Lintas Timur Edisi I-2015 Bag. 2

50
www.sunspiritindonesia.com

description

Struktur kepemilikan tanah di Labuan Bajo Manggarai Barat menjadi persoalan yang serius belakangan ini. Sebagian pengamat menyebutnya sebagai bom waktu yang kapan saja bisa meluluhlantakkan solidaritas sosial dan budaya masyarakat setempat jika tidak dirunut-urai secara maksimal dan serius. Mengapa tidak, persoalan yang muncul ke permukaan beragam mulai dari semakin tidak terkontrolnya jual beli tanah karena pasar yang menggiurkan dan permainan kotor para calo baik lokal maupun asing, konflik para pemilik tanah dan pembeli, antara pembeli dengan pembeli, masyarakat dengan pemerintah sampai dengan kaburnya peran masyarakat adat. Mengurai akar soal struktur kepemilikan dan konflik tanah di Labuan Bajo bukan pekerjaan yang mudah. Tidak hanya banyak elemen masyarakat termasuknya di dalamnya pemerintah yang mesti dilibatkan dan mengurusinya secara serius, tetapi juga pada saat yang sama kita seperti diajak kembali ke masa lalu, untuk merekonstruksi sejarah status dan struktur kepemilikan tanah sejak era kedaluan.Lantaran itu Lintas Timur edisi kali ini mencoba untuk mengurai akar soal dengan focus pada salah satu problem utama konflik Tanah di Labuan Bajo yakni ‘Ketika Tanah Jadi Komoditas”. Pemetaan konflik ini tidak hanya untuk menunjukkan fakta keresahan, tetapi juga sekaligus sebagai ajakan bagi semua elemen baik pemerintah dan masyarakat pada umumnya dapat membangun-gandeng gerakan bersama, menemukan solusi yang tepat dalam proses penuntasannya. Bahwa perihal ini bukan problem sepele, tetapi berkaitan dengan identitas budaya dan hak-hak politis warga negara. Namun demikian, redaksi menyadari sungguh bahwa apa yang disajikan dalam halaman-halaman bulletin ini bukanlah ‘’ramuan siap saji’’ melainkan sebuah lineamenta, sekumpulan bahan mentah berupa fakta dan data yang dirangkum dari berbagai arah referensi. Semua fakta pernyataan yang dipaparkan merupakan dokumen penting (data) yang diharapkan dapat memberikan alternatif-alternatif baru dalam merancang-bangun solusi dan jalan keluar untuk seluruh elemen yang peduli, berkewajiban dan berkepentingan untuk perubahan yang berkelanjutan.Selamat membaca!

Transcript of Lintas Timur Edisi I-2015 Bag. 2

  • www.sunspiritindonesia.com

  • 40 Edisi I/2015

    B isnis tanah lewat jaringan media online, khususnya tanah-tanah di

    seputaran wilayah Labuan Bajo kian marak. Hasil penelusuran kami menemukan belasan media online yang di dalamnya menyertaan iklan/promosi jual beli tanah. Dengan harga kisaran: teren-dah $ 7.500 sampai yang paling tinggi di atas $ 300.000.

    Beberapa screenshoot yang kami tampil-kan di halaman ini adalah sebagian contoh kecil untuk menunjukkan perihal itu. Dan untuk mengetahui seberapa maraknya jual beli tanah di dunia maya, kita bisa mengunjungi beberapa situs berikut. Ko-modoproperty.com, realestateflores.com, labuanbajo.com, dan floreslandfor-sale.com.

    Menariknya, bahasa iklan yang ditawarkan bukan hanya menjual view atau keinda-han dan eksotisme darat dan laut Labuan Bajo dan sekitarnya. Tetapi suluk di da-lamnya adalah perihal hegemoni ek-sploitasi sumber daya berwajah investasi.

    Bahwa dengan kehadiran investor yang menanamkan investasinya di atas tanah dan air Labuan Bajo pembangunan bisa berkembang maksimal, kesejahteraan rakyat tercipta. Issue yang dimainkan pemodal dan diperkuat oleh penegasan

    pemerintah adalah masyarakat lokal dis-ertakan dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bertambah.

    Pertanyaan kita adalah apakah fakta peri-hal itu terjadi selama ini. Atau jangan-jangan sebaliknya, sumber daya alam (tanah dan air) dieksploitasi, ruang publik diserobot, penduduk lokal disingkirkan dan pemerintah daerah kita ditipu mentah-mentah.

    Lihat saja apa yang sudah terjadi dengan pesisir-pesisir pantai sepanjang barat, utara, dan selatan Labuan Bajo. Atau pu-lau-pulau yang bertebaran di ujung Barat

    Labuan Bajo. Siapakah pemilik dan pengelolanya. Apakah masyarakat lokal ataukah pemodal (investor).

    Faktanya adalah bahwa itu yang terjadi, oleh karenanya bukan mustahil cepat

    atau lambat, kita, warga Manggarai Barat akan lenyap dari peta pembangunan karena yang menjadi aktor di baliknya bukanlah kita, tetapi para Mafia yang di dalamnya bisa berwajah ganda elite-politik-ekonomi atau sebaliknya *)

    Iklan yang ditawarkan bukan hanya menjual

    view atau keindahan dan eksotisme darat dan laut

    Labuan Bajo dan seki-tarnya. Tetapi suluk di

    dalamnya adalah perihal eksploitasi sumber daya

    berwajah investasi

    Weblink Para Calo

    www.komodoproperty.com www.realestateflores.com www.labuanbajo.com www.floreslandforsale.com www.rumah123.com www.urbanindo.com www.olx.co.id www.jualrumahproperti.com www.jbproperti.com www.trovit.co.id www.rumah.mitula.co.id www.rumahdijual.com www.jualvilla.com www.jualo.com

    (dll)

    Saat ini 30 km pesisir Labuan Bajo sudah ber-pindah tangan ke inves-tor, Hanya Pantai Pede yang tersisa

    *) Team Riset

  • 41 Edisi I/2015

    Ada begitu banyak cara yang dilakukan para investor untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia. Benar bahwa tidak semua investasi itu buruk, tetapi fakta menunjukkan bahwa sebagi-an besar investasi yang dilakukan para pemodal berbanding terbalik dengan berbagai janji yang disampaikan. Berangkat dari fakta-fakta lapangan, kita seharusnya cukup cermat membaca dan memeriksa setiap adagium yang ditawar-kan para pemodal. Berikut adalah enam janji yang selalu disampaikan para inves-tor yang menjadi tugas kita untuk me-meriksanya secara bersama-sama. 1. Karena investasi memperkenalkan

    berbagai potensi daerah kepada dunia luar.

    2. Karena investasi dapat mening-katkan pengetahuan, sumber daya manusia

    3. Karena investasi membuka lapan-gan pekerjaan.

    4. Karena investasi mendukung pembangunan infranstruktur

    5. Karena investasi melibatkan masyarakat lokal dalam pem-bangunan, mulai dari perencaaan sampai implementasi

    6. Karena investasi dapat mening-katkan PAD (Pendapatan Asli Dae-rah) *)

    MENGAPA KITA MUDAH JATUH

    DALAM PELUKAN INVESTOR

    Pertanyaan kita adalah apakah fakta perihal itu terjadi selama ini. Atau jangan-jangan se-baliknya, sumber daya alam (tanah dan air) dieksploitasi, ruang publik diserobot, penduduk lokal

    disingkirkan dan pemerintah daerah kita ditipu mentah-mentah

  • 42 Edisi I/2015

    *) Team Riset

    DIBALIK IZIN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM (IPPA)

    T idak ada argumentasi konservasi ber-basis kearifan lokal dan atau pem-berdayaan yang berkelanjutan yang diberi-kan. Pun, tidak ada argumentasi pem-bangunan sumber daya manusia dan pen-guatan masyarakat lokal yang dijadikan sebagai dasar. Apalagi mengakomodir kepentingan dan kebutuhan masyarakat dalam mengelola dan mengembangkan sumber daya alam-nya sendiri.

    Terbaca jelas bahwa UANG menjadi argu-mentasi utama pemerintah Pusat (sampai daerah) untuk memberikan izin usaha kepada semua BUMN/BUMS dan Koperasi untuk masuk dan menembangkan jaringan bisnis dalam kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, sebagai misal yang terjadi di Taman Nasional Komodo ketika pemerintah mengeluarkan izin IUPSWA kepada PT Segara Komodo Lestari (KSL), dan PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE).

    MELALUI KEBIJAKAN DAN REGULASI

    U ntuk tujuan itu, pemerintah mem-berikan pendasaran logis dengan dan melalui berbagai atribut regulasi dan ke-bikakan yang dicetak-terbikan. Di an-taranya regulasi seputar dan terkait IIjin

    Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA).

    IPPA adalah izin usaha yang diberikan untuk mengusahakan kegiatan pari-wisata alam di areal suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Perihal ini diatur

    d a l am P e r a t u r an P e m e r i n t a h No.36/2010 dan Peraturan Menteri Ke-hutanan No.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, serta Peraturan Menteri Kehutanan No.4/Menhhut-II/2012 tentang Peru-bahan Atas Peraturan Menteri Kehu-tanan Nomor 48/Menhut-II/2010 ten-tang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

    APA ITU IUPSWA?

    Ijin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam atau IUPSWA adalah izin usaha yang diberikan untuk menyediakan fasilitas dan sarana serta pelayanannya yang diperlukan dalam kegiatan pari-wisata alam.

    Izin usaha ini meliputi: (1) Usaha Sara-na Wisata Tirta, (2) Usaha Sarana Ako-modasi, (3) Usaha Transportasi, (4) Usaha Sarana Wisata Petualangan, (5) Usaha Sarana Olahraga Minat Khusus.

    IUPSWA diberikan untuk jangka waktu 55 tahun dan dapat diajukan kembali kepada BUMN/BUMD/BUMS dan koperasi. Sampai semester pertama 2015 sudah terdapat 35 pemegang izin usaha, 23 pemegang persetujuan dan 3 pemohon.

    IUPSWA UNTUK PT SKL DAN KWE

    K epada PT Segara Komodo Lestari (SKL) pemerintah pusat memberi izin untuk menguasai 22,1 ha di Loh Buaya untuk usaha penyediaan sarana wisata alam.

    Namun sampai tulisan ini dibuat status PT SKL, masih diberi catatan oleh pemerintah untuk memperbaiki RPPA, pemberian tanda batas, UKL/UPL, dan pembayaran IUPSWA. (Kemungkinan SK resmi akan diterbitkan)

    Untuk tujuan yang sama, pemerintah pusat menerbitkan izin pemegang hak usaha (berdasarkan SK MENHUT 796/MENHUT-II/2014 Tertanggal 29 Sep-tember 2014) kepada PT Komodo Wild-life Ecotourism (KWE) untuk menguasai 426,07 ha di Pulau Padar dan Loh Liang.

    KETIKA UANG JADI TUAN

    Apa yang akan terjadi ketika uang sungguh menjadi tuan, yang dalam prakteknya terbaca jelas melalui izin pemerintah atas PT KSL dan KWE untuk

    mengembangkan usaha sarana wisata alam dalam kawasan Taman Nasional Komodo.

    Pertama, secara ekonomi, masyarakat lokal akan tersingkir dari persaingan pasar. Semua jenis usaha terkait sarana wisata sudah dipegang oleh para pemodal. Baik itu sarana akomodasi, sarana transportasi maupun sarana olahraga minat khusus. Masyarakat lokal di Rinca dan Komodo pun Padar sudah barang tentu akan terlempar dari keber-ada-annya.

    Kedua, karena fakta yang terjadi sela-ma ini adalah bahwa pembangunan investasi menyejahterakan masyarakat lokal sebenarnya hanyalah tipuan pasar (dalam kerjasamanaya dengan Negara) untuk mengeksploitasi sumber daya.

    Di satu sisi, masyarakat tidak mendapat ruang untuk membangun kehidupan ekonomi baik di darat maupun di laut. Karena kapasitas yang tidak memadai dan alpa terhadap semua kebijakan yang diimplentasi. Jika pun paham, itu pun dibatasi dan terbatas. Tetapi di sisi lain para pemodal, karena memiliki uang, mereka dengan leluasa mengek-sploitasi segala potensi yang ada. Menjual keindahan, pesona alam dan bahkan kemiskinan masyarakat lokal itu

    S ampai dengan tahun 2014, pemegang IPPA-IUPSWA telah berinvestasi sebesar

    Rp158.363.988.092, dengan penyera-

    pan tenaga kerja sebanyak 1.300

    orang serta telah menyetor Pen-

    erimaan Negara Bukan Pajak sebesar

    Rp6.149.812.760,- (Iuran Ijin Usaha

    Penyediaan Sarana Wisata Alam) dan

    Rp1.666.374.673,- (Pungutan Hasil

    Usaha Penyediaan Sarana Wisata

    Alam). Selain itu, dari Pungutan Masuk

    Obyek Wisata Alam yang dikelola oleh

    Unit Pelaksana Teknis Ditjen PHKA,

    pada tahun 2014 saja sebesar

  • 43 Edisi I/2015

    IZIN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM atau IPPA dibagi menjadi dua jenis, yakni Ijin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) dan Ijin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA).

    1. IUPJWA adalah ijin usaha yang diberikan untuk penyediaan jasa wisata alam pada kegiatan pariwisata alam. IUPJWA meliputi: (1) Usaha Jasa Informasi Pariwisata, (2) Usaha Jasa Pramuwisata, (3) Usaha Jasa Transportasi, (4) Usaha Jasa Perjalanan Wisata, (5) Usaha Jasa Cenderamata, (6) Usaha Jasa Makanan dan Minuman.

    IUPJWA dapat diajukan oleh perorangan

    (hanya untuk jangka waktu dua tahun dan dapat diperpanjang) atau BUMN/BUMD/BUMS atau koperasi (hanya un-tuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang). Sampai semester per-tama 2015 sudah terdapat 121 IUPJWA yang dikeluarkan pemerintah untuk semua wilayah Taman Nasional, Taman Suaka Margasatwa dan Taman Wisata Alam danTaman Hutan Raya yang me-nyebar di seluruh Indonesia

    2. IUPSWA adalah izin usaha yang diberi-kan untuk menyediakan fasilitas dan sarana serta pelayanannya yang diper-

    lukan dalam kegiatan pariwisata alam. IUPSWA meliputi (1) Usaha Sarana Wisata Tirta, (2) Usaha Sarana Ako-modasi, (3) Usaha Transportasi, (4) Usaha Sarana Wisata Petualangan, (5) Usaha Sarana Olahraga Minat Khusus.

    IUPSWA ini diberikan untuk jangka wak-tu 55 tahun dan dapat diajukan kembali kepada BUMN/BUMD/BUMS dan koperasi. Sampai semester pertama 2015 sudah terdapat 35 pemegang izin usaha, 23 pemegang persetujuan dan 3 pemohon.

    IZIN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM

    Ketiga, dari sini tampak jelas ketidakdilan sosial dan tindakah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara sistemik.

    Kawasan Taman Nasional Komodo bukan ruang kosong yang hanya diisi oleh hutan lindung dan binatang purba. Di sana ter-dapat juga tradisi, indentitas diri, warisan kebudayaan yang ditumbuhkembangkan oleh manusia dengan segala dimensi ke-manusiaannya.

    Berbagai regulasi yang diterapkan, ke-hadiran dan intervensi pemodal atas nama undang-undang, faktanya tidak memberi ruang kehidupan untuk masyarakat kawasan.

    Justru sebaliknya, mereka hidup dalam tekanan dan intimidasi. Hak-hak politik mereka dialpakan dalam design pem-bangunan yang dijalankan. Jika pun dilibatkan, masyarakat kawasan tidak

    lebih sebagai objek yang dimanfaatkan. Berbagai proyek pembangunan yang diimplementasikan tidak bertahan lama karena tidak menjawab sungguh kebu-tuhan kemanusiaan masyarakat kawa-san.

    Inilah kurang lebih akibat jika uang menjadi tuan dalam pembangunan bukan manusia dan kemanusiaan, alam dan keutuhan ciptaan. ***

  • S adar atau tidak, barangkali tidak ada yang pernah membayangkan sebelumnya bahwa suatu ketika,

    seperti saat ini, panorama (view) bisa jadi sesuatu yang sangat mahal. Apalagi jika itu dikemas dan didandani dengan sangat menarik. Jika dulu panorama adalah barang biasa, maka kini ia men-jelma barang berharga.

    Angkat contoh, panorama matahari ter-benam (sunset view). Lebih khusus, sunset view yang terhampar di atas pan-tai. Sunset dan pantai kemudian jadi semacam padanan yang punya magis khas, sekaligus tentu saja menjual se-bagaimana sekarang. Sebagaimana di Labuan Bajo dan sekitarnya. Namun sayangnya, perubahan itu terus terang agak lambat disadari oleh kita-rakyat.

    Pemaknaan baru soal manfaat e k o n o m i s a t a s p a n o r a m a menjadikannya medan perebutan bagi banyak kepen t ingan , t e ru tama

    kepentingan ekonomi. Secara diam-diam, para pemodal yang je l i menangkap peluang ini segera saling bersaing mematok lokasi-lokasi (spots) strategis yang punya panorama memikat. Baik itu mematok secara

    sembunyi-sembunyi, maupun terang-terangan. Baik legal, maupun ilegal. Dan sayangnya, sekali lagi, perebutan tersebut terus terang agak lambat disadari oleh kita-rakyat.

    Barangkali karena cara kerjanya yang canggih dan senyap, seringkali hanya bentuk akhirnya yang mampu terlacak.

    Amati saja hotel, restoran, kafe, resort, dan model investasi-investasi lain yang bertebaran di Labuan Bajo dan pulau-pulau sekitarnya. Dari Pantai Pede sampai Wai Cicu. Dari Puncak Waringin sampai Kampung Ujung. Dari Labuan Bajo sampai Pulau Komodo. Cermati lokasinya. Dan lihat, hampir semua berada di titik yang punya panorama mengesankan.

    Agar makin terang, pola demikian bisa dipakai sebagai penunjuk jalan untuk membaca discourse Labuan Bajo-Manggarai Barat sebagai salah satu destinasi pariwisata dunia. Dan jika boleh menarik kesimpulan awal, maka

    sesungguhnya Labuan Bajo dan sekitarnya sedang bergerak menjadi area tambang baru. Pariwisata menjadi pintu masuknya. Lewat pariwisata, yang secara politis ditahbiskan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menjadi leading sector,

    Labuan Bajo dan sekitarnya sedang dieksploitasi senyap-senyap. Potensi alam, budaya, dan seluruh kekayaan lain (termasuk panorama) sedang digali, dikeruk, dan dikuasai untuk kepentingan ekonomi. Di sini, ekonomi-politik menjadi kombinasi angka yang sempurna untuk membuka gembok menuju seluruh potensi kekayaan Labuan Bajo dan sekitarnya.

    Masalah utamanya persis terletak di kehendak untuk menguasai yang seringkali disembunyikan pemodal. Juga k e h e n d a k u n t u k m e n g a m b i l keuntungan yang seringkali disamarkan pemerintah. Jelas rute berpikirnya, ketika ada yang menguasai maka hampir pasti ada yang dikuasai dan ketika ada yang untung maka hampir pasti ada yang tidak beruntung. Dalam konteks itu, ketika pemodal dan

    pemerintah posisinya sudah secara jelas dipetakan, pertanyaan yang pantas muncul pastilah: siapa yang dikuasai dan tidak beruntung?

    Sekiranya jelas bahwa rakyat adalah

    jawaban yang paling sering muncul

    untuk pertanyaan terakhir itu. Jika

    demikian, maka mestilah kita-rakyat

    mulai membangun kesadaran kritis dan

    mengambil sikap untuk menentukan

    nasib sendiri: tidak lagi menjadi yang

    dikuasai dan tidak beruntung. Kita-

    rakyat mesti menjadi otoritas yang

    menjamin kesejahteraan kita sendiri.

    Dan barangkali aksi penolakan terhadap

    upaya privatisasi Pantai Pede, misalnya,

    menjadi langkah awal. Sebab di Pantai

    Pede juga ada panorama yang terlalu

    berharga untuk dilepaskan.*

    44 Edisi I/2015

    *) Edward Angimoy

    Click

    Pemaknaan baru soal manfaat ekonomis atas panorama menjadikannya medan perebutan bagi

    banyak kepentingan, terutama kepentingan ekonomi. Secara diam-diam, para pemodal yang jeli menangkap

    peluang ini segera saling bersaing mematok lokasi-lokasi (spots) strategis yang punya panorama

    memikat.

    Kita-rakyat mesti menjadi otoritas yang menjamin kesejahteraan kita sendiri. Dan barangkali aksi penolakan terhadap upaya privatisasi Pantai Pede, misalnya,

    menjadi langkah awal. Sebab di Pantai Pede juga ada panorama yang terlalu berharga untuk dilepaskan.

  • 45 Edisi I/2015

    Begitu menariknya Labuan Bajo, investor pun rela merogoh kocek sampai dalam demi mendapatkan tanah radius 1 kilometer dari garis pantai. Papan nama pemilik tanah pun kini mulai terpampang di mana-mana, berdek-atan dengan pantai, sedangkan tanah yang belum terjual oleh pemiliknya dipasangi papan

    bertuliskan land for sale. Saat ini bentang tanah di Kota Labuan Bajo sepanjang 30 kilometer sudah berpindah tan-gan ke investor. Termasuk para artis pun mu-lai berinvestasi di Labuan Bajo, mulai pesisir Pantai Rangko di Kecamatan Boleng hingga Warloka di Kecamatan Komodo. Tidak ada patokan harga jual tanah di Labuan Bajo. Semua tergantung tawar-menawar anta-ra penjual dan pembeli. Harga paling murah biasanya Rp400 ribu per meter persegi hingga Rp1 juta per meter persegi. Siapa saja pemilik lahan strategis di Labuan Bajo? Ada Eden Beach milik warga Prancis, Sylvia Hotel dan Wae Cicu Beach dari Indone-sia, kemudian ada beberapa hotel dikuasai warga asing Tidak ketinggalan ada tiga pulau yang disewakan ke orang asing seperti Pulau Bi-dadari dikelola Ernest Lewandowski sejak 2001 dengan nilai investasi US$382,2 juta. Kemudi-an Pulau Kanawa dikelola investor Italia berna-ma Stefano Plaza pada 2010. Di pulau tersebut dibangun hotel dan restoran dengan nilai in-vestasi US$35 juta.

    Begitu pula Pulau Sebayur dikelola warga Italia

    bernama Ed sejak 2009 dengan nilai investasi

    US$2,5 juta. Ada pula investor asal Belanda

    yang kini membuka jasa wisata tirta di Pulau

    Rinca dan Komodo. Selain itu, masih ada resor

    -resor megah yang kini sedang dalam tahap

    penyelesaian pembangunan, ditambah pulu-

    han hotel melati, homestay, dan restoran yang

    tersebar di dalam kota hingga punggung Bukit

    Waringin.

    Disari dari: Media Indonesia/

    Palce Amalo

    SIAPA PEMILIK LAHAN STRATEGIS

    PULAU SERAYA

    PULAU BIDADARI

    PULAU KANAWA

  • H ukum Indonesia mengatur bahwa hanya warga negara Indonesia atau badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah yang dapat memiliki hak milik atas tanah di wilayah hukum Indo-nesia. (Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria/UUPA pasal 21 Ayat (1)

    dan ayat (2).

    Demikian juga hak guna usaha dan hak yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (pasal 28 ayat (1), pasal 30 ayat (1), pasal 35 ayat 1 dan pasal 36 ayat (1) UUPA.

    Satu-satunya hak atas tanah yang dimili-ki warga negara bukan-Indonesia adalah hak pakai dalam batas waktu tertentu (pasal 41 ayat (1) UUPA).

    Untuk kepemilikan rumah tinggal atau hunian, sebagaimana diatur dalam Pera-turan Pemerintah PP 41/1996, warga lain diizinkan untuk memiliki hak pakai atas tanah sepanjang 25 tahun dan dapat diperpanjang. Namun statusnya tetap hak pakai dan bukan hak milik.

    Namun fakta yang terjadi di lapangan bisa saja berbeda dan bahkan berten-tangan dengan undang-undang yang berlaku. Di Labuan Bajo Manggarai misalnya, kami menemukan sejumlah pola proses alih fungsi kepemilikan tanah kepada pemilik warga negara asing.

    Pertama, lewat kepemilikan manipula-tive dimana pemilik asing itu bekerja

    sama dengan pemilik passport Indonesia (penduduk Indonesia; tidak harus orang asli Indonesia, bisa saja orang asing yang sudah menjadi warga negara Indo-nesia beberapa tahun sebelumnya). Dokumen tanah itu dibuat atas nama pemiik passport Indonesia itu (pemilik palsu atau pemilik tipu-tipu), sedangkan pemilik aslinya adalah orang asing itu. Sulit untuk disebut illegal dan terselubung karena faktanya mereka meliki dokumen resmi dan diketahui oleh pemerintah bahkan melibatkan aparat pemerintah.

    Kedua, dengan cara kepemilikan lewat badan usaha yang berbadan hukum In-

    donesia. Pemilik asing mendirikan perus-ahaan (di bidang pariwisata) sedangkan badan hukum Indonesia memanfaatkan segala fasilitas dan kemudahan yang disiapkan oleh pemerintah Indonesia untuk penanaman modal asing. Perus-ahaan ini kemudian dipakai sebagai kedok untuk mengumpulkan tanah da-

    lam jumlah besar, jauh melampaui bisnis yang sedang dikembangkan oleh perus-ahaan itu. Jadi nilai investasinya (sebagai bisnis investor) kecil, tetapi badan usaha itu dijadikan alat untuk menguasai tanah.

    Contoh kongkret dari pola ini adalah sejumlah restaurant di Labuan Bajo, yang bidang usahanya adalah rumah makan, tetapi pada saat yang sama menguasai tanah dalam jumlah besar di kawasan-kawasan strategis. Ada juga indikasi yang kiranya perlu ditelusuri lebih jauh oleh otoritas pemerintah Indo-

    nesia bahwa perusahan macam ini sema-ta-mata menguasai tanah untuk perus-ahaan-perusahaan skala kecil seperti ini bukan investor dalam arti sebenarnya, tetapi makelar tanah.

    Ketiga, lewat joint-venture yaitu kepemilikan bersama antara orang Indo-nesia dengan warga negara asing, entah dengan ikatan pertemanan atau ikatan bisnis. Ini umumnya berlaku untuk tanah dengan nilai transaksi dalam jumlah kecil.

    Pola-pola alih proses kepemilikan dan pengasaan tanah baik yang dilakukan secara legal maupun (lebih-lebih) dil-akukan secara manipulative perlu di-awasi secara serius oleh Negara. Negara perlu mengawasinya secara lebih serius melalui undang-ndang dan regulasi. Un-tuk kasus Labuan Bajo perlu adanya moratorium jual beli tanah selain perlu diperkuat dengan berbagai aturan hukum atau undang-undang yang dil-aksanakan secara tegas dan serius. *)

    46 Edisi I/2015

    Disari dari Cypri Jehan Paju Dale, Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik, Sunspirit: 2013

  • 47 Edisi I/2015

    Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur adalah sebuah kabu-paten kepulauan. Pulau-pulau yang menyebar sepanjang pantai Manggarai Barat berjumlah 264 pulau. Sejumlah 13 pulau di antaranya berpenghuni, dan sembilan pulau dimiliki pemerintahan daerah. "Sisanya tidak berpenghuni"

    Periksa tiga kata berikut: penghuni, tuan, pemilik

    PERIKSA

  • 48 Edisi I/2015

    H arus diakui bahwa konflik tanah yang marak terjadi di daerah ini tidak terlepas dari sistem

    pendataan yang dilakukan oleh petugas pertanahan pada masa lalu yang sebagi-an system pendataan masih bersifat sederhana dan manual. Akibatnya ber-potensi terjadi manipulasi atau ke-hilangan dokumen dan data-data terkait tanah.

    Maka pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Manggarai Barat

    sekarang ini sudah mulai melakukan berbagai pembenahan termasuk memero-ses sertifikasi tanah melalui system online internet. System pelayanan online ini su-dah dimulai pada tahun 2013 lalu.

    Sistem ini sangat membantu pihak BPN dan juga pemohon untuk mendapatkan sertifikat tanah. Saat pengurusan sertif-ikat, setiap pemilih tanah memasukan data di online dan secara otomatis system akan bekerja dan akan diketahui secara cepat antara lain tentang nomor sertifikat, peta citra lokasi, data bidang tanah dan data lainnya. Sistem seperti ini sangat penting untuk menghindari terjadinya tumpang tindih sertifikat pada lokasi atau lahan yang sama.

    Dengan demikian pihak pertanahan akan dengan mudah mengetahui status tanah tersebut sehingga tidak akan menerbitkan sertifikat pada bidang tanah yang sama. Setelah system berjalan, pihak BPN akan menginformasikan kepada pemohon atau pemilik tanah untuk memastikan apakah tanah itu sudah bersertifikat atau belum demikian pula status kepemilikan tanah tersebut.

    Dulu memang bisa dengan mudah oknum-oknum tertentu melakukan rekayasa teta-pi dengan system online ini sangat mem-bantu kami memastikan status tanah

    seseorang, jelas Marten Ndeo Kepala BPN Manggarai Barat. Sistem online sangat membantu pihak BPN dalam menjalankan tugas-tugasnya sekaligus dapat memini-malisasi kesalahan adminstrasi penerbitan sertifikat sebagai alat bukti kepemilikan tanah. Ia mengaku sejauh ini, sekurang-kurangnya sejak ia menjabat sebagai kepala BPN Manggarai Barat, belum ada investor yang mengajukan permohonan sertifikat tanah pada lokasi yang sangat luas. Maksimal, sekitar 15 hektar. Itu pun berasal dari Badan Usaha Milik Asing (BUMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

    Pihak BPN pun akan memeroses sertifikat jika lokasi tanah yang dimohonkan itu dipastikan tidak bermasalah. Pada

    umumnya tanah untuk usaha pem-bangunan misalnya, BPN selalu mem-berikan pertimbangan teknis terkait keberadaan lokasi dan instansi lain juga dilibatkan untuk menangani hal-hal teknis seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hdup (AMDAL) dan ketentu-an lain sebagai mana diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    BPN selama ini juga berkontribusi untuk penerimaan daerah yakni melalui item program biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan senilai Rp.1.427.300.077, biaya pajak penghasilan peralihan hak Rp.917.991.500, jaminan sertifikat hak

    tanggungan Rp.27.603.467.200. Seluruh pendapatan disetor ke Dispenda Mabar sedangkan untuk realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) senilai Rp.1.248.323.894 disetor ke kas negara.

    Sedangkan untuk lahan berdasarkan regulasi, luas lahan diatas 5 hektar bila tidak digunakan oleh pemilik maka tanah tersebut dapat diambil oleh negara. Hal ini secara tegas diatur dalam PP No.24 tahun 1997 pasal 32. Aturan ini juga mau menegaskan bahwa tidak berlaku mutlak tergantung proses sertifikat. Prin-sipnya hak orang tidak boleh hilang. Sehingga mulai dari proses jual beli dan penerbitan sertifikat harus diketahui oleh BPN.

    Untuk pembeli warga negara asing, mereka diwajibkan menggunakan nama perusahaan yang berbadan hukum yang berkedudukan di Indonesia. Warga negara asing tidak diperbolehkan mem-beli tanah secara perorangan karena kepada mereka tidak akan diberikan Hak Guna Usaha (HGU). Namun, fenomena yang terjadi di daerah ini ada sebagian warga menikah dengan warga lokal maka sertifikat tanah dibuat atas nama istri atau suami yang merupakan warga lokal. *)

    Untuk pembeli warga negara asing, mereka diwajibkan

    menggunakan nama perus-ahaan yang berbadan hukum yang berkedudukan di Indo-

    nesia. Warga negara asing tidak diperbolehkan membeli tanah secara perorangan ka-

    rena kepada mereka tidak akan diberikan Hak Guna

    Usaha (HGU). Namun, fenom-ena yang terjadi di daerah ini ada sebagian warga menikah

    dengan warga lokal maka ser-tifikat tanah dibuat atas nama istri atau suami yang merupa-

    kan warga lokal.

    Marthen Ndeo, Kepala BPN Manggarai Barat

  • 49 Edisi I/2015

    P emerintah tidak tinggal diam dan terus berkomitmen untuk me-nyelamatkan tanah milik negara.

    Kementerian Agraria dan Tata Ruang berupaya untuk segera mendata dan menyisir ada atau tidaknya tanah di Indonesia yang dikuasai warga negara asing (WNA).

    Hal ini dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk mempertahankan kedau-latan Negara sekaligus menelisik pem-beritaan media massa yang menyisalir ada penguasaan warga Negara asing atas tanah dan pulau-pulau dalam wila-yah Indonesia.

    "Sama sekali (WNA) tidak boleh men-guasai sejengkal tanah di Indonesia. Itu jelas urusannya dengan konstitusi. Kami sekarang lagi menyisir," tegas Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan usai acara seminar nasional 'Menemukan Kembali Tata Kelola Wila-yah Nusantara yang Berazaskan Pada Kedaulatan Bangsa dan Keadilan' di Ho-tel Savoy Homan, Jalan Asia Afrika, Kota

    Bandung, pada awal Maret 2015.

    Menurut Ferry, langkah penataan dan penyisiran digulirkan guna memastikan tak ada tanah negara yang dimiliki oleh orang asing. "Dalam hukum internasional, hanya rumah duta besar dan kantor duta besar yang boleh punya orang asing

    Apakah sudah ada temuan warga asing memiliki tanah di Indonesia? "Asumsi saya tidak ada. Tapi kita akan benahi dan re-chek ke beberapa daerah terutama tujuan wisata, seperti Bali," katanya. Lebih lanjut Ferry menuturkan, pihaknya tidak meng-ganjar sanksi jika menemukan WNA men-guasai tanah di Indonesia. Namun dia siap menerapkan aturan tegas.

    "Enggak perlu sanksi. Kita alihkan saja, lalu batalkan haknya atau sertifikatnya. Kalau warga asing sewa (tanah) sih boleh, tapi harus ada perjanjiannya," ujarnya.

    Terkait dengan pulau-pulau terluar dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang

    menargetkan seluruh pulau terluar Indo-nesia sudah mengantongi sertifikat pada 2015.

    Bagaimana progresnya? "Sudah ber-jalan. Mudah-mudahan akhir tahun ini selesai. Sekarang dari 92 pulau terluar itu sudah (penyertifikatan) 43 pulau ter-luar," ucap Ferry.

    Politikus NasDem ini juga menegaskan penyertifikatan pulau terluar sangat penting. Sebab jika terjadi sengketa ba-tas wilayah atau kepemilikian pulau dengan negara tetangga, pemerintah Indonesia sudah memil iki bukti kepemilikan.

    "Saya lupa daftarnya (pulau terluar yang sudah sertifikasi)," ujar Ferry saat ditan-ya mana saja lokasi-lokasi pulau yang sudah memiliki sertifikat.

    *) Disarikan oleh Team Riset dari me-dia massa (di antara Kompas, Met-roNews dan Detik.com edisi 8/03/2015)

    WARGA ASING TAK BOLEH KUASAI SEJENGKAL TANAH

    DI INDONESIA

    Ferry Mursyidan Baldan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

  • 50 Edisi I/2015

  • RANDANG UMA RANA, RANGAT-KEMPO, MANGGARAI BARAT

    51 Edisi I/2015

  • P enguatan masyarakat hukum adat merupakan sebuah upaya untuk

    melindungi, mempertahankan dan mengembangkan bukan hanya masyarakat adat itu sendiri dan cakupan wilayahnya tetapi juga segala dimensi nilai dan norma yang terkandung di dalamnya.

    Terdapat dua alasan utama mengapa penguatan masyarakat hukum adat menjadi penting. Pertama adalah karena masyarakat hukum adat merupakan identitas sebuah wilayah sosial dan budaya. Dan kedua adalah karena pengakuan dan perlindungan yang diberikan negara terhadap hak

    masyarakat hukum adat mengalami degradasi.

    Hak-hak tersebut mencakup: Pertama, hak atas tanah ulayat, wilayah adat, dan sumber daya alam yang mereka miliki atau tempati secara turun temurun yang

    diperoleh melalui mekanisme lain yang sah menurut hukum adat setempat.

    Kedua adalah hak atas pembangunan. Masyarakat hukum adat berhak untuk menentukan dan mengembangkan bentuk pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaan mereka sendiri. Pun berhak menolak bentuk pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaannya.

    Ketiga adalah hak atas spiritualitas dan kebudayaan. Masyarakat hukum adat berhak untuk melestarikan ritual yang diwariskan, tradisi, adat istiadat serta kebudayaannya. Keempat adalah hak atas lingkungan hidup. Masyarakat

    hukum adat berhak atas perlindungan lingkungan hidup, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses atas informasi, dan partisipasi yang luas terhadap pengelolaan dan perlindungan

    lingkungan hidup sesuai dengan kearifan lokal. Kelima adalah hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat. Masyarakat hukum adat berhak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat dalam menyelesaikan sengketa terkait dengan hak-hak adat dan pelanggaran atas hukum adat. Ketentuan mengenai hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat diatur dengan peraturan pemerintah.

    Namun demikan sebagai warga negara, masyarakat hukum adat memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Di antaranya adalah berpartisipasi dalam setiap proses pembangunan.

    Melestarikan nilai-nilai budaya Indonesia. Melaksanakan toleransi atar-masyarakat hukum adat. Mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan bekerjasama dalam proses indentifikasi dan verivikasi masyarakat adat. *)

    Disarikan dari makalah presentasi yang disampaikan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat,

    Ir. Theodorus Suardi, M.Si yang berjudul Masyarakat Hukum Adat pada 13 September 2014.

    PERSPEKTIF

    S ebagaimana disebutkan di atas bahwa salah satu hak masyarakat

    hukum adat adalah hak atas tanah ulayat. Hak atas tanah ulayat mencakup wilayah adat dan sumber daya alam yang dimiliki oleh sebuah komunitas masyarakat adat secara turun temurun.

    Dapat disebutkan di sini tanah ulayat dapat bersifat komunal dan perseorangan sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Hak atas tanah ulayat bersifat komunal dan itu tidak dapat dipindahtangankan ke pihak lain. Hak atas tanah ulayat perseorang dapat dipindahtangankan kepada pihak lain sepanjang masih dalam satu keturunan masyarakat hukum adat. Pemanfaatan

    tanah ulayat yang bersifat komunal dan bersifat perseorangan di dalam wwilayah adat oleh pihak lain hanya dapat

    dilakukan mealui mekanisme pengambilan keputusan bersama

    masyarakat hukum adat. Karena tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat.

    Selanjutnya masyarakat hukum adat berhak mendapatkan restitusi dan kempensasi yang layak dan adil atas tanah ulayat, perairan, wilayah adat, dan sumber daya alam yang dimiliki secara turun temurun yang diambil alih, dikuasi, digunakan atau dirusak tanpa persetujuan masyarakat hukum adat.

    Pengabaian atas hak masyarakat hukum adat dengan segala dimensinya terkait

    tanah ulayat bisa menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

    Fakta perihal itu yang menjadi salah

    sumber soal terkait di Labuan Bajo Manggarai Barat belakangan ini. Di mana

    proses jual beli tanah dilakukan secara serampangan tanpa mengindahkan peran dan fungsi masyarakat hukum adat.

    Oleh karena itu perlu adanya revitalisasi terkait status dan peran masyarakat hukum adat. Perlu menggali sumber sejarah. Meluruskannya selanjutnya meletakkanya pada posisi yang bermartabat.

    Namun demikian, untuk tujuan itu bukan pekerjaan yang mudah. Karena harus melakukan kajian dan studi yang mendalam. Melibatkan semua pihak dan elemen, lebih-lebih para sesepuh adat

    dan para pelaku sejarah. Agar selanjutnya tidak menimbulkan konflik di kemudian hari. *)

    52 Edisi I/2015

  • S ecara normatif beberapa peraturan perundang-undangan te lah m e n g a m a n a t k a n a d a n y a

    p en g ak u an d an p e r l i n du n g an masyarakat hukum adat, meskipun implementasinya belum seperti yang diharapkan.

    Pertama, pasal 18B UUD 1945, sebagai hasil amanandemen pertama UUD 1945 menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang

    Ketentuan di atas diperkuat dengan ketentuan pasal 28I ayat (3) UUD 1945

    bahwa Indent i tas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban

    Dalam kaitannya dengan tanah ulayat dapat kita rujuk pada UU No. 7 tahun 2004 tentang pengelolaan sumber daya air penjelasan pasal 6 ayat 3.

    Di sana dijelaskan pengakuan adanya hak masyarakat hukum adat termasuk hak yang serupa dengan itu hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atas dasar keturunan.

    Hak masyarakat hukum adat dianggap masih berlaku apabila memenugi tiga unsur yakni terdapat masyarakat adat, unsur wilayah, unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya.

    Berkaitan dengan pulau-pulau dan pesisir dalam hubungannya dengan masyarakat hukum adat dijelaskan juga dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Bahwa masyarakat adalah masyarakat pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum. *)

    Dalam perkembangannya, pasca terbentuknya NKRI,

    pengakuan dan perlindungan yang diberikan oleh Negara ter-hadap hak Masayrakat adat mengalami degradasi. Berbagai

    kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dengan orientasi per-tumbuhan eknomi dan modernisasi menjadi salah satu factor, ter-

    pinggirkannya hak masyarakat adat. Kebijakan pemerintah yang mengeluarkan izin hak pengelolaan hutan kepaa swasta telah

    mengakibatkan penebangan hutan tanpa perencanaan yang ma-tang dan tanpa memikirkan damaknya untuk generasi berikutnya.

    Masyarakat hukum adat dengan berbagai keterbatasannya ter-singkir dari hutan dan hal ini menyebabkan menurunnya tingkat

    kesejahteraan mereka

    53 Edisi I/2015

  • 54 Edisi I/2015

    S iapa tuan atas tanah di Labuan Bajo dan sekitarnya. Siapa tuan atas pulau-pulau yang bertebaran

    di sepanjang tepi barat Flores. Di antara kedaluan Boleng dan Kempo, di mana posisi Kedaluan Nggorang. Selanjutnya

    bagaimana Dalu Nggorang berperan pa-da penguasaan atas tanah, system pem-bagian dan pengesahan secara legal for-mal berdasarkan aturan hukum adat atas tanah-tanah tersebut?

    Deretan pertanyaan ini menjadi debat yang tidak sudah bagi kalangan masyara-kat Labuan Bajo Manggarai Barat setelah melihat fakta hari ini bahwa Labuan Bajo seperti tanah tak bertuan. Di mana muncul pengklaiman atas kepemilikan tanah. Jual beli tanah yang serampan-gan. Peran fungsionaris adat dalam hal ini tua golo yang nyaris dipermainkan oleh para calo. Munculnya banyak calo baik lokal maupun asing. Dan seterusnya sampai pada jetidaktegasan pemerintah dalam mengatasi semua soal tanah yang ada.

    Atas sederetan soal di atas, pertanyaan yang kemudian muncul adalah benarkah demikian, Labuan Bajo adalah tanah yang tak bertuan? Apakah karena itu maka sengkarut tanah di Labuan Bajo menjadi sulit dirunut-urai?

    Dalam focus group discussion (FGD) yang kami selenggarakan pada Agustus dan September 2014, kami temukan be-berapa jawaban mentah yang perlu un-tuk ditelisik lebih lanjut.

    POSISI KEDALUAN NGGORANG

    Khusus untuk wilayah kedaluan Nggorang tidak mengenal atau tidak berlaku filosofi -gendang one lingko peang, tetapi secara eksofisio ditunjuk untuk mengatur pemanfaatan tanah Demikian pendapat Anton Hantam, salah satu tokoh masyarakat adat Labuan Bajo Manggarai Barat.

    Menurutnya wilayah Nggorang merupa-kan bagian dari Hamente Boleng dan Kempo akibat proses kawin mawin. Demi pendekatan pelayanan kepada masyara-kat maka Dalu Bintang waktu itu diberi kepercayaan untuk memimpin wilayah

    ini.

    Nggorang sendiri tidak punya kampung adat dan struktur adat. Nggorang meru-pakan pusat persekutuan adat Nggorang. Dalam pembagian tanah ha-rus melalui prosedur adat. Dalu Nggorang sekaligus sebagai lembaga adat lanjutnya.

    Menurut Hantam, problem lain yang muncul adalah karena banyak tua golo yang muncul di wilayah Labuan Bajo dan sekitarnya, padahal tua golo menurutnya hanya ada di Manggarai (tengah). Sementara itu, kata tua golo hanya ada di Manggarai. Permasalahan tanah mun-cul atau terjadi kekacauan karena ada tua golo yang dibentuk kemudian diberi kewenangan untuk melakukan pembagi-an tanah jelasnya lebih lanjut.

    KEKHUSUSAN DALU NGGORANG

    Untuk Dalu Nggorang ada keis-timewaan karena meskipun tidak ada gendang tapi ada tua golo juga ber-fungsi untuk bagi tanah dan diakui oleh Dalu. Pelepasan hak dari Dalu Nggorang dan tua golo setempat (Agustinus Albu Kepala Desa Batu Cermin)

    BUKAN TUGAS DALU UNTUK BAGI TANAH

    Ada sejarah dan penguasa yang ada di Nggorang. Dalu itu pemerintah terma-suk punggawa. Khusus untuk Dalu, bukan tugas bagi tanah. Referensi yang digunakan Dalu Ishaka dan Masum. (Dalu) Nggorang seperti apa dulu dan sekarang (Abdullah Nur, Camat Komo-do)

    Agustinus Albu,

    Kepala Desa Batu Cermin

    Abdullah Nur,

    Camat Komodo

    POJOK REFERENSIAL

    *) Team Riset

  • 55 Edisi I/2015

    Hipol Mawar,

    Direktur Sekolah Demokrasi Mabar

    HIPOL: HATI-HATI

    P erihal penelusuran sejarah adat apalagi terkait dengan persoalan

    tanah bukanlah persoalan yang gampang. Perihal itu ditegaskan oleh Rafael Arhat salah seorang tokoh masyarakat Labuan Bajo Mangarai Barat, menurutnya masyarakat Manggarai Barat harus menelisik secara serius.

    Siapa sumber infomasi yang dapat di-jadikan rujukan, agar penelisikan sejarah ini benar-benar akurat. Dan kita tidak bisa percaya hanya dari sumber saja. Ini persoalan sensitif

    Hal yang sama dikomentari Hipol Mawar, Direktur Sekolah Demokrasi Manggarai Barat. Sambil menderetkan fakta-fakta

    yang sudah terjadi baik di Atambua Ti-mor dan Lembata tempat kelahirannya, memang problem pengakuan dan

    pengesahan terhadap masyarakat adat bukan perkara yang mudah.

    Kita mesti hati-hati dengan proses ini. Sebab bukan tidak mungkin akan muncul pengklaiman-pengklaiman baru atas peran fungsionaris adat. Sebab tidak bisa dihindari lagi bahwa fungsionaris adat juga memiliki peran opilitis di dalamnya.

    Lebih lanjut Hipol menjelaskan bahwa persoalan masyarakat adat tidak lepas dari intervensi negara Setelah berla-kukanya undang-undang desa gaya baru, maka struktur adat menjadi hancur katanya

    Akibatnya adalah seperti yang terjadi sekarang ini. Bukan hanya struktur adat yang hilang, tetapi juga nilai-nilai budaya itu sendiri tercerabut dari asalnya. Dan oleh karena itu revitalisasi masyarakat adat menjadi penting dan mendesak, dan itu harus dirunut secara hati-hati Lanjut-nya.

    Sil Deni Harsidi,

    Aktivis Kemanusian

    BUKAN PERSOALAN LEMAHNYA STRUKTURMASYAKATAR ADAT

    Pendapat berbeda disampaikan oleh Sil Deni Harsidi, salah seorang aktivis di Labuan Bajo. Menurutnya, persoalan tanah yang terjadi di Labuan Bajo adalah karena ada kepentingan yang bermain di dalamnya.

    Saya sangat yakin dan percaya bahwa semua tanah yang ada di Labuan Bajo sudah sejak lama sudah ada pemiliknya. Tanah-tanah ini sudah punya tuan. Dan itu semua sudah dilakukan secara damai

    oleh para sesepuh adat pada masa lalu. Hemat saya yang menjadi problem per-tanahan sekarang adalah karena banyak kepentingan yang bermain di dalamnya

    Faktanya, pada saat tanah harganya Rp.250.000 per hektar tidak dipersoal-kan. Tetapi ketika nilai tanah sudah men-capai Rp. 250.000 per meter maka orang mulai mempersoalkan. Dokumen tentang tanah dihilangkan dan dipalsukan. Dan saya sangat yakin perihal itu. Inilah saya kira yang menjadi sumber soal tentang tanah yang terjadi selama ini lanjutnya.

    BUTUH PENGUATAN MASYARAKAT ADAT

    P ada FDG kedua, September 2014, muncul satu kesimpulan penting sebagai rekomendasi paling

    mendesak terkait perihal ini adalah perlu ada penelitian yang komprehensif, cer-mat dan teliti tentang keberadaan masyarakat adat yang ada di Labuan Bajo dan sekitar.

    Gagasan tersebut muncul dari Theo Su-hardi, Kepada Dinas Pariwisata Mang-garai Barat bahwa pemerintah perlu mengambil jalan cepat dan segera untuk melakukan penelitian perihal ini.

    Namun yang perlu diketahui adalah bahwa kita bukan membentuk masyara-kat adat. Tetapi masyarakat adat yang sudah ada harus diakui keberadaanya

    oleh pemerintah katanya.

    Namun dalam kerangka pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat ini perlu dilakukan adalah identifikasi ter-hadap sejarah, terhadap wilayah hukum adat, terhadap harta kekayaan dan atau benda-benada adat, terhadap system dan struktur kelembagaan adat yang berlaku lanjutnya.

    Hal ini menjadi penting karena kehadiran lembaga adat yang sah dan diketahui secara resmi oleh publik bukan hanya membantu banyak hal dalam proses penyelesaian sengkarut tanah, tetapi juga soal-soal lain.

    Lembaga adat tidak hanya berbicara tentang tanah, tetapi juga menjaga dan mewariskan nilai-nilai budaya manggarai barat dari generasi ke genarasi. Tanpa fungsionaris adat tidak mungkin nilai-nilai budaya diwariskan secara benar dan tidak mungkin juga ritual-ritual adat dil-

    aksanakan secara sungguh

    Hal yang sama disampaikan oleh Alfons,

    salah seorang tokoh muda Labuan Bajo

    Manggarai Barat. Menurutnya ada un-

    dang-undang yang mengatur tentang lembaga adat dan diakui keberadaan

    masyarakat hukum adat.

    Bagaimana korelasi dengan masalah pertanahan dan struktur lembaga adat yang sudah amburadul. Salah satu

    cara untuk menyelesaikan masalah tanah adat adalah lembaga adat.

    Ke mud i an A l f on s me la j u tk an Pemerintah daerah mengukuhkan lembaga hukum adat. Pengukuhan harus dibuatkan Perda. Butuh survei

    tentang lembaga adat dan bagaimana

    tugas dan sejauh mana pengakuannya. Selama ini tak ada rujukan, standar

    prosedur penyelesaian masalah tanah

  • T ak ada manusia yang tidak pernah berdiam dalam rahim seorang ibu. Rahim adalah tempat di mana

    manusia pertama kali terbentuk. Di sana terjadi pertemuan antara sel sperma dan sel telur. Ia adalah tempat awal bagi seorang manusia. Di sana manusia men-galami ketentraman dan kenyamanan. Manusia jauh dari bahaya sebab sang ibu akan selalu menjaga buah rahimnya sela-

    ma Sembilan bulan sepuluh hari.

    Manusia yang baru saja terbentuk dari dua insane (suami dan istri) ini dipelihara ibu hingga lahir ke dunia. Tak ada kebahagiaan yang lebih berarti bagi seorang ibu selain menyaksikan seorang manusia baru yang baru saja dilahirkannya. Ia pun menjagan-ya. Ia memberi makan manusia kecil itu dari dua buah payudaranya di kala ia lapar. Ia mendekap sang bayi hingga sang bayi tidak merasa kedinginan. Ia menggendong dan memberinya tempat yang layak di kala tidur. Manusia kecil itu aman karena ibu selalu menjaganya.

    Maka tidak heran kalau ibu adalah sapaan yang mengandung rasa kasih sayang. Se-buah sapaan yang mengingatkan orang pada sosok yang penuh kelembutan. Dan ketika singgah di rahimnya, setiap orang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ibu. Oleh karena itu setiap manusia punya segudang pengalaman indah bersama ibu. Dan setiap orang bisa sepakat bahwa tanpa ibu tak ada manusia yang menghuni bumi ini.

    Kenyataan ini membuktikan kepada manu-sia bahwa betapa berartinya seorang ibu bagi kehidupan setiap insane. Tanpa ke-hadiran seorang ibu mungkin tidak ada kehidupan di bumi ini. Ibu merupakan sosok yang memelihara kehidupan ini. Ka-rena itu setiap makhluk memiliki hutang budi pada seorang yang namanya ibu. Lantas muncul pertanyaan ini: dapatkah orang membayar hutang budi itu? Ada pepatah yang mengatakan hutang emas dapat dibayar, hutang budi dibawa mati. Apakah pepatah ini benar?

    Dari aspek pentingnya peran ibu, dapat dimengerti bahwa bumi adalah juga ibu. Ia merupakan tempat berdiam semua ma-khluk baik yang hidup maupun yang mati. Bumi yang adalah salah satu planet dari sekian banyak planet di alam semesta ini punya peran besar bagi kehiduan alam

    semesta itu sendiri. Dalam bahasa Inggris bumi diterjemahkan dengn kata earth dan tanah diterjemahkan dengan kata soil. Berangkat dari pengertian ini penulis hendak membacanya dari kaca mata pribadi dalam membedakan dua istilah tersebut. Bumi (earth) adalah sesosok pribadi sebagaimana seorang ibu. Bumi hanya merupakan salah satu planet dari sekian banyak planet di alam semesta ini sebagaimana juga halnya ibu yang adalah salah satu perempuan dari sekian banyak perempuan di dunia.

    Sementara tanah (soil) adalah sebuah tempat atau lokus berdiamnya berbagai makhluk baik yang hidup maupun yang mati sebagaimana juga rahim yang ada pada ibu. Dengan demikian maka tanah (soli) adalah rahim bumi. Di sana benih ditanamkan dan di sana pula benih itu akan dirawat dan akhirnya berkembang lalu menghasilkan buah.

    Dapat dikatakan bahwa tanah terbentuk

    secara mengagumkan walaupun proses pembentukan itu dapat dijelaskan dengan perkembangan iptek masa kini. Namun penjelasan-penjelasan itu hanya bermuara pada satu tujuan yaitu bahwa setiap makhluk perlu menghargai tanah sebab di sanalah kehidupan dimulai.

    Di dalam tanah sudah terdapat jalinan yang erat antara makhluk yang satu dengan yang lainnya. Setiap makhluk punya tugas dan perannya masing-masing dalam menyokong proses ke-hidupan di bumi. Makhluk-makhluk ini membuat jaringan biologis yang biasa disebut rantai makanan. Dalam rantai itu setiap makhluk bergerak sesuai fungsinya masing-masing.

    Proses ini menjadi kacau balau ketika manusia dengan kebebasan akal budinya berusaha memanipulasi atau memutuskan proses alamiah itu. Manu-sia yang hanyalah satu bagian dari pros-es itu berusaha menjadikan dirinya se-bagai pengendali proses itu. Hal ini

    menjadi nyata dalam bidang pertanian. Manusia tidak lagi percaya pada proses penguraian alamiah yang terjadi di da-lam tanah. Lalu berusaha membuatnya baru dengan menyediakan bahan-bahan kimia baru yang dapat mempercepat proses itu. Agar panenan bisa melimpah orang memakai pupuk kimia ketimbang memakai pupuk alam. Hal yang sama dapat juga diamati dalam fenomena tambang yang marak di mana-mana. Dengan menambang orang tidak perlu bersusah-susah mengolah tanah sesuai dengan musim tanam yang hanya dua kali setahun dan hasil panen juga belum tentu memadai atau berhasil. Dengan menambang orang hanya perlu mengambil bahan-bahan yang dibutuh-kan dan dijual dengan harga yang menggiurkan. Ratusan juta dalam sekali tambang merupakan angka yang cukup menjanjikan. Hal ini dapat merusak proses kehidupan di rahim bumi.

    Selain fenomena-fenomena di atas masih banyak lagi perbuatan manusia yang dapat dapat dikategorikan sebagai perbuatan pengkhianatan terhadap rahim ibu bumi: pembuangan sampah yang sembarangan, dll. Maka apa yang sebetulnya sedang terjadi seperti panas yang berlebihan, iklim yang tak menen-tu, es di kutub utara yang makin

    F.X Manek

    Setiap ibu tidak menuntut apa-apa dari anaknya selain harapan pada anak-nya agar anaknya itu menjadi orang yang

    baik

    56 Edisi I/2015

  • mengecil merupakan akibat-akibat dari pengkhianatan terhadap ibu bumi. Persis di sinilah pertanyaan di atas kembali di-ajukan: apakah hutang budi seorang anak dapat dibayarkan kepada ibunya? Apakah manusia mampu membayar hutang budi kepada bumi? Suka atau tidak sekarang manusia mesti menyadari bahwa kerusa-kan yang terjadi pada bumi dewasa ini merupakan tindakan yang keliru.

    Dan kini saatnya manusia menyadari semua tindakan-tindakan destruktif itu. Tindakan-tindakan seperti itu perlu diubah dan diperbaiki agar rahim bumi yang se-dang menuju kehancuran dapat disem-buhkan. Sebab pada dasarnya setiap ibu tidak menuntut apa-apa dari anaknya selain harapan pada anaknya agar anak-nya itu menjadi orang yang baik. Artinya bahwa anaknya itu sekurang-kurangnya menjadi orang yang menaati hukum yang berlaku dalam masyarakat di mana ia hidup. Itu sudah cukup bagi seorang ibu.

    Dengan demikian yang kini perlu dilakukan manusia adalah sebuah gerakan yang didasarkan pada kecintaan terhadap bumi sebagai ibu. Bahwasanya setiap orang punya rasa sayang pada seorang pribadi yang namanya ibu. Dalam hal ini bumi yang sedang dihuni oleh berbagai ma-khluk. Berbagai gerakan pun kini hadir dan bekerja keras untuk menyelamatkan rahim ibu yang sedang rusak. Salah satu di an-taranya adalah gerakan pertanian berke-lanjutan. Disebut demikian karena prinsip dasarnya adalah bahwa manusia yang mengolah tanah tidak selalu mengambil dari tanah tetapi juga bisa memberikan apa yang dibutuhkan tanah dengan cara memperhatikan keseimbangan berbagai unsur yang saling kait mengait di da-lamnya.

    Tidak seperti pertanian konvensional yang didasarkan pada profit atau keuntungan semata. Tujuan memperhatikan keseim-bangan adalah agar tanah tetap sehat dan masih bisa dipakai oleh generasi yang akan datang. Itulah hukum yang mesti ditaati oleh manusia yang sadar bahwa tempat yang ditinggalinya adalah sebuah rahim dari seorang ibu.

    Sebab pada akhirnya bumi menjadi tempat akhir bagi manusia untuk beristirahat se-bagaimana disebutkan dalam lagu Indone-sia Tanah Air Beta cipataan Ismail Marzuki: Indonesia tanah air beta / pusaka abadi nan jaya / Indonesia sejak dulu kala / sela-lu dipuja-puja bangsa / di sana tempat lahir beta / dibuai dibesarkan bunda/ tem-pat berlindung di hari tua / sampai akhir menutup mata. ***)

    RANDANG UMA RANA

    Proses Randang Uma Rana, pembukaan kebun baru di Kampung Ran-gat Kempo Manggarai Barat. Proses ini diawali dengan ucapan syuku dan mohon berkat kepada Yang Maha Tinggi baik melalui doa adat maupun misa syukur.

    57 Edisi I/2015

  • 58 Edisi Juli-Oktober 2013

    J ika kita susuri jalan di sepanjang Pantai bagian Selatan Kota Labuan Bajo, mulai dari Lembor di bagian

    Timur menuju Batu Gosok di bagian Barat, akan tampak sejumlah bangunan hotel mewah tepat di bibir pantai. Hotel-hotel mewah yang berjejer di sepanjang bibir pantai itu antara lain Jayakarta, Ecolog, Puri Sari, Luwansa, Bintang Flores, New Bajo, Laprima, dan Batu Gosok.

    Selain itu, terdapat pula sejumlah restoran seperti Restoran Filemon, Marlin, dan sebagainya. Bahkan diperkirakan akan terus bertambah fasilitas umum di seputaran pantai tersebut, karena sudah dikapling-kapling oleh para investor sehingga akses masyarakat ke pantai itu sudah semakin sulit.

    Sepintas kita boleh bangga dengan adanya hotel-hotel berbintang dan restoran-restoran yang layak sehingga dapat membuat para wisatawan nyaman

    untuk mengunjungi Taman Nasional Komodo dan berbagai obyek wisata lain di daerah ini. Tidak dapat dipungkiri ula bahwa kehadiran fasilitas-fasilitas umum

    seperti itu membuat penampilan Kota Labuan Bajo semakin elok dipandang, dan tentunya berdampak sangat besar bagi tumbuhnya ekonomi kreatif masyarakat dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

    Jika kita cermati secara kritis dan mendalam terhadap fenomena pertumbuhan kota seperti itu, akan ditemukan adanya persoalan serius yang

    berkaitan dengan kebijakan penataan kota Labuan Bajo di seputaran bibir pantai. Persoalannya adalah apakah kebijakan pembangunan sejumlah fasilitas umum itu tidak menyalahi aturan hukum yang berlaku, dan apakah tidak ada dampak terhadap pengrusakan atau pencemaran lingkungan andaikata kebijakan seperti itu tetap dibiarkan berlanjut.

    Sebagai pedoman dan arah dalam upaya penataan ruang di seluruh Indonesia memang sudah banyak kebijakan yang disusun dan diberlakukan, baik berlaku

    secara nasional maupun secara spesifik dibuat untuk diberlakukan secara terbatas di tingkat daerah (provinsi, kabupaten/kota, dan lain sebagainya).

    Kebijakan penataan ruang tersebut mencakup proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian yang perlu dilaksanakan secara berkelanjutan dalam kerangka pembangunan nasional.

    Sekalipun kebijakan penataan ruang nasional telah dibuat untuk dijadikan sebagai pedoman dan arah dalam penataan ruang di tingkat daerah, namun pedoman dan arah kebijakan

    secara nasional tersebut tidak serta-merta diterjemahkan dan diimplementasikan secara utuh oleh para pembuat dan pelaksana kebijakan di tingkat daerah.

    Suatu hal yang pasti adalah bahwa regulasi di tingkat daerah, baik dalam bentuk perumusan kebijakan daerah maupun dalam pengimplementasian di lapangan selalu saja terjadi pergeseran-pergeseran, yang kalau tidak dilaksanakan secara tertib dan bertanggung jawab maka akan menimbulkan dampak-dampak negatif

    yang tidak diinginkan bersama.

    Oleh Silvester Deny Harsidi Aktivis Masyarakat Sipil

    PERSPEKTIF

  • 59 Edisi Juli-Oktober 2013

    Mencemati kebijakan penataan ruang nasional yang terumus dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, menetapkan sejumlah prinsip dasar (nilai dasar) yang layak dijadikan sebagai landasan penataan ruang nasional. Beberapa prinsip dasar yang urgen untuk diperbincangkan di sini adalah

    prinsip keterpaduan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan.

    Pertama, prisnsip keterpaduan mengarahkan agar segala kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat dalam penataan ruang harus dianalisis dan dirumuskan secara cermat agar dapat bermanfaat untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan (pemerintah dan masyarakat). Kedua, prinsip keserasian, keselarasan, dan keseimbangan mengarahkan agar penataan ruang harus dilakukan antara lain untuk mewujudkan keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya.

    Ketiga, prinsip keberlanjutan menuntut agar penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang.

    Keempat adalah keberdayagunaan dan keberhasilgunaan yang mengarahkan agar penataan ruang diselenggarakan untuk mengoptimalkan pemanafaatan ruang dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya tampa menurunkan kualitas ruang. Apabila prinsip-prinsip dasar penataan ruang tersebut diikuti dan ditaati dalam seluruh proses penataan dan pemanfaatan ruang, maka tidak akan ada kebijakan-kebijakan penataan ruang, baik pada tataran normatif maupun pada tataran implementasi yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat dan melegalkan tindakan-tindakan yang merusak keselarasan, kelestarian, dan keseimbangan lingkungan. Para pengambil kebijakan dan penyelenggara penataan ruang

    dituntut memiliki ketahanan moral yang memadai agar tidak terjebak dalam pertimbangan-pertimbangan yang justru berdampak negatip terhadap kualitas kehidupan masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Atas dasar pertimbangan filosofis penataan ruang yang demikian itu kemudian dikeluarkanlah kebijakan lebih lanjut (Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun

    1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional) untuk melindungi sejumlah kawasan yang rentan terhadap kerusakan lingkungan, seperti kawasan resapan air, sempadan pantai dan sungai, kawasan di sekitar danau, waduk dan mata air, dan lain sebagainya.

    Terutama berkaitan dengan penataan ruang di sepandan pantai, arahan yuridis mempersyaratkan agar pembangunan di sepandan pantai dan sungai hanya bisa dilakukan pada jarak minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat, atau dengan mempertimbangkan secara proporsional bentuk dan kondisi fisik pantai. Apabila bentuk dan kondisi fisik pantai yang rawan bencana, maka jarak minimal itu tidak selalu harus diikuti.

    Bertolak dari pelarangan tersebut, maka dapatlah dimengerti bahwa kebijakan penataan ruang Kota Labuan Bajo dengan memberikan izin pembangunan sejumlah fasilitas umum, seperti hotel, restoran, dan lain-lain di sepanjang pantai selatan Kota Labuan Bajo merupakan kebijakan yang bertentangan dengan arahan filosofis dan yuridis yang berlaku secara nasional. Saya tidak tahu apakah izin pembangunan dan izin operasional sejumlah hotel dan restoran pinggir pantai itu sejalan dengan RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) maupun RDTRK (Rencana Induk Tata Ruang Kota) yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Labuan Bajo atau tidak. Tapi yang jelas kebijakan itu sudah bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dari kebijakan penataan ruang yang berlaku secara nasional.

    Persoalannya bukan hanya sebatas pada bertentangan atau tidak dengan

    ketentuan hukum nasional, tetapi yang paling menjadi soal adalah bahwa pembangunan hotel dan restoran di sepanjang pantai Labuan Bajo itu bakal

    menciptakan masalah kerusakan dan pencemaran lingkungan laut di pantai selatan Kota Labuan Bajo dan sekitarnya. Persoalan ini memang belum begitu dirasakan dampaknya, tapi secara pelan dan pasti lingkungan laut di pantai selatan Kota Labuan Bajo dan sekitarnya bakal rusak dan tercemar. Dan itu artinya, terciptalah ketidakserasian dan ketidakseimbangan hubungan antara

    manusia lingkungannya.

    Rasanya lebih bijak kalau kawasan di seputaran pantai selatan Kota Labuan Bajo itu dibebaskan dari pembangunan fasilitas umum yang eksklusif yang hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas saja. Sebaiknya kawasan pantai tersebut dikembangkan dan dikelola menjadi ruang publik yang bisa dinikmati oleh masyarakat pada umumnya, termasuk para wisatawan asing. Mungkin pengalaman Pemda Bali dalam menata Pantai Kute dan pemda Sulawesi Selatan dalam menata Pantai Losari Makasar, bisa menjadi contoh menarik dalam menata pantai selatan Kota Labuan Bajo.

    Pergeseran filosofi pembuatan kebijakan penataan ruang Kota Labuan Bajo seperti itu memang dapat dimaklumi, karena dengan memberikan izin pendirian hotel dan restoran itu secara langsung maupun tidak akan memacu peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Secara teoretik, pergeseran filosofi kebijakan penataan ruang Kota Labuan Bajo ke arah peningkatan ekonomi kapitalistik itu memang tidak dapat dihindari, karena komponen ekonomi merupakan salah satu subsistem dengan daya energi tinggi yang akan selalu berusaha mengendalikan kebijakan penataan ruang ke arah pemenuhan kepentingan-kepentingan ekonomi-kapitalistik. Posisi sub-sistem ekonomi akan semakin kuat apabila mendapat dukungan yang memadai dari sub-sistem politik, sementara sub-sistem sosial dan budaya yang diharapkan untuk mengimbanginya dengan kekuatan informasinya semakin melemah.

    *) Editor: Team Riset

  • 60 Edisi I/2015

    P ernah membayangkan sebuah dunia tanpa tanah, tanpa daratan (land)? Pada sejauh mata me-

    mandang hanya ada air. Atau laut. Atau mungkin gletser. Atau mungkin yang lain. Barangkali kita pernah. Film Waterworld (1995) yang dibintangi Kevin Costner pernah memberi pemba-yangan semacam itu. Pada sejauh mata menyapu hanya ada air, laut. Itu adalah sebuah saat di masa depan. Syahdan, di masa depan yang entah kapan, es di kutub mencair dan menaikkan per-mukaan laut hingga hampir seluruh per-mukaan bumi dan peradabannya tertutup oleh air, laut. Tenggelam. Itulah waterworld. Peradaban baru lalu tumbuh dan terapung di atas air, laut. Serba asin segala-gala. Tanpa sawah, ladang, atau kebun. Tanpa hewan atau binatang selain ikan. Mungkin ada burung, tetapi tidak untuk film ini. Tanpa lapangan sepakbola, taman kota, jalan raya, sekolah, tempat ibadah. Tanpa aturan hukum kecuali hukum rimba. Jika kuat, maka menang dan menaklukkan yang lain. Di sana, tanah (soil) adalah barang langka, sekaligus mahal. Barangkali seperti berlian pada masa sekarang. Tanah diperjualbelikan. Entah untuk apa, tidak ada deskripsi. Barangkali untuk dikenang. Atau untuk menjaga harapan. Atau, barangkali lebih sederhana, hanya untuk dimakan menggantikan ikan. Sebagian besar manusia yang selamat telah melupakan masa lalu mereka, masa mereka hidup dan beranak cucu di daratan. Namun beberapa dari mereka

    masih percaya bahwa Dryland atau daratan masih ada. Meski entah ia bersembunyi di mana. Hingga pada

    akhirnya, seluruh tubuh film itu pun bergerak menuju cerita-cerita pencarian atas tanah, daratan, masa lalu, dan sekaligus masa depan umat manusia. Manusia, seperti yang dibayangkan dalam film tersebut, dibedakan berdasarkan empat karakter, yaitu: kaum perampok-perompak-penjajah-penjahat (Smokers), masyarakat sipil penghuni kota Atoll (Atoll Dwellers), Kaum Pengembara, dan kaum miskin yang dijadikan budak (Slaver). Smokers, kaum yang kejam dan lalim, merampok dan menguasai segala yang ditemui. Termasuk merampok dan menguasai segala upaya kaum lain untuk menemukan Dryland. Atoll Dwellers adalah masyarakat yang mencoba bertahan hidup dan membangun peradaban baru. Kaum Pengembara mengarungi perairan demi perairan, singgah di kota, menjual barang-barang penemuannya, lalu kembali mengembara. Dan Slaver menjadi budak. Entah budak siapa. Intinya budak.

    *** Terlepas dari rupa-rupa kemungkinan pemaknaan yang bisa muncul atas film Waterworld, yang jelas itu berangkat dari kondisi yang sama: no land, tanpa tanah, tanpa daratan. Peradaban lama, sekali lagi, sudah tenggelam. Dan kondisi macam itu lantas melahirkan pengetahuan, ideologi, cara hidup, kebiasaan-kebiasaan, hukum-hukum, struktur sosial, dan teknologi baru. Singkatnya, peradaban baru. Itu barangkali bukan soal besar bagi yang lahir dan tumbuh besar dalam kondisi macam itu, tanpa daratan. Namun itu jelas serupa bencana besar bagi yang pernah lahir dan tumbuh besar dalam

    peradaban yang sebelumnya dibangun di atas tanah, daratan. Tidak heran, meski sebagian besar penghuni Waterworld

    sudah melupakannya, Dryland tetap menjadi mimpi dan harapan yang selalu dipelihara sebagian yang lain. Diam-diam, ia bahkan jadi tujuan segala pencarian.

    *** Dalam konteks yang paling dekat dengan kita, Waterworld dan Dryland adalah semacam metafora, pantulan, bayangan, dan barangkali juga sebuah ramalan tentang kondisi sosial politik-ekonomi-budaya kita di sebuah masa depan yang entah kapan. Dan sebagai sebuah ramalan, itu semua mulai digenapi ketika tanah dan pulau mulai dijual ke para investor atau dicaplok para investor yang kemudian memprivatisasinya. Persis karakter dan cara kerja Kaum Smokers. Tanah, daratan, dan persisnya ruang gerak-hidup masyarakat jadi makin sempit.

    Dalam metafora film Waterworld, kesempitan itu disebut tenggelam. Dan tenggelamnya itu juga punya makna yang sama dengan tenggelamnya peradaban lama, digantikan peradaban baru yang tentu saja tidak punya garansi sama seka l i dapat member i

    kesejahteraan. Di sisi lain, masyarakat kita, dalam banyak sudut pandang, berpotensi (atau barangkali kini sudah menjadi) serupa karakter Atoll Dwellers dan Slaver yang rentan dieksploitasi, dikuasai, dan ditindas para Smokers. Juga dicaplok hak-haknya. Juga dirampok mimpi-mimpi dan harapan-harapannya tentang kemakmuran, kesejahteraan, dan hidup yang lebih bermartabat di tanah-daratan, Dryland. Dan sekali lagi, itu semua dimulai ketika ruang gerak-hidup di atas tanah mulai sempit dan menyingkirkan masyarakat.

    Masa Depan, di Antara Waterworld dan Dryland

    *) Edward Angimoy

    Inspirasi DARI SUDUT

  • 61 Edisi I/2015

    *** Beruntung, seperti lazimnya film-film produksi Hollywood, ada sosok pahlawan dalam drama Waterworld itu. Ia dari Kaum Pengembara. Ia menghancurkan Kaum Smokers bersama ambisi-ambisi dan ideologi mengeruk keuntungan mereka. Lebih lanjut, ia membantu mereka, Atoll Dwellers dan Slaver yang masih percaya tentang Dryland menemukan tanah-daratan itu. Akhir cerita, mereka menemukannya dan kemudian mulai membangun kembali peradaban berdasarkan ingatan-ingatan masa lalu, untuk masa depan.

    Namun penting untuk diserukan di sini, sebelum kondisi semacam Waterworld terjadi, sebelum manusia-manusia dengan karakter Smokers makin banyak dan sewenang-wenang, sebelum manusia-manusia dengan karakter persis Atoll Dwellers dan Slaver makin rentan d i t i n das - j a j ah -cap lok , sebe lum menantikan munculnya sosok pahlawan seperti Kaum Pengembara yang entah akan muncul atau tidak sama sekali, tidak ada jalan lain, tanah (sebagai the commons) harus diselamatkan. Sebab menyelamatkan tanah berarti menyelamatkan manusia dan ekosistem (the commoners), menyelamatkan peradaban kita. Dan demi itu, tanah mesti selalu menjadi masa lalu, masa kini, dan masa depan. Jika tidak, maka siap-siaplah berakhir seperti di waterworld.***

    masyarakat kita, dalam banyak sudut pandang, berpotensi (atau barangkali kini sudah menjadi) serupa karakter Atoll Dwellers dan Slaver yang rentan dieksploitasi,

    dikuasai, dan ditindas para Smokers. Juga dicaplok hak-haknya. Juga dirampok mimpi-mimpi dan harapan-harapannya tentang kemakmuran, kesejahteraan, dan

    hidup yang lebih bermartabat di tanah-daratan, Dryland. Dan sekali lagi, itu semua dimulai ketika ruang gerak-hidup di atas tanah mulai sempit dan menyingkirkan

    masyarakat.

    Sebab menyelamatkan tanah berarti menyelamatkan manusia dan ekosistem (the

    commoners), menyelamatkan peradaban kita. Dan demi itu, tanah mesti selalu menjadi masa lalu,

    masa kini, dan masa depan. Jika tidak, maka siap-siaplah berakhir seperti di waterworld

  • SEBUAH LATAR, SEBAGAI PENGANTAR

    D i suatu masa. Sebuah masa yang sulit untuk dibilang tahun, apalagi mena-kar jarak tanggal dan bulan. Di sana aku berada, di tengah generasi kaum jermal. Orang-orang yang hidup di atas pancang-pancang gala. Di tengah laut yang senyap. Diselimuti bau garam. Digerogoti pesing jeroan ikan. Diintai selalu amuk gelom-bang. Pada batas pandang melepas antara delapan penjuru mata angin hanyalah ca-krawala. Ringkasnya, aku berada pada sebuah panggung paling menantang yang para aktornya sudah sedang mementas lakon episodik dari sebuah drama paling realis,

    yang pada setiap saat, selalu mencoba untuk kembali ke drama rakyat. Dan menariknya bahwa generasi jermal adalah

    generasi merdeka. Tidak ada ketakutan yang terpancar dari mata-mata mereka. Pandangan mereka jauh dilepas ke de-pan. Membentur kaki langit yang selalu berusaha untuk mencoba melampaui resiko-resiko yang mungkin bakal ter-

    jadi. Raut wajah mereka kokoh tegar. Tutur mereka ritmik padu tinggi-rendah bagai gelombang. Di bawah segala tempaan nestapa, mereka dibesarkan menjadi pemenang. Di atas pancang-pancang mereka kibar-kan bendera kebebasan. Seperti kaki-kaki mereka yang gagah. Di atas jermal mereka temukan kekuatan untuk kembali menyulam hidup yang nyaris saja punah dimakan ngengat kekuasaan dan kerakusan yang dibalut dalam adagium ubi societas ibi justicia (di mana ada masyarakat di sana ada hukum) yang ternyata di-pelintir.

    Bagi mereka, termasuk bagiku yang tiba-tiba terlempar-dampar, hidup di atas jermal dengan demikian adalah pilihan yang tepat. Mereka dan juga aku benar-benar terpental ke tempat yang tepat. Ke tempat di mana tidak ada lagi

    sengketa. Tidak ada lagi beban derita. Tidak ada lagi perendahan martabat apalagi pengabaian atas kehidupan. Andai ada petaka, maka hanya alam dan Tuhan yang membuat kami lenyap selamanya. Dan itu jauh lebih bermartabat ketim-bang hidup di tepi garis batas antara jurang kepunahan dan harapan untuk umur panjang yang dibuat dengan sen-gaja oleh sesamanya manusia. A mari usque ad mare (dari laut ke laut), demikian kata hati mereka seperti men-gutip jargon kebanggaan bangsa Kana-

    da, yang juga menjadi kebanggaan mereka juga, orang-orang Komodo.

    62 Edisi I/2015

    LELAKON ORANG KOMODO

    S uatu tempat. Kuberi nama Jermal. Rumah yang melampaui rumah. Dunia baru. Di sa-na tidak akan ada lagi zonasi. Pilah memi-

    lah kepentingan. Tidak ada lagi aktor lain apalagi sang sutradara yang menyudutkan mereka. Hu-kum yang mereka bangun adalah dari laut ke laut. Dan itu jauh lebih bermartabat ketika harus menambatkan tali sampan di daratan. Sebaliknya di atas pancang-pancang gala, mereka kibarkan identitas dan jati diri yang sesungguhnya. Kebe-basan untuk menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan adalah yang utama dan pertama, menyusul yang lainnya adalah pemenuhan atas sandang, pangan dan papan. *) Kris Bheda Somerpes

    LELAKON

  • 63 Edisi I/2015

    DRAMA ALAM, SEBAGAI PROTAGONIS

    S ebelum dengan sadar pergi bertolak lebih dalam, meninggalkan daratan, membangun jermal dan hidup di

    atasnya, mereka sebenarnya adalah orang-orang luar biasa. Mereka adalah para pelaut pelintas batas. Keturunan langsung pelaut-pelaut Bajo-Bugis. Sebagiannya adalah keturunan pe-laut Bima. Mereka adalah para petualang gelombang. Gelanggang perjuangan hidup mereka adalah lautan dengan sedikit dara-

    tan yang dijadikan sekedar sebagai pelepas lelah, menurunkan layar, melepas sauh buji, menidurkan dayung, memungut kayu, memanen bahan pangan, menimba air dan selanjutnya berteduh menghidupi kehidu-pan. Konon, mereka bersauh di sudut teluk te-nang sebuah pulau terpencil yang kemu-dian diberi nama pulau komodo pulau seluas 336 kilo meter persegi di tepi barat pulau Flores Nusa Tenggara Timur. Lelakon hidup mereka lalu membawa ke sana, dengan sejuta harap bahwa dari tepi

    laut berpesisir 181 kilo meter itu mereka tidak hanya dapat merajut kehidupan den-gan damai dan beranak pinak dengan ten-teram tetapi juga menguat-tegaskan identi-tas hidup secara permanen. Dari sanalah mereka memulai kehidupan daratnya. Membuat kerampi dari serat ge-bang yang tumbuh menyebar sekitar gu-nung Satalibo, gunung Ara, gunung Todo Klea sebelah utara dan bukit Poreng di sebelah Timur Laut. Sebagai sahabat san-tapan berlauk ikan, mereka tidak berharap banyak pada padi yang memang tidak me-mungkinkan untuk tumbuh di atas ger-sangnya padang. Lantaran itu, kerampi yang ditumbuk-ayak para istri dan anak perempuan mereka sudah mencukupi ke-butuhan pangan harian. Sebagai pelepas dahaga, titik-titik mata air yang muncul musiman yang menyebar mulai dari teluk Sebita, Wae Sadrap, Loh Belanda, Loh Srikaya, Gunung Ara, Loh Wia dan Wae Kenaitasi sudah jauh dari cukup. Sebagai makhluk yang berakal dan berbudi mereka dipertemukan Tuhan dengan keu-tamaan-keutamaan. Mereka membangun falsafah dan pedoman hidup dengan me-letakkan landasan pada bisikan alam. Mereka diperjumpakan dengan keindahan

    alam yang dimintai Tuhan untuk dijaga. Mereka meramu kekuatan dalam gerakan tarian Panca. Kehebatan kaum perempuannya dikemas dalam tari Alue Gele. Dan tentang penderitaan mereka munculkan dalam legenda Ina Matria. Yang paling mengangungkan adalah mereka dipertemukan Tuhan dengan kadal raksasa yang dikemudian hari disebut sebagai Komodo. Dalam dan melalui perjumpaan itulah mereka me-rangkai-bangun legenda dan mitos yang tujuannya bukan untuk omong kosong tentang cinta dari generasi ke generasi.

    Tetapi menyembulkan keutamaan peri-hal persaudaraan semesta, bahwa manusia tidak hanya bersaudara, berbagi cinta dengan sesamanya se-bagai manusia, tetapi juga dengan seisi alam semesta. Serupa dalam drama rakyat, dalam darama alam, orang-orang Bajo-Bugis yang menetap di pulau Komodo entah sejak kapan itu hadir menjadi protago-nis yang menyenangkan. Di atas panggung pulau itu mereka pentaskan keseharian dengan penuh cinta dan damai. Tidak ada pelaku antagonis yang

    diperankan atau mencoba untuk memerankannya. Kadal raksasa komodo adalah saudari bagi pelaku utama. Empu Najo dikis-ahkan melahirkan keduanya sebagai saudara kembar untuk menjadi penja-ga. Seorang disebut Orah yakni komodo dan seorang yang lain disebut Gerong atau orang-orang Bajo. Orah atau Komodo merawat habitat sekaligus penjaga ekosistem darat dan Gerong atau orang-orang Bajo merawat ekosistem laut. Keduanya tidak pernah saling makan memakan. Cinta jauh lebih kuat dari rasa lapar akan tulang apalagi rasa haus akan darah. Sekalipun ada legenda tentang air mata Ina Matria, yang kemudian menjadi karang dalam luka, semuanya melejitkan mak-na bahwa tentang Ina Matria mereka belajar untuk tidak berprasangka buruk, iri hati, cemburu dan apalagi dendam. Dari drama rakyat itulah menyusul dra-ma-drama baru yang menyentuh rasa. Kadang bernuansa alegoris, misteris, liris, satir, moralis, historis, pun kadang tari dan bahkan sampai ke tendens. Tetapi semuanya dipentaskan secara domestik dan realis. Tuhan sang sutra-

    dara membiarkan mereka pentas dengan lapang. Tanpa rekayasa apalagi dipelintir kepentingan. Walau datar dan kesahajaan tampak begitu kuat, tapi sajian latar alam yang elok nan indah memberi nuansa sendiri bahwa drama yang sesungguhnya adalah drama yang apa adanya. Drama yang tidak merekayasa nilai dan keutamaan, apala-gi memuat kepentingan yang kemudian berakhir jadi balada.

    DRAMA ABSURD,

    SEBAGAI ANTAGONIS

    Sampai pada suatu ketika, tahun 1980 drama rakyat yang terpentas di pulau komodo berubah. Ubi Societas Ibi Justi-cia, di mana ada masyarakat, di situ ada hukum yang mesti ditegakkan. Lelakon orang-orang Bajo yang sudah bergenerasi dibangun tiba-tiba direbut negara dengan paksa. Negara hadir sebagai protagonist dengan tampang kekuasaan dan pisau undang-undangnya untuk diberlakukannya ka-wasan pulau Komodo dan pulau-pulau

    sekitarnya sebagai Taman Nasional. Sebuah pentas yang selanjutnya disaksi-kan tampak sangat absurd. Lantaran tidak hanya mengabaikan dan melang-gar konvensi alur, tetapi juga penoko-han dan makna tematiknya yang sebe-lumnya terpentas-saji alamiah. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya jika orang Bajo, penghuni pulau Komodo diletakkan sebagai pelaku antagonis, penentang dan korban yang mesti dikalahkan dalam drama besar ke-

    hidupan. Selanjutnya babak demi babak orang Komodo berperan bisu. Bersuara seperlunya dan jika tidak memung-kinkan akan di-dubbing oleh para actor lain yang seolah-olah mirip, seolah-olah menyerupai. Namun jauh panggang dari api, sekedar sebagai suara, kebutuhan akan peran sesungguhnya yang mau dimainkan oleh orang Komodo justru tidak dijawab. Orang Komodo menjadi bisu, sebisu pahatan beku patung-patung Komodo. Sebisu patung batu ina matria yang melegenda.

  • 64 Edisi I/2015

    1. Mula-Mula adalah Drama Duka

    Pulau Komodo dan pulau-pulau sekitarnya antara lain Pulau Rinca, Pulau Padar, Gili Motang dan beberapa pulau lain yang semuanya menjadi panggung pentas seluas 2.321 km2 dibentuk menjadi Taman Nasional pada 1980. Tujaun dibentuknya Taman Nasional adalah 1) Mengem-bangkan suatu kawasan konservasi darat dan perairan di Taman Nasional Komodo, yang sepenuhnya melindungi komunitas alami, spesies, dan ekosistem darat, pantai dan perairan. 2) Menjamin kelangsungan hidup satwa Komodo dalam jangka pan-jang dan menjaga mutu habitatnya. 3) Memanfaatkan sumberdaya kawasan secara lestari, untuk wisata, pendidikan, dan penelitian. 4) Melindungi populasi ikan terumbu karang dan invertebrata dalam kawasan konservasi dari eksploitasi, se-hingga dapat berfungsi sebagai dan ja-minan bagi sumber perikanan perairan di dalam dan sekitar kawasan. Sudah sejak itu, orang-orang Bajo penghuni pulau Komodo mulai ditata-rias bukan hanya demi kebutuhan panggung Taman Nasional, tetapi juga demi kepent-ingan-kepentingan yang tersembunyi yang terlalu pekat untuk ditelisik. Simaklah empat tujuan di atas, tidak satu pun yang menyentuh sisi kemanusiaan manusia, semisal menjaga dan melestari-kan manusia yang memiliki keunikan dan kekhasan budaya. Justru sebaliknya, orang Komodo diberi peran yang tidak memungkinkan dalam drama pembangunan yang absurd ketim-bang bagaimana satwa unik Komodo (Varanus komodoensis) dirias-rawat. Atau bagaimana negara merawat burung gosong (Megapodius reinwardt), tikus Rin-ca (Rattus rintjanus), rusa Timor (Cervus timorensis), 1000 jenis spesies ikan, 260 spesies karang, 70 spesies bunga karang. Dugong (Dugong dugon), lumba-lumba (10 spesies), paus (6 spesies), penyu sisik (Eretmochelys imbricata) serta penyu hijau (Chelonia mydas) dan seterusnya. Inilah mula-mula, jika kiita diminta me-nyimak dengan hati nurani apa yang sudah sedang dipentaskan di panggung nan meg-ah Taman Nasional Komodo. Bukan drama rakyat yang memperjuangkan ke-merdekaan dalam segala bidang ke-hidupan. Bukan pula drama tari yang me-megahkan keindahan anugerah Tuhan atau

    apalagi drama liris bernuansa liturgis. Teta-pi yang tersaksikan, walau sebenarnya tidak semua orang bisa menyaksikannya

    adalah sebuah pementasan tendens nan duka. Sebuah drama yang sudah

    sedang mementaskan kepincangan-kepincangan peradaban yang sengaja dirasionalisir dengan pembangunan kemanusian. Dan pada saat yang sama kita menyaksikan duka, lantaran secara per-lahan pelaku untamanya mengalami masa mundurnya. Bukan lantaran ter-jadi secara alamiah karena dipangkas usia, tetapi karena diambrukkan dengan paksa oleh tikaman-tikaman pisau kepentingan. 2. Direkayasa Menjadi Antagonis Ketika itu Negera merayakan hari ke-merdekaannya, 17 Agustus 2010. Semua warga tentunya merefleksikan kemerdekaan sebagai kebebasan untuk menikmati hak-haknya sebagai warga negara. Lantaran secara filosofis me-mang negara menjaminnya, bahwa negara yang merdeka adalah rakyat yang berdaulat. Berdaulat untuk mem-perjuangkan dan selanjutnya menikmati hak-haknya. Namun tidak bagi Mujahidin, Ibrahim dan kawan-kawan. Hak mereka untuk menyejahterakan keluarga, memberi makan kepada keluarga, mencari uang, menangkap dan menjual ikan, singkat- nya memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga justru dipangkas. Mereka dije-ruji pasal-pasal tindakan pidana Kehu-tanan dengan hukuman 1 tahun 4 bulan penjara dengan denda lima juta rupiah lantaran mengambil hasil laut tanpa Izin di Loh Ginggo yang dalam peta Taman Nasional Komodo masuk dalam Zona Bahari. Sebelumnya, jika Mujahidin lapar, dia

    bisa memancing ikan tanpa harus meminta izin kepada siapa pun kecuali kepada istrinya bahwa dia akan melaut, kepada anaknya bahwa dia akan segera kembali, pun kepada Tuhan-nya untuk pohonkan restu. Lantaran itu Mujahidin pergi mengambil apa saja tanpa takut diintimidasi. Na-mun sudah sejak itu, semuanya menjadi berubah. Tidak hanya bagi Mujahidin dan kawan-kawannya, tetapi bagi se-mua mereka yang disangkar dalam ka-wasan Taman Nasional Komodo. Visi cultural, ekonomi, social orang-orang

    kawasan Komodo yang sejatinya a mari usque ad mare (Dari Laut ke Laut) diba-tasi.

  • 65 Edisi I/2015

    3. Penokohan dan Karakter pun berubah

    Orang-orang Komodo yang mengambil ikan disebut merusak ekosistem laut, yang mengambil serat gebang untuk kerampi distigma sebagai perambah hutan. Perubahan tokoh dengan stigma, karakter dengan image yang demikian bukan hanya merusak falsafah hidup orang-orang Komodo. Tetapi juga me-runtuhkan bangunan peradaban mere-ka. Menjadi antagonis dalam drama kehidupan itu menyiksa. Mengendap penderitaan secara sadar dan direkaya-sa adalah pelanggaran terhadap hak hidup manusia. Namun negara rupa-rupanya tidak ambil pusing dengan semua perbuatan yang mengatasnamakan undang-undang. Kehidupan manusia diabaikan hanya agar mata puas memandang segala keindahan. Martabat manusia diinjak hanya agar taman tertata. Kebutuhan manusia diperkosa dengan jargon pem-bangunan yang dirasionalisir sesungguhnya adalah pembangunan yang amoral. Berturut-turut sesudah Mujahidin dan kawan, tersaji di atas pentas sederetan nama lain yang selanjutnya menjadi antagonis. Jumlah kasus selama periode 2010 sampai 2011 mencapai 15 kasus dengan motif yang hampir sama yakni mengambil hasil laut tanpa izin. Dan itu belum terbilang yang sudah terjadi di belakang pentas. Bukan hanya diintimi-dasi dan diinteregosi tetapi juga dihi-langkan selama-lamanya. 4. Konvensi Alur Yang Dipelintir Tokoh direkayasa berdasarkan skenario. Dalam drama absurd siapa pun tidak

    pernah tahu apa yang diperankannya. Sutradara menjadi kunci. Di tanganya skenario diarah, di tangannya pula to-koh-tokoh direkayasa. Dan sang pe-meran harus pula tunduk atas naskah, selanjutnya diminta pentas sejauh mau sang sutradara. Pengelolaan taman nasional komodo adalah proses perihal pementasan dra-ma absurd itu. Ketentuan undang-undang membagi taman nasional komo-do berdasarkan zonasi adalah salah satu pembelokan alur yang hebat nan kejam. Di balik zonasi ada zina kekuasaan dan

    kepentingan. Penguasaan panggung dalam drama dibatasi,

    bukan lantaran peran tetapi karena rangse-kan kebrengsekan kehendak yang lahir dari

    sebuah skenario kepentingan. Undang-undang tentag Zonasi dibuat agar tampak teratur dan tertata. Pasal 6 Pera-turan Menteri Kehutan Nomor P. 56 /Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional diuraikan secara pragma-tis. bahwa a) Zona inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka ter-hadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya. b) Zona rimba untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan ling-kungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budi-daya serta mendukung zona inti. c) Zona pemanfaatan untuk pengem-bangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pem-anfatan, kegiatan penunjang budidaya. d) Zona tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. e) Zona rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alami-ahnya. f) Zona religi, budaya dan sejarah untuk memperlihatkan dan melindungi nilai-nilai hasiI karya, budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian; pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius. g) Zona khusus untuk kepentingan aktivitas ke-

    lompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sebelum ditunjukjditetapkan se-bagai taman nasional dan sarana penun-jang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan Iistrik. Dalam konteks taman nasional komodo dikelolah lembaga taman nasional komodo Zona inti adalah kepentingan. Tidak ada kegiatan apa pun yang bisa merangsek masuk ke zona ini termasuk Tuhan jika Dia hendak memelihara kucing atau anjing. Karena negara, Sang sutradara

    melarangnya. Hal yang sama terjadi untuk zona pemanfaatan wisata,

  • zona pemanfaatan tradisional, zona khusus penelitian dan pelatihan. Se-dangkan Zona pelagis dan zona pemuki-man tradisional diberi kelonggaran yang terbatas. Orang komodo seperti sudah sedang bermain di kolong rumahnya sendiri dengan sedikit menyentuh pe-sisir. Selebihnya dilarang. Alur kehidu-pan orang komodo pun beralih-ubah. Mereka tidak hanya lagi berkibar dari laut ke laut tetapi dari dinding kamar ke pesisir. Sebuah pemenggalan akan tra-disi pun peradaban yang tragis.

    5. Pengabaian Atas Makna Tema-tik

    Adakah dalam drama kehidupan yang alur kehidupan seseorang direkayasa? Jika jawabannya adalah ada atau ya, tentu saja mesti ditakar-ukur sejauh mana rekayasa itu menjawab kebu-tuhan akan kehidupan dalam rentangan tradisi dan bangunan peradaban kehidupan. Jika tidak memungkinkan tetapi dicoba-paksakan maka akan ter-cipta pereduksian terhadap nilai-nilai kehidupan (kemanusiaan). Dan perihal itu terpentas dalam kawasan taman nasional komodo. Semua geliat pembangunan berkaitan dengan pengambangan kawasan taman nasional komodo melulu tertuju kepada pembangunan ekonomi. Sementara kesehatan, pendidikan apalagi tradisi dan budaya tampaknya dianaktirikan. Tradisi, identitas diri, nilai-nilai cultural dan symbol peradaban dibekukan. Pengelolah, pihak Taman Nasional Ko-modo suatu ketika mendatangkan para pemahat patung dari Gianyar Bali untuk melatih orang Komodo dan sekitarnya supaya selanjutnya dapat menjadi pemahat patung. Sebagian orang men-gakui keberhasilannya. Lantaran se-bagian orang Komodo kini sudah beralih secara perlahan dari pelaut menjadi pematung. Gagasan tentang masa lalu, secara per-lahan tidak hanya dibekukan tetapi pula redup. Dan gagasan tentang keseharian apalagi masa depan kian menjadi tunggal. Kompleksitas soal terkesan hanya diukur secara ekonomi. Demikian juga solusinya. Nilai-nilai cultural, keu-tamaan-keutamaan sosial dengan de-mikian sudah merasa cukup terwakili

    lewat patung-patung bisu. Tidak ada terobosan solusi lain yang coba digagas-bangun. Mendasarkan diri pada masa

    lalu menjadi sebuah pegangan yang tidak mungkin dan omong kosong. Dan itu jelas merupakan pengabaian atas makna tematik dalam drama ke-hidupan. Jika peran yang dimainkan tidak berlandaskan pada jiwanya, maka sudah barang tentu, yang terpental ada-lah kemanusiaan itu sendiri. Lantas se-lanjutnya yang mencungul ke per-mukaan adalah simbolisasi artificial atas semuanya. Pengabaian atas makna tematik drama kehidupan orang komodo kian menjadi runyam manakala menakar sumber daya manusianya. Sekolah sebagai medium pencerdasan dan penguatan sumber daya manusia yang dalam tataran social menjadi pintu gerbang perubahan justru minim perangkat dan fasilitas. Sebagaimana dijelaskan dalam Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Komodo (Buku 1, Rencana Pengelolaan hal. 13) bahwa tingkat pendidikan rata-rata di desa-desa Ta-man Nasional adalah tingkat empat sekolah dasar. Terdapat sebuah SD di setiap desa, tetapi tidak setiap tahun menerima murid. Rata-rata, setiap desamempunyui empat kelas dan empat guru. Di Kecamatan Komodo ada tiga jenis SD: SD Negeri,SD Inpres, dan SD Swasta. Kebanyakan anak dari pulau-pulai kecil di Kecamatan Komodo(Komodo, Rinca, Kerora, Papagaran, Mesa) tidak tamat SD. Untuk masuk SMP anak harusdikirim ke kota Labuan Bajo, tetapi ini jarang dilakukan oleh keluarga nelayan.

    SAMPAI SUATU KETIKA MEMILIH JERMAL

    Lelakon orang komodo yang terpentas dalam drama absurd yang terentang panjang sudah sejak 1980 sampai kini adalah sebuah pembunuhan atas ke-hidupan manusia. Pembunuhan yang dilakukan secara ber-babak. Semua jar-gon pembangunan dan pemberdayaan yang dikemas undang-undang dan ane-ka kebijakan hanyalah sekedar sebagai obat penenang. Namun rasa sakit ya