LINGUA STBA LIA (Vol. 8, No. 2, 2009)

download LINGUA STBA LIA (Vol. 8, No. 2, 2009)

of 77

description

LINGUA STBA LIA Jakarta is a biyearly academic journal from STBA LIA Jakarta (Indonesia) which publishes the journal through PPPM, a unit of Research and Community Development .The content of this journal revolves around issues on Literature, Journalism, Translation, Linguistics, Cultural Studies, and Language Teaching. The writers are from the teaching staff of STBA LIA and other people from outside campus.Most articles in this journals are written in Indonesia and the rests are in Indonesian and Japanese.This journal is registered at: http://u.lipi.go.id/1180428792. More information about STBA LIA Jakarta can e found here: http://www.stbalia.ac.id/.

Transcript of LINGUA STBA LIA (Vol. 8, No. 2, 2009)

  • ISSN 1412-9183 Volume 8 Nomor 2, Oktober 2009

    JURNAL tLHIAH LINGUA

    PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN P ADA MASY ARAKA T SEKOLAH TINGGI BAHASA ASING LIA JAKARTA

    Penasihat Dr. Ekayani Tobing

    Penanggung Jawab Sulistini Dwi Putranti MHum.

    Penyunting Penyelia Askalani Munir, M Pd.

    Penyunting Pelaksana Dewi A. Yudhasari, MHum.

    Agus Wahyudin, MPd.

    Penyunting TamuIPenelaah Ahli Dr. Agus Aris Munandar

    Sekretaris Agus Wahyudin, MPd.

    Tata Usaha Tely Kurniati

    Alamat Redaksi Jalan Pengadegan Timur Raya No.3

    Pancoran, Jakarta 12770 Telepon (021) 79181051, Faksimile (021) 79181048

    E-mail: [email protected]

  • ISSN 1412-9183

    Analisis Fungsional tentang Infonnasi Pribadi yang diberikan Saat Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli) 108-123

    Derivational Suffixes -ing and -ed and Their Translation in Indonesian (Risna Saswati) 124-138

    Perbandingan Sejarah dan Perkembangan Komik Indonesia Dan Jepang (Sissy N. Rahim) 139-150

    Hublingan antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri pada Perempuan Multiperan di Yayasan LIA Jakarta (Askalani Munir) 151-167

    Tata Cara Berkenalaln dalam Masyarakat Jepang: Sebuah Nilai Budaya Jepang (Ekayani Tobing) 168-179

  • Berani tampil beda. ltulah kalimt yang pantas untuk terbitan volume 8, No.2, Oktober 2009. Tidak seperti biasanya, kali ada beberapa perubahan perwajahan. Daftar isi tidak hanya ada di dalam, tetapi diletakkan pada kulit Iuar. Tujuannya agar pembaca langsung mengetahui judul-judul dan para penulis edisi tersebut sehingga tidak perIu membuka daftar isi bagian dalam lagi. Tidak hanya itu, seri terbitan pun berubah, jika sebelumnya ada di bagian atas, sekarang seri terbitan ada pada bawah yang berbentuk kotak persegi panjang. Satu hal yang sangat penting, saat ini setiap penulis dilengkapi dengan alamat pos elektronik (email) agar memudahkan untuk korespondensi atau komunikasi lainnya.

    Beberapa perubahan tata letak di atas dimaksukan agar Jumal Ilmiah Bahasa dan Budaya STBA LIA Jakarta memiliki daya pandang menonjol (eye catching). Diharapkan setiap orang yang melihat jumal tersebut tertarik untuk membacanya.

    Ada lima tulisan dalam edisi ini, yang terdiri atas 2 bidang bahasa, 2 bidang budaya, dan 1 tentang jender. Kelima tulisan tersebut ditulis secara sistematik dan analitis sehingga memberikan deskripsi yang jelas tentang hal-hal yang dibahasnya.

    Selamat membaca.

    Jakarta, Oktober 2009

    Redaksi

  • ANALISIS FUNGSIONAL TENTANG INFORMASI PRIBADI YANG DIBERIKAN SAAT PERKENALAN DALAM BAHASA INGGRIS

    Oleh Soraya StaJ Pengajar Bahasa Inggris STBA LIA Jakarta

    [email protected]

    Abstrak Informasi pribadi merupakan hal yang umum diberikan saat kita berkenalan. Setiap

    ujaran yang berisi informasi tersebut dapatdianalisis berdasarkan fungsi sintaksis, semantis, dan pragmatis dengan menggunakan teori dari Harimurti Kridalaksana. Temyata secara sintaktis semua kalimat bahasa Inggris dalam ungkapan yang memberi informasi pribadi ini dapat mengisi fungsinya. Secara semantis penggunaan to be memunculkan peran identitas, pokok, dan ciri. Adapun secara pragmatis, tema dan rema tetap mendominasi.

    Kata kunci: fungsi, sintaxis, semantis, pragmatis

    Abstract Personal information is a general information given on the first meeting. Each

    utterance consisting the information is actually can be analyzed base don syntactic, semantic, and pragmatic function using the theory of Harimuri kridalaksana. Syntactically, all English sentences in expressions giving personal information can fulfill all the functions. Semantically, the use of to be can show the role of identitas, pokok, and cir;. Pragmatically, theme and rheme is still dominating.

    Key words: function, syntactic, semantic, and pragmatic

    I. Latar Belakang Setelah aliran generatif dalam linguistik, aliran yang kini banyak

    mendapat perhatian adalah aliran fungsional. Aliran ini dikembangkan oleh Simon Dik, M.A.K Halliday, JR Martin, dll. Halliday telah mengembangkan teori yang disebut sebagai Systemic Functional Lingistics (SFL) sejak awal 60-an. SFL menempatkan fungsi bahasa sebagai sentral (apa yang dimanifestasikan bahasa dan bagaimana wujud manifestasi tersebut). Di Indonesia, aliran ini dikembangkan oleh Harimurti Kridalaksana.

    Kata fungsi dalam aliran fungsional mempunyai pengertian hubungan saling ketergantungan antara unsur-unsur dari suatu perangkat sedemikian rupa

    108 LtN411A Vo1.8 No2, Oktober 108-123

  • sehingga perangkat itu merupakan keutuhan dan membentuk sebuah struktur (Kridalaksana 29). Pengertian fungsi dapat digunakan secara intern maupun ekstern dalam bahasa. Dalam tulisan tentang aliran fungsional, Halliday mengungkapkan hubungari bahasa dengan berbagai aspek kehidupan manusia. Hal itu yang disebut pengertian fungsi secara ekstern. Adapun yang bersifat intern terkait dengan bahasa saja.

    Bahasa adalah sumber sistematis untuk mengekpresikan makna dalam konteks dan linguistik (chapelle 1), sedangkan Halliday mendefinisikannya sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana orang bertukar makna melalui penggunaan bahasa. Pengertian ini mengimplikasikan bahwa bahasa itu ada dan hams dipelajari dalam berbagai macam konteks. Untuk memperjelas hal itu, kita dapat mengacu tulisan Kridalaksana yang menyatakan bahwa sebagai fenomen yang menyatukan dunia makna (semantik) dan dunia bunyi (fonetik), bahasa merupakan sistem yang terjadi dari tiga subsistem, yakni leksikon, grammatika, dan fonologi. Sebagai suatu sistem, bahasa berada di dalam konteks. Grammatika merupakan sebuah struktur yang terjadi dari dua bagian yang saling berkaitan, yaitu morfologi dan sintaksis. Hubungan di antara bahasa dan konteks disebut pragmatik.

    Karena fungsionalisme merupakan gerakan linguistik yang berupaya menjelaskan fenomen bahasa, analisis dapat dilakukan secara menyeluruh dari fungsi dan bentuk secara sintaktis, semantis, ataupun pragmatis. Gerakan ini juga menjadikan pemahaman atas kemampuan komunikatif sebagai tujuan analisis bahasa.

    Salah satu wujud fenomena bahasa yang ada dalam kehidupan sehari-hari adalah pemberian informasi pribadi saat berkenalan. Agar komunikasi dapat terus berlangsung dalam interaksi pembicara dan pendengar, diperlukan pertukaran informasi pribadi yang sifatnya tidak rahasia, misalnya nama,

    Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli)

    109

  • pekerjaan, dan asal. Hal ini tentunya berbeda-beda dalam setiap kebudayaan. Dalam Kebudayaan Indonesia, keluarga dan status peroikahan bisa merupakan informasi yang dapat disampaikan pada pertemuan pertama atau pada saat perkenalan. Bentuk penyampaian ini tidak terdapat dalam kebudayaan negara-negara Barat. Tulisan ini akan menganalisis fungsional secara sintaktis, semantis, dan pragmatis tentang ungkapan-ungkapan informasi pribadi yang diberikan pada saat perkenalan dalam bahasa Inggris.

    II. Kerangka teoretis Secara umum analisis sintaktis, semantis, dan pragmatis akan dilakukan

    berdasarkan penjabaran Kridalaksana dalam Struktur, Kategori, dan Fungsi dalam Teori Sintaksis. Jadi, tulisan ini berupaya mengaplikasikan teori yang diungkapkan Kridalaksana dalam buku tersebut. 1. Fungsi Sintaktis

    110

    Sintaktis adalah sebuah struktur dengan menggunakan unsur leksem. Pada tingkatan struktur, sintaksis suatu bahasa mepunyai unsur-unsur yang terorganisasi secara sintaksis, yakni klausa dan frasa. Adapun unsur unsur frasa adalah induk dan determinator/pewatas, serta perangkai dan sumbu. Unsur-unsur klausa adalah subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Pelengkap masih bisa dibedakan menjdi pelengkap subjek, pelengkap objek, pelengkap pengguna, pelengkap pelaku, pelengkap musabab, pelengkap pengkhususan, pelengkap resiprokal, dan pelengkap pemeri. Keterangan merupakan bagian luar inti klausa yang terbagi atas keterangan akibat,. keterangan alasan, keterangan alat, keterangan asal, keterangan kualitas, keterangan kuantitas, keterangan modalitas, keterangan perlawanan, keterangan peserta, keterangan perwatasan,

    LrN411A Vol.8 No2, Oktober 108-123

  • keterangan objek, keterangan sebab, keterangan subyek, keterangan syarat, keterangan tempat, keterangan tujuan, dan keterangan waktu.

    2. Fungsi Semantis Fungsi semantis menyangkut interaksi di antara satu unsur dan unsur

    lain. Dengan kata lain, unsur satuan grammatikal diwujudkan dalam konstruksi sehingga interaksi semantis di antara satuan-satuan grammatikal dapat dirumuskan sebagai hubungan di antara predikator dan argumen dalam suatu proposisi. Bagannya adalah sebagai berikut.

    Proposisi

    Predikator argumen 1 argumen2

    Predikator mencakup makna perbuatan, cara, proses, posisi, relasi, lokasi, arah, keadaan, kuantitas, kualitas, atau identitas. Predikator tersebut secara lebih kongkret berupa verba, ajektiva, preposisi, numeralia, atau zero (0).

    Argumen merupakan benda atau yang dibendakan atau secara kongkret dapat dikategorikan sebagai nomina atau pronomina. Hubungan antara predikator dan argumen disebut peran. Adapun peran-peran tersebut adalah penanggap, pelaku, pokok, ciri, sasaran, hasil, pengguna, ukuran, alat, tempat, sumber, jangkauan, penyerta, waktu, dan asal.

    3. Fungsi Pragmatis Pragmatis merupakan struktur yang memberikan kesesuaian

    kontekstual pada apa yang diujarkan dan tidak memberikan informasi

    Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli)

    111

  • tentang isi ujaran. Aspek pragmatis ujaran diperinci atas tema dan rema, fokus dan latar, fokus kontras, dan penegasan.

    III. Analisis Secara umum, tidak banyak informasi pribadi yang akan diberikan

    seseorang pada saat perkenalan, terutama dalam budaya Barat yang menjunjung tinggi kebebasan pribadi setiap orang. Setelah mengucapkan salam berupa hi atau hello, untuk situasi informal, dan good (morning) untuk situasi formal, pembicara akan mulai memperkenalkan dirinya dan menyebut sedikit latar belakangnya. Biasanya latar belakang yang diberikan berupa informasi pribadi sekitar nama, pekeIjaan, dan asal. Ungkapan yang digunakan untuk mengungkapkan informasi tersebut berwujud.

    1. Nama My name is John Anderson I am John Anderson My friends call me John Call me John

    2. PekeIjaan I work for Diamond Bank I work as an accountant I am an accountant

    3. Asal I am from Denver I come from Denver

    Ungkapan-ungkapan inilah yang akan dianalisis satu per satu secara sintaktis, semantis, dan pragmatis. Hasilnya akan memperlihatkan pola-pola

    112 LINGUA VoL8 No2, Oktober 108-123

  • sintakstis, semantis, dan pragmatis secara umum dalam informasi pribadi yang diberikan.

    4. Kalimat: My name is John Anderson Sintaktis My name is John Anderson

    Subyek Predikat Pelengkap Subyek

    Semantis

    Predikator

    Ideltas V (be)

    is

    Pred2

    Relasi

    0

    Proposisi

    Argumen 1

    I pokok

    Proposisi 2

    Arg 2.l.

    I sumber

    I Ajektiva

    I my

    Pragmatis My name is John Anderson Tema Rema

    Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli)

    FN

    Arg2.2.

    I sasaran

    nomina

    nle John Anderso

    113

  • 5. Kalimat: I am John Anderson

    114

    Sintaktis I am John Anderson Subyek Predikat Pelengkap subyek

    Semantik

    Predikator

    ,J"" V (be)

    am

    Pragmatis I Tema

    Proposisi

    Argumen 1

    I pokok

    Pronomina

    am John Anderson Rema

    FN I

    John Anderson

    LINGUA Vo1.8 No2, Oktober 108-123

  • 6. Kalimat : My friends call me John Sintaksis -7 My friends call me John

    Subyek predikat Obyek pelengkap pengguna

    Semantis -7 Proposisi

    Predikator Argumen 1

    I Perbuatan pelaku

    J. Proposisi 2 Pred2 Arg 2.1. Arg 2.2.

    I . sumler I Relasl sasaran I I Ajektiva nomina I

    call 0 my friends

    Pragmatis -7 My friends call me John Tema Rema

    Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli)

    Argumen2

    I ciri

    I Pronomina

    me

    pengguna

    Nomina

    JOM

    115

  • 7. Kalimat: Call me John. Sintaksis -7 Call me John

    Predikat obyek pelengkap obyek

    Semantis -7

    Pre ator

    1mn I Verna I call

    Pragmatis -7 Call me John Fokus latar

    Proposisi

    Argumen 1 Argumen2

    I penggJ NomJ

    sasaran

    Prolm;na me

    116 LlNGIlA Vol. 8 No2, Oktober 108-123

  • 8. Kalimat: I work for Diamond Bank Sintaktis I work for Diamond Bank

    Subyek Predikat keterangan tujuan

    Argumen2 Pre ator

    pe

  • 9. Kalimat: I work as an insurance agent Sintaktis -7 I work as an accountant

    Subyek Predikat pelengkap pengkhususan Semantis -7 Proposisi

    Predikator Argumen 1 pel_ I ve1

    Argumen2

    ,asamn I I

    Proposisi2

    prel2 ArgrU j angkauan sasalan

    I Proposisi 3

    wor

    Pred 3 Arg 3.1 Arg 3.?

    idenJitas cih pokok 01 al I h ccountant I as

    Pragmatis -7 I work as an accountant Tema Rema

    118 LrN411A Vol.8 No2, Oktober 108-123

  • 10. Kalimat : I am an accountant Sintaktis I am an accountant

    Subyek Predikat Pelengkap subyek Semantik Proposisi

    Predikator

    I Argumen 1

    I Identitas

    I pokok

    I

    Argumen2

    I ciri

    I V (be) Pronomina proposisi 2

    am

    Pragmatis I Tema

    am an accountant Rema

    Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli)

    I

    Pred2 Arg 2.1. Arg 2.2

    I I I Identitas ciri pokok

    I Numeralia Nomina

    o an accountant

    119

  • 11. Kalimat : I am from Denver Sintaktis I am from Denver

    Subyek Predikat ket. tempat

    Semantik

    Predikator

    I Identitas

    V (be)

    am

    Pragmatis

    120

    I Tema

    Proposisi

    Argumen 1

    I

    Pronomina

    I

    am from Denver Rema

    Argumen2

    I tempat*

    proposisi 2

    Predikator 2 Arg 2.1

    I I Arab tempat

    I I Preposisi Nomina from Denver

    LlNGIJA Vol.8 No2, Oktober 108-123

  • 12. Kalimat : I come from Denver Sintaksis I come from Denver

    Subyek Predikat Ket. Tempat

    Semantik Proposisi

    Predikator Argumen 1

    I I perbuatan pelaku Verba Pronomina

    come

    Pragmatis I come from Denver Tema Rema

    Argumen2

    I tempat*

    proposisi 2

    Predikator 2 Arg 2.1

    I I Arah tempat I I

    Preposisi Nomina

    I from Denver

    Berdasarkan pengategorian di atas, terlihat bahwa sintaktis terdiri dari subjek dan predikat serta pelengkap, ada yang berupa pelengkap subjek, pelengkap pengguna, pelengkap objek, dan pelengkap pengkhususan. Secara umum pola ini digunakan dalam ungkapan untuk menyebutkan nama dan profesi. Namun, untuk menyebutkan temp at bekerja dan asal, pol a yang terlihat secara sintaktis adalah lebih pada penggunaan keterangan tempat.

    Secara semantis, pola yang banyak muncul adalah identitas, pokok, dan em. Identitas untuk predikator, sedangkan pokok dan ciri merupakan argumen. Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli) 121

  • Hal ini muncul karena sebagian besar pola kalimat dalam ungkapan menggunakan to be. Ada juga yang tidak berbentuk seperti ini karena menggunakan kata kerja, di antaranya, work (bekerja) dan come (datang). Pola yang terbentuk adalah perbuatan untuk predikator dan pelaku untuk argumen.

    Ada juga bagian yang sifatnya meragukan. Frasa preposisional dalam from Denver merupakan keterangan tempat secara sintaktis, tetapi bagaimana secara semantis. Dalam tulisannya, Kridalaksana menyatakan bahwa tempatnya, dalam hal ini Denver, yang menjadi tempat dalam kategori semantis. Preposisi tidak diikutkan. Jika hanya kata Denver yang mempunyai peran tempat, kata from tidak punya peran apa-apa. Hal ini juga terjadi pada frasa for Diamond Bank dan as an accountant. Secara sintaktis, keduanya mempunyai fungsi, tetapi secara semantis tidak mempunyai peran yang sesuai dengan kategori peran yang ada karena keduanya diawali preposisi. Apakah preposisi tidak pedu mempunyai peran? Hal ini membutuhkan kajian yang mendalam.

    Secara pragmatis pola yang banyak ditemukan adalah tema dan rema. Tidak banyaknya variasi muncul karena bentuk-bentuk kalimat dalam ungkapan tersebut diawali oleh bagian yang memberi informasi tentang apa yang diujarkan, sedangkan bagian berikutnya memberi informasi tentang bagian yang dikatakan pada bagian sebelumnya.

    IV. Simp ulan Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa secara sintaktis semua

    kalimat dalam ungkapan yang memberi informasi pribadi ini dapat mengisi fungsinya dengan baik meskipun bahasa yang digunakan bukan bahasa Indonesia. Karena yang banyak digunakan adalah bentuk dengan to be, fungsi pelengkap menjadi sangat dibutuhkan. Hal ini dimungkinkan karena

    122 LfN4UA Vo1.8 No2, Oktober 108-123

  • penggunaan to be sebagai kata kerja bantu yang menghubungkan subjek dengan infonnasi setelah to be atau sebagai linking verb. Secara semantis penggunaan to be memunculkan peran identitas, pokok, dan ciri. Adapun secara pragmatis, tema dan rema tetap mendominasi. Hal ini muncul karena infonnasi khusus diberikan dibagian akhir kalimat.

    DAFTAR PUSTAKA

    Badger, Ian, et.al. 1993. American Business English Program. Hong Kong: MacMillan Publishers Ltd.

    Chapelle, Carol A. 1998. "Some notes on Systemic-Fuctional Linguistics".

    Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic. London:Open University Set Book.

    Kridalaksana, Harimurti. 2002. Struktur, Kategori dan Fungsi dalam Teori sintaksis. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

    _____ dkk. 1985. Tata Bahasa DeskriptifBahasa Indonesia: Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud

    "What is systemic-Fungtional Linguistics" www.Wagsoft.com

    Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli) 123

  • DERIVATIONAL SUFFIXES -ing and -ed and THEIR TRANSLATION in INDONESIAN

    Risna Saswati Staj Pengajar Jurusan Bahasa Inggris STBA LIA Jakarta

    risna [email protected]

    Abstract This study analyzes the English derivational sufflXes -ing and -ed in which

    derivational process is often inconsistent and it may result in a word changing its part of speech category. Derivational afflXes are sometimes hard to understand, for they appear to be variable in their meanings as attached to different bases. The interpretation can be variable in adjectival, verbal and nominal. The process of derivation itself is opaque. Hence, the interpretation of them is not easy. Therefore, this study is to determine the type of derivational sufflXes -ing and -ed and their syntactic functions. Then,it is to investigate the interpretation of derivational sufflXes -ing and -ed The strategy of shifts that the translator used is analyzed Finally, this study is to investigate to what extent the derivational sufflXes -ing and -ed are accurately, clearly, and naturally translated

    Key words: Derivational sufflXes -ing and -ed, acijectival, verbal, nominal, shifts

    SETTING OF THE STUDY Derivation involves many different kinds of changes in words. The

    derivational process is often inconsistent and it may result in a word changing its part of speech category. Derivational affixes are sometimes opaque since they appear to be variable in their meanings as they attach to different bases.

    English has an extensive derivational morphology. Unlike o

    inflectional suffixes, which are always suffixes, derivational affixes may be either prefixes or suffixes. Moreover, an English word may contain more than derivational affixes whereas it may contain no more than one inflectional affix. Derivational affixes create new lexemes that are inflected. The example is the verb begin is added by suffix to form noun beginning. It is inflected by suffix -s to form plurality (Wardhaugh, 226:2005).

    Derivational suffixes -ing and -ed are to form noun and adjective. The suffix -ing, either forming adjective or noun, can be interpreted as

    124 LINGUA Vo1.8 No.2, Oktober 124-138

  • adjectival, nominal or verbal whereas the suffix -ed can be interpreted as adjectival and verbal. The word moving in the moving elephant is interpreted as verbal. Furthermore, the word complicated in a complicated question is interpreted as adjectival. The category of the two examples is adjective. The resultant base is deverbal adjective and the process is adjectivalisation. The word moving is translated into berpindah in which there is a class shift. There is a change from adjective to verb. Furthermore, the word complicated is translated into sulit in Indonesian in which there is no shift in class category.

    The process of derivation itself is opaque; moreover, the interpretation of derivation is not an easy task for the translator. Therefore, the writer chooses the topic of the translation of derivational suffixes -ing and -ed (henceforth, the -ing and -eel)

    STATEMENTS OF THE PROBLEMS The main problem is: Do the translations of the -ing and -ed result in the meaning as the author intends to convey? The sub problems are:

    1. How are the types and interpretation of the -ing and -ed occurring in the novel distributed?

    2. How are the -ing and the -ed translated? 3. To what extent does the Indonesian translator transfer the -ing and -ed

    successfully with respect to the accuracy, clarity and naturalness?

    Derivational Suffixes -ing and and Their Translation in Indonesian 125

  • OBJECTIVES OF THE STUDY The study is to determine the distribution of the types of the -ing and -ed in the novel. Furthermore, I would like to find out to what extent the derivational suffixes -ing and -ed are accurately clearly and naturally translated.

    THEORETICAL REVIEW Derivational Suffixes Stageberg (1981) proposes three characteristics of derivational suffixes:

    1. The words with which derivational suffixes combine is an arbitrary matter. The verb adorn becomes noun by the addition of -ment. No other suffix will do whereas the verb fail combines only with -ure to make a noun, failure.

    2. A derivational suffix changes the part of speech of the word to which is added. The noun act becomes as an adjective by the addition of -ive, and the adjective active becomes verb by the addition of -ate.

    3. Derivational suffixes usually do not close off a word; that is, after a derivational suffix, another derivational suffix is added. The inflectional affixes close off a word.

    Some suffixes, both inflectional and derivational, have homophonous forms. The verbal inflectional suffix {-ING vb} has two homophones in -ing. The first one is the nominal derivational suffix {-ING nm}, which is found in words like meetings, weddings, readings. This nominal {-ING nm} is obviously derivational since it permits the addition of an inflectional suffix to close it off, the noun plural {-s pl}.When such a word occurs alone without the inflectional suffix, e.g. meeting, the -ing is ambiguous, for it could be either {-ING vb} as in He is meeting the train or {-ING nm}, as in He attended the meeting.

    126 LINGUA Vol.8 No.2, Oktober 124-138

  • The second homophone of {-ING vb} is the adjectival morpheme {-IN G aj}, as in a charming woman. There are two tests by which the verbal {-ING vb} can be distinguished from the adjectival {-ING aj}. The verbal {-ING vb} can usually occur after as well as before the noun it modifies, e.g., I saw a burning house. It is not possible to attach qualifier before the word burning. Therefore, it is not accepted for I saw a rather burning house. The adjectival {ING aj} can be preceded by a qualifier like very, rather, quite, or by the comparative and superlative words more and most, as in:

    (i) It is a very comforting thought. (ii) This is a more exciting movie.

    Moreover, it can be compared with the phrases that interesting snake and that crawling snake. The bold words are interpreted as adjectival derivational. The adjectival {ING aj} can occur after seem: That snake seems interesting, whereas the verbal {-ING vb} cannot occur after seem that snake seems crawling. Therefore, the word crawling cannot be interpreted as adjectival derivational.

    The verbal inflectional {-D pp} has a homophone in the adjectival derivational {-D aj}, as in Helen was excited about her new job. The adjectival { -D aj} is characterized by its capacity for modification by qualifiers like very, rather, quite, and by more and most. For example, A rather faded tapestry hung over the fire place shows the verbal {-D pp}, on the other hand, it does not accept such modifiers. The seems test for adjectival {-ING aj} is applicable to adjectival {-D aj}; for example, The tapestry seems faded but it is not accepted for The guests seem departed.

    Ambiguity occurs when the -ed suffix can be interpreted as either {D-pp} or {-D aj}. The example it was finished job means it was a completed

    Derivational Suffixes -ing and -ed and Their Translation in Indonesian 127

  • job or it was a perfected job. In the sentence our new surgeon is reserved means that he is quiet or he is kept reserved set aside to practice his specialty. Derivation and Its Structure Aronoff and Fudeman (2005) elaborate derivation and the structure of derivation. To determine the order of functions leading to a form, it helps to consider other words that contain the same parts. The prefix un- attached to nouns is exceptional case. However, it regularly attaches to adjectives. The use of "add -ly" which forms adjectives, must come before the function "Add un-". In the case of unfriendly, it can determine the order of functions easily since friendly is a possible word, but unfriend is not.

    The fact that speakers of many languages can add phonological material to either end of a word sometimes leads to complex structures. The examples show that case:

    a. Reinterpretation b. Poststructuralist

    These words have the following structures: a. [{ re - {interpret} v } v - ation] N b. [Post - [ { { structure]N - al ] A - ist ] A ] A

    It tells that reinterpretation is the act of reinterpreting, not re- the act of interpreting. It starts out with a verb, interpret, form a new word via the prefix re -and finally form a noun by adding the suffix -ation. In the case of poststructuralist, it starts by the noun structure, make an adjective via the adjectival suffix -aI, create a new adjective by adding the suffix -ist, and a further, one by adding the prefix post-. The bracketing structures are in convenient, in part because they are so compact. It is clear when using the tree diagrams:

    128 UN4lJA Vo!.8 No.2, Oktober 124-138

  • N /\ v -ation

    re- interpret This diagram shows that re- and verb interpret form a unit, a verb,

    which attaches to the noun forming suffix -ation. Combining prefixation and suffixation leads to ambiguous forms in The examples are given in :

    a. Undressed b. Unpacked c. Unzipped

    The ambiguity of the forms is due to the fact that the prefix un- has at least two distinct roles in English, depending on what it attaches to. When prefixed to a verb, un- is called reversative with the basic meaning, 'Undo the action of the verb'. If you unpack a suitcase, you return the suitcase to the state it was in before the packing action took place. If you untie a package, you return it to the state it was in prior to being tied.

    When attached to adjectives, including participial adjectives like wounded or stressed, un- means not. If a soldier leaves the battlefield unwounded, it is not the case that he was first wounded and then unwounded, because it is impossible to unwound a person. The soldier in question is 'not wounded'. Other forms are unafraid, uncertain, and un-American. The analysis of an example like Unzipped depends the interpretation of its prefix un-.

    Derivational Suffixes -ing and --ed and Their Translation in Indonesian 129

  • [ { un- zip (P) } ed] . V

    V

    /\ un- ZIP -ed

    Adj /\ un- zipped

    The prefixation of the reversative un- yields the meaning 'cause to be zipped no longer'. The suffix -ed is then added to create the past tense or the past participle. The second possibility is that unzipped has the structure in: [un- [zipped]].

    This fonn has the meaning 'not zipped', or, in the case of a computer file, 'having never been stored on a zip disk'. The crucial semantic distinction between the two is that only unzipped requires that a zipping action has taken place at some past point. Structurally, they differ in the ordering of the affixation processes.

    It will be in a question whether the words unwashed and undisturbed ambiguous. They m;e not since they mean not. The only word that works is unraveled. There is a verb ravel. However, it means the same thing as unravel: separate or undo the threads or fibers of something. As a result, if something is unraveled, it cannot mean 'not raveled'. It can only mean that it has come undone. Additionally, they state the syntactic function of the adjectives. The following is a discussion of it as attributive and predicative: 1. Adjectives are attributive when they premodify the head of a noun phrase.

    130 lINGlIA Vol.8 No.2, Oktober 124--138

  • 2. They are predicative when they function as subject complement or object complement.

    3. Adjectives are subject complement not only to NP, but also to finite clauses and non finite clauses:

    That you need a car is obvious. Playing chess can be enjoyable.

    4. Adjectives can also be object complement to clauses: I consider what he didfoolish.

    5. A few adjectives with strongly emotive valued are restricted to attributive position, though the scope of the adjective clearly extend to the person referred to by the noun, e.g. you poor man, my dear lady, that wretched woman.

    Besides the syntactic functions of adjectives, they have the semantic function. When adjectives characterize the referent of the noun directly, they are termed inherent, when they do not ( an old friend of mine) they are termed non-inherent. Most adjectives are inherent. For example, the inherent adjective in a wooden cross applies to the referent of the object directly: a wooden cross is also a wooden object. On the other hand, in a wooden actor the adjective is non-inherent: a wooden actor is not a wooden man.

    Verb vs. Noun As with the participle, there is the formulation 'as or like' in talking of the functional resemblance between a gerund and a noun. Gerund is verbal noun, but there are strong grounds for analyzing the word destroying in Destroying the Jiles was a serious mistake is a verb. The examples following are to show the difference between verb and gerundial noun which is genuinely noun: (i) He was expelled for killing the birds. [ form of the verb]

    Derivational Suffixes -ing and -ed and Their Translation in Indonesian 131

  • (ii) She was witnessed the killing of the birds. The main grammatical differences are as follows: a. Complementation

    [ gerundial noun]

    Verbs and nouns differ in the kinds of complement they take. Transitive verbs can take NP objects whereas the corresponding nouns take an of P P: compare the birds in (i) of the birds (ii). Predicative complements are with verbs but not with nouns, He has a fear of seeming unintelligent, but not He has a fear of the seeming unintelligent.

    b. Modification by adjective or adverb Nouns are characteristically modified by adjectives, such as in She had witnessed the wanton killing of the birds. There is combination of adjective and noun.

    c. Determiners The and comparable determiners combine with nouns, not verbs. Thus it is not possible for the killing the birds.

    d. Plural Inflections Gerundial nouns can very often inflect the plural, as in These killings must stop. This is never possible with the verbs: Killings the birds must stop.

    Words with a verb base and -ing suffix fall into the following three classes: (i) She had witnessed the killing of the birds. (ii) a. He was expelled for killing the birds.

    [gerund-participle form of the verb] b. They are entertaining the prime minister

    [gerund-participle form of the verb] (iii) The show was entertaining.

    132

    [ gerundial noun]

    [ participial adjective]

    LINGUA Vo1.8 No.2, Oktober 124--138

  • DATA ANALYSIS Untiring SL : His energy is untiring. 149

    TL : Tenaganya tak mengenallelah. 152

    D Untiring is tak kenallelah.

    The word untiring is classified as negation. It has the type of featural derivation in which there is no change of category of the underlying base but operates on the values of inherent features. Those adjective has the structure [{v} v -ing adj]adj}] which is realized by a diagram tree following:

    Adj

    (verb) (suffix) The adjective untiring is added prefix un- to show negation. The

    structure changes by this addition, [{un-[{v}v}-ing adj}] adj}]. The diagram tree is reflected as:

    adjective

    (prefix) (suffix)

    The adjective untiring means not to get tired. It is translated into tak kenai lelah which is an adjective. The translator chooses tak mengenal lelah.

    Derivational Suffixes -ing and -ed and Their Translation in Indonesian 133

  • However, the translation does not sound natural. The suggested translation is dia tak mengenallelah or dia tak kenallelah.

    unused SL: With absent-minded fingers he straightened the unused inkstand 108

    that Japp's impatient hand had set little askew. TL: Dengan pikiran menerawangjari-jariPoirot membetulkan letak III

    tempat tinta yang telah dibuat miring oleh tangan Japp yang kurang sabar.

    D: Unused means tak terpakai

    The type of derivation is featural derivation in which there is no change of category of the underlying base but operates on the values of inherent features. The word has the structure [{use} v} -ed adj} adj}] which is realized by a diagram tree following:

    Adj

    use (verb)

    -ed (suffix)

    The adjective used is added prefix un- to show negation. The structure changes by this addition, [{un-[{use }v}-ed adj}] adj}]. The diagram tree is reflected as:

    adjective

    un-(prefix) (verb) (suffix)

    134 LlNGllA VoL8 No.2, Oktober 124-138

  • The adjective unused means not used, not in use, that has never been used. It is translated into tak terpakai in Indonesian. The translator chooses yang dibuat miring in order to meet the equivalency. However, it does not sound accurate, clear and natural. The suggested translation is Dengan pikiran menerawang jari-jari Poirot membetulkan letak tempat tinta yang tak terpakai lagi yang tersenggol tangan Japp.

    CONCLUSIONS Based on the analysis, the research has verified the types and the interpretation of derivational suffixes -ing and -ed as follow:

    1. The -ing and the -cd which apparently derive adjective from verb undergoes the process of adjectivalisation. The conversion results in deverbal adjective. Their interpretations are both adjectival and verbal.

    2. The -ing derives a noun from a verb undergoes the process of nominalization. The resultant base is categorized as deverbal noun. This type of derivation is

    interpreted as nominal.

    3. There are two tests by which the verbal can be distinguished from the adjectival. The seem test and adverb degree test are used to distinguish the data whether they are interpreted as adjectival and verbal. Those tests can be applied both. Otherwise, it is only compatible for seem test or adverb degree test to distinguish the adjectival or the verbal. In other words, if the data do not pass the seem or adverb degree test, they are interpreted as verbal.

    4. In translating the derivational -ing and -ed, the translator applies the category shifts which are segmented into unit shift and class shift. Unit

    Derivational Suffixes -ing and -ed and Their Translation in Indonesian 135

  • shift occurs when there is a conversion from one language unit to another one. The five language units are sentence, clause, phrase, word, and morphemes. Meanwhile, the class shift occurs when the translation equivalent of a source language item is a member of different class from the original item. The unit shift occurs for there is a conversion from a word to a phrase. The adjective in the source language is translated into adjective phrase, verb phrase, noun phrase, and adverbial phrase.The class shift occurs for there is a change from adjective to verb and noun.

    BmLIOGRAPHY Baker, Mona. 1992. In Other Words: A Course Book on Translation. New

    York: Routledge. Bauer, Laurie. 1983. English Word-Formation. Cambridge: Cambridge

    University Press. Bauer, Laurie. 2003. Introducing Linguistic Morphology. Edinburg: Edinburg

    University Press.

    Bickford, J. Albert. Tools/or Analysing the World's Language: Morphology and Syntax. 1998. The Summer Institute of Linguistics.

    Brinton, Laurel 1. 2000. The Structure 0/ Modern English. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

    Catford, 1. C. 1980. A Linguistic Theory o/Translation. London: Oxford University Press.

    Fromkin, V, R. Rodman and N. Hyams. 2003. An Introduction to Language. i h ed. London: Holt, Rinehart and Winston.

    Greenbaum, Sidney.1996. The Oxford English Grammar. Oxford: Oxford

    136 LINGUA Vol.8 No.2, Oktober 124--138

  • University Press. Huddlestone, Rodney and Geoffrey K. Pullum. 2005. The Cambridge

    Grammar of the English Language. Cambridge: Cambridge University Press.

    Huddlestone, Rodney and Geoffrey K. Pullum. 2005. A Student's Introduction to English Grammar. Cambridge: Cambridge University Press.

    Hatim, B., and 1. Mason. 1990. Discourse And Translator. New York: Longman, Inc.

    Katamba, Francis.1993. Morphology. The Macmillan Press. Larson, Mildred L. 1984. Meaning-Based Translation. United State of

    America: University Press of America. LeTourneau, Mark. S. 2005. English Grammar. Harcourt Incorporated: United

    States of America. Newmark, Peter. 1988. A textbook Of Translation. New York: Prentice Hall. Nida, Eugene A. and Charles R. Taber. 1969. The Theory and Practice of

    Translation. Leiden: E.J. Brill.

    Nunan, David. 1992. Research Methods in Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press.

    O'Grady, W. 1997. Contemporary Linguistics. London: Longman. Plag, Ingo. 2003. Word-Formation in English. Cambridge: Cambridge

    University Press. Quirk, Randolf., Sidney Greenbaum, Geoffrey Leech, and Jan Svartvik. 1985.

    A Comprehensive Grammar of the English Language. London: Longman.

    Quirk, Randolf., Sidney Greenbaum, Geoffrey Leech, and Jan Svartvik. 1990. A Student's Grammar of The English Language. London: Longman

    Derivational Suffixes -ing and -ed and Their Translation in Indonesian 137

  • Spencer, Andrew., and Arnold M. Zwiky (Ed). 2001. The Handbook of Morphology. UK: Blackwell Publishers Ltd.

    Stageberg, Nonnan C. 1993. An Introductory English Grammar. United States of America: Harcourt Brace Jovanovich College Publisher.

    Swan, Michael. 1995. Practical English Usage. Oxford: Oxford University Press.

    Wardaugh, Ronald.2005. Understanding English Grammar: A Linguistic Approach. United Kingdom: Blackwell Publishing.

    CONSULTED DICTIONARY Alwi, Hasan (ed). Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3rd edn. Jakarta: Balai

    Pustaka. Frederick C. Mish (ed). Merriam- Webster's Collegiate Dictionary. 11th ed.

    Merrlam-Webster Incorporated: USA. Richards, J. C. and Richard Schmidt. 2002. Longman Dictionary of Language

    Teaching and Applied Linguistics. 3rd edn. London: Pearson Education. Salim, Peter. 1991. The Contemporary English- Indonesian Dictionary. 15t edn.

    Modem English Press: Jakarta.

    138 LINGUA Vol.8 No.2, Oktober 124--138

  • PERBANDINGAN SEJARAH SERTA PERKEMBANGAN KOMIK INDONESIA DAN JEPANG

    Sissy N. Rahim Staf Pengajar Bahasa Jepang STBA LIA Jakarta

    sissy [email protected]

    Abstrak Kornik merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia dan Jepang, dan dalam

    perkernbangannya teIjadi berbagai persamaan dan perbedaan yang tampak jelas. Persamaan pada perkernbangan komik di kedua negara ini, antara lain, tarnpak pada sejarah kuno dan pengaruh yang sarna-sarna diperoleh dari komik Eropa dan Amerika, sedangkan perbedaan tampak mencolok pada perkembangannya di saat modem ini-dengan tenggelarnnya komik Indonesia dan boomingnya manga (kornik Jepang) yang rnenyebar dan menjadi sangat berpengaruh di seluruh dunia. .

    Kata kunci: perbandingan, perkernbangan, komik

    Abstract Comics is a part of Indonesia and Japan's culture, and in it's development, there are

    many similarities and differences that could be seen clearly. The similarities are shown at the early history, and the influence of European and American comics. The differences could explicitly seen at the modern developments, as the Indonesian comics' dowrifall and manga 's (Japanese comics) booming, which spread and influencing the whole world

    Keywords: comparative, development, comic

    PENDAHULUAN Kata komik diterima secara umum untuk menyebut sastra gambar

    (Boneff, 1998: 9). Ahli teori komik cenderung menganggap komik sebagai salah satu bentuk akhir dari hasrat manUSIa untuk menceritakan pengalamannya melalui gambar dan tanda. (Boneff, 1998: 16): Bahkan, dalam bentuk kuno komik terlihat dalam berbagai lukisan dinding gua atau relief di berbagai kuil.

    Sebenarnya, komik bukan hanya berkembang di Jepang atau Indonesia, tetapi terdapat di seluruh kebudayaan di dunia. Komik Indonesia dan Jepang (manga) sendiri dapat dibandingkan secara historis karena ada banyak persamaan yang terlihat, terutama dalam sejarahnya. Namun, perkembangan

    Perbandingan Sejarah dan Perkembangan Komik Indonesia dan Jepang (Sissy N. Rahim) 139

  • berikutnya pada zaman kontemporer, terutama tahun SO-an, perbedaan yang mencolok mulai tampak.

    Komik Indonesia yang bangkit pada dekade 60-70-an memiliki penggemar yang tidak sedikit di tahun itu. Sebut saja komik-komik terkenal seperti Gundala Putra Petir karya Hasmi, Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes TH, dan Mahabharata-nya RA Kosasih (Republika Online, 11 Maret 2007). Akan tetapi, seiring dengan datangnya komik-komik Barat (Eropa dan Amerika) pada dekade SO-an-seperti Nina, Asterix, dan Storm-serta masuknya komik Jepang di pasaran pada SO-an, komik Indonesia tidaklah menjadi tuan rumah di negeri sendiri lagi. Kini komik Indonesia yang sangat orisinal sedang berusaha untuk bangkit kembali walaupun sangat terpengaruh oleh komik yang berasal dari Iuar, yaitu manga.

    Manga merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut komik Jepang. Kata manga dapat berarti karikatur, kartun, comic strip, buku komik, atau animasi. Istilah ini dibuat oleh seniman ukiyo-e, Hokusai, pada ISI4, dan kata ini terdiri dari kanji man-- atau (in spite of oneself 'tanpa sengaja') serta kanji ga--0O1 (gambar), serta digunakan Hokusai untuk makna whimsical sketches (Schodt, 1983: IS).

    Bagi orang Jepang manga bukan hanya bacaan anak, tetapi dengan" bentuk story manga (manga panjang dengan struktur yang detail dan teknik yang mendapat pengaruh dari teknik film) (Yutaka, 1995: 74). Pembaca manga sangat beragam, dari murid SD sampai ibu rumah tangga dan para pekerja kantoran. Dikatakan bahwa dalam manga sendiri objeknya terus berkembang seiring dengan perkembangan pembacanya dan dengan isi yang sarna beragamnya, dari sejarah, ekonomi, teknik, sains, dan lainnya(Yutaka, 1995: 74-75). Bahkan, dijelaskan pula bahwa dengan segala perkembangan manga IllI, manga-bunka (kebudayaan manga) yang ada di Jepang tidak dapat

    140 LINGUA Vol.8 No.2, Oktober l39--150

  • diragukan lagi, merupakan salah satu simbol kebudayaan (Jepang) kontemporer (Yutaka, 1995: 77).

    Sebagai suatu bagian dari kebudayaan yang sarna-sarna berkembang di negara masing-masing, seperti apa saja perbedaan dan persarnaan dari sejarah perkembangan komik Indonesia dan manga Jepang? Dalarn karya tulis ini penulis bukan mencari sebab teIjadinya perbedaan itu, melainkan ingin melihat seperti apa serta kapan persamaan dan perbedaan itu teIjadi.

    PERBANDINGAN SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KOMIK Jika dibandingkan secara sistematis, dapat dilihat jelas tituk-titik

    persarnaan dan perbedaan dari sejarah dan perkembangan komik Indonesia dan Jepang. Hal ini telah dimulai sejak zaman kuno sarnpai saat ini. 1. Komik Indonesia

    Berikut dipaparkan sejarah, pekembangan, dan komik Indonesia sarnpai sekarang. Pemaparan komik Indonesia ini dimaksudkan sebagai dasar perbandingan bagi komik lain, khusunya komik Jepang sehingga terlihat jelas persamaan dan perbedaannya. a. Sejarah Kuno

    Sejarah kuno komik Indonesia dapat dilihat pada berbagai relief di kuil, seperti Borobudur dan Prambanan yang seluruhnya menjalin suatu cerita yang berkesinambungan. Di candi Borobudur, reliefnya sering kali dibandingkan dengan buku batu yang disebut sebagai katedral Abad Pertengahan karena Borobudur mengandung sebelas seri bas-relief, yang mencakup sekitar 1460 adegan yang kemudian membantu langkah-langkah peziarah yang berkunjung ke sana. Serta, di Prarnbanan, relief Ramayana digunakan untuk mengajar umat Hindu (Boneff, 1998: 16).

    Perbandingan Sejarah dan Perkembangan Komik Indonesia dan Jepang (Sissy N. Rahim) 141

  • Dalam perkembangan berikutnya, dapat dikatakan pula bentuk komik kuno Indonesia terwujud dalam seni wayang. Marcel Boneff mengatakan bahwa, walau seni wayang adalah salah satu bentuk sastra gerak (Boneff, 1998: 6), bentuk wayang beber yang terdapat dalam desa Gedompol, dengan lakon Djaka Kembang Kuning merupakan salah satu bentuk komik kuno (Boneff, 1998: 17) atau dalam istilah Boneff, wayang beber dan wayang kulit yang menampilkan tipe peneeritaan dengan sarana gambar dapat dianggap sebagai cikal bakal komik (Boneff, 1998: 19). b. Perkembangan Komik Modern

    Komik modem di Indonesia muneul semng dengan diterimanya pengaruh komik Barat (Eropa dan Amerika) yang datang ke Indonesia dalam bentuk comik strip yang dimuat dalam berbagai media massa, seperti komik karya Clinge Doorenbos yang berjudul Flippie Flink yang dimuat dalam harian berbahasa Belanda, De Java Bode (1938), dan komik Flash Gordon dalam Harian De Orient. Kemudian, komikus Indonesia pun mulai berkarya dalam harlan lokal, seperti karya komikus muda Kho Wang Gie muneul pada 1931, dengan tokok gendut Put On pada harlan Sin Po; Nasrun A.S. menggambar Mentjari Puteri Hidjau yang dimuat dalam mingguan Ratu Timur dan B. Margono menggambar legenda yang termahsyur, Roro Mendoet dalam harian Sinar Matahari di Yogyakarta yang juga memuneulkan Pak Leloer (1942 (Boneff, 1998: 20-21).

    Setelah merdeka, perkembangan komik di Indonesia mengalami berbagai kesulitan, terutama karena alasan keterbatasan biaya dan sumber daya untuk produksi. Hal itu menjadi peluang masuknya komik-komik Barat, seperti komik Tarzan di Keng Po (1947), tahun 1952 Rip Kirby karya Alex Raymond, Phantom karya Wilson Me Coy, Johny Hazard karya Frank Robbins(Boneff, 1998: 22). Akan tetapi, pada 1954 komikus Indonesia kembali bangkit dan

    142 LlN4UA Vol.8 No.2, Oktober 139--150

  • mulai berkarya. Komik Indonesia kembali digemari dan jadi populer. Contohnya adalah komik Sri Asih (1954) dan komik Putri Bintang dan Garuda Putih karya Johnlo, dan Mahabharata karya Kosasih (Boneff, 1998: 24-28). Kebangkitan itu berakhir pada dekade 80-an, yang dikatakan sebagai masa tersuram perkembangan komik Indonesia (Kompas, 20 Maret 2004), komik Indonesia dapat dikatakan dalam kondisi mati suri, dan bam bangkit kembali secara perlahan-lahan pada tahun 1992, dengan munculnya komik Kapten Bandung dan komik Carok (Republika, 21 Juli 2004). Perkembangan ini pun terns berlanjut dengan lambat tetapi pasti. awal abad ke-21 ini, komik Indonesia mulai terlihat kembali dengan lebih nyata. c. Jenis-jenis Komik yang Berkembang

    Jenis-jenis komik yang berkembang di Indonesia beragam, dari yang mengalami pengaruh-atau lebih tepat menirn-komik barat, seperti Sri Asih karya Kosasih, sampai dengan komik yang berakar pada kebudayaan Indonesia, umpamanya komik wayang hingga komik remaja atau senng disebut juga komik percintaan. Jenis-jenis komik itu berkembang seSUal zamannya sesuai dengan genre yang populer pada masa itu. Misalnya, pada awal zaman kemerdekaan, diusahakan agar komik yang bertema perjuangan yang muncul, seperti Kisah Pendudukan Jogja karya Abdulsalam (awa150-an) di harian Kedaulatan Rakyat (Bone:ff, 1998: 21). Kemudian, sampai pada awal 60-an, komik populer yang muncul mengambil tema dari wayang purwa, seperti Mahabharata karya Kosasih, legenda, dan babad seperti kisah-kisah Tjandra Kirana, Raden Pandji Kudawamengpati, Pandji Wulung, Raden Widjaja, Hajam Wuruk dan Pitaloka, Berdirinya Madjapahit, Damar Wulan, Menak Djingga, Ken Angrok, dan legenda Sunda (Lutung Kasarung dan Sangkuriang). Legenda Jawa bagian Tengah (Nji Rara Kidul, Lara Djonggrang) , dan bagian Timur (Sedjarah lahirnja Rejog Banjuwangi), lalu

    Perbandingan Sejarah dan Perkembangan Komik Indonesia dan Jepang (Sissy N. Rahim) 143

  • Bawang Putih dan Bawang Merah, Andi=-Andi Lumut, Djoko Tingkir, dan lainnya.

    Berikutnya, legenda-Iegenda Sumatra menjadi lebih menonjol dengan munculnya penerbit Casso di Medan dengan karya-karya bertema cerita dari legenda Minangkau, Tapanuli, atau Deli kuno. Bahkan, pada 1962, ketika di Jawa mulai menurun, produksi komik di kota itu justru mencapai puncaknya, misalnya komik Bunda Karung, Pendekar Sorak Merapi, Mirah Tjaga dan Mirah Sita atau Hang Djebat Durhaka yang diambil dari hikayat Hang Tuah, Telandjang Udjung Karang dan Yani dengan Perompak Lautan Hindia dengan komikus-komikus Djas, Zam Nuldyn, dan Taguan Hardjo. Pada awal 70-an periode Medan ini pun berakhir karena sedikitnya komik baru yang dihasilkan (Boneff, 1998: 29-34).

    Setelah itu, berkembang komik pahlawan, seperti Godam karya Wid N.S. pada tahun 1968, dan Gundala karya Hasmi (Fakta # 513, Surabaya: Maret 2007) dan komik remaja, yang berlanjut hingga awal 70-an dengan kisah roman atau percintaan. Selanjutnya, komik yang juga kuat adalah komik silat yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Cina. Jenis-jenis komik dari Cina inilah yang mendominasi pasar pada dekade 80-an yang menyebabkan komik Indonesi tidak mampu bersaing. d. Komik Indonesia Saat Ini

    Ketidakmampuan bersaing perkomikan Indonesia disebabkan oleh, antara lain, munculnya berbagai jenis hiburan elektronik, perkembangan media elektronik yang sangat pesat, dan berbagai permasalahan yang ada dalam dunia penerbitan sendiri. (Kompas, 20 Maret 2004),

    Komikus Indonesia mulai tergerak untuk turut berkarya karena efek yang besar adanya manga di Indonesia. Komik Indonesia pun mulai bangkit kembali pada awal '90-an dengan gambar-gambar dan ilustrasi yang dikatakan

    144 UN/fUA Vol.S No.2, Oktober 139--150

  • 'terpengaruh' gaya manga. (Repub/ika, 21 Juli 2004). Namun, karena masih banyaknya halangan, termasuk minimnya apresiasi pembaca Indonesia sterhadap komik lokal, perkembangannya dapat dikatakan lambat. Memang bermunculan komunitas-komunitas komikus dengan berbagai ukuran di seluruh Indonesia, tetapi daya jangkauan kepada masyarakat juga masih kurang. Hal ini dikarenakan sedikitnya apresiasi dan modal dari para penerbitan.

    Pada 2010 ini, komikus Indonesia makin teras a keberadaannya dengan diadakannya berbagai pameran komik lokal, ikut sertanya komikus Indonesia dalam lomba komik bertaraf intemasional (Suara Pembaruan, 14 Januari 2007) dan diterbitkannya komik-komik lokal oleh penerbit besar. Bahkan, kini penerbit komik besar seperti Elex Media dan Gramedia Majalah juga turnt menerbitkan ulang komik-komik lokal Indonesia yang terkenal di zaman dahulu, seperti kisah Mahabharata karya R.A. Kosasih. 2. Komik Jepang (Manga)

    Setelah pemaparan tentang sejarah kuno komik Indonesia sampai dengan komik Indonesia saat ini, berikut dijelaskan bagian-bagian yang sama tentang manga atau komik Jepang. Melalu pemaparan tersebut dapat dilihat persamaan dan perbedaan dua komik tersebut. a. Sejarab Kuno

    Dikatakan bahwa bentuk manga kuno terlihat dalam yang terdapat pada kuil Houryuuji dan Toshodaiji di Nara dari abad 6/7, dan kemudan terlihat pada emaki-mono (narative picture scrolls) buatan Pendeta Toba Sojo di Abad 12 seperti Chojugiga, Hohigassen, Shukyuzu, danYobutsu Kurabe. Lalu, berlanjut pada emaki-mono dari zaman Kamakura (1192-1333): Jigoku Zoshi, Gaki Zoshi, Tengu Zoshi, dan Yamai Zoshi. Pada Zaman Tokugawa (1603-1868) muncul Zen 'ga (Zen pictures) yang religius dan

    Perbandingan Sejarah dan Perkembangan Komik Indonesia dan Jepang (Sissy N. Rahim) 145

  • ditujukan pada kalangan bangsawan, dan untuk masyarakat umum muncul Otsu-e (sejak zaman Kanei 11624-1643) dan gambar pada kotak netsuke.

    Kemudian, pada awal abad 17 gambar-gambar yang saat itu jelas untuk masyarakat umum pun muncul, berupa Ukiyo-e (woodblock print), dengan tema gambar kehidupan di kalangan penghibur. Serta, menurut Schodt, di tahun 1702 muncul pula Toba-e Sankokushi yakni bentuk kartun oleh Shumboku Ooka yang secara umum disebut Toba-e. Lalu, di akhir abad 18 pun muncul Kibyoshi, yang merupakan buku hasil penjilidan berbagai gambar di zaman itu, yang dapat disebut juga bentuk kuno buku manga. (Lent, 1989: 222-224) b. Perkembangan Manga Modern

    Seiring dengan dibukanya Jepang di pertengahan abad ke-19, perkembangan komik di Jepang mendapat pengaruh yang kuat dari komik barat yang dibawa melalui media barat, seperti The Japan Punch yang muncul di Yokohama di tahun 1862-1887 (Lent, 1989: 225). Berbagai majalah berisi komik gaya barat yang dibuat oleh orang Jepang pun bermunculan, seperti Tobae (1887), Marumaru Chinbun (1887), dan Tokyo Puck oleh Rakuten Kitazaura (1905) (Lent, 1989: 225-226).

    Tetapi, yang dapat dijadikan pedoman munculnya manga modem adalah .-

    diciptakannya Shintakarajima oleh Osamu Tezuka-yang saat ini disebut sebagai Dewa Manga-di tahun 1947 (Lent, 1989: 228-229). Penciptaan gaya manga ini diikuti dengan meledaknya produksi dan penerbitan majalah manga, dari yang ditujukan untuk anak laki-laki seperti Shonen Magazine, untuk anak perempuan seperti Nakayoshi, dan lainnya. Bahkan, jumlah sirkulasi majalah manga ini pun telah mencapai sepertiga dari jumlah total penerbitan buku di Jepang (Ikeda, : 74).

    146 LINGUA Vol.8 No.2, Oktober 139-150

  • c. Jenis-jenis Manga yang Berkembang Jenis manga yang berkembang sangat beragam, dari yang bergantung

    pada pembaca, apakah pembaca anak laki-Iaki atau perempuan (shounen manga dan shoujo

    ... -

    "

    .,

    Comic strips and cartoons inserted into magazines and newspapers

    Information manga books

    I

    New adJ manga 7 Adult manga -'-

    Erotil gekiga [ boys' manga I Girls' manga

    Monthly boys' manga ------1950 1955 1960 1965 1970 1975 1980 1985 1990 1995

    1.15 The development of manga publishing categories. [Used with the permission of Kure Tomofusa J

    45

    Gambar 1: Perkembangan Kategori dalam Penerbitan Manga (Kinsella, 2000: 45) manga), pembaca laki-laki muda (seinen manga), perempuan' (lady comics), atau manga dewasa. Jenis manga dapat juga dibuat berdasarkan kisah petualangan anak-anak seperti Doraemon, fantasi anak-anak seperti Sailor Moon, olahraga seperti Shoot, kisah cinta remaja, kisah cinta dewasa, bahkan dapat dikatakan, untuk semua topik di dunia-sampai soal sulit seperti politik dan ekonomi-ada manga yang menggambarkannya. Tapi, yang menjadi ciri penting dalam manga adalah, adanya cross-over pembaca (Schodt, 1983: 16),

    Perbandingan Sejarah dan Perkembangan Komik Indonesia dan Jepang (Sissy N. Rahim) 147

  • atau pembaca yang menikmati manga yang sebenarnya bukan ditujukan pada dirinya. Hal ini dapat dilihat dari para salaryman 'pekeIja kantoran' yang pergi ke kantor sambil membaca Shonen Magazine di dalam kereta. d. Manga Saat Ini

    Perkembangan manga di saat ini dikatakan bukannya telah mencapal puncak saja-yang dikatakan telah teIjadi pada dekade 80-an-tapi telah menyatu dengan seluruh unsur kehidupan di Jepang, dengan rata-rata orang Jepang menghabiskan 2000 yen pertahun untuk manga (A History of Manga). Kemudian, manga pun disebarkan sampai ke seluruh dunia. Pembaca manga saat ini bukan hanya orang Jepang, tetapi juga orang China, Korea, Indonesia, sampai ke Eropa dan Amerika. Bahkan, dikatakan pula, kini manga telah membawa pengaruh yang besar pada dunia komik dan gaya menggambar intemasional, dan hal ini dapat dilihat dalam penerbitan komik-komik Amerika di zaman sekarang (Craig, 2002: 4).

    1500

    1000

    soo '

    79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96

    Figure Comparative total annual circulation figures of' ALL m.anga and all ADULT rnanga betw'een 1979 and 1979 and 1997 in units of 1 million [Source: of Data: Shuppan Nenpo 1994, 1997]

    47

    Gambar 2: Angka sirkulasi tahunan seluruh majalah manga dari tahun 1979 sampai tahun 1997 dalam bilangan 1 juta-an. (Kinsella, 2000: 47)

    148 LINGUA Vot8 No,2, Oktober 139150

  • PENUTUP Komik Indonesia dan Jepang (manga) mengalarni beberapa titik temu

    pada sejarah dan perkembangannya, contohnya pada sejarah kuno, dengan ditemukannya bentuk-bentuk komik kuno pada berbagai kuil-Borobudur dan Prarnbanan di Indonesia serta Houryuuji dan Toshodaiji di Jepang-serta dalarn bentuk wayang serta emaki-mono. Kemudian, persarnaan berikutnya dapat terlihat dari awal bentuk-bentuk komik modem, yang sarna-sarna mendapat pengaruh komik Barat melalui media massa. Seiring denganjalannya waktu, perbedaan-perbedaan yang mencolok pada perkembangan berikutnya pun terlihat jelas, terutama pada dekade 80-an. Narnun, kebangkitan kembali komik Indonesia-yang dapat dikatakan juga merupakan akibat dari pengaruh manga di Indonesia-tidak dapat diperkirakan apakah titik-titik temu itu akan kembali muncul di masa datang. Yang jelas, kini bakat-bakat dari komikus muda Indonesia mulai diakui oleh dunia, dan perkembangan komik Indonesia tarnpaknya kembali meningkat secara nyata.

    DAFTAR PUSTAKA Boneff, Marcel. Komik Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Grarnedia,

    1998 Craig, Timothy J. ed., Japan Pop! Inside The World of Japanese Popular

    Culture. New York: M. E. Sharpe, 2002 Mizutani, Osarnu dkk., ed. Nihon Jijou. Tokyo: Daishuukan Shoten, 1995 Powers, Richard Gid, Kato, Hidetoshi, dan Stronardh, Bruce, ed., Handbook of

    Japanese Popular Culture. London: Greenwood Press, 1989 Schodt, Frederik L. Manga! Manga! The World of Japanese Comics. Tokyo:

    Kodansha International, 1983 "A History of Manga"

    Perbandingan Sejarah dan Perkembangan Komik Indonesia dan Jepang (Sissy N. Rahim) 149

  • http://www.dnp.co.jp/museum/nmp/nmp i/articleslmangalmangal.html "'Gerilya' Komik Indonesia" Republika Online, 11 Maret 2007.

    http://www.republika.co.id "Kejayaan yang Tinggal Kenangan" Kompas, 20 Maret 2004 http://kompas.com!kompas-cetakl0403/20/pustakal922209 .htm

    "Komikus Indonesia Tembus Dunia" Suara Pembaruan, 14 Januari 2007 http://www.suarapembaruan.com

    "Tantangan bagi Para Komikus untuk Hasilkan Komik Lokal" Republika, 21 Juli 2004

    150 LINGUA Vo!.8 No.2, Oktober 139-150

  • HUBUNGAN ANTARA KEMITRASEJAJARAN DAN AKTUALISASI DIRI PEREMPUAN MULTIPERAN

    DI YAYASAN LIA JAKARTA

    Askalani Munir Staj Pengajar Jurusan Bahasa Inggris STBA LIA Jakarta

    [email protected]

    Abstrak Kesetaraaan antara laki-Iaki dan perempuan perlu diwujudkan. Melalui cara seperti

    itu, keharmonisan di rumah tangga dan prestasi di tempat kerja dapat tercapai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya, seberapa besar, dan keberartian hubungan antara kemitrasejajaran dan aktualisasi diri pada perempuan yang bermultiperan di Yayasan LIA Jakarta. HasH yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam mengembangkan kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan di masyarakat pada umumnya dan para karyawan yang bekerja di Yayasan LIA Jakarta pada khususnya. Penelitian ini dilaksanakan di YAY ASAN LIA Jakarta n. Pengadegan Timur Raya No.3 Jakarta Selatan 12770 mulai Oktober 2007 sampai dengan Januari 2008. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional, yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua atau beberapa variabel. Besarnya derajat hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dalam penelitian ini dapat dilihat dari koefisien korelasi product moment. Dari hasil perhitungan diperoleh r hitung sebesar 0,742 dan lebih besar dari r tabel yaitu, 0,361. Besar kontribusi variabel bebas pada variabel teriakt adalah 55,06%. Hasil uji persyaratan analisis dan hipotesis secara empiris penelitian ini telah berhasil mengungkap hubungan yang berarti dan signifikan antara kemitrasejajaran dan aktualisasi diri pada perempuan yang bermultiperan di Yayasan LIA Jakarta. Sebagian perempuan yang bermultiperan kurang berhasil dalam pekerjaan karena merasa urusan domestiknya yang utama sehingga mengabaikan peran di kantor.

    Kata Kunci: Kemitrasejajaran, aktualisasi diri, dan perempuan mUltiperan

    Abstract Gender equality is in need to be realized Through this way, the harmony in the

    household and achievements in the workplace can be achieved This study aimed to find out whether there is a relation between partnership and self-actualization in m'ultitasking women at Yayasan LIA Jakarta, to find out the degree of the relationship, and to know about the significance of the relationship. Results obtained from this study are expected to provide input in developing the partnership between men and women in society in general and the employees work at Yayasan LIA Jakarta in particular. This research was conducted at Yayasan LIA Jakarta, JI. Pengadegan Timur Raya No.3, South Jakarta 12770, from October 2007 until January 2008. The research methods used were correlational studies, which are intended to determine whether there is a relationship between two or more variables. The amount of the degree of correlation between independent variables and dependent variable in this study can be seen from product moment correlation coefficient. From the calculation, r count equals to 0.742 and greater than r table 0.361. The contribution of independent variables on dependent variable is 55.06% The result of the hypothesis testing and the analysis requirements of this research has been empirically successful in uncovering meaningful and significant Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan Muitiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

    151

  • relationships between partnership and self-actualization in multitasking women at Yayasan LIA Jakarta. Some multitasking women are less successful in their job because they felt that their domestic affairs are more important than the office duty so that they ignore their tasks at the office.

    Keywords: partnership, self-actualization, and multitasking women

    PENDAHULUAN Dewasa ini banyak kemajuan yang dialami oleh kaum perempuan

    Indonesia, baik di bidang ekonomi, politik, maupun pendidikan. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya perempuan yang memegang jabatan penting di tempatnya bekerja, seperti direktur atau manajer, sedangkan di instantsi pemerintah banyak perempuan yang duduk di jajaran eselon. Di bidang politik perempuan sudah berani mengeluarkan pendapatnya mengenai keadaan politik negara. Di bidang pendidikan banyak perempuan yang memiliki gelar sarjana, dari tingkat strata satu sampai dengan strata tiga. Dengan pendidikan yang tinggi perempuan memiliki peluang yang besar untuk berkarier di luar rumah, yaitu dengan bekerja di suatu instansi.

    Sebagian dari perempuan yang bermultiperan tersebut kurang berhasil pada pekerjaannya karena merasa peran domestiknya yang utama sehingga mengabaikan perannya di kantor. Symonds (2004) menjelaskan bahwa salah satu hal yang menyebabkan perempuan yang bermulti peran kurang berhasil dalam kariemya adalah kecenderungan untuk bergantung pada cinta dan orang-orang yang dicintai, dalam hal ini adalah keluarganya. Perempuan yang bermultiperan juga mengharapkan pertolongan dan perlindungan dari hal-hal yang menurutnya sulit dan menantang. Kecenderungan tersebut bisa menghambat kemajuan karier. Hal tersebut dikenal dengan Cinderella Complex menurut Dowling (2001) merupakan suatu fenomena psikologis tentang hal yang dinamakan suatu bentuk ketakutan akan kemandirian,

    152 LtNC;VA Vo1.8 No.2, Oktober 151-167

  • keinginan untuk diselamatkan yang banyak mempengaruhi cara perempuan berfikir, bertindak dan berbicara (dalam Muljani, 2004). Perempuan tersebut bekeIja dengan tidak sepenuh hati, bahkan terpaksa, sehingga merasa terbebani, kadang-kadang bahkan merasa tersiksa, karena jauh di dasar hati perempuan masih percaya bahwa perempuan tidak seharusnya mencari kehidupan sendiri (dalam Muljani, 2004). Perempuan tersebut merasa bahwa dunia kerja adalah bukan dunia yang sesungguhnya, dan takut jika bekerja dan berkarya secara optimal, waktu untuk kehidupan yang sesungguhnya, yaitu di rumah, tempat mendapatkan cinta dan perlindungan dari orang-orang yang dicintai, akan hilang.

    Cinderella Complex bukanlah satu-satunya kendala yang menghambat perempuan yang bermulti peran mengembangkan karirnya, juga penempatan posisi keIja di perusahaan maupun di instansi pemerintah cenderung dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Aripurnami (2004) menjelaskan bahwa perempuan dianggap mempunyai fungsi reproduksi dan laki-laki mempunyai fungsi produksi, maka perempuan distereotipkan sebagai feminin dan laki-laki maskulin. Untuk itu ketika tiba di kantor perempuan selalu ditugaskan pada kerja feminin (melakukan kerja yang di anggap pantas untuk perempuan), laki-laki ditugaskan pada kerja yang maskulin (melakukan kerja yang dianggap pantas untuk laki-laki).

    Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, perempucln harus dapat mengaktualisasikan diri, yaitu memanfaatkan secara penuh bakat dan potensi yang dimiliki serta menjalankan multiperart- dengan sebaik-baiknya. Wujud aktualisasi diri perempuan yang bermultiperan di rumah tangga adalah berupaya mendidik anak-anaknya menjadi cerdas dan tangkas, menjadi sahabat dan istri yang ideal bagi suami, serta menjadi anggota masyarakat yang haik di lingkungannya. Sementara itu, di kantor perempuan yang bermultiperan Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan Multiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

    153

  • berupaya untuk menjadi karyawan berprestasi, atasan yang ideal bagi bawahannya, serta bawahan yang berkompeten bagi atasannya.

    Berdasarkan hal tersebut, perempuan yang bemultiperan dapat memperoleh kesuksesan di dalarn kariemya maupun di rumah tangga apabila dapat mengaktualisasikan diri secara optimal, hal tersebut dapat terwujud apabila terjalin kemitrasejajaran, baik di rumah tangga maupun di kantor.

    Nurpilihan (2004) menjelaskan bahwa kemitrasejajaran memberikan kesempatan yang sarna bagi perempuan dan laki -laki untuk mengaktualisasikan diri. Apabila kemitrasejajaran perempuan memiliki kesempatan untuk mengakutalisasikan dirinya. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara kemitrasejajaran dengan aktualisasi diri pada perempuan yang bermulti peran di Yayasan LIA Jakarta

    Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut. Apakah ada hubungan positif signifikan antara kemitrasejajaran dan aktualisasi diri pada perempuan yang bermultiperan di Yayasan LIA Jakarta?

    Kemitrasejajaran Kesetaraaan antara laki-laki dan perempuan perlu diwujudkan.

    Dengan demikian, keharmonisan di rumah tangga dan pre stasi di tempat kerja dapat tercapai. Kemitrasejajaran menurut teori feminisme liberal Margaret Fuller (dalarn Umar, 2004) yaitu semua manusia, laki-Iaki dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi, memilliki hak yang sarna, dan menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total di semua peran termasuk bekerja di luar rumah. Pembeda antara laki-laki dan perempuan adalah fungsi reproduksi, yang bukan merupakan faktor penghalang terhadap pelaksanaan peran-peran tersebut.

    154 LlNGlJA Vol.8 No.2, Oktober 151-167

  • Teori tersebut menyatakan bahwa laki-Iaki dan perempuan adalah setara, sudah menjadi hak dan kewajiban perempuan untuk mengintegrasikan dirinya secara optimal di rumah tangga maupun di kantor, tetapi tidak dengan meninggalkan kodratnya sebagai perempuan. Hal ini didukung oleh para pendapat ahli antara lain (Gilbert, 2003), yang menguraikan gender equality atau sering disebut dengan kemitrasejajaran sebagai berikut.

    " A world in which women did not look to men for security and men did not look to a women to sustain their personal lives and rear their children .... It would be a world in which men would be as likely as a women to pause in their careers for child -rearing, in which neither men nor women would be 'punished' or viewed as unambitious or a 'bad bet' if they identified themselves as family-oriented. It would be a world in which just as many wives as husband earned more money than their spouses. It would be a world in which careers peaked more than once and at no set time .... "

    Gender equality atau kemitrasejajaran adalah sebuah dunia yang menggarnbarkan perempuan tidak lagi tergantung pada perlindungan laki-laki, dan perempuan tidak lagi lagi dilihat sebagai pendorong dalarn kehidupan pribadinya yang hanya membesarkan anak. Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa kemitrasejajaran adalah sikap dan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang saling bekerja sarna sebagai mitra yang sejajar. Nurpilihan (2004) menjelaskan kemitrasejajaran perempuan dan laki-Iaki sebagai hubungan antara perempuan dan laki-Iaki yang saling memperhatikan persarnaan derajat dan status dalarn kebersarnaan dan pengertian, keduanya (perempuan dan laki-Iaki) berhak dalarn posisi pengarnbilan keputusan, memperoleh kesempatan untuk beraktualisasi, memilih akses dan kontrol terhadap sumber-sumber dan manfaat pembangunan.

    Secara umum konsep kemitrasejajaran perempuan dan laki-Iaki adalah sebagai partnership (pasangan) yang memiliki kedudukan dalarn deretan yang

    Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan Mu\tiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

    155

  • sama, meskipun keduanya tidak memiliki . kesamaan yang mutlak. Zulmiarni (2005) menjelaskan pengertian kemitrasejajaran sebagai persamaan hak, kedudukan, peran, kewajiban perempuan dan laki-laki dalam pembangunan sektor ekonomi, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menjamin hal-hal tersebut seeara konsitutional dan mengembangkan iklim yang kondusif yang memungkinkan hal ini tereapai.

    Kemitrasejajaran antara laki-Iaki dan perempuan baik di rumah tangga maupun di kantor sering kali tidak dapat terwujud karena berbagai kendala. Kendala yang menghambat perwujudan ,kemitrasejajaran menurut Munandar (2005) adalah I. Pandangan tradisional yang memisahkan seeara tajam antara peranan laki-

    laki dan perempuan, dan menempatkan perempuan dalam kedudukan yang kurang menguntungkan dalam perkembangan diri sebagai individu dan anggota masyarakat.

    2. Pandangan tentang perempuan sebagai makluk yang lemah sehingga tidak mampu melakukan tugas-tugas tertentu dan harus dilindungi dari kegiatan-kegiatan tertentu.

    3. Timbulnya sex-stereotyping, yaitu proses mengategorikan seseorang. 4. Citra dan konsep diri perempuan itu sendiri, dibentuk dari pengalamannya

    dan pendapat-pendapat orang lain tentang dirinya. 5. Pola asuh yang diterima sejak keeil. 6. Persepsi masyarakat mengenai peranan yang sesuai untuk perempuan.

    Kendala yang menghambat tereiptanya kemitrasejajaran seperti di atas dapat diperkeeil, bahkan dihilangkan dengan memberikan kesadaran pada masyarakat pada umumnya dan para perempuan khususnya bahwa perempuan dan laki-laki memiliki derajat, kedudukan, kesempatan, hak, dan kewajiban yang setara. Hal yang membedakan laki-laki dan perempuan hanyalah seeara

    156 LINGUA Vo1.8 No.2, Oktober 151-167

  • kodrati perempuan mengalami menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui anak-anaknya. Kemitrasejajaran seharusnya diperkenalkan sejak dini dalam keluarga sehingga anak-anak memahami bahwa laki-Iaki dan perempuan adalah setara.

    Kemitrasejajaran tidak dapat terwujud apabila belum ada upaya, baik dari perempuan maupun laki-laki, untuk mengubah sikap dan perilakun. Pola mengasuh anak yang diterapkan oleh orang tua memengaruhi sikap dan so sial anak apabila sejak kecil anak diperkenalkan dengan kemitrasejajaran, yaitu dengan tidak membedakan antara anak laki-Iaki dan anak perempuan. Jika hal ini diterapkan, perempuan akan mendapatkan pengalaman kemitrasejajaran sejak dini.

    Akutalisasi Diri Alasan seseorang harus bekerja salah satunya adalah untuk memenuhi

    kualitas dan kapasitas yang dimiliki oleh setiap individu dan mengoptimalkan bakat dan kemampuan yang potensial. Perwujudan diri dalam melakukan perkeIjaan yang terbaik merupakan suatu cara untuk mengaktualisasikan diri, juga merupakan suatu kebutuhan hidup.

    Aktualisasi diri menurut Maslow (dalam Globe, 2004) adalah suatu hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri dan menjadi apa saja menurut kemampuannya. Ia juga menambahkan mrulUsia didorong oleh kebutuhan universal yang tersusun dalam suatu tingkatan dari yang paling kuat sampai yang paling lemah. Tingkatan kebutuhan ini seperti tangga, kebutuhan yang paling rendah harus dipuaskan terlebih dahulu sebelum muncul kebutuhan tingkat ke dua dan seterusnya. Kebutuhan akan aktualisasi diri merupakan tingkatan kebutuhan yang kelima atau tertinggi. Akutalisasi diri tidak akan tercapai apabila keempat kebutuhan sebelumnya, yaitu kebutuhan

    Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan Multiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

    157

  • fisiologis, rasa arnan, rasa memiliki dan kasih sayang, serta kebutuhan akan penghargaan, tercapai.

    Pribadi yang mengaktualisasikan diri memiliki karakteristik umum, seperti selalu menghargai kenyataan hidup, menerlma dengan baik dirinya dan orang lain, memiliki kreativitas yang tinggi (tidak selalu dalarn bidang seni), dan pertahanan yang tinggi terhadap kehidupan.

    Chaplin (2005) menjelaskan aktualisasi diri sebagai kecenderungan untuk mengembangkan bakat dan kapasitas diri. Pengertian tersebut mengandung pengertian bahwa aktualisasi diri adalah kecenderungan seseorang untuk mendayagunakan bakat dan kapasitas dirinya.

    Schultz (2001) mendefinisikan akutalisasi diri sebagai perkembangan yang paling tinggi dan penggunaan semua bakat yang dimiliki oleh seorang individu dan memenuhi semua kualitas dan kapasitasnya, dimana seseorang hams "menjadi" sesuai dengan potensinya. Apabila kebutuhan akan aktualisasi diri ini tidak terpenuhi, individu tersebut akan merasa kecewa, tidak tenang, dan tidak puas.

    Goldstein (dalarn Hall and Gardner, 2003) menguraikan aktualisasi diri sebagai kecenderungan kreatif dari kodrat manusia, hal tersebut merupakan prinsip organik yang menyebabkan organisme berkembang dengan lebih penuh dan lebih sempurna. Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa aktualisasi diri adalah kecendrungan kreatif seseorang untuk berkembangan dengan lebih sempurna;

    Adapun Rogers (dalarn Hall and Gardner, 2003) mengemukakan bahwa organisme mempunyai suatu kecenderungan dan kerinduan dasar yakni mengaktualisasikan, mempertahankan, dan mengembangkan organismen yang mengalarninya. Kecenderungan untuk mengaktualisasikan ini bersifat selektif, menaruh perhatian hanya pada aspek -aspek lingkungan yang memungkinkan

    158 LlN4lJA Vo1.8 No.2, Oktober 151-167

  • orang bergerak secara konstruktif ke arah pemenuhan dan kebulatan. Kekuatan yang memotivasinya adalah dorongan untuk mengaktualisasikan diri, dan hanya ada satu tujuan hidup yakni menjadi pribadi yang teraktualisasikan dirinya atau pribadi yang utuh.

    Aktualisasi diri menurut Astanto (2005) adalah terpenuhinya kebutuhan seseorang untuk menampilkan apa yang terbaik dari dirinya sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Maksud dari pengertian ini adalah aktualisasi diri merupakan upaya seseorang untuk memanfaatkan bakat dan potensi yang dimilikinya.

    Berdasarkan beberapa definisi yang telah di jelaskan di atas, aktualisasi diri berarti hasrat seseorang untuk memanfaatkan secara optimal potensi dan bakat yang dimilikinya sehingga ia dapat berkembang dengan lebih sempurna. Aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi yang tidak akan tercapai apabila kebutuhan di bawahnya belum terpenuhi.

    Perempuan Bermultiperan Perempuan yang bermultiperan menurut Schultz (2001) merupakan

    gambaran peran-peran perempuan yang dalam kehidupan berkeluarga adalah sebagai pribadi mandiri, sebagai ibu rumah tangga, sebagai ibu bangsa, sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak -anaknya dan sebagai istri. Pada kehidupan bermasyarakat yaitu sebagai angkatan kerja atau anggota organisasi serta sebagai warga negara dan warga dunia yang dilaksanakan secara selaras, serasi, dan seimbang.

    Perempuan memiliki peran inti dalam sebuah rumah tangga. Rosetam (2003) menjelaskan bahwa perempuan merupakan key person in the familiy sebab perempuan memiliki peran inti di rumah tangga, dan majikan. Maksudnya, perempuan memiliki multiperan di rumah tangga sehingga sering Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktuaiisasi Diri Pada Perempuan Muitiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

    159

  • disebut dengan kunci keluarga. Pembahasan mengenai multiperan tersebut masih banyak dibicarakan agar perempuan dapat menjalani seluruh perannya dengan baik.

    Perempuan yang bekerja memiliki sikap yang berbeda-beda dalam menjalani pekerjaannya. Berikut ini adalah jenis perempuan pekerja menurut Stead (2002): 1. High energy achievers, yaitu perempuan yang telah membuat kesepakatan

    bukan seorang pekerja yang bersedia melakukan apa saja untuk pekerjaannya, tetapi telah menstrukturnya dengan kehidupan pribadinya.

    2. Involved workers, yaitu perempuan yang mengutamakan tanggung jawabnya di masa sekarang daripada tujuanjangka panjangnya.

    3. Conscientious worker, yaitu perempuan yang kurang memiliki rasa peduli terhadap karimya.

    4. Toilers, yaitu perempuan yang bekerja "hanya untuk mencari uang" perempuan tersebut tidak memiliki harapan untuk memperbaiki karimya.

    Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya, seberapa besar,

    dan keberartian hubungan kemitrasejajaran dengan aktualisasi diri pada perempuan yang bermulti peran di Yayasan LIA Jakarta.

    Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan . dalam mengembangkan kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan di masyarakat pada umumnya dan para karyawan yang bekerja di Yayasan LIA Jakarta pada khususnya.

    160 LINGUA Vol.8 No.2, Oktober 151-167

  • Metode Penelitian ini dilaksanakan di Yayasan LIA Jakarta J1. Pengadegan

    Timur Raya, No.3, Jakarta Selatan 12770, mulai Oktober 2007 sampai dengan Januari 2008. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional, yaitu mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua atau beberapa variabel. Dengan teknik korelasi dapat diketahui hubungan variasi dalam sebuah variabel dengan variasi yang lain (Arikunto, 2004).

    Dalam penelitian ini variabel yang digunakan terdiri dari dua macam variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tidak bebas: 1. Kemitrasejajaran sebagai variabel bebas dengan simbol X. 2. Aktualisasi diri sebagai variabel terikat dengan simbol Y.

    Hubungan antara kedua variabel tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Y = Aktualisasi Diri 2. X = Kemitrasejajaran

    Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 2004). Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan perempuan di Yayasan LIA Jakarta. J1. Pengadegan Timur Raya, No.3, Jakarta Selatan dengan karakteristik operasional berdasarkan observasi 1. menikah dan memiliki anak; 2. bekerja di YA YASAN LIA Jakarta selama 5-10 tahun sebab dalam

    jangka waktu tersebut karyawan YAY ASAN LIA Jakart telah memiliki waktu dan kesempatan yang luas untuk mengaktualisasikan diri;

    3. memiliki tarafpendidikan minimal SMU/setaraf. Subjek penelitian ini adalah karyawan perempuan Yayasan LIA Jakarta.

    Jumlah subjek dalam penelitian ini 30 orang. Pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan teknik pengambilan sampel random, yaitu semua

    Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan Multiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

    161

  • subyek dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel (Arikunto, 2004).

    Penelitian menggunakan instrumen yang berbentuk angket pernyataan pada variabel kemitrasejajaran dan aktualisasi diri. Bentuk angket berupa rating scale, yaitu angket bentuk pernyataan yang menunjukkan tingkatan.

    Data yang telah diperoleh melalui instrumen, berupa angket, merupakan gambaran variabel yang diteliti dan. berfungsi sebagai alat penguji hipotesis. Benar tidaknya data bergantung pada baik atau tidaknya instrumen pengumpul data yang sangat menentukan bermutu atau tidaknya hasil penelitian. Instrumen yang baik harus memenuhi 2 syarat penting, yaitu valid dan reliabel (Arikunto, 2004).

    Hasil dan Pembahasan Uji hipotesa terhadap hubungan antara kemitrasejajaran (variabel X)

    dan aktualisasi diri (variabel Y) dilakukan dengan rumus korelasi Product Moment Pearson dengan taraf signifikan 5%.

    Hipotesis objek (Ho) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara variabel X dan variabel Y, dan hipotesis alternative (Ha) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara X dan variabel Y. Kriteria pengujian terima Ho jika rxy < rt dan tolak Ho jika rxy > rt.

    Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis diketahui nilai rxy 0,742 dan rt 0.361 sehingga dapat disimpulkan bahwa rxy > rt yaitu 0,742 > 0,361 berarti tolak Ho dan terima Ha (perhitungan pada lampiran 20).

    Nilai rxy terletak antara 0,71-0,90 , maka dapat dikatakan terdapat hubungan yang erat atau tinggi antara variabel X dan variabel Y sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara

    162 UN4lJA VoL8 No.2, Oktober 151-167

  • kemitrasejajaran dan aktualisasi diri pada perempuan yang bermulti peran di Yayasan LIA Jakarta.

    Agar lebih meyakinkan, hasil ini dibuktikan dengan pengujian yang lain, yaitu uji t. Kriteria pengujian terima Ho jika to < it dan tolak Ho jika to > tt. Hasil perhitungan to = 5,84 dan tt = 170. Berdasarkan hasil di atas, to> tt, Ha diterima.

    Perhitungan koefisien determinasi (r2) melihat seberapa besar simbangan variabel X terhadap variabel Y, maka diperoleh nilai sebesar 55, 06%, artinya kontribusi variabel X terhadap variabel Y sebesar 55,06% dan 44,94% merupakan kontribusi dari faktor lain.

    Berdasarkan observasi prapenelitian, perempuan yang bermultiperan di Yayasan LIA Jakarta kurang dapat memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengembangkan karier sehingga kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh karyawan laki-Iaki. Pembagian kerjanya kerap berdasarkan jenis kelamin, yaitu perempuan lebih pada pekerjaan administrasi dan pembukuan, sedangkan laki-laki lebih pada pekerjaan strategis. Hal tersebut menggambarkan karyawan laki-Iaki lebih memiliki kesempatan untuk mengakutalisasikan diri, sedangkan pada kehidupan rumah tangga, perempuan yang bermuitiperan di YayasC!1l LIA Jakarta menganggap bahwa laki-Iaki sebagai satu-satunya kepala ruamh tangga. Perempuan bekerja hanya sebagai pencari nafkah tambahan, dan pengambilan putusan berada di tangan laki-Iaki. Hal tersebut menggambarkan laki-Iaki lebih mendominasi di dalam rumah tangga.

    Sampel yang digunakan pada penelitian 1m perempuan yang bermultiperan di Yayasan LIA Jakarta 30 orang. Usia subjek tergolong dalam kategori usia madia dini, yaitu berkisar antara 40-45 tahun sebesar 60%, sedangkan usia 46--50 tahun sebesar 40%. Jabatan subjek penelitian yang tertinggi adalah direktur, yaitu 26,6 %, sedangkan staf 73,33%. Subjek

    Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan Muitiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

    163

  • memiliki waktu dan kesempatan yang luas untuk mengaktualisasikan diri, yaitu subjek dengan lama masa bertugas lima tahun sebesar 23,3% dan 76,7 % subjek dengan lama masa bertugas lebih dari enam tahun.

    Berdasarkan deskripsi data dan hasil uji persyaratan analisis dan hipotesis di atas, dapat dikatakan secara empiris penelitian ini telah berhasil mengungkap hubungan yang berarti dan signifikan antara kemitrasejajaran dan aktualisasi diri pada perempuan yang bermultiperan di Yayasan LIA Jakarta.

    Besamya derajat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dalam penelitian ini dapat dilihat dari koefisien korelasi product moment. Dari hasil perhitungan diperoleh r hitung sebesar 0,742, dan r hitung tersebut lebih besar dari tabel, yaitu 0,361, sedangkan besar kontribusi variabel bebas pada variabel terikat adalah 55,06 %.

    Walaupun penelitian ini secara empiris telah berhasil menguji atau membuktikan adanya hubungan antara kemitrasejajaran dan aktualisasi diri pada perempuan yang bermultiperan di Yayasan LIA Jakarta, peneliti tidak memungkiri bahwa bukan hanya kemitrasejajaran yang memengaruhi aktualisasi diri pada perempuan yang bermultifungsi peran tersebut, melainkan masih ada faktor-faktor lain, antara lain konsep diri, pendidikan dan penyesuaian diri.

    Simpulan Penelitian ini mengkaji hubungan antara variabel kemitrasejajaran dan

    aktualisasi diri. Variabel kemitrasejajaran sebagai variable bebas (dependent variable) dan aktualisasi diri sebagai variabel terikat (independent variable). Hipotesis kerja (Ha) yang diajukan adalah hubungan yang positif signifikanlberarti antara variable kemitrasejajaran dan variable aktualisasi diri. Subjek penelitian ini adalah perempuan yang bermultiperan di Yayasan LIA

    164 LlNt:;lJA Vo1.S No.2, Oktober 151-167

  • Jakarta sebanyak 30 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik random sampling.

    Data mengenai kemitrasejajaran dan aktualisasi diri diperoleh dari instrumen angket. Untuk melihat tingkat kepercayaan dan kesahihan instrument ini maka dilakukan proses uji coba terhadap 30 orang responden. Hasil uji coba menunjukkan bahwa instrumen penelitian mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi, yaitu 0,77 pada variabel kemitrasejajaran dan 0,9 pada variable aktualisasi diri.

    Untuk keperluan analisis korelasi product moment yang digunakan dalam penelitian ini, dilakukan Uji Linearitas dan Uji Normalitas. Pengujian linearitas yang dilakukan menujukkkan bahwa hubungan yang terj adi antara variable kemitrasejajaran dan aktualisasi diri Linear. Uji normalitas yang dilakukan dengan Uji Liliefors menujukkan bahwa kedua variabel penelitian ini berasal dari populasi berdistribusi normal.

    Hasil analisis menunjukkan bahwa rhitung = 0,742 > rtabel = 0,361 pada a = 0,05 db = 30. Hal ini menujukkan hipotesis Ho yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan positif signifikan pada variabel kemitrasejajaran dan aktualiasasi diri ditolak. Sebaliknya, Ha yang menyatakan bahwa ada hubungan positif signifikan antara variabel kemitrasejajaran dan aktualiasasi diri diterima.

    DAFTAR PUSTAKA Ari Pumami, Sita. 2004. Peran dan Kedudukan Perempuan dalam

    Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kongres Kebudayaan. Ari Pumami, Sita. 2004. Perempuan dan Haknya di Lingkup Publik,

    Simposium Wanita dan Aspek Sosialnya. Depok. Arikunto, Suharsimi. 2004. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

    Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan Mui