Laporan Tutorial I - Kelompok I
-
Upload
lalu-hermawan-ranova -
Category
Documents
-
view
71 -
download
11
Transcript of Laporan Tutorial I - Kelompok I
“DEMAM 5 HARI”
OLEH
KELOMPOK 1
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM2008
DAFTAR ISI
Daftar Isi ........................................................................................................... 2
Skenario 1 ........................................................................................................ 3
Organ yang berperan dalam sistem imun ..................................................... 4
Imunitas spesifik dan nonspesifik .................................................................17
Imunitas aktif dan pasif ..................................................................................29
Antigen .............................................................................................................32
Antibodi ............................................................................................................35
Patofisiologi demam .......................................................................................43
Daftar Pustaka ................................................................................................ .49
2
SKENARIO 1
“DEMAM 5 HARI”
Sapto, anak laki-laki umur 5 tahun, menderita demam sejak lima hari yang lalu. Ibunya
sudah memberi kompres dan obat penurun panas. Setelah minum obat, suhu tubuhnya turun
menjadi normal untuk beberapa jam, tapi setelah itu naik lagi. Tadi malam Sapto panas lagi
dan mengigau, suhunya mencapai 40o C. Sapto juga mengeluh sakit jika menelan. Beberapa
hari sebelum sakit, Sapto mengalami luka robek dikakinya akibat terjatuh dari sepeda dan
sekarang mengalami inflamasi. Beberapa teman sapto juga sedang mengalami batuk-pilek,
tetapi tidak ada yang mengalami demam seperti Sapto. Ibunya sangat panik dan
membawanya ke IRD RSU Mataram. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan nadi 108
kali/menit, reguler, kuat. Suhu 39,5o C. Tonsila palatina dextra dan sinistra edema dan
hiperemis. Bagaimana mekanisme terjadinya demam pada Sapto? Bagaimana pula peran
sistem imun tubuh Sapto melawan antigen penyebab penyakitnya.
3
ORGAN-ORGAN YANG BERPERAN DALAM SISTEM
IMUN
Organ dan jaringan limfoid dibagi dalam 2 kelompok utama, yaitu organ limfoid
primer dan organ limfoid sekunder. Fungsi utama organ limfoid primer adalah
embriogenesis dari sel-sel yang
berfungsi dalam respon imun, dan
organ limfoid sekunder yang
disamping limfopoesis juga
bereaksi aktif terhadap stimulasi
antigen. Dalam hal ini kelenjar
timus dianggap sebagai organ
limfoid utama dalam imunogenesis
dan yang menjadi pusat
pengendalian aktifitas organ serta
jaringan limfoid yang lain.
Menurut fungsinya system limfoid
dibagi dalam 2 kompartemen, yaitu
:
1. Kompartemen sentral, dimana terjadi maturasi dan diferensiasi sel-sel yang mampu
bereaksi dengan antigen.
2. Kompartemen perifer, dimana terjadi interaksi sel-sel tersebut dengan antigen.
Rangsangan untuk maturasi sel
pada kompartemen sentral tidak
diketahui secara pasti, namun
diduga prolifersi dan maturasi sel
dipengaruhi oleh hormon timus dan
4
dapat terjadi tanpa stimulasi antigen. Sebaliknya maturasi sel pada kompartemen
perifer terjadi atas stimulasi antigen.
Organ Limfoid Primer
Leukosit dan sel-sel lain yang berperan dalam respons imun dibentuk dari stem
cell dalam sumsum tulang. Sel B mengalami maturasi dan diferensiasi dalam sumsum
tulang, sedangkan sel T mengalami maturasi dan diferensiasi dalam kelenjar timus,
karena itu, kedua organ itu disebut organ limfoid primer.
KELENJAR TIMUS
Thymus adalah anggota dari limfatik system dan endokrin sistem. Jadi, timus
dapat mengembangkan lymphocytes dan juga mengeluarkan hormon yang kemudian
akan mengatur aktivitas mereka. Thymus berlokasi diantara sternum dan arkus aorta di
mediastinum superior. Thymus sangat
besar pada saat janin dan sedikit
tumbuh selama masa anak-anak, ketika
pada saat aktif digunakan. Setelah umur
14 tahun (masa pubertas), timus mulai
untuk mengalami penyusutan sehingga
timus pada orang dewasa sangat kecil.
Setelah umur 14 tahun (masa pubertas),
timus mulai untuk mengalami
penyusutan sehingga timus pada orang
dewasa sangat kecil. Pada orang tua,
thymus hampir seluruhnya digantikan
oleh fibrosa dan lapisan lemak dan
hampir tidak dapat dibedakan dari
jaringan sekitarnya. Timus terbagi dalam
5
2 lobus dan banyak lobulus yang masing-masing terdiri atas korteks dan medula.
Kapsul fibrosa pada thymus menyemburkan trabeculae yang membagi parenkim ke
dalam beberapa lobuli. Masing-Masing lobuli mempunyai suatu korteks dan medulla
yang didiami oleh limfosit T. Sel retikular epitel menutupi korteks dari medulla dan
mengepung pembuluh darah dan sekelompok lymphocyte di dalam korteks. Dengan
demikian, mereka membentuk suatu blood-thymus barrier yang mengisolasikan
perkembangan limfosit-limfosit dari antigen asing. Setelah mengalami perkembangan di
korteks, sel T berpindah tempat ke medulla, di mana mereka menghabiskan waktu
selama 3 minggu disana. Tidak ada blood-thymus barrier di medulla; sel T dewasa
masuk ke pembuluh darah atau pembuluh limfatik di sini dan kemudian meninggalkan
timus. Di dalam medulla, sel reticular epithel membentuk lingkaran yang disebut badan
Hasall, yang bermanfaat untuk mengidentifikasi histologi timus. Di samping membentuk
blood-thymus barrier, sel retikular epitel mengeluarkan hormon, yaitu
thymosins,thymulin,and thymopoietin,yang merangsang perkembangan dan aksi sel T.
Di dalam medulla, sel reticular epithel membentuk lingkaran yang disebut badan
Hasall, yang bermanfaat untuk mengidentifikasi histologi timus. Di samping membentuk
blood-thymus barrier, sel retikular epitel mengeluarkan hormon, yaitu
thymosins,thymulin,and thymopoietin,yang merangsang perkembangan dan aksi sel T.
Jika thymus dipindahkan dari binatang menyusui yang baru lahir, mereka sangat
merana dan tidak mengalami perkembangan imunitas. Organ limfatik lainnya
nampaknya juga tergantung pada hormon thymic dan perkembangannya kurang baik
pada binatang yang mengalami thymectomized (pengangkatan kelenjar timus).
Sel induk pluripoten yang merupakan cikal bakal sel T, masuk ke dalam timus
lalu berplorifersi menjadi sel yang disebut timosit. Timosit dalm timus berda dalam
berbagai stadium maturasio. Bagian korteks lebih banyak mengandung sel yang muda,
sedangkan di bagian medula terdapat lebih banyak sel yang lebih matang. Proses yang
terjadi dalam perkembangan sel T dalam kelenjar timus adalah :
a. pembentukan berbagai reseptor sel T
b. seleksi sel T fungsional aktif yang dapat mengenal antigen tertentu yang
dipresentasikan melalui MHC.
6
c. Pemusnahan sel T autoreaktif melalui apoptosis.
d. Diferensiasi subpopulasi sel yang mengekspresikan CD4+ dan CD8+. Proses
diferensiasi limfosit dalam timus dipengaruhi oleh epitel timus dan sel dentritik yang
berasal dari sumsum tulang (interdigitating cells). Sel dentritik ini mengekspresikan
MHC kelas II dalam jumlah banyak dan diduga berperan dalam mendidik limfosit T
untuk mengenal antigen diri (self). Dalam proses maturasi ini sel T menjadi
imunokompeten. Hanya sel T matang yang kompeten untuk melaksanakan
fungsinya sebagai T-helper dan T-sitotoksik yang akan meninggalkan timus dan
masuk ke dalam sirkulasi darah dan hal ini terjadi dua sampai tiga hari setelah sel
induk masuk ke dalam timus. Limfosit itu selanjutnya menetap dalam organ limfoid
perifer.
SUMSUM TULANG DAN EKUIVALEN BURSA FABRISIUS
Merupakan organ terbesar di dalam tubuh, terdiri atas 4,5 % dari jumlah seluruh
berat tubuh. Pada orang dewasa, ada 2 macam sumsum tulang, yaitu sum-sum tulang
merah, dan sumsum tulang kuning. Sumsum tulang merah merupakan jaringan
hematopoietik yang aktif, sedangkan di dalam sumsum tulang kuning kebnyakan
jaringan hematopoietik telah diganti oleh lemak. Pada orang dewasa, sumsum tulang
merah terutama terdapat di dalam tulang dada, iga, ruas tulang belakang, tempurung
kepala, dan epifisis proksimal dari beberapa tulang panjang.
Ploriferasi dan maturasi dalam sumsum tulang dipengaruhi oleh sitokin yang
disebut sebagai colony stimulating factors (CFS). Faktor pertumbuhan hemopoetik
diproduksi oleh sel stroma dan makrofag dalam sumsum tulang, sehinggasumsum
tulang menghasilkan lingkungan yang sesuai untuk hemopoesis. Faktor pertumbuhan
juga diproduksi oleh limfosit yang diaktivasi oleh antigen, sehingga merangsang
pertumbuhan sel untuk menggantikan sel yang rusak akibat reaksi imunologik. Sitokin
yang merangsang prolifersi dan maturasi berbagai lineage berbeda-beda. Selain tempat
pematangan sel B, dalam sumsum tulang juga terdapat sel T matang dan plasmosit,
sehingga dengan demikian sumsum tulang disamping sebagai organ limfoid primer juga
berfungsi sebagai organ limfoid sekunder.
7
Organ limfoid sekunder
Organ limfoid sekunder merupakan tempat dimana antigen yang dibawa oleh sel
pembawa antigen (antigen transporting cells) dan APC berinteraksi denagn limfosit T
dan limfosit B spesifik. Struktur organ limfoid sekunder yang teratur dan menunjang
regulasi pematangan dan aktivasi sel limfoid yang responsif terhadap antigen
bersangkutan. Bagaimana organ limfoid sekunder dibentuk hngga mampu berfungsi
untuk menunjang aktivitas respons imun secara tepat belum banyak diketahui. Namun
ada indikasi bahwa sel B sendiri, tidak hanya berperan sebagai APC dan menyajikan
antigen kepada sel T serta memproduksi antibodi, tetapi ia juga berperan dalam
memberikan sinyal utama untuk pertumbuhan organ limfoid sekunder. Diduga bahwa
berbagai molekul yang diperlukan untuk perkembangan sel B normal juga berperan
dalam pembentukan pusat germinal (germinal center) dan lingkungan yang tepat untuk
maturasi sel B teraktivasi, misalnya CD40 dan CD40L, CD19, CD28 dan B7-2. Diantara
beberapa jenis sitokin yang mempunyai peran besar dalam pembentukan organ limfoid
sekunder adalah TNF dan limfotoksin (LT), yang diketahui dapat memberikan sinyal
penting untuk perkembangan struktur kelenjar getah bening. Peyer’s patch dan limpa.
Limfotoksin memegang peran penting dalam organogenesis kelenjar getah bening dan
peyer’s patch dan dalam menentukan kompartemen-kompartemen untuk sel T sel B
dalam limpa. Di samping itu LT dan TNF masing-masing menunjang pembentukan
struktur folikuler untuk sel B dalam kelenjar limfoid perifer. Aktivitas TNF dan LT dalam
memberikan sinyal untuk pertumbuhan jaringan limfoid perifer terutama dibantu oleh
reseptornya masing-masing yaitu TNFR dan LTbR.
Pembentukan limfosit dalam organ limfoid primer diikuti dengan migrasi sel-sel
tersebut ke dalam organ-organ limfoid perifer atau sekunder, dan migrasi ini merupakan
salah satu proses sirkulasi limfosit dalam tubuh (lymphocyte traffic). Berbagai penelitian
membuktikan bahwa dalam melakukan surveillance imunologik, limfosit melakukan
sirkulasi dalam tubuh, diawali dengan :
8
1. migrasi sel induk pluripoten dari hai janin atau sumsum tulang ke dalam organ
limfoid primer serta diferensiasi dan distribusi limfosit ke dalam organ limfoid perifer.
2. resirkulasi limfosit dari peredaran darah ke dalam limfa atau kelenjar limfe dan
kembali ke darah.
3. distribusi sel efektor ke tempat-tempat tertentu bila diperulkan untuk melakukan
reaksi imunologik.
Diketahui pula bahwa migrasi limfoid berlangsung secara selektif, yaitu bahwa
limfosit T cenderung bermigrasi ke kelenjar limfe perifer, sedangkan limfosit B lebih
banyak bermigrasi ke jaringan limfoid yang terdapat sepanjang mukosa. Migrasi ini
dikendalikan oleh reseptor yang terdapat pada vaskular yang berinteraksi dengan
reseptor spesifik pada limfosit. Selain itu migrasi diatur dan disesuaikan dengan status
aktifasi limfosit dan mediator yang berfungsi pada proses inflamasi dan kemotaksis.
Limfosit dalam keadaan istirahat cenderung bergerak ke arah terjadinya inflamasi.
Apabila limfosit menetap dalam jaringan ia mengekspresikan reseptor untuk protein
matriks ekstraseluler, termasuk diantaranya golongan integrin.
TONSIL
Tonsil adalah organ yang terdiri atas jaringan limfoid bersimpai tak utuh, yang
terdapat di bawah dan berkontak dengan epitel bagian awal saluran cerna. Tonsil
merupakan "patches of lymphatic tissue" yang berlokasi
di jalan masuk ke faring, di mana tempat mereka berjaga
untuk melawan patogen-patogen yang terhisap dan
tertelan. Masing-masing tonsil dilapisi oleh suatu
epithelium dan mempunyai lubang kecil dalam yang
disebut kriptus tonsilla yang dikelilingi oleh kelompok-
kelompok limfonodus. Kriptus tersebut sering berisi sisa-
sisa makanan, leukocytes mati, bakteri, dan bahan-kimia
antigenic. Di bawah kriptus, tonsil secara parsial terpisah
dari dasar jaringan ikat oleh suatu kapsule fibrosa yang
tidak sempurna. Tergantung lokasinya, tonsil dalam mulut dan faring disebut tonsila
9
palatina, faringea, atau lingualis. Tonsil-tonsil ini menghasilkan limfosit, dan banyak
diantara limfosit tersebut yang menginfiltrasi epitel.
a. Tonsila Palatina
Terdapat sepasang dalam jaringan ikat mukosa. Kedua tonsila palatina terletak
di dinding lateral faring di bawah epitel berlapis gepeng, jaringan limfoid padat pada
tonsil ini membentuk pita yang mengandung nodul limfoid, umumnya dengan pusat
germinal. Setiap tonsil memiliki 10-
20 invaginasi epitel yang masuk jauh
ke dalam parenkim, yang
membentuk kriptus (kriptus tosilla)
yang dilapisi oleh epitel permukaan,
dengan lumen yang berisi sel-sel
epitel yang lepas, limfosit hidup dan
yang sudah mati, serta bakteri.
Kriptus dikelilingi jaringan limfoid,
yang didalamnya terdapat
limfonodulus. Pada kriptus yang
lebih dalam terdapat banyak limfosit
pada epitelnya, sehingga tidak tedapat batas tegas antara epitel dan jaringan
limfoid.
Kriptus mungkin terlihat sebagai bintik-bintik purulen pada tonsilitis. Jaringan
limfoid dipisahkan dari struktur di bawahnya oleh suatu pita jaringan ikat padat,
yaitu simpai tonsil. Simpai tersebut merupakan padatan jaringan ikat fibrosa yang
berdekatan dengan bagian tonsila yang terdalam. Simpai ini biasanya bekerja
sebagai sawar terhadap penyebaran infeksi tonsil. Permukaannya dilapisi epitel
berlapis gepeng yang menyatu dengan epitel yang melapisi mulut dan faring.
b. Tonsila Faringea
10
Tonsila faringea adalah tonsil tunggal yang terdapat di bagian postero-superior
faring. Tonsil ini ditutupi oleh epitel bertingkat silindris bersilia dan sel goblet, yang
khas untuk epitel saluran pernafasan, dan daerah epitel berlapis. Tonsila faringea
terdiri atas lipatan mukosa dan mengandung janringan limfoid difus dan noduli.
Tonsil ini tidak memiliki kriptus dan simpainya lebih tipis daripada simpai tonsila
palatina dan mengelilingi tonsila membentuk septa ke dalam pusat lapisan epitel.
Hipertrofi tonsila faringea akibat radang menahun yang berakibat tersumbatnya
jalan masuk udara ke hidung disebut adenoid.
c. Tonsila Lingualis
Tonsila lingualis lebih kecil dan lebih banyak daripada tonsila palatina atau
tonsila faringea. Tonsil ini terletak di pangkal lidah di belakang papila sirkumvata.
Terdiri atas kriptus yang bermuara lebar dan masing-masing dikelilingi oleh jaringan
limfoid. Tiap kriptus dilapisi oleh lanjutan epitel permukaan yaitu epitel berlapis
gepeng. Jaringan limfoidnya berisi selapis limfonodulus, dengn pusat germinal.
Saluran keluarnya kelenjar mukosa dibawahnya bermuara ke permukaan atau ke
dalam kriptus. Setiap tonsila lingualis memiliki satu kriptus.
d. Tonsilla Tuba
Dianggap sebagai kelompok tonsilla tersendiri. Terletak disekeliling muara
faringeal tuba faringo-timpani (auditiva) dan membentuk perluasan tonsila faringeal
ke lateral. Dilapisi epitel silindris bersilia.
KELENJAR GETAH BENING
Pembuluh getah bening di bagian perifer kelenjar getah bening sangat mudah
ditembus oleh berbagai sel dan makromolekul endogen maupun eksogen. Dalam setiap
bagian ini limfosit dan sel-sel sistem imun lain tersusun dalam area-area tertentu
tergantung jenis dan fungsinya. Folikel merupakan bagian kelenjar yang berisi banyak
11
sel B. Folikel primer mngandung lebih banyak sel B matang yang belum pernah
terpapar antigen (naif) sedangkan pusat-pusat germinal berkembang sebagai respons
terhadap stimulasi antigen. Pusat-pusat germinal juga
dihuni oleh banyak sel dendritik yang mempunyai reseptor
untuk C3 dan fragmen IgG, dengan demikian antigen yang
tidak diproses dapat dipertahankan pada permukaan sel ini
dalam bentuk kompleks antigen-antibodi-C3 selama
beberapa bulan. Antigen yang tertangkap ini diduga
memberikan rangsangan secara periodek dengan sewaktu-
waktu melepaskan iccomes yang kemudian ditangkap dan
diproses oleh APC dan disajikan kepada sel T. Akibatnya
adalah dari waktu ke waktu sel T merangsang sel B memory untuk berproliferasi dan
membentuk pusat-pusat germinal. Dengan demikian, pusat germinal merupakan tempat
proliferasi dan selak si sel B yang
menghasilkan antibodi dengan
afinitas tinggi serta pembentukan sel
b memory.
Sel T terutama terdapat di
antara folikel dan dalam korteks yang
disebut area parakortikal.. sebagian
besar sel T adalah Th (CD4+)
bercampur dengan Tc (CD8+) yang
jumlahnya relatif sedikit. Limfosit T
naif masuk ke dalam kelenjar melalui
pembuluh getah bening atau venula
khusus yang melapisi endotel yang
disebut high endotelial venules (HEV)
yang jumlahnya cukup banyak dalam
zone kelenjar yang mengandung
banyak sel T. Di tempat ini sel T
bertemu dengan antigen yang ditransportasikan ke dalam kelenjar melalui getah bening
12
dan disajikan oleh sel dendritik. Jadi di tempat inilah dimulai respons imunologik sel T
terhadap antigen. Medula mengandung sebaran limfosit, makrofag, sel dendritik dan
dalam kelenjar yang mengalirkan getah bening dari tempat terdapat banyak sel plasma.
Mekanisme yang bertanggung jawab atas sekuestrasi anatimik berbagai jenis
limfosit dalam area yang berbeda-beda belum diketahui secara pasti. Salah satu
kemungkinan adalah pembagian dalam kompartemen-kompartemen itu dipertahankan
oleh kemampuan adhesi berbagai jenis lomfosit pada sel-sel stroma dan protein matriks
eksrtaseluler. Bagian parakortikal kelenjar getah bening mengandung banyak sel
pendamping yang mengekspresikan banyak MHC kelas II dan menyajikan antigen
kepada sel T. Kelenjar getah bening yang terbagi-bagi dalam pusat-pusat germinal
yang berisi sel B, daerah parakortikal yang berisi sel T yang bergerak cepat, sinus yang
penuh dengan makrofag dan sel-sel dendritik yang dapat menampung dan
mempertahankan antigen, merupakan tempat interaksi antara berbagai jenis sel yang
diperlukan untuk menimbulkan respons imun.
LIMPA
Limpa terdiri atas pulpa merah yang
terutama merupakan tempat penghancuran
eritrosit dan pulpa putih yang terdiri atas
jaringan limfoid. Di dalam limfa, limfosit T
menumpuk di bagian tengah lapisan limfoid
periarteriol, duapertiganya adalah sel Th CD4+
dan sepertiganya lagi adalah sel Tc (CD8+).
Sel B terdapat dalam folikel dan pusat-pusat
germinal di bagian perifer. Sel B dapat
dijumpai dalam bentuk tidak teraktivasi
maupun teraktivasi. Dalam pusat-pusat
germinal juga dijumpai sel dendritik dan
makrofag. Makrofag spesifik umumnya
13
terdapat di daerah marginal, dan sel ini bersama-sama dengan sel dendritik berfungsi
sebagai APC yang menyajikan antigen kepada sel B dan sel T.
Secara umum fungsi limpa dan responsnya terhadap antigen sama dengan
kelenjar getah bening. Perbedaan terpenting adalah bahwa limpa merupakan tempat
terjadinya respons imun terhadap antigen yang masuk melalui sirkulasi darah,
sedangkan kelenjar getah bening memberikan respons terhadap antigen yang masuk
melalui pembuluh getah bening.
a. Pulpa putih
Pulpa puith terdiri atas jaringan limfoid yang menyelubungi arteri sentralis dan
nodul limfoid yang menempel pada selubung. Kebanyakan sel-sel limfoid yang
mengelilingi arteri sentralis adalah limfosit T dan membentuk PALS. Nodus limfoid
terutema terdiri atas limfosit B. Di antara pulpa putih dan merah terdapt zona
marginal, yang terdiri atas banyak sinus dan jaringan limfoid longgar. Terdapat
sedikit limfosit dan banyak makrofak aktif disini. Zona marginal mengandung
banyak antigen darah dan karenanya berperan utama dalam aktivitas imunologik
limpa. Limfosit di bagian pusat PALS bersifat dependent timus, sedangkan zona
marginal dan limfonoduli-pulpa putih perifer-dihuni limfosit B.
b. Pulpa merah
Pulpa merah mengandung korda limfa dan sinusoid. Korda limfa terdiri atas
anyaman longgar sel-sel retikuler, yang ditunjang serat-serat retikulin. Selain itu,
korda limfa mengandung makrofag, limfosit T dan B, sel plasma, dan banyak sel
darah (eritrosit, trombosit dan granulosit). Sel-sel endotel panjang membatasi
sinusoid limpa dengan sumbu panjnag yang sejajar dngan sumbu panjang sinusoid.
Sel-sel ini dibungkus serat retikulin, yang terutama tersusun melintang, mirip
pengikat gentong. Serat panjang dan melintang bergabung membentuk anyaman
yang membungkus sel-sel sinusoid dan makrofag yang menempati celah-celah
diantara sel-sel endotel yang berdekatan. Di sekitar sinusoid terdapat suatu lamina
basal yang tidak utuh.
14
Jaringan limfoid lain
Jaringan limfoid lain tersebar dalam jaringan submukosa saluran nafas, saluran
cerna dan saluran urogenital. Contoh jaringan limfoid ynag tersusun baik dan
mengandung banyak pusat-pusat germinal adalah tonsil yang merupakan garis
pertahanan pada pintu masuk saluran cerna dan saluran nafas, dan Peyer’s Patch dan
apendiks termasuk gutassociated lymphoid tissues (GALT).
Dalam jaringan limfoid ini terdapat bagian yang dipengaruhi oleh timus maupun
yang tidak. Banyak limfosit juga dijumpai dalam lamina propria dari vili pada mukosa
usus kecil dan diantara sel-sel epitel mukosa. MALT yang terdapat pada saluran nafas,
saluran cerna dan urogenital berfungsi memberikan respons imunologik lokal pada
permukaan mukosa. Karean jaringan limfoid ini selain berisi limfosit juga berisi fagosit,
jaringan limfoid mampu memberikan respons nonspesifik maupun spesifik.
Di dalam jaringan limfoid sepanjang saluran cerna dan saluran nafas dibentuk
IgA sekretorik (sIgA) dan IgE yang disekresikan untk mempertahankan tubuh terhadap
antigen yang masuk melalui mukosa. Selain terkumpul dalam jaringan limfoid dan
kelenjar,limfosit bebas juga dapat menginfiltrasi epitel maupun jaringan lain di seluruh
tubuh.
Dalam mukosa saluran cerna, limfosit dijumpai dalam jumlah banyak di tiga
tempat utama, yaitu di dalam lapisan epitel, tersebar sepanjang lamina propria, dan
tersusun sacara teratur dalam lamina propria membentuk Peyer’s Patch. Sel-sel limfosit
dalam masing-masing area di atas mempunyai ciri fenotip dan fungsi berbeda.
Sebagian besar limfosit intraepitel adalah sel T.
Bagian lamina propria juga mengandung populasi limfosit campuran, yaitu sel T
yang sebagian besar adalah CD4+ dengan fenotip sel teraktivasi. Lamina propria juga
mengandung banyak sel B dan sel plasma, makrofag, sel dendritik, eosinofil dan
matosit. Di dalam peyer’spatch, seperti halnya dalam kelenjar limfoid, limfosit B
terutama terdapat dalam bagian tengah yang seringkali mengandung pusat-pusat
15
germinal. Di dalam bagian interfolikuler terdapat sejumlah kecil sel CD4+. Beberapa sel
epitel yang melapisi peyer’s patch merupakan sel-sel khusus membran (M). Sel ini
diduga berfungsi mengirim antigen intraluminal kepada peyer’s patch untuk diproses,
tetapi sel ini tidak berfungsi sebagai APC.
Kulit dan Membran Mukosa
Agen penyakit infeksi biasanya masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau
membran mukosa, seperti permukaan epitel nasofarings, paru-paru, usus, dan saluran
genito-urinaria. Rintangan mekanis kulit dan mukosa utuh pada tempat-tempat tersebut
akan mencegah masuknya organisme ke dalam tubuh. Kebanyakan bakteri gagal
bertahan hidup lama pada kulit karena pengaruh hambatan langsung asam laktat asam
lemak dalam keringat dan sekresi sebasea, serta pH rendah yang dihasilkannya.
Berbagai pertahanan fisik dan biokimia yang melindungi permukaan mukosa, seperti
lisozim, suatu enzim yang ada di daalam berbagai sekresi dan mampu mencegah
peptidoglikan yang melekat pada dinding sel beberapa bakteri. Mukus yang
disekresikan oleh membran mkosa memblokade perlekatan bakteri dan virus pada sel
epitel. Mikroba dan partikel lain akan terperangkap dalam mukus yang adesif dan
dibuang secara mekanis, seperti oleh gerakan silia, batuk, dan bersin. Daya sensor air
mata, ludah dan urin juga bersifat protektif.
Untuk melindungi tubuh, agregat limfoid dan kumpulan jaringan limfoid difus
terdapat di mukosa dan submukosa saluran-saluran cerna, napas dan kemih dan
ditempat tertentu membentuk struktur yang mencolok seperti tonsil dan plak peyer di
usus halus. Kulit juga mengandung banyak sel sistem imun seperti limfosit, makrofag
dan sel langerhans. Jaringan limfoid kulit dan mukosa membentuk suatu sistem efisien
dengan letak strategis untuk melindungi tubuh dari patogen lingkungan.
IMUNITAS SPESIFIK DAN NON SPESIFIK
16
Imunitas Spesifik
Daya tahan tubuh spesifik atau imunitas dibagi menjadi imunitas humoral yang
menyangkut reaksi antigen dan antibody yang komplementer di dalam tubuh; dan
imunitas selular yang menyangkut reaksi sejenis sel (T-limfosit) dengan antigen di
dalam tubuh.
Kedua imunitas disebut spesifik karena:
a. Setiap antibody dan settiap T-limfosit hanya bereaksi terhadap satu jenis antigen
saja. Kecuali bila ada antigen lain yang memiliki konfigurasi determinat site yang
serupa dengan antigen asli, maka akan terjadi reaksi antigen-entibodi. Reaksi ini
biasanya lemah karena keduanya tidak 100% komplementer. Peristiwa ini disebut
reaksi silang.
b. Baik B-limfosit dengan antibody yang dihasilkannya maupun T-limfosit dapat
mengenal dan mengingat determinate site pada antigen, kemudian berekasi
dengan antigen tersebut.
Perbedaan daya tubuh spesifik dan non spesifik adalah sebagai berikut:
a. Daya tahan tubuh non spesifik seperti rintangan mekanis, rintangan kimiawi,
fagositosis, dan komplemen, tidak memerlukan proses pengenalan terhadap
mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh.
b. Daya tahan tubuh nonspesifik akan bekerja terhadap bibit penyakit sekaligus.
Contohnya, asam lambung akan membunh berbagai bakteri, sedangkan fagositosis
mampu menelan berbagai bakteri.
Imunitas spesifik dibagi menjadi 3:
IMUNITAS SELULER
17
Peran sel T dapat dibagi menjadi dua fungsi utama, yaitu fungsi regulator dan
fungsi efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh salah satu subset sel T, sel T
penolong (juga dikenal sebagai sel CD4 karena petanda cluster of differentiation di
permukaan sel diberi nomor 4). Sel-sel CD4 mengeluarkan molekul yang dikenal
dengan nama sitokin untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Sitokin-sitokin dari sel
CD4 mengendalikan proses-proses imun seperti pembentukan immunoglobulin oleh sel
B, pengaktifan sel T lain, dan pengaktifan makrofag. Fungsi efektor dilakukan oleh sel T
sitotoksik (saat ini dikenal sebagai sel CD8 karena cluster of differentiation diberi nomor
8). Sel-sel CD8 mampu mematikan sel yang terinfeksi oleh virus, sel tumor, dan
jaringan transplantasi dengan menyuntikkan zat kimia yang disebut perforin ke dalam
sasaran “asing”.
Pendidikan Timus
Baik sel CD4 maupun sel CD8 menjalani “pendidikan timus” si kelenjar timus
untuk belajar mengenai fungsi. Teori delesi klonal memberikan salah satu penjelasan
bagaimana cara sel T mempelajari fungsinya. Saat mencapai timus, sel-sel T imatur
tidak memiliki reseptor pengikat epitop dan protein CD4 atau CD8. peran reseptor
epitop di sel T imatur adalah mengikat epitop antigenic. Peran protein CD4 dan CD8
pada sel T matang adalah untuk menstabilkan interaksi antara sel T dan sel lain.
Dengan demikian, sel T matang yang meninggalkan timus memiliki reseptor untuk
mengikat suatu epitop dan protein CD4 (menyebabkannya menjadi sel T CD4, atau
dikenal sebagai sel T penolong) atau protein CD8 (menyebabkannya menjadi sel T
CD8, atau sel T sitotoksik atau penekan).
Apabila sel T harus siap melaksanakan fungsinya saat meninggalkan timus,
maka sel tersebut pertama-tama perlu mengenai epitop-epitop asing dan kedua
memiliki protein CD4 atau CD8 dengan fungsi berikut: (1) sel yang mengenali sel diri
lainnya dari antigen MHC dan tidak berikatan dengan sel tersebut (yaitu, reseptor
protein sel T tidak akan “cocok” dengan sel diri lainnya); (2) sel yang menandai sel
asing sebagai penyerang; dan (3) sel yang dapat berikatan dengan sel asing dengan
18
protein CD4 atau CD8 fungsional untuk menstabilkan interaksi antara dua sel. Sel-sel
yang berpotensi reaktif terhadap antigen-diri dan komponen MHC juga mungkin
dihasilkan tetapi di timus sel-sel tersebut dihilangkan; sel ini mungkin dibunuh oleh sel
lain atau dibuat mengalami apoptosis (kematian sel terprogram).
Fungsi Regulator Sel CD4
Sel-sel CD4 terutama terdapat di medula timus, tonsil, dan darah, membentuk
sekitar 65% dari seluruh limfosit T yang beredar. Sel CD4 memiliki empat fungsi utama:
(1) sel CD4 memiliki fungsi regulatorik yang mengaitkan sistem monosit-makrofag ke
sistem limfoid; (2) sel CD4 berinteraksi dengan APC untuk mengendalikan
pembentukan immunoglobulin; (3) sel CD4 menghasilkan sitokin-sitokin yang
memungkinkan sel CD4 dan CD8 tumbuh, dan (4) sel CD4 berkembang menjadi sel
pengingat.
Salah satu fungsi regulatorik esensial pada sel CD4 adalah perannya
mengaitkan sistem monosit-makrofag (sistem pertahanan tubuh yang mengandung
SDP fagositik seperti monosit dan makrofag) dengan sistem limfoid. Apabila makrofag
menelan suatu imunogen misalnya bakteri, maka makrofag tersebut akan menguraikan
imunogen. Epitop-epitop bakteri adalah salah satu produk destruksi bakteri tersebut.
Sebuah epitop berikatan dengan antigen MHC makrofag (MHC klas II), yang
menyebabkan berkibarnya kompleks MHC-epitop “seperti bendera” di permukaan sel
makrofag. “Bendera” ini mengaktifkan sel CD4, yang reseptor antigennya juga berikatan
dengan kompleks epitop-MHC. Interaksi antara sel fagositik dan sel limfoid ini adalah
suatu keterkaitan esensial yang memungkinkan tubuh bertahan terhadap serangan
benda asing. Interaksi antara sel fagositik dan sel limfoid menyatukan dua sistem tubuh
yang kuat, menjadi suatu sistem pertahanan yang melindungi diri dari asing seumur
hidup orang yang bersankutan. Interaksi antara APC dan sel CD4 menghasilkan fungsi
regulator tambahan. Sel-sel CD4 dalam reaksi ini mengeluarkan interferon-gama (γ)
(suatu sitokin) setelah APC dan sel CD4 menyatu. Pengeluaran interferon-γ oleh sel
19
CD4 menarik makrofag lain ke lokasi, mengaktifkan makrofag tersebut, dan
memperkuat reaksi jaringan terhadap antigen asing.
Sel-sel CD4 memiliki fungsi regulatorik penting lainnya, terutama berkaitan
dengan pembentukan immunoglobulin. Saat menyajikan epitoop, APC berinteraksi
dengan sel CD4 dan mengaktifkannya. Sel –sel CD4 yang sudah diaktifkan akan
menghasilkan zat-zat kimia atau limfokin misalnya interleukin 2,4 dan 5 (IL-2, IL-4, IL-5).
Sitokin-sitokin ini dan berbagai interaksi lain merangsang sel B untuk membelah dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma, yaitu sel B matang yang mampu menghasilkan
immunoglobulin. Dengan demikian, sel CD4 esensial untuk merangsang sel B
menghasilkan immunoglobulin. Selain itu, pola sitokin kepada sel B yang terpejan
memengaruhi susunan gen yang menentukan tipe antibody yang akan dihasilkan.
Sel-sel CD4 memiliki fungsi regulatorik lain. Sebagai contoh, saat berinteraksi
dengan APC, produksi IL-2 juga penting untuk pertumbuhan sel CD4 dan CD8 yang
lain; peran ini menghasilkan imunitas seluler. Selain itu, sebagian sel T berkembang
menjadi sel T pengingat, yang mampu segera aktif apabila terpejan ke epitop di
kemudian hari.
Terdapat silang pendapat mengenai apakah terdapat subset-subset sel CD8
yang memiliki fungsi regulatorik di tubuh. Sebagian ahli imunologi menyarankan bahwa
sel CD8 tertentu memiliki fungsi penekan yang memodulasi atau “mematikan” kerja sel
T penolong (CD4) dan sitotoksik (CD8), sehingga keduanya tidak menyebabkan
kerugian bagi tubuh. Namun, saat ini para ahli imunologi belum mampu
mengidentifikasi adanya suatu subset spesifik sel CD8 penekan memiliki peran
“meredakan” ini. Walaupun pendapat yang sekarang berlaku adalah bahwa sel CD8
penekan dan sel CD8 sitotoksik tidak dapat dibedakan.
Fungsi Efektor Sel CD8
20
Limfosit CD8, yang ditemukan terutama di sumsum tulang dan GALT,
membentuk sekitar 35% dari seluruh limfosit T yang beredar. Sel-sel CD8 melakukan
dua fungsi efektor utama: hipersensitivitas tipe lambat dan sitotoksik. Hipersensitivitas
tipe lambat terjadi saat imunogen organisme intrasel seperti fungus atau mikobakteri
menimbulkan suatu respons alergi.
Sitotoksisitas terutama berperan dalam menghancurkan sel yang terinfeksi virus,
penolakan cangkokan, dan destruksi sel tumor. Semua sel di dalam tubuh memiliki
salah satu tipe antigen MHC (MHC kelas I) yang dapat memperlihatkan epirtop virus di
permukaan sel. Sel CD8 mengenali kompleks MHC-epitop tersebut dan, dengan
bantuan sel CD4, membentuk klona sel CD8 spesifik untuk epitop virus tersebut. Sel
CD8 kemudian mengeluarkan perforin (zat kimia tosik yang merusak membran luar sel
yang terinfeksi) dan granzymes (enzim-enzim prostease). Perforin membentuk sebuah
lubang menembus membran sel sehingga cairan ekstrasel dapat masuk ke dalam sel.
Selain itu, DNA sel mengalami penguraian, memicu terjadinya apoptosis. Saat sel yang
terinfeksi oleh virus mati, sel CD8 tidak terpengaruh dan terus mematikan sel-sel lain di
sekitarnya yang juga terinfeksi oleh virus yang bersangkutan.
Apabila dilakukan transpalasi organ atau jaringan asing, maka sel CD8 resipien
(penerima transpalasi) akan mengetahui bahwa antigen MHC di permukaan sel
transplan bukanlah antigen-diri. Dengan bantuan sel CD4, sel CD8 membentuk klona
sel yang spesifik untuk menghancurkan epitop asing di permukaan sel transplan. Sel
CD8 mematikan sel di jaringan asing dengan mengeluarkan perforin. Proses serupa
terjadi terhadap sel tumor. Seiring dengan tumbuhnya tumor, sering terbentuk
imunogen-imunogen baru (berbeda dari komponen diri sel tubuh normal) di permukaan
sel tumor. Epitop yang relevan akan dikenali oleh sel CD8, yang membentuk suatu
klona untuk melakukan surveilans terhadap tumor, yang idealnya dapat mematikan
neoplasma tersebut terbentuk.
Fungsi Utama Imunitas Seluler
21
Secara singkat, imunitas selular memiliki empat fungsi yang sering dikutip:
1. Sel T CD8 memiliki fungsi sitotoksik. Sel CD8 menyebabkan kematian secara
langsung sel sasaran seperti sel yang terinfeksi virus atau sel tumor. Sel CD8
melakukan fungsi ini dengan mengikat sel yang terinfeksi virus atau sel tumor dan
mengeluarkan perforin yang mematikan sel sasaran.
2. Sel T juga menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat saat menghasilkan
berbagai limfokin yang menyebabkan peradangan. Limfokin tidak saja memengaruhi
jaringan secara langsung, tetapi juga mengaktifkan sel lain seperti APC.
3. Sel T memiliki kemampuan untuk mengingat. Sel T pengingat memungkinkan
akselerasi respons imun apabila tubuh terpajan untuk kedua kalinya ke imunogen
yang sama walaupun dalam interval yang lama dari pajanan awal.
4. Sel T juga memiliki peran penting dalam regulasi atau pengendalian. Sel CD4 dan
CD8 meningkatkan atau menekan (atau keduanya) respons imun selular dan
humoral.
IMUNITAS HUMORAL
Sel B memiliki dua fungsi esensial: (1) berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
menghasilkan imunoglobulin, dan (2) merupakan salah satu kelompok APC. Pada masa
janin, prekursor sel B pertama kali ditemukan di hati kemudian bermigrasi ke dalam
sumsum tulang. Sel B mengalami pematangan dalam dua tahap tetapi, tidak seperti sel
T, tidak matang di timus. Fase pertama pematangan sel B bersifat independen-antigen.
Pada fase ini, yang mungkin berlangsung di sumsum tulang,sel bakal mula-mula
berkembang menjadi sel pra-B dan kemudian menjadi sel B yang memperlihatkan
imunoglobulin M (IgM) di permukaannya. Pembentukan IgM permukaan ini tidak
bergantung pada imunogen (yaitu, bukan merupakan hasil dari reaksi dengan suatu
epitop). Baik IgM maupun imunoglobulin D (IgD) di permukaan sel B dapat merupakan
reseptor epitop.
22
Pada fase kedua, atau fase dependen-antigen, sel B berinteraksi dengan suatu
imunogen, menjadi aktif, dan membentuk sel plasma yang mampu mengeluarkan
antibodi. Seleksi klonal adalah suatu teori yang menjelaskan bagaimana imunoglobulin
diproduksi. Setiap orang memiliki IgM atau IgD di permukaannya yang dapat bereaksi
dengan salah satu imunogen (atau kelompok imunogen yang berkaitan erat). Suatu
imunogen bereaksi dengan sel B yang imunoglobulin permukaannya paling “pas”
dengan imunogen tersebut. Saat diaktifkan oleh reaksi ini, sel B terangsang untuk
berproliferasi dan membentuk suatu klona sel. Sel-sel klona ini mengalami pematangan
menjadi sel plasma, yang mengeluarkan imunoglobulin yang spesifik untuk imunogen
yang pertama kalinya memicu perubahan ini. Pada fase kedua (dependen-antigen) ini,
sel B berinteraksi dengan suatu imunogen, menjadi aktif, dan membentuk sel plasma
yang mampu menghasilkan imunoglobulin.
Kompleks imunogen-imunoglobulin permukaan sel B juga dapat mengalami
endositosis (ingesti benda asing oleh sel). Sel B kemudian menyajikan epitop di
permukaannya di celah pengikatan antigen MHC. Kompleks epitop-MHC dikenali oleh
sel T CD4 (T penolong), yang menghasilkan interleukin untuk merangsang
pertumbuhan dan diferensiasi sel B. Terbentuk sebuah klona sel B yang menghasilkan
imunoglobulin yang spesifik bagi epitop tersebut. Selain itu, sebagian sel B yang sudah
diaktifkan berubah menjadi sel B pengingat, yang berada dalam keadaan inaktif
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai kembali terpajan ke imunogen
yang sama. Sebagian besar respons sel B memerlukan bantuan sel T.
INTERAKSI SELULAR-HUMORAL
Salah satu interaksinya disebut antibodi dependent sel mediated cytotoksicity
(ADCT). Istilah ini diberikan karena sitolisis baru terjadi bila dibantu oleh antibodi.
Antibodi melapisis antigen sasaran sehingga sel NK yang memiliki reseptor
terhadap fragmen Fc antibodi tersebut dapat melekat pada sel atau antigen
sasaran. Pengikatan sel NK melalui reseptornya pada komplek antigen antibodi,
23
mengakibatkan sel NK menghancurkan sel sasaran, yang dapat terjadi melalui
pelepasan berbagai enzim, sitolisin, reactif oxygen intermediates dan sitokin
langsung pada sel sasaran.
Imunitas Nonspesifik
Daya tahan tubuh nonspesifik mencakup rintangan mekanis, rintangan kimiawi,
sistem komplemen, interferon, fagositosis, demam, dan radang.
1. Rintangan Mekanis
Kulit yang utuh tidak dapat ditembus oleh mikroorganisme karena epidermis
terdiri dari berbagai sel epitel yang sangat rapat, disertai dengan lapisan tanduk
pada bagian atasnya.
Apabila kulit tergores ataupun lembab, maka infeksi oleh bakteri maupun jamur
akan lebih mudah terjadi. Walaupun selaput lendir (membrane mikosa) hanya terdiri
atas satu lapis atau beberapa lapis sel epitel saja, selaput lendir tetap sulit ditembus
oleh mikroorganisme. Hal ini disebabkan karena selaput lendir akan mensekresi
lendir (mucus) yang lengket dan akan memerangkap mikroorganisme ataupun
debu-debu, kemudian zat ini akan “disapu” keuar oleh gerakan silia.
Keringat, air mata, dan lendir dapat mengencerkan ataupun membersihkan zat
asing, sedangkan minyak dari kelenjar sebasea pada kulit melindungi kulit dari
kekeringan. Rambut hidung menyaring partikel kasar,. Refleks batuk, bersin,
muntah dapat mengeluarkan zat asing dari pernapasan dan saluran pencernaan
bagian atas.
2. Rintangan Kimiawi
Suasana asam di kulit akan mengurangi pertumbuhan mikroorganisme. Asam
lambung dapat membunuh berbagai mikroorganisme dan melumpuhkan berbagai
toksin. Flora mikroorganisme yang normal pada kulit dan selaput lendir dapat
menekan pertumbuhan bakteri pathogen, Lisozim suatu enzim bakterisida terdapat
24
pada air ludah, air mata, dan keringat yang akan menhurangi kemungkinan infeksi
oleh bekteri virus.
3. Sistem Komplemen
Sistem komplemen adalah suatu seri protein plasma yang normal berada dalam
keadaan nonaktif. Tetapi bila ada mikroorganisme tersebut akan mengaktifkan
system komplemen ini. Hal lain yang juga dapat mengaktifkan system komplemen
tersebut adalah bila terdapat kompleks antibody yang telah melekat dengan
antigen.
Sistem komplemen yang telah aktif ini berupa suatu seri reaksi kimia dengan
akibat sebagai berikut :
a. Menghasilkan opsinon, suatu zat yang melekatkan mikroorganisme dengan
leukosit sehingga memudahkan terjadinya fagositosis.
b. Menyebabkan pelepasan histamine oleh mastosis. Histamin menimbulkan
vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein.
c. Menghasilkan kemotoksin yang akan menarik leukosit menuju daerah infeksi.
d. Menghasilkan kinin yang mempunyai fungsi seperti histamin (vasodilatasi dan
meningkatkan permeabilitas pembuluh) juga bersifat merangsang ujung reseptor
saraf (rasa sakit, gatal)
e. Menimbulkan suatu reaksi pada membrane sel mikroorganisme yang
menyebabkan timbulnya “lubang-lubang” pada membrane. Hal inin kan
mematikan mikroorganisme.
4. Interferon
Sekumpulan protein yang diproduksi dan disekresikan sejumlah sel, misalnya
makrofag, fibrosit, limfosit yang terkena infeksi berbagai virus dinamakn interferon.
Begitu masik ke dalam cairan interstitial, interferon akan terikat oleh reseptor
membrane plasma dan sel yang sehat. Sel-sel yang telah terikat dengan interferon
tersebut terpicu untuk membentuk suatu protein antivirus, dengan demikian
melindungi sel-sel sehat terhadap serangan berbagai virus. Interferon juga dapat
25
merangsang jenis limfosit tertentu untuk langsung membunuh dan menghancurkan
sel-sel yang terinfeksi virus, juga sel-sel kanker jenis tertentu, misalnya kanker tahi
lalat, (melanoma) dan kanker payudara.
5. Fagositosis
Sewaktu tubuh terkena infeksi, terbentuk kemotoksin yang berasal dari
komplemen, dari racun bakteri atau dari sel-sel yang mati. Kemotoksin ini akn
terikat pada reseptor membrane plasma dari fagosit, kemudian akan mempengaruhi
kadar Ca²⁺ sitosol sehingga terjadi pergerakan ameboid dari fagosit menuju ke
daerah infeksi.
Dengan pergerakan ameboid dan dengan mensekresi enzim tertentu fagosit
dapat menerobos melintasi celah diantara sel-sel endothelium kapiler menuju kee
daerah infeksi. Peristiwa ini disebut diapedesis.
Fagosit dibedakan menjadi dua macam:
a. Makrofag
Berasal dari monosit yang berhasil masuk ke dalam jaringan. Bila makrofah
masih berjalan-jalan, disebut makrofag berkelana; bila sudah menetap di dalm
jaringan disebut histiosit atau makrofag menetap, contonya adalah microglia di
dalam otak dan makrofag pad dinding sinusoid hati.
b. Mikrofag
Merupakan suatu granulosit yang masuk ke dalam jarinagn melalui proses
diapedesis. Diantara granulosit yang berkemampuan paling besar
memfagositosis ialah netrofil, kemudian eusinofil.
Untuk terjadinya proses fagositosis diperlukan opsonin, kemudian: terbentuk
pseudopodia terbentuk vakuola fagositositik fusi lisosom dengan
vakuola fagositik membentuk fagolisosom proses pencernaan dan
penghancuran oleh enzim dan H2O2 limbah pencernaan dikeluarkan melalui
proses eksositosis.
26
Beberapa bakteri misalnya bakteri TBC dan Staphylococcus yang
terfagositosis kadang-kadang tidak mati, malah dapat berproduksi si dalam
fagosit, sehingga fagosit yang terbunuh.
6. Demam
Suatu keadaan dimana suhu tubuh melebihi normal, disebut demam. Suhu
tubuh normal berkisar antara 36,5-37,5 L C. Demam merupakan salah satu
manifestasi sistemik tubuh terhadap radang. Bakteri, virus yang menyerang tubuh,
sel kanker, sel yang mati menghasilkan zat yang disebut pirogen eksogen. Pirogen
eksogen ini merangsang makrofag dan monosit untuk menghasilkan sejenis protein
yang disebut pirogen endogen. Pirogen endogen merangsang merangsang sel-sel
hipotalamus menghasilkan prostaglandin E. Prostaglandin E inilah yang akan
menyetel thermostat di hipotalamus pada suhu yang lebih tinggi. Dengan demikian
timbul perasaan dingin, menggigil, suatu tanda suhu tubuh akan meningkat.
Telah dijelaskan bahwa sampai taraf tertentu demam ini sangat
menguntungkan karena bakteri atau virus akan lemah dan mati pada suhu tubuh
yang tinggi, BMR meningkat, rekasi kimia tubuh dipacu, leukosit lebih aktif;
semuanya ini akan mempercepat penyembuhan. Tetapi bersamaan dengan demam
karena efek prostaglandin, juga timbul gejala spesifik seperti sakit kepala, pusing-
pusing, lesu, pegal-pegal, bahkan kejang-kejang sampai kerusakan otak yang
mmbahayakan.
Obat-obatan paracetamol, pirazolon, aspirin, propionate, dan obat0obat-obat
penurun panas tubuh lainnya menghambat sintesis dari prostaglandin, dengan
demikian dapat menurunkan demam. Mengingat keuntungan dan kerugian dari
demam, maka penggunaan obat0obat pada demam di atas sering diperbincangkan.
7. Radang
Infeksi adalah masuk dan berkembangnya mikroorganisme di dalam tubuh.
Karena racun yang dikeluarkan oleh mikroorganisme, infeksi dapat menimbulkan
kerusakan pada sel-sel tubuh. Respon atau reaksi tubuh terhadap kerusakan sel-
27
sel tubuh yang disebabkan baik oleh bakteri, zat kimia, atau gangguan fisik
misalnya benturan, sinar, panas; dinamakan radang atau inflamasi.
Gejala dari radang adalah rubor, kalor, dolor, tumor, dan gangguan fungsi pada
daerah yang terkena radang. Contoh dari radang adalah amandel, bisul yang sakit
dan bengkak, kulit yang telah tertusuk duri kotor, encok pada sendi, kulit yang telah
terjemur sinar matahari, dan terkena asam. Reaksi radang yang disebabkan oleh
infeksi amandel adalah mirip dengan rekasi-reaksi radang lainny misalnya karena
encok, terkena asam, ataupun patah tulang.
8. Sel Natural Killer
Walaupun bukan sel T sejati, namun sel NK juga melaksanakan fungsi-
fungsi efektor yang penting. Sel NK mengkhususkan diri menghancurkan sel yang
terinfeksi virus dan neoplasma dengan mengeluarkan perforin yang serupa dengan
mengeluarkan perforin yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8. sel
natural killer diberi nama demikian karena sel ini aktif tanpa perlu terlebih dahulu
”disensitisasi” oleh epitop; sel NK mengenali sel asing melalui cara-cara
nonimunologik misalnya muatan listrik yang tidak lazim di permukaan sel.
Perbedaan utama antara sel CD8 dan sel NK tidak spesifik untuk epitop dan tidak
bertambah kuat oleh pajanan sebelumnya. Namun, sel NK melakukan suatu fungsi
penting; sel-sel ini selalu ada untuk menyerang sel-sel yang memperlihatkan
petanda-petanda ”asing” tanpa perlu mengalami sensitisasi dan kemungkinan
mematikan sel-sel asing ini sebelum imunitas selular benar-benar teraktifkan.
Sekitar 5% sampai 15% dari semua limfosit dalam sirkulasi adalah sel NK.
Walaupun memiliki berberapa petanda sel T, namun limfosit ini tidak melewati timus
untuk menjalani pematangan, tidak memiliki ingatan imunlogik, dan tidak memiliki
reseptor sel T.
28
a. Imunitas aktif, yaitu bila seseorang secara aktif membentuk sendiri imunitasnya terhadap suatu penyakit
b. Imunitas pasif, yaitu bila imunitas itu berasal luar yang kemudian masuk atau dimasukkan ke dalam tubuh.
IMUNITAS AKTIF DAN PASIF
Imunitas Aktif
Imunitas aktif dibedakan menjadi “didapat secara alamiah“ dan “dimasukkan secara
alamiah”.
a. Imunitas aktif didapat secara alamiah
Imunitas didapat bila seseoarng terserang suatu penyakit terutama
mikroorganisme, kemudian menjadi sakit ringan ataupun berat. Sementara itu di
dalam tubuhnya dikembangkan imunitas humoral dan imunitas selular terhadap
bibit penyakit tersebut. Bila imunitasnya dapat mengatasi bibit penyakit, maka organ
ini akn sembuh dan kebal khusus terhadap penyakit tesebut. Contohnya adalah
sebagai berikut:
Di negara-negara berkembang lebih dari 90% anak-anak pada usia 7 tahun
sudah memiliki antibody terhadap virus poliomielitis. Mungkin sebagian besar
anak-anak di atas usia 10 tahun sudah memiliki imunitas terhadap dipteri. Hal ini
terjadi karena anak-anak itu sudah terserang penyakit, sebagian besar dalam
bentuk ringan, kemudian sembuh dan menjadi kebal (imun). Hanya sebagian
29
kecil dari anak-anak tersebut yang karena suatau sebab menderita sakit berat
dan membahayakan.
Seseorang yang telah terkena penyakit campak, cacar, gondongan tidak akan
diserang untuk yang kedua kalinya.
Imunitas aktif yang didapat secara alamiah ini merupakan imunitas yang terkuat
dan terbaik. Tetapi resikonya ialah kemungkinan ada sejumlah orang yang menjadi
sakit berat, meninggal atau cacat dan kemungkinan penyebaran penyakit dan biaya
yang harus dibayar.
b. Imunitas aktif yang dimasukkan secara buatan
Pemberian antigen yang aman untuk dimasukkan kedalam tubuh dengan tujuan
agar tubuh dapat membentuk antibody (imunitas) tetapi tidak mengalami sakit yang
berat. Antigen-antigen tersebut dapat berupa :
Vaksin adalah suatu suspensi mikroorganisme atau bagian mikroorganisme
(virus, riketsia, bakteri) yang telah mati atau dilemahkan.
Toksoid adalah toksin yang telah dilemahkan.
Reaksi dari system imunitas tubuh terhadap vaksin dan toksoid biasanya lemah
dan lambat karena antigen yang dimasukkan sedikit-sedikit dan telah dilemahkan.
Agar kekebalan yang cukup dapat diperoleh maka diperlukan ulangan-ulangan
dengan maksud mendapatkan respon sekunder (amamnestik) yang kuat.
Imunitas Pasif
Imunitas pasif dapat dibedakan menjadi “didapat secara alamiah“ dan “dimasukkan
secara alamiah”.
a. Imunitas pasif didapat secara alamiah
30
Imunitas ini didapatkan oleh bayi ynag baru lahir sampai umur kira-kira 6 bulan
dari ibunya. Hal ini terjadi karena IgG ibu dapat menerobos rintngan plasenta,
masuk ke dalam tubuh janain. Dengan demikian tergantung pada jenis IgG ibunya,
si bayi samapai umur 6 bulan akan terlindung dari beberpa macam penyakit
misalnya campak dan difteri. Bayi dapat membentuk immunoglobulin sendiri secara
baik setelah berumur 2-3 bulan.
b. Imunitas pasif yang dimasukkan secara buatan
Imunitas ini diperoleh bila kepada seseorang disuntikkan IgG (gamma-globulin)
atau immunoglobulin lain yang didapat dari darah orang-orang yang telah kebal
terhadap suatu penyakit. Dapat juga yang disuntukkan itu berupa serum (darah
yang dihilangkan sel-sel dan fibriumnya) dari hewan yang telah dikebalakan
terhadap penyakit tertentu, karena di dalam serum terkandung antibody. Namun
sayangnya serum hewan mengandung berbagai protein yang dapat bertindak
sebagai alergen (antigen).
Suntikkan pertama menimbulkan kepekaan, suntikan kedua kali atau
selanjutnya dapat menimbulkan reaksi-reaksi yang tidak diinginkan seperti serum
sickness (pegal-pegal sendi, demam, ruam kulit, kelenjar limfe membengkak,
bahkan shock anafilaktis yang membahayakan. Imunitas ini hanya bertahan
beberapa minggu saja, karena immunoglobulin yang berasal dari luar tubuh akan
diuraikan dan hilang dari tubuh orang tersebut.
31
Antigen
Masuknya patogen yang potensial ke tubuh penjamu dan setelah berinteraksi
dengan system pertahanan tubuh nonadaptif, patogen atau anti gen untamanya
ditangkap oleh penyaji antigen ( APCs = antigen presenting cells ), misalnya mekrofag.
Antigen nonsefl (dari luar) inimuncul kembali pada permukaan makrofag, digabungkan
dengan protein uang disandi oleh kompleks histokompotabilitas mayor ( MHC = mayor
histocompotabilitasy complex) dan disajikan ke kelompok (klon) limfosit T. komleks
MNC antigen dikenali oleh reseptor spesifik pada permukaan sel T dan sel ini kemudian
memproduksi berbagai macam sitokin yang menginduksi proliferasi klonal. Dua cara
respon imunitas yabg diperantarai oleh sel dan antibodi terjadi secara bersamaan.
Pada respon imunitas yang diperantarai oleh anti bodi, limfosit T helper (CD4)
mengenali antigen patogen yang bergabung dengan protein MHC kelas II pada
permukaan sel penyaji antigen (makrofag atau sel B) dan memproduksi sitokin yang
mengaktivasi sel yang mengekspresi antibody spesifik terhadap anti gen tersebut. Sel B
mengalami proliferasi klonal dan berdefensiasi membentuk sel plasma, yang kemudian
memproduksi imunoglobulin spesifik (antibodi). Fungsi pertahanan dai antibodi adalah
netralisasi toksin dan virus serta opsonisasi (menyelubungi) patogen, yang membantu
pengambilan patogen ini oleh sel fagositik. Pertahanan yang diperantarai oleh antibodi
ini penting untuk melawan patogen yang memproduksi toksik, atau yang empunyai
kapsul polisakarida yang mengganggu fagositosis. Pertahanan ini berlaku tertama
terhadap patogen ekstra seluler dan toksinnya.
Pada pertahanan yang diperantarai sel, kompleks antigen-MHC kelas II dikenali
oleh limfosit T helper (CD4), sedangkan komleks antigen-MHC kelas II dikenali oleh
limfosit T sitotoksik (DC8). Tiap-tiap kelas sel T penghasil sitokin, menjadi teraktivasi
dan berlanjut proliferasi klonal.
Aktivasi sel T helper, selain merangsang sel B untuk memproduksi antibodi, juga
meningkatkat perkembangan hipersensitivitas tipe lambat, sehingga berperan juga
32
dalam pertahanan melawan agen intraseluler termasuk intraseluler ( misalnya
mikrobateria ), jamur, protozoa dan beberapa virus. Aktivasi sel T sitotoksik tertama
ditujukan untuk mendestruksi sel dalam jaringan transplantasi, sel tumor atau sel yang
terinveksi virus.
Karakteristik antigen
Karekteristin dari antugen akan menetukan imunogenitas respon imun, antara lain :
Asing , pada umunya molekul yang dikenal sebagai self tidak bersifat imunogenik,
untuk menimbulkan respon imun, molekul harus dikenal sebagai non self.
Ukuran molekul, imunogen yang paling poten biasanya merupakan protein
berukuran besar. Umumnya molekul dengan berat molekul kurang dari 10.000
kurang bersifat imunogenik dan yang sangat kecil (misalnya asam amino) tidak
bersifat imunogenik. Molekul kecil tertentu ( misalnya hapten ) menjadi imunogenik
hanya jika bergabung dengan protein pembawa.
Kompleksitas kimiawi dan stuktural, jumlah tetentu kompleksitas kimiawi yang
diperlukan contohnya homopolimer contohnya kurang bersifat imunogenik
dibandingkan dengan heteropolimer yang mengandung dua atau tiga asam amino
yang berbeda.
Determinan antigenik (epitop ), unit terkecil dari suatu antigen kompleks yang dapat
diikat oleh antibodi, disebut dengan determinan antigenik atau epitop. Antigen dapat
mempunyai satu atau lebih determinan. Pada umumnya, satu determinan
mempunyai ukuran lima asam amino atau gula, ukuran secara kasar.
Tatanan genetik penjamu, dua strain binatang yang sama dapat merespon secara
berbeda terhadap antigen yang sama karena perbedaan komposisi gen respon
imun.
Dosis, cara tepat pemberin antigen, oleh karena derajat respon imun tergantung
pada banyaknya antigen yang diberikan, respon imun dapat dioptimalkan denan cara
menentukan dosis antigen dengan cermat ( termasuk jumlah dosis ), cara pemberian
dan waktu pemberian ( termasuk interval diantara dosis yang diberikan ). Mungkin
33
untuk meningkatkan respon imun dari suatu zat dengan menggabungkan dengan
ajuvan. Ajuvan merupakan zat yang merangsang respon imun, misalnya dengan
mempermudah pengambilan antigen oleh sel penyaji antigen ( antigen persenting cell ).
Molekul yang dapat mengenali antigen.
Sistem imun merespon nonself yang mampu membedakan dengan tepat self
dan nonself. Pembicaraan selanjutnya dalam bab ini adalah tentang molekul yang
digunakan untuk mengenali anti gen asing.
34
Antibodi
Antibodi dibentuk dengan cara seleksi klonal. Setiap individu mempunyai banyak
kumpulan limfosit B yang berbeda, yang mempunyai rentang hidup dalam hari atau
minggu dan dibentuk dalam sumsum tulang, nodus limfatikus dan jaringan limfoid yang
berhubungan dengan usus ( misalnya tonsil dan apendiks).
Sel B mempunyai molekul imunoglobulin (105 per sel ) pada permukaanya
imunoglobulin tersebut bertindak sebagai reseptor untuk anitgen spesifik, sehingga tiap
seb B dapat merespon hanya kepada satuanti gen atau kelompok antigen yang
behubungan sangat dekat. Semua sel B immanatur membawa imunoglobulin IgM pada
permukaannya dan sebagian besar juga membawa IgD. Sel B mempunyai reseptor
permukaan untuk bagian Fc imunoglobulin dan beberapa komponen komplemen.
Antigen berinteraksi dengan limfosit B yang menunjukan kecocokan karena
adanya reseptor permukaan imunoglobulin. Antigen terikat pada reseptor tersebut dan
sel B dirangsang untuk membelah diri dan membentuk klon. Sel B yang terpilih ini
segera menjadi sel plasma dan mensekresi antibodi. Oleh karena setiap individu
mempu mebuat sekita 1011 molekul antibodi yang berbeda, terdapat tempat untuk
mengikat antigen pada sel B yang cocok dengan hampir setiap determinan antigen.
Tahap awal pembentukan antibodi adalah fagositosis antigon, biasanya oleh sel
penyaji antigen (antigen presenting cell) terutama makrefag atau sel B, yang
memproses dan menyajikan antigen kepada sel T. Sel T yang teraktivasi ini kemudian
berinteraksi dengan sel B. Sel B yang membawa imunoglobulin permukaan yang cocok
dengan antigen, dirangsang untuk berpoliferasi dan berdeferensiasi menjadi sel
plasma, yang membentuk protein antibodi spesifik atau berdeferensiasi menjadi sel
memori yang hidup dalam jagka waktu lama. Sel plasma tersebut mensintesis
imunoglobulin dengan spesifis yang sama dengan yang dibawa oleh sel B.
35
Ciri imunoglobulin pada manusia :
ciri – ciri IgG IgA IgM IgE IgDSimbol rantai berat Γ Α μ ε δBerat molekul (x1000)
150 170 atau 400
900 190 150
Kosentrasi serum (mg/ml)
0,5 – 10
0,5 – 3 1,5 0,003 0,03
Waktu paruh serum (hati)
23 6 5 1-5 2-8
Komplemen tetap Ya Tidak Ya Tidak Tidak Persentase total imunoglobulin dalam serum
80 13 6 < 1 <
Struktur dan fungsi antibodi :
Antibodi merupakan imunoglobulin yang bereaksi secara spesifik dengan antigen
yang menstimulasi produksinya. Antibodi membentuk 20% protein plasma. Antibodi ini
dikatakan bersifat poliklonal. Antibodi yang terbentuk dari klon tunggal sel, misalnya
pada tumor sel plasma (myeloma), bersifat homogen dan disebut sebagai monoklonal.
Antibodi monoklonal dapat dihasilakn dengan cara menggabungkal sel myeloma
dengan limfosit yang memproduksi antribodi. Hybridoma seperti ini sebenarnya
menghasilkan jumlah antibodi monoklonal yang tidak terbatas in vitro.
Semua molekul imunoglobulin terdiri atas ranrai polipeptida ringan dan berat,
contohnya rantai ringan mempunyai berat molekul kira-kira 25.000, sedangkan rantai
ringan mempunyai berat molekul kira-kira 50.000, rantai ringan (L=light) terdiri atas dua
tipe yaitu kappa dan lamda klasifikasi ini dibedakan berdasarkan perbedaan asam
amino dalam regiio konstan. Kedua tipe tersebut terdapat pada semua kelas
imunoglobulin (IgG, IgM, IgA, IgE dan IgD) tetapi tiap satu molekul imunoglobulin
mengandung hanya satu jrnis rantai ringan.bagian akhir amino tiap rantai ringan
mengandung bagian tempat prngingkatan antigen.
36
Rantai berat
(H=heavy)
berbeda untuk tiap
kelas
imunoglobulin
yang terdiri atas
delta, gamma, alfa,
mu, eplison.
Bagian akhir amino
dari tiap rantai berat berperan dalam tempat pengikatan antigen, ujung akhir yang lain
(karbosil) membentuk fragmen Fc yang mempunyai bermacam-macam aktivitas
biologis (misalnya aktivitas komplemen dan pengikat reseptor permulaan sel).
Molekul antibodi tiap individu selalu terdiri atas rantai H dan L yang identik.
Molekul antibodi paling sederhana digambarkan sebagai bentuk Y dan terdiri atas 4
rantai polipeptida, dua rantai berat dan dua rantai ringan. Empat rantai tersebut secara
kovalen dihubungkan oleh ikatan disulfida.
Jika molekul antibodi rusak oleh enzim proteolitik, ikatan regio dalamengsel
menjadi rusak. Kerusakan ini menghasilkan dua fragmen Fab yang identik, yang
membawa tempat pengikatan antigen atau satu fragmen Fc yang terlibatdalam transfer
melewati plasenta, fiksasi komplemen, pelekatan untuk berbagai macam sel dan
aktivasi bilogis lainnya.
Rantai L dan H dibagi dalam regio varibel dan regio konstan. Regiot tersebut
tersusun dari gulungan 3 dimensi, segme yang berulang disebut domain, struktur
tersebut telah ditentukan dengan kritalografi sinar X resilusi tinggi.
37
Kelas imunoglobulin :
IgG
Tiap molekul IgG terdiri atas dua rantai L dan dua rantai H yang dihubungkan
oleh ikatan disulfida (rumus molekul H2L2). Oleh karena itu imunoglobulin ini
mempunyai dua tempat pengikatan antigen yang identik, meka disebut divalen.
IgG merupakan antibodi dominan pada respon sekunder dan menyusun
pertahanan yang penting melawan bakteti dan virus. Ini merupakan satu-satunya
antibodi yang mampu melintasi plasenta,oleh karena itu merupakan imunoglobulin
yang paling banyak ditemukan pada bayi yang baru lahir.
IgM
Merupakan imunoglobulin utama yang diproduksi pada awal respon imunitas
primer. IgM terdapat ada permukaan semua sel B. Ini merupakan imunoglobulin
yang efisien dalam proses aglutinasi fiksasikomplemen dan reaksi antigen-antibodi
lainnya serta penting juga dalam menjadi pertahanan dalam melawan bakteri dan
virus. Imunoglobulin dapat diproduksi oleh fesus yang terinfeksi. Karena interaksi
imunoglobulin ini dengan antigen dapat melibatkan semua tempat pengikatan
antigen tersebut, maka imunonoglobulin ini mempunyai tingkat aviditas yang paling
tinggi dibandingkan dengan semua imunoglobulin lainnya.
IgA
Merupakan imunoglobulin utama pada hasil sekresi misalnya susu, saliva dan
air mata serta sekresi traktus respiratorius, intestinal dan genital. Imunoglobulin
inimelindungi membran mukosa dari serangan bakteri dan virus.
Tiap molekul IgA terdiri atas dua unit H2L2 dan satu molekul terdidi atas rantai J
dan komponen sekresi, molekul yang disebut terakhir merupakan protein yang
diturunkan dari celah reseptor poli-Ig. Reseptor ini mengikat dimer IgA dan
mempermudah transpornya melintasi epitel mukosa. Beberapa bakteri (misalnya
neisseria) dapat merusak IgA1 dengan cara menghasilkan protase dah sehingga
menghalangi imunitas yang diperantarai antibodi pada permukaan mukosa.
38
IgE
Regio Fc dari IgE terikat pada reseptor pada permukaan sel mast dan basofil.
IgE yang terikat ini bertindak sebagai reseptor antigen yang menstimulasi
produksinya sehingga terbentuk kompleks antigen-antibodi yang memicu terjadinya
respon alergi tipe cepat (anafilaksis) melalui pelepasan mediator. Pada orang
dengan hipersensivitas alergi yang diperantarai antibodi tersebut, IgE meningkat
dengan cepat dan IgE dapat terdapat pada sekresi eksternal. IgE serum juga
meningkat secara tipikal selama infeksi cacing.
IgD
IgD bertindak sebagai reseptor antigen ketika terdapat pada permukaan limfosit
B tertentu. Ini juga terjadi pada beberapa sel leukemia limfatik. Di dalam serum
immunoglobulin ini hanya terdapat dalam jumlah sedikit.
Gen immunoglobulin dan pembentukannya.
Tiap rantai immunoglobulin terdiri atas region variable (V) dan konstan (C). untuk
tiap tipe rantai immunoglobulin misalnya rantai ringan kappa, rantai ringan lamda an
lima rantai berat, terdapat pool segmen gen yang terpisah yang terletak di kromosom
yang berbeda. Tiap 3 loki gen mengandung seperangkat segmen gen V yang berbeda,
yang secara luas terpisah dari segmen gen C. selama berdefensiasi sel B, DNA
disusun kembali untuk membawa segmen gen yangterpilih berdekataaaan datu dengan
yang lain dalam genom.
Region variable daritiap rantai L dikode oleh 2 segmen gen, V dan J. region
variable dai tiap rantai H dikode oleh 3 segmen gen , V, D dan Y. segmen-segmen
tersebut disatkan menjadi 1 gen variabel fungsional melaui penyusunan kembali DNA.
Tiap gen variabel V yang berkumnpul kemudian digabung dengan gen konstan C yang
sesuai untuk menghasilkan mRNA yang mengkode rantai peptide komplit. Rantai L dan
39
h disintesis secara terpisah pada polisom dan akhirnya dikumpulkan ke dalam
sitoplasma untuk membentuk unit H2L2 dengan menggunakan ikanta disulfida.
Kemudian karbohidrat ditambahkan selama proses tersebut melalui komponen
membrane sel dan molekul immunoglobulin dibebaskan dari sel.
Mekanisme susunan kembali sel memungkinkan penyusunan bayanak variasi
molekul immunoglobulin. Keanekaragaman antibody bergantung pada :
1. segmen gen V,D dan J multiple
2. hubungan kombinasi misalnya hubungan tiapsegmen gen V dengan tiap segmen
gen D dan J.
3. kombinasi acak rantai L dan H yang berbeda.
4. mutasi somatic
5. keragaman jungsinal yang dihasilkan oleh penggabungan yang tepat selama
proses penyusunan kembalil dan mengakibatkan perubahan atau penghilangan
asam amino dalam regio hipervariabel.
6. keragaman insersional, yaitu enzim deoksinukleotide teransferase ujung
menyisipkan kelompok kecil nukleutida pada persilangan V-D dan D-J.
Respon Primer
Ketika individu terpapar antigen untuk yang pertama kali, antibodi melawan antigen
tersebut dideteksi dalam serum dalam waktu beberapa hari atau beberapa minggu
tergantung pada asal dan dosis antigen serta cara pemberiaannya. Konsentrasi
antibody serum terus meningkat selama beberapa minggu dan kemudian menurun;
konsentrasi mungkin turun ke tingkat sangat rendah. Antibody yang pertama dibentuk
adalah IgM, diikuti oleh IgG, IgA atau keduanya. Kadar IgM cenderung turun lebih cepat
daripada kadar IgG.
40
Respon Sekunder
Pada kejadian terpaparnya yang sama untuk kedua kalinya bebrapa bulan atau
beberapa tahun setelah respon primer, respon antibody lebih cepat dan meningkat ke
tingkat yang lebih tinggi daripada selama respon primer. Perubahan respon ini dibantu
oleh menetapnya sel memori yang sensitif terhadap antigen yang muncul setelah
respon imun yang pertama. Pada respon sekunder jumlah IgM yang diproduksi secara
kualitatif hampir sama dengan yang diproduksi setelah kontak dengan antigen yang
pertama; namun demikian, lebih banyak IgG yang diproduksi dan kadar IgG cenderung
menetap lebih lama dibandingkan yang terjadi pada respon primer. Selain itu antibody
ini cenderung mengikat antigen dengan kuat, sehingga kurang mudah mengalami
disosiasi.
Fungsi Perlindungan Antibodi
Karena hubungan saling melengkapi secara structural antara antibody dan antigen
yang memicu munculnya antibody tersebut, baik antibody maupun antigen cenderung
mengikat satu sama lain kapan pun mereka bertemu baik in vitro maupun in vivo.
Pengikatan ini nonkovalen dan melibatkan ikatan lemah elektrostatik, van der waals dan
ikatan lemah yang lain seperti ikatan hydrogen dan ikatan lainnya. Antibody dapat
menghasilkan imunitas melawan infeksi dengan cara opsonisasi organisme, yang
membuat antigen tersebut lebih siap diingesti oleh fagosit; antibody dapat mengikat
virus dan mengurangi kemampuannya untuk menginvasi sel pejamu; paling penting
adalah, bahwa antibody mampu menetralisir toksin mikroorganisme dan
mengaktifkanefek toksin membahayakan tersebut.
Antibody dapat diinduksi secara aktif di dalam tubuh pejamu dengan cara
memberikan antigen atau preparat yang mengandung antigen dengan tepat tetapi
efeknya tertunda sampai tercapai konsentrasi antibody yang ada menjadi kuat.
Sebaliknya, antibody dapat diberikan secara pasif, yang membuat antibody tersebut
41
tersedia dengan cepat untuk kepentingan pencegahan atau terapi. Pemberian pasif
telah digunakan dalam pengelolaan difteria dalam klinis, tetanus dan botulisme.
Imunitas yang diperantai antibody melawan bakteri paling efektif ketika ditujukan
untuk melawan infeksi bakteri, di mana virulensi berhubungan dengan kapsul
polisakarida. Pada infeksi ini, antibosi bergabung dengan antigen berkapsul dan
membuat organisme rentan terhadap ingesti oleh sel fagositik dan destruksi dalam sel.
Banyak respon imunitas yang diperantarai sel juga memerlukan bantuan antibodi
yang ditujukan untuk melawan antigen yang menyerang sebelum antiigen dapat
diinaktivasik atau dieleminasi. Sebaliknya, pengikatan antibodi ke antigen
menyebabkan pembentukan kompleks imun dan deposisi kompleks imun ini merupakan
ciri penting dalam perkembangan disfungsi organ.
42
PATOFISIOLOGI DEMAM
Demam, yang berarti temperature tubuh diatas batas normal atau biasa (36,6-37,5),
dapat disebabkan oleh kelainan di dalam otak sendiri atau oleh zat toksik yang
mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit-penyakit bakteri, tumor otak, atau
dehidrasi.
PENGATURAN SUHU TUBUH
Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme umpan balik saraf, dan
hamper semua mekanisme ini bekerja melalui pusat pengaturan suhu yang terletak
pada hipotalamus. Akan tetapi, agar mekanisme umpan balik ini bekerja, juga harus
terdapat detektor suhu untuk menentukan bila suhu tubuh menjadi terlalu panas atau
terlalu dingin. Beberapa dari reseptor tersebut adalah sebagai berikut:
Reseptor suhu. Mungkin reseptor suhu yang paling penting untuk mengatur suhu
tubuh adalah banyak neuron peka-panas khusus yang terletak pada area preoptika
hipotalamus. Neuron ini meningkatkan pengeluaran impuls bila suhu meningkat dan
mengurangi impuls yang keluar bila suhu turun. Kecepatan cetusan kadang-kadang
meningkat sebanyak 10 kali pada peningkatan suhu tubuh sebesar 10°C.
Selain neuron peka panas area proptika ini, reseptor lain yang peka terhadap suhu
adalah: (1) reseptor suhu kulit termasuk reseptor panas dan dingin ( tetapi reseptor
dingin empat sampai sepuluh kali reseptor panas) yang menghantarkan impuls saraf ke
medula spinalis dan kemudian ke daerah hipotalamus otak untuk membantu mengatur
suhu tubuh dan (2) reseptor suhu dalam medula spinalis, abdomen dan mungkin
struktur dalam lainnya pada tubuh yang juga menghantarkan isyarat, juga terutama
isyarat dingin, ke susunan saraf pusat untuk membantu mengontrol suhu tubuh.
43
KONSEP ”SET-POINT” UNTUK PENGATURAN SUHU TUBUH
Pada temperatur inti tubuh yang kritis, pada tingkat hampir tepat 37,1°C, terjadi
perubahan drastis pada kecepatan kehilangan panas dan kecepatan pembentukan
panas. Pada temperatur di atas tingkat ini, kecepatan kehilangan panas lebih besar dari
kecepatan pembentukan panas, sehingga temperatur tubuh turun dan mencapai
kembali tingkat 37,1°C. Tingkat temperatur kritis ini disebut set-point dari mekanisme
pengaturan temperatur. Yaitu, semua mekanisme pengaturan temperatur terus
menerus berupaya untuk mengembalikkan temperatur tubuh kembali ke tingkat set-
point.
Set-point temperatur kritis atas dan bawah pada hipotalamus, yang bila dilewati
akan menimbulkan berkeringat dan menggigil, terutama ditentukan oleh derajat aktivitas
reseptor temperatur panas pada area preoptik-hipotalamus anterior. Akan tetapi, sinyal
temperatur yang berasal dari bagian perifer tubuh, terutama dari kulit dan jaringan
tubuh bagian dalam tertentu (medulla spinalis dan organ abdomen bagian dalam), juga
berperan sedikit terhadap pengaturan temperature tubuh. Jadi peranan sinyal-sinyal
tersebut adalah mengubah set-point dari pusat pengaturan di hipotalamus.
PERANGAI PENGATURAN SUHU TUBUH
Di samping mekanisme thermostat hipotalamus untuk pengaturan suhu tubuh,
tubuh masih mempunyai mekanisme lain untuk pengaturan suhu tubuh yang biasanya
lebih kuat daripada system thermostat. Mekanisme ini merupakan perangai pengaturan
suhu, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: bila suhu interna tubuh terlalu tinggi,
isyarat dari area preoptika otak memberikan kesan psikis terlalu panas. Bila tubuh
terlalu dingin, isyarat dari kulit dan mungkin dari reseptor-reseptor perifer menimbulkan
perasaan dingin yang tidak enak. Oleh karena itu, orang membuat penyesuaian
lingkungan yang cocok untuk memberikan rasa nyaman. Hal ini merupakan sistem
pengaturan suhu tubuh yang jauh lebih kuat daripada yang telah ditemukan oleh
sebagian besar ahli fisiologis dahulu, memang bagi manusia, ini merupakan satu-
44
satunya mekanisme yang efektif bagi pengaturan panas tubuh pada lingkungan yang
sangat dingin.
Pengaturan suhu interna tubuh setelah pemotongan medula spinalis. Setelah
pemotongan medula spinalis pada leher di atas berkas simpatis medula spinalis,
pengaturan suhu tubuh menjadi sangat jelek sekali, karena hipotalamus tidak dapat lagi
mengatur aliran darah kulit atau derajat berkeringat di semua bagian tubuh. Pada orang
dengan keadan ini, suhu tubuh terutama harus diatur oleh respon psikis penderita
terhadap sensasi dingin dan panas pada daerah kepalanya. Yaitu, bila ia merasa
dirinya terlalu panas, atau bila ia menderita nyeri kepala karena panas, ia mengetahui
bahwa ia harus memilih lingkungan yang lebih dingin, dan sebaliknya, bila ia
mempunyai sensasi dingin, ia memilih lingkungan yang lebih panas.
MENGATUR KEMBALI PUSAT PENGATURAN TEMPERATUR HIPOTALAMUS PADA
PENYAKIT DEMAM-EFEK PIROGEN
Banyak protein, hasil pemecahan protein, dan beberapa zat tertentu lain, terutama
toksin liposakarida yang dilepaskan olah bakteri, dapat menyebabkan peningkatan set-
poin termostat hipotalamus. Zat yang menimbulkan efek seperti ini disebut pirogen.
Pirogen yang dilepaskan oleh bakteri toksik atau pirogen yang dilepaskan dari
degenerasi jaringan tubuh dapat menyebabkan demam selama keadaan sakit. Ketika
set-point pusat pengaturan temperatur hipotalamus meningkat lebih tinggi dari tingkat
normal, semua mekanisme untuk meningkatkan temperatur tubuh terlibat, termasuk
pengubahan panas dan peningkatan pembentukan panas. Dalam beberapa jam setelah
set- point ditingkatkan ke derajat yang lebih tinggi, temperatur juga mendekati tingkatan
seprti ini.
Mekanisme kerja pirogen dalam menyebabkan demam- peranan interleukin-1.
percobaan pada binatang telah memperlihatkan bahwa beberapa pirogen, ketika
disuntikkan ke dalam hipotalamus, dapat bekerja secara langsung pada pusat
pengaturan hipotalamus untuk meningkatkan set-pointnya, walaupun masih banyak
45
pirogen lain berfungsi tidak langsung dan mungkin membutuhkan periode laten
beberapa jam sebelum menimbulkan efek ini. Hal ini banyak terjadi pada bakteri
pirogen, teruma endotoksin dari bakteri gram negatif, sebagai berikut.
Apabila bakteri atau hasil pemecahan
bakteri terdapat dalam jaringan atau
dalam darah, keduanya akan difagositosis
oleh leukosit darah, makrofag jaringan dan
limfosit bergranula besar. Seluruh sel ini
selanjutnya mencerna hasil pemecahan
bakteri dan melepaskan zat interleukin-1
ke dalam cairan tubuh, yang juga disebut
pirogen leukosit atau pirogen endogen.
Interleukin-1 saat, saat mencapai
hipotalamus, segera menimbulkan
demam, meningkatakan temperatur tubuh
dalam waktu 8 sampai 10 menit.
Sedikitnya sepersepuluh juta gram
endotoksin lipolisakarida dari bakteri, yang
beraksi dengan cara ini bersama-sama
dengan leukosit darah, makrofag jaringan,
dan limfosit pembunuh, dapat
menyebabkan demam. Jumlah interleukin-1 yang dibentuk dalam respon terhadap
lipopolisakarida untuk menyebabkan demam hanya beberapa nanogram.
Beberapa perobaan terakhir telah menunjukkan bahwa interleukin-1 menyebabkan
demam pertama-tama dengan menginduksi pembentukan salah satu prostaglandin,
terutama prostaglandin E2, atau zat yang mirip dan zat ini selanjutnya bekerja dalam
hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam. Ketika pembentukan prostaglandin
dihambat oleh obat, demam sama sekali tidak terjadi atau paling tidak berkurang.
Sebenarnya, hal ini mungkin sebagai penjelasan bagaimana cara kerja aspirin
menurunkan derajat demam, karena aspirin mengganggu pembentukan prostaglandin
46
dari asam arakidonat. Hal ini juga aka menjelaskan mengapa aspirin tidak menurunkan
temperatur tubuh pada orang normal, karena orang normal tidak memiliki interleukin-1.
Obat seperti aspirin yang menurunkan tingkat demam sehingga disebut antipiretik.
KARAKTERISTIK KEADAAN DEMAM
1. Menggigil.
Apabila set point pusat pengaturan temperatur hipotalamus berubah tiba-tiba
dari tingkat normal ke tingkat lebih tinggi sebagai akibat dari penghancuran
jaringan, zat pirogen, atau dehidrasi, temperatur tubuh biasanya membutuhkan
waktu beberapa jam untuk mencapai set-point temperatur yang baru. Karena suhu
tubuh lebih rendah daripada setelan suhu hipotalamus, tubuh nerasa kedinginan
meski suhunya telah melebihi normal. Rasa dingin ini terus berlangsung hingga
suhu standard hipotalamus di capai, sehingga kita menjadi menggigil. Selain itu,
kulit juga mengalami vasokontriksi untuk mencegah pelepasan panas. Rasa dingin
dan menggigil ini akan terus berlanjut hingga suhu hipotalamus di capai.
2. Krisis atau “flush”.
Bila faktor yang menyebabkan penyetelan hipotalamus menjadi tinggi itu di
hilangkan, sehingga termostat hipotalamus mendadak memiliki nilai rendah, maka
tubuh akan menyesuaikan diri lagi untuk mencapai suhu yang baru. Pada keadaan
ini suhu darah yang tinggi akan menyesuaikan standard hipotalalmus yang rendah,
sehingga terjadi gejala yang analog dengan bila terjadi pemanasan berlebihan pada
area preoptika-hipotalamu anterior, yang menyebabkan keringat banyak dan kulit
tiba-tiba menjadi panas karena vasodilatasi di semua tempat.
47
KEUNTUNGAN DEMAM
1. Bakteri / virus akan lemah dan mati pada suhu tubuh tinggi.
2. BMR meningkat ( Basal Metabolic Rate ) meningkat.
3. Reaksi kimia tubuh di pacu.
4. Leukosit lebih aktif.
48
DAFTAR PUSTAKA
Burmester, GR, Pezzuto, A, 2003. Colour Atlas of Immunology. Available in
http://server.fk-unram.edu/document/
Di Fiore. 2000. Atlas Histologi Manusia. EGC: Jakarta
Kresno, SB, 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. FKUI: Jakarta
Price dan Wilson, Patofisiologi: Konsep Penyakit. EGC: Jakarta
Leeson, CR, Leeson, TS, Paparo, AA, 1996. Buku Ajar Histologi. EGC: Jakarta
Saladin, KS, 2007. Anatomy & Phhysiology, 4th edition. McGraw-Hill: New York, pp.188-
196, 808-846
U.S. Departement of Helth and HumanService National Institutes of Health, 2003.
Understanding of Immune System: How It Works. Available in http://server.fk-
unram.edu/document/
Wahab, AS, Julia, M, 2002. Sistem Imun, Imunisasi, dan Penyakit Imun. Widya Medika :
Jakarta
49