lo agr2
-
Upload
kurnia-fitri-aprilliana -
Category
Documents
-
view
216 -
download
1
description
Transcript of lo agr2
1. Pestisida yang larut lemak dan dampaknya
Salah satu pestisida yang bersifat lipofilik atau larut lemak adalah DDT
(diklorodifeniltrikloroetana) yang merupakan pestisida yang masih kontroversi
penggunaannya.
A. Sifat Fisik dan Kimia DDT
DDT (diklorodifeniltrikloroetana) termasuk ke dalam kelas kimia alifatik difenil,
yang berarti terdiri dari alifatik/rantai karbon yang lurus, dengan dua (di-) rantai fenil
yang melekat dengan rumus struktur (ClC6H4)2CHCCl3. DDT murni berwarna putih
dan akan cair pada suhu 90°C. Sangat stabil karena tidak mudah dipengaruhi oleh
adanya cahaya. Senyawa DDT tidak larut dalam air (>1ppm) tetapi larut dalam
pelarut organik yaitu minyak petrol. DDT sangat persisten, artinya bahan aktifnya
dapat bertahan lama baik di tanah, air, jaringan hewan, maupun tumbuhan. Tidak
mudah terurai oleh mikroorganisme, enzim, panas, maupun cahaya ultra violet. Tahan
terhadap asam keras dan oksidasi terhadap asam permanganate. Dari segi insektisida,
senyawa dengan sifat-sifat ini adalah yang paling baik karena dapat memberantas
lalat nyamuk, tuma, pinjal, dan kutu busuk.Tetapi tidak baik dalam segi lingkungan.
Toksikologi DDT termasuk dalam kategori toksik sederhana.
Gambar Struktur Molekul DDT
Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan
hidup adalah:
a. Sifat apolar DDT
DDT tak larut dalam air tapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu
insektisida dalam lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal
ini merupakan salah satu faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit.
b. Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten
DDT sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan hidup, masuk
rantai makanan (foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup. Itu
sebabnya DDT bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif. Karena sifatnya yang
stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah, bahkan DDT
dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah.
DDT tidak terjadi secara alami, tapi diproduksi oleh reaksi chloral (CCl3CHO) dengan
chlorobenzene (C6H5Cl) dengan adanya asam sulfat, yang bertindak sebagai katalis.
Perdagangan nama yang DDT telah dipasarkan antara lain, anofex, cezarex,
clorophenothane, clofenotane, dicophane, dinocide, gesarol, guesapon, guesarol, gyron,
ixodex, neocid, neocidol, dan zerdane. Dichoro Diphenyl Trichlorethane (DDT) adalah
senyawa yang terdiri atas bentuk-bentuk isomer dari 1,1,1-trichloro-2,2-bis-(p-
chlorophenyl) ethane. Dichoro Diphenyl Trichlorethane (DDT) diproduksi dengan
menyampurkan chloralhydrate dengan chlorobenzene.
Mengingat pengaruh sampingnya yang cukup berbahaya terhadap lingkungan (pengaruh
residunya yang lama dan bersifat akumulatif) maka sejak 1 Januari 1973, DDT telah
dilarang penggunaannya oleh Badan Proteksi Lingkungan di Amerika. Meskipun
demikian, ada tiga senyawa turunan DDT yang masih bebas digunakan yaitu
metoksikhlor, dikofol, dan khlorobenzilat.
B. Adsorpsi, Distribusi, Eliminasi dan Metabolisme DDT
Absorpsi
Karena karakteristik DDT yang terurai lambat, maka sering ditemukan konsentrasi
DDT yang sangat tinggi dalam berbagai spesies pada level yang tinggi dari rantai
makanan, seperti pada ikan paus, burung elang dan mamalia, termasuk manusia.
TerjadinyaBiological Magnification, yaitu meningkatnya kandungan zat kimia pada
konsumen puncak melalui peristiwa rantai makanan.
Gambar Mekanisme Pencemaran DDT
Gambar Mekanisme Masuknya DDT dalam Tubuh Manusia
Jalur pajanan utama yang mungkin dari DDT adalah melalui makanan, termasuk
daging, ikan, dan produk susu. DDT dapat masuk ke dalam tubuh melalui oral
(makanan), inhalasi (pernafasan), atau dermal (dengan menyentuh zat atau benda
yang telah terkontaminasi dengan DDT) (Departement of Health & Human
Services, 2009). DDT akan segera diabsorpsi jika kontak melalui kulit atau mata.
Absorpsi ini akan terus berlangsung selama DDT masih ada pada kulit. Kecepatan
absorpsi berbeda pada tiap bagian tubuh. Perpindahan residu DDT dari suatu
bagian tubuh ke bagian lain sangat mudah. Jika hal ini terjadi maka akan
menambah potensi keracunan. Residu dapat pindah dari tangan ke dahi yang
berkeringat atau daerah genital. Pada daerah ini kecepatan absorpsi sangat tinggi
sehingga dapat lebih berbahaya dari pada tertelan. Paparan melalui oral dapat
berakibat serius, luka berat atau bahkan kematian jika tertelan.
Distribusi
DDT bersifat nonsistemik yaitu tidak diserap oleh jaringan tetapi hanya menempel
pada bagian luar sel. DDT bersifat lipofilik dan karenanya terdapat pada cairan
tubuh yang berlemak termasuk susu. Setelah DDT diabsorbsi, jaringan lipoprotein
dalam darah akan melarutkannya dan membawa ke sisitem sirkulasi organ tubuh,
terakumulasi sepanjang waktu hingga mengakibatkan efek negatif. Apabila kita
terpejan oleh DDT dalam waktu yang relative lama, dimana DDT bersifat sangkat
sukar terurai di lingkungan, maka akan terjadi penyerapan DDT dari lingkungan
ke dalam tubuh dalam waktu relatif lama. Distribusi DDT dan metabolitnya akan
berada di hati, ginjal, otak, dan jaringan adiposa
Metabolisme
DDT secara kimia tergolong insektisida yang toksisitas relatif rendah akan tetapi
mampu bertahan lama dalam lingkungan. Racun ini bersifat mengganggu susunan
syaraf. DDT sangat membahayakan bagi kehidupan maupun lingkungan, karena
meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan
melalui rantai makanan. Di dalam tubuh, DDT diubah menjadi beberapa
metabolitnya, seperi DDE (dichlorodiphenyldichloroethylen), DDD
(dichlorodiphenyldichloroethane), dan DDA (2,2-bis(4-chlorophenyl)-acetic acid).
DDA larut dalam air yang kemudian dikeluarkan (dibuang) bersama-sama feses
dan atau urin.
Gambar Mekanisme Pembentukan DDT
Dichlorodiphenyldichloroethylene (DDE) adalah senyawa kimia yang terbentuk
melaui reaksi dehidrohalogenasi, yaitu dengan melepas hydrogen klorida (HCl) dari
DDT, dimana DDE merupakan salah satu produk pengganggu. pelepasan HCl
menghasilkan ikatan rangkap pada atom pusat pada atom karbon (karbon kuartener).
Gambar Reaksi Pembentukan DDE
Karena kehadiran DDT dalam jumlah besar dan relatif begitu lama dalam lingkungan
khususnya pertanian, maka DDT dan DDE banyak ditemukan secara luas dalam
jaringan hewan. DDE sangat berbahaya karena dapat larut dalam lemak seperti
organoklorine lainnya, sehingga jarang dikeluarkan dari tubuh dan konsentrasinya
cenderung meningkat sepanjang kehidupan.
Pada ibu hamil, DDT dan DDE dapat diteruskan ke janin. DDT dan DDE juga
ditemukan dalam ASI, sehingga paparan juga dapat terjadi pada ibu menyusui
(Departement of Health & Human Services, 2009).
Dichlorodiphenyldichloroethane (DDD) adalah insektisida organoklorine yang
dapat mengiritasi kulit. DDD tidak berwarna dan berbentuk Kristal. DDD termasuk
golongan B2 yang berarti kemungkinan dapat menyebabkan kanker pada manusia.
Hal ini didasarkan pada meningkatnya efek tumor pada tikus jantan dan betina,
tumor hati dan tumor tiroid pada tikus. DDD terbentuk dari reaksi deklorinasinya
reduktif.
Gambar Reaksi Pembentukan DDA
Eliminasi
Hasil metabolisme DDT tersebut secara perlahan dikeluarkan dari dalam tubuh
sekitar 1% dari jumlah DDT yang tersimpan dalam tubuh. Ketika cadangan lemak
digunakan saat kelaparan, produk metabolit dari DDT dilepaskan ke dalam darah,
di mana metabolit tersebut dapat menyebabkan efek toksik pada hati dan sistem
saraf. Setelah DDT terakumulasi di dalam tubuh, DDT dapat diekskresikan melalui
urin, feses atau ASI. DDT bersifat lipofilik dan karenanya terdapat pada cairan
tubuh yang berlemak termasuk susu. Meskipun asupan DDT per hari pada ibu 0,5
mg/kg, bayi yang disusuinya mungkin mendapat asupan sebesar 11,2 mg/kg.
Pembesaran ini berasal dari fakta bahwa DDT tersimpan dalam tubuh manusia pada
tingkat asupan harian kronik 10-20 kali lipat dan bayi itu pada dasarnya hanya
mengkonsumsi susu saja. Paparan terhadap DDT dapat diukur dalam darah dan
lemak. Pengukuran konsentrasi DDT dalam ASI sering digunakan dalam
pengukuran paparan DDT dalam suatu populasi (National Pesticide Information
Center, 2000).
C. Toksikologi DDT
DDT merupakan pestisida organoklorin yang masuk dalam kategori Persisten
Organic Pollutants (POPs) yang berbahaya bagi kesehatan. Hal ini dapat
membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan karena bahan kimia ini dapat
menyebabkan kanker, alergi dan merusak susunan saraf (baik sentral ataupun
peripheral serta dapat juga mengganggu sistem endokrin yang menyebabkan
kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan yang terjadi pada mahluk
hidup, termasuk janin.
Karakteristik POPs yang dapat memberikan efek negatif menurut Gorman & Tynan
(Dalam Warlina, 2009),adalah:
Terurai sangat lambat dalam tanah, udara, air dan mahluk hidup serta menetap
dalam lingkungan untuk waktu yang lama.
Masuk dalam rantai makanan dan dapat terakumulasi pada jaringan lemak,
sehingga sukar larut dalam air.
Dapat terbawa jauh melalui udara dan air.
D. Terapi Antidotum
Antidotum adalah penawar racun, sedangkan antitoksik adalah penawar terhadap zat
yang beracun (toksik) terhadap tubuh. Antidotum lebih difokuskan terhadap over
dosis atau dosis toksik dari suatu obat. Kondisi suatu obat dapat menimbulkan
keracunan bila digunakan melebihi dosis amannya. Selain itu, perbedaan metabolisme
tubuh setiap orang terhadap dosis obat juga mempengaruhi. Obat dapat menjadi racun
bila dikonsumsi dalam dosis berlebihan. Dalam hal ini, obat tidak akan
menyembuhkan melainkan berbahaya. Umumnya akan timbul efek sampingnya.
Praktisi kesehatan seperti dokter dan apoteker harus berhati-hati dalam memilih dosis
obat yang sesuai dengan kondisi penderita. Obat yang sama dapat diberikan dalam
dosis yang berbeda kepada bayi, anak-anak, dewasa dan usia lanjut. Hal ini
disebabkan perbedaan kesempurnaan pembentukan organ-organ tubuh terutama hati
dalam tiga jenis manusia tersebut.
Pengobatan terhadap keracunan obat yang umum untuk keracunan yang terjadi
kurang dari 24 jam yaitu dengan membilas lambung bila obat baru ditelan,
memuntahkan obat sampai tindakan khusus untuk mempercepat pengeluaran obat
dari tubuh. Setelah bilas lambung, karbon aktif dan suatu pencahar perlu diberikan.
Pada keracunan yang parah dibutuhkan antidotum yang memang terbukti menolong
terhadap efek keracunan obat tertentu, misal asam Folinat untuk keracunan
metotrexat.
Nalokson, atropin, chelating agent, natrium tiosulfat, metilen biru merupakan
antidotum spesifik yang sangat ampuh dan sering menimbulkan reaksi pengobatan
yang dramatis. Namun, sebagian terbesar kasus keracunan harus dipuaskan dengan
pengobatan gejalanya saja, dan inipun hanya untuk menjaga fungsi vital tubuh, yaitu
pernafasan dan sirkulasi darah. Racun akan didetoksikasi oleh hepar secara alamiah
dan racun atau metabolitnya akan diekskresi melalui ginjal dan hati. Selama
keracunan hanya perlu dipertahankan pernapasan dan sistem kardiovaskuler (fungsi
vital).
DAFTAR PUSTAKA
Bumpus, John A., et al. Tanpa tahun. Biodegradasi Dikloro Difenil Trikloroetan oleh Fungi Phanerochaete Chrysosporium. East Lansing. Michigan State Unversity.
Cottam, Clarence And Elmer Higgins. 1946. DDT: Its Effect on Fish and Wildlife. United
States : United States Department Of The Interior.
Supriyono. 2007. Pengujian Lethal Dosis (Ld50) Ekstrak Etanol Biji Buah Duku ( Lansium
Domesticum Corr) pada Mencit (Mus Musculus). Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Yuanita, MG Catur. 2011. Dampak PestisidaOrganoklorin Terhadap Kesehatan Manusia dan
Lingkungan serta Penanggulangannya. Semarang: Universitas Dian Nuswantoro
Semarang.