Laporan tutorial 3 THT.docx

60
BAB I PENDAHULUAN SKENARIO III Seorang anak laki-laki usia 5 tahun datang bersama ibunya ke poliklinik THT, dengan keluhan sudah 2 hari tidak mau makan, karena sakit untuk menelan. Badan demam, benjolan pada leher dan nyeri saat ditekan disertai suara serak. Keluhan yang sama sering dirasakan sejak usia 3 tahun, dan pasien kalau tidur mengorok, tetapi riwayat sesak napas disangkal. Pasien juga mempunyai riwayat sering batuk pilek. Pada pemeriksaan pharing didapatkan: Mukosa pharing terdapat granuloma dan hiperemi, tonsil fibrosis dan terdapat detritus, plika vokalis oedema dan hiperemis. Pemeriksaan laboratorium didapatkan ASTO : (+) 1

description

asto

Transcript of Laporan tutorial 3 THT.docx

Page 1: Laporan tutorial 3 THT.docx

BAB IPENDAHULUAN

SKENARIO III

Seorang anak laki-laki usia 5 tahun datang bersama ibunya ke poliklinik THT,

dengan keluhan sudah 2 hari tidak mau makan, karena sakit untuk menelan. Badan

demam, benjolan pada leher dan nyeri saat ditekan disertai suara serak. Keluhan yang

sama sering dirasakan sejak usia 3 tahun, dan pasien kalau tidur mengorok, tetapi

riwayat sesak napas disangkal. Pasien juga mempunyai riwayat sering batuk pilek.

Pada pemeriksaan pharing didapatkan: Mukosa pharing terdapat granuloma

dan hiperemi, tonsil fibrosis dan terdapat detritus, plika vokalis oedema dan

hiperemis. Pemeriksaan laboratorium didapatkan ASTO : (+)

1

Page 2: Laporan tutorial 3 THT.docx

BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Seven jump

I. Langkah 1 : Klarifikasi istilah dan konsep

Dalam skenario ini, kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:

a. Fibrosis, yaitu pembentukan berlebihan jaringan ikat fibrosa pada organ, dan

biasanya terjadi pada saat proses penyembuhan.

b. Detritus, yaitu bercak atau kotoran putih di permukaan tonsil yang terdiri dari

leukosit, epitel yang terlepas akibat inflamasi dan sisa makanan yang

tersangkut. Tidak cuma terdiri dari bahan organik tetapi bisa juga bahan

anorganik.

c. Mengorok atau mendengkur, yaitu suara bising akibat aliran udara yang

turbulensi karena ada sumbatan jalan napas.

d. ASTO (Anti Streptolycin-O), yaitu pemeriksaan darah untuk menghitung

Streptolycin-O yang dihasilkan oleh bakteri Streptococcus, (+) menandakan

adanya infeksi, sampel dapat diambil dari pungsi vena.

e. Serak atau disfonia, yaitu kelainan pada organ laring yaitu suara parau karena

ada gangguan getaran. Bisa terjadi karena radang, neoplasma, paralisis otot

laring.

f. Sakit untuk menelan atau odinofagia, yaitu luka pada orofaring yang

menimbulkan nyeri saat menelan.

2. Langkah II : Menetapkan/mengidentifikasi permasalahan

Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut:

2

Page 3: Laporan tutorial 3 THT.docx

a. Bagaimana anatomi, fisiologi, dan histologi dari faring, laring, dan

oesophagus dan tonsil?

b. Bagaimana patofisiologi dari keluhan pada skenario?

c. Apa differential diagnosis nya?

d. Bagaimana hubungan antara keluhan dahulu dengan keluhan sekarang?

e. Apa saja epidemiologi dan faktor resiko?

f. Apa saja komplikasinya?

g. Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan kasus pada skenario?

3. Langkah III: Analisis masalah

Berikut analisa dan pernyataan sementara dari masalah yang ditetapkan:

a. Anatomi, fisiologi, dan histologi laring, faring, dan oesophagus

Anatomi Faring, Laring, Oesophagus, dan Tonsil

Anatomi Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti

corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini

mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra

servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung dengan

koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring,

sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui additus laring, dan ke

bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada

orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding

faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar)

selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot, dan sebagian fasia

bukofaringeal. Faring terbagi atas nasifaring, orofaring, dan laringofaring

(hipofaring).

3

Page 4: Laporan tutorial 3 THT.docx

Otot-otot faring tersusun dalalm lapisan melingkat (sirkuler) dan

memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkuler terdiri dari m.konstriktor

faring superior, media, dan inferior. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap

bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di

sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu

pada jaringan ikat yang disebut “rafe faring” (raphe pharynges). Kerja otot

kontriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersarafi oleh n.

vagus (n.X).

Otot-otot yang longitudinal adalah m. stilofaring dan m. palatofaring.

Letak otot-otot ini di sebelah dalam. M. stilofaring gunanya untuk melebarkan

faring dan menarik laring, sedangkan m. palatofaring mempertemukan ismus

orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini

bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting pada waktu menelan. M.

stilofaring dipersarafi oleh n. IX sedangkan m. palatofaring dipersarafi oleh n.

X (Soepardi et al, 2012)

Bagian-bagian penting faring

1. Nasopharynx

a. Ostium Pharyngeum Tubae Auditivae Eustachii, merupakan lubang

yang menghubungkan antara nasopharynx dengan cavum tympani

Auris Media.

b. Torus Tubarius, merupakan pendesakan dari pars cartilagine tubae.

Bangunan ini terletak pada superior dari Ostium Pharyngeum Tubae

Auditivae Eustachii.

c. Plica salpyngipharyngea, merupakan pendesakan dari m.

salpingopharyngeus.

4

Page 5: Laporan tutorial 3 THT.docx

d. Torus Levatorius, merupakan pendesakan dari m. levator velli

palatine. Bangunan ini terletak di inferios dari Ostium Pharyngeum

Tubae Auditiva Eustachii.

e. Recessus pharyngeus (Fossa rossenmulleri), terletak di bagian

belakang dari nasopharynx. Bangunan ini merupakan tempat sering

terjadinya perubahan epitel kolumner menjadi skuamous sehingga

merupakan predisposisi terjadinya Ca nasopharynx.

f. Tonsila pharyngea, merupakan jaringan limfoid terletak di

nasopharynx bagian superoposterior.

2. Oropharynx

a. Tonsila palatina, merupakan jaringan limfoid yang terletak di fossa

tonsilaris. Tonsila palatine, tonsila lingualis, dan tonsila pharingea

membentuk suatu bangunan yang disebut annulus waldeyer’s.

b. Plica salpingopalatina, merupakan pendesakan dari m.

salpingopalatina.

c. Membrana glossoepiglottica. Bangunan ini menghubungkan epiglottis

dengan glossus. Bangunan ini akan menebal menjadi plica

glossoepiglottica mediana dan laterale dimana diantaranya terdapat

suatu cekungan yang disebut vallecula epiglottica yang berfungsi

sebagai tempat menampung benda-benda tumpul.

Oropharynx dihubungkan dengan cavum oris melalui isthmus faucium.

3. Laringopharynx

a. Adytus laryngis, merupakan celah yang menghubungkan pharynx

dengan larynx.

b. Fossa piriformis, merupakan tempat yang berfungsi menampung

benda-benda tajam.

5

Page 6: Laporan tutorial 3 THT.docx

Vaskularisasi Faring

Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak

beraturan. Yang utama berasal dari cabang a. karotis eksterna (cabang faring

ascendens dan cabang fausial) serta cabang a. maksila interna yakni cabang

palatine superior (Rusmarjono et al, 2007).

Anatomi Laring

Larynx merupakan organ yang tersusun atas cartilage-cartilago. Ada

yang bersifat tunggal dan berpasangan. Cartlag tyroidea, epiglottica, dan

crycoidea merupakan cartilage tunggal sedangkan cartilage arytenoidea,

corniculata dan cuneiforme merupakan cartilage yang berpasangan.

Bangunan-bangunan penting di larynx:

a. Adytus laryngis, merupakan celah yang menghubungkan larynx

dengan pharynx.

b. Vestibulum laryngis, merupakan ruangan yang terletak dibelakang

adytus laryngis.

6

Page 7: Laporan tutorial 3 THT.docx

c. Plica ventricularis/plica vestibuli, merupakan pita suara palsu

d. Rima vestibule merupakan celah diantara plica vestibule atau

ventriculi

e. Ventricularis laryngis, merupakan ruangan dibelakang plica vestibule

yang didalamnya terdapat suatu kantung yang disebut sacculus

ventriculi yang berfungsi untuk lubrikasi saat fonasi.

f. Plica ovale, berfungsi sebagai pita suara sejati.

g. Rima glottidis merupakan celah diantara plica ovale.

h. Cavitas infraglottica merupakan ruangan dibawah plica ovale.

Larynx ini nanti akan berlanjut menjadi trachea.

7

Page 8: Laporan tutorial 3 THT.docx

Anatomi Oesophagus

Oesophagus merupakan saluran dari systema digestive yang berfungsi

menyalurkan makanan dari mulut ke gaster, pada oesophagus terdapat 3

penyempitan yaitu pada faringoesophageal junction, kemudian pada saat

menyilangi arcus aorta dan pada gastrooesophageal junction (Moore, 2010)

Histologi Faring dan Laring

Histologi Faring

Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada

nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya

bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di

bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringfaring, karena fungsinya untuk

saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia. Di sepanjang

faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam

rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam system retikuloendotelial. Oleh

karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.

Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lender yang terletak di

atas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lender

ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran y ang terbawa oleh udara

yang diisap. Palut lender ini mengandung enzim lysozyme yang penting untuk

proteksi (Soepardi et al, 2012)

Faring dilapisi oleh sel psudokompleks kolumner dengan silia dan sel

goblet, silia dari laring akan bergerak menuju ke orofaring, sedankan silia dari

nasofaring bergerak turun ke orofaring (Eroschenko, 2010).

8

Page 9: Laporan tutorial 3 THT.docx

Histologi Laring

Laring merupakan saluran kaku penghubung antara laringofaring

dengan trakea. Dindingnya diperkuat oleh kartilago hialin (pada tiroid,

cricoidea, dan arytenoidea inferior) dan kartilago elastis (corniculata,

cuneiforme, arytenoid superior dan epiglottis). Dinding bagian lateralnya

terdapat lipatan yang disebut plica vestibularis. Plica ini memiliki epitel

respiratorik dan dikelilingi banyak kelenjar seromukous. Selain itu, terdapat

sistem pertahanan tubuh berupa MALT (Mucous Associated Lymphoid

Tissue). Di bagian bawahnya, terdapat lipatan lagi yang disebut plica vocalis,

merupakan pita suara sejati yang dilapisi epitel skuamous kompleks dengan

serat elastis parallel sebagai ligamentum vocalis. Di sekitarnya terdapat

musculus vocalis.

Epiglotis memiliki dua permukaan: (1) facies lingualis dan bagian

apeks facies trakealis dengan epitel skuamous kompleks non-kornifikasi, yang

nantinya masih terdapat kontak dengan makanan; (2) bagian basal facies

trakealis dilapisi epitel pseudokompleks kolumnair dan banyak terdapat

kelenjar mukosa dan serosa di lamina proprianya (Mescher, 2009).

Fisiologi Faring dan Laring

Fisiologi Menelan

Deglutisi atau menelan menurut Guyton dan Hall (2007) terdiri dari tiga

tahap:

1. Tahap volunter: secara sadar, makanan ditekan dan digulung ke

posterior faring oleh tekanan lidah ke atas dan belakang terhadap

palatum.

2. Tahap faringeal: secara involunter, membantu jalan makanan melalui

faring ke esophagus. Daerah epitel reseptor menelan terletak di

9

Page 10: Laporan tutorial 3 THT.docx

sekeliling pintu faring dan akan menimbulkan kontraksi otot faringeal,

sebagai berikut:

a. palatum mole tertarik ke atas menutupi nares posterior untuk

mencegah refluks ke hidung

b. plica palatopharyngeus tertarik ke medial dan membentuk

celah untuk lewatnya makanan yang sudah cukup terkunyah.

c. plica vocalis berdekatan dan laring tertarik ke atas dan anterior

oleh otot leher sehingga epiglottis ke arah bawah dan mencegah

makanan masuk ke hidung dan trakea. Selain itu, epiglottis mencegah

makanan agar tidak mendekati pita suara sehingga tidak terjadi

kerusakan.

d. laring ke atas sehingga esophagus melebar, kemudian sfingter

esophagus atas (sfingter faringoesofageal) relaksasi sehingga makanan

dapat masuk ke dalam esophagus.

e. laring ke atas dan sfingter relaksasi kemudian otot faring

berkontraksi dari superior ke inferior menimbulkan gerakan peristaltik.

3. Tahap esofageal: berupa peristaltik primer kelanjutan dari peristaltik

faring ataupun peristaltik sekunder yang dihasilkan oleh peregangan

esophagus dan relaksasi reseptif dari gaster.

Menelan adalah suatu aksi fisiologis yang kompleks, terutama karena

faring pada hampir setiap saat melakukan beberapa fungsi lain di samping

menelan dan hanya diubah dalam beberapa detik ke dalam traktus untuk

mendorong makanan. Yang terutama penting adalah bahwa respirasi tidak

terganggu akibat menelan. Pada umumnya menelan dapat dibagi menjadi (1)

tahap volunter, yang mencetuskan proses menelan, (2) tahap faringeal, yang

bersifat involunter dan membantu jalannya makanan melalui faring ke dalam

esofagus, dan (3) tahap esofageal, fase involunter lain yang mempermudah

jalannya makanan dari faring ke lambung (Guyton, 2002).

10

Page 11: Laporan tutorial 3 THT.docx

Proses menelan secara otomatis diatur dalam urutan yang teratur oleh

daerah-daerah neuron di batang otak yang didistribusikan ke seluruh

substantia retikularis medula dan bagian bawah pons. Impuls motorik dari

pusat menelan ke faring dan esofagus bagian atas yang menyebabkan

penelanan dijalarkan oleh saraf kranial ke-5 (n. Trigeminus), ke-9 (n.

Glossofaringeus), ke-10 (n. Vagus), dan ke-12 (n. Hypoglossus) serta bahkan

beberapa saraf servikal superior seperti tampak pada Gambar 1. Ringkasnya

tahap faringeal dari penelanan pada dasarnya merupakan suatu refleks

(Guyton, 2002).

Gambar : Innervasi Proses Menelan.

Sewaktu gelombang peristaltik esofagus berjalan ke arah lambung,

timbul suatu gelombang relaksasi, yang dihantarkan melalui neuron

penghambat mienterikus, mendahului peristaltik. Selanjutnya seluruh lambung

11

Page 12: Laporan tutorial 3 THT.docx

akan sedikit lebih luas, bahkan duodenum menjadi terelaksasi sewaktu

gelombang ini mencapai bagian akhir esofagus dan dengan demikian

mempersiapkan lebih awal untuk menerima makanan yang akan didorong ke

bawah esofagus selama proses menelan (Guyton, 2002).

Fungsi Faring dalam Proses Bicara

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot

palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole

ke arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat

melibatkan mula-mula m. salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m.

levator veli palatine bersama-sama m. kontriktor faring superior. Pada gerakan

penutupan nasofaring m levator veli palatine menarik palatum mole ke atas

belakang hamper mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini

diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring (Soepardi

et al, 2012).

Fisiologi Laring

Laring memiliki banyak fungsi terutama dalam respirasi. Dalam

respirasi laring merupakan jalur utama dalam perlewatan udara pernapasan.

Selain itu fungsi laring yaitu sebagai pertahanan dalam respirasi. Dalam laring

terdapat bangunan plica vocalis yang berperan utama dalam proses terjadinya

batuk. Sebelum terjadinya batuk plica vocalis menutup dan menahan udara

pada saluran di bawahnya. Setelah itu terjadi pembukaan secara tiba-tiba dari

plica vocalis dan menyemburkan udara keluar dari saluran napas. Terjadinya

batuk ini merupakan salah satu sistem pertahanan yang dimiliki oleh sistem

pernapasan. (Soepardi et al., 2012)

12

Page 13: Laporan tutorial 3 THT.docx

Anatomi dan Fisiologi Tonsil

Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.

Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di

faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil

lingual, dan tonsil tubal (Ruiz JW, 2009).

Gambar : Anatomi Tonsil

Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di

dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior

(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk

oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus

yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa

13

Page 14: Laporan tutorial 3 THT.docx

tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.

Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:

Lateral – muskulus konstriktor faring superior

Anterior – muskulus palatoglosus

 Posterior – muskulus palatofaringeus

Superior – palatum mole

Inferior – tonsil lingual (Wanri A, 2007)

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi

invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat

dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat

retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting

mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur

pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan

pusat germinal (Anggraini D, 2001).

Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari

jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau

segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah

ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi

daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.

Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang

14

Page 15: Laporan tutorial 3 THT.docx

nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding

atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium

tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada

umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun

kemudian akan mengalami regresi (Hermani B, 2004).

Tonsil Lingual

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh

ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini

terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla

sirkumvalata (Kartosoediro S, 2007).

15

Page 16: Laporan tutorial 3 THT.docx

4. Langkah IV: Menginventarisasi secara sistematis penjelasan yang

didapatkan pada langkah 3

Sistematika permasalahan :

16

Follow up

Tonsilitis kronik

Tonsilitis akut

Laringitis

medikame

penatalaksanaan

komplikasiDiagnosis

kerja

pencegaha invasif

Diagnosis banding

diagnosis

Pemeriksaan penunjang

Faringitis

Pemeriksaan faring: mukosa terdapat granulma dan hiperemis, tonsil fibrosis dan detritus, plika vokalis edema dan hiperemisPemeriksaan Lab: ASTO (+)

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan

Anamnesis

Keluhan: odinofagia, demam, benjolan nyeri tekan, disfonia, mengorok kalau tidur

Etiologi:Sering batuk pilekFaktor resiko: Sering

batuk pilek

Page 17: Laporan tutorial 3 THT.docx

5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran

Tujuan pembelajaran pada skenario ini yaitu sebagai berikut:

a. Bagaimana patofisiologi dari keluhan pada skenario?

b. Bagaimana sifat Streptococcus Beta-Haemoliticus?

c. Bagaimana hubungan antara keluhan dahulu dengan keluhan sekarang?

d. Apa differential diagnosis dan bagaimana cara penegakan diagnosisnya?

e. Apa saja epidemiologi dan faktor resiko?

f. Apa saja komplikasinya?

g. Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan kasus pada skenario?

6. Langkah VI: Belajar mandiri

Mahasiswa mengumpulkan informasi dari sumber-sumber ilmiah

7. Langkah VII: Melakukan sintesis dan pengujian informasi yang telah

terkumpul

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari sumber-sumber ilmiah,

maka penyelesaian dari masalah pada tujuan pembelajaran adalah sebagai

berikut:

a. Patofisiologi keluhan pada skenario, dan hubungan dengan

keluhan dahulu

Secara fisiologis, adenoid akan membesar pada usia 3 tahun dan

kemudian akan mengecil dan hilang sendiri pada usia 14 tahun. Anak yang

berusia 5 tahun, menjadi predisposisi kejadian hipertrofi adenoid (tonsilla

pharyngea). Pada mulanya anak tersebut mengalami infeksi saluran nafas atas

(ISPA) disebabkan oleh berbagai etiologi, seperti virus, bakteri, dan alergi.

Kemudian sitokin proinflamasi yang dirilis oleh tubuh mengakibatkan

terjadinya badan panas, nyeri menelan disebabkan oleh edema mukosa tonsilla

17

Page 18: Laporan tutorial 3 THT.docx

palatina dan pharynx, danpembesaran kelenjar leherterjadi akibat penjalaran

infeksi melalui jalur limfogen ke kelenjar limfe terdekat.

Keluhan tersebut kumat-kumatan dan diderita sejak umur 3 th, berarti

radang tonsil dan pharynx tersebut termasuk proses radang kronis. Penderita

sudah berobat ke puskesmas setempat beberapa kali, tapi belum ada perbaikan

mungkin dikarenakan ISPA yang berulang sehingga inflamasi pada tonsil dan

pharynx juga kembali terjadi secara berulang.

Suara serak yang kemudian muncul menandakan bahwa plica vocalis

yang hiperemis dan edema terjadi sebagai akibat penjalaran proses inflamasi

yang telah sampai pada larynx. Pasien kalau tidur mengorok menandakan

adanya sumbatan pada jalan pernapasan.

Mukosa edem, hiperemi merupakan tanda inflamasi pada faring yang

terjadi akibat ISPA berulang.

Pada tonsil terlihat adanya pelebaran kripte yang merupakan tanda dari

tonsillitis, kemudian pada mukosa faring juga terlihat hiperemis dan disertai

dengan adanya nyeri saat menelan menunjukkan adanya faringitis akut

(Mansjoer, 2001)

Pemeriksaan ASTO= (+) ,menunjukkan bahwa infeksi terjadi akibat

bakteri Streptococcus beta haemolyticus yang sering menyebabkan tonsillitis.

b. Sifat Streptococcus Beta-Haemoliticus

Infeksi Streptococcus Grup A

Infeksi Streptococcus pyogens, bakteri β-hemolitik yang tergolong

dalam serogrup A menurut klasifikasi Lancefield dan sering dikenal sebagai

18

Page 19: Laporan tutorial 3 THT.docx

Group A streptocci (GAS), dapat menyebabkan berbagai penyakit pada

manusia. S pyogens merupakan bakteri tersering yang menyebabkan akut

faringitis pada anak-anak (15-30%) dan dewasa (5-10%).

S. pyogenes, juga dikenal sebagai Grup A Streptococcus (GAS),

adalah agen penyebab dalam berbagai Grup A infeksi streptokokus. Infeksi ini

mungkin non-invasif atau invasif. Infeksi non-invasif cenderung lebih umum

dan kurang parah. Yang paling umum dari infeksi ini termasuk streptokokus

faringitis (radang tenggorokan) dan impetigo. Scarlet demam juga merupakan

non-invasive infection, tapi belum sebagai umum dalam beberapa tahun

terakhir.

Infeksi invasif menyebabkan oleh Grup A streptokokus β-hemolitik

cenderung lebih berat dan kurang umum. Hal ini terjadi ketika bakteri dapat

menginfeksi daerah di mana tidak biasanya ditemukan, seperti darah dan

organ. Penyakit yang mungkin disebabkan sebagai akibat dari ini termasuk

streptokokus toxic shock syndrome (STSS), necrotizing fasciitis (NF),

pneumonia, and bacteremia.

Streptococcus merukan suatu grup besar dari coccus gram positif, non

motil, tidak memproduksi spora, yang berukuran 0.5-1.2µm. Bakteri ini sering

tumbuh berpasangan dan dalam bentuk rantai dan menunjukkan reaksi negatif

dengan oksidase dan katalase.

Antigen dinding sel bateri ini mengandung polisakarida kapsul

(subtansi C), peptidoglikan dan asam lipoteikoat, protein R dan T, dan

beberapa protein permukaan seperti protein M, protein fimbria, fibronektin

terikat protein (protein F), streptokinase terikat sel.

Substansi C tersusun oleh polimer bercabang dari L-rhamnose dan N-

acetyl-D-glucosamine yang berperan dalam peningkatan kapasitas invasif dari

bakteri sedangkan protein R dan T digunakan sebagai epidemiologic marker

dan belum diketahui secara pasti perannya dalam infeksi.

Protein M, faktor virulensi utama, merupakan makromolekul yang

19

Page 20: Laporan tutorial 3 THT.docx

tergabung dengan fimbria yang nampak pada membran sel dan terproyeksi

pada dinding bakteri. Hal ini merupakan antigenic shift dan antigenic drift

pada GAS.

Protein M mengikat fibrinogen host dan melakukan blokade pada

pengikatan komplemen dengan peptidoglikan utama. Hal ini menyebabkan

bakteri mampu bertahan dari fagositosis neutrofil maupun makrofag.

Karakteristik spesial lain yang dimiliki oleh bakteri ini adalah

kemampuannya untuk menginvasi sel epitel. Menurut studi yang telah

dilakukan, kegagalan penicillin untuk mengeradikasi S pyogens dari

tenggorokan pasien terutama mereka yang merupakan carrier dari bakteri ini

adalah kurang efektifnya penicillin untuk masuk ke dalam sel epitel (Khan,

2012).

Produk toksin streptococcus

Streptococcus memiliki beberapa toksin dan produk ekstrasel menurut

Khan (2013), yaitu:

1. Hemolisin: terdapat dua jenis, yaitu streptolisin O dan streptolisin S.

Streptolisin O berperan dalam kerusakan jaringan dan berbagai macam

sel, termasuk miokardium. Toksin ini sangat imunogenik sehingga

digunakan dalam pemeriksaan titer ASTO (Anti-Streptococcus O).

Streptolisin S berperan dalam kerusakan leukosit polimorfonuklear

dan organela subsel, sifatnya kurang imunogenik.

2. Eksotoksin pirogenik atau Streptococcal Pyrogenic Exotoxins (SPEs),

terdapat 4 tipe yaitu A, B, C, dan F. Toksin ini berperan dalam

timbulnya bercak-bercak pada demam Scarlett. SPE B merupakan

prekusor dari protease sistein, yang menjadi salah satu faktor virulensi

bakteri ini. Toksin pirogenik dapat menginduksi respon febril,

proliferasi limfosit T, dan sintesis dan pelepasan berbagai macam

sitokin (TNF, IL-1, IL-6).

20

Page 21: Laporan tutorial 3 THT.docx

3. Nuklease (A, B, C, D) berperan dalam membantu mencairkan pus dan

menghasilkan substrat untuk tumbuh.

Komplikasi tambahan mungkin disebabkan oleh GAS, yaitu demam

rematik akut dan glomerulonefritis akut. Demam rematik, penyakit yang

mempengaruhi sendi, ginjal, dan katup jantung, merupakan konsekuensi dari

radang diobati infeksi A bukan disebabkan oleh bakteri itu sendiri. Demam

rematik disebabkan oleh antibodi yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh

untuk melawan infeksi silang bereaksi dengan protein lain dalam tubuh. Ini

"reaksi silang" menyebabkan tubuh dasarnya serangan itu sendiri dan

menyebabkan kerusakan di atas. Secara global, GAS telah diperkirakan

menyebabkan lebih dari 500.000 kematian setiap tahun, membuatnya menjadi

salah satu patogen terkemuka di dunia. Grup A Streptococcus infeksi

umumnya didiagnosis dengan Strep Rapid Test atau budaya. (Cohen-Poradosu

et al., 2007)

c. Differential Diagnosis dan cara penegakan diagnosis

Faringitis

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat

disebabkan oleh virus, bakeri, alergi, trauma, toksin, dan lain-lain (Soepardi et

al, 2007).

a) Faringitis Akut

Faringitis Viral

Gejala dan TandaDemam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok,

sulit menelan. Faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza,

coxzachievirus dan cytomegalovirus tidak menimbulkan eksudat.

Coxzachievirus dapat menimbulkan lesi vasikular di orofaring

21

Page 22: Laporan tutorial 3 THT.docx

dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Adenovirus juga

menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak selain

faringitis. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis

disertai eksudat yang banyak, pembesaran kelenjar limfe,

terutama retroservikal dan hepatosplenomegali (Soepardi et al

2007).

Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri

tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam, faring tampak

hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher, dan

pasien tampak lemah.

Terapi istirahat dan minum yang cukup, kumur dengan air hangat,

analgetika jika perludan tablet isap. Dapat diberi juga antivirus

metisoprinol (Soepardi et al 2007).

Faringitis Bakterial

Infeksi grup A Streptococcus β hemolitikus penyebab faringitis

akut pada dewasa (15%) dan anak (30%) (Soepardi et al 2007).

Gejala dan Tanda Nyeri kepala hebat, muntah kadang demam

tinggi, jarang disertai batuk. Tonsil tampak membesar, faring dan

tonsil hiperemis terdapat eksudat. Kemudian timbul petechiae

pada palatum dan dasar faring. Kelenjar limfe leher anterior

membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.

Terapi antibiotik penicillin, amoksisilin, atau eritromisin.

Kortikosteroid dexamethason, analgetika, dan kumur dengan air

hangat atau antiseptic (Soepardi et al, 2007).

22

Page 23: Laporan tutorial 3 THT.docx

Laringitis

Laringitis Akut

Radang akut laring umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis,

yang disebabkan oleh bakteri (menyebabkan peradangan lokal) atau virus

(menyebabkan peradangan sistemik) (Hermani et.al, 2007).

Gejala dan TandaTerdapat gejala radang umum, seperti demam,

malaise, serta gejala lokal seperti suara parau sampai afoni, nyeri menelan

atau bicara, serta gejala sumbatan laring. Selain itu terdapat batuk kering dan

kemudian disertai dengan dahak kental (Hermani et.al, 2007).

Pada pemeriksaan mukosa laring hiperemis, membengkak, terutama

diatas dan dibawah pita suara. Biasanya juga terdapat tanda radang akut di

hidung atau sinus paranasal atau paru (Hermani et.al, 2007).

Terapi Istirahat bicara dan bersuara 2-3 hari. Menghindari udara

lembab dan iritasi pada faring dan laring. Antibiotik diberikan bila peradangan

berasal dari paru. Bila terdapat sumbatan laring dilakukan pemasangan pipa

endotrakeal atau trakeostomi (Hermani et.al, 2007).

Laringitis Kronis

Sering disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat,

polip hidung atau bronkitis kronis, atau oleh penyalahgunaan suara seperti

berteriak atau berbicara keras (Hermani et.al, 2007).

Gejala dan tanda seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal,

permukaannya tidak rata dan hiperemis, dan terkadang terdapat metaplasi

skuamosa. Terdapat gejala suara parau menetap, rasa tersangkut di tenggorok,

sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret karena mukosa

yang menebal (Hermani et.al, 2007).

Terapi yaitu mengobati peradangan di hidung, faring, serta bronkus

yang mungkin menjadi penyebab laringitis kronis itu. Pasien diminta untuk

tidak banyak berbicara (vocal rest) (Hermani et.al, 2007).

23

Page 24: Laporan tutorial 3 THT.docx

Tonsilitis

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang termasuk dalam

cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yaitu:

tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual, tonsil

tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Penyebaran

infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi

pada semua umur, terutama pada anak (Soepardi et al, 2007).

a) Tonsilitis akut

Tonsillitis Viral

Gejalanya lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri

tenggorok. Penyebab paling sering adalah virus Epstein-Barr.

Hemofilus Influenza merupakan penyebab tonsilitis akut

supuratif. Gejala: Common cold disertai nyeri tenggorok. Pada

pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada

palatum dan tonsil.

Tonsilitis Bakterial

Etiologi nya kuman grup A Streptococcus β haemolitikus yang

dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, Streptokokus

viridian, dan Streptococcus pyogenes.

PatofisiologiInfiltrasi bakteri pada lapisan epitel menimbulkan

reaksi radang berupa keluarnya leukosit PMN sehingga terbentuk

detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri mati, dan

epitel yang terlepas. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang

jelas disebut tonsillitis folikularis. Bila bercak menjadi satu

membentuk alur akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus

juga dapat melebar membentuk pseudomembran yang menutup

tonsil (Soepardi et al, 2007).

Gejala dan TandaMasa inkubasi 2-4 hari. Sering ditemukan nyeri

24

Page 25: Laporan tutorial 3 THT.docx

tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam tinggi, rasa lesu,

nyeri sendi, tidak nafsu makan dan otalgia. Otalgia terjadi karena

nyeri alih melalui N. IX. Tonsil tampak membengkak, hiperemis

dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh

pseudomembran. Kelenjar submandibula bengkak dan nyeri

tekan.

TerapiAntibiotika spektrum lebar penisilin, eritromisin.

Antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan

(Soepardi et al, 2007).

b) Tonsilitis Kronik

Proses radang berulang menyebabkan epitel mukosa dan jaringan

limfoid terkikis, sehingga diganti dengan jaringan parut yang

mengalami pengerutan sehingga kripti melebar, yang kemudian

diisi dengan detritus. Proses ini berjalan terus sehingga menembus

kapsul tonsil dan melekat dengan jaringan di sekitar fosa

tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembengkakan kelenjar

submandibular.

Gejala dan tanda, tonsil membesar, permukaan tidak rata, kriptus

melebar, diisi oleh detritus. Rasa tenggorok mengganjal, kering,

napas berbau.

Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau

obat isap. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang

berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma

(Soepardi et al 2007).

25

Page 26: Laporan tutorial 3 THT.docx

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan ASTO

Streptokokus grup A (Streptokokus beta hemolitik) dapat

menghasilkan berbagai produk ekstraseluler yang mampu merangsang

pembentukan antibodi. Antibodi itu tidak merusak kuman dan tidak memiliki

daya perlindungan, tetapi adanya antibodi tersebut dalam serum menunjukkan

bahwa di dalam tubuh baru saja terdapat Streptokokus yang aktif.

Antibodi yang terbentuk adalah Antistreptolisin O, Antihialuronidase

(AH), antistreptokinase (Anti-SK), anti-desoksiribonuklease B (AND-B), dan

anti nikotinamid adenine dinukleotidase(anti-NADase).Demam rematik

merupakan penyakit vascular kolagen multisystem yang terjadi setelah infeksi

Streptokokus grup A pada individu yang memiliki faktor predisposisi.

Penyakit ini masih merupakan penyebab terpenting penyakit jantung didapat

(acquired heart disease)pada anak dan dewasa muda di banyak negara

terutama Negara berkembang. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini

ditandai oleh adanya inflamasi endokardium dan mmiokardium melalui suatu

proses autoimun yang menyebabkan kerusakan jaringan.Serangan pertama

demam reumatik akut terjadi paling sering antara umur 5 –15 tahun.Demam

reumatik jarang menyerang anak dibawah umur lima tahun. Demam reumatik

akut menyertai faringitis Streptokokus beta hemolitik grup A yang tidak

diobati. Pengobatan yang tuntas terhadap faringitis akut hampir meniadakan

risiko terjadinya demam reumatik.Diperkirakan hanya 3 % dari individu yang

belum pernah menderita demam reumatik akan menderita komplikasi ini

setelah menderita faringitis Streptokokus yang tidak diobati.ASTO (Anti

Streptolisin O) merupakan antibodi yang paling banyak dikenal dan paling

sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi Streptokokus. Lebih

kurang 80 % penderita demam reumatik menunjukan peningkatan titer

antibodi terhadap Streptokokus. Penelitian menunjukkan bahwa komponen

26

Page 27: Laporan tutorial 3 THT.docx

Streptokokus yang lain memiliki rekativitas bersama dengan jaringan lain. Ini

meliputi reaksi silang imunologik di antara karbohidrat Streptokokus dan

glikoprotein katup, diantaranya membran protoplasma Streptokokus

dan jaringan saraf subtalamus serta nuclei kaudatus dan antara hialuronat

kapsul dan kartilagoartikular.

Ada dua prinsip dasar penetuan ASTO, yaitu:

a) Netralisasi/penghambat hemolisis

Streptolisin O dapat menyebabkan hemolisis dari sel darah merah,

akan tetapi bila Streptolisin O tersebut di campur lebih dahulu

dengan serum penderita yang mengandung cukup anti streptolisin

O sebelum di tambahkan pada sel darah merah, maka streptolisin

O tersebut akan di netralkan oleh ASO sehingga tidak dapat

menibulkan hemolisis lagi.

Pada tes ini serum penderita di encerkan secara serial dan di

tambahkan sejumlah streptolisin O yang tetap (Streptolisin O di

awetkan dengan sodium thioglycolate). Kemudian di tambahkan

suspensi sel darah merah 5%. Hemolisis akan terjadi pada

pengenceran serum di mana kadar/titer dari ASO tidak cukup

untuk menghambat hemolisis tidak terjadi pada pengencaran

serum yang mengandung titer ASO yang tinggi.

b) Aglutinasi pasif

Streptolisin O merupakan antigen yang larut. Agar

dapatmenyebabkan aglutinasi dengan ASO. Maka Streptolisin O

perlu disalutkan pada partikel-partikel tertentu. Partikel

yangsering dipakai yaitu partikel lateks.Sejumlah tertentu

Streptolisin O (yang dapat mengikat 200 IU/ml ASO) di

tambahkan pada serum penderita sehingga terjadi ikatan

Streptolisin O – anti Strepolisin O (SO – ASO).

27

Page 28: Laporan tutorial 3 THT.docx

Bila dalam serum penderita terdapat ASO lebih dari 200 IU/ml,

maka sisa ASO yang tidak terikat oleh Streptolisin O akan

menyebabkan aglutinasi dari streptolisin O yang disalurkan pada

partikel – partikel latex . Bila kadar ASO dalam serum penderita

kurang dari 200 IU / ml , maka tidak ada sisa ASO bebas yang

dapat menyebabkan aglutinasi dengan streptolisin O pada

partikel-partikel latex.

Tes hambatan hemolisis mempunyai sensitivitas yang cukup

baik , sedangkan tes aglutinasi latex memiliki sensitivitas yang

sedang. Tes aglutinasi latex hanya dapat mendeteksi ASO dengan

titer di atas 200 IU/ml (Barrett, 1991).

Pemeriksaan Laboratorium

Kultur adalah kriteria standar untuk mendeteksi grup A Streptococcus

pyogenes beta-hemolitik (GABHS). GABHS adalah organisme utama yang

menggunakan terapi antibiotik (sensitivitas 90-95%). Kekhawatiran atas

resistensi bakteri mengakibatkan pemantauan tonsilitis akut dengan swabs

tenggorokan untuk dikultur dan mengetahui sensitivitasnya. Mengandalkan

hanya pada kriteria klinis, seperti adanya eksudat, eritema, demam, dan

limfadenopati, bukan merupakan metode yang akurat untuk membedakan

antara tonsilitis karena GABHS dengan tonsilitis karena virus. Tes serum

Monospot, hitung CBC (Complete Blood Count), dan uji tingkat elektrolit

serum dapat digunakan sebagai diagnosis (Bisno et al., 1997).

Tes Rapid Antigen Detection (RADT), juga dikenal sebagai rapid

streptococcal test, dapat mendeteksi karbohidrat pada dinding sel GABHS

dengan metode swab dan dianggap kurang sensitif dibandingkan kultur

tenggorokan. Namun, tes RAD memiliki spesifisitas 95% atau lebih dan

memerlukan waktu yang lebih singkat daripada kultur. Hasil negatif pada tes

RAD mengharuskan kultur dilalukan sebelum termasuk mengeliminasi

28

Page 29: Laporan tutorial 3 THT.docx

diagnosis infeksi GABHS. Kultur atau tes RAD tidak diindikasikan pada

kebanyakan kasus setelah terapi antibiotik untuk faringitis GABHS akut

(Bisno et al., 1997).

Serum dapat diperiksa untuk antibodi antistreptococcal, termasuk

antibodi antistreptolysin-O dan antibodi antideoxyribonuclease (anti-DNAse)

B. Titer dapat digunakan sebagai diagnosis infeksi primer sebelumnya pada

orang yang terdiagnosis demam akut rematik, glomerulonefritis, atau

komplikasi lain dari GABHS faringitis (Bisno et al., 1997).

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi tidak terlalu diperlukan pada kasus tonsilitis

akut. Untuk pasien yang tonsilitis akut dan diduga telah menyebar ke dalam

struktur leher (misal melebihi fasia pada orofaring) dapat dilakukan

pemeriksaan foto polos leher posisi lateral atau CT scan dengan kontras. Pada

kasus abses peritonsillar, CT scan dengan kontras biasa dilakukan secara

umum pada presentasi yang tidak biasa (abses posisi inferior) dan pada pasien

dengan risiko tinggi untuk dilakukan prosedur drainase (seperti pasien dengan

koagulopati atau risiko anestesi) (Bisno et al., 1997).

Diagnosis Kerja

Tonsilitis kronis eksaserbasi akut adalah tonsillitis kronis yang

mengalami peradangan akut sehingga terjadi pelebaran pada kripte kripte

tanpa disertai dengan tanda inflamasi akut (Mansjoer, 2001)

d. Epidemiologi dan Faktor Resiko

Epidemiologi

Faringitis lebih sering disebabkan oleh virus (rhinovirus atau

adenovirus) dan bakteri (Streptococcus pyogenes). Puncak insidensinya adalah

29

Page 30: Laporan tutorial 3 THT.docx

pada usia 4-7 tahun dan apabila disebabkan oleh Streptococcus grup A jarang

terjadi pada usia di bawah 3 tahun (Acerra, 2013).

Tonsilitis jarang terjadi pada anak usia kurang dari 2 tahun.

Sedangkan, tonsillitis yang disebabkan Streptococcus banyak terjadi pada usia

5-15 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh virus lebih sering terjadi pada

anak-anak yang lebih muda (Shah, 2013).

Faktor Resiko

Faktor resiko dari faringitis dan tonsillitis adalah:

a) Merokok atau terpapar asap rokok

b) Alergi

c) Infeksi sinus berulang

d) Usia

e) Hygiene oral

f) Jenis makanan

g) Cuaca

h) Terapi yang tidak adekuat (Rusmarjono et al, 2007)

e. Komplikasi

Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke

daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari

tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut

:

a) Komplikasi sekitar tonsil

i. Peritonsilitis

Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa

adanya trismus dan abses.

ii. Abses Peritonsilar (Quinsy)

30

Page 31: Laporan tutorial 3 THT.docx

Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil.

Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang

mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan

penjalaran dari infeksi gigi.

iii. Abses Parafaringeal

Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran

getah bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari

daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar

limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.

iv. Abses Retrofaring

Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring.

Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun

karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.

v. Krista Tonsil

Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup

oleh jaringan fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa

tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan,

biasanya kecil dan multipel.

vi. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)

Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat

dalam jaringan tonsil yang  membentuk bahan keras

seperti kapur.

b) Komplikasi Organ jauh

i. Demam rematik dan penyakit jantung rematik

ii. Glomerulonefritis

iii. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis

iv. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura

v. Artritis dan fibrositis (Efiaty, 2001).\

31

Page 32: Laporan tutorial 3 THT.docx

Selain itu, komplikasi dari infeksi streptococcus dapat dibedakan menjadi

berikut:

Upper respiratory tract: Tonsillopharyngitis

Otitis media

Sinusitis

Lower respiratory tract: Pneumonia

Empyema

Skin and soft tissue Impetigo

Cellulitis

Erysipelas

Cardiovascular Endocarditis

Myocarditis

Pericarditis

Phlebitis

Musculoskeletal Septic arthritis

Osteomyelitis

Pyomyositis

Lymphatic Lymphadenitis

Central nervous system Meningitis

Brain abscess

Systemic Septicemia

(Pichichero, 2003)

f. Penatalaksanaan dan Pencegahan

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tonsilitis secara umum, menurut Firman S :

32

Page 33: Laporan tutorial 3 THT.docx

a) Jika penyebabnya bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui

mulut) selama 10 hari, jika mengalami kesulitan menelan, bisa

diberikan dalam bentuk suntikan.

b) Pengangkatan tonsil (tonsilektomi) dilakukan jika :

i. Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.

ii. Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam

kurun waktu 2 tahun.

iii. Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam

kurun waktu 3 tahun.

iv. Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian

antibiotik.

Menurut Mansjoer, A penatalaksanan tonsillitis adalah:

a) Penatalaksanaan tonsilitis akut

i. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5

hari dan obat kumur atau obatisap dengan desinfektan, bila

alergi dengan diberikan eritromisin atau klindomisin.

ii. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder,

kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan

obat simptomatik.

iii. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring,

untuk menghindari komplikasi kantungselama 2-3 minggu

atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.

iv. Pemberian antipiretik.

b) Penatalaksanaan tonsilitis kronik 

i. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur /

hisap yaitu antibiotik dan analgesik 

33

Page 34: Laporan tutorial 3 THT.docx

Indikasi Tonsilektomi

Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck

Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :

a) Indikasi absolut

i. Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan

napas atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat

komplikasi kardiopulmonal.

ii. Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan

medik dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.

iii. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.

iv. Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan

patologi.

b) Indikasi relatif

i. Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun

tidak diberikan pengobatan medik yang adekuat.

ii. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon

terhadap pengobatan medik.

iii. Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa

streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian

antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase (Efiaty,

2011).

Pencegahan

Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah

menyebar dari satu penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat

diturunkan dengan mencegah terpapar dari penderita tonsilitis atau yang

34

Page 35: Laporan tutorial 3 THT.docx

memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga

untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan

menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi

yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang –

orang yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan

mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain.

35

Page 36: Laporan tutorial 3 THT.docx

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik kami membuat

diagnosis banding: faringitis, laryngitis, tonsillitis akut, dan tonsillitis kronis.

Diagnosis kerja yang dipilih adalah tonsillitis kronis eksaserbasi akut.

Tonsillitis kronis eksaserbasi akut adalah tonsillitis kronis yang mengalami

peradangan akut sehingga terjadi pelebaran kripte-kripte tanpa disertai tanda-

tanda inflamasi akut, kemudian pada mukosa faring juga terlihat hiperemis

dan disertai dengan adanya nyeri saat menelan menunjukkan adanya faringitis

akut. Suara serak yang kemudian muncul menandakan bahwa plica vocalis

yang hiperemis dan edema terjadi sebagai akibat penjalaran proses inflamasi

yang telah sampai pada laring. Jadi bias disimpulkan bahwa pasien menderita

faringitis akut yang kemudian menyebabkan terjadinya tonsillitis kronik

eksaserbasi akut yang kemudian menyebabkan laringitis.

Selain itu, hasil pemeriksaan ASTO: (+) menandakan telah terjadi

infeksi bakteri Streptococcus Beta-Haemoliticus. Pemeriksaan penunjang lain

yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan radiologi dan kultur.

36

Page 37: Laporan tutorial 3 THT.docx

BAB IV

SARAN

Saran untuk pasien adalah mengutamakan tindakan preventif dalam berbagai

masalah kesehatan sehingga penyakit yang sudah ada tidak menyebabkan penyakit

yang baru. Penatalaksanaan pasien dalam kasus dapat berupa terapi kausatif,

simtomatik, dan suportif atau rehabilitatif. Terapi kausatif dapat berupa antibiotik

sesuai dengan bakteri penyebab dan tonsilektomi. Terapi simtomatik berupa analgesik

untuk keluhan nyeri dan antipiretik untuk demam, serta terapi suportif berupa obat

kumur untuk menjaga kebersihan oral.

Kegiatan diskusi tutorial kelompok kami telah berjalan dengan lancar, namun

beberapa anggota kelompok terlihat kurang aktif dalam mengeluarkan pendapat.

Selain itu, mahasiswa masih membuka buku pada pertemuan kedua. Tutor sudah baik

dalam mengarahkan mahasiswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Oleh karena itu, dalam kegiatan tutorial selanjutnya diharapkan mahasiswa

memahami benar tentang informasi yang akan disampaikan sehingga tidak perlu

membuka buku lagi pada saat tutorial berlangsung. Mahasiswa juga sebaiknya aktif

dalam menjawab tujuan pembelajaran yang telah ditentukan saat diskusi tutorial.

37

Page 38: Laporan tutorial 3 THT.docx

DAFTAR PUSTAKA

Acerra JR (2013). Pharyngitis. http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada:

September 2013

Adams, G.L. (1997). Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam Harjanto, E.

dkk (ed) Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi ke6. Penerbit Buku Kedokteran

EGC. Jakarta

Barrett, J.T. 1991. Medical Immunology : Text and Review. F.A. Davis Company

Bisno AL, Gerber MA, Gwaltney JM Jr, Kaplan EL, Schwartz RH. 1997. Diagnosis

and Management of Group Astreptococcal Pharyngitis: a practice guideline.

Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 25(3):574-83.

Cohen-Poradosu R., Dennis L. Kasper. 2007. Group A Streptococcus Epidemiology

and Vaccine Implications. Clinical Infectious Diseases.

Efiaty, Soepardi, 2001, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala Leher Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Eroschenko, Viktor P. 2010. Atlas Histologi Di Fiore dengan korelasi fungsional.

Jakarta : EGC

Guyton AC, Hall JE (2007). Buku ajar fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Hermani, Bambang. Abdurrachman, Hartono. Cahyono, Arie. 2007. Kelainan Laring

38

Page 39: Laporan tutorial 3 THT.docx

dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Indratni, Sri. Kuliah Anatomi “Systema Respiratorius”. Dilaksanakan pada: Agustus

2012 di FK UNS

Khan ZZ. Group A Streptococcal Infections.

http://emedicine.medscape.com/article/228936-overview#a0104 . Diakses pada:

September 2013

Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta kedokteran JIlid 1. Media Aeusculapius : FK

UI Jakarta

Mescher AL (2009). Histologi dasar junqueira teks & atlas. Edisi 12. Jakarta: EGC

Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. 2010. Clinically Oriented Anatomy.

Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 6th ed.p. 889-909.

Pichichero M E. 2003. Pediatric in review: Group A Beta-hemolytic Streptococcal

Infections. Pediatrics in Review19;291.

Shah UK (2013). Tonsillitis and Peritonsillar Abscess.

http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada: September 2013

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2007. Telinga Hidung

Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

39

Page 40: Laporan tutorial 3 THT.docx

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2012. Telinga Hidung

Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

40