Lp ckr

25
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN CKR DI B2 CENDANA 2 RSUP Dr.SARDJITO JOGJAKARTA Tugas Mandiri Stase Keperawatan Medikal Bedah Tahap Profesi Program Studi Ilmu Keperawatan Disusun Oleh: Ari Budiati Sri Hidayati 03/172671/EIK/00358

description

Transcript of Lp ckr

Page 1: Lp ckr

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN CKR

DI B2 CENDANA 2 RSUP Dr.SARDJITO JOGJAKARTA

Tugas Mandiri

Stase Keperawatan Medikal Bedah Tahap Profesi

Program Studi Ilmu Keperawatan

Disusun Oleh:

Ari Budiati Sri Hidayati

03/172671/EIK/00358

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UGM

YOGYAKARTA

2005

Page 2: Lp ckr

A. TINJAUAN TEORITIS

Cedera Kepala

Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mepunyai daya elastisitas untuk

mengatasi trauma bila dipukul atau terbentur benda tumpul. Namun pada benturan,

beberapa mili detik akan terjadi depresi maksimal dan diikuti osilasi. Trauma pada

kepala dapat menyebabkan fraktur pada tengkorak dan trauma jaringan lunak/otak

atau kulit seperti kontusio/memar otak, oedem otak, perdarahan dengan derajat yang

bervariasi tergantung pada luas daerah trauma.

Klasifikasi Cedera Kepala

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala

yang muncul setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai klasifikasi

yang dipakai dalam penentuan derajat cedera kepala. The Traumatic Coma Data

Bank mendifinisikan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (Glasgow coma scale)

Tabel 1. Kategori Penentuan Keparahan cedera Kepala berdasarkan Nilai Skala

Koma Glasgow (SKG)

Penentuan

keparahan

Deskripsi

Minor/ Ringan SKG 13 – 15

Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi

kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada

kontusia cerebral, hematoma

Sedang SKG 9 – 12

Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit

tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur

tengkorak.

Page 3: Lp ckr

Berat SKG 3 – 8

Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24

jam. Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma

intracranial

sumber :keperawatan kritis, pendekatan holostik vol, II tahun 1995, hal:226

Tabel 2. Skala Koma Glasgow (Blak, 1997)

1. Membuka Mata

Spontan

Terhadap rangsang suara

Terhadap nyeri

Tidak ada

4

3

2

1

2. Respon Verbal

Orientasi baik

orientasi terganggu

Kata-kata tidak jelas

Suara Tidak jelas

Tidak ada respon

5

4

3

2

1

3. Respon Motorik

Mampu bergerak

Melokalisasi nyeri

Fleksi menarik

Fleksi abnormal

Ekstensi

Tidak ada respon

6

5

4

3

2

1

Total 3 - 15

Page 4: Lp ckr

Annegers et al (1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar

dan lama amnesis pasca trauma yang dibagi menjadi:

Cedera kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia berlangsung

kurang dari 30 menit.

Cedera kepala sedang, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30

menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak.

Cedera kepala berat, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam,

perdarahan subdural dan kontusio serebri.

Penggolongan cedera kepala berdasarkan periode kehilangan kesadaran

ataupun amnesia saat ini masih kontroversional dan tidak dipakai secara luas.

Klasifikasi cedera kepala berdasarkan jumlah Skala Koma Glasgow (SKG) saat

masuk rumah sakit merupakan definisi yang paling umum dipakai (Hoffman, dkk,

1996).

Patofisiologi

Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan

proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan

dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk

sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada

permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus

frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah

dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama

kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang

tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala

traumatik berat.

Page 5: Lp ckr

Proses Primer

Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer

biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah

kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala,

derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang

bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer

menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan

serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.

Proses Sekunder

Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul

kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari

berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling

berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan

terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder

disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah

otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter

dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan

gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.

Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus

frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan

lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus

oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada

lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus

temporalis.

Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala

disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan

hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema

paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada

Page 6: Lp ckr

hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH

dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.

setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine

dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi

dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang

mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.

Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau

sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena

kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.

Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada

lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi

tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan

kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan

korteks serebri terputus.

Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-

kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala

neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula

oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang

terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi

respiratorik.

Cedera otak sekunder tejadi setiap saat setelah terjadi benturan. Factor-faktor yang

menyebabkan cedera otak sekunder adalah:

1. Hematoma intrakranial

a. Epidural

b. Subdural

c. Intraserebral

d. Subarahnoid

Page 7: Lp ckr

2. Pembengkakan otak

Mungkin terjadi dengan atau tanpa hematoma intrakranial. Hal ini diakibatkan

timbunan cairan intra atau ekstrasekuler atau bendung vaskuler.

3. Herniasi : tentorial dan tonsiler

4. Iskhemi serebral, akibat dari:

Hipoksia / hiperkarbi

Hipotensi

Peninggian tekanan intrakranial

5. Infeksi : Meningitis, abses serebri

Tipe trauma kepala

a. Trauma kepala terbuka

1) Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi

durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak,

misalnya akibat benda tajam atau tembakan.

2) Fraktur linier di daerah temporal, dimana arteri meningeal media berada

dalam jalur tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan epidural.

Fraktur linier yang melintang garis tengah, sering menyebabkan perdarahan

sinus dan robeknya sinus sagitalis superior.

3) Fraktur di daerah basis, disebabkan karena trauma dari atas atau kepala bagian

atas yang membentur jalan atau benda diam. Fraktur di fosa anterior, sering

terjadi keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe) dan adanya brill hematom

(raccon eye).

4) Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal (lebih

jarang). Fraktur longitudinal dibagi menjadi anterior dan posterior. Fraktur

anterior biasanya karena trauma di daerah temporal, sedang yang posterior

disebabkan trauma di daerah oksipital.

5) Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus

interna, foramen jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2 – 3 hari akan

Page 8: Lp ckr

nampak battle sign (warna biru di belakang telinga di atas os mastoid) dan

otorrhoe (liquor keluar dari telinga). perdarahan dari telinga dengan trauma

kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Pada

dasarnya fraktur tulang tengkorak itu sendiri tidaklah menimbulkan hal yang

emergensi, namun yang sering menimbulkan masalah adalah fragmen tulang

itu menyebabkan robekan pada durameter, pembuluh darah atau jaringan otak.

Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pusat vital, saraf kranial dan saluran

saraf (nerve pathway).

b. Trauma kepala tertutup

1) Komotio serebri (gegar otak)

Penyebab gejala komotio serebri belum jelas. Akselerasi-akselerasi yang

meregangkan otak dan menekan formotio retikularis merupakan hipotesis

yang banyak dianut. Setelah penurunan kesadaran beberapa saat pasien mulai

bergerak, membuka matanya tetapi tidak terarah, reflek kornea, reflek

menelan dan respon terhadap rasa sakit yang semula hilang mulai timbul

kembali. Kehilangan memori yang berhubungan dengan waktu sebelum

trauma disebut amnesia retrograde. Amnesia post traumatic ialah kehilangan

ingatan setelah trauma, sedangkan amnesia traumatic terdiri dari amnesia

retrograde dan post traumatic.

2) Edema serebri traumatic

Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis

terutama pada anak-anak. Pingsan dapat berlangsung lebih dari 10 menit,

tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan jaringan otak. Pasien mengeluh nyeri

kepala, vertigo, mungkin muntah. Pemeriksaan cairan otak mungkin hanya

dijumpai tekanan yang agak meningkat.

3) Kontusio serebri

Page 9: Lp ckr

Kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak

mengganggu jaringan. Kontosio sendiri biasanya menimbulkan defisit

neurologis jika mengenai daerah motorik atau sensorik otak.

Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa kontusio serebri

meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam

pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri sangat sering terjadi difrontal

dan labus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak,

termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan

perdarahan intra serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri

dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi

membentuk pedarahan intra serebral (ATLS 1997).

4. Perdarahan Intrakranial

a) Perdarahan Epidural

Perdarahan epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi

pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya anteri meningea

media (Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran

sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini

disusul oleh gangguan kesadaran progesif disertai kelainan neurologis

unilateral. Kemudian gejala neurologis timbul secara progesif berupa pupil

anisokor, hemiparese, papiledema dan gajala herniasi transcentorial.

Perdarahan epidural di fossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus

lateral, jika terjadi di oksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri

kepala, muntah ataksia serebelar dan paresis nervi kranialis. Ciri perdarahan

epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.

b) Perdarahan Subdural

Terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan subdural lebih biasa

terjasi perdarahan epidural (30 % dari cedera kepala berat). Umumnya

perdarahan akibat pecahnya/robeknya vena-vena jembatan yang terletak

Page 10: Lp ckr

antara kortek serebri dan sinus venosa tempat vena tadi bermuara, namun

dapat pula terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaaan otak.

Gejala yang sub akut tidak sejelas yang gejala akut. Perdarahan subdural

menjadi simptomatik dalam 3 hari disebut akut, jika gejala timbul antarqa 3

sampai 21 hari disebut subakut, sedangkan lebih dari 21 hari disebut kronik.

Gejala yang paling sering pada akut adalah nyeri kepala, mengantuk, agitasi

cara berpikir yang lambat dan bingung. Gejala yang paling sering pada kronik

adalah nyeri kepala yang semakin berat, cara berpikir yang lambat, bingung,

mngantuk. Pupil edema dapat terjadi dan pupilipsilateral dilatasi dan refleka

cahaya menurun, Hemiparese sebagai tanda akhir biasa ipsilateral atau

kontralateral tergantung pada a[akah lobus temporal mengalami herniasi

melalui celah tentorum dan menekan pendukulus serebri kontralateral.

Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan

kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosinyapun jauh lebih buruk

daripada perdarahan epidural.

c) Perdarahan subarahnoid

Perdarahan subaranoid sering terjadi pada trauma kapitis. Secara klinis mudah

dikenali yaitu ditemukannya kaku kuduk, nyeri kepala, gelisah, suhu badan

subfebril.

Gejalanya menyerupai meningitis. Perdarahan yang besar dapat disertai koma.

Pedarahan terjadi didalam ruang subarahnoid karena robeknya pembuluh

darah yang berjalan didalamnya. darah tercampur dengan cairan otak. Adanya

darah didalam liquor serebri spinal akan merangsang meningia sehingga

terjadi kaku kuduk.

Page 11: Lp ckr

Manifestasi Klinis

1. Gangguan kesadaran

2. Konfusi

3. Abnormalitas pupil

4. Awitan tiba-tiba defisit neurologik

5. Perubahan tanda vital

6. Gangguan penglihatan dan pendengaran

7. Disfungsi sensory

8. Kejang otot

9. Sakit kepala

10. Vertigo

11. Gangguan pergerakan

12. Kejang

Evaluasi Diagnostik

1. CT scan

2. MRI

3. Angiografi cerebral

Penatalaksanaan

1. Tindakan terhadap peningkatan TIK

a. pemantauan TIK dengan ketat

b. oksigenasi adekuat

c. pemberian mannitol

d. penggunaan steroid

e. peningkatan kepala tempat tidur

f. bedah neuro

2. Tindakan pendukung lain

a. dukungan ventilasi

Page 12: Lp ckr

b. pencegahan kejang

c. pemeliharan cairan, elektrolit, dan keseimbangan nutrisi

d. terapi antikonvulsan

e. klorpromazin menenangkan pasien

f. selang nasogastrik

Proses Penatalaksanaan pada Trauma Kepala yang Memerlukan

Tindakan Bedah Saraf :

Penatalaksanaan trauma kepala yang memerlukan tindakan bedah saraf, merupakan

proses yang terdiri dari serangkaian tahapan yang saling berkaitan satu sama lain,

sehingga sampai pada pengambilan putusan untuk melakukan tindakan pembedahan.

Dalam hal ini meliputi 4 tahapan, tahapan-tahapan tersebut meliputi:

1. Tahap I

a. Penilaian awal dan Pertolongan pertama

Penilaian awal, prioritas penilaian :

Airway

Breathing

Circulation

Periksa adanya kemungkinan kelainan atau perdarahan

Tentukan hal-hal sebagai berikut:

# Lamanya tak sadar

# Lamanya amnesia post-trauma

# Sebab-sebab cedera

# Adanya nyeri kepala, muntah

Pemeriksaan fisik umum dan neurologik

Pertolongan pertama yang segera dilakukan bila terjadi gangguan pernafasan,

sirkulasi dan atau gangguan kesadaran:

Membebaskan jalan nafas agar tetap terbuka dan bebas

Page 13: Lp ckr

Mengontrol atau mengendalikan perdarahan

Menanggulangi renjatan (shock)

Monitor EKG

b. Diagnosis

Pemeriksaan Laboratorium

Hb, hematokrit, eritrosit, lekosit, trombosit, elektrolit, gula darah, BUN,

ureum, kreatinin, masa perdarahan dan penjendalan, golongan darah dan

AGD.

Pemeriksaan penunjang yang khusus

# Foto kepala

# Foto servikal

# Pada trauma multiple perlu dilakukan foto abdomen dan ekstremitas

# Angiografi Serebral

# CT scan

# Burr holes/trepanasi eksplorasi

c. Indikasi Konsultasi Bedah Saraf (Teddy & Anslew, 1989)

Coma yang berlangsung lebih dari 6 jam

Penurunan kesadaran atau gangguan neurologik progresif

Penderita belum sadar kembali setelah dirawat 24 jam

Adanya tanda-tanda neurologik fokal, termasuk yang sudah ada sejak saat

terjadinya cedera kepala.

Adanya kejang fokal atau umum setelah trauma.

Fraktur impresi terbuka / tertutup

Perdarahan intrakranial

2. Tahap II: Observasi perjalanan klinis dan Perawatan suportif

3. Tahap III

a. Indikasi pembedahan

Perlukaan pada kulit kepala

Fraktur tulang kepala

Page 14: Lp ckr

Hematoma intrakranial

Kontusio jaringan otak yang mempunyai diameter > 1 cm dan atau

laserasi otak

Subdural higroma

Kebocoran cairan serebrospinal

b. Kontaindikasi

Adanya tanda-tanda renjatan (Shock), ini biasanya bukan karena trauma

kepalanya tetapi karena sebab-sebab lain, misalnya ruptur alat viscera

(Hepar, lien, ginjal) atau fraktur berat pada ekstremitas.

Penderita dengan trauma kepala yang pada waktu masuk rumah sakit pupil

sudah dilatasi maksimal dan reaksi cahaya negatif, denyut nadi dan

respirasi irregular.

c. Tujuan Pembedahan

Untuk mengeluarkan bekuan darah dan atau jaringan otak yang nekrotik

Untuk mengangkat bagian tulang yang menekan atau masuk ke jaringan

otak

Untuk mengurangi tekanan intrakranial

Untuk mengontrol perdarahan

Untuk menutup durameter atau memperbaiki durameter yang rusak

Menutup defek pada kulit kepala untuk mencegah infeksi atau untuk

kepentingan segi kosmetik.

d. Persiapan Pembedahan

Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas

Pasang infus

Observasi tanda-tanda vital

Pemeriksaan laboratorium

Pemberian antibiotik profilaksi

Pasang kateter

Pasang NGT

Page 15: Lp ckr

Terapi untuk menurunkan TIK

Pemberian antikonvulsan

4. Tahap IV

a. Pembedahan spesifik

Perlukaan pada kulit prinsipnya dilakukan “debridemen”

Pada lesi desak ruang intrakranial traumatic pada prinsipnya dilakukan

kraniotomi yang cukup luasnya.

# Pada Hematom Epidural biasanya dilakukan.

- Trepanasi

- Kraniotomi yang diperluas dengan kraniektomi

Bila diagnosa dengan CT scan yang menunjukkan lesi dengan jelas,

cukup dengan kraniotomi yang terbatas. Pada epidural hematom yang

lebih tebal <1,5 – 1 cm, belum perlu tindakan operasi.

# Pada Hematom Subdural

Pada Hematom Subdural akut senantiasa diperlukan kraniotomi yang

luas. Tindakan kraniektomi atau membuat lubang bur tidak dianggap

cukup, ini hanya hematom subdural yang kronis.

# Pada Hematom intraserebral dan kontusio serebri dengan efek massa

yang jelas

Dilakukan tindakan kraniotomi yang cukup luas.

- Bila terdapat kontusio dengan diameter > 1 cm, dipermukaan

korteks hendaknya diisap sampai batas jaringan otak yang sehat.

- Menimbulkan efek massa yang jelas

- Menyebabkan penyimpangan garis tengah > 4-5 mm

- Volume diperkirakan > 30 cc atau diameter > 3 cm

- Menunjukkan peninggian tekanan intrakarnial > 30 mmHg dan

atau berkaitan dengan gangguan neurologik yang progresif.

Pada hematoma intraserebral yang kronis dapat dilakukan dengan

trepanasi secara konvensional dan aspirasi.

Page 16: Lp ckr

# Pada intraventrikuler hematoma

- Kraniotomi – aspirasi hematom

- Trepanasi – drenase ventrikuler

- Bila timbul tanda-tanda hidrosefalus, dilakukan ventrikulo-peri-

toneal shunt.

Prognosis buruk bila GCS < 8 pada saat masuk dirawat. Bila GCS > 8

prognosis lebih baik kira-kira 86 % hidupnya tidak tergantung orang

lain.

# Pada subdural higroma

# Pada Rhinorrhea

# Pada Laserasi otak

# Pada fraktur tulang kepala terbuka

# Pada fraktur yang menekan tertutup

b. Evaluasi: komplikasi yang perlu diperhatikan:

Perdarahan ulang

Kebocoran cairan otak

Infeksi pada luka atau sepsis

Timbulnya edema serebri

Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK

Nyeri kepala setelah penderita sadar

Konvulsi

c. Outcome

Outcome akibat trauma kepala, walaupun sudah dilakukan tindakan operasi

tergantung beberapa factor diantaranya:

Saat dilakukan operasi

Tergantung pada penilaian tingkat kesadaran

Faktor usia

Tergantung tanda-tanda vital waktu masuk

Tergantung pada peninggian intrakranial

Page 17: Lp ckr

Tergantung pada factor hematom: jenis, sifatnya, volume dan

lokalisasinya, misalnya:

# Outcome epidural hematom dengan kontusio serebri lebih buruk

daripada kalau hanya ada epidural hematomnya (Guillermann, 1996)

# Volume hematom epidural (EDH)

EDH < 50 cc mortalitasnya 12 %

EDH 50 – 100 cc mortalitasnya 33 %

EDH > 100 cc mortalitasnya 66 %