LP Difteri

31
1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri,Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian.Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif tinggi.Tinggginya kasus difteri sangat dipengaruhi adanya program imunisasi. Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

description

difteri

Transcript of LP Difteri

Page 1: LP Difteri

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakangPenyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,

Diphteri,Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu

penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah

akibat PD3I.

Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan

imunisasi (PD3I). Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman

Corynebacterium diphtheria oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa

dengan kuman penyebabnya. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh

kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan

kematian.Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri

digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun

dengan drastis.Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif

tinggi.Tinggginya kasus difteri sangat dipengaruhi adanya program imunisasi.

1.2 Tujuan1. Untuk mengetahui pengertian difteri.

2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit difteri.

3. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit difteri.

4. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit difteri.

5. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit difteri.

6. Untuk mengetahui penanganan penyakit difteri.

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 2: LP Difteri

2

BAB 2. TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian

Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,

faring,laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta

kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan

oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri.Lesi nampak sebagai suatu

membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah

inflamasi.Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada

difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan

melunak.Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan

dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif

dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.

Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung

tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes).Infeksi subklinis (atau kolonisasi)

merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart

block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,timbul satu minggu setelah

gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak

dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan

bagian dari impetigo (Kadun, 2006).

2.2 Epidemiologi

Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di dunia. Pada

awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi kasus difteria pada negara bekas

Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 3: LP Difteri

3

terjadi epidemic yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemic

difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara tetangga.

Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering

menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi

DPT(di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat difteria

berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka

kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari

rumah sakit di kota Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS), Makasar(RSWS),

Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-rata sebesar 15%.

Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar,

Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda.

Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27%

usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun.

Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan

bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14

tahun. Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan

kasus difteri cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12

kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera

Selatan merupakan provinsi terbesar kedua untuk kasus difteri pada tahun

2008.Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika Serikat, di

era prevaccine, penyakit ini adalah salah satu penyebab paling umum dari

penyakit dan kematian pada anak-anak.

2.3 Etiologi

Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae.Berbentuk

batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul.Infeksi oleh kuman

sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu

exotoxin.Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu protein yang

tidak tahan terhadap panas dan cahaya.Bakteri dapat memproduksi toksin bila

terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.Toxin difteri ini, karena

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 4: LP Difteri

4

mempunyai efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants

dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, type intermedius dan type

gravis.Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara

bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6

termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas,

sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen.Corynebacterium

diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat

ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.

Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri ini

tumbuh dan mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati, bersama

dengan leukosit, eritosit, dan bakteri membentuk eksudat berwarna kelabu suram

yang disebut pseudomembran pada faring. Di dalam pseudomembran, bakteri

berkembang serta menghasilkan racun. Jika pseudomembran ini meluas sampai ke

trakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si penderita akan kesulitan

bernafas. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering

meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian.Tapi

sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah

kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.

2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor dan

bervariasi, tanpa gejala sampai keadaan yang hipertoksik serta fatal. Sebagai

faktor primer adalah imunitas pasien terhadap toksin difteri, virulensi serta

kemampuan kuman C.Difterie membentuk toksin, dan lokasi penyakit secara

anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit

pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Difteri bisa memberikan

gejala seperti penyakit sistemik, tergantung pada lokasi penyakit secara

anatomi, namun demam jarang melebihi 38,9°C.

2.4.1 Difteri hidung

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 5: LP Difteri

5

Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala

pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung pada

awalnya serous, kemudian serosanguinus, pada beberapa kasus terjadi

epistaksis. Pengeluaran sekret bisa hanya berasal dari satu lubang hidung

ataupun dari keduanya. Sekret hidung bisa menjadi mukopurulen dan

dijumpai ekskoriasi pada lubang hidung luar dan bibir bagian atas

yang terlihat seperti impetigo. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior

tampak membran putih pada daerah septum nasi. Sekret hidung kadang

mengaburkan adanya membran putih pada septum nasi.

Gambar 1. Difteri hidung kanan

Absorpsi toksin difteri pada hidung sangat lambat dan gejala sistemik

yang timbul tidak nyata, sehingga dalam penegakan diagnosis dibutuhkan

waktu yang lebih lama. Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran

sekret akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini

merupakan sumber penularan. Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan

pemberian antibiotika.

2.4.2 Difteri tonsil faring

Gejala difteri tonsil faring pada saat radang akut akan memberi keluhan

nyeri tenggorokan, demam sampai 38,5 °C, nadi cepat, tampak lemah,

nafas berbau, anoreksia, dan malaise. Dalam 1 – 2 hari kemudian timbul

membran yang melekat, berwarna putih – kelabu menutup tonsil, dinding

faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan

trakea (gambar 2).

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 6: LP Difteri

6

Gambar 2. Difteri tonsil, faring

Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Limfadenitis

servikalis dan submandibular bila terjadi bersamaan dengan udim

ringan jaringan lunak leher yang luas, akan menimbulkan bullneck.

Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas

membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau

sirkulasi, dapat juga terjadi paralisis palatum molle baik unilateral

maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi.

Penurunan kesadaran, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai

10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur dan bisa

disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran

akan terlepas dalam 7–10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

2.4.3 Difteri laring

Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring, jarang sekali

dijumpai berdiri sendiri. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari

tipe infectious croups yang lain, seperti stridor yang progresif, suara

parau, dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat

retraksi suprasternal, supraklavikular, intrakostal dan epigastrial. Bila

terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi

kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke

percabangan trakeobronkial. Pada difteri laring yang terjadi sebagai

perluasan dari difteri faring, maka gejala yang tampak merupakan

campuran gejala obstruksi dan toksemia dimana didapatkan demam

tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 7: LP Difteri

7

merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita

akibat gagal nafas.

Gambar 3. Difteri laring

2.5 Komplikasi

Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran,

jumlah toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.

Komplikasi difteri terdiri dari:

1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus

yang akan memperberat gejala Difteri

2. Infeksi lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau udim jalan nafas

3. Infeksi sistemik karena efek eksotoksin

Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut

menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf

menyebabkan gerakan tak terkoordinasi, bahkan bisa berakibat kelumpuhan.

Komplikasi berat lainnya yang bisa segera menimbulkan kematian adalah

obstruksi jalan nafas.

2.6 Prognosis

Prognosis penyakit difteri dipengaruhi beberapa hal, yaitu tergantung pada:

1. Usia penderita

Makin rendah usia penderita makin jelek prognosis. Kematian paling

sering ditemukan pada anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat

tercekik oleh membran difteri.

2. Waktu pemberian antitoksin, yaitu semakin cepat pemberian antitoksin

prognosis semakin baik.

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 8: LP Difteri

8

3. Tipe klinis difteri

Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe

nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)

4. Keadaan umum penderita, yaitu prognosis baik pada penderita dengan

gizi baik.

Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan

prognosis buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri,

semakin berat penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah

menimbulkan akibat fatal pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan

pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia megakariositik atau miokarditis

yang disertai kelainan atrioventrikuler menggambarkan prognosis yang lebih

buruk.

2.7 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang

belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang

terjadi minimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta

mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. Antitoksin difteri hanya

berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi

tidak menetralisasi toksin yang telah melakukan penetrasi ke dalam sel.

2.7.1 Pengobatan umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok

negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-

3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,

pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak dan mudah

dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat

kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG

pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri

laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara

dengan menggunakan nebulizer.

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 9: LP Difteri

9

2.7.2 Pengobatan Khusus

a. Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan

pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita

kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka

kematian ini bisa meningkat sampai 30%.

Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata

terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi

anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam

spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam

larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila

dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan

dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam

fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif

bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan

lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara

desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif,

ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS

ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak

tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI

seperti tertera pada tabel 1. Pemberian ADS intravena dalam larutan

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 10: LP Difteri

10

garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan

terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian

antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu

dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

b. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan

untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan

mencegah penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya

rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin,

klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap

eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara

luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin

sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri nasofaring.

Dosis :

1) Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama

14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).

2) Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam

selama 14 hari.

3) Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, im atau iv

dibagi dalam 4 dosis.

4) Amoksisilin.

5) Rifampisin.

6) Klindamisin.

Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh

sekurangkurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok

yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi.

c. Kortikosteroid

Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada

difteri. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang

disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dapat disertai

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 11: LP Difteri

11

atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat penyulit miokarditis,

namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata

tidak terbukti.

Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat

selama 14 hari.

2.7.3 Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap

baik.Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya

reversibel. Bila pasien mulai gelisah, iritabilitas meningkat serta

gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan

trakeotomi. Pengobatan terhadap miokarditis dengan istirahat total, tidak

boleh ada aktivitas, diet lunak dan mudah dicerna, dan pemberian

digitalis. Sedangkan pengobatan terhadap neuritis yang mengakibatkan

terjadi paralisis otot pernafasan dilakukan artifisial respirasi dengan

menggunakan intermitten positive pressure dan jalan nafas harus selalu

dijaga.

2.7.4 Pengobatan Kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan

berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis

diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan

observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan

booster toksoid difteria.

2.7.5 Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji

Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam

nasofaringnya.Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 12: LP Difteri

12

mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu

minggu.Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi.

2.8 Pencegahan

2.8.1 Isolasi

Penderita Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan

setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi

Corynebacterium Diphtheriae

2.8.2 Imunisasi

Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria,

pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada

anak-anak usia sekolah dasar.Untuk penderita difteri diberikan imunisasi

BLF dan ORI.

2.8.3 Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria

Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita

karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan

tenggorok.Jika ternyata ditemukan C. diphtheriae, penderita harus diobati

dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 13: LP Difteri

13

BAB. 3 INTERVENSI

1.1 PICOT FRAME WORKPada penderita Difteri dan masyarakat Dusun Krajan Desa Jambearum

yang telah menjadi KLB di desa Jambearum apakah pemberian penyuluhan dan

pendidikan kesehatan mengenai pemberian imunisasi difteri akan efektif dalam

upaya peningkatan kesadaran dan pengetahuan warga terhadap wabah difteri

selama 1 pertemuan dengan durasi 30 menit ?

P : Penderita Difteri dan masyarakat di desa Jambearum

I : Penyuluhan dan pelatihan mengenai pemberian imunisasi difteri

C:

O : Peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang wabah difteri.

T : 1 pertemuan dengan durasi 30 menit

1.2 Sumber literatureLiteratur didapatkan dengan cara melakukan searching di internet

menggunakan website www.scholar.google.com dengan keyword imunisasi dan

imunisasi BLF ORI. Dari sana kemudian kami melakukan akses ke dalam situs

yang dimaksud yang berisi beberapa penjelasan terkait imunisasi .Diantaranya

http://dinkes.surabaya.go.id, http://posyandu.org/, http://www.imunisasi. net/,

http://dinkes.surabaya.go.id/, www.diskes.jabarprov.go.id dan lain-lain. Literature

yang diperoleh merupakan penjelasan terkait imunisasi BLF dan ORI.

1.3 Teori dan konsep Intervensi

3.3.1 Definisi

a) BLF (Back Log Fighting)

BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada

anak yang berumur 1-3 tahun.Sasaran prioritas adalah desa atau

kelurahan yang selama 2 tahun berturut turut tidak mencapai desa UCI

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 14: LP Difteri

14

(Universal Child Immunization).BLF tergolong dalam imunisasi

tambahan diamana definisinya adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan

atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau

evaluasi.Kegiatan ini sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus

dan kegiatannya dilaksanakan pada suatu periode tertentu.

b) ORI (Outbreak Response Imunization)

ORI adalah Imunisasi yang dilakukan dalam penanganan

KLB.Dilaksanakan pada daerah yang terdapat kasus penyakit PD3I,

dalam hal ini adalah Difteri. Sasarannya adalah anak usia 12 bulan s/d 15

tahun, melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar KLB, sesaat setalah

KLB terjadi.

3.3.2 Mekanisme

BLF dan ORI berupa imunisasi yang dilakukan pada masayarakat

menggunakan vaksin yaitu salah satunya DPT.Vaksin DPT adalah vaksin yang

bisa diberikan pada anak yang berumur kurang dari 7 tahun.Vaksin diberikan

dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha.Imunisasi

DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3

bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III).Selang waktu pemberian vaksin tidak

kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan

pada usia prasekolah (5-6 tahun). Setelah mendapat serangkaian imunisasi awal,

sebaiknya diberikan booster vaksin DPT pada usia 14-16 tahun kemudian setiap

10 tahun karena vaksin hanya memberikan perlindungan selama 10 tahun.

3.3.3 Indikasi dan kontraindikasi

a. Indikasi1) Balita berumur kurang dari 7 tahun.

2) Belum pernah divaksinasi difteri.

b. Kontraindikasi

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 15: LP Difteri

15

1) Anak dengan penyakit ringan seperti pilek, dapat divaksinasi. Namun

anak dengan penyakit yang berat atau parah harus menunggu hingga

mereka pulih sebelum vaksinasi DTaP.

2) Anak yang memiliki alergi yang parah setelah pemberian dosis DTaP

tidak diperbolehkan menerima dosis lainnya.

3) Anak yang menderita penyakit pada otak atau system saraf dalam waktu

7 hari setelah pemberian dosis DTaP tidak diperbolehkan mendapatkan

dosis lainnya.

4) DTaP tidak diperbolehkan untuk diberikan pada siapappun yang berusia

diatas 7 tahun.

3.3.4 Efek samping

a. Kejang-kejang atau pingsan

b. Kejang demam

c. Menderita demam dengan lebih dari 1050F atau lebih dari 40,50C

d. Syok

3.3.5 Efektivitas dan keamanan penggunaan

a. Memberikan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap

penyakit difteri, pertusis (batuk rejan), tetanus.

b. Apabila terjadi penyakit tersebut, akan jauh lebih ringan dibanding terkena

penyakit secara alami. Secara alamiah sampai batas tertentu tubuh juga

memiliki cara membuat kekebalan tubuh sendiri dengan masuknya

kuman-kuman kedalam tubuh. Namun bila jumlah yang masuk cukup

banyak dan ganas, bayi akan sakit. Dengan semakin berkembangnya

teknologi dunia kedokteran, sakit berat masih bisa ditanggulangi dengan

obat-obatan. Namun bagaimanapun juga pencegahan adalah jauh lebih

baik dari pada pengobatan.

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 16: LP Difteri

16

c. Sebesar 85% balita yang mendapat imunisasi DPT terlindungi dari

ancaman difteri selama 10 tahun sehingga setiap 10 tahun harus

mendapat booster.

1.4 Implikasi dan Rekomendasi Intervensi

Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan

kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari

penyakit.Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan

penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.Tujuan

imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan

menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat atau populasi atau

bahkan menghilngkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar

variola.Keadaan yang terakhir lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang

hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteri.Tujuan

imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan

menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau

bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar

variola.Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang

hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti penyakit difteri.

Manfaat imunisasi tidak hanya dirasakan oleh pemerintah dengan

menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi, tetapi juga dirasakan oleh :

a. Untuk Anak

Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan cacat

atau kematian.

b. Untuk Keluarga

Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit.

Mendorong pembentukan keluarga sejahtera apabila orang tua yakin bahwa

anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman. Hal ini mendorong

penyiapan keluarga yang terencana, agar sehat dan berkualitas.

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 17: LP Difteri

17

c. Untuk Negara

Memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal

untuk melanjutkan pembangunan Negara.(Proverati 2010).

Sebagian besar masyarakat dusun Krajan desa Jambearum kurang

mengetahui tentang pentingnya imunisasi. Mereka banyak yang

beranggapanbahwa jika mereka tidak sakit maka mereka tidak membutuhkan

obat. Selain itu, banyak dari kalangan masyarakat, mulai dari anak-anak yang

takut dengan suntik.Oleh karena itu, penting dilakukan pendidikan kesehatan pada

masyarakat tentang pentingnya imunisasi difteri untuk mencegah KLB.

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 18: LP Difteri

18

BAB. 4 PENUTUP

4.1 KesimpulanDifteri adalah penyakit yang disebabkan oleh

kumanCorynebacterium diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama

serupa dengan kuman penyebabnya.Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari,

masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa

penularancarier bisa sampai 6 bulan.Pencegahan difteri dilakukan dengan cara,

yaitu: isolasi penderita imunisasi, dengan memberikan imunisasi DPT pada bayi

dan vaksin DT pada anak usia sekolah dasar. Sedangkan pada penderita difteri

diberikan imunisasi BLF dan ORI. Pengobatan difteria dilakukan untuk

menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan

mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae

untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan

penyulit difteria.Pengobatan umum. Pengobatan khusus, yaitu dengan

memberikan antitoksin (Anti Diptheriar Serum ), antibiotic dan kortikosteroid.

1.3 Saran

Difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk

anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib

pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah

imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT)

setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati

carier difteri dan dilkaukan uji schick.

Selain itu, juga disarankan untuk mengurangi minum es karena minum

minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan

menyebabkan tenggorokan tersa sakit.Juga menjaga kebersihan badan, pakaian,

dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 19: LP Difteri

19

dengan tingkat sanitasi rendah.Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu

makan makanan 4 sehat 5 sempurna.

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe

Page 20: LP Difteri

20

DAFTAR PUSTAKA

Article Source All About Difteri.diakses dari

http://www.scribd.com/doc/13758759/DIFTERI

Asuhan Keperawatan Difteri.2010.diakses dari

http://www.scribd.com/doc/13758759/DIFTERI

Hastomo.2008.Makalah Tentang Penyakit Menular Difteri.Politeknik Kesehatan

Yogyakarta, diakses dari http://www.scribd.com/doc/22270094/difteri

Iskandar,Nurbaiti,dkk. 2000. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Kadun I Nyoman.2006.Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: CV

Infomedika.

, 2012. BLF dan ORI Cegah Rantai Penularan Difteri.

[http://dinkes.surabaya.go.id/]

, 2011. Cegah Difteri Pemkab Gelar Sosialisasi dan Imunisasi BLF dan

Ori. [www.banyuwangikab.go.id]

Widoyono.2005.Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan

Pemberantasannya. Jakarta: Erlanggga

Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe