literISI vol 1

36

description

Judul : ANDAI AKU JADI REKTOR Penulis : Alfin Rizal, Aziz Mughni, Andre Tanama, Alwi Atsagav, Bobby Pratama, Rupa Bule Larasati, Pupud, Lestiyono Ilustrator : Apoy, Ainia, Max, Eli, Siti, Alfin Rizal, Cover dan Layout: Alfin Rizal Ukuran : A5 Tebal : 30 Halaman Penerbit : literISI

Transcript of literISI vol 1

Page 1: literISI vol 1
Page 2: literISI vol 1

www.literisi.wordpress.com | 081529080065

| Aziz

Page 3: literISI vol 1
Page 4: literISI vol 1
Page 5: literISI vol 1
Page 6: literISI vol 1
Page 7: literISI vol 1
Page 8: literISI vol 1
Page 9: literISI vol 1
Page 10: literISI vol 1
Page 11: literISI vol 1
Page 12: literISI vol 1
Page 13: literISI vol 1

INES

Sejimpit Hikayat 151 Malam

Sesungguhnya, aku tak pandai untuk berandai-andai. Aku tak seperti Oppie Andaresta––yang bisa merilis single Cuma Khayalan: Andai Aku Jadi Orang Kaya. Bahkan, aku pun tak sepandai kawanku––yang empunya Ruang Angan, yang mengajak untuk berandai-andai jadi rektor.

Kenapa?

Karena aku hanya ingin jadi diriku sendiri. Tapi, jika ditanya alasan lain––secara politis––tentu, aku tetap tak akan mampu berandai-andai jadi seorang rektor. Ya, aku tidak kuasa berpikir andaikan aku rektor, apalagi prektor––yang lebih ganas daripada predator dan raptor. Lebih-lebih kalau mengingat bahwa aku hidup di kampus seni 'tempat kuliah orang berdaki', sebaiknya aku memilih untuk menikmati kenyamanan dan hidup aman di sini. Ketimbang pikiranku sibuk berandai-andai jadi rektor––yang hidupnya penuh pencitraan positif dan selalu steril dari debu kotor––lebih baik aku tidur saja.

Aku akan bahagia dalam tidurku yang pulas seperti bayi. Dan aku malah bisa mimpi bertemu dengan Pak Jangkis––yang selalu intim dengan debu-debu kotor. Dalam mimpiku: kami duduk berduaan di teras parkiran sebuah kampus. Tangan Pak Jangkis masih memegang sapu. Ia tampak sedang melamun. Pandangan matanya redup. Sinar mata Pak Jangkis sendu memandangi mobil sedan Coro ala Autis berwarna hitam mengkilat dengan plat nomor AB 151 SW. Sopir mobil itu baru saja pergi, setengah terburu-buru. Mungkin karena kebelet ngising atau ingin setor air seni di toilet kampus seni.

Di tengah mimpi itu, aku ingin tahu: apa yang sebenarnya sedang dilamunkan oleh Pak Jangkis. Aku berkata padanya, “Ada apa, Pak Jangkis? Ceritakanlah padaku.”

Pandangan matanya kini berubah. Sinar tatapan matanya perlahan-lahan kosong. Ia menerawang jauh. Pak Jangkis pun menuturkan hikayat 151 malam padaku.

***

Syahdan, di sebuah kitab haram kuno, tercatatlah nama Tulis San, seorang lelaki––berasal dari negeri nan terpencil. Ia sangat terampil berkarya seni rupa. Kemampuan ia melukis sungguh luar biasa. Banyak orang, kerap kali, jadi berdecak kagum saat mengamati perwujudan konsep yang dilukiskannya––baik objek manusia, flora, fauna, maupun lukisan still life; mulai dari corak realistik, surealistik, sampai gaya yang menggelitik. Begitu pula saat ia menciptakan karya seni cetak grafis cukilan kayu, orang-orang yang melihat karya seni cetak cukilannya pun merasa tercukil hatinya, lantaran karyanya yang sangat menyentil. Pun saat orang-orang menyaksikan hasil karya seni patung ciptaannya, mereka pun sampai bergeming, mematung––seakan-akan enggan beranjak dari hadapan patung, ciptaan Tulis San yang sungguh monumental itu.

Bagi kalangan keluarga Tulis San, kemampuan berkarya seni seperti itu dianggap sesuatu yang biasa saja––bukan sebagai keahlian yang hebat, alih-alih mengejutkan. Sejak Kakek San masih hidup, mereka sudah sangat terbiasa mengamati karya––yang sangat luar biasa, karya yang menyentil, dan karya yang monumental; sehingga mereka tak mudah berdecak kagum hingga bergeming. Semua itu terjadi, ternyata lantaran Kakek San juga mempunyai daya cipta luar biasa dalam seni. Dan rupa-rupanya, bakat dan kemampuan seni Kakek San terwariskan kepada Tulis San, cucunya, secara genetik. Bahkan, esensi seni itu sendiri sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian: nyawiji dalam kehidupan mereka. Rasa syukur senantiasa ada di dalamnya.

Konon, Kakek San adalah seorang seniman sejati, dan memang ia sejatinya seorang seniman. Karena saking sungguh-sungguh sejati, ia sama sekali tidak menganggap bahwa dirinya adalah seniman. Maka, ia pun tidak tercatat dalam kitab sejarah seni rupa. Sejarah seni rupa di negerinya hanya mencatat nama-nama seniman besar dan ternama. Kendati ada-

Page 14: literISI vol 1

insan seni yang melahirkan karya penting, tapi tidak terkenal––apalagi karyanya tidak laku dijual––maka sejarah seni rupa di negerinya tidak perlu mencatat karya dan nama penciptanya. Jika sejarah besar tidak memiliki kepentingan terhadapnya, karya penting hanya akan tenggelam dan tak diketahui oleh peradaban secara luas.

Kakek San sudah memahami hal itu, bahwa catatan sejarah di negerinya hanyalah diperuntukkan bagi yang punya kekuasaan dan nama besar. Nama Kakek San tidak ternama, namun apa yang ia ciptakan bukanlah karya seni sekadar hiasan. Karya-karya yang diciptakan Kakek San mengandung filsafat hidup yang mendalam. Meskipun sejarah seni di seluruh negeri tak pernah menuliskan namanya, ia selalu mengarsipkan dirinya sendiri. Semasa hidupnya, semua itu beserta seluruh pengalaman hidup berkeseniannya, ia abadikan melalui catatan dan banyak tulisan yang disimpan dalam sebuah perpustakaan rahasia.

Kakek San menjalani hidup berkeseniannya bagaikan air mengalir, yang terus memberi berkah kehidupan bagi sesama dan alam sekitarnya. Ia adalah seniman yang bertani, sehingga untuk urusan kebutuhan hidup sehari-hari dapat dipenuhi secara mandiri. Bahkan seluruh material berkarya seni rupa diprosesnya sendiri––mulai dari kanvas, cat, kuas, pisau cukil, kertas, tanah liat, dan sebagainya––tak ada yang dia beli selayaknya material jadi. Alam telah menyediakan semuanya untuk diolah secara bijak menjadi berbagai alat produksi dan material berkarya seninya.

Tulis San adalah cucu yang terlahir dari Alus San, anak satu-satunya Kakek San. Alus San adalah perempuan cantik yang tangguh dan setia. Ia adalah sosok perempuan yang selalu diidam-idamkan setiap lelaki untuk menjadi seorang istri, dan figur perempuan yang diimpikan oleh seorang anak sebagai ibunda penuh kasih. Sudah dua puluh tahun lamanya ia menjadi seorang janda––yang berjuang tak kenal lelah. Suaminya meninggal dunia saat bencana perang melanda negerinya. Ketika itu terjadi, ia mengamankan keluarganya dan menghadapi perang seorang diri. Di tengah suasana porak-poranda, api dan mayat di sana-sini, ia memaksa Alus San dan anaknya untuk bersembunyi di dalam perpustakaan rahasia milik Kakek San––dan memang hanya ia, istrinya, dan Kakek San yang mengetahui di mana lokasinya.

Kakek San sendiri sudah tutup usia saat menyelesaikan sebuah lukisan berobjek gajah––yang tampak bermata terpejam. Gajah yang dilukiskan pada sebentang kanvas raksasa itu––berukuran tujuh kali tujuh meter––yang kini tersimpan aman di dalam perpustakaan rahasia. Lukisan gajah bernuansa sunyi itu adalah satu-satunya karya yang masih tersisa. Karya-karya lainnya telah lenyap, karena dihancurkan, dibakar, dan dijarah saat perang terjadi di negerinya.

Sang waktu memang tak pernah terhenti dan terasa berjalan begitu cepat. Kini, Tulis San sudah remaja. Ia pemuda tampan, namun ia tak mudah didekati perempuan muda––yang mungkin ingin memikat hatinya atau sekadar mengajak ngobrol agar seniman muda itu terpikat hatinya. Bahkan ia sendiri tidak pernah mendekati perempuan yang berusia sebaya dengannya. Satu-satunya perempuan yang bisa mengajaknya ngobrol hanyalah Alus San, ibundanya sendiri.

“San,” Alus San mengajak anaknya bincang-bincang, ibu jari dan telunjuknya masih intim dengan jarum sulam yang tembus masuk dan keluar. “Bunda mengamati, setiap hari kamu sangat sibuk berkarya, apa kamu tidak lelah, Nak?”

“Tidak Bunda. Hamba tidak boleh mengenal kata lelah. Jika dirasakan, memang ada, rasa lelah itu kadang muncul, Bunda. Namun setiap karya yang hamba ciptakan seakan-akan memberikan energi positif yang menetralkan rasa lelah itu.”

“Kamu sungguh mirip mendiang kakekmu,” Alus San tersenyum. Ia menggeser kursinya lebih dekat dengan anaknya. “Bunda masih sangat ingat bagaimana mendiang kakekmu, dulu, saat beliau berkarya. Saat kakekmu melukis, mematung, mencukil––seolah-olah dirinya sedang berdialog dengan kehidupan. Bunda khawatir kamu kelelahan, karena sejak pagi kamu sudah membantu bertani.”

Page 15: literISI vol 1

“Tenanglah, Bunda. Tak perlu khawatir. Aku sudah selayaknya membantu bunda di sawah setiap pagi. Hal itu bukanlah beban pekerjaan bagi hamba. Justru bertani adalah berkah yang membuat hamba sadar, bahwa menanam itu berguna bagi kelangsungan hidup tanaman itu sendiri. Bukan semata-mata untuk kebutuhan hidup kita sebagai manusia.”

“Benar, anakku. Bunda bahagia kamu menyadari akan hal itu.”

“Bagi hamba, saat melihat tanaman di sawah, lingkung langit yang membentang di atasnya, hamba merasakan hembusan angin yang membawa dedaunan terbang dan jatuh ke tanah. Semua itu akan membuat hamba selalu ingat......”

“Ingat akan kebesaran Dewa Pencipta Langit dan Bumi,” Alus San menyahut.

“Bukan, Bunda. Bukan hanya itu. Hamba jadi teringat betapa manusia adalah manusia pelupa. Manusia menjadi lupa bahwa alam semesta itu sangat indah. Keindahan alam semesta itu tiada yang menandingi.”

“Bunda belum paham maksudmu, Nak. Ceritakanlah pada Bunda.”

“Baik, Bunda. Saat desiran angin pagi hari––yang tak terlihat––hamba rasakan, bagaimana tubuh ini disapa olehnya; itu sungguh amat indah. Apalagi bentangan sawah hijau, tanah, tanaman, pepohonan, dan birunya cakrawala––lantas bagaimana bisa kita melupakan bahwa semua itu indah? Manusia lupa memandang itu semua sebagai keindahan. Padahal semua itu terlihat nyata; sehingga mereka membangun menara, benteng pertahanan perang, dan apa saja di atas sawah. Mereka mengubah birunya cakrawala menjadi kelabu dengan debu dan asap peperangan. Bukankah mereka sudah lupa, Bunda?”

Mendengar penuturan putranya itu, Alus San memandang anaknya sambil masih tetap tersenyum. Bola mata yang masih menghadirkan kecantikan masa mudanya tampak basah berkaca-kaca. Ia teringat mendiang suaminya.

“San, kamu pun mirip ayahmu. Saat ayahmu masih hidup, beliau selalu membagikan nasehat, agar kami tak boleh lupa. Beliau adalah orang yang menolak lupa. Ayahmu tak ingin jadi manusia pelupa. Makanya, beliau selalu belajar, sinau, untuk ingat dan memiliki ingatan yang kuat. Ayahmu pernah mengatakan pada bunda, pertama, manusia harus ingat siapa dirinya.”

***

Pagi itu, Tulis San sudah berada di sawah. Ia tak langsung bertani, melainkan memandang alam persawahan yang terbentang di depannya. Ia merasakan angin dan udara yang segar, mengamati hijaunya tanaman dan petak-petak sawah, serta mendengarkan kicauan burung yang mulai beterbangan dan hinggap mencari makan.

Fajar mulai menyingsing. Saat itu Tulis San mendengar suara alunan seruling––yang tak asing oleh telinganya. Ia melihat Fajar, sahabatnya, tak jauh dari situ. Fajar tampak sedang menggembalakan kerbau sambil meniup seruling bambunya.

“Fajar, kemarilah!”

“Hei, San!” Sambil mengajak kerbaunya, Fajar berjalan menuju tepi sawah. Pada tanah rerumputan, Fajar membiarkan kerbaunya menikmati sarapan yang telah disediakan alam semesta, dan ia menghampiri kawannya.

Mereka pun berbincang-bincang di pinggir sawah mengenai sanggar seni yang mereka dirikan di dusun itu.

“Sebenarnya aku cukup resah dengan apa yang sudah kulakukan dalam sanggar.”

“Apa yang kau resahkan, San?”

“Aku merasa bersalah. Semua karya yang diciptakan oleh anak-anak sanggar di sini selalu aku terima, aku tidak

Page 16: literISI vol 1

pernah menolak gagasan mereka. Karena aku berpikir bahwa apapun yang mereka kerjakan––dalam menciptakan karya seni––adalah elan atas kebaikan dan kebenaran, dan aku membiarkan mereka sebebas-bebasnya.”

“Bukankah yang telah kau lakukan itu sesuatu yang baik, Kawan? Apa yang perlu dirisaukan?”

“Begini, Kawan. Sebenarnya aku tak terlalu memikirkan apakah yang kulakukan itu baik atau buruk. Aku hanya ingin agar anak-anak menjadi dirinya sendiri, agar mereka bisa berpikir lebih mendalam. Aku tidak berharap mereka menjadi seperti aku, atau seperti dirimu. Mereka adalah diri mereka sendiri, yang tentu berbeda satu sama lain. Jika mereka mengenal siapa diri mereka sendiri, maka mereka akan mencapai kesadaran diri, dan peka dengan kondisi sekitarnya. Bahkan mereka pun sebenarnya bisa bertukar posisi dengan kita.”

“Bertukar posisi, bagaimana maksudmu kawan?”

“Selama ini, kita memiliki posisi yang dilihat sebagai posisi di atas mereka. Mereka menganggap kita sebagai guru. Dan kita dipandang selalu benar, tak pernah keliru. Itu yang menjadi anggapan anak-anak. Karena kita di sini mengajarkan sesuatu kepada mereka. Sebenarnya, apa yang tampak tadi tidaklah mutlak seperti posisi atas atau posisi bawah. Sebagai pengajar, bisa saja posisi kita tidak di atas, melainkan duduk di bawah. Dengan demikian, anak-anak mendapat posisi di atas kita. Aku rasakan bahwa sesungguhnya, aku pun banyak belajar dari mereka.”

“Hmm, aku merasakan hal itu juga, San. Aku mendapatkan banyak pelajaran berharga dari anak-anak. Mereka selama ini tidak menyadari hal itu, bahwa mereka juga guru kita.”

Percakapan antar sahabat itu pun terhenti sesaat, kendati pikiran mereka masing-masing masih terus bergulat dengan perbincangan bersama diri sendiri. Kini, Tulis San, yang dikenal memiliki kecakapan menciptakan karya seni, mulai memikirkan mengenai jiwa yang selama ini menggugah kebahagiaan dirinya itu.

Otaknya berdenyut-denyut, memicu kesadaran tubuh yang hidup dalam sebuah kenyataan dunia––sarat dengan kepenuhan bermilyaran fakta peristiwa. Rangkaian peristiwa yang tak terlepas dalam simpul-simpul kehidupan, bahkan senantiasa berhubungan dengan manusia maupun jagat raya beserta isinya. Namun, apa yang dilihatnya secara nyata, bahkan super nyata itu, kini, tak ubahnya bagaikan imajinasi surealistik. Imaji yang selama ini hanya ia dapatkan––dan dibayangkan dalam kondisi soliternya––yakni, tatkala ia berdialog dengan anak jiwanya.

Apa yang hadir dalam dunia imaji, kini sudah benar-benar merasuk dalam dunia nyata. Jika pada masa silam, seluruh pengamatan atas fenomena nyata ditiru dalam dunia imajinasi––dikreasikan secara intuitif, dan dalam erangan kesakitan melahirkan sebuah anak jiwa. Maka yang sebaliknya pun kini tengah terjadi, baik atas kesadaran maupun ketidaksadaran.

Saat kesadaran diri Tulis San menghampiri tubuhnya––di mana ia terpicu mengamati lebih mendalam atas kenyataan yang ada di sekitarnya––secara bersimultan pula ia menggugat dirinya sendiri. Segalanya sudah menjadi terbalik-balik. Apakah ini yang dinamakan zaman edan, wolak-walik ing zaman? Kini, Seni sudah terbalik, menjadi Ines. Pendidikan Seni, telah dibalik, jadi Pendidikan Ines. Festival Seni, menjadi kebalik, jadi Festival Ines. Ya, sekarang yang ada bukanlah Seni, hanya Ines. Seperti Ria Enes (dan Susan), yang menyanyikan lagu:

Susan susan susan Besok gede mau jadi apa Aku kepingin pinter Biar jadi dokter

Kalau kalau benar Jadi dokter kamu mau apa Mau suntik orang lewat Jus jus jus

Page 17: literISI vol 1

Ria : Lho kalau nggak sakit kenapa disuntik? Susan : Biar obatnya laku

Susan susan susan Cita-citamu apa lagi Aku kepingin jujur Biar jadi insinyur

Kalau kalau benar Jadi insinyur mau apa Mau bangun gedung bertingkat Jadi kon melorot oh Konme kon melarat Konglomerat

Pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan. Serangkaian tanya yang tumbuh bagai jamur di musim hujan, yang memohon dirinya untuk segera disentuh, agar tak jadi parasit yang menggerogoti sumsum otaknya. Setiap langkah perjalanan hidup dan pengembaraan kekaryaannya, dijenguk ulang: ia hampiri untuk bertamu, singgah bersilaturahmi.

***

Sementara itu, beberapa mil dari mereka, tersebutlah Nyuwabedhi––sebuah rimba belantara, di mana hukum alam telah berubah menjadi hukum ala manusia. Penguasa rimba Nyuwabedhi bukanlah seekor singa raja hutan, melainkan sosok siluman burung hantu yang memerintah para satwa dengan penuh arogansi kekuasaan.

Sebelumnya, burung hantu di Nyuwabedhi dianggap sebagai hewan yang bijaksana, sebagai penasehat raja rimba dalam memerintah berdasarkan hukum alam. Tapi, semua itu kini sudah berubah lebih buruk, ketika seorang manusia tamak memasuki rimba belantara ini.

Lelaki yang merasa dirinya pendek dan tidak ganteng itu––yang haus akan kekuasaan––mencari kekuatan gaib yang beraliran menolak hukum alam. Saat itu ia sedang mengincar sebuah kedudukan tertinggi––yang memang menjadi ambisinya sejak lama––dalam profesinya sebagai seorang pejabat perguruan tinggi, yang sesungguhnya belum tinggi-tinggi amat; alih-alih setinggi pencakar langit.

Dalam perjalanannya memasuki rimba belantara Nyuwabedhi, ia dahaga, kelaparan, dan kelelahan. Bekal yang dibawanya sudah habis, tak mencukupi dirinya. Ia juga tidak memiliki kemampuan bertahan hidup di rimba Nyuwabedhi, seperti mencari sumber air dari tanaman, yang sebenarnya mampu menyelamatkannya. Akhirnya, lelaki pendek itu hanya duduk kelelahan di bawah pohon oak tua yang sangat besar. Ia sudah putus asa dan hanya berdiam diri.

Burung hantu itu tetap bergeming, ia masih bertenggeng pada ranting pohon yang kokoh. Matanya menyipit, dan melirik ke bawah, melihat lelaki yang marah-marah sendiri itu. Burung hantu itu hanya bergumam dalam hati. “Jelas-jelas aku ini burung hantu, kok dibilang asu...? Kamu yang sedang sial, kok malah mengatakan aku yang sial. Huh, dasar manusia.”

Namun emosi amarah memang bisa di luar dugaan. Dengan tenaga lelah yang tersisa, lelaki itu masih sempat mengambil batu seukuran genggaman tangannya. Ia melemparkan batu itu sekuat tenaga. Ternyata nafsu amarah telah menimbulkan tenaga yang tidak terduga, akhirnya... SSLAAAAAKKKKGHHH!

Lemparan batu itu bagaikan meteor melesat ke atas. Batu itu tepat menimpa kepala burung hantu itu. Sungguh naas nasibnya. Seketika itu, burung hantu terhempas, jatuh ke tanah... Bluukk! Kini, burung hantu itu terkapar mati, kepala pecah penuh darah.

Page 18: literISI vol 1
Page 19: literISI vol 1

“Hahahahaha...! Rasakan, itu akibatnya kalau sudah berani tidak sopan.”

Lelaki itu mendekati burung hantu yang sudah mati. Dengan ganasnya, lelaki yang sudah kelelahan––karena dahaga dan lapar itu mengoyak tubuh burung hantu malang itu. Bertubi-tubi ia menggigit-gigit, menghisap darah burung hantu, dan memakannya mentah-mentah demi dirinya sendiri, agar bertahan hidup di dalam rimba Nyuwabedhi.

Beberapa burung pemakan bangkai pun mulai beterbangan menyaksikan keganasan manusia rakus itu. Burung-burung liar itu ingin mendekat, namun urung dilakukan. Insting burung-burung yang tajam itu seolah-olah memberikan tanda untuk lebih baik menjauh. Burung-burung pemakan bangkai itu pun terbang menjauh, pergi diliputi ketakutan.

Sejurus kemudian, tiba-tiba muncul kabut yang entah dari mana datangnya. Sosok bayangan hitam kelam––bergestur mirip lelaki––itu muncul di hadapan si lelaki pendek. Bayangan hitam itu memiliki bentuk yang hampir serupa dengan lelaki yang memangsa burung hantu mati, hanya saja seluruh wujudnya berupa zat berwarna hitam kelam. Bayangan hitam berangsur-angsur membesarkan dimensi dirinya. Lelaki itu sebenarnya merasa ketakutan. Akan tetapi, kesombongan dalam dirinya membuat ia tetap berani. Bahkan ia menantang bayangan hitam tersebut.

“Hei, bayangan hitam. Pergi! Enyahlah kau! Mau menakut-takuti aku, hahahaha! Jangankan kamu, bahkan Dewa siapapun aku tak takut, apalagi hanya bayangan hitam sepertimu!”

“Hahahahahahaha! Aku senang mendengarkan itu. Ketahuilah, sesungguhnya aku adalah bagian dari dirimu. Kita adalah sama, hahahaha!” Suara menggelegar bercampur distorsi desisan itu muncul dari bayangan hitam.

“Hahaha, kalau begitu, baguslah! Jika kita adalah sama, pasti kamu mengetahui tujuanku memasuki hutan ini.”

“Hahahahahahaha! Tentu, tentu saja aku mengetahuinya. Apa yang ada di celah kecil otakmu pun aku tahu. Apalagi tujuanmu itu adalah bagian tak terpisahkan dari bayangan gelapku. Karena keinginanmu itu memang hadir dari aku, maka kita tak perlu ragu. Dan pasti, keinginan akan kekuasaan, penuh dengan kekuatan, siap kujelmakan dalam dirimu. Hahahahaha!”“Tapi, aku tak ingin terlihat buruk!”

“Hahahahahahaha! Tentu, aku sudah tahu itu. Tenang saja. Burung hantu itu dianggap simbol kebijakan dan ilmu. Baguslah, kau sudah membunuhnya. Ia akan memberikan citra baik yang menyelimuti diriku, Sang Bayangan Hitam, Hahahahaha!”

Kemudian bayangan hitam itu pun berputar-putar, semakin lama putarannya semakin cepat bagaikan pusaran angin. Putaran bayangan hitam berkebat semakin cepat dan sangat cepat mengitari, lalu menyelubungi lelaki itu. Daun-daun yang terkena kibasan bayangan menjadi kering kerontang dan mulai rontok berguguran. Saat mengetahui kemunculan awal bayangan hitam tadi, para satwa lain sudah lebih dulu berlari pergi menjauhi lokasi. Mayat burung hantu tergerus dalam arus pusaran bayangan hitam. Tubuh lelaki pendek dan mayat burung hantu diitari oleh bayangan hitam yang berputar terus-menerus menyelubungi. Terus dan terus berputar, dalam pusaran hitam kelam dan mulai menutupi sosok lelaki dan mayat burung hantu. Lantas, bayangan hitam itu menyelinap memasuki tubuh lelaki yang baru saja memangsa burung hantu dengan ganas tadi. Terdengar suara erangan menjijikkan dari mulutnya.

Setelah itu, sosok lelaki itu pun berubah wujud. Tiba-tiba ia sudah menjelma menjadi sejenis siluman, perpaduan antara burung hantu dan manusia. Kini, ia menjadi siluman burung hantu yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, sesuai dengan apa yang diinginkannya. Ia bangkit dengan kandungan hawa kesombongan. Ekspresinya sangat sukar terlukiskan. Sekaliber apapun ahli tata rias––spesial efek wajah monster terburuk––dalam film-film horor Holywood manapun pasti susah meniru ekspresi kemenangan sang pemimpin baru itu.

Page 20: literISI vol 1

“Hahahahahahaha! Kini, akulah penguasa rimba Nyuwabedhi, rimba tertua, terbesar di jagat alam ini. Semua harus tunduk pada kekuasaanku, hahahaha!” Siluman burung hantu itu tertawa mengelegar, seluruh satwa di dalam hutan dirundung ketakutan, termasuk singa raja rimba.

Siluman burung hantu pun berhasrat untuk pidato. Ia mengadakan sidang penat terbuka––sebuah sidang pertemuan yang penuh kepenatan di rimba yang terbuka. Ia tidak mau tahu, seluruh penghuni rimba harus datang berkumpul untuk menyongsong pidato kepemimpinannya yang baru dimulai. Baik serangga kecil seperti kutu, semut, undur-undur, sampai hewan-hewan besar, seperti harimau, singa, kuda nil, gajah, badak, semuanya wajib datang menemuinya, tanpa kecuali.

Tak peduli apakah hewan-hewan itu sedang tidur, sedang melata, sedang bertelur, sedang bekerja, sedang kawin, semua mesti segera ditinggalkan untuk menyambut rezim baru Siluman Burung Hantu. Setelah semua hewan berkumpul, siluman burung hantu pun mulai berpidato sambil bertengger di atas pohon besar nan tinggi.

“Hahahahahahaha! Para rakyat satwa penghuni Nyuwabedhi, aku hendak memutuskan bahwa kini akulah pemimpin baru kalian,” lalu Siluman Burung Hantu itu menunjuk singa, si raja hutan, yang ada di bawahnya.

“Kamu! hewan gondrong berkumis semrawut, kini kamu bukan lagi raja di sini. Secara resmi kamu kuputuskan untuk pensiun dini. Semuanya saja, tanpa kecuali, harus patuh terhadap keputusanku. Apa yang kukatakan pada kalian semua, adalah sabda yang tidak boleh kalian pertanyakan, apalagi kalian lawan. Jika ada di antara kalian yang berani menentang sabdaku, maka hukuman mati adalah sangsi yang mesti kalian tanggung. Dan, aku sama sekali tidak akan pernah ragu-ragu untuk menghukum mati kalian. Hal itu tentunya kulakukan, oleh karena kebijaksanaanku sebagai pemimpin kalian, demi terciptanya stabilitas rimba yang lebih maju dan terakreditasi. Bukankah sebagai burung hantu, aku memang layak sebagai simbol kebijaksanaan? Hahahahaha!”

Singa, raja hutan, merasa tersinggung, ia tidak terima, apa yang disampaikan Siluman Burung Hantu terdengar seenak perutnya sendiri. Singa itu pun mengatakan sesuatu.“Wahai, Siluman Burung Hantu, engkau mengatakan bahwa kau adalah pemimpin baru kami. Bagaimana bisa hal itu kau nyatakan terang-terangan, sementara engkau tak sedikit pun menanyai pendapat kami.

Aku yakin, tidak semua kawan-kawan satwa di sini menyetujuinya. Dulu, aku terpilih sebagai raja rimba, karena kawan-kawan, semua satwa di rimba ini, memilihku. Dan aku tak sewenang-wenang menjalankan kepercayaan yang telah diberikan kepadaku untuk memimpin mereka. Maka, aku pun selalu memohon kepada burung hantu bijak untuk menjadi penasehatku. Tapi, kini penasehatku yang terbaik itu telah kau bunuh dengan penuh kebrutalan.”

“Hahahahahahaha! Dasar hewan gondrong tak pernah mandi! Tentu kau sudah mendengar apa yang kukatakan tadi, jika kau tidak terima atas keputusanku, rasakan ini....!”

Siluman Burung Hantu itu langsung melesat terbang mendekati singa. Sangat cepat siluman itu menyoblos kedua mata singa. Craaak...craat...! Craaak...craat...croot!

Setelah itu, siluman kembali terbang, dan bertenggeng di hadapan para satwa. Semuanya bergeming, karena kaget atas keberingasan pemimpin baru mereka. Sementara, singa itu mengerang-erang kesakitan, darah mengalir dari lubang kedua matanya.

“Kali ini, kuputuskan tidak membunuhmu. Beruntunglah kamu, singa gondrong tak urus! Aku biarkan kamu tetap hidup, karena aku masih memerlukan tenagamu, untuk melangsungkan ambisiku, hahaha! Lihatlah itu! Sebagai peringatan bagi kalian satwa-satwa lain, jika ada yang ikut-ikutan mempertanyakan keputusanku, maka nasib kalian akan seperti kawan kalian yang gondrong itu! Hahahahahahaha!”

Page 21: literISI vol 1

Hewan-hewan lain merinding ketakutan. Mereka tak kuasa untuk berbuat apa-apa. Semua ketakutan. Mereka takut mengalami nasib serupa dengan singa. Keselamatan hidup bagi mereka adalah hal yang utama, ya hidup dengan aman dan tetap bisa makan. Mereka harus mematuhi apa yang diperintahkan pemimpin baru mereka, Siluman Burung Hantu––mau tak mau, harus mau tunduk patuh tanpa perlawanan.

“Kalian semua sudah melihatnya, bukan? Menentang atau melawan sabdaku akan berakibat seperti singa lemah itu. Tak perlulah kalian banyak bertanya. Pemerintahan yang akan kujalankan nanti akan lebih baik dari kepemimpinan hewan gondrong itu. Jika sebelum ini kalian terlalu mengagung-agungkan hukum alam, kini, hukum manusia akan menjadi tuntunan hidup kalian. Tentu saja, agar kalian lebih maju. Semua yang kulakukan dalam kepemimpinanku, Siluman Burung Hantu, akan senantiasa menjadi kebijakan yang dipimpin oleh nikmat kehidupan dalam permusnahan dan petakhilan. Hahahahahahaha!”

Akhirnya, hari demi hari berjalan penuh dengan ketertekanan di Nyuwabedhi. Beberapa hewan yang merasa sangat tertekan, namun tidak memiliki kekuasaan melawan, memilih untuk bunuh diri. Mereka yang jadi apatis dan putus asa pun menjatuhkan diri ke dalam jurang. Namun, hampir sebagian besar di antara hewan-hewan itu, akhirnya merasa terbiasa dengan pola kepemimpinan Siluman Burung Hantu. Bahkan, banyak di antara mereka yang menjadi tangan-tangan kanan, perpanjangan tangan atas arogansi kekuasaan Siluman Burung Hantu.

Citra buruk kandungan rezim kepemimpinan Siluman Burung Hantu pun mengenakan topeng citra baik. Semua hal yang sudah diselewengkan, secara tidak sadar sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Apa yang dilakukan terus-menerus sepanjang kehidupan mereka di dalam rimba, telah menjadi rutinitas yang melekat dalam tubuh masing-masing, tak pernah mereka mempertanyakan apa yang sudah menjadi kebiasaan itu. Semua tampak baik, nyaman, dan waras. Jika ada yang mempertanyakan, apalagi mempermasalahkan, akan dianggap buruk dan gila.

Sistem pemerintahan Siluman Burung Hantu pun telah dirancang sedemikian rupa ala strategi Pangkostrat (Panglima Komando Strategi Prektorat). Celah-celah sempit maupun ruang dibentuk sedemikian rapat, tentunya melalui agenda rimba yang padat penuh beban demi pencitraan baik, agar tidak ada celah untuk kasak-kusuk. Tapi, semuanya dikemas selayaknya ruang ber-AC, agar mereka nyaman. Terlebih supaya mereka jangan pernah sampai mempertanyakan berbagai hal yang dijalankan sepanjang hari. Bertanya saja dilarang, apalagi mengritik.

Kini, semuanya sudah menjadi pola kehidupan yang stabil. Konsep sudah menjadi sebuah kepastian hidup, di mana tak perlu lagi dipersoalkan. Karena mereka sudah merasa terbiasa, dulu-dulu atau kemarin-kemarin kehidupan juga sudah berjalan itu, seperti sekarang, dan semua seolah-olah sudah merasa nyaman. Sejak awal memerintah, Siluman Burung Hantu sengaja memberikan doktrin, bahwa hidup mesti jauh dari filsafat. Ia menyelewengkan ajaran bahwa filsafat adalah musuh kehidupan, yang membuat para satwa tidak bisa maju. Ia lebih menekankan nilai ekonomis.

“Ingatlah, kalian para satwa jelata, haram hukumnya kalian berpikir filosofis. Lihatlah kawan kalian yang menjadi gila dan akhirnya bunuh diri, itu semua lantaran filsafat. Hukum manusia tidak memerlukan kandungan filsafat. Rimba Nyuwabedhi kini sudah menjadi terkenal, rimba kita adalah rimba tertua, terbesar, dan terbaik di jagat alam ini. Bahkan hewan terbesar dan terkenal lahir dari rimba ini. Hahahahahahaha!”

Tak lupa, lagu kebesaran rimba Nyuwabedhi, sejenis lagu hymne pun diubah menjadi versi lirik terbaru. Di bawah kekuasaannya pun, para satwa diperintahkan untuk bersama-sama menyanyikannya..

“Kembangkan daya kita berereksi

Tuntut nilaimu dan mari sok kaya

Page 22: literISI vol 1

Berkongsi di bawah prektor saraf-mati

Bina insan seni ekonomis

Tampil dalam citra baik, junjung buaya bangsat

Tak sadar nanggung menjawab sarjana seni siap kerja”

***

Pak Jangkis pun terdiam sejenak, ceritanya belum tuntas diselesaikan. Ia merundukkan kepalanya, sapunya terlepas dari genggaman tangannya, jatuh ke lantai. Dan kulihat ia menitikkan air matanya. Aku pun bertanya kepada Pak Jangkis, kenapa ia menangis. Ia hanya diam saja, bergeming dan kepalanya semakin merunduk menyelinap di sela-sela dengkul paha kurusnya. Kurendahkan kepalaku untuk melihat wajahnya.

Sialan! Ternyata ia mendengkur. Rupa-rupanya ia hanya tertidur, dan air mata itu––yang semula kukira tangisan untuk hikayat 151––tak lain hanyalah efek menguap dari rasa kantuknya. Pak Jangkis kubiarkan saja. Biarlah ia istirahat tertidur di parkiran. Karena sopir itu juga sudah datang, aku pun siap pergi meninggalkannya untuk pulang. Tombol alarm mobil, tit...tittt!

“Kita pulang sekarang, Prof?”

“Kan sudah berulang kali saya bilang: cukup panggil nama, jangan panggil saya dengan sebutan 'Prof'”.

“Hehe, siyap, Prof..., eh, maaf...kebiasaan lama, susah hilang, hehehe.”

“Kita mampir ke Toko Buku Windusabrang dulu, saya mau ketemu Supri, seniman kondang, kawan lama saya di sana.”

“Siyap, hehe.”

Lalu bung sopir segera membukakan pintu belakang mobil untukku. Aku masuk ke dalam mobil sedan hitam berplat AB 151 SW––yang sudah mengantarkanku ke sana-sini selama 151 hari masa kerjaku yang baru. Kuambil kretek dari celana jeans-ku.

“Bung, matikan AC-nya ya.”

“Hehe, siyap, Prof. Aduh, maaf... kebiasaan lagi, hehe.”

“Sekali lagi kebiasaanmu diulangi lagi, kamu saya jadikan kaprodi lho, hahaha.”

“Hahaha, ampun, mending saya bertani saja.”

Sopir mematikan AC dan membuka jendela kaca mobil. Kubakar kretekku, menghisapnya sambil melanjutkan membaca buku Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer yang tadi pagi belum sempat kuselesaikan. Baru saja aku baca sampai halaman 151 baris ke-21: “Suamimu orang jujur dan aku koruptor. Anak-anakmu pun tiada berbapa koruptor yang namanya dikenal oleh tiap orang karena siaran surat kabar.” Seketika itu pula nada pesan masuk telepon selulerku berbunyi, dan aku baca isi SMS: “Laporan Rahasia Investigasi Pencurian dan Korupsi sejak dari perpindahan kampus lama, sudah siap di meja bapak. Dari SDM (Syarikat Dies Mortalis).”

Meski agak susah tersenyum karena sambil menghembuskan asap kretek, tapi aku bisa merasakan kelegaan yang selama puluhan tahun ini aku tunggu-tunggu. Kesesakan di dada selama bertahun-tahun itupun kini seolah-olah melesat sirna, seperti mobil sedan hitam yang sudah melesat jauh meninggalkan kampus, menuju Toko Buku Windusabrang di kaki Gunung Merapi sana. Persis pada saat itulah, aku pun terbangun dari alam mimpiku, tepat pukul 1:51 WIB. Aku buka surel-ku. Dan melalui surel wayang monyong, kukirimkan naskah cerita yang belum tuntas ini padamu.

Sewon, 20 April 2016

Andre Tanama

Page 23: literISI vol 1
Page 24: literISI vol 1
Page 25: literISI vol 1

“KAPASITAS ”

I

Ruang Angan Selatan

Kampus tempatku bermain sedang (masih) ribut soal rektor, bahkan sebuah undangan menulis tentang angan-angan menjadi rektor telah dikabarkan burung ghaib padaku secara dramatis lewat sela—sela etalase kegelisahan. Kemudian lagu Andai ku Gayus Tambunan yang dinyanyikan Bona Paputunganpun secara ajaib terdengar samar di telinga. Aku jadi teringat Supri, kangen. Seperti ada panggilan juga untuk mewawancarai orang macam Supri sebagai sumber tulisanku. Gaya bicaranya yang misterius cenderung ngawur dan sifatnya yang sering menghabiskan waktu untuk berangan-angan rasanya pas banget!

Bagi yang tak pernah ngobrol satu meja dengannya, pasti akan mengira bahwa sosok laki-laki bertopeng dengan rambut setengah gondrong yang dikuncir itu adalah orang gila! Namun, bagiku yang tahu aktifitasnya sehari-hari tidak akan menyebutnya gila. Dia hanya tukang ngimpi, enggak bisa memisahkan kehidupan maya dan nyatanya. Ngomongnya memang ceplas-ceplos bahkan tidak ada unsur sopan-santunnya, namun meskipun begitu dia sering pandai dalam hal menularkan lawan bicaranya satu penyakit! yakni tentang mimpi. Ya, si tukang mimpi tanpa proses tidur itu kawanku, si Supri yang belum lama ini ia mengaku telah membangun sebuah kampus alternatif bernama Institut Supri Indonesia. Rektornya pun Supri sendiri. Ah, aku tiba-tiba ingin meneliti kampus yang katanya dibangun Supri seorang diri.

Aku lebih suka menyebutnya abnormal atau abnorma? Karena istilah GILA masih sebuah dugaan yang dangkal dan malah terkesan lebay. Ah, sial! Aku berandai-andai hari ini ketemu Sang Rektor Supri, rupanya aku sudah tertular penyakit mimpinya. Sudah sangat lama sekali aku tak bertemu Supri. Seingatku, sejak pidato gilanya di sebuah pameran bulan kemarin aku tak melihat batang topengnya.

Kedekatanku dengan Supri hanya aku yang tahu, entah Supri meng-iyakan atau tidak. Sosok ajaib abnormal ini tidak bisa ditebak, baik keberadaannya maupun cara berfikirnya. Harus segera ketemu! Pikirku. Berbekal kertas dan pulpen serta sebungkus rokok kretek kesukaannya, aku mendatangi rumah Supri di Ruang Angan Selatan.

II

Persimpangan Peristiwa

Di perjalanan menuju selatan, aku berhenti mengisi bahan bakar kendaraanku di sebuah warung kecil tepi jalan. Dari kejauhan di persimpangan warung, beberapa orang tengah berkumpul di meja bundar kecil penuh cangkir kopi. Jalanan sepi, hingga terdengar mereka sedang diskusi. Aku mulai berkendara ke seberang, tawa menggelegar di bundaran meja kecil yang ternyata dilingkari lima orang itu. Ketika aku hampir sampai, seorang tua berjenggot menyapaku dan menyuruhku bergabung dengan mereka. Aku mempercepat kendaraanku dan membaurlah kemudian.

Tidak hanya bau kopi dan tembakau yang menyambut penciumanku setelah sambutan kelima orang itu. Namun bahan bakar dan alkohol juga bergegas menusuk-nusuk hidung.

“Kemarilah pemuda, hendak kemana tujuanmu?” patua berjenggot yang kemudian kuketahui

Page 26: literISI vol 1

hanya mengenakan celana dalam itu berteriak menanyakan tujuanku. Dengan kikuk aku menyebut alamat Supri; “Ruang Angan Selatan, pak.”

“Untuk keperluan apa kau ke tempat itu? Kau mengenal pemiliknya?” kali ini pemuda gimbal yang menyahut. “Bukankah itu tempat .......... ?” Pertanyaan lirih menggantung terdengar dari samping pemuda gimbal. Aku mengangguk sebagai jawaban sekaligus. “Pemiliknya sudah lama menghilang, tak ada yang mau berangan-angan di ruangnya. Kenyataannya, Ruang Angan Selatan memang tetaplah sebuah Ruang Angan. Hahahaha..” tawa kembali menggelegar karena hampir semua ikut serta. Kecuali aku, yang justru menangkap bunyi klakson sebuah mobil yang menuju ke arah kami dengan cepat. Pengemudi mobil itu berteriak diantara klakson yang ia tekan, berusaha memberitahu kami untuk segera minggir lantaran mobil itu hilang kendali. Sepersekian detik kesadaranku, mampir dengan nyaring ke gendang telingaku suara hantaman. DYAARRRR!! Kuulangi, mobil itu hilang kendali.

III

Empat Pintu Utama

Beruntung, kelima orang aneh itu masih bisa bangun dan mengangkat wajah seiring kesadaranku kembali. Puing-puing meja dan kap mobil berserakan diantara kami. Patua berjenggot menghampiriku dengan luka perih, lalu mengajakku berjalan tertatih. Sementara empat tua yang lain masih berusaha tertatih pula meninggalkan peristiwa.

Patua berjenggot berbisik; “Tenang, polisi tak akan datang. Disini memang seperti itu. Oh ya, Kau bilang mau ke Ruang Angan Selatan, bukan? Sebentar lagi kita sampai.” Katanya pelan ketika kami menyusuri sebuah gang. Aku masih merasakan perih dan loyo di sekujur tubuhku sisa peristiwa beberapa saat yang lalu. Namun aku berusaha menyembunyikannya hingga kami berdua telah memasuki sebuah gerbang bertuliskan Ruang Angan Selatan.

“Aku hantar sampai disini saja, aku harus menolong teman-temanku tadi. Semoga bertemu Supri. Sampaikan salamku padanya, katakan saja dari si Jenggot Tua.” Aku hanya mengangguk, kemudian melihatnya pergi hingga menghilang ditelan belokan. Di gang menuju rumah Supri, aku berharap Supri benar-benar bisa kutemui.

Tak disangka Supri sudah berdiri di depan teras sambil mengacungkan jarinya ke arah wajahku. Menghapus dugaan hilangnya Supri. Bahkan dia masih bertopeng entah untuk alasan apa. Dengan sisa keheranan aku tak ingin ragu menyalami Supri ketika jarak kami hanya terpaut enam belas centimeter. Tiba-tiba Supri berbisik ke telingaku;

“Soal peristiwa dan keperluanmu, hanya ada sekurangnya empat point yang harus dimiliki dan diamalkan.” Aku terlonjak. Bahkan aku belum memberitahukan hal apapun padanya. “Ngerti karepe, gelem kerjane, diterimo koncone ugo okeh bolone” lanjut Supri sambil menyuruhku duduk dan tanpa ditawari atau dikomando, tangan jahilnya mengambil kretek dari saku bajuku –yang memang sudah kusiapkan untuknya.

“Sik, Pri. Pelan –pelan. Maksudmu, kamu tahu keperluanku? Aku kan belum menyampaikan maksud dan kedatanganku kemari?” pertanyaanku membuatnya cekikikan. Tidak sopan.

“Aku sudah tahu. Tak perlu banyak basa-basi, jadi basi tenan malahan.” Jawab Supri sekenanya. Kemudia ia melanjutkan ..

Page 27: literISI vol 1

“Point pertama tentang pengertian mau 'ngapain'. Ndak perlu pusing mikirin kemauan orang

lain kalau kemauan kita sendiri masih belum terdefinisi. Itu penting karena dari situlah tindakan

akan berlaku tanpa sia-sia. Kedua; soal 'lelaku'. Hukum ini berlaku kalau point pertama sudah nemu.

Ketiga; bab penerimaan orang atas kapasitas kita sendiri. Dan yang terakhir, tentu jaringan

perkawanan. Perkawanan lho, bukan perkawinan!”

Dijelaskan seperti itu aku hanya manggut-manggut, bahasanya tidak ribet tapi lumayan

memusingkan. Rupanya Supri tahu kepusinganku. Aku tahu Supri menunggu pertanyaanku. Namun

ia segera mengangkat keempat jarinya sambil berdesis; “Empat.”

“Apakah itu yang kamu terapkan di ISI?”

Tak jadi menyulut kreteknya, Supri malah segara mengangkat tubuh dan mengajakku

memasuki pintu rumah. “Ayo masuk.” Ajaknya. Aku hanya mengekor, Supri membuka pintunya

dengan hati-hati. “Andai, kenyataan menerapkan empat kapasitas sebagai pintu utama. Lihatlah,

pintu pertama ini ialah tentang keinginanmu. Istana yang kubangun dalam maya kemanjakan sesuai

apa yang kuinginkan. Agar aku tahu apa yang sebenarnya aku mau lakukan.” Aku tak begitu

mendengar penjelasan Supri. Aku justru terpaku melihat ruangan makrokosmos di pintu utama.

Gejolak hati membuahkan hasrat yang begitu saja hadir terealisasi tanpa tedeng-aling-aling. Bebas,

ada ruang-ruang yang tak kumengerti. Semua isi otak Supri ada di ruangan ini! Kemudian aku dibawa

masuk ke pintu kedua. Dimana segala tingkah laku Supri juga terekam apik dan liar. Sedang pintu

ketiga berisi semua orang yang bertopeng mata. Bekerja keras membangun ruangan Supri secara

terkendali. Tak ada gurat rasa terpaksa, semua bergembira, merelakan seluruh tenaga dan ide untuk

membangun imajinasi Supri.

“Apakah, kamu paham?” tanya Supri tiba-tiba.

Aku menggeleng, bukan tidak paham. Namun justru yang terbayang adalah sebuah

kemungkinan untuk membangun diriku sendiri, ruangku sendiri. “Sebenarnya, aku tak peduli kamu

paham atau tidak. Hahaha” ceplos Supri melihat wajah datarku.

“Selamat datang di pintu terakhir.” Supri membuka gerbang kecil bertuliskan 'konco lawas'.

Sinar putih mengintip di sela-sela gerbang, silau. Tangan kananku reflek melindungi mata di atas

pelipis. Saraswati tersenyum menyambut ditemani angsa dan musik melambai merdu. Wanita

anggun itu menyanyikan bait-bait; “Tak peduli darimana dirimu, aku menyambut dan bersedia

hinggap dalam ruang kosongmu. Aku adalah seni yang selama ini menjadi perdebatan individu

mahluk. Akulah seni yang digunakan sebagai topeng orang-orang tak berfikir. Aku pula kehidupan

yang dimatikan karena manipulasi jiwa.”

IV

Andai

“Wah..wah.. kalau mabok jangan nyetir dong bung!” Mataku menangkap debu, telingaku

mendengar tanda seru, hidungku masih mencium alkohol, kaki dan tanganku meraba tanah,

tubuhku terkejut-kejut ditimpa puing botol alkohol. Namun hatiku, berdesir seiring adu argumen

manusia disekelilingku. Otakku bekerja sangat lambat, kulihat mobil peyok dikelilingi banyak orang.

Patua berjenggot menyambut tanganku yang masih bergetar hebat. Sambil tersenyum, dia

mengangkat tubuhku. Memakaikanku topeng putih usang dan memberikan secarik kertas lusuh.

“Dari Supri.”

Page 28: literISI vol 1

“Bukan tentang menjadi dirimu secara murni. Namun menjadi orang lain yang kau peluk dalam

jiwamu. Menyelami setiap perasaan orang-orang yang menjerit dalam kebisuan. Andai kau telah

mengenal Supri sebagaimana imajinasimu tentangnya, bukalah jiwamu dan tutup wajahmu

sebagai wajah manusia-manusia yang berfikir. Rektor hanyalah jabatan nyata yang kadang

menepis kekayaan jiwamu. Buanglah nama itu jauh-jauh menjadi Supri yang menyelami nama-

nama mahasiswa. Menyatulah, bersama keresahan yang tiada akhir. Kelak, seluruh indramu

akan meng-indra-kan bayangan semu. Orang-orang yang kau temui, adalah identitas dan

kapasitas yang harus kau tabung. Teruslah resah dan jangan berhenti mencarinya.”

Aku tersenyum dalam kebingungan. Potongan wajah bertopeng atas nama pencitraan

menempel pada wajahku. Segera kurilis pintu pertama; menemukan keinginanku!

[Tamat

]

Alfin Rizal,

Djogjakarta 23 April 2016

Page 29: literISI vol 1

I WANT YOU

TO READ MORE!

K a m i n g s u n : l i t e r I S I # 2

Page 30: literISI vol 1

Di Dalam Tubuh Yang Sehat

Awalnya kukira menjadi pemimpin itu mudah. Punya kekusasaan, wewenang, bahkan

perintahnya pun bisa sekelas sabda Nabi. Mau tidak mau harus diindahkan. Dana juga sudah

disediakan, tinggal membelanjakan sesuai apa yang diimpikan. Entah sesuai dengan kebutuhan

atau tidak, tak jadi soal. Banyak argumen diplomatis nan kharismatik bisa jadi tipu daya mumpuni.

Selain fasiltas lengkap, tergolong mulia pula tugasnya, menjadi juru selamat atas kelompok atau

rakyatnya.

Setelah kupikir lagi, ternyata menjadi pemimpin itu tak mudah. Jika berhasil melaksanakan

janjinya atau memakmurkan rakyatnya, tak ada pengakuan spesial, kadang tak ada tambahan gaji,

kadang pula sejarah tak mencataat kiprahnya. Jika ketahuan busuknya, pasti jadi bulan-bulanan

dan sasaran peluru kritik rakyatnya. Ironisnya lagi jika yang dipimpin sudah ndak kompak. Tapi itu

masih bisa masuk sebagai persoalan kacangan, sering terjadi dimanapun. Bencana berat bagi

pemimpin adalah kehilangan kepercayaan dan cinta rakyatnya. Dia harus terasing, memimpin

tanah kosong tanpa jiwa, bertengkar dengan imajinasinya sendiri, terkadang juga teggelam dalam

penyesalan. Jika kondisinya suda seperti itu, dengan atau tanpa gaji sudah tak ada bedanya.

Dilupakan... lalu mati perlahan...

Pemimpin......

Bukankan setiap orang adalah pemimpin? Setelah terlanjur lahir, harus memimpin

tubuhnya untuk merangkak berjalan. Memimpin kebodohannya, memimpin kesombongannya,

memimpin ego nya, memimpin dirinya mendapati masa depan yang lebih baik. Lalu bagaimana jika

kita kehilangan cinta pada tubuhnya sendiri? Tangan tak mau diperintah. Kaki enggan berjalan.

Perut tak mau kenyang. Pikiran takut menembus kemungkinan-kemungkinan. Hati terkurung

keputus –asaan. Nurani mendadak rabun bahkan buta. Bukankah ini juga disebut kematian???

Mau jadi Presiden, mentri, lurah, rektor, ketua kelas, atau menjadi tuan atas tubuh sendiri,

intinya sama saja. Terlalu naif jika berharap semua orang akan tunduk sukarela mengikuti visi misi

ku. Realitas begitu ceras dan kompleks, seringkali dia mempunyai pndapat yang berbeda. Bahkan

membantah otakku yang formalis tapi suka melukis abstrak ini. Orang lain selalu punya

kepentingan dan kebutuhan yang berbeda. Masih untung jika rakyat tahu visi dan misi ku. Atau

mereka kenal kepribadianku. Rasa empati dan percaya bisa saja menjadi fondasi gubug-gubug

cinta. Jika rakyat tak tahu negrinya mau dibawa kemana, jika jokowi tidak blusukan, jika Indonesia

tidak punya pancasila, masihkah ada rasa percaya?

Bahkan seringkali tangan pun tak setuju dengan visi misi otakku. Onani-lah sang pencipta di

hadapan kanvas perawannya.

Pemimpin......

Jika kehilangan huruf “N” saja, sudah terlempar jauh maknanya. Jadilah dia pangeran di

negri dongeng. Bisa berbuat sesukanya dan bisa dipastikan ceritanya berakhir bahagia. tugas

hidupnya hanya mencari putri salju yang butuh ciuman. Rakyatnya makmur, aman sentosa, juga

kaya negrinya. Tapi itu hanya dongeng, sedangkan pada realitasnya tidur itu tak boleh lama-lama.

Pemimpin.....

Jika tuhan mengirimku menjadi pemimpin di sebuah kampus seni....

Page 31: literISI vol 1

Tanganku haruslah rajin memrproduksi karya dan menerbitkan buku. Agar pencitraanku lancar, ada banyak tunjangan, perut kenyang, sepak terjangku pun terpampang di koran-koran. Tak ada yang bisa melupakanku. Tesis dan penemuanku pun harus kujadikan buku juga, biar semua orang tahu. Dengan begiitu kan aku kelihatan pintar. Karya ku juga tak boleh kalah dengan alumni, biar bisa jadi contoh kongkret bagi para mahasiswa.

Mataku harus tajam, bebas dari rabun. Jika perliu aku beli banyak kacamata biar bisa melihat sebuah masalah dengan jelas dan bijaksana. Mataku tak boleh hanya terpaku di tembok kotak kantor, karena disini aku hanya melihat pemandangan kabur di bawah menara keangkuhan. Mataku harus rajin membaca juga, mulai dari tulisan hingga keadaan, biar tak salah jalan. Jika perlu kubeli mata palsu, biar bisa melihat seluruh kampusku. Atau kupasang CCTV saja biar aku tahu siapa gerangan yang mencuri komputerku?

Perutku harus berani lapar. Agar mataku tak mengantuk kekenyangan ketika rapat berjalan. Biar tubuhku juga tak terlalu malas untuk mengunjungi pameran mahasiswakku. Perutku juga harus makan makanan yang baik biar sehat,. Tak apa lah jika harus minum jamu pahit ber merk “celoteh brotoseno”, yang penting pikiranku bisa sehat wal afiat, tanpa halangan suatu apapun.

Kaki ku harus cekatan, biar bisa menjangkau seluruh gedung yang perlu ku awasi. Karena tanaman pun rindu mendengar langkah petani. Kaki ku juga harus sering dippakai jalan-jalan, biar tak lupa mau mencetak manusia macam apa kampusku ini. Toh aku juga tak mau di-keledaikan jika aku hanya melakukan kesalahan yang berulang-ulang.

Telingaku tak boleh budeg. Biar bisa mendengar suara “si gadis kecil”. Biar bisa mendengar pesan-pesan cinta di luar jendela. Jika telingaku bermasalah kan kasihan itu anak musik, nampak jadi pantomim di hadapanku. Telingaku harus bisa membedakan antara puisi para penjilat dan hujatan cinta para pejuang. Yang ppaling penting, celakalah aku jika tak mampu mendengar jeritan abstrak bernama “nurani”

Akalku juga harus waras. Biar maslah keuarga tak terdengar oleh kampus lain, apalagi sampai sampai menghabiiskan tinta percetkan media massa. Sikap, itulah yang paling penting. Karena aku jendral garda depan.

Ah... itu hanya msalah menjaga kesehatan. Aku tak bisa muluk-muluk berhayal soal posisi. Banyak yang harus dilakukan selain menjaga kebugaran . Setidaknya ini kan kampus seni, wilayahnya inderawi. Pokoknya penghuninya tak boleh mati-rasa lah....

---Dermaga Senja---

Page 32: literISI vol 1
Page 33: literISI vol 1
Page 34: literISI vol 1
Page 35: literISI vol 1
Page 36: literISI vol 1