Laporan Pendahuluan Bph

24
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERTROFI Disusun Oleh: OKTA SETIAWATI 07.063

description

keperawatan

Transcript of Laporan Pendahuluan Bph

Page 1: Laporan Pendahuluan Bph

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERTROFI

Disusun Oleh:

OKTA SETIAWATI

07.063

AKADEMI KEPERAWATAN ’’YAKPERMAS’’ BANYUMAS

Jl.Raya Jompo Kulon,Sokaraja,Banyumas

2009

Page 2: Laporan Pendahuluan Bph

LAPORAN PENDAHULUAN

Asuhan Keperawatan Pada Pasien

Dengan Benigna Prostat Hipertrofi

A. Pengertian

BPH adalah pembesaran glandula dan jaringan seluler kelenjar prostat yang

berhubungan dengan endokrin berkenaan dengan proses penuaan,kelenjar prostat

mengitari leher kandung kemih dan uretra, sehingga hipertrofi prostat sering

menghalangi pengosongan kandung kemih (Tucker, 1998).

BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan

penyebab kedua yang sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60

tahun ( brunner suddart, 2001)

Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian

mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong,

Wim de, 1998).

BPH adalah pembesaran adenomatosa pada prostate

B. Etiologi

1. Usia > 50 tahun

2. Radang

3. Tumor

Banyak teori yang menjelaskan terjadinya pembesaran kelenjar prostat, namun

sampai sekarang belum ada kesepakatan mengenai hal tersebut. Ada beberapa

teori mengemukakan mengapa kelenjar periurethral dapat mengalami hiperplasia,

yaitu :

1. Teori Sel Stem (Isaacs 1984)

Berdasarkan teori ini jaringan prostat pada orang dewasa berada pada

keseimbangan antara pertumbuhan sel dan sel mati, keadaan ini disebut

steady state. Pada jaringan prostat terdapat sel stem yang dapat

berproliferasi lebih cepat, sehingga terjadi hiperplasia kelenjar periurethral.

2. Teori MC Neal (1978)

Menurut MC. Neal, pembesaran prostat jinak dimulai dari zona transisi

yang letaknya sebelah proksimal dari spincter eksterna pada kedua sisi

veromontatum di zona periurethral.

Page 3: Laporan Pendahuluan Bph

3. Teori Di Hidro Testosteron (DHT)

Testosteron adalah hormon pria yang dihasilkan oleh sel leyding.

Testosteron sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis, sehingga timbulnya

pembesaran prostat memerlukan adanya testis yang normal. Jumlah

testosteron yang dihasilkan oleh testis kira-kira 90 % dari seluruh produksi

testosteron, sedang yang 10 % dihasilkan oleh kelenjar adrenal.

Sebagian besar testosteron dalam tubuh berada dalam keadaan terikat

dengan protein dalam bentuk Serum Binding Hormon (SBH). Sekitar 2 %

testosteron berada dalam keadaan bebas. Hormon yang bebas inilah yang

memegang peranan dalam proses terjadinya pembesaran kelenjar prostat.

Testosteron bebas dapat masuk ke dalam sel prostat dengan menembus

membran sel ke dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT –

reseptor komplek yang akan mempengaruhi Asam Ribo Nukleat (RNA)

yang dapat menyebabkan terjadinya sintetis protein sehingga dapat terjadi

proliferasi sel (MC Connel 1990).

C. Manifestasi Klinis

1. Peningkatan frekuensi berkemih

2. Nokturia (ngompol)

3. Anyang-anyangan

4. Abdomen tegang

5. Volume urin menurun

6. Aliran urin tidak lancar

7. Retensi urin

Ada 3 cara untuk mengukur besarnya hipertropi prostat, yaitu (a) rectal grading

(b) clinical grading dan (c) intra urethra grading.

1. Rectal grading

Recthal grading atau rectal toucher dilakukan dalam keadaan buli-buli

kosong. Sebab bila buli-buli penuh dapat terjadi kesalahan dalam penilaian.

Dengan rectal toucher diperkirakan dengan beberapa cm prostat menonjol

ke dalam lumen dan rectum. Menonjolnya prostat dapat ditentukan dalam

grade. Pembagian grade sebagai berikut :

0 - 1 cm……….: Grade 0

1 – 2 cm……….: Grade 1

Page 4: Laporan Pendahuluan Bph

2 - 3 cm……….: Grade 2

3 – 4 cm……….: Grade 3

Lebih 4 cm…….: Grade 4

Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostat tidak dapat diraba karena

benjolan masuk ke dalam cavum rectum. Dengan menentukan rectal

grading maka didapatkan kesan besar dan beratnya prostat dan juga penting

untuk menentukan macam tindakan operasi yang akan dilakukan. Bila kecil

(grade 1), maka terapi yang baik adalah T.U.R (Trans Urethral Resection)

Bila prostat besar sekali (grade 3-4) dapat dilakukan prostatektomy terbuka

secara trans vesical.

2. Clinical grading

Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya sisa urine.

Pengukuran ini dilakukan dengan cara, pagi hari pasien bangun tidur

disuruh kemih sampai selesai, kemudian dimasukkan catheter ke dalam

kandung kemih untuk mengukur sisa urine.

Sisa urine 0 cc……………….…… Normal

Sisa urine 0 – 50 cc…………….… Grade 1

Sisa urine 50 – 150 cc……………. Grade 2

Sisa urine >150 cc…………………Grade 3

Sama sekali tidak bisa kemih……...Grade 4

3. Intra urethra grading

Untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen

urethra. Pengukuran ini harus dapat dilihat dengan penendoskopy dan

sudah menjadi bidang dari urology yang spesifik.

Efek yang dapat terjadi akibat hypertropi prostat:

Terhadap urethra

Bila lobus medius membesar, biasanya arah ke atas mengakibatkan urethra

pars prostatika bertambah panjang, dan oleh karena fiksasi ductus

ejaculatorius maka perpanjangan akan berputar dan mengakibatkan sumbatan.

Terhadap vesica urinaria

Pada vesica urinaria akan didapatkan hypertropi otot sebagai akibat dari

proses kompensasi, dimana muscle fibro menebal ini didapatkan bagian yang

mengalami depresi (lekukan) yang disebut potensial divertikula.

Page 5: Laporan Pendahuluan Bph

Pada proses yang lebih lama akan terjadi dekompensasi dari pada otot-otot

yang hypertropi dan akibatnya terjadi atonia (tidak ada kekuatan) dari pada

otot-otot tersebut.

Kalau pembesaran terjadi pada medial lobus, ini akan membentuk suatu post

prostatika pouch, ini adalah kantong yang terdapat pada kandung kemih

dibelakang medial lobe.

Post prostatika adalah sebagai sumber dari terbentuknya residual urine (urine

yang tersisa) dan pada post prostatika pouch ini juga selalu didapati adanya

batu-batu di kandung kemih.

Terhadap ureter dan ginjal

Kalau keadaan urethra vesica valve baik, maka tekanan ke ekstra vesikel tidak

diteruskan ke atas, tetapi bila valve ini rusak maka tekanan diteruskan ke atas,

akibatnya otot-otot calyces, pelvis, ureter sendiri mengalami hipertropy dan

akan mengakibatkan hidronefrosis dan akibat lanjut uremia.

Terhadap sex organ

Mula-mula libido meningkat, teatapi akhirnya libido menurun.

Gejala Klinik

Terbagi 4 grade yaitu :

Pada grade 1 (congestic)

1) Mula-mula pasien berbulan atau beberapa tahun susah kemih dan mulai

mengedan.

2) Kalau miksi merasa puas.

3) Urine keluar menetes dan pancaran lemah.

4) Nocturia

5) Urine keluar malam hari lebih dari normal.

6) Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.

7) Pada cytoscopy kelihatan hyperemia dari orificium urethra interna. Lambat

laun terjadi varices akhirnya bisa terjadi perdarahan (blooding)

Pada grade 2 (residual)

1) Bila miksi terasa panas.

2) Dysuri nocturi bertambah berat.

3) Tidak bisa buang air kecil (kemih tidak puas).

4) Bisa terjadi infeksi karena sisa air kemih.

5) Terjadi panas tinggi dan bisa menggigil.

Page 6: Laporan Pendahuluan Bph

6) Nyeri pada daerah pinggang (menjalar ke ginjal).

Pada grade 3 (retensi urine)

1) Ischuria paradosal.

2) Incontinensia paradosal.

Pada grade 4

1) Kandung kemih penuh.

2) Penderita merasa kesakitan.

3) Air kemih menetes secara periodik yang disebut over flow incontinensia.

4) Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba ada

tumor, karena bendungan yang hebat.

5) Dengan adanya infeksi penderita bisa menggigil dan panas tinggi sekitar 40 –

410 C.

6) Selanjutnya penderita bisa koma.

D. Patofisiologi

Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Adanya

obstruksi jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi,

miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi melemah, dan

rasa belum puas selesai miksi. Gejala iritasi disebabkan oleh hipersentivitas otot

detrusor, berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan

disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup

kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.

Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi

atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih,

sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh. Keadaan ini

membuat sistem scoring untuk menentukan beratnya keluhan klinik penderita

hipertropi prostat.

Apabila vesica menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urine sehingga

pada akhir miksi masih ditemukan sisa urine di dalam kandung kemih dan timbul

rasa tidak tuntas pada akhir miksi.

Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total,

sehingga penderita tidak mampu lagi miksi karena produksi urine terus terjadi

maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menahan urine, sehingga tekanan

vesika terus meningakat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi dari pada

tekanan spincter dan obstruksi, akan terjadi Inkotinensia Paradoks Retensi kronik

Page 7: Laporan Pendahuluan Bph

menyebabkan refluks vesicoureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal.

Proses kerusakan ginjal dipercepat bila ada infeksi.

Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama

kelamaan menyebabkan hernia atau haemorhoid. Karena selalu terdapat sisa

urine dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat

menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula

menyebabkan cystitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pyelonefritis.

E. Komplikasi

1. Pre op

a. Pielonefritis

b. Hidronefrosis

c. Azotemia

d. Uremia

2. Post op

a. Hiponatremia dilusi (TURP)

b. Infeksi

c. Hidrokel

d. Syok

e. Retensi urin akut

f. Ileus paralitikum

g. Peningkatan suhu tubuh

h. Nyeri saat jalan

F. Penatalaksanaan

1. Pre Operasi

a. Pemeriksaan diagnostik

1). Urinalisa

2). Cultur urin

3). Citologi urin

4). BUN (creatin)

5). Asam fosfat serum (antigen khusus prostatik)

6). SOP

7). Sitoscopy

8). Urografi ekskretory/EVP

Page 8: Laporan Pendahuluan Bph

b. Kateterisasi

c. Terapi antibiotik

d. Balance cairan

e. Pembedahan

1). Reseksi transureteral prostst (TUR/TUPP)

2). Prostotektomi suprapubis

3). Prostotektomi perineal

4). Prostotektomi retropublik

5). Insisi prostat transuretral (TUIP)

2. Post Operasi

a. Irigasi kandung kemih kontinyu

b. Irigasi kandung kemih intermitten

c. Analgetik

d. Terapi IV parentral

e. Balance cairan

f. Puasa sampai bising usus terdengar

Page 9: Laporan Pendahuluan Bph

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN BPH

PENGKAJIAN FOKUS

1. Pre Operasi

a. Sirkulasi : peningkatan tekanan darah

b. Eliminasi : Distensi VU, nokturia, disuria,hematuri, konstipasi, penurunan

aliran /kekuatan/dorongan aliran urin (menetes)

c. Nutrisi dan cairan : Anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan

d. Nyeri/kenyamanan : Nyeri supra pubis, nyeri punggung bawah

e. Keamanan (demam)

f. Seksualitas : Penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi, pembesaran dan

nyeri tekan prostat

g. Penyuluhan dan pembelajaran

Riwayat keluarga : kanker, HT, penyakit ginjal, penggunaan anti

hipertensi,antibiotik, alergi obat.

2. Post Operasi

a. Haluaran urin : karakter dan jumlahnya

b. Hemoragia : drainase merah terang dan bekuan dari kateter

c. Syok

d. Spasme kandung kemih

e. Distensi kandung kemih ; nyeri supra pubis, peningkatan TD, takikardi,

diaforesis, gelisah.

f. Dilusi hipernatremia : peningkatan TD, sakit kepala, disorientasi, edema

paru

g. Dilusi hiponatremia : kelemahan otot, ketakutan, mual, muntah

h. Hiperapnue

i. Hipotensi

j. Ekstravasasi urin dalam rongga abdomen

k. Abdomen tegang, kaku, peningkatan suhu tubuh, gagal ginjal

l. Lipatan, sumbatan mukosa saluran kemih bawah

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Pre Operasi

a. Gangguan pola eliminasi urine b/d pembesaran prostat

Page 10: Laporan Pendahuluan Bph

KH : berkemih dengan jumlah yang adekuat tanpa adanya distensi

kandung kemih.

Intervensi :

1). Kaji balance cairan

2). Tentukan pola berkemih tiap hari

3). Anjurkan klien untuk berkemih setiap 2-4 jam

4). Anjurkan pasien diet dengan ketat

5). Kolaborasi pemeriksaan laboratorium

b. Resti infeksi b/d kateterisasi

KH : suhu dalam batas normal, urin jernih warna kuning, bau khas

Intervensi :

1). Kaji TTV tiap 4 jam

2). Gunakan teknik steril dalam kateterisasi

3). Pantau VU terhadap distensi

c. Nyeri b/d retensi uris akut

KH : melaporkan penurunan nyeri, ekspresi wajah dan posisi tubuh rileks

Intervensi :

1). Ajarkan teknik relaksasi

2). Berikan posisi yang nyaman

d. Kurang pengetahuan b/d kurang informasi terhadap proses penyakit

KH : menyatakan pemahaman penyakit, melakukan perubahan pola hidup

Intervensi :

1). Kaji ulang proses penyakit pengalaman pasien

2). Dorong klien untuk menyatakan perasaannya

3). Berikan informsi bahwa kondisi ini tidak ditularkan secara seksual

2. Post Operasi

a. Perubahan eliminasi urine berhubungan obstruksi mekanikal : bekuan

darah, oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi catheter/balon.

b. Resiko terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah

vaskuler : kesulitan mengontrol perdarahan.

c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive : alat selama

pembedahan, catheter, irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan,

insisi bedah.

Page 11: Laporan Pendahuluan Bph

d. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih : refleks

spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / tekanan dari balon

kandung kemih.

e. Resiko terjadi disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis

(inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan catheter,

keterlibatan area genital).

f. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi

informasi, tidak mengenal sumber informasi.

Perencanaan Keperawatan Post Operasi

a. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal :

bekuan darah, oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan irigasi

catheter/balon, ditandai dengan :

Nyeri pada daerah tindakan operasi.

Perubahan frekuensi berkemih.

Urgensi.

Dysuria.

Pemasangan catheter tetap.

Adanya luka tindakan operasi pada daerah prostat.

Urine berwarna kemerahan.

Tujuan : Klien mengatakan tidak ada keluhan, dengan kriteria

Catheter tetap paten pada tempatntya.

Tidak ada sumbatan aliran darah melalui catheter.

Berkemih tanpa aliran berlebihan.

Tidak terjadi retensi pada saat irigasi.

Intervensi :

1) Kaji haluaran urine dan sistem catheter/drainase, khususnya selama

irigasi kandung kemih.

Rasional :

Retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan

spasme kandung kemih.

2) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah catheter

dilepas.

Rasional :

Catheter biasanya dilepas 2 – 5 hari setelah bedah, tetapi berkemih

Page 12: Laporan Pendahuluan Bph

dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema

urethral dan kehilangan tonus.

3) Dorong klien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih

dari 2 – 4 jam.

Rasional :

Berkemih dengan dorongan dapat mencegah retensi, urine.

Keterbatasan berkemih untuk tiap 4 jam (bila ditoleransi)

meningkatkan tonus kandung kemih dan membantu latihan ulang

kandung kemih.

4) Ukur volume residu bila ada catheter supra pubic.

Rasional :

Mengawasi keefektifan kandung kemih untuk kosong. Residu lebih

dari 50 ml menunjukkan perlunya kontinuitas catheter sampai tonus

otot kandung kemih membaik.

5) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi.

Rasional :

Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine.

6) Kolaborasi medis untuk irigasi kandung kemih sesuai indikasi pada

periode pasca operasi dini.

Rasional :

Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan untuk

mempertahankan patensi catheter/aliran urine.

b. Resiko terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan area

bedah vaskuler : kesulitan mengontrol perdarahan, ditandai dengan :

Pusing.

Flatus negatif.

Bibir kering.

Puasa.

Bising usus negatif.

Urine berwarna kemerahan.

Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume cairan, dengan kriteria :

Tanda-tanda vital normal.

Nadi perifer teraba.

Pengisian kapiler baik.

Membran mukosa baik.

Page 13: Laporan Pendahuluan Bph

Haluaran urine tepat.

Intervensi :

1) Benamkan catheter, hindari manipulasi berlenihan.

Rasional :

Penarikan/gerakan catheter dapat menyebabkan perdarahan atau

pembentukan bekuan darah.

2) Awasi pemasukan dan pengeluaran cairan.

Rasional :

Indicator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian. Pada

irigasi kandung kemih, awasi perkiraan kehilangan darah dan secara

akurat mengkaji haluaran urine.

3) Evaluasi warna, komsistensi urine.

Rasional :

Untuk mengindikasikan adanya perdarahan.

4) Awasi tanda-tanda vital

Rasional :

Dehidrasi/hipovolemia memerlukan intervensi cepat untuk mencegah

berlanjut ke syok. Hipertensi, bradikardi, mual/muntah menunjukkan

sindrom TURP, memerlukan intervensi medik segera.

5) Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi (Hb/Ht,

jumlah sel darah merah)

Rasional :

Berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian.

c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan, catheter,

irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan, insisi bedah, ditandai

dengan :

Nyeri daerah tindakan operasi.

Dysuria.

Luka tindakan operasi pada daerah prostat.

Pemasangan catheter tetap.

Tujuan : Menunjukkan tidak tampak tanda-tanda infeksi, dengan kriteria

Tidak tampak tanda-tanda infeksi.

Inkontinensia tidak terjadi.

Luka tindakan bedah cepat kering.

Intervensi :

Page 14: Laporan Pendahuluan Bph

1) Berikan perawatan catheter tetap secara steril.

Rasional :

Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi/cross infeksi.

2) Ambulasi kantung drainase dependen.

Rasional :

Menghindari refleks balik urine, yang dapat memasukkan bakteri ke

kandung kemih.

3) Awasi tanda-tanda vital.

Rasional :

Klien yang mengalami TUR beresiko untuk syok bedah/septic

sehubungan dengan instrumentasi.

4) Ganti balutan dengan sering, pembersihan dan pengeringan kulit

sepanjang waktu.

Rasional :

Balutan basah dapat menyebabkan iritasi, dan memberikan media

untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi.

5) Kolaborasi medis untuk pemberian golongan obat antibiotika.

Rasional :

Dapat membunuh kuman patogen penyebab infeksi.

d. Gangguan rasa nyaman ; nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa

kandung kemih : refleks spasme otot berhubungan dengan prosedur

bedah dan/tekanan dari balon kandung kemih, ditandai dengan :

Nyeri pada daerah tindakan operasi.

Luka tindakan operasi.

Ekspresi wajah meringis.

Retensi urine, sehingga kandung kemih penuh.

Intervensi :

1) Kaji tingkat nyeri.

Rasional :

Mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan klien dan memudahkan

kita dalam memberikan tindakan.

2) Pertahankan posisi catheter dan sistem drainase.

Rasional :

Mempertahankan fungsi catheter dan sistem drainase, menurunkan

resiko distensi/spasme kandung kemih.

Page 15: Laporan Pendahuluan Bph

3) Ajarkan tekhnik relaksasi.

Rasional :

Merileksasikan otot-otot sehingga suplay darah ke jaringan

terpenuhi/adekuat, sehingga nyeri berkurang.

4) Berikan rendam duduk bila diindikasikan.

Rasional :

Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema dan

meningkatkan penyembuhan.

5) Kolaborasi medis untuk pemberian anti spasmodic dan analgetika.

Rasional :

Golongan obat anti spasmodic dapat merilekskan otot polos, untuk

memberikan/menurunkan spasme dan nyeri.

Golongan obat analgetik dapat menghambat reseptor nyeri sehingga

tidak diteruskan ke otak dan nyeri tidak dirasakan.

e. Resiko terjadi disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis

(inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan catheter,

keterlibatan area genital) ditandai dengan :

Tindakan pembedahan kelenjar prostat.

Tujuan : Fungsi seksual dapat dipertahankan, kriteria :

Pasien dapat mendiskusikan perasaannya tentang seksualitas dengan

orang terdekat.

1) Intervensi :

Berikan informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksual.

Rasional :

Impotensi fisiologis : terjadi bila saraf perineal dipotong selama

prosedur bedah radikal ; pada pendekatan lain, aktifitas seksual

dapat dilakukan seperti biasa dalam 6 – 8 minggu.

2) Diskusikan dasar anatomi.

Rasional :

Saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui

kapsul. Pada prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat,

impoten dan sterilitas biasanya tidak terjadi.

3) Instruksikan latihan perineal.

Rasional :

Page 16: Laporan Pendahuluan Bph

Meningkatkan peningkatan kontrol otot kontinensia urine dan

fungsi seksual.

4) Kolaborasi ke penasehat seksualitas/seksologi sesuai indikasi.

Rasional :

Untuk memerlukan intervensi professional selanjutnya.

f. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah

interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, ditandai

dengan :

Gelisah.

Informasi kurang

Tujuan : Klien mengungkapkan anxietas teratasi, dengan kriteria

Klien tidak gelisah.

Tampak rileks

1) Intervensi :

Kaji tingkat anxietas.

Rasional :

Mengetahui tingkat anxietas yang dialami klien, sehingga

memudahkan dalam memberikan tindakan selanjutnya.

2) Observasi tanda-tanda vital.

Rasional :

Indikator dalam mengetahui peningkatan anxietas yang dialami

klien.

3) Berikan informasi yang jelas tentang prosedur tindakan yang akan

dilakukan.

Rasional :

Mengerti/memahami proses penyakit dan tindakan yang diberikan.

4) Berikan support melalui pendekatan spiritual.

Rasional :

Agar klien mempunyai semangat dan tidak putus asa dalam

menjalankan pengobatan untuk penyembuhan

Pelaksanaan Asuhan Keperawatan.

Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan, yang pelaksanaannya

berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada langkah sebelumnya

(perencanaan tindakan keperawatan).

Page 17: Laporan Pendahuluan Bph

DAFTAR PUSTAKA

Brunner And Suddart. 2002. keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 Jilid I.

Jakarta : EGC

Carpenito, Lynda Juall.1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC

Long. Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal-Bedah edisi 3. Bandung. YIAP

Keperawatan.

Silvya & Lorraine. 1985. Patofisiologi edisi 2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Syaifulloh, Noer. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : Balai Penerbit

FKUI