LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

48
LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN APLIKASI KONSEP MASHLAHAT DALAM PRODUK IJTIHAD KONTEMPORER MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH Oleh : ARIF HAMZAH, MA. LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA JULI 2019

Transcript of LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

Page 1: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

LAPORAN PENELITIAN

AL-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN

APLIKASI KONSEP MASHLAHAT DALAM PRODUK IJTIHAD KONTEMPORER

MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH

Oleh :

ARIF HAMZAH, MA.

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

JULI 2019

Page 2: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …
Page 3: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …
Page 4: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

Abstrak

Page 5: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

COVER HALAMAN SURAT KONTRAK HALAMAN PENGESAHAN

ABSTRAK DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah.......................................................................... 6

C. Pembatasan Masalah ....................................................................... 6

D. Rumusan Masalah............................................................................. 7

E. Tujuan .............................................................................................. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ALUR PENELITIAN

A. Teori Yang Berkaitan

1. Pengertian Pembiayaan............................................................. 8

2. Dasar Hukum Pembiayaan......................................................... 10

3. Fungsi Pembiayaan.................................................................... 12

4. Unsur Pembiayaan..................................................................... 14

B. Alurpenelitian.................................................................................. 17

C. Kerangkapikir Penelitian ................................................................. 17

BAB III METODE PENELITIAN

A. Ruanglingkup Penelitian.................................................................. 22

B. Metode Pengumpulan Data............................................................. 26

C. Metode Pengolahan Data................................................................ 26

D. Metode Analisis Data....................................................................... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum BRI Syari’ah ........................................................ 32

B. Pembiayaan Modal Kerja Revolving di BRI Syari’ah......................... 36

C. MekanismePembiayaan Modal Kerja Revolving.............................. 41

D. Manajemen Risiko Pada Pembiayaan Modal Kerja Revolving.......... 42

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................... 46

B. Saran................................................................................................. 47

BAB VI Luaran Penelitian HALAMAN KINERJA PENELITIAN DAFTAR PUSTAKA

Page 6: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Muhammadiyah merupakan sebuah gerakan pembaruan sosial yang berbasis nilai-

nilai keagamaan Islam. Muhammadiyah sendiri mendefinisikan dirinya sebagai “Gerakan

Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid, bersumber kepada al-Quran dan as-

Sunnah, berasas Islam” (Anggaran Dasar Muhammadiyah, 2005). Sebagai demikian,

Muhammadiyah tentu terlibat dalam pengkajian, penafsiran dan penerapan ajaran agama

Islam itu sendiri. Untuk tujuan tersebut di dalam Persyarikatan ini diadakan suatu majelis

khusus yang bertugas melaksanakan tanggung jawab dimaksud, yang sekarang dinamakan

Majelis Tarjih dan Tajdid yang terdapat pada setiap level organisasi sejak tingkat pusat

hingga cabang.

Majelis Tarjih dalam Muhammadiyah didirikan pertama kali tahun 1928 sebagai

buah dari Keputusan Kongres Muhammadiyah Ke-16 di Pekalongan tahun 1927.

Kelembagaan Majelis Tarjih lengkap dengan susunan pengurus dan Qaidah Majelis Tarjih

disahkan dalam Konres Muhammadiyah Ke-17 di Jogjakarta tahun 1928 dengan ketua

pertamanya KH Mas Mansur (w. 1365/1946). Pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2005,

Majelis ini disebut Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Pada periode 2005

hingga sekarang lembaga ini diberi nama Majelis Tarjih dan Tajd id.

Dalam melaksanakan pengkajian dan penafsiran ajaran agama tentu ada prinsip dan

metode tertentu yang dipegangi. Prinsip dan metode tersebut disebut manhaj tarjih.

Tulisan ini pada halaman-halaman berikut akan menjelaskan apa manhaj tarjih tersebut

dan bagaimana mekanisme penerapannya.

Frasa “manhaj tarjih” secara harfiah berarti cara melakukan tarjih. Sebagai sebuah

istilah, manhaj tarjih lebih dari sekedar cara bertarjih. Istilah tarjih sendiri sebenarnya

berasal dari disiplin ilmu usul fikih. Dalam ilmu usul fikih tarjih berarti melakukan

penilaian terhadap dalil-dalil syar’i yang secara zahir tampak saling bertentangan atau

evaluasi terhadap pendapat-pendapat (kaul) fikih untuk menentukan mana yang lebih kuat.

Ar-Razi mendefinisikan tarjih dalam usul fikih sebagai, “Menguatkan salah satu dalil atas

Page 7: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

yang lain sehingga diketahui mana yang kuat lalu diamalkan yang lebih kuat itu dan

ditinggalkan yang tidak kuat.” Definisi ini menjelaskan dua hal pokok tentang pengertian

tarjih, yaitu :

1. Bahwa tarjih itu adalah perbuatan mujtahid (ahli hukum syariah) dan bukan sifat

dari suatu dalil.

2. Bahwa obyek tarjih adalah dalil-dalil yang tampak saling bertentangan untuk

diambil yang lebih kuat.

Hanya saja definisi ini, dan definisi lain sealur dengan definisi ini, dinyatakan

kurang lengkap karena membatasi obyek tarjih pada dalil-dalil syar‘i yang secara zahir

tampak saling bertentangan saja. Sesungguhnya tarjih tidak hanya dilakukan terhadap

dalil-dalil syar‘i yang secara zahir tampak saling bertentangan, tetapi juga terhadap cara-

cara berargumentasi (aujuh), pendapat-pendapat (kaul-kaul) fikih, dan riwayat-riwayat

dari seorang imam fikih yang berbeda bahkan bertentangan. Misalnya dari Imam Ahmad

diriwayatkan adanya dua riwayat tentang berbuka (iftar) di bulan Ramadan bagi orang

yang mulai safar di tengah hari, apakah ia boleh berbuka hari itu atau tidak.

Dari Imam Ahmad terdapat dua riwayat, pertama, riwayat yang menyatakan bahwa

Ahmad membolehkan iftar (tidak puasa) pada hari itu bagi musafir tersebut, dan kedua,

riwayat yang menyatakan bahwa Imam Ahmad tidak membolehkan hal tersebut di mana

untuk hari itu ia wajib meneruskan puasanya hingga magrib. Ibn Qudāmah menarjih

riwayat pertama.1Jadi tarjih tidak hanya dilakukan terhadap dalil-dalil, tetapi juga terhadap

riwayat-riwayat dari imam-imam mujtahid. Selain itu tarjih juga dilakukan terhadap

berbagai pendapat (kaul) fikih yang beragam bahkan saling bertentangan menganai satu

masalah yang sama untuk dievaluasi dan diambil yang lebih dekat kepada al-Kitab dan as-

Sunnah serta lebih maslahat untuk diterima. Atas dasar itu ada yang mendefinisikan tarjih

sebagai, “Perbuatan mujtahid mendahulukan salah satu dari dua jalan yang memiliki

keungulan lebih yang dapat diterima dan yang menjadikannya lebih utama untuk

diamalkan dari yang lain.” (Al-Razi, t.t., ai-Syaukani, 2000, Al-Barzanji, 1996).

Yang dimaksud dengan “jalan” dalam definisi di atas meliputi (1) dalil-dalil, karena

dalil itu merupakan jalan yang menghantarkan kepada kesimpulan (ketentuan hukum)

mengenai suatu masalah; (2) cara memahami (wajh) karena cara memahami juga

merupakan jalan mencapai kesimpulan; dan riwayat, karena riwayat juga jalan untuk

mencapai suatu kesimpulan.

.

Page 8: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

Tetapi sebenarnya evaluasi terhadap pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat fikih

itu adalah evaluasi terhadap dalilnya untuk menemukan yang lebih kuat. Sebaliknya tarjih

terhadap dalil-dalil pada akhirnya adalah juga untuk mendapatkan ketentuan hukum yang

lebih kuat yang didasarkan kepada dalil-dalil tersebut. Dengan demikian tarjih terhadap

dalil dan terhadap kaul dan riwayat fikih itu saling terkait dan bermuara pada satu tujuan,

yaitu menemukan suatu ketentuan hukum syariah yang lebih mantap.

Inilah pengertian tarjih dalam disiplin asli dari mana istilah itu berasal, yaitu usul

fikih. Perlu pula dicatat bahwa tarjih merupakan salah satu tingkatan ijtihad. Dalam usul

fikih, tingkat-tingkat ijtihad meliputi ijtihad mutlak mandiri (ijtihad dalam usul dan

cabang), ijtihad mutlak tak mandiri, ijtihad terikat, ijtihad tarjih, dan ijtihad fatwa

(Wahbah Zuhaili, 1986).

Dalam lingkungan Muhammadiyah pengertian tarjih telah mengalami

perkembangan makna. Memang pada awalnya dalam organisasi ini tarjih difahami

sebagaimana menurut pengertian aslinya dalam ilmu usul fikih, yaitu “memperbandingkan

dalam suatu permusyawaratan pendapat-pendapat dari ulama (baik dari dalam ataupun

dari luar Muhammadiyah termasuk pendapat imam-imam) untuk kemudian mengambil

mana yang dianggap mempunyai dasar dan alasan yang lebih kuat.”2 Lambat laun

pengertian ini mengalami pergeseran karena perkembangan kegiatan ketarjihan di dalam

Muhammadiyah. Tarjih tidak lagi hanya diartikan kegiatan sekedar kuat-menguatkan

suatu dalil atau pilih-memilih di antara pendapat yang sudah ada, melainkan jauh lebih

luas sehingga identik atau paling tidak hampir identik dengan ijtihad itu sendiri. Hal itu

karena dalam Muhammadiyah, melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, banyak dilakukan

ijtihad atas masalah-masalah baru yang belum direspons oleh fukaha masa lalu dan belum

ditemukan jawabannya dalam kitab-kitab fikih lama.

Dalam Muhammadiyah tarjih tidak hanya dibatasi pada ijtihad untuk merespons

permasalahan dari sudut pandang hukum syar’i, tetapi juga merespons permasalahan dari

sudut pandang Islam secara lebih luas, meskipun harus diakui porsi ijtihad hukum syar‘i

sangat jauh lebih besar. Oleh karena itu dalam lingkungan Muhammadiyah tarjih diartikan

sebagai setiap aktifitas intelektual untuk merespons permasalahan sosial dan kemanusiaan

dari sudut pandang agama Islam. Dari situ tampak bahwa bertarjih artinya sama atau

hampir sama dengan melakukan ijtihad mengenai suatu permasalahan dilihat dari

perspektif Islam (Suara Muhammadiyah, 2012).

Page 9: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

Adalah jelas bahwa tarjih itu tidak dilakukan secara serampangan, melainkan

berdasarkan kepada asas-asas dan prinsip-prinsip tertentu. Kumpulan prinsip-prinsip dan

metode-metode yang melandasi kegiatan tarjih itu dinamakan manhaj tarjih (metodologi

tarjih). Manhaj tarjih dapat didefinisikan sebagai “suatu sistem yang memuat seperangkat

wawasan (atau semangat/perspektif), sumber, pendekatan, dan prosedur-prosedur tehnis

(metode) tertentu yang menjadi pegangan dalam kegiatan ketarjihan.” Kegiatan ketarjihan

adalah aktifitas intelektual untuk merespons berbagai masalah sosial kemasyarakatan dan

kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam. Respons terhadap permasalahan sosial dan

kemanusiaan tersebut dapat dilakukan dalam suatu kerangka yang bersifat evaluatif

(melihat permasalahan dari sudut pandang das sollen) dengan mengembangkan sistem

normatif yang responsif. Juga dapat dilakukan dalam suatu kerangka yang bersifat

ekplanatif (melihat masalah dalam realitas empiris / dari perspektif das sein) yang tetap

bertolak dari dasar-dasar ajaran agama, dan dilakukan dengan mengembangkan kerangka

pemikiran keislaman yang kritis dan analitis.

Produk Tarjih lebih banyak tertuju kepada respons dalam kerangka das sollen yang

memberikan arahan-arahan dan petunjuk normatif. Hanya sedikit sekali produk Tarjih

dalam bentuk pemikiran keislaman dalam suatu kerangka yang bersifat das sein. Itu pun

hanya dalam bentuk wacana, bukan dalam bentuk putusan atau fatwa. Untuk ini barangkali

dapat disebut sebagai contoh buku Agama dan Pluralitas Budaya Lokal dan

Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi

sebagai hasil kerjasama Majelis Tarjih dan pihak lain. Tetapi hal itu memang dapat

dipahami karena mengingat fungsi dan tugas Majelis Tarjih sendiri adalah melakukan

pengkajian ajaran agama untuk mendapatkan kemurniannya guna menjadi pedoman dan

tuntunan bagi warga Persyarikatan secara khusus dan bagi warga masyarakat pada

umumnya. Atas dasar pertimbangan di atas maka desertasi ini mengambil judul Aplikasi

konsep mashlahat dalam produk ijtihad kontemporer Majelis Tarjih Muhammadiyah.

Page 10: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

10

B. Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut; bagaimana

penereapan konsep mashlahat oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam

menghasilkan produk-produk ijtihad dalam memberikan solusi atas masalah dan

problema kontemporer.

Untuk menjawab masalah penelitian di atas, maka penulis merumuskan

beberapa pertanyaan penelitian yang mendukung, yang terdiri atas:

1. Bagaimana perspektif Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang konsep

mashlahat dan mekanisme penerapannya sebagai dalil dalam istinbath

hokum?

2. Bagaimana perspektif Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang masalah

ijtihadiyah?

3. Apa saja produk-produk ijtihad kontemporer Majelis Tarjih

Muhammadiyah, hal-hal yang melatarbelakangi kemunculannya, dan

tujuannya diproduksi?

4. Bagaimana penerapan konsep mashlahat dalam perspektif Majelis

Tarjih terhadap produk-produk ijtihad kontemporer?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui perspektif Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang

konsep mashlahat dan mekanisme penerapannya sebagai dalil dalam

istinbath hokum?

2. Untuk mengetahui perspektif Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang

masalah ijtihadiyah?

3. Untuk mengetahui produk-produk ijtihad kontemporer Majelis Tarjih

Muhammadiyah, hal-hal yang melatarbelakangi kemunculannya, dan

tujuannya diproduksi?

Page 11: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

11

4. Untuk mengetahui penerapan konsep mashlahat dalam perspektif

Majelis Tarjih terhadap produk-produk ijtihad kontemporer?

Page 12: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam melaksanakan pengkajian dan penafsiran ajaran agama, majelis

Tarjih Muhammadiyah menetapkan prinsip dan metode tertentu yang dipegangi.

Prinsip dan metode tersebut disebut manhaj tarjih. Oleh karena itu, definisi manhaj

tarjih di atas menggambarkan bahwa manhaj tersebut memuat unsur-unsur: (1)

wawasan (atau semangat/perspektif), (2) sumber ajaran, (3) pendekatan, dan

metode (prosedur tehnis). Jadi, manhaj tarjih sebagai kegiatan intelektual untuk

merespons berbagai persoalan dari sudut pandang agama Islam tidak sekedar

bertumpu pada sejumlah prosedur tehnis an sich, melainkan juga dilandasi oleh

wawasan/perspektif pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran

Islam Muhammadiyah. Wawasan/perspektif tarjih itu meliputi wawasan paham

agama, wawasan tajdid, wawasan toleransi, wawasan keterbukaan, dan wawasan

tidak berafiliasi mazhab tertentu.

Wawasan (semangat/perspektif) ini diharapkan dapat memberikan landasan

pijak bagi pemikiran keislaman Muhammadiyah untuk dapat menyikapi berbagai

perkembangan baru secara lebih kreatif dan inovatif. Namun penerapannya sangat

ditentukan oleh sikap warga Muhammadiyah sendiri karena Muhammadiyah

adalah gerakan rakyat, bukan gerakan segelintir elit, walaupun peran elit sangat

penting.

1. Wawasan Paham Agama

Ada banyak pendekatan yang dilakukan dalam memahami agama. Ada

beberapa ahli yang memahami agama dengan melihat fungsinya sebagaimana

diikuti oleh beberapa antropolog, terutama yang beraliran fungsionalis. Ada

pula yang melihat hakikat agama dalam pengalaman subyek yang menjalaninya

seperti diikuti oleh beberapa ahli religionwissenschaf. Sementara itu pada ahli

agama Islam lebih menekankan sudut pandang yang melihatnya sebagai suatu

Page 13: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

13

tatanan normatif. Umumnya para ulama Islam mendefinisikan agama sebagai,

“Ketetapan Ilahi yang membimbing orang-orang yang berfikiran sehat ke arah

kebaikan-kebaikan atas pilihan mereka sendiri baik secara batin maupun lahir

(Ibnu Asyur, 1981). Definisi ini melihat agama sebagai suatu kerangka atau

tatanan normatif yang memberikan bimbingan dan pengarahan kepada manusia

untuk mencapai kebajikan hidup.

Tidak jauh berbeda dengan definisi para ulama Islam ini adalah

pengertian agama dalam putusan Tarjih yang menegaskan bahwa Agama ialah

apa yang disyariatkan Allah dengan perantara Nabi-Nabi-Nya, berupa

perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk

kebaikan manusia di Dunia dan Akhira (HPT, 2009). Ini adalah pengertian

agama secara umum, yaitu agama yang diturunkan kepada para nabi Allah yang

pernah diutuskan ke umat manusia.

Di samping itu putusan Tarjih mendefinisikan pula agama Islam yang

dibawa oleh Nabi Muhammad saw, yaitu Agama (yaitu agama Islam) yang

dibawa oleh nabi Muhammad saw ialah apa yang diturunkan Allah di dalam

Quran dan yang tersebut dalam sunnah yang sahih, berupa perintah-perintah

dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di

Dunia dan Akhirat.(HPT, 2009)

Seperti halnya definisi para ulama Islam, pengertian agama yang

dirumuskan tarjih ini juga melihat agama sebagai suatu tatanan normatif yang

menjadi kerangka rujukan dan sekaligus bimbingan bagi manusia dalam

menjalani hidupnya untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di

akhirat. Definisi ini benar sepenuhnya, namun baru menggambarkan satu sisi

dari agama. Untuk melengkapi konsep ini, kita dapat pula melihat agama dari

segi hakikatnya sebagaimana yang diresapi dan dimanifetasikan oleh

pelakunya. Dari sudut pandang ini kita dapat mendefinisikan agama sebagai

“suatu pengalaman imani yang terekspresikan dalam wujud amal salih yang

dijiwai oleh “islam”, ihsan dan Syariah (Syamsul Anwar, 2005)

Page 14: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

14

Dengan kesadaran imanai dimaksudkan kesadaran atas keberadaan,

kehadiran dan keberhadapan dengan Allah Yang Maha Melihat dan Mendengar

lagi Maha Mengetahui. Kesadaran tersebut secara eksternal dimanifestasikan

dalam wujud amal salih yang sebagian dipolakan secara ketat (yang disebut

ibadat) dan sebagian lagi tidak dipolakan secara ketat (yang disebut muamalat

duniawiah). Amal salih sebagai wujud manifestasi pengalaman imani itu

mencakup bentuk tindak berfikir dan tindak berperilaku. Agar ekspresi

(manifestasi) pengalaman imani dalam wujud amal ini terlambagakan secara

benar diperlukan kerangka normatif atau norma-norma sebagai rujukan, yakni

dalam Islam berupa syariah yang diwahyukan Allah melalui Nabi-Nya

Muhammad saw. Norma-norma ini yang diwahyukan Allah dalam al-Quran

dan as-Sunnah merupakan norma-norma pokok. Namun norma-norma ini

sering harus diperluas dengan norma-norma tambahan melalui ijtihad dan

interpretasi yang disebut fikih dalam salah satu artinya. Dengan demikian

agama meliputi unsur-unsur (1) inti yang berupa pengalaman imani, (2) bentuk

yang berupa norma-norma syariah sebagai kerangka rujukan, dan (3)

manifestasi yang berupa amal.

Ekspresi pengalaman imani melahirkan budaya dan tidak jarang pula

terjadi peminjaman wadah budaya yang sudah ada dalam masyarakat untuk

menampung skpresi tersebut. Dalam kasus terakhir ini manifestasi agama

mengalir ke dalam wadah budaya yang sudah ada sehingga terjadi tarik-

menarik dan pergumulan antara agama dan budaya bersangkutan. Tidak jarang

terjadi bahwa kerangka rujukan normatif yang memberikan arahan bagi

manifestasi pengalaman imani itu harus diperluas untuk dapat menampung

wujud ekpresi yang terus berkembang, sehingga norma-norma yang ada harus

diperluas atau diinterpretasi ulang guna memfasilitasi ekspresi budaya. Di

sinilah wilayah tajdid dan ijtihad memainkan peran penting (Syamsul Anwar

2005)

Page 15: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

15

2. Wawasan Tajdid

Tajdid sebagai karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah diingat

dalam memori kolektif warga masyarakat Muslim Indonesia yang melabeli

gerakan ini sebagai gerakan kaum modernis. Deliar Noer menegaskan bahwa

Muhammadiyah adalah “sebuah gerakan kaum modernis yang melakukan

pendekatan terhadap sumber-sumber ini [maksudnya al-Quran dan as-Sunnah,

pen.] dengan cara melakukan ijtihad guna melakukan pembaruan sosial dan

keagamaan di kalangan orang-orang Muslim Indonesia (Deliar Noer, 1973)

Sejak tahun 2005 semangat tersebut oleh Muhammadiyah sendiri dipatrikan

dalam dokumen resmi. Semangat (wawasan) tajdid ditegaskan sebagai identitas

umum gerakan Muhammadiyah termasuk pemikirannya di bidang keagamaan.

Ini ditegaskan dalam pasal 4 Anggaran Dasar Muhammadiyah yang telah

dikutip pada awal tulisan ini. Dalam kaitan dengan manhaj tarjih, tajdid

menggambarkan orientasi dari kegiatan tarjih dan corak produk ketarjihan.

Tajdid mempunyai dua arti, yaitu;

a. Dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti

mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan

Sunnah Nabi saw.

b. Dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan

kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan

zaman.

Pemurnian ibadah berarti menggali tuntunannya sedemikian rupa dari

Sunnah Nabi saw untuk menemukan bentuk yang paling sesuai atau paling

mendekati Sunnah beliau. Mencari bentuk paling sesuai dengan Sunnah Nabi

saw tidak mengurangi arti adanya keragaman (tanawwu‘) dalam kaifiat ibadah

itu sendiri, sepanjang kaifiat itu memang mempunyai landasannya dalam

Sunnah Nabi saw. Contohnya adalah adanya variasi dalam bacaan doa iftitah

Page 16: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

16

dalam salat, yang menunjukkan bahwa Nabi saw sendiri melakukannya secara

bervariasi. Varian ibadah yang tidak didukung oleh Sunnah menurut Tarjih

Muhammadiyah tidak dapat dipandang praktik ibadah yang bisa diamalkan.

Berkaitan dengan akidah, pemurnian berarti melakukan pengkajian untuk

membebaskan akidah dari unsur-unsur khurafat dan tahayul. Diktum keimanan

yang dapat dipegangi adalah apa yang ditegaskan dalam al-Quran dan as-

Sunnah. Kepercayaan yang tidak bersumber kepada kedua sumber asasi

tersebut tidak dapat dipegangi. Kepercayaan bahwa angka 13 adalah sial,

misalnya, tidak ada dalilnya dalam al-Quran dan as-Sunnah. Dalam tradisi

pemilihan Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui muktamar selalu dipilih 13

anggota pimpinan, walaupun bilamana diperlukan kemudian dapat ditambah.

Pemilihan 13 anggota pimpinan ini adalah suatu bentuk perlawanan terhadap

kepercayaan tentang kesialan angka 13.

Tajdid di bidang muamalat duniawiyah (bukan akidah dan ibadah

khusus), berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat sesuai dengan

capaian kebudayaan yang dapat diwujudkan manusia di bawah semangat dan

ruh al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Bahkan dalam aspek ini beberapa norma

di masa lalu dapat berubah bila ada keperluan dan tuntutan untuk berubah dan

memenuhi syarat-syarat perubahan hukum syarak. Misalnya di zaman lampau

untuk menentukan masuknya bulan kamariah baru, khususnya Ramadan,

Syawal, dan Zulhijah, digunakan rukyat sesuai dengan hadis-hadis rukyat

dalam mana Nabi saw memerintah melakukan pengintaian hilal. Namun pada

zaman sekarang tidak lagi digunakan rukyat melainkan hisab, sebagaimana

dipraktikkan dalam Muhammadiyah. Contoh lain, di masa lalu perempuan tidak

dibolehkan menjadi pemimpin karena hadis Abu Bakrah yang melarangnya,

maka di zaman sekarang terjadi perubahan ijtihad hukum di mana perempuan

boleh menjadi pemimpin sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Tarjih tentang

Adabul Mar’ah fil-Islam, yang merupakan putusan Tarjih tahun 1976

(Pemnerbit Muhammadiyah, 2012).

Page 17: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

17

3. Wawasan Toleransi

Toleransi artinya bahwa putusan Tarjih tidak menganggap dirinya saja

yang benar, sementara yang lain tidak benar. Dalam “Penerangan tentang Hal

Tardjih” yang dikeluarkan tahun 1936, dinyatakan, “Kepoetoesan tardjih

moelai dari meroendingkan sampai kepada menetapkan tidak ada sifat

perlawanan, jakni menentang ataoe menjatoehkan segala jang tidak dipilih oleh

Tardjih itoe (Boeah congres 26, 1936).

Pernyataan ini menggambarkan bahwa Tarjih Muhammadiyah tidak

menegasikan pendapat lain apalagi menyatakannya tidak benar. Tarjih

Muhammadiyah memandang keputusan-keputusan yang diambilnya adalah

suatu capaian maksimal yang mampu diraih saat mengambil keputusan itu.

Oleh karena itu Tarjih Muhammadiyah terbuka terhadap masukan baru dengan

argumen yang lebih kuat. Keterbukaan terhadap penemuan baru adalah prinsip

berikutnya dalam wawasan ketarjihan Muhammadiyah.

4. Keterbukaan

Keterbukaan artinya bahwa segala yang diputuskan oleh Tarjih dapat

dikritik dalam rangka melakukan perbaikan, di mana apabila ditemukan dalil

dan argumen lebih kuat, maka Majelis Tarjih akan membahasnya dan

mengoreksi dalil dan argumen yang dinilai kurang kuat. Dalam “Penerangan

tentang Hal Tardjih” ditegaskan, “Malah kami berseroe kepada sekalian oelama

soepaya soeka membahas poela akan kebenaran poetoesan Madjelis Tardjih

itoe di mana kalaoe terdapat kesalahan ataoe koerang tepat dalilnja diharap

soepaya diajoekan, sjoekoer kalaoe dapat memberikan dalil jang lebih tepat dan

terang, jang nanti akan dipertimbangkan poela, dioelang penjelidikannja,

kemoedian kebenarannja akan ditetapkan dan digoenakan. Sebab waktoe

Page 18: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

18

mentardjihkan itoe ialah menoeroet sekedar pengertian dan kekoeatan kita pada

waktoe itoe(Boeah congres 26, 1936).

5. Tidak Berafiliasi Mazhab

Memahami agama dalam perspektif tarjih dilakukan langsung dari

sumber-sumber pokoknya, al-Quran dan Sunnah melaluin proses ijtihad dengan

metode-metode ijtihad yang ada. Ini berarti Muhammadiyah tidak berafiliasi

kepada mazhab tertentu. Namun ini tidak berarti menafikan berbagai pendapat

fukaha yang ada. Pendapat-pendapat mereka itu sangat penting dan dijadikan

bahan pertimbangan untuk menentukan diktum norma/ajaran yang lebih sesuai

dengan semangat di mana kita hidup.

D. Sumber-sumber Ajaran Agama

Manhaj (metodologi) tarjih juga mengandung pengertian sumber-sumber

pengambilan diktum ajaran agama. Sumber pokok ajaran agama Islam adalah al-

Quran dan as-Sunnah yang ditegaskan dalam sejumlah dokumen resmi

Muhammadiyah, yaitu antara lain:

1. Pasal 4 ayat (1) Anggran Dasar Muhammadiyah yang telah dikutip di atas yang

menyatakan bahwa “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar

Makruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah

(Berita Resmi Muhammadiyah, 2005).

2. Putusan Tarjih di Jakarta Tahun 2000 Bab II angka 1 menegaskan, “Sumber

ajaran IslDasar mutlak dalam penetapan hukum Islam adalah al-Qur’an dan

al-Hadis asy-Syarif (HPT, 2009).

Mengenai hadis (sunnah) yang dapat menjadi hujah adalah sunnah

makbulah seperti ditegaskan dalam Putusan Tarjih Jakarta tahun 2000 yang

dikutip di atas. Istilah sunnah makbulah merupakan perbaikan terhadap rumusan

lama dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tentang definisi agama Islam yang

menggunakan ungkapan “sunnah sahihah.” Istilah sunnah sahihah sering

Page 19: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

19

menimbulkan salah faham dengan mengindektikkannya dengan hadis sahih.

Akibatnya hadis hasan tidak diterima sebagai hujah syar’iah, pada hal sudah

menjadi ijmak seluruh umat Islam bahwa hadis hasan juga menjadi hujah agama.

Oleh karena itu untuk menghindari salah faham tersebut, rumusan itu diperbaiki

sesuai dengan maksud sebenarnya dari rumusan bersangkutan, yaitu bahwa yang

dimaksud dengan sunnah sahihah adalah sunnah yang bisa menjadi hujah, yaitu

hadis sahih dan hadis hasan (HPT, 2009). Karenanya dalam rumusan baru

dikatakan “sunnah makbulah”, yang berarti sunnah yang dapat diterima

sebagai hujah agama, baik berupa hadis sahih maupun hadis hasan.

Hadis Dhaif tidak dapat dijadikan hujah sya’iyah. Namun ada suatu

perkecualian di mana hadis daif bisa juga menjadi hujah, yaitu apabila hadis

tersebut: 1) banyak jalur periwayatannya sehingga satu sama lain saling

menguatkan, 2) ada indikasi berasal dari Nabi saw, 3) tidak bertentangan dengan

al-Quran, 4) tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah dinyatakan sahih.

Apa yang dikemukakan di atas adalah sumber-sumber pokok ajaran Islam

secara umum . Dalam kaitan dengan sisten normatif Islam terdapat sumber-

sumber yang mendampingi sumber-sumber pokok. Sumber-sumber pendamping

ini dapat disebut sebagai sumber-sumber paratekstual atau juga sumber-sumber

instrumental. Sumber-sumber ini juga dapat diterima dan diakui dalam praktik

ketarjihan, seperti ijmak, qiyas, maslahat mursalah, istihsan, tindakan preventif

(sadduż-żarī‘ah), dan uruf.

Beberapa kalangan dalam Muhammadiyah memandang unsur-unsur ini

sebagai metode, bukan sebagai sumber. Pandangan itu terjadi karena melihat

unsur-unsur tersebut lebih sebagai proses. Padahal unsur-unsur dimaksud tidak

harus dilihat sebagai proses. Ijmak, misalnya, apabila dilihat sebagai proses,

maka kesimpulannya ijmak adalah mustahil karena ijmak memerlukan waktu

panjang yang melampaui usia manusia di satu sisi dan teramat sulit untuk

menentukan kualifikasi siapa yang harus berijmak di sisi lain. Sebaliknya apabila

ijmak dilihat sebagai produk, maka ia tidak mungkin menjadi metode, justru ia

Page 20: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

20

adalah sumber. Dalam putusan Tarjih mengenai wakaf digunakan ijmak sebagai

salah satu dasar putusannya di samping sumber nash, di mana dikatakan, “Dan

karena ijmak ahli fikih bahwa syarat [klausul] wakif itu sama kedudukannya

dengan nas syarak. (Keputusan Munas Tarjih Jakarta, 2012).

Al-Gazali mendefinisikan ijmak sebagai “Kesepakatan umat Muhammad

saw secara khusus mengenai suatu masalah agama (Al-Gazali, 1997). Konsepsi

ijmak menurut fakih filosof sufi ini lebih bersifat populis karena melibatikan

seluruh warga masyarakat Muslim. Pada sisi lain ada pandangan yang

mengkonsepsikan ijmak sebagai lebih elitis karena ijmak dirumuskan sebagai

kesepakatan para mujtahid sesudah zaman Nabi saw atas suatu masalah yang

belum terdapat ketentuannya dalam al-Quran (Al-Taftazani, 1997). Terlepas dari

apa pun konsepsi ijmak, yang jelas bahwa manusia sebagai makhluk sosial dalam

hidup bermasyarakat tidak pernah lepas dari adanya kesepakatan-kesepakatan

dalam sejumlah aspek kehidupannya, termasuk juga dalam sejumlah masalah

keagamaan. Oleh karena itu Muhammadiyah tidak mungkin mengabaikannya.

Dalam putusan Tarjih ijmak telah digunakan sebagai dasar argumen.

Qiyas juga tidak harus dilihat sebagai proses, yaitu tindakan melakukan

analogi, tetapi qiyas dapat juga diartikan sebagai al-istiwa’ (kesamaan). Al-

Amidi, misalnya, mendefinisikan qiyas sebagai, “Persamaan antara kasus cabang

dan kasus pokok dalam kausa yang diistinbat dari hukum kasus pokok (Al-Amidi,

2003). Jadi sumber hukum syar’i dalam kaitan dengan qiyas adalah kesamaan

suatu kasus dengan kasus yang sudah ditegaskan hukumnya dalam nas. Dengan

makna seperti ini qiyas tidak salah dipandang sebagai sumber. Dalam Peputusan

Tarjih tentang Masalah Lima sudah terdapat penegasan tentang penggunaan

qiyas.

Maslahat mursalah dalam fatwa Tarjih juga telah digunakan antara lain

mengenai fatwa tentang keharusan dilakukannya perceraian di depan sidang

pengadilan. Istihsan digunakan dalam HPT untuk membolehkan penjualan harta

wakaf atau perubahan pemanfaatan yang berbeda dengan syarat (klausul) wakif

Page 21: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

21

karena alasan-alasan yang menghendaki perubahan tersebut. Argumen terhadap

kebolehan ini dalam Putusan Tarjih disebut hifzan li al-maslahah (guna menjaga

maslahat) (HPT, 2009). Kebijakan menyimpangi aturan pokok karena suatu

alasan tertentu yang dibenarkan oleh syariah dalam usul fikih disebut istihsan.

Mengenai sadduzzari‘ah digunakan dalam HPT untuk melarang wakaf

untuk hal-hal yang bersifat maksiat yang dapat menimbulkan fitnah dengan

argumen “saddan li azzari‘ah (HPT, 2009). Mengenai fatwa Sahabat dalam

kaidah tentang usul fikih dalam HPT adalah penegasan bahwa hadis maukuf

murni tidak dapat menjadi hujah. Ini berarti bahwa fatwa Sahabat (yang

merupakan hadis maukuf) tidak dapat menjadi sumber norma ajaran agama.

Namun dalam beberapa hal fatwa Sahabat dapat dijadikan hujah, apabila fatwa

itu memiliki sisi kemarfukan kepada Nabi saw (memiliki dimensi marfuk) (HPT,

2009). Tentang fatwa keharusan penjatuhan talak di depan sidang pengadilan,

selain didasarkan atas pertimbangan maslahat juga didasarkan atas ketentuan

hukum yang berlaku. Ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat dapat

dipandang sebagai uruf (uruf qanuni) dengan ketentuan tidak bertentangan

dengan nas sarih, atau ada nas, namun nas itu perlu ditafsir ulang demi

mewujudkan kondisi yang lebih maslahat, dan atau dalam hukum syarak

mengenai hal itu belum diatur. Dengan demikian uruf pun dalam praktik

ketarjihan juga diakui.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), dan

penelitian kepustakaan (library research) dan dianalisis menggunakan metode

deskriptif analis. Objek penelitian penulis adalah MajelisTarjih dan produk-

Page 22: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

22

produk ketarjihan. Lokasi penelitian yang ingin saya lakukan ialah di Kantor

PWM DKI Jakarta dan perpustakaan.

B. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan data

sekunder. Data primer merupakan sumber data yang didapatkan secara

langsung dalam penelitian yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan guna

mendapatkan data secara langsung yang berkaitan dengan penerapan maqashid

syari’ah dalam produk ijtihad MTT Muhammadiyah

Data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari sumber bacaan

buku-buku produk tarjih, Undang-Undang, Jurnal, makalah dan lainnya yang

berkaitan dengan tema. Adapun pengumpulan data yang dilakukan sebagai

berikut :

a. Observasi (data primer), dapat dilakukan dengan pengamatan langsung

dilapangan dengan melihat fakta yang ada mengenai upaya yang dilakukan

mengetahui secara pasti bagaimana penerapan ijtihad MajwelisTarjih.

Page 23: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

23

b. Wawancara (data primer), dilakukan dengan mewawancarai para tokoh

MajelisTarjih di Jakarta.

c. Penelitian kepustakaan (data sekunder), dilakukan penulis dengan membaca dan

mempelajari teori-teori hukum Islam yang ada hubungannya dengan masalah-

masalah pokok pembahasan.

C. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif

kualitatif, yaitu suatu penelitian yang berupaya menghimpun data, mengolah dan

menganalisa secara kualitatif.

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki

lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Menurut Nasution yang

dikutip oleh sugiyono dalam bukunya Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif

DAN R & D menyatakan “ Analisis telah dimulai sejak merumuskan dan menjelaskan

masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil

penelitian (sugiyono, 2009).

Page 24: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

24

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Konsep Maqashid Syari’ah Dan Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah

Di awal pembahasan laporan penelitian ini, penulis merasa amat perlu untuk

mengeksplorasi hal berkait sub judul di atas, yaitu, Konsep Maqasid Syariah dan

Perkembangan Metode Ijtihad Muhammadiyah. Dalam tulisan ini coba dijelaskan konsep

maqasid syariah dan bagaimana Tarjih Muhammadiyah memanfaatkan perkembangan

pemikiran maqasid syariah dalam ijtihad-ijtihadnya.

1. Daya Tarik Konsep Masid Syariah

Kajian tentang aspek makasid syariah banyak menarik perhatian para pemikir

Muslim kontemporer yang tidak beraliran dekonstruksionis. Harapan besar

digantungkan kepadadoktrin ini karena dirasa lebih luwes dan dipandang dapat

merevitalisasi dan mendinamisasi pemikiran Islam, khususnya pemikiran hukum

syariah, dalam merespons berbagai isu kontemporer, baik isu-isu internal umat

maupun isu-isu global. Teori makasid syariah tampaknya memberi harapan untuk

mengatasi kebuntuan pemikiran fikih dalam menghadapi banyak isu-isu kontemporer

yang tidak lagi dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan tradisional.

Misalnya masalah-masalah demokrasi, keadilan, kemiskinan, hak-hak asasi manusia,

dan juga isu-isu intern umat Islam, akan tetapi berskala dunia seperti masalah unifikasi

sistem tata waktu Islam melalui penyatuan sistem penanggalan kamariah. Tampaknya

alasan diletakkannya harapan besar pada makasid syariah adalah karena pertama

perspektif makasid bertitik tolak dari norma-norma dasar hukum Islam yang

merupakan nilai-niai universal Islam itu sendiri sehingga lebih lentur, dan karenanya

dianggap dapat menyapa berbagai masalah kekinian secara arif. Kedua karena

perspektif maqasid syariah lebih mencerminkan pandangan internal yang orisinal

Islam dan tidak merupakan pikiran “impor” dari luar yang terkadang dirasa tidak

kompatibel dengan nilai spiritual Islam yang murni.

Sejumlah banyak disertasi perguruan tinggi di berbagai belahan dunia Muslim

menjadikan makasid syariah sebagai obyek kajiannya. Begitu pula beberapa seminar

internasional diselenggarakan untuk menyemarakkan kajian makasid. Termasuk

motor penggerak kuat kajian makasid ini adalah International Institute of Islamic

Thought yang berkedudukan di Virginia, Amerika Serikat, yang banyak menerbitkan

Page 25: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

25

hasil-hasil kajian makasid dan menyelenggarakan seminar, konferensi dan diskusi

mengenai tema ini dengan bekerjasama bersama sejumlah institusi studi lanjut di

banyak negeri Muslim (Abdul Qadir Audah, 2011).

Kajian makasid syariah menjadi lebih ramai ketika oleh para peminat dan

pengkaji aspek penting usul fikih ini dikaitkan dengan kajian ekonomi Islam bahkan

dijadikan sebagai “suatu langkah untuk meluweskan gerak aktivitas bisnis keuangan

Islam bersama berbagai produk keuangan lain yang ditawarkan di pasar.” Mereka ini

memandang “makasid syariah sebagai salah satu konsep penting yang dapat

memainkan peran krusial dalam memperkuat keuangan Islam kontemporer.”

2. Konsep Maqasid Syariah

Dengan maqasid syariah dimaksudkan “makna-makna yang hendak

diwujudkan oleh Pembuat Syariah melalui ketentuan-ketentuan hukum syariah.”

(Burhani, 2007). Makna di sini berarti kausa finalis yang menjadi tujuan

dihadirkannya agama bagi manusia. Jadi berfikir secara maqasid berarti berfikir dalam

agama mengenai tujuan yang hendak dicapai melalui penerapan agama, bukan berfikir

tentang instrumen yang menjadi sarana pencapai tujuan. Tujuan agama dalam teori

maqasid syariah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia.

Kemaslahatan hidup manusia itu dalam pemikiran maqasid meliputi empat

dimensi keberadaan manusia, yaitu:

1) dimensi keberadaan manusiasebagai individu (dalam lingkungan dirinya sendiri),

2) dimensi keberadaan manusiasebagai anggota keluarga (manusia dalam lingkungan

keluarga),

3) dimensi keberadaan manusiasebagai anggota masyarakat (manusia dalam

lingkungan sosial-kemasyarakatan, termasuk kenegaraan),

4) dimensi keberadaan manusiasebagai makhluk bersama makhluk Tuhan lainnya

dalam alam (manusia dalam lingkungan alam).

Dalam keempat dimensi lingkungan keberadaan ini, manusia memerlukan

sejumlah perlindungan, pemberdayaan dan atau pengembangan. Lima macam

maslahat esensial yang disebutkan oleh al-Gazzālī dan asy-Syāṭibī dapat

didistribusikan ke dalam salah satu atau lebih dari empat lingkungan keberadaan

tersebut. Dalam lingkungan dirinya sendiri (sebagai individu), manusia memerlukan

sejumlah perlindungan. Perlindungan akal yang disebutkan oleh al-Gazzālī dan asy-

Page 26: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

26

Syāṭibī dapat dimasukkan ke dalam bagian ini. Perlindungan akal dapat berupa

menghindari segala sesuatu yang dapat merusak akal seperti mengkonsumsi

minuman-minuman memabukkan. Oleh karena itu perbuatan meminum khamar atau

bir dilarang di dalam agama Islam karena menghilangkan akal waras seseorang

walaupun untuk sementara waktu. Perbuatan seperti itu dipandang sebagai sia-sia dan

lebih banyak membawa mudarat dan kerusakan [Q. 2 :219]. Perlindungan akal melalui

penghindaran hal-hal yang merusak dinamakan perlindungan pasif (min jānib al-

‘adam).

Sebaliknya pengembangan potensi intelek dan bakat melalui pendidikan adalah

maslahat daruri yang wajib diusahakan. Oleh karena itu Islam mewajibkan setiap

muslim laki-laki dan perempuan untuk belajar. Kewajiban belajar itu menyangkut hal-

hal dasar dan pokok yang harus ada untuk manusia sebagai individu agar dapat

memenuhi kebutuhan hidup yang dasar seperti bisa menulis dan membaca, berhitung,

dan mengetahui pengetahuan agama yang pokok agar dapat menjalani kewajiban-

kewajiban agamanya. Ini merupakan perlindungan dari sisi aktif (min jānib al-wujūd)

untuk tingkat daruri. Untuk tingkat haji dan tahsini diperlukan tingkat pendidikan

lebih tinggi. Jasser Audah memberi penafsiran lebih jauh, perlindungan akal meliputi

upaya mengatasi “perpindahan otak” (larinya kaum intelektual) (Audah, 2006). Tetapi

menurut penulis perlindungan kepentingan ini masuk ke dalam perlindungan manusia

dalam lingkungan lebih luas, yaitu lingkungan sosial kemasyarakatan karena kerugian

yang timbul dari terjadinya “pelarian otak” itu adalah kerugian koleftif (masyarakat),

bukan kerugian manusia secara individu.

Perlindungan jiwa (ḥifẓ an-nafs) dalam konsep lama berarti perlindungan nyawa

(hak hidup) menyangkut dimensi keberadaan manusia sebagai individu (dalam

lingkungaan diri sendiri). Oleh karena itu seseorang dalam hukum syariah tidak boleh

melakukan bunuh diri yang itu dipandang sebagai perbuatan dosa besar. Begitu juga

tidak boleh melakukan perbuatan membunuh orang lain, termasuk dilarang

melakukan eutanasia atas alasan ini. Perlindungan jiwa dapat dikembangkan menjadi

perlindungan diri manusia termasuk fisik dalam pengertian orang harus mendapatkan

kebutuhan dasarnya untuk dapat mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu dalam

Islam diwajibkan kepada orang mampu yang telah memenuhi syarat tertentu untuk

mengeluarkan zakat sebagai suatu kewajiban atasnya dan hak bagi orang lain yang

tidak mampu agar tidak ada orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya

menyangkut pangan, sandang dan papan. Para pengkaji modern melihat bahwa

Page 27: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

27

kepentingan daruri menyangkut manusia sebagai individu itu tidak hanya berupa

perlindungan hak hidup, tetapi juga mencakup perlindungan berbagai hak dasar

manusia yang lain seperti kebebasan, persamaan, martabat kemanusiaan (al-karāmah

al-insāniyyah), dan hak-hak lain yang dalam diskursus kontemporer dikenal dengan

hak asasi.

Perlindungan agama masuk ke dalam dimensi keberadaan manusia sebagai

individu, tetapi juga masuk dalam dimensi perlindungan manusia dalam tatanan

keluarga dan sebagai warga masyarakat. Artinya agama dalam pandangan Islam selain

merupakan kebutuhan pokok bagi pemenuhan aspirasi spiritual pribadi, juga

merupakan kebutuhan penataan kehidupan kekeluargaan dan kemasyarakatan. Dalam

Islam pernikahan merupakan suatu tindakan bernilai ibadah dan ketentuan-ketetuan

hukum keluarga merupakan ketentuan kedua paling erat dengan agama sesudah

ketentuan-ketentuan hukum ibadah. Lebih lanjut dalam pandangan umat Islam agama

juga merupakan kepentingan pokok dalam penataan kehidupan sosial umat dan

kenegaraan. Hal itu tercermin dalam praktik adanya penataan institusi sosial

berdasarkan ketentuan syariah seperti ekonomi syariah dan beberapa aspek lain.

Dalam lingkuingan keluarga, manusia membutuhkan sejumlah kepentingan

daruri guna melindungi dan membina tatanan keluarga yang baik dan sejahtera.

Perlindungan keturunan (ḥifẓ an-nasl) masuk ke dalam perlindungan manusia dalam

dimensi keberadaanya dalam lingkungan keluarga. Ibn ‘Āsyūr menggunakan terma

dabt niẓām al-‘ā’ilah (penataan institusi keluarga) (Ibn Asyur, 1996). Sebagaimana

dikemukakan terdahulu, agama merupakan kepentingan daruri yang perlu dilindungi

dan dikembangkan dalam kehidupan keluarga sebagai sumber nilai bagi pembinaan

institusi keluarga guna mencapai keluarga yang sakinah.

Dalam dimensi lingkungan keberadaan manusia sebagai warga masyarakat

(manusia dalam lingkungan sosial-kemasyarakatan), manusia memiliki sejumlah

maslahat (kepentingan) daruriah guna menunjang eksistensinya sebagai makhluk

sosial. Karena itu perlindungan tatanan sosial yang damai, sejahtera dan berkeadilan

sosial tidak ragu lagi merupakan makasid syariah. Oleh karena itu perlindungan

prinsip-prinsip sosial seperti keadilan, persamaan, persaudaraan, perdamaian,

ketertiban merupakan kepentingan (maslahat) daruri yang perlu diusahakan dan

dimajukan. Perlindungan harta kekayaan (ḥifẓ al-māl) sepanjang berkaitan dengan

perlindungan hak milik pribadi, masuk ke dalam perlindungan manusia sebagai

individu. Akan tetapi apabila terma itu dikembangkan dalam konsep yang lebih luas

Page 28: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

28

sebagaimana diusulkan oleh beberapa pengkaji modern –misalnya menjadi

pengembangan kesejahteraan ekonomi masyarakt– maka itu masuk dalam

perlindungan, pemberdayaan dan pengembangan manusia dalam dimensi lingkungan

keberadaaanya sebagai warga masyarakat.

Salah satu faktor penting dalam perlindungan dan pembinaan tatanan sosial

yang sejahtera, damai dan berkeadilan adalah institusi negara. Hampir dapat dikatakan

bahwa tidak mungkin orang dapat memenuhi banyak kebutuhan hidupnya tanpa

kehadiran sebuah negara yang memang bertugas memajukan kesejahteraan umum.

Dalam sejarah Islam, di kalangan ulama zaman klasik telah diperdebatan apakah

negara itu diperlukan atau tidak. Al-A¡amm (w. 225/840) menyatakan bahwa negara

pada dasarnya tidak diperlukan selama masyarakat dapat menjalankan kehidupan

sosial dan agamanya dengan baik tanpa negara. Berbeda dengan pendapat yang

kurang populer ini, mayoritas umat berpendapat bahwa negara itu diperlukan dan oleh

karena itu wajib ditegakkan. Memang ada perdebatan apakah kewajiban itu sebagai

hanya suatu kenyataan sosiologis yang tak terelakkan belaka atau suatu kewajiban

yang diperintahkan oleh syariah. Ulama ahli-ahli hukum, semisal Abū Ya‘lā (w.

458/1066) dan al-Māwardī (w. 450/1050), menegaskan bahwa kewajiban mendirikan

negara itu adalah suatu perintah syariah (Al-Mawardi, 1989).

Dari diskusi para ulama itu tampak bahwa negara bukan tujuan pada dirinya. Ia

adalah sarana untuk mewujudkan tujuan sosial umat berupa kesejahteraan, kedamaian

dan ketertiban sosial. Dalam surat al-Hajj [Q. 22 : 41] ditegaskan, “ (yaitu) orang-

orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka

mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah

perbuatan mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” Ayat ini

menggambarkan tujuan kekuasaan negara adalah untuk membangun kehidupan

spiritual yang kondusif sebagaimana dilambangkan oleh perbuatan mendirikan salat,

membangun kesejahteraan ekonomi sebagai dilambangkan oleh perbuatan membayar

zakat, dan menciptaan kedamaian, ketertiban dan keamanan sebagaimana

dilambangkan oleh perbuatan amar makruf nahi munkar. Ini adalah tugas negara.

Dengan demikian negara lebih merupakan sarana sedangkan makasidnya adalah

terwujudnya kesejahteraan, kedamaian, ketertiban dan keamanan sosial dalam

masyrakat. Jadi ini merupakan makasid syariah dalam dimensi keberadaan manusia

dalam lingkungan sosial-kemasyarakatan.

Dalam dimensi lingkungan keberadaan manusia sebagai makhluk alam

Page 29: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

29

(manusia dalam alam), maka makasid syariahnya adalah terwujudnya kemakmuran

bumi (‘umrān al-arḍ) sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Hud ayat 61, “Dia

telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya” [Q.

11: 61]. Agar makasid pemakmuran bumi terwujud, maka dilarang melakukan

perusakan-perusakan di muka bumi termasuk perusakan lingkungan [Q. 7: 74]. Jadi

perlindungan lingkungan termasuk satu bagian dari upaya pemakmuran bumi. Sebalik

dari itu manusia wajib melakukan tindakan-tindakan pengelolaan yang bersifat

membangun. Bumi merupakan suatu anugerah ilahi kepada manusia yang wajib

diusahakan pemakmurannya [Q. 2 : 29 dan 11: 61]. Bumi dapat menerima tindakan

manusia yang sejalan dengan kehendak ilahi yang merupakan makasid syariah.

Pembangunan dan lingkungan memiliki kaitan organik. Pembangunan yang salah arah

dapat merusak lingkungan seperti krisis lingkungan yang kini dialami dunia.

Oleh karena itu pembangunan bukanlah ekploitasi lingkungan untuk memenuhi

kebutuhan tak terbatas manusia. Dalam perspektif Islam yang dapat disimpulkan dari

sejumlah nas, pembangunan harus berorientasi penghijauan alam. Dalam al-Quran

dikutip doa Nabi Ibrāhīm yang meminta negerinya dijadikan sebagai negeri aman

sentosa dan penduduknya dilimpahi dengan rezki berbagai buah-buahan (holtikultura)

[Q. 2: 126]. Dalam hadis Anas riwayat al-Bukhārī, Nabi saw menyatakan bahwa orang

yang di tangannya ada benih hendaklah menanamnya sekalipun kiamat sudah akan

terjadi (Ahmad, 2011). Hadis ini menggambarkan pentingnya penghijauan bumi

sebagai bagian dari makasid syariah ‘imārat al-arḍ. Dalam hadis lain riwayat al-

Bukhārī dari Anas dinyatakan bahwa barang siapa menanam pohon, kemudian

dimakan oleh burung, binatang atau manusia, maka itu akan menjadi sedekah baginya

sehingga ia akan mendapat pahala (Bukhari, 2004). Ini menggambarkan dorongan

pentingnya menjaga keseimbangan ekologi di antara berbagai makhluk hidup sebagai

bagian dari mengusahakan makasid syariah berupa ‘imārat al-arḍ(pemakmuran

bumi).

3. Maqasid dan Perkembangan Metode Ijtihad Muhammadiyah

Dalam Muhammadiyah dikembangkan Manhaj Tarjih yang diartikan sebagai

“suatu sistem yang memuat seperangkat wawasan (atau semangat/perspektif), sumber,

pendekatan, dan prosedur-prosedur tehnis (metode) tertentu yang menjadi pegangan

Page 30: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

30

dalam kegiatan ketarjihan.”

Manhaj tarjih didasarkan kepada dua asumsi pokok, yaitu (1) asumsi integralistik,

dan (2) asumsi hirarkis. Asumsi integralistik mepostulasikan teori keabsahan

koroboratif tentang norma, yakni suatu asumsi yang memandang adanya koroborasi dan

saling mendukung di antara berbagai elemen sumber guna melahirkan suatu norma.

Suatu norma yang didasarkan kepada satu elemen sumber tentu sudah absah, hanya saja

keabsahan itu bersifat zanni (probabel). Namun kekuatan keabsahan tersebut akan

meningkat manakala dapat dihadirkan lebih banyak elemen sumber yang saling

menguatkan dan saling berkoroborasi untuk mendukung norma dimaksud, untuk pada

suatu tingkat dalam kasus-kasus tertentu kekuatan kebsahan itu mencapai derajat qat’i.

Keqat’ian tidak terdapat dalam dalil terpisah satu persatu, tetapi terdapat dalam

koroborasi sejumlah dalil yang satu sama lain saling menguatkan dan menunjukkan satu

pemaknaan yang sama. Sebagaimana dikatakan oleh asy-Syāṭibī, “Keseluruhan itu

memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh bagian-bagian secara terpisah-pisah (Al-

Syatibi, 1997). Keqat’ian hukum wajibnya salat atau zakat serta puasa dicapai dengan

cara integralistik ini. Cara pandang integralistik ini mengharuskan peroses

operasionalisasi sumber dapat dilakukan dengan suatu metode istiqrā’ (induktif).

Asumsi hirarkis adalah suatu anggapan bahwa norma itu berjenjang dari norma

yang paling bawah hingga norma paling atas. Apabila jenjang norma dilihat dari atas

ke bawah, maka jenjang norma itu adalah prinsip-prinsip (nilai-nilai) dasar (al-qiyam

al-asāsiyyah) baik norma teologis maupun norma etik dan yuristik. Norma dasar ini

diambil dari nilai-nilai universal Islam seperi tauhid, akhlak karimah, kemaslahatan,

keadilan, persamaan, kebebasan, persaudaraan yang bersumber kepada al-Wuran dan

as-Sunnah, atau dapat disimpulkan dari kenyataan hidup manusia di bawah sinar

sumber-sumber pokok pokok tersebut. Norma dasar ini memayungi norma di bawahnya

yang berupa asas-asas (al-uṣūl al-kuliyyah) yang diambil dari kedua sumber pokok di

atas atau di satu sisi merupakan deduksi dari prinsip (nilai) dasar atau pada sisi lain

merupakan abstraksi dari norma konkret. Asas-asas ini merupakan konkretisasi dari

nilai-nilai dasar. Lebih jauh asas-asas ini pada gilirannya memayungi norma paling

bawah, yakni norma konkret yang berupa ketentuan-ketentuan syar’i yang bersifat far’i

(al-aḥkām al-far’iyyah) yang langsung mengkualifikasi suatu peristiwa hukum syar’i.

Struktur jejang norma ini juga bisa dilihat dari bawah ke atas. Apabila dilihat

dengan cara ini, maka norma dasar terletak pada bagian paling bawah yang berfungsi

melandasi asas-asas. Asas-asas pada gilirannya melandasi norma-norma konkret yang

Page 31: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

31

merupakan norma paling atas yang berdiri di atas jenjang dua lapis norma lainnya yang

lebih asasi.

Dengan dua asumsi metode di atas, maka respons terhadap permasalahan sosial

atau kemanusiaan tidak selalu dilakukan dengan introduksi norma-norma konkret

(dilihat dari segi hukum taklifi seperti halal, haram, wajib), tetapi jugadilakukan dengan

menggali asas-asas ajaran agama yang menjadi pedoman bertindak, bahkan juga

melihat nilai-nilai dasarnya yang menyemangati aktifitas kehidupan. Penggunaan

prosedur seperti ini dalam bertarjih telah banyak dilakukan dalam sejumlah keputusan

tarjih seperti keputusan tentang fikih tata kelola, fikih air, dan lainnya.

Maqasid syariah dalam konteks ini berada pada level nilai-nilai dasar Islam yang

merupakan maqasid, seperti tauhid, akhlak karimah, kemaslahatan, keadilan,

persamaan, persaudaraan dan nilai dasar lainnya yang dapat digali dari ajaran Islam.

Nilai-nilai dasar ini kemudian diturunkan dalam bentuk norma yang lebih konkret yang

merupakan asas-asas. Dari nilai dasar dan asas itu diturunkan lagi norma yang lebih

konkret lagi yang disebut dengan peraturan hukum konkret al-aḥkām al-far‘iyyah).

Dalam putusan Tarjih tahun 2014 di Palembang teori pertingkatan norma ini, yang di

dalamnya terdapat asusmsi maqasid syariah, diterapakan dalam putusan tentang Fikih

Air. Inti putusan itu misalnya adalah bahwa air merupakan anugerah Allah yang wajib

disyukuri melalui pengembangan sikap positif dalam pemanfaatan air yang berasas

kesetaraan, keadilan, kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan bersama dan

bertanggung jawab, serta sikap konservasi yang berkelanjutan. Dari nilai dasar dan asas

ini diturunkan sejumlah peraturan hukum konkret mengenai air.

B. Produk Ijtihad Kontemporer Majelis Tarjih Muhammadiyah

Majelis Tarjih menyatakan bahwa istilah fikih telah mengalami pergeseran makna,

dari sekedar kumpulan hukum-hukum yang bersifat furū’ (cabang) menjadi sebuah

kumpulan nilai, kaidah dan prinsip dalam beragama. Khusus di Indonesia, pengertian ini

misalnya tampak dari produk ijtihad yang dihasilkan Majelis Tarjih Muhammadiyah: ada

fikih anti-korupsi, fikih tata kelola organsisasi, fikih ulil amri, fikih air, fikih informasi,

fikih anak danlain-lain.

Pengertian fikih dalam nomenklatur tersebut bukan sekedar kumpulan tentang halal-

haram korupsi, organisasi, ulil amri, air atau anak, tapi ia lebih dari itu: mencakup nilai,

kaidah dan juga prinsip beragama dalam melihat persoalan-persoalan tersebut. Perluasan

Page 32: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

32

makna fikih membuka jalan bagi kita untuk memberikan pemecahan bagi suatu masalah

(ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lain-lain) melalui pendekatan agama secara lebih

luwes dan fleksibel — tidak kaku dan hitam-putih. Dengan mengaplikasikan apa yang

disebut Syamsul Anwar sebagai teori pertingkatan norma itu kita dapat mengubah

paradigma fikih yang selama ini selalu dikesankan hitam-putih, menjadi lebih ‘berwarna’

dan variatif. Paradigma fikih baru itu pula yang perlu kita terapkan dan kita jadikan asas

dalam gaya berkehidupan kita hari ini dalam media sosial.

1. Fikih Air

Salah satu produk ijtihad kontemporer Majelis Tarjih Muhammadiyah yang

sangat kental nuansa maqashid syari’ahnya adalah ijtihad tentang air. Luaran

pentingnya adalah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dapat

menyusun buku Fikih Air perspektif Muhammadiyah bekerjasama dengan Majelis

Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Materi buku ini disusun bersama

oleh dua Majelis itu dan kemudian didiskusikan dan diseminarkan sehingga mendapat

banyak masukan. Setelah itu dibahas di Musyawarah Nasional Tarjih Ke-28 di

Palembang pada awal tahun 2014, setelah itu pada tahap terakhir di tandfidz (ditetapkan

dan diumumkan) oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Diawali dari penyelenggaraan Seminar Fikir Air dengan tema Air dan Masa

Depan Umat Manusia di awal 2013 merupakan langkah awal Muhammadiyah melalui

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menyusun tuntunan

Fikih mengenai air dan pemanfaatannya serta pemecahan berbagai problematika air

terutama dari sudut budaya manusia penggunaanya.

Prof. Syamsul Anwar, ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam

sambutannya pada Seminar Fikih Air bersama Majelis Tarjih Tajdid dan Majelis

Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah di Ruang AR Fakhruddin A, Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta, Bantul, Sabtu (30/03/2013). “Dari seminar ini diharapkan

terkumpul bahan – bahan dari para narasumber dan kontribusi pemikiran dari diskusi.

Materi itu akan diolah menjadi satu tuntunan fikih air,” jelasnya. Menurut Syamsul

Anwar, saat ini dari total air yang ada, hanya 5 persen saja yang tersedia sebagai air

minum. “Kini dunia merasakan telah terjadinya kelangkaan ketersediaan air bersih dari

waktu ke waktu. Di mana sekitar 40% dari penduduk dunia menderita kelangkaan air

bersih,” ungkapnya.

Page 33: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

33

Lebih lanjut menurut Syamsul Anwar, air merupakan hal yang sangat vital dalm

kehidupan manusia, bahkan bagi kehidupan seluruh makhluk hidup sebagaimana

disebutkan dalam Qur’an “Dan dari air kami (Allah) jadikan segala sesuatu yang

hidup,” (QS. 21.30). Oleh karenanya sangat penting dibangun kesadaran bersama

tentang permasalahan air yang meliputi pandangan tentang air, pemanfaatannya,

konservasi, kelestariannya, pengelolaannya, dan mencukupi ketersediaan air bersih

secara adil bagi seluruh masyarakat. “Dari seminar ini kiranya diharapkan dapat digali

kaidah – kaidah dan prinsip umum (al-usul al-kuliiyah) dari khazanah fikih mengenai

pandangan tentang arti penting air dan norma – norma di sekitar budaya air menyangkut

perlakuan terhadap air, pemanfaatannya yang efisien, konservasi kelestariannya dan

berbagai aspek yang lain,”

Sejalan dengan pikiran di atas, Pokok isi dari buku Fikih air sebagai luaran

penelitian dan diskusi panjang MTT tentang air menyatakan bahwa fikih air adalah

kumpulan kaidah, nilai dan prinsip agama Islam mengenai air yang meliputi pandangan

tentang air, pengelolaanya, pemanfaatannya dan solusi mengenai berbagai problem

tentang air terutama dari sudut budaya pemakainya. Air merupakan hal yang sangat

vital dalam kehidupan manusia, bahkan bagi kehidupan seluruh makhluk hidup. Kita

dan semua makhluk hidup lainnya tidak dapat bertahan hidup tanpa air. Hal itu lantaran

air menjadi salah satu sumber kehidupan yang amat esensial. Di dalam Al-Qur’an

dikatakan “Dan dari air Kami (Allah) jadikan segala sesuatu yang hidup” (QS. 21:30).

Artinya segala makhluk hidup sangat tergantung kepada air.

Buku Fikih Air ini terdiri dari empat bab. Bab Pertama berisi Pendahuluan yang

membicarakan enam hal yaitu Krisis Air di Indonesia, Kelangkaan Air Baku, Konsumsi

Air Tidak Layak, Pencemaran Sungai, Potensi Konflik Perebutan Sumber Daya Air,

Kerusakan Hutan, dan Bencana Banjir dan Longsor. Lalu pada bab kedua membahas

mengenai Pandangan Islam tentang Air yang meliputi 5 hal yaitu Pengertian Air,

Sumber dan Siklus Air, Pengelompokan Air, Fungsi Air, dan Pola Hubungan antara

Manusia dan Air. Selanjutnya di bab ketiga pembahasan mengarah pada Pengelolaan

Air dalam Pandangan Islam dimana pada bab ini dibagi menjadi dua sub-bab yaitu pada

sub-bab pertama membahas mengenai Nilai Dasar Pengelolan Air dan pada sub-bab

kedua membahas tentang Prinsip Universal Pengelolaan Air. Kemudian di bab

keempat dibahas pula tentang Perilaku Pemeliharaan Air yang juga dibagi menjadi dua

sub-bab yaitu Pendidikan Perilaku Ramah Air pada sub-bab pertama dan Perilaku

Page 34: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

34

Ramah Air pada sub-bab kedua. Terakhir di bab kelima berisi kesimpulan dari

keseluruhan pembahasan di buku ini.

Di akhir pembahasan, MTT menghimbahu tentang Perlu dibangun kesadaran

bersama tentang permasalahan air yang meliputi bagaimana pandangan tentang air,

pemanfaatannya, konservasi dan kelestariannya, pengelolaannya, dan mencukupi

ketersediaan air bersih secara adil bagi seluruh masyarakat. Agama Islam kita yakini

memiliki sejumlah kaidah dan prinsip menyangkut sejumlah aspek mengenai air, tetapi

selama ini masih belum terungkapkan secara sistematis. Buku ini mencoba menggali

kaidah-kaidah dan prinsip umum (al-ushuul al-kulliyyah) dari khazanah fikih

mengenai pandangan tentang arti penting dan norma-norma di sekitar budaya air

menyangkut perlakuan terhadap air, pemanfaatannya yang efisien, konservasi

kelestariannya dan berbagai aspek yang lain.

2. Fikih Informasi

Di bab ini peneliti mendeskripsikan hasil penelitian berkaitan dengan produk

ijtihad tarjih lainnya, yaitu fikih informasi. Disadari bahwa dakwah yang efektif ke

depan itu melalui berbagai media digital. Ini tantangan bagi Muhammadiyah. Maka,

organisasi yangbergerak di bidang dakwah seperyi Muhammadiyah hrus dapat

memproduksi konten-konten positif ke medsos yang bisa diakses oleh anak-anak mud.

Maka dengan adanya Fikih Informasi, Muhammadiyah memberikan panduan kepada

masyarakat agar dapat menggunakan media sosial dengan lebih baik. Perumusan Fikih

Informasi ini merupakan jawaban terhadap perlunya tuntunan hidup di era informasi,

di mana semua berubah dengan cepat karena derasnya aliran informasi.

Dalam pandangan Muhammadiyah, fikih bukan hanya sekadar menetapkan

hukum halal dan haram. Fikih memberikan landasan hukum sebagai tuntunan dalam

menghadapi kehidupan sesuai tantangan zaman. Maka sudah semestinya kita membuat

tuntunan agama di bidang informasi. Masyarakat hidup di tengah dunia maya, maka

Muhammadiyah harus hadir memberikan tuntunan. Muhammadiyah berpartisipasi

membangun masyarakat maju dan berkeadaban

Media sosial hari ini telah menjadi dunia baru bagi masyarakat untuk

berkomunikasi dan mencari informasi. Kemajuan teknologi telah membawa kita pada

fenomena baru dalam berinteraksi menggunakan media-media sosial yang dapat

menghubungkan satu orang dengan orang lain di tempat yang berbeda. Tidak jarang

sebuah informasi menyebar begitu sangat cepat dalam hitungan tak sampai menit.

Dunia baru bernama media sosial telah merobek sekat-sekat budaya dan geografis

Page 35: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

35

dengan amat bebas. Sayangnya, kebebasan ini acap kali tidak dibarengi dengan akurasi,

ketelitian, integritas dan keadilan dalam penyampaian berita. Kita tentu sangat gerah

setiap kali membuka media sosial disuguhi fitnah-fitnah dari orang yang tidak

bertanggung jawab. Belum lagi jika ada berita hoax yang disebarkan untuk mencari

keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Semua ini memang merupakan konsekuensi dari kebebasan yang disuguhkan oleh

media sosial. Tapi tentu sebagai orang beragama dan orang Indonesia yang masih

memegang erat adat ketimuran, kebebasan semacam itu telah kebablasan dan dapat

mengancam salah satu prinsip pancasila, yaitu persatuan bangsa. Di sinilah kemudian

pendekatan agama perlu dilakukan untuk melihat dan pada gilirannya memberikan

pedoman dalam berkehidupan di dunia baru media sosial. Suara agama dalam

penyelesaian masalah masih cukup efektif, karena ia diyakini masih menjadi sumber

pengarahan tingkah laku yang harus dipedomani. Fikih media sosial dalam hal ini dapat

diterjemahkan menjadi sumber pengarahan tingkah laku masyarakat sebagai solusi

keagamaan dalam menghadapi masalah tersebut. Fikih ini nantinya berisikan nilai,

prinsip dan kaidah tentang bagaimana seharusnya kita memanfaatkan dan

menggunakan media sosial sebagai dunia baru kita. Sebagai permulaan barangkali

dapat kita awali dari bagaimana etika dan prinsip dalam menerima sekaligus

menyebarkan suatu informasi. Misalnya saja kita dapat mengambil nilai dasar tabayun

yang secara eksplisit digambarkan dalam al-Quran pada surat al-Hujurat ayat 6. Dari

nilai dasar itu dapat diturunkan asas umum dalam kehidupan komunikasi media sosial

berupa “transparansi dan klarifikasi berita.” Dari asas umum ini pada gilirannya

diturunkan menjadi peraturan kongkret tentang larangan menyebarkan suatu berita

sebelum diketahui validitas sumbernya.

Setelah nilai dasar tabayun, kita dapat menggali lebih banyak lagi nilai dasar

Islam yang dapat dijadikan acuan, seperti prinsip keadilan sebagai dasar untuk membuat

asas umum dalam menerima informasi secara berimbang, prinsip ukhuwah

(persaudaraan) sebagai dasar untuk melandasi asas umum kesopanan dan kesantunan

dalam berdiskusi, dan lain sebagainya

fikih informasi (fiqhul i’lam) ini dibangun sebagai respon atas berbagai persoalan

aktual dan krusial menyangkut hajat hidup publik khususnya umat Islam dan warga

Muhammadiyah yang seringkali terjebak dalam kompleksitas masalah dan dampak

negatif perkembangan teknologi informasi. Muhammadiyah punya tanggung jawab

atas silang sengkarut perkembangan informasi yang telah membentuk kultur virtual dan

Page 36: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

36

digital sebagai dunia baru yang keberadaannya tak dapat dihindari dengan segala akibat

positif dan negatifnya. Bahwa aktivitas literasi atau melek informasi di berbagai ranah

sosial kemasyarakatan mutlak perlu digalakkan agar semua komponen bangsa

Indonesia khususnya umat Islam dapat memanfaatkan kemajuan teknologi informasi

dengan baik dan benar.

Berbagai permasalahan seputar praktik komunikasi dalam media sosial (medsos)

ini mengharuskan Muhammadiyah membekali umat Islam dankhususnya membekali

warga persyarikatan dengan iman milenial yang mencerdaskan sehingga dapat

membedakan mana informasi yang valid (sahih) dan yang hoax (maudhu’), selain itu

harus muncul kesadaran bahwa medsos dan tsunami informasi telah mengisi keseharian

kita dengan serbuan hiburan dan sampah. Maka carilah informasi yang dapat

meneguhkan keimanan dan membimbing kepada jalan kebenaran agar dapat mengelola

informasi lebih berkeadaban.

3. Fikih Kebencanaan

Fikih Kebencanaan merupakan hasil Musyawarah Nasional Tarjih XXIX di

Yogyakarta, 19-22 Mei 2015 lalu. Muhammadiyah, menurut Tim Perumus Fikih

Kebencanaan Majelis Tarjih, memang sangat berkepentingan untuk memiliki cara

pandang sendiri terhadap bencana ini, apalagi berkaitan dengan pokok pikiran kedua

dari Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah yang menyatakan hidup bermasyarakat itu

adalah sunnah (hukum qudrat iradah) Allah atas hidup manusia di dunia ini.

Adanya fenomena terjadinya berbagai bencana alam, Muhammadiyah sebagai

gerakan sosial kemasyarakatan telah mengambil sikap dan berperan aktif untuk

mencerahkan dan meneduhkan umat dan bangsa ditengah banyaknya bencana yang

kian akrab menyapa. Bukan hanya melalui tindakan sigap bencana yang dilakukan oleh

Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Muhammadiyah juga

mengagas panduan praktis menyikapi bencana yang sesuai dengan agama Islam

berpersepektif Muhammadiyah. Yaitu dengan melahirkan Fikih Kebencanaan yang

disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah, yang merupakan

hasil kolabiratif antara fakta realitas kebencanaan yang dalam hal ini MDMC dan

teoritis teks keagamaan diwakili oleh MTT.

Di samping itu, beberapa hal yang turut melatarbelakangi penyusunan fikih

kebencanaan yang menghasilkan luaran buku dengan judul sama ini, yang diluncurkan

Page 37: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

37

di Jakarta, Rabu (1/7) di Auditorium Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah yang

didukung penuh Lazismu, antara lain adalah pemahaman bahwa bencana dapat

menimpa siapa saja, kapan pun dan di mana pun. Indonesia salah satunya sebagai

negara kepulauan yang rentan terhadap peristiwa bencana. Gempa bumi, banjir,

longsor, kebakaran, dan bencana kemanusiaan pernah terjadi di negeri ini.

Bencana dalam kenyataannya hadir di saat masyarakat tidak siap menghadapinya.

Dia mengatakan cara pandang masyarakat terhadap bencana juga menjadi perhatian

penting bagaimana upaya penanggulangan bencana yang secara langsung bersentuhan

dengan kearifan lokal (local wisdom) dalam melakukan tanggap darurat hingga

rehabilitasi. Selain itu, perlu diungkap yaitu bagaimana menghadapi peristiwa bencana

yang tidak dapat diprediksi sebelumnya dengan kesiapsiagaan. Persoalan tentang cara

pandang terhadap bencana ini dikupas dalam buku Fikih Kebencanaan. Sebagai

peristiwa nyata, bencana sesungguhya dapat di respons dengan siap siaga. Masyarakat

akan sadar dan tahu akan bahayanya, maka ia akan menghindari.

Tapi kenyantaannya ada pengalaman berbeda. Sebagian masyarakat merespons

bencana sebagai hukuman dan kutukan Tuhan. Atau bencana itu dapat dihindari dengan

laku spiritual khusus. Maka wajar saja, saat erupsi gunung Merapi terjadi, Mbah

Marijan tetap ada di sana sebagai juru kunci, padahal sudah diperingatkan untuk segara

menghindar. Lagi-lagi kearifan lokal berbicara lain (local wisdom), maka melihat

kenyataan ini, seharusnya dengan pendidikan bencana kearifan lokal dapat direspon

bersama masyarakat dengan pendekatan kesiapsiagaan. Buku ini dengan rinci

menjelaskan apa itu bencana dan musibah. Penjelasannya pun diuraikan dengan tema

terkait yang mudah dipahami sehingga pembaca menangkap pesan inti di dalamnya.

Bencana bertalian dengan tema-tema penting Alquran dan Hadits yang mengupas soal

kerusakan bumi, azab, siksa, musibah dan bala’. Di buku ini juga dikupas bagaimana

argumentasi fikih menjalaskan dana zakat untuk membantu korban bencana.

Dalam Fikih Kebencaan, sekurangnya terdapat 10 istilah yang mengaraha pada

makna bencana di dalam al Qur'an. Pertama, Musibah yang berasal dari kata a-sa-ba

yang artinya sesuatu yang menimpa kita. Istilah ini mengacu kepada suatu yang netral,

tidak berkonotasi pistif dan negatif (lihat; QS al Hadid (57): 22-23, an Nisa (4): 79, dan

as Syuara' (40): 30). Namun dalam pemaknaannya kedalam bahasa Indonesia, kata ini

sering dinisbatkan kepada suatu yang negatif.

Page 38: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

38

Kedua,Bala', kata ini dalam pandangan manusia kata ini cenderung dimaknai

sebagai suatu yang burukn atau lazim dikenal sebagai musibah dengan konotasi negatif.

Padahal ketika merujuk kepada al Qur'an, kata bala' lebih bermakna kepada cobaan

untuk memperteguh iman. Dapat dilihat dalam Qur'an Surat al A'raf (7) : 168.

Ketiga, Fitnah yang dalam bahasa Indonesia maknanya sangat tidak sesuai

dengan makna asal di Bahasa Arab. Fitnah dalam al Qur'an memiliki banyak makna,

seperti kumsyrikan (2: 191, 193, 217), cobaan atau ujian (20: 40 dan 29: 3),

kebinasaan/kematian (4: 101 dan 12: 83), siksan atau azab (10: 83 dan 16: 110) dan

lainnya. Peristiwa yang dilabeli dengan kata fitnah mengacu kepada peristiwa sosial

bukan peristiwa alam.

Keempat,'Azab yang memiliki arti variatis sesuai dengan konteksnya. Namun

ketika 'azab dikaitan dengan peristiwa yang menimpa manusia, maka kata 'azab adalah

sebagai istilah untuk siksaan. Makna tersebut dalam dilihat dalam QS ad Dukhan (44):

15-16, al Sajdah (32): 21-22, Luqman (31): 6-7. Kelima, Fasad merupakan lawan dari

shalah (baik, bagus dan damai). Dengan demikian Fasad berarti suatu yang jelek, buruk

dan sengketa. Keenam, Halak secara bahasa kata ini diartikan dengan kata mati, binasa,

dan musnah. Berbeda dengan fasad, halak dalam al Qur'an sering dihubungkan dengan

perbuatan Allah bukan manusia.

Selanjutnya ketujuh adalah Tadmir, tadmir sendiri berasal dari kata dam-ma-ra

yang artinya menghancurkan. Sehingga kata tadmir bisa diartikan sebagai kehancuran.

Kedelapan, Tamziq, istilah ini searti dengan kata Tadmir. Kesembilan adalah 'Iqab,

istilah ini merujuk kepada kejadian yang akan didatangkan Allah kepada manusia yang

mengingkari Allah dan Rasulullah. dan yang kesepuluh adalah Nazilah kata ini

memiliki arti asal turun, namun kata anzala dalam beberapa kesempatan dalam al

Qur'an juga disebut untuk mengungkapkan "menurunkan siksa". Makna kedua tersebut

bisa dilihat dalam QS al Hijr (15): 90-91.

Maka penting untuk memahami istilah yang merujuk kepada pemaknaan bencana

dalam al Qur'an, sehingga memahami bencana bukan hanya sebagai hukuman yang

ditimpakan Allah kepada hambanya sebagai sebuah ganjaran atas perilaku menyimpang

yang dilakukan oleh hambanya. Melainkan memandang bencana dengan sudut pandang

yang lain, sehingga selain mendatangkan kemudhorotan, bencana juga bisa dikaji

sebagai sebuah diskursus ilmu. Dengan demikian, pendidikan agama bukan berdimensi

eskatologis. Melainkan menempatkan agama sebagai pendidikan yang juga bernilai

humanistik, sebagai upaya penguatan human dignity (martabat manusia)

Page 39: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

39

Secara umum produk ijtihad ini berusaha meluruskan paradigma masyarakat yang

seringkali menganggap bencana merupakan konsekuensi magis dari kemaksiatan atau

kerusakan akidah penduduk lokasi bencana. Atas ini, fikih kebencanaan Majelis Tarjih

menegaskan bahwa bencana merupakan siklus alamiah dari fenomena alam. Kengerian

suatu bencana yang kerap terjadi di negeri kita, seperti Erupsi gunung berapi, gempa

bumi, sampai tsunami, telah menampakkan wujudnya di depan mata hingga

menghadirkan duka yang tak terperi. Bencana adalah sunnatullah dan selalu berpotensi.

Bencana, Allah-lah pengaturnya sehingga suatu saat terjadi.

Bencana juga menyulitkan situasi. Mulai dari awal mulanya sampai pasca-terjadi.

Dalam bencana itu, umat tentu tetap ingin beribadah pada Sang Ilahi. Oleh karena itu,

dibutuhkan penyelamatan persepsi. Baik persepsi tentang ibadah, maupun persepsi

atas bencana itu sendiri. Atas realitas bencana ini, Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP

Muhammadiyah kembali menunjukkan wujud kesadarannya atas tantangan abad kedua

Persyarikatan. Ini terlihat dari upaya Majelis Tarjih untuk terus menelurkan produk-

produk tarjih kontemporer termasuk penarjihan fikih terkait kebencanaan. Penarjihan

ini juga dilakukan untuk menjawab sejumlah permasalahan-permasalahan, baik yang

bersifat praktik ibadah, maupun perspektif atau pandangan terkait kebencanaan.

Dalam hal perspektif atas kebencanaan, misalnya, Majelis Tarjih berusaha

meluruskan paradigma masyarakat yang seringkali menganggap bencana merupakan

konsekuensi magis dari kemaksiatan atau kerusakan akidah penduduk lokasi bencana.

Atas ini, fikih kebencanaan Majelis Tarjih menegaskan bahwa bencana merupakan

siklus alamiah dari fenomena alam. Menurut Majelis Tarjih, anggapan keliru

masyarakat tersebut, justru semakin menambah penderitaan korban bencana. Dengan

cara berpikir demikian, pihak yang paling kasihan adalah korban bencana karena harus

mengandung derita ganda. Mereka sudah kehilangan segalanya, mulai dari harta, nyawa

sanak famili, bahkan kebahagiaan hidup, sekaligus juga mereka menjad i sasaran

kutukan pihak lain.

Kalau pun suatu bencana terjadi karena dosa manusia, ungkap Tim Perumus Fikih

Kebencanaan Majelis Tarjih, itu diakibatkan oleh dosa yang memang memiliki

konsekuensi logis dengan bencana tersebut, seperti banjir bandang yang terjadi akibat

perilaku membuang sampah masyarakat dan penebangan pohon, atau bencana alam lain

yang terjadi akibat eksploitasi alam yang dilakukan manusia secara berlebihan.

Lebih lanjut, Fikih Kebencanaan Majelis Tarjih menjelaskan bahwa persepsi

keliru masyarakat tersebut dapat melahirkan respons tidak rasional seperti pelaksanaan

Page 40: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

40

ritual-ritual mistis yang justru tidak memiliki hubungan dengan bencana. Ironisnya,

karena keliru pikir ini, bencana justru melahirkan kesyirikan. Padahal, banyak kejadian

alam yang murni disebabkan perubahan tata alam, seperti gempa bumi karena

pergeseran lempeng bumi. Peristiwa bencana ini hampir tidak memiliki hubungan

sebab-akibat dengan perilaku dan sikap manusia terhadap agama. Peristiwa ini

merupakan proses alamiah yang diciptakan Allah dalam mengurus alam.

Perspektif atas pengelolaan bencana juga ditarjihkan dalam Fikih Kebencanaan.

Ini bertujuan untuk meluruskan perspektif sehingga pengelolaan bencana dapat lebih

tepat, efektif, dan komprehensif. Salah satu permasalahan pengelolaan bencana yang

dibincang adalah terkait pemahaman penyebab bencana terjadi. Tim Perumus Fikih

Kebencanaan Majelis Tarjih mengungkapkan, untuk minimalisasi potensi kejadian

bencana, sistem masyarakat dalam suatu daerah harus diperkuat. Di dalam satu

daerah, orang yang paham atas tanda-tanda bencana secara ilmiah harus ada minimal

satu orang di dalam setiap daerah.

Begitu juga dengan pengurangan risiko bencana, setidaknya harus ada anggota

komunitas yang memiliki kemauan, kepeduliaan, serta akses untuk memperdalam

sejarah terjadinya bencana di masa lalu, teknologi untuk membuat tempat tinggal yang

aman dari bencana, perencanaan darurat jika bencana benar-benar harus terjadi.

Termasuk juga kesiapan hidup dalam situasi darurat jika sebuah masyarakat harus

mengalami pengungsian. Oleh karena itu, paradigma yang menganggap ilmu

pengetahuan tidak penting sehingga masyarakat tidak dapat mengenal ancaman dari

bencana yang berupa karakter alam dan karakter sosial harus diluruskan. Setiap daerah

harus memiliki ahli pengetahuan tentang karakter alam dan sosial yang berpotensi

bencana, sehingga antisipasi dapat dilakukan. Demikian juga jika potensi bencana

sudah diketahui, tindakan masyarakat yang dilakukan oleh sebuah masyarakat harus

efektif.

Selain pelurusan perspektif, fikih kebencanaan juga mengijtihadkan hukum-

hukum (fikih) ibadah pada saat bencana. Menurut Tim Perumus Fikih Kebencanaan,

terdapat sepuluh permasalahan yang sering muncul pada situasi bencana. Kesepuluh

permasalahan tersebut telah dijelaskan hukum fikihnya berdasarkan ijtihad kolektif

Majelis Tarjih dan Tajdid. Hukum fikih ibadah dalam bencana tersebut, antara lain,

sahnya salat dalam keadaan najis dan kotor karena kotoran dan muntah manusia, air

mazi dan wadi, kotoran dan bangkai hewan, termasuk anjing dan babi, serta jika aurat

Page 41: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

41

tidak tertutup. Selain itu, batasan waktu jamak salat pada saat bencana yaitu tidak ada

batasan waktu kecuali sampai kesukaran (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) itu hilang

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam mengaplikasikan konsep mashlahat

terhadap masalah kontemporer, Majelis Tarjir Pimpinan Pusat Muhammadiyah

berkontribusi sebagai berikut:

1. Dalam perspektif tarjih, norma hukum itu integral sebagai satu kesatuan yang saling

terhubung, juga hirarkis berjenjang dari norma yang paling bawah hingga norma paling

atas atau sebaliknya. Apabila jenjang norma dilihat dari atas ke bawah, maka jenjang

Page 42: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

42

norma itu adalah prinsip-prinsip (nilai-nilai) dasar (al-qiyam al-asāsiyyah) baik norma

teologis maupun norma etik dan yuristik. Norma dasar ini diambil dari nilai-nilai

universal Islam seperi tauhid, akhlak karimah, kemaslahatan, keadilan, persamaan,

kebebasan, persaudaraan yang bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah, atau dapat

disimpulkan dari kenyataan hidup manusia di bawah sinar sumber-sumber pokok pokok

tersebut. Norma dasar ini memayungi norma di bawahnya yang berupa asas-asas (al-

uṣūl al-kuliyyah) yang diambil dari kedua sumber pokok di atas atau di satu sisi

merupakan deduksi dari prinsip (nilai) dasar atau pada sisi lain merupakan abstraksi dari

norma konkret. Asas-asas ini merupakan konkretisasi dari nilai-nilai dasar. Lebih jauh

asas-asas ini pada gilirannya memayungi norma paling bawah, yakni norma konkret

yang berupa ketentuan-ketentuan syar’i yang bersifat far’i (al-aḥkām al-far’iyyah) yang

langsung mengkualifikasi suatu peristiwa hukum syar’i. Oleh karena itu, fikih bukanlah

semata membahas hukum taklifi, namun juga membahas berbagai prsoalan sosial,

ekonomi, politik, dan lain-lain yang bersangkut paut dengan hukum.

2. Dalam hal ini, Majelis Tarjih telah menghasilkan cukup banyak produk ijtihad

kontemporer seperti fikih air, fikih informasi, fikih kebencanaan, fikih lalu lintas, fikih

tata kelola, fikih anti korupsi,dan lain-lain yang tiga di antaranya diulas dalam penelitian

ini.

B. Saran

Demikian hasil penelitian yang dapat peneliti laporkan. Di dalamnya masih terdapat

banyak kekurangan karena terlalu banyak perspektif dan sudut pandang yang dapat

digunakan. Oleh karena itu, diharapkan para peneliti lain dapat melengkapi dan

memperbaiki, serta menyempurnakan penelitian ini dengan mengetengahkan berbagai

sudut pandang yang berbeda terhadap masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

Page 43: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

43

DAFTAR PUSTAKA

Anggaran Dasar Muhammadiyah, Tahun 2005, pasal 4 ayat (1) dan (2). Lihat Berita Resmi

Muhammadiyah, edisi khusus, No. 1/2005 (Rajab 1426 H / September 2005 M), h. 111.

Ar-Rāzī, al-Maḥṣūl, disunting oleh Ṭāhā Jābir Fayyāḍ al-‘Alwānī (Beirut: Mu’assasat ar

Risālah, t.t.), V: 397;

Asy-Syaukānī, Irsyād al- Fuḥūl ilā Taḥqīq al-Ḥaqq min ‘Ilm al-Uṣūl, disunting oleh Abū Ḥafṣ

Sāmī Ibn al-‘Arabī al-Aṡarī (Riyad: Dār al-Faḍīlah li an-Nasyr wa at-Tauzī‘, 1421/2000),

h. 1113; al-Barzanjī, at-Ta‘āruḍ wa at-Tarjīḥ baina al-Adillah asy-Syar‘iyyah (Beirut:

Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1417/1996), I: 79.

Page 44: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

44

Ibn Qudāmah adalah salah seorang fakih Hanbali dan menulis kitab al-Mugnī. Mengenai

kutipan di atas lihat Ibn Qudāmah, al-Mugnī, disunting oleh ‘Abdullāh Ibn ‘Abd al-

Muḥsin at-Turkī III: 345-347.

Wahbah Az-Zuḥailī, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī (Damaskus: Dār al-Fikr li aṭ-Ṭibā‘ah wa an-Nasyr

wa at-Tauzī‘, 1406/1986), II: 1079-1081.

Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah dan Langkah (Jogjakarta: Suara

Muhammadiyah dan Majelis Pendidikan Kader Muhammadiyah, 1433/2012), h. 20.

Ibn ‘Āsyūr, Tafsīr at-Taḥrīr wa at-Tanwīr (Tunis: ad-Dār at Tūnīsiyyah li an-Nasyr, 1984),

III: 189;

Ar-Rāzī, Tafsīr al-Fakhr ar-Rāzī atau at-Tafsīr al-Kabīr (Beirut: Dār al-Fikr li aṭ-Ṭibā‘ah wa

an-Nasyr wa at-Tauzī‘, 1981/1401), XXIX: 316.

Majelis Tarjih dan Tajdidi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih

(Jogjakarta: Suara Muhammadiyah, 1430/2009), h. 278.

Syamsul Anwar, “Manhaj Ijtihad/Tajdid dalam Muhammadiyah,” dalam Mefidwel Jandra dan

M. Safar Nasir, ed., Tajdid Muhammadiyah untuk Pencerahan Peradaban (Jogjakarta:

Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam bekerja sama dengan UAD Press,

1426/2005), h. 66-67.

Noer, The Modernist Movements in Indonesia, 1900-1942 (London-New York: Oxford

University Press, 1973), h. 73.

Boeah Congres 26 (Jogjakarta: Hoefdcomite Congres Moehammadijah, t.t.), h.32.

Berita Resmi Muhammadiyah, edisi khusus, No. 1/2005 (Rajab 1426 H / September 2005 M),

h. 111.

Page 45: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

45

Keputusan Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah di Jakarta Tahun 2000,”

(Yogyakarta: Sekretariat Majelis Tarjih dan Tajdid, 2012), h. 6 (Bab II angka 1). Lihat

juga Himpunan Putusan Tarjih, cet. ke-3 (Yogyakarta: Pimpinan Pusat

Muhammadiyah, t.t.), h. 278.

Al-Gazzālī, al-Mustāfā min ‘Ilm al-Uṣūl, disunting oleh Muḥammad Ibn Sulaimān al-

Asyqar (Beirut: Mu’assasat ar-Risālah, 1417/1997), I: 324.

At-Taftazānī, Syarḥ at-Talwīḥ ‘alā at-Tauḍīḥ li Matn at-Tanqīḥ fī Uṣūl al-Fiqh, disunting oleh

Zakariyā ‘Umairāt (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1416/1996), II: 89.

Al-Āmidī, al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām (Riyad: Dār aṣ-Ṣumai‘ī li an-Nasyr at-Tauzī,

1424/2003), III: 237.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif DAN R&D, h.245

Page 46: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

46

Page 47: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

47

Page 48: LAPORAN PENELITIAN AL-ISLAM DAN …

48