LP Difteri
-
Upload
faizah-wahyuningprianti -
Category
Documents
-
view
50 -
download
0
description
Transcript of LP Difteri
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakangPenyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,
Diphteri,Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu
penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah
akibat PD3I.
Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphtheria oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa
dengan kuman penyebabnya. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh
kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan
kematian.Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun
dengan drastis.Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif
tinggi.Tinggginya kasus difteri sangat dipengaruhi adanya program imunisasi.
1.2 Tujuan1. Untuk mengetahui pengertian difteri.
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit difteri.
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit difteri.
4. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit difteri.
5. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit difteri.
6. Untuk mengetahui penanganan penyakit difteri.
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
2
BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,
faring,laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan
oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri.Lesi nampak sebagai suatu
membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah
inflamasi.Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada
difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan
melunak.Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan
dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif
dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes).Infeksi subklinis (atau kolonisasi)
merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart
block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,timbul satu minggu setelah
gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak
dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan
bagian dari impetigo (Kadun, 2006).
2.2 Epidemiologi
Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di dunia. Pada
awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi kasus difteria pada negara bekas
Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
3
terjadi epidemic yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemic
difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara tetangga.
Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering
menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi
DPT(di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat difteria
berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka
kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari
rumah sakit di kota Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS), Makasar(RSWS),
Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-rata sebesar 15%.
Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar,
Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda.
Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27%
usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun.
Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan
bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14
tahun. Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan
kasus difteri cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12
kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera
Selatan merupakan provinsi terbesar kedua untuk kasus difteri pada tahun
2008.Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika Serikat, di
era prevaccine, penyakit ini adalah salah satu penyebab paling umum dari
penyakit dan kematian pada anak-anak.
2.3 Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae.Berbentuk
batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul.Infeksi oleh kuman
sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu
exotoxin.Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu protein yang
tidak tahan terhadap panas dan cahaya.Bakteri dapat memproduksi toksin bila
terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.Toxin difteri ini, karena
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
4
mempunyai efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants
dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, type intermedius dan type
gravis.Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara
bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6
termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas,
sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen.Corynebacterium
diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat
ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.
Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri ini
tumbuh dan mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati, bersama
dengan leukosit, eritosit, dan bakteri membentuk eksudat berwarna kelabu suram
yang disebut pseudomembran pada faring. Di dalam pseudomembran, bakteri
berkembang serta menghasilkan racun. Jika pseudomembran ini meluas sampai ke
trakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si penderita akan kesulitan
bernafas. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering
meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian.Tapi
sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah
kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor dan
bervariasi, tanpa gejala sampai keadaan yang hipertoksik serta fatal. Sebagai
faktor primer adalah imunitas pasien terhadap toksin difteri, virulensi serta
kemampuan kuman C.Difterie membentuk toksin, dan lokasi penyakit secara
anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit
pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Difteri bisa memberikan
gejala seperti penyakit sistemik, tergantung pada lokasi penyakit secara
anatomi, namun demam jarang melebihi 38,9°C.
2.4.1 Difteri hidung
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
5
Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung pada
awalnya serous, kemudian serosanguinus, pada beberapa kasus terjadi
epistaksis. Pengeluaran sekret bisa hanya berasal dari satu lubang hidung
ataupun dari keduanya. Sekret hidung bisa menjadi mukopurulen dan
dijumpai ekskoriasi pada lubang hidung luar dan bibir bagian atas
yang terlihat seperti impetigo. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
tampak membran putih pada daerah septum nasi. Sekret hidung kadang
mengaburkan adanya membran putih pada septum nasi.
Gambar 1. Difteri hidung kanan
Absorpsi toksin difteri pada hidung sangat lambat dan gejala sistemik
yang timbul tidak nyata, sehingga dalam penegakan diagnosis dibutuhkan
waktu yang lebih lama. Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran
sekret akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini
merupakan sumber penularan. Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan
pemberian antibiotika.
2.4.2 Difteri tonsil faring
Gejala difteri tonsil faring pada saat radang akut akan memberi keluhan
nyeri tenggorokan, demam sampai 38,5 °C, nadi cepat, tampak lemah,
nafas berbau, anoreksia, dan malaise. Dalam 1 – 2 hari kemudian timbul
membran yang melekat, berwarna putih – kelabu menutup tonsil, dinding
faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan
trakea (gambar 2).
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
6
Gambar 2. Difteri tonsil, faring
Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Limfadenitis
servikalis dan submandibular bila terjadi bersamaan dengan udim
ringan jaringan lunak leher yang luas, akan menimbulkan bullneck.
Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas
membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau
sirkulasi, dapat juga terjadi paralisis palatum molle baik unilateral
maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi.
Penurunan kesadaran, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai
10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur dan bisa
disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran
akan terlepas dalam 7–10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
2.4.3 Difteri laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring, jarang sekali
dijumpai berdiri sendiri. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari
tipe infectious croups yang lain, seperti stridor yang progresif, suara
parau, dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat
retraksi suprasternal, supraklavikular, intrakostal dan epigastrial. Bila
terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi
kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke
percabangan trakeobronkial. Pada difteri laring yang terjadi sebagai
perluasan dari difteri faring, maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia dimana didapatkan demam
tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
7
merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita
akibat gagal nafas.
Gambar 3. Difteri laring
2.5 Komplikasi
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran,
jumlah toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.
Komplikasi difteri terdiri dari:
1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
yang akan memperberat gejala Difteri
2. Infeksi lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau udim jalan nafas
3. Infeksi sistemik karena efek eksotoksin
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut
menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf
menyebabkan gerakan tak terkoordinasi, bahkan bisa berakibat kelumpuhan.
Komplikasi berat lainnya yang bisa segera menimbulkan kematian adalah
obstruksi jalan nafas.
2.6 Prognosis
Prognosis penyakit difteri dipengaruhi beberapa hal, yaitu tergantung pada:
1. Usia penderita
Makin rendah usia penderita makin jelek prognosis. Kematian paling
sering ditemukan pada anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat
tercekik oleh membran difteri.
2. Waktu pemberian antitoksin, yaitu semakin cepat pemberian antitoksin
prognosis semakin baik.
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
8
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe
nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita, yaitu prognosis baik pada penderita dengan
gizi baik.
Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan
prognosis buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri,
semakin berat penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah
menimbulkan akibat fatal pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan
pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia megakariositik atau miokarditis
yang disertai kelainan atrioventrikuler menggambarkan prognosis yang lebih
buruk.
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. Antitoksin difteri hanya
berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi
tidak menetralisasi toksin yang telah melakukan penetrasi ke dalam sel.
2.7.1 Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-
3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak dan mudah
dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat
kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG
pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan nebulizer.
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
9
2.7.2 Pengobatan Khusus
a. Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka
kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam
spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan
dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam
fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif
bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara
desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS
ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak
tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI
seperti tertera pada tabel 1. Pemberian ADS intravena dalam larutan
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
10
garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan
terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
b. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan
untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan
mencegah penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya
rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap
eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara
luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin
sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri nasofaring.
Dosis :
1) Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama
14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
2) Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam
selama 14 hari.
3) Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, im atau iv
dibagi dalam 4 dosis.
4) Amoksisilin.
5) Rifampisin.
6) Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh
sekurangkurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok
yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi.
c. Kortikosteroid
Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteri. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang
disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dapat disertai
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
11
atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat penyulit miokarditis,
namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata
tidak terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat
selama 14 hari.
2.7.3 Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap
baik.Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya
reversibel. Bila pasien mulai gelisah, iritabilitas meningkat serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan
trakeotomi. Pengobatan terhadap miokarditis dengan istirahat total, tidak
boleh ada aktivitas, diet lunak dan mudah dicerna, dan pemberian
digitalis. Sedangkan pengobatan terhadap neuritis yang mengakibatkan
terjadi paralisis otot pernafasan dilakukan artifisial respirasi dengan
menggunakan intermitten positive pressure dan jalan nafas harus selalu
dijaga.
2.7.4 Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis
diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan
observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
booster toksoid difteria.
2.7.5 Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam
nasofaringnya.Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
12
mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu
minggu.Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi.
2.8 Pencegahan
2.8.1 Isolasi
Penderita Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan
setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi
Corynebacterium Diphtheriae
2.8.2 Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria,
pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada
anak-anak usia sekolah dasar.Untuk penderita difteri diberikan imunisasi
BLF dan ORI.
2.8.3 Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita
karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan
tenggorok.Jika ternyata ditemukan C. diphtheriae, penderita harus diobati
dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
13
BAB. 3 INTERVENSI
1.1 PICOT FRAME WORKPada penderita Difteri dan masyarakat Dusun Krajan Desa Jambearum
yang telah menjadi KLB di desa Jambearum apakah pemberian penyuluhan dan
pendidikan kesehatan mengenai pemberian imunisasi difteri akan efektif dalam
upaya peningkatan kesadaran dan pengetahuan warga terhadap wabah difteri
selama 1 pertemuan dengan durasi 30 menit ?
P : Penderita Difteri dan masyarakat di desa Jambearum
I : Penyuluhan dan pelatihan mengenai pemberian imunisasi difteri
C:
O : Peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang wabah difteri.
T : 1 pertemuan dengan durasi 30 menit
1.2 Sumber literatureLiteratur didapatkan dengan cara melakukan searching di internet
menggunakan website www.scholar.google.com dengan keyword imunisasi dan
imunisasi BLF ORI. Dari sana kemudian kami melakukan akses ke dalam situs
yang dimaksud yang berisi beberapa penjelasan terkait imunisasi .Diantaranya
http://dinkes.surabaya.go.id, http://posyandu.org/, http://www.imunisasi. net/,
http://dinkes.surabaya.go.id/, www.diskes.jabarprov.go.id dan lain-lain. Literature
yang diperoleh merupakan penjelasan terkait imunisasi BLF dan ORI.
1.3 Teori dan konsep Intervensi
3.3.1 Definisi
a) BLF (Back Log Fighting)
BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada
anak yang berumur 1-3 tahun.Sasaran prioritas adalah desa atau
kelurahan yang selama 2 tahun berturut turut tidak mencapai desa UCI
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
14
(Universal Child Immunization).BLF tergolong dalam imunisasi
tambahan diamana definisinya adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan
atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau
evaluasi.Kegiatan ini sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus
dan kegiatannya dilaksanakan pada suatu periode tertentu.
b) ORI (Outbreak Response Imunization)
ORI adalah Imunisasi yang dilakukan dalam penanganan
KLB.Dilaksanakan pada daerah yang terdapat kasus penyakit PD3I,
dalam hal ini adalah Difteri. Sasarannya adalah anak usia 12 bulan s/d 15
tahun, melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar KLB, sesaat setalah
KLB terjadi.
3.3.2 Mekanisme
BLF dan ORI berupa imunisasi yang dilakukan pada masayarakat
menggunakan vaksin yaitu salah satunya DPT.Vaksin DPT adalah vaksin yang
bisa diberikan pada anak yang berumur kurang dari 7 tahun.Vaksin diberikan
dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha.Imunisasi
DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3
bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III).Selang waktu pemberian vaksin tidak
kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan
pada usia prasekolah (5-6 tahun). Setelah mendapat serangkaian imunisasi awal,
sebaiknya diberikan booster vaksin DPT pada usia 14-16 tahun kemudian setiap
10 tahun karena vaksin hanya memberikan perlindungan selama 10 tahun.
3.3.3 Indikasi dan kontraindikasi
a. Indikasi1) Balita berumur kurang dari 7 tahun.
2) Belum pernah divaksinasi difteri.
b. Kontraindikasi
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
15
1) Anak dengan penyakit ringan seperti pilek, dapat divaksinasi. Namun
anak dengan penyakit yang berat atau parah harus menunggu hingga
mereka pulih sebelum vaksinasi DTaP.
2) Anak yang memiliki alergi yang parah setelah pemberian dosis DTaP
tidak diperbolehkan menerima dosis lainnya.
3) Anak yang menderita penyakit pada otak atau system saraf dalam waktu
7 hari setelah pemberian dosis DTaP tidak diperbolehkan mendapatkan
dosis lainnya.
4) DTaP tidak diperbolehkan untuk diberikan pada siapappun yang berusia
diatas 7 tahun.
3.3.4 Efek samping
a. Kejang-kejang atau pingsan
b. Kejang demam
c. Menderita demam dengan lebih dari 1050F atau lebih dari 40,50C
d. Syok
3.3.5 Efektivitas dan keamanan penggunaan
a. Memberikan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap
penyakit difteri, pertusis (batuk rejan), tetanus.
b. Apabila terjadi penyakit tersebut, akan jauh lebih ringan dibanding terkena
penyakit secara alami. Secara alamiah sampai batas tertentu tubuh juga
memiliki cara membuat kekebalan tubuh sendiri dengan masuknya
kuman-kuman kedalam tubuh. Namun bila jumlah yang masuk cukup
banyak dan ganas, bayi akan sakit. Dengan semakin berkembangnya
teknologi dunia kedokteran, sakit berat masih bisa ditanggulangi dengan
obat-obatan. Namun bagaimanapun juga pencegahan adalah jauh lebih
baik dari pada pengobatan.
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
16
c. Sebesar 85% balita yang mendapat imunisasi DPT terlindungi dari
ancaman difteri selama 10 tahun sehingga setiap 10 tahun harus
mendapat booster.
1.4 Implikasi dan Rekomendasi Intervensi
Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan
kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari
penyakit.Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan
penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.Tujuan
imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan
menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat atau populasi atau
bahkan menghilngkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar
variola.Keadaan yang terakhir lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang
hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteri.Tujuan
imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan
menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau
bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar
variola.Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang
hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti penyakit difteri.
Manfaat imunisasi tidak hanya dirasakan oleh pemerintah dengan
menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi, tetapi juga dirasakan oleh :
a. Untuk Anak
Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan cacat
atau kematian.
b. Untuk Keluarga
Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit.
Mendorong pembentukan keluarga sejahtera apabila orang tua yakin bahwa
anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman. Hal ini mendorong
penyiapan keluarga yang terencana, agar sehat dan berkualitas.
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
17
c. Untuk Negara
Memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal
untuk melanjutkan pembangunan Negara.(Proverati 2010).
Sebagian besar masyarakat dusun Krajan desa Jambearum kurang
mengetahui tentang pentingnya imunisasi. Mereka banyak yang
beranggapanbahwa jika mereka tidak sakit maka mereka tidak membutuhkan
obat. Selain itu, banyak dari kalangan masyarakat, mulai dari anak-anak yang
takut dengan suntik.Oleh karena itu, penting dilakukan pendidikan kesehatan pada
masyarakat tentang pentingnya imunisasi difteri untuk mencegah KLB.
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
18
BAB. 4 PENUTUP
4.1 KesimpulanDifteri adalah penyakit yang disebabkan oleh
kumanCorynebacterium diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama
serupa dengan kuman penyebabnya.Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari,
masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa
penularancarier bisa sampai 6 bulan.Pencegahan difteri dilakukan dengan cara,
yaitu: isolasi penderita imunisasi, dengan memberikan imunisasi DPT pada bayi
dan vaksin DT pada anak usia sekolah dasar. Sedangkan pada penderita difteri
diberikan imunisasi BLF dan ORI. Pengobatan difteria dilakukan untuk
menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan
mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae
untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan
penyulit difteria.Pengobatan umum. Pengobatan khusus, yaitu dengan
memberikan antitoksin (Anti Diptheriar Serum ), antibiotic dan kortikosteroid.
1.3 Saran
Difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk
anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib
pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah
imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT)
setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati
carier difteri dan dilkaukan uji schick.
Selain itu, juga disarankan untuk mengurangi minum es karena minum
minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan
menyebabkan tenggorokan tersa sakit.Juga menjaga kebersihan badan, pakaian,
dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
19
dengan tingkat sanitasi rendah.Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu
makan makanan 4 sehat 5 sempurna.
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
20
DAFTAR PUSTAKA
Article Source All About Difteri.diakses dari
http://www.scribd.com/doc/13758759/DIFTERI
Asuhan Keperawatan Difteri.2010.diakses dari
http://www.scribd.com/doc/13758759/DIFTERI
Hastomo.2008.Makalah Tentang Penyakit Menular Difteri.Politeknik Kesehatan
Yogyakarta, diakses dari http://www.scribd.com/doc/22270094/difteri
Iskandar,Nurbaiti,dkk. 2000. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Kadun I Nyoman.2006.Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: CV
Infomedika.
, 2012. BLF dan ORI Cegah Rantai Penularan Difteri.
[http://dinkes.surabaya.go.id/]
, 2011. Cegah Difteri Pemkab Gelar Sosialisasi dan Imunisasi BLF dan
Ori. [www.banyuwangikab.go.id]
Widoyono.2005.Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan
Pemberantasannya. Jakarta: Erlanggga
Laporan Pendahuluan Kegawatdaruratan Difteri Di Dusun Krajan Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe