LAPORAN PENELITIAN
AL-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN
APLIKASI KONSEP MASHLAHAT DALAM PRODUK IJTIHAD KONTEMPORER
MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
Oleh :
ARIF HAMZAH, MA.
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JULI 2019
Abstrak
COVER HALAMAN SURAT KONTRAK HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah.......................................................................... 6
C. Pembatasan Masalah ....................................................................... 6
D. Rumusan Masalah............................................................................. 7
E. Tujuan .............................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ALUR PENELITIAN
A. Teori Yang Berkaitan
1. Pengertian Pembiayaan............................................................. 8
2. Dasar Hukum Pembiayaan......................................................... 10
3. Fungsi Pembiayaan.................................................................... 12
4. Unsur Pembiayaan..................................................................... 14
B. Alurpenelitian.................................................................................. 17
C. Kerangkapikir Penelitian ................................................................. 17
BAB III METODE PENELITIAN
A. Ruanglingkup Penelitian.................................................................. 22
B. Metode Pengumpulan Data............................................................. 26
C. Metode Pengolahan Data................................................................ 26
D. Metode Analisis Data....................................................................... 28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum BRI Syari’ah ........................................................ 32
B. Pembiayaan Modal Kerja Revolving di BRI Syari’ah......................... 36
C. MekanismePembiayaan Modal Kerja Revolving.............................. 41
D. Manajemen Risiko Pada Pembiayaan Modal Kerja Revolving.......... 42
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 46
B. Saran................................................................................................. 47
BAB VI Luaran Penelitian HALAMAN KINERJA PENELITIAN DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muhammadiyah merupakan sebuah gerakan pembaruan sosial yang berbasis nilai-
nilai keagamaan Islam. Muhammadiyah sendiri mendefinisikan dirinya sebagai “Gerakan
Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid, bersumber kepada al-Quran dan as-
Sunnah, berasas Islam” (Anggaran Dasar Muhammadiyah, 2005). Sebagai demikian,
Muhammadiyah tentu terlibat dalam pengkajian, penafsiran dan penerapan ajaran agama
Islam itu sendiri. Untuk tujuan tersebut di dalam Persyarikatan ini diadakan suatu majelis
khusus yang bertugas melaksanakan tanggung jawab dimaksud, yang sekarang dinamakan
Majelis Tarjih dan Tajdid yang terdapat pada setiap level organisasi sejak tingkat pusat
hingga cabang.
Majelis Tarjih dalam Muhammadiyah didirikan pertama kali tahun 1928 sebagai
buah dari Keputusan Kongres Muhammadiyah Ke-16 di Pekalongan tahun 1927.
Kelembagaan Majelis Tarjih lengkap dengan susunan pengurus dan Qaidah Majelis Tarjih
disahkan dalam Konres Muhammadiyah Ke-17 di Jogjakarta tahun 1928 dengan ketua
pertamanya KH Mas Mansur (w. 1365/1946). Pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2005,
Majelis ini disebut Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Pada periode 2005
hingga sekarang lembaga ini diberi nama Majelis Tarjih dan Tajd id.
Dalam melaksanakan pengkajian dan penafsiran ajaran agama tentu ada prinsip dan
metode tertentu yang dipegangi. Prinsip dan metode tersebut disebut manhaj tarjih.
Tulisan ini pada halaman-halaman berikut akan menjelaskan apa manhaj tarjih tersebut
dan bagaimana mekanisme penerapannya.
Frasa “manhaj tarjih” secara harfiah berarti cara melakukan tarjih. Sebagai sebuah
istilah, manhaj tarjih lebih dari sekedar cara bertarjih. Istilah tarjih sendiri sebenarnya
berasal dari disiplin ilmu usul fikih. Dalam ilmu usul fikih tarjih berarti melakukan
penilaian terhadap dalil-dalil syar’i yang secara zahir tampak saling bertentangan atau
evaluasi terhadap pendapat-pendapat (kaul) fikih untuk menentukan mana yang lebih kuat.
Ar-Razi mendefinisikan tarjih dalam usul fikih sebagai, “Menguatkan salah satu dalil atas
yang lain sehingga diketahui mana yang kuat lalu diamalkan yang lebih kuat itu dan
ditinggalkan yang tidak kuat.” Definisi ini menjelaskan dua hal pokok tentang pengertian
tarjih, yaitu :
1. Bahwa tarjih itu adalah perbuatan mujtahid (ahli hukum syariah) dan bukan sifat
dari suatu dalil.
2. Bahwa obyek tarjih adalah dalil-dalil yang tampak saling bertentangan untuk
diambil yang lebih kuat.
Hanya saja definisi ini, dan definisi lain sealur dengan definisi ini, dinyatakan
kurang lengkap karena membatasi obyek tarjih pada dalil-dalil syar‘i yang secara zahir
tampak saling bertentangan saja. Sesungguhnya tarjih tidak hanya dilakukan terhadap
dalil-dalil syar‘i yang secara zahir tampak saling bertentangan, tetapi juga terhadap cara-
cara berargumentasi (aujuh), pendapat-pendapat (kaul-kaul) fikih, dan riwayat-riwayat
dari seorang imam fikih yang berbeda bahkan bertentangan. Misalnya dari Imam Ahmad
diriwayatkan adanya dua riwayat tentang berbuka (iftar) di bulan Ramadan bagi orang
yang mulai safar di tengah hari, apakah ia boleh berbuka hari itu atau tidak.
Dari Imam Ahmad terdapat dua riwayat, pertama, riwayat yang menyatakan bahwa
Ahmad membolehkan iftar (tidak puasa) pada hari itu bagi musafir tersebut, dan kedua,
riwayat yang menyatakan bahwa Imam Ahmad tidak membolehkan hal tersebut di mana
untuk hari itu ia wajib meneruskan puasanya hingga magrib. Ibn Qudāmah menarjih
riwayat pertama.1Jadi tarjih tidak hanya dilakukan terhadap dalil-dalil, tetapi juga terhadap
riwayat-riwayat dari imam-imam mujtahid. Selain itu tarjih juga dilakukan terhadap
berbagai pendapat (kaul) fikih yang beragam bahkan saling bertentangan menganai satu
masalah yang sama untuk dievaluasi dan diambil yang lebih dekat kepada al-Kitab dan as-
Sunnah serta lebih maslahat untuk diterima. Atas dasar itu ada yang mendefinisikan tarjih
sebagai, “Perbuatan mujtahid mendahulukan salah satu dari dua jalan yang memiliki
keungulan lebih yang dapat diterima dan yang menjadikannya lebih utama untuk
diamalkan dari yang lain.” (Al-Razi, t.t., ai-Syaukani, 2000, Al-Barzanji, 1996).
Yang dimaksud dengan “jalan” dalam definisi di atas meliputi (1) dalil-dalil, karena
dalil itu merupakan jalan yang menghantarkan kepada kesimpulan (ketentuan hukum)
mengenai suatu masalah; (2) cara memahami (wajh) karena cara memahami juga
merupakan jalan mencapai kesimpulan; dan riwayat, karena riwayat juga jalan untuk
mencapai suatu kesimpulan.
.
Tetapi sebenarnya evaluasi terhadap pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat fikih
itu adalah evaluasi terhadap dalilnya untuk menemukan yang lebih kuat. Sebaliknya tarjih
terhadap dalil-dalil pada akhirnya adalah juga untuk mendapatkan ketentuan hukum yang
lebih kuat yang didasarkan kepada dalil-dalil tersebut. Dengan demikian tarjih terhadap
dalil dan terhadap kaul dan riwayat fikih itu saling terkait dan bermuara pada satu tujuan,
yaitu menemukan suatu ketentuan hukum syariah yang lebih mantap.
Inilah pengertian tarjih dalam disiplin asli dari mana istilah itu berasal, yaitu usul
fikih. Perlu pula dicatat bahwa tarjih merupakan salah satu tingkatan ijtihad. Dalam usul
fikih, tingkat-tingkat ijtihad meliputi ijtihad mutlak mandiri (ijtihad dalam usul dan
cabang), ijtihad mutlak tak mandiri, ijtihad terikat, ijtihad tarjih, dan ijtihad fatwa
(Wahbah Zuhaili, 1986).
Dalam lingkungan Muhammadiyah pengertian tarjih telah mengalami
perkembangan makna. Memang pada awalnya dalam organisasi ini tarjih difahami
sebagaimana menurut pengertian aslinya dalam ilmu usul fikih, yaitu “memperbandingkan
dalam suatu permusyawaratan pendapat-pendapat dari ulama (baik dari dalam ataupun
dari luar Muhammadiyah termasuk pendapat imam-imam) untuk kemudian mengambil
mana yang dianggap mempunyai dasar dan alasan yang lebih kuat.”2 Lambat laun
pengertian ini mengalami pergeseran karena perkembangan kegiatan ketarjihan di dalam
Muhammadiyah. Tarjih tidak lagi hanya diartikan kegiatan sekedar kuat-menguatkan
suatu dalil atau pilih-memilih di antara pendapat yang sudah ada, melainkan jauh lebih
luas sehingga identik atau paling tidak hampir identik dengan ijtihad itu sendiri. Hal itu
karena dalam Muhammadiyah, melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, banyak dilakukan
ijtihad atas masalah-masalah baru yang belum direspons oleh fukaha masa lalu dan belum
ditemukan jawabannya dalam kitab-kitab fikih lama.
Dalam Muhammadiyah tarjih tidak hanya dibatasi pada ijtihad untuk merespons
permasalahan dari sudut pandang hukum syar’i, tetapi juga merespons permasalahan dari
sudut pandang Islam secara lebih luas, meskipun harus diakui porsi ijtihad hukum syar‘i
sangat jauh lebih besar. Oleh karena itu dalam lingkungan Muhammadiyah tarjih diartikan
sebagai setiap aktifitas intelektual untuk merespons permasalahan sosial dan kemanusiaan
dari sudut pandang agama Islam. Dari situ tampak bahwa bertarjih artinya sama atau
hampir sama dengan melakukan ijtihad mengenai suatu permasalahan dilihat dari
perspektif Islam (Suara Muhammadiyah, 2012).
Adalah jelas bahwa tarjih itu tidak dilakukan secara serampangan, melainkan
berdasarkan kepada asas-asas dan prinsip-prinsip tertentu. Kumpulan prinsip-prinsip dan
metode-metode yang melandasi kegiatan tarjih itu dinamakan manhaj tarjih (metodologi
tarjih). Manhaj tarjih dapat didefinisikan sebagai “suatu sistem yang memuat seperangkat
wawasan (atau semangat/perspektif), sumber, pendekatan, dan prosedur-prosedur tehnis
(metode) tertentu yang menjadi pegangan dalam kegiatan ketarjihan.” Kegiatan ketarjihan
adalah aktifitas intelektual untuk merespons berbagai masalah sosial kemasyarakatan dan
kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam. Respons terhadap permasalahan sosial dan
kemanusiaan tersebut dapat dilakukan dalam suatu kerangka yang bersifat evaluatif
(melihat permasalahan dari sudut pandang das sollen) dengan mengembangkan sistem
normatif yang responsif. Juga dapat dilakukan dalam suatu kerangka yang bersifat
ekplanatif (melihat masalah dalam realitas empiris / dari perspektif das sein) yang tetap
bertolak dari dasar-dasar ajaran agama, dan dilakukan dengan mengembangkan kerangka
pemikiran keislaman yang kritis dan analitis.
Produk Tarjih lebih banyak tertuju kepada respons dalam kerangka das sollen yang
memberikan arahan-arahan dan petunjuk normatif. Hanya sedikit sekali produk Tarjih
dalam bentuk pemikiran keislaman dalam suatu kerangka yang bersifat das sein. Itu pun
hanya dalam bentuk wacana, bukan dalam bentuk putusan atau fatwa. Untuk ini barangkali
dapat disebut sebagai contoh buku Agama dan Pluralitas Budaya Lokal dan
Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi
sebagai hasil kerjasama Majelis Tarjih dan pihak lain. Tetapi hal itu memang dapat
dipahami karena mengingat fungsi dan tugas Majelis Tarjih sendiri adalah melakukan
pengkajian ajaran agama untuk mendapatkan kemurniannya guna menjadi pedoman dan
tuntunan bagi warga Persyarikatan secara khusus dan bagi warga masyarakat pada
umumnya. Atas dasar pertimbangan di atas maka desertasi ini mengambil judul Aplikasi
konsep mashlahat dalam produk ijtihad kontemporer Majelis Tarjih Muhammadiyah.
10
B. Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut; bagaimana
penereapan konsep mashlahat oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam
menghasilkan produk-produk ijtihad dalam memberikan solusi atas masalah dan
problema kontemporer.
Untuk menjawab masalah penelitian di atas, maka penulis merumuskan
beberapa pertanyaan penelitian yang mendukung, yang terdiri atas:
1. Bagaimana perspektif Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang konsep
mashlahat dan mekanisme penerapannya sebagai dalil dalam istinbath
hokum?
2. Bagaimana perspektif Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang masalah
ijtihadiyah?
3. Apa saja produk-produk ijtihad kontemporer Majelis Tarjih
Muhammadiyah, hal-hal yang melatarbelakangi kemunculannya, dan
tujuannya diproduksi?
4. Bagaimana penerapan konsep mashlahat dalam perspektif Majelis
Tarjih terhadap produk-produk ijtihad kontemporer?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perspektif Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang
konsep mashlahat dan mekanisme penerapannya sebagai dalil dalam
istinbath hokum?
2. Untuk mengetahui perspektif Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang
masalah ijtihadiyah?
3. Untuk mengetahui produk-produk ijtihad kontemporer Majelis Tarjih
Muhammadiyah, hal-hal yang melatarbelakangi kemunculannya, dan
tujuannya diproduksi?
11
4. Untuk mengetahui penerapan konsep mashlahat dalam perspektif
Majelis Tarjih terhadap produk-produk ijtihad kontemporer?
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam melaksanakan pengkajian dan penafsiran ajaran agama, majelis
Tarjih Muhammadiyah menetapkan prinsip dan metode tertentu yang dipegangi.
Prinsip dan metode tersebut disebut manhaj tarjih. Oleh karena itu, definisi manhaj
tarjih di atas menggambarkan bahwa manhaj tersebut memuat unsur-unsur: (1)
wawasan (atau semangat/perspektif), (2) sumber ajaran, (3) pendekatan, dan
metode (prosedur tehnis). Jadi, manhaj tarjih sebagai kegiatan intelektual untuk
merespons berbagai persoalan dari sudut pandang agama Islam tidak sekedar
bertumpu pada sejumlah prosedur tehnis an sich, melainkan juga dilandasi oleh
wawasan/perspektif pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran
Islam Muhammadiyah. Wawasan/perspektif tarjih itu meliputi wawasan paham
agama, wawasan tajdid, wawasan toleransi, wawasan keterbukaan, dan wawasan
tidak berafiliasi mazhab tertentu.
Wawasan (semangat/perspektif) ini diharapkan dapat memberikan landasan
pijak bagi pemikiran keislaman Muhammadiyah untuk dapat menyikapi berbagai
perkembangan baru secara lebih kreatif dan inovatif. Namun penerapannya sangat
ditentukan oleh sikap warga Muhammadiyah sendiri karena Muhammadiyah
adalah gerakan rakyat, bukan gerakan segelintir elit, walaupun peran elit sangat
penting.
1. Wawasan Paham Agama
Ada banyak pendekatan yang dilakukan dalam memahami agama. Ada
beberapa ahli yang memahami agama dengan melihat fungsinya sebagaimana
diikuti oleh beberapa antropolog, terutama yang beraliran fungsionalis. Ada
pula yang melihat hakikat agama dalam pengalaman subyek yang menjalaninya
seperti diikuti oleh beberapa ahli religionwissenschaf. Sementara itu pada ahli
agama Islam lebih menekankan sudut pandang yang melihatnya sebagai suatu
13
tatanan normatif. Umumnya para ulama Islam mendefinisikan agama sebagai,
“Ketetapan Ilahi yang membimbing orang-orang yang berfikiran sehat ke arah
kebaikan-kebaikan atas pilihan mereka sendiri baik secara batin maupun lahir
(Ibnu Asyur, 1981). Definisi ini melihat agama sebagai suatu kerangka atau
tatanan normatif yang memberikan bimbingan dan pengarahan kepada manusia
untuk mencapai kebajikan hidup.
Tidak jauh berbeda dengan definisi para ulama Islam ini adalah
pengertian agama dalam putusan Tarjih yang menegaskan bahwa Agama ialah
apa yang disyariatkan Allah dengan perantara Nabi-Nabi-Nya, berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk
kebaikan manusia di Dunia dan Akhira (HPT, 2009). Ini adalah pengertian
agama secara umum, yaitu agama yang diturunkan kepada para nabi Allah yang
pernah diutuskan ke umat manusia.
Di samping itu putusan Tarjih mendefinisikan pula agama Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw, yaitu Agama (yaitu agama Islam) yang
dibawa oleh nabi Muhammad saw ialah apa yang diturunkan Allah di dalam
Quran dan yang tersebut dalam sunnah yang sahih, berupa perintah-perintah
dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di
Dunia dan Akhirat.(HPT, 2009)
Seperti halnya definisi para ulama Islam, pengertian agama yang
dirumuskan tarjih ini juga melihat agama sebagai suatu tatanan normatif yang
menjadi kerangka rujukan dan sekaligus bimbingan bagi manusia dalam
menjalani hidupnya untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di
akhirat. Definisi ini benar sepenuhnya, namun baru menggambarkan satu sisi
dari agama. Untuk melengkapi konsep ini, kita dapat pula melihat agama dari
segi hakikatnya sebagaimana yang diresapi dan dimanifetasikan oleh
pelakunya. Dari sudut pandang ini kita dapat mendefinisikan agama sebagai
“suatu pengalaman imani yang terekspresikan dalam wujud amal salih yang
dijiwai oleh “islam”, ihsan dan Syariah (Syamsul Anwar, 2005)
14
Dengan kesadaran imanai dimaksudkan kesadaran atas keberadaan,
kehadiran dan keberhadapan dengan Allah Yang Maha Melihat dan Mendengar
lagi Maha Mengetahui. Kesadaran tersebut secara eksternal dimanifestasikan
dalam wujud amal salih yang sebagian dipolakan secara ketat (yang disebut
ibadat) dan sebagian lagi tidak dipolakan secara ketat (yang disebut muamalat
duniawiah). Amal salih sebagai wujud manifestasi pengalaman imani itu
mencakup bentuk tindak berfikir dan tindak berperilaku. Agar ekspresi
(manifestasi) pengalaman imani dalam wujud amal ini terlambagakan secara
benar diperlukan kerangka normatif atau norma-norma sebagai rujukan, yakni
dalam Islam berupa syariah yang diwahyukan Allah melalui Nabi-Nya
Muhammad saw. Norma-norma ini yang diwahyukan Allah dalam al-Quran
dan as-Sunnah merupakan norma-norma pokok. Namun norma-norma ini
sering harus diperluas dengan norma-norma tambahan melalui ijtihad dan
interpretasi yang disebut fikih dalam salah satu artinya. Dengan demikian
agama meliputi unsur-unsur (1) inti yang berupa pengalaman imani, (2) bentuk
yang berupa norma-norma syariah sebagai kerangka rujukan, dan (3)
manifestasi yang berupa amal.
Ekspresi pengalaman imani melahirkan budaya dan tidak jarang pula
terjadi peminjaman wadah budaya yang sudah ada dalam masyarakat untuk
menampung skpresi tersebut. Dalam kasus terakhir ini manifestasi agama
mengalir ke dalam wadah budaya yang sudah ada sehingga terjadi tarik-
menarik dan pergumulan antara agama dan budaya bersangkutan. Tidak jarang
terjadi bahwa kerangka rujukan normatif yang memberikan arahan bagi
manifestasi pengalaman imani itu harus diperluas untuk dapat menampung
wujud ekpresi yang terus berkembang, sehingga norma-norma yang ada harus
diperluas atau diinterpretasi ulang guna memfasilitasi ekspresi budaya. Di
sinilah wilayah tajdid dan ijtihad memainkan peran penting (Syamsul Anwar
2005)
15
2. Wawasan Tajdid
Tajdid sebagai karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah diingat
dalam memori kolektif warga masyarakat Muslim Indonesia yang melabeli
gerakan ini sebagai gerakan kaum modernis. Deliar Noer menegaskan bahwa
Muhammadiyah adalah “sebuah gerakan kaum modernis yang melakukan
pendekatan terhadap sumber-sumber ini [maksudnya al-Quran dan as-Sunnah,
pen.] dengan cara melakukan ijtihad guna melakukan pembaruan sosial dan
keagamaan di kalangan orang-orang Muslim Indonesia (Deliar Noer, 1973)
Sejak tahun 2005 semangat tersebut oleh Muhammadiyah sendiri dipatrikan
dalam dokumen resmi. Semangat (wawasan) tajdid ditegaskan sebagai identitas
umum gerakan Muhammadiyah termasuk pemikirannya di bidang keagamaan.
Ini ditegaskan dalam pasal 4 Anggaran Dasar Muhammadiyah yang telah
dikutip pada awal tulisan ini. Dalam kaitan dengan manhaj tarjih, tajdid
menggambarkan orientasi dari kegiatan tarjih dan corak produk ketarjihan.
Tajdid mempunyai dua arti, yaitu;
a. Dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti
mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan
Sunnah Nabi saw.
b. Dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan
kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan
zaman.
Pemurnian ibadah berarti menggali tuntunannya sedemikian rupa dari
Sunnah Nabi saw untuk menemukan bentuk yang paling sesuai atau paling
mendekati Sunnah beliau. Mencari bentuk paling sesuai dengan Sunnah Nabi
saw tidak mengurangi arti adanya keragaman (tanawwu‘) dalam kaifiat ibadah
itu sendiri, sepanjang kaifiat itu memang mempunyai landasannya dalam
Sunnah Nabi saw. Contohnya adalah adanya variasi dalam bacaan doa iftitah
16
dalam salat, yang menunjukkan bahwa Nabi saw sendiri melakukannya secara
bervariasi. Varian ibadah yang tidak didukung oleh Sunnah menurut Tarjih
Muhammadiyah tidak dapat dipandang praktik ibadah yang bisa diamalkan.
Berkaitan dengan akidah, pemurnian berarti melakukan pengkajian untuk
membebaskan akidah dari unsur-unsur khurafat dan tahayul. Diktum keimanan
yang dapat dipegangi adalah apa yang ditegaskan dalam al-Quran dan as-
Sunnah. Kepercayaan yang tidak bersumber kepada kedua sumber asasi
tersebut tidak dapat dipegangi. Kepercayaan bahwa angka 13 adalah sial,
misalnya, tidak ada dalilnya dalam al-Quran dan as-Sunnah. Dalam tradisi
pemilihan Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui muktamar selalu dipilih 13
anggota pimpinan, walaupun bilamana diperlukan kemudian dapat ditambah.
Pemilihan 13 anggota pimpinan ini adalah suatu bentuk perlawanan terhadap
kepercayaan tentang kesialan angka 13.
Tajdid di bidang muamalat duniawiyah (bukan akidah dan ibadah
khusus), berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat sesuai dengan
capaian kebudayaan yang dapat diwujudkan manusia di bawah semangat dan
ruh al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Bahkan dalam aspek ini beberapa norma
di masa lalu dapat berubah bila ada keperluan dan tuntutan untuk berubah dan
memenuhi syarat-syarat perubahan hukum syarak. Misalnya di zaman lampau
untuk menentukan masuknya bulan kamariah baru, khususnya Ramadan,
Syawal, dan Zulhijah, digunakan rukyat sesuai dengan hadis-hadis rukyat
dalam mana Nabi saw memerintah melakukan pengintaian hilal. Namun pada
zaman sekarang tidak lagi digunakan rukyat melainkan hisab, sebagaimana
dipraktikkan dalam Muhammadiyah. Contoh lain, di masa lalu perempuan tidak
dibolehkan menjadi pemimpin karena hadis Abu Bakrah yang melarangnya,
maka di zaman sekarang terjadi perubahan ijtihad hukum di mana perempuan
boleh menjadi pemimpin sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Tarjih tentang
Adabul Mar’ah fil-Islam, yang merupakan putusan Tarjih tahun 1976
(Pemnerbit Muhammadiyah, 2012).
17
3. Wawasan Toleransi
Toleransi artinya bahwa putusan Tarjih tidak menganggap dirinya saja
yang benar, sementara yang lain tidak benar. Dalam “Penerangan tentang Hal
Tardjih” yang dikeluarkan tahun 1936, dinyatakan, “Kepoetoesan tardjih
moelai dari meroendingkan sampai kepada menetapkan tidak ada sifat
perlawanan, jakni menentang ataoe menjatoehkan segala jang tidak dipilih oleh
Tardjih itoe (Boeah congres 26, 1936).
Pernyataan ini menggambarkan bahwa Tarjih Muhammadiyah tidak
menegasikan pendapat lain apalagi menyatakannya tidak benar. Tarjih
Muhammadiyah memandang keputusan-keputusan yang diambilnya adalah
suatu capaian maksimal yang mampu diraih saat mengambil keputusan itu.
Oleh karena itu Tarjih Muhammadiyah terbuka terhadap masukan baru dengan
argumen yang lebih kuat. Keterbukaan terhadap penemuan baru adalah prinsip
berikutnya dalam wawasan ketarjihan Muhammadiyah.
4. Keterbukaan
Keterbukaan artinya bahwa segala yang diputuskan oleh Tarjih dapat
dikritik dalam rangka melakukan perbaikan, di mana apabila ditemukan dalil
dan argumen lebih kuat, maka Majelis Tarjih akan membahasnya dan
mengoreksi dalil dan argumen yang dinilai kurang kuat. Dalam “Penerangan
tentang Hal Tardjih” ditegaskan, “Malah kami berseroe kepada sekalian oelama
soepaya soeka membahas poela akan kebenaran poetoesan Madjelis Tardjih
itoe di mana kalaoe terdapat kesalahan ataoe koerang tepat dalilnja diharap
soepaya diajoekan, sjoekoer kalaoe dapat memberikan dalil jang lebih tepat dan
terang, jang nanti akan dipertimbangkan poela, dioelang penjelidikannja,
kemoedian kebenarannja akan ditetapkan dan digoenakan. Sebab waktoe
18
mentardjihkan itoe ialah menoeroet sekedar pengertian dan kekoeatan kita pada
waktoe itoe(Boeah congres 26, 1936).
5. Tidak Berafiliasi Mazhab
Memahami agama dalam perspektif tarjih dilakukan langsung dari
sumber-sumber pokoknya, al-Quran dan Sunnah melaluin proses ijtihad dengan
metode-metode ijtihad yang ada. Ini berarti Muhammadiyah tidak berafiliasi
kepada mazhab tertentu. Namun ini tidak berarti menafikan berbagai pendapat
fukaha yang ada. Pendapat-pendapat mereka itu sangat penting dan dijadikan
bahan pertimbangan untuk menentukan diktum norma/ajaran yang lebih sesuai
dengan semangat di mana kita hidup.
D. Sumber-sumber Ajaran Agama
Manhaj (metodologi) tarjih juga mengandung pengertian sumber-sumber
pengambilan diktum ajaran agama. Sumber pokok ajaran agama Islam adalah al-
Quran dan as-Sunnah yang ditegaskan dalam sejumlah dokumen resmi
Muhammadiyah, yaitu antara lain:
1. Pasal 4 ayat (1) Anggran Dasar Muhammadiyah yang telah dikutip di atas yang
menyatakan bahwa “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar
Makruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah
(Berita Resmi Muhammadiyah, 2005).
2. Putusan Tarjih di Jakarta Tahun 2000 Bab II angka 1 menegaskan, “Sumber
ajaran IslDasar mutlak dalam penetapan hukum Islam adalah al-Qur’an dan
al-Hadis asy-Syarif (HPT, 2009).
Mengenai hadis (sunnah) yang dapat menjadi hujah adalah sunnah
makbulah seperti ditegaskan dalam Putusan Tarjih Jakarta tahun 2000 yang
dikutip di atas. Istilah sunnah makbulah merupakan perbaikan terhadap rumusan
lama dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tentang definisi agama Islam yang
menggunakan ungkapan “sunnah sahihah.” Istilah sunnah sahihah sering
19
menimbulkan salah faham dengan mengindektikkannya dengan hadis sahih.
Akibatnya hadis hasan tidak diterima sebagai hujah syar’iah, pada hal sudah
menjadi ijmak seluruh umat Islam bahwa hadis hasan juga menjadi hujah agama.
Oleh karena itu untuk menghindari salah faham tersebut, rumusan itu diperbaiki
sesuai dengan maksud sebenarnya dari rumusan bersangkutan, yaitu bahwa yang
dimaksud dengan sunnah sahihah adalah sunnah yang bisa menjadi hujah, yaitu
hadis sahih dan hadis hasan (HPT, 2009). Karenanya dalam rumusan baru
dikatakan “sunnah makbulah”, yang berarti sunnah yang dapat diterima
sebagai hujah agama, baik berupa hadis sahih maupun hadis hasan.
Hadis Dhaif tidak dapat dijadikan hujah sya’iyah. Namun ada suatu
perkecualian di mana hadis daif bisa juga menjadi hujah, yaitu apabila hadis
tersebut: 1) banyak jalur periwayatannya sehingga satu sama lain saling
menguatkan, 2) ada indikasi berasal dari Nabi saw, 3) tidak bertentangan dengan
al-Quran, 4) tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah dinyatakan sahih.
Apa yang dikemukakan di atas adalah sumber-sumber pokok ajaran Islam
secara umum . Dalam kaitan dengan sisten normatif Islam terdapat sumber-
sumber yang mendampingi sumber-sumber pokok. Sumber-sumber pendamping
ini dapat disebut sebagai sumber-sumber paratekstual atau juga sumber-sumber
instrumental. Sumber-sumber ini juga dapat diterima dan diakui dalam praktik
ketarjihan, seperti ijmak, qiyas, maslahat mursalah, istihsan, tindakan preventif
(sadduż-żarī‘ah), dan uruf.
Beberapa kalangan dalam Muhammadiyah memandang unsur-unsur ini
sebagai metode, bukan sebagai sumber. Pandangan itu terjadi karena melihat
unsur-unsur tersebut lebih sebagai proses. Padahal unsur-unsur dimaksud tidak
harus dilihat sebagai proses. Ijmak, misalnya, apabila dilihat sebagai proses,
maka kesimpulannya ijmak adalah mustahil karena ijmak memerlukan waktu
panjang yang melampaui usia manusia di satu sisi dan teramat sulit untuk
menentukan kualifikasi siapa yang harus berijmak di sisi lain. Sebaliknya apabila
ijmak dilihat sebagai produk, maka ia tidak mungkin menjadi metode, justru ia
20
adalah sumber. Dalam putusan Tarjih mengenai wakaf digunakan ijmak sebagai
salah satu dasar putusannya di samping sumber nash, di mana dikatakan, “Dan
karena ijmak ahli fikih bahwa syarat [klausul] wakif itu sama kedudukannya
dengan nas syarak. (Keputusan Munas Tarjih Jakarta, 2012).
Al-Gazali mendefinisikan ijmak sebagai “Kesepakatan umat Muhammad
saw secara khusus mengenai suatu masalah agama (Al-Gazali, 1997). Konsepsi
ijmak menurut fakih filosof sufi ini lebih bersifat populis karena melibatikan
seluruh warga masyarakat Muslim. Pada sisi lain ada pandangan yang
mengkonsepsikan ijmak sebagai lebih elitis karena ijmak dirumuskan sebagai
kesepakatan para mujtahid sesudah zaman Nabi saw atas suatu masalah yang
belum terdapat ketentuannya dalam al-Quran (Al-Taftazani, 1997). Terlepas dari
apa pun konsepsi ijmak, yang jelas bahwa manusia sebagai makhluk sosial dalam
hidup bermasyarakat tidak pernah lepas dari adanya kesepakatan-kesepakatan
dalam sejumlah aspek kehidupannya, termasuk juga dalam sejumlah masalah
keagamaan. Oleh karena itu Muhammadiyah tidak mungkin mengabaikannya.
Dalam putusan Tarjih ijmak telah digunakan sebagai dasar argumen.
Qiyas juga tidak harus dilihat sebagai proses, yaitu tindakan melakukan
analogi, tetapi qiyas dapat juga diartikan sebagai al-istiwa’ (kesamaan). Al-
Amidi, misalnya, mendefinisikan qiyas sebagai, “Persamaan antara kasus cabang
dan kasus pokok dalam kausa yang diistinbat dari hukum kasus pokok (Al-Amidi,
2003). Jadi sumber hukum syar’i dalam kaitan dengan qiyas adalah kesamaan
suatu kasus dengan kasus yang sudah ditegaskan hukumnya dalam nas. Dengan
makna seperti ini qiyas tidak salah dipandang sebagai sumber. Dalam Peputusan
Tarjih tentang Masalah Lima sudah terdapat penegasan tentang penggunaan
qiyas.
Maslahat mursalah dalam fatwa Tarjih juga telah digunakan antara lain
mengenai fatwa tentang keharusan dilakukannya perceraian di depan sidang
pengadilan. Istihsan digunakan dalam HPT untuk membolehkan penjualan harta
wakaf atau perubahan pemanfaatan yang berbeda dengan syarat (klausul) wakif
21
karena alasan-alasan yang menghendaki perubahan tersebut. Argumen terhadap
kebolehan ini dalam Putusan Tarjih disebut hifzan li al-maslahah (guna menjaga
maslahat) (HPT, 2009). Kebijakan menyimpangi aturan pokok karena suatu
alasan tertentu yang dibenarkan oleh syariah dalam usul fikih disebut istihsan.
Mengenai sadduzzari‘ah digunakan dalam HPT untuk melarang wakaf
untuk hal-hal yang bersifat maksiat yang dapat menimbulkan fitnah dengan
argumen “saddan li azzari‘ah (HPT, 2009). Mengenai fatwa Sahabat dalam
kaidah tentang usul fikih dalam HPT adalah penegasan bahwa hadis maukuf
murni tidak dapat menjadi hujah. Ini berarti bahwa fatwa Sahabat (yang
merupakan hadis maukuf) tidak dapat menjadi sumber norma ajaran agama.
Namun dalam beberapa hal fatwa Sahabat dapat dijadikan hujah, apabila fatwa
itu memiliki sisi kemarfukan kepada Nabi saw (memiliki dimensi marfuk) (HPT,
2009). Tentang fatwa keharusan penjatuhan talak di depan sidang pengadilan,
selain didasarkan atas pertimbangan maslahat juga didasarkan atas ketentuan
hukum yang berlaku. Ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat dapat
dipandang sebagai uruf (uruf qanuni) dengan ketentuan tidak bertentangan
dengan nas sarih, atau ada nas, namun nas itu perlu ditafsir ulang demi
mewujudkan kondisi yang lebih maslahat, dan atau dalam hukum syarak
mengenai hal itu belum diatur. Dengan demikian uruf pun dalam praktik
ketarjihan juga diakui.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), dan
penelitian kepustakaan (library research) dan dianalisis menggunakan metode
deskriptif analis. Objek penelitian penulis adalah MajelisTarjih dan produk-
22
produk ketarjihan. Lokasi penelitian yang ingin saya lakukan ialah di Kantor
PWM DKI Jakarta dan perpustakaan.
B. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan sumber data yang didapatkan secara
langsung dalam penelitian yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan guna
mendapatkan data secara langsung yang berkaitan dengan penerapan maqashid
syari’ah dalam produk ijtihad MTT Muhammadiyah
Data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari sumber bacaan
buku-buku produk tarjih, Undang-Undang, Jurnal, makalah dan lainnya yang
berkaitan dengan tema. Adapun pengumpulan data yang dilakukan sebagai
berikut :
a. Observasi (data primer), dapat dilakukan dengan pengamatan langsung
dilapangan dengan melihat fakta yang ada mengenai upaya yang dilakukan
mengetahui secara pasti bagaimana penerapan ijtihad MajwelisTarjih.
23
b. Wawancara (data primer), dilakukan dengan mewawancarai para tokoh
MajelisTarjih di Jakarta.
c. Penelitian kepustakaan (data sekunder), dilakukan penulis dengan membaca dan
mempelajari teori-teori hukum Islam yang ada hubungannya dengan masalah-
masalah pokok pembahasan.
C. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
kualitatif, yaitu suatu penelitian yang berupaya menghimpun data, mengolah dan
menganalisa secara kualitatif.
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki
lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Menurut Nasution yang
dikutip oleh sugiyono dalam bukunya Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif
DAN R & D menyatakan “ Analisis telah dimulai sejak merumuskan dan menjelaskan
masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil
penelitian (sugiyono, 2009).
24
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Maqashid Syari’ah Dan Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah
Di awal pembahasan laporan penelitian ini, penulis merasa amat perlu untuk
mengeksplorasi hal berkait sub judul di atas, yaitu, Konsep Maqasid Syariah dan
Perkembangan Metode Ijtihad Muhammadiyah. Dalam tulisan ini coba dijelaskan konsep
maqasid syariah dan bagaimana Tarjih Muhammadiyah memanfaatkan perkembangan
pemikiran maqasid syariah dalam ijtihad-ijtihadnya.
1. Daya Tarik Konsep Masid Syariah
Kajian tentang aspek makasid syariah banyak menarik perhatian para pemikir
Muslim kontemporer yang tidak beraliran dekonstruksionis. Harapan besar
digantungkan kepadadoktrin ini karena dirasa lebih luwes dan dipandang dapat
merevitalisasi dan mendinamisasi pemikiran Islam, khususnya pemikiran hukum
syariah, dalam merespons berbagai isu kontemporer, baik isu-isu internal umat
maupun isu-isu global. Teori makasid syariah tampaknya memberi harapan untuk
mengatasi kebuntuan pemikiran fikih dalam menghadapi banyak isu-isu kontemporer
yang tidak lagi dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan tradisional.
Misalnya masalah-masalah demokrasi, keadilan, kemiskinan, hak-hak asasi manusia,
dan juga isu-isu intern umat Islam, akan tetapi berskala dunia seperti masalah unifikasi
sistem tata waktu Islam melalui penyatuan sistem penanggalan kamariah. Tampaknya
alasan diletakkannya harapan besar pada makasid syariah adalah karena pertama
perspektif makasid bertitik tolak dari norma-norma dasar hukum Islam yang
merupakan nilai-niai universal Islam itu sendiri sehingga lebih lentur, dan karenanya
dianggap dapat menyapa berbagai masalah kekinian secara arif. Kedua karena
perspektif maqasid syariah lebih mencerminkan pandangan internal yang orisinal
Islam dan tidak merupakan pikiran “impor” dari luar yang terkadang dirasa tidak
kompatibel dengan nilai spiritual Islam yang murni.
Sejumlah banyak disertasi perguruan tinggi di berbagai belahan dunia Muslim
menjadikan makasid syariah sebagai obyek kajiannya. Begitu pula beberapa seminar
internasional diselenggarakan untuk menyemarakkan kajian makasid. Termasuk
motor penggerak kuat kajian makasid ini adalah International Institute of Islamic
Thought yang berkedudukan di Virginia, Amerika Serikat, yang banyak menerbitkan
25
hasil-hasil kajian makasid dan menyelenggarakan seminar, konferensi dan diskusi
mengenai tema ini dengan bekerjasama bersama sejumlah institusi studi lanjut di
banyak negeri Muslim (Abdul Qadir Audah, 2011).
Kajian makasid syariah menjadi lebih ramai ketika oleh para peminat dan
pengkaji aspek penting usul fikih ini dikaitkan dengan kajian ekonomi Islam bahkan
dijadikan sebagai “suatu langkah untuk meluweskan gerak aktivitas bisnis keuangan
Islam bersama berbagai produk keuangan lain yang ditawarkan di pasar.” Mereka ini
memandang “makasid syariah sebagai salah satu konsep penting yang dapat
memainkan peran krusial dalam memperkuat keuangan Islam kontemporer.”
2. Konsep Maqasid Syariah
Dengan maqasid syariah dimaksudkan “makna-makna yang hendak
diwujudkan oleh Pembuat Syariah melalui ketentuan-ketentuan hukum syariah.”
(Burhani, 2007). Makna di sini berarti kausa finalis yang menjadi tujuan
dihadirkannya agama bagi manusia. Jadi berfikir secara maqasid berarti berfikir dalam
agama mengenai tujuan yang hendak dicapai melalui penerapan agama, bukan berfikir
tentang instrumen yang menjadi sarana pencapai tujuan. Tujuan agama dalam teori
maqasid syariah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia.
Kemaslahatan hidup manusia itu dalam pemikiran maqasid meliputi empat
dimensi keberadaan manusia, yaitu:
1) dimensi keberadaan manusiasebagai individu (dalam lingkungan dirinya sendiri),
2) dimensi keberadaan manusiasebagai anggota keluarga (manusia dalam lingkungan
keluarga),
3) dimensi keberadaan manusiasebagai anggota masyarakat (manusia dalam
lingkungan sosial-kemasyarakatan, termasuk kenegaraan),
4) dimensi keberadaan manusiasebagai makhluk bersama makhluk Tuhan lainnya
dalam alam (manusia dalam lingkungan alam).
Dalam keempat dimensi lingkungan keberadaan ini, manusia memerlukan
sejumlah perlindungan, pemberdayaan dan atau pengembangan. Lima macam
maslahat esensial yang disebutkan oleh al-Gazzālī dan asy-Syāṭibī dapat
didistribusikan ke dalam salah satu atau lebih dari empat lingkungan keberadaan
tersebut. Dalam lingkungan dirinya sendiri (sebagai individu), manusia memerlukan
sejumlah perlindungan. Perlindungan akal yang disebutkan oleh al-Gazzālī dan asy-
26
Syāṭibī dapat dimasukkan ke dalam bagian ini. Perlindungan akal dapat berupa
menghindari segala sesuatu yang dapat merusak akal seperti mengkonsumsi
minuman-minuman memabukkan. Oleh karena itu perbuatan meminum khamar atau
bir dilarang di dalam agama Islam karena menghilangkan akal waras seseorang
walaupun untuk sementara waktu. Perbuatan seperti itu dipandang sebagai sia-sia dan
lebih banyak membawa mudarat dan kerusakan [Q. 2 :219]. Perlindungan akal melalui
penghindaran hal-hal yang merusak dinamakan perlindungan pasif (min jānib al-
‘adam).
Sebaliknya pengembangan potensi intelek dan bakat melalui pendidikan adalah
maslahat daruri yang wajib diusahakan. Oleh karena itu Islam mewajibkan setiap
muslim laki-laki dan perempuan untuk belajar. Kewajiban belajar itu menyangkut hal-
hal dasar dan pokok yang harus ada untuk manusia sebagai individu agar dapat
memenuhi kebutuhan hidup yang dasar seperti bisa menulis dan membaca, berhitung,
dan mengetahui pengetahuan agama yang pokok agar dapat menjalani kewajiban-
kewajiban agamanya. Ini merupakan perlindungan dari sisi aktif (min jānib al-wujūd)
untuk tingkat daruri. Untuk tingkat haji dan tahsini diperlukan tingkat pendidikan
lebih tinggi. Jasser Audah memberi penafsiran lebih jauh, perlindungan akal meliputi
upaya mengatasi “perpindahan otak” (larinya kaum intelektual) (Audah, 2006). Tetapi
menurut penulis perlindungan kepentingan ini masuk ke dalam perlindungan manusia
dalam lingkungan lebih luas, yaitu lingkungan sosial kemasyarakatan karena kerugian
yang timbul dari terjadinya “pelarian otak” itu adalah kerugian koleftif (masyarakat),
bukan kerugian manusia secara individu.
Perlindungan jiwa (ḥifẓ an-nafs) dalam konsep lama berarti perlindungan nyawa
(hak hidup) menyangkut dimensi keberadaan manusia sebagai individu (dalam
lingkungaan diri sendiri). Oleh karena itu seseorang dalam hukum syariah tidak boleh
melakukan bunuh diri yang itu dipandang sebagai perbuatan dosa besar. Begitu juga
tidak boleh melakukan perbuatan membunuh orang lain, termasuk dilarang
melakukan eutanasia atas alasan ini. Perlindungan jiwa dapat dikembangkan menjadi
perlindungan diri manusia termasuk fisik dalam pengertian orang harus mendapatkan
kebutuhan dasarnya untuk dapat mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu dalam
Islam diwajibkan kepada orang mampu yang telah memenuhi syarat tertentu untuk
mengeluarkan zakat sebagai suatu kewajiban atasnya dan hak bagi orang lain yang
tidak mampu agar tidak ada orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya
menyangkut pangan, sandang dan papan. Para pengkaji modern melihat bahwa
27
kepentingan daruri menyangkut manusia sebagai individu itu tidak hanya berupa
perlindungan hak hidup, tetapi juga mencakup perlindungan berbagai hak dasar
manusia yang lain seperti kebebasan, persamaan, martabat kemanusiaan (al-karāmah
al-insāniyyah), dan hak-hak lain yang dalam diskursus kontemporer dikenal dengan
hak asasi.
Perlindungan agama masuk ke dalam dimensi keberadaan manusia sebagai
individu, tetapi juga masuk dalam dimensi perlindungan manusia dalam tatanan
keluarga dan sebagai warga masyarakat. Artinya agama dalam pandangan Islam selain
merupakan kebutuhan pokok bagi pemenuhan aspirasi spiritual pribadi, juga
merupakan kebutuhan penataan kehidupan kekeluargaan dan kemasyarakatan. Dalam
Islam pernikahan merupakan suatu tindakan bernilai ibadah dan ketentuan-ketetuan
hukum keluarga merupakan ketentuan kedua paling erat dengan agama sesudah
ketentuan-ketentuan hukum ibadah. Lebih lanjut dalam pandangan umat Islam agama
juga merupakan kepentingan pokok dalam penataan kehidupan sosial umat dan
kenegaraan. Hal itu tercermin dalam praktik adanya penataan institusi sosial
berdasarkan ketentuan syariah seperti ekonomi syariah dan beberapa aspek lain.
Dalam lingkuingan keluarga, manusia membutuhkan sejumlah kepentingan
daruri guna melindungi dan membina tatanan keluarga yang baik dan sejahtera.
Perlindungan keturunan (ḥifẓ an-nasl) masuk ke dalam perlindungan manusia dalam
dimensi keberadaanya dalam lingkungan keluarga. Ibn ‘Āsyūr menggunakan terma
dabt niẓām al-‘ā’ilah (penataan institusi keluarga) (Ibn Asyur, 1996). Sebagaimana
dikemukakan terdahulu, agama merupakan kepentingan daruri yang perlu dilindungi
dan dikembangkan dalam kehidupan keluarga sebagai sumber nilai bagi pembinaan
institusi keluarga guna mencapai keluarga yang sakinah.
Dalam dimensi lingkungan keberadaan manusia sebagai warga masyarakat
(manusia dalam lingkungan sosial-kemasyarakatan), manusia memiliki sejumlah
maslahat (kepentingan) daruriah guna menunjang eksistensinya sebagai makhluk
sosial. Karena itu perlindungan tatanan sosial yang damai, sejahtera dan berkeadilan
sosial tidak ragu lagi merupakan makasid syariah. Oleh karena itu perlindungan
prinsip-prinsip sosial seperti keadilan, persamaan, persaudaraan, perdamaian,
ketertiban merupakan kepentingan (maslahat) daruri yang perlu diusahakan dan
dimajukan. Perlindungan harta kekayaan (ḥifẓ al-māl) sepanjang berkaitan dengan
perlindungan hak milik pribadi, masuk ke dalam perlindungan manusia sebagai
individu. Akan tetapi apabila terma itu dikembangkan dalam konsep yang lebih luas
28
sebagaimana diusulkan oleh beberapa pengkaji modern –misalnya menjadi
pengembangan kesejahteraan ekonomi masyarakt– maka itu masuk dalam
perlindungan, pemberdayaan dan pengembangan manusia dalam dimensi lingkungan
keberadaaanya sebagai warga masyarakat.
Salah satu faktor penting dalam perlindungan dan pembinaan tatanan sosial
yang sejahtera, damai dan berkeadilan adalah institusi negara. Hampir dapat dikatakan
bahwa tidak mungkin orang dapat memenuhi banyak kebutuhan hidupnya tanpa
kehadiran sebuah negara yang memang bertugas memajukan kesejahteraan umum.
Dalam sejarah Islam, di kalangan ulama zaman klasik telah diperdebatan apakah
negara itu diperlukan atau tidak. Al-A¡amm (w. 225/840) menyatakan bahwa negara
pada dasarnya tidak diperlukan selama masyarakat dapat menjalankan kehidupan
sosial dan agamanya dengan baik tanpa negara. Berbeda dengan pendapat yang
kurang populer ini, mayoritas umat berpendapat bahwa negara itu diperlukan dan oleh
karena itu wajib ditegakkan. Memang ada perdebatan apakah kewajiban itu sebagai
hanya suatu kenyataan sosiologis yang tak terelakkan belaka atau suatu kewajiban
yang diperintahkan oleh syariah. Ulama ahli-ahli hukum, semisal Abū Ya‘lā (w.
458/1066) dan al-Māwardī (w. 450/1050), menegaskan bahwa kewajiban mendirikan
negara itu adalah suatu perintah syariah (Al-Mawardi, 1989).
Dari diskusi para ulama itu tampak bahwa negara bukan tujuan pada dirinya. Ia
adalah sarana untuk mewujudkan tujuan sosial umat berupa kesejahteraan, kedamaian
dan ketertiban sosial. Dalam surat al-Hajj [Q. 22 : 41] ditegaskan, “ (yaitu) orang-
orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka
mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah
perbuatan mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” Ayat ini
menggambarkan tujuan kekuasaan negara adalah untuk membangun kehidupan
spiritual yang kondusif sebagaimana dilambangkan oleh perbuatan mendirikan salat,
membangun kesejahteraan ekonomi sebagai dilambangkan oleh perbuatan membayar
zakat, dan menciptaan kedamaian, ketertiban dan keamanan sebagaimana
dilambangkan oleh perbuatan amar makruf nahi munkar. Ini adalah tugas negara.
Dengan demikian negara lebih merupakan sarana sedangkan makasidnya adalah
terwujudnya kesejahteraan, kedamaian, ketertiban dan keamanan sosial dalam
masyrakat. Jadi ini merupakan makasid syariah dalam dimensi keberadaan manusia
dalam lingkungan sosial-kemasyarakatan.
Dalam dimensi lingkungan keberadaan manusia sebagai makhluk alam
29
(manusia dalam alam), maka makasid syariahnya adalah terwujudnya kemakmuran
bumi (‘umrān al-arḍ) sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Hud ayat 61, “Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya” [Q.
11: 61]. Agar makasid pemakmuran bumi terwujud, maka dilarang melakukan
perusakan-perusakan di muka bumi termasuk perusakan lingkungan [Q. 7: 74]. Jadi
perlindungan lingkungan termasuk satu bagian dari upaya pemakmuran bumi. Sebalik
dari itu manusia wajib melakukan tindakan-tindakan pengelolaan yang bersifat
membangun. Bumi merupakan suatu anugerah ilahi kepada manusia yang wajib
diusahakan pemakmurannya [Q. 2 : 29 dan 11: 61]. Bumi dapat menerima tindakan
manusia yang sejalan dengan kehendak ilahi yang merupakan makasid syariah.
Pembangunan dan lingkungan memiliki kaitan organik. Pembangunan yang salah arah
dapat merusak lingkungan seperti krisis lingkungan yang kini dialami dunia.
Oleh karena itu pembangunan bukanlah ekploitasi lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan tak terbatas manusia. Dalam perspektif Islam yang dapat disimpulkan dari
sejumlah nas, pembangunan harus berorientasi penghijauan alam. Dalam al-Quran
dikutip doa Nabi Ibrāhīm yang meminta negerinya dijadikan sebagai negeri aman
sentosa dan penduduknya dilimpahi dengan rezki berbagai buah-buahan (holtikultura)
[Q. 2: 126]. Dalam hadis Anas riwayat al-Bukhārī, Nabi saw menyatakan bahwa orang
yang di tangannya ada benih hendaklah menanamnya sekalipun kiamat sudah akan
terjadi (Ahmad, 2011). Hadis ini menggambarkan pentingnya penghijauan bumi
sebagai bagian dari makasid syariah ‘imārat al-arḍ. Dalam hadis lain riwayat al-
Bukhārī dari Anas dinyatakan bahwa barang siapa menanam pohon, kemudian
dimakan oleh burung, binatang atau manusia, maka itu akan menjadi sedekah baginya
sehingga ia akan mendapat pahala (Bukhari, 2004). Ini menggambarkan dorongan
pentingnya menjaga keseimbangan ekologi di antara berbagai makhluk hidup sebagai
bagian dari mengusahakan makasid syariah berupa ‘imārat al-arḍ(pemakmuran
bumi).
3. Maqasid dan Perkembangan Metode Ijtihad Muhammadiyah
Dalam Muhammadiyah dikembangkan Manhaj Tarjih yang diartikan sebagai
“suatu sistem yang memuat seperangkat wawasan (atau semangat/perspektif), sumber,
pendekatan, dan prosedur-prosedur tehnis (metode) tertentu yang menjadi pegangan
30
dalam kegiatan ketarjihan.”
Manhaj tarjih didasarkan kepada dua asumsi pokok, yaitu (1) asumsi integralistik,
dan (2) asumsi hirarkis. Asumsi integralistik mepostulasikan teori keabsahan
koroboratif tentang norma, yakni suatu asumsi yang memandang adanya koroborasi dan
saling mendukung di antara berbagai elemen sumber guna melahirkan suatu norma.
Suatu norma yang didasarkan kepada satu elemen sumber tentu sudah absah, hanya saja
keabsahan itu bersifat zanni (probabel). Namun kekuatan keabsahan tersebut akan
meningkat manakala dapat dihadirkan lebih banyak elemen sumber yang saling
menguatkan dan saling berkoroborasi untuk mendukung norma dimaksud, untuk pada
suatu tingkat dalam kasus-kasus tertentu kekuatan kebsahan itu mencapai derajat qat’i.
Keqat’ian tidak terdapat dalam dalil terpisah satu persatu, tetapi terdapat dalam
koroborasi sejumlah dalil yang satu sama lain saling menguatkan dan menunjukkan satu
pemaknaan yang sama. Sebagaimana dikatakan oleh asy-Syāṭibī, “Keseluruhan itu
memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh bagian-bagian secara terpisah-pisah (Al-
Syatibi, 1997). Keqat’ian hukum wajibnya salat atau zakat serta puasa dicapai dengan
cara integralistik ini. Cara pandang integralistik ini mengharuskan peroses
operasionalisasi sumber dapat dilakukan dengan suatu metode istiqrā’ (induktif).
Asumsi hirarkis adalah suatu anggapan bahwa norma itu berjenjang dari norma
yang paling bawah hingga norma paling atas. Apabila jenjang norma dilihat dari atas
ke bawah, maka jenjang norma itu adalah prinsip-prinsip (nilai-nilai) dasar (al-qiyam
al-asāsiyyah) baik norma teologis maupun norma etik dan yuristik. Norma dasar ini
diambil dari nilai-nilai universal Islam seperi tauhid, akhlak karimah, kemaslahatan,
keadilan, persamaan, kebebasan, persaudaraan yang bersumber kepada al-Wuran dan
as-Sunnah, atau dapat disimpulkan dari kenyataan hidup manusia di bawah sinar
sumber-sumber pokok pokok tersebut. Norma dasar ini memayungi norma di bawahnya
yang berupa asas-asas (al-uṣūl al-kuliyyah) yang diambil dari kedua sumber pokok di
atas atau di satu sisi merupakan deduksi dari prinsip (nilai) dasar atau pada sisi lain
merupakan abstraksi dari norma konkret. Asas-asas ini merupakan konkretisasi dari
nilai-nilai dasar. Lebih jauh asas-asas ini pada gilirannya memayungi norma paling
bawah, yakni norma konkret yang berupa ketentuan-ketentuan syar’i yang bersifat far’i
(al-aḥkām al-far’iyyah) yang langsung mengkualifikasi suatu peristiwa hukum syar’i.
Struktur jejang norma ini juga bisa dilihat dari bawah ke atas. Apabila dilihat
dengan cara ini, maka norma dasar terletak pada bagian paling bawah yang berfungsi
melandasi asas-asas. Asas-asas pada gilirannya melandasi norma-norma konkret yang
31
merupakan norma paling atas yang berdiri di atas jenjang dua lapis norma lainnya yang
lebih asasi.
Dengan dua asumsi metode di atas, maka respons terhadap permasalahan sosial
atau kemanusiaan tidak selalu dilakukan dengan introduksi norma-norma konkret
(dilihat dari segi hukum taklifi seperti halal, haram, wajib), tetapi jugadilakukan dengan
menggali asas-asas ajaran agama yang menjadi pedoman bertindak, bahkan juga
melihat nilai-nilai dasarnya yang menyemangati aktifitas kehidupan. Penggunaan
prosedur seperti ini dalam bertarjih telah banyak dilakukan dalam sejumlah keputusan
tarjih seperti keputusan tentang fikih tata kelola, fikih air, dan lainnya.
Maqasid syariah dalam konteks ini berada pada level nilai-nilai dasar Islam yang
merupakan maqasid, seperti tauhid, akhlak karimah, kemaslahatan, keadilan,
persamaan, persaudaraan dan nilai dasar lainnya yang dapat digali dari ajaran Islam.
Nilai-nilai dasar ini kemudian diturunkan dalam bentuk norma yang lebih konkret yang
merupakan asas-asas. Dari nilai dasar dan asas itu diturunkan lagi norma yang lebih
konkret lagi yang disebut dengan peraturan hukum konkret al-aḥkām al-far‘iyyah).
Dalam putusan Tarjih tahun 2014 di Palembang teori pertingkatan norma ini, yang di
dalamnya terdapat asusmsi maqasid syariah, diterapakan dalam putusan tentang Fikih
Air. Inti putusan itu misalnya adalah bahwa air merupakan anugerah Allah yang wajib
disyukuri melalui pengembangan sikap positif dalam pemanfaatan air yang berasas
kesetaraan, keadilan, kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan bersama dan
bertanggung jawab, serta sikap konservasi yang berkelanjutan. Dari nilai dasar dan asas
ini diturunkan sejumlah peraturan hukum konkret mengenai air.
B. Produk Ijtihad Kontemporer Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih menyatakan bahwa istilah fikih telah mengalami pergeseran makna,
dari sekedar kumpulan hukum-hukum yang bersifat furū’ (cabang) menjadi sebuah
kumpulan nilai, kaidah dan prinsip dalam beragama. Khusus di Indonesia, pengertian ini
misalnya tampak dari produk ijtihad yang dihasilkan Majelis Tarjih Muhammadiyah: ada
fikih anti-korupsi, fikih tata kelola organsisasi, fikih ulil amri, fikih air, fikih informasi,
fikih anak danlain-lain.
Pengertian fikih dalam nomenklatur tersebut bukan sekedar kumpulan tentang halal-
haram korupsi, organisasi, ulil amri, air atau anak, tapi ia lebih dari itu: mencakup nilai,
kaidah dan juga prinsip beragama dalam melihat persoalan-persoalan tersebut. Perluasan
32
makna fikih membuka jalan bagi kita untuk memberikan pemecahan bagi suatu masalah
(ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lain-lain) melalui pendekatan agama secara lebih
luwes dan fleksibel — tidak kaku dan hitam-putih. Dengan mengaplikasikan apa yang
disebut Syamsul Anwar sebagai teori pertingkatan norma itu kita dapat mengubah
paradigma fikih yang selama ini selalu dikesankan hitam-putih, menjadi lebih ‘berwarna’
dan variatif. Paradigma fikih baru itu pula yang perlu kita terapkan dan kita jadikan asas
dalam gaya berkehidupan kita hari ini dalam media sosial.
1. Fikih Air
Salah satu produk ijtihad kontemporer Majelis Tarjih Muhammadiyah yang
sangat kental nuansa maqashid syari’ahnya adalah ijtihad tentang air. Luaran
pentingnya adalah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dapat
menyusun buku Fikih Air perspektif Muhammadiyah bekerjasama dengan Majelis
Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Materi buku ini disusun bersama
oleh dua Majelis itu dan kemudian didiskusikan dan diseminarkan sehingga mendapat
banyak masukan. Setelah itu dibahas di Musyawarah Nasional Tarjih Ke-28 di
Palembang pada awal tahun 2014, setelah itu pada tahap terakhir di tandfidz (ditetapkan
dan diumumkan) oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Diawali dari penyelenggaraan Seminar Fikir Air dengan tema Air dan Masa
Depan Umat Manusia di awal 2013 merupakan langkah awal Muhammadiyah melalui
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menyusun tuntunan
Fikih mengenai air dan pemanfaatannya serta pemecahan berbagai problematika air
terutama dari sudut budaya manusia penggunaanya.
Prof. Syamsul Anwar, ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam
sambutannya pada Seminar Fikih Air bersama Majelis Tarjih Tajdid dan Majelis
Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah di Ruang AR Fakhruddin A, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, Bantul, Sabtu (30/03/2013). “Dari seminar ini diharapkan
terkumpul bahan – bahan dari para narasumber dan kontribusi pemikiran dari diskusi.
Materi itu akan diolah menjadi satu tuntunan fikih air,” jelasnya. Menurut Syamsul
Anwar, saat ini dari total air yang ada, hanya 5 persen saja yang tersedia sebagai air
minum. “Kini dunia merasakan telah terjadinya kelangkaan ketersediaan air bersih dari
waktu ke waktu. Di mana sekitar 40% dari penduduk dunia menderita kelangkaan air
bersih,” ungkapnya.
33
Lebih lanjut menurut Syamsul Anwar, air merupakan hal yang sangat vital dalm
kehidupan manusia, bahkan bagi kehidupan seluruh makhluk hidup sebagaimana
disebutkan dalam Qur’an “Dan dari air kami (Allah) jadikan segala sesuatu yang
hidup,” (QS. 21.30). Oleh karenanya sangat penting dibangun kesadaran bersama
tentang permasalahan air yang meliputi pandangan tentang air, pemanfaatannya,
konservasi, kelestariannya, pengelolaannya, dan mencukupi ketersediaan air bersih
secara adil bagi seluruh masyarakat. “Dari seminar ini kiranya diharapkan dapat digali
kaidah – kaidah dan prinsip umum (al-usul al-kuliiyah) dari khazanah fikih mengenai
pandangan tentang arti penting air dan norma – norma di sekitar budaya air menyangkut
perlakuan terhadap air, pemanfaatannya yang efisien, konservasi kelestariannya dan
berbagai aspek yang lain,”
Sejalan dengan pikiran di atas, Pokok isi dari buku Fikih air sebagai luaran
penelitian dan diskusi panjang MTT tentang air menyatakan bahwa fikih air adalah
kumpulan kaidah, nilai dan prinsip agama Islam mengenai air yang meliputi pandangan
tentang air, pengelolaanya, pemanfaatannya dan solusi mengenai berbagai problem
tentang air terutama dari sudut budaya pemakainya. Air merupakan hal yang sangat
vital dalam kehidupan manusia, bahkan bagi kehidupan seluruh makhluk hidup. Kita
dan semua makhluk hidup lainnya tidak dapat bertahan hidup tanpa air. Hal itu lantaran
air menjadi salah satu sumber kehidupan yang amat esensial. Di dalam Al-Qur’an
dikatakan “Dan dari air Kami (Allah) jadikan segala sesuatu yang hidup” (QS. 21:30).
Artinya segala makhluk hidup sangat tergantung kepada air.
Buku Fikih Air ini terdiri dari empat bab. Bab Pertama berisi Pendahuluan yang
membicarakan enam hal yaitu Krisis Air di Indonesia, Kelangkaan Air Baku, Konsumsi
Air Tidak Layak, Pencemaran Sungai, Potensi Konflik Perebutan Sumber Daya Air,
Kerusakan Hutan, dan Bencana Banjir dan Longsor. Lalu pada bab kedua membahas
mengenai Pandangan Islam tentang Air yang meliputi 5 hal yaitu Pengertian Air,
Sumber dan Siklus Air, Pengelompokan Air, Fungsi Air, dan Pola Hubungan antara
Manusia dan Air. Selanjutnya di bab ketiga pembahasan mengarah pada Pengelolaan
Air dalam Pandangan Islam dimana pada bab ini dibagi menjadi dua sub-bab yaitu pada
sub-bab pertama membahas mengenai Nilai Dasar Pengelolan Air dan pada sub-bab
kedua membahas tentang Prinsip Universal Pengelolaan Air. Kemudian di bab
keempat dibahas pula tentang Perilaku Pemeliharaan Air yang juga dibagi menjadi dua
sub-bab yaitu Pendidikan Perilaku Ramah Air pada sub-bab pertama dan Perilaku
34
Ramah Air pada sub-bab kedua. Terakhir di bab kelima berisi kesimpulan dari
keseluruhan pembahasan di buku ini.
Di akhir pembahasan, MTT menghimbahu tentang Perlu dibangun kesadaran
bersama tentang permasalahan air yang meliputi bagaimana pandangan tentang air,
pemanfaatannya, konservasi dan kelestariannya, pengelolaannya, dan mencukupi
ketersediaan air bersih secara adil bagi seluruh masyarakat. Agama Islam kita yakini
memiliki sejumlah kaidah dan prinsip menyangkut sejumlah aspek mengenai air, tetapi
selama ini masih belum terungkapkan secara sistematis. Buku ini mencoba menggali
kaidah-kaidah dan prinsip umum (al-ushuul al-kulliyyah) dari khazanah fikih
mengenai pandangan tentang arti penting dan norma-norma di sekitar budaya air
menyangkut perlakuan terhadap air, pemanfaatannya yang efisien, konservasi
kelestariannya dan berbagai aspek yang lain.
2. Fikih Informasi
Di bab ini peneliti mendeskripsikan hasil penelitian berkaitan dengan produk
ijtihad tarjih lainnya, yaitu fikih informasi. Disadari bahwa dakwah yang efektif ke
depan itu melalui berbagai media digital. Ini tantangan bagi Muhammadiyah. Maka,
organisasi yangbergerak di bidang dakwah seperyi Muhammadiyah hrus dapat
memproduksi konten-konten positif ke medsos yang bisa diakses oleh anak-anak mud.
Maka dengan adanya Fikih Informasi, Muhammadiyah memberikan panduan kepada
masyarakat agar dapat menggunakan media sosial dengan lebih baik. Perumusan Fikih
Informasi ini merupakan jawaban terhadap perlunya tuntunan hidup di era informasi,
di mana semua berubah dengan cepat karena derasnya aliran informasi.
Dalam pandangan Muhammadiyah, fikih bukan hanya sekadar menetapkan
hukum halal dan haram. Fikih memberikan landasan hukum sebagai tuntunan dalam
menghadapi kehidupan sesuai tantangan zaman. Maka sudah semestinya kita membuat
tuntunan agama di bidang informasi. Masyarakat hidup di tengah dunia maya, maka
Muhammadiyah harus hadir memberikan tuntunan. Muhammadiyah berpartisipasi
membangun masyarakat maju dan berkeadaban
Media sosial hari ini telah menjadi dunia baru bagi masyarakat untuk
berkomunikasi dan mencari informasi. Kemajuan teknologi telah membawa kita pada
fenomena baru dalam berinteraksi menggunakan media-media sosial yang dapat
menghubungkan satu orang dengan orang lain di tempat yang berbeda. Tidak jarang
sebuah informasi menyebar begitu sangat cepat dalam hitungan tak sampai menit.
Dunia baru bernama media sosial telah merobek sekat-sekat budaya dan geografis
35
dengan amat bebas. Sayangnya, kebebasan ini acap kali tidak dibarengi dengan akurasi,
ketelitian, integritas dan keadilan dalam penyampaian berita. Kita tentu sangat gerah
setiap kali membuka media sosial disuguhi fitnah-fitnah dari orang yang tidak
bertanggung jawab. Belum lagi jika ada berita hoax yang disebarkan untuk mencari
keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Semua ini memang merupakan konsekuensi dari kebebasan yang disuguhkan oleh
media sosial. Tapi tentu sebagai orang beragama dan orang Indonesia yang masih
memegang erat adat ketimuran, kebebasan semacam itu telah kebablasan dan dapat
mengancam salah satu prinsip pancasila, yaitu persatuan bangsa. Di sinilah kemudian
pendekatan agama perlu dilakukan untuk melihat dan pada gilirannya memberikan
pedoman dalam berkehidupan di dunia baru media sosial. Suara agama dalam
penyelesaian masalah masih cukup efektif, karena ia diyakini masih menjadi sumber
pengarahan tingkah laku yang harus dipedomani. Fikih media sosial dalam hal ini dapat
diterjemahkan menjadi sumber pengarahan tingkah laku masyarakat sebagai solusi
keagamaan dalam menghadapi masalah tersebut. Fikih ini nantinya berisikan nilai,
prinsip dan kaidah tentang bagaimana seharusnya kita memanfaatkan dan
menggunakan media sosial sebagai dunia baru kita. Sebagai permulaan barangkali
dapat kita awali dari bagaimana etika dan prinsip dalam menerima sekaligus
menyebarkan suatu informasi. Misalnya saja kita dapat mengambil nilai dasar tabayun
yang secara eksplisit digambarkan dalam al-Quran pada surat al-Hujurat ayat 6. Dari
nilai dasar itu dapat diturunkan asas umum dalam kehidupan komunikasi media sosial
berupa “transparansi dan klarifikasi berita.” Dari asas umum ini pada gilirannya
diturunkan menjadi peraturan kongkret tentang larangan menyebarkan suatu berita
sebelum diketahui validitas sumbernya.
Setelah nilai dasar tabayun, kita dapat menggali lebih banyak lagi nilai dasar
Islam yang dapat dijadikan acuan, seperti prinsip keadilan sebagai dasar untuk membuat
asas umum dalam menerima informasi secara berimbang, prinsip ukhuwah
(persaudaraan) sebagai dasar untuk melandasi asas umum kesopanan dan kesantunan
dalam berdiskusi, dan lain sebagainya
fikih informasi (fiqhul i’lam) ini dibangun sebagai respon atas berbagai persoalan
aktual dan krusial menyangkut hajat hidup publik khususnya umat Islam dan warga
Muhammadiyah yang seringkali terjebak dalam kompleksitas masalah dan dampak
negatif perkembangan teknologi informasi. Muhammadiyah punya tanggung jawab
atas silang sengkarut perkembangan informasi yang telah membentuk kultur virtual dan
36
digital sebagai dunia baru yang keberadaannya tak dapat dihindari dengan segala akibat
positif dan negatifnya. Bahwa aktivitas literasi atau melek informasi di berbagai ranah
sosial kemasyarakatan mutlak perlu digalakkan agar semua komponen bangsa
Indonesia khususnya umat Islam dapat memanfaatkan kemajuan teknologi informasi
dengan baik dan benar.
Berbagai permasalahan seputar praktik komunikasi dalam media sosial (medsos)
ini mengharuskan Muhammadiyah membekali umat Islam dankhususnya membekali
warga persyarikatan dengan iman milenial yang mencerdaskan sehingga dapat
membedakan mana informasi yang valid (sahih) dan yang hoax (maudhu’), selain itu
harus muncul kesadaran bahwa medsos dan tsunami informasi telah mengisi keseharian
kita dengan serbuan hiburan dan sampah. Maka carilah informasi yang dapat
meneguhkan keimanan dan membimbing kepada jalan kebenaran agar dapat mengelola
informasi lebih berkeadaban.
3. Fikih Kebencanaan
Fikih Kebencanaan merupakan hasil Musyawarah Nasional Tarjih XXIX di
Yogyakarta, 19-22 Mei 2015 lalu. Muhammadiyah, menurut Tim Perumus Fikih
Kebencanaan Majelis Tarjih, memang sangat berkepentingan untuk memiliki cara
pandang sendiri terhadap bencana ini, apalagi berkaitan dengan pokok pikiran kedua
dari Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah yang menyatakan hidup bermasyarakat itu
adalah sunnah (hukum qudrat iradah) Allah atas hidup manusia di dunia ini.
Adanya fenomena terjadinya berbagai bencana alam, Muhammadiyah sebagai
gerakan sosial kemasyarakatan telah mengambil sikap dan berperan aktif untuk
mencerahkan dan meneduhkan umat dan bangsa ditengah banyaknya bencana yang
kian akrab menyapa. Bukan hanya melalui tindakan sigap bencana yang dilakukan oleh
Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Muhammadiyah juga
mengagas panduan praktis menyikapi bencana yang sesuai dengan agama Islam
berpersepektif Muhammadiyah. Yaitu dengan melahirkan Fikih Kebencanaan yang
disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah, yang merupakan
hasil kolabiratif antara fakta realitas kebencanaan yang dalam hal ini MDMC dan
teoritis teks keagamaan diwakili oleh MTT.
Di samping itu, beberapa hal yang turut melatarbelakangi penyusunan fikih
kebencanaan yang menghasilkan luaran buku dengan judul sama ini, yang diluncurkan
37
di Jakarta, Rabu (1/7) di Auditorium Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah yang
didukung penuh Lazismu, antara lain adalah pemahaman bahwa bencana dapat
menimpa siapa saja, kapan pun dan di mana pun. Indonesia salah satunya sebagai
negara kepulauan yang rentan terhadap peristiwa bencana. Gempa bumi, banjir,
longsor, kebakaran, dan bencana kemanusiaan pernah terjadi di negeri ini.
Bencana dalam kenyataannya hadir di saat masyarakat tidak siap menghadapinya.
Dia mengatakan cara pandang masyarakat terhadap bencana juga menjadi perhatian
penting bagaimana upaya penanggulangan bencana yang secara langsung bersentuhan
dengan kearifan lokal (local wisdom) dalam melakukan tanggap darurat hingga
rehabilitasi. Selain itu, perlu diungkap yaitu bagaimana menghadapi peristiwa bencana
yang tidak dapat diprediksi sebelumnya dengan kesiapsiagaan. Persoalan tentang cara
pandang terhadap bencana ini dikupas dalam buku Fikih Kebencanaan. Sebagai
peristiwa nyata, bencana sesungguhya dapat di respons dengan siap siaga. Masyarakat
akan sadar dan tahu akan bahayanya, maka ia akan menghindari.
Tapi kenyantaannya ada pengalaman berbeda. Sebagian masyarakat merespons
bencana sebagai hukuman dan kutukan Tuhan. Atau bencana itu dapat dihindari dengan
laku spiritual khusus. Maka wajar saja, saat erupsi gunung Merapi terjadi, Mbah
Marijan tetap ada di sana sebagai juru kunci, padahal sudah diperingatkan untuk segara
menghindar. Lagi-lagi kearifan lokal berbicara lain (local wisdom), maka melihat
kenyataan ini, seharusnya dengan pendidikan bencana kearifan lokal dapat direspon
bersama masyarakat dengan pendekatan kesiapsiagaan. Buku ini dengan rinci
menjelaskan apa itu bencana dan musibah. Penjelasannya pun diuraikan dengan tema
terkait yang mudah dipahami sehingga pembaca menangkap pesan inti di dalamnya.
Bencana bertalian dengan tema-tema penting Alquran dan Hadits yang mengupas soal
kerusakan bumi, azab, siksa, musibah dan bala’. Di buku ini juga dikupas bagaimana
argumentasi fikih menjalaskan dana zakat untuk membantu korban bencana.
Dalam Fikih Kebencaan, sekurangnya terdapat 10 istilah yang mengaraha pada
makna bencana di dalam al Qur'an. Pertama, Musibah yang berasal dari kata a-sa-ba
yang artinya sesuatu yang menimpa kita. Istilah ini mengacu kepada suatu yang netral,
tidak berkonotasi pistif dan negatif (lihat; QS al Hadid (57): 22-23, an Nisa (4): 79, dan
as Syuara' (40): 30). Namun dalam pemaknaannya kedalam bahasa Indonesia, kata ini
sering dinisbatkan kepada suatu yang negatif.
38
Kedua,Bala', kata ini dalam pandangan manusia kata ini cenderung dimaknai
sebagai suatu yang burukn atau lazim dikenal sebagai musibah dengan konotasi negatif.
Padahal ketika merujuk kepada al Qur'an, kata bala' lebih bermakna kepada cobaan
untuk memperteguh iman. Dapat dilihat dalam Qur'an Surat al A'raf (7) : 168.
Ketiga, Fitnah yang dalam bahasa Indonesia maknanya sangat tidak sesuai
dengan makna asal di Bahasa Arab. Fitnah dalam al Qur'an memiliki banyak makna,
seperti kumsyrikan (2: 191, 193, 217), cobaan atau ujian (20: 40 dan 29: 3),
kebinasaan/kematian (4: 101 dan 12: 83), siksan atau azab (10: 83 dan 16: 110) dan
lainnya. Peristiwa yang dilabeli dengan kata fitnah mengacu kepada peristiwa sosial
bukan peristiwa alam.
Keempat,'Azab yang memiliki arti variatis sesuai dengan konteksnya. Namun
ketika 'azab dikaitan dengan peristiwa yang menimpa manusia, maka kata 'azab adalah
sebagai istilah untuk siksaan. Makna tersebut dalam dilihat dalam QS ad Dukhan (44):
15-16, al Sajdah (32): 21-22, Luqman (31): 6-7. Kelima, Fasad merupakan lawan dari
shalah (baik, bagus dan damai). Dengan demikian Fasad berarti suatu yang jelek, buruk
dan sengketa. Keenam, Halak secara bahasa kata ini diartikan dengan kata mati, binasa,
dan musnah. Berbeda dengan fasad, halak dalam al Qur'an sering dihubungkan dengan
perbuatan Allah bukan manusia.
Selanjutnya ketujuh adalah Tadmir, tadmir sendiri berasal dari kata dam-ma-ra
yang artinya menghancurkan. Sehingga kata tadmir bisa diartikan sebagai kehancuran.
Kedelapan, Tamziq, istilah ini searti dengan kata Tadmir. Kesembilan adalah 'Iqab,
istilah ini merujuk kepada kejadian yang akan didatangkan Allah kepada manusia yang
mengingkari Allah dan Rasulullah. dan yang kesepuluh adalah Nazilah kata ini
memiliki arti asal turun, namun kata anzala dalam beberapa kesempatan dalam al
Qur'an juga disebut untuk mengungkapkan "menurunkan siksa". Makna kedua tersebut
bisa dilihat dalam QS al Hijr (15): 90-91.
Maka penting untuk memahami istilah yang merujuk kepada pemaknaan bencana
dalam al Qur'an, sehingga memahami bencana bukan hanya sebagai hukuman yang
ditimpakan Allah kepada hambanya sebagai sebuah ganjaran atas perilaku menyimpang
yang dilakukan oleh hambanya. Melainkan memandang bencana dengan sudut pandang
yang lain, sehingga selain mendatangkan kemudhorotan, bencana juga bisa dikaji
sebagai sebuah diskursus ilmu. Dengan demikian, pendidikan agama bukan berdimensi
eskatologis. Melainkan menempatkan agama sebagai pendidikan yang juga bernilai
humanistik, sebagai upaya penguatan human dignity (martabat manusia)
39
Secara umum produk ijtihad ini berusaha meluruskan paradigma masyarakat yang
seringkali menganggap bencana merupakan konsekuensi magis dari kemaksiatan atau
kerusakan akidah penduduk lokasi bencana. Atas ini, fikih kebencanaan Majelis Tarjih
menegaskan bahwa bencana merupakan siklus alamiah dari fenomena alam. Kengerian
suatu bencana yang kerap terjadi di negeri kita, seperti Erupsi gunung berapi, gempa
bumi, sampai tsunami, telah menampakkan wujudnya di depan mata hingga
menghadirkan duka yang tak terperi. Bencana adalah sunnatullah dan selalu berpotensi.
Bencana, Allah-lah pengaturnya sehingga suatu saat terjadi.
Bencana juga menyulitkan situasi. Mulai dari awal mulanya sampai pasca-terjadi.
Dalam bencana itu, umat tentu tetap ingin beribadah pada Sang Ilahi. Oleh karena itu,
dibutuhkan penyelamatan persepsi. Baik persepsi tentang ibadah, maupun persepsi
atas bencana itu sendiri. Atas realitas bencana ini, Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP
Muhammadiyah kembali menunjukkan wujud kesadarannya atas tantangan abad kedua
Persyarikatan. Ini terlihat dari upaya Majelis Tarjih untuk terus menelurkan produk-
produk tarjih kontemporer termasuk penarjihan fikih terkait kebencanaan. Penarjihan
ini juga dilakukan untuk menjawab sejumlah permasalahan-permasalahan, baik yang
bersifat praktik ibadah, maupun perspektif atau pandangan terkait kebencanaan.
Dalam hal perspektif atas kebencanaan, misalnya, Majelis Tarjih berusaha
meluruskan paradigma masyarakat yang seringkali menganggap bencana merupakan
konsekuensi magis dari kemaksiatan atau kerusakan akidah penduduk lokasi bencana.
Atas ini, fikih kebencanaan Majelis Tarjih menegaskan bahwa bencana merupakan
siklus alamiah dari fenomena alam. Menurut Majelis Tarjih, anggapan keliru
masyarakat tersebut, justru semakin menambah penderitaan korban bencana. Dengan
cara berpikir demikian, pihak yang paling kasihan adalah korban bencana karena harus
mengandung derita ganda. Mereka sudah kehilangan segalanya, mulai dari harta, nyawa
sanak famili, bahkan kebahagiaan hidup, sekaligus juga mereka menjad i sasaran
kutukan pihak lain.
Kalau pun suatu bencana terjadi karena dosa manusia, ungkap Tim Perumus Fikih
Kebencanaan Majelis Tarjih, itu diakibatkan oleh dosa yang memang memiliki
konsekuensi logis dengan bencana tersebut, seperti banjir bandang yang terjadi akibat
perilaku membuang sampah masyarakat dan penebangan pohon, atau bencana alam lain
yang terjadi akibat eksploitasi alam yang dilakukan manusia secara berlebihan.
Lebih lanjut, Fikih Kebencanaan Majelis Tarjih menjelaskan bahwa persepsi
keliru masyarakat tersebut dapat melahirkan respons tidak rasional seperti pelaksanaan
40
ritual-ritual mistis yang justru tidak memiliki hubungan dengan bencana. Ironisnya,
karena keliru pikir ini, bencana justru melahirkan kesyirikan. Padahal, banyak kejadian
alam yang murni disebabkan perubahan tata alam, seperti gempa bumi karena
pergeseran lempeng bumi. Peristiwa bencana ini hampir tidak memiliki hubungan
sebab-akibat dengan perilaku dan sikap manusia terhadap agama. Peristiwa ini
merupakan proses alamiah yang diciptakan Allah dalam mengurus alam.
Perspektif atas pengelolaan bencana juga ditarjihkan dalam Fikih Kebencanaan.
Ini bertujuan untuk meluruskan perspektif sehingga pengelolaan bencana dapat lebih
tepat, efektif, dan komprehensif. Salah satu permasalahan pengelolaan bencana yang
dibincang adalah terkait pemahaman penyebab bencana terjadi. Tim Perumus Fikih
Kebencanaan Majelis Tarjih mengungkapkan, untuk minimalisasi potensi kejadian
bencana, sistem masyarakat dalam suatu daerah harus diperkuat. Di dalam satu
daerah, orang yang paham atas tanda-tanda bencana secara ilmiah harus ada minimal
satu orang di dalam setiap daerah.
Begitu juga dengan pengurangan risiko bencana, setidaknya harus ada anggota
komunitas yang memiliki kemauan, kepeduliaan, serta akses untuk memperdalam
sejarah terjadinya bencana di masa lalu, teknologi untuk membuat tempat tinggal yang
aman dari bencana, perencanaan darurat jika bencana benar-benar harus terjadi.
Termasuk juga kesiapan hidup dalam situasi darurat jika sebuah masyarakat harus
mengalami pengungsian. Oleh karena itu, paradigma yang menganggap ilmu
pengetahuan tidak penting sehingga masyarakat tidak dapat mengenal ancaman dari
bencana yang berupa karakter alam dan karakter sosial harus diluruskan. Setiap daerah
harus memiliki ahli pengetahuan tentang karakter alam dan sosial yang berpotensi
bencana, sehingga antisipasi dapat dilakukan. Demikian juga jika potensi bencana
sudah diketahui, tindakan masyarakat yang dilakukan oleh sebuah masyarakat harus
efektif.
Selain pelurusan perspektif, fikih kebencanaan juga mengijtihadkan hukum-
hukum (fikih) ibadah pada saat bencana. Menurut Tim Perumus Fikih Kebencanaan,
terdapat sepuluh permasalahan yang sering muncul pada situasi bencana. Kesepuluh
permasalahan tersebut telah dijelaskan hukum fikihnya berdasarkan ijtihad kolektif
Majelis Tarjih dan Tajdid. Hukum fikih ibadah dalam bencana tersebut, antara lain,
sahnya salat dalam keadaan najis dan kotor karena kotoran dan muntah manusia, air
mazi dan wadi, kotoran dan bangkai hewan, termasuk anjing dan babi, serta jika aurat
41
tidak tertutup. Selain itu, batasan waktu jamak salat pada saat bencana yaitu tidak ada
batasan waktu kecuali sampai kesukaran (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) itu hilang
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam mengaplikasikan konsep mashlahat
terhadap masalah kontemporer, Majelis Tarjir Pimpinan Pusat Muhammadiyah
berkontribusi sebagai berikut:
1. Dalam perspektif tarjih, norma hukum itu integral sebagai satu kesatuan yang saling
terhubung, juga hirarkis berjenjang dari norma yang paling bawah hingga norma paling
atas atau sebaliknya. Apabila jenjang norma dilihat dari atas ke bawah, maka jenjang
42
norma itu adalah prinsip-prinsip (nilai-nilai) dasar (al-qiyam al-asāsiyyah) baik norma
teologis maupun norma etik dan yuristik. Norma dasar ini diambil dari nilai-nilai
universal Islam seperi tauhid, akhlak karimah, kemaslahatan, keadilan, persamaan,
kebebasan, persaudaraan yang bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah, atau dapat
disimpulkan dari kenyataan hidup manusia di bawah sinar sumber-sumber pokok pokok
tersebut. Norma dasar ini memayungi norma di bawahnya yang berupa asas-asas (al-
uṣūl al-kuliyyah) yang diambil dari kedua sumber pokok di atas atau di satu sisi
merupakan deduksi dari prinsip (nilai) dasar atau pada sisi lain merupakan abstraksi dari
norma konkret. Asas-asas ini merupakan konkretisasi dari nilai-nilai dasar. Lebih jauh
asas-asas ini pada gilirannya memayungi norma paling bawah, yakni norma konkret
yang berupa ketentuan-ketentuan syar’i yang bersifat far’i (al-aḥkām al-far’iyyah) yang
langsung mengkualifikasi suatu peristiwa hukum syar’i. Oleh karena itu, fikih bukanlah
semata membahas hukum taklifi, namun juga membahas berbagai prsoalan sosial,
ekonomi, politik, dan lain-lain yang bersangkut paut dengan hukum.
2. Dalam hal ini, Majelis Tarjih telah menghasilkan cukup banyak produk ijtihad
kontemporer seperti fikih air, fikih informasi, fikih kebencanaan, fikih lalu lintas, fikih
tata kelola, fikih anti korupsi,dan lain-lain yang tiga di antaranya diulas dalam penelitian
ini.
B. Saran
Demikian hasil penelitian yang dapat peneliti laporkan. Di dalamnya masih terdapat
banyak kekurangan karena terlalu banyak perspektif dan sudut pandang yang dapat
digunakan. Oleh karena itu, diharapkan para peneliti lain dapat melengkapi dan
memperbaiki, serta menyempurnakan penelitian ini dengan mengetengahkan berbagai
sudut pandang yang berbeda terhadap masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
43
DAFTAR PUSTAKA
Anggaran Dasar Muhammadiyah, Tahun 2005, pasal 4 ayat (1) dan (2). Lihat Berita Resmi
Muhammadiyah, edisi khusus, No. 1/2005 (Rajab 1426 H / September 2005 M), h. 111.
Ar-Rāzī, al-Maḥṣūl, disunting oleh Ṭāhā Jābir Fayyāḍ al-‘Alwānī (Beirut: Mu’assasat ar
Risālah, t.t.), V: 397;
Asy-Syaukānī, Irsyād al- Fuḥūl ilā Taḥqīq al-Ḥaqq min ‘Ilm al-Uṣūl, disunting oleh Abū Ḥafṣ
Sāmī Ibn al-‘Arabī al-Aṡarī (Riyad: Dār al-Faḍīlah li an-Nasyr wa at-Tauzī‘, 1421/2000),
h. 1113; al-Barzanjī, at-Ta‘āruḍ wa at-Tarjīḥ baina al-Adillah asy-Syar‘iyyah (Beirut:
Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1417/1996), I: 79.
44
Ibn Qudāmah adalah salah seorang fakih Hanbali dan menulis kitab al-Mugnī. Mengenai
kutipan di atas lihat Ibn Qudāmah, al-Mugnī, disunting oleh ‘Abdullāh Ibn ‘Abd al-
Muḥsin at-Turkī III: 345-347.
Wahbah Az-Zuḥailī, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī (Damaskus: Dār al-Fikr li aṭ-Ṭibā‘ah wa an-Nasyr
wa at-Tauzī‘, 1406/1986), II: 1079-1081.
Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah dan Langkah (Jogjakarta: Suara
Muhammadiyah dan Majelis Pendidikan Kader Muhammadiyah, 1433/2012), h. 20.
Ibn ‘Āsyūr, Tafsīr at-Taḥrīr wa at-Tanwīr (Tunis: ad-Dār at Tūnīsiyyah li an-Nasyr, 1984),
III: 189;
Ar-Rāzī, Tafsīr al-Fakhr ar-Rāzī atau at-Tafsīr al-Kabīr (Beirut: Dār al-Fikr li aṭ-Ṭibā‘ah wa
an-Nasyr wa at-Tauzī‘, 1981/1401), XXIX: 316.
Majelis Tarjih dan Tajdidi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih
(Jogjakarta: Suara Muhammadiyah, 1430/2009), h. 278.
Syamsul Anwar, “Manhaj Ijtihad/Tajdid dalam Muhammadiyah,” dalam Mefidwel Jandra dan
M. Safar Nasir, ed., Tajdid Muhammadiyah untuk Pencerahan Peradaban (Jogjakarta:
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam bekerja sama dengan UAD Press,
1426/2005), h. 66-67.
Noer, The Modernist Movements in Indonesia, 1900-1942 (London-New York: Oxford
University Press, 1973), h. 73.
Boeah Congres 26 (Jogjakarta: Hoefdcomite Congres Moehammadijah, t.t.), h.32.
Berita Resmi Muhammadiyah, edisi khusus, No. 1/2005 (Rajab 1426 H / September 2005 M),
h. 111.
45
Keputusan Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah di Jakarta Tahun 2000,”
(Yogyakarta: Sekretariat Majelis Tarjih dan Tajdid, 2012), h. 6 (Bab II angka 1). Lihat
juga Himpunan Putusan Tarjih, cet. ke-3 (Yogyakarta: Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, t.t.), h. 278.
Al-Gazzālī, al-Mustāfā min ‘Ilm al-Uṣūl, disunting oleh Muḥammad Ibn Sulaimān al-
Asyqar (Beirut: Mu’assasat ar-Risālah, 1417/1997), I: 324.
At-Taftazānī, Syarḥ at-Talwīḥ ‘alā at-Tauḍīḥ li Matn at-Tanqīḥ fī Uṣūl al-Fiqh, disunting oleh
Zakariyā ‘Umairāt (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1416/1996), II: 89.
Al-Āmidī, al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām (Riyad: Dār aṣ-Ṣumai‘ī li an-Nasyr at-Tauzī,
1424/2003), III: 237.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif DAN R&D, h.245
46
47
48