK Memasuki Pendidikan Inklusif

37 Alat Bantu Tunadaksa

43 Perintis Olimpiade Penyandang Disabilitas

46 Puisi, Cermor, Cerpen, Kreasi

51 Seni Dalam Dunia Sunyi

60 SDN Putraco Indah Bandung

Mendidik dengan Hati

65 Bisikan Angin

Endang RahayuPemerintah Jangan Bingung

21

Dan baca tulisan menarik lainnya...

Diploma Degree untuk Tunagrahita

28 Betapa Kecilnya Manusia di Katedral Koln

58 Biografi

17 Air dan Kesehatan

Sejak tahun 1992, PBB menetapkan tanggal 3 Desember sebagai Hari Penyandang Cacat Internasional. Beberapa tokoh berbicara tentang kondisi negara kita hingga hari disabilitas tahun ini. Sudah sejauh mana kita melangkah maju? Apa yang masih harus kita kejar?

STEVIE WONDERMusikus Tunanetra Top Dunia

FA diffa 12 ok.indd 5 11/19/11 9:53 PM

Page 6: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

6 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

CERITA SAMPULC

Kocak dan Bersemangat

foto

: Sig

it D

Pra

tam

a

“SAYA juga sekarang seorang disabel,” gurau Wimar Witoelar ketika saya dan Adrian Mulya tiba di kantornya, di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Seperti biasa, semangat besar bercampur kekocakan terpancar dari sosok subur, yang oleh kalangan dekatnya biasa dipanggil WW

ini.. Ditemani asistennya, WW terus bercanda mengenai banyak

tokoh yang saat ini beranjak menjadi penyandang disabilias. Ada yang menjadi sulit untuk berjalan dan butuh bantuan seperti dirinya. Ada penglihatan dan pendengarannya jadi menurun karena bertambahnya usia. Itu wajar, tidak perlu disesali atau dibuat pusing, kata WW. Ia sendiri mengaku tetap sehat karena tidak memiliki pantangan terhadap makanan, memakan apapun yang dia mau dan itu membahagiakan perasaannya.

Karena WW memiliki acara lain yang harus dihadiri, sementara Adrian men-setting peralatan, saya tanpa henti terus mencoba menghubungi Arya, yang rencananya jadi model pendamping WW dalam pemotreran itu. Setelah menunggu sekitar sejam, Arya datang juga. Saat bertemu dan mengetahui Arya kawan keponakannya yang juga tunanetra, WW kembali bersemangat. Ia ngobrol dengan sangat akrab dengan Arya sambil sesekali bercanda.

Adrian tidak membuang kesempatan. Berbagai posisi dan interaksi antara WW dan Arya, redaktur diffa yang menyandang low vision, dicoba dieksplorasi. Pose yang seharusnya WW berdiri ia sarankan diganti dengan alasan berat badannya membuat kakinya sulit menopang tubuh tanpa alat bantu atau bantuan asistennya. Adrian setuju saja. Ia merasa senang, karena pemotretan siang berlangsung lancar dan menyenangkan. Hasilnya pun memuaskan. Terutama karena sikap WW yang selalu bersemangat. Dan kocak. * Sigit

FA diffa 12 ok.indd 6 11/19/11 9:53 PM

Page 7: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

7EDISI 12-DESEMBER 2011diffa 7diffa

RETINA

foto-foto: Nestor Rico Tambunan

Refleksi Hari Disabilitas

EDISI 12-DESEMBER 2011

FA diffa 12 ok.indd 7 11/19/11 9:53 PM

Page 8: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

8 diffaEDISI 12-DESEMBER 20118 EDISI 12-DESEMBER 2011 diffa

foto: FX Rudy Gunawan

FA diffa 12 ok.indd 8 11/19/11 9:53 PM

Page 9: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

9EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

RETINA

diffa EDISI 12 -DESEMBER 2011

SEJAK tahun 1992, PBB menetapkan tanggal 3 Desember sebagai Hari Penyandang Cacat Internasional. Beberapa tokoh berbicara tentang kondisi negara kita hingga hari disabilitas tahun ini. Sudah sejauh mana kita melangkah maju? Apa yang masih harus kita kejar?

Risnawati:Pemahaman Kita Belum Sama

Risnawati (38 tahun), Manajer United Cerebral Palsy (UCP) - Wheels for Humanity Indonesia, lembaga nonprofit yang menyalurkan kursi roda gratis kepada para penyandang disabilitas di Indonesia, menilai negara kita masih memprihatinkan dalam berbagai hal penanganan disabilitas. “Persoalan utama disabilitas di Indonesia adalah ketidakpahaman. Belum menjadi mainstream secara nasional,” ujarnya.

Menurut master cum laude lulusan Brandeis University, Amerika Serikat, yang juga penyandang disabilitas ini, dari tahun 1990-an hingga sekarang kemajuan berarti yang dicapai Indonesia hanya di bidang pendidikan. “Sudah bagus. Pendidikan inklusif sudah ada peraturan menteri. Sampai kabupataten/kota sudah ada APBD yang mendukung pendidikan inklusif. Itu saja yang menonjol selama ini,” ujar sarjana hukum lulusan UNS Surakarta ini.

Namun sektor lain, seperti kesehatan dan aspek-aspek lain, masih sangat kurang. Misalnya kesehatan. Akses ke puskesmas, home visit untuk penyandang disabilitas, umumnya masih dilakukan LSM dan lembaga sosial. Dari pemerintah belum memiliki paradigma tentang isu kesehatan itu sendiri di dalam setiap program. “Belum menjadi mainstream. Belum sampai ke ada program di APBD,” tegas wanita asal Yogya ini.

Dalam bidang pekerjaan pun begitu. Adanya peraturan perusahaan wajib memberikan kesempatan kerja 1 persen dari jumlah pekerja justru jadi pembenaran bagi perusahaan untuk tidak menerima penyandang disabilitas. “Kalau karyawan sudah ada 100 kan baru menerima satu orang. Dia tidak harus menerima, karena karyawan belum ada 100,” ujarnya.

Mbak yang ramah dan telah membagikan 1.500 kursi roda secara gratis ini punya pengalaman pahit mengenai kesempatan kerja. Meski menyelesaikan pendidikan tepat waktu dan mendapat nilai baik ketika lulus dari Fakultas

foto-foto: Nestor Rico Tambunan

foto-foto: Nestor Rico Tambunan

FA diffa 12 ok.indd 9 11/19/11 9:53 PM

Page 10: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

10 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

RETINA

10 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

foto: Adrian Mulya

FA diffa 12 ok.indd 10 11/19/11 9:53 PM

Page 11: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

11EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

Hukum UNS, ia ditolak menjadi dosen di almamaternya itu karena kondisinya yang harus memakai kursi roda.

Di bidang aksesbilitas pun, menurut Risna, Indonesia masih sangat jauh tertinggal dibanding negara lain. “Ngeri, kalau itu,” ujarnya. Karena itu, dalam perancangan praturan daerah mengenai disabilitas di Yogyakarta, ia dan para stakeholder berusaha membuat mekanisme monitoring. “Ketika ada komplain, siapa yang handle di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota? Ada semacam ombudsman untuk mengatakan pemerintah salah,” jelasnya.

Menurut Risna, di luar negeri, misalnya di Amerika Serikat, semua sudah bagus, karena sudah ada sistemnya. Keterkaitan antara sektor privat, pemerintah, LSM, dan masyarakat sudah jalan. Misalnya, kalau ada perusahaan yang mendonorkan dana ke kegiatan sosial, ia otomatis ada pengurangan pajak. “Kita nggak ada. Mekanisme perpajakan itu bagus untuk mengurangi masalah-masalah sosial di Amerika.”

Sistem itu jalan karena kesadaran korporasi, privat sector sudah besar. Di sana, kalau mengadakan malam dana, sehari semalam bisa mendapat US$ 1 miliar. “Ya sudah, saya beli tiket ini US$ 5.000 untuk membantu 40 anak di Afrika. Ada perusahaan penerbangan yang menyumbang US$ 100.000. Ada perusahaan kargo yang membantu mengangkut bantuan gratis ke Afrika. Ini berbuat di apa, itu berbuat di apa, terus diberikan reward. Di kita kan nggak, masih sendiri-sendiri. Itu yang kita perlukan. Kesamaan pemahaman, mainstreaming secara nasional,” kata Risna.

Bambang Basuki:Kini Menjadi Hak

Bambang Basuki, Direktur Eksekutif Mitra Netra, lembaga nonprofit yang dinilai sebagai lokomotif kemajuan tunanetra di Indonesia dalam 20 tahun terakhir, menilai pengesahan Convention on the Right of Persons with Disabilities (CRPD) - Konvensi mengenai Hak Penyandang Disabilitas menjadi undang-undang pada 18 Oktober 2011 sebagai tonggak dan lonjakan kemajuan.

“Bicara soal kemajuan, saya memberi apresiasi pada pengesahan CPRD. Ini kemajuan besar. Saya harus akui, panglimanya Pak Siswadi (mantan Ketua PPCI),” ujar Bambang.

Pemimpin Mitra Netra sejak berdiri (1991) ini menjelaskan, sebelumnya memang kita sudah memiliki Undang-undang Penyandang Cacat. Tapi UU itu lebih pada pendekatan sosial. Memberi kesempatan yang sama melalui aksesbilitas. “Itu inti UU Penyandang Cacat. Memberikan kesempatan yang sama melalui kesetaraan perlakuan.”

Bedanya dari CPRD, konvensi ini bukan menyangkut masalah kesempatan saja, tapi lebih banyak bertitik tolak pada hak. “Penyandang disabilitas berhak mendapat perlakukan khusus. Special treatment.”

Menurut ayah tiga anak ini, inilah kerja bangsa Indonesia ke depan. Pelaksanaan UU ratifikasi tersebut. “Yang terpenting adalah paradigma hak. Mereka berhak mendapat perlakukan khusus. Kalau cocoknya memang dengan Braille, ya harus dengan Braille. Kalau waktu perlu ditambah, ya harus ditambah. Sudah hak dia. Bukan lagi filantropi.

Bukan karena berbaik hati.” Pihak yang paling bertanggung

jawab dalam hal ini, menurut Bambang, adalah negara. “Negara di dalamnya ada pemerintah, ada DPR, ada rakyat. Banyak yang perlu diperhatikan. Bagaimana mendekati kepentingan kaum disabilitas dengan segala ekspertis (SDM)-nya, layanannya, dan sebagainya.”

Bambang memberikan contoh tentang tunanetra. Mengapa tunanetra maju? Karena ada yang menggarap. Karena ada Mitra Netra dan yang lain. Kalau dalam kursi roda, siapa yang bisa membuat kursi roda yang ringan, yang harganya murah. “Jadi, tidak cukup hanya menuntut atau melakukan pressure, tapi harus ada lokomotifnya. Tidak cukup hanya dengan menuntut orang. Tidak cukup hanya dengan menuntut negara. Tapi bagaimana di negara kita ini muncul sistem. Sistem yang bisa membuat hak disabilitas terlayani,” jelasnya.

Dalam sistem ini, semua mengambil peran masing-masing. Dalam sistem pendidikan, misalnya, sekolahnya ada, gurunya ada. Tapi tidak cukup hanya itu. Bagaimana layanannya? Untuk anak autis bagaimana? Untuk cacat tubuh bagaimana?

Bambang memberikan contoh penyediaan informasi dan komunikasi untuk tunanetra, khususnya dalam bidang literasi. Mitra Netra sudah membangun sistem yang sesuai dengan Indonesia. Membuat sistem berbasis IT dalam bentuk perpustakaan online. Orang bisa mengunduh dan mencetak di mana saja ada printer Braille.

Sistem yang dibuat Mitra Netra, menurut Bambang, mestinya jadi sistem nasional. Dalam sistem ini Mitra menjadi administrator atau

FA diffa 12 ok.indd 11 11/19/11 9:53 PM

Page 12: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

12 diffaEDISI 12-DESEMBER 201112 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

operator. Kemudian lembaga lain menjadi suplier, dan pemerintah mendukung dengan dana. “Kalau ada lima lembaga yang memproduksi, itu luar biasa. Dan ini mestinya ada di dalam anggaran nasional. Ini yang sama sekali belum. Dukungan pemerintah dalam sistem nasional.”

Ratnawati:Tanggung Jawab Bersama

Ratnawati, pemimpin Precious-One, perusahaan yang memproduksi aneka kerajinan dan khusus mempekerjakan penyandang tunarungu, menekankan perlunya kebersamaan secara nasional dalam menangani persoalan penyandang disabilitas, khususnya dalam bidang kesempatan kerja. “Saya percaya pemerintah juga memikirkan kaum disabilitas. Saya percaya pemerintah sedang menggodok sesuatu. Dalam segala kekurangan ini, kita perlu duduk sama-sama, untuk memikirkan hak-hak penyandang disabilitas” ujarnya

Wanita enerjik kelahiran Semarang yang belakangan sibuk kampanye dan melakukan pelatihan/bursa kerja untuk penyandang disabilitas ini optimistis karena sekarang makin banyak orang dan pihak yang peduli dan berjuang untuk kalangan disabilitas. “Contohnya majalah diffa ini. Kita bersatu dengan orang-orang dan pihak yang peduli pada disabilitas, dengan instansi-instansi yang berkaitan atau bergerak di bidang disabilitas. Kita duduk bersama-sama untuk memikirkan dan mencari solusi persoalan yang terjadi,” ujarnya.

Seperti ditekankan Risnawati, Ratna menilai perlu kesamaan pandang atau mainstream secara

nasional untuk menangani persoalan disabilitas. “Kita berangkat dari persoalan-persoalan dan kenyataan yang ada. Kita merapatkan barisan. Kita duduk sama-sama untuk memutuskan yang perlu pemerintah kita bantu. Dan kita, dunia disabilitas, juga butuh dukungan pemerintah,” ujarnya.

Pada akhirnya, seberapa jauh kita telah melangkah, seberapa banyak ketertinggalan yang harus kita kejar, memang yang terpenting kesamaan pandang dan niat yang sungguh-sungguh untuk berbuat. * Nestor

!

Tidak cukup hanya dengan

menuntut negara. Tapi bagaimana

di negara kita ini muncul sistem.

Sistem yang bisa membuat hak

disabilitas terlayani,

12

FA diffa 12 ok.indd 12 11/19/11 9:53 PM

Page 13: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

13EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

S E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A Ndiffa

FORMULIR BERLANGGANAN

MAJALAH

NOTE:Setelah formulir ini diisi, harap di fax, email atau kirim langsung ke redaksi beserta bukti pembayarannya. Harga diatas adalah untuk biaya pengiriman dan hanya berlaku untuk wilayah Jakarta, silahkan hubungi kami untuk pengi riman di luar Jakarta.Alamat Redaksi Diffa: Jl. Salemba Tengah No. 39 BB Lt. 2 Jakarta Pusat 12430Telepon 62 21 44278887 Faxs 62 21 3928562

!

www.majalahdiffa.com

PT Diffa Swara MediaJl. Salemba Tengah 39 BB Lt. 2Jakarta Pusat 12430 Telp. 62 21 44278887 Fax. 62 21 3928562email: [email protected]

DATA PELANGGAN Nama Lengkap : No. KTP : Laki-laki Perempuan Tanggal Lahir : Alamat sesuai KTP : Kota : Kode Pos : Telp Ktr/Rmh: Hp: E-mail : Ingin berlangganan majalah :

6 bulan 12 bulan

ALAMAT PELANGGAN Alamat : Kota : Kode Pos : Telepon :

qq 4Beri tanda pada pilihan

q q

* berlangganan 6 bulan, cukup bayar 5 bulan tidak termasuk ongkos kirim ** berlangganan 1 tahun, cukup bayar 10 bulan tidak termasuk ongkos kirim

PT Trubus Media SwadayaJl Gunung Sahari III/7Jakarta Pusat 10610Telepon 62 21 4204402, 4262318Fax 62 21 4269263

Sirkulasi dan Distribusi

Redaksi

Pembayaran dapat ditransfer ke Bank BNI cabang Cibinong Nomor Rekening: 0209611833 atas nama FX. Rudy Gunawan

FA diffa 12 ok.indd 13 11/19/11 9:53 PM

Page 14: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

14 diffaEDISI 12-DESEMBER 201114

EMPATIE

Pemerintah Jangan Bingung

Endang Rahayu

diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

foto: Sigit D. Pratama

FA diffa 12 ok.indd 14 11/19/11 9:53 PM

Page 15: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

15EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

ENDANG Rahayu salah seorang yang merasakan betapa tak mudah menjadi orangtua yang memiliki anak penyandang disabilitas di negeri ini. Sejak dari SD ia selalu kesulitan dan mencari sekolah buat

anak bungsunya, yang terlahir menyandang tunagrahita. “Disini ditolak, disana ditolak,” kenangnya.

Dari kesedihan itu, Endang kemudian nekad mendirikan Rumah Kampus, sebagai tempat belajar bagi anak-anak muda penyandang disabilitas keterkelambatan berpikir (tunagrahita), bekerjasama dengan Program Diploma IPB Bogor.

Endang sedikit banyak memahami perkembangan problematika dunia disabilitas di Indonesia. Berikut petikan percakapan diffa dengan ibu dua anak yang selalu penuh semangat ini.

Menurut Ibu apa kelemahan negara kita dalam penanganan pendidikan disabilitas?

Negara kita masih menjadikan penyandang disabilitas menjadi penduduk yang diberi kesempatan nomor akhir. Padahal kita mestinya harus melihat ada celah-celah positif yang bisa digali dari mereka. Untuk pendidikan, kemajuannya memang ada. Tunarungu, tunanetra, mungkin sudah lebih maju. Tapi untuk anak-anak yang lamban berpikir, yang tunagrahita belum banyak kesempatan.

Padahal kita mau bantu. Kita tidak minta dana, tapi kebijakan dan akses. Tapi pemerintah rada malas memikirkan anak disabilitas. Harusnya pemerintah itu punya tim work yang kuat kalau ingin pendidikan ini merata. Kalau kita duduk bersama saya rasa bisa rata semua.

Ibu melihat belum ada bantuan pemerintah?Dalam kaitan dengan tunagrahita, saya tidak

melihat ada bantuan, katakanlah kebijakan. Kita pengelola ini dikasih tuntunan saja deh, jangan dana. Ini lho, kebijakannya begini, seharusnya Anda begini. Pemerintah pola pikirnya kaku sekali. Bahwa anak-anak ini tidak bisa maju. Sudahlah, disabilitas tidak bisa apa-apa. Memang, disabilitas tetap disabilitas, tetapi ada celah yang bisa kita gali. Pemerintah tidak harus melaksanakan. Tapi beri adviced, bimbingan..

Kenapa bisa begitu?Saya lihat pemerintah bingung. Di sini down

syndrome, di sini autis, di sana tunagrahita, di sini

tunanetra, di sana tunarungu. Dia bingung. Ini mau diapain? Padahal departemenya banyak. Saking bingung, jadinya lebih banyak nonton.

Bagaimana dengan pendidikan inklusi?Saya melihat inklusi masih terbatas. Tidak semua

sekolah bisa melaksanakan. Inklusi itu butuh dana besar. Anak-anak disabilitas masih tetap terhambat. Bahkan guru-guru SLB pun harus ditatar habis. Ketika melihat anak-anak seperti itu, mengajarnya asal. Karena pola pikirnya anak disabilitas sudah nggak bisa apa-apa. Tidak bisa seperti itu. Makanya, Indonesia majunya tidak terlalu cepat. Tidak seperti negara maju. Nggak usah negara jauh, yang dekat saja, seperti Australian, Malaysia, atau Singapura. Mereka itu betul-betul memperlakukan bagus sekali. Kenapa kita yang sebegini kaya, budayanya banyak, nggak bisa? Di sini yang ada cuma kasihan.

Bagaimana dengan organisasi penyandang disabilitas?

Kita sudah punya organinasi, yayasan, LSM, dan macam-macam. Itu harusnya menjadi satu. Membentuk forum komunikasi dari berbagai komunitas disabilitas untuk kerjasama, saling berbagi dan saling isi. Kita bersatu, duduk sama-sama untuk sharing dan fight ke pemerintah. Yang paling dasar itu para orangtua. Kendalanya kita tidak pernah bersama, jalan masing-masing. Kalau ada komunikasi, kita bisa saling bantu. Kalau autis, baiknya ibu ke sana. Kalau tunagrahita, mestinya ke sana. Mestinya ada forum komunikasi. diffa mestinya bisa menjadi mediator untuk itu. Kita harus bersama. Dengan begitu pendidikan akan jadi bagus.

Bagaimana dengan peran masyarakat? Kekurangan para orangtua, kalaupun mereka

mampu, mereka akan berpikir untuk mengeluarkan biaya untuk kuliah atau wirausaha. Kalau punya anak banyak, yang mana didukung, yang menyandang disabilitas atau yang lain? Itu kelemahan orangtua yang punya anak disabilitas.

Masyarakat juga masih banyak yang belum mendukung. Mungkin harus ada pemahaman terhadap masyarakat. Kalau ada anak seperti ini, tidak perlu ditonton. Masyarakat harus bisa satu pemikiran, sama cara pandangnya. Tidak mencibir, tidak menonton, tidak menjadikan itu disabilitas itu satu aib. Kalau menonton Hari Penyandang Cacat Internasional, yang ditonton

FA diffa 12 ok.indd 15 11/19/11 9:53 PM

Page 16: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

16 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

yang cacatnya. Lalu, yang keluar, kasihan ya. Mestinya masyarakat sama cara memandangnya.

Mestinya mereka itu ada yang bimbing, supaya pola pikirnya sama, supaya dia ngerti. Misalnya, kalau kamu lihat anak seperti itu, kamu harus bantu. Tapi yang siapa yang melakukan? Saya melihat PKK. Posyandu, Karang Taruna, bisa melakukan itu. Membina keluarga dan pola didik orangtua.

Ibu kelihatan sangat bersemangat mengurus Rumah Kampus. Apa dasarnya?

Masing-masing anak itu punya potensi. Setiap anak mungkin berbeda, tapi perbedaan itu bisa kita satukan. Misalnya ada yang tidak suka perikanan, kita ajak mencoba bersama-sama. Mereka mencoba, akhirnya bisa. Mereka jadi tahu, bagaimana ikan yang stress dan

Rumah Kampus resmi berdiri sejak Maret 2008.

Kampusnya berlokasi di rumah milik keluarga Endang

Rahayu, di Jl. Karet Asem Raya, Utan Kayu, Jakarta

Timur. Tujuan Rumah Kampus adalah memberi

bekal hidup bagi para mahasiswanya. Selama dua

tahun (4 semester) mereka diajari keterampilan dan

manajemen praktis, seperti budidaya ikan, produk

olahan hasil pertanian, promosi dan pemasaran,

dan berbagai praktek yang berkaitan, seperti bahasa

Inggris, pengetahuan komputer, dan sebagainya.

Mahasiswa angkatan pertama dan kedua terdiri dari

12 mahasiswa, 11 laki-laki dan seorang mahasiswi.

Mereka berumur 20 – 30 tahun dengan beragam

tingkat keterbatasan. Lulusan pendidikan ini akan

mendapat sertifikat diploma dari IPB.

tidak stress. Mana yang jantan, mana yang betina. Yang tadinya beberapa orang tidak suka, akhirnya menyatu, sama-sama suka. Itu tergantung bimbingan kita. Kalau celah itu kita gali, kita bimbing, akhirnya mereka jadi bisa.

Apa kunci menggali “celah” itu?Tujuan harus ke arah yang sama. Tidak bisa tujuan

berbeda. Mungkin ada yang lamban, ada yang lebih lamban, kita berikan yang pas. Contohnya, kita coba memelihara ikan lele yang panen dua bulan, dengan makan yang herbal, yang sehat. Mind set-nya itu ikan sehat. Anak-anak ini kalau diberikan mind set yang kurang baik, akan selamanya kurang baik. Advice, bimbinan itu penting. Kita satukan, kita samakan. Pendidikan kan begitu.

Ibu optimis mereka bisa?Ya. Di mahasiswa regular IPB juga terjadi, ada

kelompok mahasiswa yang rajin merawat ikan dan hasilnya baik, ada kelompok lain yang malas dan hasilnya tidak baik. Anak-anak di Rumah Kampus malah lebih bagus. Kan mereka kalau disuruh, kasih makan ikan tepat waktu, mereka akan lakukan. Mereka punya sisi positip. Mereka tekun belajar. Tertib. Tidak main-main, seperti mahasiswa regular, misalnya ikan dilempar-lempar.

Harapan dan rencana Ibu ke depan?Saya ingin ada IPB-IPB lain untuk anak-anak

disabilitas, mau berbuat dan memikirkan pendidikan anak-anak disabilitas. Karena banyak anak-anak disabilitas yang perlu masa depan. Sehingga akan tercipta lapangan pendidikan dan kerja untuk mereka. Tidak menyusahkan pemerintah, tidak menyusahkan keluarga, dan bisa bekerja mandiri.

Saya akan jalan terus, dengan dua tau tiga atau empat mahasiswa. Karena yang terpenting, behavior anak-anak. Perilakunya kita perbaiki. Perilakunya baik, akademiknya akan lebih baik. Pemerintah mestinya memberi dukungan. Saya bingung kalau mereka menutup kesempatan buat anak-anak disabilitas. * Nestor

FA diffa 12 ok.indd 16 11/19/11 9:53 PM

Page 17: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

17EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

& Kesehatan

BUGAR B

17EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

dapat memperkuat daya tahan tubuh dari infeksi virus. Berendam di air panas pegunungan yang mengandung belerang dipercaya dapat menyembuhkan pelbagai penyakit kulit dan alergi. Jika kelelahan seusai berjalan, dianjurkan merendam kaki dengan air panas yang dibubuhi garam. Rendaman ini dapat merilekskan otot-otot kaki dan menghilangkan rasa pegal.

Mandi dengan shower lebih baik dibandingkan dengan mandi menggunakan gayung. Jatuhnya iar melalui shower ke tubuh memiliki efek pijatan, jadi lebih nyaman rasanya.

Nutrisi PentingAir merupakan salah satu nutrisi penting

yang wajib kita konsumsi sehari-hari. Kita bisa tahan lebih lama tanpa makan, namun

tak akan tahan terlalu lama tanpa minum. Organ tubuh penting yang dalam bekerjanya paling membutuhkan air adalah “ginjal”. Ginjal adalah organ dalam, terletak di wilayah perut atau abdoment, berbentuk seperti kacang, panjang sekitar12 cm dengan ketebalan sekitar 5 cm, dan memiliki berat lebih kurang 150 gram.

Fungsi penting ginjal adalah menyaring darah, mengeluarkan racun-racun dan zat-zat lain yang tidak diperlukan tubuh,

dan membuangnya melalui saluran urin dalam bentuk air seni. Dalam sehari darah kita

melewati ginjal 350 kali. Untuk menjalankan tugasnya, ginjal membutuhkan air. Yang dimaksud adalah “air putih”, bukan kopi, minuman bersoda, atau minuman beralkohol.

AIR adalah salah satu elemen penting dalam kehidupan kita. Untuk hidup sehari-hari, kita perlu air. Air kita perlukan untuk minum, mandi, memasak, mencuci, dan sebagainya.

Secara fisiologis, 70% dari tubuh kita terdiri dari unsur air. Unsur Air di dalam tubuh terdapat pada sel, tulang, darah, dan beberapa organ seperti otak, mata, dan jantung.

Itu sebabnya kita wajib menjaga agar bumi tetap hijau agar ada tumbuh-tumbuhan yang menyimpan air. Menjaga agar sungai, danau, mata air, laut, dan sumber-sumber air lainnya tetap bersih. Semua itu dimaksudkan agar seluruh makhluk hidup dapat terpenuhi kebutuhannya akan air, dari generasi ke generasi.

Perawatan dari Luar.Salah satu fungsi air bagi kesehatan tubuh

kita adalah menjaga dan merawat kebugaran dan kesehatan dari luar.

Kita dianjurkan mandi sekurang-kurangnya dua kali sehari, mencuci rambut sekurang-kurangnya dua hari sekali. Sentuhan air di sekujur tubuh dapat menyegarkan tubuh dan menstimulasi proses regenerasi sel. Mereka yang terbiasa mandi dengan air dingin, terutama di pagi hari, biasanya lebih tahan terhadap infeksi virus.

Berendam di dalam air pun salah satu upaya untuk menjaga kesehatan. Bahkan merupakan salah satu terapi untuk penyakit tertentu. Masyarakat beberapa negara di Eropa misalnya, memiliki kebiasaan berendam di sungai saat musim dingin. Aktivitas ini diyakini

FA diffa 12 ok.indd 17 11/19/11 9:53 PM

Page 18: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

18 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

Kita yang tinggal di daerah tropis dianjurkan minum air putih 8 hingga 10 “gelas air minum” sehari – atau setara dengan 2 liter, niscaya ginjal akan sehat dalam jangka panjang. Air minum yang dikonsumsi pun harus air yang sehat, tidak berbau, tidak berwarna, harus bening, tidak mengandung bakteri dan zat-zat yang membahayakan tubuh.

Waktu MinumRasa haus adalah tanda bahwa tubuh kita sedang

membutuhkan air. Jadi, minumlah air putih saat rasa haus datang. Pada orang yang berada di ruang ber-AC, meski tak terlalu dirasakan, penguapan tetap terjadi. Jadi, minumlah meski tak merasakan terlalu haus. Apalagi seusai berolah raga. Setelah berolah raga, biasanya kita akan berkeringat. Keringat adalah mekanisme alamiah tubuh untuk membuang racun dan menetralkan suhu badan. Minumlah secukupnya setelah berolahraga, untuk menggantikan cairan tubuh yang keluar melalui keringat.

Ditinjau dari siklus tubuh kita, saat membuang adalah di pagi hari, mulai pukul 04.00 hingga pukul 12.00. Banyak minum air putih antara pukul 04.00 hingga pukul 12.00 akan sangat membantu proses pembuangan. Banyak minum air di pagi hari juga membantu agar tetap segar sepanjang hari, tak terlalu merasa lelah meski banyak melakukan aktivitas. Konsumsi air yang cukup juga membantu menstabilkan tekanan darah dan membantu jantung agar bekerja dengan baik.

Air juga berperan dalam bekerjanya organ pencernaan. Konsumsi air dan makanan berserat yang cukup akan mempermudah proses pembuangan sisa-sisa makanan oleh usus besar. Serat yang terkandung dalam makanan akan mengikat dan menyerap air. Dengan

demikian, saat membuang sisa makanan tak perlu mengejan dan dapat terhindar dari sakit ambeien atau wasir.

Minum air putih biasa lebih baik daripada air dingin. Mengapa? Proses pendinginan dapat mematikan nutrisi penting – mineral-mineral – yang terkandung di dalam air, yang diperlukan tubuh. Apalagi jika minum dilakukan di tengah aktivitas berolah raga. Meminum air dingin di tengah aktivitas berolah raga akan membuat kita menjadi lemas.

Jangan minum di sela-sela makan dan jangan minum terlalu banyak seusai makan. Ini dapat mengganggu

kinerja lambung. Saat makan atau seusai makan, lambung kita akan menghasilkan enzim-enzim yang diperlukan untuk mencerna makanan. Minum di sela-sela makan atau terlalu banyak minum setelah makan dapat mengganggu lambung dalam memproduksi enzim-enzim yang diperlukan untuk mencerna makanan. Akibatnya lambung tak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Jika ini sering dilakukan, dapat menjadi salah satu penyebab infeksi lambung. Minumlah yang cukup di antara waktu-waktu makan.

Cukup minum juga bermanfaat untuk menjaga kesehatan dan kecantikan kulit. Air membuat kulit lembab, lembut, halus, dan kenyal. Air membantu kulit membuang kotoran dan racun melalui pori-pori, sehingga dapat mencegah timbulnya jerawat.

Akibat Kurang MinumOrgan yang paling terganggu jika kurang minum

adalah “ginjal”. Ginjal membutuhkan air yang cukup untuk membersihkan darah dari zat-zat yang tak diperlukan tubuh. Jika tidak mengonsumsi cukup air, zat-zat yang seharusnya terbuang melalui urin akan tertinggal di ginjal. Jika hal ini berlangsung terus-

FA diffa 12 ok.indd 18 11/19/11 9:53 PM

Page 19: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

19EDISI 12-DESEMBER 2011diffa 19EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

menerus, lambat laun akan mengalami gangguan ginjal berikut efek sampingnya.

Misalnya, jika punya kebiasaan mengonsumsi makanan yang asin, ginjal membutuhkan cukup air untuk mengeluarkan kelebihan garam di dalam darah. Kurangnya konsumsi air berakibat sisa garam tertinggal di dalam ginjal dan dapat memicu naiknya tekanan darah. Contoh lain, jika terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung purin tinggi, misalnya unggas, kedelai dan produk turunannya, bayam, dan kacang-kacangan. Kelebihan purin harus dibuang oleh ginjal dan untuk membuang kelebihan purin, ginjal membutuhkan cukup air. Jika tidak, kelebihan purin akan tertinggal di ginjal dan akan memicu tingginya asam urat serta tumbuhnya batu asam urat di ginjal.

Konsumsi minuman bersoda dan minuman beralkohol secara terus-menerus dalam jangka panjang, yang tidak dibarengi konsumsi air yang cukup untuk membantu ginjal membuang racun-racun dari minuman tersebut, secara perlahan akan merusak ginjal.

Gangguan dan kerusakan ginjal sering terjadi secara perlahan. Pada umumnya, gejala yang dirasakan, yang biasanya datang dan pergi, adalah “sakit di punggung bagian bawah atau sakit pinggang”. Jika gangguan ginjal ini mencapai stadium tinggi, organ berbentuk kacang ini tak dapat lagi menjalankan fungsinya – untuk mencuci darah dan kita akan membutuhkan ginjal buatan. Dengan kata lain, membutuhkan tindakan cuci darah.

DehidrasiDehidrasi adalah kondisi tubuh kekurangan air.

Penyebabnya antara lain mengalami diare hebat, berada di tempat dengan suhu sangat panas, sehingga mengalami penguapan hebat dan atau berkeringat hebat.

Dehidrasi dapat berdampak fatal. Orang yang mengalami dapat kehilangan kesadaran, kejang-kejang, hingga meninggal dunia.

Untuk mengatasinya, orang yang mengalami dehidrasi harus segera minum sebanyak mungkin, untuk menggantikan cairan tubuh yang keluar. Untuk mempercepat masuknya cairan pengganti, tindakan infus biasanya juga dilakukan.

Orang Indonesia yang tinggal di daerah tropis dan sehari-hari melakukan aktivitas di luar ruangan

membutuhkan konsumsi air minum lebih banyak dibandingkan orang yang hanya melakukan aktivitas di dalam ruangan. Minumlah air putih dalam jumlah yang seimbang dengan keluarnya cairan dari dalam tubuh.

Memiliki tubuh sehat dan bugar dengan mengonsumsi cukup air putih setiap hari merupakan proses jangka panjang. Mereka yang baru memiliki kesadaran itu tak akan langsung mendapatkannya hanya dalam waktu satu minggu.

Memiliki kebiasaan minum air putih yang cukup, yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, tidak terjadi begitu saja. Butuh pengetahuan, pendidikan, dan pembiasaan. Proses menanamkan pengetahuan, pendidikan, dan pembiasaan ini harus dilakukan sejak anak-anak. Orang yang harus melakukannya kepada anak-anak adalah orang tua. Tempat menanamkan pembiasaan minum cukup air ini di dalam keluarga, di rumah, di istana kita. Tentu saja, sebelum mengajarkan ini pada anak-anak, orang tua terlebih dahulu harus melakukannya. Pendidikan di sekolah juga berperan membantu menanamkan kebiasaan baik ini.

Mengonsumsi cukup air putih sesuai kebutuhan tubuh kita adalah kebiasaan yang baik. Tampaknya sederhana. Namun, tindakan sederhana ini akan berperan membentuk generasi yang sehat. Indonesia butuh generasi berkualitas, salah satu komponennya adalah generasi yang memiliki kualitas kesehatan baik. Sayangi tubuh kita, minumlah cukup air putih, rasakan kebugarannya, dan selamat menikmati hidup sehat.* Aria Indrawati

FA diffa 12 ok.indd 19 11/19/11 9:53 PM

Page 20: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

20 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

TAPAKT

foto-foto: Adrian Mulya

20 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

FA diffa 12 ok.indd 20 11/19/11 9:54 PM

Page 21: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

21EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

Diploma Degree untuk TunagrahitaRUMAH KAMPUS

RUMAH kampus (diffa April 2011), mengisahkan perjuangan dan perjalanan Endang Rahayu atas

kegelisahannya untuk mendapatkan pendidikan formal dalam tingkatan universitas bagi penyandang tunagrahita. Rumah Kampus yang didirikan Maret 2008 ini menjadi wadah perjuangan bagi Endang Rahayu agar penyandang tunagrahita mendapatkan pendidikan yang selayaknya menjadi hak mereka sebagai anak bangsa. Pendidikan yang diberikan tentu diharapkan menjadi bekal di masa depan bagi para mahasiswanya sehingga aktualisasi diri serta peran dalam kehidupan bermasyarakat tidak terkungkung oleh kekhususan penyandang tunagrahita. Endang berterima kasih atas peningkatan hubungan kerja sama dengan Program Diploma IPB yang bersedia memfasilitasi kurikulum dan perkuliahan di Rumah Kampus.

Kurikulum Berbasis KemampuanDalam menyusun kurikulum, Endang Rahayu dan Program Diploma

Institut Pertanian Bogor berpatokan pada tujuan memberi bekal hidup bagi para mahasiswanya. Karena itu, dipilih bidang ekonomi yang relatif praktis. Komposisinya, teori 20 persen dan praktik 80 persen. Lama pendidikan dua tahun atau empat semester. “Disesuaikan dengan kemampuan anak-anak berkebutuhan khusus. Selesai pendidikan mendapat sertifikat diploma,” ujar Endang.

Semester I, mahasiswa belajar praktik mata kuliah budi daya ikan. Dalam mata kuliah ini mahasiswa diajari merawat, memberi makan, dan membersihkan kolam ikan. Semester II tentang budi daya tanaman. Semester III produk olahan hasil pertanian. Dalam mata kuliah ini antara lain mahasiswa praktik membuat bakso, sosis, es krim, dan sejenisnya. Di semester akhir, mahasiswa belajar mata kuliah manajemen promosi dan pemasaran, praktik pertanian terpadu, dan praktik kerja.

Mahasiswa Rumah Kampus juga dibekali mata kuliah pendukung lain seperti bahasa Inggris, matematika, pengetahuan komputer, fotografi, ilmu komunikasi, musik, praktik transaksi dagang, serta pendidikan moral (agama). “Ya, cukup memadai kalau mereka bisa menguasai,” kata Endang.

FA diffa 12 ok.indd 21 11/19/11 9:54 PM

Page 22: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

22 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

Kampus memiliki tempat yang cocok dan sesuai bagi para mahasiswanya. Wisma Pena terletak di Km 86 arah Puncak yang merupakan wisma penginapan yang sering digunakan untuk pelatihan berbagai kalangan, khususnya PNRI. Fasilitas wisma ini cukup komplet. Ada tempat penginapan, lapangan tenis, kolam renang, meeting room, area pelatihan. “Tempat ini sangat cocok bagi mahasiswa Rumah Kampus untuk mengimplementasikan apa yang mereka pelajari,” kata Endang.

Sekitar 500 meter di depan Wisma Pena terdapat kolam-kolam ikan. Di sekeliling wisma banyak petani tanaman hias yang membudidayakan tanaman hias. Kolam-kolam di depan wisma akan digunakan sebagai tempat praktik mahasiswa Rumah Kampus serta petani tanaman hias. Hal itu akan turut memfasilitasi keterampilan mahasiswa Rumah Kampus dalam hal bercocok tanam.

“Aku harus berjuang sendiri,” kata Endang. Dia berjuang mendapatkan uang dari bank untuk membayar sewa tempat ini. Dia mengakui tidak tahu bagaimana cara

mengembalikan uang utang bank. “Yang penting saya sudah memulai. Saya yakin dengan pengelolaan wisma ini secara profesional, saya bisa mengembalikannya,” kata ibu dua anak ini mantap.

Wisma ini pun akan dipakai sebagai tempat pelatihan bagi mahasiswa Rumah Kampus yang mempunyai minat dan keterampilan dalam bidang perhotelan dan pariwisata. Pada 7 November 2011 Endang dan suaminya mengundang masyarakat sekitar untuk syukuran dan doa bersama atas keberadaan Rumah Kampus di Wisma Pena, Tugu Sari, Puncak. “Saya berharap tiga tahun ke depan dari sini lahir mahasiswa Rumah Kampus yang berhasil lulus sesuai dengan program dan kurikulum yang ditetapkan,” kata Endang.

Menggandeng SEAMOLECSoutheast Asian Ministers

of Education Organization Regional Open Learning Centre (SEAMOLEC) adalah lembaga yang menyelengaarakan sistem pendidikan jarak jauh untuk mendukung vokasi berkelanjutan.

Kampus Baru Endang Rahayu tidak berhenti

hanya dengan penyampaian teori dan sedikit praktik di Rumah Kampus yang bertempat di Utan Kayu, Jakarta Selatan. Endang terus berpikir dan berupaya agar mahasiswa lebih menyatu dengan apa yang dipelajari dan dapat bersosialisasi dengan masyarakat atas apa mereka pelajari. Tentu hal ini juga membutuhkan lokasi yang pas dan cocok untuk implementasi pelajaran yang didapatkan di Rumah Kampus Utan Kayu.

Berawal dari kerja sama dengan Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) dalam praktik kerja lapangan mahasiswa Rumah Kampus, khususnya bidang percetakan. Kepercayaaan berlanjut dengan menyerahkan serta meminjamkan pengelolaan Wisma Pena milik PNRI di Puncak, Jawa Barat, kepada Rumah Kampus, untuk dikelola secara profesional selama tiga tahun.

Tentu tidak mudah dan butuh perjuangan bagi Endang Rahayu untuk bernegosiasi dan mewujudkan mimpinya agar Rumah

foto: Adrian Mulya foto: Sigit D Pratama

FA diffa 12 ok.indd 22 11/19/11 9:54 PM

Page 23: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

23EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

SEAMOLEC bekerja sama dengan SMK serta Dirjen Pendidikan Tinggi dan perguruan tinggi yang memenuhi kriteria:Institusional l Mempunyai peralatan yang

menunjang sistem perkuliahan di program vokasi berkelanjutan.

l Koneksi internet minimal 1 mbps

l Memiliki bentuk bahan ajar menggunakan media cetak, audio video, serta web.

l Materi pembelajaran adalah kombinasi dari materi pembelajaran kampus utama, sub-kampus, dan SEAMOLEC

l Sistem pengiriman materi dengan real time dan terdokumentasi

l Visitasi dan monitoring untuk melihat perkembangan, masalah, peminatan, pencapaian kompetensi peserta didik dan sarana prasarana di kampus utama ataupun di sub-kampus

l Penanggung jawab secara institusi

l Sistem ujian terstruktur dan terjadwal

l Sistem pelaporan akademik dilakukan masing-masing institusi dengan sistem pelaporan: a. terpusat di perguruan tinggi; b.terpusat di SEAMOLEC; c. pelaporan dilakukan secara online

l Keuangan dikelola sub-kampus dan dilaporkan kepada kampus utama serta SEAMOLEC

Penjaminan mutu ditetapkan bagi kampus utama dan sub-kampus dengan SOP yang ditetapkan SEAMOLEC

Pola pelaksanaan:l 1 bulan di kampus utama, 1

bulan di sub-kampus, dan 10 bulan di sub-kampus / sekolah /

industri dan wisuda di kampus utama

l Outbond akan dilaksanakan pada saat peserta berada di kampus utama

l Promosi dan pencarian mahasiswa oleh kampus utama, sub-kampus, dan Dinas Pendidikan kabupaten / kota / provinsi

l Penerimaan mahasiswa dilaksanakan dua kali dalam setahun, yaitu Januari dan Juli – Agustus tergantung kesiapan kampus utama.

l Posisi Rumah Kampus sebagai sub-kampus, IPB sebagai kampus utama, dan SEAMOLEC sebagai pemiliki program vokasia berkelanjutan.

l Kerja sama tripatrit ini merupakan terobosan baru Rumah Kampus dalam mewujudkan cita-cita agar mahasiswanya mendapat pengakuan yang setara dalam bentuk diploma kelulusan yang dikeluarkan IPB. Pengakuan itu perlu sebagai bekal di masyarakat kelak. Dengan kewajiban memenuhi

berbagai macam persyaratan, program pendidikan yang diciptakan SEAMOLEC sangat membantu terwujudnya kesetaraan memperoleh pendidikan bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Program kerja sama Diploma Degree Rumah Kampus, Institut Pertanian Bogor, dan SEAMOLEC diluncurkan pada 7 November 2011 di Wisma Pena. Acara dihadiri Wakil Direktur Pengembangan dan Kerjasama IPB Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto M.Agr, pengelola Rumah Kampus, SEAMOLEC, serta mahasiswa dan orang tua wali.

Diluncurkannya program pendidikan vokasi berkelanjutan

yang berujung pada wisuda Diploma Degree bagi lulusannya tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Rumah Kampus, termasuk para mahasiswa dan para dosen yang disiapkan Institut Pertanian Bogor untuk menjalankan semua kriteria program yang dipersyaratkan.

Diploma DegreeKelulusan para mahasiswa

program Diploma Degree yang diselenggarakan Rumah Kampus, IPB, dan SEAMOLEC, bagi Endang Rahayu adalah salah jalan mewujudkan mimpi dengan kerja keras.

Program pertama hanya diikuti lima mahasiswa penyandang tunagrahita. Banyak orang tua khawatir dan takut melepaskan anaknya mengikuti program ini. “Saya bingung, mengapa orang tua sangat khawatir dan overprotectif terhadap anak-anak mereka,” keluh Endang. “Tapi biarlah. Dengan dimulai lima mahasiswa saya berharap mereka lulus pada waktunya sesuai dengan kemampuan. Dan itu akan membuktikan apa yang saya perbuat tidak perlu dikhawatirkan bagi anak-anak peserta didik. Malah menjadi kebangaan mereka, karena mendapatkan diploma yang setara dan diakui pihak mana pun di Indonesia.”

Kita tunggu kelulusan lima mahasiswa Rumah Kampus dalam program Diploma Degree Institut Pertanian Bogor. Langkah awal ini menunjukkan perjuangan Endang dan Rumah Kampus tidak sebatas wacana dan retorika, tetapi bekerja keras mewujudkan visi dan misi. Semoga menjadi inspirasi bagi semua stakeholder pendidikan di Indonesia. *Jonna Damanik

FA diffa 12 ok.indd 23 11/19/11 9:54 PM

Page 24: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

24 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

UDARA kota Makassar siang awal November 2011 terasa terik. Di beberapa titik jalanan macet.

Iis Masdiana M.Pd. mengendarai motor otomatiknya pelan-pelan di tengah kemacetan itu.

Mungkin tak ada yang mengira wanita itu kandidat doktor yang baru saja mendapat penghargaan Anugerah Pendidikan Inklusif 2011 dari Menteri Pendidikan Nasional. Ia memang tokoh penggerak pendidikan inklusif di Makassar dan Provinsi Sulawesi Selatan.

Ketokohan Bu Iis, begitu ia biasa dipanggil, terlihat dari kesibukan hari itu. Pagi hari ia mengajar di SLB Pembina Provinsi di Jalan Daeng

Tata, di kawasan Karang Tambang, Makassar. Ini tempat tugas resminya. Ia mengajar di SMALB Kelas X.

Di tengah kegiatan mengajar itu Bu Iis menerima Rina Suryani dan Sita dari Helen Helen Keller

Iis MasdianaInternational (HKI) yang mengantar diffa dan Nova untuk wawancara. Kembali sebentar mengajar di kelas, Bu Iis kemudian mengantar rombongan HKI dan wartawan ke SD Inpres Maccini Baru di Jalan Dangko, kawasan Tamalate. SD ini merupakan sekolah inklusif pertama di Provinsi Sulawesi Selatan. Dan Bu Iis banyak berperan dalam pembinaan sekolah ini.

Dari kawasan Tamalate Bu Iis kemudian meluncur dengan motor otomatiknya menuju Gedung Pena di pusat kota. Di gedung ini, tepatnya di ruang kantor perwakilan HKI, ia mengikuti rapat pembahasan petunjuk teknis pelaksanaan pendidikan inklusif sebagai tindak lanjut dari Peraturan

Gubernur (Pergub) Sulsel mengenai Pendidikan Inklusif. Rapat itu berlangsung hingga sore.

Sepanjang kegiatan itu Bu Iis tampak santai. Banyak senyum dan tertawa, ramah khas Jawa Barat. “Kandidat doktor bermotor”

memang orang Sunda.

Perjalanan Menuju Inklusif

Iis Masdina lahir di Lebak, Banten, Jawa Barat, 5 Mei 1962. Tahun 1981 ia lulus dari SPGN Rangkasbitung. Ia kemudian pindah ke Bandung. Rumah pamannya di Bandung dekat dengan sebuah SLB. Melihat anak-anak SLB itu menimbulkan tanda tanya sekaligus empatinya. “Kasihan ya? Bagaimana caranya mengajar anak-anak seperti itu?” ujarnya mengenang.

Ketika tahu ada pendidikan untuk guru anak-anak seperti itu, Iis langsung tertarik. Ia memutuskan masuk SPGLB. Lulus dari SPGLB, tahun 1983, ia langsung diangkat

sebagai guru. Tahun 1984 ia dikirim ke Makassar, menjadi guru di SLB di tempat tugasnya hingga kini.

Hingga tahun 1998 Iis bertugas sebagai guru SLB biasa. Di sela tugas mengajar itu ia menyelesaikan pendidikan sarjana bahasa Inggris di

Motor Pendidikan Inklusif dari Makassar

foto

-fot

o: N

esto

r R T

ambu

nan

FA diffa 12 ok.indd 24 11/19/11 9:54 PM

Page 25: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

25EDISI 12-DESEMBER 2011diffa 25diffa EDISI 12-DESEMBER 2011

SOSOKS

Motor Pendidikan Inklusif dari Makassar

FA diffa 12 ok.indd 25 11/19/11 9:54 PM

Page 26: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

26 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

Universitas Muhammadiyah

Makassar. Kemampuan bahasa Inggris membuat Iis sering diminta mendampingi tamu-tamu luar negeri yang berkunjung ke tempatnya bertugas. Mungkin karena itu, tahu-tahu Iis terpilih untuk mengikuti pendidikan special teacher di Norwegia.

Inti pendidikan itu adalah mengoptimalkan peran guru sekolah luar biasa dalam pendidikan inklusif. “Di sana saya menerima materi-materi tentang pendidikan inklusif. Saya mendapat kesempatan untuk melihat sekolah inklusif. Di Norwegia, anak-anak (disabilitas) bisa belajar bersama-sama dengan anak normal, dengan strategi tersendiri, teknik seperti ini, guru seperti itu. Mungkin secara teori kita sudah tahu. Tapi praktik langsungnya di negara orang seperti itu,” tutur Iis mengenai pendidikan tersebut.

Sejak itu Bu Iis menjadi salah seorang motor dalam pendidikan inklusif di kota Makassar dan Sulawesi Selatan. “Waktu belum mengikuti pendidikan, saya belum banyak bicara. Kadang tidak diterima, karena mungkin belum meyakinkan. Tapi sejak mengikuti pendidikan inklusif, saya membawa

unsur hukum, hak

asasi anak, dan sebagainya,” ujarnya.

Berperan AktifPraktis, sekian tahun

belakangan Bu Iis sangat berperan aktif dalam mendorong pengembangan pendidikan inklusif di Makassar dan Sulawesi Selatan, baik dalam tugas-tugas resmi maupun sebagai pribadi. Sebagai guru SLB, ia berperan juga sebagai guru pembimbing (GPK) khusus dan ditunjuk Dinas Pendidikan Provinsi sebagai kordinator GPK di Sulawesi Selatan.

Bersama tim dari Dinas Pendidikan Provinsi, ia melakukan identifikasi dan asesmen anak berkebutuhan khusus (ABK) yang ada di sekolah reguler di beberapa kabupaten/kota. Sebagai GPK, ia juga melaksanakan pendampingan terhadap guru-guru sekolah regular dalam mendampingi ABK di kelas. Sosialisasi mengenai pendidikan inklusif juga banyak dilakukan terhadap sekolah, baik sekolah reguler maupun sekolah luar biasa yang belum mengetahui tentang pendidikan inklusif.

Sebagai koordinator GPK, Bu Iis memfasilitasi dan membantu para GPK dalam mengembangkan program kerja GPK di sekolah inklusif. Ia juga aktif dalam

memfasilitasi kegiatan yang diadakan Dinas Pendidikan dalam beberapa pelatihan dan menjadi penghubung

antara Dinas Pendidikan dan sekolah.

Banyak dinamika dalam tugas-tugas itu. Sebagai guru SLB, ia mendorong murid-murid SDLB yang dinilai mampu melanjutkan pendidikan ke SMP atau SMA reguler. “Itu yang menjadi masalah. Harus tebal muka kepada kepala-kepala sekolah, guru-guru di sekolah reguler,” ujarnya. “Kita mengkomunikasikan kepada kepala sekolah bahwa anak ini bisa. Ada kepala sekolah yang mau, ada yang tidak. Rata-rata pertama mereka menolak dulu. Nanti kita datang lagi untuk meyakinkan, sampai mau menerima.”

Keberatan biasanya dari guru dan kepala sekolah. “Saya memberi pembelajaran secara tidak langsung. Saya memberi petunjuk juga kepada guru, kepala sekolah, caranya seperti ini.” Selain mengajarkan terapi perilaku, kadang ia memberikan tantangan. Contohnya tantangan kepada kepala sekolah sebuah sekolah favorit. “Sekolah belum unggul kalau belum bisa menangani anak seperti ini,” ujarnya. Dan si kepala sekolah merasa tertantang.

Aneka Dinamika InklusifMenurut Bu Iis, pendidikan

inklusif sangat besar manfaatnya. “Anak-anak (disabilitas) bisa belajar bersosialisasi. Anak-anak yang lain bisa belajar peduli.” Karena itu,

FA diffa 12 ok.indd 26 11/19/11 9:54 PM

Page 27: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

27EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

kalau si anak kelihatan mampu, daripada jauh sekolah ke SLB, ia selalu menyarankan agar pindah ke sekolah umum terdekat. Ia akan dengan dengan senang hati membantu memberikan asesmen, baik terhadap kepala sekolah, guru, maupun orang tua.

Bu Iis membantah pendidikan inklusif mahal. “Mahal atau tidak mahalnya relatif, karena inklusif itu soal efektivitas pendidikan. Di SLB memang peralatan dipenuhi, memadai. Tapi bukan tidak mungkin di sekolah reguler juga bisa terpenuhi, dengan menyiasati kondisi yang ada,” ujarnya.

Menurut ibu tiga anak ini, kuncinya pada kesadaran dan sikap pelaku pendidikan. Ia mengaku pernah sangat tertarik pada dinamika sebuah sekolah yang tidak berklasifikasi inklusif, tapi menerima anak tunanetra, bahkan jadi lulusan terbaik dan bisa diterima di perguruan tinggi tanpa tes. Ia penasaran. Apa yang dilakukan oleh gurunya? Ternyata dasar pemikirannya adalah agama, kemanusiaan yang harus saling menolong. Misalnya dalam olahraga, guru berpesan, ‘Ini temanmu tidak bisa melihat, tolong dibimbing’. “Sikap guru inklusif karena agama,” katanya.

Salah satu yang tak kalah penting, menurut Bu Iis, adalah pendampingan dan dukungan orang tua. Sering orang tua justru menutupi keadaan anaknya. Ada contoh kasus, anak yang sudah berusia 15 tahun tapi bertubuh sangat kecil. Karena ditutupi, kalau orang tuanya keluar rumah, para tetangga merubung. “Karena sekolah, setiap hari ke sini, tidak

apa-apa. Sekarang sudah mulai bisa bicara.”

Begitu pula dengan anak-anak autis, yang belakangan jumlahnya berkembang. Menurut Bu Iis, kuncinya harus sabar. “Mereka tidak bisa duduk lama. Tapi sabar saja. Kalau dia keluar, minta tolong sama ibunya. Kalau dia sudah mulai baik, dipanggil atau diajak lagi. Ujian juga begitu. Saat ulangan, dia bisa tiduran di lantai. Kalau sudah mau, dikasih soal. Sebenarnya mereka bisa.”

Selain sangat bersemangat, Bu Iis memang kelihatan sangat menguasai masalah anak berkebutuhan khusus. Karena semua itulah, tim penilai memilih dia sebagai salah satu penerima netapkan Anugerah Pendidikan Inklusif 2011.

Penghargaan dan KeluargaAnugerah Pendidikan Inklusif

2011 diberikan untuk mendorong perkembangan pendidikan inklusif Indonesia. Pemberian penghargaan ini dilaksanakan Kementerian Pendidikan Nasional, melalui Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, bekerja sama dengan Helen Keller International, didukung United States Agency International Development (USAID).

Ada tiga kategori penghargaan, yaitu pemerintah daerah, sekolah, dan individu. Untuk setiap kategori diberikan dua penghargaan. Penghargaan kategori individu diberikan kepada seseorang atau invidu yang telah berjasa secara signifikan dan berkelanjutan mendorong dan memajukan pelaksanaan pendidikan inklusif.

Komponen yang dinilai antara lain kreativitas dan inovasi, pengaruh sistemik, dan masa bakti.

Iis Masdiana menerima penghargaan kategori Individu bersama Prof. Dr. HM Iim Wasliman, M.Si. Penghargaan diserahkan bersamaan dengan acara pembukaan penyelenggaraan Olimpiade Sains Nasional (OSN) di Sulawesi Utara, 12 September 2011. Tentu penghargaan ini memberikan kebanggaan tersendiri bagi Bu Iis dan keluarganya.

Iis Masdiana menemukan jodoh di Makassar. Ia menikah dengan Zulkahar Mansyur, asli Bone, kini menjabat Kepala Dolog Kabupaten Jeneponto, Sulsel. Mereka dikaruniai tiga anak, Yunika (23 tahun), Andis (22 tahun), dan Achyar (19 tahun). Mereka tinggal di rumah yang tidak terlalu luas di Perumahan BTN Minasa Upa, Makassar.

Di tengah perjalanan tugas dan rumah tangganya, tahun 2005 Iis Masdiana menyelesaikan pendidikan master (S2) di Jurusan PLB Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Kini ia sedang menempuh pendidikan doktoral (S3) di Jurusan Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar. “Doakan bisa lancar,” ujarnya dengan senyum ramah khasnya.

Ketekunan, keteguhan, semangat, dan keramahan Bu Iis dalam melayani sekolah dan siswa dalam mendorong pendidikan inklusif pantas menjadi teladan dan cermin bagi dunia pendidikan kita. Demi pendidikan yang adil bagi semua warga Indonesia. * Nestor

FA diffa 12 ok.indd 27 11/19/11 9:54 PM

Page 28: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

28 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

JEJAKJ

Betapa Kecilnya Manusia di Katedral Koln

foto

-fot

o: F

X Ru

dy G

unaw

an

28 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

FA diffa 12 ok.indd 28 11/19/11 9:54 PM

Page 29: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

29EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

KEAGUNGAN Sang Pencipta bisa kita hayati dengan ribuan cara. Orang yang suka alam bebas, cukup dengan naik gunung saja sudah merasakan betapa agungnya sang Pencipta semesta. Orang

yang lebih suka merenung sendirian di tengah sunyinya malam, cukup menutup pintu kamar dan bermeditasi 15 menit untuk merasakan betapa besarnya kuasa Tuhan. Seorang nelayan malah cukup dengan bekerja mencari ikan di tengah laut lepas saja sudah bisa merasakan betapa kecilnya dirinya di tengah samudera kuasa Tuhan. Ketika merasakan kebesaran Sang pencipta, kita pun semestinya segera tersadar betapa kecilnya diri kita. Betapa kita hanya sebutir debu di hadapan Sang Pencipta kita. Debu yang setiap saat bisa segera lenyap tak berbekas diterpa angin. Itulah posisi kita di hadapan

Sang Pencipta.Namun, kita sebagai mahkluk ciptaan bermartabat

paling luhur dan katanya paling sempurna, kerap lupa diri. Kerap merasa diri paling hebat, paling benar, paling pintar, paling kuat, dan paling-paling lainnya yang hanya berujung pada kepongahan atau arogansi belaka. Lantas kita pun tak pernah lagi merasa betapa kecilnya diri kita di hadapan Tuhan. Kita malah kerap merasa bisa mengalahkan Tuhan karena kita mampu menciptakan begitu banyak kehebatan dan keajaiban tehnologi untuk menguasai dunia. Lalu kita pun menjadi tuhan-tuhan palsu yang merusak harmoni kehidupan. Merusak indahnya semesta dan bahkan kemudian menghancurkannya. Akhirnya keserakahan menjadi satu-satunya kebenaran di mata manusia. Mengerikan sekali. Kita sudah merasakan dampaknya kini, antara lain

Betapa Kecilnya Manusia di Katedral Koln

foto

-fot

o: F

X Ru

dy G

unaw

an

FA diffa 12 ok.indd 29 11/19/11 9:54 PM

Page 30: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

30 diffaEDISI 12-DESEMBER 201130 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

FA diffa 12 ok.indd 30 11/19/11 9:54 PM

Page 31: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

31EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

berupa climate changes.

Semua arogansi dan kepongahan itu mungkin pernah dialami oleh hampir semua manusia di muka bumi ini. Semua kepongahan dan arogansi itu juga bisa luruh dan lenyap dalam berbagai situasi dan berbagai cara. Di hadapan Katedral Koln, Jerman Barat, misalnya, semua kepongahan dan arogansi kita bisa dengan cepat luluh lantak. Kota kecil seperti Yogjakarta atau Malang itu, serasa dipenuhi oleh keberadaan Katedral yang menjulang megah dan sangat tinggi di tengah alun-alun kota. Para turis dan warga kota berkumpul menjadi satu di situ. Bagi para turis yang berwisata ke Jerman, Koln adalah salah satu tujuan penting yang harus dikunjungi karena katedralnya yang mungkin terbesar

pertama atau kedua di seluruh kawasan Eropa. Sosok bangunan itu memang luar biasa besar dan tinggi ukurannya. Pintu-pintunya saja seukuran 4-5 kali tinggi orang-orang Eropa. Kalau rata-rata tinggi orang Eropa 180 cm, berarti ukuran tinggi

Di sisi lain alun-alun, sejumlah aktivis mahasiswa juga tampak menggelar spanduk dan poster. Ya, mereka berunjuk rasa juga di alun-alun katedral.

Mengelilingi katedral saja sudah bikin kita ngos-ngosan jika Anda

jarang berolah raga. Namun jika Anda seorang olahragawan, maka setelah mengelilingi katedral, Anda bisa masuk dan mencoba naik tangga yang jumlahnya ribuan anak tangga untuk sampai ke puncak menara katedral, tempat lonceng gereja yang sudah sangat tua umurnya berada. Biasanya selalu ada ritual upacara misa untuk para turis beragama Katolik yang ingin berdoa dan mengikuti misa atau kebaktian di katedral Koln. Turis lain yang bukan Kristen atau Katolik bisa ikut menonton dari dalam katedral. Di dalam katedral juga tersimpan begitu banyak situs sejarah abad pertengahan yang terkait dengan peran gereja pada masa-masa perjuangan. Katedral Koln selain tempat ibadah memang resmi menjadi tempat tujuan wisata budaya dan sejarah. Dan di tempat wisata ini, terasa sekali betapa sebenaranya manusia hanya sosok-sosok kecil di hadapan Penciptanya. Itulah buah tangan utama yang akan kita dapatkan jika kita berwisata ke katedral Koln. Selain beragam souvenir khas seperti cologne atau pernik-pernik kerajinan khas lainnya.

Jadi, jika Anda merasa sulit menyingkirkan kepongahan atau arogansi Anda, berwisatalah ke katedral Koln. Fx Rudy Gunawan.

pintunya saja sudah sekitar 7-8 meter. Lebar pintu tak kurang dari 3 meter.

Dengan detil ukiran khas dan arsitektur abad pertengahan, katedral Koln sungguh mewakili apa yang tadi saya katakan sebagai pemahaman manusia terhadap kebesaran Sang Pencipta. Bangunan itu seolah-olah dibuat dengan tujuan mengingatkan kembali manusia bahwa mereka tak lebih dari mahkluk-mahkluk kecil tanpa daya di hadapan keagungan dan kekuasaan Tuhan. Ya, katedral Koln adalah wujud nyata ekspresi keagungan Sang Pencipta. Kita harus mendongak setinggi leher mampu mendongak untuk melihat puncak tertinggi dari katedral. Itupun harus dilakukan setidaknya dari jarak 5 meter. Kita harus menjauh dulu sampai ke ujung alun-alun, barulah kita bisa leluasa memotret atau menikmati keindahan bangunan maha besar itu. Sementara para turis berdecak kagum melihatnya, warga kota Koln, mulai dari anak-anak muda sampai orang tua juga banyak menghabiskan waktu di sekeliling katedral. Anak-anak muda bermain skate board dengan asyik. Komunitas seniman jalanan serius berekspresi. Ada yang bermain biola dan gitar, ada yang melukis di lantai alun-alun, ada yang berpantomim, dan ada juga yang hanya merenung.

FA diffa 12 ok.indd 31 11/19/11 9:54 PM

Page 32: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

32 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

KOLOM MAS BEJOK

Mencari Keadilan Ala Preman

32 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

Ilust

rasi

: Did

i Pur

nom

o

FX Rudy Gunawan

“MAS, mengapa sampai sekarang kita tidak bertambah kaya? Lihat tuh teman-teman kita. Mereka tambah kaya terus. Malah banyak yang sudah punya rumah dua, mobil tiga, tiap bulan liburan ke Singapura, Thailand, Melbourne. Aku

juga mau hidup seperti itu. Aku juga mau rumah dua, mau mobil baru, mau liburan keluar negeri….” Dalam perbincangan saat sarapan pagi bersama istri tercinta beberapa hari lalu, Mas Bejo tiba-tiba digugat seperti itu.

Mas Bejo menyeruput kopi tubruk yang tiba-tiba terasa lebih pahit pagi itu. Ini pasti karena pahitnya gugatan itu telah menyelusup dan menyatu dengan kopi tubruk Mas Bejo. Jadilah kopi pagi itu lebih pahit dari biasanya. Ditambah pula lidah jadi kelu dan liur terasa lebih getir meski Mas Bejo selalu rajin gosok gigi sebelum sarapan. Gugatan itu sangat kuat, wajar, manusiawi, dan bahkan sah adanya. Meski Mas Bejo selalu mengajarkan hidup sederhana jauh lebih indah dan bermakna dibandingkan hidup bergelimang kekayaan hasil korupsi atau kolusi dan nepotisme, tetap saja gugatan itu sah-sah saja dilontarkan istri siapa pun.

Apa boleh buat. Mas Bejo tetap harus menjawab gugatan itu. Harus memberikan jawaban mengapa hidup justru kerap tak adil pada orang-orang yang jujur, yang selalu bekerja keras, atau menjunjung tinggi keadilan. Banyak pertanyaan soal keadilan tak pernah terjawab tuntas atau memuaskan. Para “korban” seperti penyandang disabilitas kerap bercerita kepada Mas Bejo periode-periode berat hidup mereka ketika menggugat ketidakadilan kehidupan. Mengapa? Mengapa bukan orang lain? Apa dosa kami? Kami tak pernah melakukan hal-hal buruk. Kami bukan orang jahat, bukan pembunuh gila, bukan juga pencuri, pemerkosa, atau perampok yang mengambil hak orang lain dengan paksa tanpa peduli apa pun.

Lalu perbincangan akan mengerucut pada soal

keadilan. Mulai dari betapa tak adilnya dunia sampai bagaimana mencari cara memperjuangkan keadilan bagi rakyat banyak. Biasanya, ide-ide liar akan bermunculan. Salah satu yang selalu muncul adalah ide yang banyak diangkat film-film laga Hollywood ataupun Bollywood. Ide tentang street justice! Keadilan jalanan. Keadilan ala preman di jalanan. Keadilan yang membenarkan tindak kekerasan untuk mewujudkannya. Keadilan yang tak peduli pada aturan, norma sosial, hukum atau agama, dan sistem hukum yang berlaku. Di dunia nyata negeri kita, kondisi kacaunya sistem hukum dan lembaga-lembaga peradilan yang menjadi pranata dan perangkatnya, sudah menjadi penyakit kronis yang

FA diffa 12 ok.indd 32 11/19/11 9:54 PM

Page 33: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

33EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

Mencari Keadilan Ala Preman

33EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

mengakar. Kondisi ini yang memicu ide-ide street justice memenuhi kepala banyak orang.

Mencari dan menegakkan keadilan ala preman juga muncul sebagai tema sebuah film baru yang dibintangi aktor favorit Mas Bejo, Nicholas Cage, berjudul Seeking Justice. Dikisahkan istri seorang guru menjadi korban pemerkosaan brutal dan pada saat sang guru diliputi kemarahan dan kekacauan pikiran, seseorang datang menawarkan untuk “membereskan” si pemerkosa dengan cara jalanan. Tawaran akhirnya diterima dan tanpa perlu waktu lama, si pemerkosa “dibereskan” oleh kelompok penegak keadilan ala preman di kota itu. Pemerkosa itu ditembak mati di rumahnya sendiri. Lantas selesaikah masalahnya? Ternyata tidak. Sebaliknya, tindakan itu justru awal untuk sebuah kekacauan yang lebih besar dalam hidup guru itu dan para korban lainnya. Kelompok street justice itu ternyata tak berbeda jauh dari preman kejam yang tega main bunuh siapa saja yang mencoba menghalangi mereka.

Film itu sungguh sebuah ilustrasi menarik. Mas Bejo merasa mendapat banyak tambahan jawaban mengapa street justice atau mencari keadilan ala preman tidak bisa menjadi pilihan bagi orang yang ingin memperjuangkan keadilan. Kekerasan hanya akan memicu sebuah kecanduan bagi para pelakunya. Apalagi bila dilakukan atas nama keadilan. Itu memicu sebentuk fundamentalisme yang sama halnya dengan fundamentalisme kelompok teroris yang melegitimasi aksi mereka atas nama agama. Pada dasarnya tak ada hal yang bisa melegitimasi dan membenarkan tindak kekerasan. Hal inilah yang menjadi landasan moral film Seeking Justice. Mencari dan menegakkan keadilan ala preman dengan memakai kekerasan jelas bertolak belakang dengan landasan moral itu.

Harusnya ada satu solusi yang lebih benar untuk mencari dan menegakkan keadilan. “Hidup memang tak

pernah adil, karena Sang Pencipta menginginkan kita terus memperjuangkan keadilan sepanjang hidup kita, Jo,” ujar Kang Sejo mencoba menjawab pertanyaan Mas Bejo. Hmm, tentulah kata-kata bijak Kang Sejo benar adanya. Kita harus terus memperjuangkan keadilan sepanjang hidup, karena itu adalah tugas dan tanggung jawab yang diberikan Sang Pencipta. “Pada satu titik kita akhirnya akan menyadari bahwa apa yang kita anggap atau kita nilai sebagai tidak adil, pada saat tertentu ternyata adalah keadilan tersembunyi yang hanya bisa kita lihat setelah melewati waktu itu.” Wah, lanjutan jawaban Kang Sejo sungguh membuat Mas Bejo berdecak kagum.

Namun, kita manusia memang kerap mudah gelap mata dan tak bisa melihat dengan jernih. Itulah soalnya. Mas Bejo pun tersenyum lega karena mendapat dua jawaban langsung dari satu perenungan. Satu jawaban untuk gugatan istri dan sekaligus jawaban untuk persoalan street justice. Jawabannya sebagai berikut, “Hidup ini tak selalu seperti apa yang terlihat. Karena itu, kita harus hati-hati dan tidak gelap mata setiap kali melihat sesuatu yang seolah-olah hebat, seolah-olah benar, seolah-olah salah, seolah-olah jahat, atau seolah-olah bagus. Itu belum tentu seperti itu adanya. Kita tidak boleh mudah terpancing dan salah bertindak. Itu berbahaya!“

Terbukti jawaban itu ampuh. Istri Mas Bejo terkesima mendengar jawaban itu dan hanya bisa geleng-geleng kepala tak tahu harus berkata apa lagi. Di waktu lain, teman-teman penyandang disabilitas juga mengangguk-angguk setuju mendengar jawaban itu. Bahwa tindakan street justice atau mencari keadilan ala preman adalah perbuatan gelap mata yang berbahaya. FX Rudy Gunawan

FA diffa 12 ok.indd 33 11/19/11 9:54 PM

Page 34: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

34 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

KONSULTASI PENDIDIKANK

Menyiapkan ABK Memasuki Pendidikan Inklusif

EDISI 12-DESEMBER 2011 34 diffa

Ibu Mona yang saya hormati.

ANAK tunanetra sangat memungkinkan untuk mengikuti pendidikan di sekolah

umum. Menurut pengamatan dan pengalaman di lapangan, anak tunanetra termasuk anak berkebutuhan pendidikan khusus (ABK) yang paling mungkin dan mudah untuk bersekolah di sekolah umum. Kecuali jika ada kelainan atau hambatan tambahan. Misalnya tunanetra sekaligus autis, tunanetra dan tunarungu, atau tunanetra dan hambatan kecerdasan. Tunanetra yang memiliki hambatan tambahan tentu akan memiliki tantangan yang lebih besar ketika harus mengikuti pendidikan di sekolah umum.

Ketika tunanetra bersekolah di sekolah umum, mereka biasanya mengikuti pendidikan dengan menggunakan kurikulum umum atau kurikulum standar yang biasa dipakai untuk anak-anak lainnya. Hal ini berbeda dari anak yang mengalami hambatan kecerdasan atau yang biasa disebut tunagrahita.

Yth Bapak Asep Supena

Nama saya Mona. Saya memiliki anak tunanetra berusia hampir dua tahun. Namanya Dafa. Ia menjadi tunanetra akibat kelahiran prematur.

Saya pernah membaca artikel tentang pendidikan inklusif di majalah diffa. Rasanya senang sekali jika Dafa juga bisa bersekolah di sekolah umum nantinya.

Apakah anak berkebutuhan khusus seperti Dafa bisa bersekolah di sekolah biasa sejak tingkat taman kanak-kanak? Apakah untuk itu perlu persiapan khusus? Saya sempat bertanya ke sebuah taman kanak-kanak di sekitar tempat tinggal kami. Mereka belum pernah menerima anak tunanetra.

Mohon penjelasan dan nasihat Pak Asep. Terima kasih.

FA diffa 12 ok.indd 34 11/19/11 9:54 PM

Page 35: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

35EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

Dr. Asep Supena, M.PsiDosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta

Menyiapkan ABK Memasuki Pendidikan Inklusif

35EDISI 12-DESEMBER 2011 diffa

Ilust

rasi

: Did

i Pur

nom

o

Untuk kelompok anak semacam ini, sekolah harus mengubah atau memodifikasi kurikulum supaya sesuai dengan kemampuan anak penyandang tunagrahita.

Tunanetra juga dapat mendengar dan berbicara dengan baik, sehingga memungkinkan untuk berkomunikasi secara mudah ketika menjalani proses pembelajaran. Hal ini agak sedikit lebih mudah jika dibanding dengan anak yang

mengalami hambatan pendengaran atau yang biasa disebut tunarungu, yang umumnya akan mengalami sedikit kesulitan ketika berkomunikasi dalam proses pembelajaran. Hal-hal inilah di antaranya yang menyebabkan sekolah umum tampak lebih mudah menerima anak-anak

tunanetra dibanding anak-anak berkebutuhan khusus lainnya.

Tantangan yang dihadapi guru atau sekolah umum ketika menerima anak tunanetra adalah lebih banyak berkaitan dengan masalah cara dan alat dalam kegiatan pembelajaran. Contohnya, penggunaan alat tulis dan huruf Braille, penggunaan peralatan audio, peralatan taktil atau media yang dapat diraba, guru harus

lebih banyak memberikan ulasan atau penjelasan secara verbal atau lisan, memberikan pengalaman-pengalaman konkret, dan lain-lain.

Anak tunanetra yang memiliki semangat dan kecerdasan bagus, umumnya dapat mengikuti pendidikan di sekolah umum. Bahkan banyak yang berhasil menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Saat ini banyak anak tunanetra mengikuti pendidikan di SD, SMP, dan SMA umum. Bahkan, menurut catatan saya, saat ini ada lebih dari 10 mahasiswa tunanetra yang sedang kuliah di Universitas Negeri Jakarta. Mahasiswa tunanetra yang kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung lebih banyak lagi. Demikian juga di Universitas Islam Negeri Yogyakarta. Dan jangan lupa, saat ini sudah ada beberapa (lebih dari dua orang) tunanetra di Indonesia yang sudah berhasil meraih gelar doktor (S3).

Kondisi ini perlu saya tunjukkan untuk meyakinkan dan memberikan inspirasi bahwa sangat mungkin seorang tunanetra seperti anak Ibu untuk mengikuti pendidikan di

FA diffa 12 ok.indd 35 11/19/11 9:54 PM

Page 36: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

36 diffaEDISI 12-DESEMBER 201136 diffaEDISI 11-NOPEMBER 2011

sekolah umum, bahkan bisa sukses sampai pada tingkat pendidikan tertinggi.

Anak tunanetra usia di bawah 5 tahun (balita) atau usia prasekolah (di bawah 7 tahun), umumnya banyak yang mengikuti pendidikan di sekolah khusus untuk tunanetra atau yang sering dikenal dengan sebutan SLB-A. Anak tunanetra balita perlu mendapatkan layanan/treatmen khusus untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar yang diperlukan untuk pengembangan dirinya lebih lanjut. Misalnya latihan kesadaran lingkungan atau yang sering disebut dengan istilah latihan orientasi, latihan untuk bergerak, berpindah tempat atau berjalan yang juga sering dikenal dengan istilah latihan mobilitas, latihan perabaan sebagai dasar untuk membaca Braille, latihan pengembangan indera lainnya yang masih berfungsi, pengenalan konsep, dan lain-lain.

Layanan-layanan khusus tersebut perlu dilakukan secara intensif, fokus, dan tentu saja profesional, supaya anak tunanetra dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar secara dini dan optimal, sebagai bekal untuk dapat menjalankan tugas-tugas pendidikan selanjutnya. Lembaga yang diperkirakan dapat melaksanakan tugas tersebut secara khusus, untuk saat ini adalah sekolah khusus tunanetra (SLB-A) yang di dalamnya memiliki kelas persiapan (P). Kelas persiapan adalah kelas yang diperuntukkan anak-anak tunanetra prasekolah atau setingkat TK di sekolah umum.

Apakah tunanetra memungkinkan masuk ke sekolah umum sejak taman kanak-kanak?

Sebenarnya memungkinkan. Namun, perlu dua syarat yang harus

dipenuhi. Pertama, ada kesiapan dari

pihak sekolah untuk menerima dan memberikan layanan khusus kepada tunanetra, terutama untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar sebagaimana disebutkan di atas. Artinya, guru-guru di TK harus sedikit memiliki pengetahuan tentang kebutuhan-kebutuhan khusus tunanetra, khususnya tunanetra usia balita (prasekolah) dan sedikit kemampuan tentang cara pengembangannya. Selain memiliki pengetahuan dan kemampuan, guru juga harus meluangkan waktu yang cukup - secara intensif untuk memberikan layanan khusus kepada tunanetra. Karena ini sangat penting untuk membangun kemampuan dasar yang akan menentukan kesuksesan perkembangan dan pendidikan tunanetra pada tahap selanjutnya. Artinya, anak tunanetra jangan sekadar hadir di TK umum, tanpa mendapatkan layanan khusus yang mereka butuhkan.

Kedua, jika TK umum belum memiliki kesiapan dan kemampuan sebagaimana disebutkan, maka dimungkinkan tunanetra tetap masuk di TK umum, tetapi sambil mendapatkan layanan pendidikan khusus di luar TK. Layanan khusus tersebut bisa dilakukan orang tua di rumah, klinik anak berkebutuhan khusus, atau mungkin sekolah khusus tunanetra (SLB-A). Jika dua hal ini dapat diupayakan, sebenarnya bisa saja Ibu mempertimbangkan untuk memasukkan anak Ibu di TK umum. Apalagi jika keberadaan SLB-A sangat sulit dijangkau karena berbagai alasan.

Berdasarkan pencermatan saya, kondisi yang banyak terjadi di lapangan saat ini adalah pada tahapan usia dini atau usia TK,

banyak anak tunanetra yang masuk ke sekolah khusus (SLB-A). Kemudian secara bertahap, sejalan dengan penambahan usia dan kenaikan jenjang pendidikan, banyak siswa tunanetra mulai berpindah dari sekolah khusus ke sekolah umum atau yang sering disebut pendidikan inklusif. Terutama mereka yang memiliki semangat, daya saing, dan kemampuan akademik yang cukup bagus.

Pertimbangan yang diambil antara lain karena di usia awal perkembangannya, tunanetra membutuhkan layanan khusus yang agak intensif untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar sebagai fondasi bagi perkembangan selanjutnya. Kebutuhan ini tampaknya lebih mungkin dilakukan dan dipenuhi di kelas persiapan SLB-A. Setelah tunanetra memiliki kemampuan dasar yang cukup, maka ini menjadi modal mereka untuk mengikuti pendidikan secara efektif di sekolah umum.

Demikian penjelasan saya. Semoga bermanfaat dan selamat untuk Ibu Mona beserta keluarga.

FA diffa 12 ok.indd 36 11/19/11 9:54 PM

Page 37: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

37EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

PIRANTI PKrukTujuan penggunaan kruk• Poliomylitis, bertujuan sebagai

penahan dan penguat seluruh badan serta membantu berjalan

• Untuk yang patah tulang, bertujuan sebagai penopang kaki atau tulang yang patah

• Untuk amputasi, bertujuan sebagai alat sementara sebelum menggunakan protese untuk alat berala dan membantu kegiatan hidup sehari-hariDalam melatih berjalan dengan

kruk sebaiknya pelatih tidak berada di depan. Karena akan menghalangi jalannya. Pada waktu berjalan dg kruk posisi harus tetap tegak, kepala lurus dan punggung tidak bongkok.

SPLINTSplint adalah alat untuk

meletakkan anggota tubuh dalam posisi benar menjaga jangan sampai salah bentuk. Pemakaian splint sebaiknya dilakukan 24 jam disesuaikan dengan kondisi pemakai

Tujuan menggunakan Splint untuk mencegah salah bentuk, menahan dan menguatkan kaki untuk berjalan, mencegah kontraktur, mengoreksi posisi anggota tubuh.

Alat Bantu Tunadaksa

WOLKER• Alat bantu untuk latihan

berjalan, bentuknya ada yang lingkaran, dan ada yang segi empat, ada yang dipasang roda dan ada yang tidak.

BRACEAlat yg dipakai anak untuk

penopang kaki terbuat dari almunium dan dihubungkan dengan sepatu untuk berjalan. Ada yang sepanjang kaki (long leg brace), dan ada yang hanya sebatas lutut (short leg brace)

PROTHESE KAKI ATAU TANGAN

• Alat palsu yang berbentuk kaki atau tangan, gunanya untuk mengganti fungsi kaki atau tangan yang hilang.

Daei berbagai sumber

FA diffa 12 ok.indd 37 11/19/11 9:54 PM

Page 38: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

38 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

RUANG HATIR

Bagaimana Pasangan Tunanetra Belajar Mengasuh Anak?

IBU Novi dan suami, saya ucapkan selamat atas kelahiran putra tercinta. Semoga ananda menjadi permata dalam keluarga Ibu dan suami. Cemas memang sering kali dirasakan Ibu yang baru melahirkan, menyusul perasaan bahagia

dan takjub. Banyak hal yang bisa menimbulkan kecemasan. Di antaranya adalah bagaimana memberikan pengasuhan dan pendidikan yang terbaik bagi si buah hati. Kami amat memahami apabila perasaan cemas Ibu jauh lebih besar daripada ibu-ibu yang lain karena orang tua keberatan Ibu dan suami mengasuh si kecil. Setelah mengandung selama lebih dari sembilan bulan dan melahirkannya dengan mempertaruhkan nyawa, amatlah wajar apabila Ibu menganggap orang yang paling berhak untuk merawatnya, terlepas dari kemampuan dan kondisi Ibu.

Dapat dikatakan ada dua hal yang Ibu sedang hadapi pada saat ini. Pertama, bagaimana merawat dan mengasuh si kecil. Kedua, bagaimana menghadapi orang

Ibu Farida yang terhormat,

Saya Novi, seorang tunanetra. Awal tahun lalu saya menikah dengan teman sesama tunanetra yang sangat saya cintai. Dua bulan lalu kami dikaruniai bayi laki-laki yang tampan, buah cinta kami.

Bersamaan dengan kebahagiaan yang kami rasakan, datang pula kesedihan dan kecemasan. Keluarga saya tidak memperbolehkan saya dan suami saya mengasuh bayi kami sendiri. Alasan mereka, karena kami berdua tunanetra. Harus diakui, sebelum menikah saya memang anak yang dimanjakan dan terlalu dilindungi. Namun, sebelum menikah, saya telah berupaya belajar dari beberapa pasangan tunanetra bagaimana mereka mengasuh anak.

Saya dan suami percaya, kami bisa menjadi orang tua yang baik. Kami mau belajar untuk itu. Hal ini pun telah kami sampaikan kepada keluarga saya. Namun, mereka masih saja belum mempercayai kami.

Saya berencana meminta teman – pasangan tunanetra – untuk

berbicara dengan keluarga saya. Namun, rasanya saya tak berani melakukannya. Teman itu pun ingin membantu, namun tidak dengan cara masuk terlalu jauh ke keluarga saya.

Menurut Ibu Farida, apa yang harus saya lakukan untuk meyakinkan keluarga saya agar kami bisa mengasuh anak kami sendiri? Mohon saran dan nasihat Ibu.

Terima kasih.

FA diffa 12 ok.indd 38 11/19/11 9:54 PM

Page 39: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

39EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

Bagaimana Pasangan Tunanetra Belajar Mengasuh Anak?

Ilust

rato

r: di

di p

urno

mo

tua dan keluarga lainnya.Lima tahun pertama kehidupan anak, terlebih pada

tiga tahun pertama, memegang peranan yang amat besar bagi pembentukan kepribadian anak dan pada bagaimana anak memandang orang dan lingkungan sekitarnya di masa dewasa kelak. Adanya kasih sayang yang tulus dan penerimaan dari pihak yang mengasuh akan membuat anak merasa terlindungi, aman, dan diterima. Anak percaya bahwa ia berada di tangan yang baik dan tepat sehingga tidak perlu cemas dan merasa tidak diharapkan. Pada usia-usia awal, anak mengetahui ia disayang dari bagaimana reaksi pengasuh pada saat ia lapar, basah, mengantuk, atau sakit. Pengasuh yang segera menyusuinya, mengganti popoknya dan meninabobokannya akan membuat anak merasa nyaman yang lambat laun mendatangkan ikatan emosional yang kuat antara anak dan pengasuh. Pada periode ini sebenarnya siapa pun bisa mengasuhnya sepanjang ia bisa menyayanginya dengan tulus dan memenuhi kebutuhannya. Namun kehadiran seorang ibu akan mendatangkan nilai tambah mengingat ibu bisa memberikan ASI yang dibutuhkan seorang anak. Karena

itu, kami berharap Ibu mendapatkan kesempatan untuk merawat si kecil. Keyakinan dan tekad untuk menjadi orang tua yang baik semoga tetap mampu memelihara semangat Ibu untuk selalu belajar dan belajar, baik melalui media cetak (koran, majalah), media elektronik (TV, radio, internet), ataupun berkonsultasi dengan orang tua dan teman tunanetra.

Ibu Novi, keinginan orang tua Ibu untuk mengasuh cucu mereka bisa saja mencerminkan kekurangyakinan terhadap kemampuan Ibu, yang sebenarnya sebelum menikah (menurut Ibu) adalah anak yang manja. Namun di sisi lain, kita bisa melihatnya sebagai ungkapan kasih sayang dan keinginan mereka untuk memberikan yang terbaik kepada cucu. Nah, daripada menduga-duga hal yang negatif, marilah kita yakini saja bahwa keberatan mereka karena didasari rasa sayang kepada si kecil. Dengan anggapan seperti ini, maka upaya Ibu untuk ”bermusyawarah” akan terasa lebih ringan. Selain itu, daripada memperdebatkan tentang siapakah

yang paling baik dalam merawat, bagaimana apabila perawatan si kecil dilakukan oleh kedua pihak? Banyak sekali kami temui ibu muda yang mendapatkan manfaat dari bantuan orang tua pada perawatan dan pengasuhan

Farida Kurniawati YusufPsikolog anak, termasuk anak dengan kebutuhan khusus. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Master’s Degree Inclusive Education Universitas Meulborne, Australia. Doctoral Programme, Faculty of Behavioural and Social Sciences, Universitas Groningen, Belanda.

FA diffa 12 ok.indd 39 11/19/11 9:54 PM

Page 40: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

40 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

PERSEPSIP

diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

anak. Dan manfaat terbesar diperoleh apabila sejak awal dibicarakan tentang hal-hal apa saja yang boleh dan bisa dibantu oleh kakek-nenek. Hal ini amat penting mengingat orang tua adalah pihak pengasuh yang utama.

Kami tidak mendapatkan informasi tentang tempat tinggal orang tua Ibu, apakah berdekatan atau berjauhan dengan Ibu. Apabila berdekatan, akan lebih mudah bagi Ibu untuk berbagi tugas perawatan dengan orang tua. Dengan bantuan orang tua, Ibu akan banyak terbantu dalam memantau kegiatan fisik anak, seperti pada saat ia merangkak atau berjalan. Bahkan, bagi wanita yang baru menjadi Ibu, kehadiran nenek bisa membantu pada saat memandikan si bayi. Namun, kecenderungan kakek dan nenek untuk memanjakan cucu, maka Ibu perlu lebih tegas dalam menegakkan disiplin dan meminta kakek-nenek untuk juga menerapkannya kepada cucu.

Bantuan lain yang bisa Ibu dapatkan dari orang tua pada saat mengasuh si kecil adalah berhubungan dengan pemberian stimulasi. Dengan masalah penglihatan Ibu, ada kemungkinan stimulasi dan informasi yang diberikan kepada anak belum lengkap. Kakek dan nenek yang awas – dapat melihat - diharapkan mampu melengkapinya dengan menceritakan suatu benda/informasi secara lebih detail. Mereka juga bisa membacakan buku cerita yang lebih beragam.

Apabila ternyata Ibu tinggal berjauhan dengan orang tua, mintalah mereka mengunjungi secara rutin atau Ibu tinggal bersama mereka selama beberapa saat setelah melahirkan. Hal ini dipandang perlu dengan mempertimbangkan dua hal. Pertama, seperti telah saya disampaikan, kehadiran kakek dan nenek pasti mendatangkan manfaat yang besar, apalagi bagi ibu yang baru pertama kali menjadi ibu. Pengetahuan dan pengalaman mereka dapat Ibu serap. Anggap saja Ibu sedang mengikuti pelatihan mengurus bayi. Selanjutnya, selama tinggal bersama mereka, Ibu berkesempatan menunjukkan bahwa Ibu mampu mengurus bayi. Setelah melihat kemampuan Ibu, kami yakin lambat laun mereka akan berlapang dada untuk melepaskan Ibu dan suami untuk merawat dan mengasuh si kecil sendiri.

Lalu bagaimana dengan keinginan Ibu untuk meminta bantuan teman pasangan tunanetra? Selama Ibu tetap menjaga komunikasi dengan orang tua dan mau bermusyawarah dengan mereka, kami pikir bantuan teman tidak lagi dibutuhkan. Namun untuk perawatan dan pengasuhan si kecil sehari-hari, tetaplah menjalin hubungan dengan teman tersebut, sebagai salah satu tempat bertanya dan berdiskusi.

Demikian Ibu Novi. Selamat menjalankan peran sebagai ibu. Semoga sukses.

PENDIDIKAN inklusi merupakan wacana baru dalam dunia pendidikan nasional. Istilah ini baru muncul selama satu

dekade terakhir sebagai respon terhadap kebijakan pendidikan yang dinilai diskriminatif terhadap mereka yang mengalami hambatan fisik, baik mereka yang mengalami hambatan penglihatan (tunanetra), pendengaran (tunarungu), bicara (tunawicara), hambatan berfikir (tunagrahita), tunadaksa, tunalaras, dan sebagainya.

Sebelumnya, mereka itu bersekolah di sekolah yang dikhususkan untuk mereka, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), dari tingak SD sampai SLTA. Hanya saja, hambatannya, tidak semua daerah memiliki SLB. Mayoritas SLB diselenggarakan oleh swasta, SLB Negeri jumlahnya terbatas dan itu kebanyakan berada di ibu kota provinsi. Di Kabupaten/Kota SLB ini masih terbatas diselenggarakan oleh swasta dan secara kuantitatif pun terbatas, paling satu kabupaten/kota maksimal hanya ada dua sekolah saja, mayoritas bahkan hanya ada satu unit sekolah. Sementara dalam realitasnya, banyak anak yang mengalami hambatan fisik, baik sejak lahir maupun mengalami hambatan di kemudian hari. Mengingat tidak ada data resmi, maka hanya perkiraan saja, bahwa sampai saat ini diperkirakan di seluruh Indonesia terdapat sekitar enam juta jiwa yang mengalami hambatan fisik tersebut atau sekarang dikenal dengan istilah disable/difable.

Berdasarkan realitas empiris yang buruk itulah maka paska reformasi politik (1998) banyak warga yang menyuarakan tentang pentingnya pendidikan yang mengintegrasikan antara murid yang tidak mengalami

FA diffa 12 ok.indd 40 11/19/11 9:54 PM

Page 41: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

41EDISI 12-DESEMBER 2011diffa 41EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

MEMPERTEGAS KOMITMEN PADA PENDIDIKAN INKLUSI

Oleh Darmaningtyas

hambatan fisik dengan yang mengalami hambatan fisik tersebut. Asumsinya, murid-murid difable tersebut juga punya hak yang sama untuk memperoleh pendidikan sama halnya dengan hak yang dimiliki oleh sesamanya yang tidak memiliki hambatan fisik.

Perubahan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menjadi UU No.20 Tahun 2003 dinilai merupakan momentum penting bagi perwujudan perjuangan pendidikan inklusif tersebut, mengingat UU Sisdiknas yang baru itu secara tegas menyatakan bahwa prinsip pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Kata berkeadilan serta tidak diskriminatif itulah yang menjadi dasar bagi mereka yang peduli untuk memperjuangkan pendidikan inklusif. Makna kata “berkeadilan” berarti keadilan untuk semua warga, termasuk kaum difable. Sedangkan kata “tidak diskriminatif” justru

dianggap mengingatkan kepada pemerintah sendiri untuk tidak diskriminatif terhadap kaum difable yang selama itu lebih banyak dikurung dalam SLB. Tindakan diskriminatif terhadap kaum difable seperti selama itu dinilai tidak sejalan dengan semangat UU Sisdiknas yang baru tersebut. Untuk itulah pengguliran wacana pendidikan

inklusif pun terus dilakukan. Lahirnya Permendiknas tentang

Pendidikan InklusifSuara yang semakin yang

menyuarakan tentang pentingnya pendidikan inklusif itu tidak sia-sia ketika Pemerintah ceq. Departemen Pendidikan Nasional akhirnya mengeluarkan Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif yang dapat dipakai sebagai acuan bagi siapa saja yang peduli dengan nasib kaum difable untuk memperjuangkan keberadaan pendidikan inklusif pada setiap jenjangan satuan pendidikan dan di setiap daerah, atau bahkan sekolah. Dalam bahasa hukum,

Permendiknas adalah suatu peraturan yang memberikan petunjuk teknis-operasional terhadap peraturan-perundangan yang lebih tinggi. Oleh karena itulah keberadaan Permendiknas tentang Pendidikan Inklusif itu bukan hanya memperkaya wacana baru, tapi sekaligus menjadi petunjuk teknis operasional bagi pengelola sekolah, terutama

sekolah-sekolah negeri dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif.

Mengapa dalam tulisan ini lebih ditekankan pada sekolah-sekolah negeri? Pertama, sesuai dengan namanya, sekolah-sekolah negeri dari SD – SMTA dibiayai oleh negara: dari soal investasi tanah,

Ilust

rato

r: di

di p

urno

mo

FA diffa 12 ok.indd 41 11/19/11 9:54 PM

Page 42: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

42 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

gedung, peralatan, guru, sampai dengan fasilitas penunjang lainnya. Dengan demikian sekolah-sekolah negeri tidak mengalami hambatan finansial untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Kedua, sekolah negeri, sesuai dengan statusnya, seharusnya menjadi orientasi pertama bagi setiap warga yang akan menyekolahkan anaknya tanpa mengalami hambatan apa pun, termasuk merasa didiskriminasi. Jika sekolah-sekolah negeri saja masih bersikap diskriminatif terhadap kaum difable, bagaimana pemerintah dapat menuntut kepada sekolah swasta untuk turut serta mewujudkan pendidikan inklusif? Dengan kata lain, benahi dulu sekolah-sekolah negeri baru dapat menuntut sekolah-sekolah swasta untuk turut mewujudkan pendidikan inklusif. Ketiga, dengan kewenangannya, termasuk pendanaan, pemerintah bisa mewujudkan infrastruktur yang dibutuhkan pada sekolah-sekolah inklusif, juga bisa mengangkat guru-guru baru yang memiliki kompetensi khusus untuk melaksanakan pendidikan inklusif.

Apa isi Permendiknas tentang Pendidikan Inklusif? Pertama, memberikan panduan kepada kita mengenai pendidikan inklusif tersebut, yaitu sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Persoalan pengertian ini kelihatan sederhana, tapi kalau tidak disamakan, sering menyita energi kita untuk mendefinisikannya.

Dengan demikian, kita tidak perlu terjebak pada perdebatan semantik, tapi lebih ke substantif.

Kedua, menjelaskan tujuan pendidikan inklusif, yaitu: (1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Ketiga, memberikan batasan mengenai siapa sebetulnya yang tergolong pada kelompok yang mengalami hambatan fisik tersebut, yaitu setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Termasuk ke dalam kelompok ini antara lain: tunanetra; tunarungu; tunawicara; tunagrahita; tunadaksa; tunalaras; berkesulitan belajar; lamban belajar; autis; memiliki gangguan motorik; menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; memiliki kelainan lainnya; dan tunaganda.

Keempat, pasal 4 Permendiknas tersebut menyebutkan bahwa: (1) Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatandan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk

menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik sebagaimana yang dijelaskan pada poin tiga di atas. (2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam poin tiga di atas. Ini menunjukkan bahwa pendidikan inklusif itu wajib ada di setiap kecamatan, dan sekolah-sekolah lain yang tidak ditunjuk untuk melaksanakan pendidikan inklusif pun didorong untuk melaksanakan pendidikan inklusif agar makin banyak sekolah inklusif hadir di Indonesia. Sebab kalau batasannya itu ibu kota kecamatan, maka tentu sangat repot bagi warga yang tinggal di luar Jawa yang jarak ke ibu kota kecamatan mencapai puluhan kilometer dengan kondisi infrastruktur yang amat buruk, sehingga dipastikan mereka tidak bisa bersekolah pula. Artinya, Permendiknas ini baru akan dirasakan dampak positifnya pertama-tama adalah oleh masyarakat yang tinggal di perkotaan Jawa. Bagi mereka yang tinggal di pedesaan, terlebih luar Jawa, Permendiknas tentang Pendidikan Inklusif tersebut baru akan berdampak 20 tahun ke depan. Meskipun demikian, kehadiran Permendiknas No. 70/2009 itu patut disyukuri karena itu merupakan penegasan pemerintah terhadap komitmennya untuk mengembangkan pendidikan inklusif. Oleh karena berupa Permendiknas, maka perubahannya lebih mudah, bila suatu ketika harus direvisi karena sudah tidak sesuai dengan semangat zaman. Sekarang biarkan Permendiknas itu berjalan lebih dulu sambil dilihat kelemahannya. Pada sisi yang lemah itulah kelak kita revisi.

FA diffa 12 ok.indd 42 11/19/11 9:54 PM

Page 43: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

43EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

JENDELA J

Perintis Olimpiade Spesial Penyandang Disabilitas

43EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

BILA Indonesia mempunyai Kartini, perempuan perintis yang berhasil mewujudkan visi dan perjuangannya,

di dunia penyandang disabilitas ada sosok perempuan luar biasa yang merintis dan mewujudkan sebuah oliampiade spesial penyandang disabilitas. Dia adalah Eunice Kennedy. Bermula dari serangkaian kunjungan ke

sejumlah institusi pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus di Amerika, hati Eunice tergerak. Ia yakin anak-anak down syndrome memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan jika diberi kesempatan sama. Eunice tak berhenti sampai di situ. Ia memulai dengan menggelar sebuah kemah olahraga musim panas khusus bagi anak-anak down syndrome atau tunagrahita di pekarangan belakang

rumahnya pada tahun 1962. Visi Eunice adalah

mengeksplorasi dan mengembangkan berbagai kemampuan anak-anak tunagrahita melalui olah raga dan beragam aktivitas fisik. Hal itulah yang menjadi keyakinan Eunice dan kemudian dikenal luas sebagai The Camp Shriver Concept. Dari acara menggelar kamp di pekarangan belakang rumah, konsep Eunice mulai mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Akhirnya pada Juli 1968, perjuangan Eunice berhasil dengan digelarnya The First International Special Olympic Games di Chicago. “Olympiade special pertama ini membuktikan satu fakta mendasar yang sangat penting, yaitu fakta bahwa anak-anak tunagrahita bisa berkembang melalui olah raga. Mereka bisa menjadi atlet yang hebat,” tegas Eunice dalam acara pembukaan olympiade pertama di Chicago itu.

Kini, 43 tahun kemudian, olimpiade spesial telah menjadi sebuah gerakan internasional yang diikuti sekurangnya 200 negara dan dirayakan oleh sekitar 3 juta penyandang disabilitas di seluruh dunia. Tidak hanya tunagrahita. Indonesia juga telah bergabung dalam perhelatan besar ini. Tahun ini olimpiade spesial bagi para penyandang disabilitas Indonesia diadakan di Solo, Jawa Tengah, 10 sampai 22 Desember 2011.

Eunice Kennedy Shriver

FA diffa 12 ok.indd 43 11/19/11 9:54 PM

Page 44: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

44 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

Mewujudkan Impian dan Harapan

Eunice Kennedy Shriver dilahirkan di Brooklyn, New York pada 10 Juli 1921. Saat itu, Indonesia belum lagi merdeka dan saat olimpiade spesial pertama diadakan di Chicago, Indonesia baru memasuki usia 23 tahun sebagai bangsa merdeka. Di tahun-tahun itu kondisi para penyandang disabilitas khususnya tunagrahita mungkin masih sangat disembunyikan dan dianggap sebagai aib atau kutukan bagi keluarga. Bahkan sampai saat ini, di antara para penyandang disabilitas lain, nasib penyandang tunagrahita di negara kita masih jauh lebih memprihatinkan dan memerlukan perjuangan keras dari berbagai pihak untuk membuatnya lebih baik.

Indonesia memang memiliki banyak keunikan dan kekhasan dalam berbagai aspek sosial-budaya maupun politik, tapi permasalahan disabilitas tak terkait dengan kekhasan semacam itu. Permasalahan disabilitas bersifat universal karena disabilitas tak pernah membeda-bedakan manusia berdasar latar sosial-budaya-politik-agama maupun faktor-faktor lainnya. Indonesia dan Amerika juga jelas berbeda, meski kedua negara ini pernah memiliki presiden flamboyan yang kharismatik. Indonesia memiliki Presiden Soekarno dan Amerika memiliki Presiden John F Kennedy, saudara laki-laki dari Eunice Kennedy. Ya, Eunice adalah adik John F Kennedy. Ia anak ke 9 dari 10 bersaudara keluarga Kennedy. Eunice belajar sosiologi dan meraih gelar sarjananya di Stanford University, California. Pada masa-masa mahasiswa, Eunice belum berjuang untuk dunia anak tunagrahita. Namun sejak kecil

Eunice sudah berkutat dengan anak tunagrahita karena salah seorang kakak perempuannya, Rosemary Kennedy adalah penyandang tunagrahita. Eunice sangat dekat dengan Rosemary meski keluarga Kennedy pernah merahasiakan keberadaan Rosemary pada public.

Dalam perjuangan untuk memberikan kesempatan yang sama kepada para penyandang disabilitas, maka seharusnya semua bangsa memiliki impian dan harapan yang sama. Eunice Kennedy memfokuskan impian dan harapannya untuk berjuang bagi para penyandang disabilitas melalui dunia olah raga. Dan bagi penyandang disabilitas umumnya, olah raga memang sebuah persoalan yang tak mudah diatasi. Tak ada kesempatan, apalagi sarana dan aksesibilitas bagi mereka. Masyarakat seolah sudah menjatuhkan vonis bahwa penyandang disabilitas tak bisa dan tak perlu berolah raga. Karena itulah, Eunice di olimpiade Chicago mengusung motto the chance to play, the chance to compete and the chance to grow. Kesempatan untuk bermain, kesempatan untuk berkompetisi dan kesempatan untuk berkembang. Kesempatan untuk meraih dan berjuang mewujudkan semua impian dan harapan. Tak peduli sekecil atau sebesar apapun impian dan harapan itu.

“Jika bukan karena Rosemary, saya tak kan pernah tahu apa-apa tentang anak berkebutuhan khusus. Bagaimana bisa tahu kalau mereka disingkirkan dan tak seorangpun mau menerima mereka dimana pun?” ungkap Eunice pada pers ketika itu.

Tubuh Sehat Jiwa Kuat Prestasi Hebat

Slogan dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat bukanlah

slogan kosong tanpa makna. Dan apa yang kita anggap sebagai sehat tidak bisa dimonopoli oleh sekelompok orang. Siapa saja bisa dan boleh menjadi sehat, termasuk para penyandang disabilitas. Anggapan atau persepsi bahwa para penyandang disabilitas dengan sendirinya sakit atau tidak sehat adalah sebuah kesalahan besar dalam sejarah hidup manusia. Inilah yang telah dicapai Eunice melalui olimpiade spesial yang dirintisnya; membuktikan pada dunia bahwa anggapan itu salah.

Para penyandang disabilitas, entah itu tunagrahita, tunarungu, tunanetra, atau tunadaksa, adalah manusia-manusia sehat dan akan lebih sehat dengan melalui olah raga. Mereka tak perlu menandatangani surat pernyataan sakit seperti yang terjadi di negara kita ketika para penyandang disabilitas akan bepergian dengan pesawat terbang. Bahkan bukan tak mungkin mereka jauh lebih sehat dibanding orang yang bukan penyandang disabilitas. Mereka bisa berolah raga dan menjadi atlet yang berprestasi seperti terlihat dalam olimpiade spesial sejak pertama diadakan oleh Eunice Kennedy. Pada olimpiade pertama di Chicago saja, sudah terlihat 1000 orang atlet tunagrahita dari 26 negara bagian Amerika ditambah Canada, membuktikan diri mereka sebagai manusia-manusia sehat yang mampu menjadi atlet. Di negara kita pun, kini sejumlah anak tunagrahita bahkan sudah berkiprah sebagai atlet berprestasi di olimpiade tersebut. Sebut misalnya Christian Sitompul, atlet tunagrahita untuk cabang renang yang berhasil meraih banyak medali emas di ajang itu.

Dengan tubuh sehat dan jiwa kuat, prestasi di bidang apapun mungkin tercapai. Termasuk bidang

FA diffa 12 ok.indd 44 11/19/11 9:54 PM

Page 45: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

45EDISI 12-DESEMBER 2011diffa 45EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

pengabdian seperti yang ditempuh Eunice. Jalan hidup Eunice sejak awal memang sudah merupakan jalan pengabdian sosial. Ia bekerja pertama kali di departemen pemerintah yang khusus mengurusi persoalan korban peperangan. Lalu ia menjadi sekretaris eksekutif untuk sebuah program di departeman keadilan. Setelah itu Eunice menjadi pekerja sosial untuk sebuah lembaga yang memperjuangkan hak-hak perempuan sebelum ia hijrah ke Chicago dan merintis perjuangan barunya melalui olah raga spesial penyandang disabilitas. Dan dengan kegigihan perjuangannya, Eunice berhasil meletakkan fondasi untuk sebuah perubahan besar yang kini sudah bisa dirasakan oleh jutaan penyadang disabilitas di seluruh dunia.

Eunice yang meninggal pada usia 88 tahun di tahun 2009, tak pelak adalah sosok pejuang perempuan

yang luar biasa. Perjuangan yang dilakukan sepanjang hidupnya, membuat Eunice antara lain mendapat penghargaan The Legion of Honour, the Prix de la Couronne Française, the Albert Lasker Public Service Award, the National Recreation and Park Association National Voluntary Service Award dan the Order of the Smile of Polish Children. Fx Rudy Gunawan

foto-foto: www. neilpeterson

foto-foto: www. alphamom.com

FA diffa 12 ok.indd 45 11/19/11 9:54 PM

Page 46: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

46 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

PUISIP

Catatan Redaksi:Khusus untuk karya puisi, cerpen dan cerita humor (cermor), Redaksi diffa mengutamakan karya penyandang disabilitas. Karena itu setiap pengiriman karya harap disertai identitas diri dan keterangan disabilitas.

Bintang

Rasty Purnama

Aku bukan purnama, aku suka sama bintangBintang, di mana dirimu, temanilah aku wahai bintangBulan purnama, tak mau seorang diri, kuingin bersama bintangDatanglah bintang, kita berdua kan terbang di awang-awang

Bintang, mari kita melukis cinta di angkasaKita mengukir indahnya sang asmaraBiar bahagia menjelma, dan merengkuh hidup kitaMari meraih mahligai, merangkul suka cinta

Wahai bintang, aku sayangBintang, janganlah kau menghilangJangan biarkan purnama dilanda sepi dan bimbangKuingin habiskan malam bersamamu bintang...

· Rasty Purnama penyandang tunadaksa, tinggal di Pagadungan, Karawang.

FA diffa 12 ok.indd 46 11/19/11 9:54 PM

Page 47: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

47EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

CERMOR CIlu

stra

tor:

didi

pur

nom

o Dus di Warung Sate

Waktu itu aku sudah duduk di bangku SLTP. Meskipun sudah bersekolah di sekolah inklusi, aku masih tetap tinggal di asrama sekolah sewaktu SD dulu. Di asrama ada Mas Agus, penjaga sekolah. Jika sedang bercanda, aku dan teman-teman memanggil Mas Agus dengan sebutan “Dus”. Enaknya Mas Agus juga asyik diajak bercanda. Ia juga menyahut kalau kami panggil Dus.

Suatu sore aku dan temanku Elfi pergi ke warung sate. Cukup banyak pembeli antre. Beberapa menit menunggu, aku mendengar seperti suara Mas Agus yang sudah selesai berbelanja menyapaku. “Ya, Dus!” jawabku bercanda. Tak lama setelah orang itu berlalu, si penjual sate pun menyerahkan pesanan kami. Lalu kami kembali ke asrama.

Sesampai di asrama, Elfi bercerita kepada Kak Wiwi. “Kak, tadi di warung sate kami ketemu Pak Didin. Ia juga beli sate sama Elsi, anaknya.”

Ha?! Jadi, yang menyapaku tadi Pak Didin, guru kelas VI, bukan Mas Agus. Aduh, mudah-mudahan bapak itu nggak dengar ucapanku tadi. Dan semoga Elfi juga nggak dengar. Kalau

sampai Elfi dengar, ia pasti menceritakannya kepada teman-teman yang lain.

Betapa malunya aku! Apalagi kalau Pak Didin yang dengar.

Dia pasti marah. Aku tiba-tiba ingin pingsan, gara-gara kebiasaan “Dus” itu. *

Bercanda dengan Puisi

Saat duduk di bangku SD, aku bersama puluhan temanku tinggal di asrama sekolah. Berseloroh, bercanda, selalu menghiasi hari-hari kami.

Suatu hari aku bersama teman-teman sekelas belajar bahasa Indonesia. Bu guru mengajarkan cara membaca puisi yang baik dan benar. Lalu menugaskan kami membaca di depan kelas secara bergantian. Di akhir pelajaran, bu guru memberi kami pekerjaan rumah menulis puisi tentang hewan.

Malamnya aku langsung mengerjakan tugas itu di asrama.

Aku mulai memikirkan kata-kata untuk puisiku. Beberapa baris kata terlintas di benakku. Lalu kuucapkan kata-kata itu sebelum aku menulisnya.

Aku terus mengulang ucapan itu. “Alah tu, litak tulang Ibuk mandanganyo! (sudahlah, capek Ibu mendengarnya)”, kata Ibu Pembina Asrama sambil tertawa kecil menyela ucapanku. Aku malu, apalagi di sana juga ada Bapak Pembina dan guru kelas VI. Mereka juga ikut menertawakanku. Begitu juga dengan teman-temanku

seasrama. Tapi tak apalah, yang penting aku bisa menyelesaikan pekerjaan rumahku.

Hari-hari berikutnya hampir setiap kali bertemu Bapak Pembina mengulangi ucapanku itu. Sebenarnya aku malu. “Tapi, ya sudahlah, yang penting aku kan sudah bisa menghasilkan satu puisi. Ya, meskipun puisi itu hanyalah puisi sederhana. Mau tahu bunyi puisi itu?

Kucingkukucingku sejuta ekorwarnanya satu sajadia pencilap sambalsambalnya sambal ikanikannya ikan asintulangnya berderuk-deruk

* Mutia Ayu R, S.Pd,

sarjana tunanetra asal Sumatera Barat,

aktif di Dewan Pengurus Cabang Pertuni.

FA diffa 12 ok.indd 47 11/19/11 9:55 PM

Page 48: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

48 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

CERPENC

Ilust

rato

r: di

di p

urno

mo

AKU akan bercerita tentangmu, tentang daun-daun yang beranjak berguguran sebelum musim semi beranjak menembus

watas. Di mana batas-batas itu sejatinya telah kita saksikan bersama dalam sebuah prasasti. Ya, sebuah prasasti kerinduan akan kehidupan. Bersama gerimis yang luruh sepanjang pagi dan sore, sebelum semuanya kita sematkan sebuah jejak-jejak langka di tengah oase senja yang hening ini. Namun, aku tak tahu, apakah engkau sanggup menerima bingkisan ini; kisah dan cerita yang mengalir dari sebuah riak-riak keruh, tempat aku memuja pada mata air sepoi.

“Engkau pasti bercanda?”“Apanya yang bercanda?”Aku balik bertanya. Menatapmu dalam

sebuah rona kebimbangan di tengah senja yang mulai menggelap. Sepertinya, aku telah menemukan ular-ular itu bergelayut dalam dirimu, siap mematukku, lalu menyumpal kerongkonganku dengan bisa yang beracun. Sesekali rona itu berubah menjadi sebuah bunga ranum berwarna merah, bukan darah. Tetapi sekuntum mawar. Ya, sekuntum mawar yang sedang meranum senyum.

“Apa yang baru kamu katakan tadi?”Engkau kembali balik pertanya. Sepertinya

dunia ini sudah penuh dengan tanda tanya, gumamku. Tapi setahuku, tanda tanya adalah sesuatu yang wajar. Sebab kita terlahir dalam sebuah alur yang penuh tanda tanya (?): apa, mengapa, dan bagaimana adalah deretan kata yang senantiasa menjejali kita, bertubi-tubi.

“Tadi?” aku terdiam, menelan ludahku yang tak ingin aku keluarkan di depanmu; menghormatimu. Ya, aku berusaha menghormatimu, sebagai seorang kekasih yang mengisi jiwa dalam kesepianku. “Aku mengatakan bahwa diriku adalah bagian dari jiwamu, tapi kali ini aku telah menyerupai sesuatu yang lain. Aku telah menjelma sosok yang aku sendiri tidak aku kenali.”

Engkau menundukkan kepala. Ada apa gerangan? Tanyaku dalam hati. Engkau masih menunduk. Dan. Terus menunduk. Perlahan-lahan terlihat jelas butiran

bening luruh di tepian

kedua kelopak matamu. Engkau menarik nafas dalam-dalam, lalu menyeka butiran

bening sebesar bulatan jarum pentul yang bersemayam di kedua pipimu.

“Aku sendiri tak tahu apa yang membuatmu berubah seperti ini. Akan tetapi yakinlah, aku mencintaimu!” Engkau kembali menunduk, menarik nafas panjang. “Hari telah beranjak gelap, Cinta. Aku takut tidak mengenal jalan pulang. Sebab, aku pun berada dalam kesendirianku kala engkau tak ada dalam kebaradaanmu. Aku permisi sebentar, Cinta. Besok pagi, saat engkau terbangun dari mimpimu, engkau dapat menemuiku lagi di tempat yang sama ini. Tempat rutin untuk melepas kerinduan kita.”

Aku melepas kepergianmu dengan mata berkaca-kaca. Sejatinya aku sangat berat melepasmu, tapi ini

Kesetiaan

48 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

FA diffa 12 ok.indd 48 11/19/11 9:55 PM

Page 49: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

49EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

adalah sebuah takdir. Takdir yang ditentukan Tuhan. Akan tetapi aku tetap yakin, kita akan berjumpa lagi, sesuai janjimu. Ya, kita akan berjumpa lagi saat aku terbangun dari mimpi-mimpiku yang terbawa arus malam. Dengan seulas senyuman engkau perlahan-lahan hilang di telan jarak, juga pijar cahaya yang mulai gelap.

Sekejap, aku rebahkan tubuhku di atas kasur yang berselimut seprei merah, juga berselimut merah. Seingatku, seprei dan selimut itu adalah pemberianmu, sebagai bukti cintamu kepadaku.

“Merah melambangkan keberanian. Aku hanya berharap engkau berani menjalani hidupmu, menjalani setiap perjalanan cinta kita. Hidupmu adalah kehidupanku, tanpa

kecuali, bukan?”Itulah kata-kata yang engkau daratkan dengan

suara lirih di telinga kananku. Lalu sepasang kecupan mendarat di pipi kananku. Ah, sungguh hangat kecupanmu. Aku pun merindunya lagi. Tapi, aku tak tahu, apakah aku akan mendapatkan kecupan yang serupa darimu lagi. Aku ragu akan hal itu, Cinta.

Aku tersentak kaget mendengar jam welkerku berdering cukup keras. Aku mencoba membuka kedua mataku yang kali ini terasa enggan untuk terbuka. Ternyata sudah pukul lima pagi, gumamku. Aku bergegas melepas selimutku, dengan agak malas aku beranjak dari tempat tidurku.

“Oh, ya. Aku teringat janjimu mau menemuiku,” aku berkata pada diri sendiri, bagai orang gila yang sering aku temui di rumah sakit jiwa.

“Selamat pagi.”Aku tersentak kaget ketika engkau menyapaku di

pagi-pagi buta seperti ini.“Kenapa engkau hadir di pagi-pagi buta seperti ini?”

“Kesetiaan.”“Kesetiaan? Maksudnya?”“Kesetiaan kepadamu, cinta kita; hidup kita.”Aku tersenyum. Sepertinya aku baru saja merasakan

ribuan bahkan ratusan ribu bunga mawar mekar dalam rumahku, rumah cinta.

“Ehm... Bukankah tadi malam aku sudah bilang kepadamu bahwa aku merasa ada yang telah berubah dengan diriku. Ada sesuatu yang lain dalam diriku. Aku telah menjelma sosok yang lain.”

“Dirimu tetaplah dirimu, takkan pernah berubah menjadi sesuatu yang lain. Itu hanya ada dalam pikiranmu. Tidak ada yang dapat mengubah sesuatu yang telah menjadi kehendak suci-Nya. Di balik kesuciannya, engkau hanya sanggup untuk menerima dan memaknainya. Apa pun yang terjadi takkan pernah mengubah statusmu di matanya. Engkau tetap sebagai manusia. Manusia yang sempurna.”

“Bagaimana mungkin aku mempercayai pikiran konyol seperti ini?”

Aku berpaling darimu. Sepertinya ada sesuatu yang menghantam pikiranku. Ia mendesakku bertubi-tubi, hingga otakku terasa hendak pecah dan hendak memuncratkan segala isinya.

“Tenanglah dirimu, Cinta,” katamu lirih usai aku kembali memalingkan muka ke arahmu, sedetik kemudian aku menunduk. “Kehidupan adalah sebuah lukisan yang terus bergerak, yang terus merangkak dari satu titik ke titik lainnya. Dan engkau baru melawati sebagian kecil dari sekian titik-titik itu. Tolong, tatap kedua mataku, Kasih!”

Meski terasa agak berat, perlahan-lahan aku mencoba mengangkat kepalaku. Hingga dalam hitungan beberapa detik kedua kelopak mata kita bersitatap. Aku terkejut, ketika mendapati kedua kelopak matamu menyerupai kedua kelopak mataku, sembap.

“Apa yang terjadi denganmu?”“Ada apa denganku,” engkau balik bertanya.“Ada sesuatu yang lain dalam dirimu.”“Emangnya kenapa?”“Kedua kelopak matamu sembap, seperti habis

menangis. Sama sepertiku.”Engkau menatap langit-langit. Seolah ada sesuatu

yang engkau tangkap dari ketinggian sana. Jawabankah? Tuhankah? Atau barangkali sekuntum mawar yang hendak engkau hadiahkan kepadaku lagi.

Lama engkau terdiam. Satu detik berlalu. Dua detik berlalu. Tiga detik berlalu. Sepuluh detik berlalu. Dua puluh detik berlalu. Engkau masih terdiam menatap

Kesetiaan

Mukhanif Yasin Yusuf

FA diffa 12 ok.indd 49 11/19/11 9:55 PM

Page 50: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

50 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

langit-langit. Namun, dalam hitungan tiga puluh detik sepertinya engkau telah mendapatkan sesuatu; sekuntum mawar yang meranum saat engkau tersenyum kepadaku.

“Kesetiaan!”“Kesetiaan? Aku kembali tak paham apa yang kamu

maksud.”“Kesetiaan atasmu, cinta yang telah bersemi di antara

kita. Cinta yang telah tumbuh sejak lama. Dan aku tak ingin hal yang satu ini berakhir dengan sia-sia. Ia yang memberi kita kekuatan hidup.”

Aku kembali tersenyum. Aku menatapmu dalam-dalam. Ada kedamaian bersamamu yang dapat aku raba dari tatapan kedua kelopak matamu. Hening dan menyejukkan.

***Terik siang terasa membakar seluruh pori-poriku,

menjalar hingga ke tulang sumsum usai menggetarkan sekujur aortaku, bergerak menjalar ke paru-paruku sebelum akhirnya merangsek di lubang kerongkonganku. Namun, aku tetap melangkah menyusuri trotoar yang terus-menerus di landa kebisingan oleh keriuhan makhluk-makhluk asing yang tak lagi asing dalam pandanganku.

Akhir pekan selalu aku habiskan dengan menyusuri jalanan ini, jalanan yang telah menciptakan aku dalam ke-aku-an. Ya, sepanjang jalan yang diapit pohon meranti ini aku telah lama menemukan diriku tiap kali aku terlelap dalam kebimbanganku. Setidaknya, aku dapat terhindar atas pertemuan denganmu. Semenjak aku menemukan sesuatu yang lain dalam diriku, aku merasa tak lagi dekat denganmu. Namun, aku heran, engkau tetap bersikeras bersamaku hanya kaerena satu hal; kesetiaan.

“Kita akan menemukan hidup kita saat kesetiaan benar-benar kita suguhkan spercik gerimis sekalipun. Ia akan terus tumbuh melampaui apa yang telah kita lalui. Hanya tinggal bagaimana kita merasa yakin akan sebuah jalan yang kita pijak. Meski hidup kita terasa mendekati kematian, namun semuanya tergantung Sang Maha, Allah Azzawaja’ala. Mungkin, besok kita akan menemukan diri kita berada di tengah-tengah padang kehidupan yang rimbun, bukan lagi padang gersang yang selama ini kita sua. Hanya ada satu kata; kesetiaan. Kesetian akan prinsip kita; cinta dan kasih. Kehidupan kita.”

Itulah sepenggal kalimat yang meluncur dari bibirmu kala malam menyepikanku dalam gelap. Saat aku tak mampu lagi mengeja sekelilingku. Bahkan aku tak

mampu lagi mengenali diriku. Seolah aku telah terlahir kembali sebagai seorang bocah mungil dari selangkangan bunda. Hanya dapat menangis, dan menangis. Untuk kemudian belajar merangkak, berdiri, dan berjalan.

Tak berapa lama, aku merasa ada sesuatu yang bersemayam di dalam perutku. Ya, aku mendengar sebuah gurauan, atau lebih tepatnya hinaan terhadap diiriku. Aku baru sadar, sejak tadi pagi aku sama sekali belum mengisi perutku dengan sebutir makanan pun, hanya satu gelas air putih yang aku alirkan ke ke kerongkonganku. Aku pun bergegas menuju sebuah bangunan berwarna ungu, tempat aku terbiasa duduk menyendiri kala pikiranku berkecamuk. Tepat di atas pintu masuk aku menemukan sesuatu yang tak asing lagi, “Pak Nif ’s Resto”.

Aku terkejut, ketika baru saja masuk mendapatimu sedang berada di dalam. Dalam kesendirian pula. Dari mana kamu tahu aku hendak ke sini?

“Bukankah karena kaesetiaan?”Aku semakin lelap dalam keterkejutanku. Kenapa

engkau menjawab pertanyaanku, sedang aku hanya bergumam dalam hati? Hmmm…. Sepertinya dunia ini penuh tanda tanya. Di mana tanda tanya itu tak kunjung menemukan sebuah jawaban. Jawaban yang aku butuhkan. Besok? Entahlah….

Aku menatap tajam bayanganku yang terlihat tersenyum pada sebuah cermin yang berukuran besar. Senyumanku beralih ke seorang pelayan cantik kala menghampiri mejaku.

“Ini pesanannya, Mas,” wanita muda itu tersenyum manis.

“Terima kasih,” jawabku sambil tersenyum.“Sama-sama.”Wanita muda berkerudung biru itu beranjak pergi

setelah lebih dulu membungkukkan badan. Aku hanya sanggup mengangguk sembari tersenyum kepadanya. Setelah wanita muda itu hilang ditelan jarak yang menikung ke kiri, aku kembali menatap cermin yang mencipta bayanganku sendiri.

“Memang tak mudah memperjuangkan kesetiaan. Akan tetapi mulai hari ini kita yakin akan kesetiaan itu, Cinta. Hidup adalah sebuah perjuangan. Meski kita telah terusir dari rumah sendiri. Tak mengapalah, karena kita masih berada dalam batas kehidupan, setidaknya.”

Aku tersenyum. Sedang, matahari di luar sana tampak mulai mencengkeram kabut tipis yang terus memijar lanskap asing. Yang tak lagi asing dalam pandanganku….*

Yogyakarta, 30/9/11

FA diffa 12 ok.indd 50 11/19/11 9:55 PM

Page 51: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

51EDISI 12-DESEMBER 2011diffa 51EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

PINDAI P

MUNGKIN tak terbayang, teman-teman penyandang tunarungu yang

hidup dalam dunia sunyi, tidak mendengar bunyi, dan hanya bisa berkomunikasi dengan orang lain lewat bahasa isyarat, bergelut dalam dunia seni pertunjukan seperti teater dan pantomim.

Namun itulah yang dilakukan teman-teman penyandang tunarungu yang bergabung dalam Deaf Art Community (DAC) Yogyakarta. Melalui kegiatan teater, komunitas ini mencoba membangun semangat dan percaya diri lewat ekspresi jiwa seni.

Baru dan BingungKelahiran Deaf Art Community

(DAF) tak lepas dan sentuhan tangan Broto Wijayanto. Awalnya dunia tunarungu adalah dunia yang asing bagi pria ini. Ketika itu ia menjadi pendamping saat komunitas ini masih bernama Matahariku Social Voluntary. Komunitas ini digagas anak-anak Jurusan Psikologi Universitas Gadjah Mada. Saat itu Broto diminta mengajari mereka untuk berkesenian.

“Jujur, pertama kali masuk dalam komunitas ini, saya seperti seorang tak normal yang sama sekali tak mampu memahami mereka. Saat itu saya sadar, apa yang saya rasakan waktu itu adalah apa yang mereka alami ketika bergumul dengan masyarakat,” kata Broto, yang pada waktu itu masih mahasiswa Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.

Niat awal komunitas ini tidak muluk-muluk. Yaitu membuat para penyandang disabilitas pendengaran ini memiliki semangat dan percaya diri melalui seni pertunjukan teater.

Selain itu, dengan kemampuan berpentas, diharapkan bisa mengubah pandangan negatif masyarakat tentang penyandang disabilitas. Bahwa menyandang disabilitas bukan berarti tidak memiliki kemampuan. Bahwa mereka juga memiliki kemampuan yang sama dengan manusia

umumnya.“Saat pertama kali bertemu

mereka, saya blank dan bingung harus bagaimana. Saya sama sekali tak memiliki konsep untuk mengajari mereka teater, karena saya sendiri tak bisa bahasa isyarat,“ kenang Broto.

Kebingungan itu perlahan mulai

Deaf Art CommunitySeni Dalam Dunia Sunyi

foto-foto: Fajar Sodiq

FA diffa 12 ok.indd 51 11/19/11 9:55 PM

Page 52: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

52 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

pupus saat anak-anak penyandang tunarungu tersebut mulai tersenyum dan memperlihatkan kepiawaian bermain pantomim. Broto dan anak-anak asuhannya mulai melakukan latihan teater secara intens. Latihan itu begitu istimewa, karena dilakukan tanpa suara dan musik, hanya melalui

gerakan isyarat.Latihan itu membuahkan

hasil. Desember 2004 mereka mementaskan produksi pertunjukan teater pertama berjudul Letter to God. Anak-anak asuhan Broto begitu gembira dan senang, karena pementasan itu sukses.

Berjuang untuk BertahanSetelah pentas perdana itu

Matahariku Social Voluntary malah vakum, karena salah seorang motor komunitas dari UGM lulus. Tapi Broto tak mau meninggalkan begitu saja komunitas ini. Broto bersama anak-anak tunarungu masih sering berkumpul. Mereka sempat memakai nama Komunitas Pantomim Tunarungu Yogyakarta. Namun tahun 2006 dipastikan kegiatan kelompok itu memakai nama Deaf Art Community. “Sejak itu DAC eksis hingga kini, dan sudah beberapa kali pentas ke luar kota,” tutur Broto.

DAC sengaja didesain sebagai komunitas dengan sistem keanggotaan terbuka. Artinya, masyarakat umum yang bukan penyandang tunarungu pun bisa menjadi anggota. Hal ini dilakukan agar para tunarungu bebas bersosialisasi baik dengan sesama maupun masyarakat umum. Karena itu pula, komunitas tidak memberlakukan kartu anggota. Anggota juga tidak dibebani kewajiban membayar iuran.

“Kami ingin menjadikan DAC komunitas yang menggembirakan, tanpa ada beban dan sebagainya. Yang penting kami bisa berkumpul, senang, dan tertawa bareng untuk mengekspresikan seni,“ ujar Broto. Risikonya, tidak bisa dihitung berapa kepastian jumlah anggota. “Banyak anggota yang masuk dan keluar. Tapi untuk jumlah kasarnya sekitar 30-40 anak.”

Karena tidak ada iuran dan penyandang dana khusus, Broto sering harus nombok saat ada pentas. “Tapi saya melakoninya dengan ikhlas. Berkat mereka, saya sekarang menjadi penerjemah bahasa isyarat. Saya merasa berutang kepada mereka. Berkat merekalah, saya

52 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

FA diffa 12 ok.indd 52 11/19/11 9:55 PM

Page 53: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

53EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

bisa bahasa isyarat. Jadi, saya harus mengembalikannya pada mereka,“ ujar Broto yang juga guru honorer di SMKI Yogyakarta.

Hingga kini DAF sudah beberapa kali pentas, baik di Yogyakarta, maupun di luar kota seperti Surabaya, Madiun, dan Malang. Rata-rata mereka membawakan lakon yang mengungkapkan kegundahan sebagai penyandang disabilitas yang terpinggirkan. Contohnya dalam lakon Aku Ingin Menjadi Kupu-kupu dan Kami Pun Anak Adam dan Hawa.

Lakon Aku ingin Menjadi Kupu-kupu menceritakan keinginan anak-anak penyandang tunarungu agar tidak dianggap sebagai sesuatu yang buruk seperti halnya kepompong. Mereka ingin menjelma menjadi sesuatu yang indah seperti halnya kepompomg berubah jadi kupu-kupu yang indah warna-warni.

Pementasan DAC umumnya berlangsung sukses. Contohnya, ketika mereka diminta pentas untuk memberikan semangat hidup kepada para karyawan di Surabaya. “Sekitar 1.500 penonton menangis. Itu yang paling mengesankan,” tutur Broto.

Semangat dan ObsesiDAC kini mulai dikenal

masyarakat Yogya. DAC latihan rutin

setiap Minggu sore di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). “Kita memakai ruangan mana saja yang kosong di TBY, “ tutur Broto.

Latihan teater para penyandang disabilitas tunarungu ini berlangsung unik. Jika harus memakai iringan musik, suara musik dibunyikan dengan dentuman keras, karena getaran dentuman itulah yang dijadikan anak-anak tunarungu untuk mengikuti irama. Di sisi lain, para penyandang disabilitas ini sangat menguasai bahasa gerak tubuh yang dibutuhkan dalam teater, karena saban hari memang menggunakan bahasa gerak.

Bagaimanpun, hal-hal yang lucu tak terelakkan dalam komunitas ini. Broto menuturkan begitu banyak kesalahpahaman terjadi, cuma tetap dibalut dalam nuansa kegembiraan. Contohnya, Broto meminta membeli gorengan, tapi mereka malah membeli mi goreng. “Di sini saya menyadari memang banyak sekali hal yang menyebabkan kesalahpahaman karena memang informasi melalui suara tak ada,” ujarnya,

Menurut Broto, kegiatan komunitas ini tidak hanya menumbuhkan kepercayaan diri dan ketegaran bagi para penyandang tunarungu. Tetapi juga jadi bahan

pelajaran dan penyadaran bagi masyarakat untuk memahami anak-anak penyandang tunarungu. Lakon-lakon dan pesan yang disampaikan lewat pentas mereka diharapkan menggugah perasaan dan empati penonton. “Sebenarnya yang mereka butuhkan hanyalah senyuman.“

Kini para anggora DAC sudah terampil dalam beberapa macam seni pertunjukan, seperti pantomim, teater, sulap, musik hip hop, dan freestyle. “Untuk musik hip hop kita dibantu teman-teman dari Bejo alias Beatboxing of Jogja. Mereka ini yang selalu mendampingi anak-anak DAC pentas,” kata Broto.

Bagi Broto, bergumul dengan anak-anak DAC sebuah anugerah. Bagi anak-anak DAC, kegiatan teater dan pertunjukan seni itu tentu saja sangat berarti. Karena jalan kesenian ini membuat mereka jauh dari kesendirian dan keterasingan dari masyarakat. Lebih dari itu, mereka menjadi memiliki obsesi hidup. Obsesi komunitas ini adalah memiliki sebuah usaha produksi, misalnya kaos, yang berkaitan dunia bahasa isyarat dan budaya tunarungu. Semoga. * Fajar Sodiq

foto-foto: Fajar Sodiq

FA diffa 12 ok.indd 53 11/19/11 9:55 PM

Page 54: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

54 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

RAGAMR

MEMPERINGATI Hari Sumpah Pemuda dan mensyukuri 1 tahun majalah

diffa, pada 28 Oktober 2011 Mitra Netra menyelenggarakan kegiatan donor darah di kantor di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Kegiatan ini diikuti para penyandang disabilitas (tunanetra, tunadaksa, dan tunarungu), karyawan, serta para sahabat yang selama ini mendukung kegiatan Mitra Netra. Donor darah diselenggarakan melalui kerja sama dengan Unit Transfusi Darah Rumah Sakit Fatmawati. Kegiatan ini menyumbangkan 71 kantong darah.

Sebagian besar tunanetra yang mengikuti donor darah ini merupakan pengalaman pertama. Ada rasa takut. Namun, mereka berhasil mengalahkannya dengan satu tujuan: ingin berbagi kehidupan

Berbagi Kehidupan di Hari Ulang Tahun

pada sesama yang membutuhkan. Pihak rumah sakit pun sangat terkesan dengan banyaknya peserta dan berharap donor darah ini bisa menjadi kegiatan rutin di Mitra Netra.

Penyandang disabilitas juga bisa memberi dan harus belajar memberi. Sebagian orang berpendapat penyandang disabilitas layak diberi dan disantuni. Tanpa disadari, pandangan ini menumbuhkan hambatan mental di kalangan penyandang disabilitas. Kegiatan donor darah ini merupakan salah satu upaya Mitra Netra mengajak para tunanetra dan penyandang disabilitas lainnya untuk belajar memberi. Orang yang banyak memberi juga akan banyak mendapat. * Aria Indrawati

foto-foto: Sigit D Pratama

FA diffa 12 ok.indd 54 11/19/11 9:55 PM

Page 55: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

55EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

BERKOMUNIKASI merupakan hak semua orang, termasuk mereka yang tidak dapat mendengar

atau penyandang tunarungu, yang berakibat menjadi sulit pula berbicara. Meskipun mampu berbicara, umumnya tidak sempurna karena mereka tidak pernah mendengar lafal kata yang benar.

Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) Cabang Solo, sebagai organisasi penyandang tunarungu menyadari benar dampak dari kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat itu. Karena itu mereka melakukan gerakan “Pelatihan Belajar Bahasa Isyarat Bagi Masyarakat Umum”. Kegiatan itu diadakan pada saat car free day di hari Minggu pagi, dengan mendirikan stand kecil.

Kegiatan pelatihan ini diberikan gratis bagi siapa saja yang ingin menguasai atau sekedar mengerti tentang bahasa isyarat. Kegiatan ini diprakarsai oleh Nick Palfreyman, seorang warga Inggris yang juga penyandang tunarungu dan

Pelatihan Bahasa Isyarat

Gerkatin Solo

sedang menyelesaikan disertasinya di Solo. Kegiatan yang awalnya dilakukan bagi kalangan mahasiswa itu ternyata mendapat banyak perhatian. Akhirnya Gerkatin Solo memutuskan meneruskan pelatihan tersebut.

Tujuannya, agar masyarakat umum dapat mengerti apa yang tunarungu katakan, dan sebaliknya dapat menyampaikan sesuatu kepada tunarungu. Dengan demikian tunarungu akan lebih percaya diri bersosialisasi dengan masyarakat yang nukan tunarungu.

Pelatihan yang sudah dilakukan sejak tahun 2005 dengan menggunakan modal dan

sumberdaya swadaya sendiri ini selalu mendapat tanggapan baik dari masyarakat. Dengan adanya pelatihan ini, diharapan semakin banyak anggota masyarakat yang dapat berkomunikasi dengan penyandang tunarungu. Sebaliknya tunarungu pun akan semakin percaya diri bersosialisasi dengan masyarakat.

Harapan Gerkatin Solo, pemerintah memberi perhatian untuk membantu pelatihan bahasa isyarat ini. Terlebih, saat ini kota Solo baru memiliki 3 orang penterjemah bagi tunarungu. * Sigit DP

FA diffa 12 ok.indd 55 11/19/11 9:55 PM

Page 56: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

EDISI 12-DESEMBER 2011

BIOGRAFIB

56

STEVIE WONDERMusikus Tunanetra Top Dunia

Ilust

rato

r: di

di p

urno

mo

FA diffa 12 ok.indd 56 11/19/11 9:55 PM

Page 57: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

57EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

Musikus Tunanetra Top Dunia BANYAK musikus dan penyanyi tunanetra yang menghiasi blantikan musik dunia. Tapi tidak ada yang menandingi

kesohoran Stevie Wonder. Sepanjang karirnya, Stevie

Wonder telah merekam dan menyanyikan lebih dari 30 lagu hit yang menduduki urutan 10 besar Top Hit Amerika dan memenangkan 21 Grammy Award. Ini rekor untuk artis solo yang belum tertandingi hingga kini. Selain itu, ia juga pernah meraih Oscar untuk kategori Lagu Terbaik, lewat I Just Called to Say I Love You dalam dilm The Woman in Red.

Selain sebagai penyanyi, penulis lagu yang andal, dan produser rekaman, Stevie Wonder juga dikenal sebagai aktivis sosial yang banyak berbuat untuk Amerika Serikat dan dunia, terutama untuk penyandang disabilitas seperti dirinya. Seperti lagu-lagunya, ia menginspirasi banyak orang untuk berbuat demi kehidupan dunia yang baik.

Buta Sejak KecilStevie Wonder lahir di Saginav,

Michigan, AS, lahir 13 Mei 1950, dengan nama asli Steveland Judkins Hardaway. Menurut cerita, iaa lahir prematur enam minggu sebelum waktunya, sehingga harus dimasukkan inkubator.

Kondisi premature itu membuat

pembuluh darah di belakang matanya tak tumbuh hingga menganggu fungsi retina. Menurut istilah kedokteran, Stevie mengalami Retinopathy of Prematurity (ROP). Hal ini diperburuk kerja inkubator yang kurang sempurna saat. Diduga inkubator memompa oksigen terlalu banyak sehingga membuatnya mengalami kebutaan.

Meski mengalami kebutaan sejak balita, ibunya, Lula Mae Hardaway mendidik Stevie dengan prinsip kemandirian. Hardaway mengajarkan anak-anaknya yang lain memperlakukan Stevie seperti anak normal, tidak mengejek, atau membantunya terlalu banyak.

Ketika Stevie berusia 4 tahun, pernikahan kedua orangtuanya

hancur. Ibunya memutuskan berpisah dari ayahnya, Calvin Judkins, dan membawa keenam anaknya ke Detroit, termasuk Stevie. Di kota inilah Stevie belajar musik dan nyanyi. Hardaway, yang juga seorang komposer mengajarkan kemampuan bermusiknya kepada Stevie sejak usia dini. Ia belajar piano, drum, bass, dan harmonika. Ia juga aktif di paduan suara gereja.

Menjadi BintangKakak-kakaknya tahu suara

Stevie bagus dan merasa ia memiliki bakat menjadi penyanyi terkenal.

Salah seorang kakaknya, Gerald White, terus mendorong Stevie agar datang ke rumah Ronnie White untuk menunjukkan bakatnya. Ronnie White adalah penulis lagu dan penyanyi soul yang populer saat itu. Setelah berkali-kali menolak dan diomeli kakaknya, akhirnya Stevie mau juga datang ke rumah Ronnie White.

Ronnie White segera mengetahui bakat anak berusia 12 tahun itu. Ia kemudian memperkenalkan Stevie pada Berry Gordy, presiden Motown Records. Rupanya Gordy dan Ronnie White sependapat kalau remaja tanggung itu memiliki suara yang mengagumkan. Karena

begitu terpesonanya pada suara Stevie, Gordy memberinya nama Little Stevie Wonder. Sejak itu namanya berubah menjadi Stevie Wonder, dan menjadi nama panggungnya hingga sekarang.

Tak hanya terpesona, Ronnie White menawari Stevie rekaman pada usia yang masih sangat

belia, 13 tahun, pada tahun 1963. Rekaman dilakukan secara live saat pertunjukan di Chicago’s Regal Theatre. Rekaman itu diberi judul Recorded Live: The 12 Year Old Genius. Luar biasa, satu lagu dari album berjudul itu Fingertips menjadi top hit, bahkan menduduki urutan pertama di Amerika Serikat.

Hal ini melambungkan nama Stevie Wonder. Tahun 1966, Stevie meluncurkan album kedua yang juga menjadi hit. Sejak saat itu Stevie

FA diffa 12 ok.indd 57 11/19/11 9:55 PM

Page 58: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

58 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

Wonder masuk jajaran bintang dunia.

Inspirasi SosialStevie Wonder dikenal bintang

yang banyak terlibat dalam kegiatan sosial. Ia sering menciptakan, memproduksi, dan membawakan lagu-lagu untuk kepentingan amal dan dukungan bagi orang-orang cacat, tuna wisma, pengidap AIDS, kanker, diabetes, mengalami kelaparan dan kekerasan dalam rumah tangga.

Stevie secara khusus menciptakan lagu We are The Word untuk menggalang solidaritas dan

bantuan mengatasi kelaparan yang melanda benua Afrika. Lagu yang ia dinyanyikan artis-artis top dunia itu menginspirasi dan menggerakkan dunia menyelamatkan rakyat benua Afrika.

Stevie Wonder aktif terlibat kegiatan amal antara lain melalui President`s Committee on Employment of People with Disabilities, Children`s Diabetes Foundation, dan Junior Blind of America. Ia juga mendirikan Wonder Vision Awards Program. Aktifitas di berbagai organisasi yang mendorong pemberdayaan potensi penyandang disabilitas di berbagai belahan dunia

ini membuat ia dipercaya sebagai Duta Perdamaian PBB.

Tidak terlalu mengada-ada kalau Stevie Wonder dinilai sebagai artis penyandang disabilitas yang menginspirasi dunia. Seperti juga lagu ciptaannya I Just Called to Say I Love You yang menginspirasi dunia untuk selalu saling mengasihi dan mencintai perdamaian. Sebuah lagu yang sampai saat sering dinyanyikan warga dunia dimana-mana. I just called to say, I love you…. * (Bersambung) Nestor

FA diffa 12 ok.indd 58 11/19/11 9:55 PM

Page 59: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

59EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

59

APRESIASIAPemikiran

Jostein Gaardertentang

Climate Changes*

59EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

SUDAH seharusnya kita memiliki keyakinan dan harapan akan penyelamatan dunia ini di masa datang. Meski

tak pasti apakah masih ada surga bagi kita di dunia baru kelak setelah kehidupan di bumi ini, yang pasti kelak kita akan diadili oleh generasi penerus kita atas apa yang telah kita perbuat pada bumi ini sejak zaman nenek moyang kita.

Permasalahan perubahan iklim (climate changes) dan permasalahan ancaman punahnya keragaman hayati, saling terkait erat dan berkelindan dengan keserakahan manusia. Serakah atau keserakahan secara umum, bagaimanapun, telah terjelaskan sepanjang sejarah kehidupan manusia dalam banyak sekali contoh peristiwa.

Berdasarkan prinsip atau asas timbal-balik, seharusnya kita hanya mengizinkan diri kita untuk menggunakan sumber alam yang tak bisa diperbarui jika pada saat yang sama kita membuka jalan bagi generasi penerus kita agar memiliki alternatif penggantinya. Tak harus sumber alam yang sama, yang penting memiliki manfaat yang sama. Pertanyaan tentang etika tidaklah sulit untuk dijawab karena kita memiliki kemampuan untuk menjawabnya meskipun kerap

kita melupakan begitu saja hal itu. Namun seharusnya kita tak boleh melupakan penerus kita, karena jika kita tak memikirkan mereka, hal itu tak akan pernah mereka lupakan.

Saya bisa melukis gambaran luapan kesedihan anak cucu kita

yang telah kehilangan sumber daya alam penting seperti minyak bumi dan serangkaian keragaman hayati yang otomatis hilang mengikuti hilangnya sumber daya alam itu. “Kalian mengambil semuanya untuk kalian sendiri! Kalian tidak meninggalkan secuil pun untuk kami!” Itulah yang akan diteriakkan anak cucu kita saat itu dengan kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan kepada nenek moyang mereka yang serakah.

Ada banyak alasan mengapa

kita menghancurkan keragaman hayati bumi kita sendiri. Climate changes atau perubahan iklim adalah bayangan hitam yang menyembunyikan banyak perbuatan individual manusia sebagai faktor penyebab climate changes itu sendiri. Jika kita memiliki rasa hormat pada keragaman hayati bumi kita ini, mungkin akan ada secercah cahaya di terowongan gelap bernama

climate changes itu. Jika kekayaan keragaman

hayati yang ada di hutan-hutan tropis, termasuk spesies endemik yang tak terhitung jumlahnya, tidak selamat, maka planet bumi ini akan overload

dan praktis seluruh ekosistem akan terancam punah, termasuk

semua kebutuhan vital manusia. Dan ini adalah ancaman kiamat yang nyata. Atau kita bisa melihatnya sedikit dari sisi lain (yang positif, Red.), jika bukan karena persoalan climate changes, mungkin kita tak akan pernah mencoba menyelamatkan keragaman hayati dari hutan-hutan tropis di bumi ini. Dan jika kita mengelola dengan baik semua kekayaan alam semesta ini, mudah-mudahan kita telah melakukan satu langkah awal penyelamatan ekosistem di bumi ini. frg

*diambil dari petikan materi kuliah umum Jostrein Gaarder di Universitas Indonesia, November 2011.

FA diffa 12 ok.indd 59 11/19/11 9:55 PM

Page 60: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

60 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

INKLUSIFI

Mendidik dengan HatiSDN Putraco Indah Bandung

DALAM balutan baju seragam sekolah, mereka tampak serupa. Bermain bersama dengan

teman-teman di halaman sekolah atau mengikuti kegiatan pramuka. Di dalam kelas barulah mereka terlihat berbeda. Ada beberapa di antaranya tidak betah duduk di bangku atau malas mencatat pelajaran. Maklum, mereka adalah anak berkebutuhan khusus (ABK) yang belajar bersama siswa reguler Sekolah Dasar Negeri Putraco Indah Bandung.

Penampungan ABKSejak SDN Putraco Indah

membuka kelas inklusi untuk anak berkebutuhan khusus pada tahun 2003, banyak orang tua yang mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di sini. Kelas inklusi menjadi salah satu pilihan sekolah bagi para orang tua yang tidak mau menyekolahkan anaknya di sekolah luar biasa (SLB).

Keinginan orang tua untuk

menyekolahkan anaknya di SD negeri sering mendapatkan penolakan dari pihak sekolah karena mereka tidak menyediakan fasilitas belajar yang layak bagi ABK. Ini membuat jumlah siswa inklusi SDN Putraco terus meningkat

setiap tahun. “Melihat

foto-foto: Bambang Prasetyo

60

FA diffa 12 ok.indd 60 11/19/11 9:55 PM

Page 61: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

61EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

Mendidik dengan Hatimereka nggak diterima di sana-sini, jadi nggak tega,” ujar Retnayu Srimaulina, guru SDN Putraco.

Jadinya, SDN Putraco menjadi semacam sekolah penampungan anakABK. Umumnya persentase siswa inklusi adalah 10 persen dibanding siswa reguler. Jika jumlah siswa kelas reguler 40, boleh ada 4 orang siswa inklusi di dalamnya. Tapi di SDN Putraco justru

FA diffa 12 ok.indd 61 11/19/11 9:55 PM

Page 62: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

62 diffaEDISI 12-DESEMBER 201162 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

foto-foto: Bambang Prasetyo

FA diffa 12 ok.indd 62 11/19/11 9:55 PM

Page 63: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

63EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

terbaik, siswa ABK-nya lebuh banyak. Contohnya kelas VI yang diasuh Retnayu. Dari 18 anak, hanya 6 orang murid reguler, 12 sisanya murid inklusi.

Saat ini siswa di SDN Putraco 136 siswa, 70 di antaranya siswa ABK. Sayangnya mereka tidak dapat menerima siswa penyandang

tunarungu dan tunanetra, karena tidak ada guru pengajarnya. Kebanyakan siswa yang bersekolah di sini penyandang autis, hiperaktif, dan tunadaksa.

Kurang Tenaga Pengajar

SDN Putraco tidak membedakan murid inklusi dan reguler. Mereka disatukan dalam kelas yang sama. Hal ini untuk menghindari diskriminasi. Walau faktanya, cara penilaian dan daya tangkap mereka terhadap pelajaran berbeda.

Pada dasarnya para pengajar SDN Putraco adalah guru-guru umum. Tetapi ketika ditetapkan menjadi sekolah inklusi, mereka mengikuti banyak penataran dan mempunyai sertifikat. Akhirnya mereka dapat menangani dan sedikit demi sedikit tahu cara mengajar ABK. “Pengajar dengan dasar PLB cuma ada 3 orang, termasuk kepala sekolah. Jadi, dalam penanganannya, learning by doing,” tutur Retnayu.

SDN Putraco hanya memiliki 12 pengajar. Jumlah ini masih kurang untuk mengajar 136 siswa, terutama karena 70 di

antaranya siswa ABK. Menurut Retnayu, setidaknya sekolahnya membutuhkan 6 pengajar lagi agar kegiatan belajar-mengajar lebih efektif. Sayang sekali, Gunawan, salah seorang guru yang tahu dan paham tentang inklusi, pensiun pula beberapa bulan lalu.

SDN Putraco Indah Bandung

foto-foto: Bambang Prasetyo

FA diffa 12 ok.indd 63 11/19/11 9:55 PM

Page 64: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

64 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

Di sekolah ini satu kelas diajar satu guru. Padahal, menurut Retnayu, untuk sekolah inklusi efektifnya ada dua guru pengajar di tiap kelas. Jika cuma satu guru, kemungkinan ada yang terabaikan jika pengajar tidak bisa membagi waktu dengan benar. ”Jika dalam kegiatan belajar-mengajar murid inklusi yang diperhatikan, murid reguler akan terabaikan. Sebaliknya, jika siswa reguler menjadi prioritas utama, siswa inklusi terabaikan.”

Dinamika Kelas

Bergabungnya siswa reguler dan ABK dalam satu kelas memberi dinamika dalam proses belajar-mengajar di ruang-ruang kelas SDN Putraco. Sering siswa inklusi tidak mencatat, tetapi ketika sesi tanya jawab siswa tersebut bisa menjawab karena dia menyimak dengan baik ketika guru menerangkan.

Menurut Retnaya, siswa inklusi biasanya menguasai materi pelajaran yang berupa hafalan, misalnya IPA. Tapi umumnya mereka kurang cakap dalam pelajaran matematika dan bahasa Indonesia. Hanya sedikit siswa ABK yang dapat menghafal perkalian, kebanyakan hanya bisa menjumlah dan mengurangi. “Mengurangi pun tanpa meminjam, menjumlah atau menyimpan. Perkalian mereka tidak bisa. Hanya beberapa yang hafal perkalian. Di kelas VI hanya ada satu siswa yang hafal perkalian.”

Kadang ada anak yang unggul dalam perkalian dan bahasa Inggris. Tapi itu beberapa murid saja. Kekurangan siswa inklusi dalam mata pelajaran bahasa Indonesia disebabkan sulitnya mereka bersosialisasi. Hal itu membuat mereka sulit menangkap makna kalimat. Sebaliknya, mereka

umumnya pandai dalam menghafal.

Beda tapi Tak DibedakanWalaupun tidak dibeda-

bedakan, target kurikulum buat ABK berbeda dari siswa reguler. Siswa inklusi tidak harus mencapai target kurikulum yang ditetapkan. Meski belum bisa mengeja dengan benar atau hafal perkalian, mereka tetap akan naik kelas sesuai dengan umurnya.

Sistem yang ditetapkan untuk siswa inklusi adalah umur kalender. Jadi, siswa inklusi tidak boleh tidak naik kelas. Tidak heran jika ada siswa kelas VI tetapi kemampuan akademisnya masih setara dengan siswa kelas I.

Jika siswa lain menyelesaikan soal ujian nasional dari pemerintah, siswa inklusi menyelesaikan soal ujian yang diberikan guru sekolah. Uniknya, jika anak tersebut hanya menguasai pertambahan, maka soal yang diberikan hanya berupa soal pertambahan. Walaupun mereka hanya diberi sepuluh soal, hal ini setara dengan siswa yang melakukan ujian nasional.

Soal kelulusan, siswa reguler mendapatkan ijazah dan surat tanda tamat belajar (STTB), sedangkan siswa inklusi hanya mendapatkan STTB. “Hanya STTB, tapi belum tentu lulus,” ujar Retnayu. Sedangkan ijazah, mereka mendapatkannya dari Dinas Pendidikan Luar Biasa (PLB).

Satu hal yang pantas disyukuri, para guru, orang tua, dan murid di SDN Putraco Indah saling mendukung dalam melaksanakan program inklusi di sekolah. Memang seharusnya demikian. Karena pendidikan inklusi adalah salah satu cara untuk menerapkan prinsip “pendidikan untuk semua”. * Bambang Prasethyo

SDN Putraco Indah Bandung

FA diffa 12 ok.indd 64 11/19/11 9:55 PM

Page 65: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

65EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

BISIKAN ANGIN BKAMILA ANDINI

DUNIA perfilman Indonesia saat ini mendapat angin segar dari lahirnya generasi baru sineas muda yang penuh potensi dan siap berkompetisi di ajang festival film international. Salah

satunya adalah Kamila Andini. Perempuan bertubuh mungil yang masih lajang ini adalah sutradara sebuah film berjudul Mirror Never Lies. Film itu telah memenangkan sejumlah penghargaan dari berbagai festival film International, antara lain di Mumbai Film Festival, Tokyo Film Festival, dan Bushan Film Festival (Korea). Selama ini tak banyak film-film Indonesia yang berhasil mendapatkan sejumlah penghargaan sekaligus di ajang festival film international. “Saat ini sudah banyak sineas muda yang berpotensi besar untuk berkompetisi di ajang festival seperti itu,” tutur Dini optimis. Film Mirror Never Lies yang bertema lingkungan adalah salah satu bukti. “Kebetulan tema film itu lingkungan banget, jadi pas dengan isu lingkungan yang sedang menjadi pusat perhatian dunia saat ini,” jelas Dini.

Meski ketertarikan utama Dini lebih pada tema sosial-budaya, namun persoalan aktual seperti lingkungan juga menjadi tema penting bagi Dini. “Kebetulan aku juga sudah cukup lama bergelut dengan persoalan lingkungan sebelumnya, jadi lumayan punya modal untuk membuat film dengan tema itu,” jelasnya. Ya, tanpa pemahaman yang memadai tentang suatu tema, pastilah sulit untuk membuat film yang bisa unjuk gigi di ajang festival film international. Kekuatan cerita dan skenario adalah modal dasar untuk bisa membuat sebuah film yang bagus. Hal ini disadari dengan baik oleh Dini. Jadi jika Dini suatu saat membuat sebuah film tentang disabilitas, apakah ia akan mendalami terlebih dulu persoalan-persoalan disabilitas? “Pasti dong,” tegas putri pertama Garin Nugroho ini mantap. frg

Setelah berkomunikasi intensif selama tiga bulan melalui e-mail dan SMS, akhirnya diffa berhasil mengajak Dian Inggrawati, Runner Up Miss

Deaf World 2011, menjadi model cover edisi ini. Di siang yang terik dan macet itu diffa menjemput Dian di rumahnya untuk pemotretan. Dian antusias menyambut kru diffa. Di sela perkenalan, tiba-tiba dia berteriak. “Kok kamu cowok, sih? Gondrong lagi,” katanya sambil menepuk bahu Jonna Damanik, General Manager diffa. Ternyata selama berkomunikasi lewat SMS dan e-mail itu Dian menganggap Jonna perempuan dan memanggilnya mbak.

Sepanjang perjalanan menuju studio VHR, tempat pemotretan, Dian yang didampingi ibunya mengungkapkan rasa senangnya bisa terlibat untuk memotivasi dan menginspirasi teman-teman penyandang disabilitas melalui majalah diffa.

Dia bergantian dengan ibunya bercerita perjuangan panjang untuk meraih impian. Bahkan terasa keharuan ketika sang ibu bercerita pengalaman mendampingi sepanjang hidup Dian sampai saat ini.

Tak mudah memang bagi penyandang disabilitas untuk meraih kesetaraan untuk meraih cita-cita dan mimpi. Apalagi seperti prestasi luar biasa Dian yang mencapai tingkat dunia dan mengharumkan nama Indonesia.

Dalam perjalanan menembus macet lalu lintas Jakarta itu, tiba-tiba Dian berkata mantap, “Deaf no problem!” Kami kaget. Dian malah tertawa. Namun, dia tersipu saat digoda tanya, “Dian sudah punya pacar?” Pipinya langsung memerah. “Belum,” jawabnya terbata-bata.

Tak terasa kami tiba di studio VHRmedia untuk memulai sesi pemotretan cover. Perjalanan menyenangkan bersama Dian dan sang ibu. Perjuangan menembus kemacetan Jakarta jadi terasa ringan. Ayo, siapa yang mampu merebut hati Dian. * Jonna Damanik

Dian Inggrawati

65EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

foto: Adrian Mulya

foto: Sigit D Pratama

FA diffa 12 ok.indd 65 11/19/11 9:55 PM

Page 66: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

66 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

BINGKAI BISNISB

Cafe Mela

Seribu Donat Sehari

66 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

Foto-foto: Fajar Sodiq

RAMLAH - Irwinsyah sama-sama tunarungu dan wicara. Pasangan ini membuktikan menyandang

keterbatasan bukan berarti tak bisa sukses dalam usaha. Café Mela - House of Donut, usaha bisnis donat pasangan ini, mulai dikenal luas di kota Makassar dan memberi mereka hidup layak.

Tiga Kali ProduksiUsaha kafe dan pabrik donat

pasangan Ramlah - Irwinsyah berlokasi di Jalan Suno 88, Makassar. Selain kafe dan tempat produksi donat, tempat itu juga sekaligus menjadi tempat tinggal. Dari jalan, rumah bertingkat dua itu tampak

megah.Pagi itu sejumlah pekerja

perempuan berseragam kaos warna pink sibuk di ruang produksi di bagian depan sebelah kiri rumah. Ada yang menggoreng donat. Ada yang menyusun kotak-kotak. Ada yang khusus mengoleskan cairan cokelat atau membubuhkan keju.

Mereka asyik bekerja tanpa suara. Terasa sibuk tapi hening. Sesekali, kalau ada perlu, mereka berkomunikasi dengan gerakan tangan atau isyarat. Otomatis, yang terdengar di ruangan itu hanya suara kompor gas penggorengan. Harap maklum, para karyawan itu, seperti halnya kedua majikan mereka, penyandang tunarungu.

Ramlah, yang sudah berdandan

rapi dan cantik, sesekali masuk ruangan itu, mengatur ini-itu, dengan bahasa isyarat. Sebentar kemudian perempuan 38 tahun ini menyuruh karyawan lain merapikan dan membersihkan meja kursi. Sementara pegawai lain mulai sibuk menata donat di dua etalase di bagian depan kafe.

Pukul 7 pagi, orang-orang mulai ramai berdatangan membeli donat. Ada yang berjalan kaki, naik sepeda, motor, atau mobil. Ada yang membeli banyak, ada yang sedikit. Sebagian sudah berpakaian rapi atau berseragam kantor.

Dengan bahasa terpatah-patah dibantu isyarat, Ramlah menjelaskan orang suka produk donatnya karena selalu baru. Ia

FA diffa 12 ok.indd 66 11/19/11 9:55 PM

Page 67: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

67EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

membuat donat tiga kali sehari, pukul 5 pagi, 10 siang, dan pukul 4 sore. “Masih hangat, orang suka,” ujarnya. Tidak main-main, total produksi sehari mencapai 1.000 donat.

Maju Bersama KaryawanBaik Ramlah maupun Irwansyah

menyandang tunarungu sejak kecil. Mereka berkenalan semasa sekolah. Irwinsyah di SLB Pembina dan Ramlah di sebuah SLB swasta. Mereka menikah tahun 1995 dan dikaruniai dua anak perempuan.

Ramlah belajar wirausaha dari orang tuanya. Ketika Ramlah lulus SMP, orang

tuanya merintis usaha kafe. Sebagai anak tertua, Ramlah ikut menjadi karyawan, bertugas sebagai kasir. Sementara dalam usaha donat, Ramlah mengaku karena melihat di Jakarta, juga di Kuala Lumpur, ada toko donat yang

pekerjanya penyandang tunarungu seperti dirinya. “Mereka bisa,” katanya.

Ramlah lalu belajar membuat donat dari iparnya, yang piawai membuat kue. Tahun 2009 ia mulai merintis usaha donat dalam bentuk sederhana, dengan memasang tenda di depan rumahnya. Ia melayani sendiri para pembeli dengan semampunya. Kalau ada yang memesan, ia mengantar sendiri dengan naik motor. Kadang ia menitipkan dagangan ke sekolah-sekolah.

Setelah mulai berkembang, tahun 2010 Ramlah merintis usaha Cafe Mela bentuk seperti sekarang. Ia mengembangkan sendiri kreasi jenis donatnya, hingga makin digemari orang. Kini ada 28 jenis

kreasi donat produksi Café Mela. “Saya kembangkan sendiri,” ujar Ramlah bangga.

Sedikit demi sedikit usaha pasangan ini berkembang, hingga mencapai produksi 1.000 donat sehari, seperti sekarang ini. Ada tiga jenis harga donat sesuai jenisnya, Rp 1.500. Rp 2.000, dan Rp 2.500. Ramlah mengaku keuntungan dari tiap donat Rp 200 hingga Rp 500. Jika rata-rata untung per donat Rp 300, keuntungan dalam sehari paling tidak Rp 300.000.

Seiring dengan perkembangan usaha kafe dan produksi donatnya, Ramlah dan Irwinsyah pun menambah pekerja. Kini karyawan Café Mela 9 perempuan dan 3 laki-laki. Mereka bekerja sesuai kemampuan masing-masing. Seperti

FA diffa 12 ok.indd 67 11/19/11 9:56 PM

Page 68: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

68 diffaEDISI 12-DESEMBER 201168 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

Ramlah dan suaminya, mereka semua penyandang tunarungu. “Kita mau tolong, kasih kerja,” ujar Ramlah dengan intonasi sebisanya.

Para pekerja digaji dengan standar lumayan untuk ukuran kota Makassar. Karyawan yang baru bekerja digaji Rp 600.000 sebulan. Jika lolos masa percobaan, gaji dinaikkan menjadi Rp 800.000. Pekerja yang dinilai sudah bagus bekerja naik gaji lagi menjadi Rp 1 juta. “Sudah ada dua orang,” kata Ramlah.

Menjadi Inspirasi Hingga kini pasangan Ramlah -

Irwinsyah belum terpikir membuka cabang. Cuma ada kantin di gedung

perkantoran Wisma Kalla yang setiap hari memesan 12 kotak (satu kotak isi 24) donat.

Namun, dari peningkatan popularitas donat produksi Café Mela, tidak tertutup kemungkinan usaha pasangan yang sudah naik haji ini berkembang dan membuka cabang. Salah satu kelebihan donat Café Mela adalah cita rasa yang tidak kalah dengan kue donat produksi perusahaan franchise ternama.

Selain itu, banyak variasi jenis donatnya. Kini ada 28 jenis donat kreasi Café Mela. Dari donat kombinasi cokleat, keju, kacang, vanila, abon, bahkan pisang. “Saya kembangkan sendiri,” kata Ramlah. Ada jenis donat yang

FA diffa 12 ok.indd 68 11/19/11 9:56 PM

Page 69: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

69EDISI 12-DESEMBER 2011diffa 69EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

selalu diproduksi rutin, ada yang diproduksi bergantian. Tergantung minat para penggemar.

Hasil sukses usaha pasangan penyandang tunarungu dan wicara ini antara lain terlihat dari Toyota Avanza yang terparkir di depan kafe mereka. Irwinsyah mengendarai sendiri mobil itu, baik untuk kepentingan usaha maupun keperluan keluarga.

Yang tak kalah membanggakan, pasangan yang gigih dan bersemangat ini telah memberi inspirasi bahwa menyandang keterbatasan tidaklah menjadi alasan

untuk sukses dalam usaha. Tidak hanya sukses, tapi juga mampu menolong orang lain, dengan memberikan lapangan kerja kepada sesama penyandang disabilitas, yang sering tak mudah mendapat pekerjaan di masyarakat. Sukses untuk ratu dan pangeran donat! * Nestor

FA diffa 12 ok.indd 69 11/19/11 9:56 PM

Page 70: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

70 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

PELANGIPPertanyaan Bulan Desember

Ilust

rato

r: di

di p

urno

mo

DESEMBER adalah bulan terakhir dalam siklus tahunan kalender Masehi. Setidaknya ada tiga tanggal penting pada bulan Desember, yaitu tanggal 3 Hari Penyandang Cacat Internasional,

tanggal 22 Hari Ibu, dan tanggal 25 hari Natal. Dalam memperingati hari-hari istimewa itu ada baiknya kita merenung dan merefleksi atas apa yang sudah kita capai dan rencana ke depan.

Penyandang disabilitas di Indonesia juga memperingati Hari Penyandang Cacat Internasional. Setidaknya tahun 2011 pemerintah Indonesia meratifikasi Convention on the Rights of Person with Disabilities (CRPD) yang merupakan amanat bagi seluruh bangsa di dunia. Indonesia meratifikasinya menjadi undang-undang, melalui proses panjang penuh perjuangan. Pencapaian ini layak kita apresiasi, walau masih menyisakan kegalauan. Meskipun demikian, hendaknya kita percaya ke depan implementasi dari ratifikasi itu dapat segera terwujud di tanah air.

Perayaan Hari Penyandang Cacat Internasional kiranya juga menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk bahu-membahu mewujudkan kesetaraan bagi penyandang disabilitas dalam tatanan masyarakat yang inklusif. Bagi penyandang disabilitas, perayaan ini tentu patut disyukuri, karena seluruh manusia di bumi tahu bahwa penyandang disabilitas itu ada.

Pertanyaannya adalah bagaimana sikap empati atas kekhususan penyandang disabilitas ada pada seluruh umat manusia, sehingga menimbulkan pola pandang bahwa perbedaan adalah suatu hal yang wajar. Empati inil yang dapat menimbulkan komitmen untuk mewujudkan kesetaraan bagi penyandang disabilitas di

*Jonna Damanik

bumi.22 Desember adalah hari istimewa bagi seluruh

ibu di Indonesia. Penyandang disabilitas pun lahir dari seorang ibu, walau kelahirannya sering menimbulkan kontroversi di keluarga. Kita salut dan hormat atas perjuangan ibu yang melahirkan anak. Terlebih ibu-

ibu yang dianugerahi anak penyandang disabilitas. Perjuangan panjang ibu mendampingi kehidupan anak penyandang disabilitas dengan cinta kasih melewati rintangan apa pun.

Di Hari Ibu 22 Desember ini kita perlu bertanya kepada diri sendiri: sudahkah memiliki cinta kasih seperti cinta seorang ibu. Kita perlu belajar dari cinta seorang ibu. Banyak sekali penyandang disabilitas

yang sukses meraih mimpi melalui perjuangan panjang ibu yang dilandasi cinta kasih.

Umat Kristiani merayakan 25 Desember sebagai hari kelahiran Isa Almasih yang oleh penganutnya disebut Tuhan Yesus Kristus. Isa Almasih pun mengajarkan, “Tidak ada yang berdosa atau yang salah dari keberadaan anak ini. Namun Aku akan menyatakan kemuliaan-Nya melalui kehidupan anak ini.” Sabda itu diberikan ketika menjawab pertanyaan orang-orang atas keberadaan seorang anak buta yang menghampirinya. Bahkan, Isa Almasih bersabda lebih keras lagi. “Janganlah kau berkata engkau mengenal aku kalau kau belum bisa berbuat bagi umatku yang buta, tuli, pincang, terpenjara, miskin. Jika kau ingin mengenal aku, ketahuilah mereka.” Sudahkah kita bertanya kepada diri kita: apakah memandang disabilitas adalah ciptaan Tuhan yang di dalamnya ada pernyataan kemuliaan-Nya?

Selamat Hari Penyandang Cacat Internasional, selamat Hari Ibu, dan selamat Hari Natal 2011.

FA diffa 12 ok.indd 70 11/19/11 9:56 PM

Page 71: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

71EDISI 12-DESEMBER 2011diffa

FA diffa 12 ok.indd 71 11/19/11 9:56 PM

Page 72: Majalah Diffa Edisi 12 - Desember 2011

72 diffaEDISI 12-DESEMBER 2011

Kasih Bagai Langit Biru Tanpa BatasKokoh Tertanam dalam Hati SanubariLayaknya Cahaya Bintang di Langit GelapSelamat Natal 25 Desember 2011 dan Tahun Baru 1 Januari 2012

KELUARGA BESAR MAJALAH DIFFA MENGUCAPKAN:

Alamat Redaksi: Jl. Salemba Tengah No. 39 BB Lt. 2 Jakarta Pusat 12430 Telepon 62 21 44278887, Faxs 62 21 3928562, e-mail [email protected]

1EDISI 04-APRIL 2011diffa

diffa Retina Rumah KampusKhusus Disabel

TapakPanti MultitunaJejak Sejarah

JendelaBelajar Kesetaraandari Ohio

Majalah Keluarga HumanisNo. 04 April 2011 Rp. 21.500,-

Ketegaran Ibu Dua Anak Autis

INCLUDEAudio Version

S E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N

Edisi 04 April ok.indd 1 3/21/11 4:38 PM

FA diffa 12 ok.indd 72 11/19/11 9:56 PM