Lapsus

47
BAB 1 PENDAHULUAN Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama.Keadaan ini memerlukan penanganan segera yang sering berupa tindak bedah, misalnya pada perforasi, obstruksi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun di saluran cerna. Infeksi, obstruksi, atau strangulasi saluran cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. 1,2 Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Peritonitis menggambarkan sebuah penyebab penting morbiditas dan mortalitas bedah. 1,3,4 Peritonitis dapat terjadi secara lokalisata maupun generalisata, dan diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi sinergistik antara aerob dan anaerob; 1

description

lps

Transcript of Lapsus

Page 1: Lapsus

BAB 1

PENDAHULUAN

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga

perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan

utama.Keadaan ini memerlukan penanganan segera yang sering berupa tindak

bedah, misalnya pada perforasi, obstruksi, atau perdarahan masif di rongga perut

maupun di saluran cerna. Infeksi, obstruksi, atau strangulasi saluran cerna dapat

menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi

saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,2

Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang

sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya

apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,

komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.

Peritonitis menggambarkan sebuah penyebab penting morbiditas dan mortalitas

bedah.1,3,4

Peritonitis dapat terjadi secara lokalisata maupun generalisata, dan

diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminan-

kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi

sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan tubuh

untuk melokalisasi infeksi. Peritonitis generalisata umumnya sering berhubungan

dengan disfungsi/kegagalan organ, dan mortalitas dapat mencapai 20-40%.4

1

Page 2: Lapsus

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum

Peritoneum merupakan membran serosa terbesar tubuh, yang terdiri

dari selapis epitel gepeng (mesotelium) dengan lapisan penyokong berupa

jaringan penghubung areolar yang mendasarinya.Peritoneum dibagi menjadi

peritoneum parietal yang melapisi dinding kavum abdominopelvik, dan

peritoneum viseral yang melapisi beberapa organ di dalam kavum.Suatu

ruang sempit yang mengandung cairan serosa pelumas yang berada di antara

peritoneum parietal dan viseral disebut kavum peritoneum. Pada beberapa

penyakit, kavum peritoneum dapat membesar akibat akumulasi beberapa

liter cairan, dan kondisi ini disebut asites.5

Beberapa organ berada pada bagian posterior dari dinding abdomen

dan dilapisi peritoneum hanya pada permukaan anteriornya saja.Organ-

organ tersebut tidak berada di dalam kavum peritoneum. Organ-organ

seperti ginjal, kolon asenden dan desenden, duodenum dari usus halus, dan

pankreas disebut sebagai organ retroperitoneal.5

Tidak seperti perikardium dan pleura yang melindungi jantung dan

paru, peritoneum mengandung lipatan-lipatan besar yang melingkupi visera.

Lipatan-lipatan tersebut mengikat organ-organ satu sama lain dan juga

mengikat dinding kavum abdomen. Lipatan-lipatan tersebut juga

mengandung pembuluh darah, saluran limfe, dan saraf-saraf yang

menyuplai organ-organ pada abdomen. Ada lima lipatan peritoneum utama,

yakni omentum besar, ligamentum falsiformis, omentum kecil,

mesenterium, dan mesokolon.5

Peritoneum parietal mendapat inervasi dari nervus interkostalis 8-11

dan nervus subkostalis.Peritoneum parietal yang melapisi sisi kaudal

diafragma diinervasi oleh nervus frenikus (v.c 3-5). Peritoneum viseral

mendapat inervasi sesuai organ yang ditutupinya.5

Peritoneum berfungsi untuk mengurangi gesekan antar organ intra

abdomen agar dapat bergerak bebas. Peritoneum menghasilkan cairan

2

Page 3: Lapsus

peritoneum sekitar 100 cc berwarna kuning jernih. Jika terjadi cedera

peritoneum, daerah defek mesotelium akan segera ditutupi oleh mesotelium

sekitarnya dan sembuh dalam waktu 3-5 hari. Jika cedera cukup luas dan

membran basalis terpapar cairan peritoneum maka akan memacu timbulnya

jaringan fibrosis sehingga timbul adhesi yang akan mencapai maksimal 2-3

minggu setelah cedera.5

2.2. Peritonitis

2.2.1. Definisi

Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum,

fibrin, sel-sel, dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri

abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, muntah, dan

demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada

peritoneum.1,3,5

Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi

bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan), namun apabila terjadi

kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi

yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif,

hal tersebut merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya

peritonitis.5

2.2.2. Etiologi

Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat

juga disebabkan oleh zat kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis,

klamidia, diinduksi obat atau diinduksi oleh penyebab lainnya yang

jarang. Peritonitis bakterial dapat diklasifikasikan primer atau

sekunder, bergantung pada apakah integritas saluran

gastrointestinal telah terganggu atau tidak.4

Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial

Peritonitis/SBP) merupakan infeksi bakteri yang luas pada

peritoneum tanpa hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Hal

3

Page 4: Lapsus

ini jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita usia remaja. 90%

kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba.Streptococcus

pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya.Faktor

risiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,

keganasan intra abdomen, imunosupresi, dan splenektomi.

Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik,

gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis

dengan asites.3,4,5

Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum

akut yang terjadi akibat hilangnya integritas saluran

gastrointestinal. Kuman aerob dan anaerob sering terlibat, dan

kuman tersering adalah Escherichia coli dan Bacteroides fragilis.4

Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat

cara: (1) invasi langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada

luka tusuk abdomen, infeksi saat laparatomi); (2) translokasi dari

organ dalam intra abdomen yang rusak (misalnya pada perforasi

ulkus duodenum, gangren usus yakni pada apendisitis, trauma, atau

iatrogenik pada bocornya anastomosis); (3) melalui aliran darah

dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana

terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis

Streptococcus β-hemolyticus primer dan pasien post splenektomi,

SBP pada pasien dengan gagal hati dan asites); dan (4) melalui

saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran langsung dari

lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis

akut, perforasi uterus akibat alat intra uterus).4

Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari

seluruh kasus peritonitis, dan biasanya sekunder dari perforasi

ulkus duodenum atau gaster. Peritonitis steril akan berlanjut

menjadi peritonitis bakterial dalam waktu beberapa jam akibat

transmigrasi mikroorganisme (misalnya dari usus).4

Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari

peritonitis steril dan dapat terjadi berbagai sumber penyebab:

4

Page 5: Lapsus

iatrogenik (misalnya kelicinan saat penyatuan duktus sistikus saat

kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan idiopatik.4

Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah

peritonitis tuberkulosis, peritonitis klamidia, dan peritonitis akibat

obat dan benda asing.4

2.2.3. Patofisiologi

Peritonitis diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase

pembuangan cepat kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum

ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi sinergistik antara aerob

dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan tubuh untuk

melokalisasi infeksi.4

Pada fase pertama terjadi pembuangan cepat kontaminan-

kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik.Hal ini

terjadi karena cairan peritoneum yang terkontaminasi bergerak ke

arah sefal sebagai respons terhadap perbedaan gradien tekanan

yang dibuat oleh diafragma.Cairan tersebut melewati stomata pada

peritoneum diafragmatika dan diabsorpsi ke lakuna limfatik. Cairan

limfe akan mengalir ke duktus limfatikus utama melalui nodus

substernal. Septikemia yang terbentuk umumnya melibatkan

bakteri Gram negatif fakultatif anaerob dan berhubungan dengan

morbiditas yang tinggi.4

Pada fase kedua terjadi interaksi sinergistik antara kuman

aerob dan anaerob dimana mereka akan menghadapi sel-sel fagosit

dan komplemen pejamu. Aktivasi komplemen merupakan kejadian

awal pada peritonitis dan melibatkan imunitas bawaan dan

didapat.Aktivasi tersebut muncul terutama melalui jalur klasik,

dengan jalur alternatif dan lektin yang membantu.Surfaktan

fosfolipid yang diproduksi oleh sel mesotel peritoneum bekerja

secara sinergis dengan komplemen untuk meningkatkan opsonisasi

dan fagositosis.Sel mesotel peritoneum juga merupakan sekretor

poten mediator pro-inflamasi, termasuk interleukin-6, interleukin-8,

5

Page 6: Lapsus

monocyte chemoattractant protein-1, macrophage inflammatory

protein-1α, dan tumor necrosis factor-α. Oleh karena itu, sel

mesotel peritoneum memegang peranan penting pada jalur

pensinyalan sel untuk memanggil sel-sel fagosit ke kavum

peritoneum dan upregulation sel mast dan fibroblas pada

submesotelium.4

Pada fase ketiga terjadi usaha sistem pertahanan tubuh untuk

melokalisasi infeksi, terutama melalui produksi eksudat fibrin yang

mengurung mikroba di dalam matriksnya dan mempromosikan

mekanisme efektor fagositik lokal.Eksudat fibrin tersebut juga

mempromosikan perkembangan abses. Pengaturan pembentukan

dan degradasi fibrin merupakan hal vital pada proses ini. Aktivitas

pengaktifan plasminogen yang dibuat oleh sel mesotel peritoneum

menentukan apakah fibrin yang terbentuk setelah cedera

peritoneum dilisiskan atau dibentuk menjadi adhesi fibrin. Secara

khusus, tumor necrosis factor-α menstimulasi produksi

plasminogen activator-inhibitor-1 oleh sel mesotel peritoneum,

yang menghambat degradasi fibrin.4

2.2.4. Manifestasi Klinis

Pada peritonitis terjadi pergeseran cairan dan gangguan

metabolik. Frekuensi jantung dan frekuensi napas pada awalnya

akan meningkat sebagai hasil dari refleks volumetrik, intestinal,

diafragmatik, dan nyeri. Asidosis metabolik dan peningkatan

sekresi aldosteron, antidiuretic hormone (ADH), dan katekolamin

yang juga menyusul akan mengubah cardiac output dan respirasi.

Protein akan dirusak dan glikogen hati dimobilisasikan akibat

tubuh sedang memasuki suatu keadaan katabolisme yang hebat.

Ileus paralitik dapat terjadi, yang kemudian akan menyebabkan

sekuestrasi hebat cairan, dan hilangnya elektrolit dan eksudat kaya

protein. Distensi abdomen yang hebat akan menyebabkan elevasi

diafragma, dan akan menyebabkan atelektasis dan pneumonia.

6

Page 7: Lapsus

Gagal organ multipel, koma, dan kematian akan mengancam jika

peritonitis tetap berlangsung dan gagal untuk terlokalisasi.4

2.2.5. Diagnosis

Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Anamnesis

sebaiknya termasuk operasi abdomen yang baru saja, peristiwa

sebelum peritonitis, perjalanan anamnesis, penggunaan agen

immunosuppresif, dan adanya penyakit (contoh: inflammatory

bowel disease, diverticulitis, peptic ulcer disease) yang mungkin

menjadi predisposisi untuk infeksi intra abdomen.3

Pada pemeriksaan fisik, banyak dari pasien yang mempunyai

suhu tubuh lebih dari 38oC, meskipun pasien dengan sepsis berat

bisa menjadi hipotermi.Takikardia bisa ada, sebagai hasil dari

pelepasan mediator inflamasi, dan hipovolemia intravaskular akibat

muntah dan demam.Dengan dehidrasi progresif, pasien bisa

menjadi hipotensif (5-14% pasien), juga oliguria atau anuria.

Dengan peritonitis berat, akan tampak jelas syok sepsis. Syok

hipovolemik dan gagal organ multipel pun dapat terjadi.3,4

Ketika melakukan pemeriksaan abdomen pasien yang

dicurigai peritonitis, posisi pasien harus supinasi. Bantal dibawah

lutut pasien bisa membuat dinding abdominal relaksasi.3

Pada pemeriksaan abdomen, hampir semua pasien

menunjukkan tenderness pada palpasi, juga menunjukkan

kekakuan dinding abdomen.Peningkatan tonus muskular dinding

abdomen mungkin volunter, respons involunter sebab iritasi

peritoneum.Abdomen sering mengembung dengan suara usus

hipoaktif atau tidak ada. Tanda gagal hepatik (contoh: jaundice,

angiomata) bisa terjadi. Pemeriksaan rektal sering meningkatkan

nyeri abdomen, terutama dengan inflamasi organ pelvik, tetapi

jarang mengindikasikan diagnosis spesifik. Massa inflamasi kenyal

di kanan bawah mengindikasikan appendisitis, dan fluktuasi dan

penuh bagian anterior bisa mengindikasikan cul de sac abscess.3,6

7

Page 8: Lapsus

Pada pasien wanita, penemuan pemeriksaan bimanual dan

vaginal bisa dengan penyakit inflamasi pelvik (contoh:

endometriosis, salpingo-ooforitis, abses tubo-ovarian), tetapi pada

pemeriksaan sulit untuk menginterpretasikan peritonitis berat.3

Pemeriksaan fisik lengkap penting untuk menghindari adanya

gejala yang mirip dengan peritonitis. Masalah toraks dengan iritasi

diafragma (contoh: empiema), ekstraperitoneal (pielonefritis,

sistitis, retensi urin akut), dan dinding abdomen (contoh: infeksi,

hematoma rektus) bisa meniru tanda dan gejala pasti dari

peritonitis.3

Jadi keluhan pokok pada peritonitis adalah nyeri abdomen

dan lemah. Sedangkan tanda penting yang dapat dijumpai pada

pasien peritonitis antara lain pasien tampak ketakutan, diam atau

tidak mau bergerak, perut kembung, nyeri tekan abdomen, defans

muskular, bunyi usus berkurang atau menghilang, dan pekak hati

menghilang.3

Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada

pasien peritonitis antara lain leukositosis, peningkatan hematokrit,

dan asidosis metabolik.6

Prediktor tunggal paling baik dari SBP adalah jumlah

neutrofil cairan asites ≥ 500 sel/µL, dengan sensitivitas 86% dan

spesifisitas 98%. Cairan peritoneum seharusnya dievaluasi untuk

glukosa, protein, Laktat Dehidrogenase (LDH), jumlah sel,

pewarnaan gram, dan kultur aerobik dan anaerobik. Cairan

peritoneum pada peritonitis bakterial umumnya menunjukkan pH

rendah dan level glukosa munurun dengan level LDH dan protein

meningkat. Biasanya, pH cairan asites < 7,34 adalah diagnosis

SBP. SBP ditegakkan ketika jumlah PMN ≥ 250 sel/µL dengan

hasil kultur bakterial positif. Keraguan menegakkan SBP jika hasil

kultur cairan asites negatif tetapi jumlah PMN ≥ 250 sel/µL.3

Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi

(anterior, posterior, lateral). Pada dugaan perforasi apakah karena

8

Page 9: Lapsus

ulkus peptikum, pecahnya usus buntu (apendiks) atau karena sebab

lain, tanda utama radiologi: (1) posisi supinasi, didapatkan

preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan

kekaburan pada kavum abdomen; (2) posisi duduk atau berdiri,

didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunar

shadow); dan (3) posisi Left Lateral Decubitus (LLD), didapatkan

free air intra peritoneal pada daerah perut yang paling tinggi.

Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis

dengan dinding abdomen.Jadi gambaran radiologis pada peritonitis

yaitu adanya kekaburan pada kavum abdomen, preperitonial fat

dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma

atau intra peritoneal.6,8

2.2.6. Diagnosis Banding

Pneumonia basal, infark miokardium, gastroenteritis,

hepatitis, dan infeksi saluran kemih mungkin sering salah

didiagnosis dengan peritonitis. Penyebab lain nyeri abdomen yang

hebat adalah obstruksi saluran cerna, kolik ureter, dan kolik bilier.4

2.2.7. Penatalaksanaan

A. Terapi Konservatif

Terapi medikamentosa diindikasikan jika: (1) infeksi

telah terlokalisasi (misalnya appendix mass); (2) penyebab

peritonitis tidak membutuhkan tindakan pembedahan

(misalnya pankreatitis akut); (3) pasien tidak cocok untuk

anestesi umum/general anaesthesia (misalnya pada pasien

lanjut usia, pasien sekarat dengan komorbiditas yang hebat);

dan (4) fasilitas medis tidak dapat mendukung manajemen

bedah yang aman. Elemen utama pada terapi medikamentosa

adalah hidrasi cairan melalui i.v. line dan antibiotik spektrum

luas. Terapi suportif sebaiknya mencakup early enteral

9

Page 10: Lapsus

feeding(daripada total parenteral nutrition) untuk pasien

dengan sepsis abdomen yang kompleks di ICU.4

B. Terapi Segera (Immediate)

Penanganan pasien peritonitis saat pertama kali datang

tetap mengikuti kaidah primary survey (Airway, Breathing,

Circulation, Disability, dan Exposure).6,7,8

Dalam hal airway, kelancaran jalan napas harus

dijaga.Penilaian adanya obstruksi jalan napas harus dilakukan

segera. Selain melakukan pembebasan jalan napas, harus juga

dijaga agar leher tetap dalam posisi netral.6,7,8

Dalam hal breathing, penolong harus membebaskan

leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan

kepala.Lalu dinilai laju dan dalamnya pernapasan.Inspeksi dan

palpasi leher dan dada dilakukan untuk menentukan adanya

deviasi trakea, pemakaian otot pernapasan tambahan, dan

tanda cedera lainnya.Pemberian oksigen konsentrasi tinggi

merupakan hal vital untuk semua pasien syok. Hipoksia dapat

dipantau melalui pulse oximetry atau pemeriksaan Analisis Gas

Darah (AGDA).4,6,7,8

Dalam hal circulation, harus dilakukan kontrol

perdarahan.Penilaian kecepatan, kualitas, dan keteraturan nadi

harus dilakukan.Warna kulit dan tekanan darah juga harus

dinilai.2 i.v line berukuran besar harus segera dipasang,

terutama pada pasien dengan ancaman syok.

Dalam hal disability, dilakukan pemeriksaan neurologis

singkat.Tingkat kesadaran ditentukan dengan menggunakan

skor Glasgow Comma Scale (GCS). Pupil dinilai besarnya dan

refleks cahayanya.4,6,7,8

Dalam hal exposure, pakaian penderita dibuka dan

dilakukan pencegahan hipotermia.6

10

Page 11: Lapsus

Bila seluruh penilaian dan penangan awal pada primary

survey sudah dilakukan dan pasien telah stabil, maka dapat

dilakukan secondary survey. Pada secondary survey, dilakukan

penilaian terhadap seluruh sistem organ secara lengkap dan

komprehensif, yakni sistem pernapasan (breathing/B1), sistem

peredaran darah (blood/B2), sistem saraf (brain/B3), sistem

saluran kemih (bladder/B4), sistem pencernaan (bowel/B5),

dan sistem muskuloskeletal (bone/B6).6

Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan

dehidrasi bahkan syok.Dehidrasi dideskripsikan sebagai suatu

keadaan keseimbangan cairan yang negatif atau terganggu

yang bisa disebabkan oleh berbagai jenis penyakit. Dehidrasi

terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada

pemasukan air (input). Cairan yang keluar biasanya disertai

dengan elektrolit.12Resusitasi cairan merupakan hal penting

dalam menangani keadaan tersebut.Resusitasi cairan diawali

dengan pemberian kristaloid i.v. hangat.Volume cairan yang

diberikan disesuaikan dengan derajat dehidrasi dan

syok.Substitusi elektrolit (terutama kalium) kadang diperlukan.

Pasien perlu dipasang kateter urin untuk memantau urine

output tiap jam. Sampel darah diambil untuk pemeriksaan

darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan, golongan darah dan

cross match, dan AGDA.4,6,7,8

Pada dehidrasi gejala yang timbul berupa rasa haus, berat

badan turun, kulit bibir dan lidah kering, saliva menjadi

kental.Turgor kulit dan tonus berkurang, apatis, gelisah, dan

kadang-kadang disertai kejang. Akhirnya timbul gejala

asidosis dan renjatan dengan nadi dan jantung yang berdenyut

cepat dan lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun,

dan pernapasan Kussmaul.9,10

11

Page 12: Lapsus

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik,

dehidrasi dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan

berat.2,9,10,11

Tabel 2.1. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Tanda-Tanda

Klinis

Ringan Sedang Berat

Hemodinamik Takikardi Takikardi,

hipotensi

ortostatik, nadi

lemah, vena

kolaps

Takikardi,

sianosis, nadi sulit

diraba, akral

dingin

Jaringan Mukosa lidah

kering

Lidah lunak,

keriput

Atonia, mata

cekung/corong

Turgor Kulit < << <<<

Urin Pekat Pekat, jumlah

menurun

Oliguria

Kesadaran Normal Apatis, gelisah Koma

Defisit 3-5% BB 6-8% BB 10% BB

Berdasarkan gambaran elektrolit serum, dehidrasi dapat

dibagi menjadi: (1) dehidrasi hiponatremik atau hipotonik, (2)

dehidrasi isonatremik atau isotonik, dan (3) dehidrasi

hipernatremik atau hipertonik.9,10,11

Dehidrasi hiponatremik merupakan kehilangan natrium

yang relatif lebih besar daripada air, dengan kadar natrium

kurang dari 130 mEq/L. Apabila terdapat kadar natrium serum

120-125 mEq/L, maka akan terjadi keluhan pusing, mual,

muntah, atau bingung. Apabila kadar natrium turun sampai di

bawah 115 mEq/L, akan terjadi kejang, koma, bahkan

kerusakan neurologis permanen. Kehilangan natrium dapat

dihitung dengan rumus :

12

Page 13: Lapsus

Defisit natrium (mEq) = (135 - S Na) air tubuh total

(dalam L) (0,6 x berat badan dalam kg).9,10,11

Dehidrasi isonatremik (isotonik) terjadi ketika hilangnya

cairan sama dengan konsentrasi natrium dalam darah.

Kehilangan natrium dan air adalah sama jumlahnya/besarnya

dalam kompartemen cairan ekstravaskular maupun

intravaskular.Kadar natrium pada dehidrasi isonatremik 130-

150 mEq/L. Tidak ada perubahan konsentrasi elektrolit darah

pada dehidrasi isonatremik.9,10,11

Dehidrasi hipernatremik (hipertonik) terjadi ketika cairan

yang hilang mengandung lebih sedikit natrium daripada darah

(kehilangan cairan hipotonik), kadar natrium serum > 150

mEq/L. Kehilangan natrium serum lebih sedikit daripada air,

karena natrium serum tinggi, cairan di ekstravaskular pindah

ke intravaskular meminimalisir penurunan volume

intravaskular. Dehidrasi hipertonik dapat terjadi karena

pemasukan (intake) elektrolit lebih banyak daripada air. Cairan

rehidrasi oral yang pekat, susu formula pekat, larutan gula

garam yang tidak tepat takar merupakan faktor resiko yang

cukup kuat terhadap kejadian hipernatremia. Terapi cairan

untuk dehidrasi hipernatremik dapat sukar karena

hiperosmolalitas berat dapat mengakibatkan kerusakan

serebrum dengan perdarahan dan trombosis serebral luas, serta

efusi subdural. Jejas serebri ini dapat mengakibatkan defisit

neurologis menetap.9,10,11

Resusitasi cairan adalah tindakan mengganti kehilangn

cairan tubuh yang hilang patologis kembali menjadi normal.

Algoritme penanganan pasien dengan dehidrasi meliputi

langkah-langkah berikut ini: (1) Pemasangan jalur intravena

ukuran besar untuk akses pemberian terapi cairan; (2) Menilai

kondisi umum pasien seperti hemodinamik, jaringan, turgor

kulit, urin, dan kesadaran, untuk kemudian pasien

13

Page 14: Lapsus

diklasifikasikan berdasarkan derajat dehidrasinya; (3)

Menghitung perkiraan kehilangan cairan berdasarkan derajat

dehidrasi dan berat badan pasien; (4) Memberikan terapi cairan

berdasarkan derajat dehidrasinya dimana pasien dengan

dehidrasi berat, dilakukan pemberian cairan awal (dehidrasi

tahap cepat) dengan kecepatan 20-40 ml/kgBB/jam selama 30-

60 menit. Selanjutnya diberikan terapi cairan tahap lambat

yang dibagi menjadi 2 bagian, yaitu 8 jam pertama dan 16 jam

berikutnya.Pada 8 jam pertama, diberikan setengah dari

kekurangan cairan yang telah dihitung sebelumnya dikurangi

cairan yang diberikan pada tahap cepat, ditambah dengan

cairan rumatan untuk 8 jam.Untuk 16 jam berikutnya,

diberikan setengah dari kekurangan cairan yang telah dihitung

sebelumnya dikurangi cairan yang diberikan pada tahap cepat,

ditambah dengan cairan rumatan untuk 16 jam.Terapi cairan

pada dehidrasi derajat ringan atau sedang langsung dimulai

dengan tahap lambat seperti yang telah disebutkan

sebelumnya.

Jenis-jenis cairan yang dapat digunakan dalam resusitasi :

1) Cairan Kristaloid

Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan

ekstraseluler (CES = CEF). Indikasi penggunaan antara

lain untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel pada

pasien syok hipovolemik, kasus – kasus perdarahan

memerlukan cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah

cukup (3-4 kali jumlah darah yang hilang ) ternyata sama

efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk

mengatasi defisit volume intravaskuler.Waktu paruh

cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30

menit.

Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah,

mudah di dapat, tidak perlu dilakukan cross match, tidak

14

Page 15: Lapsus

menimbulkan alergi, menurunkan viskositas darah,

penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama. Efek

samping pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat

mengakibatkan timbulnya edema perifer dan edema

paru.Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan

juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya

tekanan intra kranial.

Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang

paling banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau

agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai

cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan

tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi

bikarbonat.

2) Cairan Koloid

Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa

disebut “plasma substitute” atau “plasma expander”. Di

dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai

berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang

menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama

(waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler.Oleh

karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan

secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik

atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan

kehilangan protein yang banyak (misal luka

bakar).Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan

dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan

dapat menyebabkan gangguan pada “cross match”.

Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan

koloid:

a) Koloid alami

Yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia

( 5 dan 2,5 % ). Dibuat dengan cara memanaskan

15

Page 16: Lapsus

plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk

membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi

protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga

mengandung alfa globulin dan beta

globulin.Prekallikrein activators (Hageman’s factor

fragments) seringkali terdapat dalam fraksi protein

plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu

pemberian infuse dengan fraksi protein plasma

seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps

kardiovaskuler.

b) Koloid sintesis yaitu:

A. Dextran:

Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul

40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat

molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri

Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam

media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan

volume expander yang lebih baik dibandingkan

dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu

memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro

karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas)

darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti

trombotik yang dapat mengurangi platelet

adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII,

meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran

darah. Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari

dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan

memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran

dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat

dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1

(Promit) terlebih dahulu.1

B. Hydroxylethyl Starch (HES)

16

Page 17: Lapsus

Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul

10.000 – 1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas

310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 mmHg.

Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal

akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari

dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid

ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan

dapat meningkatkan kadar serum amilase ( walau

jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl

starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu

mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali

volume yang diberikan dan berlangsung selama 12

jam. Karena potensinya sebagai plasma volume

expander yang besar dengan toksisitas yang rendah

dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch

dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada

penderita gawat.

C. Gelatin

Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte

dengan berat molekul rata-rata 35.000 dibuat dari

hidrolisa kolagen binatang.Ada 3 macam gelatin,

yaitu:

a. Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)

b. Urea linked gelatin

c. Oxypoly gelatin

Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan

pada penderita gawat. Walaupun dapat

menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama

dari golongan urea linked gelatin.Keuntungan

gelatin tidak terlalu mahal, dapat disimpan 2 – 3

tahun pada suhu ruangan, dampak pada system

koagulasi tidak terlalu menonjol, aman bagi fungsi

17

Page 18: Lapsus

ginjal.Kerugian gelatin cepat diekskresi melalui urin,

meningkatkan viskositas darah dan memudahkan

agregasi eritrosit, terjadi reaksi anafilaksis.

Tabel. Kandungan cairan

Jenis cairan yang dipilih untuk terapi cairan pada pasien

dengan dehidrasi adalah kristaloid seperti Ringer Laktat,

Ringer Asetat, atau NaCl 0,9%. Kristaloid juga dipilih untuk

memberikan cairan rumatan; (5) Melakukan penilaian dari

respon pasien terhadap terapi cairan yang diberikan.Apabila

pasien berespon dengan baik, diteruskan pemberian cairan

rumatan. Apabila pasien tidak berespon terhadap terapi cairan

yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk

menemukan penyebab lain dari dehidrasi. Selain itu, kondisi

ini dapat pula diakibatkan oleh terapi cairan yang kurang

adekuat, sehingga perlu dilakukan penilaian ulang terhadap

derajat dehidrasi pasien dan kebutuhan cairannya.9,10,11

Kebutuhan normal untuk rumatan pada dewasa adalah

25-35 ml/kgBB/hari.

18

Page 19: Lapsus

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan

elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena,

pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran cerna

dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan

fokus septik atau penyebab radang lainnya, bila mungkin

mengalirkan nanah keluar, dan tindakan-tindakan

menghilangkan nyeri. Antibiotik yang diberikan harus

spektrum luas, dapat menjangkau bakteri aerob dan anaerob,

dan diberikan secara intravena.Sefalosporin generasi ketiga

dan metronidazole merupakan terapi antibiotik utama yang

sering diberikan.Untuk pasien yang menderita peritonitis yang

didapat di rumah sakit (misalnya kebocoran anastomosis) atau

yang membutuhkan terapi intensif, terapi garis kedua dengan

meropenem atau kombinasi piperacilin dan tazobactam

direkomendasikan.Terapi antijamur juga sebaiknya

dipertimbangkan untuk menjangkau spesies Candida yang

mungkin menginfeksi.Penggunaan antibiotik lebih awal dan

sesuai merupakan kunci untuk mengurangi mortalitas pada

pasien dengan syok septik yang berhubungan dengan

peritonitis. Selain untuk dekompresi saluran cerna, penggunaan

pipa nasogastrik juga berfungsi untuk mengurangi risiko

pneumonia aspirasi.1,4

Tabel. Komposisi sekresi tubuh.

19

Page 20: Lapsus

2.2.8. Prognosis

Prognosis dari peritonitis tergantung dari berapa lamanya proses

peritonitis sudah terjadi. Semakin lama orang dalam keadaan

peritonitis akan mempunyai prognosis yang makin buruk.

Pembagian prognosis dapat dibagi menjadi tiga, tergantung

lamanya peritonitis: (1) kurang dari 24 jam: prognosisnya > 90 %;

(2) 24 – 48 jam: prognosisnya 60 %; dan (3) lebih dari 48 jam:

prognosisnya 20 %.1

20

Page 21: Lapsus

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. S

Usia : 35 th

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Dusun II Air Hitam Sum-Sel

Pekerjaan : Wiraswasta

No. Rekam Medik : 11 92 99

Berat Badan : 73 kg

Tinggi Badan : 171 cm

Tanggal dilakukan Anesthesia : 3 Desember 2014

Lama anesthesia : 1 jam 20 menit (11.50-13.10 WIB)

Diagnosa pra bedah : Hernia inguinalis sinistra inkarserata

Jenis pembedahan : Hernioplasti

Jenis anesthesia : General Anesthesia

Anesthesia dengan : Induksi dengan Propofol, Analgesia dengan

Fentanyl, Maintenance dengan Sevofluran+

O2 + N2O

21

Page 22: Lapsus

3.2 Pre-operasi

Anamnesa Pre-operasi

Pasien mengeluh nyeri pada seluruh lapangan perut sejak ± 1 hari SMRS.

Nyeri buah zakar (+).mual dan muntah (+), mencret (+). Pasien mengaku

awalnya terdapat benjolan pada lipat paha kiri sejak 1 tahun yang lalu.

Riwayat Operasi sebelumnya (-), Riwayat DM (-), Riwayat Hipertensi (-),

Riwayat penyakit jantung (-), Riwayat Asma (-). Penggunaan obat-obatan

disangkal. Makan dan minum terakhir jam yang lalu. Riwayat merokok (+).

Pemeriksaan Fisik Pre-op

B1 : Airway normal, napas spontan simetris, RR 22x/mnt,Rh (-), Wh(-),

Struma (-), RR: 22x/menit, skor MOANS 0 (Penyulit mask seal

(–), obesity (-), age 35, gigi ada, leher bebas bergerak), skor

LEMON (Buka mulut > 3 jari, Mandibulahyoid 3 cm, lokasi laring

2 cm, Mallampati score I, Obesitas (-), Leher bebas bergerak ).

B2 : Akral hangat, kering, merah, CRT<2 “, nadi 101 x/mnt kuat

angkat, TD 110/80, S1S2 tunggal regular, murmur(-), T.ax: 36,2o C

B3 : GCS 456, diameter pupil 3mm/3mm, Reflek Kornea +/+, Reflek

Cahaya +/+

B4 : BAK (+), Catheter (+), Produksi Urin 300 ml dalam 4 jam, kuning

agak pekat.

B5 : datar, lemas, Bising Usus (+) menurun, nyeri tekan seluruh

lapangan perut (+)

B6 : Mobilitas (+), CRT< 2 detik, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-),

edema (-)

Pemeriksaan Laboratorium (3 Desember 2014)

Darah Rutin

o Hb :17,2 gr/dl (N : 13,4 - 17,7)

o Leukosit : 18.700 / µl (N : 5.000-10.000)

22

Page 23: Lapsus

o Trombosit : 167.000 /µl (N : 150.000-400.000)

o Hematokrit : 48 % (N : 40 - 48)

o Diffcount : 0/1/1/90/6/2 (N : 0-1/ 1-3/ 2-6/ 50-

70/ 20-40/ 2-8)

Golongan darah: A

Rhesus: +

Faal Hemostasis

o Waktu perdarahan: 3’ (N : 1-6 menit)

o Waktu pembekuan: 10’ (N : 10-15 menit)

Kesimpulan : Dalam Batas Normal

3.3 Laporan Anestesi Preoperatif

Assessment: ASA 2, emergensi

Diagnosa pra bedah : Suspect peritonitis e.c. Hernia inguinalis

sinistra inkarserata

Keadaan pra bedah (3 Desember 2014):

TB: 171 cm, BB 73 kg

TD: 110/80 mmHg, nadi 101 x/menit, RR 22x/menit, suhu

36,2oC

Hb: 17,2 gr/dl

Urine 300 cc (dibuang)

Pasien puasa pre-operasi (6 jam)

Jenis pembedahan : Hernioplasti

3.4 Durante Operasi

Jenis anesthesia : General Anastesi

Teknik anesthesia : Intubasi oral

Lama anesthesia : 1 jam 20 menit (11.50- 13.10 WIB)

Lama operasi : 1 jam (12.00-13.00 WIB)

Posisi : Supine

Infus : RL 500 ml, 1 line tangan kiri

23

Page 24: Lapsus

Obat-obatan yang diberikan :

Obat premedikasi : Inj. Ondancetron 2 mg (diberikan di kamar operasi)

Obat induksi:

1. Inj. Fentanil 100 μg

2. Inj. Propofol 100 mg titrasi

3. Inj. Atracurium 50 mg IV

Obat maintenance anesthesia : Sevofluran dan O2

Obat analgetik durante operasi : N2O

Ekstubasi : inj. Neostigmin 0,5 mg IV dan Sulfas Atropine 0,25 mg IV

Medikasi post op : Dexametason inj 10 mg IV

Obat analgetik postoperasi: Inj. Ketorolac 30 mg IV

Cairan masuk:

Pre operatif : RL 1000 cc

Durante operatif : RL 500 cc dan Gelatin polysuccinate 500 cc

Cairan keluar:

Perdarahan : ± 200 cc

Produksi urin : Preoperatif : 300 cc (dibuang)

Durante operatif : 200 cc

3.5 Postoperatif di RR jam 13.15

Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)

Pemeriksaan fisik:

B1 : Airway normal, nafas spontan, RR 20x/menit RH(-),Wh(-),

saturasi oksigen 96% dengan O2 nasal canul 4 lpm.

B2 : Akral hangat, kulit merah, nadi 80x/menit, TD 130/80 mmHg,

S1S2 tunggal regular, murmur(-), T.ax: 36,6o C

B3 : GCS 456, diameter pupil 3mm/3mm, Reflek Cahaya +/+, Reflek

kornea +/+

B4 : Catheter (+), Produksi Urin 250cc

B5 : Bising Usus (+) menurun, mual (-), muntah (-)

B6 : Mobilitas normal, CRT< 2 detik, anemis (-), ikterik (-), sianosis(-)

24

Page 25: Lapsus

Terapi Pasca Bedah

Infus: infus RL 1000cc/24 jam

Antibiotika: Ceftriaxone 2x 1 gr iv, Infus metronidazole 3x500 mg.

Bila mual/muntah : Kepala miring, Inj Ondansetron 4 mg iv.

Bila kesakitan: Inj ketorolac 3x 30 mg IV

Minum atau makan: bertahap, jika tidak didapatkan mual dan muntah. Bising usus (+).

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien mengeluh nyeri pada seluruh lapangan perut sejak ± 1 hari SMRS.

Nyeri buah zakar (+).mual dan muntah (+), mencret (+). Pasien mengaku awalnya

terdapat benjolan pada lipat paha kiri sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat Operasi

sebelumnya (-), Riwayat DM (-), Riwayat Hipertensi (-), Riwayat penyakit

jantung (-), Riwayat Asma (-). Penggunaan obat-obatan disangkal. Makan dan

minum terakhir jam yang lalu. Riwayat merokok (+).

Kebutuhan cairan basal (maintenance) untuk dewasa adalah 25 - 35

ml/kgBB/hari. BB pasien adalah 73 kg. Jadi kebutuhan cairan basal pasien adalah

25x73 = 1825 cc / hari = 76 cc / jam.

Dari pemeriksaan, didapatkan pasien dengan keadaan dehidrasi ringan.

Dehidrasi ringan (defisit 3-5% BB) = 5/100 x 73000 (gram) = 3650 cc.

Rehidrasi lambat: 50% defisit cairan + rumatan diberikan dalam 8

jampertama kemudian 50% defisit cairan + rumatan diberikan dalam 16 jam

kedua.

8 jam pertama :

50% defisit cairan +rumatan :

50% defisit cairan = 50% x 3650 = 1.825cc (dalam 8 jam)

= 228cc/jam

25

Page 26: Lapsus

Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB = 73 kg adalah :

25x73 = 1825 cc / hari = 76 cc / jam.

Maka, dalam 8 jam pertama diberikan cairan sebanyak:

228 cc/jam + 76 cc/jam = 294 cc/jam

= 294 x 20tetes/60 menit

= 98 tetes/menit

16 jam berikutnya :

50% defisit cairan +rumatan :

50% defisit cairan = 50% x 3650 = 1.825cc (dalam 16 jam)

= 114cc/jam

Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB = 73 kg adalah :

25x73 = 1825 cc / hari = 76 cc / jam

Maka, dalam 8 jam pertama diberikan cairan sebanyak:

114 cc/jam + 76 cc/jam = 190 cc/jam

= 190 x 20tetes/60 menit

= 63 tetes/menit

Pasien puasa selama enam jam sebelum operasi. Untuk mengganti cairan

yang hilang, maka kebutuhan basal cairan (maintenance) dikalikan lama puasa, 76

x 6 = 456 cc. Pada 1 jam pertama diberikan 228 cc, dan 2 jam berikutnya

diberikan 114 cc.

Pada intraoperatif sensible water loss dari urine output adalah 200 cc, dan

insensible water loss

Pada pasien ini jumlah darah yang hilang didapatkan dari suction + kassa

besar + kassa kecil dengan perkiraan total 200cc. Metode yang paling umum

digunakan untuk memperkirakan kehilangan darah adalah pengukuran darah

dalam wadah hisap/suction dan secara visual memperkirakan darah pada spons

atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah

10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran

tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan

sesudah terendam oleh darah, namun pada operasi pasien ini tidak dilakukan.

Kebutuhan cairan rumatan/maintenance : 113 cc/jam x 1 jam = 113 cc

Cairan yang hilang selama operasi : 292 cc/jam x 1 jam = 292 cc

26

Page 27: Lapsus

Jumlah produksi urine durante operasi : = 200 cc

Jumlah darah yang hilang x 3 RL : 200 cc x 3 = 600 cc +

1205 cc

Pada pasien ini diberikan input cairan durante operasi adalah RL 500 cc dan

Gelatin polysuccinate 500 cc, dan post operatif diberikan RL 1000 cc

Pada keadaan telah dilakukan rehidrasi, Apabila pasien berespon dengan

baik, diteruskan pemberian cairan rumatan. Apabila pasien tidak berespon

terhadap terapi cairan yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk

menemukan penyebab lain dari dehidrasi.

27

Page 28: Lapsus

BAB V

KESIMPULAN

Kebutuhan cairan basal pada pasien adalah 113 ml / jam. Dari hasil

pemeriksaan didapatkan pasien dengan keadaan dehidrasi ringan. Dehidrasi

ringan (defisit 3-5% BB) = 5/100 x 73000 (gram) = 3650 cc

Pada keadaan Durante operatif, kebutuhan cairan adalah sebanyak 1150 cc,

dan diberikan terapi cairan dengan RL 500 cc dan Gelatin polysuccinate 500

cc, dan post operatif diberikan RL 1000 cc.

Pada keadaan telah dilakukan rehidrasi, Apabila pasien berespon dengan

baik, diteruskan pemberian cairan rumatan. Apabila pasien tidak berespon

terhadap terapi cairan yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut

untuk menemukan penyebab lain dari dehidrasi.

28

Page 29: Lapsus

29

Page 30: Lapsus

Lampiran

30

Page 31: Lapsus

31