Laporan Pendahuluan Bph
description
Transcript of Laporan Pendahuluan Bph
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERTROFI
Disusun Oleh:
OKTA SETIAWATI
07.063
AKADEMI KEPERAWATAN ’’YAKPERMAS’’ BANYUMAS
Jl.Raya Jompo Kulon,Sokaraja,Banyumas
2009
LAPORAN PENDAHULUAN
Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan Benigna Prostat Hipertrofi
A. Pengertian
BPH adalah pembesaran glandula dan jaringan seluler kelenjar prostat yang
berhubungan dengan endokrin berkenaan dengan proses penuaan,kelenjar prostat
mengitari leher kandung kemih dan uretra, sehingga hipertrofi prostat sering
menghalangi pengosongan kandung kemih (Tucker, 1998).
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan
penyebab kedua yang sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60
tahun ( brunner suddart, 2001)
Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong,
Wim de, 1998).
BPH adalah pembesaran adenomatosa pada prostate
B. Etiologi
1. Usia > 50 tahun
2. Radang
3. Tumor
Banyak teori yang menjelaskan terjadinya pembesaran kelenjar prostat, namun
sampai sekarang belum ada kesepakatan mengenai hal tersebut. Ada beberapa
teori mengemukakan mengapa kelenjar periurethral dapat mengalami hiperplasia,
yaitu :
1. Teori Sel Stem (Isaacs 1984)
Berdasarkan teori ini jaringan prostat pada orang dewasa berada pada
keseimbangan antara pertumbuhan sel dan sel mati, keadaan ini disebut
steady state. Pada jaringan prostat terdapat sel stem yang dapat
berproliferasi lebih cepat, sehingga terjadi hiperplasia kelenjar periurethral.
2. Teori MC Neal (1978)
Menurut MC. Neal, pembesaran prostat jinak dimulai dari zona transisi
yang letaknya sebelah proksimal dari spincter eksterna pada kedua sisi
veromontatum di zona periurethral.
3. Teori Di Hidro Testosteron (DHT)
Testosteron adalah hormon pria yang dihasilkan oleh sel leyding.
Testosteron sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis, sehingga timbulnya
pembesaran prostat memerlukan adanya testis yang normal. Jumlah
testosteron yang dihasilkan oleh testis kira-kira 90 % dari seluruh produksi
testosteron, sedang yang 10 % dihasilkan oleh kelenjar adrenal.
Sebagian besar testosteron dalam tubuh berada dalam keadaan terikat
dengan protein dalam bentuk Serum Binding Hormon (SBH). Sekitar 2 %
testosteron berada dalam keadaan bebas. Hormon yang bebas inilah yang
memegang peranan dalam proses terjadinya pembesaran kelenjar prostat.
Testosteron bebas dapat masuk ke dalam sel prostat dengan menembus
membran sel ke dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT –
reseptor komplek yang akan mempengaruhi Asam Ribo Nukleat (RNA)
yang dapat menyebabkan terjadinya sintetis protein sehingga dapat terjadi
proliferasi sel (MC Connel 1990).
C. Manifestasi Klinis
1. Peningkatan frekuensi berkemih
2. Nokturia (ngompol)
3. Anyang-anyangan
4. Abdomen tegang
5. Volume urin menurun
6. Aliran urin tidak lancar
7. Retensi urin
Ada 3 cara untuk mengukur besarnya hipertropi prostat, yaitu (a) rectal grading
(b) clinical grading dan (c) intra urethra grading.
1. Rectal grading
Recthal grading atau rectal toucher dilakukan dalam keadaan buli-buli
kosong. Sebab bila buli-buli penuh dapat terjadi kesalahan dalam penilaian.
Dengan rectal toucher diperkirakan dengan beberapa cm prostat menonjol
ke dalam lumen dan rectum. Menonjolnya prostat dapat ditentukan dalam
grade. Pembagian grade sebagai berikut :
0 - 1 cm……….: Grade 0
1 – 2 cm……….: Grade 1
2 - 3 cm……….: Grade 2
3 – 4 cm……….: Grade 3
Lebih 4 cm…….: Grade 4
Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostat tidak dapat diraba karena
benjolan masuk ke dalam cavum rectum. Dengan menentukan rectal
grading maka didapatkan kesan besar dan beratnya prostat dan juga penting
untuk menentukan macam tindakan operasi yang akan dilakukan. Bila kecil
(grade 1), maka terapi yang baik adalah T.U.R (Trans Urethral Resection)
Bila prostat besar sekali (grade 3-4) dapat dilakukan prostatektomy terbuka
secara trans vesical.
2. Clinical grading
Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya sisa urine.
Pengukuran ini dilakukan dengan cara, pagi hari pasien bangun tidur
disuruh kemih sampai selesai, kemudian dimasukkan catheter ke dalam
kandung kemih untuk mengukur sisa urine.
Sisa urine 0 cc……………….…… Normal
Sisa urine 0 – 50 cc…………….… Grade 1
Sisa urine 50 – 150 cc……………. Grade 2
Sisa urine >150 cc…………………Grade 3
Sama sekali tidak bisa kemih……...Grade 4
3. Intra urethra grading
Untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen
urethra. Pengukuran ini harus dapat dilihat dengan penendoskopy dan
sudah menjadi bidang dari urology yang spesifik.
Efek yang dapat terjadi akibat hypertropi prostat:
Terhadap urethra
Bila lobus medius membesar, biasanya arah ke atas mengakibatkan urethra
pars prostatika bertambah panjang, dan oleh karena fiksasi ductus
ejaculatorius maka perpanjangan akan berputar dan mengakibatkan sumbatan.
Terhadap vesica urinaria
Pada vesica urinaria akan didapatkan hypertropi otot sebagai akibat dari
proses kompensasi, dimana muscle fibro menebal ini didapatkan bagian yang
mengalami depresi (lekukan) yang disebut potensial divertikula.
Pada proses yang lebih lama akan terjadi dekompensasi dari pada otot-otot
yang hypertropi dan akibatnya terjadi atonia (tidak ada kekuatan) dari pada
otot-otot tersebut.
Kalau pembesaran terjadi pada medial lobus, ini akan membentuk suatu post
prostatika pouch, ini adalah kantong yang terdapat pada kandung kemih
dibelakang medial lobe.
Post prostatika adalah sebagai sumber dari terbentuknya residual urine (urine
yang tersisa) dan pada post prostatika pouch ini juga selalu didapati adanya
batu-batu di kandung kemih.
Terhadap ureter dan ginjal
Kalau keadaan urethra vesica valve baik, maka tekanan ke ekstra vesikel tidak
diteruskan ke atas, tetapi bila valve ini rusak maka tekanan diteruskan ke atas,
akibatnya otot-otot calyces, pelvis, ureter sendiri mengalami hipertropy dan
akan mengakibatkan hidronefrosis dan akibat lanjut uremia.
Terhadap sex organ
Mula-mula libido meningkat, teatapi akhirnya libido menurun.
Gejala Klinik
Terbagi 4 grade yaitu :
Pada grade 1 (congestic)
1) Mula-mula pasien berbulan atau beberapa tahun susah kemih dan mulai
mengedan.
2) Kalau miksi merasa puas.
3) Urine keluar menetes dan pancaran lemah.
4) Nocturia
5) Urine keluar malam hari lebih dari normal.
6) Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.
7) Pada cytoscopy kelihatan hyperemia dari orificium urethra interna. Lambat
laun terjadi varices akhirnya bisa terjadi perdarahan (blooding)
Pada grade 2 (residual)
1) Bila miksi terasa panas.
2) Dysuri nocturi bertambah berat.
3) Tidak bisa buang air kecil (kemih tidak puas).
4) Bisa terjadi infeksi karena sisa air kemih.
5) Terjadi panas tinggi dan bisa menggigil.
6) Nyeri pada daerah pinggang (menjalar ke ginjal).
Pada grade 3 (retensi urine)
1) Ischuria paradosal.
2) Incontinensia paradosal.
Pada grade 4
1) Kandung kemih penuh.
2) Penderita merasa kesakitan.
3) Air kemih menetes secara periodik yang disebut over flow incontinensia.
4) Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba ada
tumor, karena bendungan yang hebat.
5) Dengan adanya infeksi penderita bisa menggigil dan panas tinggi sekitar 40 –
410 C.
6) Selanjutnya penderita bisa koma.
D. Patofisiologi
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Adanya
obstruksi jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi,
miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi melemah, dan
rasa belum puas selesai miksi. Gejala iritasi disebabkan oleh hipersentivitas otot
detrusor, berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan
disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi
atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih,
sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh. Keadaan ini
membuat sistem scoring untuk menentukan beratnya keluhan klinik penderita
hipertropi prostat.
Apabila vesica menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urine sehingga
pada akhir miksi masih ditemukan sisa urine di dalam kandung kemih dan timbul
rasa tidak tuntas pada akhir miksi.
Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total,
sehingga penderita tidak mampu lagi miksi karena produksi urine terus terjadi
maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menahan urine, sehingga tekanan
vesika terus meningakat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi dari pada
tekanan spincter dan obstruksi, akan terjadi Inkotinensia Paradoks Retensi kronik
menyebabkan refluks vesicoureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal.
Proses kerusakan ginjal dipercepat bila ada infeksi.
Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama
kelamaan menyebabkan hernia atau haemorhoid. Karena selalu terdapat sisa
urine dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula
menyebabkan cystitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pyelonefritis.
E. Komplikasi
1. Pre op
a. Pielonefritis
b. Hidronefrosis
c. Azotemia
d. Uremia
2. Post op
a. Hiponatremia dilusi (TURP)
b. Infeksi
c. Hidrokel
d. Syok
e. Retensi urin akut
f. Ileus paralitikum
g. Peningkatan suhu tubuh
h. Nyeri saat jalan
F. Penatalaksanaan
1. Pre Operasi
a. Pemeriksaan diagnostik
1). Urinalisa
2). Cultur urin
3). Citologi urin
4). BUN (creatin)
5). Asam fosfat serum (antigen khusus prostatik)
6). SOP
7). Sitoscopy
8). Urografi ekskretory/EVP
b. Kateterisasi
c. Terapi antibiotik
d. Balance cairan
e. Pembedahan
1). Reseksi transureteral prostst (TUR/TUPP)
2). Prostotektomi suprapubis
3). Prostotektomi perineal
4). Prostotektomi retropublik
5). Insisi prostat transuretral (TUIP)
2. Post Operasi
a. Irigasi kandung kemih kontinyu
b. Irigasi kandung kemih intermitten
c. Analgetik
d. Terapi IV parentral
e. Balance cairan
f. Puasa sampai bising usus terdengar
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN BPH
PENGKAJIAN FOKUS
1. Pre Operasi
a. Sirkulasi : peningkatan tekanan darah
b. Eliminasi : Distensi VU, nokturia, disuria,hematuri, konstipasi, penurunan
aliran /kekuatan/dorongan aliran urin (menetes)
c. Nutrisi dan cairan : Anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan
d. Nyeri/kenyamanan : Nyeri supra pubis, nyeri punggung bawah
e. Keamanan (demam)
f. Seksualitas : Penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi, pembesaran dan
nyeri tekan prostat
g. Penyuluhan dan pembelajaran
Riwayat keluarga : kanker, HT, penyakit ginjal, penggunaan anti
hipertensi,antibiotik, alergi obat.
2. Post Operasi
a. Haluaran urin : karakter dan jumlahnya
b. Hemoragia : drainase merah terang dan bekuan dari kateter
c. Syok
d. Spasme kandung kemih
e. Distensi kandung kemih ; nyeri supra pubis, peningkatan TD, takikardi,
diaforesis, gelisah.
f. Dilusi hipernatremia : peningkatan TD, sakit kepala, disorientasi, edema
paru
g. Dilusi hiponatremia : kelemahan otot, ketakutan, mual, muntah
h. Hiperapnue
i. Hipotensi
j. Ekstravasasi urin dalam rongga abdomen
k. Abdomen tegang, kaku, peningkatan suhu tubuh, gagal ginjal
l. Lipatan, sumbatan mukosa saluran kemih bawah
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pre Operasi
a. Gangguan pola eliminasi urine b/d pembesaran prostat
KH : berkemih dengan jumlah yang adekuat tanpa adanya distensi
kandung kemih.
Intervensi :
1). Kaji balance cairan
2). Tentukan pola berkemih tiap hari
3). Anjurkan klien untuk berkemih setiap 2-4 jam
4). Anjurkan pasien diet dengan ketat
5). Kolaborasi pemeriksaan laboratorium
b. Resti infeksi b/d kateterisasi
KH : suhu dalam batas normal, urin jernih warna kuning, bau khas
Intervensi :
1). Kaji TTV tiap 4 jam
2). Gunakan teknik steril dalam kateterisasi
3). Pantau VU terhadap distensi
c. Nyeri b/d retensi uris akut
KH : melaporkan penurunan nyeri, ekspresi wajah dan posisi tubuh rileks
Intervensi :
1). Ajarkan teknik relaksasi
2). Berikan posisi yang nyaman
d. Kurang pengetahuan b/d kurang informasi terhadap proses penyakit
KH : menyatakan pemahaman penyakit, melakukan perubahan pola hidup
Intervensi :
1). Kaji ulang proses penyakit pengalaman pasien
2). Dorong klien untuk menyatakan perasaannya
3). Berikan informsi bahwa kondisi ini tidak ditularkan secara seksual
2. Post Operasi
a. Perubahan eliminasi urine berhubungan obstruksi mekanikal : bekuan
darah, oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi catheter/balon.
b. Resiko terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah
vaskuler : kesulitan mengontrol perdarahan.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive : alat selama
pembedahan, catheter, irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan,
insisi bedah.
d. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih : refleks
spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / tekanan dari balon
kandung kemih.
e. Resiko terjadi disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis
(inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan catheter,
keterlibatan area genital).
f. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi
informasi, tidak mengenal sumber informasi.
Perencanaan Keperawatan Post Operasi
a. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal :
bekuan darah, oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan irigasi
catheter/balon, ditandai dengan :
Nyeri pada daerah tindakan operasi.
Perubahan frekuensi berkemih.
Urgensi.
Dysuria.
Pemasangan catheter tetap.
Adanya luka tindakan operasi pada daerah prostat.
Urine berwarna kemerahan.
Tujuan : Klien mengatakan tidak ada keluhan, dengan kriteria
Catheter tetap paten pada tempatntya.
Tidak ada sumbatan aliran darah melalui catheter.
Berkemih tanpa aliran berlebihan.
Tidak terjadi retensi pada saat irigasi.
Intervensi :
1) Kaji haluaran urine dan sistem catheter/drainase, khususnya selama
irigasi kandung kemih.
Rasional :
Retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan
spasme kandung kemih.
2) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah catheter
dilepas.
Rasional :
Catheter biasanya dilepas 2 – 5 hari setelah bedah, tetapi berkemih
dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema
urethral dan kehilangan tonus.
3) Dorong klien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih
dari 2 – 4 jam.
Rasional :
Berkemih dengan dorongan dapat mencegah retensi, urine.
Keterbatasan berkemih untuk tiap 4 jam (bila ditoleransi)
meningkatkan tonus kandung kemih dan membantu latihan ulang
kandung kemih.
4) Ukur volume residu bila ada catheter supra pubic.
Rasional :
Mengawasi keefektifan kandung kemih untuk kosong. Residu lebih
dari 50 ml menunjukkan perlunya kontinuitas catheter sampai tonus
otot kandung kemih membaik.
5) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi.
Rasional :
Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine.
6) Kolaborasi medis untuk irigasi kandung kemih sesuai indikasi pada
periode pasca operasi dini.
Rasional :
Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan untuk
mempertahankan patensi catheter/aliran urine.
b. Resiko terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan area
bedah vaskuler : kesulitan mengontrol perdarahan, ditandai dengan :
Pusing.
Flatus negatif.
Bibir kering.
Puasa.
Bising usus negatif.
Urine berwarna kemerahan.
Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume cairan, dengan kriteria :
Tanda-tanda vital normal.
Nadi perifer teraba.
Pengisian kapiler baik.
Membran mukosa baik.
Haluaran urine tepat.
Intervensi :
1) Benamkan catheter, hindari manipulasi berlenihan.
Rasional :
Penarikan/gerakan catheter dapat menyebabkan perdarahan atau
pembentukan bekuan darah.
2) Awasi pemasukan dan pengeluaran cairan.
Rasional :
Indicator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian. Pada
irigasi kandung kemih, awasi perkiraan kehilangan darah dan secara
akurat mengkaji haluaran urine.
3) Evaluasi warna, komsistensi urine.
Rasional :
Untuk mengindikasikan adanya perdarahan.
4) Awasi tanda-tanda vital
Rasional :
Dehidrasi/hipovolemia memerlukan intervensi cepat untuk mencegah
berlanjut ke syok. Hipertensi, bradikardi, mual/muntah menunjukkan
sindrom TURP, memerlukan intervensi medik segera.
5) Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi (Hb/Ht,
jumlah sel darah merah)
Rasional :
Berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan, catheter,
irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan, insisi bedah, ditandai
dengan :
Nyeri daerah tindakan operasi.
Dysuria.
Luka tindakan operasi pada daerah prostat.
Pemasangan catheter tetap.
Tujuan : Menunjukkan tidak tampak tanda-tanda infeksi, dengan kriteria
Tidak tampak tanda-tanda infeksi.
Inkontinensia tidak terjadi.
Luka tindakan bedah cepat kering.
Intervensi :
1) Berikan perawatan catheter tetap secara steril.
Rasional :
Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi/cross infeksi.
2) Ambulasi kantung drainase dependen.
Rasional :
Menghindari refleks balik urine, yang dapat memasukkan bakteri ke
kandung kemih.
3) Awasi tanda-tanda vital.
Rasional :
Klien yang mengalami TUR beresiko untuk syok bedah/septic
sehubungan dengan instrumentasi.
4) Ganti balutan dengan sering, pembersihan dan pengeringan kulit
sepanjang waktu.
Rasional :
Balutan basah dapat menyebabkan iritasi, dan memberikan media
untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi.
5) Kolaborasi medis untuk pemberian golongan obat antibiotika.
Rasional :
Dapat membunuh kuman patogen penyebab infeksi.
d. Gangguan rasa nyaman ; nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa
kandung kemih : refleks spasme otot berhubungan dengan prosedur
bedah dan/tekanan dari balon kandung kemih, ditandai dengan :
Nyeri pada daerah tindakan operasi.
Luka tindakan operasi.
Ekspresi wajah meringis.
Retensi urine, sehingga kandung kemih penuh.
Intervensi :
1) Kaji tingkat nyeri.
Rasional :
Mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan klien dan memudahkan
kita dalam memberikan tindakan.
2) Pertahankan posisi catheter dan sistem drainase.
Rasional :
Mempertahankan fungsi catheter dan sistem drainase, menurunkan
resiko distensi/spasme kandung kemih.
3) Ajarkan tekhnik relaksasi.
Rasional :
Merileksasikan otot-otot sehingga suplay darah ke jaringan
terpenuhi/adekuat, sehingga nyeri berkurang.
4) Berikan rendam duduk bila diindikasikan.
Rasional :
Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema dan
meningkatkan penyembuhan.
5) Kolaborasi medis untuk pemberian anti spasmodic dan analgetika.
Rasional :
Golongan obat anti spasmodic dapat merilekskan otot polos, untuk
memberikan/menurunkan spasme dan nyeri.
Golongan obat analgetik dapat menghambat reseptor nyeri sehingga
tidak diteruskan ke otak dan nyeri tidak dirasakan.
e. Resiko terjadi disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis
(inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan catheter,
keterlibatan area genital) ditandai dengan :
Tindakan pembedahan kelenjar prostat.
Tujuan : Fungsi seksual dapat dipertahankan, kriteria :
Pasien dapat mendiskusikan perasaannya tentang seksualitas dengan
orang terdekat.
1) Intervensi :
Berikan informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksual.
Rasional :
Impotensi fisiologis : terjadi bila saraf perineal dipotong selama
prosedur bedah radikal ; pada pendekatan lain, aktifitas seksual
dapat dilakukan seperti biasa dalam 6 – 8 minggu.
2) Diskusikan dasar anatomi.
Rasional :
Saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui
kapsul. Pada prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat,
impoten dan sterilitas biasanya tidak terjadi.
3) Instruksikan latihan perineal.
Rasional :
Meningkatkan peningkatan kontrol otot kontinensia urine dan
fungsi seksual.
4) Kolaborasi ke penasehat seksualitas/seksologi sesuai indikasi.
Rasional :
Untuk memerlukan intervensi professional selanjutnya.
f. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah
interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, ditandai
dengan :
Gelisah.
Informasi kurang
Tujuan : Klien mengungkapkan anxietas teratasi, dengan kriteria
Klien tidak gelisah.
Tampak rileks
1) Intervensi :
Kaji tingkat anxietas.
Rasional :
Mengetahui tingkat anxietas yang dialami klien, sehingga
memudahkan dalam memberikan tindakan selanjutnya.
2) Observasi tanda-tanda vital.
Rasional :
Indikator dalam mengetahui peningkatan anxietas yang dialami
klien.
3) Berikan informasi yang jelas tentang prosedur tindakan yang akan
dilakukan.
Rasional :
Mengerti/memahami proses penyakit dan tindakan yang diberikan.
4) Berikan support melalui pendekatan spiritual.
Rasional :
Agar klien mempunyai semangat dan tidak putus asa dalam
menjalankan pengobatan untuk penyembuhan
Pelaksanaan Asuhan Keperawatan.
Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan, yang pelaksanaannya
berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada langkah sebelumnya
(perencanaan tindakan keperawatan).
DAFTAR PUSTAKA
Brunner And Suddart. 2002. keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 Jilid I.
Jakarta : EGC
Carpenito, Lynda Juall.1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC
Long. Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal-Bedah edisi 3. Bandung. YIAP
Keperawatan.
Silvya & Lorraine. 1985. Patofisiologi edisi 2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Syaifulloh, Noer. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI