LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

89
(ij CIl Z C 3 .. '" z o 3 Sekolah Tin ggi Ba hasa As ing STBA ISSN 1412-9183 Volume 6 Nomor 1, Maret 2007 JURNAL \LH\AH

description

LINGUA STBA LIA Jakarta is a biyearly academic journal from STBA LIA Jakarta (Indonesia) which publishes the journal through PPPM, a unit of Research and Community Development .The content of this journal revolves around issues on Literature, Journalism, Translation, Linguistics, Cultural Studies, and Language Teaching. The writers are from the teaching staff of STBA LIA and other people from outside campus.Most articles in this journals are written in Indonesia and the rests are in Indonesian and Japanese.This journal is registered at: http://u.lipi.go.id/1180428792. More information about STBA LIA Jakarta can e found here: http://www.stbalia.ac.id/.

Transcript of LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Page 1: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

(ij CIl Z

C 3 .. '" z o 3

Sekolah Tinggi Bahasa Asing STBA

ISSN 1412-9183 Volume 6 Nomor 1, Maret 2007

JURNAL \LH\AH

Page 2: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

ISSN 1412-9183 Volume 6 Nomor 1, Maret 2007

PUSATPENELITIAN DAN PENGABDIAN PADAMASYARAKAT SEKOLAHTINGGIBAHASAASING UAJAKARfA

Penasihat Dr. Eka)ani TObing

Penanggung Jawab Sulitini Dwi Putranti MHum.

Penyunting Penyelia AskalaniMunir, MPd

Penyunting Pelaksana Dew; A.Yudhasari, MEum. IsmariJa Rama;unti, S.Pd

Jiera Syamsi, MHum.

Penyunting 'ThmuIPenelaab Ahli Dr. AgusAris MlI110fkiar

Sekretaris Agus Wahyudin, MPd

TataUsaha TetyKurniati

Alamat Redaksi Jalan Pengadegan Tnnur Raya No.3

Pancoran, Jakarta 12770 Telepon (021) 79181051, Faksimile (021) 79181057

Email: [email protected]

Page 3: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)
Page 4: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

ISSN 1412-9183 Volume 6 Nomor 1, Maret 2007

UNl;tJA DAFfARISI

Jendela i

Iklan RokokAMild: SebuahAbstraksi Gaya Hidup 1-20 AnakMuda Titi Surti Nastii;4 Gian KartasasmitaJ dan Moe6ich HashuDah

Estimasi. Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan Menggunakan Metode Prox dan Metode Newton-Raphson di daJam Subtes Thta Bahasa WEFL Widiatmoko

Tinjauan Terhadap Serat Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna AgusArisMmr:nbr

Ungkapan Bahasa Jepang yang Menggambarkan Hubungan Antar Klausa: -Tara, -To, -Ba, -Nara AbigailITKirianaM

FenommaFuyu noSmda: Pandangan OrangJepang 1frlJadapDramaKorea .DewiAriantini Yudhasari

Pedoman Penulisan Jumal Dmiah tN:;UA

21-38

39-56

57-67

68-82

Page 5: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)
Page 6: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Masih seperti tulisan-tulisan sebelumnya, peneribitan jurnal LfNC;lIA edisi

ini pun diisi oleh kajian linguistik dan budaya. Namun, ada satu tulisan yang

sedikit berbeda, yaitu fenomena sosial yang dipresentasikan melalui bahasa

iklan.

Ada lima tulisan untuk edisi Volume 6 No.1, Maret 2007 ini, yang

semuanya dipaparkan melalui telaah teori yang argumentatif. Iklan rokok A

Mild merupakan tulisan paling menarik pad a edisi ini. Sebagai sebuah produk

yang setengah dilarang karena berbagai ketentuan yang sangat ketat, seperti jam

tayang yang harus mulai pukul 21.00 WIB ke atas, A Mild mampu menggaet

anak muda sebagai sasarannya. Berikutnya, Analisis Komparatij dengan

Menggunakan Metode Prox dan Newton-Raphson di dalam Subtes Tata Bahasa

Toefl yang ditulis pakar linguistik dari P3G Bahasa merupakan yang paling

argumentatif. Melalui beberapa perbandingan, akhirnya ditemukan sebuh teori

yang bernanam TRB (Teori Responsi Butir) dengan metode Prox yang menjadi

solusi atas kelemahan-kelemahan teori analisis butir responden yang selama

dipergunakan. Selain itu, Tinjauan terhadap Serat Dewa Buda, yang merupakan

kajian budaya juga ditampilkan dalam edisi ini. Tidak hanya itu, Ungkapan

Bahasa Jepang yang Menggambarkan Hubungan Antarklausa: -tara, -to, -ba, -

nara juga menjadi bagian edisi ini. Terakhir, kajian budaya Korea yang menilik

Fenomena Fuyu No Sonata: Pandangan Orang Jepang terhadap Drama Korea

ditulis oleh salah seorang dosen dan pakar budaya Sastra dan Jepang STBA

LIA.

lendela

Page 7: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Anda ingin mengetahui materi lebih mendetail? Silakan simak

seluruhnya. Selamat membaca.

Redaksi

11 lendela

Page 8: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

IKLAN ROKOK A MILD: SEBUAH ABSTRAKSI GAYA HIDUP ANAK MUDA

Titi Surti Nastiti, Gian Kartasasmita, Moeflich Hasbullah

Pendahuluan

Pesatnya perkembangan industri periklanan di Indonesia dapat

dijadikan tolok ukur tingginya budaya konsumersime sebagai gaya hidup. Iklan

itu sendiri berarti pesan komunikasi pemasaran ten tang . sesuatu produk yang

disampaikan melalui sesuatu media dan ditujukan kepada sebagian at au seluruh

masyarakat (Maricar, 2005:19). Menurut Krishna Sen dan David T. Hill

(2001:9-10), media modern kerapkali tergantung pada dua karakteristik umum:

pertama, reproduksi mekanis dan multiplikasi (penggandaan) teks lisan,

tertulis, dan visual; kedua, distribusi yang luas dan terns menerus serta

konsumsi atas media tersebut. Iklan memenuhi kedua karakteristik terse but dan

dari sifat dan tujuannya, iklan dapat dibagi atas iklan komersial dan iklan non

komersial.

Sebagai sarana untuk menyampaikan pesan dari produk tertentu, iklan

komersial mempunyai sasaran pembaca/penonton (target audience) dan

sasaran pasar (target market) agar mengkonsumsi produk terse but. Secara

psikologis, iklan dapat mengubah citra dan persepsi orang tentang suatu

produk. Produk yang berkualitas belum tentu laku di pasaran jika tidak

dikemas dengan iklan yang menarik perhatian. Sebaliknya, produk yang tidak

berkualitas dan biasa-biasa saja, bisa laris apabila disuguhkan melalui iklan

yang menarik. Untuk kepentingan inilah, produsen berlomba-Iomba mengemas

tampilan iklan mereka masing-masing di media masa. Pada tingkat tertentu,

banyak iklan tidak menghiraukan etika periklanan, yang penting bagaimana

iklan mereka menarik perhatian dan produknya laku di pasaran, padahal etika

I1.1an Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Surti Nastiti, Gian Kartasasmita, Moeftich Hasbullah) 1

Page 9: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

dalam periklanan sangat penting karena etika bersumber pada hati nuram

pemesan dan pembuat iklan. Menurut Hoed (2001:17) secara konkret, etika

berkaitan dengan harkat manusia, misalnya sebuah iklan merugikan konsumen

(termasuk menipu) atau menyinggung perasaan seseorang atau kelompok,

maka iklan itu bertentangan dengan etika.

Produsen menampilkan iklan yang menarik melalui media masa seperti

majalah, surat kabar, TV, internet, papan iklan (billboard) dan sebagainya yang

bisa dilihat kapan saja dan di mana saja sehingga iklan kemudian sangat kuat

mempengaruhi persepsi, pemahaman dan tingkah laku masyarakat konsumen

dewasa ini. Banyak iklan menarik yang ditawarkan dan ditayangkan terus

menerus mengepung masyarakat sehingga realitas kebutuhan dibentuk oleh

iklan tersebut. Kebutuhan masyarakat dibentuk bukan oleh kebutuhan yang

memang diperlukan, tetapi oleh kebutuhan yang dikonstruksi. Sebuah studi di

Amerika menunjukkan bahwa iklan -- yang menggunakan citra-citra sensual,

figur selebritis seperti model, bintang film, politikus, pengacara, dan pengusaha

untuk justifikasi iklan -- telah memberikan pengaruh kuat terhadap gaya dan

pol a hidup anak-anak muda. Mereka umumnya berpikir positif terhadap apa

yang ditayangkan dalam iklan meskipun sebenarnya banyak iklan dari produk-

produk yang mempunyai dampak buruk bagi kesehatan masyarakat seperti

minuman keras, makanan instan serta rokok (Piliang, 2003: 286). Di

Indonesia, banyak iklan yang telah menuai protes dari masyarakat karena

menampilkan citra-citra sensual yang vulgar, kekerasan, tidak edukatif, dan

lain-lain, yang semuanya dikhawatirkan para orang tua akan berpengaruh

buruk terhadap kehidupan masyarakat, terutama generasi muda.

Dalam iklan sering terdapat perbedaan antara pesan yang disampaikan

dan realitas produk yang sesungguhnya. Hampir dalam semua iklan rokok,

seperti Gudang Garam, Djarum Super, Djarum Coklat, dan Marlboro, yang

2 UNC;lIA Vol. 6 No.1, Maret 2007 1-20

Page 10: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

dibangun adalah kejantanan dan keperkasaan laki-Iaki. Gudang

Garam dengan slogan "Pria Punya Selera" dilambangkan dengan kegagahan

seorang lelaki pemburu yang memiliki ketepatan memanah melindungi

harimau sehingga menyiratkan etos· kepahlawahan yang berwawasan

lingkungan. Sosok laki-Iaki seperti itulah citra yang ingin dibangun oleh

produsen Gudang Garam, Djarurn Super, dan Djarum Coklat dilambangkan

dengan kebebasan, keperkasaan, dan prestasi menaklukkan tebing-tebing

curam dan bunggy jumping di luar negeri. Demikian pula halnya dengan rokok

Marlboro Phillip Morris yang tadinya tidak laku karen a citranya feminin,

setelah biro iklan Leo Burnett menggantinya dengan citra yang sangat

maskulin dengan tampilan koboy-koboy Amerika menggiring dan

menaklukkan kuda-kuda. liar di alam bebas, rokok ini kemudian menjadi laku

keras.

Rokok yang dalam iklan diasosiasikan dengan kejantanan, kegagahan,

maskulinitas, keperkasaan, dan kepahlawanan· rnenurut· dokter dan aMi

kesehatan buruk bagi kesehatan. Karena itulah menurut Habermas, iklan adalah

bentuk komunikasi yang disimpangkan secara sistematik. Penyimpangan

disebabkan oleh teknik yang tidak tasiona.l, tidak logis, dan imaginatif yang

mempengaruhi individu di luar pengetahuan dan kesadarannya (Kellner, 2003:

120). Namun, tentu saja, tidak semua iklan berorientasi pada hal-hal seperti

disebutkan di atas.

Di antara iklan-iklan komersial yang ada, iklan rokok merupakan iklan

yang memiliki paling banyak aturan. Pemerintah melihat bahwa rokok dapat

membahayakan kesehatan rakyatnya. Akan tetapi, pemerintah tidak atau belum

dapat melarang perusahaan rokok berproduksi karenamasih sangat

membutuhkan pajak. Rokok merupakan salah 'satu pajak terbesar yang

diterima oleh pemerintah. Selain itu, perusahaan rokok menyerap tenagakerja

{klan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Surti Nastiti, Gian Kartasasmita, Moetlich Hasbullah) 3

Page 11: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

yang besar. Atas dasar pertimbangan itulah, pemerintah membuat undang-

undang pengamanan rokok bagi kesehatan yang diatur dalam PP RI Nomor 38

tahun 1999 dan ada perubahan pada tahun 2000 dengan PP RI Nomor 8l.

Berdasarkan PP tersebut dapat diketahui bahwa aturan-aturan yang harus

diikuti oleh perusahaan rokok antara lain adalah (a) merangsang atau

menyarankan orang untuk merokok; (b) menggambarkan atau menyarankan

bahwa merokok memberikan manfaat kesehatan; (c) memperagakan atau

menggambarkan dalam bentuk gambar, tulisan atau gabungan keduanya, rokok

atau orang sedang merokok at au mengarah pada orang yang sedang merokok;

(d) ditujukan terhadap atau menampilkan dalam bentuk gambar at au tulisan

anak dan atau wanita hamil; (e) mencantumkan nama produk yang

bersangkutan adalah rokok. Selain itu, jam tayang yang dibatasi yaitu mulai

pukul 9.30 malam sampai jam 5.00 pagi dan harus mencantumkan peringatan,

merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan

gangguan kehamilan dan janin".

Adanya aturan yang membatasi gerak iklan rokok menyebabkan setiap

perusahaan rokok berlomba-lomba untuk membuat iklan yang menarik dan

tidak melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Salah satu iklan rokok yang

sangat bed a penampilannya dengan iklan-iklan rokok lainnya adalah iklan

rokok A Mild dari perusahaan HM SAMPOERNA. Atas dasar kerangka

pemikiran yang dikemukakan di atas, maka kelompok kami memilih iklan

rokok A Mild sebagai topik penelitian.

Permasalahan

Keunggulan dari iklan A Mild dalam membangun brand recognition

menjadi salah satu trademark dari produk ini. A Mild dengan jeli dapat melihat

tumbuhnya kesadaran dalam masyarakat akan kesehatan. Lahirnya A Mild

4 UNC;lIA Vol. 6 No.1, Maret 2007 1-20

Page 12: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

sebagai produk yang peka dengan aspek kesehatan karena mengandung kadar

nikotin rendah mampu merebut kelompok sasaran yang diinginkan, yaitu

kelompok anak muda dari kelas menengah ke atas. Melalui penyuguhan

permainan tanda dan kata, iklan A Mild berhasil membangun realita sosial

yang mewakili pemikiran target market yang serba kritis dalam melihat segal a

persoalan sosial. Meminjam istilah Clifford Geertz "refiguration of social

thoughts" di mana terjadi perubahan at as cara kit a melihat bagaimanacara kita

berpikir (Geertz, 1986: 515).

Iklan A Mild dalam mengonstruksi realita mengambil pengalaman

hidup manUSla sehari-hari yang sudah sedemikian rupa melebur dalam

interaksi sosial sehingga sebenarnya sudah membentuk gaya hidup tertentu.

Realitas tersebut tidak jauh berbeda dengan konsep habitus dari Pierre Bordieu

yang ia melihat bahwa manusia secara struktural berada dalam ruang sosial

yang multi dimensional khususnya dilihat dari posisi kelas sosial (Ritzer,

2005:68-70). Bahkan, Anthony Giddens sudah melihat bahwa simbolisme dan

citra kultural merupakan dasar dari pembentukan persepsi dan tingkah laku

tertentu (Ritzer, 2005:324-326). Budaya konsumerisme menandakan

hilangnya keberadaan status sosial dan identitas karena lahirnya pluralisme

sosial yang mengantar pada beragam cara hidup dan identitas. Kesadaran akan

pentingnya berada dalam kelompok tertentu dengan pol a gaya hidup tertentu

merupakan konsep penting dalam konstruksi identitas karena secara moral ia

(manusia) menjadi bagian dari produk yang ia konsumsi.

Sejak diproduksinya pada 1998, iklan-iklan A Mild dibuat sesuai

dengan prinsip "Kami Memang Beda" yang melambangkan jiwa persahabatan

yang dibangun atas kreativitas dan inovasi. Iklan-iklan A Mild yang

ditampilkan tidak ada hubungannya an tara iklan itu sendiri (representamen)

dan rokok A Mild yang diiklankan (objek). Bahasa yang dipakai dalam iklan

Iklan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (fiti Surti Nastiti, Gian Kartasasmita, Moeflich Hasbullah) 5

Page 13: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

ini bukan bahasa baku sehingga dapat diasumsikan bahwa yang menjadi

sasaran produsen A Mild adalah anak muda.

Iklan A Mild seperti digambarkan di at as menghadirkan sebuah

konstruksi realita yang kemudian ditafsirkan sebagai bentuk gaya hidup

tertentu bagi anak muda. Anak muda yang menjadi sasaran iklan A Mild

berasal dari masyarakat yang sangat heterogen. Mereka berasal dari latar

belakang dan kelas yang berbeda. Konsep "bukan basa basi" dengan beragam

slogannya menjadi awal keberhasilan merk A Mild dalam membentuk

"identitas kelompok" yang dapat dilihat dari gay a hidup mereka. Bagaimana

pembuat iklan dapat menggunakan permainan tanda dan kata menjadi sebuah

abstraksi gaya hid up anak muda adalah pokok permasalahan yang diangkat

dalam penelitian ini.

Pendekatan dan Teori

Teori yang digunakan dalam makalah ini adalah semiotika dan ilmu-

ilmu sosiaL Di dalam pendekatan ini terdapat persoalan-persoalan sosiologis

seperti masalah identitas, persoalan psikologis (mudahnya masyarakat

terpengaruh), konstruksi sosial seperti gaya hidup dan nilai-nilai kapitalisme

serta konsumerisme. Inti dari pendekatan ini berakhir pada asumsi atau

hipotesis bahwa kebutuhan masyarakat, citra, identitas diri, gaya hidup, cara

berpikir serta bertindak adalah sebuah konstruksi sosial. Iklan di sini berperan

sebagai salah satu pembentuk konstruksi sosial tersebut.

Dalam makalah ini iklan didekati secara semiotika karena iklan

merupakan arena permainan tanda secara bebas (free play of signs). Dalam

promosi sebuah produk, iklan mengandalkan komunikasi dan permainan tanda.

Studi semiotika yang membahas iklan sebagai kajian telah banyak dilakukan,

misalnya oleh Torben Vestergaard dan Kim Schroder (1985), Gillian Dyer

6 UNC;lIA Vol. 6 N'J. 1, Maret 2007 1-20

Page 14: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

(1990), dan Judith Williamson (1991). Sebagai garapan semiotika iklan terdiri

dari tanda-tanda, yaitu objek (rokok A Mild), konteks (lingkungan

pembaca/penonton yang memberikan makna), serta tulisan (teks) yang

memperkuat makna. Efek sosial psikologis dari iklan adalah dalam wilayah

kedua (konteks). Oi situlah "dapat dilihat berbagai persoalan gender, ideologi,

fetisisme, kekerasan simbol, lingkungan, konsumerisme, serta berbagai

persoalan lain yang ada dibalik sebuah iklan" (Piliang, 2003:264).

Peranan semiotika dalam penyuguhan iklan menjadi sang at penting

karena sebagai fenomena budaya iklan memberikan kemungkinan pemaknaan

yang bermacam-macam. Pierce (1839--1914) melihat tanda sebagai sesuatu

yang mewakili sesuatu sehingga merupakan suatu proses kognitif. Ia membuat

suatu sis tern penandaan yang dikenal sebagai trikotomi Pierce, yaitu tanda

yang dihubungkan dengan representamen, objek atau referen, dan interpretan

yang didefinisikan sebagai makna, pemaknaan atau interpretasi (N6th 1990:41-

-45). Hubungan antara representamen dengan objeknya dibedakan menjadi

tiga jenis, yaitu indeks apabila hubungannya berdasarkan sebab-akibat, ikon

apabila hubungannya berdasarkan kemiripan, dan lambang apabila

hubungannya berdasarkan konvensi (Zoest, 1993:22--27). Dalam iklan,

konvensi biasanya didasarkan atas sesuatu yang disugestikan oleh pembuat

iklan (Hoed, 2001:121)

Adapun proses pemaknaan tanda dari representamen, objek, dan

interpretan disebut semiosis. Contoh proses semiosis yang terjadi dalam iklan

A Mild dapat dilihat sebagai berikut. Tampilan visual huruf A yang berwujud

kertas selebar bungkus rokok yang diterbangkan angin dengan kalimat "Bukan

basa basi" dan beragam slogan yang dihadirkan seperti "Ringan sarna dijinjing,

berat giliran elo" adalah representamen dan objeknya adalah rokok A Mild.

Representamen yang berupa lambang inilah yang merupakan alat komunikasi

[klan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Surli Nastiti. Gia" Karlasasmita, Moeflich Hasbullah) 7

Page 15: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

yang dipakai oleh iklan A Mild, karen a digunakan untuk menyampaikan pesan.

Sementara itu, interpretannya menafsirkan representamennya sesuai dengan

interpretasinya masing-masing.

Tidak terdapatnya relasi tanda antara representamen (gambar, slogan)

dan referen (konsep rokok, realitas produk) dalam iklan A Mild, mengubah

makna denotatif (produk rokok untuk dihisap) menjadi makna konotatif

(menjadi pesan-pesan gaya hidup, jender, ideologi, dan lain-lain). Dalam

proses pembentukan makna konotatif inilah gaya hidup, logika, gender,

konsumerisme, ideologi, dan lain-lain disusupkan dan ditanamkan agar

pemakai mengikuti konstruksi pesan yang dibangun. Gaya hidup dan logika

yang dikonstruksi· oleh permainan bebas tanda dalam iklan A Mild adalah

kekacuan berfikir dan kebangkrutan logika seperti yang diungkapkan dalam

salah satu iklannya "Kenapa gue mesti on time kalau yang lain telat".

Dengan demikian, dalam usaha untuk dapat memahami makna yang

terkandung dalam iklan tentunya diperlukan cara pandang lain, yaitu melalui

model analisis yang bisa melihat bagaimana manusia mengkonsumsi atau

menginterpretasikan teks itu sendiri. Stuart Hall dalam kajian media menilai

bahwa individu tidak hanya pasif dalam "membaca" media namun ia

sebenarnya aktif dalam menginterpretasikan teks (Seidman, 1998:199-200).

Pada awalnya iklan A Mild tidak secara khusus menargetkan kelompok sasaran

berdasarkan status sosial atau jenis kelamin tertentu, tetapi dengan

"pembacaan" teks yang berbeda maka iklan A Mild dilihat lebih dapat

dimaknai justru oleh kelompok ekonomi menengah ke at as yang kebanyakan

terdiri dari kawula muda.

8 LrNGliA VoL 6 No.1, Maret 2007 1-20

Page 16: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Pembahasan

Iklan A Mild pertama muncul dengan kertas selebar bungkus rokok

bertulisan A diterbangkan angin dan membeku, diikuti kalimat "Bukan basa-

basi". Lambang ini muncul berkali-kali dengan menggunakan kalimat "Gue

ingin ngadem, dia ingin ngikut", "Ringan sarna dijinjing, berat giliran elo".

Kalimat "Bukan basa basi" yang adalah singkatan dari "Bisa Anda Serendah

Apa, Bisakah Anda Serendah Ini", bersama-sama dengan aksara A yang

merupakan lambang A Mild selalu tampil dalam iklan-iklan selanjutnya.

Iklan-iklan A Mild ditampilkan di media masa (surat kabar dan

majalah), media elektronik (radio, TV, internet), dan papan iklan (billboard).

Tampak adanya perubahan penekanan media yang digunakan oleh iklan-iklan

A Mild. Jika tadinya banyak dimuat di surat kabar dan majalah serta

ditayangkan di TV, sekarang lebih ditekankan kepada papan iklan. Perubahan

ini karena produsen A Mild sadar dengan kota Jakarta yang sering macet,

papan iklan sangat tepat sebagai sarana untuk iklan. Karena pengendara

kendaraan berrnotor, yang bosan dengan situasi yang mereka hadapi, secara

tidak langsung akan melihat dan membaca apa-apa yang ada di sekitarnya.

Selain itu, adanya pembatasan jam tayang di TV, yaitu antara pukul 9.30

malam sampai pukul 5.00 pagi.

Setelah iklan perdananya, A Mild memproduksi iklan-iklannya dengan

seri-seri tertentu. Sampai sekarang, A Mild telah membuat beberapa seri, yaitu

seri "how long can you go", kemudian seri "others can only follow", diikuti

seri "go with the real low", dan yang terakhir seri "tanya kenapa".

Berikut ini adalah analisis dari bahasa yang dipakai oleh seri-seri iklan

A Mild, dan beberapa di antaranya ditampilkan secara visual. Sayangnya iklan

perdana dan seri terakhir "tanya kenapa" tidak bisa ditampilkan visualnya

karena tidak bisa didapatkan di internet.

Iklan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi naya Hidup Anak Muda (fiti Sucli Nastiti, Gian Kactasasmita, MoeOich HasbuIlah) 9

Page 17: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Iklan seri "how low you can go", yang ditampilkan antara lain, sebagai

berikut.

1. A Mild yang ditayangkan di TV adalah manusia kartun mencoba

menerobos tali yang direntangkan dan talinya makin lama makin

rendah. Kata-kata yang mengikutinya adalah "how low you can go".

2. A Mild yang ditampilkan di TV berbeda dengan yang ditampilkan di

papan iklan. Dalam papan iklan, iklan A Mild lebih menonjolkan unsur

verbalnya yang ditulis dalam latar merah dengan tulisan besar-besar

seperti "Mau hidup enak, usaha!", "Waktunya unjuk gigi", "Mami,

kenalkan pacar bam say a", "Silakan blak-blakan", dan lain-lain.

www.amild.com

Dalam iklan ini yang ingin dikemukakan adalah betapa rendahnya kadar tar

dan nikotin dalam rokok A Mild. Penafsiran dari konsumennya adalah makin

rendah kadar tar dan nikotinnya, makin baik rokok itu karen a tidak

membahayakan kesehatan. Adapun kalimat-kalimat yang ditampilkan di papan

iklan mengandung arti konotatif, seperti yang dimaksud "pacar bam" adalah

rokok A Mild, begitu pula dengan "silakan blak-blakan", maksudnya adalah

konsumen A Mild tidak usah sembunyi-sembunyi lagi untuk merokok A Mild,

dan setemsnya.

10 LINGUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 1-20

Page 18: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Seri "others can only follow", yang ditampilkan di TV adalah sebagai berikut.

1. Seekor ikan berenang dalam air dan diikuti oleh ikan-ikan lain yang makin

lama makin banyak ikannya, dan seakan membentuk barisan yang

membesar di bagian belakang, diikuti teks "others can only follow!".

2. Seekor burung berwarna merah terbang, diikuti oleh burung-burung

berwarna hitam yang makin lama makin banyak jumlahnya dan

membentuk barisan, diikuti teks "others can only follow".

3. Seperti halnya sed "how long you can go", yang menjadi andalan tampilan

di papan iklan adalah kekuatan verbal yang antara lain berbunyi: "Jenius

ada batasnya, bodoh nggak terbatas", "Gue berpikir karena itu gue

bingung".

www.amild.com

Pemaknaannya adalah bahwa orang yang merokok A Mild selalu berada di

depan, penemuan rokok dengan tar dan nikotin yang rendah oleh A Mild

mendahului merk rokok-rokok lain. Jenis rokok dalam bentuk bentuk filter

kretek yang kecil dengan tar dan nikotin rendah memang diprakarsai oleh HM

Sampoerna, yaitu Sampoerna A-Mild, kemudian diikuti oleh Star Mild, Djarum

A-Mild, Bentoel Mild, X-Mild, dan lain-lain.

Iklan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Surti Nastiti, Gian Kal'tasasmita. Moetlich Hasbullahl 11

Page 19: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Seri "go with the real low", yang dicontohkan dalarn penarnpilan sebagai

berikut. 1. Seekor jerapah yang sedang rnenunduk ke larnbang A Mild, dengan tulisan:

"go with the real low" .

www.amild.com

2. Dua kartun orang jepang yang sedang rnenghorrnat satu sarna lain dengan

rnernbungkuk serendah-rendahnya, diikuti dengan tulisan "go with the real

[ow".

www.amild.com

12 LINGUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 1-20

Page 20: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Pemaknaan ini pun masih seputar rendahnya kadar tar dan nikotin dalam rokok

A Mild.

Seri "tanya kenapa" dapat dilihat dari tampilan papan iklan.

1. Sebuah gambar kulkas disandingkan dengan seekor domba berbulu

teba!. Teksnya berbunyi "Kalo gue dingin2 aja kenapa 10 yang

panas. Tanya kenapa"

2. Sebuah kalender yang beberapa tanggalnya secara acak dilubangi.

Teksnya berbunyi "Bolonginnya rajin nambelnya males. Tanya

kenapa"

3. Tiga orang anak muda mengelilingi sebuah lampu pijar besar.

Teksnya berbunyi "Terus terang, terang nggak bisa terus-terusan.

Tanya kenapa"

4. Sebuah adegan yang melukiskan jalan yang berantakan, kurungan

ayam terbakar, dan meja dan kursi pengadilan yang terletak di

trotoar. Teksnya berbunyi "Semua kok bisa menjadi hakim. Tanya

kenapa"

5. sebuah lemari pajangan dengan empat toga yang berlainan

harganya, dan knop untuk memilih toga tersebut. Teksnya berbunyi

"Mau pintar kok mahal. Tanya kenapa"

6. Selain itu, ada juga iklan A Mild yang ditayangkan di TV yang

memperlihatkan seorang Indian yang dikejar oleh sepasukan

tentara, waktu Indian melihat ke belakang tidak ada satu pun

temannya yang berada di belakangnya. Tayangan ini diikuti oleh

kata-kata "Kenapa gue mesti on time kalau yang lain telat". Tanya

kenapa".

Iklan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Surti Nastiti, Gian Kartasasmita, Moetlich Hasbullah) 13

Page 21: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Tiga seri iklan pertama setelah iklan perdananya "bukan basa basi",

memakai bahasa Inggris ("how long you can go", others can follow", "go with

the real low") yang mungkin dianggap lebih "keren" dibanding bahasa

Indonesia, akan tetapi pada seri terakhir memakai bahasa Indonesia ("tanya

kenapa"), meskipun bahasa yang dipakai masih bahasa anak muda. Ini gejala

yang menarik, karena di mana saat ini bahasa Inggris sudah menjadi biasa

dipakai dalam bahasa lisan oleh beberapa kalangan yang diucapkan secara

gado-gado dengan bahasa Indonesia, A Mild justru kembali ke bahasa

Indonesia, meskipun "bahasa Indonesia"nya perlu diberi tanda kutip karena

bukan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Seri iklan yang pertama sampai ketiga yang masih memperlihatkan

betapa rendahnya nilai tar dan nikotinnya dan masih memakai bahasa Inggris,

tampak bahwa produsen A Mild selain masih berusaha untuk mendapatkan

kepercayaan dari masyarakat juga berusaha agar produknya mendapat tempat

di masyarakat, yaitu dengan mensugestikan bahwa rokok A Mild tidak

berbahaya karen a kadar tar dan nikotinnya rendah. Selain itu dengan

menggunakan bahasa Inggris adalah supaya mendapat temp at di dalam

masyarakat yang pada waktu itu bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa yang

mewakili kalangan menengah ke atas. Tetapi dalam seri terakhir, positinoning

ini tampaknya sudah dianggap tidak perlu lagi, karena telah berhasil merebut

kepercayaan masyarakat terhadap produk tersebut. Para konsumen A Mild

sudah mengenal aksara A sebagai lambang A Mild dan mempercayai bahwa

rokok A Mild tidak berbahaya karena kadar tar dan nikotinnya rendah,

sehingga dapat dikatakan bahwa A Mild telah berhasil membuat konvesi baru

dengan para pemakainya.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, proses semiosis sangat penting

dalam iklan. Apabila diterapkan pada iklan A Mild, maka prosesnya adalah

14 UNQUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 1-20

Page 22: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

sebagai berikut: represantemennya adalah iklan yang ditampilkan, kemudian

yang dijadikan referen adalah rokok A Mild, dan interpretannya adalah yang

menafsirkan iklan tersebut. Pad a umumnya setiap interpretan mempunyai

tafsiran yang berbeda ketika menafsirkan representamennya sesuai dengan

konotasi masing-masing. Akan tetapi A Mild justru telah berhasil menggiring

para penafsirnya ke sebuah konotasi yang sarna sejalan dengan citra gaya hidup

yang ingin dibentuk oleh A Mild. Sesuai prinsip komersial A Mild yakni

"Kami Memang Beda", gaya hidup yang ingin dicitrakan adalah gaya hidup

yang berbeda. Citra pembentukan gay a hidup anak muda sebagai yang diusung

oleh iklan A Mild terlihat dari ciri-ciri iklannya, yaitu:

a. Tampil Beda

Perbedaan secara psikologis adalah jiwa dan tuntutan anak muda.

Umumnya anak muda senang menonjolkan perbedaan. Kondisi psikologis anak

muda ini dimanfaatkan oleh perusahaan HM Sampoerna menjadi senjata iklan

yang menembus kebutuhan jiwa kaum mud a yang umumnya menyukai tampil

beda. Tampil beda, yang umumnya adalah terhadap sikap dan cara pandang

orang tua, adalah proses pembentukan identitas dan proses pemberontakan

terhadap segala kungkungan niIai-niiai konvensional dan tradisi "kami

memang beda" adalah lambang jiwa anak muda, dan dengan demikian, dengan

jelas iklan A Mild mengambil segmen anak-anak muda sebagai target audience

dan ekspresi jiwa mereka.

b. Bebas

Ciri . kedua gaya hidup yang diacu anak-anak muda adalah kebebasan.

Kebebasan sendiri adalah gejolak jiwa yang secara umum dimiliki kaum muda.

Ekspresi kebebasan ini tampak kuat dianut sebagai karakter iklan A Mild.

Kebebasan adalah suatu kondisi yang menghendaki ketidakterikatan oleh

tradisi, etika, dan niIai-nilai yang berlaku. Iklan A Mild yang berbeda dengan

lklan Rokok A Mik: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Sucli Nastiti, Gian Kactasasmita, Moeflich HasbuIIah) 15

Page 23: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

yang lain menunjukkan kebebasan ini. Iklan ini tidak ingin diikat oleh konvensi

yang ada bahwa iklan hams menganut nilai-nilai positif, tetapi iklan ini tidak

ingin diikat oleh konvensi yang ada bahwa iklan hams menganut nilai-nilai

positif, tetapi menyindir tatanan nilai yang berlaku tentang kebaikan dan

kebumkan.

c. Tidak Peduli

Bahasa yang dipakai dalam iklan ini bukan bahasa baku sehingga dapat

diasumsikanbahwa yang menjadi sasaran produsen A Mild adalah anak muda.

Selain itu apabila melihat iklan A Mild terdapat dua kalimat yang sangat

bertolak belakang, di satu pihak bahasa yang dipakai adalah bahasa anak muda,

yang mempunyai kesan main-main dan tidak serius seperti dalam kalimat:

"Ringan sarna dijinjing, berat giliran elo" atau "Gue berpikir karena itu gue

bingung"; di lain pihak, karena ada aturan dari pemerintah, mencantumkan

kalimat: "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi

dan gangguan kehamilan dan janin", yang jelas sekali mempakan peringatan

keras dengan bahasa baku. Apakah anak muda yang menjadi target sasaran

iklan A Mild melihat adanya "keretakan" dalam iklan tersebut dan apakah

mereka memperhatikan peringatan tentang bahayanya merokok dengan serius

ataukah mereka lebih serius memaknai kalirnat yang tidak serius; atau mereka

tidak peduli sarna sekali

Ekspresi tidak peduli atau "cuek" tampak kuat dalam iklan A Mild.

Sikap tidak peduli adalah khas generasi muda. Ketidakpedulian ini diwakili

secara kuat oleh iklan-iklan yang ditayangan A Mild. Iklan umumnya ingin

memberikan kesan-kesan formal dan relevan dengan esensi produk yang

ditawarkan. Kesan-kesan ini diabaikan oleh iklan A Mild, walaupun

ketidakpedulian tidak hams selalu bermakna negatif. Iklan ini ingin bebas saja

menarnpilkan apa yang dikehendaki. Orientasi ketidakpedulian ini

16 UNC;lJA VoL a NO'. 1, Maret 2007 1-20

Page 24: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

mendapatkan lahannya dengan aturan pemerintah yang ketat tentang iklan

rokok. Karenci larangan itulah, mereka dapat berekspresi secara bebas. Dengan

tidak peduli terhadap aturan tersebut mereka merasa tindakannya yang bebas

itu dilegitimasi.

d. Memakai Bahasa Gaul

Ciri khas yang paling menonjol dari gaya anak-anak muda adalah apa

yang belakangan sering disandingkan dengan kata "gaul": bahasa gaul,

kerudung gaul, kafe gaul, warnet gaul, dan seterusnya. Bahasa gaul adalah

bahasa tidak resmi, ungkapan idiom-idiom yang populer dipakai masyarakat

walaupun mungkin menyalahi aturan tata bahasa. Teks bahasa gaul menjadi

trade mark semua iklan A Mild, seperti "Bukan basa basi," "Kalo gue dingin2

aja kenapa 10 yang panas", "Bolonginnya rajin nambalnya males", "Kenapa

gue mesti on time kalau yang lain tel at", dan seterusnya.

Bahasa yang digunakan oleh A Mild dalam semua seri bukan bahasa

baku, "10", "gue", "kalo", "kenapa", "nggak", "bolongin", dan lain-lain. Begitu

juga kalimat-kalimat yang dipakai seperti "Serius ada batasnya, bodoh tidak

terbatas", "Gue berpikir karena itu gue bingung", dan sebagainya

memperlihatkan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa anak-anak muda,

sedangkan kalimat-kalimat yang dipakai adalah kalimat-kalimat "anak-anak

sekolahan" yang kreatif dalam mengolah kata. Jadi, jelas bahwa sasaran dari

rokok A Mild adalah "anak sekolahan" yang berarti sasaran iklan ini adalah

anak muda dari kalangan menengah ke atas.

e. Kritis dan Cerdas

Tekanan so sial politik sering membuat masyarakat menjadi stres dan

tertekan ketika masyarakat tidak berdaya menghadapinya. Namun, kondisi

psikologis ini sering tidak menemukan salurannya karena, selain kultur dan

mekanisme tidak tumbuh, juga mengandung risiko sosial politik. Di banyak

[klan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Surti Nastiti, Gian. Kartasasmita, Moetlich HasbuUah) 17

Page 25: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

masyarakat, kondisi jiwa yang tertekan ini sering bermetaformosis menjadi

sindiran-sindiran tajam, kreatif, dan cerdas.

Teks-teks dalam iklan rokok A Mild banyak yang bernuansa kritik

yang cerdas terhadap kehidupan dan kondisi sosial politik di tanah air.

Misalnya, ungkapan iklan "others can only follow" yang menyindir

kecenderungan sikap latah, ikut-ikutan, tidak kreatif. Kritik yang terdas ini

makin tampak pada seri terakhir, yaitu "tanya kenapa". Seperti pada kalimat

"Semua bisa menjadi hakim" menyindir keadaan masyarakat sekarang yang

suka main hakim sendiri; "Bolonginnya rajin nambalnya males," bisa

ditafsirkan sebagai sind iran terhadap sikap orang, masyarakat atau pemerintah

yang hanya pandai merusak, memperbaikinya kurang; serta "Mau pintar kok

mahal" merupakan sindiran terhadap biaya sekolah yang sangat mahal.

Demikian pula dalam kalimat "kalau yang lain telat, mengapa harus on time"

sebenarnya merupakan sindiran juga terhadap masyarakat kita yang tidak

menghargai waktu. Secara parodis, peringatan terhadap sikap negatif ini

diungkapkan dengan makna terbalik. Kalimat tersebut salah secara nilai dan

edukatif, tetapi benar secara realistis, kenyataan bahwa orang Indonesia

memang tidak menghargai waktu.

3. Simpulan

Tayangan iklan A Mild pada umumnya menghadirkan tampilan yang

tidak berkaitan langsung dengan produk yang ditawarkan. Iklan A Mild secara

kreatif mencoba mengekspresikan dirinya dalam bentuk yang unik dan khas

anak muda. Ruang kreativitas ini justru memicu iklan A Mild sebagai iklan

yang lain daripada yang lain karena kemampuannya dalam

menginterpretasikan produknya dalam konteks yang tidak melanggar aturan

pemerintah yang ketat ten tang iklan rokok.

18 UNl;tJA Vol. 6 No.1, Maret 2()()7 1-20

Page 26: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Iklan-iklan A Mild telah berhasil membentuk citra gaya hidup anak

muda dengan ciri-ciri yang sangat menonjol, yaitu ingin tampil beda, bebas,

tidak peduli, memakai bahasa gaul, dan kritis serta cerdas.

DAFTAR PUSTAKA

Dyer, Gillian 1990 Advertising as Communication. London: Routledge.

Goldman, Robert 1991 Reading Ads Socially. London: Routledge.

Goldman, Robert & Stephen Papson 1994 Advertising in the Age of

Hypersignification: Theory, Culture & Socety.

Jameson, Fredick 1992 Postmodernisme or, the Cultural Logic of Late

Capitalism. London: Verso.

Geertz, Clifford 1986 "Blurred Genres: The Refigureation of Social Thougth",

dalam Hazard Adams dan Leroy Searle (eds), Critical Theory Since

1965:514-523. Tallahasse:Florida State University Press.

Hoed, Benny H. 2001 Dari Logika Tuyul ke Erotisme. Magelang:

Indonesiatera. 2005 "Memandang Fenomena Budaya dengan Kaca

Mata Semiotik", Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Tidak diterbitkan.

Kellner, Douglas 2003 Teori Sosial Radikal. Jogyakarta: Syarikat Indonesia.

Koo, Myung Koo 1999 Postmodern Consumer Culture Without

Postmodernity: Copying the Crisis of Signification. Department of

Communication, College of Social Sciences Seoul National University.

Maricar, Ari R. 2005 Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara

Periklanan Indonesia). Jakarta: Dewan Periklanan Indonesia.

N6th, Winfried 1999 Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis:

Indiana University Press.

Iklan Rokok A Mild: Sebuah Abstraksi Gaya Hidup Anak Muda (Titi Surti Nastiti, Gian Kartasasmita, MoeOich Hasbullah) 19

Page 27: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Perdue, William 1986 Sociological Theory. Mayfield Publishing Company.

Piliang, Yasraf Amir 2003 Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas

Matinya Makna. Jakarta: Jalasutra.

Ritzer, George 2003 Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Juxtapose

Research & Publication Study Club dan Kreasi Wacana, 2005

Encyclopedia of Social Theory. Sage Publications, Inc.

Seidman, Steven 1998Contested Knowledge: Social Theory in the Postmodern

Era. New Yark: Blackwell Publisher Inc.

Sen, Krisna dan David T. Hill 2001 Media, Budaya, dan Politik di Indonesia.

Jakarta:Institut Studi Arus Informasi.

Sutherland, Max & Alice Sylvester 2000 Advertising and theMind of the

Consumer: What Works, What Doesn't, And Why. Australia: Allen &

Unwin.

Vestergaard, Torben dan Kim Shcroder 1985 The Language of Advertising.

Oxford: Blackwell.

Van Zoest, Aart 1993 Semiotika: tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang

KitaLakukanDengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Williamson, Judith 1991 Decoding Advertisements. London: Marion Boyars.

www.sampoerna.org

www.amild.com

20 UNC;IJA Vol. 6 No.1, Maret 2J07 1-20

Page 28: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

ESTlMASIPARAMETER RESPONDEN: ANALISIS KOMPARATIF DENGAN MENGGUNAKAN METODE PROX DAN METODE

NEWTON-RAPHSON DI DALAM SUBTES TATA BAHASA TOEFL

Widiatmoko PPPG Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta

Abstrak Teori tes klasik (TIK) di dalam pengukuran pendidikan diketahui sebagai teori tes yang memiliki banyak kelemahan. Kelemahan-kelemahan itu tidak ditemukan di dalam teori responsi butir (TRB). TRB berupaya untuk memecahkan kelemahan-kelemahan itu melalui pemenuhan persyaratan unidimensi butir, independensi lokal, dan invariansi parameter responden-butir. Di dalam tes bahasa, metode analisis butir yang sering digunakan berkaitan dengan TRB. Untuk mengestimasi parameter butir-responden, TRB menggunakan beberapa metode. Salah satunya adalah metode Prox yang digunakan untuk mengestimasi parameter butir-responden secara simultan pada data butir dikotomi. Metode yang lain adalah metode Newton-Raphson (N-R) yang digunakan untuk mengestimasi parameter responden apabila parameter butir diketahui. Berdasarkan pad a data subtes tatabahasa TOEFL, parameter butir dan respond en diestimasi secara simultan. Untuk menentukan kecocokan, kurva karakteristik tes (KKT) ditampilkan. Setelah mengetahui kurva itu, karakteristik responden diestimasi dengan metode N-R secara marginal. Dari analisis terhadap karakteristik butir-responden, dinyatakan bahwa KKT untuk modellogistik satu-parameter tidak memiliki kecocokan dengan model. Di samping itu, ditemukan adanya perbedaan estimasi dengan menggunakan kedua metode itu. Metode yang berkecenderungan menghasilkan konvergensi kurva merupakan metode yang direkomendasikan untuk dikembangkan.

Kata kunci: parameter responden, metode Prox, metoda Newton-Raphson

Abstract Classical test theory in educational measurement is known as the theory that contains some weaknesses. Those shortcomings are not found in item response theory (IRT). IRT solves the problems by satisfying the requirements of unidimension, local independence, and item-examinee in variance. In language testing, some methods of item analysis employed are related to IRT. In order to estimate items-examinees parameter, IRT employs some methods. One of them is Prox method which is applied to estimate items-examinees simultaneously in dichotomous data. The other one is Newton-Raphson (N-R) method which is applied to estimate examinees parameter when items parameter is identified. Based on the data of TOEFL's subtest of structure, items-examinees parameters are simultaneously estimated. To fit the curve, test characteristic curve (TCC) is displayed. After knowing the curve, examinees characteristic is estimated by using N-R method marginally. Based on the analysis of items-examinees characteristics, it is stated that TCC for one-parameter logistic model is not satisfied for the model. In addition, it is stated that there is estimation distinction by using the two methods. The method which results in convergent curve is recommended to develop.

Key words: examinee parameter, Prox method, Newton-Raphson method

Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatii dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton-Raphson di dalam 21 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widiatmoko)

Page 29: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Pendahuluan

Latar dan Rumusan Masalah

Pendidikan diselenggarakan untuk menyelesaikan permasalahan akibat dari perubahan

sosial. Latar itu terletak di dalam paradigma pendidikan dalam mendefinisikan

pembelajaran sebagai proses perubahan perilaku. Utamanya, ini direfleksikan melalui

sasaran dan tujuan pembelajaran di dalam kurikulum. Sasaran mengacu pada

pernyataan perubahan perilaku pembelajar melalui program pembelajaran; sedangkan

tujuan mengacu pada pernyataan perubahan perilaku pembelajar yang spesifik

berdasarkan pada hasil analisis sasaran (Richards, 2002: 8-11). Ditambahkan,

kurikulum memfokuskan pada penentuan pengetahuan, keterampilan, nil ai,

pengalaman, dan proses pembelajaran (Richards, 2001: 2). Kurikulum bahasa lnggris

sudah jelas mencakupi aspek perencanaan, implementasi, dan evaluasi program

pembelajaran. Tujuan utama evaluasi itu adalah untuk menentukan ketercapaian

tujuan kurikulum, keefektifan kurikulum, dan untuk mengevaluasi program

pembelajaran itu sendiri (Finney, 2002: 77). Prinsipnya, pembelajar berprioritas untuk

diperhatikan pada apa yang dicakupi di dalam kurikulum. Dalam lingkup mikro, ini

diimplementasikan di dalam pelaksanaan pemeriksaan secara reguler melalui

kuesioner, wawancara, observasi, diskusi, tugas, jurnal dan log, dan tes (Cotterall &

Reinders, 2004: 29-30). Tes dengan demikian metupakan hal utama.

Tes merupakan seperangkat pertanyaan untuk mengukur karakteristik

responden di dalam situasi tertentu. Tes juga didefinisikan sebagai sekumpulan

pertanyaan, pernyataan, maupun tugas yang direspon demi keberukuran keterampilan,

pengetahuan, intelegensi, kemampuan, at au minat pada bidang tertentu (Widiatmoko,

2004: 5). Ying (2005) mendefinisikan tes sebagai instrumen untuk mengukur kuantitas

atau kualitas variabel. Tes kemudian digunakan untuk mengukur keterampilan,

pengetahuan, atau atribut psikologis responden. Setakat ini, tes didesain secara

sederhana. lni bermakna bahwa penguji memfokuskan pada ciri responden secara

normatif. Ia tidak memperhatikan pada ciri nyata responden secara referensial. Dengan

demikian, butir-butir tes bergantung pada responden. lni bermakna pula bahwa apabila

responden yang berkemampuan tinggi merespon butir-butir dengan betul, butir-butir

22 UNC;lIA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38

Page 30: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

itu dianggap mudah, dan demikian sebaliknya. Dengan perkataan lain, apabila tes itu

mudah, responden tampak berkemampuan tinggi; apabila tes itu sukar, responden

tampak berkemampuan rendah (Hambleton,Swaminathan, & Rogers, 1991: 2; Naga,

1992: 158-159). Dengan demikian, statistik butir cenderung berubah atau inkonsisten

bergantung pada ciri kelompok responden. Kelemahan-kelemahan lain adalah bahwa

taraf kesukaran butir dan daya pembeda butir bergantung pada kelompok. lni

bermakna bahwa nilai statistik tersebut bergantung pada kelompok responden di mana

nilai-nilai itu diperoleh (Magnusson, 1967: 209-212; Hambleton, 1989: 147). Oleh

karena itu, apabila sampel responden tidak merefleksikan populasi, statistik butir yang

diperoleh menjadi terbatas kegunaannya. Teori responsi butir (TRB) dengan demikian

menjadi dikenalluas. lni dibuktikan dengan diterapkannya TRB oleh banyak penerbit

tes, departemen pendidikan, dan organisasi profesional (Hambleton & Murray, 1983:

71; Hambleton, 1989: 149).

Setakat ini, TRB mampu menyelesaikan permasalahan desain tes. Pertama,

butir sesungguhnya independen dari responden, dan responden independen dari butir.

lni dinamakan independensi loka!. Independensi lokal juga didefinisikan sebagai skor

komposit butir yang dijawab oleh subpopulasi responden homogen yang independen

(Naga, 1992 di dalam Widiatmoko, 2005: 76). Ini bermakna bahwa respon terhadap

dua butir manapun tidak berkorelasi di dalam subpopulasi responden homogen

berkemampuan 0 (Hulin, Drasgow, & Parsons, 1983: 43). Hambleton, Swaminathan,

& Rogers (1991: 10) menyatakan bahwa apabila ciri yang mempengaruhi performansi

tes itu konstan, respon terhadap pasangan butir secara statistik menjadi independen.

Dengan perkataan lain, hubungan antara respon responden dan butir yang berbeda

tidak berkorelasi. Lord & Novick (1968: 361) dan McDonald (1999: 255)

mengungkapkan bahwa independensi lokal merupakan keadaan di dalam kelompok

responden yang semuanya dicirikan oleh nilai OJ, O2,

distribusi skor butir saling bebas satu dengan lainnya.

Ok yang sarna, yang mana

Kedua, invariansi parameter dipahami sebagai fungsi dari titik tunggal 0 atau

karakteristik butir bi yang tidak berubah manakala subpopulasi berubah. Kemudian, ia

didefinisikan sebagai ciri responden yang tidak berubah manakala butir yang Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif deng"n menggunakan metode Prox dan metode Newton-Raphson di dalam 23 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widiatmoko)

Page 31: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

dipilihnya berubah (Hulin, Drasgow, & Parsons, 1983; Naga, 1992 di dalam

Widiatmoko, 2005: 76). Ia juga bermakna bahwa parameter yang mencirikan satu

butir tidak bergantung pada distribusi ciri responden dan parameter yang mencirikan

responden tidak bergantung pada perangkat tes itu (Hambleton, Swaminathan, &

Rogers, 1991: 18). Apabila invariansi tidak dipenuhi, butir tersebut dianggap keluar

dari nilai parameter sesungguhnya (Wells, Subkovlak, & Serlin, 2002: 77).

Ketiga, unidimensi didefinisikan sebagai kehadiran faktor dominan yang

mempengaruhi performansi tes. Faktor dominan ini sebagai ciri yang diukur oleh tes

(Hambleton, Swaminathan, & Rogers, 1991: 9-10). Unidimensi juga didefinisikan

sebagai butir yang mengukur satu karakteri-stik responden (Traub, 1983: 58; Naga,

1992: 164). Ini bermakna bahwa probabilitas responsi butir merupakan fungsi

karakteristik laten tunggal () suatu responden (Hulin, Drasgow, & Parsons, 1983 di

dalam Widiatmoko, 2005: 77). Karena setiap karakteristik ditentukan oleh satu

keberukuran, keberukuran itu diinterpretasikan sebagai syarat untuk mengukur satu

dimensi ciri laten responden di dalam subpopulasi.

Dengan demikian, independensi lokal, invariansi parameter, dan

unidimensi merupakan karakteristik TRB yang penting yang tidak ditemukan

di dalam teori tes klasik (TTK). Mereka menyelesaikan kemahan-kelemahan

TTK. Berdasarkan pada pertimbangan itu, TRB digunakan untuk memperoleh

kualitas butir yang baik di dalam perangkat tes. Tes bahasa setakat ini

merupakan tes yangdidesain dengan konsep TRB. Ia bertalian dengan TRB

sejak paradigma tes diskrit muneul. Menurutnya, tes diskrit menghasilkan data

yang mudah dikuantifikasi (Weir, 1990: 2). Tes diskrit itu merupakan tes yang

memfokuskan pada satu sudut pandang tatabahasa pada saat tertentu. Masing-

masing butir tes ditujukan pada satu elemen dari komponen tatabahasa seeara

spesifik. Ia menilai satu keterampilan dan satu aspek keterampilan pada suatu

waktu (Oller, 1979: 37). Oleh karena itu, paradigmastrukturalis psikometris

menggugah analisis butir tes bahasa menurut konsep TRB. Umumnya, konsep

24 ltNGUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38

Page 32: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

itu diterapkall di dalam butir-butir TOEFL. Butir-butir itu sampai sekarang

merupakan objek penelitian. Tentu, penelitian itu berimplikasi pada kajian

yang lebih luas yang bertalian dengan pengetesan bahasa.

Hingga kini, diketahui bahwa ada banyak penelitian tes bahasa. Salah

satunya bertalian dengan estimasi parameter butir-responden. Estimasi itu

dilakukan secara simultan maupun marginal. Beberapa metoda estimasi

parameter butir-responden mencakupi kebolehjadian maksimum simultan,

kebolehjadian maksimum marginal, kebolehjadian maksimum kondisional,

Bayesian simultan dan marginal, dengan analisis faktor nonlinear, dan heuristik

(Hambleton, 1989: 166; Naga, 1992: 250; Swaminathan, Hambleton, Sireci,

Xing, & Rizavi, 2003: 29). Estimasi parameter butir-responden secara simultan

menggunakan metoda Prox, sedangkan estimasi parameter responden secara

marginal menggunakan metoda Newton-Raphson. Masalah yang dirumuskan

di dalam penelitian ini adalah 'Apakah parameter yang dihasilkan dari estimasi

dengan metode Prox memiliki kesamaan nilai dengan yang dihasilkan dari

estimasi dengan metode Newton-Raphson (N-R)?', dan 'Apakah kurva

karakteristik tes yang dihasilkan dengan metode Newton-Raphson memenuhi

model logistik satu-parameter (LIP)?' Untuk menjawab hipotesis penelitian,

estimasi secara simultan dengan metode Prox dan estimasi secara marginal

dengan metoda Newton-Raphson (N-R) layak dilakukan.

Tilikan Teoretik

A. Model Logistik

Ada banyak metoda estimasi di dalam TRB. Salah satunya adalah estimasi dengan

data dikotomi. Yang lainnya memerlukan data politomi. Estimasi parameter

diterapkan pada model logistik satu-parameter (LlP), logistik dua-parameter (L2P),

logistik tiga-parameter (L3P), dan logistik empat-parameter (L4P). Estimasi pada

model L4P lebih sukar dibanding dengan estimasi pada model L3P, yang pada model

Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton-Raphson di dalam 25 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widiatmoko)

Page 33: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

L3P lebih sukar dibanding dengan yang pad a model L2P, dan yang pada model L2P

lebih sukar dibanding dengan yang pada model L1P. Dengan demikian, estimasi pada

model L1P paling mudah dilakukan. Model ini secara empirik mudah dijumpai di

dalam beragam tes (Naga, 1992). Apabila dilukiskan, ia merupakan kurva karakteristik

tes yang mencakupi butir-responden sebagai fungsi probabilitas yang menyerupai

huruf S,seperti di bawah ini. ,------I

1.00 I 000

050

o 0.30

0.20

0.10

0,00

Kurva Karakteristik Tes pad a Model L 1 P

Parameter Ciri Laten Responden

Model L1P, L2P, L3P, dan L4P merupakan model ojaif normal. Namun,

model logistik memiliki perbedaan dari model ojaif normal. Model logistik

memerlukan perhitungan matematik yang sederhana, sedangkan model ojaif normal

memerlukan perhitungan matematik yang sangat rumit (Widiatmoko, 2005).

Sebagaimana model ojaif normal, model logistik juga memerlukan parameter

butir-responden. Model L1P memerlukan taraf kesukaran butir hi. Model L2P

memerlukan taraf kesukaran butir hi dan daya pembeda butir ai. Model L3P

memerlukan taraf kesukaran butir bi, day a pembeda butir ai, dan tebakan betul oleh

responden berkemampuan rendah Ci. Model L4P memerlukan taraf kesukaran butir hi,

daya pembeda butir ai, tebakan betul oleh responden berkemampuan rendah Ci, dan

kecerobohan oleh responden berkemampuan tinggi g. Dari empat modellogistik itu,

yang paling sederhana adalah model L1P at au disebut model Rasch. Model ini secara , '·1

rnendasar digambarkan sebagai kurva karakteristik butir. Kurva ini bergantung pada I ", '

jarakantara o dan hi, yang bermakna bahwa parameter butir hi didefinisikan secara :) . -.

,celatif terhadap parameter responden 0 (Anderson, 1983: 197-198). Apabila dituliskan

. '26 LlNGliA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38

Page 34: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

secara matematik, model ini adalah: P (8) = e DC8-

b,) ;, di mana D merupakan

, 1 + e D (8-b,)

konstanta yang bernilai 1,7 dan e merupakan bilangan eksponensial (Hambleton,

1989: 154).

Model LIP secara empirik merupakan model yang menyerupai kurva ojaif

dengan asimptot bawah dan asimptot atas. Asimptot bawah mendekati nilai minus tak

terhingga, dan asimptot atas mendekati nilai plus tak terhingga. lni bermakna bahwa

dalam kondisi tertentu responden berkemampuan rendah berprobabilitas menjawab

butir dengan rendah yang tidak diketahui tingkatannya dan respond en berkemampuan

tinggi berprobabilitas menjawab butir dengan tinggi yang tidak diketahui tingkatannya

di dalam subpopulasi yang homo gen. Tingkatan rendah dan tinggi yang tak terhingga

itu secara praktik dapat diketahui. Ia memiliki rentang -3 hingga +3 (Hulin, et at., 1983: 101) atau dari -4 hingga +4 (Naga, 1992: 224).

B. Estimasi Parameter dengan Metoda Prox

Estimasi parameter merupakan upaya yang dilakukan di dalam TRB untuk mengetahui

karakteristik butir-responden. Tujuannya adalah untuk menentukan nilai ciri

responden e dengan ketepatan memadai dan untuk mengklasifikasikan responden ke

dalam kategori cirinya dengan probabilitas kekeliruan sekecil mungkin (Lord &

Novick, 1968: 405). Estimasi parameter yang paling mudah dilakukan adalah estimasi

pada model LIP dengan metoda Prox yang memerlukan data butir dikotomi. Metode

tersebut mengestimasi parameter kemampuan responden pada ciri responden dan

parameter taraf kesukaran butir pada ciri butir. Estimasi ini diketahui sebagai estimasi

kebolehjadian maksimum simultan. lni bermakna bahwa apabila estimasi dilakukan,

semua nilai parameter ciri responden dan ciri butir dapat diketahui secara simultan

(Naga, 1992: 264).

Pada prinsipnya, metode Prox mengatur taraf kesukaran butir awal bi dan

kemampuan responden awal e. Nilai awal bi dan e didasarkan pada logit gagal dan

logit sukses. Biasanya, nilai awal dinyatakan sebagai simpangan dari rataan logit

sehingga kedua nilai tersebut menjadi bA dan eA. Dengan mengacu pada variansi logit,

Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton-Raphson di dalam 27 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widialmoko)

Page 35: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

metode Prox membentuk faktor perluasan untuk dua parameter, yakni, F(b) dan F(e).

Dengan menggunakan nilai awal bi, nilai awal e, faktor perluasan F(b), dan faktor

perluasan F(e), parameter ciri butir dan ciri responden dapat diestimasi.

Langkah estimasi dengan menggunakan metode Prox adalah sebagai berikut

(Henning, 1987: 118-122). Pertama, responsi dikotomi dengan matriks jawaban betul

dan jawaban salah disusun. Ini dilakukan sedemikian hingga setiap responden at au

butir yang berresponsi jawaban betul semua dan salah semua dihilangkan. Kemudian,

skor responden diurutkan secara vertikal dari yang bernilai terkecil ke yang terbesar

dan proporsi butir jawaban betul diurutkan secara horisontal dari yang bernilai terbesar

ke yang terkecil.

Kedua, kalibrasi taraf kesukaran butir awal bi dihitung. Ini dilakukan dengan

menggunakan nilai logit gagal untuk setiap butir yang mungkin memiliki jawaban

betul. Nilai logit gagal untuk setiap butir dihitung sebagai logaritma natural dari

proporsi jawaban salah dan proporsi jawaban betu!. Ini merupakan acuan untuk

mengkalibrasi taraf kesukaran butir awal hi' Selanjutnya, responden mengerjakan butir

N sehingga rataan dari nilai logit gagal butir-butir itu dihitung. Dengan

mempertimbangkan bahwa butir-butir itu adalah sampel, variansi nilai logit gagal

diperoleh. Untuk menghitung variansi nilai logit gaga!, perlu menghitung jumlah

kuadrat nilai logit gagal dikurangi dengan jumlah butir dikalikan dengan kuadrat

rataan logit gagal di antara butir itu, dan semua dibagi dengan jumlah butir dikurangi

satu. Variansi itu diperlukan untuk perhitungan faktor perluasan. Kalibrasi taraf

kesukaran butir awal hi dimaksudkan untuk menentukan simpangan dari rata an nilai

logit gagal. lni dilakukan terhadap semua butir.

Ketiga, ciri responden awal e dihitung. Perhitungan ini dilakukan dengan

menggunakan nilai logit sukses di samping nilai logit gagal. Nilai logit sukses untuk

setiap responden dihitung sebagai logaritma natural dari proporsi jawaban betul dan

proporsi jawaban salah. lni merupakan referensi untuk menghitung ciri responden

awal e. Kemudian, butir-butir itu dikerjakan oleh responden M sehingga rataan nilai

logit sukses di antara responden itu dihitung. Dengan mempertimbangkan bahwa

responden itu adalah sampel, variansi nilai logit sukses diperoleh. Untuk menghitung

28 UNC;UA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38

Page 36: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

variansi nilai logit sukses, perlu dihitung jumlah kuadrat nilai logit sukses dikurangi

jumlah responden M dan dikalikan dengan kuadrat rataan logit sukses di an tara

responden itu, dan semua dibagi dengan jumlah responden dikurangi satu. Variansi itu

diperlukan untuk perhitungan faktor perluasan. Ciri kemampuim responden awal B

dimaksudkan untuk menentukan simpangan dari rataan nilai logit sukses. lni

dilakukan terhadap semua responden.

Keempat, faktor perluasan untuk butir F(bJ dan nilai bi dihitung. Metode Prox

tidak melakukan siklus estimasi secara berulang. Sebaliknya, ia melakukan estimasi

statistik pada variansi nilai logit gagal dan logit sukses sampel. Faktor untuk estimasi

itu adalah faktor perluasan. Faktor perluasan itu kemudian dikalikan dengan taraf

kesukaran butir awal bi untuk memperoleh estimasi akhir. lni dilakukan terhadap

semua butir.

Kelima, faktor perluasan untuk responden F(B) dan nilai B dihitung. Metode

Prox tidak melakukan siklus estimasi tersebut secara berulang juga. Namun, ia

melakukan estimasi statistik pada variansi nilai logit sukses dan logit gaga I sampel.

Faktor untuk estimasi itu juga merupakan faktor perluasan. Faktor perluasan itu

kemudian dikalikan dengan kemampuan ciri responden awal B untuk memperoleh

estimasi akhir. lni dilakukan terhadap semua responden.

Dengan demikian, baik nilai estimasi kemampuan ciri respond en maupun nilai

estimasi taraf kesukaran butir diketahui secara simultan. Untuk mengetahui apakah

nilai ciri responden-butir itu konsisten, diperlukan perhitungan dengan metoda

estimasi lainnya. Salah satunya adalah dengan metoda Newton-Raphson (N-R).

Metoda ini dikenal sebagai metode estimasi untuk ciri responden di mana nilai taraf

kesukaran butir telah diketahui.

c. Estimasi Parameter dengan Metode Newton-Raphson

Estimasi parameter merupakan bagian esensial di dalam TRB. Estimasi parameter

responden merupakan tujuan pengetesan yang mana tujuan itu tidak dapat dicapai

tanpa menentukan parameter butir-butirnya. Butir-butir yang telah diestimasi akan

disimpan dan secara rutin akan dikenakan kepada respondennya. lni kemudian Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton-Raphson di dalam 29 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widiatmoko)

Page 37: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

meningkatkan derajat pajanan butir-butir itu. Dengan demikian, estimasi parameter

butir menjadi menarik untuk diselidiki (Swami nathan, Hambleton, Sireci, Xing, &

Rizavi, 2003: 27-28).

Setakat ini, parameter butir dan parameter responden berkait-erat dengan

pertimbangan metoda yang digunakan, seperti, estimasi kebolehjadian maksimum di

mana ide sentralnya adalah bahwa estimasi parameter dipilih untuk menyeleksi nilai-

nilai yang menjadikan perangkat data amatan menjadi tampak paling mungkin

berkaitan dengan model yang dipilihnya (Hulin, Drasgow, & Parsons, 1983: 46).

Dalam hal ini, estimasi parameter bert aut-rap at dengan model responsi atau model

karakteristik butir yang dikehendaki. Secara umum apa yang dimiliki model-model

terse but merupakan prosedur sistematik untuk mempertimbangkan dan

mengkuantifikasi probabilitas pola respon responden dan butir tunggal di dalam

keseluruhan pola respon di dalam perangkat data tes (Henning, 1987: 107-108).

Demikian pula, model-model itu cocok untuk data respon butir dikotomi. Di samping

itu, pertimbangan terhadap model yang digunakan melibatkan asumsi-asumsi tentang

data yang diverifikasikan dengan menguji bagaimana model tersebut menjelaskan

hasil tes amatan (Hambleton, Swaminathan, & Rogers, 1991: 12). Apabila model itu

ditentukan, semua perhitungan dilakukan dengan mendasarkan pada model yang

dikehendaki. Untuk menghindari kekeliruan probabilitas di dalam keputusan terhadap

model yang dipilih, persyaratan unidimensi, invariansi, dan independensi lokal mutlak

dipenuhi. Setelah itu, data dikumpulkan. Dengan menggunakan data tersebut,

parameter butir-responden diestimasi. Estimasi dilakukan sedemikian hingga ia

memperoleh hasil yang cocok dengan model yang dikehendaki (Naga, 1992: 175-

176).

Setakat ini model L1P merupakan model yang ban yak digunakan di dalam

TRB. Hulin et at di dalam Crocker & Algina (1986: 355) menyarankan bahwa ukuran

sampel yang jauh lebih kedl diperlukan apabila tujuan utamanya untuk mengestimasi

(). Memang, estimasi parameter sering terjadi di dalam model L1P. Ini bermakna

bahwa taraf kesukaran butir bi dan ciri laten respond en () digunakan. Di samping itu,

30 UNGLIA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38

Page 38: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

model LIP itu sangat direkomendasikan untuk digunakan karena model lain tidak

diketahui apakah mereka mampu mengestimasi butir secara konsisten.

Estimasi ciri laten responden di mana parameter butir diketahui merupakan

estimasi yang sederhana. Estimasi ini menggunakan metoda Newton-Raphson (N-R)

untuk mengestimasi ciri laten responden () secara marginal di mana taraf kesukaran

butir hi diketahui sebelumnya. Di samping itu, metoda tersebut mencari nilai nol pada

perhitungan fungsi maksimum berikutnya (Krass, 2005: 7). Tentu, metoda tersebut

lebih menjanjikan dan akurat di mana esensi estimasi parameter dapat diperoleh

dibandingkan dengan prosedur kebolehjadian maksimum simultan (Swaminathan,

Hambleton, Sireci, Xing, & Rizavi, 2003: 29).

Metode N-R menggunakan persamaan (Naga, 2003: 7):

i [x; - P;(B)] di mana ()s merupakan ciri laten responden; ()s+i merupakan BS+l = Os +

D L P,(B).Q,(B) ,,,,1

ciri laten responden berikutnya; N merupakan jumlah butir tes; Xi merupakan responsi

responden; P;(()) merupakan probabilitas responden dengan ciri () yang menjawab butir

i dengan betul; Q;(()) merupakan probabilitas responden dengan ciri () yang menjawab

butir i dengan salah; dan D merupakan konstanta yang bernilai 1,7.

Estimasi parameter () berlangsung seperti ini. Pertama, responsi responden

pertama diletakkan bertalian dengan jumlah butir dan taraf kesukaran butirnya. Kedua,

ciri responden awal ()s dihitung dengan mempertimbangkan logaritma natural In antara

probabilitas jawaban betul P;(()) dan probabilitas jawaban salah Q;(()). Kemudian,

probabilitas jawaban betul P;(()) dihitung untuk semua butir dengan menggunakan

rumus:

P(8) = eD(B-b,l • di mana e merupakan bilangan eksponensial yang bernilai 2,718. , 1 + eD(B-b,) ,

Selanjutnya, probabilitas jawaban salah dihitung dengan rumus Q;(()) = 1 -

P;(()). Setelah itu, responsi responden Xi dikurangkan dengan probabilitas jawaban

betul P;(()). Jurnlah Xi - P;(()) kemudian dihitung. Lalu, konstanta D, probabilitas

jawaban betul P;(()), dan probabilitas jawaban salah Q;(()) dikalikan. Penjumlahan

Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton·Raphson di dalam 31 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widiatmokoj

Page 39: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

DP;{O)Q;{O) juga dihitung. Untuk memperoleh iterasi ciri responden Oz selanjutnya,

perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus N-R. Jarak antara 00 dan Oz

digunakan utamanya untuk keputusan pada iterasi selanjutnya. Apabila jaraknya sarna

dengan atau lebih kecil dari 0,001, dikatakan cukup untuk mencapai kebolehjadian

maksimum dan kurva menjadi konvergen. Menurut Krass (2005: 7), berkaitan dengan

konvergensi, pencarian nilai nol pada perhitungan fungsi maksimum selanjutnya

menjadi perlu dilakukan. Akhirnya, estimasi 0 dilakukan untuk semua responden.

Metodologi

Dengan menggunakan beberapa syarat asumsi pemenuhan konstruksi butir tes TRB,

penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data subpopulasi taraf kesukaran butir

bi dan subpopulasi responden yang menjawab butir subtes tatabahasa TOEFL.

Subpopulasi itu dilakukan dengan menggunakan penyampelan acak bertujuan yang

memerlukan beberapa langkah. Dengan mempertimbangkan model LIP, hanya 50

responden yang menjawab butir dan 25 butir dengan taraf kesukarannya merupakan

unit analisis penelitian.

Estimasi pertama menggunakan metode Pro x untuk mengestimasi ciri laten

responden-butir secara simultan. Setelah mengetahui ciri laten keduanya, dilanjutkan

dengan menentukan kecocokkan nilai estimasi dengan model LIP. Kemudian,

estimasi dilakukan dengan menggunakan metode N-R. Estimasi ini dilakukan hanya

terhadap ciri responden dengan mengetahui ciri butirnya yang diperoleh dengan

metode Prox secara simultan tersebut. Nilai estimasi pada ciri responden akan

diketahui kemudian. Dengan mengacu pad a model LIP, nilai estimasi dari metode N-

R dicocokkan dengan nilai estimasi dengan menggunakan metode Prox, dan kemudian

dicocokkan dengan model LIP.

Analisis

Analisis utama yang dilakukan adalah estimasi parameter butir-responden dengan

metode Prox. Metode ini memerlukan beberapa langkah. Pertama, matriks responsi

betul dan salah disusun. lni dilakukan sedemikian hingga setiap responden atau butir

32 UNC;UA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38

Page 40: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

yang memiliki responsi semua betul dan semua salah dihilangkan. Kemudian, skor

responden diurutkan secara vertikal dari yang terkecil ke yang terbesar dan proporsi

butir yang dijawab betul oleh responden diurutkan dari yang terbesar ke yang terkecil.

Selanjutnya, kalibrasi taraf kesukaran butir awal bi dihitung. Penghitungan ini

menggunakan nilai logit gagal (LGi) sebagai acuan untuk mengkalibrasi nilai awal

parameter taraf kesukaran butir bi dengan menggunakan rumus: LGi = In Q (B) ; di P (B)

mana Q(B) = probabilitas jawaban salah, P(B) = probabilitas jawaban betul.

Kemudian, responden mengerjakan sejumlah N butir sehingga rataan nilai

logit gagal di antara butir-butir itu diperoleh. Variansi nilai logit gagal (S2W) diperoleh

dengan menggunakan rumus: 2 1 . ., 'l ' di mana N = S LG = -- (LGI ) - - N J-I - LG N - 1 J-l

jumlah butir, !1w = rataan nilai logit gaga!.

Taraf kesukaran butir awal bi dimaksudkan untuk memutuskan simpangan

dari rataan nilai logit gagal. Ini dilakukan terhadap semua butir. Selanjutnya, ciri

responden awal B dihitung. Ini dilakukan dengan menggunakan nilai logit sukses (LS)

sebagai acuan dengan rumus: LS' = In P (8) Q (8)

lumlah butir yang dijawab oleh M responden dihitung untuk mencari rataan

nilai logit sukses di antara responden. Kemudian, variansi nilai logit sukses diperoleh

dengan menggunakan rumus:

2 1 [ ) 2 _ M J.l 2 L." ] , di mana M = j umlah responden, /lLS S LS = -- (LSj , M - 1 ,.1

= rataan nilai logit sukses. Nilai parameter ciri responden B ditentukan sebagai

simpangan dari rataan logit sukses. Ini dilakukan terhadap semua responden.

Kemudian, faktor perluasan ciri butir F(bJ dan nilai bi dihitung dengan rumus:

Estimasi parameter taraf kesukaran butir bi dapat diperoleh dengan

mengalikan nilai parameter taraf kesukaran butir awal dengan nilai faktor perluasan

Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton-Raphson di dalam 33 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widiatmoko)

Page 41: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

taraf kesukaran butir yang telah dipcroleh. -Ini dilakukan terhadap semua butir. Dan,

faktor ekspansi ciri responden F(()) dan nilai () dihitung dengan rumus:

F (8 ) -

Akhirnya, estimasi parameter ciri responden () diperoleh dengan cara

mengalikan nilai awal ciri responden dengan nilai faktor perluasan ciri responden ()

yang telah diperoleh. Ini dilakukan terhadap semua responden. Dengan demikian, dari

nilai estimasi () dan b, dapat dikatakan kurva karakteristik butir memiliki rentangan

sebagaimana pada model LIP, meskipun tingkat konvergensinya masih sangat lemah.

Berdasarkan pada hasil analisis pertama dengan metoda Prox, diperoleh nilai

estimasi ciri butir dan ciri responden secara simultan. Untuk mengetahui apakah nilai

ciri responden memiliki keakuratan dengan model LIP, periu dianalisis dengan

menggunakan metoda N-R.

Dari hasil estimasi, ciri laten responden () yang dihasilkan memiliki rentangan

dari -0.79463 hingga 2.01656. Sebagaimana diketahui, agar estimasi parameter

memiliki kecenderungan konvergensi kurva, ia memerlukan iterasi berulang. Estimasi

tidak terjadi pada estimasi yang pertama. Namun demikian, estimasi pada iterasi kedua

mencakupi 35 responden yakni responden bernomor 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,

14,15,16,17,18,19,20,21,23,24,25,26,28, 31,32,34,35, 36,39,41,46,47,48,

dan 50. Sedangkan estimasi pad a iterasi yang ketiga mencakupi 15 responden yakni

responden bernomor 1, 4, 22, 27, 29, 30, 33, 37, 38, 40, 42, 43, 44, 45, dan 49.

Estimasi dengan metoda N-R tersebut dapat ditampilkan dalam bentuk kurva

karakteristik tes sebagai berikut:

34 UNGUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38

Page 42: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

I I

Penutup

A. Simpulan

Kurva Karakteristik Tea Model L-W P

Berdasarkan pada estimasi parameter butir-responden dengan menggunakan metode

Prox, dapat disimpulkan nilai estimasi pada model LlP belum sepenuhnya memenuhi

konvergensi kurva karakteristik tes. Ini boleh jadi disebabkan oleh beberapa alasan,

seperti, kecilnya jumlah responden, model yang dipilih, panjang tes, dan sebagainya.

Nilai estimasi parameter butir-responden dengan menggunakan metode Pro x

kemudian digunakan lagi. Namun, hanya nilai estimasi parameter taraf kesukaran butir

pada model LlP yang digunakan untuk mengestimasi nilai parameter responden.

Estimasi nilai parameter responden dengan mengetahui nilai parameter butirnya

disebut sebagai metode estimasi dengan metoda N-R. Metode ini tentunya

menghendaki estimasi secara marginal. Hasilnya disimpulkan sebagai nilai estimasi

yang juga belum memenuhi konvergensi kurva karakteristik tes. Di samping itu, hasil

estimasi itu juga memiliki nilai yang sedikit berbeda dengan yang dihasilkan dari

estimasi dengan metode Prox.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk memenuhi syarat

konvergensi, estimasi parameter memerlukan data butir dan responden dalam jumlah

besar.

Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton-Raphson di dalam 35 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widiatmoko)

Page 43: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

B. Rekomendasi

Sangat direkomendasikan kepada para peminat dan pegiat bahasa untuk

mempertimbangkan konsep TRB dalam pengukuran, tes, evaluasi, dan penilaian

bahasa dengan mempertimbangkan karakteristik butir dan karakteristik respondennya.

Sebagaimana diketahui, konsep TRB yang digunakan di dalam tes bahasa mencakupi

penerapan konsep di dalam konstruksi butir TOEFL, TOEIC, dan sebagainya. Dengan

demikian, untuk menentukan lulus-gagal, berhasil tidak berhasil, dan sebagainya di

dalam evaluasi pembelajaran bahasa Inggris khususnya diperlukan dasar pijakan yang

tepat. Satu di an tara pijakan itu adalah konstruksi alat ukur tes dengan butir-butirnya.

Butir-butir tes mesti memiliki karakteristik tertentu yang telah dikenakan kepada

responden dalam jumlah besar. Dengan demikian, apabila digunakan oleh penguji,

butir-butir itu memiliki kemampuan untuk mengukur apa yang hendak diukur.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E.B. Helmick. (1983). Analysing data using the Rasch model. Di dalam

Scarvia B.A. & John S.H. (Ed.). On educational testing. San Francisco,

California: Jossey-Bass.

Cotterall, S. & Reinders, H. (2004). Learner strategies: A guide for teachers.

Singapura: SEAMEO RELC.

Crocker, L. & Algina, J. (1986). Introduction to classical and modern test theory.

Florida: Holt, Rinehart and Winston.

Finney, D. (2002). The ELT curriculum: A flexible model for a changing world. Di

dalam Jack c.R. & Willy A.R. (Ed.). Methodology in language teaching: An

anthology of current practice, (hh. 69-79). Cambridge: CUP.

Hambleton, R.K. & Muray, L.N. (1983). Some goodness of fit investigations for item

response models. Di dalam R.K. Hambleton (Ed.). Applications of item

response theory (hh. 71-94). Vancouver, B.c.: Educational Research Institute

of British Institute.

36 UNCjUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 21-38

Page 44: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Hambleton, R.K. (1989). Principles and selected applications of item response theory.

Di dalam R.L. Linn (Ed.). Educational measurement (hh. 147-200). New

York: American Council on Education and Macmillan Publishing.

Hambleton, R.K., Swami nathan, H., & Rogers, H.J. (1991). Fundamentals of item

response theory. Newbury Park, California: Sage Publications.

Henning, G. (1987). A guide to language testing: Development, evaluation, research.

Cambridge, Massachusetts: Newbury House Publishers.

Hulin, e.L., Drasgow, F., & Parsons, e.K. (1983). Item response theory: Application

to psychological measurement. Homewood, Illinois: Dow Jones-Irwin.

Krass, LA. (2005). Application of direct optimization for item calibration in

computerised adaptive testing (hh. 1-45). Tersedia:

http://www.psych.umn.edu/psylabs/CATCentral/PDF Files/ KR98-01.pdf.

Lord, F.M. & Novick, M.R. (1968). Statistical theories of mental test scores. Canada:

Addison-Wesley Publishing Company.

Magnusson, D. (1967). Test theory. Don Mills, Ontario: Addison-Wesley.

McDonald, R.P. (1999). Test theory: .4. unified treatment. New Jersey: Lawrence

Erlbaum Associates.

Naga, D.S. (1992). Pengantar teori sekor pada pengukuran pendidikan. Jakarta:

Gunadarma.

Naga, D.S. (2003). Teori responsi butir: Estimasi parameter secara terpisah. Kertas

kerja yang dibentangkan di dalam kuliah psikometrika. Program Doktor

Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, UNJ.

Oller, J.W. (1979). Language tests at school. London: Longman Group.

Richards, J.e. (2001). Curriculum development in language teaching. Cambridge:

CUP.

Richards, J .C. (2002). Planning aims and objectives in language programs.

Singapura: SEAMEO RELe.

Setiadi, H. (1999). Kegunaan dan keunggulan mendesain perangkat tes dengan

menggunakan konsep IRT. Wawasan, Januari, 3-9.

Estimasi Parameter Responden: Analisis Komparatif dengan menggunakan metode Prox dan metode Newton·Raphson di dalam 37 Subtes Tata Bahasa TOEFL (Widialmoko)

Page 45: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Swaminathan, H., Hambleton, R.K., Sireci, S.G., Xing, D., & Rizavi, S.M. (2003).

Small sample estimation in dichotomous item response models: Effect of

priors based on judgmental information on the accuracy of item parameter

estimates. Applied Psychological Measurement, 27(1), 27-51.

Traub, RE. (1983). A priori considerations in choosing an item response model. Di

dalam RK. Hambleton (Ed.). Applications of item response theory (hh. 57-

70). Vancouver, B.c.: Educational Research Institute of British Institute.

Weir, CJ. (1990). Communicative language testing. Hertfordshire: Prentice Hall

International (UK).

Wells, C.S., Subkovlak, MJ., Serlin, RC. (2002). The effect of item parameter drift

on examinee ability estimates. Applied Psychological Measurement, 26(1),

77-87.

Widiatmoko. (2004). Language assessment. Jakarta: PPPG Bahasa.

Widiatmoko. (2005). Joint maximum likelihood estimates on items-examinees using

the prox method: A study on the reading subtest of TOEFL. Indonesian lELT,

1 (1), 73-90.

Ying, B.P. (2005). Testing and evaluation in second language teaching. Makalah yang

disajikan di dalam kursus MTCP. Institut Perguruan Bahasa-bahasa

Antarabangsa, Kuala Lumpur, 5-30 September.

***

38 UNC;lIA VoL 6 No.1, Maret 2007 21-38

Page 46: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

TINJAUAN TERHADAP SERAT DEWA BUDA: NASKAH SUNDA YANG BERBAHASA JA WA KUNA

Agus Aris Munandar Departemen Arkeologi FIB UI

Abstrak Serat Dewabuda (SDB) merupakan salah satu naskah karya sastra masyarakat Sunda

Kuna, yang digubah dalam bahasa Jawa Kuna. Atas dasar itulah maka naskah tersebut menjadi bahan kajian yang menarik.

Dalam kolofon naskah diuraikan bahwa SDB selesai digubah pada 1357 Saka (1435 M. Adapun tempat penulisannya diperkirakan di suatu tempat yang terletak di lembah yang bemama Argasela, di tepian Sungai Mulutu. Lokasi tersebut berada di antara dua gunung, yaitu an tara Gunung Cupu dan Gunung Rantay, serta Bukit Talagacandana. Telaah yang dilakukan terhadap isi naskah temyata menguraikan ajaran keagamaan Sunda Kuna. Walaupun ditulis dalam bahasa Jawa Kuna, isinya tetap menjabarkan ajaran religi masyarakat Sunda Kuna. Bahasa Jawa Kuna dalam hal ini hanya menjadi pengantar yang dianggap lebih berwibawa dalam uraian naskah yang bersifat keagamaan.

Abstract Serat Dewabuda (SDB) is one of Sundanese ancient literatures. Written in old

Javanese writing makes SDB more interesting to be analyzed. In the script, it is stated that SDB was written in 1357 Saka (1435M). It was

accomplished in a valley called ArgaseLa, the bay of Manuhutu river. It is located between two mountains; Cupu and Rantay and TaLagacandana hiLL. The analysis of the script explains that it teaches Sun danese old religion. Although written in old Javanese writing, it teaches Sundanese ancient religion. The language is considered appropriate for such religious script.

Key words: ancient, literatures, script, religion, writing

Naskah Serat Dewabuda (SDB) atau dengan nama lain Serat

Sewakadarma telah dialihaksarakan dan diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia oleh Ayatrohaedi pada tahun 1988. Naskah terse but disimpan di

Bagian Naskah, Museum Nasional, Jakarta, sebagai salah satu koleksi naskah

kuna yang diwariskan oleh J.L.A. Brandes kepada Koninklijk Bataviaasch

Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang sekarang menjelma

menjadi Lembaga Museum Nasional Jakarta.

Tinjauan terhadap Sera! Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna (Agus Aris Muuandar) 39

Page 47: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Naskah koleksi Brandes cukup beragam isinya, salah satunya yang

menarik perhatian adalah naskah SDB at au serat Sewakadarma yang diberi

nomor Br. 638. Sebagaimana diketahui bahwa naskah dengan judul serat

Sewakadarma cukup banyak dan ditulis dalam bahasa Jawa kuna. Naskah-

naskah tersebut dikoleksi baik di Museum Nasional Jakarta ataupun juga di

Negeri Belanda (Ayatrohaedi 1988: 2). Dengan demikian, serat Sewakadarma

merupakan benda yang sangat digemari oleh masyarakat pada masanya.

Menurut Ayatrohaedi sambutan masyarakat yang baik terhadap serta

Sewakadarma sangat mungkin disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:,

(1) Isinya secara langsung berkenaan dengan kehidupan masyarakat

(2) Penguasa menganggap bahwa naskah itu sangat penting diketahui

masyarakat sehingga harus banyak ditulis, dan

(3) Para penulisnya sendiri yang menganggap bahwa isi naskah itu harus

disebarluaskan kepada masyarakat (Ayatrohaedi,1988: 3).

Dengan demikian, banyaknya naskah yang berjudul Sewakadarma

berarti banyak minat masyarakat masa itu untuk mempelajarinya. Hal yang

menarik adalah isi dari naskah Sewakadarma yang telah dialihakasarakan dan

diterjemahkan oleh Saleh Danasasmita dan kawan-kawan (1987), ternyata

berbeda dengan SDB atau serat Sewakadarma yang menjadi kajian ini. Uraian

SDB yang menjadi kajian ini jauh lebih panjang, dan sukar untuk dipahami

isinya secara langsung walaupun temanya hampir sarna, yaitu perihal upaya

pertemuan langsung dengan Sang Pencipta.

Kajian ini menggunakan hasil karya Ayatrohaedi yang telah

mengalihaksarakan dan menerjemahkan isi naskah SDB ke dalam bahasa

Indonesia (1988). Hasil terjemahan yang dilakukan oleh Ayatrohaedi tetap

akan diikuti dan menjadi sumber kajian ini. Kajian ini pun hanya membatasi

diri pada konsep adikodrati yang disebut-sebut dalam SDB. Walaupun ada

40 UNG\JA Vol. 6 No.1, Maret 2007 39-56

Page 48: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

keinginan untuk memperbincangkan beberapa istilah yang sengaja tidak

diterjemahkan oleh Ayatrohaedi merupakan konsep keagamaan, keinginan itu

ditangguhkan terlebih dahulu, hal itu harus dilakukan dengan seksama dan

memerlukan perbandingan sumber tertulis (karya sastra) sezaman yang lebih

luaslagi.

Dalam kolofon naskah diuraikan bahwa SDB selesai digubah pada

tahun 1357 Saka (1435 M). Adapun tempat penulisannya diperkirakan di suatu

pertapaan yang terletak di lembah yang bernama Argasela, di tepian Sungai

Mulutu. Lokasi tersebut berada di antara dua gunung, yaitu Gunung Cupu dan

Gunung Rantay serta bukit yang bernama Talagacandana. Ayatrohaedi

menyatakan bahwa semua nama tempat itu mengingatkan orang kepada

wilayah di Priangan Timur sebagai salah satu tempat sciptorium pad a zaman

Sunda Kuna (Ayatrohaedi, 1988: 5). Naskah-naskah sezaman dalam bahasa

Jawa Kuna yang dipergunakan sebagai pembanding dalam kajian ini antara lain

adalah Tantu Panggelaran (Pigeaud, 1924), Korawasrama (Swellengrebel,

1936), Nirarthaprakerta (Poerbatjaraka, 1975), dan serat Sewakadarma yang

telah diterbitkan (Danasamita, 1987). Semua naskah itu digubah dalam periode

yang hampir sarna, yaitu sekitar akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 M. Oleh

karena itu, diharapkan diperoleh pemahaman yang jauh lebih perihal SDB.

Tinjauan isi naskah yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah untuk

menelisik bentuk ajaran keagamaan yang diutarakan, beberapa nilai yang

sangat mungkin terkandung di dalamnya, dan hal-hal lainnya yang dirasa

penting untuk diperbincangkan. Suatu kenyataan yang menarik bahwa SDB

tersebut dituliskan dalam bahasa Jawa Kuna, bukannya dalam bahasa Sunda

Kuna walaupun diperkirakan temp at penulisannya berada di Tatar Sunda.

Kenyataan tersebut tidak mungkin untuk diabaikan begitu saja. Oleh karena itu,

Tinjauan lerhadap Seral Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 41

Page 49: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

dalam kajian ini diupayakan untuk didiskusikafi dengan dukungan data yang

tersedia.

Apabila diperhatikan isinya, SDB mengandung banyak nilai yang

disaput dengan ajaran keagamaan yang penuh metafora. Memang secara

keseluruhan kandungan nilai keagamaan lebih kentara daripada nilai-nilai

lainnya. Dibandingkan dengan kitab-kitab keagamaan yang digubah oleh para

Brahmana Sunda Kuna lainnya, uraian SDB sangat sukar untuk dHkuti, batas-

Hap konsep yang diperbincangkan sukar untuk diidentifikasikan, dan

tentu saja sukar pula ditafsirkan isinya.

SDB digubah dalam 129 lempir daun nipah recto-verso (bolak-balik),

225 halaman karena lempir pertama hanya ditulisi satu sisinya, satu lempir

sebelum terakhir hanya ditulisi satu sisi, dan lempir terakhir masih kosong.

Aksara yang digunakan Jawa Kuna dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna

pula, dan hanya ditemukan 40 patah kata Sunda yang terselip di dalam

uraiannya. Dapat dikatakan bahwa uraian SDB sepenuhnya memperlihatkan

pengaruh budaya Jawa Kuna terhadap kehidupan masyarakat Sunda masa itu

(Ayatrohaedi 1988:4 dan 6).

Dalam khasanah naskah keagaamaan Jawa Kuna dikenal adanya kitab

Nirarthaprakreta (1459 M) yang digubah oleh Danghyang Nirartha. Menurut

R.M.Ng.Poerbatjaraka isi Nirarthaprakreta adalah perihal "ilmu tua", yaitu

ajaran yang digemari oleh para orang tua yang sudah menjauhkan diri dari

dunia ramai, dan mendekat ke alam-Nya. Jadi, berisikan ajaran yang pelik dan

bersifat filosofis (Poerbatjaraka 1975: 73-75). Akan halnya uraian SDB

sebenarnya kurang lebih sama dengan isi Nirarthaprakreta, yaitu tentang

"ilmu tua" , tetapi uraiannya cukup njlimet sehingga harus dicermati secara

baik. Metafora-metafora yang diungkapkan dalam SDB sebenarnya

menggunakan benda-benda yang dikenal sehari-hari, bagian tubuh, pancaindra,

42 LINGUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 39-56

Page 50: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

hewan, tumbuhan, dan lain-lain yang telah dikenal secara umum, tetapi makna

yang dimaksudkan dalam ungkapan tersebut sangat sukar dimengerti.

Secara umum dewata yang diseru di dalam SDB adalah dewa-dewa

Hindu-saiva, dan hanya sedikit nuansa agama Buddhanya. Kalaupun

disebutkan Buddha, umumnya disebutkan bersama menjadi Siva-Buddha.

Pengertian Siva-Buddha sudah tentu berbeda dengan konsep Buddha karena

konsep Siva-Buddha mempunyai pengertiannya sendiri dan dikenal sejak

zaman Singhasari dan Majapahit (abad ke-13-15 M). Dalam uraian naskah ini

pun tidak dijumpai adanya pemerian tentang ciri ikonografi dari area dewa

tertentu baik yang bersifat Hindu-saiva ataupun bauddha. Tidak ada juga

narasi tentang kisah mitologi yang berkenaan tentang tokoh dewa, penciptaan

alam, ataupun simbol keagaamaan lainnya. Dengan demikian, pemaparannya

cukup berbeda apabila dibandingkan dengan isi kitab Tantu Panggelaran

(Pigeaud, 1924). SDB juga tidak dibingkai dalam suatu kisah tertentu atau

mengandung fragmen-fragmen cerita yang menguraikan ajaran tentang kebajikan atau pendidikan lainya. Uraian SDB sejak awal hingga akhir terus

menerus memperbincangkan tentang upaya manusia untuk dapat bersatu

dengan penciptanya, sungguh merupakan uraian yang bersifat tataran tinggi

dan memerlukan pemahaman yang tinggi pula.

SDB dimulai dengan informasi tentang pendeta agung yang tinggi

ilmunya bemama Siddhayogiswara. Tokoh tersebut sedang mengajar muridnya

mungkin para putra raja atau calon-calon pendeta perihal berbagai ajaran

keagamaan, terutama tentang konsep, simbol, dan upaya untuk dapat bersatu

dengan dewa tertinggi yang menjadi tujuan abadi manusia. Seluruh uraian isi

SDB sebenamya dapat disebut sebagai ucapan sang Siddhayogiswara yang

ditujukan kepada muridnya, ucapan tersebut kemudian ditulis maka jadilah

naskah yang kemudian disebut Serat Dewabuda. Oleh karena itu, mengapa

Tinjauan terhadap Seral Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna (Agus Ads Munandar) 43

Page 51: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

merhbaca dan memahami isi SDB sangat sukar, banyak pengulangan tema,

pengulangan kata, dan tema. Terdapat pula bagian yang diuraikan secara rinci,

tetapi ada pula konsep-konsep yang tidak at au belum dijelaskan apa artinya.

Dengan demikian, SDB seakan-akan bentuk rekaman tulisan hasil wawancara

langsung dengan sang Siddhayogiswara "yang masih asli dan belum

disunting" .

Ajaran dari Sang Siddhayogiswara tersebut dapat disebarluaskan di

berbagai negara seperti Keling, Cina, Prasola, Meta, Kedah, Malayu,

Tanjungpura, Byalapura, Markaman, Hulumando, Buwun, Gurun, dan Bandan

(SDB. 3r: 1-2). Daerah-daerah tersebut sebagian besar disebutkan juga dalam

kakawin Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca (1365 M).

Selain dunia manusia dalam SDB juga diuraikan adanya alam bawah

yang jumlahnya tujuh disebut Saptatala, yaitu Patala, Nangtala, Sutala, Atala,

Mahatala, Talaningtala, dan Talantala. Saptatala itu [terletak] di bawah

dunia (Buwana) temp at tinggal manusia. Adapun surga jumlahnya ada tujuh

susun pula, adalah Buhloka, Swahloka,lanahloka, Tapaloka, Satyaloka, dan

Rahaloka, dinamakan dengan Saptaswarga yang letaknya di atas Buwana

(SDB 5r: 2-4, dan 5v: 1).

Hal yang menarik dalam SDB disebutkan pula adanya alam lain di atas

Saptaswarga, yaitu Sunya, Paramasunya, Atyantasunya, Nirmalasunya,

Sunammasunya, dan Acintyasunya. (SDB 5v: 1-2). Kiranya kelompok alam

ini dianggap lebih tinggi dari Saptaswarga, apabila alam loka-loka tersebut

konsepnya berasal dari Hinduisme, maka alam sunyata ini jelas berasal dari

ajaran Buddha. Dengan kat a lain, ada anggapan bahwa hakikat tujuan akhir

dari Buddhisme lebih tinggi dari surganya orang Hindu. Hal yang lebih

menarik adalah di atas lapisan-lapisan sunya ternyata terdapat pula lapisan lain

dinamakan Taya, yaitu Taya, Paramataya, Atyantataya, Nirmalataya,

44 UNGlJA Vol. 6 No.1, Maret 2007 39-56

Page 52: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Sunammataya, dan Acintyataya, serta lapisan paling at as terdapat

Abhyantarataya. Di alam ini tiada terlihat cahaya bintang, bulan, matahari,dan

suar semua makhluk manusia, karena semua itu tidaklah sampai ke sana (SDB

5v: 2-4).

Gambaran tersebut jelas tidak pernah dikenal baik dalam ajaran

Hinduisme ataupun Buddhisme, hanya merupakan uraian alam yang lebih

tinggi lagi dari konstrak supernaturalnya Hindu ataupun Buddha. Mengenai

adanya alam Taya tersebut agaknya sejalan dengan konsep Sanghyang Taya

yang disebutkan dalam kitab Korawasrama (Swellengrebel 1936). Memang

dalam SDB Sanghyang Taya tidak pernah disebutkan, tetapi penyusun SDB

tersebut pasti mengenal adanya konstrak yang dinamakan Sang Hyang Taya,

karena itu alam Taya disebutkan dalam SDB. Hal lain yang dapat ditafsirkan

adalah bahwa kedudukan Sanghyang Taya tentunya lebih tinggi daripada

dewata Hindu ataupun Buddha karen a itu alam persemayamannya diungkapkan

pada kedudukan yang paling tinggi dari alam swarganya Hindu-saiva ataupun

sunyatanya bauddha.

Mengenai Sanghyang Taya ini Poerbatjaraka menyatakan sebagai

berikut. "Adapula sebuah tjiri jang dengan jelas membuktikan, bahwa kitab

Korawasrama itu lebih muda dari pada kitab Tantu Panggelaran, jaitu dalam

kitab Korawasrama menjebutkan sang hiang Taja yang ditempatkan diatas [sic]

sang hiang Parameswara (batara Guru). Taja itu perkataan Djawa asli, artinja:

tidak ada; dalam bahasa Sunda teu aja, jakni nama untuk menundjukkan Tuhan

orang Djawa tulen. Seperti djuga halnja dengan sebutan-sebutan sang hiang

Wenang, sang hiang Tunggal. Kedua-duanja kata Djawa asli jang sudah terang

artinja, lagi pula tepat sekali untuk menjebut Jang Kuasa" (Poerbatjaraka 1957:

68-9).

Tinjauan terhadap Serat Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 45

Page 53: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Dalum hal ini Sanghyang Taya agaknya dikenal meluas sebagai konsep

adikodrati tertinggi pada masa itu sebab dikenal baik dalam karya sastra yang

dihasilkan dalam lingkungan masyarakat Jawa Kuna maupun Sunda Kuna. Hal

lain yang dapat ditafsirkan bahwa pada babakan terakhir periode Hindu-

Buddha di Jawa hubungan antara agamawan Sunda Kuna dan Jawa Kuna

agaknya cukup dekat. Bahkan sangat mungkin banyak orang Sunda Kuna yang

pergi mengembara ke wilayah "Jawa", mungkin tlatah kerajaan Majapahit

pada waktu itu yang berpusatkan di wilayah Jawa bagian timur. Keadaan itu

diungkapkan dalam kitab Sang Hyang Siksakanda ng Karesian sebagai

berikut. "Demikianlah umpamanya kita pergi ke Jawa, tidak mengikuti bahasa

adatnya, termangu-mangu perasaan kita. Setelah kita kembali ke Sunda, tidak

dapat berbicara bahasa Jawa, seperti yang bukan pulang dari rantau. Percuma

jerih payahnya sebab tidak bisa berbicara bahasanya" (Danasasmita dkk. 1987:

111). Apabila memperhatikan ungkapan tersebut tidaklah mengherankan

apabila terdapat naskah yang disusun oleh kaum agamawan Sunda Kuna tetapi

dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna seperti halnya SDB yang menjadi

bahan kajian ini. Dalam naskah Bujangga Manik yang berbahasa Sunda Kuna

diuraikan pengembaraan Bujangga Manik keliling Pulau Jawa pada akhir abad

ke-15 M. Bujangga Manik beranjak dari ibu kota Pakuan (Pakwan) melewati

wilayah utara Jawa bagian barat, menyusuri pantai utara Jawa Tengah, Jawa

Timur, hingga ke ujung Jawa bagian timur. Kemudian ia kembali lagi ke Sunda

melalui wilayah selatan Pulau Jawa. Dalam lawatannya itu ia sengaja

berkunjung ke tempat-tempat suci keagamaan (rabut) yang terletak di wilayah

Jawa bagian timur tatar Sunda (Noorduyn 1982: 420-37). Maksud kunjungan

Bujangga Manik ke berbagai rabut itu mungkin dalam rangka penyusunan

naskah keagamaan. Ia perlu membaca dan menyalin beberapa naskah agama

yang tersimpan di berbagai tempat suci dan tempat-tempat kaum agamawan

46 UNCjt/A Vol. 6 No.1, Maret 2007 39-56

Page 54: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

bermukim, pertapaan, mandala, karsyan yang masih ada waktu itu. Dalam abad

ke-15 Masehi kegiatan keagamaan Hindu-Buddha di Jawa Tengah dan Jawa

Timur sangat mungkin masih tetap berlanjut di beberapa tempat, hal itulah

yang tetap menjadi perhatian bagi kaum agamawan Sunda Kuna (Munandar

1993/1994: 153).

J.Noorduyn, setelah la mempelajari naskah Bujangga Manik,

menyatakan,

"Religious life continued in its old established way over practically the entire

island, and the centers of religious learning in central and eastern Java were

still able to attract attention from outlying regions such us the Sundanese one"

(Noorduyn 1982: 439).

Dengan demikian, pengaruh ajaran agama Hindu-Buddha dari wilayah

kebudayaan Jawa Kuna dapat saja meresap ke dalam kebudayaan Sunda Kuna.

Apabila ada karya sastra Sunda Kuna yang menyebut-nyebut konstrak tentang

kekuatan adikodrati tertinggi, contohnya Sanghyang Taya, bukanlah hal yang

mengherankan lagi. Karya-karya sastra Sunda Kuna itu uraiannya tidak mirip

benar dengan karya sastra Jawa Kuna, isinya tetap khas kebudayaan Sunda

Kuna walaupun ada yang diuraikan dalam bahasa Jawa Kuna seperti halnya

SDB. kitab-kitab keagamaan Sunda Kuna antara lain tidak ada

pemaparan tentang mHos dewa-dewa Hindu-Buddha atau mitos lainnya. Kitab

Tantu Panggelaran yang digubah oleh kalangan kaum agamawan yang tinggal

di mandala pun tetap mencantumkan mitos-mitos, antara lain mitos ten tang

asal mula adanya manusia di Tanah J awa, mitos asal mula beberapa gunung,

mitos terjadinya gerhana, dan mitos tentang terjadinya beberapa tanaman.

Adapun SDB tidak menyebutkan sedikit juga perihal mitos tentang terjadinya

sesuatu benda, tanaman, atau fenomena geografis lainnya.

Tinjauan terhadap Serat Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 47

Page 55: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Hingga sejauh ini juga tidak pernah dijumpai adanya naskah Sunda

Kuna yang berisikan saduran atau eerita rekaan yang induknya berasal dari

wiracarita India, sebagaimana yang dikenal dalam karya-karya sus astra Jawa

Kuna. Dalam uraian naskah Sunda Kuna pun tidak pernah ada pemerian

tentang perwujudan tokoh dewa yang dapat dijadikan bahan kajian ikonografi

perihal area-area dewa. Dalam pada itu sejumlah besar karya sastra Jawa Kuna

data ikonografis tersebut dapat dijumpai dalam uraian-uraiannya, antara lain

dalam Brahmandapurana, Adiparwa, Udyogaparwa, Agastyaparwa, Tantu

Panggeiaran, dan Korawasrama (Sedyawati, 1980: 116-128). Dengan

memperhatikan kekhasan tersebut agaknya para pujangga Sunda Kuna lebih

menekankan pada materi utama keagamaan, yaitu hakikat dari kekuatan

adikodrati yang hams direngkuh oleh manusia. Bumbu-bumbu eerita yang

mempakan penyedap bagi para pembaea agaknya sengaja diabaikan, karena

memang dianggap tidak penting.

Keunikan SDB lainnya adalah menyatakan dengan jelas bahwa

Sanghyang (Taya) kedudukannya jauh lebih tinggi dari pada panteon Dewa

Hindu ataupun Buddha. SDB 26v : 1-2 menyatakan sebagai berikut.

1. " ... sanghyang tidak tergantung, siwa buddha tidak diajarkan, batara .

batari tidak dinamai, sunyata tidak diunggulkan. tidak ada

2. gelar puja, tidak dikaji yang sempa dengan teratai besar itu. tidak ada

semuanya itu sebelumnya, hingga pad a nafas, ujar, dan tujuan sampai

berjumpa dengan kearifan" (Ayatrohaedi 1988: 163).

Demikianlah bahwa Sanghyang Taya lebih dirincikan lagi dalam SDB

bahwa pada akhirnya dapat ditafsirkan bahwa sanghyang tertinggi itu adalah

kearifan yang mestinya hams dieapai dan dimiliki oleh setiap manusia.

48 UNCUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 39-56

Page 56: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Dalam SDB juga dinyatakan perihal udara yang terdapat dalam tubuh

manusia dinamakan dengan Panca Paramarta. SDB 38v: 1--4 dan 39r: 1

merinci nama-nama udara yang keluar dari tubuh manusia sebagai berikut.

38v.

1) " ... panca paramarta, lima semuanya tetapi menyatu dalam udara;

pintunya ada lima, dinamakan pancabayu: prana, apana, samana,

2) udana, dan byana. prana adalah udara yang keluar dari mulut, hiduplah

namanya. apana adalah udara yang keluar dari dubur,

3) hiduplah namanya. samana adalah udara yang keluar dari rambut,

hiduplah namanya; bersaudara dengan keringat, kabut, dan asap

4) pada tubuh, tidak hiduplah namanya. udana adalah udara yang keluar dari

hi dung, hiduplah namanya. byana adalah

39r.

1) udara yang keluar dari ubun-ubun, hiduplah namanya. Itulah sebabnya

dinarnakan panca paramarta .. , " (Ayatrohaedi 1988: 175-6).

Dalam praktik yoga peranan udara dalam tubuh manusia (nafas)

sangat penting. Hal itu merupakan unsur yang harus "diolah" sehingga

pelaksanaan yoga seorang yogin menjadi sempurna. Asthanga Yoga

rnengenal delapan cara luar (wahiranga) untuk menguasai jasmani dan

lingkungannya, yaitu yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara,

dharana, dhyana, dan samadhi. Salah satu cara yang mernperhatikan

pengolahan nafas yogin disebut pranayama, dalam car a ini diatur nafas

dan peredaran energi rnelalui nafas. Yogin harus menyadari betapa

pentingnya nafas (prana) tersebut sehingga menunjang proses pemusatan

pikiran, dan banyak cara yang dilakukan oleh seorang yogin untuk

mengatur prananya (Avalon 1997: 135-7).

Tinjauan terhadap Sera! Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 49

Page 57: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

39r.

Penyusun SDB niseaya mengenal dengan baik praktik yoga. Oleh

karen a itu, salah satu eara beryoga yang penting yaitu penguasaan --

prana--. Masing-masing prana itu mempunyai jalan keluarnya sendiri dan

pada hakekatnya panca paramarta (lima pintu tempat keluarnya nafas) itu

dapat disamakan dengan panca indra yang merupakan lima pintu pula

bagi prana untuk mengenali dunia (SDB 39r: 2).

Dewa Siwa, Buddha, Brahma, Wisnu, Raksasa, dan Pitara menurut

SDB hanyalah gambaran yang dikeluarkan oleh manusia dari panca

paramarta dan panca indranya belaka. Perhatikan uraian SDB 39r: 2-4

dan 39v: 1-2 berikut ini.

2) " ... Ditemukannya tujuan namanya; apakah yang menjadi ukuran tujuan?,

yaitu sebagai raga dalam

3) mimpi, tubuh kita pada waktu bermimpi; diwujudkan sebagai tujuan dalam

impian, sebagai temp at berenang di danau, seperti melayang

4) di angkasa, sebagai parakul (?) di gunung, sebagai suami, sebagai istri,

terjadi dalam impian. Demikianlah bermaeam keluarnya tujuan dalam

impian, diwujudkan semuanya

39v.

1) oleh tujuan ketika itu, dikeluarkan semuanya gambaran itu, meragakan

Siwa, Buddha, Brahma, Wisnu, raksasa, pitara, ditempatkan dalam

puspalingga dan

2) area. Itulah sebabnya terdapat hyang dalam tujuan dunia seluruhnya dalam

waktu ... " (Ayatrohaedi 1988:176).

SDB menyatakan bahwa prana adalah indra, adalah kehidupan, adalah

tujuan (acuan), dan aeuan hidup itu ialah Hyang (Sang Hyang Taya). Dalam

lingkungan seluruh dunia selalu terdapat Hyang sebagai aeuan. Dewa-dewa

50 UNC;UA Vol. 6 No.1, Maret 2007 39-56

Page 58: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Hindu dan Buddha dinyatakan hanyalah visualisasi dari tubuh (raga) dalam

mimpi, jadi· semu agar menjadi konkret kemudian "ditempatkan dalam

puspalingga dan area". Berdasarkan uraian tersebut dapat ditafsirkan bahwa,

(1) Sang Hyang Taya adalah kekuatan adikodrati tertinggi yang diseru dalam

SDB, (2) Sang Hyang Taya sebenarnya terdapat di dalam setiap diri manusia

apabila ia menyadarinya dan juga hadir diseluruh dunia, (3) Sang Hyang Taya

harus menjadi tujuan (aeuan) bagi semua makhluk, (4) Lingga dan area dewa-

dewa adalah wujud yang semu belaka, bagai raga yang tampil dalam mimpi.

Demikianlah sedikit kutipan dari SDB yang berisikan ajaran filsafat

keagamaan tentang hakikat tertinggi. Uraiannya eukup sukar untuk dipahami

apabila tidak dieermati seeara baik, banyak mengandung tafsiran yang

didasarkan pada pengetahuan keagamaan sezaman. Dapat diduga bahwa

penyusun SDB ialah pendeta pujangga yang tinggi ilmu keagamaannya,

terutama ilmu keagamaan yang bersifat tinggi, yaitu jalan untuk menuju

kepada Hyang.

Dapat pula dinyatakan bahwa hampir seluruh uraian SDB disusun

dalam bentuk uraian dengan kalimat panjang dan pendek, pengulangan,

pengulangan dengan eontoh yang berbeda-beda sehingga pembaea kadang-

kadang lupa dengan tema utama yang sedang diperbineangkan. Agaknya

penyusunnya tidak bermaksud untuk membingungkan pembaeanya, tetapi

sengaja mengajak pembaea untuk tetap teguh dalam perhatiannya, dan tidak

terpengaruh oleh lingkungannya. Pesan yang hendak dihembuskan adalah

bahwa membaea SDB perlu konsentrasi penuh, seperti bermeditasi, bagaikan

beryoga, tidak terpengaruh oleh keadaaan sekitar.

Pad a bagian-bagian akhir SDB tampil suatu konsepsi tentang Sang

Manon, suatu konsepsi yang khas Sunda Kuna. Kata manon mungkin masih

dikenal dalam kata bahasa Sunda sekarang, yaitu panon yang artinya mata, jadi

Tinjauan terhadap Serat Dewa Buda: Naskah Sunda yang Llerbahasa Jawa Kuna (Agus Ads Munandar) 51

Page 59: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

manon dapat diartikan "yang mempunyai mata", mungkin dapat diartikan lebih

luas lagi menjadi "yang melihat" atau "yang memahami". Sang Manon dengan

demikian ditujukan kepada tokoh adikodrati yang dapat melihat dan

memahami segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Sang Manon juga diseru

dengan Sanghyang Pramana yang dalam bahasa Jawa Kuna antara lain berarti

"mengetahui atau mengerti dengan jelas", "penglihatan yang jelas" dan juga

berarti "pengetahuan yang benar" (Zoetmulder 1982, II: 1392).

SDB menyatakan sebagai berikut.

116r.

2) " ... Demikian itulah sanghyang Pramana, tak ubahnya seperti sanghyang

Aditya.

3) Jika tidak ada yang menyamai cahayanya dan kekuasaannya di dunia,

demikianlah sang Manon, jika tak ada yang melebihi kekuasaannya di

dunia,

4) surga, dan bumi. Sang [Manon] membawa kekuasaan di sunyataya,

paramarta. Sang Manon berkuasa dalam hilang dan hening, nirawarana,

langgeng,

116v.

1) nirasraya. Sang Manon berkuasa pada bintang, bulan, matahari; Sang

Manon berkuasapada zat, kabut,

2) mendung, awan, hujan, kilat, petir, lembayung senja, bianglala, guruh,

guntur, gempa. Sang Manon berkuasa terhadap air,

3) danau, api, batu gunung; terhadap trana, pohon, sulur, gulma, serangga,

ternak, unggas, bunga, ular, pohonan, seisi danau dan

4) tanah, semua yang bernafas di bumi. Sang Manon berkuasa terhadap

udara, ucapan, dan niat. Sang Manon berkuasa

52 UNGliA Vol. 6 No.1, Maret 2007 39--56

Page 60: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

117r.

1) terhadap yang berwujud demikian. Sang Manon berkuasa terhadap ada dan

tiada ... " (Ayatrohaedi 1988: 253-4).

Itulah penjelasan ten tang Sang Manon, dan dinyatakan pula bahwa " ... Maka

sejurus sang Manon hadir dalam diri kita, ... " (SDB 119r: 1). Dapatlah

dipahami bahwa Sang Manon yang dimaksudkan dalam SDB pada dasarnya

sarna pengertiannya dengan Sanghyang Taya, tetapi pengertian Sang Manon

jauh lebih luas dari pada Sanghyang Taya yang diuraikan bermula dari prana

yang ada di tubuh manusia. Sang Manon atau Sang Pramana adalah kekuatan

supernatural tertinggi yang tiada tara.

Walaupun tinggi ilmu agamanya agaknya sang penggubah SDB, yaitu

Siddhayogiswara tetap merendahkan diri di lempir 126r hampir pad a bagian

akhir SDB terdapat pernyataan, "inilah yang disebut ujar orang dusun

namanya. Manakah yang masuk ke telingamu, itulah ki kesan akan ajaran

sanghyang Dharma ... " (SDB 126r: 3). Ungkapan itu biasa dijumpai pad a

berbagai karya sastra, juga pada Nagarakrtagama, bahwa Prapanca sang

penggubahnya sangat mungkin adalah nama samaran. Prapanca mengakui

mempunyai lima cacat dalam dirinya. Walaupun demikian, ia berupaya

menyelesaikan kakawinnya. Para penggubah karya sastra tersebut selalu

merendahkan dirinya, tidak pernah menyatakan bahwa dirinya mahir, bahkan

sebaliknya mereka kerapkali menyatakan masih belajar menyusun karya sastra.

Itulah ciri para pendeta pujangga yang budiman, oleh karena itu mereka tengah

berupaya mendekatkan diri dengan Hyang Maha Tinggi, tidak perlu pengakuan

duniawi lagi.

Masih sangat banyak yang dapat diungkap dan dipelajari lebh lanjut

dari SDB, kajian ini hanyalah tinjauan sederhana saja dan baru bersifat kajian

Tinjauan terl,adap Sera! Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kuna (Agus Aris Munandar) 53

Page 61: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

penjajagan. Ajaran keagamaan dalam SDB yang dituturkan seeara rumit jelas

merupakan tantangan tersendiri bagi mereka yang ingin mempelajarinya, tetapi

apabila dapat diterangkan akan merupakan sumbangan penting bagi telaah

dunia keagamaan pada mas a Sunda Kuna. Oleh karena itu, diharapkan di masa

mendatang ada kajian lagi yang lebih mendalam tentang SDB. Apa yang

dikemukakan dalam Serat Dewabuda haruslah dipahami dalamkaitannya

dengan budaya Sunda Kuna sendiri walaupun naskah terse but ditulis dalam

bahasa Jawa Kuna. Hal yang pasti adalah bahwa budaya Sunda Kuna berbeda

dengan budaya Jawa Kuna, dalam bidang peninggalan yang berkaitan dengan

aktivitas religinya perbedaan tersebut eukup kentara sebagai berikut.

54

1. Di wilayah bekas kerajaan Sunda Kuna tidak pernah ditemukan

bangunan sudberupa eandi lengkap dengan bagian-bagiannya (kaki-

tubuh-atap) seperti yang dijumpai di tlatah budaya Jawa Kuna. Apabila

ada bangunan sud, wujudnya berbeda tidak seperti eandi-eandi dari era

Jawa KUna.

2. Dalam uraian naskah-naskah keagamaan Sunda Kuna tidak pernah

dijumpai adanya pemaparan yang bersifat data ikonografis (seni area),

sedangkan pad a banyak naskah J awa Kuna, data ikongrafis kerapkali

dapat dijumpai.

3. Tidak pernah dijumpai kepurbakalaan yang berupa relief mandiri atau

relief yang menghias bangunan sud pada periode Sunda Kuna, mungkin

hal itu menunjukkan eerita-eerita bereorak mitologi India yang dianggap

sakral tidak dikenal dalam lingkungan masyarakat Sunda Kuna.

4. Sejalan dengan data artefaktualnya, maka dalam karya-karya sastra

Sunda Kuna juga tidak dijumpai adanya uraian keagamaan yang

dirangkai dalam bingkai eerita tertentu sebagaimana kisah Sudhamala,

UNCjlJA Vol. 6 No.1. Maret 2007 39-56

Page 62: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Kunjarakarna, Siwaratrikalpa, ataupun Tantri Kamandaka yang

dikenaldalam era yang sarna di lingkungan kebudayaan Jawa Kuna.

5. lsi naskah-naskah keagamaan Sunda Kuna lebih langsung kepada sasaran

yang dituju, yaitu "upaya pertemuan dengan kekuatan adikodrati",

jadi tidak berpanjang-panjang dengan kisah yang tidak berkenaan

langsung dengan upaya tersebut.

Apa yang diungkap dalam naskah-naskah Sunda Kuna sebenarnya

adalah cerminan budaya Sunda Kuna dalam, uraian naskah sangat terkait erat

denganaktivitas masyarakat pada waktu itu. Berhubung naskah-naskah Sunda

Kuna kebanyakan bernafaskan ajaran keagamaan, maka yang berkaitan

tentunya aktivitas keagamaannya. Jika naskah-naskah berbicara perihal

hubungan langsung dengan Yang Maha Kuasa tanpa perlu bermacam media,

dapat dipahami bahwa sangat sedikit peninggalan artefaktual yang

dihubungkan dengan kegiatan agama di Tatar Sunda.

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi, 1988, Serat Dewabuda: Alihaksara dan Terjemahan. Laporan

Penelitian untuk Bagian Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan

Sunda, Bandung.

Avalon, Arthur, 1997, Mahanirvana Tantra. Diterjemahkan ke dalam Bahasa

Indonesia oleh K.Nila. Denpasar: Upada Sastra.

Danasasmita, Saleh, dkk., 1987, Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang

Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan TeTjemahan.

Tinjauan lerhadap Seral Dewa Buda: Naskah Sunda yang Berbahasa Jawa Kiln. (Agus Aris Munandarl 55

Page 63: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan

Sunda (Sundanologi), Direktorat Jendral Kebudayaan, Depdikbud.

Munandar, Agus Aris, 1993/1994, "Bangunan Suci pada Masa Kerajaan

Sunda: Data Arkeologis dan Sumber Tertulis", dalam Pertemuan

Ilmiah Arkeologi VI, Batu, Malang, 26-29 Juli 1992. Jakarta: Pusat

Penelitian Arkeologi Nasional. Halaman 135-178.

Noorduyn, J., 1982, Bujangga Manik's Journeys through Java: Topographical

Data from an Old Sundanese Sources", dalam BKI. No.138: 413-42.

Pigeaud, Th.Gautier Th., 1924, De Tantu Panggelaran: Een Oud-lavaansch

Prozageschrijt, uitgegeven, vertaald en toegelicht. 's-Gravenhage:

Nederl.Boek en Steendrukkerij voorheen H.L.Smits.

Poerbatjaraka, R.M.NG. & Tardjan Hadidjaja, 1957, Kepustakaan Djawa.

Djakarta: Djambatan.

Poerbatjaraka, R.M.NG., 1975, Calon Arang si Janda dari Girah.

Diterjemahkan oleh Soewito-Santoso. Jakarta: Balai Pustaka.

Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Ahmad Darsa, 1987,

Sewakadarma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Teryemahan. Bandung: Bagian Proyek

Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Sunda.

Sedyawati, Edi, 1980, "Ikonografi Hindu dari Sumber-sumber Prosa Jawa

Kuna", dalam Ayatrohaedi (Penyunting), Seri Penerbitan Ilmiah 3. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Halaman 102-135.

56 UNGliA Vol. 6 No.1, Maret 2007 39-56

Page 64: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

UNGKAPAN BAHASA JEPANG YANG MENGGAMBARKAN HUBUNGAN ANTARKLAUSA: -TARA, -TO, -BA, -NARA

Abigail Indriana M. Staf Pengajar Tetap J urusan J epang STBA LIA

Abstrak: Ungkapan yang menunjukkan hubungan antara klausa utama dan bawahan yang mengandung makna syarat dalam bahasa Jepang disebut joukenbun, dan terwujud dalam empat macam akhiran, yaitu -tara, -to, -ba, -nara. Masing-masing bentuk memiliki makna dan penggunaan yang berbeda-beda, tetapi ada juga yang bertumpang tindih. Agar dapat menggunakan keempat bentuk tersebut dengan tepat, terlebih dulu perlu dipahami aturan konjugasi, makna, dan penggunaan -tara, -to, -ba, -nara.

Kata Kunci:Joukenbun, -tara, -to, -ba, -nara, konjugasi, aturan.

Abstract: Any expressions showing the 'conditional' relations between the main clause and the subordinate clause in Japanese is called joukenbun. The conditional relations are formed by the use of four types of suffixes, namely -tara, -to, -ba, -nara. Each SUffix has its own meaning and usage which can be different and which can be overlapped in certain cases. In order to use the four suffixes appropriately, the knowledge about the conjugation rules, as well as the meaning and usage of -tara, -to, -ba, -nara has to be mastered before hand.

Key Words: Joukenbun, -tara, -to, -ba, -nara, conjugation, rules.

Pendahuluan

Salah satu ciri khas bahasa Jepang adalah menggramatikalkan konsep

atau ungkapan. Konsep waktu yang berkaitan dengan kala diungkapkan dalam

bentuk akhiran. Demikian juga, banyak ungkapan digramatikalkan dalam

bentuk akhiran, yang kemudian akhiran tersebut dapat berkonjugasi, sesuai

dengan kala yang menyertainya. Sebagai contoh, ungkapan yang menunjukkan

makna 'harus' berbentuk akhiran -nakerebanaranai, yang digunakan dengan

cara ditempelkan pada akar verba.

Di dalam Tata Bahasa Jepang ada ungkapan (expression) yang

menunjukkan hubungan antarklausa di dalam kalimat kompleks, yang dikenal

dengan istilah kalimat syarat (joukenbun). Yang dimaksud dengan kalimat

Ungkapan Bahasa Jepang yang menggambarkan hubungan antar Klausa: ·Tara, -To, -Ba, -Nara (Abigaillndriana-M.) 57

Page 65: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

syarat adalah kalimat kompleks dengan klausa bawahan menjadi faktor

penyebab utama atau asal mula terjadinya at au dilakukannya klausa atasan

(Ichikawa, 2005 :402). Dalam pola kalimat kompleks bahasa Jepang, klausa

utama letaknya di belakang atau sebelah kanan, sementara klausa bawahan di

depan atau di sebelah kiri.

Bentuk joukenbun ada empat macam, yaitu berupa akhiran -tara, -to, -

ba, -nara, yang menempel pada verba, adjektiva, atau nomina. Konsep atau

makna masing-masing bentuk tersebut berbeda-beda, tetapi ada pula

penggunaannya yang bertumpang tindih. Hal ini membuat pembelajar bahasa

Jepang sebagai bahasa asing sering kesulitan dalam membedakan penggunaan

keempat bentuk tersebut.

Pembahasan

Untuk dapat menggunakan keempat bentuk joukenbun dengan tepat,

ada beberapa hal yang harus dipahami oleh pembelajar bahasa Jepang, yaitu,

aturan pembentukan at au konjugasi kat a yang diberi akhiran -tara, -to, -ba, -

nara, makna atau konsep yang terkandung dalam masing-masing bentuk,

aturan penggunaan keempat bentuk tersebut dalam kalimat. Sebelum masuk

dalam pembahasan mengenai aturan konjugasi, makna, dan penggunaan -tara,

-to, -ba, -nara, berikut ini ditampilkan beberapa contoh kalimat yang

menunjukkan perbedaan dan persamaan penggunaan empat bentuk tersebut.

Contoh diambil dari buku Shokyuu Nihongo Bunpou Sou Matome Pointo 20

(2006).

58

(1) Atatakakunattara, hanami ni ikimashou.

(Kalau cuaca sudah hangat, ayo kita pergi menikmati bunga

Sakura.)

(2) AtatakakunarutQ, hana ga sakimasu.

UNC;UA Vol. 6 No.1, Maret 2007 57-<57

Page 66: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

(Begitu/kalau cuaca hangat, bunga bermekaran.)

(3) Megane wo kakerelJ!b miemasu. Megane wo kakenakereba,

miemasen.

(Kalau pakai kacarnata, kelihatan. Kalau tidak pakai kacarnata,

tidak kelihatan.)

(4) Kyoto he ikunara, omiyage wo kattekitekudasai.

(Kalau pergi ke Kyoto, to long belikan oleh-oleh.)

Pada contoh (1) dan (2) frasa yang diternpeli -tara dan -to sarna, yaitu

atatakakunaru 'rnenjadi hangat'. Bedanya, predikat klausa utarna pada (1)

bermakna niat (... ayo kita pergi ... ), sedangkan predikat klausa utarna pada (2)

tidak boleh bempa verba bermakna niat (bermekaran). Hal seperti inilah yang

sering rnernbuat sui it rnenentukan, kapan hams rnenggunakan salah

satu bentuk, kapan dapat rnenggunakan dua bentuk yang berbeda, tetapi

bermakna sarna.

Ketika rnernbahas joukenbun, hal penting pertarna yang hams

diperhatikan adalah apakah peristiwanya terjadi di waktu larnpau at au bukan

larnpau (Ichikawa, 2005:402). Hal tersebut terlihat dalarn kala klausa utarnanya

yang berbentuk non larnpau atau larnpau. Kala klausa utarna rnenentukan

penggunaan bentuk yang tepat oleh klausa bawahannya, apakah -tara, atau -to,

atau -ba, atau -nara. Pernaharnan ini berguna bagi pemelajar ketika

berhadapan dengan soal yang rnenghamskan rnereka rnelengkapi klausa

bawahan dengan rnernilih salah satu dari ernpat bentuk tersebut. Oleh karena

itu, ketika akan rnernilih rnenggunakan -tara, -to, -ba, atau -nara, perlu

diperhatikan peristiwa atau kegiatan yang diungkapkan terjadi di rnasa

sekarang, rnasa akan datang, atau rnasa larnpau.

Ungkapan Bahasa Jepang yang menggambarkan hubungan antar Klausa: -Tara, -To, -Ba, -Nara (Abigail Indriana M.) 59

Page 67: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

1. Aturan Konjugasi atau Perubahan Akhiran Kata yang Ditempeli -

tara, -to, -ba, -nara

Pernbentukan kata yang diternpeli -tara, -to, -ba, -nara dipelajari di

tingkat dasar. Akan tetapi, rnasih sering diternui pemelajar tingkat rnenengah

yang salah dalarn rnernbentuk kata dengan akhiran keempat bentuk terse but.

Berikut ini aturan konjugasi kata yang diternpeli -tara, -to, -ba, -nara dalam

bentuk tabel beserta contohnya.

Kata -tara -to -ba -nara

bentuk lampau bentuk [-el-re] + ba bentuk biasa Verba

[tal + ra kamus + to +nara -

-- - (tabereba) --(tabe-ru)

(tabetara) (ta beru to) (taberunara)

Adjektiva [katta] + ra bentuk biasa [-kere] + ba bentuk biasa

-l fJ\ -;) tz:. 6 + to +nara

(taka ka ttara ) (takakereba) - --(taka-i) (takaw (takainara)

Adjektiva [datta] + ra [da] + to bentuk biasa + bentuk biasa

-na -;) DfJ\ t{. t. nara(ba) + nara --

fifJ\ (sizukadattara ) (sizukadato) --

(sizuka) (sizukanara(baV (sizukanara)

[datta] + ra [da] + to bentuk biasa + bentuk biasa Nomina

mt.: -;) 6 nara(ba) +nara m --

(amedattara ) (amedato) --(arne)

( amenara(ban (amenara)

60 UNGtJA Vol. 6 No.1, Maret 2007 57-67

Page 68: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

2. Makna dan Penggunaan -tara, -to, -ba, -nara

Seperti telah dinyatakan sebelumnya, kalimat syarat (joukenbun) terdiri

atas klausa atasan dan bawahan, dengan klausa bawahan yang menjadi faktor

utama penyebab at au asal mula terjadinya klausa atasan. Di dalam pembahasan

mengenai makna dan penggunaan -tara, -to, -ba, -nara berikut ini, istilah

klausa bawahan disebut A dan klausa atasan disebut B. Rumusan makna,

penggunaan, dan aturan -tara, -to, -ba, -nara yang dipaparkan di bawah ini

dibuat berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis bersama dua pengajar

bahasa Jepangdari UNAS dan UNSADA, dan didiskusikan dengan tiga staf

ahli bahasa Jepang dari The Japan Foundation Jakarta, dari Oktober hingga

Desember 2006.

A. Makna dan Penggunaan -tara Salah satu ciri mendasar -tara adalah sifatnya percakapan sehingga

tidak digunakan dalam bahasa tulisan formal, seperti karya ilmiah (Ichikawa:

404). Makna yang dibawa oleh bentuk pengandaian -tara di dalam kalimat

adalah, setelah A terjadi, B akan terjadi. Fokus ada pada klausa B. Peristiwa

yang digambarkan kalimat dengan -tara terjadi hanya satu kali. Penggunaan

dan aturan -tara adalah sebagai berikut.

a. Menyatakan sesuatu yang belum pasti terjadi (pengandaian).

Contoh: (2) dS & J t.: Jl \.,\ *"9 / Jl \.,\ t.: \.,\ -C:"9 0

Okane ga attara kuruma wo kaimasu/kaitai desu.

(Kalau ada uang, saya akan/ingin membeli mobil.)

Aturan: klausa A berupa verba keadaan, klausa B berupa verba kegiatan yang

bermakna keinginan, harapan, niat, atau maksud.

b. Menyatakan rencana (sudah pasti akan terjadi).

Ungkapan Bahasa Jepang yang menggamba.kan hubungan antar Klausa: -Tara, -To, -Ba, -Nara (Abigaillndriana M.) 61

Page 69: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Sanji ni nattara kaerimasu.

(Kalau sudah pukul tiga, say a akan pulang.)

Aturan: klausa A berupa verba keadaan atau kegiatan, klausa B berupa verba

kegiatan yang bermakna keinginan, harapan, niat, atau maksud.

c. Menyatakan keadaan atau keberadaan.

Contoh: (4) dJJ if? 6 IHffqjif a> T 0

Migi he magattara, yuubinkyoku ga arimasu.

(Kalau belok kiri, di sana ada kantor pos.)

Aturan: klausa A berupa verba kegiatan, klausa B berupa verba keadaan atau

keberadaan.

d. Menyatakan penemuan di waktu lampau.

Contoh: (5) A - J\ -"-IT? 6 7 /T.f c! It, t: t;::. 0

Suupaa he ittara, Andi-san ni aimasita.

(Waktu pergi ke supermarket, saya bertemu Andi.)

Aturan: klausa A berupa verba kegiatan, klausa B berupa verba keadaan atau

kegiatan.

e. Menyatakan kegiatan yang dilakukan hanya 1 kali di waktu lampau.

Contoh: (6) l"t;::.o

Benkyou ga owattara, tenisu wo simasu.

(Kalau selesai belajar, saya main tenis.)

Aturan: klausa A berupa verba kegiatan atau keadaan, klausa B berupa verba

kegiatan.

B. Makna dan Penggunaan -to

62 UNqUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 57-67

Page 70: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Makna yang dibawa oleh bentuk pengandaian -to di dalam kalimat

adalah begitu· A terjadi at au dilakukan, maka secara alamiah atau otomatis B

akan terjadi. Peristiwa yang digambarkan kalimat dengan -to terjadi berulang

kali atau merupakan kebiasaan. Penggunaan dan aturan -to adalah sebagai

berikut.

a. Menyatakan fenomena atau perubahan alam yang selalu terjadi.

Contoh: (7) *"90

Haru ni naru@ samra ga sakimasu.

(Begitu masuk musim semi, sakura bermekaran.)

Aturan: klausa A dan B berupa verba keadaan at au perubahan; tidak boleh

verba yang bermakna niat.

b. Menyatakan keberadaan atau keadaan.

Migi he magaru@ yuubinkyoku ga ariamsu.

(Begitu belok kanan, ada kantor pas.)

Aturan: klausa A berupa verba kegiatan atau keadaan, klausa B berupa verba

keadaan atau perubahan; tidak boleh verba yang bermakna niat.

c. Menyatakan sesuatu yang terjadi secara otomatis atau alamiah.

Botan wo osu@ okane ga demasu.

(Begitu menekan tombol, uang akan keluar.)

Aturan: klausa A berupa verba kegiatan, klausa B berupa verba keadaan at au

keberadaan; tidak boleh verba yang bermakna niat.

d. Menyatakan kebiasaan (di masa sekarang atau lampau).

Ungkapan Bahasa Jepang yang menggambarkan hubungan antar Klausa: -Tara, -To, -Ba, -Nara (Abigail Inddana M.) 63

Page 71: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Benkyou ga owaru!Q, tenisu wo simasu.

(Begitu selesai belajar, saya main tenis.)

Contoh: (11) £_ * t;:.o

Benkyou ga owaru!Q, tenisu wo simasita.

(Dulu, begitu selesai belajar, saya main tenis.)

Aturan: klausa A berupa verba kegiatan atau keadaan, klausa B berupa verba

kegiatan.

C. Makna dan Penggunaan -ba

Makna yang dibawa oleh bentuk pengandaian -ba di dalam kalimat

adalah, A merupakan syarat agar B terjadi, dengan fokus pada klausa A.

Kalimat syarat dengan akhiran -ba ini selalu memiliki makna kebalikannya,

artinya bila A tidak terpenuhi maka B tidak akan terjadi. Penggunaan dan

aturan -ba adalah sebagai berikut.

a. Menyatakan sesuatu yang belum pasti terjadi (selalu ada makna

kebalikannya ).

Contoh: (12) I ill,,\itl,,'1:'9 0

Okane ga areba kuruma wo kaimasu/kaitai desu.

(Kalau ada uang, saya akan/ingin membeli mobil.)

Aturan: klausa A berupa verba keadaan, klausa B berupa verba kegiatan yang

bermakna keinginan, harapan, niat, maksud, at au perkiraan.

b. Menyatakan fenomena alam atau sesuatu yang terjadi secara

otomatis.

Contoh: (13) 0

Haru ni nareba, sakura ga sakimasu.

(Kalau masuk musim semi, sakura bermekaran.)

64 LrNt:;lIA Vol. 6 No.1, Maret 2007 57-67

Page 72: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Kono botan wo oseba, okane ga demasu.

(Kalau menekan tombol ini, uang akan keluar.)

Aturan: klausa A berupa verba kegiatan at au keadaan, klausa B berupa verba

keadaan atau perubahan.

c. Menyatakan kebiasaan atau keadaan di masa lampau.

Kodomo no toki, arne ga hureba soto de asobimasita.

(Waktu masih kecil, kalau hujan, saya main di luar rumah.)

Aturan: klausa A berupa verba keadaan atau kegiatan, klausa B berupa verba

keadaan atau kegiatan.

D. Makna dan Penggunaan -nara

Makna yang dibawa oleh bentuk pengandaian -nara di dalam kalimat

adalah, sebagai topikalisasi (toritate). Artinya, pembicara mengungkapkan

pandangan atau gagasannya berdasarkan pembicaraan atau keadaan lawan

bicara, yang dia dengar atau lihat. Penggunaan dan aturan -nara adalah sebagai

berikut.

a. Menyatakan usulan, saran, atau nasihat.

Contoh: (16) A: t.:. \,\ It; if, C z:. fJ' \,\ \,\ pfiff a) *"9 fJ' 0

Umi he ikitaindesuga, dokoka ii lokoro ga arimasuka.

(Saya ingin pergi ke pantai. Ada tempat yang bagus?)

B: < £, Anyer fJt' \,\ \,\ J:;. 0

Umi he ikunara, Anyer ga ii desuyo.

(Kalau ingin ke pantai, Anyer bagus, loh.)

Ungkapan Bahasa Jepang yang menggambarkan hubungan "ntar Klausa: ·Tara, -To, -Ba, -Nara (Abigail Indriana M.J 65

Page 73: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Aturan: klausa A bempa verba, adjektiva, atau nomina, dan klausa B

berupa verba kegiatan atau keadaan, atau adjektiva. Kala klausa B hams non-

lampau.

Secara garis besar, perbandingan antara -tara, -to, -ba, -nara adalah

sebagai berikut (disadur dari Shokyuu Nihongo Bunpou to Oshiekata no

Pointo: 2005). Bentuk -tara, -to, -ba, -nara dapat digunakan dalam ragam lisan

(percakapan). Sementara itu, yang dapat digunakan dalam ragam tulisan

terutama tulisan formal adalah -to, -ba, -nara. Dalam kalimat berkala bukan

lampau, predikat pada klausa utama boleh bermakna niat/keinginan untuk

bentuk -tara, -ba, -nara. Dalam kalimat berkala lampau, klausa dengan

bentuk -tara mengandung makna kegiatan atau peristiwa terjadi satu kali atau

mempakan kebetulan. Untuk kalimat dengan klausa utama yang bermakna

penemuan, klausa bawahannya hams mengambil bentuk -tara atau -to.

Apabila dalam kalimat klausa bawahannya menggunakan -to atau -ba, kalimat

itu menggambarkan kebiasaan di masa lampau. Untuk menunjukkan kegiatan

yang dilakukan berkesinambungan, akhiran yang harus digunakan pada klausa

bawahan adalah -to.

Simpulan

Kalimat syarat (joukenbun) bahasa Jepang ditunjukkan dalam bentuk

akhiran -tara, -to, -ba, -nara yang menempel pada verba, adjektiva, atau

nomina. Masing-masing bentuk memiliki makna dan penggunaan tersendiri,

tetapi ada juga makna dan penggunaan yang bertumpang tindih satu dengan

yang lain. Untuk menggunakan keempat bentuk tersebut dengan tepat hams

diperhatikan aturan dasar penggunaan masing-masing bentuk.

J oukenbun dengan -tara paling umum digunakan dalam percakapan;

tidak lazim digunakan dalam tulisan formal. Kalimat dengan -to mengandung

66 UNCjllA Vol. 6 No.1, Maret 2007 57-<>7

Page 74: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

rnakna, begitu/jika peristiwa dalarn klausa bawahan terjadi, peristiwa dalarn

klausa utarna pasti terjadi. Klausa utarna tidak boleh berupa predikat yang

rnengungkapkan niat. Makna yang dibawa bentuk -ba yaitu, peristiwa dalarn

klausa bawahan rnerupakan syarat yang harus dipenuhi agar peristiwa dalarn

klausa utarna terjadi. Satu hal yang harus diingat, predikat pada klausa

bawahan dan utama tidak boleh berupa verba bermakna kegiatan apabila

subjeknya sarna. Sernentara itu, bentuk -nara hanya digunakan sebagai

topikalisasi, sebagai tanggapan pernbicara at as apa yang didengar at au dilihat

dari lawan bicara.

DAFTAR PUSTAKA

Ichikawa, Yasuko. Shokyuu Nihongo Bunpou to Oshiekata no Pointo. Tokyo:

Suriiee Nettowaaku, 2005.

Of;lwa, Yoshirni & Saegusa Reiko. Kotogara no Kankei wo Arawasu Hyougen

- Hukubun. Tokyo. Suriiee Nettowaaku. 2005.

Tornornatsu, Etsuko dan Masako Wakuri. Tanki Shuuchuu - Shokyuu Nihongo

Bunpou Sou Matome Pointo 20. Tokyo: Suriiee Nettowaaku, 2006.

Ungkapan Jepang yang menggambarkan hubungan antar Klausa: ·Tara, -To, -Ba, ·Nara (Abigail Indriana M.) 67

Page 75: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

FENOMENAFUYU NO SONATA: PANDANGAN ORANG JEPANG TERHADAP DRAMA KOREA

Dewi Ariantini Yudhasari Pembantu Ketua III Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA Jakarta

Abstrak: Fuyu no Sonata merupakan drama Korea yang banyak digandrungi masyarakat Jepang tahun 2003, Drama tersebut merupakan salah satu ikon masuknya budaya Korea secara besar-besaran di Jepang. Pandangan orang Jepang terhadap masuknya segala produk budaya Korea, khususnya pandangan mereka terhadap drama Fuyu no Sonata ini, diteliti dengan menggunakan pendekatan ethnographic audience research berdasarkan konsep Ian Ang. Dalam penelitian ini, responden dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok the lovers ( pencinta), the haters (pembenci), dan the ambivalents (peragu). Hasil penelitian menunjukkan bahwa drama sebagai bentuk budaya massa mewakili sebuah produk budaya yang dipandang sebagai sarana terciptanya pertukaran budaya yang memberi kesan bahwa hal ini merupakan jalan baru bagi masuknya dan budaya Korea di Jepang.

Kata kunci : drama Korea, Fuyu no Sonata

Abstract Fuyu No Sonata is Japan's most wanted Korean drama in 2003. The drama is considered as one of Japan's wellknown Korean icon. This Japan's point of view to the Korean cultural produce, especially the Fuyu No Sonata drama is researched by using ethnographic audience approach based on lang Ang concept. The respondence of this research is divided into three groups; the lovers, the haters, and the ambivalents. The result shows that drama as a mass culture represent a cultural product-cultural exchange media a new way of the Korean culture invasion in Japan.

Key words: Korean drama, Fuyu No Sonata

1. Korean Boom dan Fenomena Fuyu no Sonata

Korea merupakan negara tetangga yang paling dekat dengan Jepang.

Sebelum tahun 70-an, image Jepang di mata orang Korea selalu diwarnai oleh

image negatif. Hal itu dikarenakan Jepang pernah menjajah Korea. Hubungan

kedua negara selalu dihantui oleh warisan masa kolonial. Namun, kedua negara

ini terus berusaha untuk memperbaiki hubungan bilateralnya.

Pada tahun 1980, Korea mengadakan Olympiade di Seoul, Korea Selatan.

Peristiwa itu cukup membangunkan Jepang terhadap kekuatan baru Korea.

Pertandingan Piala Dunia Sepak bola pada tahun 2002 di Korea Selatan

68 LINGUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 68-82

Page 76: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

merupakan langkah awal dalam memperbaiki hubungan tersebut. Sejak saat

itu, anak muda Jepang mulai menunjukkan ketertarikannya dengan segala yang

berbau Korea. Selain bidang olahraga, Korea mulai unjuk gigi dengan hal-hal

yang berbau budaya pop. Hal itu ditunjukkan oleh masuknya lagu-Iagu Korea,

fashion, dan tayangan drama Korea dalam tayangan televisi di Jepang.

Fenomena mengalirnya budaya pop Korea ke Jepang ini dikenal dengan istilah

Korean Boom atau (hanryu). (Chung, 2004)

Pada tahun 2003, masyarakat Jepang cukup dikagetkan oleh meledaknya

tayangan drama yang berjudul "Fuyu no Sonata". Fuyu no Sonata adalah

sebuah melodrama yang menceritakan kisah cinta tokoh Joong Sang

(diperankan oleh Bae Yong Jun) dan Yu Jin (diperankan oleh Choi Ji Woo)

mengambil musim dingin (winter) sebagai latar drama yang menceritakan

tentang perjalanan kisah cinta sejati. Dalam drama itu diceritakan tokoh utama

Joong Sang jatuh cinta pad a Yu Jin, ternan SMU nya. Liku-liku perjalanan

kisah cinta sejati mereka banyak diwarnai hambatan dan rintangan. Namun,

pada akhirnya kekuatan cinta itu pula yang mempersatukan mereka.

Drama ini merupakan hasil produksi dari Korean TV yaitu Korean

Broadcasting System (KBS) pada 2002 yang disiarkan di NHK Jepang

sebanyak tiga kali siaran ulang yang ditayangkan sejak 2003 hingga 2004. Hal

itu membuat gempar masyarakat Jepang pencinta melodrama yang sebagian

besar perempuan berumur 20--60 tahun. Mereka sangat menyukai drama itu

dan menyebabkan munculnya Fuyu Sona Mania seperti diliput oleh Work in

Japan.com yang mengatakan bahwa seorang perempuan rela berhenti bekerja

untuk sementara waktu hanya karena tidak ingin acara drama itu terlewati.

(www)

Selanjutnya, pada Kamis, 25 November 2004, Bae Jong (tokoh utama)

drama tersebut berkunjung ke Jepang, saat itu para perempuan berusia 30-60

Fenomena FIlYu No Sonata: Pandangan Orang Jepang Terhadap Drama Korea (Dewi Ariantini Yudbasari) 69

Page 77: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

tahun berjumlah kurang lebih 4.500 orang berbondong-bondong pergi ke

Bandara Haneda untuk melihat aktor pujaannya dari dekat. Mereka

meneriakkan "Yon Sarna" untuk memanggil Bae Jong. Hal itu sempat menarik

perhatian beberapa kalangan media dan pengamat budaya di Jepang. Dalam

masyarakat Jepang, panggilan nama dengan menggunakan tambahan kata

"Sarna" dibelakang nama tersebut biasanya hanya diberikan kepada orang yang

lebih tua atau orang yang sangat dihorrnati seperti raja atau panggilan untuk

seorang ayah. Namun, rupa rupanya sebutan "sarna" pun berlaku untuk aktor

pujaan yang mereka agung-agungkan. Koran Asahi memberitakan bahwa

image yang muneul akan kebesaran dan ketenaran aktor Bae Jong membawa

dirinya menjadi Kingdom of the heart atau Kokoro no Okoku bagi sebagian

perempuan Jepang. (www)

Fenomena kepopuleran drama FS mengundang reaksi di kalangan

masyarakat Jepang. Ada yang menyukai, ada yang membenci, dan ada pula

yang tidak terusik dengan kondisi itu.

2. Etnographic Audience Research Model penelitian ini menggunakan metode ethnographic audience

research seperti yang dilakukan oleh Ian Ang dalam bukunya Watching Dallas

: Soap Opera and the Melodramatic Imagination (1985).

Pada tahun 1985, Ang memaparkan hasil penelitian yang ia lakukan di

Belanda terhadap responsi penonton serial televisi, yaitu Dallas. Dalam

penelitian model ini lebih menititikberatkan pada hasil survai. Artinya,

penelitian ini lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas respon yang

diberikan oleh setiap responden.

Penelitian ini dilakukan dalam ranah cultural studies. Dalarn ranah

cultural studies dikenal suatu model komunikasi yang dikemukakan oleh Stuart

70 LINGUA Vol. 6 No.1, Maret 2007 68--82

Page 78: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Hall sebagai proses encoding decoding!. Proses encoding, yaitu proses yang

dilakukan oleh para produsen dalam memproduksi makna. Selanjutnya, wacana

yang dihasilkan melalui proses tahap kedua, yaitu ketika acara televisi itu

disaksikan oleh penon ton, maka wacana yang muncul dari acara televisi

tersebut menjadi terbuka untuk diinterpretasikan oleh penontonnya.

Sedangkan, momen ketiga terjadi ketika acara tersebut didsaksikan oleh

penonton dan dalam tahap ini melibatkan proses decoding, yaitu proses

konsumsi makna. Dalam hal ini, penonton bukan dihadapkan pada sebuah acra

televisi semata, melainkan pad a sebuah wac ana "terjemahan" yang sarat akan

makna yang diberikan oleh pihak produsen.

Ang dalam penelitiannya menggunakan model komunikasi encoding dan

decoding Stuart Hall, hanya saja ia menerjemahkan ketiga kategori itu ke

dalam kelompok the lovers, the ironist and the haters.2 Dalam hal ini Ang

menempatkan penonton pada posisi the lovers bagi mereka yang menyukai

serial Dallas. Lalu, the haters, bagi kelompok penonton yang tidak menyukai

serial Dallas dan the ironist diletakkan dalam kelompok penonton yang

menjelek-jelekkan serial Dallas karena merupakan produk massa, tetapi justru

karena itu mereka menyukai hal tersebut. lni yang disebut ironi dalam

pandangan Ang.

Dalam kasus FS, penelitian dikategorisasikan dalam kelompok the lovers

(pencinta) untuk kelompok penonton yang menyukai drama FS dan drama

lainnya. Kelompok the haters (pembenci) untuk kelompok penonton yang

membenci atau tidak berminat sarna sekali untuk menonton drama terse but.

Sementara itu, kelompok the ambivalent (peragu) adalah kelompok penon ton

1 Lihat Muijadi, Hianly, Sihir dalam Serial Harry Potter: Analisis Responsi Pembaca, hIm. 17--18 2 During.Simon, The cultural Studies Reader, First Edition, hIm. 404-420 (dalam Muijadi, hIm 20)

Fenomena Fuyu No Sonata: Pandangan Orang Jepang Terhadap Drama Korea (Dewi Ariantini Yudhasari) 71

Page 79: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

yang tidak menjawab dengan jelas apakah ia suka atau tidak terhadap drama

itu. Dalam kelompok ini termasuk juga kelompok penonton yang hanya

menyukai salah satunya dan at au mereka yang tidak memberikan jawaban,

tetapi memberikan komentar tentang hal-hal yang tidak berhubungan dengan

pertanyaan dalam angket.

3. HasH Temuan a. Responden Berdasarkan PengKategorisasi

Angket yang disebarkan sebanyak 60 buah angket dan memdapat respon

sebanyak 49 angket. Dari 49 responden yang menjawab angket, ada beberapa

hal yang dapat dicermati antara lain:

72

a. lumlah responden laki laki : 17 orang

b. lumlah responden perempuan : 32 orang

c. Pekerjaan para responden adalah karyawan, wiraswasta, ibu rumah

tangga, mahasiswa dan lain-lain;

d. Usia para responden antara 20 - 61 tahun.

e. Ada hal yang menarik dalam angket yaitu mereka yang menjawab

bahwa pekerjaannya adalah sebagai karyawan swasta, sedangkan

mereka yang pekerjaannya sebagai karyawan pemerintahan,

petugas perpustakaan, pegawai balai pustaka semua menulis pada

kolom dengan menandai kolom lain-lain. Hal ini menarik bahwa

seolah-olah mereka yang tergolong karyawan pemerintahan tidak

termasuk dalam kategori karyawan.

f. Kelompok the lovers (pencinta) didominasi oleh kaum perempuan

dari usia 20 tahun hingga 61 tahun, dan sebagian besar berstatus

ibu rumah tangga.

UNCjllA Vol. 6 No.1, Maret 2007 68-82

Page 80: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

g. Pada kelompok the haters (pembenci) usia responden berkisar

aritara 28 hingga 51 tahun. Mereka menyatakan ketidaksukaan

mereka rata- rata karen a tidak menonton maka tidak berminat.

h. Kelompok the ambivalens (peragu) merupakan kelompok yang

mewakili hampir semua golongan (status). Berusia 20 hingga 54

tahun. Mereka kebanyakan berasal dari karyawan dan mahasiswa.

b. Hasil Analisis

1) Kelompok The Lovers (pencinta)

Kategori kelornpok ini ditujukan kepada para responden yang rnenyukai

FS dan menyukai juga drama Korea lainnya. Arti dari menyukai adalah.

a. menonton dari episode pertama hingga terakhir sampai habis;

b. menonton beberapa episode;

c. sarna sekali tidak menonton, tetapi menyukai kisahnya karen a

mengikuti kisahnya dari membaca di media massa;

d. menyukai kisahnya karen a mendengar cerita dari ternan.

Untuk kategori the lovers (pencinta) diperoleh lima belas responsi. Dari

lima belas responsi tersebut, terdapat empat responden laki-laki dan sebelas

responden perempuan. Dari seluruh anal isis yang dilakukan terhadap ke-15

responden yang dikategorisasikan ke dalam the lovers (pencinta) dihasilkan

beberapa responsi yang beragam yang mengindikasikan hal hal sebagai berikut.

a. Drama FS merupakan drama nostalgia.

b. lsi cerita menarik, mudah dimengerti, dramatik (cerita yang mustahil),

simpel, kisahnya tentang cinta sejati, dan hampir sarna dengan drama

Korea lainnya yang berisi kisah tentang si kaya, sakit, perpisahan,

tabrakan, pertengkaran dan lain-lain.

c. Drama FS dan drama Korea sarna seperti drama Jepang tempo dulu.

Fenomena Fuyu No Sonu(a : Pandangan Orang Jepang Terhadap Drama Korea (Dewi Ariantini Yudhasari) 73

Page 81: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

d. Drama FS dan drama Korea bcrhasil merubah kesan dan pandangan

terhadap Korea.

e. Drama FS dan drama Korea mengingatkan hal-hal yang sudah

dilupakan oleh orang Jepang seperti dalam ajaran konfusianisme yaitu

menghormati orang tua, menghormati orang yang lebih tua,

mempercayai orang, menghargai orang, dan kesederhanaan.

2) Kelompok The Haters (pembenci)

Kategori kelompok ini ditujukan kepada mereka yang tidak menyukai

drama FS maupun drama Korea lainnya. Tidak menyukai dikategorisasaikan

sebagai berikut.

a. Tidak menyukai drama FS atau drama Korea lainnya;

b. Tidak menyukai kisah drama FS maka tidak menonton;

c. Tidak menyukai karena alsan tertentu.

Dalam kategori ini terdapat delapan responden yang terdiri atas tiga

responden laki-Iaki dan lima responden perempuan yang berkomentar sebagai

berikut.

a. Tidak suka karena tidak minat.

b. Tidak suka karena ceritanya tidak sesuai dengan kenyataan atau

realistas, seperti orang dibodohi.

c. Drama FS dan drama Korea menjual mimpi.

d. Tidak percaya pada apa yang ditayangkan drama.

f. Tidak menonton karena pengaruh komik atau media massa.

g. Aktor Korea tidak tamp an dan tidak menarik.

74 UNt;UA Vol. 6 No.1, Maret 2007 68--82

Page 82: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Dalam kategori pembenci, sebagian besar mereka yang membenci drama

FS atau pun· drama Korea lainnya sebagian besar adalah para karyawan

pemerintah dan swasta. Komentar yang menarik adalah bahwa mereka hampir

semua mengatakan kisah drama FS tidak menarik. Drama FS dan drama

lainnya tidak menyuguhkan realitas, dan hanya menjual mimpi. Kemudian,

alasan yaitu ketika menonton dan tidak tertarik maka mereka berhenti

menonton di tengah jalan. Ada yang menonton beberapa kali pada bagian awal

dan akhir saja. Ada yang tidak menonton sarna sekali, dan ada juga yang tidak

menonton sarna sekali tetapi membaca dari media massa tentang cerita itu lalu

menutuskan untuk tidak menonton.

3) Kelompok he Ambivalent (peragu)

Kelompok the ambivalent (peragu) merupakan kategori kelompok yang

tidak menjawab apakah ia suka atau tidak terhadap drama FS atau drama Korea

lainnya. Komentar mereka beragam ada yang berhubungan dengan apa yang

ditanyakan di dalam angket dan ada yang tidak.

Jumlah responden sebanyak dua puluh enam responden. Komentar

mereka antara lain sebagai berikut.

a. Suka juga tidak dan tidak suka juga tidak

b. Tidak suka menonton, tetapi tidak dapat menentang arus drama Korea

yang menjadi sangat popular di Jepang sekarang ini.

c. Orang boleh memilih mau menontori atau tidak yang menonton banyak

mengatakan bahwa drama Korea menyuguhkan cerita romantis, karen a

drama Korea popular, menyuguhkan cerita yang segar. Di lain pihak

yang tidak menonton berkomentar bahwa tidak berminat.

Fenomena Fuyu No Sonata: Pandangan Orang Jepang Terhadap Drama Korea (Dewi Ariantini Yudhasari) 75

Page 83: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

d. Drama FS maupun drama Korea masuk ke Jepang karena lesunya

produk drama Jepang yang secara ekonomi mereka kekurangan dana

untuk pembuatannya.

e. Drama Korea masuk membawa angin segar.

f. Melalui drama FS maupun drama Korea dapat mengetahui cara berpikir

orang Korea, budaya Korea, cara hidup mereka sehari-hari, kebiasaan

orang Korea, membangkitkan minat untuk ingin belajar bahasa Korea,

dapat meningkatkan pertukaran kebudayaan yang pengaruhnya akan

baik bagi kedua negara.

g. Drama Korea menyuguhkan kisah drama Jepang tempo dulu (nostalgia)

h. Drama Korea dapat digunakan sebagai wadah pembelajaran budaya.

1. Munculnya drama Korea di Jepang memberikan pengetahuan baru dan

pemahaman tentang Korea.

J. Walaupun Jepang dan Korea puny a sejarah mas a lalu, dengan drama ini

mulai muncul kegiatan pertukaran kebudayaan yang berpengaruh

positif bagi kedua negara.

k. Merupakan wadah pe'ftukaran kebudayaan bagi kedua negara dan dapat

memunculkan pemahaman baru tentang Korea.

Kelompok the ambivalents (peragu) sebagian besar adalah para generasi

yang dapat menerima adanya budaya lain yang masuk ke Jepang. Artinya,

mereka melihat drama yang masuk ke Jepang sebagai hal yang biasa dan tidak

ada kat a untuk menolak terhadap mengalirnya budaya luar yang masuk ke

Jepang.

76 UNGlJA Vol. 6 No.1, Maret 2007 68--82

Page 84: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

c. Ideologi Penon ton dalam Drama Fuyu no Sonata dan Drama Korea

Jdeologi yang berhubungan dengan budaya popular menurut John Storey

adalah pertama, ideologi yang diartikan sebagai seperangkat gagasan yang

diarttikulasikan oleh sekolompok orang tertentu. Kedua, ideologi berhubungan

dengan penciptaan kedok atau distorsi yang digunakan untuk menyembunyikan

realitas dan menghasilkan kesadaran palsu. Distorsi atau kedok ini bekerja bagi

kepentingan kaum mayoritas, sehingga mereka tidak memandang diri mereka

sendiri sebagai kaum yang mendominasi dan mengopresi, sementara

sebaliknya kaum minoritas pun tidak merasa didominasi dan diopresi berkat

realitas yang disembunyikan itu. Ketiga, ideologi mengacu kepada apa yang

disebut sebagai "bentuk-bentuk ideologi", yaitu cara berbagai teks (film, lagu

pop, karya fiksi dan lain-lain) yang mehadirkan citra tertentu. Hal itu dapat

juga merebut simpati masyarakat sehingga melihat dunia seperti yang

diinginkannya. Keempat, pengertian ideologi bukan hanya seperangkat

gagasan semata melainkan sutau bentuk praktik material. 3

Bedasarkan pengertian ideologi terse but di dapat kesimpulan pada kasus

respon penonton terhadap drama FS dan drama Korea ditemukan adanya ragam

dari respon yang diberikan oleh penonton dalam tiga kategorisasi sebagai

berikut.

1) Kelompok the Lover.s (pencinta)

Responden kelompok the lovers (pencinta) mempercayai, menyukai, dan

merasa ingin terus menonton lagi drama FS atau pun drama Korea lainnya.

Alasannya bahwa menonton drama FS maupun drama Korea seperti

dininabobokan oleh nostalgia drama Jepang tempo dulu. Mereka diingatkan

kembali akan drama Jepang yang mempunyai tema sederhana seperti "cinta

3 Muijadi, 2004: 71-72.

Fenomena Fuyu No Sonata: Pandangan Orang Jepang Terhadap Drama Korea (Dewi Ariantini Yudhasari) 77

Page 85: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

sejati" dan hal-hal yang sudah mulai dilupakan orang Jepang. Salah satu

pernyataan responden yang menarik mengatakan bahwa :

"Korea adalah negara yang menganut paham konfusius. Mereka didik masyarakatnya untuk menghormati orang tua dan orang yang lebih tua. Hal inilah yang sekarang dilupakan oleh masyarakat Jepang.

Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa melalui drama FS maupun

drama Korea lainnya, masyarakat Jepang kembali teringat akan apa yang

pernah mereka miliki sebelumnya. Mereka tersadarkan oleh drama-drama

Korea tersebut bahwa mereka pernah memiliki hal itu yang pada kenyataannya

sekarang dalam masyarakat yang berubah hal itu sudah dilupakan orang. Jika

melihat pernyataan di atas, FS mengusung salah satu ajaran yang merupakan

ideologi konfusianisme. Sebagai sebuah masyarakat yang menganut dan

menyakini ajaran konfusianisme, mereka juga memiliki norma menghormati

yang lebih tua dan menghargai orang lain yang justru hal ini sedikit demi

sedikit hHang dalam norma dan kebiasaan orang Jepang sehari-hari.

2) Kelompok The haters (pembenci)

Responden yang diperoleh dari kelompok ini rata-rata mengacu pada

jawaban "suka juga tidak, tidak suka juga tidak". Beberapa responden

menjawab tidak berminat, atau mereka yang sudah pernah menonton lalu tidak

berminat untuk menonton kembali. Ada juga yang tidak menonton karena

telah membaca kisahnya dari surat kabar atau majalah sehingga mengurungkan

niatnya untuk menonton. Tipe responden ini memberi kesan bahwa media

massa memberi pengaruh yang kurang baik terhadap diri penonton. Seperti

yang diungkapkan oleh salah seorang responden yang mengatakan menonton

drama FS atau drama lainnya terkesan dibodohi karena drama tidak

mengajarkan tentang kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

78 UNC;lIA Vol. 6 No.1, Maret 2007 68-82

Page 86: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Dengan katci lain, budaya masa dipandang sebagai sesuatu yang dapat memberi

pengaruh negatif dalam diri manusia. Kesan mass culture is bad tergambar

dalam respon tersebut. Dengan kata lain, drama menjual mimpi bukan realita.

Selain itu, pengaruh luar yang dapat mempengaruhi image penonton

sangat beragam. Salah satunya adalah karena tidak percaya terhadap apa yang

ditayangkan dalam drama. Responden ini menyatakan bahwa menurutnya

orang Jepang yang menonton drama Korea karena produksi drama Jepang

sekarang sedang lesu. Jika hal ini dikaitkan dengan kondisi ekonomi Jepang

dewasa ini, dapat dilihat bahwa industri perfil man di Jepang juga sedang

mengalami kelesuan. Di satu sisi, hal ini merupakan peluang bagi Korea untuk

masuk ke Jepang. Reaksi responden tersebut menyatakan seperti berikut ini.

Saya tidak suka pada drama FS atau drama Korea lainnya. Tidak ada alasan apa apa, karena tidak percaya apa yang ditayangkan. Nasib orang tidak bisa dirubah dengan melihat laki-Iaki dan perempuan menangis, saya tidak mengerti apakah orang Korea berpikiran seperti itu. Menurut saya, orang Jepang sekarang mempunyai perhatian terhadap drama Korea setelah melihat reaksi drama buatan Jepang.

Dalam penelitian ini diperoleh jawaban responden yang tidak menyukai

drama FS maupun drama Korea dikarenakan kebanyakan adalah pengaruh dari

mass media atau cerita orang lain. Bahwa media massa mampu membuat

sese orang merasa dibodohi dengan suguhan drama yang tidak berpijak pada

realita yang ada di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kesan mass

culture is bad jelas tergambar dari respon yang muncul pada kelompok ini.

Tontonan seperti drama dianggap sebagai suatu hal yang tidak mengajarkan

kepada masyarakat untuk melihat pada kenyataan hidup melainkan hidup

dalam dunia impian yang diciptakan dalam drama itu. Namun, justru kelompok

Fenomena Fuyu No Sonata: Pandangan Orang Jepang Terhadap Drama Korea (Dewi Ariantini Yudhasari) 79

Page 87: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

inilah sebenarnya yang mewakili suara mereka yang jujur dan konsisten dalam

mengomentari ten tang hal itu.

3) Kelompok the Ambivalent (peragu)

Pada kelompok ini diperoleh respon yang beragam. Respon yang

dihasilkan lebih mengungkapkan pendapat responden mengenai hal-hal yang

tidak bicarakan dalam konten pertanyaan yang diajukan. Respon yang

dihasilkan salah satunya adalah sebagai berikut.

Dua tahun yang lalu saya pernah menonton FS, tetapi hanya 5 menit saja. Saya berpikir SUV produser drama itu membuat drama ketika salju turun dan mengambil setiap shin dari dalam mobil, kesan itu cukup melekat di hati saya. Kalau melihat sekilas, sebenarnya latarnya cukup sulit. Karena saya tidak tahu sarna sekali tidak tahu drama ini dan tidak tahu detail ceritanya maka saya tidak dapat berkomentar banyak hanya di Jepang drama FS ini cukup meninggalkan kesan bagi masyarakat Jepang. Anak SD juga tahu.

Kelompok ini lebih memberikan peluang kepada masyarakat untuk

menilai dan memilih sendiri apakah mereka suka atau tidak, menonton atau

tidak menonton dan bebas berkomentar menurut mereka sendiri. Persoalan

yang muncul bukan terbatas pada suka atau tidak suka, tetapi para responden

lebih melihat di luar dari drama itu sendiri. Salah satu di antaranya adalah

tentang hubungan pertukaran kebudayaan Jepang - Korea yang dimunculkan

sebagai sebuah wacana agar tercipta adanya pemahaman kebudayaan kedua

negara.

Selanjutnya, respon yang diperoleh dari kelompok ini juga ingin

mengatakan bahwa digandrunginya drama Korea merupakan cerminan atas

kelesuan produksi drama Jepang yang merupakan dampak dari kelesuan

ekonomi Jepang sendiri.

80 UNGtJA Vol. 6 No.1, Maret 2007 68-82

Page 88: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jawaban responden

kelompok ini" bukan pada persoalan suka atau tidak suka menonton drama FS

atau drama korea lainnya, melainkan lebih pada hal yang bersifat

mengakomodir budaya yang masuk ke Jepang. Mereka tidak berhenti hanya

pada drama itu sendiri, tetapi melihat drama sebagai sarana bagi terciptanya

proses pemahaman budaya.

4. Penutup

Jika dilihat dari sisi pemanfaatan drama ditemukan bahwa pada kelompok

the lovers . (pencinta) menyukai drama FS dan drama Korea karena mereka

dapat belajar tentang hal-hal yang mulai dilupakan oleh masyarakat Jepang.

Selain itu, melalui drama ternyata mampu membangun kesan baru dengan eara

pandang yang baru tentang Korea pada umumnya. Sementara dari kelompok

the haters (pembenci) ingin mengatakan bahwa media massa dapat mengubah

kesan dan eara pandang orang ten tang sesuatu hal. Sedangkan dari kelompok

the ambivalent (peragu) diperoleh respon bahwa mereka tidak mempersoalkan

suka atau tidak suka, tetapi lebih pada memberikan peluang dan kesempatan

kepada masyarakat untuk menentukan pilihannya sendiri. Responden ini

melihat bahwa drama Korea sebagai refleksi terhadap kebudayaan Jepang dan

refleksi terhadap lesunya produk drama Jepang yang dipengarubi olah lesunya

kondisi perekonomian Jepang dewasa ini. Dengan kata lain, budaya yang

masuk dibiarkan muneul dan berkembang sebagai sebuah jalan baru bagi

masuk dan diterimanya budaya Korea di Jepang.

Fenomena Fuyu No Sonata: Pandangan Orang Jepang Terhadap Drama Korea (Dewi Ariantini Yudhasari) 81

Page 89: LINGUA STBA LIA (Vol. 6, No. 1, Maret 2007)

DAFTARPUSTAKA

Ang, len, Watching Dallas: Soap Opera and the Melodramac Imagination,

Methuen & Co. Ltd. London, 1983.

Muljadi, Hialny. Sihir dalam serial Harry Potter: Anailsis Responsi Pembaca,

Tesis Prog. Pascasarjana, FIB-UI, Depok. 2004

Storey, John, Teori Budaya dan Budaya Pop. Qalam.Yogyakarta, 2003.

Website Internet:

Ang, len. Mass Media: reception analysis - len Ang on Dallas

http://www.cultsock.ndirecLco.uk/MUHome/cshtml/media/angdall.html

(diakses pada 12 Mei 2005)

http://www.eva.hi-ho.ne.jp/nishikawasan/az/winter.htm

(diakses pad a 11 Juli 2005)

http://www3.nhk.or.jp/kaigai/sonata/into/index.html

(diakses pada 26 Oktober 2004)

http://www.daijob.com/dj4/en/column/kate/column.jsp?id=598

(diakses pada 15 Desember 2004)

http://www.asahi.com/anglish/opinion/TKY200411180152.html

(diakses pada 31 Januari 2005)

82 UNC;lIA Vol. 6 No.1, Maret 2007 6&-82