Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

72
diffa edisi 15 Maret 2012 S E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N dia Media Dunia Disabilitas Angkie Yudistira: Menembus Keterbatasan Lepra Masih Serius No. 15 Maret 2012 O Rp 21.500, Hak Suara Rumah Anak Tunaganda h.06 h.32 h.62 Penyandang Disabilitas FA diffa_15 Maret.indd 1 2/17/12 11:21 PM

description

Hak Suara Penyandang Disabilitas

Transcript of Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Page 1: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

S E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A Ndi!aMedia Dunia Disabilitas

Angkie Yudistira: Menembus Keterbatasan

Lepra Masih Serius

No. 15 -‐ Maret 2012 Rp 21.500,-‐

Hak Suara

Rumah AnakTunaganda

h.06 h.32 h.62

Penyandang Disabilitas

FA diffa_15 Maret.indd 1 2/17/12 11:21 PM

Page 2: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Hak Politik Penyandang

Disabilitas

FA diffa_15 Maret.indd 2 2/17/12 11:22 PM

Page 3: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

mata hati

03diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Hak Politik Penyandang

Disabilitas Did

i Pu

rnom

o

di!aS E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N

Pemimpin Perusahaan/Pemimpin RedaksiFX Rudy Gunawan

General ManagerJonna Damanik

Redaktur EksekutifNestor Rico Tambunan

KonsultanYunanto Ali, HandoyoSinta Nuriah WahidMohamad Sobary, Jefri Fernando

RedakturIrwan Dwi KustantoAria IndrawatiMila K. KamilPurnama Ningsih

KontributorAndhika Puspita Dewi (Semarang)Fadjar Sodiq (Bandung)Jerry Omona (Papua)Muhlis Suhaeri (Pontianak)Yovinus Guntur (Surabaya)Bambang Prasetyo (Bandung)

Redaktur BahasaArwani

Redaktur KreatifEmilia Susiati

Fotografer Adrian Mulja

IlustratorDidi Purnomo

PemasaranSigit D. Pratama

AdministrasiEka Rosdiana

Distribusi dan SirkulasiJonna DamanikBerliaman HalohoPT Trubus Media SwadayaJl Gunung Sahari III/7Jakarta Pusat 10610

PenerbitPT Diffa Swara MediaYayasan Mitra Netra

PercetakanPT Penebar Swadaya

Alamat RedaksiJl. Salemba Tengah No. 39 BB Lt. 2 Jakarta Pusat 12430

Telepon 62 21 44278887Faxs 62 21 3928562e-mail: [email protected]

TAHUN 2012 ini, mungkin pada kwartal atau semester pertama, Jakarta bakal punya hajat

besar, yaitu pemilihan gubernur. Sebagai kota yang super semrawut, mulai dari lalu lintas,

kepadatan penduduk, drainase, tata kota, hingga gaya hidupnya, tentu saja Jakarta membu-­

tuhkan gubernur yang juga super hebat. Seorang pemimpin super dengan kualitas luar biasa.

luar biasa. Punya integritas kuat, tidak korup, bijaksana, tidak mementingkan diri sendiri, berdedikasi, dan

berkomitmen tinggi pada tanggungjawab yang diembannya, mampu mengayomi rakyat, berani mem-­

Tentu kita berharap gubernur yang baru nanti memiliki sekurangnya setengah atau sepertiga saja kualitas

pemimpin super itu. Syukur-­syukur kita mendapatkan pemimpin yang memiliki seluruh kualitas itu.

Namun sebelum harapan itu melambung terlalu jauh dan bisa membuat sakit parah, lebih baik kita

mencoba mengkaji satu aspek saja sesuai dengan kapasitas dan kompetensi kita. Urusannya akan jadi

politik para penyandang disabilitas. Ini persoalan yang sejak zaman Presiden Soekarno, Soeharto, bahkan

hingga Gus Dur yang juga seorang tunanetra, belum pernah dianggap penting atau dijadikan sebagai salah

satu prioritas oleh para pemimpin bangsa ini. Sampai ke periode kedua pemerintahan Presiden Yudhoyono

pun, persoalan hak politik para penyandang disabilitas belum terwacanakan sebagai hal penting. Memang

sudah ada juga peraturan daerah (perda) di DKI Jakarta dan juga Jawa Tengah yang mengharuskan adanya

aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas di tempat-­tempat umum, namun tetap ada kendala-­kendala

yang sama dalam pewujudan peraturan tersebut.

Semua kendala tersebut bisa menjadi sulit atau bahkan tak terselesaikan bila persoalan substansial

dari kehidupan para penyandang disabilitas belum diselesaikan. Salah satu persoalan substansial itu

adalah soal pemenuhan hak politik para penyandang disabilitas. Jelas tak mungkin mengakomodasi

aspirasi, pemikiran, atau keinginan para penyandang disabilitas bila mereka tak punya akses pada ke kuasa

an. Sementara, kita tahu persis akses pada kekuasaan hanya dapat diperoleh jika semua kelompok atau

komunitas yang ada di masyarakat memiliki dan terpenuhi hak politiknya. Dalam mekanisme demokrasi,

maka yang pertama-­tama harus dipenuhi adalah akses pada proses pemilihan umum atau penggunaan

hak suara.

Bagi kelompok masyarakat non-­disabilitas, hak suara sepertinya bukan suatu persoalan besar. Selama

mereka memiliki identitas diri yang resmi, maka bisa menggunakan hak suara dalam berbagai tingkat

pemilihan umum. Namun bagi penyandang disabilitas seperti tunanetra, tunarungu, tunadaksa, atau

tunagrahita, untuk bisa menggunakan hak suara dalam pemilu perlu perjuangan khusus yang tidak mu-­

dah. Diperlukan fasilitas khusus agar sebuah bilik suara aksesibel bagi penyandang disabilitas yang mana

pun. Tunanetra membutuhkan kertas suara dengan huruf Braille, tunadaksa, tunarungu, dan tunagrahita

perlu pendamping yang bisa menjaga kerahasiaan dan membantu mereka selama proses pemilu. Seorang

tunarungu memang bisa datang sendiri ke bilik suara, namun karena tak mendengar saat dipanggil maka

sia-­sia saja datang. Itulah contoh-­contoh kecil yang hingga puluhan tahun kita merdeka tetap saja belum

dianggap penting. Semoga, dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 dan Pemilu Presiden 2014 dan

pemilu-­pemilu lainnya, aksesibilitas tersebut mulai terwujud sehingga hak politik para penyandang dis-­

abilitias mulai terpenuhi.

Inilah persoalan substansial yang harus selesai terlebih dahulu dan menjadi pekerjaan rumah atau

tantangan bagi siapa pun yang ingin menjadi pemimpin bangsa ini. FX Rudy Gunawan

Foto

: Sig

it D

Pra

tam

a

FA diffa_15 Maret.indd 3 2/17/12 11:22 PM

Page 4: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

sambung rasa

04 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Dear diffa

Saya mempunyai seorang anak dengan Cerebral Palsy. Saat

ini anak saya berusia 14 tahun. Sudah remaja. Saya ingin sedikit

sharing.

Suatu hari saya mengajak anak saya makan di food court di

sebuah mal. Di food court itu kursi roda anak saya harus melewati

kerumunan orang. Kebetulan juga jalannya sempit. Meski sudah

bilang “permisi” agar orang-­orang berkenan memberi jalan agar

kursi roda tidak menabrak orang, tetap saja tangan anak saya yang

sering bergerak-­gerak secara tidak sengaja menyenggol, maaf, pan-­

tat seorang ibu muda. Dengan nada marah, ibu itu bilang kepada

saya, “Meski cacat, paling nggak ajarin sopan santun, dong!”

Bagaimanapun, inilah realitas yang harus dihadapi jika

membawa anak saya ke tengah masyarakat, yaitu harus mau dan

berani menghadapi omongan-­omongan “kasar” seperti itu. Meski

saya sudah meminta maaf dan mencoba menerangkan bahwa

anak saya punya masalah pada koordinasi gerakan, pada motorik

halus dan kasarnya, dan kami masih terus melatihnya agar bisa

lebih baik, tetap saja ibu itu marah-­marah terus.

Langsung otak ini ke masa lalu. Masuk di tempat yang

sama, dengan peristiwa yang juga bisa dibilang sama. Kala itu

anak saya juga menyenggol orang di food court ini. Tapi reaksinya

berbeda, karena waktu itu anak saya masih kecil. Ibu yang kena

senggol masih bisa “tersenyum”. Mungkin masih maklum, karena

yang menyenggol anak-­anak.

Setelah pulang dari food court, meski sedikit kesal saya jadi

berpikir juga. Mengapa kali ini reaksi orang bisa begitu berbeda?

Memang sih, orangnya beda, jadi reaksinya bisa saja beda. Tapi, apa

mungkin karena anak saya badannya sudah besar dan sudah tidak

dianggap anak-­anak lagi, sehingga “tuntutan” kepadanya juga

jadi naik? Ia harus bersikap “dewasa”. Tantangannya, di dalam be-­

berapa jenis disabilitas ada yang antara besar badan atau umur dan

tingkah laku sering dianggap tidak sinkron. Seperti kondisi anak

saya. Meski sebenarnya itu juga lebih karena reaksi motoriknya,

bukan karena tingkah laku atau sifat dia seperti itu. Juga bukan

karena dia tidak sopan.

Seandainya saja ibu muda itu tahu bagaimana kami sekeluarga

mengajarkan bahasa isyarat kepada anak saya. Misalnya, “terima

kasih” atau “tolong”. Kami harus jungkir balik untuk itu. Jadi,

sebenarnya jangan dianggap kami tidak mencoba mengajarkan

sopan santun kepada anak kami. Ya, itu baru salah satu contoh

kejadian “kecil”. Dalam membesarkan anak yang masih kecil dan

yang mulai masuk remaja, tantangan yang harus dihadapi bisa

menjadi sangat baru atau bahkan berbeda.

Mungkin diffa bisa membantu saya dengan mengulas persoalan-­

persoalan yang dihadapi remaja yang menyandang disabilitas.

Apa saja yang harus dipersiapkan atau diperhatikan orang tua

dalam membimbing anak-­anak yang menyandang disabilitas

dalam memasuki masa remaja? Mungkin juga ada tips-­tips atau

sharing dari sesama orang tua dalam mengatasi persoalan-­per-­

soalan itu.

Terima kasih.

Irma Koswara

Did

i Pu

rnom

o

FA diffa_15 Maret.indd 4 2/17/12 11:22 PM

Page 5: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

daftar isi

05diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Memperjuangkan Hak Suara Penyandang Disabilitas 09

sudut pandang Benang Merah Kehidupan

35

biografi Nick Vujinic, Menjadi Motivator

Tingkat Dunia 66

jendelaKisah Sedih Anak Tunagrahita

dari Philadelphia 27

kolom mas bejo Pengalaman Berharga & Ber-‐

gengsi 30

persepsiMasalah Kusta, Diskriminasi dan

Stigmatisasi 32

jejakJalan-‐jalan ke Malang 39

apresiasi 38puisi 44konsultasi pendidikan 46ruang hati 48bingkai bisnis 50cerpen 52bisikan angin 55bugar 56inklusif 59pindai 62beranda 65cermor 69pelangi 70

mata hatiHak Politik Penyandang Disabili-‐

tas 03

cerita sampulMenyulap Keterbatasan 06

pirantiKenguru 08

tapakMempersiapkan Guru Inklusi 20

sosokGuru gamelan Berbekal Kesaba-‐

ran 24

berandaDeteksi Dini Anak Autis 26

Ralat Foto

Dalam Majalah diffa edisi 14, Februari 2012,

pada artikel liputan DIS Bienalle Jogja XI,

Semangat Kesetaraan Disabilitas dalam Seni

ada kesalahan dalam kredit foto. Kredit foto

tersebut seharusnya Farhan Adityasmara,

tapi tercetak Sigit D Pratama. Atas kesalahan

tersebut diffa mohon maaf kepada rekan

Farhan Adityasmara dari Metropole Light-­

berry.

FA diffa_15 Maret.indd 5 2/17/12 11:22 PM

Page 6: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

cerita sampul

SIANG itu fotografer diffa Adrian dan Sigit tiba di studio VHR Media,

Ragunan, pas jam makan siang. Namun keduanya menolak diajak

makan. “Nanti aja,” kata Adrian. Keduanya bergegas menyiapkan pro-­

perti pemotretan.

Sekitar satu jam kemudian semua properti siap sudah. Barulah

Adrian dan Sigit makan, sambil menunggu Angkie Yudistia, penyandang tuna-­

rungu yang rencananya akan dipotret untuk model sampul diffa edisi Maret 2012.

Beberapa lama menunggu, Angkie datang. Angkie keluar dari mobilnya sam-­

bil tersenyum. “Sorry ya, agak telat. Habis, macet banget,” ujarnya.

Meski tunarungu, Angkie berbicara cukup jelas. Ia cepat menangkap pem-­

bicaraan dengan membaca gerak bibir. Sekilas tak terlihat kesan gadis ini yang

memiliki keterbatasan pendengaran. Parasnya cantik, penampilannya modis.

Kami memasuki ruangan studio. Kru diffa memperkenalkan diri, termasuk

FX Rudy, Pemred diffa. “Kok, di sini cowok semua?” tanya Angkie sambil tertawa

lebar. “Cewek-­ceweknya ada di lantai dua,” sahut Rudy.

06 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

MenyulapKeterbatasan

Foto

: Sig

it D

Pra

tam

a

FA diffa_15 Maret.indd 6 2/17/12 11:22 PM

Page 7: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Setelah berbincang beberapa saat, Angkie bersiap dan berganti

pa kaian. Adrian memaparkan sedikit angle pemotretan yang akan dilakukan.

Angkie mengangguk cepat mengerti.

Angkie putri pasangan Hadi Sanjoto dan Indiarty Kaharman. Ia mengalami

hambatan pendengaran saat berusia 10 tahun. Angkie harus sekolah di sekolah

umum, karena mengikuti orang tuanya yang sering pindah tempat tugas.

Bergabung di sekolah umum membuat Angkie tertekan. Ia sering mendapat

perlakuan tidak adil dan dikucilkan oleh teman sejak di sekolah dasar. “Waktu itu

aku sering diejek teman-­temanku, karena mereka mengira aku telmi (telat mikir).

Aku sempat down dan selalu mikir kenapa aku berbeda dari teman-­teman lain.

Tapi aku berusaha untuk . Dan inilah yang

membawa aku selalu berjuang dan bisa menyelesaikan studiku,” ujarnya.

Dengan keyakinan yang kuat, Angkie berhasil menyelesaikan S2 Marketing

Communication di The London School of Public Relations Jakarta. Angkie juga

kemudian bergabung dengan Sehjira, organisasi sosial penyandang tunarungu,

sebagai relawan . Kiprah ini membawa Angkie lebih dalam ke

dunia disabilitas, yaitu semangat untuk memperjuangkan hak-­hak penyandang

disabilitas lain.

Berbekal pengalaman dan pengetahuan mengenai disabilitas, pada tahun

2010 Angkie mewakili Indonesia mengikuti Disability Equality Training di Asian

ing Training di Strasbourg, Prancis.

Ilmu baru menuntun Angkie menggagas gerakan peduli disabilitas melalui

Gerakan Pita Biru. Melalui gerakan ini Angkie mengajak mem-­

bantu tunarungu yang tidak mampu secara ekonomi. Angkie berhasil mengajak

3 juta orang yang berempati.

Dalam rangkaian gerakan tersebut, Angkie juga menerbitkan buku Perem

. Buku ini berkisah tentang pengalaman

pribadinya menembus keterbatasan pendengaran. Buku ini diharapkan meng-­

inspirasi dan memotivasi teman-­temannya, termasuk penyandang disabilitas

jenis lain, untuk selalu yakin bahwa di balik keterbatasan ada kelebihan. “Kita ha-­

rus menjadikannya sebuah kelebihan. Tidak ada masalah tanpa solusi,” ujarnya.

Angkie mengaku menjadikan itu pedoman hidupnya.

Angkie juga mendirikan Dissable Enterprise untuk membantu teman-­teman

penyandang disabilitas berkarya dalam bidang . Itu impiannya.

Ia ingin teman-­teman penyandang disabilitas dapat lebih berkarya tanpa dis-­

kriminasi, mandiri, dan mendapat kesempatan yang sama di masyarakat luas.

Tidak sulit mengarahkan gaya Angkie dalam sesi pemotretan. Dara ini

agaknya sudah terbiasa bergaya di depan kamera. Semua arahan Adrian dilaku-­

kan dengan cepat dan Sigit terus mengabadikan dengan kameranya.

Sekitar satu jam kemudian, Adrian berkata, “Cukup!” Artinya, foto cantik un-­

tuk sampul diffa sudah didapat.

Jonna Damanik

07diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 7 2/17/12 11:22 PM

Page 8: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

piranti

KenguruMOBIL mungil

bertenaga listrik de-­

ngan penggerak roda

belakang dengan

roda berukuran 12

inchi ini diciptakan khusus untuk penyan-­

dang disabilitas. Mobil buatan Hongaria

ini hanya memiliki sebuah pintu di bagian

belakang yang seperti pintu bagasi pada

kendaraan umumnya. Bedanya, pintu itu

memiliki ram di bagian bawah yang dapat

membuat kursi roda langsung memasuki

bagian kabin. Pintu ini bisa dibuka dan

ditutup menggunakan remote bertenaga

listrik yang terintegrasi pada kendaraan.

Semangat kesetaraan yang dibawa

terwakili dengan berbagai kemudah-­

an yang diberikan kepada penyan-­

dang tunadaksa yang menggunakan

kendaraan ini. Kenguru memberikan

kesempatan bagi tunadaksa untuk

melakukan mobilitas ke mana pun,

tanpa kerumitan harus antre di tempat

pengisian bahan bakar.

Penyandang tunadaksa dapat

mengendarai mobil berukuran

panjang 2,2 meter, lebar 1,6 meter,

dan tinggi 1,5 meter ini. Badan mobil

miliki material rangka dari baja.

Untuk me ngendalikan disediakan

seperti mengendarai motor

dengan berbagai tombol fungsi. Mobil

mungil ini mampu melaju hingga 40

kilo meter per jam dan dengan jarak

maksimal 110 kilometer dalam sekali

pengisian daya (charge).

Sayang, mobil merek Kenguru

yang mengusung slogan “mobility

for disabled” ini belum masuk pasar

Indonesia. Melihat fungsi dan sema-­

ngat yang diusungnya,

semoga mobil ini segera masuk Indo-­

nesia dengan pajak rendah dan harga

murah, sehingga banyak penyandang

tunadaksa dapat memiliki dan meng-­

endarainya.

08 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Foto

: Sig

it D

Pra

tam

a

Foto

: Is

tim

ew

a

FA diffa_15 Maret.indd 8 2/17/12 11:22 PM

Page 9: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

retina

Di Jakarta baru saja berlangsung pertemuan

regional mengenai akses penyandang disabilitas

dalam pemilihan umum. Bagian dari langkah

memperjuangkan hak politik warga negara

penyandang disabilitas

09diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Memperjuangkan Hak Suara

Penyandang Disabilitas

Foto

: Sig

it D

Pra

tam

a

FA diffa_15 Maret.indd 9 2/17/12 11:22 PM

Page 10: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

10 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 10 2/17/12 11:22 PM

Page 11: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

KONFERENSI Regional Access to Elections for Persons with Dis-­

abilities dilaksanakan di Hotel Pullman, Jakarta, 1 -­ 2 Februari

2012. Acara dengan tema

Person with Disabilities Promo Election Access for All ini dihadiri

150-­an peserta dari Indonesia, Thailand, Jepang, Myanmar, Viet-­

nam, Filipina, Laos, Timor Leste, Kamboja, Brunei, Malaysia, dan perwakilan dari

berbagai organisasi internasional.

Mereka para tokoh dari organisasi penyandang disabilitas dan lembaga yang

hambatan umum yang dihadapi penyandang disabilitas dalam menggunakan

hak-­hak politiknya. Supaya kita saling tahu dari berbagai negara dan

dibagikan dengan negara lain. Kita saling belajar,” kata Yusdiana, Ketua Pelaksana

Konferensi dari General Election Network for Disability Access (AGENDA).

AGENDA adalah lembaga yang dibentuk Persatuan Penyandang Cacat

Indonesia (PPCI), Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Penyandang Cacat, dan

International Foundation for Electoral Systems (IFES) dengan dukungan United

States Agency for International Development (USAID). Konferensi dibuka secara

resmi oleh Wakil Menteri Luar Negeri H.E. Wardana, mewakili Menlu Marty

Natalegawa yang berhalangan hadir.

Wacana Berbagai NegaraSelama dua hari pertemuan dialog, para tokoh dan pemerhati dari pihak

pemerintahan dan organisasi disabilitas dari berbagai negara dan lembaga inter-­

nasional berbicara menyampaikan pandangan dan pengalaman.

11diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 11 2/17/12 11:22 PM

Page 12: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Fakta yang terungkap dari sesi-­

sesi pertemuan itu, di antara delapan

negara ASEAN ada yang memiliki

pengalaman relatif baik dalam pelak-­

sanaan pemilihan umum, tapi belum

baik dalam akses penyandang disabili-­

tas. Indonesia dinilai masuk kategori

ini. Ada yang memiliki pengalaman

bagus dalam penanganan hak-­hak

penyandang disabilitas, tapi belum

bagus dalam pelaksanaan pemilihan

umum. Ada pula yang dinilai sudah

cukup baik dalam kedua hal itu, yaitu

Filipina dan Thailand.

Josephine de Vera, tokoh pe-­

nyandang tunadaksa dari Filipina

menceritakan langkah kreatif yang

dilakukan KAMPI, federasi organisasi

penyandang disabilitas di Filipina

dalam mendata anggota. Organisasi

ini bekerja sama dengan jaringan mal

terkemuka di seluruh provinsi. Pen-­

dataan penyandang disabilitas dilaku-­

kan di mal-­mal tersebut. Pihak mal

pun sangat tidak keberatan, karena

setelah mengikuti pendataan, para

penyandang disabilitas berbelanja di

mal tersebut.

Dengan memiliki data yang

lengkap dan akurat, KAMPI di tiap

provinsi dapat dengan lebih mudah

menyampaikan kebutuhan anggota

dalam berpartisipasi di pemilu ke-­

pada lembaga penyelenggara pemilu

tingkat provinsi.

Thailand memiliki pakar-­pakar

disabilitas untuk membantu peme-­

rintah dalam menyelesaikan masalah

disabilitas. Adanya dukungan media

untuk penyandang disabilitas, seperti

buku panduan dengan huruf Braille

atau video dengan bahasa isyarat,

membuat pendidikan politik bagi

penyandang disabilitas berjalan baik.

Negara ini juga sudah memiliki ang-­

gota parlemen perwakilan penyan-­

dang disabilitas.

Hal itu, misalnya, sangat jauh

berbeda dari cerita dari Timor Leste.

Menurut Joaozito dos Santos, satu-­

satunya peserta dari Timor Leste,

dalam aksesbilitas gedung saja, 90

persen lebih gedung Timor Leste

belum memenuhi aksesbilitas. Sebab,

baru 2 gedung, kantor presiden dan de-­

partemen luar negeri, yang memiliki

lift dan ram. “Di bidang transportasi

juga sama. 99 persen tidak aksesbilitas,”

katanya.

Begitu pula dalam bidang

pendidik an. Di Timor Leste hanya

ada sebuah sekolah dasar luar biasa

(SDLB). “Kalau ingin melanjutkan ke

SMP dan SMA, tidak ada sekolahnya.

Mungkin harus ke Indonesia,” kata

Joaozito dengan senyum getir.

Pembicara dari Indonesia Selain menjadi moderator, ba-­

nyak tokoh Indonesia tampil sebagai

pembicara. Antara lain Saharuddin

Daming, doktor hukum tunanetra dan

anggota Komnas HAM penyandang

disabilitas pertama. Juga Hadar N.

Gumay, Direktur Centre for Electoral

Reform (CETRO), dan Prof. Irwanto dari

Centre of Disability Studies, Universi-­

tas Indonesia.

12 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 12 2/17/12 11:22 PM

Page 13: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Tidak hanya dari Jakarta, dari

daerah tampil Suryatiningsih Budi

Lestari dari KPU Yogyakarta. Ningsih

menuturkan, keberadaannya sebagai

penyandang disabilitas tunadaksa

menjadi anggota KPU Sleman telah

membuat pemilu di daerahnya benar-­

benar memenuhi akses penyandang

disabilitas. Ada alokasi anggaran yang

cukup, karena ia berhasil meyakinkan

DPRD bahwa itu memang diperlukan.

Ada alat bantu untuk pendidikan

pemilih dan saat pemungutan suara.

Pemilu yang lebih aksesibel itu juga

telah memungkinkan penyandang

tunanetra menjadi anggota DPRD di

Kabupaten Sleman.

Satu hal yang jelas, semua peserta

bersepakat peningkatan peran pe-­

nyandang disabilitas dalam pemilihan

umum harus menjadi komitmen ber-­

sama negara-­negara ASEAN. Semua

negara di regional ini harus berusaha

memajukan peran serta penyandang

disabilitas melalui partisipasi politik,

sehingga hak-­hak sosial, ekonomi, bu-­

daya, pendidikan mereka juga makin

tersentuh dan terpenuhi. Untuk itu

dituntut peran aktif pemerintah dan

pihak yang berkaitan, terutama kala-­

ngan disabilitas sendiri.

Simulasi Pemilu AksesibelBukan hanya kebijakan-­kebijakan

politis atau konsep pemilihan umum

yang menjadi bahan dialog dalam

konferensi, melainkan juga mem-­

bicarakan penerapan, bahkan melaku-­

kan simulasi pemilu akses disabilitas.

Dalam simulasi pemilu aksesi-­

bel, peserta konferensi diperlakukan

layaknya penyandang disabilitas yang

memiliki hambatan pada proses pe-­

milihan. Peserta dialog non-­disabilitas

dibuat ikut merasakan menjadi pe-­

nyandang disabilitas dengan menggu-­

nakan penutup mata seolah tunanetra

atau diikat kaki atau tangannya seolah

tunadaksa.

Perlakuan terhadap disabilitas

saat akan memilih dibeda-­bedakan

berdasarkan kondisi disabilitasnya.

Tunanetra disediakan tongkat dan

pemandu. Tunadaksa disediakan kursi

roda. Pokoknya dibuat seperti tempat

pemilihan suara sesungguhnya.

Dalam perlengkapan pemilihan

suara ada penambahan perangkat

pemilihan. Contohnya lapisan stiker

timbul dengan huruf Braille bagi

tunanetra pada lembar pilih. Tersedia

lembar persetujuan bagi disabilitas

yang membutuhkan pendamping,

Pendamping, yang disediakan panitia

memiliki hak untuk ikut masuk ke

dalam bilik suara.

Alur pemilih dalam menentukan

pilihannya sama dengan alur umum.

Pemilih mendaftarkan diri dengan

membawa kartu pemilih, menentu-­

kan pendamping, menyetujui hak

pendamping dan alat bantu yang

dibutuhkan, mengambil surat pemilih

13diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Foto

: Sig

it D

Pra

tam

a

FA diffa_15 Maret.indd 13 2/17/12 11:22 PM

Page 14: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

(bagi tunanetra dibedakan dengan

menyertakan huruf Braille), masuk ke

dalam bilik, memasukkan kertas suara

ke dalam kotak, dan menandai tangan

dengan tinta sebagai tanda sudah

melakukan hak pilih.

Peserta yang mengikuti simula-­

si kemudian diminta menuliskan

pendapat atau saran. Kekurangan

atau keluhan dicatat untuk kemudian

dirumuskan dan dicari jalan keluar.

Suasana simulasi berlangsung seru,

seolah berada di tempat pemungutan

suara.

Alat Bantu TeknologiTopik khusus lain yang cukup me-­

narik dalam konferensi adalah adalah

membuat pemilu menjadi aksesibel

untuk penyandang disabilitas dengan

memanfaatkan alat bantu teknologi,

khususnya untuk tunanetra.

Ada beberapa jenis bantuan

teknologi bagi tunanetra membuat

pemilihan umum menjadi aksesibel.

Pertama dengan bantuan suara. Kedua

dengan bantuan perabaan. Bantuan

pertama adalah fasilitas

thesizer yang menginformasikan me-­

lalui suara bagaimana tunanetra dapat

memberikan suaranya. Kedua, fasilitas

tombol yang dapat diraba.

synthesizer akan memberitahukan

ada tombol dengan bentuk berbeda

serta fungsi tombol tersebut. Misalnya,

jika memilih kandidat A, silakan tekan

tombol berbentuk kotak. Untuk kandi-­

dat B, silakan tekan tombol berbentuk

bulat. Dan seterusnya. Hal ini sudah

diterapkan di Amerika Serikat.

Ketiga adalah fasilitas

recognition. Tunanetra cukup menye-­

butkan pilihannya, dan alat bantu

teknologi akan membantu merekam

pilihan tersebut. Idealnya, alat bantu

semacam ini merupakan bagian dari

kelengkapan tempat pemungutan

suara.

Secara prinsip, ada atau tidak

pemilih tunanetra, fasilitas ini harus

disediakan. Yang tak kalah penting,

harus ada pelatihan dan pendidikan

bagi para pemilih tunanetra bahwa

penyelenggara pemilu menyediakan

alat bantu ini dan bagaimana cara me-­

manfaatkannya. Tentu pengadaan alat

seperti ini membuat biaya pemilihan

umum jadi mahal.

Peran diffa Satu hal yang membanggakan,

diffa sebagai majalah pertama dan

satu-­satunya di Indonesia dengan

konten disabilitas mendapat kehor-­

matan berperan dalam konferensi dua

hari itu. Tim majalah ini dipercaya

menerbitkan newsletter, semacam tab-­

loid berita mengenai konferesi selama

dua hari.

Di bawah komando Pemimpen

Redaksi FX Rudy Gunawan dan Gene-­

ral Manager Jonna Damnanik, kru

diffa sibuk meliput, memotret, dan

mewawancarai peserta selama sesi

konferensi berlangsung. Foto langsung

dipilih, berita yang dibut diterjemah-­

kan ke bahasa Inggris, kemudian

di-­layout langsung di tempat. Aria

Indrawati, redaktur diffa yang juga

terlibat dalam konferensi sebagai mo-­

derator, ikut sibuk melakukan liputan.

Satu hal yang tak kalah memba-­

nggakan, hasil jadi newsletter ber-­

bentuk tabloid mini 8 halaman itu

mendapat supervisi langsung dari

pihak IFES di Amerika Serikat. Desain

yang dinilai sudah oke kemudian

dibawa ke percetakan malam itu juga.

Besok paginya ketika peserta konfe-­

rensi masuk rua ngan sudah mendapat

berita-­berita dan liputan dari hari

sebelumnya.

Para peserta tampak senang dan

menerima newsletter berba-­

han kertas dengan foto-­foto

bagus. “Hebat! Bagus sekali. Cepat

sekali buatnya,” kata Joaozito dos San-­

tos, peserta dari Timor Leste.

Sukses membuat newsletter itu

memberikan kebanggaan tersendiri

bagi tim diffa, karena mampu menger-­

jakan kepercayaan yang diberikan,

meski harus bekerja hingga fajar. Lebih

dari itu, diffa bisa ikut berperan dalam

berbagai dinamika dunia disabili-­

tas, bukan hanya di Indonesia, juga

tingkat regional.

Sama bangganya dengan reaksi

para peserta konferensi yang mampir

di stand diffa. Mereka kagum ada

majalah khusus mengenai disabilitas.

Banyak peserta membeli majalah

diffa, meskipun tidak bisa berbahasa

14 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 14 2/17/12 11:22 PM

Page 15: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Indonesia. Mungkin sebagai inspirasi

untuk membuat majalah yang sama di

negeranya.

Langkah LebihPertemuan dua hari yang berlang-­

sung dengan sesi ketat dan topik padat

ini ditutup pada 2 Februari sore. Acara

penutupan berlangsung sederhana,

dengan ucapan terima kasih dari

panitia pelaksana. Peserta dari delapan

negara dan berbagai lembaga interna-­

sional terlihat puas.

Ketua Panitia Pelaksana Yusdiana

mengatakan, pertemuan dialog ini

memberikan pelajaran berharga me-­

ngenai dua topik utama, yaitu pemili-­

han umum dan masalah disabilitas.

“Berbagai dari pengalam-­

an didengar untuk dilaksanakan di

negara lain. Sekarang kita saling mem-­

beri informasi dulu. Saling tahu dulu.”

Wacana yang lahir dari per-­

temuan ini, menurut Yusdiana, antara

lain akan ada kerja sama lanjutan di

antara delapan negara dalam jaringan

AGENDA dalam meningkatkan peran

penyandang disabilitas dalam pe-­

milihan umum. Selain kemungkinan

pertemuan dialog kedua dalam waktu

dekat, juga akan ada kegiatan saling

memantau. Tiga negara yang akan

melakukan pemilihan umum dalam

tahun 2012 adalah Malaysia, Kamboja,

dan Timor Leste. “Jaringan AGENDA

akan bekerja sama melakukan peman-­

tauan,” katanya.

Ya, mudah-­mudahan dialog-­

dialog dan kerja sama regional ini juga

akan mendorong pemilihan umum

di Indonesia lebih aksesibel terhadap

warga negara penyandang disabilitas.

Kita bermimpi, selain semua penyan-­

dang disabilitas dapat menyalurkan

hak politik, juga ada wakil rakyat yang

mewakili mereka, baik di daerah mau-­

pun di pusat. Kita harus belajar untuk

lebih baik.

Nestor

Foto: Sigit D. Pratama, Havel Hardian,

Athurtian, Rully

15diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Foto

: Sig

it D

Pra

tam

a

FA diffa_15 Maret.indd 15 2/17/12 11:22 PM

Page 16: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

tertua. Untunglah ibu saya sosok

perempuan yang kuat dan tabah. Ibu

tetap teguh kami harus terus sekolah.

Modal kami, saling mendukung dan

saling mencintai. Di rumah, semua

mendapat tugas yang sama, menyapu,

mencuci piring. Saya tidak diistime-­

wakan. Prinsipnya, kami, terutama

saya, harus melanjutkan hidup tanpa

membebani siapa pun. Saya bisa

melanjutkan sekolah hingga kuliah di

Universitas Mataram, Lombok, Juru-­

san Ekonomi Sosial Pertanian.

Bagaimana bisa menuntut ilmu di Belanda?

Tahun 2006 saya bergabung di

sebuah proyek lembaga internasional

dari Jerman. Saya ditunjuk sebagai

trainer pada program sistem kesehatan

di wilayah Mataram dan sekitarnya.

Sebelumnya, saya pernah membantu

mengampanyekan pentingnya ke-­

sehatan ibu hamil bagi perempuan di

Lombok yang diselenggarakan Helen

Keller International.

Kesempatan bekerja dengan lem-­

baga-­lembaga asing membuat saya tak

pernah merasa berbeda dari orang lain.

Saya merasa ilmu saya belum cukup.

Saya ingin sekolah lebih tinggi untuk

meningkatkan kemampuan. Kemudi-­

an seorang teman menginformasikan

ada beasiswa dari Ford Foundation

untuk kuliah di Wageningen Uni-­

versity, Belanda. Saya mendaftar dan

diterima, meskipun bersaing dengan

orang normal.

Kabarnya fasilitas di Negeri Belanda sangat memanjakan penyandang disabilitas?

Belanda memang sangat meng-­

akomodasi kepentingan penyandang

disabilitas. Taksi untuk warga disabili-­

tas berbeda dari taksi biasa. Bentuknya

seperti minibus. Kursi cuma terpas-­

empati

SALAH seorang yang tampak sibuk dalam konferensi Regional Ac-­

cess to Elections for Persons with Disabilities di Hotel Pullman, Ja-­

karta, 1 -­ 2 Februari 2012, adalah Yusdiana. Penyandang tuna daksa

ini terlihat mondar-­mandir dengan kursinya di area konferensi dan

berbicara dengan banyak orang.

Lumrah Diana sibuk. Ia berperan sebagai ketua pelaksana dalam dialog

regional itu. Sebagai ketua pelaksana, wanita ramah ini bertanggung jawab

agar semua susunan acara yang direncakan terselenggara dengan baik.

Kisah perjalanan hidup wanita kelahiran Lombok, Nusa Tengggara Barat,

ini menarik. Ia terserang polio ketika umur satu tahun. Sejak itu ia menjalani

hari-­hari yang berat dan tergantung pada kursi roda. Yusdiana berhasil

membangun kemandirian. Setelah kembali dari menuntut ilmu di Belanda,

kiprahnya di dalam gerakan disabilitas kelihatan agak melejit. Berikut petikan

kisah hidupnya.

Apa yang terkenang sebagai penyandang disabilitas ketika masa kecil?

Ketika pertama kali masuk sekolah, saya cemas dan menangis karena

merasa berbeda. Untung kedua orang tua saya bijaksana. Ayah saya mena-­

namkan pemahaman ilmu itu penting. Harta bisa habis, tapi ilmu tidak.

“Kalau tak sekolah, apa jadinya kamu nanti?”

Setiap hari ayah memboncengkan saya ke sekolah dan menggendong

hingga ke kelas. Ayah menunggui hingga saya pulang sekolah. Sesudah lulus

SD, saya disekolahkan di SMP YPAC di Solo. Waktu saya di kelas III, ayah me-­

ninggal. Saya betul-­betul terpukul.

Setelah ayah tidak ada, apa yang terjadi?Setelah itu hidup keluarga kami berubah total. Tanggung jawab kelima

adik saya yang masih kecil beralih ke pundak ibu dan saya sebagai anak

16 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

YusdianaBanyak Orang

Membantu Hidup Saya Menjadi Lebih Mudah

dan Menyenangkan

FA diffa_15 Maret.indd 16 2/17/12 11:22 PM

Page 17: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

17diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Foto

: Sig

it D

Pra

tam

a

FA diffa_15 Maret.indd 17 2/17/12 11:22 PM

Page 18: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

ang di kanan-­kiri. Kursi roda bisa

masuk ke dalam taksi dengan

bantuan semacam lift. Biaya naik

taksi juga murah, karena ongkos

penyandang disabilitas disub-­

sidi pemerintah. Belanda ingin

penyandang disabi litas terlibat

dengan kegiatan sehari-­hari dan

aktif dalam masyarakat. Karena itu

dibuat berbagai kemudahan untuk

mendukung program tersebut.

Pemerintah membangun jalur

khusus bagi pengguna sepeda dan

orang-­orang yang menggunakan

alat bantu seperti saya. Para pe-­

nyandang disabilitas bisa berakti-­

vitas ke mana saja, tanpa khawatir

tertabrak. Tombol untuk penye-­

berangan jalan pun disediakan

pada posisi yang mudah dijangkau.

Stasiun-­stasiun dan kereta api

dilengkapi fasilitas untuk penyan-­

dang disabilitas untuk pengguna

kursi roda masuk ke kereta api.

Bagi tunanetra, stasiun kereta api

dilengkapi dengan tanda-­tanda

khusus huruf Braille dan garis-­garis

menonjol.

Saya sering jalan-­jalan de-­

ngan teman ke pusat kota, naik

kereta dan naik bus umum. Saya

bebas bergerak secara mandiri. Di

Indonesia saya tidak bisa bepergian

dengan mudah. Kalau harus keluar

rumah, saya selalu harus ditemani

orang lain untuk membantu. Ter-­

masuk di tempat saya di Lombok.

Akses dan fasilitas yang spesifik diberikan kampus?

Sama. Untuk penyandang dis-­

abilitas yang menggunakan kursi

roda, dibuat jalur khusus tanpa

perlu lewat tangga. Juga kamar

kecil khusus, lengkap dengan toilet

lebar dan pegangan otomatis. Rak

buku di perpustakaan didesain

mudah dicapai oleh orang yang duduk

di kursi roda. Ruang kuliah semuanya

dilengkapi fasilitas untuk penyandang

disabilitas. Saya mendapat kursi roda

elektrik. Kursi roda itu boleh dibilang

hampir gratis, termasuk fasilitas uni-­

versitas untuk penyandang disabilitas.

Saya hanya membayar uang adminis-­

trasi.

Ketika kuliah di Universitas Mata-­

ram, saya sering membutuhkan waktu

yang lama untuk pindah dari ruangan

atau gedung ke tempat yang lain. Saya

juga harus bekerja dua kali lebih keras

dari teman-­teman yang lain.

Bagaimana dalam kesempatan kerja?

Belanda memiliki peraturan me-­

wajibkan perusahaan menggunakan

pekerja dari kalangan penyandang

disabilitas. Di sana para pegawai

pelayanan publik dilengkapi kursus

bagaimana melayani orang yang

memiliki kendala tubuh. Di Indonesia,

kalau melamar pekerjaan, begitu tahu

kita penyandang disabilitas, mereka

akan bertanya lebih banyak. Ada

semacam stigmatisasi. Mereka lihat

kami akan lebih sulit untuk bekerja.

Padahal tidak.

Apa yang membuat Indonesia tertinggal jauh seperti itu?

Pemahaman. Sebagian besar

program bantuan untuk penyandang

disabilitas selalu berupa pemberian

alat bantu. Setelah itu, seakan-­akan

tugas telah selesai dan penyandang

disabi litas dianggap terbebas dari ma-­

salah. Padahal tidak. Karena tantangan

terbesar adalah rasa tidak berdaya,

karena tidak akses dalam banyak hal

dan menjadi beban bagi orang lain.

Jalan-­jalan di Indonesia umum-­

nya tidak menyediakan fasilitas untuk

penyandang disabilitas. Pintu-­pintu

menggunakan pegangan yang tak bisa

diraih pengguna kursi roda. Pintu-­

pintu otomatis membuka dan menutup

dengan begitu cepat, sehingga tidak

bisa digunakan penyandang disabilitas.

Tangga berjalan tanpa pegangan. Pintu

putar nyaris seperti baling-­baling.

Para tunanetra menjadi kelompok

yang kehilangan banyak akses, karena

mayoritas gedung di Indonesia tidak

dilengkapi petunjuk yang bisa dide-­

ngar, diraba, ataupun dilihat dalam

penglihatan terbatas. Para tunarungu

mengalami hambatan lebih besar, kare-­

na informasi di tempat-­tempat umum

hanya menggunakan pengeras suara,

tanpa petunjuk isyarat lain. Bayangkan

bila terjadi kebakaran. Mereka tentu

akan kebingungan dan celaka karena

tidak mendengar apa-­apa.

Bagaimana adaptasi kembali di Indonesia, mengingat selama di Belanda suasana dan akses sangat berbeda?

Sangat prihatin ketika kembali

ke Indonesia, mengingat akses bagi

penyandang disabilitas masih sa-­

ngat minim sehingga harus kembali

menjadi tergantung pada bantuan

orang lain untuk melakukan aktivitas-­

aktivitas di luar rumah (di ruang pub-­

lik). Adaptasinya, ya akhirnya harus

mengurangi aktivitas di ruang publik

serta mencari pekerjaan yang sesedikit

mungkin menuntut harus keluar.

Ini menyedihkan, karena saya lebih

senang pekerjaan yang membuat saya

bertemu banyak orang dan beraktivitas

di ruang terbuka.

Bagaimana ceritanya akhirnya aktif di Jakarta?

Ini dikarenakan saat ini proyek-­

proyek pembangunan berskala interna-­

sional jauh berkurang di daerah saya,

18 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 18 2/17/12 11:22 PM

Page 19: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

di Nusa Tenggara Barat, sehingga saya

mencoba mencari pekerjaan di Jakarta.

Saya mendapat informasi mengenai

Proyek AGENDA dari seorang teman

yang kemudian menganjurkan saya

melamar. Di sinilah saya akhirnya.

Pertemuan regional kemarin apakah yang pertama Anda tangani? Bagaimana gambaran evaluasinya?

Pertemuan kemarin bukan yang

pertama. Telah ada beberapa per-­

temuan serupa yang pernah saya ker-­

jakan, namun itu adalah yang pertama

saya lakukan untuk isu disabilitas.

Latar belakang pekerjaan sebelumnya

adalah un-­

tuk isu-­isu kesehatan ibu dan anak.

Apa impian atau yang ingin Anda capai di masa depan?

Bermanfaat bagi banyak orang

adalah hal yang paling saya inginkan.

Sebab, saya menjadi bisa mandiri

seperti ini, telah menerima banyak

bantuan dan difasilitasi oleh banyak

orang. Keluarga saya, teman-­teman,

guru-­guru, lembaga pemberi beasiswa,

sopir taksi, tukang parkir, satpam,

tukang sayur, dan masih banyak lagi

orang yang telah membantu hidup

saya menjadi lebih mudah dan me-­

nyenangkan. Nestor

DI

master bidang international

development com-­

munication, technology, and policy.

bergabung dengan General Elec

Cacat Indonesia (PPCI), dengan

membuat Diana harus tinggal di Ja

Foto

: Sig

it D

Pra

tam

a

19diffa edisi 14 -‐ Februari 2012

FA diffa_15 Maret.indd 19 2/17/12 11:22 PM

Page 20: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

tapak

20 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Mempersiapkan Guru Inklusi

Salah satu persoalan pendidikan inklusi adalah kurang-‐nya guru yang berkualitas untuk siswa berkebutuhan khu-‐

sus. Pusat Studi Individu Berkebutuhan Khusus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menyelenggarakan pen didikan

dan latih an guru untuk sekolah-‐sekolah luar biasa.

SUDAH bukan rahasia kual-­

siswa penyandang disa-­

bilitas di Indonesia belum

memadai. Banyak penye-­

bab kondisi memprihatinkan ini. Di

antaranya kurikulum mata kuliah

para calon guru pendidikan luar biasa

(PLB) belum sempurna. Kurikulum

untuk calon guru SLB masih berada di

anak disabilitas. Otomatis hasil penga-­

jaran dari para guru SLB tersebut pun

tidak maksimal.

Contohnya guru untuk siswa

tunarungu, seharusnya mendapatkan

didik tunarungu. Hal ini mengingat

kondisi para siswa tunarungu berbeda-­

beda. Ada yang masih cukup jelas ber-­

bicara, ada yang sama sekali tidak bisa.

Jadi, dalam praktik para guru tersebut

FA diffa_15 Maret.indd 20 2/17/12 11:22 PM

Page 21: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

21diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Foto

: Faja

r Sodiq

diharapkan bisa mengajar para siswa

tunarungu sesuai dengan kondisi

disabilitasnya.

Keprihatinan itulah yang dira-­

sakan para dosen di Universitas Sanata

Dharma (USD) Yogyakarta. Keprihatin-­

an itu pun menghasilkan sebuah

action, dengan membentuk Pusat

Studi Individu Berkebutuhan Khusus

(PSIBK).

Pendidikan Kerja Sama Keberadaan pusat studi ini

juga tak lepas dari dorongan Sekolah

Tunarungu Denaupakarya, Wonosobo.

“Seperti diketahui, lulusan PGLB di

Indonesia sangat tidak memadai. Nah,

pada waktu itu kami ada kerja sama

dengan Denaupakarya. Mereka men-­

dorong kami untuk membuat jurusan

pendidikan guru luar biasa, supaya

lulusan PGLB bisa maksimal,” tutur

Tjipto Susanna, Steering Committee

PSIBK.

Karena proses untuk membentuk

jurusan lama, akhirnya USD memilih

mendirikan PSIBK. Tjipto Susana

menjelaskan, PSIBK merupakan pusat

studi yang ber gerak dalam bidang sos-­

ialisasi dan pemberdayaan disabilitas,

khususnya tunarungu. Sosialisasi ditu-­

jukan kepada masyarakat awam yang

masih minim pengetahuan tentang

disabilitas, agar tercipta penghargaan

kepada para penyandang disabilitas,

bukan meminggirkannya.

Dalam ranah pemberdayaan,

PSIBK memfokuskan pada bidang

pendidikan, termasuk pendidikan

untuk para guru SLB dan guru untuk

siswa tunarungu. Tujuannya mening-­

katkan kualitas kompetensi mengajar

para guru, sehingga para anak didik

tunarungu mampu memiliki keper-­

cayaan diri di masyarakat dan

berkualitas.

PSIBK kemudian membuat

proposal untuk melakukan pela-­

tihan meningkatkan kompetensi

guru pengajar tunarungu. Karena

keterbatasan dana, mereka

kemudian bekerja sama dengan

Kentalis International Belanda

yang memiliki pengalaman

mengembangkan kompetensi

guru tunarungu di Belanda dan

beberapa negara lain. “Pelatih-­

an ini sebagian besar dananya

didukung Kentalis International

dan Yayasan Porticus,” kata Tjipto

Susanna.

Training of Trainer (TOT) pun

dilaksanakan sejak tahun 2010,

dengan memilih tujuh sekolah

di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yog-­

yakarta, dan Jakarta sebagai

FA diffa_15 Maret.indd 21 2/17/12 11:22 PM

Page 22: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

22 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Foto

: Faja

r Sodiq

FA diffa_15 Maret.indd 22 2/17/12 11:22 PM

Page 23: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

23diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

. Setiap sekolah yang dijadikan

mengirimkan dua guru

untuk pelatihan. Hasil yang didapat

dari ketujuh sekolah ini kelak dievalu-­

asi dan dikembangkan kembali. Tujuh

sekolah tersebut adalah SLB/B Dena

Upakara (Wonosobo), SLB/B Santi

Rama (Jakarta), SLB/B N Semarang,

SLB/B Pangudi Luhur (Jakarta), SLB/B

Bhakti Luhur (Malang), SLB/B Don

Bosco (Wonosobo), dan SLB N 3 Yogya-­

karta.

Pelatihan BaruAwal Februari 2012, rombongan

baru para guru SLB mengikuti pendi-­

dikan awal semester di Yogyakarta.

Seperti dijelaskan di atas, selama empat

minggu pertama mereka mengikuti

pelatihan. Setelah itu mereka kembali

ke sekolah masig-­masing untuk mem-­

praktikkan materi kuliah atau pelati-­

han yang didapat. Selanjutnya mereka

akan kembali lagi untuk melihat hasil

sekaligus evaluasi.

Menurut Tjipto Susanna, pelatihan

itu memang hampir sama dengan

sistem belajar-­mengajar di uni ver-­

sitas. Bedanya, dalam pelatihan lebih

mengutamakan praktik di lapangan.

“Sistemnya menggunakan semesteran.

Dalam empat minggu pertama dari

tiap semester, kita mengadakan tatap

muka di Hotel Museum Batik, Yogya-­

karta. Dalam tatap muka, trainer mem-­

berikan materi sekaligus pekerjaan

rumah. Nah, PR inilah yang nantinya

dipraktikkan saat para peserta training

kembali ke sekolahnya.”

Kurikulum pelatihan dikem-­

bangkan dari kurikulum mata kuliah

PLB, tapi materinya diperdalam dan

kasi atau memperdalam kembali dari

materi-­materi kuliah PLB, jadi lebih

mengakomodasi kebutuhan para

tuna rungu. Karena biasanya materi-­

nya kurang mendalam dan kurang

detail,” kata Tjipto.

Secara garis besar materi dalam

kurikulum mencakup psikologi

perkembangan, konseling orang tua,

dan bahasa isyarat. Materi-­materi

tersebut diberikan para trainer dari

Kentalis Belanda. Sedangkan

nya dari Universitas Indonesia,

Santi Rama, dan Don Bosco. “Proyek

pertama ini diprediksikan selesai pada

tahun 2012. Setelah itu kami akan

mengevaluasi. Karena rencananya

pelatihan ini akan kontinu, dengan

beberapa perubahan.“

Perubahan yang dimaksud antara

lain kemungkinan tidak menggu-­

nakan trainer dari Kentalis, mengingat

dananya cukup mahal. Rencananya,

trainer diambil dari angkatan pertama

TOT. “Jadi para TOT tersebut

akan menjadi trainer untuk pelatihan

selanjutnya. Selain itu, rencananya

para peserta training ke depan akan

membayar,” kata Tjipto Susanna.

Selain untuk mengembang-­

kan pelatihan, PSIBK juga ren-­

cananya akan meluaskan cakupan

pemberdaya an dan penguatan untuk

disabilitas lain, tidak hanya tuna-­

rungu. Selain itu juga mengembang-­

kan kerjasama antara PSIBK dengan

Pusat Studi HAM dan Demokrasi

Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Kerjasama kedua universitas ini di-­

harapkan membentuk Komisi Ban-­

tuan Advokasi Disabilitas.

Langkah Pusat Studi Individu

Berkebutuhan Khusus Universitas

Sanata Dharma ini seperti menanam

benih-­benih baru, yang diharapkan

menghasilkan banyak buah yang baik.

Fajar Sodiq

FA diffa_15 Maret.indd 23 2/17/12 11:22 PM

Page 24: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

diffa edisi 15 -‐ Maret 201224

sosok

Guru Gamelan Berbekal Kesabaran

Rasino

Foto

: Faja

r Sodiq

BOLEH jadi Rasino

penyandang disabilitas

yang tidak sukses dalam

ukuran materi. Namun,

ia pantas dijadikan

contoh penyandang disabilitas yang

mampu melepaskan diri dari rasa

rendah diri karena disabilitasnya. Juga

sebagai orang sabar yang selalu me-­

nampakkan keramahan dan senyum

tulus.

Rasino memiliki keterampilan

memainkan instrumen musik modern

dan gamelan. Tapi ia tidak meman-­

faatkan keahlian itu untuk mengejar

uang. Bersama istri dan dua anaknya,

Rasino tinggal di rumah sederhana

di Jalan Gambir Anom, Benowo,

Ngringo, Jaten, Karanganyar. Sehari-­

Rasino lahir sebagai

tunanetra. Meraih

gelar sarjana berbekal

kesabaran dan ketekun-‐

an. Hidupnya sederhana.

Banyak yang pantas di-‐

pelajari darinya.

hari kegiatannya mengajar karawitan

di beberapa sekolah di Surakarta dan

sanggar wayang.

Rasino memilih dunia pendidikan

karawitan dan anak-­anak sebagai

jalan hidup, meski honor dari menga-­

jar tak seberapa. Ia sengaja memilih

dunia itu, karena bisa memberikan

kekuatan dan semangat dalam hidup.

Mandiri Sejak MudaRasino lahir di Purworejo, 17 Juli

1975. Rasino mengalami tunanetra se-­

jak lahir. “Saya nggak tahu apa karena

dalam kandungan ada masalah. Mata

saya memiliki organ pendukung,

tetapi tidak memiliki sistem untuk

melihat,” ujarnya. Rasino lahir dalam

keluarga dengan kondisi ekonomi

serba terbatas.

Lantaran memiliki keterbatasan,

Rasino disekolahkan di SDLB Pur-­

worejo. Sejak kecil ia memiliki jiwa

mandiri. Tahun 1990-­1992 ia memilih

menimba ilmu di Sasana Rehabilitasi

Penyandang Cacat Netra (SRPCN)

Purworejo.

Di sasana itu Rasino mulai me-­

nyukai musik. Baginya musik adalah

semangat hidup yang bisa membuat

gembira. “Di sana saya diajari alat

musik modern dan musik Barat. Dari

situ saya bisa menguasai banyak alat

musik modern, dari bass, piano, key-­

board, hingga drum,“ ceritanya.

Selepas dari SRPCN, Ra-­

sino melanjutkan ke SMA Kretek 1

Bantul. Ia sengaja merantau agar bisa

keluar dari tempurung keterbatasan.

“Dulu itu yang penting hanya laporan

sama orang tua, saya sekolah di mana.

Saya memang berusaha mandiri, agar

bisa menunjukkan bahwa keterbatas-­

an bukan menjadi halangan, “ ujarnya.

Lantaran kurang sreg dengan

pola pengajaran, Rasino pindah dari

SMA Kretek 1 Bantul ke SMA Muham-­

madiyah 5 Karanganyar. Dia berusaha

untuk selalu mewarnai hidupnya

FA diffa_15 Maret.indd 24 2/17/12 11:23 PM

Page 25: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

diffa edisi 15 -‐ Maret 2012 25

dengan musik. Di tempat baru Rasino

nekat membentuk band Puspa Gading

yang beraliran pop rock.

Setelah lama menggeluti musik

modern, justru Rasino kembali tertarik

pada musik tradisional. “Akhirnya

lambat laun mulai menggeluti musik

tradisional, yakni karawitan, “ tutur-­

nya.

Berjuang Jadi SarjanaSetelah lulus SMA, batin Rasino

bergejolak antara memilih menerus-­

kan atau tidak meneruskan pendi-­

dikan. Keinginan dia sebenarnya

meneruskan kuliah. Karena baginya

menuntut ilmu adalah salah satu cara

untuk bisa menunjukkan kemampuan

dan keluar dari zona keterbatasan.

“Dengan bersekolah tinggi, saya

bisa menempa emosi. Penyandang

disabilitas yang sekolah tinggi emosi-­

nya akan lebih stabil. Selain itu, akan

memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Bahwa disabilitas bukan menjadi

beban orang lain,” ujarnya.

Namun, keinginan itu terben-­

tur kondisi ekonomi. Rasino lantas

berkonsultasi kepada Mudjiono,

pemilik sanggar dalang cilik Sarotama.

“Setelah berkonsultasi, akhirnya saya

memutuskan melanjutkan kuliah. En-­

tah bagaimana caranya, yang penting

saya harus kuliah.”

Dasar pertimbangan Rasino me-­

milih jurusan adalah yang ilmunya

tetap bisa bermanfaat, jika sewaktu-­

waktu terpaksa berhenti kuliah karena

terbentur dana. “Kalau saya milih

jurusan pendidikan, jika berhenti tidak

bisa saya manfaatkan untuk mencari

nafkah. Karena bagaimanapun untuk

menjadi guru pastilah harus menun-­

jukkan ijazah. Beda kalau misalnya

saya mengambil jurusan karawitan.

Kalau kuliah terhenti, saya bisa

manfaatkan ilmu yang didapat untuk

mencari uang tanpa harus menunjuk-­

kan ijazah,” ujarnya.

Pada tahun

1999 Rasino

masuk Jurusan

Karawitan,

Fakultas Seni

Pertunjukan,

ISI Surakarta.

Tak ada ham-­

batan berarti

ketika kuliah.

Rasino bisa

berbaur dengan

teman-­teman-­

nya. “Dulu

hambatanya

cuma satu,

masalah re-­

ferensi untuk tunanetra seperti saya,“

tuturnya.

Untuk biaya kuliah, Rasino nyam-­

bi jadi tukang pijat di stasiun, sambil

bantu-­bantu di Sanggar Sarotama.

“Orang tua sudah tidak pernah mem-­

beri uang, karena bapak saya mening-­

gal tahun 2000, “ kenangnya.

Selain membiayai kuliah dari

hasil pijat dan mengajar di Sanggar

Sarotama, Rasino juga menjadi guru

karawitan honorer di bekas sekolah-­

nya, SRPCN Purworejo. Ia berangkat

dari Solo ke Purworejo menggunakan

kereta api. Karena hanya mengajar

dua kali dalam sebulan, sekali meng-­

ajar ia berada di Purworejo tiga hari.

Rasino melatih karawitan di

Purworejo sejak tahun 2003 hingga

2010. “Waktu itu saya mengajar hanya

mendapatkan honor dari Rp 125.000

hingga Rp 175.000 per bulan,” tutur-­

nya.

Jalan Hidup SederhanaBerkat kegigihah dan ketekunan,

Rasino berhasil menyelesaikan kuliah

pada tahun 2010. Dari pelajaran se-­

lama kuliah, Rasino mampu memain-­

kan beragam musik karawitan, dari

saron, slenthem, gender, bonang, gong,

kenong, siter, hingga kendang. Di jalur

musik modern, ia bisa bermain gitar,

keyboard, bas, dan drum.

Rasino tetap hidup dalam ke-­

sederhanaan. Dengan bermodal ijazah

sarjana seni, Rasino menjadi guru ho-­

nor er karawitan di SD Kentingan dan

SD Tugu Surakarta. Lagi-­lagi dengan

honor sangat minim, satu kelas hanya

Rp 50.000 per bulan, jika ditotal hanya

Rp 200.000 per bulan.

Selain itu, Rasino membantu

me ngajar di Sanggar Sarotama. “Saya

sering mendampingi anak-­anak sang-­

gar saat pentas. Saya tidak mengharap-­

kan bayaran saat pentas,” ucapnya.

Dengan pendapatan yang minim,

Rasino hanya bisa mengontrak rumah

sederhana di depan Sanggar Sarotama.

Di rumah itu ia tingggal bersama

istrinya, Sri Widyanti, dan dua buah

hati mereka, Asyifa Miftahul Hawa

dan Ainullah Khoirul Azzam.

Bagi Rasino, kondisi hidup seder-­

hana bukan hal yang perlu diratapi. Ia

melakoni hidup dengan penuh pasrah

dan rasa syukur. “Syukurilah dari yang

sedikit, karena akan merasakan apa

yang kita dapatkan terpenuhi,” ujar

Rasino sambil tersenyum. Sungguh

pribadi yang banyak memberi pelajar-­

an.

Fajar Sodiq

FA diffa_15 Maret.indd 25 2/17/12 11:23 PM

Page 26: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

26 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

beranda

DOKTER Dwijo Saputro SpKJ menyebutkan

gejala yang timbul pada autis bisa sangat

ringan (mild), sedang (moderate), hingga

parah ( ). Beberapa gejala berikut ini

bisa menjadi acuan untuk pemeriksaan

lebih lanjut agar gejala autis yang timbul bisa tertangani

sedini mungkin.

Gangguan komunikasi verbal dan nonverbal a. Terlambat bicara atau tidak dapat bicara.

b. Mengeluarkan kata-­kata yang tidak dapat dimengerti

orang lain.

c. Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata-­kata

sesuai konteks.

d. Meniru atau membeo. Beberapa anak sangat pandai

menirukan nyanyian, nada, ataupun kata-­kata tanpa

mengerti artinya.

e. Mimik muka datar, kadang bicaranya monoton se

perti robot.

f. Berperilaku seperti anak tuli, tetapi bila mendengar

suara yang tidak disukainya akan bereaksi dengan

cepat.

Gangguan interaksi sosial a. Menolak atau menghindar untuk bertatap muka.

b. Merasa tidak senang dan menolak dipeluk.

c. Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan

orang lain. Bila didekati untuk bermain, justru men

jauh.

d. Bila menginginkan sesuatu, akan menarik tangan

orang yang terdekat dan mengharapkan orang ter se

DETEKSI DINI ANAK AUTIS

but melakukan sesuatu untuknya.

e. Kadang masih mendekati orang lain untuk makan

atau duduk di pangkuan sebentar, kemudian berdiri

tanpa memperlihatkan mimik apa pun.

f. Enggan berinteraksi dengan anak sebaya daripada

terhadap orang tuanya.

Gangguan perilaku dan bermain a. Seperti tidak mengerti cara bermain, ia bermain

sangat monoton dan melakukan gerakan yang sama

berulang-­ulang hingga berjam-­jam.

b. Bila menyukai satu mainan, menolak mainan yang

lain dan memiliki cara bermain yang aneh.

c. Keterpakuan pada sesuatu (misalnya memegang

roda mobil-­mobilan terus-­menerus untuk waktu

lama). Perilaku ritualistik sering terjadi. Dapat juga

anak terlalu diam.

d. Punya kelekatan dengan benda-­benda tertentu,

seperti sepotong tali, kartu, kertas, gambar. Benda-­

benda tersebut terus dipegang dan dibawa ke mana-­

mana.

e. Sering memperhatikan sesuatu, misalnya jari-­jarinya

sendiri, kipas angin yang berputar, atau air yang

bergerak.

f. Anak dapat terlihat hiperaktif, tidak bisa diam, lari

ke sana-­kemari, meloncat-­loncat, berputar-­putar, atau

memukul benda berulang-­ulang.

Gangguan perasaan dan emosi a. Tidak ada atau kurang rasa empati. Misalnya melihat

anak menangis tidak merasa kasihan, bahkan merasa

terganggu dan sering mendatangi anak yang mena

ngis untuk dipukul.

b. Tertawa-­tawa sendiri, menangis, atau marah tanpa

sebab yang jelas.

c. Sering mengamuk tidak terkendali ( );;

terutama bila tidak mendapat apa yang diinginkan,

dapat menjadi agresif dan destruktif.

Gangguan persepsi, sensoris a. Mencium-­cium, menggigit, atau menjilat mainan

atau benda apa pun.

b. Bila mendengar suara keras langsung menutup mata.

c. Tidak suka diraba atau dipeluk. Bila digendong cen

derung merosot untuk melepaskan diri.

d. Merasa tidak nyaman bila memakai pakaian dari

bahan tertentu.

Sumber: Nirmala, http://sweetspearls.com/education/deteksi-­dini-­anak-­autis-­

dengan-­melihat-­gejala/

Foto

: Is

tim

ew

a

FA diffa_15 Maret.indd 26 2/17/12 11:23 PM

Page 27: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Political Will Pemerintah India untuk Autisme

TIDAK semua negara maju

memperlakukan penyan-­

dang disabilitas dengan

baik dan setara. Mungkin

kondisi aksesibilitas dan

fasilitas untuk para penyandang

disabilitas memang jauh lebih baik,

tapi itu hanya salah satu aspek dari

keseluruhan persoalan yang dihadapi

para penyandang disabilitas. Berbagai

persoalan di luar urusan sarana dan

tuh dalam kebijakan pemerintah

negara maju seperti Amerika Serikat,

Eropa, dan negara maju lainnya. Kita

kerap membandingkan secara kontras

berbagai perbedaan hanya berdasar

negara berkembang seakan begitu

jauh tertinggal. Hal yang lebih bersifat

para penyandang disabilitas di ber-­

bagai wilayah kehidupan kerap tak

terdeteksi dengan baik. Dalam wilayah

tara negara maju dan negara berkem-­

bang bisa saja tak jauh berbeda. Bukan

tak mungkin dalam kasus tertentu

kondisi negara berkembang lebih baik.

Kemungkinan-­kemungkinan se-­

perti itu kadang terbukti ketika terjadi

kasus-­kasus yang memperlihatkan

perlakuan tidak adil atau diskrimi-­

nasi terhadap penyandang disabilitas,

baik di bidang kesehatan, pendidikan,

perekonomian, maupun wilayah

kehidup an lainnya. Dan di era inter-­

net kini, diseminasi informasi kasus-­

kasus ke tidakadilan atau diskriminasi

menjadi jauh lebih cepat dan mudah,

sehingga lebih banyak kasus terung-­

kap ke publik dibandingkan pada

masa-­masa sebelumnya. Salah satu

yang belum lama ini tersebar adalah

kasus yang terjadi pada seorang anak

tunagrahita atau down syndrome di

sebuah rumah sakit di Philadelphia,

Amerika Serikat. Banyak orang mung-­

kin tak membayangkan di negara

seperti Amerika masih terjadi kasus

ketidakadilan oleh sebuah rumah sakit

terhadap anak penyandang disabilitas.

Namun kita tak boleh lupa, sejarah

Amerika memang penuh dengan lem-­

bar hitam diskri minasi rasial antara ku-­

lit putih dan kulit hitam. Dengan latar

historis seperti itu, residu dan bias-­bias

dis kriminasi sekecil apa pun tetap ada

yang tertinggal.

Kasus AmeliaKasus Amelia terjadi di sebuah

Kisah Sedih Anak Tunagrahita dari Philadelphia

27diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

jendela

FA diffa_15 Maret.indd 27 2/17/12 11:23 PM

Page 28: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

rumah sakit anak di Philadelphia.

Amelia seorang anak down syndrome

yang sudah tiga tahun menjalani

perawatan rutin di bagian

rumah sakit itu. Pada awal tahun 2012

Amelia kembali menjalani pemerik-­

saan dalam rangka kemungkinan un-­

tuk mendapatkan pengobatan melalui

metode transplantasi. Dokter yang

merawat kemudian meminta kedua

orang tua Amelia menemui tim dokter

yang mengevaluasi setiap kasus pe ng-­

obatan transplantasi sebagai bagian

prosedural yang harus dilalui pasien

sebelum diputuskan bisa atau tidak

menjalani transplantasi. Orang tua

Amelia pun segera membawa Amelia

yang tengah tertidur di tempat tidur

dorong ke ruangan yang dimaksudkan

dokter itu. Amelia tetap tertidur lelap

ketika memasuki ruangan evaluasi

tim dokter yang akan menyampaikan

hasil evaluasi.

Tak berapa lama menunggu, tim

dokter yang dipimpin seorang dokter

lelaki 60-­an tahun beraksen Peru,

dengan kumis dan rambut cokelat, me-­

masuki ruangan membawa formulir-­

formulir hasil evaluasi. Ibunda Amelia

melirik dan mencoba mencuri lihat

dengan takut-­takut tumpukan kertas

saat ketua tim dokter duduk dan me-­

letakkan kertas itu di atas meja. Dokter

itu seperti membawa sebuah perasaan

tak enak di hati ibu Amelia, ekspresi

wajahnya yang datar seakan sudah

dengan gaya bicaranya yang singkat

dan pendek-­pendek. Apalagi ketika

satu bagian dalam formulir yang

diberi stabilo merah terbaca olehnya.

Keterbelangan mental. Itulah bagian

yang ditandai stabilo. Lalu tak jauh di

bawahnya ada lagi satu bagian yang

juga di tandai stabilo. Terbaca juga

oleh ibu Amelia: kerusakan otak. Dua

bagian yang ditandai dengan stabilo

itu makin memperparah perasaan tak

enak hatinya. Situasi terasa menjadi

lebih tegang saat itu. Ayah Amelia pun

tak bisa menyembunyikan kegelisah-­

an di wajahnya. Tapi ia hanya menun-­

duk dan membuang pandangan ke

lantai dengan mata berputar-­putar.

Ibu Amelia mencoba tetap tenang

dan fokus pada apa yang akan di-­

sampaikan tim dokter. Tapi ketika

mendengar dokter menyatakan Ame-­

lia tak bisa menerima transplantasi

karena ia anak dengan keterbelakan-­

gan mental, seketika ketenangannya

berantakan. Ia gemetar dan matanya

mulai berair. Tubuhnya serasa digun-­

cangkan angin ribut. “Benar Anda me-­

nyatakan anak saya tak bisa menerima

transplantasi karena ia tunagrahita?

Benar begitu?” Dan tangisnya pun tak

terbendung lagi saat dokter mengi-­

yakan dengan datar. Lalu kemarahan

tiba-­tiba meledak karena harapan

sudah begitu besar untuk mendapat-­

kan transplantasi. “Saya dari keluarga

besar, saya tidak perlu menunggu

masuk daftar waiting list, saya akan

mencari donor sendiri dari keluarga!

Saya hanya ingin Amelia mendapat

transplantasi!!”

Dokter itu menjawab perlahan,

suaranya seperti mengeja kata demi

kata dengan datar tapi malah semakin

memuntabkan amarah yang sudah

meletup. “Bukan itu masalahnya!

Amelia tidak bisa ditransplantasi

karena masalah kualitas hidupnya ter-­

kait dengan masalah keterbelaka ngan

mental.” Suara dokter itu sungguh

terasa sangat tak berperasaan. Ibunda

Amelia tiba-­tiba meradang mendengar

dokter itu mengatakan soal kualitas

hidup Amelia. “Stop! Jangan pernah

bicara soal kualitas hidup anakku.

Anda tak pernah tahu seperti apa

kualitas hidupnya! Saya dan Amelia

sudah melewati banyak rintangan dan

cobaan sepanjang hidupnya. Anda

jangan sok tahu! Sekarang katakan saja

kepada siapa kami harus bicara, karena

saya mau Amelia tetap mendapatkan

transplantasi! Tak peduli apa yang

harus kami hadapi!” Ibunda Amelia

menyergah penuh kemarahan karena

sungguh merasa diperlukan tidak

adil. Dokter itu tak menjawab, tapi

seorang pekerja sosial yang menjadi

anggota tim buka suara. “Apa Anda

tahu bahwa transplantasi itu tidak

selamanya? Dalam waktu 12 tahun

Amelia harus ditransplantasi lagi jika

ia bisa bertahan selama itu. Apa Anda

tahu pengobatan apa lagi yang harus

dijalaninya?”

Ibunda Amelia menjawab cepat

dan keras. “Ya, saya tahu! Saya sudah

melakukan semua riset untuk Ame-­

lia!” Si pekerja sosial sedikit menger-­

nyitkan kening dan membalas, “Lantas

bagaimana kalau dia umur 13 dan ka-­

lian tak bisa ada di dekatnya lagi? Apa

yang akan terjadi? Siapa yang akan

mengurusnya?” Pertanyaan kurang

ajar itu itu makin membuat ibunda

Amelia meradang. “Kalau kamu mati

besok apa yang akan terjadi? Siapa

yang akan mengurus anakmu? Siapa

yang akan bertanggungjawab atas

pekerjaan kamu? Kita semua tak ada

yang bisa meramalkan masa depan!

Dan kami tidak ingin jadi peramal

masa depan Amelia. Yang kami tahu,

Amelia tak akan punya masa depan

jika ia tak menjalani transplantasi!”

Diskriminasi dengan Alasan Medis

Apa yang terjadi selanjutnya

adalah penjelasan teknis dunia media

dari dokter ketua tim tentang betapa

berbahaya operasi transplantasi un-­

tuk anak dengan gangguan mental

seperti Amelia. “Pengobatan yang

harus dijalani Amelia setelah proses

transplantasi sangat berbahaya. Bisa

mengakibatkan kerusakan otak jika

dosisnya tak tepat, jadi harus sangat

hati-­hati.” Begitu antara lain alasan

selanjutnya yang disampaikan dokter

itu kepada ibunda Amelia. Dan karena

28 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 28 2/17/12 11:23 PM

Page 29: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

kokan dan membiarkannya Amelia

meninggal 6 bulan kemudian atau

bersedia melakukan pencangkokan

dan tak tahu apa yang akan ter-­

jadi? Dalam konteks hak asasi, hak

menentukan pilihan ada di tangan

orang tua Amelia. Dalam konteks

otoritas medis, para dokter punya

hak untuk menyarankan, tapi se-­

benarnya tetap tak bisa menolak jika

pasien atau orang tua pasien dalam

kasus Amelia, ingin menentukan

sikap sendiri. Tapi dalam kasus

Amelia, dokter memakai argumen

medis untuk menolak hak pasien.

Namun persoalan ini bukanlah

melulu persoalan di Philadelphia.

Di banyak belahan lain dunia pasti

masih banyak terjadi kasus serupa

dalam berbagai versi dan bentuk.

Satu hal penting yang harus dire-­‐nungkan oleh semua pihak di belahan bumi mana pun adalah apa yang ditu-­‐lis ibunda Amelia di akhir kisah yang disebarkannya, yaitu: We are in the

mentally delayed. Ada banyak hal

yang sebenarnya tak perlu diperten-­

tangkan jika kita bisa me nempatkan

duduk perkaranya secara propor-­

sional dan tidak mencampur aduk-­

kan satu dengan lainnya. Jelas tak

bisa dipahami jika perkara hak

asasi lalu mengalami diskriminasi

dengan alasan atau argumen medis

yang membuatnya menjadi tampak

benar. Mari kita semua sama-­sama

merenungkan hal ini untuk masa

depan yang lebih baik bagi semua

penyandang disabilitas di muka

bumi.

FX Rudy Gunawan

Amelia sudah mengalami kerusakan

otak, maka mereka tak mau mengam-­

bil risiko untuk melakukan transplan-­

tasi ginjal. Alasan medis ini sungguh

menjadi suatu bentuk ketidakadilan

dan arogansi yang mengatasnamakan

ilmu kedokteran. Sementara apa yang

disampaikan ibunda Amelia jelas

lebih mengena dan substansial. Kita

tak pernah tahu pasti masa depan. Kita

tak pernah tahu apa yang terjadi pada

hidup kita esok hari. Mati atau hidup

bukan manusia yang menentukan.

Mati atau hidup ada di tangan Tuhan.

Ketika dokter itu mengatakan tak

mau mengambil risiko dan menolak

transplantasi untuk anak tunagra-­

hita, maka sebenarnya tindakan itu

telah merampas hak sang anak untuk

mendapatkan kesempatan dan pelu-­

ang atas kesehatannya. Sementara

perhitungan peluang untuk hidup jika

Amelia tak mendapatkan transplantasi

ginjal bahkan lebih buruk, karena esti-­

masi umurnya hanya tinggal 6 bulan

jika ia tak dicangkok ginjal. Mana yang

lebih baik? Mana yang lebih buruk?

Cangkok atau tidak? Mana yang

lebih bijak? Mana yang arogan dan

sewenang-­wenang? Menolak pencang-­

Foto-­foto: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/28/Chil-­

dren’s_Hospital_of_Philadelphia.jpg

http://media.philly.com/images/600*450/20120129_santorum_1024.jpg

29diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 29 2/17/12 11:23 PM

Page 30: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

30 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

kolom mas bejo

Pengalaman Berharga

& Bergengsi

kolom Mas Bejo

OLEH

FX RUDY GUNAWAN

Did

i Pu

rnom

o

30 diffa edisi 14 -‐ Februari 2012

SEBUAH pengalaman

berharga baru saja Mas Bejo

dapatkan. Sudah berharga,

bergengsi pula. Begini cerit-­

anya. Pertengahan Januari

lalu Mas Bejo bertemu seorang kawan

lama, aktivis hak-­hak penyandang dis-­

abilitas. Sebuah pertemuan kebetulan

yang biasa terjadi di Jakarta. Ini lucu

setelah Mas Bejo pikir-­pikir. Di Jakarta

ini, kita akhirnya bisa mudah bertemu

seseorang lewat kebetulan-­kebetulan

saja. Jika sengaja ingin bertemu,

susahnya minta ampun. Nah, kembali

ke ceritanya. Teman Mas Bejo ini pun

sudah lama sekali tak bersua. Jadi,

kami sama-­sama senang bisa diperte-­

mukan oleh kebetulan. “Wah, kebetu-­

lan sekali Mas Bejo. Sungguh kebetu-­

abilitas sangatlah penting. Sayangnya,

ternyata pak menteri yang seharusnya

membuka acara tiba-­tiba berhalangan

hadir dan digantikan wakil menteri.

Mas Bejo tak bisa paham, apa hal yang

lebih penting bagi pak menteri hingga

membatalkan memberikan sambutan

pada konferensi penting ini. Apakah

ada kerabatnya yang meninggal

dunia? Ah, mestinya itu bukan soal,

karena seorang menteri harus men-­

gutamakan tugasnya terlebih dulu

dibandingkan keluarganya sekali-­

pun. Atau pak menteri itu mendadak

dipanggil oleh presiden? Seandainya

begitu, mestinya ia bisa menceritakan

kepada presiden tentang konferensi

itu. Dalam bayangan Mas Bejo, presi-­

den mestinya akan bisa memaklumi

penjelasan itu dan mendukung men-­

terinya untuk memberikan sambutan.

lan yang pas sekali!” ujar Mbak Sari

setengah berteriak. Mungkin karena

saking seringnya berorasi dalam

unjuk rasa, suara Mbak Sari jadi

seperti itu. “Ya, ya, sungguh kebetul-­

an yang menyenangkan bertemu,

Mbak Sari.”

Karena bertemu di sebuah galeri

pameran lukisan, kami pun ngobrol

sambil melihat-­lihat lukisan. “Be-­

gini, Mas. Saya kebetulan menjadi

panitia untuk sebuah acara penting.

Sebuah konferensi regional ASEAN

tentang hak-­hak para penyandang

disabilitas. Nah, saya kan tahu persis

Mas Bejo orang yang peduli pada

para penyandang disabilitas….” Mas

Bejo tersenyum bangga. Ternyata

Mbak Sari mengundang Mas Bejo

sebagai wakil masyarakat awam

untuk mengikuti konferensi tingkat

ASEAN itu. Sungguh sebuah kehor-­

matan besar bagi Mas Bejo. Apalagi

Mbak Sari juga menceritakan pan-­

jang lebar bahwa yang hadir adalah

orang-­orang hebat dari berbagai

organisasi yang tiada henti berjuang

untuk para penyandang disabilitas.

Mereka datang dari Vietnam, Kam-­

boja, Bangkok, Jepang, Laos, bahkan

juga dari Timor Leste. Mas Bejo

hanya bisa terbengong-­bengong

mendengar semua penjelasan Mbak

Sari. “Jadi, saya benar-­benar diun-­

dang? Terima kasih, Mbak. Terima

kasih….”

Waktu yang dinanti-­nantikan

pun tiba. Mas Bejo sudah tak sabar

menunggu saat penting ini. Lima

hari menunggu rasanya seperti lima

minggu. Konferensi itu semestinya

bakal dibuka oleh salah seorang

menteri, dan begitulah seharusnya

menurut pendapat Mas Bejo. Bila

perlu bahkan dibuka oleh wakil

presiden atau presiden. Memang

Mas Bejo tak tahu soal protokol acara

regional seperti itu, namun acara

tentang hak para penyandang dis-­

FA diffa_15 Maret.indd 30 2/17/12 11:23 PM

Page 31: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

31diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Hmm, itu semua

hanya pikiran Mas Bejo.

Nyatanya, pak men-­

teri itu tak datang dan

hanya diwakili seorang

wakil menteri. Tak apa.

Konferensi regional ini

tetap sangat penting

meski tak dibuka dan

disambut oleh seorang

menteri. Mas Bejo

menghibur diri sambil

tersenyum dan mulai

berkenalan dengan para

peserta dari berbagai

negara seusai acara

pembukaan dan dilan-­

jutkan .

Untunglah, saat ngobrol

dengan beberapa peser-­

ta, tak ada yang berta-­

nya seperti ini: Why

your minister not com

Kalau sampai ada yang

bertanya seperti itu, Mas

Bejo sungguh tak tahu

harus menjawab apa.

Pertama, karena memang

tak tahu. Kedua, karena memang tak

ada jawaban masuk akal kecuali pak

menteri itu mendadak sakit keras dan

harus dirawat di UGD. Kenyataannya

pak menteri baik-­baik saja. Tidak ada

berita di televisi atau koran atau inter-­

net yang mengabarkan sang menteri

masuk UGD. Mas Bejo khawatir, jauh

di lubuk hati para peserta telah mun-­

cul satu kesimpulan bahwa peme-­

rintah Indonesia tidak cukup punya

perhatian terhadap para penyandang

disabilitas.

Persepsi atau kesimpulan itu tentu

saja sangat merugikan pemerintah,

bangsa, dan negara kita. Mudah-­mu-­

dahan kekhawatiran Mas Bejo tidak

terbukti. Mudah-­mudahan Mas Bejo

saja yang terlalu lebay, begitu kata

bahasa gaul anak muda sekarang. Se-­

pertinya para peserta sudah mulai me-­

lupakan acara pembukaan dan mulai

saling berinteraksi dengan akrab. Me-­

reka ada yang tunadaksa, tunagrahita,

tunanetra, tunarungu, dan juga yang

non-­disabilitas. Semua menyatu dalam

satu semangat kebersamaan sebagai

komunitas yang senasib dan sepenang-­

gungan. Berbagi pengalaman, bertukar

cerita, berwacana tentang perjuangan,

dan membangun mimpi-­mimpi ber-­

sama sangat kental memenuhi semua

ruang konferensi yang berlangsung se-­

lama tiga hari itu. Obrolan para peserta

juga sesekali ditingkahi canda dan

tawa ceria yang begitu lepas dan mem-­

buktikan para penyandang disabilitas

memiliki semangat kegembiraan yang

sama besarnya. Bukti bahwa mereka

tak terpuruk menangisi hidup sebagai

penyandang disabilitas. Periode seperti

itu sudah jauh mereka lewati, sama

halnya teman-­teman Mas Bejo juga

sudah lama melewati periode itu.

Selanjutnya acara konferensi

menampilkan para narasumber, pakar-­

pakar dari berbagai negara, termasuk

Indonesia, yang mewacanakan ber-­

bagai bentuk teori, solusi, petunjuk,

dan perbandingan-­perbandingan

antara satu negara dengan negara lain.

Semua peserta menyimak. Saat mema-­

suki acara diskusi, tercipta diskusi yang

serius dan bermanfaat bagi semua

peserta. Mas Bejo terkesima menyak-­

sikan betapa cerdas dan pintar para

penyandang disabilitas di konferensi

ini. Mereka berbahasa Inggris dengan

baik. Bahkan, seorang peserta celebral

dari Korea Selatan terpilih men-­

jadi narasumber dan menyampaikan

makalahnya dalam bahasa Inggris

yang baik meski dengan suara seorang

CP yang terbata, sengau, dan susah

payah. Luar biasa sekali. Mas Bejo dan

banyak peserta lain yang non-­disabili-­

tas menjadi saat mengikuti

pembicara CP dari Korea itu. Lalu Mas

Bejo rasanya menjadi begitu malu atas

semua kesombongan yang pernah

dilakukan dengan sengaja ataupun ti-­

dak. Ah, mengapa kesombongan selalu

menjadi penyakit kronis bagi umat

manusia? Mas Bejo bertanya-­tanya

sendiri.

Mas Bejo tak ingin menjawab

pertanyaan itu, toh kesombongan

memang sudah lama menjadi titik

lemah manusia. Dan ini berlaku

bagi semua jenis manusia, termasuk

para penyandang disabilitas. Jika tak

hati-­hati, jika tak mawas diri, jika tak

, semua orang akan

mudah terjebak dalam kesombongan.

Para penyandang disabilitas sebagai

sesama manusia juga berada dalam

bahaya yang sama. Makin pintar

dan hebat makin besar pula godaan

terjerembap dalam kesombongan. Mas

Bejo menghela nafas dalam sambil

mengamati semua peserta konferensi

yang pintar-­pintar dan hebat-­hebat

itu. Semoga mereka tidak terperangkap

di jurang kesombongan. Perjuangan

hak-­hak para penyandang disabilitas

masih panjang dan membutuhkan

bersatunya semua kekuatan, potensi,

dan kebaikan dari para penyandang

disabilitas. Tanpa bersatunya semua

itu, maka perjuangan akan makin

panjang dan makin berat. Dari konfe-­

rensi regional ini Mas Bejo sungguh

mendapat pengalaman berharga dan

bergengsi pula. Sebuah pengalaman

dahsyat yang membuka mata Mas Bejo

tentang sisi lain dari para penyandang

disabilitas.

Ohya, Mas Bejo sampai lupa

menceritakan tema konferensi. Konfe-­

rensi itu adalah Regional Conference

on Access to Elections for Persons with

Disabilites atau Konferensi Regional

tentang Aksesibilitas Pemilihan

Umum bagi Penyandang Disabilitas.

Konferensi berlangsung dari tanggal 1

hingga 2 Februari 2012 di Jakarta. Nah,

keren sekali, kan?

FX Rudy Gunawan

FA diffa_15 Maret.indd 31 2/17/12 11:23 PM

Page 32: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

persepsi

32 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Masalah Kusta, Diskriminasi dan Stigmatisasi

Ir. Nuah P. Tarigan MA, Dr (Cand.)

HARI Kusta Sedunia

yang diperingati

setiap 29 Januari

sepatutnya kita sam-­

but dengan kepriha-­

tinan yang mendalam. Sebab, masalah

kusta (lepra) serta stigma/diskriminasi

yang mengikutinya belum hilang dari

bumi Indonesia hingga kini.

Meski demikian, dari tahun ke

tahun kita boleh berbangga atas peran

serta masyarakat Indonesia, khusus-­

nya di Jakarta, Surabaya, Makassar,

serta Kupang, dalam menyambut

Hari Kusta Sedunia. Kebetulan, hari

peringatan ini bersamaan dengan hari

kematian Mahatma Gandhi, pahla-­

wan dunia dan India yang sangat

dihormati. Gandhi adalah pahlawan

antikekerasan yang berusaha meng-­

angkat martabat bangsanya, khusus-­

nya penyandang kusta di India dan

seluruh dunia, tanpa memandang

suku, agama, dan ras.

Menengok kondisi penyakit kusta,

hansen, lepra, atau di Indone-­

sia, banyak orang tidak menyangka

penyakit ini benar-­benar masih ada

dan belum hilang sama sekali. Ber-­

dasarkan data Kementerian Kesehatan

dan WHO, jumlah penderita kusta di

Indonesia setiap tahun bertambah

sekitar 17.000 orang. Ini angka ketiga

terbesar di dunia, setelah India dan

Brasil. Berdasarkan data Kementerian

Sosial, jumlah orang yang pernah

mengalami kusta di Indonesia menca-­

pai 1, 2 juta orang (data Susenas 2004).

Sekitar 10 tahun lalu, saya pun

memiliki pendapat yang sama seperti

kebanyakan orang. Tetapi setelah

melihat kenyataan yang sungguh-­

sungguh nyata, pendapat itu akhirnya

pupus. Penyakit kusta bukan sema-­

kin berkurang, justru kian banyak

di beberapa daerah di Indonesia.

Dulu orang hanya tahu Rumah Sakit

Sitanala di Tangerang dan sekitarnya

sebagai zona penderita kusta di Jakarta

dan sekitarnya, saat ini justru penderi-­

ta kusta ada di mana-­mana. Di daerah

sekitar Bekasi saya melihat banyak

penderita kusta di sudut-­sudut jalan.

Situasi yang berkembang di nega-­

ra kita, rekan-­rekan yang mengalami

kusta tidak diakomodasi dengan baik

oleh masyarakat maupun instansi

pemerintah. Mereka dianggap sebagai

orang yang perlu dikasihani, atau bah-­

kan dihindari, dalam arti tidak diberi

kesempatan untuk berapresiasi yang

positif dalam hidup mereka.

Kementerian Kesehatan dan

Kementerian Sosial serta beberapa

penyandang dana dari luar negeri,

juga beberapa organisasi internasional

dan nasional, memang memberikan

ini tidaklah cukup. Perlu gerakan me-­

nyeluruh dan sifatnya atau

mengungkit secara bersama-­sama.

Ibarat beberapa orang yang meng-­

ungkit batu, akan lebih mudah jika

dilakukan dengan panduan satu aba-­

aba, dibandingkan dengan mengung-­

kit batu sendiri-­sendiri. Perlu

Foto

: N

uah

P. Tari

gan

FA diffa_15 Maret.indd 32 2/17/12 11:23 PM

Page 33: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

33diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

will yang kuat dari pemerintah secara

menyeluruh, baik dari pihak eksekutif,

legislatif, yudikatif , maupun media

massa.

Ketiadaan kebersamaan dalam

satu aba-­aba sering menjadi ma-­

salah di Indonesia. Bukan hanya

pada masalah kusta, juga pada kasus

penyakit-­penyakit menular lain.

burung, tuberkolosis, HIV-­AIDS, dan

sebagainya, karena dianggap penyakit

kuno dan sudah menghilang. Bahkan

dalam Millenium Development Goals

(MDGs), isu kusta tidak dijelaskan se-­

cara saksama, tetapi digabung dengan

konteks penyakit menular lain. Terke-­

san dilupakan.

Perkiraan ini jelas salah, karena

ternyata penemuan kasus baru

kusta setiap tahun masih tetap sama

dan cenderung stabil dari tahun ke

tahun. Selain itu, kusta memang

bukan penya kit yang mengakibatkan

kematian seperti penyakit menular

lain, sehingga tidak ditanggapi secara

serius. Namun, sebenarnya kusta bisa

dikatakan sebagai penyakit kronis,

yang banyak sekali menimbulkan ma-­

salah sosial-­ekonomi bagi penderita.

Banyak sekali lingkaran setan yang

tidak habis-­habis di dalam kehidupan

rekan-­rekan yang mengalami kusta.

Sepanjang kehadiran penyakit

kusta masih merajalela di Indonesia,

peran masyarakat dan pemerintah

beserta organisasi non-­pemerintah

diperlukan secara simultan. Tidak ada

seorang pun yang dapat menyele-­

saikan masalah kusta secara sendiri-­

sendiri. Termasuk rekan-­rekan yang

sudah lama berkecimpung dalam

masalah kusta.

Dibutuhkan peran serta masyara-­

kat yang sudah pernah mengalami

dan yang sedang mengalami kusta

berbicara secara terbuka di tengah

masyarakat. Tentu orang yang memi-­

liki motivasi dan berkarakter, bukan

karena motivasi

insentif berupa

uang dan materi

semata. Juga bukan

karena motivasi

yang disebabkan

ketakutan karena ti-­

dak akan mendapat

penghidupan yang

layak.

Kita tidak boleh

dari segala usaha

kita dalam mena-­

ngani masalah

kusta. Perlu usaha-­

usaha peningka-­

tan kapasitas dan

peran yang jelas dan

terbuka bagi para

penyandang disa-­

bilitas kusta pada

khususnya.

Usaha-­usaha

untuk mencapai hal

tersebut memang

tidak mudah. Sebab,

stigma-­stigma yang

terjadi di masya-­

ra kat terhadap

penyandang disa-­

bilitas kusta masih

besar, bahkan di

beberapa tempat sa-­

ngat ekstrem. Orang

yang menyandang

kusta dianggap sa-­

ngat berbahaya dan

akan menjangkit-­

kan penyakit ini ke

orang-­orang dekat.

Padahal, kusta

penyakit menular

yang paling lambat

penularannya

dibandingkan pe-­

nyakit menular lain.

Stigma inilah

yang membuat ma-­

Foto

: N

uah

P. Tari

gan

FA diffa_15 Maret.indd 33 2/17/12 11:23 PM

Page 34: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

34 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

syarakat yang mengalami kusta hidup

berkelompok dan mengelompokkan

diri, yang pada akhirnya justru mem-­

buat permasalahan semakin banyak

dan menumpuk. Hanya sedikit persen-­

tase penyandang disabilitas ini yang

dapat mengembangkan diri menjadi

orang yang mandiri.

Indonesia termasuk lamban

dalam mengembangkan hal itu,

bahkan hingga sekarang belum benar-­

benar memperhatikan dan menjalan-­

kan undang-­undang yang memiliki

konsekuensi dalam menerapkan

asas-­asas hak asasi bagi penyandang

UU No. 19 Tahun 2011 tentang Hak

Penyandang Disabilitas membawa

perbedaan yang nyata dan positif bagi

penyandang disabilitas, termasuk

rekan-­rekan yang mengalami kusta.

Bangsa-­bangsa di dunia sangat

memperhatikan Indonesia dalam ma-­

salah ini, termasuk lembaga-­lembaga

dari Australia, Inggris, Jepang, dan

Belanda. Saya khawatir hanya mereka

yang serius, tetapi kita justru tidak. Be-­

tapa menyedihkan kalau kita bersikap

seperti itu. Gejalanya ada. Imbauan

yang sering didengung-­dengungkan

pemerintah yang diwakili Kementeri-­

an Kesehatan tidak ditanggapi dengan

baik oleh seluruh elemen masyara-­

kat. Mungkin karena dianggap tidak

menarik dan tidak memiliki nilai yang

besar seperti problem-­problem sosial

dan ekonomi lainnya.

Saya kira kita tidak perlu membuat

suatu gerakan sosial yang terstruktur

dan terorganisasi secara kaku. Yang

dibutuhkan adalah masyarakat yang

Memang peran hukum akan sangat

mendukung. Kalau kita ingin menjadi

bangsa yang mandiri, maka seha-­

rusnya mulai berpikir dan bertindak

secara kreatif. Sampai kapan bangsa-­

bangsa di dunia dapat membantu kita?

Seperti saya katakan di atas, yang

diperlukan sebuah tindakan. Mem-­

buat titik ungkit yang akan dijalankan

secara bersama-­sama dengan satu aba-­

aba. Begitu harapan kita. Karena itu,

dibutuhkan pemimpin yang berani

menerobos ”kabut” ini.

Masih banyak problem lain yang

harus kita kerjakan dan agendakan

sebagai bangsa dan rakyat ke masa

depan. Saya kira layak masalah kusta

dijadikan agenda secara nasional. Se-­

belum semuanya terlambat, alangkah

baiknya kita melihat penyakit, orang

yang mengalami dan penyandang

disabilitas ini, serta dampak-­dampak

yang menyertainya apabila tidak

ditangani secara dini. Khususnya

bagi saudara-­saudara kita di bagian

Indonesia timur seperti Maluku Utara,

Papua Barat, Nusa Tenggara Timur,

Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan,

yang tergolong rawan dan selama ini

terabaikan.

Saya berharap tulisan ringkas ini

memberikan inspirasi dan pembelajar-­

an, yang mengarahkan sebuah peme-­

cahan bagi permasalahan besar yang

mungkin kita hadapi di masa depan.

Indonesia (GPDLI)

Berdasarkan data Ke-

menterian Ke sehatan

dan WHO, jumlah

penderita kusta di In-

donesia setiap tahun

bertambah sekitar

17.000 orang. Ini angka

ketiga terbesar di du-

nia, setelah India dan

Brasil. Berdasarkan

data Kementeri an So-

sial, jumlah orang yang

pernah mengalami kus-

ta di Indonesia menca-

pai 1, 2 juta orang (data

Susenas 2004).

Foto

: Is

tim

ew

a

FA diffa_15 Maret.indd 34 2/17/12 11:23 PM

Page 35: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Pn

Foto

-:

Adri

an

Mu

lya

35diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

sudut pandang

Benang Merah Kehidupan

FA diffa_15 Maret.indd 35 2/17/12 11:23 PM

Page 36: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Foto

-:

Adri

an

Mu

lya

seutas benang

merajut budi

menyatu dalam

menyulam ceria

grahita di Asih Budi

mengasihi

jalinan benang

merah di jemari

dan saling belajar

fx Rudi

FA diffa_15 Maret.indd 36 2/17/12 11:23 PM

Page 37: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 37 2/17/12 11:23 PM

Page 38: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

38 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

apresiasi

Unjuk Peran Penulis DisabilitasJudul buku : Unforgettable Moments: Kisah-­kisah Tak Terlupak-­

an Sepanjang Tahun 2011

Penulis : Tri Lego Indah FN & Syumity Lovers

Penerbit : AG Publishing, Yogyakarta

Cetakan : I, Januari 2012

Tebal : 374 halaman

BUKU ini merupakan kumpulan tulisan

pemenang audisi kepenulisan Share Your

Unforgettable Moment In This Years

(SYUMITY) 2011 yang dimotori Tri

Lego Indah FN, seorang mahasiswi

yang tinggal di Lampung, dan diselenggarakan me-­

lalui jejaring sosial Facebook. Setiap tulisan dalam

buku ini berbentuk sepanjang 400

hingga 500 kata.

Dalam antologi ini terdapat tulisan dengan

beraneka macam tema karya 136 penulis di seluruh

Indonesia dan juga luar negeri. Kebanyakan mereka

berstatus siswa SMA dan mahasiswa. Sisanya kar-­

yawan, ibu rumah tangga, dan buruh migran. Ke-­136

tulisan dikelompokkan menjadi 8 bab, yaitu: The

Gokil Moment, Suara Hati, Hasil Perjuangan, Ketika

Harus Diuji, Kenangan Bersama Sahabat, Inspiring

Moment, Dreams Come True, dan Surprise 2011.

Gaya tulisan dalam buku ini sangat beragam sesuai dengan

gaya asli tiap-­tiap penulis. Ada beberapa cerita yang istimewa

karena mungkin tak akan dialami kebanyakan orang, seperti

pengalaman mendapat royalti dari menerbitkan buku antologi

di Taiwan atau mendapat 15 undangan pernikahan dalam satu

hari. Ada juga kisah yang selain luar biasa, juga mengharu-­biru,

seperti pengalaman tentang seorang berkepribadian ganda yang

alter-­nya adalah tukang bikin onar, serta pengalaman pahit

terjebak dalam bencana tsunami di Jepang.

Secara umum, buku ini cukup menarik. Desain sampul ma-­

nis. Pemilihan tipe huruf dan format tulisan juga rapi, meskipun

masih terdapat kesalahan ketik pada beberapa tulisan. Isi tulisan

cukup menarik. Selain menghibur, juga menambah wawasan

pembaca. Sayang ada beberapa tema yang berulang kali dicerita-­

kan sehingga terasa membosankan, seperti pengalaman menulis

pertama kali.

Sedikit saran dalam hal penyusunan bab. Mungkin akan

lebih baik bab pembuka The Gokil Moment diletakkan agak ke

belakang. Sebab, kebanyakan tulisan dalam bab pembuka ini

tampaknya karya penulis pemula yang relatif belum bagus bertu-­

tur. Sayang sekali bila pembaca sudah malas membaca pada bab

pertama. Padahal pada bab-­bab berikutnya banyak cerita menarik.

Terlepas dari kekurangan yang ada, SYUMITY 2011 dan

penerbitan antologi ini memberikan satu kejutan yang menggem-­

birakan sekaligus membanggakan dengan berpartisipasinya tiga

penulis penyandang disabilitas.

Pertama adalah Syukron Jayadi dengan karya “Aku dalam

Kemiskinan dan Kekurangan” yang ditulis dengan gaya buku

harian. Penerima beasiswa Bidik Misi ini hanya memiliki satu

penglihatan sejak lahir. Dia bercerita tentang kondisi matanya

yang satu itu memburuk tepat saat dia menjalani tes kesehatan

sebagai salah satu syarat dalam registrasi.

Perjuangannya akhirnya berhasil dan kini

dia tercatat sebagai salah satu mahasiswa

S1 di FKIP PGSD Universitas Mulawarman

Samarinda.

Kedua adalah Mukhanif Yasin Yusuf

yang menulis “Repihan Jejak” dengan gaya

seperti menulis cerpen. Mukhanif yang

tunarungu bercerita tentang pengalaman

pribadinya ketika saat naik bus.

Dengan detail, Mukhanif bercerita tentang

caranya berkomunikasi dengan orang lain,

yaitu dengan menggunakan tulisan. Cukup

informatif bagi mereka yang belum tahu

cara berhubungan dengan tunarungu.

Ketiga adalah Ramadhani Ray dengan karya “Menoreh Pena

Mengukir Sejarah”. Dhani yang lulusan Sastra Jepang Universitas

Padjajaran ini penyandang . Dalam karya yang ditulis

dengan gaya narasi, Dhani bercerita tentang awal mula dirinya

masuk dunia kepenulisan berikut pemuatan karyanya di beberapa

media.

Kehadiran ketiga penyandang disabilitas ini memberikan

warna yang berbeda, warna inklusi, yang tampak jelas dalam

karya-­karya yang menceritakan perjuangan mereka agar bisa

eksis di tengah masyarakat.

deaf chaos

deaf

tulis

Mukhanif dalam karyanya (hal. 262). Masalah yang perlu menjadi

perhatian kita semua. Mila K. Kamil

FA diffa_15 Maret.indd 38 2/17/12 11:23 PM

Page 39: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Dari Apel, Museum,

hingga “Wiskul”

MALANG kota

terbesar kedua

di Jawa Timur

setelah Surabaya.

Letaknya 90

kilometer di sebelah selatan Surabaya.

Kota ini berhawa relatif sejuk karena

dikelilingi Gunung Arjuno, Semeru,

Kawi, dan Kelud. Kota ini juga jadi

tempat pemberangkatan bila ingin

melakukan perjalanan ke Gunung

Bromo.

Pada zaman kolonial Belanda,

kota Malang dikenal sebagai salah

satu kota terindah di Asia Teng-­

gara. Hingga sekarang kota ini masih

mempertahankan sebagian bangunan

bergaya kolonial peninggalan zaman

Belanda. Antara lain bangunan Balai

Kota, Stasiun, Masjid Agung, Museum

Brawijaya, Toko Oen, dan Gereja Hati

Kudus Yesus di Jalan Kayu Tangan.

Jalan Ijen merupakan kawasan

elite dan jalan utama di Malang sejak

dahulu. Rumah-­rumah di sini masih

bergaya kolonial, seperti atap genteng

yang tinggi meruncing berbentuk se-­

gitiga, sudut rumah yang melengkung

dengan banyak jendela kayu lebar.

Konon, dahulu kawasan ini tempat

tinggal khusus warga Belanda dan

bangsa Eropa lainnya. Saat ini Peme-­

rintah Daerah Kota Malang melarang

pembongkaran bangunan di ruas

jalan ini. Bagus

juga. Yang

suka melihat

bangunan kuno

Kota Malang terkenal dengan apelnya. Tapi sebenarnya kota sejuk ini kaya objek wisata menarik, dari wisata peninggalan masa lalu hingga wisata kuliner. Siak catatan Mila Kartina dari jalan-‐jalan ke Kota Apel.

jejak

jadi bisa menikmati peninggalan seja-­

rah yang indah ini.

Sehari-­hari orang Malang berbi-­

cara dalam bahasa Jawa berdialek

Jawa Timuran yang cenderung lugas

dan tanpa basa-­basi.

Meskipun blak-­blakan, orang Malang

tidak galak. Malah, cara bicara mereka

terkesan cuek dan lucu. Ada lagi hal

yang unik dari masyarakat Malang

dalam hal berbahasa, yaitu basa wa

,

Jalan-Jalan ke Malang

FA diffa_15 Maret.indd 39 2/17/12 11:23 PM

Page 40: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

40 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Foto

: M

ila k

am

ilbahasa gaul Malang. Ciri khas-­

nya, membolak-­balik atau mengacak

huruf dalam satu kata. “Saya” menjadi

“ayas”, “kamu” menjadi “umak”, “arek

Malang” menjadi “kera ngalam”, “ngo-­

pi” menjadi “ngipok”, dan sebagainya.

Agrowisata ApelSudah ke kebun apel? Itulah

pertanyaan yang selalu diajukan

bila seseorang baru saja pulang dari

berlibur di Malang. Saking seringnya

mendengar pertanyaan itu, saya jadi

penasaran. Seperti apa sih kebun apel

yang termasyhur itu?

Saya dan beberapa teman me-­

nyempatkan diri ke perkebunan apel

Kusuma Agrowisata di kota Batu. Kota

Batu terletak di kaki Gunung Pander-­

man, 15 kilometer sebelah barat kota

Malang, di jalur Malang -­ Kediri dan

Malang -­ Jombang. Perjalanan dari

Malang menuju Batu jalan semakin

menanjak dan suhu udara semakin

dingin. Memang Batu lebih dingin

daripada Malang karena letaknya

lebih tinggi. Pemerintah Belanda

dahulu menyebut Batu sebagai “Swiss

Kecil di Pulau Jawa”, karena hawanya

yang dingin dan pemandangannya

yang indah.

Perkebunan apel Kusuma Agro-­

wisata dikelola sedemikian rupa

menjadi tempat tujuan wisata, lengkap

dengan pemandu, hotel, taman ber-­

main, outbond, serta diperkaya koleksi

tanaman lain seperti jambu biji, stro-­

beri, jeruk, paprika, kopi, bunga, dan

tanaman hias. Juga dilengkapi koleksi

hewan jinak seperti kancil, rusa, berb-­

agai jenis kera, beberapa jenis unggas,

bahkan kelelawar.

Pengunjung harus membeli tiket

untuk berkeliling kawasan perkebun-­

an ini. Ada beberapa harga paket, dari

Rp 39 ribu hingga Rp 50 ribu. Variasi

harga paket tergantung rute yang

ditempuh, bagian perkebunan yang

ingin dilihat, serta hidangan dan fasili-­

tas tambahan yang bisa dinikmati.

Begitu membeli tiket, kami disam-­

but seorang pemandu wisata yang

mempersilakan memetik buah tomat.

Setiap orang mendapat satu kan-­

tong. Setelah itu kami mulai berjalan

berkeliling kebun apel dan jambu biji.

Pohon-­pohon apel di perkebunan

rupa sehingga tidak terlalu tinggi dan

pengunjung bisa memetik buah apel

dengan mudah.

Untuk paket yang kami ambil,

setiap orang diperbolehkan memetik

dua apel dan tiga jambu biji. Jadilah

kami berjalan di antara kebun apel,

memilih-­milih dan memetik buah

apel, sambil tak lupa berfoto-­foto

tentunya. Kami juga mengunjungi

area kebun bunga dan tanaman hias

di sebuah rumah kaca besar yang biasa

disebut greenhouse. Segala macam

bunga dan tanaman hias, bibit, hinga

perlengkapan berkebun dijual di sini.

Melihat koleksi hewan pun tak ka-­

lah asyiknya. Saya merelakan sekan-­

tong tomat saya untuk makan siang

sepasang kancil jantan dan betina.

Di kandang burung kakatua, giliran

teman saya yang merelakan tomatnya.

Saya baru tahu cara makan kakatua

sangat unik. Setelah mengambil tomat

FA diffa_15 Maret.indd 40 2/17/12 11:23 PM

Page 41: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

41diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Foto

: M

ila k

am

il

dengan paruhnya, memegang buah

itu dengan kaki kanan, lalu mengupas

tomat dengan paruh bengkoknya.

Kemudian memakan daging buah itu

sedikit demi sedikit. Hmm… seperti

cara makan manusia, ya?

Dari kandang kakatua kami bera-­

lih ke kandang kelelawar, jenis hewan

mamalia yang dapat terbang. Tampak

beberapa ekor kelelawar bergelan-­

tungan terbalik di dalam kandang.

Sayapnya yang lebar membuat tubuh

dan kepalanya jadi tampak mungil.

Seumur hidup, baru kali ini saya meli-­

hat sayap kelelawar dari dekat. Sayap

berwarna hitam yang bila dibentang-­

kan bisa mencapai panjang hampir

dua meter itu tampak lentur, licin, dan

tipis seakan-­akan gampang sobek.

Setelah lelah keliling perkebunan,

pengunjung dipersilakan beristirahat

di restoran untuk menikmati kudapan

sesuai fasilitas paket yang dipilih. Di

restoran itu dijual berbagai penga-­

nan berbahan aneka buah dan sayur

seperti sari apel, sari stroberi, cuka

apel, jenang apel, sari jambu, dan kopi

bubuk. Para pencinta apel bisa puas

berbelanja segala jenis penganan apel

di sini.

Museum Unik Di Malang ada beberapa museum

yang unik. Unik karena tidak seperti

museum biasa yang memajang benda-­

benda bersejarah di

sebuah gedung. Museum yang kami

kunjungi ini juga berfungsi sebagai ho-­

tel dan rumah makan. Museum unik

pertama yang kami kunjungi adalah

Hotel Tugu. Ya, hotel bintang lima

yang terletak di jantung kota tua ini

juga merupakan museum.

Menurut Monita, petugas hotel,

karena Hotel Tugu didesain sekaligus

sebagai museum, petugas juga bertu-­

gas sebagai pemandu. Koleksi barang

antiknya sangat banyak. Barang-­

barang antik tersebut merupakan

peninggalan masyarakat Jawa babah

peranakan, yaitu campuran antara

pendatang Cina dan pribumi, ratusan

tahun lalu. Termasuk di antaranya be-­

berapa benda antik dari zaman Kubilai

Khan.

Di hotel ini terdapat banyak ruang

duduk dengan arsitektur Cina, Persia,

Mesir, Eropa, dan tentu saja Indonesia.

Nama ruangan menggambarkan sua-­

sana zaman itu, seperti Endless Love

Avenue to the Sahara, yang merupak-­

an sebuah lorong panjang yang dihiasi

ukiran dan lampu-­lampu bergaya

Mesir. Ada juga Babah Room, resto

dengan perlengkapan makan khas

Cina zaman dulu. Wah, sayang

melewatkan ke-­ sempatan berfoto

dengan barang-­ barang antik ini.

Kafe dan resto di hotel ini

diberi nama yang tidak kalah

eksotis, seperti The Silk Road

Pavilion, Tirta Gangga,

The Persian Room,

The Kubilai Khan Chamber, The

Marco Polo, dan L’Amour Fou. Ada

pula ruang rapat yang diberi nama

the Sugar Baron Room dan Keraton

Ballroom. Semuanya penuh dengan

barang antik dari masa lalu, dari meja-­

kursi makan, peralatan makan, hingga

pajangan dan lukisan dinding. Jadi,

tamu hotel bisa makan dan minum

di ruangan penuh barang antik ini.

Hmm…

Tempat terakhir yang kami kun-­

jungi di hotel-­museum ini adalah Roti

Tugu Bakery dan Sidewalk Café yang

mempunyai dua pintu. Satu menyam-­

bung dengan bangunan hotel, satu

lagi menghadap ke jalan raya. Toko ini

menjual segala macam es krim, ,

kue dan roti khas zaman kolonial

Belanda, baguette dan croissant khas

Prancis, serta tentu saja cemilan khas

Malang.

Museum unik lain adalah Mu-­

seum-­Resto Inggil di belakang Balai

Kota Malang. Gedung rumah makan

bergaya Jawa dengan nuansa zaman

kolonial Belanda ini menyediakan

dua jenis tempat makan, yaitu lesehan

dan duduk di kursi. Menu yang dita-­

warkan khas Jawa tradisional, seperti

tempe penyet, sambel pencit, nasi

jagung, pecel terong, rawon dengkul,

tahu petis, sayur asem, urap-­pecel,

dan pepesan. Juga tersedia minum-­

an tradisional seperti wedang jahe,

wedang ronde, dan es

beras kencur.

FA diffa_15 Maret.indd 41 2/17/12 11:23 PM

Page 42: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

42 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Foto

: M

ila K

am

ilYang juga menarik, para pelayan ber-­

penampilan Njawani.

Banyak sekali benda antik koleksi

museum-­resto ini, antara lain meja

kursi kuno dari kayu dan bambu.

Restoran ini juga memajang aneka

hiasan dan pajangan tradisional Jawa

seperti patung dan topeng wayang, be-­

berapa foto kota Malang tempo dulu,

benda-­benda antik seperti sepeda,

mesin tik, pesawat telepon, pesawat ra-­

dio kuno, mata uang zaman Belanda,

prangko lama, bahkan alat pengeriting

rambut kuno yang tampak seperti alat

untuk menyiksa karena tali-­talinya

yang panjang menjulur mengerikan.

Dinding restoran ini dihiasi

papan reklame tempat usaha dan

produk zaman dulu. Ada iklan mobil

Morris, yang populer di Indonesia seki-­

tar tahun 1970-­an, Shampoo Poeder

Lidaboeaja lengkap dengan ilustrasi

daun lidah buaya, biskuit Verkade

Djempol yang aslinya berasal dari

Belanda, sepatu Bata, dan Restaurant

Solo tempo dulu.

Seusai makan, kami mampir

ke toko suvenir di halaman depan

restoran. Di toko itu terdapat berbagai

macam cenderamata khas Malang

serta pernak-­pernik zaman dulu,

sampai bingung memilih. Tiba-­tiba

saya melihat di meja kasir ada stoples

berbentuk blek kaca kecil seperti yang

biasa dipakai menyimpan krupuk di

warung. Di dalam blek itu disimpan

permen cokelat koin yang dibungkus

kertas emas dan permen mint Winston.

Aha! Permen kesukaan saya waktu

kecil!

Aneka Wiskul Salah satu tempat wiskul alias

wisata kuliner di Malang adalah

Waroeng Bamboe di kawasan Batu.

Restoran berdinding bambu ini sangat

unik, dibangun di atas tiga area kolam

ikan yang besar, mempunyai banyak

untuk pengunjung

rombongan. Pengunjung bisa melihat

ikan koi, mas, dan nila yang berenang-­

renang di bawah meja makan kaca.

Hmm… ada yang sebesar paha orang

dewasa. Ohya, sambil menunggu

makanan pesanan datang, kita bisa

memberi makan ikan-­ikan ini. Dise-­

diakan pakan ikan seharga seribu

rupiah per bungkus.

Hidangan laut dan sayuran tumis

yang kami pesan semuanya enak. Tapi

yang paling maknyus adalah

gurame bakar. Rasanya jadi

ingin tambah terus.

Tempat wisata kuliner

asyik lainnya adalah Bakpia

Telo. Toko bakpao dan bakpia

bernuansa ungu ini berupa

gedung yang cukup besar dan

berhalaman luas. Tempat ini

merupakan salah satu tujuan

wisata di Malang. Di halaman

parkir tampak beberapa bus

pariwisata rombongan anak

sekolah.

Segala macam penganan

khas telo ada di sini, dari

bakpia, mi, es krim, hot dog,

hamburger, kripik, dodol, kue

mangkok, sampai yang masih

berwujud bahan baku seperti tepung

telo. Ada rasa khas telo alias ubi jalar

di bakpao itu. Hmm… sedap dan

unik! Makanan serba telo di tempat

ini benar-­benar inovatif dan… enak!

Tak lupa saya membeli segelas jus telo

dingin. Rasanya manis dan segar.

Kota Malang juga terkenal dengan

baksonya. Kami menyempatkan mam-­

pir ke Bakso President dan Bakso Bakar

Pahlawan Trip. Di Bakso President,

dalam satu porsi, kita bisa menik-­

mati aneka macam bakso: bakso biasa,

bakso urat, bakso telur, siomay, dan

bakso goreng. Konon warung bakso

ini digandrungi artis-­artis Ibu Kota. Se-­

buah pigura berisi tanda tangan artis-­

artis yang pernah datang digantung di

dinding sebagai pajangan. Antara lain

Shahnaz Haque, Nugie, Ari Lasso, Julia

Perez, Inul Daratista, dan Tere.

Bakso Bakar Pahlawan Trip beda

lagi. Warung bakso di Jalan Pahlawan

Trip ini menawarkan sajian unik bakso

bakar. Menyantap bakso bakar dengan

kuah panas yang gurih, hmm… sung-­

guh khas Malang. Rasanya ingin kem-­

bali lagi ke Kota Apel yang sejuk ini.

Mila K. Kamil

FA diffa_15 Maret.indd 42 2/17/12 11:23 PM

Page 43: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 43 2/17/12 11:23 PM

Page 44: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

JULISA LESTARI

puisi

Angin yang berhembus lembut bagai lautan bernafas

* Sri Lestari, siswi penyandang disabilitas daksa, kelas 11 SLB N Salatiga, Jawa Tengah.

44 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 44 2/17/12 11:23 PM

Page 45: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

ragam

45diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Foto

: Sig

it D

Pra

dan

a

GERAKAN Peduli Disabilitas dan Lepral Indonesia (GPDLI) pim-­

pinan Ir. Nuah P. Tarigan, MA, Dr (Cand.) memperingati Hari Lepra

Dunia (World Leprosy Day), 30 Januari 2012 lalu. Peringatan itu

dilaksanakan bersamaan dengan deklarasi Program Teach For Indo-­

nesia (TFI) di Kampus Anggrek BINUS University, Jl. Kebon Jeruk

Raya No. 27, Jakarta Barat.

TFI adalah program pengabdian komunitas pemuda yang berniat mengemba-­

likan kembali ilmu yang mereka peroleh di kampus kepada masyarakat melalui

penerapan frame work Millenium Development Goals (MDGs).

Salah satu acara dalam Hari Lepra Dunia dan peluncuran TFI itu adalah

diskusi mengenai persoalan wanita dan penyandang disabilitas, dengan pembi-­

mantan penyandang. Ibu yang datang bersama teman-­temannya dari komplek

Sitanala, Tangerang, bercerita bagaimana mereka terdiskriminasi dalam kehidup-­

an karena stigma lepra.

“Kusta atau lepra masih menjadi masalah serius di Indonesia, karena setiap

tahun ditemukan 17.000 kasus lepra baru. Nomor tiga terbesar di dunia sesudah

India dan Brazil,” kata Nuah Tarigan.

World Leprosy Day BINUS

SABTU, 11 Februari

2012, Persatuan

Orang Tua Penyan-­

dang Cacat Anak

(Portupencanak)

mengadakan lokakarya dalam

rangka persiapan pelaksanaan

UU Hak Penyandang Dis-­

abilitas (CRPD) di Hotel Kaisar,

Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Lokakarya dengan tema

“Meningkatkan Peran Orang

Tua/Keluarga Dalam Per-­

wujudan Perlindungan dan

Pemenuhan Hak-­hak Anak

Penyandang Disabilitas” itu

menampilkan pembicara

adalah Dra. Eva Rahmi Kasim,

MDS, Ibu RA Aryanto dari

Asih Budi, dan DR. dr. Ferial

Idris.

Lokakarya dihadiri ang-­

gota dan pengurus Portupen-­

canak dari Jakarta, Jawa

Tengah, Riau Kepulauan dan

Kalimantan Tidur. Juga pengu-­

rus Forum Komunikasi Kelu-­

arga Anak dengan Kecacatan

LokakaryaPortupencanak

FA diffa_15 Maret.indd 45 2/17/12 11:23 PM

Page 46: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

konsultasi pendidikan

46 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Mungkinkah Anak “Down Syndrome” Belajar di Sekolah Alam?

Bapak Asep Supena yang terhormat,

Saya Ruly, memiliki anak dengan down

syndrome. Rangga namanya, usianya 8

tahun. Selama ini Rangga menjalani terapi

di sebuah sekolah khusus.

Saya termasuk orang yang menyu-

kai sekolah alam. Menurut saya, di seko-

lah alam anak-anak dilatih untuk menjadi

pribadi kreatif. Saya berencana memasuk-

kan Rangga ke sebuah sekolah alam yang

jaraknya tak terlalu jauh dari tempat

tinggal kami. Namun, saya masih agak

ragu-ragu, mengingat Rangga anak dengan

down syndrome.

Apakah hal ini memungkinkan?

Apakah metode pendidikan sekolah

alam bisa membantu Rangga jadi lebih

baik?Meningkatkan taraf kecerdasan

Rangga, misalnya? Jika memungkinkan,

tahap apa yang harus saya tempuh? Mung-

kin saya harus melakukan pendekatan

terlebih dahulu dengan pihak sekolah?

Mohon nasihat Pak Asep.

Terima kasih sebelumnya.

Bu Ruly yang saya hormati,

Hal pertama yang harus dimiliki orang tua untuk dapat

mendampingi anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah

kesabaran dan keikhlasan, serta kemauan untuk terus

mengetahui dan memahami anak. Termasuk sifat-­sifat dan

bagaimana pendidikannya. Saya pikir, Ibu Ruly telah me-­

miliki hal tersebut dan semoga terus konsisten.

Down syndrome adalah kelainan genetis yang menjadi

salah satu penyebab hambatan kecerdasan paling popu-­

ler. Sejumlah literatur menyebut 1 dari 800 hingga 1.000

anak terlahir dengan sindrom ini. Penyebabnya, karena ada

kelebihan kromosom (extra cromosome) pada pasangan

kromosom ke-­21. Sehingga sindrom ini sering juga disebut

dengan istilah “trisomy 21”. Sayang para peneliti belum

menemukan secara pasti apa penyebab terjadinya ekstra

kromosom tersebut.

Siswa dengan down syndrome umumnya memiliki

hambatan kecerdasan sedang atau rendah. Mereka bagian

dari kelompok anak yang mengalami hambatan kecerdasan.

Seperti pernah saya kemukakan dalam tulisan sebelumnya,

anak dengan hambatan kecerdasan (

atau tunagrahita) adalah mereka yang memiliki skor IQ di

bawah 70 dan memiliki hambatan dalam perilaku adaptif

(beradaptasi dengan lingkungan). Kasus semacam ini terjadi

sebelum usia 16/18 tahun.

Hal lebih penting dalam menghadapi down syndrome

adalah bagaimana kita bisa memahami secara terperinci

karakteristik perilaku serta kebutuhan khusus mereka.

Misalnya, apa kesulitan atau ketidakmampuan mereka

dibanding anak-­anak lain seusianya, apa yang masih dapat

dilakukan, apa kelebihan, dan bagaimana kecenderungan

emosi dan prilaku mereka.

Dengan memahami sifat-­sifat atau karakteristik terse-­

but, selanjutnya kita cermati apa yang menjadi kebutuhan

khusus mereka, termasuk kebutuhan khusus dalam keg-­

iatan belajar atau pendidikan.

FA diffa_15 Maret.indd 46 2/17/12 11:23 PM

Page 47: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

47diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Dr. Asep Supena, M.Psi

Dosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa,

Fakultas Ilmu Pendidikan,

Universitas Negeri Jakarta

Ibu

Ruly, seko-­

lah yang

me-­

miliki

pema-­

haman

tentang

kondisi

down syndrome

dan secara khusus

menyiapkan

program

pendidikan untuk

mereka adalah sekolah luar biasa

(SLB), khususnya SLB untuk anak

dengan hambatan kecerdasan

(SLB/C).

Sebenarnya pendidikan

untuk anak dengan hambatan

kecerdasan, termasuk down

syndrome, dapat juga dilakukan

di sekolah-­sekolah umum atau

re guler. Siswa down syndrome

yang mengikuti pendidikan di

sekolah umum dilayani ses-­

uai dengan kemampuan dan

kebutuh an khusus mereka.

Ini meliputi metode mengajar,

kurikulum, media pembelajaran,

hingga cara atau metode evalua-­

si. Ini yang dikenal dengan istilah

pendidikan inklusif.

Sekolah umum yang me-­

nyelenggarakan pendidikan

inklusif harus mempunyai

tenaga guru yang memiliki

pemaham an

tentang pendidikan

inklusif dan

pendidikan

untuk anak

berkebutuhan

khusus. Selain

itu, perlu ada

minimal satu

orang guru yang

kasi pendidikan

atau keahlian

pada bidang

pendidikan khusus. Hal

ini penting supaya anak berke-­

butuhan khusus mendapat

layanan pembelajaran yang

tepat.

Saya berpikir, sekolah alam

yang Ibu Ruly sebut termasuk dalam

wacana atau pembahasan tentang

sekolah inklusif. Jadi, berdasarkan

penjelasan di atas, pada dasarnya

Ibu dapat memasukkan Rangga ke

sekolah alam yang Ibu sebutkan.

Dengan catatan, sekolah tersebut telah

memenuhi sejumlah persyaratan

untuk dapat menyelenggarakan

pendidik an inklusif secara baik, se-­

bagaimana dijelaskan di atas.

Untuk itu, sebelum memasukkan

Rangga ke sekolah alam, ada baiknya

Ibu terlebih dahulu berkomunikasi

dan berkonsultasi dengan pihak seko-­

lah tentang keinginan menyekolah-­

kan Rangga ke sekolah alam tersebut.

Dengan demikian segala sesuatunya

menjadi jelas dari awal.

Tentang apakah sekolah

alam dapat membuat anak down

syndrome menjadi lebih baik, itu

sangat bergantung pada isi kuri-­

kulum dan metode pembelajaran

yang dilakukan. Pembelajaran

yang tepat untuk anak down syn

drome adalah pembelajaran yang

menyenangkan, materi bersifat

konkret, praktis, dan sederhana,

sesuai kemampuan anak. Bukan

materi yang bersifat akademik atau

teoretis. Dalam proses belajar, anak-­

anak harus terlibat secara aktif,

atau yang dikenal dengan metode

partisipatif.

Semoga penjelasan ini dapat

membantu Ibu Ruly mengambil

keputusan terbaik untuk Rangga.

Did

i Pu

rnom

o

FA diffa_15 Maret.indd 47 2/17/12 11:23 PM

Page 48: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

ruang hati

Keterlibatan KeluargaMengasuh ABK

48 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Menerima Karyawan Penyandang Disabilitas

Ibu Frieda yang terhormat,

Saya Lusie, bekerja di sebuah perusahaan swasta.

Perusahaan kami berencana mempekerjakan karyawan

yang menyandang disabilitas sebagai salah satu

bentuk program CSR kami. Rencana kami adalah

menerima seorang pengguna kruk atau kursi roda

di bagian keuangan dan akuntansi, serta seorang

tunarungu di bagian IT.

Saya mengharapkan nantinya karyawan

penyandang disabilitas yang bekerja di perusahaan

kami dapat menyatu dengan karyawan lain, begitu pula

sebaliknya. Namun saya membayangkan, pada tahap

awal mungkin akan ada suasana yang saling kikuk,

karena belum terbiasa. Terus terang, saya agak gugup

untuk memulai hal ini, terutama dengan calon

karyawan yang tunarungu. Saya membayangkan pasti

akan ada hambatan komunikasi.

Menurut Ibu Frieda, apakah kami membutuhkan

proses khusus untuk menerima karyawan penyandang

disabilitas? Apakah ada tahapan khusus yang harus

kami tempuh? Apakah mungkin akan terjadi hambatan

psikologis dalam relasi karyawan disabilitas dengan

karyawan lain? Bagaimana cara membangun relasi

dengan karyawan penyandang disabilitas ini nantinya?

Mohon nasihat Ibu Frieda.

Ibu Lusie yang baik,

Kesediaan lembaga, seperti per -­

usahaan swasta tempat Anda bekerja,

menerima penyandang disabilitas

untuk bekerja memang dapat meng-­

gambarkan komunitas yang sudah

inklusif dalam hal bekerja bersama

penyandang disabilitas. Ini tentu patut

diacungi jempol.

Saya juga mengerti dan setuju

dengan Anda, bahwa akan lebih

nyaman bagi kedua belah pihak bila

ada persiapan dan pemahaman awal

tentang siapa teman kerja baru serta

bagaimana kekhasan mereka.

Sebenarnya dapat kita pahami

bahwa setiap orang itu unik dan

memiliki karakteristik yang khas

serta berbeda satu dengan yang lain.

Demikian juga penyandang disabili-­

tas. Bila seseorang dalam melakukan

mobilitas dan aktivitas keseharian

dengan menggunakan kedua kakinya,

bersepeda, naik motor, naik mobil

pribadi, kendaraan umum, penyan-­

dang disabilitas mungkin dengan kursi

roda.

Demikian juga dalam berkomu-­

nikasi. Ada banyak cara dan metode

yang dapat digunakan. Tidak hanya

komunikasi secara verbal atau lisan

yang ditangkap dengan indra penden-­

garan. Komunikasi dapat juga dilaku-­

kan melalui komunikasi nonverbal,

visual, dan tertulis. Hal-­hal inilah

yang perlu dipahami sebelum bekerja

bersama orang lain yang memiliki

karakteristik yang agak berbeda dari

FA diffa_15 Maret.indd 48 2/17/12 11:23 PM

Page 49: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Keterlibatan KeluargaMengasuh ABK

49diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Menerima Karyawan Penyandang Disabilitas

Did

i Pu

rnom

o

apa yang sering kita temui sehari-­hari.

Ada baiknya karyawan baru,

baik secara pribadi maupun bersama

pendamping bila memang ada (ke-­

luarga, agen, pihak lain yang terkait

dengan proses seleksi dan penerimaan

karyawan), memperkenalkan diri,

terutama dengan bagian atau unit

langsung tempat ia bekerja.

Dalam sesi perkenalan ini, bisa ter-­

harapan-­harapan, kebutuhan-­kebu-­

tuhan ataupun teknik berkomunikasi

yang akan digunakan untuk dapat

membantu karyawan penyandang

disabilitas merasa nyaman melaku-­

kan tugas-­tugas mereka di kantor

Anda.

Ada kemungkinan diperlukan

fasilitas kantor seperti perlunya

akses untuk leluasa bergerak dengan

kursi roda, jalan bebas hambatan dari

lainnya. Juga bentuk toilet dan alter-­

kinkan karyawan berkursi roda bisa

melakukannya tanpa bantuan.

Sebelum menjalankan tugas,

sebaiknya penyandang disabilitas me-­

miliki deskripsi yang jelas baik tentang

tanggung jawab, hak dan kewajiban,

ruang lingkup, maupun fasilitas yang

bisa digunakan dalam memenuhi

target yang diberikan, juga menyele-­

saikan tugas dengan sebaik-­baiknya.

Ada baiknya mereka memiliki

semacam buddy, sobat, pendamping,

tutor, teman sekerja atau supervi-­

sor yang merupakan orang pertama,

terdekat, tempatnya bertanya atau

memberi informasi yang diperlukan

selama bekerja.

Pandanglah mereka, meskipun

menyandang disabilitas, dengan

kemampuan, kelebihan, dan kekuatan

yang mereka miliki, bukan dengan

keterbatasan atau kelemahan mer-­

eka. Libatkan mereka dalam berbagai

aktivitas, tanpa diskriminasi, dan

menghormati keputusan mereka bila

memilih tidak ikut terlibat di dalam

suatu kegiatan yang tidak diwajib-­

kan.

Semoga pengalaman awal ini,

bila berhasil dilakukan, bisa mem-­

bantu mengikis stigma negatif

tentang penyandang disabilitas dan

memperkuat penghargaan terha-­

dap sesama

Frieda Mangunsong

Guru Besar (Profesor) Fa kul tas Psikologi Universitas Indonesia yang se jak tahun 1980 mengajar dan sejak tahun 1984 mendalami bidang Psikologi Pendidikan.

insan yang menghendaki kesem-­

patan yang sama dalam bekerja dan

memperoleh hak yang sama untuk

mengembangkan diri serta karier di

dunia kerja.

Satu lagi, mungkin ada

perusahaan atau lem-­

baga lain yang sudah

mempekerjakan

penyandang disabili-­

tas yang sama, yang

bisa menjadi tempat

bertanya atau bertukar

pengalaman.

FA diffa_15 Maret.indd 49 2/17/12 11:23 PM

Page 50: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

MUSROJAB

Tak Serapuh KerupukHidup dengan

keterbatasan bukan

alasan untuk berhenti

berusaha. Dalam

ketunanetraan,

Musrojab mencoba

berbagai jalan hidup.

Akhirnya menemukan

usaha agen kerupuk.

Sederhana dan

menghidupi.

MUSROJAB

lahir di Ban-­

jarnegara,

Jawa Tengah,

30 November

1983. Ia terlahir sebagai tunanetra.

Meski memiliki keterbatasan sejak

lahir, semangat Musrojab tak ber-­

beda dari orang-­orang non-­disabi-­

litas. Ia dibesarkan oleh keluarga

di Temanggung dan menyelesai-­

kan pendidikan di sekolah luar

biasa (SLB) hingga SMA.

Setelah menyelesaikan SMA,

Musrojab mencari pekerjaan. Na-­

nya sulit mendapatkan pekerjaan

yang layak. Upaya mencari kerja

tak membuahkan hasil.

Akhirnya Musrojab diajak

seorang teman sesama tunanetra

juga karena memang saya suka

Mas Musrojab.” Mereka pun meni-­

kah pada tahun 2008.

Keinginan untuk menghidupi

keluarga membawa Musrojab

merantau sampai Jakarta. Di Ibu

Kota ia bekerja sebagai tukang pijat

di sebuah panti pijat tunanetra.

Penghasilan yang tak menentu

membuatnya berpikir mencari

pekerjaan lain. Ia kemudian beralih

menjadi pengamen.

Hidup di jalanan sebagai

pengamen tak kalah

berat. Musrojab bersama

teman-­teman tunanetra

beberapa kali ditangkap

Satpol PP dan dimasuk-­

kan ke

panti sosial

di Kedoya,

Jakarta

Barat.

belajar memijat di Temanggung. Di

sana Musrojab diajar oleh seorang

guru pijat. Memang, banyak tunanetra

seperti dirinya yang akhirnya me-­

milih pekerjaan sebagai tukang pijat.

Satu keberuntungan, selama proses

itu Musrojab bergaul dengan banyak

orang non-­disabilitas.

Berjuangan di JalananSuatu ketika, saat sedang berja-­

lan Musrojab secara tidak sengaja

menabrak seorang perempuan yang

membawa barang-­barang cukup

berat. Musrojab meminta maaf

dan membantu perempuan itu

membereskan barang-­barangnya

yang jatuh berceceran. Peristiwa

itu merupakan awal pertemuan

Musrojab dengan Santi, yang

akhirnya menjadi istrinya.

Santi menuturkan, ia

berpacaran dengan Musro-­

jab selama satu tahun. Ke-­

tika Musrojab menyatakan

keinginan menikahinya,

Santi langsung menerima.

“Alasan saya meneri-­

manya, ya

karena

ibadah.

Selain

itu

50 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

bingkai bisnis

Foto

: A

thu

rtia

n

FA diffa_15 Maret.indd 50 2/17/12 11:23 PM

Page 51: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Bagaimanapun, tetap lebih nya-­

man hidup di jalanan daripada di

panti. Musrojab bersama teman-­

temannya memperjuangan hak

untuk bebas dan kembali ke jalan.

Namun, keadaan semakin

sulit setelah keluar Peraturan

Daerah 8/2007 tentang Penertiban

Pengemis dan Gelandangan. Perda

tersebut memaksa Musrojab menin-­

ggalkan dunia jalanan.

Agen KerupukDalam situasi sulit tanpa peker-­

jaan, seorang teman menyarankan

Musrojab berwirausaha. Usaha itu

adalah berjualan kerupuk Bangka.

Musrojab tertarik mencoba usaha

itu karena tidak membutuhkan

modal besar.

Dengan modal awal Rp 900.000

Musrojab membeli kerupuk dari

sebuah pabrik di Regency Bintaro,

Ciledug. Memulai usaha yang

belum pernah dijalani sebelumnya

tentu tak mudah. Musrojab harus

merintis usaha dari nol. Berbagai

kendala dihadapi. Apalagi usaha-­

nya dijalani seorang diri. Salah satu

contoh, awalnya harus mengambil

sendiri kerupuk ke pabrik yang

cukup jauh dari tempat tinggalnya.

Kerupuk yang dibeli pun cukup

banyak. Tentu ia sangat kesulitan.

Belakangan baru ia tahu, kerupuk

dari pabrik bisa diantar dengan

biaya tambahan.

Setelah mulai

paham, Musrojab

merasa tidak kesuli-­

tan. Setelah berjalan

tiga bulan, usaha

baru yang dirintisnya

mulai lancar. Teman-­

teman seperjuangan-­

nya di jalanan dulu

akhirnya bergabung

sebagai penjual kerupuk

keliling. Respons konsumen yang baik

juga membuat omzet kerupuk terus

meningkat. Kini Musrojab jadi distri-­

butor kerupuk yang cukup berhasil.

Selain sebagai usaha mandiri,

usaha distribusi krupuk Musrojab juga

sekaligus menjadi sumber penghasilan

bagi teman-­temannya penyandang

tunanetra. Musrojab mendistribusikan

kerupuk kepada teman-­temannya

dengan harga Rp 3.500 per bungkus.

Kerupuk itu kemudian dijual dengan

cara keliling seharga Rp 5.000 per

bungkus. Dari tiap bungkus yang laku,

teman-­teman Musrojab mendapat

Rp 1.500. Sangat menguntungkan

dan menolong. Lebih menolong lagi,

karena Musrojab memberikan ke-­

mudahan dengan sistem konsinyasi.

Kerupuk laku baru dibayar. Hal ini

sangat menolong teman-­temannya

yang tidak punya modal cukup.

Tidak Mudah Kini, dalam seminggu omzet

penjualan kerupuk Musrojab menca-­

pai rata-­rata 800 bungkus. Musrojab

mengedarkan kerupuk itu bersama

lima temannya penyandang tunane-­

tra. Setiap hari mereka berjualan ke

berbagai tempat di wilayah Jakarta,

Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabo-­

detabek). “Wilayah penjualan kerupuk

tidak terbatas, tergantung banyaknya

kerupuk yang kami bawa. Semakin

banyak yang dibawa, semakin jauh.

Tempatnya juga tidak menentu.

Yang penting terjual,” jelas Musro-­

jab.

Pekerjaan ini sesungguhnya

tidak mudah, mengingat mereka

tunanetra. Sering mereka terperosok

atau menabrak tiang listrik. Salah

satu tantangan berat adalah jika

turun hujan. Jalan yang tergenang

air membuat mereka sering terpele-­

set hingga terjatuh dan kerupuk

hancur.

Kesulitan lain adalah melihat

nominal uang. Menurut Musrojab,

kelemahan ini sering dimanfaatkan

pembeli yang tidak jujur. Misalnya

membayar tidak sesuai dengan

harga semestinya. “Dulu pernah ada

pembeli memborong kerupuk saya,

dibayar seratus ribu rupiah. Ternya-­

ta uangnya palsu.”

Legiman, salah seorang teman

penyandang tunanetra, menutur-­

kan kesulitan-­kesulitan itu. “Saya

pernah diisengi anak-­anak. Mereka

bilang di sana ada jalan, ternyata

jalan buntu,” ujarnya.

Dengan pencapaian saat ini,

Musrojab berharap usahanya terus

berkembang. Namun, ia tak ber-­

harap terlalu muluk, karena juga

melihat usaha ini sebagai usaha

menolong teman-­teman penyan-­

dang tunanetra. “Yang penting

semua kerupuk habis terjual, sama-­

sama untung dan dapat membantu

teman-­teman senasib,” katanya.

Untuk menambah penghasil-­

an, Musrojab berusaha dengan

jalan lain. Di sekitar rumahnya

yang menjadi perkampungan

penyandang tunanetra, ia mem-­

bantu teman-­temannya yang ingin

memiliki barang-­barang elektronik

dengan sistem pembayaran kredit.

Musrojab mulai kreatif mengem-­

bangkan usaha. Hilma Awalina

51diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 51 2/17/12 11:23 PM

Page 52: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

cerpen

TerperangkapCHRYSANOVA DEWI

52 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Did

i Pu

rnom

o

AKU berlari kencang.

Nafasku terengah-­engah,

sementara peluh memban-­

jiri tubuhku. Jantungku

berlomba dengan ketakut-­

an yang amat sangat. Saking takutnya aku

sampai tidak berani menoleh ke belakang.

Berkali-­kali jalanan yang tidak rata men-­

jegal langkahku. Namun aku masih tetap

tidak mau menyerah, meski nafasku sudah

ngos-­ngosan seperti motor tua.

Tiba-­tiba jalanan mendadak membelok

menuju sebuah tanjakan tajam. Dengan

susah payah aku mendaki tanjakan itu

karena tidak ada jalan lain lagi. Setiba di

atas, ternyata jalannya buntu. Rasa takutku

kontan berubah menjadi kepanikan yang

luar biasa. “Aku terjebak!” jeritku dalam hati.

*

Tanjakan yang buntu itu ternyata ping-­

gir tebing yang curam. Satu-­satunya jalan

turun adalah jalan yang kulalui tadi. Jelas

tidak mungkin aku balik lagi. Detak jan-­

tungku semakin cepat dan keringat dingin

membasahi pakaianku.

Dalam kepanikan itu kuberanikan untuk menoleh ke

belakang. Oh, tidak! Sosok yang mengejarku sudah semakin

dekat. Pada titik kritis kuambil keputusan nekat. Kututup

kedua mataku dan aku melompat. Kurasakan tubuhku

meluncur bebas ke bawah, ke dalam jurang yang bahkan

dasarnya pun tidak kelihatan.

Bruuuuk! Sraaak! Tubuhku terjatuh di atas sesuatu

yang dari suaranya terdengar seperti pohon atau semak

belukar. Terdengar ranting patah di sana-­sini. Beberapa di

antaranya menggores kulit dan pakaianku. Aku mengem-­

buskan nafas dengan sedikit lega. Setidaknya masih ada

pohon ini yang menyelamatkanku dari kemungkinan

terhempas ke tanah. Bila itu yang terjadi, pastilah tubuhku

sudah remuk.

Namun, bayangan pada yang mengejar di belakangku

menyebabkan aku langsung berusaha turun dari pohon.

Sambil meringis menahan pedih akibat goresan-­goresan

ranting yang membuat tubuh dan pakaianku compang-­

camping, aku turun secepat mungkin. Namun keterkejut-­

an menungguku di bawah. Begitu menjejak tanah dan

mengedarkan pandangan ke sekeliling, mataku langsung

melebar. Jalan itu dan lingkungan di sekelilingnya serasa

kukenal.

Aku buru-­buru berlari menghampiri sebuah bangunan

megah yang dikitari pagar besi tinggi. Sebuah papan dengan tu-­

lisan besar-­besar berdiri di antara pagar besi. Aku memandang-­

nya dan langsung ternganga. Itu bangunan sekolah menengah

atas tempatku menuntut ilmu. Aku sempat tidak percaya

pada mataku. Namun berapa kali pun aku mengucek mata

pemandangan di hadapanku tetap tidak berubah. Aku senang

bercampur heran. Kok, aku bisa ada di sini? Padahal baru saja

aku berlari meninggalkan ketakutanku di tempat yang sama

sekali berbeda.

*

Untuk meyakinkan diriku kucoba melihat ke atas, ke

dinding batu cadas yang tadi kulompati dengan nekat. Namun

suasana yang berkabut membuat aku tidak bisa melihatnya.

Maka aku mengambil kesimpulan bahwa aku sudah bebas.

Aku sekarang sudah berada di lingkungan yang kukenal baik.

Entah apa yang kualami tadi, halusinasi, fatamorgana, atau

mimpi buruk, aku tak peduli. Aku lelah, benar-­benar lelah.

Kulangkahkan kakiku sambil membayangkan betapa

nyamannya berbaring di tempat tidurku yang empuk setelah

berlari pontang-­panting seperti tadi. Aku berjalan ke arah

rumahku. Kelegaan yang mengembang di hatiku membuatku

FA diffa_15 Maret.indd 52 2/17/12 11:23 PM

Page 53: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

53diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

tidak sempat merasa heran dengan suasana yang sunyi. Ter-­

lalu sunyi malah. sehingga bisa dikatakan sangat ganjil. Tidak

kulihat ada satu makhluk hidup pun selain rumput dan pe-­

pohonan.

Kebingungan mulai menerpaku lagi ketika rumahku tak

kunjung kutemukan. Jalan yang kulalui ini terasa sangat pan-­

jang. Kepanikan mulai mengguncang jantungku lagi. Di mana

aku? Bangunan tadi jelas sekolahku, tapi mengapa jalanan ini

begitu asing dan tidak kukenal? Aku jadi ketakutan. Tubuhku

gemetaran. Aku takut akan suasana asing ini.

Udara dingin mencekam jantungku, seolah-­olah mengand-­

ung sebuah aura misterius yang menghambat jalan nafasku.

Aku terengah-­engah. Kakiku langsung mengambil langkah

seribu. Aku berlari tanpa tujuan. Yang kuinginkan hanyalah

keluar dari suasana yang asing ini dan kembali ke tempat yang

kukenal. Namun percuma saja. Lama-­kelamaan aku benar-­

benar tersesat. Aku berteriak dan menjambak rambutku dengan

frustrasi.

Tidak ada orang yang dapat kutanyai. Tidak ada satu mak-­

hluk hidup pun yang tampak di depan mataku selain rumput

dan tumbuhan lain. Sementara itu udara makin gelap, pertanda

petang telah berganti malam. Dengan putus asa aku melang-­

kah ke satu-­satunya bangunan yang kukenal, yaitu bangunan

SMA.

Di petang hari seperti ini pasti tidak ada orang di sekolah.

Karena itu jantungku seakan berhenti berdetak ketika sebuah

suara menyapa. “Chrys, ngapain diam di situ? Ayo, masuk sini.

Gabung sama kita aja, yuk.”

Kukumpulkan keberanianku untuk menoleh. Begitu me-­

lihat sosok gadis yang menyapaku, mataku langsung berubah

cerah. Gadis itu Alicia, sahabatku. Aku langsung mengikutinya.

“Kamu lagi apa di sini, Lis? Kok, kamu belum pulang?”

Alicia yang pendiam tetap saja melangkah seperti tidak

mendengar ocehanku. Setelah melewati sebuah lorong, kami

tiba di bagian dalam kompleks sekolah. Di sana banyak orang

berkumpul. Aku mengamati mereka di bawah temaramnya

sinar senja dan kontan aku berteriak kegirangan. Gambaran

sosok-­sosok yang kukenal ada di sana.

“Hei… Nadia, Karin, Andre… lagi ngapain kalian semua di

sini?”

Aku berlari menghampiri mereka. Namun mereka tidak

bergerak. Mereka diam saja seperti tidak mengenaliku. Aku

berpaling pada Alicia yang berdiri di membelakangiku. Ia juga

diam seribu bahasa. Mendadak Alicia berbalik menghadapku,

namun wajahnya telah berubah jadi sosok yang membuatku

berteriak ketakutan. Wajah Alicia melumer seperti lilin cair,

menyisakan rupa mengerikan yang tidak berbentuk.

Aku menekap mulutku sambil melangkah mundur.

Bagaimana mungkin, dia tidak berhenti mengejarku sam-­

pai ke lingkungan yang kukenal ini? Kepalaku menoleh

ke teman-­temanku yang lain. Namun mereka semua juga

sudah berubah. Aku hanya bisa berdiri terpaku di antara

kepungan monster-­monster itu. Pandanganku menyapu

ke sekeliling kompleks sekolah untuk mencari jalan keluar.

Namun sia-­sia saja. Tidak ada celah sedikit pun. Sosok yang

sebelumnya memakai wajah Alicia telah membawaku ke

tempat yang benar-­benar tertutup. Jalan keluar satu-­satu-­

nya adalah lewat atas. Itu tentu sangat mustahil karena

aku tidak bisa terbang.

Karena itulah, kuurungkan niatku untuk mencoba

berlari meninggalkan kompleks sekolah. Prioritasku seka-­

rang adalah bersembunyi dari kejaran makhluk-­makhluk

itu. Aku segera berlari ke sudut yang terpencil. Aku ingin

mengecoh mereka dengan kemampuan lari sprintku yang

bagai luncuran anak panah. Dulu, di sekolah ini aku sering

mendapat penghargaan atas prestasi yang kutorehkan di

bidang lari tersebut. Namun itu dulu. Kini kemampuan itu

bukan untuk meraih prestasi, melainkan untuk memper-­

tahankan hidupku.

Sempat kulihat kuku-­kuku yang panjang dan runcing

di cakar mereka. Kubilang itu cakar karena tangan mereka

benar-­benar sudah berubah menjadi cakar-­cakar. Aku

bergidik. Tidak terbayangkan jika tubuhku dikoyak-­koyak

cakar-­cakar tajam itu. Mendadak aku mengerem lariku,

sehingga aku jatuh terguling. Mereka ternyata lebih cepat.

Dalam waktu singkat mereka telah berada di depanku.

Beberapa kali cakar-­cakar tajam itu nyaris menyam-­

barku. Aku menggulingkan badan ke belakang sambil

berteriak ngeri. Kepalaku jadi pusing karena bergulingan.

Monster-­monster menyeringai sambil melangkah ke

arahku. Dapat kulihat dengan jelas gigi-­gigi runcing yang

tersembunyi di balik bibir mereka. Aku terperangkap.

Mereka telah berdiri di kanan-­kiriku dengan cakar siap

menangkapku. Aku menjerit. Tanpa berpikir, aku berlari ke

satu-­satunya celah di belakangku. Di sana ada satu pintu

yang terbuka dan aku lalu masuk ke dalamnya.

Aku tahu ini tindakan bodoh, karena berarti me me-­

rangkap diriku sendiri. Namun aku tidak punya pilihan.

Dari derap kaki yang terdengar di belakangku aku tahu

mereka mengejarku. Aku membanting pintu ruangan itu

dan memandang berkeliling. Ternyata aku berada di ruang

UKS. Dan… di atas salah satu tempat tidur kulihat sebuah

sosok yang sedang tidur. Sosok itu sangat kukenali. Dia

Bram, salah satu sahabatku yang juga sekaligus sainganku

FA diffa_15 Maret.indd 53 2/17/12 11:23 PM

Page 54: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

54 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

dalam mengejar ranking tertinggi dari kelas satu sampai

kelas tiga.

Dengan terburu-­buru kudekati dan kuguncang bahu-­

nya sekuat tenaga. “Bangun Bram, bangun! Mereka…”

Belum aku selesai bicara suara gedoran menggetarkan

ruangan. Wajahku memucat. Tapi untunglah Bram segera

terbangun. Sambil mengucek mata ia memandangku bi-­

ngung. “Ada apa?” tanyanya polos.

Belum sempat aku menjawab, pintu menjeblak ter-­

buka. Kursi yang kupasang sebagai pertahanan terlempar

hingga berkeping-­keping. Para monster melangkah masuk

dan menyeringai ke arah kami. Bram terkejut, namun ia

dapat bereaksi dengan cepat. Ia melompat turun dari tem-­

pat tidur dan menunjuk ke sebuah jendela. Ia memberiku

sebatang kayu tajam pecahan kursi.

Aku mengerti. Aku memukulkan batang kayu ber-­

ujung tajam itu memecahkan jendela kaca. Namun men-­

dadak kudengar jeritan Bram. Aku terkejut dan menoleh.

Salah satu monster itu menyerang dan menggigit leher

Bram. Aku terpana. Tiba-­tiba saja ia kejang-­kejang seperti

tersengat listrik. Sedikit demi sedikit wajahnya mulai

berubah. Tak dapat kulukiskan kengerian yang menerpa

diriku.

Dua arus kekuatan tampak beradu di dalam tubuh

sahabatku, berbelit dan menjalar ke seluruh tubuh dan

menciptakan reaksi-­reaksi yang aneh. Lelehan itu terus

menjalar, merayapi sesenti demi sesenti hingga menguasai

wajahnya. Ia melompat menerjangku. Tangannya sudah

berubah jadi cakar berkuku panjang. Aku menjerit karena

cakar-­cakar berkilat itu langsung menyambar ke arahku.

“Jangan mendekat!”

Didorong naluri mempertahankan diri aku menusuk-­

kan satu-­satunya benda yang ada di tanganku ke arah

Bram. Segalanya terjadi secara otomatis. Batang kayu itu

menghujam dalam ke dada Bram, tepat di jantungnya.

Tubuh Bram kontan terkulai. Darah menyembur ke mana-­

mana, termasuk ke arahku, hingga pakaianku berlumur

cairan merah berbau amis. Aku menjerit. Kupandangi

wajah Bram yang mendadak kembali seperti semula, tanpa

ada sisa yang menunjukkan bahwa sedetik sebelumnya dia

berwajah monster.

Aku menjadi lemas. Aku jatuh terduduk. Mataku

terpejam pasrah. Pasti, para monster akan segera menyerbu.

Namun… sedetik, dua detik, tiga detik… tidak ada apa-­apa.

Suasana tetap hening. Para monster tetap di tempat mereka

berdiri, membeku seperti batu. Aneh sekali. Jantung Bram

seperti sebuah remote control. Begitu aku menusuknya,

monster yang lain otomatis ikut terhenti. Mengapa bisa

begitu?

Namun, melihat kembali wajah Bram yang membeku

di antara genangan darah, tangisku kontan meledak. Aku

tidak percaya bahwa akulah yang membunuhnya. Sahabat

yang kusayangi kini mati dengan cara amat mengenaskan

oleh tanganku sendiri. Aku terus menangis menjerit-­jerit,

hingga akhirnya tidak kuat. Tubuhku limbung. Dan aku

jatuh ke dalam kegelapan yang tak berdasar.

*

Aku terbangun dengan terkejut. Butir-­butir keringat

dingin masih membasahi dahiku. Kupandangi sekeliling.

Ah, ternyata aku tertidur di meja belajarku. Aku bangkit

sambil mendesah lega. Mimpi tadi terasa amat nyata hing-­

ga kurasakan ketegangan masih mengguncang jantungku.

“Sayang, tuh ada temannya datang.” Mendadak ter-­

dengar suara ibuku.

Aku terkesiap. Kurapikan rambut dan pakaianku dan

melangkah ke luar. Tidak ada siapa-­siapa di ruang tamu.

Kulihat di luar jendela ada sebuah sepeda motor bersama

seseorang yang aku tahu dari posturnya adalah Bram. Aku

melangkah ke luar.

“Jalan, yuk,” ajaknya. Ia tetap mengenakan helm.

“Ke mana?” tanyaku.

“Lihat aja nanti, deh,” ujarnya sambil tertawa.

Kami meluncur menembus udara sore hari yang

nyaman. Tidak lama kemudian kami berhenti di sebuah

padang rumput yang dikelilingi pepohonan. Udara yang

sejuk memperkuat suasana sepi di tempat itu. Matahari

sudah akan terbenam sehingga tempat kami menjadi agak

gelap oleh bayangan pepohonan yang melingkupinya.

Aku agak gelisah. “Ngapain kita berhenti di sini,

Bram?” tanyaku waswas.

Bram tidak menjawab. Ia membuka helmnya, dan aku

menjerit. Wajah yang tersembunyi di balik helm itu serupa

dengan wajah monster yang kulihat di dalam mimpiku.

Aku ingin berlari namun kedua kakiku serasa terpaku di

atas tanah, tak bisa digerakkan. Bram menyeringai dan

sinar terakhir matahari senja memantul di gigi-­giginya

yang runcing, sehingga tampak berkilau. Aku kontan

menjerit.

“Sayang… jangan hiraukan bayangan-­bayangan bu-­

ruk. Ini aku, Bram….”

Aku terpana. Monster itu berubah menjadi Bram yang

tersenyum sayang, sambil memegang kedua pipiku den-­

gan kedua telapak tangannya. Telapak tangan tak bercakar.

FA diffa_15 Maret.indd 54 2/17/12 11:23 PM

Page 55: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

55diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

bisikan angin

DI Hanoi, Vietnam, seorang gadis usia 20-­an tahun memutuskan untuk

mendedikasikan hidupnya bagi pelayanan dunia disabilitas. Gadis itu

bernama Dao Minh Hue. Dalam acara The Regional Conference on Ac-­

cess to Elections for Persons with Disabilities yang berakhir pada 2 Febru-­

ary 2012 di Hotel Pullman, Jakarta, Anda akan mudah mengenali Hue

yang berambut lurus panjang, berkacamata, dan selalu tersenyum ramah. Anak pa sangan

dosen dan akuntan yang lahir di sebuah provinsi miskin yang jauh dari Hanoi ini me-­

milih menjadi Personal Assistant Coordinator untuk lembaga Hanoi Independent Li ving

Center. “Saya belajar dan mendapatkan banyak hal dari konferensi regional ini. Selain

dari para pembicara, juga sesama organisasi disabilitas dari negara ASEAN,” ujarnya.

Menurut Hue, tema tentang hak-­hak politik penyandang disabilitas memang

penting. Apalagi dia tengah mempersiapkan dan akan segera melakukan riset tentang

pemenuhan hak-­hak politik penyandang disabilitas di negaranya. “Sebagai Personal

Assistant Coordinator, saya memerlukan banyak informasi terkait dengan hak-­hak

politik para penyandang disabilitas. Melalui konferensi ini kebutuhan akan informasi

itu banyak terpenuhi,” tuturnya. Hue kebetulan memiliki seorang paman yang juga

penyandang disabilitas. Namun ia terjun dan memilih bekerja di dunia disabilitas lebih

karena dorongan hati nuraninya yang kemudian diperkuat oleh dosen-­dosennya saat

kuliah di jurusan social study. “Profesor saya dan orang tua saya semuanya mendukung

pilihan hidup saya ini,” ungkapnya penuh syukur. Itulah Hue, satu sosok muda yang

hadir dalam konferensi regional dan bisa menjadi inspirasi bagi jutaan anak muda lain di

seluruh dunia. frg

Dao Minh Hue

Foto

: H

avel

SUASANA akrab dan bersa-­

habat mewarnai rangkaian

acara AGENDA hingga

usai. Setelah berbincang

dengan rekannya, Hadar

N. Gumay mengatakan kepada diffa,

“Dari kegiatan ini kita bisa belajar dan

bertukar pikiran dengan negara-­neg-­

ara lain bagaimana proses pemilihan

umum berlangsung di negara mereka.

Ini akan menjadi lebih baik jika kita

bisa bekeja sama dalam membantu

penyandang disabilitas.”

Pria ramah ini aktif di Pusat

Pemilihan Umum Akses Penyandang

Cacat. Hadar aktif di PPUA Penca

sudah cukup lama. Dia optimistik

soal peran serta politik penyandang

disabilitas di tanah air. “Indonesia

tidak terlalu buruk dibanding negara-­

negara ASEAN dalam penyelengga-­

raan pemilu. Kita bisa ikut andil dalam

perbaikan pelaksanaan pemilu yang

akan dilaksanakan. Kita juga bisa men-­

gambil banyak contoh dari negara-­neg-­

ara ASEAN yang mulai peduli dengan

pemenuhan hak politik penyandang

disabilitas,” katanya.

Tentu saja optimisme itu harus

terus dipertahankan. Diharapkan

akses penyandang disabilitas semakin

terbuka di berbagai bidang, termasuk

hak politik. Seharusnya pemerintah

bisa memenuhi hak-­hak warga negara

tanpa pembedaan, terutama penyan-­

dang disabilitas yang sering terlu-­

pakan. Dibutuhkan pula kerja sama

yang sinergis antara lembaga pemer-­

intah dan organisasi yang menangani

penyandang disabilitas.

Athurtian

Hadar N Gumay

Foto

: H

avel

FA diffa_15 Maret.indd 55 2/17/12 11:23 PM

Page 56: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

TUNAGRAHITA adalah kelompok penyandang

disabilitas yang memiliki hambatan kecerdasan

atau mental retardation. Karena memiliki ham-­

batan intelektual, mereka juga biasanya mengala-­

juga membutuhkan olahraga yang khas, yang antara lain

berfungsi sebagai terapi.

Olahraga Aneka FungsiBerdasarkan data statistik, diperkirakan ada 6 juta pe-­

nyandang tunagrahita di Indonesia. Dari jumlah tersebut,

baru sekitar 1 juta orang yang telah

mendapatkan penanganan dari

lembaga-­lembaga yang secara khu-­

sus memberdayakan mereka.

Ada tiga kategori tunagrahita.

Pertama, mereka yang mampu

didik, yaitu yang memiliki IQ 50

-­ 70. Kedua, mereka yang mampu

latih, yaitu yang memiliki IQ 25 -­ 50.

Ketiga mereka yang memiliki IQ di

bawah 25, yang biasa disebut idiot.

Kelompok ketiga adalah kelompok

tunagrahita yang nyaris tak mampu

menerima rangsangan. Biasanya

mereka hanya dapat duduk atau

bahkan berbaring saja.

Kelompok tunagrahita yang

masih dapat diterima di sekolah-­

sekolah luar biasa (SLB C) adalah

kelompok pertama dan kedua. Sama

seperti anak-­anak lain, penyandang

tunagrahita yang bisa sekolah juga

mendapatkan pelajaran olahraga.

Kegiatan olahraga bagi siswa tu-­

nagrahita memiliki banyak fungsi.

Pertama, seperti juga bagi masyara-­

kat umumnya, untuk menjaga

kebugaran, meningkatkan daya

tahan dan metabolisme tubuh.

Kedua, olahraga juga menjadi

salah satu bentuk terapi. Di antaran-­

ya melatih saraf motorik, merang-­

sang perkembangan otak kreatif,

dan melatih bersosialisasi. Karena

penyandang tunagrahita juga

olahraga juga sekaligus berfungsi

sebagai sarana kepercayaan diri.

Masih berkaitan dengan kepercayaan diri, olahraga

bagi penyandang tunagrahita juga bisa jadi sarana prestasi.

Penyandang tunagrahita memiliki olahraga tingkat

dunia semacam olimpiade, yaitu Special Olympic. Untuk In-­

donesia, atlet-­atlet penyandang tunagrahita ini bergabung

dalam Special Olympic Indonesia (SOIna). Tentu, untuk

dapat menjadi atlet Special Olympic latihan olahraga ini

harus dilakukan secara teratur dan di bawah bimbingan

pelatih profesional.

56 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

bugar

Oleh: Aria Indrawati

Olahraga untuk Penyandang Tunagrahita

FA diffa_15 Maret.indd 56 2/17/12 11:23 PM

Page 57: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Senam AerobikAda beberapa jenis olahraga yang dapat diajarkan

kepada siswa tunagrahita, antara lain senam, atletik, tenis

meja, bulutangkis, sepakbola, basket, berenang, bocce

(permainan bola gelinding), dan

Program (MATP).

Jenis olahraga paling dasar, seperti juga masyarakat

pada umumnya, adalah senam aerobik. Berlatih senam

dengan gerakan-­gerakan sederhana, seperti menggerakkan

kepala ke kiri dan ke kanan, menundukkan dan menenga-­

dahkan kepala. Menggerakkan tangan dari depan ke samp-­

ing lalu ke atas. Merentangkan tangan ke kiri dan ke kanan,

lalu membungkuk dan menyentuh ujung kaki kiri dengan

tangan kanan dan menyentuh ujung kaki kanan dengan

tangan kiri. Dan seterusnya.

Ada pula senam berlari di tempat sambil bertepuk

tangan. Seperti juga kalangan masyarakat pada umumnya,

saat bersenam, diiringi musik dengan irama yang berseman-­

gat. Pemanasan dilakukan sebelum melakukan gerakan-­

gerakan senam. Setelah selesai, diakhiri dengan gerakan

pendinginan. Antara lain menarik nafas dalam dan meng-­

hembuskan perlahan.

dilakukan. Dengan demikian membuat tubuh lebih sehat

dan sekaligus melakukan terapi organ motorik. Waktu yang

dibutuhkan untuk berolahraga senam ini cukup 45 menit.

Bermain BocceSalah satu olahraga khusus untuk penyandang tuna-­

grahita adalah bocce. Bocce merupakan olahraga rekreasi,

dimainkan dua regu, tiap regu terdiri atas tiga hingga empat

orang. Olahraga ini dapat dikombinasikan dengan permain-­

an-­permainan menarik.

Dalam permainan bocce ada tiga jenis bola, beruku-­

ran kecil, sedang, hingga besar dengan warna-­warna yang

menarik. Bola kecil diletakkan di sebuah area atau lapangan

berumput sebagai sasaran. Di lapangan tersebut ada batas

untuk pelempar bola. Dua tim atau regu yang saling berha-­

dapan berlomba melemparkan bola yang berukuran besar

agar mengenai atau mendekati sasaran. Jika pelempar dapat

melemparkan bola besar mendekati atau mengenai sasaran,

timnya akan mendapat poin.

Saat melempar bola berukuran besar, posisi pelempar

harus agak sedikit menunduk hingga sekitar 45 derajat,

dengan posisi kaki kiri di depan dan kaki kanan di belakang.

Saat melempar bola, pelempar bergerak satu langkah ke

depan. Posisi dan gerakan ini seperti melempar bola dalam

permainan bowling. Pelempar tidak diperbolehkan melem-­

57diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Foto

: D

ok A

sih

Bu

di

FA diffa_15 Maret.indd 57 2/17/12 11:23 PM

Page 58: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

par bola dengan posisi badan tegak. Jika itu

dilakukan, dianggap kesalahan dan akan

memberikan poin untuk regu lawan.

Dalam memainkan bocce ada kombina-­

si antara permainan dan gerak-­gerak tubuh

yang bermanfaat untuk merangsang syaraf

dan gerakan motorik tubuh. Permainan ini

bisa melatih motorik tangan dan kaki, men-­

gasah konsentrasi, latihan bersosialisasi, dan

kerja sama tim. Posisi tubuh dan gerakan

saat melempar bola juga berfungsi melatih

kelenturan otot punggung, tangan, dan kaki.

Setiap anggota kelompok mendapat-­

kan kesempatan melempar bola. Agar bola

mengenai atau mendekati sasaran,

pelempar harus melakukannya

dengan konsentrasi penuh. Latihan

konsentrasi ini sangat berguna bagi

anak-­anak penyandang tunagra-­

hita. Untuk memenangi permainan,

setiap kelompok didorong “memiliki

strategi”. Mereka diminta berdiskusi,

membicarakan langkah apa yang

akan dilakukan untuk memenangi

pertandingan.

Metode BerbedaKarena faktor hambatan kecer-­

dasan, diperlukan metode yang berbeda

untuk mengajarkan olahraga kepada

tunagrahita. Instruksi harus dilakukan

secara bertahap, dengan memberikan

contoh. Sering mereka harus dibantu

untuk melakukan gerakan-­gerakan yang

diinstruksikan. Saat membantu pun

harus dilakukan dengan berhati-­hati,

agar tidak terjadi cedera otot atau cedera

lainnya.

Sering kali, untuk mengajarkan satu

gerakan, harus dilakukan secara beru-­

lang-­ulang, hingga siswa memahami

benar. Jika telah memahami, barulah

berganti ke gerakan lain. Ada kemung-­

kinan siswa ngambek dan tidak mau

melakukan kegiatan olahraga. Jika itu

terjadi, tentu tidak boleh dipaksa. Yang

dilakukan adalah memotivasi dan men-­

dorong agar siswa yang sedang ngambek

ini mau bergabung bersama teman-­

teman lain, dan berolahraga bersama.

Athurtian

Foto

: A

thu

rtia

n

FA diffa_15 Maret.indd 58 2/17/12 11:23 PM

Page 59: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Mencetak Disabilitas Terampil Mencetak

Sejak tahun 2004 Ready Print mempekerja-‐kan karyawan penyandang disabilitas, bah-‐kan hingga jabatan manajer. Perusahaan per cetakan ini terus berkembang. Sikap inklusi bisnis yang pantas dipuji.

59diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

inklusif

USAHA percetakan Ready Print tergolong perusahaan

yang berkembang pesat dan kini memiliki beberapa

cabang di Jakarta dan Bali. Keberhasilan itu antara

lain berkat kinerja karyawan penyandang disabilitas.

Memang, sejak tujuh tahun lalu Ready Print mempe-­

kerjakan karyawan penyandang disabilitas.

“Yang penting mau berusaha, gigih, kreatif, dan (punya) sikap yang

baik,” ujar Tjendrawan Dinata, pemilik perusahaan. Pengusaha kelahiran

Sukarnopura, Bali, 46 tahun silam, ini mengakui banyak prestasi yang

dihasilkan karyawannya yang penyandang disabilitas.

Foto

: A

rth

urt

ian

FA diffa_15 Maret.indd 59 2/17/12 11:23 PM

Page 60: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

60 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Melebihi AnjuranTjendrawan Dinata merekrut

karyawan penyandang disabilitas dari

Balai Latihan Kerja (BLK) Cibinong,

Jawa Barat. Penyandang disabilitas

yang dipekerjakan sejauh ini memang

hanya tunadaksa. Perusahaan belum

bisa menampung tunanetra, mengin-­

gat pekerjaan di percetakan membu-­

tuhkan pengerjaan yang detail. Dulu

pernah ada penyandang tunarungu,

yang bisa berkomunikasi dalam kerja

dengan membaca gerak bibir. Sayang,

tak lama bekerja kemudian keluar.

Menurut Pak Iwan, begitu Tjen-­

drawan Dinata biasa dipanggil, bidang

pekerjaan yang ditangani karyawan

penyandang disabilitas antara lain

, cetak, dan

operator. Karyawan penyandang

disabilitas di perusahaan Iwan kini 15

orang dari jumlah total 150 karyawan.

Mereka tersebar di tiap cabang, baik di

Jakarta maupun Bali. Artinya, jum-­

lah karyawan disabilitas Ready Print

suah jauh melebihi standar persentase

yang ditentukan pemerintah. Dalam

Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1997 ten-­

tang Penyandang Cacat, pemerintah

mewajibkan perusahaan mempeker-­

jakan penyandang disabilitas 1 persen

dari jumlah karyawan. Jika melebihi

jumlah yang ditentukan seperti Ready

Print, tentu lebih bagus.

Meski jumlah karyawan dis-­

abilitasnya sudah melebihi anjuran

pemerintah, Iwan mengaku masih

terus berusaha meningkatkan jumlah

karyawan penyandang disabilitas.

Cuma, selaku pemimpin yang lang-­

sung turun tangan mencari pekerja

penyandang disabilitas, Iwan me-­

ngaku kesulitan mendapat karyawan

yang sesuai. Dulu dalam sebulan bisa

mendapatkan hingga empat karyawan

penyandang disabilitas, tapi seka-­

rang hanya bisa satu atau dua orang.

“Mungkin saya terlambat, sehingga

kecolongan oleh perusahaan lain,”

ujarnya sambil tertawa.

Selain terus mengembangkan

usaha percetakan, dalam waktu dekat

Iwan berencana membuka sebuah

galeri foto dan lukisan. Di galeri itu ia

juga akan membuat sebuah

cafe yang menyediakan menu kopi

dan . “Nah, di sana saya ingin

mempekerjakan dua sampai tiga kar-­

yawan disabilitas yang akan menjaga

galeri dan membuat menu-­menu,”

jelas Pak Iwan.

Ayah dua anak ini baru mem-­

bina seorang karyawan penyandang

disabilitas untuk ditempatkan di galeri

tersebut. Menurut Iwan, karyawan pe-­

nyandang disabilitas bernama Paulina

itu cekatan sehingga bisa diandalkan

untuk bekerja.

Tidak MembedakanUsaha percetakan Iwan dimulai

dari kecil. Dulu para karyawannya

bekerja di sebuah rumah kecil di ka-­

wasan Tebet, Jakarta Selatan. “Tempat-­

nya cukup sempit, hingga akhirnya

mereka dipindahkan di tempat yang

sekarang,” tuturnya.

Iwan tidak memberi syarat khusus

bagi karyawan penyandang disabilitas

yang ingin bekerja di perusahaannya.

Yang penting mau berusaha, gigih,

kreatif, dan punya sikap yang baik. Se-­

lama bekerja para karyawan baru akan

dipantau. Mereka mendapat bimbin-­

gan selama awal bekerja. Jika hasil pe-­

kerjaan baik, perusahaan memastikan

menerima karyawan tersebut.

Sejauh ini perusahaan juga tidak

memberikan program khusus bagi

karyawan penyandang disabilitas,

hanya sebatas bimbingan bekerja.

“Memang, karyawan yang diambil

dari BLK Cibinong tidak bisa langsung

diturunkan begitu saja. Perlu bimbin-­

gan awal untuk mereka. Tapi setelah

mereka paham, ya saya lepas. Supaya

mereka bebas menunjukkan kemam-­

puan,” jelas Iwan.

Beitu pula dalam fasilitas dan

imbalan kerja. Tidak ada perbedaan an-­

tara karyawan penyandang disabilitas

dan non-­disabilitas. Semua mendapat-­

kan perlakuan sama. Perusahaan tidak

memberikan fasilitas khusus bagi

karyawan penyandang disabilitas, tapi

disediakan mes untuk tempat tinggal.

Karyawan senior seperti Ridwan dise-­

diakan rumah untuk tempat tinggal

Foto

: A

thu

rtia

n

FA diffa_15 Maret.indd 60 2/17/12 11:23 PM

Page 61: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

bersama keluarga kecilnya.

Selain Ridwan, ada juga Widodo

yang mendapat fasilitas sama. Widodo

juga diberi sebuah sepeda motor

Fasilitas itu diberikan bukan karena

disabilitas, melainkan karena kinerja

dan pencapaiannya selama bekerja di

perusahaan.

Disabilitas BerprestasiWidodo merupakan salah satu

contoh karyawan berprestasi di Ready

Print. Pria kelahiran Boyolali, 3 April

1979, ini dipercaya menjadi manajer

Widodo memang tak diragukan. Di

tengah keterbatasannya, pria yang bi-­

asa dipanggil Dodo ini membuktikan

bisa bekerja sangat baik. “Ia jadi mana-­

jer karena kemampuannya. Sebagai

seorang manajer, dalam mengambil

keputusan pun sudah saya serahkan

Foto

: Sig

it D

Pra

tam

a

kepadanya,” kata Iwan.

Ketika ditemui, Dodo yang sedang

sibuk mengawasi pekerjaannya, me-­

ngatakan merasa beruntung bekerja di

Ready Print. “Dari tidak tahu menjadi

tahu, dari tidak mengerti menjadi

mengerti. Saya terus belajar dan du-­

kungan yang diberikan perusahaan,

khususnya Pak Iwan, membuat saya

terus termotivasi,” ujarnya.

Menurut Dodo, perusahaan

sangat banyak memberikan dukung-­

an bagi karyawan penyandang

disabilitas seperti dirinya. Bimbingan

yang diberikan memudahkan kar ya-­

wan dalam bekerja. Begitu pula soal

penghargaan perusahaan. Sejauh ini

ia merasa semuanya mencukupi, dari

bim bingan, fasilitas, dan dukungan.

“Fasilitas yang didapat sudah men-­

dukung, seperti gaji yang cukup dan

tempat untuk tinggal. Pak Iwan juga

baik orangnya, jadi kami juga merasa

senang kerja di sini.”

Selain Dodo dan Ridwan, kar-­

yawan penyandang disabilitas lain-­

nya juga menunjukkan kemampuan.

Nuke yang menderita polio bisa mem-­

buktikan peningkatan yang sangat

baik. Kini Nuke bekerja sebagai tenaga

pemasaran di cabang BSD, Tangerang.

Ada juga Sapri, yang memiliki keah-­

lian khusus hardware. Pria ini akan

ditempatkan sebagai operator yang

bertugas mengecek hardware milik

perusahaan di seluruh cabang.

Terus Mendukung Iwan menyatakan akan terus

meneruskan sikap inklusi kepada

karyawan penyandang disabilitas.

Jika mereka mampu membuktikan ke-­

mampuan, akan mendapat dukungan

yang serius dari perusahaan.

Soal persaingan antarkaryawan di

perusahaannya, Iwan punya prin-­

sip sendiri. “Kalau mereka mampu,

kenapa nggak? Biar saja yang non-­

disabilitas iri, nggak peduli. Harusnya

kan ini menjadi motivasi bagi mereka

untuk melakukan hal yang lebih dari

mereka yang menyandang disabili-­

tas,” tegasnya.

Bapak yang ramah ini mengaku

selama ini tidak ada penghargaan

atau apresiasi yang diberikan peme-­

rintah ataupun lembaga lain atas

usaha Ready Print mempekerjaan

karyawan penyandang disabilitas.

Tapi baginya itu tidak menjadi ma-­

salah. Sebab, yang penting baginya,

perusahaan dapat memberikan per-­

hatian yang layak kepada karyawan.

Begitu pula sebaliknya, karyawan

menunjukkan kinerja dan hasil maksi-­

mal.

Tjendrawan Dinata benar. Lewat

perusahaan percetakannya ia telah

memberikan dukungan kepada

penyandang disabilitas untuk mem-­

peroleh pekerjaan yang layak. Itu

yang terpenting. Hilma Awalina

61diffa edisi 14 -‐ Februari 2012

FA diffa_15 Maret.indd 61 2/17/12 11:23 PM

Page 62: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

pindai

Foto

-fo

to:

An

dik

a

SIANG itu udara Semarang

sangat panas. Di ujung ping-­

giran timur kota, di depan

sebuah bangunan setengah

jadi, seorang perempuan

berjilbab bercengkerama dengan be-­

berapa anak yang hanya bisa tiduran.

Bangunan setengah jadi itu

markas Panti Asuhan Cacat Ganda

Al-­Rifdah yang menangani anak-­anak

penyandang disabilitas ganda. Perem-­

puan berjilbab itu Rahma Faradila (37

tahun), pendiri sekaligus pemimpin

panti. Anak-­anak yang hanya bisa ti-­

duran itu sebagian dari anak asuhnya.

Bermula Beda VisiRahma Faradila menjadi pekerja

sosial sejak masih gadis. Ia pernah ber-­

gabung dengan sebuah yayasan sosial

yang menangani anak-­anak jalanan

penyandang disabilitas. Ia mendapat

tugas khusus mendata anak-­anak

penyandang disabilitas yang hidup

di jalanan kota Semarang. “Dari data

tersebut, yayasan kemudian menyu-­

sun suatu program,” tutur Rahma.

Namun, kemudian Rahma

merasa tidak puas, karena yayasan

hanya fokus menangani anak jalanan.

Sementara dia melihat masih banyak

yang tak terperhatikan, antara lain

anak-­anak penyandang disabilitas

ganda yang telantar atau terbuang dari

keluarga. Rahma berangan-­angan bisa

mendirikan tempat penampungan

khusus untuk mereka.

Perbedaan visi itu akhirnya men-­

dorong Rahma keluar dari yayasan.

Bersama beberapa teman ia merintis

pendirian panti asuhan. Ia menyam-­

paikan usulan ke Dinas Sosial Provinsi

Jawa Tengah. Dinas Sosial memberi-­

kan dukungan, dengan mempermu-­

dah perizinan yang berkaitan dengan

pendirian panti asuhan.

“Saat itu saya diberi syarat, keg-­

iatan harus sudah berjalan terlebih

dulu. Ya sudah, akhirnya saya kum-­

pulkan anak-­anaknya dulu. Sasaran

utama kami anak-­anak disabilitas

62 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

MELAYANI ASUHAN AL-RIFDAH

Melayani dan Berbagi dengan Anak Tunaganda

FA diffa_15 Maret.indd 62 2/17/12 11:23 PM

Page 63: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Foto

-fo

to:

An

dik

a

yang tidak lagi memiliki orang tua

atau yang berasal dari keluarga tidak

mampu. Mereka saya tampung secara

gratis,” tutur Rahma.

Sejak itu, tahun 2006, Panti

Asuhan Cacat Ganda Al-­Rifdah resmi

berdiri. Mereka memanfaatkan rumah

milik orang tua Rahma di kawasan

Bangetayu, pinggiran kota Semarang.

Rahma mengajak beberapa kawan

sebagai pengurus.

Berbagai TunagandaKetika kami sedang berbincang,

tiba-­tiba Johan, salah seorang

anak asuh yang mengalami

hiperaktif dan hiper-­autis

memukul-­mukulkan tangannya

ke dinding. Rahma segera bang-­

kit, memegangi tangan Johan

sambil mengelus kepalanya.

Mendapat perlakuan kasih

demikian, Johan bukannya

berhenti, malah membenturkan

kepala ke dinding. Beberapa

relawan datang membantu

Rahma. Setengah jam kemudian baru

Johan tenang.

“Saya tidak tega melihat Johan

menyiksa diri sendiri. Biasanya kalau

digoda temannya dan nggak bisa

melawan, ia akan menyakiti dirinya

sampai berdarah-­darah. Karena mem-­

bahayakan, kadang tangannya diikat

sampai tenang,” jelas Rahma.

Saat ini Panti Asuhan Al-­Rifdah

merawat 16 anak. Rata-­rata mereka tu-­

narungu/wicara ditambah disabilitas

yang lain. Contohnya Temu (12 tahun),

selain tunarungu/wicara juga autis.

Ellen (6 tahun), selain tunarungu/

wicara juga lumpuh. Aris (10 tahun)

tunarungu/wicara dan autis pasif. Dari

semua anak, Aris yang paling tenang

karena tak mampu menggerakkan

anggota tubuh.

Anak yang paling memprihatink-­

an adalah Slamet. Selain tunawicara,

ia mengalami kelainan syaraf di

rongga mulut, sehingga terus menge-­

luarkan air liur. Ia juga mengidap

epilepsi. Kisah hidup Slamet memang

dramatis. Tahun 2006 media massa

ramai memberitakan tentang seorang

anak yang mengalami penyiksaan.

Sekujur tubuhnya penuh sundutan

api rokok. “Dinas Sosial menghubungi

saya, meminta melacak keberadaan-­

nya. Akhirnya ketemu di sebuah

rumah kosong, sendirian. Saya bawa

pulang dan saya rawat,” kata Rahma.

Penghuni panti yang lain adalah

Yusuf (8 tahun), yang mengalami

lumpuh layuh sehingga sering jatuh.

Yusuf juga mengalami kebutaan sejak

lahir. Ada pula Fadil yang lumpuh

total dan sedikit down syndrome.

Riski (7 tahun) lumpuh total dan

tunarungu/wicara. Sri (9) tidak bisa bi-­

cara, tidak bisa duduk, dan tidak bisa

berjalan.

“Yang kecil itu namanya juga

Aris. Ia lumpuh total, tak bisa duduk,

tunarungu dan wicara, juga mengal-­

ami kebutaan. Yang memprihatinkan

ia juga terkena polio sehingga otot-­

ototnya terus mengecil,” tutur Rahma

dengan mata mulai berkaca-­kaca.

Penghuni termuda adalah

Salma (1 tahun). Ia menderita kelainan

usus, sulit mencerna makanan. Salma

baru bisa diberi makan pada akhir

Desember 2011. Karena itu, tubuhnya

sangat kecil, seperti bayi umur 3 bulan.

“Dia juga tidak bisa buang air besar.

Sepekan sekali kami bawa ke rumah

63diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 63 2/17/12 11:23 PM

Page 64: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

sakit untuk disedot. Hingga usia satu

tahun, Salma belum bisa duduk, baru

bisa tengkurap,” jelas Rahma.

Melihat dan mendengar cerita dis-­

abilitas anak-­anak penghuni Al-­Rifdah

saja hati sudah terasa teriris, apalagi

mengingat mereka telantar dan tidak

punya keluarga.

Al-­Rifdah tidak melulu mengurus

anak-­anak tunaganda tanpa keluarga.

Mereka juga merawat anak-­anak yang

masih memiliki orang tua. “Tapi jum-­

lahnya tidak banyak. Hanya ada tiga

anak,” kata Rahma.

Ketiga anak itu adalah Soli (7

tahun) yang menyandang down syn

drome. Belakangan Soli sudah sangat

berkembang, mulai paham tentang eti-­

ka. Kedua adalah Galuh (7 tahun) yang

menyandang down syndrome dan ke-­

sulitan berbicara. Galuh suka ngamuk,

terutama jika keinginannya tidak

terpenuhi. Terakhir, Pungkas, yang

lumpuh total dan menyandang tuna-­

rungu/wicara.

“Kadang-­kadang kalau liburan

sekolah, mereka pulang dan berkum-­

pul dengan orang tua,” jelas Rahma

mengenai tiga anak yang masih

punya keluarga.

Pengurus PatunganKarena memberikan pelayanan

yang termasuk langka, Al Rifdah ak-­

hirnya menjadi rujukan bagi beberapa

instansi pemerintah jika menemukan

anak disabilitas telantar. Enam belas

anak asuh Al-­Rifdah saat ini memiliki

latar belakang yang beragam. Ada

yang hasil razia gelandangan dan

pengemis oleh Satpol PP Kota Sema-­

rang. Ada hasil razia kepolisian. Juga

ada yang ditinggal kabur orang tuanya

di rumah sakit. “Salma itu ditinggal

dalam kondisi prematur dan mengala-­

mi kelainan usus,” kata Rahma.

Rahma mengaku tak pernah

menolak anak yang akan dimasukkan

ke panti asuhannya. “Sudah menjadi

tugas kami untuk mendampingi anak-­

anak, meskipun kondisi panti sedang

sulit sekalipun,” tegasnya.

Awalnya Rahma ber-­

pikir merawat anak-­anak penyandang

tunaganda sama seperti merawat

anak-­anak lain, tidak membutuhkan

biaya yang terlalu besar. Kenyataan-­

nya kesehatan anak-­anak berkebu-­

tuhan khusus ini lebih rawan dan

mudah terganggu. Mereka mudah

Hal ini memberikan kesulitan tersend-­

iri bagi Al Rifdah.

Rahma bersyukur karena

belakang an anak-­anak Al-­Rifdah

terdaftar dalam program Jaminan

Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Sebulan sekali petugas puskesmas

didatangkan ke Al-­ Rifdah untuk

memeriksa kesehatan anak-­anak

penghuni panti. Petugas puskesmas

juga berbaik hati memberikan stok

obat. “Relawan kami diberi petunjuk

penggunaan dan kegunaan obat,”

tutur Rahma.

Perbedaan lain adalah soal

makanan. “Anak-­anak normal bisa

diberi makanan biasa, tapi anak-­anak

di sini harus diberikan makanan yang

lembek,” jelas Rahma.

Meski penuh keterbatasan, Rahma

berusaha melatih anak-­anak asuh-­

nya berdisiplin. Biasanya pukul 04.00

anak-­anak itu sudah bangun. Sekitar

pukul 04.30 satu per satu anak mulai

dimandikan. Butuh waktu dua jam

untuk memandikan mereka. Setelah

mandi, mereka sarapan. Sarapan pun

satu persatu karena kebanyakan tidak

bisa makan sendiri dan harus disuapi.

Hanya tiga anak bisa makan sendiri.

Setelah sarapan, delapan anak berang-­

kat sekolah di SLB Negeri Semarang.

Sisanya bermain bersama sebagai

latihan sosialisasi.

Anak-­anak yang bersekolah di

SLB mendapatkan terapi mandiri dari

para pengajar. Mereka diajari hal-­hal

sederhana, seperti makan sendiri atau

cium tangan tamu dan cara duduk

yang baik. Mereka juga diajari menya-­

pa, meski tidak bisa bicara. Setidaknya

mereka mengerti sapaan, tidak hanya

diam, tapi memberikan respons de-­

ngan senyum misalnya.

Setiap bulan pengelola Al Rifdah

mengeluarkan biaya operasional Rp 4

juta hingga Rp 6 juta. Biaya itu baru

untuk keperluan anak-­anak, misal-­

nya pampers. Juga untuk membeli

susu dan obat yang sifatnya khusus.

Contohnya obat epilepsi yang har-­

ganya Rp 150 ribu perbotol. Menurut

Rahma, biasanya satu botol tidak

sampai seminggu habis. Untungnya

sekolah anak-­anak itu gratis. Rahma

hanya mengeluarkan biaya untuk

transportasi.

Meski sudah berusia enam tahun,

Panti Asuhan Al-­Rifdah belum me-­

miliki donatur tetap. Mereka hanya

mendapat anggaran tiap anak Rp

1.500 per hari dari Dinas Sosial. Untuk

menutupi kekurangan, lima pengurus

yayasan berpatungan setiap bulan.

“Misalnya bulan ini kami kekurangan

3 juta rupiah, ya kami mengeluar-­

kan 600 ribu rupiah per orang,” ujar

Rahma.

Selebihnya adalah sumbangan

donatur tidak tetap, yang bentuknya

tidak selalu uang. Membangun kamar

misalnya.

Tantangan dan Dukungan Langkah Rahma Faradila terjun

total mengabdikan diri pada kema-­

nusiaan tak lepas dari dukungan

keluarga. Awalnya, sang suami agak

keberatan atas ketotalan Rahma

mengu rus panti. Tapi kemudian

maklum, karena sadar Rahma sudah

berkecimpung di kegiatan ini sejak

belum menikah.

Ibu seorang anak berusia dua ta-­

hun ini ingin sisa hidupnya diabdikan

total di dunia kemanusiaan yang lang-­

64 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 64 2/17/12 11:23 PM

Page 65: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

ka ini. Menurut Rahma, sebagian

besar anak-­anak asuhnya tidak

lagi memiliki keluarga. Dia tidak

bisa membayangkan jika tak ada

orang yang mau peduli. “Semoga

ke depan perhatian masyarakat

semakin bertambah,” ujarnya.

Kemantapan Rahma merawat

anak-­anak istimewa ini juga

dilatarbelakangi pengalaman

saat panti tersebut baru berdiri.

Ketika masih di daerah Bangetayu

dan Sembungharjo, masyarakat

menolak anak-­anak tunaganda ini.

Alasannya, takut ketularan hingga

merasa malu bertetangga dengan

penyandang disabilitas.

Saat itu Rahma sempat me-­

ngadu dan meminta perlindungan

kepada lurah. Tapi sang lurah

malah menyatakan tidak mau

memiliki lingkungan yang banyak

anak disabilitas. “Saya mengadu-­

kan ke Dinas Sosial. Dinsos me-­

ngancam, jika lurah tidak mau

menerima, akan diadukan ke Wali

Kota,” tuturnya.

Suasana yang tidak enak

membuat Rahma memutuskan

pindah. Setelah melalui perburuan

yang tak kenal lelah, akhirnya

para pengurus panti mendapatkan

tanah yang bisa dibayar dengan

mencicil. Sebenarnya tanah terse-­

but akan dijual secara tunai. Saat

pemilik tahu tanah akan dijadikan

panti, langsung diizinkan dibayar

secara mencicil.

“Sekarang kami boleh pa-­

sang papan nama. Di tempat

sebelumnya tidak boleh. Saat ini

masyarakat pun mulai mengenal

Al-­Rifdah dan anak-­anak mulai

mendapat perhatian. Itu sungguh

membahagiakan,” ujar Rahma

menutup obrolan panjang dengan

diffa siang itu. Ya, semoga mereka

memperoleh kian banyak dukun-­

gan. Andhika Puspita Dewi

diffa membangun kepedulian

masyarakat terhadap pember-

dayaan disabilitas

diffa menyebarkan semangat

kemanusiaan yang utuh

diffa jembatan menuju keseta-

raan dalam keberagaman

diffa satu-satunya media

profesional dan independen

tentang dunia disabilitas

berlangganan diffa berarti

anda peduli disabilitas

65diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

FA diffa_15 Maret.indd 65 2/17/12 11:23 PM

Page 66: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

biografi

Did

i Pu

rnom

o

66 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

NICK VUJICICMenjadi Motivator

Tingkat Dunia

FA diffa_15 Maret.indd 66 2/17/12 11:23 PM

Page 67: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Did

i Pu

rnom

o

67diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

NICK merintis karier

sebagai motivator

sejak masih muda,

dengan berusaha

meraih berbagai

prestasi gemilang. Perjuangan keras

untuk membuktikan kemampuan diri

sungguh luar biasa. Saat duduk di ke-­

las VII, Nick terpilih sebagai ketua mu-­

rid di sekolahnya dan mengorganisasi

berbagai acara pengumpulan dana

untuk amal dan kampanye disabilitas.

Pada usia 17 tahun Nick mulai

Meski lahir tanpa

kedua lengan dan

kaki, Nick Vujicic

berhasil membentuk

diri menjadi pribadi

yang istimewa.

Selain mampu

melakukan berbagai

kegiatan yang tak

terbayangkan, ia

menjadi motivator

terkemuka tingkat

dunia.

tampil berbicara di depan umum

dengan memberikan khotbah pada

kelompok doa. Pada usia 19 tahun

dia memulai mimpinya untuk

memotivasi orang lain dan mengajak

mereka percaya kepada Tuhan. Dia

melakukannya dengan cara memberi-­

kan ceramah motivasi serta berbagi

cerita tentang bagaimana Tuhan telah

meng ubah hidupnya serta memberi-­

kan harapan dan masa depan.

“Saya telah menemukan tujuan

keberadaan saya di dunia dan men-­

emukan apa maksud Tuhan menja-­

dikan saya seperti ini. Tuhan selalu

mempunyai tujuan saat memberikan

cobaan kepada Anda,” kata Nick

penuh semangat dalam ceramahnya.

Lulus dari sekolah menengah atas,

Australia, dan mengikuti perkuliahan

di dua jurusan, yaitu akuntansi dan

perencanaan keuangan. Nick berhasil

lulus kuliah pada usia 24 tahun dan

mendapatkan dua gelar sekaligus.

Untuk semua pencapaiannya itu,

pada tahun 2005 Nick memperoleh

Young Australian of the Year, penghar-­

gaan untuk anak muda di Australia

atas prestasi pribadi dan pelayanan

kepada masyarakat dan negara. Me-­

reka yang dinominasikan mendapat

penghargaan ini adalah orang yang

benar-­benar telah menginspirasi orang

lain.

Nick percaya sepenuh hati, selalu

ada pelajaran yang bisa diambil dari

setiap cobaan yang ditemui dalam

hidup. Bahwa sikap dalam berjuang,

keimanan, serta rasa percaya kepada

Tuhan dapat menjadi kunci dalam

mengatasi cobaan hidup. “Saya tidak

akan pernah merasa cukup bersyu-­

kur kepada Tuhan. Tapi saya harus

me ngakui bahwa saya masih meng-­

inginkan lebih. Saya ingin kasih Tu-­

han tercurah kepada hati orang-­orang

yang menderita,” katanya.

Motivator Hebat Dengan pengalamannya beror-­

ganisasi semasa sekolah dan kuliah,

Nick akhirnya berhasil mengelola

orga nisasi nirlaba yang diberi nama

Life without Limbs. Organisasi yang

didirikannya ini bergerak di bidang

motivasi. Nick berceramah di mana-­

mana di seluruh dunia serta mem-­

berikan kuliah umum dengan tema

disabilitas, harapan, dan makna hidup.

Nick banyak memberikan perha-­

tian kepada remaja yang frustrasi dan

ingin bunuh diri. Hal ini dilakukan

karena dia berhasil lepas dari keingin-­

an bunuh diri yang menghantuinya

selama bertahun-­tahun. Diberita-­

kan, banyak remaja urung bunuh

diri setelah melihat tayangan video

motivasi Nick. Bukan hanya berbicara

melalui video. Ia juga berulang kali

bicara dari hati ke hati kepada para

remaja itu.

“Mereka merasa hidup mereka

tidak bermakna, tanpa tujuan, tanpa

masa depan. Saya berbagi pengalaman

dengan mereka, tentang rasa frustrasi

dan sakit hati yang juga pernah saya

alami, dan bagaimana saya berhasil

mengatasi masalah dengan kasih

Tuhan. Mereka benar-­benar membu-­

tuhkan orang yang bisa memahami

kesedihan mereka. Lebih penting lagi,

mereka membutuhkan orang yang

bisa menunjukkan cara bagaimana

mengubah kesedihan menjadi kebaha-­

giaan,” papar Nick penuh empati.

Nick percaya apa yang dia bagi ke-­

pada para remaja akan berimbas besar

kepada banyak remaja lain. “Jika saya

bisa menyalakan semangat hidup satu

orang, maka orang itu akan memberi-­

kan semangat kepada satu orang yang

lain, dan orang lain lagi, dan orang

lain lagi,” ujarnya.

Melalui ceramah-­ceramahnya,

Nick berbagi tentang pentingnya

memiliki visi dan mimpi besar. Dia

mengajak orang-­orang untuk tidak lagi

FA diffa_15 Maret.indd 67 2/17/12 11:23 PM

Page 68: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

68 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

memandang hambatan sebagai suatu

masalah, melainkan suatu kesempat-­

an untuk mengembangkan diri dan

membantu orang lain.

Nick juga memberikan gambaran

bagaimana pilihan-­pilihan yang kita

buat dalam hidup bisa memberikan

pengaruh besar dalam kehidupan

kita dan orang-­orang di sekitar kita. Ia

menunjukkan dengan pengalaman

hidupnya sendiri bahwa kunci utama

untuk mencapai mimpi besar adalah

dengan bersikap gigih dan melihat

kegagalan sebagai suatu pelajaran

serta tidak membiarkan rasa bersalah

dan takut gagal melumpuhkan kita.

Sejak menjadi motivator kali

pertama pada usia 19 tahun, Nick

telah berkeliling dunia, memotivasi

banyak orang di 24 negara di 5 benua.

Dia telah berbagi kisah hidup dengan

jutaan orang dari berbagai kalangan,

dari anak sekolah, guru, kalangan

bisnis, pengusaha, jemaat gereja, orang

lanjut usia, dan tentunya kalangan

penyandang disabilitas.

Nick juga sering diwawanca-­

rai oleh berbagai stasiun televisi di

seluruh dunia. Melalui ceramah-­

ceramah motivasinya, Nick membuat

banyak orang terharu, terutama saat

mende ngar betapa keras dia berjuang

mengatasi keterbatasannya dahulu.

Dengan kalimat-­kalimat yang tegas

namun menyentuh, dia membuat

kalangan disabilitas yang mendengar

ceramahnya sadar bahwa selalu ada

harapan dan masa depan bagi siapa

pun yang mau berjuang mencapainya.

Sebaliknya, melalui ceramahnya

di kalangan umum, Nick telah mem-­

buat banyak orang non-­disabilitas

sadar bahwa dengan segala kesem-­

purnaan yang dimiliki, mestinya bisa

berbuat sebanyak atau bahkan lebih

banyak daripada yang Nick lakukan.

Pencerahan kemanusiaan yang luar

biasa berharga.

Nirlaba dan KomersialKini, pada usianya yang belum

genap 30 tahun, Nick telah melaku-­

kan banyak pencapaian. Jauh lebih

banyak daripada yang bisa lakukan

kebanyakan orang. Dia telah menjadi

pemimpin organisasi nirlaba interna-­

sional yang didirikannya, Life with-­

out Limbs, dan perusahaan ceramah

motivasinya, Attitude Is Altitude. Saat

ini ceramah Nick tidak lagi murni

semata-­mata bersifat memotivasi. Dia

bahkan juga sudah berbicara kepada

beberapa pemimpin dunia, antara lain

Wakil Presiden Kenya.

Nick memberikan motivasi den-­

gan cara mempromosikan karyanya

melalui program-­program televisi

dan menulis buku. Buku pertamanya

diterbitkan

kali pertama pada tahun 2010. Dia juga

yang meng-­

gambarkan aktivitasnya sehari-­hari di

rumah. Dia juga memasarkan video

berisi ceramah motivasinya di sebuah

gereja di Brisbane, No Arms, No Legs,

No Worries: Youth Version.

Melalui organisasi nirlabanya,

Nick kini mengumpulkan dana sosial

dari seluruh dunia. Mereka mengem-­

bangkan program radio sendiri yang

nantinya tidak hanya bisa didengar-­

kan di radio lokal, tapi juga melalui

internet. “Saya banyak melakukan

perjalanan keliling dunia. Tapi saya ti-­

dak mungkin berada di semua tempat.

Melalui siaran di radio dan internet

ini, kami akan bisa memberikan man-­

faat kepada jutaan orang di seluruh

dunia dengan lebih cepat,” kata Nick

tentang rencana pembuatan program

radionya.

Dengan semua pencapaiannya

yang menakjubkan, kini Nick bisa

dengan bangga mengatakan bahwa

keputusan orang tuanya untuk mema-­

sukkannya ke sekolah umum meru-­

pakan keputusan terbaik bagi dirinya.

Dan kekuatan serta semangat hidup

yang diperoleh dalam perjuangannya

adalah karunia dari Tuhan, karena dia

percaya kepada Tuhan.

Nick telah memberikan contoh

kepada kita bahwa harapan dan masa

depan selalu ada bagi siapa pun yang

mau berjuang. Pencapaiannya -­ bukan

disabilitasnya -­ akan selalu menjadi

pengingat bahwa tantangan yang kita

hadapi setiap hari pasti bisa kita atasi,

karena harapan selalu ada. Seperti

disampaikan salah seorang pendengar

ceramahnya yang akhirnya mengu-­

rungkan niat bunuh diri, “Nick, kamu

memberiku harapan di saat aku mem-­

butuhkannya.” Nick Vujicic memang

inspirasi dunia.

Mila K. Kamil

Sumber:

FA diffa_15 Maret.indd 68 2/17/12 11:23 PM

Page 69: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Malu Nyeker

Demo Salah Alamat

cermor

Arif merengek sambil menangis ketika Juminten mau

pergi.

Juminten: Le, beneran jadi ikut ke apotek?

Arif : Huuu… iya Lek, aku ikut. Huuu…

Juminten: Kenapa toh mesti ikut kalau Lek Jum pergi, pakai

nangis segala?

Arif : Lha, nanti yang ambil batu buat ngganjel ban sepeda

motor siapa? Yang buka pintu siapa? Lek Jum kan tidak bisa

buka pintu.

Juminten : He-­he... anak pinter. Padahal kan mau minta

jajan to? Ya sudah, tidak usah nangis. Ayo, ikut.

Dalam hati Juminten berpikir, benar juga Arif. Sekarang

semua pintu model tarik -­ dorong dan dan beratnya minta

ampun. Motornya juga tidak ada standarnya. Tapi sesampai di

apotek Arif tidak mau turun.

Juminten : Le, sudah sampai, ayo turun!

Arif : Ndak mau, Lek. Arif nunggu di atas motor saja.

Juminten : Katanya mau bukakan pintu. Katanya mau ng

ganjel ban motor?

Arif : Sudah diganjal Pak Parkir, di pintu ada satpam.

Juminten : Kenapa to, Le? Masih ngambek? Apa malu

tidak pakai sandal? Suruh siapa tidak mau pakai sandal?

Arif : Lha aku malu tidak pakai sandal dua-­duanya. Lek

Juminten tidak malu hanya pakai sandal satu.

Juminten : Oh, ini karena kaki kanan polio Le, jadi tidak

bisa jepit sandal.

KOTA Solo terkenal sebagai “kota reha-­

bilitasi”. Itulah yang melatarbelakangi

aksi ”Gerakan Aksesibilitas pada Fasilitas

Publik dan Tata Ruang Kota”. Ketika itu

Juminten menggerakkan 300 penyan-­

dang disabilitas dari tunanetra, tunadaksa, hingga dan

tunarungu/wicara. Aksi ini juga didukung mahasiswa

dari Fakultas Arsitektur dan FISIP UNS. Gerakan ini juga

didukung para jurnalis media masa baik cetak ataupun

televisi nasional.

Rombongan demonstran sudah mulai beraksi. Mer-­

eka memasang atribut dan serentetan tuntutan yang

dibagikan ke seluruh peserta. Bergantian sang orator

mengemukakan pernyataan. Tepuk tangan dan yel-­yel

terdengar riuh, menandakan kekompakan dan seman-­

gat perjuangan.

Juminten mulai cemas dan kelihatan bingung.

Demo sudah berjalan selama sejam, tetapi tidak ada satu

orang wartawan pun yang datang. Bukan hanya itu na-­

hasnya. Tidak ada seorang pun pejabat PU yang keluar

menyambut demo untuk berdialog dengan demonstran.

Kantor pun terlihat sepi. Di tengah kebingungan dan

keramaian demonstran, HP Juminten berdering, masuk

panggilan dari seorang teman wartawan.

Juminten : Halo, selamat siang.

Wartawan : Halo Mbak Juminten, aksinya tidak

jadi, ya?

Juminten : Lho, jadi. Ini sudah berjalan sejam

dan kami belum bisa bertemu dengan pemimpin

PU. Wah, ini kenapa kawan-­kawan wartawan belum

sampai di lokasi demo?

Wartawan : Ini sudah ada 20 wartawan di

sini Mbak, tapi kok tidak ketemu? Di mana lokasi

demonya?

Juminten : Di gedung PU Jalan Gajah Mada 14,

Banjarsari, Solo.

Wartawan : Wah, salah alamat, Mbak. Itu gedung

lama. Kantor PU sudah pindah seminggu yang lalu.

Kantor PU sekarang di Jalan Hasanudin 15, Manahan.

Juminten : Waduh...! Demonya salah alamat. Wah,

ini gara-­gara tidak observasi lokasi. Jadinya keliru. *

69diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

Did

i Pu

rnom

o

Did

i Pu

rnom

o

FA diffa_15 Maret.indd 69 2/17/12 11:23 PM

Page 70: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

70 diffa edisi 15 -‐ Maret 2012

KOMPAK

pelangi

BEBERAPA waktu

lalu, pulang dari

menghadiri sebuah

seminar mengenai

disabilitas, Bang

Nestor, Redaktur Eksekutif diffa,

mengungkapkan keheranan.

Jurnalis senior yang suka kami

panggil “Ompung” ini baru tahu

ternyata ada dua organisasi orang

tua anak penyandang disabilitas.

“Organisasinya sama, bidang

garapannya sama, tujuannya juga

tentu sama, kenapa tidak bersatu

saja?” tanya Ompung.

Karena kebetulan tahu, saya

menjelaskan, dua organisasi itu

memang visi dan misinya sama,

tapi lahir dari latar belakang

dan sumber yang berbeda. Satu

dibentuk secara swadaya oleh

para orang tua aktivis di bidang

disabilitas, satu lagi dibentuk pemerin-­

tah, dalam hal ini Kementerian Sosial.

Tentu sumber dana dua organisasi

juga beda, sesuai dengan kelahiran-­

nya.

Bang Nestor mengatakan, hal

seperti itulah yang membuat gerakan

bidang garapan, visi dan misinya

sama, mengapa tidak bersatu saja.

“Ada kesan, masing-­masing punya ego

sendiri. Mestinya ego semacam itu ti-­

dak terjadi di dunia disabilitas, karena

perjuangan masih panjang dan berat,”

ujarnya.

Celetukan Bang Nestor ini pantas

menjadi renungan bagi kita semua,

baik aktivis maupun organisasi yang

bergerak di bidang disabilitas di Indo-­

nesia. Sejarah, keberadaan, dan bidang

layanan berbagai organisasi atau

lembaga disabilitas mungkin berbeda,

tapi karena berada dalam medan

perjuangan yang sama, seharusnya

merasa satu.

Tujuan semua organisasi atau ge-­

rak an di bidang disabilitas adalah agar

keberadaan penyandang disabilitas di

Indonesia yang selama ini termarjinal-­

kan hak-­haknya dapat perlahan sema-­

kin baik dan mewujudkan kesetaraan

di berbagai bidang. Jadi, mestinya di

bidang apa pun upaya pemberdayaan

disabilitas mestinya saling mendu-­

kung dan bersatu. Apalagi jika bidang

layanan atau perjuangannya memang

sama.

Kita harus jujur, sikap besar hati

dan saling mendukung, seperti terlihat

dari beberapa tokoh disabilitas di

Indonesia. Tapi kita harus jujur pula,

beberapa orang atau organisasi masih

menunjukkan ego, mengutamak-­

an lembaga atau kepentingannya.

Hal ini saya rasakan juga

dalam berbagai kesempatan atau

kegiatan selama mengurus diffa.

Ada yang menerima saya dan

diffa dengan senang dan tangan

terbuka, sebagai relasi dalam

memperjuangkan hak dan kepen-­

tingan disabilitas di Indonesia.

Tapi ada juga yang seperti tidak

peduli, karena mungkin merasa

tidak berhubungan dengan ke-­

pentingannya.

Lebih buruk lagi, secara samar

tertangkap atau terdengar sering

penggiat atau pemerhati disabili-­

terbuka keluar dan terlihat secara

membuat mereka seakan lupa

akan dasar perjuangan yang dilaku-­

kan.

Perjuangan akan tercapainya hak-­

hak dan pemberdayaan disabilitas ma-­

sih sangat panjang dan berat. Dalam

hal pelayanan kita masih sa ngat jauh

tertinggal dari negara-­negara lain, sep-­

erti laporan-­laporan dari luar negeri

yang sering dimuat diffa dalam rubrik

“Jendela”. Kita perlu bersatu, bahu-­

membahu, saling mendukung, saling

memberdayakan sesuai dengan espek-­

tasi baik individu maupun lembaga

dalam satu kemitraan untuk tujuan

bersama yang lebih besar: ke setaraan

bagi penyandang disabilitas di Indo-­

nesia dari berbagai aspek kehidupan

segera terwujud dalam tatanan ma-­

syarakat Indonesia yang inklusif.

Kompaklah disabilitas Indonesia.

Jonna Damanik

Did

i Pu

rnom

o

FA diffa_15 Maret.indd 70 2/17/12 11:23 PM

Page 71: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

Mengucapkan Selamat Atas Terselenggaranya

Semoga Masa Depan yang CerahMenanti Semua Penyandang Disabilitas

di Seluruh Dunia

Yang Didukung Oleh:

di Jakarta pada 1-2 Februari 2012

The Regional Dialogue on Access to Elections for Persons With Disabilities

SETARA DALAM KEBERAGAMANdiffa

FA diffa_15 Maret.indd 71 2/17/12 11:23 PM

Page 72: Majalah Diffa Edisi 15 - Maret 2012

INTEGRITY.CREATIVE.ADVOCACY.SOCIAL NETWORK

FA diffa_15 Maret.indd 72 2/17/12 11:23 PM