LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)
-
Upload
ppm-stba-lia-jakarta -
Category
Documents
-
view
63 -
download
6
description
Transcript of LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)
(ij CIl Z
C 3 .. '" z o 3
Sekolah Tinggi Bahasa Asing STBA
ISSN 1412-9183 Volume 6 Nomor 1, Maret 2007
JURNAL \LH\AH
ISSN 1412-9183 Volume 6 Nomor 1, Maret 2007
PUSATPENELITIAN DAN PENGABDIAN PADAMASYARAKAT SEKOLAHTINGGIBAHASAASING UAJAKARfA
Penasihat Dr. Eka)ani TObing
Penanggung Jawab Sulitini Dwi Putranti MHum.
Penyunting Penyelia AskalaniMunir, MPd
Penyunting Pelaksana Dew; A.Yudhasari, MEum. IsmariJa Rama;unti, S.Pd
Jiera Syamsi, MHum.
Penyunting 'ThmuIPenelaab Ahli Dr. AgusAris MlI110fkiar
Sekretaris Agus Wahyudin, MPd
TataUsaha TetyKurniati
Alamat Redaksi Jalan Pengadegan Tnnur Raya No.3
Pancoran, Jakarta 12770 Telepon (021) 79181051, Faksimile (021) 79181057
Email: [email protected]
ISSN 1412-9183 Volume 6 Nomor 1, Maret 2007
UNl;tJA DAFfARISI
Jendela i
Iklan RokokAMild: SebuahAbstraksi Gaya Hidup 1-20 AnakMuda Titi Surti Nastii;4 Gian KartasasmitaJ dan Moe6ich HashuDah
Estimasi. Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan Menggunakan Metode Prox dan Metode Newton-Raphson di daJam Subtes Thta Bahasa WEFL Widiatmoko
Tinjauan Terhadap Serat Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna AgusArisMmr:nbr
Ungkapan Bahasa Jepang yang Menggambarkan Hubungan Antar Klausa: -Tara, -To, -Ba, -Nara AbigailITKirianaM
FenommaFuyu noSmda: Pandangan OrangJepang 1frlJadapDramaKorea .DewiAriantini Yudhasari
Pedoman Penulisan Jumal Dmiah tN:;UA
21-38
39-56
57-67
68-82
Masih seperti tulisan-tulisan sebelumnya, peneribitan jurnal LfNC;lIA edisi
ini pun diisi oleh kajian linguistik dan budaya. Namun, ada satu tulisan yang
sedikit berbeda, yaitu fenomena sosial yang dipresentasikan melalui bahasa
iklan.
Ada lima tulisan untuk edisi Volume 6 No.1, Maret 2007 ini, yang
semuanya dipaparkan melalui telaah teori yang argumentatif. Iklan rokok A
Mild merupakan tulisan paling menarik pad a edisi ini. Sebagai sebuah produk
yang setengah dilarang karena berbagai ketentuan yang sangat ketat, seperti jam
tayang yang harus mulai pukul 21.00 WIB ke atas, A Mild mampu menggaet
anak muda sebagai sasarannya. Berikutnya, Analisis Komparatij dengan
Menggunakan Metode Prox dan Newton-Raphson di dalam Subtes Tata Bahasa
Toefl yang ditulis pakar linguistik dari P3G Bahasa merupakan yang paling
argumentatif. Melalui beberapa perbandingan, akhirnya ditemukan sebuh teori
yang bernanam TRB (Teori Responsi Butir) dengan metode Prox yang menjadi
solusi atas kelemahan-kelemahan teori analisis butir responden yang selama
dipergunakan. Selain itu, Tinjauan terhadap Serat Dewa Buda, yang merupakan
kajian budaya juga ditampilkan dalam edisi ini. Tidak hanya itu, Ungkapan
Bahasa Jepang yang Menggambarkan Hubungan Antarklausa: -tara, -to, -ba, -
nara juga menjadi bagian edisi ini. Terakhir, kajian budaya Korea yang menilik
Fenomena Fuyu No Sonata: Pandangan Orang Jepang terhadap Drama Korea
ditulis oleh salah seorang dosen dan pakar budaya Sastra dan Jepang STBA
LIA.
lendela
Anda ingin mengetahui materi lebih mendetail? Silakan simak
seluruhnya. Selamat membaca.
Redaksi
11 lendela
IKLAN ROKOK A MILD: SEBUAH ABSTRAKSI GAYA HIDUP ANAK MUDA
Titi Surti Nastiti, Gian Kartasasmita, Moeflich Hasbullah
Pendahuluan
Pesatnya perkembangan industri periklanan di Indonesia dapat
dijadikan tolok ukur tingginya budaya konsumersime sebagai gaya hidup. Iklan
itu sendiri berarti pesan komunikasi pemasaran ten tang . sesuatu produk yang
disampaikan melalui sesuatu media dan ditujukan kepada sebagian at au seluruh
masyarakat (Maricar, 2005:19). Menurut Krishna Sen dan David T. Hill
(2001:9-10), media modern kerapkali tergantung pada dua karakteristik umum:
pertama, reproduksi mekanis dan multiplikasi (penggandaan) teks lisan,
tertulis, dan visual; kedua, distribusi yang luas dan terns menerus serta
konsumsi atas media tersebut. Iklan memenuhi kedua karakteristik terse but dan
dari sifat dan tujuannya, iklan dapat dibagi atas iklan komersial dan iklan non
komersial.
Sebagai sarana untuk menyampaikan pesan dari produk tertentu, iklan
komersial mempunyai sasaran pembaca/penonton (target audience) dan
sasaran pasar (target market) agar mengkonsumsi produk terse but. Secara
psikologis, iklan dapat mengubah citra dan persepsi orang tentang suatu
produk. Produk yang berkualitas belum tentu laku di pasaran jika tidak
dikemas dengan iklan yang menarik perhatian. Sebaliknya, produk yang tidak
berkualitas dan biasa-biasa saja, bisa laris apabila disuguhkan melalui iklan
yang menarik. Untuk kepentingan inilah, produsen berlomba-Iomba mengemas
tampilan iklan mereka masing-masing di media masa. Pada tingkat tertentu,
banyak iklan tidak menghiraukan etika periklanan, yang penting bagaimana
iklan mereka menarik perhatian dan produknya laku di pasaran, padahal etika
I1.1an Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Surti Nastiti, Gian Kartasasmita, Moeftich Hasbullah) 1
dalam periklanan sangat penting karena etika bersumber pada hati nuram
pemesan dan pembuat iklan. Menurut Hoed (2001:17) secara konkret, etika
berkaitan dengan harkat manusia, misalnya sebuah iklan merugikan konsumen
(termasuk menipu) atau menyinggung perasaan seseorang atau kelompok,
maka iklan itu bertentangan dengan etika.
Produsen menampilkan iklan yang menarik melalui media masa seperti
majalah, surat kabar, TV, internet, papan iklan (billboard) dan sebagainya yang
bisa dilihat kapan saja dan di mana saja sehingga iklan kemudian sangat kuat
mempengaruhi persepsi, pemahaman dan tingkah laku masyarakat konsumen
dewasa ini. Banyak iklan menarik yang ditawarkan dan ditayangkan terus
menerus mengepung masyarakat sehingga realitas kebutuhan dibentuk oleh
iklan tersebut. Kebutuhan masyarakat dibentuk bukan oleh kebutuhan yang
memang diperlukan, tetapi oleh kebutuhan yang dikonstruksi. Sebuah studi di
Amerika menunjukkan bahwa iklan -- yang menggunakan citra-citra sensual,
figur selebritis seperti model, bintang film, politikus, pengacara, dan pengusaha
untuk justifikasi iklan -- telah memberikan pengaruh kuat terhadap gaya dan
pol a hidup anak-anak muda. Mereka umumnya berpikir positif terhadap apa
yang ditayangkan dalam iklan meskipun sebenarnya banyak iklan dari produk-
produk yang mempunyai dampak buruk bagi kesehatan masyarakat seperti
minuman keras, makanan instan serta rokok (Piliang, 2003: 286). Di
Indonesia, banyak iklan yang telah menuai protes dari masyarakat karena
menampilkan citra-citra sensual yang vulgar, kekerasan, tidak edukatif, dan
lain-lain, yang semuanya dikhawatirkan para orang tua akan berpengaruh
buruk terhadap kehidupan masyarakat, terutama generasi muda.
Dalam iklan sering terdapat perbedaan antara pesan yang disampaikan
dan realitas produk yang sesungguhnya. Hampir dalam semua iklan rokok,
seperti Gudang Garam, Djarum Super, Djarum Coklat, dan Marlboro, yang
2 UNC;lIA Vol. 6 No.1, Maret 2007 1-20
dibangun adalah kejantanan dan keperkasaan laki-Iaki. Gudang
Garam dengan slogan "Pria Punya Selera" dilambangkan dengan kegagahan
seorang lelaki pemburu yang memiliki ketepatan memanah melindungi
harimau sehingga menyiratkan etos· kepahlawahan yang berwawasan
lingkungan. Sosok laki-Iaki seperti itulah citra yang ingin dibangun oleh
produsen Gudang Garam, Djarurn Super, dan Djarum Coklat dilambangkan
dengan kebebasan, keperkasaan, dan prestasi menaklukkan tebing-tebing
curam dan bunggy jumping di luar negeri. Demikian pula halnya dengan rokok
Marlboro Phillip Morris yang tadinya tidak laku karen a citranya feminin,
setelah biro iklan Leo Burnett menggantinya dengan citra yang sangat
maskulin dengan tampilan koboy-koboy Amerika menggiring dan
menaklukkan kuda-kuda. liar di alam bebas, rokok ini kemudian menjadi laku
keras.
Rokok yang dalam iklan diasosiasikan dengan kejantanan, kegagahan,
maskulinitas, keperkasaan, dan kepahlawanan· rnenurut· dokter dan aMi
kesehatan buruk bagi kesehatan. Karena itulah menurut Habermas, iklan adalah
bentuk komunikasi yang disimpangkan secara sistematik. Penyimpangan
disebabkan oleh teknik yang tidak tasiona.l, tidak logis, dan imaginatif yang
mempengaruhi individu di luar pengetahuan dan kesadarannya (Kellner, 2003:
120). Namun, tentu saja, tidak semua iklan berorientasi pada hal-hal seperti
disebutkan di atas.
Di antara iklan-iklan komersial yang ada, iklan rokok merupakan iklan
yang memiliki paling banyak aturan. Pemerintah melihat bahwa rokok dapat
membahayakan kesehatan rakyatnya. Akan tetapi, pemerintah tidak atau belum
dapat melarang perusahaan rokok berproduksi karenamasih sangat
membutuhkan pajak. Rokok merupakan salah 'satu pajak terbesar yang
diterima oleh pemerintah. Selain itu, perusahaan rokok menyerap tenagakerja
{klan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Surti Nastiti, Gian Kartasasmita, Moetlich Hasbullah) 3
yang besar. Atas dasar pertimbangan itulah, pemerintah membuat undang-
undang pengamanan rokok bagi kesehatan yang diatur dalam PP RI Nomor 38
tahun 1999 dan ada perubahan pada tahun 2000 dengan PP RI Nomor 8l.
Berdasarkan PP tersebut dapat diketahui bahwa aturan-aturan yang harus
diikuti oleh perusahaan rokok antara lain adalah (a) merangsang atau
menyarankan orang untuk merokok; (b) menggambarkan atau menyarankan
bahwa merokok memberikan manfaat kesehatan; (c) memperagakan atau
menggambarkan dalam bentuk gambar, tulisan atau gabungan keduanya, rokok
atau orang sedang merokok at au mengarah pada orang yang sedang merokok;
(d) ditujukan terhadap atau menampilkan dalam bentuk gambar at au tulisan
anak dan atau wanita hamil; (e) mencantumkan nama produk yang
bersangkutan adalah rokok. Selain itu, jam tayang yang dibatasi yaitu mulai
pukul 9.30 malam sampai jam 5.00 pagi dan harus mencantumkan peringatan,
merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan
gangguan kehamilan dan janin".
Adanya aturan yang membatasi gerak iklan rokok menyebabkan setiap
perusahaan rokok berlomba-lomba untuk membuat iklan yang menarik dan
tidak melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Salah satu iklan rokok yang
sangat bed a penampilannya dengan iklan-iklan rokok lainnya adalah iklan
rokok A Mild dari perusahaan HM SAMPOERNA. Atas dasar kerangka
pemikiran yang dikemukakan di atas, maka kelompok kami memilih iklan
rokok A Mild sebagai topik penelitian.
Permasalahan
Keunggulan dari iklan A Mild dalam membangun brand recognition
menjadi salah satu trademark dari produk ini. A Mild dengan jeli dapat melihat
tumbuhnya kesadaran dalam masyarakat akan kesehatan. Lahirnya A Mild
4 UNC;lIA Vol. 6 No.1, Maret 2007 1-20
sebagai produk yang peka dengan aspek kesehatan karena mengandung kadar
nikotin rendah mampu merebut kelompok sasaran yang diinginkan, yaitu
kelompok anak muda dari kelas menengah ke atas. Melalui penyuguhan
permainan tanda dan kata, iklan A Mild berhasil membangun realita sosial
yang mewakili pemikiran target market yang serba kritis dalam melihat segal a
persoalan sosial. Meminjam istilah Clifford Geertz "refiguration of social
thoughts" di mana terjadi perubahan at as cara kit a melihat bagaimanacara kita
berpikir (Geertz, 1986: 515).
Iklan A Mild dalam mengonstruksi realita mengambil pengalaman
hidup manUSla sehari-hari yang sudah sedemikian rupa melebur dalam
interaksi sosial sehingga sebenarnya sudah membentuk gaya hidup tertentu.
Realitas tersebut tidak jauh berbeda dengan konsep habitus dari Pierre Bordieu
yang ia melihat bahwa manusia secara struktural berada dalam ruang sosial
yang multi dimensional khususnya dilihat dari posisi kelas sosial (Ritzer,
2005:68-70). Bahkan, Anthony Giddens sudah melihat bahwa simbolisme dan
citra kultural merupakan dasar dari pembentukan persepsi dan tingkah laku
tertentu (Ritzer, 2005:324-326). Budaya konsumerisme menandakan
hilangnya keberadaan status sosial dan identitas karena lahirnya pluralisme
sosial yang mengantar pada beragam cara hidup dan identitas. Kesadaran akan
pentingnya berada dalam kelompok tertentu dengan pol a gaya hidup tertentu
merupakan konsep penting dalam konstruksi identitas karena secara moral ia
(manusia) menjadi bagian dari produk yang ia konsumsi.
Sejak diproduksinya pada 1998, iklan-iklan A Mild dibuat sesuai
dengan prinsip "Kami Memang Beda" yang melambangkan jiwa persahabatan
yang dibangun atas kreativitas dan inovasi. Iklan-iklan A Mild yang
ditampilkan tidak ada hubungannya an tara iklan itu sendiri (representamen)
dan rokok A Mild yang diiklankan (objek). Bahasa yang dipakai dalam iklan
Iklan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (fiti Surti Nastiti, Gian Kartasasmita, Moeflich Hasbullah) 5
ini bukan bahasa baku sehingga dapat diasumsikan bahwa yang menjadi
sasaran produsen A Mild adalah anak muda.
Iklan A Mild seperti digambarkan di at as menghadirkan sebuah
konstruksi realita yang kemudian ditafsirkan sebagai bentuk gaya hidup
tertentu bagi anak muda. Anak muda yang menjadi sasaran iklan A Mild
berasal dari masyarakat yang sangat heterogen. Mereka berasal dari latar
belakang dan kelas yang berbeda. Konsep "bukan basa basi" dengan beragam
slogannya menjadi awal keberhasilan merk A Mild dalam membentuk
"identitas kelompok" yang dapat dilihat dari gay a hidup mereka. Bagaimana
pembuat iklan dapat menggunakan permainan tanda dan kata menjadi sebuah
abstraksi gaya hid up anak muda adalah pokok permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini.
Pendekatan dan Teori
Teori yang digunakan dalam makalah ini adalah semiotika dan ilmu-
ilmu sosiaL Di dalam pendekatan ini terdapat persoalan-persoalan sosiologis
seperti masalah identitas, persoalan psikologis (mudahnya masyarakat
terpengaruh), konstruksi sosial seperti gaya hidup dan nilai-nilai kapitalisme
serta konsumerisme. Inti dari pendekatan ini berakhir pada asumsi atau
hipotesis bahwa kebutuhan masyarakat, citra, identitas diri, gaya hidup, cara
berpikir serta bertindak adalah sebuah konstruksi sosial. Iklan di sini berperan
sebagai salah satu pembentuk konstruksi sosial tersebut.
Dalam makalah ini iklan didekati secara semiotika karena iklan
merupakan arena permainan tanda secara bebas (free play of signs). Dalam
promosi sebuah produk, iklan mengandalkan komunikasi dan permainan tanda.
Studi semiotika yang membahas iklan sebagai kajian telah banyak dilakukan,
misalnya oleh Torben Vestergaard dan Kim Schroder (1985), Gillian Dyer
6 UNC;lIA Vol. 6 N'J. 1, Maret 2007 1-20
(1990), dan Judith Williamson (1991). Sebagai garapan semiotika iklan terdiri
dari tanda-tanda, yaitu objek (rokok A Mild), konteks (lingkungan
pembaca/penonton yang memberikan makna), serta tulisan (teks) yang
memperkuat makna. Efek sosial psikologis dari iklan adalah dalam wilayah
kedua (konteks). Oi situlah "dapat dilihat berbagai persoalan gender, ideologi,
fetisisme, kekerasan simbol, lingkungan, konsumerisme, serta berbagai
persoalan lain yang ada dibalik sebuah iklan" (Piliang, 2003:264).
Peranan semiotika dalam penyuguhan iklan menjadi sang at penting
karena sebagai fenomena budaya iklan memberikan kemungkinan pemaknaan
yang bermacam-macam. Pierce (1839--1914) melihat tanda sebagai sesuatu
yang mewakili sesuatu sehingga merupakan suatu proses kognitif. Ia membuat
suatu sis tern penandaan yang dikenal sebagai trikotomi Pierce, yaitu tanda
yang dihubungkan dengan representamen, objek atau referen, dan interpretan
yang didefinisikan sebagai makna, pemaknaan atau interpretasi (N6th 1990:41-
-45). Hubungan antara representamen dengan objeknya dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu indeks apabila hubungannya berdasarkan sebab-akibat, ikon
apabila hubungannya berdasarkan kemiripan, dan lambang apabila
hubungannya berdasarkan konvensi (Zoest, 1993:22--27). Dalam iklan,
konvensi biasanya didasarkan atas sesuatu yang disugestikan oleh pembuat
iklan (Hoed, 2001:121)
Adapun proses pemaknaan tanda dari representamen, objek, dan
interpretan disebut semiosis. Contoh proses semiosis yang terjadi dalam iklan
A Mild dapat dilihat sebagai berikut. Tampilan visual huruf A yang berwujud
kertas selebar bungkus rokok yang diterbangkan angin dengan kalimat "Bukan
basa basi" dan beragam slogan yang dihadirkan seperti "Ringan sarna dijinjing,
berat giliran elo" adalah representamen dan objeknya adalah rokok A Mild.
Representamen yang berupa lambang inilah yang merupakan alat komunikasi
[klan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Surli Nastiti. Gia" Karlasasmita, Moeflich Hasbullah) 7
yang dipakai oleh iklan A Mild, karen a digunakan untuk menyampaikan pesan.
Sementara itu, interpretannya menafsirkan representamennya sesuai dengan
interpretasinya masing-masing.
Tidak terdapatnya relasi tanda antara representamen (gambar, slogan)
dan referen (konsep rokok, realitas produk) dalam iklan A Mild, mengubah
makna denotatif (produk rokok untuk dihisap) menjadi makna konotatif
(menjadi pesan-pesan gaya hidup, jender, ideologi, dan lain-lain). Dalam
proses pembentukan makna konotatif inilah gaya hidup, logika, gender,
konsumerisme, ideologi, dan lain-lain disusupkan dan ditanamkan agar
pemakai mengikuti konstruksi pesan yang dibangun. Gaya hidup dan logika
yang dikonstruksi· oleh permainan bebas tanda dalam iklan A Mild adalah
kekacuan berfikir dan kebangkrutan logika seperti yang diungkapkan dalam
salah satu iklannya "Kenapa gue mesti on time kalau yang lain telat".
Dengan demikian, dalam usaha untuk dapat memahami makna yang
terkandung dalam iklan tentunya diperlukan cara pandang lain, yaitu melalui
model analisis yang bisa melihat bagaimana manusia mengkonsumsi atau
menginterpretasikan teks itu sendiri. Stuart Hall dalam kajian media menilai
bahwa individu tidak hanya pasif dalam "membaca" media namun ia
sebenarnya aktif dalam menginterpretasikan teks (Seidman, 1998:199-200).
Pada awalnya iklan A Mild tidak secara khusus menargetkan kelompok sasaran
berdasarkan status sosial atau jenis kelamin tertentu, tetapi dengan
"pembacaan" teks yang berbeda maka iklan A Mild dilihat lebih dapat
dimaknai justru oleh kelompok ekonomi menengah ke at as yang kebanyakan
terdiri dari kawula muda.
8 LrNGliA VoL 6 No.1, Maret 2007 1-20
Pembahasan
Iklan A Mild pertama muncul dengan kertas selebar bungkus rokok
bertulisan A diterbangkan angin dan membeku, diikuti kalimat "Bukan basa-
basi". Lambang ini muncul berkali-kali dengan menggunakan kalimat "Gue
ingin ngadem, dia ingin ngikut", "Ringan sarna dijinjing, berat giliran elo".
Kalimat "Bukan basa basi" yang adalah singkatan dari "Bisa Anda Serendah
Apa, Bisakah Anda Serendah Ini", bersama-sama dengan aksara A yang
merupakan lambang A Mild selalu tampil dalam iklan-iklan selanjutnya.
Iklan-iklan A Mild ditampilkan di media masa (surat kabar dan
majalah), media elektronik (radio, TV, internet), dan papan iklan (billboard).
Tampak adanya perubahan penekanan media yang digunakan oleh iklan-iklan
A Mild. Jika tadinya banyak dimuat di surat kabar dan majalah serta
ditayangkan di TV, sekarang lebih ditekankan kepada papan iklan. Perubahan
ini karena produsen A Mild sadar dengan kota Jakarta yang sering macet,
papan iklan sangat tepat sebagai sarana untuk iklan. Karena pengendara
kendaraan berrnotor, yang bosan dengan situasi yang mereka hadapi, secara
tidak langsung akan melihat dan membaca apa-apa yang ada di sekitarnya.
Selain itu, adanya pembatasan jam tayang di TV, yaitu antara pukul 9.30
malam sampai pukul 5.00 pagi.
Setelah iklan perdananya, A Mild memproduksi iklan-iklannya dengan
seri-seri tertentu. Sampai sekarang, A Mild telah membuat beberapa seri, yaitu
seri "how long can you go", kemudian seri "others can only follow", diikuti
seri "go with the real low", dan yang terakhir seri "tanya kenapa".
Berikut ini adalah analisis dari bahasa yang dipakai oleh seri-seri iklan
A Mild, dan beberapa di antaranya ditampilkan secara visual. Sayangnya iklan
perdana dan seri terakhir "tanya kenapa" tidak bisa ditampilkan visualnya
karena tidak bisa didapatkan di internet.
Iklan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi naya Hidup Anak Muda (fiti Sucli Nastiti, Gian Kactasasmita, MoeOich HasbuIlah) 9
Iklan seri "how low you can go", yang ditampilkan antara lain, sebagai
berikut.
1. A Mild yang ditayangkan di TV adalah manusia kartun mencoba
menerobos tali yang direntangkan dan talinya makin lama makin
rendah. Kata-kata yang mengikutinya adalah "how low you can go".
2. A Mild yang ditampilkan di TV berbeda dengan yang ditampilkan di
papan iklan. Dalam papan iklan, iklan A Mild lebih menonjolkan unsur
verbalnya yang ditulis dalam latar merah dengan tulisan besar-besar
seperti "Mau hidup enak, usaha!", "Waktunya unjuk gigi", "Mami,
kenalkan pacar bam say a", "Silakan blak-blakan", dan lain-lain.
www.amild.com
Dalam iklan ini yang ingin dikemukakan adalah betapa rendahnya kadar tar
dan nikotin dalam rokok A Mild. Penafsiran dari konsumennya adalah makin
rendah kadar tar dan nikotinnya, makin baik rokok itu karen a tidak
membahayakan kesehatan. Adapun kalimat-kalimat yang ditampilkan di papan
iklan mengandung arti konotatif, seperti yang dimaksud "pacar bam" adalah
rokok A Mild, begitu pula dengan "silakan blak-blakan", maksudnya adalah
konsumen A Mild tidak usah sembunyi-sembunyi lagi untuk merokok A Mild,
dan setemsnya.
10 LINGUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 1-20
Seri "others can only follow", yang ditampilkan di TV adalah sebagai berikut.
1. Seekor ikan berenang dalam air dan diikuti oleh ikan-ikan lain yang makin
lama makin banyak ikannya, dan seakan membentuk barisan yang
membesar di bagian belakang, diikuti teks "others can only follow!".
2. Seekor burung berwarna merah terbang, diikuti oleh burung-burung
berwarna hitam yang makin lama makin banyak jumlahnya dan
membentuk barisan, diikuti teks "others can only follow".
3. Seperti halnya sed "how long you can go", yang menjadi andalan tampilan
di papan iklan adalah kekuatan verbal yang antara lain berbunyi: "Jenius
ada batasnya, bodoh nggak terbatas", "Gue berpikir karena itu gue
bingung".
www.amild.com
Pemaknaannya adalah bahwa orang yang merokok A Mild selalu berada di
depan, penemuan rokok dengan tar dan nikotin yang rendah oleh A Mild
mendahului merk rokok-rokok lain. Jenis rokok dalam bentuk bentuk filter
kretek yang kecil dengan tar dan nikotin rendah memang diprakarsai oleh HM
Sampoerna, yaitu Sampoerna A-Mild, kemudian diikuti oleh Star Mild, Djarum
A-Mild, Bentoel Mild, X-Mild, dan lain-lain.
Iklan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Surti Nastiti, Gian Kal'tasasmita. Moetlich Hasbullahl 11
Seri "go with the real low", yang dicontohkan dalarn penarnpilan sebagai
berikut. 1. Seekor jerapah yang sedang rnenunduk ke larnbang A Mild, dengan tulisan:
"go with the real low" .
www.amild.com
2. Dua kartun orang jepang yang sedang rnenghorrnat satu sarna lain dengan
rnernbungkuk serendah-rendahnya, diikuti dengan tulisan "go with the real
[ow".
www.amild.com
12 LINGUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 1-20
Pemaknaan ini pun masih seputar rendahnya kadar tar dan nikotin dalam rokok
A Mild.
Seri "tanya kenapa" dapat dilihat dari tampilan papan iklan.
1. Sebuah gambar kulkas disandingkan dengan seekor domba berbulu
teba!. Teksnya berbunyi "Kalo gue dingin2 aja kenapa 10 yang
panas. Tanya kenapa"
2. Sebuah kalender yang beberapa tanggalnya secara acak dilubangi.
Teksnya berbunyi "Bolonginnya rajin nambelnya males. Tanya
kenapa"
3. Tiga orang anak muda mengelilingi sebuah lampu pijar besar.
Teksnya berbunyi "Terus terang, terang nggak bisa terus-terusan.
Tanya kenapa"
4. Sebuah adegan yang melukiskan jalan yang berantakan, kurungan
ayam terbakar, dan meja dan kursi pengadilan yang terletak di
trotoar. Teksnya berbunyi "Semua kok bisa menjadi hakim. Tanya
kenapa"
5. sebuah lemari pajangan dengan empat toga yang berlainan
harganya, dan knop untuk memilih toga tersebut. Teksnya berbunyi
"Mau pintar kok mahal. Tanya kenapa"
6. Selain itu, ada juga iklan A Mild yang ditayangkan di TV yang
memperlihatkan seorang Indian yang dikejar oleh sepasukan
tentara, waktu Indian melihat ke belakang tidak ada satu pun
temannya yang berada di belakangnya. Tayangan ini diikuti oleh
kata-kata "Kenapa gue mesti on time kalau yang lain telat". Tanya
kenapa".
Iklan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Surti Nastiti, Gian Kartasasmita, Moetlich Hasbullah) 13
Tiga seri iklan pertama setelah iklan perdananya "bukan basa basi",
memakai bahasa Inggris ("how long you can go", others can follow", "go with
the real low") yang mungkin dianggap lebih "keren" dibanding bahasa
Indonesia, akan tetapi pada seri terakhir memakai bahasa Indonesia ("tanya
kenapa"), meskipun bahasa yang dipakai masih bahasa anak muda. Ini gejala
yang menarik, karena di mana saat ini bahasa Inggris sudah menjadi biasa
dipakai dalam bahasa lisan oleh beberapa kalangan yang diucapkan secara
gado-gado dengan bahasa Indonesia, A Mild justru kembali ke bahasa
Indonesia, meskipun "bahasa Indonesia"nya perlu diberi tanda kutip karena
bukan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Seri iklan yang pertama sampai ketiga yang masih memperlihatkan
betapa rendahnya nilai tar dan nikotinnya dan masih memakai bahasa Inggris,
tampak bahwa produsen A Mild selain masih berusaha untuk mendapatkan
kepercayaan dari masyarakat juga berusaha agar produknya mendapat tempat
di masyarakat, yaitu dengan mensugestikan bahwa rokok A Mild tidak
berbahaya karen a kadar tar dan nikotinnya rendah. Selain itu dengan
menggunakan bahasa Inggris adalah supaya mendapat temp at di dalam
masyarakat yang pada waktu itu bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa yang
mewakili kalangan menengah ke atas. Tetapi dalam seri terakhir, positinoning
ini tampaknya sudah dianggap tidak perlu lagi, karena telah berhasil merebut
kepercayaan masyarakat terhadap produk tersebut. Para konsumen A Mild
sudah mengenal aksara A sebagai lambang A Mild dan mempercayai bahwa
rokok A Mild tidak berbahaya karena kadar tar dan nikotinnya rendah,
sehingga dapat dikatakan bahwa A Mild telah berhasil membuat konvesi baru
dengan para pemakainya.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, proses semiosis sangat penting
dalam iklan. Apabila diterapkan pada iklan A Mild, maka prosesnya adalah
14 UNQUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 1-20
sebagai berikut: represantemennya adalah iklan yang ditampilkan, kemudian
yang dijadikan referen adalah rokok A Mild, dan interpretannya adalah yang
menafsirkan iklan tersebut. Pad a umumnya setiap interpretan mempunyai
tafsiran yang berbeda ketika menafsirkan representamennya sesuai dengan
konotasi masing-masing. Akan tetapi A Mild justru telah berhasil menggiring
para penafsirnya ke sebuah konotasi yang sarna sejalan dengan citra gaya hidup
yang ingin dibentuk oleh A Mild. Sesuai prinsip komersial A Mild yakni
"Kami Memang Beda", gaya hidup yang ingin dicitrakan adalah gaya hidup
yang berbeda. Citra pembentukan gay a hidup anak muda sebagai yang diusung
oleh iklan A Mild terlihat dari ciri-ciri iklannya, yaitu:
a. Tampil Beda
Perbedaan secara psikologis adalah jiwa dan tuntutan anak muda.
Umumnya anak muda senang menonjolkan perbedaan. Kondisi psikologis anak
muda ini dimanfaatkan oleh perusahaan HM Sampoerna menjadi senjata iklan
yang menembus kebutuhan jiwa kaum mud a yang umumnya menyukai tampil
beda. Tampil beda, yang umumnya adalah terhadap sikap dan cara pandang
orang tua, adalah proses pembentukan identitas dan proses pemberontakan
terhadap segala kungkungan niIai-niiai konvensional dan tradisi "kami
memang beda" adalah lambang jiwa anak muda, dan dengan demikian, dengan
jelas iklan A Mild mengambil segmen anak-anak muda sebagai target audience
dan ekspresi jiwa mereka.
b. Bebas
Ciri . kedua gaya hidup yang diacu anak-anak muda adalah kebebasan.
Kebebasan sendiri adalah gejolak jiwa yang secara umum dimiliki kaum muda.
Ekspresi kebebasan ini tampak kuat dianut sebagai karakter iklan A Mild.
Kebebasan adalah suatu kondisi yang menghendaki ketidakterikatan oleh
tradisi, etika, dan niIai-nilai yang berlaku. Iklan A Mild yang berbeda dengan
lklan Rokok A Mik: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Sucli Nastiti, Gian Kactasasmita, Moeflich HasbuIIah) 15
yang lain menunjukkan kebebasan ini. Iklan ini tidak ingin diikat oleh konvensi
yang ada bahwa iklan hams menganut nilai-nilai positif, tetapi iklan ini tidak
ingin diikat oleh konvensi yang ada bahwa iklan hams menganut nilai-nilai
positif, tetapi menyindir tatanan nilai yang berlaku tentang kebaikan dan
kebumkan.
c. Tidak Peduli
Bahasa yang dipakai dalam iklan ini bukan bahasa baku sehingga dapat
diasumsikanbahwa yang menjadi sasaran produsen A Mild adalah anak muda.
Selain itu apabila melihat iklan A Mild terdapat dua kalimat yang sangat
bertolak belakang, di satu pihak bahasa yang dipakai adalah bahasa anak muda,
yang mempunyai kesan main-main dan tidak serius seperti dalam kalimat:
"Ringan sarna dijinjing, berat giliran elo" atau "Gue berpikir karena itu gue
bingung"; di lain pihak, karena ada aturan dari pemerintah, mencantumkan
kalimat: "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi
dan gangguan kehamilan dan janin", yang jelas sekali mempakan peringatan
keras dengan bahasa baku. Apakah anak muda yang menjadi target sasaran
iklan A Mild melihat adanya "keretakan" dalam iklan tersebut dan apakah
mereka memperhatikan peringatan tentang bahayanya merokok dengan serius
ataukah mereka lebih serius memaknai kalirnat yang tidak serius; atau mereka
tidak peduli sarna sekali
Ekspresi tidak peduli atau "cuek" tampak kuat dalam iklan A Mild.
Sikap tidak peduli adalah khas generasi muda. Ketidakpedulian ini diwakili
secara kuat oleh iklan-iklan yang ditayangan A Mild. Iklan umumnya ingin
memberikan kesan-kesan formal dan relevan dengan esensi produk yang
ditawarkan. Kesan-kesan ini diabaikan oleh iklan A Mild, walaupun
ketidakpedulian tidak hams selalu bermakna negatif. Iklan ini ingin bebas saja
menarnpilkan apa yang dikehendaki. Orientasi ketidakpedulian ini
16 UNC;lJA VoL a NO'. 1, Maret 2007 1-20
mendapatkan lahannya dengan aturan pemerintah yang ketat tentang iklan
rokok. Karenci larangan itulah, mereka dapat berekspresi secara bebas. Dengan
tidak peduli terhadap aturan tersebut mereka merasa tindakannya yang bebas
itu dilegitimasi.
d. Memakai Bahasa Gaul
Ciri khas yang paling menonjol dari gaya anak-anak muda adalah apa
yang belakangan sering disandingkan dengan kata "gaul": bahasa gaul,
kerudung gaul, kafe gaul, warnet gaul, dan seterusnya. Bahasa gaul adalah
bahasa tidak resmi, ungkapan idiom-idiom yang populer dipakai masyarakat
walaupun mungkin menyalahi aturan tata bahasa. Teks bahasa gaul menjadi
trade mark semua iklan A Mild, seperti "Bukan basa basi," "Kalo gue dingin2
aja kenapa 10 yang panas", "Bolonginnya rajin nambalnya males", "Kenapa
gue mesti on time kalau yang lain tel at", dan seterusnya.
Bahasa yang digunakan oleh A Mild dalam semua seri bukan bahasa
baku, "10", "gue", "kalo", "kenapa", "nggak", "bolongin", dan lain-lain. Begitu
juga kalimat-kalimat yang dipakai seperti "Serius ada batasnya, bodoh tidak
terbatas", "Gue berpikir karena itu gue bingung", dan sebagainya
memperlihatkan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa anak-anak muda,
sedangkan kalimat-kalimat yang dipakai adalah kalimat-kalimat "anak-anak
sekolahan" yang kreatif dalam mengolah kata. Jadi, jelas bahwa sasaran dari
rokok A Mild adalah "anak sekolahan" yang berarti sasaran iklan ini adalah
anak muda dari kalangan menengah ke atas.
e. Kritis dan Cerdas
Tekanan so sial politik sering membuat masyarakat menjadi stres dan
tertekan ketika masyarakat tidak berdaya menghadapinya. Namun, kondisi
psikologis ini sering tidak menemukan salurannya karena, selain kultur dan
mekanisme tidak tumbuh, juga mengandung risiko sosial politik. Di banyak
[klan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Surti Nastiti, Gian. Kartasasmita, Moetlich HasbuUah) 17
masyarakat, kondisi jiwa yang tertekan ini sering bermetaformosis menjadi
sindiran-sindiran tajam, kreatif, dan cerdas.
Teks-teks dalam iklan rokok A Mild banyak yang bernuansa kritik
yang cerdas terhadap kehidupan dan kondisi sosial politik di tanah air.
Misalnya, ungkapan iklan "others can only follow" yang menyindir
kecenderungan sikap latah, ikut-ikutan, tidak kreatif. Kritik yang terdas ini
makin tampak pada seri terakhir, yaitu "tanya kenapa". Seperti pada kalimat
"Semua bisa menjadi hakim" menyindir keadaan masyarakat sekarang yang
suka main hakim sendiri; "Bolonginnya rajin nambalnya males," bisa
ditafsirkan sebagai sind iran terhadap sikap orang, masyarakat atau pemerintah
yang hanya pandai merusak, memperbaikinya kurang; serta "Mau pintar kok
mahal" merupakan sindiran terhadap biaya sekolah yang sangat mahal.
Demikian pula dalam kalimat "kalau yang lain telat, mengapa harus on time"
sebenarnya merupakan sindiran juga terhadap masyarakat kita yang tidak
menghargai waktu. Secara parodis, peringatan terhadap sikap negatif ini
diungkapkan dengan makna terbalik. Kalimat tersebut salah secara nilai dan
edukatif, tetapi benar secara realistis, kenyataan bahwa orang Indonesia
memang tidak menghargai waktu.
3. Simpulan
Tayangan iklan A Mild pada umumnya menghadirkan tampilan yang
tidak berkaitan langsung dengan produk yang ditawarkan. Iklan A Mild secara
kreatif mencoba mengekspresikan dirinya dalam bentuk yang unik dan khas
anak muda. Ruang kreativitas ini justru memicu iklan A Mild sebagai iklan
yang lain daripada yang lain karena kemampuannya dalam
menginterpretasikan produknya dalam konteks yang tidak melanggar aturan
pemerintah yang ketat ten tang iklan rokok.
18 UNl;tJA Vol. 6 No.1, Maret 2()()7 1-20
Iklan-iklan A Mild telah berhasil membentuk citra gaya hidup anak
muda dengan ciri-ciri yang sangat menonjol, yaitu ingin tampil beda, bebas,
tidak peduli, memakai bahasa gaul, dan kritis serta cerdas.
DAFTAR PUSTAKA
Dyer, Gillian 1990 Advertising as Communication. London: Routledge.
Goldman, Robert 1991 Reading Ads Socially. London: Routledge.
Goldman, Robert & Stephen Papson 1994 Advertising in the Age of
Hypersignification: Theory, Culture & Socety.
Jameson, Fredick 1992 Postmodernisme or, the Cultural Logic of Late
Capitalism. London: Verso.
Geertz, Clifford 1986 "Blurred Genres: The Refigureation of Social Thougth",
dalam Hazard Adams dan Leroy Searle (eds), Critical Theory Since
1965:514-523. Tallahasse:Florida State University Press.
Hoed, Benny H. 2001 Dari Logika Tuyul ke Erotisme. Magelang:
Indonesiatera. 2005 "Memandang Fenomena Budaya dengan Kaca
Mata Semiotik", Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Tidak diterbitkan.
Kellner, Douglas 2003 Teori Sosial Radikal. Jogyakarta: Syarikat Indonesia.
Koo, Myung Koo 1999 Postmodern Consumer Culture Without
Postmodernity: Copying the Crisis of Signification. Department of
Communication, College of Social Sciences Seoul National University.
Maricar, Ari R. 2005 Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara
Periklanan Indonesia). Jakarta: Dewan Periklanan Indonesia.
N6th, Winfried 1999 Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis:
Indiana University Press.
Iklan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Surti Nastiti, Gian Kartasasmita, MoeOich Hasbullah) 19
Perdue, William 1986 Sociological Theory. Mayfield Publishing Company.
Piliang, Yasraf Amir 2003 Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas
Matinya Makna. Jakarta: Jalasutra.
Ritzer, George 2003 Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Juxtapose
Research & Publication Study Club dan Kreasi Wacana, 2005
Encyclopedia of Social Theory. Sage Publications, Inc.
Seidman, Steven 1998Contested Knowledge: Social Theory in the Postmodern
Era. New Yark: Blackwell Publisher Inc.
Sen, Krisna dan David T. Hill 2001 Media, Budaya, dan Politik di Indonesia.
Jakarta:Institut Studi Arus Informasi.
Sutherland, Max & Alice Sylvester 2000 Advertising and theMind of the
Consumer: What Works, What Doesn't, And Why. Australia: Allen &
Unwin.
Vestergaard, Torben dan Kim Shcroder 1985 The Language of Advertising.
Oxford: Blackwell.
Van Zoest, Aart 1993 Semiotika: tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang
KitaLakukanDengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Williamson, Judith 1991 Decoding Advertisements. London: Marion Boyars.
www.sampoerna.org
www.amild.com
20 UNC;IJA Vol. 6 No.1, Maret 2J07 1-20
ESTlMASIPARAMETER RESPONDEN: ANALISIS KOMPARATIF DENGAN MENGGUNAKAN METODE PROX DAN METODE
NEWTON-RAPHSON DI DALAM SUBTES TATA BAHASA TOEFL
Widiatmoko PPPG Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta
Abstrak Teori tes klasik (TIK) di dalam pengukuran pendidikan diketahui sebagai teori tes yang memiliki banyak kelemahan. Kelemahan-kelemahan itu tidak ditemukan di dalam teori responsi butir (TRB). TRB berupaya untuk memecahkan kelemahan-kelemahan itu melalui pemenuhan persyaratan unidimensi butir, independensi lokal, dan invariansi parameter responden-butir. Di dalam tes bahasa, metode analisis butir yang sering digunakan berkaitan dengan TRB. Untuk mengestimasi parameter butir-responden, TRB menggunakan beberapa metode. Salah satunya adalah metode Prox yang digunakan untuk mengestimasi parameter butir-responden secara simultan pada data butir dikotomi. Metode yang lain adalah metode Newton-Raphson (N-R) yang digunakan untuk mengestimasi parameter responden apabila parameter butir diketahui. Berdasarkan pad a data subtes tatabahasa TOEFL, parameter butir dan respond en diestimasi secara simultan. Untuk menentukan kecocokan, kurva karakteristik tes (KKT) ditampilkan. Setelah mengetahui kurva itu, karakteristik responden diestimasi dengan metode N-R secara marginal. Dari analisis terhadap karakteristik butir-responden, dinyatakan bahwa KKT untuk modellogistik satu-parameter tidak memiliki kecocokan dengan model. Di samping itu, ditemukan adanya perbedaan estimasi dengan menggunakan kedua metode itu. Metode yang berkecenderungan menghasilkan konvergensi kurva merupakan metode yang direkomendasikan untuk dikembangkan.
Kata kunci: parameter responden, metode Prox, metoda Newton-Raphson
Abstract Classical test theory in educational measurement is known as the theory that contains some weaknesses. Those shortcomings are not found in item response theory (IRT). IRT solves the problems by satisfying the requirements of unidimension, local independence, and item-examinee in variance. In language testing, some methods of item analysis employed are related to IRT. In order to estimate items-examinees parameter, IRT employs some methods. One of them is Prox method which is applied to estimate items-examinees simultaneously in dichotomous data. The other one is Newton-Raphson (N-R) method which is applied to estimate examinees parameter when items parameter is identified. Based on the data of TOEFL's subtest of structure, items-examinees parameters are simultaneously estimated. To fit the curve, test characteristic curve (TCC) is displayed. After knowing the curve, examinees characteristic is estimated by using N-R method marginally. Based on the analysis of items-examinees characteristics, it is stated that TCC for one-parameter logistic model is not satisfied for the model. In addition, it is stated that there is estimation distinction by using the two methods. The method which results in convergent curve is recommended to develop.
Key words: examinee parameter, Prox method, Newton-Raphson method
Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatii dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton-Raphson di dalam 21 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widiatmoko)
Pendahuluan
Latar dan Rumusan Masalah
Pendidikan diselenggarakan untuk menyelesaikan permasalahan akibat dari perubahan
sosial. Latar itu terletak di dalam paradigma pendidikan dalam mendefinisikan
pembelajaran sebagai proses perubahan perilaku. Utamanya, ini direfleksikan melalui
sasaran dan tujuan pembelajaran di dalam kurikulum. Sasaran mengacu pada
pernyataan perubahan perilaku pembelajar melalui program pembelajaran; sedangkan
tujuan mengacu pada pernyataan perubahan perilaku pembelajar yang spesifik
berdasarkan pada hasil analisis sasaran (Richards, 2002: 8-11). Ditambahkan,
kurikulum memfokuskan pada penentuan pengetahuan, keterampilan, nil ai,
pengalaman, dan proses pembelajaran (Richards, 2001: 2). Kurikulum bahasa lnggris
sudah jelas mencakupi aspek perencanaan, implementasi, dan evaluasi program
pembelajaran. Tujuan utama evaluasi itu adalah untuk menentukan ketercapaian
tujuan kurikulum, keefektifan kurikulum, dan untuk mengevaluasi program
pembelajaran itu sendiri (Finney, 2002: 77). Prinsipnya, pembelajar berprioritas untuk
diperhatikan pada apa yang dicakupi di dalam kurikulum. Dalam lingkup mikro, ini
diimplementasikan di dalam pelaksanaan pemeriksaan secara reguler melalui
kuesioner, wawancara, observasi, diskusi, tugas, jurnal dan log, dan tes (Cotterall &
Reinders, 2004: 29-30). Tes dengan demikian metupakan hal utama.
Tes merupakan seperangkat pertanyaan untuk mengukur karakteristik
responden di dalam situasi tertentu. Tes juga didefinisikan sebagai sekumpulan
pertanyaan, pernyataan, maupun tugas yang direspon demi keberukuran keterampilan,
pengetahuan, intelegensi, kemampuan, at au minat pada bidang tertentu (Widiatmoko,
2004: 5). Ying (2005) mendefinisikan tes sebagai instrumen untuk mengukur kuantitas
atau kualitas variabel. Tes kemudian digunakan untuk mengukur keterampilan,
pengetahuan, atau atribut psikologis responden. Setakat ini, tes didesain secara
sederhana. lni bermakna bahwa penguji memfokuskan pada ciri responden secara
normatif. Ia tidak memperhatikan pada ciri nyata responden secara referensial. Dengan
demikian, butir-butir tes bergantung pada responden. lni bermakna pula bahwa apabila
responden yang berkemampuan tinggi merespon butir-butir dengan betul, butir-butir
22 UNC;lIA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38
itu dianggap mudah, dan demikian sebaliknya. Dengan perkataan lain, apabila tes itu
mudah, responden tampak berkemampuan tinggi; apabila tes itu sukar, responden
tampak berkemampuan rendah (Hambleton,Swaminathan, & Rogers, 1991: 2; Naga,
1992: 158-159). Dengan demikian, statistik butir cenderung berubah atau inkonsisten
bergantung pada ciri kelompok responden. Kelemahan-kelemahan lain adalah bahwa
taraf kesukaran butir dan daya pembeda butir bergantung pada kelompok. lni
bermakna bahwa nilai statistik tersebut bergantung pada kelompok responden di mana
nilai-nilai itu diperoleh (Magnusson, 1967: 209-212; Hambleton, 1989: 147). Oleh
karena itu, apabila sampel responden tidak merefleksikan populasi, statistik butir yang
diperoleh menjadi terbatas kegunaannya. Teori responsi butir (TRB) dengan demikian
menjadi dikenalluas. lni dibuktikan dengan diterapkannya TRB oleh banyak penerbit
tes, departemen pendidikan, dan organisasi profesional (Hambleton & Murray, 1983:
71; Hambleton, 1989: 149).
Setakat ini, TRB mampu menyelesaikan permasalahan desain tes. Pertama,
butir sesungguhnya independen dari responden, dan responden independen dari butir.
lni dinamakan independensi loka!. Independensi lokal juga didefinisikan sebagai skor
komposit butir yang dijawab oleh subpopulasi responden homogen yang independen
(Naga, 1992 di dalam Widiatmoko, 2005: 76). Ini bermakna bahwa respon terhadap
dua butir manapun tidak berkorelasi di dalam subpopulasi responden homogen
berkemampuan 0 (Hulin, Drasgow, & Parsons, 1983: 43). Hambleton, Swaminathan,
& Rogers (1991: 10) menyatakan bahwa apabila ciri yang mempengaruhi performansi
tes itu konstan, respon terhadap pasangan butir secara statistik menjadi independen.
Dengan perkataan lain, hubungan antara respon responden dan butir yang berbeda
tidak berkorelasi. Lord & Novick (1968: 361) dan McDonald (1999: 255)
mengungkapkan bahwa independensi lokal merupakan keadaan di dalam kelompok
responden yang semuanya dicirikan oleh nilai OJ, O2,
distribusi skor butir saling bebas satu dengan lainnya.
Ok yang sarna, yang mana
Kedua, invariansi parameter dipahami sebagai fungsi dari titik tunggal 0 atau
karakteristik butir bi yang tidak berubah manakala subpopulasi berubah. Kemudian, ia
didefinisikan sebagai ciri responden yang tidak berubah manakala butir yang Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif deng"n menggunakan metode Prox dan metode Newton-Raphson di dalam 23 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widiatmoko)
dipilihnya berubah (Hulin, Drasgow, & Parsons, 1983; Naga, 1992 di dalam
Widiatmoko, 2005: 76). Ia juga bermakna bahwa parameter yang mencirikan satu
butir tidak bergantung pada distribusi ciri responden dan parameter yang mencirikan
responden tidak bergantung pada perangkat tes itu (Hambleton, Swaminathan, &
Rogers, 1991: 18). Apabila invariansi tidak dipenuhi, butir tersebut dianggap keluar
dari nilai parameter sesungguhnya (Wells, Subkovlak, & Serlin, 2002: 77).
Ketiga, unidimensi didefinisikan sebagai kehadiran faktor dominan yang
mempengaruhi performansi tes. Faktor dominan ini sebagai ciri yang diukur oleh tes
(Hambleton, Swaminathan, & Rogers, 1991: 9-10). Unidimensi juga didefinisikan
sebagai butir yang mengukur satu karakteri-stik responden (Traub, 1983: 58; Naga,
1992: 164). Ini bermakna bahwa probabilitas responsi butir merupakan fungsi
karakteristik laten tunggal () suatu responden (Hulin, Drasgow, & Parsons, 1983 di
dalam Widiatmoko, 2005: 77). Karena setiap karakteristik ditentukan oleh satu
keberukuran, keberukuran itu diinterpretasikan sebagai syarat untuk mengukur satu
dimensi ciri laten responden di dalam subpopulasi.
Dengan demikian, independensi lokal, invariansi parameter, dan
unidimensi merupakan karakteristik TRB yang penting yang tidak ditemukan
di dalam teori tes klasik (TTK). Mereka menyelesaikan kemahan-kelemahan
TTK. Berdasarkan pada pertimbangan itu, TRB digunakan untuk memperoleh
kualitas butir yang baik di dalam perangkat tes. Tes bahasa setakat ini
merupakan tes yangdidesain dengan konsep TRB. Ia bertalian dengan TRB
sejak paradigma tes diskrit muneul. Menurutnya, tes diskrit menghasilkan data
yang mudah dikuantifikasi (Weir, 1990: 2). Tes diskrit itu merupakan tes yang
memfokuskan pada satu sudut pandang tatabahasa pada saat tertentu. Masing-
masing butir tes ditujukan pada satu elemen dari komponen tatabahasa seeara
spesifik. Ia menilai satu keterampilan dan satu aspek keterampilan pada suatu
waktu (Oller, 1979: 37). Oleh karena itu, paradigmastrukturalis psikometris
menggugah analisis butir tes bahasa menurut konsep TRB. Umumnya, konsep
24 ltNGUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38
itu diterapkall di dalam butir-butir TOEFL. Butir-butir itu sampai sekarang
merupakan objek penelitian. Tentu, penelitian itu berimplikasi pada kajian
yang lebih luas yang bertalian dengan pengetesan bahasa.
Hingga kini, diketahui bahwa ada banyak penelitian tes bahasa. Salah
satunya bertalian dengan estimasi parameter butir-responden. Estimasi itu
dilakukan secara simultan maupun marginal. Beberapa metoda estimasi
parameter butir-responden mencakupi kebolehjadian maksimum simultan,
kebolehjadian maksimum marginal, kebolehjadian maksimum kondisional,
Bayesian simultan dan marginal, dengan analisis faktor nonlinear, dan heuristik
(Hambleton, 1989: 166; Naga, 1992: 250; Swaminathan, Hambleton, Sireci,
Xing, & Rizavi, 2003: 29). Estimasi parameter butir-responden secara simultan
menggunakan metoda Prox, sedangkan estimasi parameter responden secara
marginal menggunakan metoda Newton-Raphson. Masalah yang dirumuskan
di dalam penelitian ini adalah 'Apakah parameter yang dihasilkan dari estimasi
dengan metode Prox memiliki kesamaan nilai dengan yang dihasilkan dari
estimasi dengan metode Newton-Raphson (N-R)?', dan 'Apakah kurva
karakteristik tes yang dihasilkan dengan metode Newton-Raphson memenuhi
model logistik satu-parameter (LIP)?' Untuk menjawab hipotesis penelitian,
estimasi secara simultan dengan metode Prox dan estimasi secara marginal
dengan metoda Newton-Raphson (N-R) layak dilakukan.
Tilikan Teoretik
A. Model Logistik
Ada banyak metoda estimasi di dalam TRB. Salah satunya adalah estimasi dengan
data dikotomi. Yang lainnya memerlukan data politomi. Estimasi parameter
diterapkan pada model logistik satu-parameter (LlP), logistik dua-parameter (L2P),
logistik tiga-parameter (L3P), dan logistik empat-parameter (L4P). Estimasi pada
model L4P lebih sukar dibanding dengan estimasi pada model L3P, yang pada model
Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton-Raphson di dalam 25 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widiatmoko)
L3P lebih sukar dibanding dengan yang pad a model L2P, dan yang pada model L2P
lebih sukar dibanding dengan yang pada model L1P. Dengan demikian, estimasi pada
model L1P paling mudah dilakukan. Model ini secara empirik mudah dijumpai di
dalam beragam tes (Naga, 1992). Apabila dilukiskan, ia merupakan kurva karakteristik
tes yang mencakupi butir-responden sebagai fungsi probabilitas yang menyerupai
huruf S,seperti di bawah ini. ,------I
1.00 I 000
050
o 0.30
0.20
0.10
0,00
Kurva Karakteristik Tes pad a Model L 1 P
Parameter Ciri Laten Responden
Model L1P, L2P, L3P, dan L4P merupakan model ojaif normal. Namun,
model logistik memiliki perbedaan dari model ojaif normal. Model logistik
memerlukan perhitungan matematik yang sederhana, sedangkan model ojaif normal
memerlukan perhitungan matematik yang sangat rumit (Widiatmoko, 2005).
Sebagaimana model ojaif normal, model logistik juga memerlukan parameter
butir-responden. Model L1P memerlukan taraf kesukaran butir hi. Model L2P
memerlukan taraf kesukaran butir hi dan daya pembeda butir ai. Model L3P
memerlukan taraf kesukaran butir bi, day a pembeda butir ai, dan tebakan betul oleh
responden berkemampuan rendah Ci. Model L4P memerlukan taraf kesukaran butir hi,
daya pembeda butir ai, tebakan betul oleh responden berkemampuan rendah Ci, dan
kecerobohan oleh responden berkemampuan tinggi g. Dari empat modellogistik itu,
yang paling sederhana adalah model L1P at au disebut model Rasch. Model ini secara , '·1
rnendasar digambarkan sebagai kurva karakteristik butir. Kurva ini bergantung pada I ", '
jarakantara o dan hi, yang bermakna bahwa parameter butir hi didefinisikan secara :) . -.
,celatif terhadap parameter responden 0 (Anderson, 1983: 197-198). Apabila dituliskan
. '26 LlNGliA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38
secara matematik, model ini adalah: P (8) = e DC8-
b,) ;, di mana D merupakan
, 1 + e D (8-b,)
konstanta yang bernilai 1,7 dan e merupakan bilangan eksponensial (Hambleton,
1989: 154).
Model LIP secara empirik merupakan model yang menyerupai kurva ojaif
dengan asimptot bawah dan asimptot atas. Asimptot bawah mendekati nilai minus tak
terhingga, dan asimptot atas mendekati nilai plus tak terhingga. lni bermakna bahwa
dalam kondisi tertentu responden berkemampuan rendah berprobabilitas menjawab
butir dengan rendah yang tidak diketahui tingkatannya dan respond en berkemampuan
tinggi berprobabilitas menjawab butir dengan tinggi yang tidak diketahui tingkatannya
di dalam subpopulasi yang homo gen. Tingkatan rendah dan tinggi yang tak terhingga
itu secara praktik dapat diketahui. Ia memiliki rentang -3 hingga +3 (Hulin, et at., 1983: 101) atau dari -4 hingga +4 (Naga, 1992: 224).
B. Estimasi Parameter dengan Metoda Prox
Estimasi parameter merupakan upaya yang dilakukan di dalam TRB untuk mengetahui
karakteristik butir-responden. Tujuannya adalah untuk menentukan nilai ciri
responden e dengan ketepatan memadai dan untuk mengklasifikasikan responden ke
dalam kategori cirinya dengan probabilitas kekeliruan sekecil mungkin (Lord &
Novick, 1968: 405). Estimasi parameter yang paling mudah dilakukan adalah estimasi
pada model LIP dengan metoda Prox yang memerlukan data butir dikotomi. Metode
tersebut mengestimasi parameter kemampuan responden pada ciri responden dan
parameter taraf kesukaran butir pada ciri butir. Estimasi ini diketahui sebagai estimasi
kebolehjadian maksimum simultan. lni bermakna bahwa apabila estimasi dilakukan,
semua nilai parameter ciri responden dan ciri butir dapat diketahui secara simultan
(Naga, 1992: 264).
Pada prinsipnya, metode Prox mengatur taraf kesukaran butir awal bi dan
kemampuan responden awal e. Nilai awal bi dan e didasarkan pada logit gagal dan
logit sukses. Biasanya, nilai awal dinyatakan sebagai simpangan dari rataan logit
sehingga kedua nilai tersebut menjadi bA dan eA. Dengan mengacu pada variansi logit,
Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton-Raphson di dalam 27 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widialmoko)
metode Prox membentuk faktor perluasan untuk dua parameter, yakni, F(b) dan F(e).
Dengan menggunakan nilai awal bi, nilai awal e, faktor perluasan F(b), dan faktor
perluasan F(e), parameter ciri butir dan ciri responden dapat diestimasi.
Langkah estimasi dengan menggunakan metode Prox adalah sebagai berikut
(Henning, 1987: 118-122). Pertama, responsi dikotomi dengan matriks jawaban betul
dan jawaban salah disusun. Ini dilakukan sedemikian hingga setiap responden at au
butir yang berresponsi jawaban betul semua dan salah semua dihilangkan. Kemudian,
skor responden diurutkan secara vertikal dari yang bernilai terkecil ke yang terbesar
dan proporsi butir jawaban betul diurutkan secara horisontal dari yang bernilai terbesar
ke yang terkecil.
Kedua, kalibrasi taraf kesukaran butir awal bi dihitung. Ini dilakukan dengan
menggunakan nilai logit gagal untuk setiap butir yang mungkin memiliki jawaban
betul. Nilai logit gagal untuk setiap butir dihitung sebagai logaritma natural dari
proporsi jawaban salah dan proporsi jawaban betu!. Ini merupakan acuan untuk
mengkalibrasi taraf kesukaran butir awal hi' Selanjutnya, responden mengerjakan butir
N sehingga rataan dari nilai logit gagal butir-butir itu dihitung. Dengan
mempertimbangkan bahwa butir-butir itu adalah sampel, variansi nilai logit gagal
diperoleh. Untuk menghitung variansi nilai logit gaga!, perlu menghitung jumlah
kuadrat nilai logit gagal dikurangi dengan jumlah butir dikalikan dengan kuadrat
rataan logit gagal di antara butir itu, dan semua dibagi dengan jumlah butir dikurangi
satu. Variansi itu diperlukan untuk perhitungan faktor perluasan. Kalibrasi taraf
kesukaran butir awal hi dimaksudkan untuk menentukan simpangan dari rata an nilai
logit gagal. lni dilakukan terhadap semua butir.
Ketiga, ciri responden awal e dihitung. Perhitungan ini dilakukan dengan
menggunakan nilai logit sukses di samping nilai logit gagal. Nilai logit sukses untuk
setiap responden dihitung sebagai logaritma natural dari proporsi jawaban betul dan
proporsi jawaban salah. lni merupakan referensi untuk menghitung ciri responden
awal e. Kemudian, butir-butir itu dikerjakan oleh responden M sehingga rataan nilai
logit sukses di antara responden itu dihitung. Dengan mempertimbangkan bahwa
responden itu adalah sampel, variansi nilai logit sukses diperoleh. Untuk menghitung
28 UNC;UA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38
variansi nilai logit sukses, perlu dihitung jumlah kuadrat nilai logit sukses dikurangi
jumlah responden M dan dikalikan dengan kuadrat rataan logit sukses di an tara
responden itu, dan semua dibagi dengan jumlah responden dikurangi satu. Variansi itu
diperlukan untuk perhitungan faktor perluasan. Ciri kemampuim responden awal B
dimaksudkan untuk menentukan simpangan dari rataan nilai logit sukses. lni
dilakukan terhadap semua responden.
Keempat, faktor perluasan untuk butir F(bJ dan nilai bi dihitung. Metode Prox
tidak melakukan siklus estimasi secara berulang. Sebaliknya, ia melakukan estimasi
statistik pada variansi nilai logit gagal dan logit sukses sampel. Faktor untuk estimasi
itu adalah faktor perluasan. Faktor perluasan itu kemudian dikalikan dengan taraf
kesukaran butir awal bi untuk memperoleh estimasi akhir. lni dilakukan terhadap
semua butir.
Kelima, faktor perluasan untuk responden F(B) dan nilai B dihitung. Metode
Prox tidak melakukan siklus estimasi tersebut secara berulang juga. Namun, ia
melakukan estimasi statistik pada variansi nilai logit sukses dan logit gaga I sampel.
Faktor untuk estimasi itu juga merupakan faktor perluasan. Faktor perluasan itu
kemudian dikalikan dengan kemampuan ciri responden awal B untuk memperoleh
estimasi akhir. lni dilakukan terhadap semua responden.
Dengan demikian, baik nilai estimasi kemampuan ciri respond en maupun nilai
estimasi taraf kesukaran butir diketahui secara simultan. Untuk mengetahui apakah
nilai ciri responden-butir itu konsisten, diperlukan perhitungan dengan metoda
estimasi lainnya. Salah satunya adalah dengan metoda Newton-Raphson (N-R).
Metoda ini dikenal sebagai metode estimasi untuk ciri responden di mana nilai taraf
kesukaran butir telah diketahui.
c. Estimasi Parameter dengan Metode Newton-Raphson
Estimasi parameter merupakan bagian esensial di dalam TRB. Estimasi parameter
responden merupakan tujuan pengetesan yang mana tujuan itu tidak dapat dicapai
tanpa menentukan parameter butir-butirnya. Butir-butir yang telah diestimasi akan
disimpan dan secara rutin akan dikenakan kepada respondennya. lni kemudian Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton-Raphson di dalam 29 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widiatmoko)
meningkatkan derajat pajanan butir-butir itu. Dengan demikian, estimasi parameter
butir menjadi menarik untuk diselidiki (Swami nathan, Hambleton, Sireci, Xing, &
Rizavi, 2003: 27-28).
Setakat ini, parameter butir dan parameter responden berkait-erat dengan
pertimbangan metoda yang digunakan, seperti, estimasi kebolehjadian maksimum di
mana ide sentralnya adalah bahwa estimasi parameter dipilih untuk menyeleksi nilai-
nilai yang menjadikan perangkat data amatan menjadi tampak paling mungkin
berkaitan dengan model yang dipilihnya (Hulin, Drasgow, & Parsons, 1983: 46).
Dalam hal ini, estimasi parameter bert aut-rap at dengan model responsi atau model
karakteristik butir yang dikehendaki. Secara umum apa yang dimiliki model-model
terse but merupakan prosedur sistematik untuk mempertimbangkan dan
mengkuantifikasi probabilitas pola respon responden dan butir tunggal di dalam
keseluruhan pola respon di dalam perangkat data tes (Henning, 1987: 107-108).
Demikian pula, model-model itu cocok untuk data respon butir dikotomi. Di samping
itu, pertimbangan terhadap model yang digunakan melibatkan asumsi-asumsi tentang
data yang diverifikasikan dengan menguji bagaimana model tersebut menjelaskan
hasil tes amatan (Hambleton, Swaminathan, & Rogers, 1991: 12). Apabila model itu
ditentukan, semua perhitungan dilakukan dengan mendasarkan pada model yang
dikehendaki. Untuk menghindari kekeliruan probabilitas di dalam keputusan terhadap
model yang dipilih, persyaratan unidimensi, invariansi, dan independensi lokal mutlak
dipenuhi. Setelah itu, data dikumpulkan. Dengan menggunakan data tersebut,
parameter butir-responden diestimasi. Estimasi dilakukan sedemikian hingga ia
memperoleh hasil yang cocok dengan model yang dikehendaki (Naga, 1992: 175-
176).
Setakat ini model L1P merupakan model yang ban yak digunakan di dalam
TRB. Hulin et at di dalam Crocker & Algina (1986: 355) menyarankan bahwa ukuran
sampel yang jauh lebih kedl diperlukan apabila tujuan utamanya untuk mengestimasi
(). Memang, estimasi parameter sering terjadi di dalam model L1P. Ini bermakna
bahwa taraf kesukaran butir bi dan ciri laten respond en () digunakan. Di samping itu,
30 UNGLIA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38
model LIP itu sangat direkomendasikan untuk digunakan karena model lain tidak
diketahui apakah mereka mampu mengestimasi butir secara konsisten.
Estimasi ciri laten responden di mana parameter butir diketahui merupakan
estimasi yang sederhana. Estimasi ini menggunakan metoda Newton-Raphson (N-R)
untuk mengestimasi ciri laten responden () secara marginal di mana taraf kesukaran
butir hi diketahui sebelumnya. Di samping itu, metoda tersebut mencari nilai nol pada
perhitungan fungsi maksimum berikutnya (Krass, 2005: 7). Tentu, metoda tersebut
lebih menjanjikan dan akurat di mana esensi estimasi parameter dapat diperoleh
dibandingkan dengan prosedur kebolehjadian maksimum simultan (Swaminathan,
Hambleton, Sireci, Xing, & Rizavi, 2003: 29).
Metode N-R menggunakan persamaan (Naga, 2003: 7):
i [x; - P;(B)] di mana ()s merupakan ciri laten responden; ()s+i merupakan BS+l = Os +
D L P,(B).Q,(B) ,,,,1
ciri laten responden berikutnya; N merupakan jumlah butir tes; Xi merupakan responsi
responden; P;(()) merupakan probabilitas responden dengan ciri () yang menjawab butir
i dengan betul; Q;(()) merupakan probabilitas responden dengan ciri () yang menjawab
butir i dengan salah; dan D merupakan konstanta yang bernilai 1,7.
Estimasi parameter () berlangsung seperti ini. Pertama, responsi responden
pertama diletakkan bertalian dengan jumlah butir dan taraf kesukaran butirnya. Kedua,
ciri responden awal ()s dihitung dengan mempertimbangkan logaritma natural In antara
probabilitas jawaban betul P;(()) dan probabilitas jawaban salah Q;(()). Kemudian,
probabilitas jawaban betul P;(()) dihitung untuk semua butir dengan menggunakan
rumus:
P(8) = eD(B-b,l • di mana e merupakan bilangan eksponensial yang bernilai 2,718. , 1 + eD(B-b,) ,
Selanjutnya, probabilitas jawaban salah dihitung dengan rumus Q;(()) = 1 -
P;(()). Setelah itu, responsi responden Xi dikurangkan dengan probabilitas jawaban
betul P;(()). Jurnlah Xi - P;(()) kemudian dihitung. Lalu, konstanta D, probabilitas
jawaban betul P;(()), dan probabilitas jawaban salah Q;(()) dikalikan. Penjumlahan
Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton·Raphson di dalam 31 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widiatmokoj
DP;{O)Q;{O) juga dihitung. Untuk memperoleh iterasi ciri responden Oz selanjutnya,
perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus N-R. Jarak antara 00 dan Oz
digunakan utamanya untuk keputusan pada iterasi selanjutnya. Apabila jaraknya sarna
dengan atau lebih kecil dari 0,001, dikatakan cukup untuk mencapai kebolehjadian
maksimum dan kurva menjadi konvergen. Menurut Krass (2005: 7), berkaitan dengan
konvergensi, pencarian nilai nol pada perhitungan fungsi maksimum selanjutnya
menjadi perlu dilakukan. Akhirnya, estimasi 0 dilakukan untuk semua responden.
Metodologi
Dengan menggunakan beberapa syarat asumsi pemenuhan konstruksi butir tes TRB,
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data subpopulasi taraf kesukaran butir
bi dan subpopulasi responden yang menjawab butir subtes tatabahasa TOEFL.
Subpopulasi itu dilakukan dengan menggunakan penyampelan acak bertujuan yang
memerlukan beberapa langkah. Dengan mempertimbangkan model LIP, hanya 50
responden yang menjawab butir dan 25 butir dengan taraf kesukarannya merupakan
unit analisis penelitian.
Estimasi pertama menggunakan metode Pro x untuk mengestimasi ciri laten
responden-butir secara simultan. Setelah mengetahui ciri laten keduanya, dilanjutkan
dengan menentukan kecocokkan nilai estimasi dengan model LIP. Kemudian,
estimasi dilakukan dengan menggunakan metode N-R. Estimasi ini dilakukan hanya
terhadap ciri responden dengan mengetahui ciri butirnya yang diperoleh dengan
metode Prox secara simultan tersebut. Nilai estimasi pada ciri responden akan
diketahui kemudian. Dengan mengacu pad a model LIP, nilai estimasi dari metode N-
R dicocokkan dengan nilai estimasi dengan menggunakan metode Prox, dan kemudian
dicocokkan dengan model LIP.
Analisis
Analisis utama yang dilakukan adalah estimasi parameter butir-responden dengan
metode Prox. Metode ini memerlukan beberapa langkah. Pertama, matriks responsi
betul dan salah disusun. lni dilakukan sedemikian hingga setiap responden atau butir
32 UNC;UA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38
yang memiliki responsi semua betul dan semua salah dihilangkan. Kemudian, skor
responden diurutkan secara vertikal dari yang terkecil ke yang terbesar dan proporsi
butir yang dijawab betul oleh responden diurutkan dari yang terbesar ke yang terkecil.
Selanjutnya, kalibrasi taraf kesukaran butir awal bi dihitung. Penghitungan ini
menggunakan nilai logit gagal (LGi) sebagai acuan untuk mengkalibrasi nilai awal
parameter taraf kesukaran butir bi dengan menggunakan rumus: LGi = In Q (B) ; di P (B)
mana Q(B) = probabilitas jawaban salah, P(B) = probabilitas jawaban betul.
Kemudian, responden mengerjakan sejumlah N butir sehingga rataan nilai
logit gagal di antara butir-butir itu diperoleh. Variansi nilai logit gagal (S2W) diperoleh
dengan menggunakan rumus: 2 1 . ., 'l ' di mana N = S LG = -- (LGI ) - - N J-I - LG N - 1 J-l
jumlah butir, !1w = rataan nilai logit gaga!.
Taraf kesukaran butir awal bi dimaksudkan untuk memutuskan simpangan
dari rataan nilai logit gagal. Ini dilakukan terhadap semua butir. Selanjutnya, ciri
responden awal B dihitung. Ini dilakukan dengan menggunakan nilai logit sukses (LS)
sebagai acuan dengan rumus: LS' = In P (8) Q (8)
lumlah butir yang dijawab oleh M responden dihitung untuk mencari rataan
nilai logit sukses di antara responden. Kemudian, variansi nilai logit sukses diperoleh
dengan menggunakan rumus:
2 1 [ ) 2 _ M J.l 2 L." ] , di mana M = j umlah responden, /lLS S LS = -- (LSj , M - 1 ,.1
= rataan nilai logit sukses. Nilai parameter ciri responden B ditentukan sebagai
simpangan dari rataan logit sukses. Ini dilakukan terhadap semua responden.
Kemudian, faktor perluasan ciri butir F(bJ dan nilai bi dihitung dengan rumus:
Estimasi parameter taraf kesukaran butir bi dapat diperoleh dengan
mengalikan nilai parameter taraf kesukaran butir awal dengan nilai faktor perluasan
Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton-Raphson di dalam 33 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widiatmoko)
taraf kesukaran butir yang telah dipcroleh. -Ini dilakukan terhadap semua butir. Dan,
faktor ekspansi ciri responden F(()) dan nilai () dihitung dengan rumus:
F (8 ) -
Akhirnya, estimasi parameter ciri responden () diperoleh dengan cara
mengalikan nilai awal ciri responden dengan nilai faktor perluasan ciri responden ()
yang telah diperoleh. Ini dilakukan terhadap semua responden. Dengan demikian, dari
nilai estimasi () dan b, dapat dikatakan kurva karakteristik butir memiliki rentangan
sebagaimana pada model LIP, meskipun tingkat konvergensinya masih sangat lemah.
Berdasarkan pada hasil analisis pertama dengan metoda Prox, diperoleh nilai
estimasi ciri butir dan ciri responden secara simultan. Untuk mengetahui apakah nilai
ciri responden memiliki keakuratan dengan model LIP, periu dianalisis dengan
menggunakan metoda N-R.
Dari hasil estimasi, ciri laten responden () yang dihasilkan memiliki rentangan
dari -0.79463 hingga 2.01656. Sebagaimana diketahui, agar estimasi parameter
memiliki kecenderungan konvergensi kurva, ia memerlukan iterasi berulang. Estimasi
tidak terjadi pada estimasi yang pertama. Namun demikian, estimasi pada iterasi kedua
mencakupi 35 responden yakni responden bernomor 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,
14,15,16,17,18,19,20,21,23,24,25,26,28, 31,32,34,35, 36,39,41,46,47,48,
dan 50. Sedangkan estimasi pad a iterasi yang ketiga mencakupi 15 responden yakni
responden bernomor 1, 4, 22, 27, 29, 30, 33, 37, 38, 40, 42, 43, 44, 45, dan 49.
Estimasi dengan metoda N-R tersebut dapat ditampilkan dalam bentuk kurva
karakteristik tes sebagai berikut:
34 UNGUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38
I I
Penutup
A. Simpulan
Kurva Karakteristik Tea Model L-W P
Berdasarkan pada estimasi parameter butir-responden dengan menggunakan metode
Prox, dapat disimpulkan nilai estimasi pada model LlP belum sepenuhnya memenuhi
konvergensi kurva karakteristik tes. Ini boleh jadi disebabkan oleh beberapa alasan,
seperti, kecilnya jumlah responden, model yang dipilih, panjang tes, dan sebagainya.
Nilai estimasi parameter butir-responden dengan menggunakan metode Pro x
kemudian digunakan lagi. Namun, hanya nilai estimasi parameter taraf kesukaran butir
pada model LlP yang digunakan untuk mengestimasi nilai parameter responden.
Estimasi nilai parameter responden dengan mengetahui nilai parameter butirnya
disebut sebagai metode estimasi dengan metoda N-R. Metode ini tentunya
menghendaki estimasi secara marginal. Hasilnya disimpulkan sebagai nilai estimasi
yang juga belum memenuhi konvergensi kurva karakteristik tes. Di samping itu, hasil
estimasi itu juga memiliki nilai yang sedikit berbeda dengan yang dihasilkan dari
estimasi dengan metode Prox.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk memenuhi syarat
konvergensi, estimasi parameter memerlukan data butir dan responden dalam jumlah
besar.
Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton-Raphson di dalam 35 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widiatmoko)
B. Rekomendasi
Sangat direkomendasikan kepada para peminat dan pegiat bahasa untuk
mempertimbangkan konsep TRB dalam pengukuran, tes, evaluasi, dan penilaian
bahasa dengan mempertimbangkan karakteristik butir dan karakteristik respondennya.
Sebagaimana diketahui, konsep TRB yang digunakan di dalam tes bahasa mencakupi
penerapan konsep di dalam konstruksi butir TOEFL, TOEIC, dan sebagainya. Dengan
demikian, untuk menentukan lulus-gagal, berhasil tidak berhasil, dan sebagainya di
dalam evaluasi pembelajaran bahasa Inggris khususnya diperlukan dasar pijakan yang
tepat. Satu di an tara pijakan itu adalah konstruksi alat ukur tes dengan butir-butirnya.
Butir-butir tes mesti memiliki karakteristik tertentu yang telah dikenakan kepada
responden dalam jumlah besar. Dengan demikian, apabila digunakan oleh penguji,
butir-butir itu memiliki kemampuan untuk mengukur apa yang hendak diukur.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, E.B. Helmick. (1983). Analysing data using the Rasch model. Di dalam
Scarvia B.A. & John S.H. (Ed.). On educational testing. San Francisco,
California: Jossey-Bass.
Cotterall, S. & Reinders, H. (2004). Learner strategies: A guide for teachers.
Singapura: SEAMEO RELC.
Crocker, L. & Algina, J. (1986). Introduction to classical and modern test theory.
Florida: Holt, Rinehart and Winston.
Finney, D. (2002). The ELT curriculum: A flexible model for a changing world. Di
dalam Jack c.R. & Willy A.R. (Ed.). Methodology in language teaching: An
anthology of current practice, (hh. 69-79). Cambridge: CUP.
Hambleton, R.K. & Muray, L.N. (1983). Some goodness of fit investigations for item
response models. Di dalam R.K. Hambleton (Ed.). Applications of item
response theory (hh. 71-94). Vancouver, B.c.: Educational Research Institute
of British Institute.
36 UNCjUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38
Hambleton, R.K. (1989). Principles and selected applications of item response theory.
Di dalam R.L. Linn (Ed.). Educational measurement (hh. 147-200). New
York: American Council on Education and Macmillan Publishing.
Hambleton, R.K., Swami nathan, H., & Rogers, H.J. (1991). Fundamentals of item
response theory. Newbury Park, California: Sage Publications.
Henning, G. (1987). A guide to language testing: Development, evaluation, research.
Cambridge, Massachusetts: Newbury House Publishers.
Hulin, e.L., Drasgow, F., & Parsons, e.K. (1983). Item response theory: Application
to psychological measurement. Homewood, Illinois: Dow Jones-Irwin.
Krass, LA. (2005). Application of direct optimization for item calibration in
computerised adaptive testing (hh. 1-45). Tersedia:
http://www.psych.umn.edu/psylabs/CATCentral/PDF Files/ KR98-01.pdf.
Lord, F.M. & Novick, M.R. (1968). Statistical theories of mental test scores. Canada:
Addison-Wesley Publishing Company.
Magnusson, D. (1967). Test theory. Don Mills, Ontario: Addison-Wesley.
McDonald, R.P. (1999). Test theory: .4. unified treatment. New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates.
Naga, D.S. (1992). Pengantar teori sekor pada pengukuran pendidikan. Jakarta:
Gunadarma.
Naga, D.S. (2003). Teori responsi butir: Estimasi parameter secara terpisah. Kertas
kerja yang dibentangkan di dalam kuliah psikometrika. Program Doktor
Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, UNJ.
Oller, J.W. (1979). Language tests at school. London: Longman Group.
Richards, J.e. (2001). Curriculum development in language teaching. Cambridge:
CUP.
Richards, J .C. (2002). Planning aims and objectives in language programs.
Singapura: SEAMEO RELe.
Setiadi, H. (1999). Kegunaan dan keunggulan mendesain perangkat tes dengan
menggunakan konsep IRT. Wawasan, Januari, 3-9.
Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton·Raphson di dalam 37 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widialmoko)
Swaminathan, H., Hambleton, R.K., Sireci, S.G., Xing, D., & Rizavi, S.M. (2003).
Small sample estimation in dichotomous item response models: Effect of
priors based on judgmental information on the accuracy of item parameter
estimates. Applied Psychological Measurement, 27(1), 27-51.
Traub, RE. (1983). A priori considerations in choosing an item response model. Di
dalam RK. Hambleton (Ed.). Applications of item response theory (hh. 57-
70). Vancouver, B.c.: Educational Research Institute of British Institute.
Weir, CJ. (1990). Communicative language testing. Hertfordshire: Prentice Hall
International (UK).
Wells, C.S., Subkovlak, MJ., Serlin, RC. (2002). The effect of item parameter drift
on examinee ability estimates. Applied Psychological Measurement, 26(1),
77-87.
Widiatmoko. (2004). Language assessment. Jakarta: PPPG Bahasa.
Widiatmoko. (2005). Joint maximum likelihood estimates on items-examinees using
the prox method: A study on the reading subtest of TOEFL. Indonesian lELT,
1 (1), 73-90.
Ying, B.P. (2005). Testing and evaluation in second language teaching. Makalah yang
disajikan di dalam kursus MTCP. Institut Perguruan Bahasa-bahasa
Antarabangsa, Kuala Lumpur, 5-30 September.
***
38 UNC;lIA VoL 6 No.1, Maret 2007 21-38
TINJAUAN TERHADAP SERAT DEWA BUDA: NASKAH SUNDA YANG BERBAHASA JA WA KUNA
Agus Aris Munandar Departemen Arkeologi FIB UI
Abstrak Serat Dewabuda (SDB) merupakan salah satu naskah karya sastra masyarakat Sunda
Kuna, yang digubah dalam bahasa Jawa Kuna. Atas dasar itulah maka naskah tersebut menjadi bahan kajian yang menarik.
Dalam kolofon naskah diuraikan bahwa SDB selesai digubah pada 1357 Saka (1435 M. Adapun tempat penulisannya diperkirakan di suatu tempat yang terletak di lembah yang bemama Argasela, di tepian Sungai Mulutu. Lokasi tersebut berada di antara dua gunung, yaitu an tara Gunung Cupu dan Gunung Rantay, serta Bukit Talagacandana. Telaah yang dilakukan terhadap isi naskah temyata menguraikan ajaran keagamaan Sunda Kuna. Walaupun ditulis dalam bahasa Jawa Kuna, isinya tetap menjabarkan ajaran religi masyarakat Sunda Kuna. Bahasa Jawa Kuna dalam hal ini hanya menjadi pengantar yang dianggap lebih berwibawa dalam uraian naskah yang bersifat keagamaan.
Abstract Serat Dewabuda (SDB) is one of Sundanese ancient literatures. Written in old
Javanese writing makes SDB more interesting to be analyzed. In the script, it is stated that SDB was written in 1357 Saka (1435M). It was
accomplished in a valley called ArgaseLa, the bay of Manuhutu river. It is located between two mountains; Cupu and Rantay and TaLagacandana hiLL. The analysis of the script explains that it teaches Sun danese old religion. Although written in old Javanese writing, it teaches Sundanese ancient religion. The language is considered appropriate for such religious script.
Key words: ancient, literatures, script, religion, writing
Naskah Serat Dewabuda (SDB) atau dengan nama lain Serat
Sewakadarma telah dialihaksarakan dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Ayatrohaedi pada tahun 1988. Naskah terse but disimpan di
Bagian Naskah, Museum Nasional, Jakarta, sebagai salah satu koleksi naskah
kuna yang diwariskan oleh J.L.A. Brandes kepada Koninklijk Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang sekarang menjelma
menjadi Lembaga Museum Nasional Jakarta.
Tinjauan terhadap Sera! Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna (Agus Aris Muuandar) 39
Naskah koleksi Brandes cukup beragam isinya, salah satunya yang
menarik perhatian adalah naskah SDB at au serat Sewakadarma yang diberi
nomor Br. 638. Sebagaimana diketahui bahwa naskah dengan judul serat
Sewakadarma cukup banyak dan ditulis dalam bahasa Jawa kuna. Naskah-
naskah tersebut dikoleksi baik di Museum Nasional Jakarta ataupun juga di
Negeri Belanda (Ayatrohaedi 1988: 2). Dengan demikian, serat Sewakadarma
merupakan benda yang sangat digemari oleh masyarakat pada masanya.
Menurut Ayatrohaedi sambutan masyarakat yang baik terhadap serta
Sewakadarma sangat mungkin disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:,
(1) Isinya secara langsung berkenaan dengan kehidupan masyarakat
(2) Penguasa menganggap bahwa naskah itu sangat penting diketahui
masyarakat sehingga harus banyak ditulis, dan
(3) Para penulisnya sendiri yang menganggap bahwa isi naskah itu harus
disebarluaskan kepada masyarakat (Ayatrohaedi,1988: 3).
Dengan demikian, banyaknya naskah yang berjudul Sewakadarma
berarti banyak minat masyarakat masa itu untuk mempelajarinya. Hal yang
menarik adalah isi dari naskah Sewakadarma yang telah dialihakasarakan dan
diterjemahkan oleh Saleh Danasasmita dan kawan-kawan (1987), ternyata
berbeda dengan SDB atau serat Sewakadarma yang menjadi kajian ini. Uraian
SDB yang menjadi kajian ini jauh lebih panjang, dan sukar untuk dipahami
isinya secara langsung walaupun temanya hampir sarna, yaitu perihal upaya
pertemuan langsung dengan Sang Pencipta.
Kajian ini menggunakan hasil karya Ayatrohaedi yang telah
mengalihaksarakan dan menerjemahkan isi naskah SDB ke dalam bahasa
Indonesia (1988). Hasil terjemahan yang dilakukan oleh Ayatrohaedi tetap
akan diikuti dan menjadi sumber kajian ini. Kajian ini pun hanya membatasi
diri pada konsep adikodrati yang disebut-sebut dalam SDB. Walaupun ada
40 UNG\JA Vol. 6 No.1, Maret 2007 39-56
keinginan untuk memperbincangkan beberapa istilah yang sengaja tidak
diterjemahkan oleh Ayatrohaedi merupakan konsep keagamaan, keinginan itu
ditangguhkan terlebih dahulu, hal itu harus dilakukan dengan seksama dan
memerlukan perbandingan sumber tertulis (karya sastra) sezaman yang lebih
luaslagi.
Dalam kolofon naskah diuraikan bahwa SDB selesai digubah pada
tahun 1357 Saka (1435 M). Adapun tempat penulisannya diperkirakan di suatu
pertapaan yang terletak di lembah yang bernama Argasela, di tepian Sungai
Mulutu. Lokasi tersebut berada di antara dua gunung, yaitu Gunung Cupu dan
Gunung Rantay serta bukit yang bernama Talagacandana. Ayatrohaedi
menyatakan bahwa semua nama tempat itu mengingatkan orang kepada
wilayah di Priangan Timur sebagai salah satu tempat sciptorium pad a zaman
Sunda Kuna (Ayatrohaedi, 1988: 5). Naskah-naskah sezaman dalam bahasa
Jawa Kuna yang dipergunakan sebagai pembanding dalam kajian ini antara lain
adalah Tantu Panggelaran (Pigeaud, 1924), Korawasrama (Swellengrebel,
1936), Nirarthaprakerta (Poerbatjaraka, 1975), dan serat Sewakadarma yang
telah diterbitkan (Danasamita, 1987). Semua naskah itu digubah dalam periode
yang hampir sarna, yaitu sekitar akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 M. Oleh
karena itu, diharapkan diperoleh pemahaman yang jauh lebih perihal SDB.
Tinjauan isi naskah yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah untuk
menelisik bentuk ajaran keagamaan yang diutarakan, beberapa nilai yang
sangat mungkin terkandung di dalamnya, dan hal-hal lainnya yang dirasa
penting untuk diperbincangkan. Suatu kenyataan yang menarik bahwa SDB
tersebut dituliskan dalam bahasa Jawa Kuna, bukannya dalam bahasa Sunda
Kuna walaupun diperkirakan temp at penulisannya berada di Tatar Sunda.
Kenyataan tersebut tidak mungkin untuk diabaikan begitu saja. Oleh karena itu,
Tinjauan lerhadap Seral Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 41
dalam kajian ini diupayakan untuk didiskusikafi dengan dukungan data yang
tersedia.
Apabila diperhatikan isinya, SDB mengandung banyak nilai yang
disaput dengan ajaran keagamaan yang penuh metafora. Memang secara
keseluruhan kandungan nilai keagamaan lebih kentara daripada nilai-nilai
lainnya. Dibandingkan dengan kitab-kitab keagamaan yang digubah oleh para
Brahmana Sunda Kuna lainnya, uraian SDB sangat sukar untuk dHkuti, batas-
Hap konsep yang diperbincangkan sukar untuk diidentifikasikan, dan
tentu saja sukar pula ditafsirkan isinya.
SDB digubah dalam 129 lempir daun nipah recto-verso (bolak-balik),
225 halaman karena lempir pertama hanya ditulisi satu sisinya, satu lempir
sebelum terakhir hanya ditulisi satu sisi, dan lempir terakhir masih kosong.
Aksara yang digunakan Jawa Kuna dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna
pula, dan hanya ditemukan 40 patah kata Sunda yang terselip di dalam
uraiannya. Dapat dikatakan bahwa uraian SDB sepenuhnya memperlihatkan
pengaruh budaya Jawa Kuna terhadap kehidupan masyarakat Sunda masa itu
(Ayatrohaedi 1988:4 dan 6).
Dalam khasanah naskah keagaamaan Jawa Kuna dikenal adanya kitab
Nirarthaprakreta (1459 M) yang digubah oleh Danghyang Nirartha. Menurut
R.M.Ng.Poerbatjaraka isi Nirarthaprakreta adalah perihal "ilmu tua", yaitu
ajaran yang digemari oleh para orang tua yang sudah menjauhkan diri dari
dunia ramai, dan mendekat ke alam-Nya. Jadi, berisikan ajaran yang pelik dan
bersifat filosofis (Poerbatjaraka 1975: 73-75). Akan halnya uraian SDB
sebenarnya kurang lebih sama dengan isi Nirarthaprakreta, yaitu tentang
"ilmu tua" , tetapi uraiannya cukup njlimet sehingga harus dicermati secara
baik. Metafora-metafora yang diungkapkan dalam SDB sebenarnya
menggunakan benda-benda yang dikenal sehari-hari, bagian tubuh, pancaindra,
42 LINGUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 39-56
hewan, tumbuhan, dan lain-lain yang telah dikenal secara umum, tetapi makna
yang dimaksudkan dalam ungkapan tersebut sangat sukar dimengerti.
Secara umum dewata yang diseru di dalam SDB adalah dewa-dewa
Hindu-saiva, dan hanya sedikit nuansa agama Buddhanya. Kalaupun
disebutkan Buddha, umumnya disebutkan bersama menjadi Siva-Buddha.
Pengertian Siva-Buddha sudah tentu berbeda dengan konsep Buddha karena
konsep Siva-Buddha mempunyai pengertiannya sendiri dan dikenal sejak
zaman Singhasari dan Majapahit (abad ke-13-15 M). Dalam uraian naskah ini
pun tidak dijumpai adanya pemerian tentang ciri ikonografi dari area dewa
tertentu baik yang bersifat Hindu-saiva ataupun bauddha. Tidak ada juga
narasi tentang kisah mitologi yang berkenaan tentang tokoh dewa, penciptaan
alam, ataupun simbol keagaamaan lainnya. Dengan demikian, pemaparannya
cukup berbeda apabila dibandingkan dengan isi kitab Tantu Panggelaran
(Pigeaud, 1924). SDB juga tidak dibingkai dalam suatu kisah tertentu atau
mengandung fragmen-fragmen cerita yang menguraikan ajaran tentang kebajikan atau pendidikan lainya. Uraian SDB sejak awal hingga akhir terus
menerus memperbincangkan tentang upaya manusia untuk dapat bersatu
dengan penciptanya, sungguh merupakan uraian yang bersifat tataran tinggi
dan memerlukan pemahaman yang tinggi pula.
SDB dimulai dengan informasi tentang pendeta agung yang tinggi
ilmunya bemama Siddhayogiswara. Tokoh tersebut sedang mengajar muridnya
mungkin para putra raja atau calon-calon pendeta perihal berbagai ajaran
keagamaan, terutama tentang konsep, simbol, dan upaya untuk dapat bersatu
dengan dewa tertinggi yang menjadi tujuan abadi manusia. Seluruh uraian isi
SDB sebenamya dapat disebut sebagai ucapan sang Siddhayogiswara yang
ditujukan kepada muridnya, ucapan tersebut kemudian ditulis maka jadilah
naskah yang kemudian disebut Serat Dewabuda. Oleh karena itu, mengapa
Tinjauan terhadap Seral Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna (Agus Ads Munandar) 43
merhbaca dan memahami isi SDB sangat sukar, banyak pengulangan tema,
pengulangan kata, dan tema. Terdapat pula bagian yang diuraikan secara rinci,
tetapi ada pula konsep-konsep yang tidak at au belum dijelaskan apa artinya.
Dengan demikian, SDB seakan-akan bentuk rekaman tulisan hasil wawancara
langsung dengan sang Siddhayogiswara "yang masih asli dan belum
disunting" .
Ajaran dari Sang Siddhayogiswara tersebut dapat disebarluaskan di
berbagai negara seperti Keling, Cina, Prasola, Meta, Kedah, Malayu,
Tanjungpura, Byalapura, Markaman, Hulumando, Buwun, Gurun, dan Bandan
(SDB. 3r: 1-2). Daerah-daerah tersebut sebagian besar disebutkan juga dalam
kakawin Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca (1365 M).
Selain dunia manusia dalam SDB juga diuraikan adanya alam bawah
yang jumlahnya tujuh disebut Saptatala, yaitu Patala, Nangtala, Sutala, Atala,
Mahatala, Talaningtala, dan Talantala. Saptatala itu [terletak] di bawah
dunia (Buwana) temp at tinggal manusia. Adapun surga jumlahnya ada tujuh
susun pula, adalah Buhloka, Swahloka,lanahloka, Tapaloka, Satyaloka, dan
Rahaloka, dinamakan dengan Saptaswarga yang letaknya di atas Buwana
(SDB 5r: 2-4, dan 5v: 1).
Hal yang menarik dalam SDB disebutkan pula adanya alam lain di atas
Saptaswarga, yaitu Sunya, Paramasunya, Atyantasunya, Nirmalasunya,
Sunammasunya, dan Acintyasunya. (SDB 5v: 1-2). Kiranya kelompok alam
ini dianggap lebih tinggi dari Saptaswarga, apabila alam loka-loka tersebut
konsepnya berasal dari Hinduisme, maka alam sunyata ini jelas berasal dari
ajaran Buddha. Dengan kat a lain, ada anggapan bahwa hakikat tujuan akhir
dari Buddhisme lebih tinggi dari surganya orang Hindu. Hal yang lebih
menarik adalah di atas lapisan-lapisan sunya ternyata terdapat pula lapisan lain
dinamakan Taya, yaitu Taya, Paramataya, Atyantataya, Nirmalataya,
44 UNGlJA Vol. 6 No.1, Maret 2007 39-56
Sunammataya, dan Acintyataya, serta lapisan paling at as terdapat
Abhyantarataya. Di alam ini tiada terlihat cahaya bintang, bulan, matahari,dan
suar semua makhluk manusia, karena semua itu tidaklah sampai ke sana (SDB
5v: 2-4).
Gambaran tersebut jelas tidak pernah dikenal baik dalam ajaran
Hinduisme ataupun Buddhisme, hanya merupakan uraian alam yang lebih
tinggi lagi dari konstrak supernaturalnya Hindu ataupun Buddha. Mengenai
adanya alam Taya tersebut agaknya sejalan dengan konsep Sanghyang Taya
yang disebutkan dalam kitab Korawasrama (Swellengrebel 1936). Memang
dalam SDB Sanghyang Taya tidak pernah disebutkan, tetapi penyusun SDB
tersebut pasti mengenal adanya konstrak yang dinamakan Sang Hyang Taya,
karena itu alam Taya disebutkan dalam SDB. Hal lain yang dapat ditafsirkan
adalah bahwa kedudukan Sanghyang Taya tentunya lebih tinggi daripada
dewata Hindu ataupun Buddha karen a itu alam persemayamannya diungkapkan
pada kedudukan yang paling tinggi dari alam swarganya Hindu-saiva ataupun
sunyatanya bauddha.
Mengenai Sanghyang Taya ini Poerbatjaraka menyatakan sebagai
berikut. "Adapula sebuah tjiri jang dengan jelas membuktikan, bahwa kitab
Korawasrama itu lebih muda dari pada kitab Tantu Panggelaran, jaitu dalam
kitab Korawasrama menjebutkan sang hiang Taja yang ditempatkan diatas [sic]
sang hiang Parameswara (batara Guru). Taja itu perkataan Djawa asli, artinja:
tidak ada; dalam bahasa Sunda teu aja, jakni nama untuk menundjukkan Tuhan
orang Djawa tulen. Seperti djuga halnja dengan sebutan-sebutan sang hiang
Wenang, sang hiang Tunggal. Kedua-duanja kata Djawa asli jang sudah terang
artinja, lagi pula tepat sekali untuk menjebut Jang Kuasa" (Poerbatjaraka 1957:
68-9).
Tinjauan terhadap Serat Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 45
Dalum hal ini Sanghyang Taya agaknya dikenal meluas sebagai konsep
adikodrati tertinggi pada masa itu sebab dikenal baik dalam karya sastra yang
dihasilkan dalam lingkungan masyarakat Jawa Kuna maupun Sunda Kuna. Hal
lain yang dapat ditafsirkan bahwa pada babakan terakhir periode Hindu-
Buddha di Jawa hubungan antara agamawan Sunda Kuna dan Jawa Kuna
agaknya cukup dekat. Bahkan sangat mungkin banyak orang Sunda Kuna yang
pergi mengembara ke wilayah "Jawa", mungkin tlatah kerajaan Majapahit
pada waktu itu yang berpusatkan di wilayah Jawa bagian timur. Keadaan itu
diungkapkan dalam kitab Sang Hyang Siksakanda ng Karesian sebagai
berikut. "Demikianlah umpamanya kita pergi ke Jawa, tidak mengikuti bahasa
adatnya, termangu-mangu perasaan kita. Setelah kita kembali ke Sunda, tidak
dapat berbicara bahasa Jawa, seperti yang bukan pulang dari rantau. Percuma
jerih payahnya sebab tidak bisa berbicara bahasanya" (Danasasmita dkk. 1987:
111). Apabila memperhatikan ungkapan tersebut tidaklah mengherankan
apabila terdapat naskah yang disusun oleh kaum agamawan Sunda Kuna tetapi
dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna seperti halnya SDB yang menjadi
bahan kajian ini. Dalam naskah Bujangga Manik yang berbahasa Sunda Kuna
diuraikan pengembaraan Bujangga Manik keliling Pulau Jawa pada akhir abad
ke-15 M. Bujangga Manik beranjak dari ibu kota Pakuan (Pakwan) melewati
wilayah utara Jawa bagian barat, menyusuri pantai utara Jawa Tengah, Jawa
Timur, hingga ke ujung Jawa bagian timur. Kemudian ia kembali lagi ke Sunda
melalui wilayah selatan Pulau Jawa. Dalam lawatannya itu ia sengaja
berkunjung ke tempat-tempat suci keagamaan (rabut) yang terletak di wilayah
Jawa bagian timur tatar Sunda (Noorduyn 1982: 420-37). Maksud kunjungan
Bujangga Manik ke berbagai rabut itu mungkin dalam rangka penyusunan
naskah keagamaan. Ia perlu membaca dan menyalin beberapa naskah agama
yang tersimpan di berbagai tempat suci dan tempat-tempat kaum agamawan
46 UNCjt/A Vol. 6 No.1, Maret 2007 39-56
bermukim, pertapaan, mandala, karsyan yang masih ada waktu itu. Dalam abad
ke-15 Masehi kegiatan keagamaan Hindu-Buddha di Jawa Tengah dan Jawa
Timur sangat mungkin masih tetap berlanjut di beberapa tempat, hal itulah
yang tetap menjadi perhatian bagi kaum agamawan Sunda Kuna (Munandar
1993/1994: 153).
J.Noorduyn, setelah la mempelajari naskah Bujangga Manik,
menyatakan,
"Religious life continued in its old established way over practically the entire
island, and the centers of religious learning in central and eastern Java were
still able to attract attention from outlying regions such us the Sundanese one"
(Noorduyn 1982: 439).
Dengan demikian, pengaruh ajaran agama Hindu-Buddha dari wilayah
kebudayaan Jawa Kuna dapat saja meresap ke dalam kebudayaan Sunda Kuna.
Apabila ada karya sastra Sunda Kuna yang menyebut-nyebut konstrak tentang
kekuatan adikodrati tertinggi, contohnya Sanghyang Taya, bukanlah hal yang
mengherankan lagi. Karya-karya sastra Sunda Kuna itu uraiannya tidak mirip
benar dengan karya sastra Jawa Kuna, isinya tetap khas kebudayaan Sunda
Kuna walaupun ada yang diuraikan dalam bahasa Jawa Kuna seperti halnya
SDB. kitab-kitab keagamaan Sunda Kuna antara lain tidak ada
pemaparan tentang mHos dewa-dewa Hindu-Buddha atau mitos lainnya. Kitab
Tantu Panggelaran yang digubah oleh kalangan kaum agamawan yang tinggal
di mandala pun tetap mencantumkan mitos-mitos, antara lain mitos ten tang
asal mula adanya manusia di Tanah J awa, mitos asal mula beberapa gunung,
mitos terjadinya gerhana, dan mitos tentang terjadinya beberapa tanaman.
Adapun SDB tidak menyebutkan sedikit juga perihal mitos tentang terjadinya
sesuatu benda, tanaman, atau fenomena geografis lainnya.
Tinjauan terhadap Serat Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 47
Hingga sejauh ini juga tidak pernah dijumpai adanya naskah Sunda
Kuna yang berisikan saduran atau eerita rekaan yang induknya berasal dari
wiracarita India, sebagaimana yang dikenal dalam karya-karya sus astra Jawa
Kuna. Dalam uraian naskah Sunda Kuna pun tidak pernah ada pemerian
tentang perwujudan tokoh dewa yang dapat dijadikan bahan kajian ikonografi
perihal area-area dewa. Dalam pada itu sejumlah besar karya sastra Jawa Kuna
data ikonografis tersebut dapat dijumpai dalam uraian-uraiannya, antara lain
dalam Brahmandapurana, Adiparwa, Udyogaparwa, Agastyaparwa, Tantu
Panggeiaran, dan Korawasrama (Sedyawati, 1980: 116-128). Dengan
memperhatikan kekhasan tersebut agaknya para pujangga Sunda Kuna lebih
menekankan pada materi utama keagamaan, yaitu hakikat dari kekuatan
adikodrati yang hams direngkuh oleh manusia. Bumbu-bumbu eerita yang
mempakan penyedap bagi para pembaea agaknya sengaja diabaikan, karena
memang dianggap tidak penting.
Keunikan SDB lainnya adalah menyatakan dengan jelas bahwa
Sanghyang (Taya) kedudukannya jauh lebih tinggi dari pada panteon Dewa
Hindu ataupun Buddha. SDB 26v : 1-2 menyatakan sebagai berikut.
1. " ... sanghyang tidak tergantung, siwa buddha tidak diajarkan, batara .
batari tidak dinamai, sunyata tidak diunggulkan. tidak ada
2. gelar puja, tidak dikaji yang sempa dengan teratai besar itu. tidak ada
semuanya itu sebelumnya, hingga pad a nafas, ujar, dan tujuan sampai
berjumpa dengan kearifan" (Ayatrohaedi 1988: 163).
Demikianlah bahwa Sanghyang Taya lebih dirincikan lagi dalam SDB
bahwa pada akhirnya dapat ditafsirkan bahwa sanghyang tertinggi itu adalah
kearifan yang mestinya hams dieapai dan dimiliki oleh setiap manusia.
48 UNCUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 39-56
Dalam SDB juga dinyatakan perihal udara yang terdapat dalam tubuh
manusia dinamakan dengan Panca Paramarta. SDB 38v: 1--4 dan 39r: 1
merinci nama-nama udara yang keluar dari tubuh manusia sebagai berikut.
38v.
1) " ... panca paramarta, lima semuanya tetapi menyatu dalam udara;
pintunya ada lima, dinamakan pancabayu: prana, apana, samana,
2) udana, dan byana. prana adalah udara yang keluar dari mulut, hiduplah
namanya. apana adalah udara yang keluar dari dubur,
3) hiduplah namanya. samana adalah udara yang keluar dari rambut,
hiduplah namanya; bersaudara dengan keringat, kabut, dan asap
4) pada tubuh, tidak hiduplah namanya. udana adalah udara yang keluar dari
hi dung, hiduplah namanya. byana adalah
39r.
1) udara yang keluar dari ubun-ubun, hiduplah namanya. Itulah sebabnya
dinarnakan panca paramarta .. , " (Ayatrohaedi 1988: 175-6).
Dalam praktik yoga peranan udara dalam tubuh manusia (nafas)
sangat penting. Hal itu merupakan unsur yang harus "diolah" sehingga
pelaksanaan yoga seorang yogin menjadi sempurna. Asthanga Yoga
rnengenal delapan cara luar (wahiranga) untuk menguasai jasmani dan
lingkungannya, yaitu yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara,
dharana, dhyana, dan samadhi. Salah satu cara yang mernperhatikan
pengolahan nafas yogin disebut pranayama, dalam car a ini diatur nafas
dan peredaran energi rnelalui nafas. Yogin harus menyadari betapa
pentingnya nafas (prana) tersebut sehingga menunjang proses pemusatan
pikiran, dan banyak cara yang dilakukan oleh seorang yogin untuk
mengatur prananya (Avalon 1997: 135-7).
Tinjauan terhadap Sera! Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 49
39r.
Penyusun SDB niseaya mengenal dengan baik praktik yoga. Oleh
karen a itu, salah satu eara beryoga yang penting yaitu penguasaan --
prana--. Masing-masing prana itu mempunyai jalan keluarnya sendiri dan
pada hakekatnya panca paramarta (lima pintu tempat keluarnya nafas) itu
dapat disamakan dengan panca indra yang merupakan lima pintu pula
bagi prana untuk mengenali dunia (SDB 39r: 2).
Dewa Siwa, Buddha, Brahma, Wisnu, Raksasa, dan Pitara menurut
SDB hanyalah gambaran yang dikeluarkan oleh manusia dari panca
paramarta dan panca indranya belaka. Perhatikan uraian SDB 39r: 2-4
dan 39v: 1-2 berikut ini.
2) " ... Ditemukannya tujuan namanya; apakah yang menjadi ukuran tujuan?,
yaitu sebagai raga dalam
3) mimpi, tubuh kita pada waktu bermimpi; diwujudkan sebagai tujuan dalam
impian, sebagai temp at berenang di danau, seperti melayang
4) di angkasa, sebagai parakul (?) di gunung, sebagai suami, sebagai istri,
terjadi dalam impian. Demikianlah bermaeam keluarnya tujuan dalam
impian, diwujudkan semuanya
39v.
1) oleh tujuan ketika itu, dikeluarkan semuanya gambaran itu, meragakan
Siwa, Buddha, Brahma, Wisnu, raksasa, pitara, ditempatkan dalam
puspalingga dan
2) area. Itulah sebabnya terdapat hyang dalam tujuan dunia seluruhnya dalam
waktu ... " (Ayatrohaedi 1988:176).
SDB menyatakan bahwa prana adalah indra, adalah kehidupan, adalah
tujuan (acuan), dan aeuan hidup itu ialah Hyang (Sang Hyang Taya). Dalam
lingkungan seluruh dunia selalu terdapat Hyang sebagai aeuan. Dewa-dewa
50 UNC;UA Vol. 6 No.1, Maret 2007 39-56
Hindu dan Buddha dinyatakan hanyalah visualisasi dari tubuh (raga) dalam
mimpi, jadi· semu agar menjadi konkret kemudian "ditempatkan dalam
puspalingga dan area". Berdasarkan uraian tersebut dapat ditafsirkan bahwa,
(1) Sang Hyang Taya adalah kekuatan adikodrati tertinggi yang diseru dalam
SDB, (2) Sang Hyang Taya sebenarnya terdapat di dalam setiap diri manusia
apabila ia menyadarinya dan juga hadir diseluruh dunia, (3) Sang Hyang Taya
harus menjadi tujuan (aeuan) bagi semua makhluk, (4) Lingga dan area dewa-
dewa adalah wujud yang semu belaka, bagai raga yang tampil dalam mimpi.
Demikianlah sedikit kutipan dari SDB yang berisikan ajaran filsafat
keagamaan tentang hakikat tertinggi. Uraiannya eukup sukar untuk dipahami
apabila tidak dieermati seeara baik, banyak mengandung tafsiran yang
didasarkan pada pengetahuan keagamaan sezaman. Dapat diduga bahwa
penyusun SDB ialah pendeta pujangga yang tinggi ilmu keagamaannya,
terutama ilmu keagamaan yang bersifat tinggi, yaitu jalan untuk menuju
kepada Hyang.
Dapat pula dinyatakan bahwa hampir seluruh uraian SDB disusun
dalam bentuk uraian dengan kalimat panjang dan pendek, pengulangan,
pengulangan dengan eontoh yang berbeda-beda sehingga pembaea kadang-
kadang lupa dengan tema utama yang sedang diperbineangkan. Agaknya
penyusunnya tidak bermaksud untuk membingungkan pembaeanya, tetapi
sengaja mengajak pembaea untuk tetap teguh dalam perhatiannya, dan tidak
terpengaruh oleh lingkungannya. Pesan yang hendak dihembuskan adalah
bahwa membaea SDB perlu konsentrasi penuh, seperti bermeditasi, bagaikan
beryoga, tidak terpengaruh oleh keadaaan sekitar.
Pad a bagian-bagian akhir SDB tampil suatu konsepsi tentang Sang
Manon, suatu konsepsi yang khas Sunda Kuna. Kata manon mungkin masih
dikenal dalam kata bahasa Sunda sekarang, yaitu panon yang artinya mata, jadi
Tinjauan terhadap Serat Dewa Buda: Naskah Sunda yang Llerbahasa Jawa Kuna (Agus Ads Munandar) 51
manon dapat diartikan "yang mempunyai mata", mungkin dapat diartikan lebih
luas lagi menjadi "yang melihat" atau "yang memahami". Sang Manon dengan
demikian ditujukan kepada tokoh adikodrati yang dapat melihat dan
memahami segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Sang Manon juga diseru
dengan Sanghyang Pramana yang dalam bahasa Jawa Kuna antara lain berarti
"mengetahui atau mengerti dengan jelas", "penglihatan yang jelas" dan juga
berarti "pengetahuan yang benar" (Zoetmulder 1982, II: 1392).
SDB menyatakan sebagai berikut.
116r.
2) " ... Demikian itulah sanghyang Pramana, tak ubahnya seperti sanghyang
Aditya.
3) Jika tidak ada yang menyamai cahayanya dan kekuasaannya di dunia,
demikianlah sang Manon, jika tak ada yang melebihi kekuasaannya di
dunia,
4) surga, dan bumi. Sang [Manon] membawa kekuasaan di sunyataya,
paramarta. Sang Manon berkuasa dalam hilang dan hening, nirawarana,
langgeng,
116v.
1) nirasraya. Sang Manon berkuasa pada bintang, bulan, matahari; Sang
Manon berkuasapada zat, kabut,
2) mendung, awan, hujan, kilat, petir, lembayung senja, bianglala, guruh,
guntur, gempa. Sang Manon berkuasa terhadap air,
3) danau, api, batu gunung; terhadap trana, pohon, sulur, gulma, serangga,
ternak, unggas, bunga, ular, pohonan, seisi danau dan
4) tanah, semua yang bernafas di bumi. Sang Manon berkuasa terhadap
udara, ucapan, dan niat. Sang Manon berkuasa
52 UNGliA Vol. 6 No.1, Maret 2007 39--56
117r.
1) terhadap yang berwujud demikian. Sang Manon berkuasa terhadap ada dan
tiada ... " (Ayatrohaedi 1988: 253-4).
Itulah penjelasan ten tang Sang Manon, dan dinyatakan pula bahwa " ... Maka
sejurus sang Manon hadir dalam diri kita, ... " (SDB 119r: 1). Dapatlah
dipahami bahwa Sang Manon yang dimaksudkan dalam SDB pada dasarnya
sarna pengertiannya dengan Sanghyang Taya, tetapi pengertian Sang Manon
jauh lebih luas dari pada Sanghyang Taya yang diuraikan bermula dari prana
yang ada di tubuh manusia. Sang Manon atau Sang Pramana adalah kekuatan
supernatural tertinggi yang tiada tara.
Walaupun tinggi ilmu agamanya agaknya sang penggubah SDB, yaitu
Siddhayogiswara tetap merendahkan diri di lempir 126r hampir pad a bagian
akhir SDB terdapat pernyataan, "inilah yang disebut ujar orang dusun
namanya. Manakah yang masuk ke telingamu, itulah ki kesan akan ajaran
sanghyang Dharma ... " (SDB 126r: 3). Ungkapan itu biasa dijumpai pad a
berbagai karya sastra, juga pada Nagarakrtagama, bahwa Prapanca sang
penggubahnya sangat mungkin adalah nama samaran. Prapanca mengakui
mempunyai lima cacat dalam dirinya. Walaupun demikian, ia berupaya
menyelesaikan kakawinnya. Para penggubah karya sastra tersebut selalu
merendahkan dirinya, tidak pernah menyatakan bahwa dirinya mahir, bahkan
sebaliknya mereka kerapkali menyatakan masih belajar menyusun karya sastra.
Itulah ciri para pendeta pujangga yang budiman, oleh karena itu mereka tengah
berupaya mendekatkan diri dengan Hyang Maha Tinggi, tidak perlu pengakuan
duniawi lagi.
Masih sangat banyak yang dapat diungkap dan dipelajari lebh lanjut
dari SDB, kajian ini hanyalah tinjauan sederhana saja dan baru bersifat kajian
Tinjauan terl,adap Sera! Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 53
penjajagan. Ajaran keagamaan dalam SDB yang dituturkan seeara rumit jelas
merupakan tantangan tersendiri bagi mereka yang ingin mempelajarinya, tetapi
apabila dapat diterangkan akan merupakan sumbangan penting bagi telaah
dunia keagamaan pada mas a Sunda Kuna. Oleh karena itu, diharapkan di masa
mendatang ada kajian lagi yang lebih mendalam tentang SDB. Apa yang
dikemukakan dalam Serat Dewabuda haruslah dipahami dalamkaitannya
dengan budaya Sunda Kuna sendiri walaupun naskah terse but ditulis dalam
bahasa Jawa Kuna. Hal yang pasti adalah bahwa budaya Sunda Kuna berbeda
dengan budaya Jawa Kuna, dalam bidang peninggalan yang berkaitan dengan
aktivitas religinya perbedaan tersebut eukup kentara sebagai berikut.
54
1. Di wilayah bekas kerajaan Sunda Kuna tidak pernah ditemukan
bangunan sudberupa eandi lengkap dengan bagian-bagiannya (kaki-
tubuh-atap) seperti yang dijumpai di tlatah budaya Jawa Kuna. Apabila
ada bangunan sud, wujudnya berbeda tidak seperti eandi-eandi dari era
Jawa KUna.
2. Dalam uraian naskah-naskah keagamaan Sunda Kuna tidak pernah
dijumpai adanya pemaparan yang bersifat data ikonografis (seni area),
sedangkan pad a banyak naskah J awa Kuna, data ikongrafis kerapkali
dapat dijumpai.
3. Tidak pernah dijumpai kepurbakalaan yang berupa relief mandiri atau
relief yang menghias bangunan sud pada periode Sunda Kuna, mungkin
hal itu menunjukkan eerita-eerita bereorak mitologi India yang dianggap
sakral tidak dikenal dalam lingkungan masyarakat Sunda Kuna.
4. Sejalan dengan data artefaktualnya, maka dalam karya-karya sastra
Sunda Kuna juga tidak dijumpai adanya uraian keagamaan yang
dirangkai dalam bingkai eerita tertentu sebagaimana kisah Sudhamala,
UNCjlJA Vol. 6 No.1. Maret 2007 39-56
Kunjarakarna, Siwaratrikalpa, ataupun Tantri Kamandaka yang
dikenaldalam era yang sarna di lingkungan kebudayaan Jawa Kuna.
5. lsi naskah-naskah keagamaan Sunda Kuna lebih langsung kepada sasaran
yang dituju, yaitu "upaya pertemuan dengan kekuatan adikodrati",
jadi tidak berpanjang-panjang dengan kisah yang tidak berkenaan
langsung dengan upaya tersebut.
Apa yang diungkap dalam naskah-naskah Sunda Kuna sebenarnya
adalah cerminan budaya Sunda Kuna dalam, uraian naskah sangat terkait erat
denganaktivitas masyarakat pada waktu itu. Berhubung naskah-naskah Sunda
Kuna kebanyakan bernafaskan ajaran keagamaan, maka yang berkaitan
tentunya aktivitas keagamaannya. Jika naskah-naskah berbicara perihal
hubungan langsung dengan Yang Maha Kuasa tanpa perlu bermacam media,
dapat dipahami bahwa sangat sedikit peninggalan artefaktual yang
dihubungkan dengan kegiatan agama di Tatar Sunda.
DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi, 1988, Serat Dewabuda: Alihaksara dan Terjemahan. Laporan
Penelitian untuk Bagian Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan
Sunda, Bandung.
Avalon, Arthur, 1997, Mahanirvana Tantra. Diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh K.Nila. Denpasar: Upada Sastra.
Danasasmita, Saleh, dkk., 1987, Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang
Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan TeTjemahan.
Tinjauan lerhadap Seral Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kiln. (Agus Aris Munandarl 55
Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
Sunda (Sundanologi), Direktorat Jendral Kebudayaan, Depdikbud.
Munandar, Agus Aris, 1993/1994, "Bangunan Suci pada Masa Kerajaan
Sunda: Data Arkeologis dan Sumber Tertulis", dalam Pertemuan
Ilmiah Arkeologi VI, Batu, Malang, 26-29 Juli 1992. Jakarta: Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional. Halaman 135-178.
Noorduyn, J., 1982, Bujangga Manik's Journeys through Java: Topographical
Data from an Old Sundanese Sources", dalam BKI. No.138: 413-42.
Pigeaud, Th.Gautier Th., 1924, De Tantu Panggelaran: Een Oud-lavaansch
Prozageschrijt, uitgegeven, vertaald en toegelicht. 's-Gravenhage:
Nederl.Boek en Steendrukkerij voorheen H.L.Smits.
Poerbatjaraka, R.M.NG. & Tardjan Hadidjaja, 1957, Kepustakaan Djawa.
Djakarta: Djambatan.
Poerbatjaraka, R.M.NG., 1975, Calon Arang si Janda dari Girah.
Diterjemahkan oleh Soewito-Santoso. Jakarta: Balai Pustaka.
Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Ahmad Darsa, 1987,
Sewakadarma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Teryemahan. Bandung: Bagian Proyek
Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Sunda.
Sedyawati, Edi, 1980, "Ikonografi Hindu dari Sumber-sumber Prosa Jawa
Kuna", dalam Ayatrohaedi (Penyunting), Seri Penerbitan Ilmiah 3. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Halaman 102-135.
56 UNGliA Vol. 6 No.1, Maret 2007 39-56
UNGKAPAN BAHASA JEPANG YANG MENGGAMBARKAN HUBUNGAN ANTARKLAUSA: -TARA, -TO, -BA, -NARA
Abigail Indriana M. Staf Pengajar Tetap J urusan J epang STBA LIA
Abstrak: Ungkapan yang menunjukkan hubungan antara klausa utama dan bawahan yang mengandung makna syarat dalam bahasa Jepang disebut joukenbun, dan terwujud dalam empat macam akhiran, yaitu -tara, -to, -ba, -nara. Masing-masing bentuk memiliki makna dan penggunaan yang berbeda-beda, tetapi ada juga yang bertumpang tindih. Agar dapat menggunakan keempat bentuk tersebut dengan tepat, terlebih dulu perlu dipahami aturan konjugasi, makna, dan penggunaan -tara, -to, -ba, -nara.
Kata Kunci:Joukenbun, -tara, -to, -ba, -nara, konjugasi, aturan.
Abstract: Any expressions showing the 'conditional' relations between the main clause and the subordinate clause in Japanese is called joukenbun. The conditional relations are formed by the use of four types of suffixes, namely -tara, -to, -ba, -nara. Each SUffix has its own meaning and usage which can be different and which can be overlapped in certain cases. In order to use the four suffixes appropriately, the knowledge about the conjugation rules, as well as the meaning and usage of -tara, -to, -ba, -nara has to be mastered before hand.
Key Words: Joukenbun, -tara, -to, -ba, -nara, conjugation, rules.
Pendahuluan
Salah satu ciri khas bahasa Jepang adalah menggramatikalkan konsep
atau ungkapan. Konsep waktu yang berkaitan dengan kala diungkapkan dalam
bentuk akhiran. Demikian juga, banyak ungkapan digramatikalkan dalam
bentuk akhiran, yang kemudian akhiran tersebut dapat berkonjugasi, sesuai
dengan kala yang menyertainya. Sebagai contoh, ungkapan yang menunjukkan
makna 'harus' berbentuk akhiran -nakerebanaranai, yang digunakan dengan
cara ditempelkan pada akar verba.
Di dalam Tata Bahasa Jepang ada ungkapan (expression) yang
menunjukkan hubungan antarklausa di dalam kalimat kompleks, yang dikenal
dengan istilah kalimat syarat (joukenbun). Yang dimaksud dengan kalimat
Ungkapan Bahasa Jepang yang menggambarkan hubungan antar Klausa: ·Tara, -To, -Ba, -Nara (Abigaillndriana-M.) 57
syarat adalah kalimat kompleks dengan klausa bawahan menjadi faktor
penyebab utama atau asal mula terjadinya at au dilakukannya klausa atasan
(Ichikawa, 2005 :402). Dalam pola kalimat kompleks bahasa Jepang, klausa
utama letaknya di belakang atau sebelah kanan, sementara klausa bawahan di
depan atau di sebelah kiri.
Bentuk joukenbun ada empat macam, yaitu berupa akhiran -tara, -to, -
ba, -nara, yang menempel pada verba, adjektiva, atau nomina. Konsep atau
makna masing-masing bentuk tersebut berbeda-beda, tetapi ada pula
penggunaannya yang bertumpang tindih. Hal ini membuat pembelajar bahasa
Jepang sebagai bahasa asing sering kesulitan dalam membedakan penggunaan
keempat bentuk tersebut.
Pembahasan
Untuk dapat menggunakan keempat bentuk joukenbun dengan tepat,
ada beberapa hal yang harus dipahami oleh pembelajar bahasa Jepang, yaitu,
aturan pembentukan at au konjugasi kat a yang diberi akhiran -tara, -to, -ba, -
nara, makna atau konsep yang terkandung dalam masing-masing bentuk,
aturan penggunaan keempat bentuk tersebut dalam kalimat. Sebelum masuk
dalam pembahasan mengenai aturan konjugasi, makna, dan penggunaan -tara,
-to, -ba, -nara, berikut ini ditampilkan beberapa contoh kalimat yang
menunjukkan perbedaan dan persamaan penggunaan empat bentuk tersebut.
Contoh diambil dari buku Shokyuu Nihongo Bunpou Sou Matome Pointo 20
(2006).
58
(1) Atatakakunattara, hanami ni ikimashou.
(Kalau cuaca sudah hangat, ayo kita pergi menikmati bunga
Sakura.)
(2) AtatakakunarutQ, hana ga sakimasu.
UNC;UA Vol. 6 No.1, Maret 2007 57-<57
(Begitu/kalau cuaca hangat, bunga bermekaran.)
(3) Megane wo kakerelJ!b miemasu. Megane wo kakenakereba,
miemasen.
(Kalau pakai kacarnata, kelihatan. Kalau tidak pakai kacarnata,
tidak kelihatan.)
(4) Kyoto he ikunara, omiyage wo kattekitekudasai.
(Kalau pergi ke Kyoto, to long belikan oleh-oleh.)
Pada contoh (1) dan (2) frasa yang diternpeli -tara dan -to sarna, yaitu
atatakakunaru 'rnenjadi hangat'. Bedanya, predikat klausa utarna pada (1)
bermakna niat (... ayo kita pergi ... ), sedangkan predikat klausa utarna pada (2)
tidak boleh bempa verba bermakna niat (bermekaran). Hal seperti inilah yang
sering rnernbuat sui it rnenentukan, kapan hams rnenggunakan salah
satu bentuk, kapan dapat rnenggunakan dua bentuk yang berbeda, tetapi
bermakna sarna.
Ketika rnernbahas joukenbun, hal penting pertarna yang hams
diperhatikan adalah apakah peristiwanya terjadi di waktu larnpau at au bukan
larnpau (Ichikawa, 2005:402). Hal tersebut terlihat dalarn kala klausa utarnanya
yang berbentuk non larnpau atau larnpau. Kala klausa utarna rnenentukan
penggunaan bentuk yang tepat oleh klausa bawahannya, apakah -tara, atau -to,
atau -ba, atau -nara. Pernaharnan ini berguna bagi pemelajar ketika
berhadapan dengan soal yang rnenghamskan rnereka rnelengkapi klausa
bawahan dengan rnernilih salah satu dari ernpat bentuk tersebut. Oleh karena
itu, ketika akan rnernilih rnenggunakan -tara, -to, -ba, atau -nara, perlu
diperhatikan peristiwa atau kegiatan yang diungkapkan terjadi di rnasa
sekarang, rnasa akan datang, atau rnasa larnpau.
Ungkapan Bahasa Jepang yang menggambarkan hubungan antar Klausa: -Tara, -To, -Ba, -Nara (Abigail Indriana M.) 59
1. Aturan Konjugasi atau Perubahan Akhiran Kata yang Ditempeli -
tara, -to, -ba, -nara
Pernbentukan kata yang diternpeli -tara, -to, -ba, -nara dipelajari di
tingkat dasar. Akan tetapi, rnasih sering diternui pemelajar tingkat rnenengah
yang salah dalarn rnernbentuk kata dengan akhiran keempat bentuk terse but.
Berikut ini aturan konjugasi kata yang diternpeli -tara, -to, -ba, -nara dalam
bentuk tabel beserta contohnya.
Kata -tara -to -ba -nara
bentuk lampau bentuk [-el-re] + ba bentuk biasa Verba
[tal + ra kamus + to +nara -
-- - (tabereba) --(tabe-ru)
(tabetara) (ta beru to) (taberunara)
Adjektiva [katta] + ra bentuk biasa [-kere] + ba bentuk biasa
-l fJ\ -;) tz:. 6 + to +nara
(taka ka ttara ) (takakereba) - --(taka-i) (takaw (takainara)
Adjektiva [datta] + ra [da] + to bentuk biasa + bentuk biasa
-na -;) DfJ\ t{. t. nara(ba) + nara --
fifJ\ (sizukadattara ) (sizukadato) --
(sizuka) (sizukanara(baV (sizukanara)
[datta] + ra [da] + to bentuk biasa + bentuk biasa Nomina
mt.: -;) 6 nara(ba) +nara m --
(amedattara ) (amedato) --(arne)
( amenara(ban (amenara)
60 UNGtJA Vol. 6 No.1, Maret 2007 57-67
2. Makna dan Penggunaan -tara, -to, -ba, -nara
Seperti telah dinyatakan sebelumnya, kalimat syarat (joukenbun) terdiri
atas klausa atasan dan bawahan, dengan klausa bawahan yang menjadi faktor
utama penyebab at au asal mula terjadinya klausa atasan. Di dalam pembahasan
mengenai makna dan penggunaan -tara, -to, -ba, -nara berikut ini, istilah
klausa bawahan disebut A dan klausa atasan disebut B. Rumusan makna,
penggunaan, dan aturan -tara, -to, -ba, -nara yang dipaparkan di bawah ini
dibuat berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis bersama dua pengajar
bahasa Jepangdari UNAS dan UNSADA, dan didiskusikan dengan tiga staf
ahli bahasa Jepang dari The Japan Foundation Jakarta, dari Oktober hingga
Desember 2006.
A. Makna dan Penggunaan -tara Salah satu ciri mendasar -tara adalah sifatnya percakapan sehingga
tidak digunakan dalam bahasa tulisan formal, seperti karya ilmiah (Ichikawa:
404). Makna yang dibawa oleh bentuk pengandaian -tara di dalam kalimat
adalah, setelah A terjadi, B akan terjadi. Fokus ada pada klausa B. Peristiwa
yang digambarkan kalimat dengan -tara terjadi hanya satu kali. Penggunaan
dan aturan -tara adalah sebagai berikut.
a. Menyatakan sesuatu yang belum pasti terjadi (pengandaian).
Contoh: (2) dS & J t.: Jl \.,\ *"9 / Jl \.,\ t.: \.,\ -C:"9 0
Okane ga attara kuruma wo kaimasu/kaitai desu.
(Kalau ada uang, saya akan/ingin membeli mobil.)
Aturan: klausa A berupa verba keadaan, klausa B berupa verba kegiatan yang
bermakna keinginan, harapan, niat, atau maksud.
b. Menyatakan rencana (sudah pasti akan terjadi).
Ungkapan Bahasa Jepang yang menggamba.kan hubungan antar Klausa: -Tara, -To, -Ba, -Nara (Abigaillndriana M.) 61
Sanji ni nattara kaerimasu.
(Kalau sudah pukul tiga, say a akan pulang.)
Aturan: klausa A berupa verba keadaan atau kegiatan, klausa B berupa verba
kegiatan yang bermakna keinginan, harapan, niat, atau maksud.
c. Menyatakan keadaan atau keberadaan.
Contoh: (4) dJJ if? 6 IHffqjif a> T 0
Migi he magattara, yuubinkyoku ga arimasu.
(Kalau belok kiri, di sana ada kantor pos.)
Aturan: klausa A berupa verba kegiatan, klausa B berupa verba keadaan atau
keberadaan.
d. Menyatakan penemuan di waktu lampau.
Contoh: (5) A - J\ -"-IT? 6 7 /T.f c! It, t: t;::. 0
Suupaa he ittara, Andi-san ni aimasita.
(Waktu pergi ke supermarket, saya bertemu Andi.)
Aturan: klausa A berupa verba kegiatan, klausa B berupa verba keadaan atau
kegiatan.
e. Menyatakan kegiatan yang dilakukan hanya 1 kali di waktu lampau.
Contoh: (6) l"t;::.o
Benkyou ga owattara, tenisu wo simasu.
(Kalau selesai belajar, saya main tenis.)
Aturan: klausa A berupa verba kegiatan atau keadaan, klausa B berupa verba
kegiatan.
B. Makna dan Penggunaan -to
62 UNqUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 57-67
Makna yang dibawa oleh bentuk pengandaian -to di dalam kalimat
adalah begitu· A terjadi at au dilakukan, maka secara alamiah atau otomatis B
akan terjadi. Peristiwa yang digambarkan kalimat dengan -to terjadi berulang
kali atau merupakan kebiasaan. Penggunaan dan aturan -to adalah sebagai
berikut.
a. Menyatakan fenomena atau perubahan alam yang selalu terjadi.
Contoh: (7) *"90
Haru ni naru@ samra ga sakimasu.
(Begitu masuk musim semi, sakura bermekaran.)
Aturan: klausa A dan B berupa verba keadaan at au perubahan; tidak boleh
verba yang bermakna niat.
b. Menyatakan keberadaan atau keadaan.
Migi he magaru@ yuubinkyoku ga ariamsu.
(Begitu belok kanan, ada kantor pas.)
Aturan: klausa A berupa verba kegiatan atau keadaan, klausa B berupa verba
keadaan atau perubahan; tidak boleh verba yang bermakna niat.
c. Menyatakan sesuatu yang terjadi secara otomatis atau alamiah.
Botan wo osu@ okane ga demasu.
(Begitu menekan tombol, uang akan keluar.)
Aturan: klausa A berupa verba kegiatan, klausa B berupa verba keadaan at au
keberadaan; tidak boleh verba yang bermakna niat.
d. Menyatakan kebiasaan (di masa sekarang atau lampau).
Ungkapan Bahasa Jepang yang menggambarkan hubungan antar Klausa: -Tara, -To, -Ba, -Nara (Abigail Inddana M.) 63
Benkyou ga owaru!Q, tenisu wo simasu.
(Begitu selesai belajar, saya main tenis.)
Contoh: (11) £_ * t;:.o
Benkyou ga owaru!Q, tenisu wo simasita.
(Dulu, begitu selesai belajar, saya main tenis.)
Aturan: klausa A berupa verba kegiatan atau keadaan, klausa B berupa verba
kegiatan.
C. Makna dan Penggunaan -ba
Makna yang dibawa oleh bentuk pengandaian -ba di dalam kalimat
adalah, A merupakan syarat agar B terjadi, dengan fokus pada klausa A.
Kalimat syarat dengan akhiran -ba ini selalu memiliki makna kebalikannya,
artinya bila A tidak terpenuhi maka B tidak akan terjadi. Penggunaan dan
aturan -ba adalah sebagai berikut.
a. Menyatakan sesuatu yang belum pasti terjadi (selalu ada makna
kebalikannya ).
Contoh: (12) I ill,,\itl,,'1:'9 0
Okane ga areba kuruma wo kaimasu/kaitai desu.
(Kalau ada uang, saya akan/ingin membeli mobil.)
Aturan: klausa A berupa verba keadaan, klausa B berupa verba kegiatan yang
bermakna keinginan, harapan, niat, maksud, at au perkiraan.
b. Menyatakan fenomena alam atau sesuatu yang terjadi secara
otomatis.
Contoh: (13) 0
Haru ni nareba, sakura ga sakimasu.
(Kalau masuk musim semi, sakura bermekaran.)
64 LrNt:;lIA Vol. 6 No.1, Maret 2007 57-67
Kono botan wo oseba, okane ga demasu.
(Kalau menekan tombol ini, uang akan keluar.)
Aturan: klausa A berupa verba kegiatan at au keadaan, klausa B berupa verba
keadaan atau perubahan.
c. Menyatakan kebiasaan atau keadaan di masa lampau.
Kodomo no toki, arne ga hureba soto de asobimasita.
(Waktu masih kecil, kalau hujan, saya main di luar rumah.)
Aturan: klausa A berupa verba keadaan atau kegiatan, klausa B berupa verba
keadaan atau kegiatan.
D. Makna dan Penggunaan -nara
Makna yang dibawa oleh bentuk pengandaian -nara di dalam kalimat
adalah, sebagai topikalisasi (toritate). Artinya, pembicara mengungkapkan
pandangan atau gagasannya berdasarkan pembicaraan atau keadaan lawan
bicara, yang dia dengar atau lihat. Penggunaan dan aturan -nara adalah sebagai
berikut.
a. Menyatakan usulan, saran, atau nasihat.
Contoh: (16) A: t.:. \,\ It; if, C z:. fJ' \,\ \,\ pfiff a) *"9 fJ' 0
Umi he ikitaindesuga, dokoka ii lokoro ga arimasuka.
(Saya ingin pergi ke pantai. Ada tempat yang bagus?)
B: < £, Anyer fJt' \,\ \,\ J:;. 0
Umi he ikunara, Anyer ga ii desuyo.
(Kalau ingin ke pantai, Anyer bagus, loh.)
Ungkapan Bahasa Jepang yang menggambarkan hubungan "ntar Klausa: ·Tara, -To, -Ba, -Nara (Abigail Indriana M.J 65
Aturan: klausa A bempa verba, adjektiva, atau nomina, dan klausa B
berupa verba kegiatan atau keadaan, atau adjektiva. Kala klausa B hams non-
lampau.
Secara garis besar, perbandingan antara -tara, -to, -ba, -nara adalah
sebagai berikut (disadur dari Shokyuu Nihongo Bunpou to Oshiekata no
Pointo: 2005). Bentuk -tara, -to, -ba, -nara dapat digunakan dalam ragam lisan
(percakapan). Sementara itu, yang dapat digunakan dalam ragam tulisan
terutama tulisan formal adalah -to, -ba, -nara. Dalam kalimat berkala bukan
lampau, predikat pada klausa utama boleh bermakna niat/keinginan untuk
bentuk -tara, -ba, -nara. Dalam kalimat berkala lampau, klausa dengan
bentuk -tara mengandung makna kegiatan atau peristiwa terjadi satu kali atau
mempakan kebetulan. Untuk kalimat dengan klausa utama yang bermakna
penemuan, klausa bawahannya hams mengambil bentuk -tara atau -to.
Apabila dalam kalimat klausa bawahannya menggunakan -to atau -ba, kalimat
itu menggambarkan kebiasaan di masa lampau. Untuk menunjukkan kegiatan
yang dilakukan berkesinambungan, akhiran yang harus digunakan pada klausa
bawahan adalah -to.
Simpulan
Kalimat syarat (joukenbun) bahasa Jepang ditunjukkan dalam bentuk
akhiran -tara, -to, -ba, -nara yang menempel pada verba, adjektiva, atau
nomina. Masing-masing bentuk memiliki makna dan penggunaan tersendiri,
tetapi ada juga makna dan penggunaan yang bertumpang tindih satu dengan
yang lain. Untuk menggunakan keempat bentuk tersebut dengan tepat hams
diperhatikan aturan dasar penggunaan masing-masing bentuk.
J oukenbun dengan -tara paling umum digunakan dalam percakapan;
tidak lazim digunakan dalam tulisan formal. Kalimat dengan -to mengandung
66 UNCjllA Vol. 6 No.1, Maret 2007 57-<>7
rnakna, begitu/jika peristiwa dalarn klausa bawahan terjadi, peristiwa dalarn
klausa utarna pasti terjadi. Klausa utarna tidak boleh berupa predikat yang
rnengungkapkan niat. Makna yang dibawa bentuk -ba yaitu, peristiwa dalarn
klausa bawahan rnerupakan syarat yang harus dipenuhi agar peristiwa dalarn
klausa utarna terjadi. Satu hal yang harus diingat, predikat pada klausa
bawahan dan utama tidak boleh berupa verba bermakna kegiatan apabila
subjeknya sarna. Sernentara itu, bentuk -nara hanya digunakan sebagai
topikalisasi, sebagai tanggapan pernbicara at as apa yang didengar at au dilihat
dari lawan bicara.
DAFTAR PUSTAKA
Ichikawa, Yasuko. Shokyuu Nihongo Bunpou to Oshiekata no Pointo. Tokyo:
Suriiee Nettowaaku, 2005.
Of;lwa, Yoshirni & Saegusa Reiko. Kotogara no Kankei wo Arawasu Hyougen
- Hukubun. Tokyo. Suriiee Nettowaaku. 2005.
Tornornatsu, Etsuko dan Masako Wakuri. Tanki Shuuchuu - Shokyuu Nihongo
Bunpou Sou Matome Pointo 20. Tokyo: Suriiee Nettowaaku, 2006.
Ungkapan Jepang yang menggambarkan hubungan antar Klausa: ·Tara, -To, -Ba, ·Nara (Abigail Indriana M.) 67
FENOMENAFUYU NO SONATA: PANDANGAN ORANG JEPANG TERHADAP DRAMA KOREA
Dewi Ariantini Yudhasari Pembantu Ketua III Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA Jakarta
Abstrak: Fuyu no Sonata merupakan drama Korea yang banyak digandrungi masyarakat Jepang tahun 2003, Drama tersebut merupakan salah satu ikon masuknya budaya Korea secara besar-besaran di Jepang. Pandangan orang Jepang terhadap masuknya segala produk budaya Korea, khususnya pandangan mereka terhadap drama Fuyu no Sonata ini, diteliti dengan menggunakan pendekatan ethnographic audience research berdasarkan konsep Ian Ang. Dalam penelitian ini, responden dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok the lovers ( pencinta), the haters (pembenci), dan the ambivalents (peragu). Hasil penelitian menunjukkan bahwa drama sebagai bentuk budaya massa mewakili sebuah produk budaya yang dipandang sebagai sarana terciptanya pertukaran budaya yang memberi kesan bahwa hal ini merupakan jalan baru bagi masuknya dan budaya Korea di Jepang.
Kata kunci : drama Korea, Fuyu no Sonata
Abstract Fuyu No Sonata is Japan's most wanted Korean drama in 2003. The drama is considered as one of Japan's wellknown Korean icon. This Japan's point of view to the Korean cultural produce, especially the Fuyu No Sonata drama is researched by using ethnographic audience approach based on lang Ang concept. The respondence of this research is divided into three groups; the lovers, the haters, and the ambivalents. The result shows that drama as a mass culture represent a cultural product-cultural exchange media a new way of the Korean culture invasion in Japan.
Key words: Korean drama, Fuyu No Sonata
1. Korean Boom dan Fenomena Fuyu no Sonata
Korea merupakan negara tetangga yang paling dekat dengan Jepang.
Sebelum tahun 70-an, image Jepang di mata orang Korea selalu diwarnai oleh
image negatif. Hal itu dikarenakan Jepang pernah menjajah Korea. Hubungan
kedua negara selalu dihantui oleh warisan masa kolonial. Namun, kedua negara
ini terus berusaha untuk memperbaiki hubungan bilateralnya.
Pada tahun 1980, Korea mengadakan Olympiade di Seoul, Korea Selatan.
Peristiwa itu cukup membangunkan Jepang terhadap kekuatan baru Korea.
Pertandingan Piala Dunia Sepak bola pada tahun 2002 di Korea Selatan
68 LINGUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 68-82
merupakan langkah awal dalam memperbaiki hubungan tersebut. Sejak saat
itu, anak muda Jepang mulai menunjukkan ketertarikannya dengan segala yang
berbau Korea. Selain bidang olahraga, Korea mulai unjuk gigi dengan hal-hal
yang berbau budaya pop. Hal itu ditunjukkan oleh masuknya lagu-Iagu Korea,
fashion, dan tayangan drama Korea dalam tayangan televisi di Jepang.
Fenomena mengalirnya budaya pop Korea ke Jepang ini dikenal dengan istilah
Korean Boom atau (hanryu). (Chung, 2004)
Pada tahun 2003, masyarakat Jepang cukup dikagetkan oleh meledaknya
tayangan drama yang berjudul "Fuyu no Sonata". Fuyu no Sonata adalah
sebuah melodrama yang menceritakan kisah cinta tokoh Joong Sang
(diperankan oleh Bae Yong Jun) dan Yu Jin (diperankan oleh Choi Ji Woo)
mengambil musim dingin (winter) sebagai latar drama yang menceritakan
tentang perjalanan kisah cinta sejati. Dalam drama itu diceritakan tokoh utama
Joong Sang jatuh cinta pad a Yu Jin, ternan SMU nya. Liku-liku perjalanan
kisah cinta sejati mereka banyak diwarnai hambatan dan rintangan. Namun,
pada akhirnya kekuatan cinta itu pula yang mempersatukan mereka.
Drama ini merupakan hasil produksi dari Korean TV yaitu Korean
Broadcasting System (KBS) pada 2002 yang disiarkan di NHK Jepang
sebanyak tiga kali siaran ulang yang ditayangkan sejak 2003 hingga 2004. Hal
itu membuat gempar masyarakat Jepang pencinta melodrama yang sebagian
besar perempuan berumur 20--60 tahun. Mereka sangat menyukai drama itu
dan menyebabkan munculnya Fuyu Sona Mania seperti diliput oleh Work in
Japan.com yang mengatakan bahwa seorang perempuan rela berhenti bekerja
untuk sementara waktu hanya karena tidak ingin acara drama itu terlewati.
(www)
Selanjutnya, pada Kamis, 25 November 2004, Bae Jong (tokoh utama)
drama tersebut berkunjung ke Jepang, saat itu para perempuan berusia 30-60
Fenomena FIlYu No Sonata: Pandangan Orang Jepang Terhadap Drama Korea (Dewi Ariantini Yudbasari) 69
tahun berjumlah kurang lebih 4.500 orang berbondong-bondong pergi ke
Bandara Haneda untuk melihat aktor pujaannya dari dekat. Mereka
meneriakkan "Yon Sarna" untuk memanggil Bae Jong. Hal itu sempat menarik
perhatian beberapa kalangan media dan pengamat budaya di Jepang. Dalam
masyarakat Jepang, panggilan nama dengan menggunakan tambahan kata
"Sarna" dibelakang nama tersebut biasanya hanya diberikan kepada orang yang
lebih tua atau orang yang sangat dihorrnati seperti raja atau panggilan untuk
seorang ayah. Namun, rupa rupanya sebutan "sarna" pun berlaku untuk aktor
pujaan yang mereka agung-agungkan. Koran Asahi memberitakan bahwa
image yang muneul akan kebesaran dan ketenaran aktor Bae Jong membawa
dirinya menjadi Kingdom of the heart atau Kokoro no Okoku bagi sebagian
perempuan Jepang. (www)
Fenomena kepopuleran drama FS mengundang reaksi di kalangan
masyarakat Jepang. Ada yang menyukai, ada yang membenci, dan ada pula
yang tidak terusik dengan kondisi itu.
2. Etnographic Audience Research Model penelitian ini menggunakan metode ethnographic audience
research seperti yang dilakukan oleh Ian Ang dalam bukunya Watching Dallas
: Soap Opera and the Melodramatic Imagination (1985).
Pada tahun 1985, Ang memaparkan hasil penelitian yang ia lakukan di
Belanda terhadap responsi penonton serial televisi, yaitu Dallas. Dalam
penelitian model ini lebih menititikberatkan pada hasil survai. Artinya,
penelitian ini lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas respon yang
diberikan oleh setiap responden.
Penelitian ini dilakukan dalam ranah cultural studies. Dalarn ranah
cultural studies dikenal suatu model komunikasi yang dikemukakan oleh Stuart
70 LINGUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 68--82
Hall sebagai proses encoding decoding!. Proses encoding, yaitu proses yang
dilakukan oleh para produsen dalam memproduksi makna. Selanjutnya, wacana
yang dihasilkan melalui proses tahap kedua, yaitu ketika acara televisi itu
disaksikan oleh penon ton, maka wacana yang muncul dari acara televisi
tersebut menjadi terbuka untuk diinterpretasikan oleh penontonnya.
Sedangkan, momen ketiga terjadi ketika acara tersebut didsaksikan oleh
penonton dan dalam tahap ini melibatkan proses decoding, yaitu proses
konsumsi makna. Dalam hal ini, penonton bukan dihadapkan pada sebuah acra
televisi semata, melainkan pad a sebuah wac ana "terjemahan" yang sarat akan
makna yang diberikan oleh pihak produsen.
Ang dalam penelitiannya menggunakan model komunikasi encoding dan
decoding Stuart Hall, hanya saja ia menerjemahkan ketiga kategori itu ke
dalam kelompok the lovers, the ironist and the haters.2 Dalam hal ini Ang
menempatkan penonton pada posisi the lovers bagi mereka yang menyukai
serial Dallas. Lalu, the haters, bagi kelompok penonton yang tidak menyukai
serial Dallas dan the ironist diletakkan dalam kelompok penonton yang
menjelek-jelekkan serial Dallas karena merupakan produk massa, tetapi justru
karena itu mereka menyukai hal tersebut. lni yang disebut ironi dalam
pandangan Ang.
Dalam kasus FS, penelitian dikategorisasikan dalam kelompok the lovers
(pencinta) untuk kelompok penonton yang menyukai drama FS dan drama
lainnya. Kelompok the haters (pembenci) untuk kelompok penonton yang
membenci atau tidak berminat sarna sekali untuk menonton drama terse but.
Sementara itu, kelompok the ambivalent (peragu) adalah kelompok penon ton
1 Lihat Muijadi, Hianly, Sihir dalam Serial Harry Potter: Analisis Responsi Pembaca, hIm. 17--18 2 During.Simon, The cultural Studies Reader, First Edition, hIm. 404-420 (dalam Muijadi, hIm 20)
Fenomena Fuyu No Sonata: Pandangan Orang Jepang Terhadap Drama Korea (Dewi Ariantini Yudhasari) 71
yang tidak menjawab dengan jelas apakah ia suka atau tidak terhadap drama
itu. Dalam kelompok ini termasuk juga kelompok penonton yang hanya
menyukai salah satunya dan at au mereka yang tidak memberikan jawaban,
tetapi memberikan komentar tentang hal-hal yang tidak berhubungan dengan
pertanyaan dalam angket.
3. HasH Temuan a. Responden Berdasarkan PengKategorisasi
Angket yang disebarkan sebanyak 60 buah angket dan memdapat respon
sebanyak 49 angket. Dari 49 responden yang menjawab angket, ada beberapa
hal yang dapat dicermati antara lain:
72
a. lumlah responden laki laki : 17 orang
b. lumlah responden perempuan : 32 orang
c. Pekerjaan para responden adalah karyawan, wiraswasta, ibu rumah
tangga, mahasiswa dan lain-lain;
d. Usia para responden antara 20 - 61 tahun.
e. Ada hal yang menarik dalam angket yaitu mereka yang menjawab
bahwa pekerjaannya adalah sebagai karyawan swasta, sedangkan
mereka yang pekerjaannya sebagai karyawan pemerintahan,
petugas perpustakaan, pegawai balai pustaka semua menulis pada
kolom dengan menandai kolom lain-lain. Hal ini menarik bahwa
seolah-olah mereka yang tergolong karyawan pemerintahan tidak
termasuk dalam kategori karyawan.
f. Kelompok the lovers (pencinta) didominasi oleh kaum perempuan
dari usia 20 tahun hingga 61 tahun, dan sebagian besar berstatus
ibu rumah tangga.
UNCjllA Vol. 6 No.1, Maret 2007 68-82
g. Pada kelompok the haters (pembenci) usia responden berkisar
aritara 28 hingga 51 tahun. Mereka menyatakan ketidaksukaan
mereka rata- rata karen a tidak menonton maka tidak berminat.
h. Kelompok the ambivalens (peragu) merupakan kelompok yang
mewakili hampir semua golongan (status). Berusia 20 hingga 54
tahun. Mereka kebanyakan berasal dari karyawan dan mahasiswa.
b. Hasil Analisis
1) Kelompok The Lovers (pencinta)
Kategori kelornpok ini ditujukan kepada para responden yang rnenyukai
FS dan menyukai juga drama Korea lainnya. Arti dari menyukai adalah.
a. menonton dari episode pertama hingga terakhir sampai habis;
b. menonton beberapa episode;
c. sarna sekali tidak menonton, tetapi menyukai kisahnya karen a
mengikuti kisahnya dari membaca di media massa;
d. menyukai kisahnya karen a mendengar cerita dari ternan.
Untuk kategori the lovers (pencinta) diperoleh lima belas responsi. Dari
lima belas responsi tersebut, terdapat empat responden laki-laki dan sebelas
responden perempuan. Dari seluruh anal isis yang dilakukan terhadap ke-15
responden yang dikategorisasikan ke dalam the lovers (pencinta) dihasilkan
beberapa responsi yang beragam yang mengindikasikan hal hal sebagai berikut.
a. Drama FS merupakan drama nostalgia.
b. lsi cerita menarik, mudah dimengerti, dramatik (cerita yang mustahil),
simpel, kisahnya tentang cinta sejati, dan hampir sarna dengan drama
Korea lainnya yang berisi kisah tentang si kaya, sakit, perpisahan,
tabrakan, pertengkaran dan lain-lain.
c. Drama FS dan drama Korea sarna seperti drama Jepang tempo dulu.
Fenomena Fuyu No Sonu(a : Pandangan Orang Jepang Terhadap Drama Korea (Dewi Ariantini Yudhasari) 73
d. Drama FS dan drama Korea bcrhasil merubah kesan dan pandangan
terhadap Korea.
e. Drama FS dan drama Korea mengingatkan hal-hal yang sudah
dilupakan oleh orang Jepang seperti dalam ajaran konfusianisme yaitu
menghormati orang tua, menghormati orang yang lebih tua,
mempercayai orang, menghargai orang, dan kesederhanaan.
2) Kelompok The Haters (pembenci)
Kategori kelompok ini ditujukan kepada mereka yang tidak menyukai
drama FS maupun drama Korea lainnya. Tidak menyukai dikategorisasaikan
sebagai berikut.
a. Tidak menyukai drama FS atau drama Korea lainnya;
b. Tidak menyukai kisah drama FS maka tidak menonton;
c. Tidak menyukai karena alsan tertentu.
Dalam kategori ini terdapat delapan responden yang terdiri atas tiga
responden laki-Iaki dan lima responden perempuan yang berkomentar sebagai
berikut.
a. Tidak suka karena tidak minat.
b. Tidak suka karena ceritanya tidak sesuai dengan kenyataan atau
realistas, seperti orang dibodohi.
c. Drama FS dan drama Korea menjual mimpi.
d. Tidak percaya pada apa yang ditayangkan drama.
f. Tidak menonton karena pengaruh komik atau media massa.
g. Aktor Korea tidak tamp an dan tidak menarik.
74 UNt;UA Vol. 6 No.1, Maret 2007 68--82
Dalam kategori pembenci, sebagian besar mereka yang membenci drama
FS atau pun· drama Korea lainnya sebagian besar adalah para karyawan
pemerintah dan swasta. Komentar yang menarik adalah bahwa mereka hampir
semua mengatakan kisah drama FS tidak menarik. Drama FS dan drama
lainnya tidak menyuguhkan realitas, dan hanya menjual mimpi. Kemudian,
alasan yaitu ketika menonton dan tidak tertarik maka mereka berhenti
menonton di tengah jalan. Ada yang menonton beberapa kali pada bagian awal
dan akhir saja. Ada yang tidak menonton sarna sekali, dan ada juga yang tidak
menonton sarna sekali tetapi membaca dari media massa tentang cerita itu lalu
menutuskan untuk tidak menonton.
3) Kelompok he Ambivalent (peragu)
Kelompok the ambivalent (peragu) merupakan kategori kelompok yang
tidak menjawab apakah ia suka atau tidak terhadap drama FS atau drama Korea
lainnya. Komentar mereka beragam ada yang berhubungan dengan apa yang
ditanyakan di dalam angket dan ada yang tidak.
Jumlah responden sebanyak dua puluh enam responden. Komentar
mereka antara lain sebagai berikut.
a. Suka juga tidak dan tidak suka juga tidak
b. Tidak suka menonton, tetapi tidak dapat menentang arus drama Korea
yang menjadi sangat popular di Jepang sekarang ini.
c. Orang boleh memilih mau menontori atau tidak yang menonton banyak
mengatakan bahwa drama Korea menyuguhkan cerita romantis, karen a
drama Korea popular, menyuguhkan cerita yang segar. Di lain pihak
yang tidak menonton berkomentar bahwa tidak berminat.
Fenomena Fuyu No Sonata: Pandangan Orang Jepang Terhadap Drama Korea (Dewi Ariantini Yudhasari) 75
d. Drama FS maupun drama Korea masuk ke Jepang karena lesunya
produk drama Jepang yang secara ekonomi mereka kekurangan dana
untuk pembuatannya.
e. Drama Korea masuk membawa angin segar.
f. Melalui drama FS maupun drama Korea dapat mengetahui cara berpikir
orang Korea, budaya Korea, cara hidup mereka sehari-hari, kebiasaan
orang Korea, membangkitkan minat untuk ingin belajar bahasa Korea,
dapat meningkatkan pertukaran kebudayaan yang pengaruhnya akan
baik bagi kedua negara.
g. Drama Korea menyuguhkan kisah drama Jepang tempo dulu (nostalgia)
h. Drama Korea dapat digunakan sebagai wadah pembelajaran budaya.
1. Munculnya drama Korea di Jepang memberikan pengetahuan baru dan
pemahaman tentang Korea.
J. Walaupun Jepang dan Korea puny a sejarah mas a lalu, dengan drama ini
mulai muncul kegiatan pertukaran kebudayaan yang berpengaruh
positif bagi kedua negara.
k. Merupakan wadah pe'ftukaran kebudayaan bagi kedua negara dan dapat
memunculkan pemahaman baru tentang Korea.
Kelompok the ambivalents (peragu) sebagian besar adalah para generasi
yang dapat menerima adanya budaya lain yang masuk ke Jepang. Artinya,
mereka melihat drama yang masuk ke Jepang sebagai hal yang biasa dan tidak
ada kat a untuk menolak terhadap mengalirnya budaya luar yang masuk ke
Jepang.
76 UNGlJA Vol. 6 No.1, Maret 2007 68--82
c. Ideologi Penon ton dalam Drama Fuyu no Sonata dan Drama Korea
Jdeologi yang berhubungan dengan budaya popular menurut John Storey
adalah pertama, ideologi yang diartikan sebagai seperangkat gagasan yang
diarttikulasikan oleh sekolompok orang tertentu. Kedua, ideologi berhubungan
dengan penciptaan kedok atau distorsi yang digunakan untuk menyembunyikan
realitas dan menghasilkan kesadaran palsu. Distorsi atau kedok ini bekerja bagi
kepentingan kaum mayoritas, sehingga mereka tidak memandang diri mereka
sendiri sebagai kaum yang mendominasi dan mengopresi, sementara
sebaliknya kaum minoritas pun tidak merasa didominasi dan diopresi berkat
realitas yang disembunyikan itu. Ketiga, ideologi mengacu kepada apa yang
disebut sebagai "bentuk-bentuk ideologi", yaitu cara berbagai teks (film, lagu
pop, karya fiksi dan lain-lain) yang mehadirkan citra tertentu. Hal itu dapat
juga merebut simpati masyarakat sehingga melihat dunia seperti yang
diinginkannya. Keempat, pengertian ideologi bukan hanya seperangkat
gagasan semata melainkan sutau bentuk praktik material. 3
Bedasarkan pengertian ideologi terse but di dapat kesimpulan pada kasus
respon penonton terhadap drama FS dan drama Korea ditemukan adanya ragam
dari respon yang diberikan oleh penonton dalam tiga kategorisasi sebagai
berikut.
1) Kelompok the Lover.s (pencinta)
Responden kelompok the lovers (pencinta) mempercayai, menyukai, dan
merasa ingin terus menonton lagi drama FS atau pun drama Korea lainnya.
Alasannya bahwa menonton drama FS maupun drama Korea seperti
dininabobokan oleh nostalgia drama Jepang tempo dulu. Mereka diingatkan
kembali akan drama Jepang yang mempunyai tema sederhana seperti "cinta
3 Muijadi, 2004: 71-72.
Fenomena Fuyu No Sonata: Pandangan Orang Jepang Terhadap Drama Korea (Dewi Ariantini Yudhasari) 77
sejati" dan hal-hal yang sudah mulai dilupakan orang Jepang. Salah satu
pernyataan responden yang menarik mengatakan bahwa :
"Korea adalah negara yang menganut paham konfusius. Mereka didik masyarakatnya untuk menghormati orang tua dan orang yang lebih tua. Hal inilah yang sekarang dilupakan oleh masyarakat Jepang.
Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa melalui drama FS maupun
drama Korea lainnya, masyarakat Jepang kembali teringat akan apa yang
pernah mereka miliki sebelumnya. Mereka tersadarkan oleh drama-drama
Korea tersebut bahwa mereka pernah memiliki hal itu yang pada kenyataannya
sekarang dalam masyarakat yang berubah hal itu sudah dilupakan orang. Jika
melihat pernyataan di atas, FS mengusung salah satu ajaran yang merupakan
ideologi konfusianisme. Sebagai sebuah masyarakat yang menganut dan
menyakini ajaran konfusianisme, mereka juga memiliki norma menghormati
yang lebih tua dan menghargai orang lain yang justru hal ini sedikit demi
sedikit hHang dalam norma dan kebiasaan orang Jepang sehari-hari.
2) Kelompok The haters (pembenci)
Responden yang diperoleh dari kelompok ini rata-rata mengacu pada
jawaban "suka juga tidak, tidak suka juga tidak". Beberapa responden
menjawab tidak berminat, atau mereka yang sudah pernah menonton lalu tidak
berminat untuk menonton kembali. Ada juga yang tidak menonton karena
telah membaca kisahnya dari surat kabar atau majalah sehingga mengurungkan
niatnya untuk menonton. Tipe responden ini memberi kesan bahwa media
massa memberi pengaruh yang kurang baik terhadap diri penonton. Seperti
yang diungkapkan oleh salah seorang responden yang mengatakan menonton
drama FS atau drama lainnya terkesan dibodohi karena drama tidak
mengajarkan tentang kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
78 UNC;lIA Vol. 6 No.1, Maret 2007 68-82
Dengan katci lain, budaya masa dipandang sebagai sesuatu yang dapat memberi
pengaruh negatif dalam diri manusia. Kesan mass culture is bad tergambar
dalam respon tersebut. Dengan kata lain, drama menjual mimpi bukan realita.
Selain itu, pengaruh luar yang dapat mempengaruhi image penonton
sangat beragam. Salah satunya adalah karena tidak percaya terhadap apa yang
ditayangkan dalam drama. Responden ini menyatakan bahwa menurutnya
orang Jepang yang menonton drama Korea karena produksi drama Jepang
sekarang sedang lesu. Jika hal ini dikaitkan dengan kondisi ekonomi Jepang
dewasa ini, dapat dilihat bahwa industri perfil man di Jepang juga sedang
mengalami kelesuan. Di satu sisi, hal ini merupakan peluang bagi Korea untuk
masuk ke Jepang. Reaksi responden tersebut menyatakan seperti berikut ini.
Saya tidak suka pada drama FS atau drama Korea lainnya. Tidak ada alasan apa apa, karena tidak percaya apa yang ditayangkan. Nasib orang tidak bisa dirubah dengan melihat laki-Iaki dan perempuan menangis, saya tidak mengerti apakah orang Korea berpikiran seperti itu. Menurut saya, orang Jepang sekarang mempunyai perhatian terhadap drama Korea setelah melihat reaksi drama buatan Jepang.
Dalam penelitian ini diperoleh jawaban responden yang tidak menyukai
drama FS maupun drama Korea dikarenakan kebanyakan adalah pengaruh dari
mass media atau cerita orang lain. Bahwa media massa mampu membuat
sese orang merasa dibodohi dengan suguhan drama yang tidak berpijak pada
realita yang ada di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kesan mass
culture is bad jelas tergambar dari respon yang muncul pada kelompok ini.
Tontonan seperti drama dianggap sebagai suatu hal yang tidak mengajarkan
kepada masyarakat untuk melihat pada kenyataan hidup melainkan hidup
dalam dunia impian yang diciptakan dalam drama itu. Namun, justru kelompok
Fenomena Fuyu No Sonata: Pandangan Orang Jepang Terhadap Drama Korea (Dewi Ariantini Yudhasari) 79
inilah sebenarnya yang mewakili suara mereka yang jujur dan konsisten dalam
mengomentari ten tang hal itu.
3) Kelompok the Ambivalent (peragu)
Pada kelompok ini diperoleh respon yang beragam. Respon yang
dihasilkan lebih mengungkapkan pendapat responden mengenai hal-hal yang
tidak bicarakan dalam konten pertanyaan yang diajukan. Respon yang
dihasilkan salah satunya adalah sebagai berikut.
Dua tahun yang lalu saya pernah menonton FS, tetapi hanya 5 menit saja. Saya berpikir SUV produser drama itu membuat drama ketika salju turun dan mengambil setiap shin dari dalam mobil, kesan itu cukup melekat di hati saya. Kalau melihat sekilas, sebenarnya latarnya cukup sulit. Karena saya tidak tahu sarna sekali tidak tahu drama ini dan tidak tahu detail ceritanya maka saya tidak dapat berkomentar banyak hanya di Jepang drama FS ini cukup meninggalkan kesan bagi masyarakat Jepang. Anak SD juga tahu.
Kelompok ini lebih memberikan peluang kepada masyarakat untuk
menilai dan memilih sendiri apakah mereka suka atau tidak, menonton atau
tidak menonton dan bebas berkomentar menurut mereka sendiri. Persoalan
yang muncul bukan terbatas pada suka atau tidak suka, tetapi para responden
lebih melihat di luar dari drama itu sendiri. Salah satu di antaranya adalah
tentang hubungan pertukaran kebudayaan Jepang - Korea yang dimunculkan
sebagai sebuah wacana agar tercipta adanya pemahaman kebudayaan kedua
negara.
Selanjutnya, respon yang diperoleh dari kelompok ini juga ingin
mengatakan bahwa digandrunginya drama Korea merupakan cerminan atas
kelesuan produksi drama Jepang yang merupakan dampak dari kelesuan
ekonomi Jepang sendiri.
80 UNGtJA Vol. 6 No.1, Maret 2007 68-82
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jawaban responden
kelompok ini" bukan pada persoalan suka atau tidak suka menonton drama FS
atau drama korea lainnya, melainkan lebih pada hal yang bersifat
mengakomodir budaya yang masuk ke Jepang. Mereka tidak berhenti hanya
pada drama itu sendiri, tetapi melihat drama sebagai sarana bagi terciptanya
proses pemahaman budaya.
4. Penutup
Jika dilihat dari sisi pemanfaatan drama ditemukan bahwa pada kelompok
the lovers . (pencinta) menyukai drama FS dan drama Korea karena mereka
dapat belajar tentang hal-hal yang mulai dilupakan oleh masyarakat Jepang.
Selain itu, melalui drama ternyata mampu membangun kesan baru dengan eara
pandang yang baru tentang Korea pada umumnya. Sementara dari kelompok
the haters (pembenci) ingin mengatakan bahwa media massa dapat mengubah
kesan dan eara pandang orang ten tang sesuatu hal. Sedangkan dari kelompok
the ambivalent (peragu) diperoleh respon bahwa mereka tidak mempersoalkan
suka atau tidak suka, tetapi lebih pada memberikan peluang dan kesempatan
kepada masyarakat untuk menentukan pilihannya sendiri. Responden ini
melihat bahwa drama Korea sebagai refleksi terhadap kebudayaan Jepang dan
refleksi terhadap lesunya produk drama Jepang yang dipengarubi olah lesunya
kondisi perekonomian Jepang dewasa ini. Dengan kata lain, budaya yang
masuk dibiarkan muneul dan berkembang sebagai sebuah jalan baru bagi
masuk dan diterimanya budaya Korea di Jepang.
Fenomena Fuyu No Sonata: Pandangan Orang Jepang Terhadap Drama Korea (Dewi Ariantini Yudhasari) 81
DAFTARPUSTAKA
Ang, len, Watching Dallas: Soap Opera and the Melodramac Imagination,
Methuen & Co. Ltd. London, 1983.
Muljadi, Hialny. Sihir dalam serial Harry Potter: Anailsis Responsi Pembaca,
Tesis Prog. Pascasarjana, FIB-UI, Depok. 2004
Storey, John, Teori Budaya dan Budaya Pop. Qalam.Yogyakarta, 2003.
Website Internet:
Ang, len. Mass Media: reception analysis - len Ang on Dallas
http://www.cultsock.ndirecLco.uk/MUHome/cshtml/media/angdall.html
(diakses pada 12 Mei 2005)
http://www.eva.hi-ho.ne.jp/nishikawasan/az/winter.htm
(diakses pad a 11 Juli 2005)
http://www3.nhk.or.jp/kaigai/sonata/into/index.html
(diakses pada 26 Oktober 2004)
http://www.daijob.com/dj4/en/column/kate/column.jsp?id=598
(diakses pada 15 Desember 2004)
http://www.asahi.com/anglish/opinion/TKY200411180152.html
(diakses pada 31 Januari 2005)
82 UNC;lIA Vol. 6 No.1, Maret 2007 6&-82