Laporan Kunlap CKD

55
Kata Pengantar Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Kunjungan Lapangan pada bangsal Interna di Rumah Sakit Umum Provinsi Mataram (RSUP Mataram) ini tepat pada waktunya. Laporan ini kami susun setelah melakukan kunjungan lapangan ke Rumah Sakit Umum Provinsi NTB tepatnya pada bangsal Interna pada tanggal 21 September 2013. Laporan ini berisi mengenai hal-hal yang kami dapat saat melakukan kunjungan lapangan ke bangsal tersebut dimana pada saat itu kami dibimbing oleh dr. M. Ghalvan Sahidu dan dr. Ni Made Reditya Noviyani, serta kakak-kakak koas yang berada di stase interna. Saat kunjungan lapangan kami dipandu ketika mengunjungi pasien dan diberikan penjelasan mengenai kondisi pasien. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada dr. M. Ghalvan Sahidu dan dr. Ni Made Reditya Noviyani, serta kakak-kakak koas yang berada di stase interna atas bimbingannya. Kami menyadari bahwa laporan ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun yang harus kami lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di 1

description

Chronic kidney disease, penjelasan terstruktur tentang CKD

Transcript of Laporan Kunlap CKD

Page 1: Laporan Kunlap CKD

Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas berkah dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Kunjungan Lapangan

pada bangsal Interna di Rumah Sakit Umum Provinsi Mataram (RSUP Mataram) ini tepat

pada waktunya.

Laporan ini kami susun setelah melakukan kunjungan lapangan ke Rumah Sakit

Umum Provinsi NTB tepatnya pada bangsal Interna pada tanggal 21 September 2013.

Laporan ini berisi mengenai hal-hal yang kami dapat saat melakukan kunjungan lapangan ke

bangsal tersebut dimana pada saat itu kami dibimbing oleh dr. M. Ghalvan Sahidu dan dr. Ni

Made Reditya Noviyani, serta kakak-kakak koas yang berada di stase interna. Saat kunjungan

lapangan kami dipandu ketika mengunjungi pasien dan diberikan penjelasan mengenai

kondisi pasien. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada dr. M. Ghalvan

Sahidu dan dr. Ni Made Reditya Noviyani, serta kakak-kakak koas yang berada di stase

interna atas bimbingannya.

Kami menyadari bahwa laporan ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami

sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun yang harus kami

lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari. Kami

berharap laporan ini dapat berguna bagi para pembaca.

Mataram, 23 September 2013

Penyusun

1

Page 2: Laporan Kunlap CKD

Daftar Isi

Kata Pengantar…………………………………………………………………..…...……......1

Daftar Isi………………………………………………………………………..…...................2

BAB I (Pendahuluan)

A. Pendahuluan ............................................................................................................3

B. Tujuan ......................................................................................................................3

C. Waktu dan Tempat...................................................................................................3

BAB II (Landasan Teori)

Landasan Teori………………………………………………………...……...............4

BAB III (Hasil dan pembahasan)

A. Hasil…...........………………………………………......……..............................20

B. Pembahasan…………………………………………......……..............................23

BAB IV (Penutup)

A. Kesimpulan…………..…………………………………………..…...…..……..34

Daftar Pustaka...................................................................................................................36

2

Page 3: Laporan Kunlap CKD

BAB I

PENDAHULUAN

A.PendahuluanSebagai mahasiswa fakultas kedokteran, selain mempelajari mengenai teori

suatu penyakit, diperlukan pula pengenalan dan pemahaman lebih mengenai kasus-

kasus yang berhubungan dengan sistem urogenital. Oleh karena itu, pada Sabtu 21

September yang lalu kelompok kunjungan lapangan B1 diberi kesempatan untuk

menganalisis suatu kasus yakni CKD (Chronic Kidney Disease / penyakit ginjal

kronik).

Penyakit ginjal kronik adalah gangguan ginjal berupa gangguan struktural

yang dapat diketahui dengan pemeriksaan pencitraan ataupun kelainan laboratorik

berupa peningkatan ekskresi albumin urin (mikroalbuminuria/proteinuria), atau

adanya eritrosit dalam jumlah yang abnormal di urin (hematuria). Keadaan ini

merupakan suatu keadaan patologis dengan penyebab yang beragam dan

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan kemudian berakhir pada

gagal ginjal tahap akhir. Penyakit ginjal tahap akhir adalah suatu keadaan klinis yang

ditandai dengan penurunan fungsi ginjal kronik ireversibel yang sudah mencapai

tahapan dimana penderita memerlukan terapi pengganti ginjal , berupa dialisis atau

transplantasi ginjal.

Dalam menegakan diagnosis ini, sebelumnya terdapat beberapa diagnosis

banding yang diangkat yakni setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

menganalisa hasil dari pemeriksaan penunjang.

B.Tujuan Mengamati pasien dengan kelainan sistem urogenitalia

Menganalisis kasus yang berhubungan dengan sistem urogenitalia dengan data

yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.

C.Waktu dan TempatWaktu : Sabtu, 21 September 2013

Tempat : Bangsal Penyakit Dalam RSUP NTB

3

Page 4: Laporan Kunlap CKD

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada kunjungan lapangan yang penulis lakukan pada tanggal 21 September 2013 di

bangsal Interna RSUP NTB, penulis mengamati satu kasus kelainan urogenital. Dalam

laporan ini, penulis akan membahas mengenai satu kasus tersebut yaitu gagal ginjal baik yang

akut maupun kronis.

GAGAL GINJAL AKUT

Gagal ginjal akut (GGA) merupakan penurunan fungsi ginjal secara mendadak

sehingga ginjal tidak mampu menjalani fungsinya untuk mengekskresikan hasil metabolisme

tubuh (kelebihan nitrogen dan air) dan mempertahankan keseimbangan asam dan basa

(Mueller,2005). GGA adalah penurunan tiba-tiba faal ginjal pada individu dengan ginjal

sehat sebelumnya, dengan atau tanpa oliguria. GGA dapat berakibat azotemia progesif

disertai kenaikkan ureum dan kreatinin darah.

Penurunan fungsi ginjal yang terjadi dalam waktu singkat menyebabkan penderita

GGA hanya mengalami sedikit gejala. Diagnosis yang dapat diterima meliputi terjadinya

peningkatan 50% dari batas atas nilai normal serum kreatinin, atau sekitar 0,5 mg/dl atau

terjadi penurunan sebesar 50% dari normal laju filtrasi glomerulus (Needham. 2005). Anuria

didefinisikan bila volume urin kurang dari 50ml per hari. Oliguria terjadi jika volume urin

dalam satu hari sekitar 50-450ml, sedangkan kondisi non oliguria terjadi jika volume urin

lebih dari 450ml per hari.

Jika GGA bersifat sedang, efek fisiologis utamanya adalah retensi darah dan cairan

ekstraseluler dari cairan tubuh, produk buangan dari metabolisme dan elektrolit. Hal ini dapat

menyebabkan penumpukkan air dan garam yang berlebihan yang kemudian dapat

mengakibatkan edema dan hipertensi. Namun retensi kalium yang berlebihan sering

menyebabkan ancaman yang lebih serius terhadap pasien gagal ginjal akut karena

peningkatan konsentrasi kalium plasma (hiperkalemia) kira-kira lebih dari 8 mEq/liter (hanya

2 kali normal) dapat menjadi fatal, karena ginjal juga tidak dapat mengekskresikan cukup ion

hidrogen. Pasien dengan GGA mengalami asidosis metabolik yang dapat menyebabkan

kematian atau dapat memperburuk hiperkalemia itu sendiri.

4

Page 5: Laporan Kunlap CKD

Epidemiologi

Gagal ginjal akut merupakan sindrom klinis yang sangat lazim terjadi pada sekitar 5%

pasien rawat inap dan sebanyak 30% pasien yang dirawat di unit perawatan intensif. Sebagian

besar pasien GGA biasanya memiliki fungsi ginjal yang sebelumnya normal, dan keadaan ini

umumnya dapat pulih kembali. Selain kenyataan ini, mortalitas akibat GGA sangat tinggi

sekitar 50%, bahkan dengan ketersediaan pengobatan dialisis, mungkin menunjukkan

penyakit kritis yang menyertainya.

Menurut Dr. Suhardjono kasus gagal ginjal di dunia meningkat lebih dari 50%,

sedangkan di Indonesia sudah mencapai 20%. Mortalitas penderita GGA masih cukup tinggi,

40–50% pada GGA oliguri dan 15–20 % pada gagal ginjal akut non-oliguri. Insiden GGA di

populasi umum kurang dari 1 %, 5–7 % pada penderita yang dirawat di rumah sakit dan 20–

25 % dari penderita di ruang perawatan intensif.

Etiologi

Penyebab gagal ginjal akut secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pre-

renal (gagal ginjal sirkulatorik), renal (gagal ginjal intrinsik), dan post-renal (uropati

obstruksi akut).

Penyebab gagal ginjal pre-renal adalah hipoperfusi ginjal, ini disebabkan oleh :

hipovolemia, penyebab hipovolemi ini bisa dari perdarahan, luka bakar, diare, asupan

yang memburuk, pemakaian diuretic yang berlebihan,

penurunan curah jantung pada gagal jantung kongestif, infark miokardium,

tamponade jantung, emboli paru,

vasodilatasi perifer terjadi pada syok septic, anafilaksis dan cedera remuk,

antihipertensi,

peningkatan resistensi pembuluh darah ginjal, terjadi pada proses pembedahan,

penggunaan anastesia, penghambat prostaglandin, sindrom hepato-renal, obstruksi

pembuluh darah ginjal, disebabkan karena adanya stenosis arteri ginjal, embolisme,

trombosis, vaskulitis.

Penyebab gagal ginjal renal (gagal ginjal intrinsik) dibagi antara lain :

kelainan pembuluh darah ginjal, ini terjadi pada hipertensi maligna, emboli kolesterol,

vaskulitis, purpura, trombositopenia trombotik, sindrom uremia hemolitik, krisis,

ginjal pada scleroderma, toksemia kehamilan,

5

Page 6: Laporan Kunlap CKD

penyakit glomerolus, terjadi pada pascainfeksi akut, glomerulonefritis, proliferatif

difus dan progresif, lupus eritematosus sistemik, endokarditis infektif, sindrom

Goodpasture, vaskulitis,

nekrosis tubulus akut yang terjadi pada iskemia, zat nefrotksik (aminoglikosida,

sefalosporin, siklosporin, amfoterisin B, aziklovir, pentamidin, obat kemoterapi, zat

warna kontras radiografik, logam berat, hidrokarbon, anaestetik) rabdomiolisis

dengan mioglobulinuria, hemolisis dengan hemoglobulinuria, hiperkalsemia, protein

mieloma, nefropati rantai ringan,

penyakit interstisial pada nefritis interstisial alergi (antibiotika, diuretic, allopurinol,

rifampin, fenitoin, simetidin, NSAID), infeksi (stafilokokus, bakteri gram negatif,

leptospirosis, bruselosis, virus, jamur, basil tahan asam), penyakit infiltratif

(leukemia, limfoma, sarkoidosis).

Penyebab gagal ginjal post-renal dibagi menjadi dua yaitu terjadinya :

sumbatan ureter yang terjadi pada, fibrosis atau tumor retroperitoneal, striktura

bilateral pascaoperasi atau radiasi, batu ureter bilateral, nekrosis papiler lateral, bola

jamur bilateral,

sumbatan uretra, hipertrofi prostate benigna, kanker prostat, striktura ureter, kanker

kandung kemih, kanker serviks, kandung kemih “neurogenik”.

Patofisiologi

a) Perubahan filtrasi glomerulus

Filtrasi glomerulus bergantung pada penjumlahan gaya-gaya

yang mendorong filtrasi plasma menembus glomerulus dan gaya-

gaya yang mendorong reabsorpsi filtrat kembali ke dalam

glomerulus. Gaya-gaya yang mendorong filtrasi adalah tekanan

kapiler dan tekanan osmotik koloid cairan interstisium.

Tekanan kapiler bergantung pada tekanan arteri rerata.

Peningkatan tekanan arteri rerata meningkatkan tekanan kapiler

sehingga cenderung terjadi peningkatan filtrasi glomerulus.

Penurunan tekanan arteri rerata menurunkan tekanan tekanan

kapiler dan cenderung mengurangi filtrasi glomerulus. Tekanan

osmotik koloid cairan intertisium rendah karena hanya sedikit

protein plasma atau sel darah merah dapat menembus glomerulus.

6

Page 7: Laporan Kunlap CKD

Pada cedera glomerulus atau kapiler peritubulus, tekanan osmotik

koloid cairan intertisium dapat meningkat. Apabila meningkat, maka

cairan akan tertarik keluar glomerulus dan kapiler peritubulus

sehingga terjadi pembengkakan dan edema di ruang Bowman dan

intertisium yang mengelilingi tubulus. Pembengkakan tersebut

dapat mengganggu filtrasi glomerulus dan reabsorpsi tubulus lebih

lanjut dengan meningkatkan tekanan cairan interstisium.

b) Obstruksi tubulus

Peningkatan tekanan cairan interstisium sering disebabkan

oleh obstruksi tubulus. Obstruksi menyebabkan penimbunan cairan

di nefron yang mengalir kembali ke kapsula dan ruang Bowman.

Obstruksi tubulus yang tidak diatasi dapat menyebabkan kolapsnya

nefron dan kapiler sehingga terjadi kerusakan ginjal yang ireversibel

terutama di papila yang merupakan tempat akhir pemekatan urin.

Penyebab obstruksi antara lain adalah batu ginjal dan

pembentukkan jaringan parut akibat infeksi ginjal.

c) Iskemia korteks ginjal

Iskemia terjadi karena kerusakan tubulus sel endotel dan

adanya sumbatan intrarenal sehingga laju filtrasi glomerulus

menurun. Iskemia umumnya merupakan kejadian awal yang dapat

merusak tubulus atau glomerulus sehingga dapat menurunkan

aliran darah. Nekrosis tubular akut mengakibatkan deskuamasi sel

tubulus nekrotik dan bahan protein lainnya, yang kemudian

membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen tubulus.

Pembengkakan seluler akibat iskemia awal, juga ikut menyokong

terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia.

Tanda dan gejala

Tanda-tanda dan gejala klinis GGA sering tersamar dan tidak

spesifik walaupun hasil pemeriksaan biokimiawi serum selalu

menunjukkan ketidaknormalan. Gambaran klinis dapat meliputi:

Perubahan volume urin (oliguria, poliuria)

Kelainan neurologis (lemah, letih. gangguan mental)

7

Page 8: Laporan Kunlap CKD

Gangguan pada kulit (gatal-gatal, pigmentasi, pallor)

Tanda pada kardiopulmoner (sesak, pericarditis) dan gejala pada

saluran cerna (mual, nafsu makan menurun, muntah).

Oliguria (penurunan pengeluaran urin), terutama apabila kegagalan

disebabkan oleh iskemia atau obstruksi. Oliguria dapat terjadi karena

penurunan laju filtrasi glomerulus. Azotemia (peningkatan senyawa-

senyawa bernitrogen dalam darah), hiperkalemia (peningkatan kalium

dalam darah) dan asidosis. Perubahan elektrolit dan pH yang dapat

menyebabkan ensefalopati uremik.

Pemeriksaan klinis dan Diagnosis

Uji fungsi ginjal hanya menggambarkan penyakit ginjal secara garis

besar saja, dan lebih dari setengah bagian ginjal harus mengalami

kerusakan sebelum terlihat nyata adanya gangguan pada ginjal. Ada

beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi

ginjal.

a. Anamnesis

Riwayat penyakit amat penting untuk mendapatkan faktor

penyebab atau yang memperberat gagal ginjal. Pada GGA perlu

diperhatikan betul banyaknya asupan cairan, kehilangan cairan

melalui urin, muntah, diare, keringat yang berlebihan dan lain-lain

serta pencatatan berat badan pasien.

b. Pemeriksaan fisis

Ada tiga hal penting yang harus didapatkan pada

pemeriksaan fisis pasien dengan GGA : Penentuan status volume

sirkulasi, apakah ada tanda-tanda obstruksi saluran kemih, yang

terakhir adakah tanda-tanda penyakit sisitemik yang mungkin

menyebabkan GGA.

c. Analisis urin

Meliputi berat jenis urin, glukosa pada urin, protein pada urin,

sedimen eritrosis, silinder leukosit, eosinofil dalam urin, kristal urat

dan kristal oksalat (Suhardjono et al., 2001). Osmolalitas (berat jenis

8

Page 9: Laporan Kunlap CKD

spesifik) urin dapat diukur dan harus berada di antara 1.015 dan

1.025. Dehidrasi menyebabkan peningkatan osmolalitas urin karena

banyak air yang direabsorpsi kembali masuk ke kapiler peritubulus.

Hidrasi berlebihan menyebabkan penurunan osmolalitas urin.

d. Penentuan indikator urin

Pemeriksaan beberapa indikator urin seperti albumin, natrium,

ureum dan kreatinin dapat dipakai untuk mengetahui proses yang

terjadi dalam ginjal. Pemeriksaan laju filtrasi glomerulus dapat

menggunakan konsentrasi kreatinin serum dan Blood Urea Nitrogen

(BUN).

Blood Urea Nitrogen (BUN)

Urea adalah produk akhir metabolisme protein yang

mengandung nitrogen. Pada penurunan fungsi ginjal, kadar urea

darah meningkat. BUN dapat dipengaruhi keadaan-keadaan yang

tidak berkaitan dengan ginjal, misalnya peningkatan atau

penurunan asupan protein dalam makanan atau setiap peningkatan

penguraian protein yang tidak lazim seperti cedera otot. Maka BUN

merupakan suatu indikator yang kurang tepat. Urea merupakan

produk nitrogen terbesar yang dikeluarkan melalui ginjal. Nilai

normal konsentrasi ureum plasma ≤ 80 mg/dl. Konsentrasi urea

plasma kurang tepat bila digunakan untuk menentukan laju filtrasi

glomerulus karena kosentrasi urea dipengaruhi oleh diet dan

reabsorbsi tubulus.

Kreatinin Serum

Kreatinin serum merupakan produk sampingan dari metabolisme

otot rangka normal. Laju produksinya bersifat tetap dan sebanding

dengan jumlah massa otot tubuh. Kreatinin diekskresi terutama oleh

filtrasi glomeruler dengan sejumlah kecil yang diekskresi atau

reabsorpsi oleh tubulus. Bila massa otot tetap, maka adanya

perubahan pada kreatinin mencerminkan perubahan pada

klirensnya melalui filtrasi, sehingga dapat dijadikan indikator fungsi

ginjal. Kreatinin serum meningkat pada gagal ginjal. Namun ada

beberapa yang mempengaruhi kadar kretinin serum antara lain :

9

Page 10: Laporan Kunlap CKD

diet, saat pengukuran, usia penderita, jenis kelamin, berat badan,

latihan fisik, keadaan pasien, dan obat.

e. Pemeriksaan penunjang untuk melihat anatomi ginjal. Pada gagal

ginjal pemeriksaan ultrasonography menjadi pilihan utama untuk

memperlihatkan anatomi ginjal.

f. Pemeriksaan biopsi ginjal dan serologi

Indikasi yang memerlukan biopsi adalah apabila penyebab

GGA tak jelas atau berlangsung lama, atau terdapat tanda

glomerulonefrosis atau nefritis intertisial. Pemeriksaan ini perlu

ditunjang oleh pemeriksaan serologi imunologi ginjal Biopsi ginjal

merupakan salah satu teknik diagnostik terpenting yang telah

berkembang selama beberapa abad terakhir dan telah

menghasilkan kemajuan yang sangatpesat dalam pengetahuan

riwayat penyakit ginjal. Tindakan ini berbahaya, terutama pada

pasien yang tidak bersedia bekerja sama atau yang menderita

gangguan proses pembekuan atau hanya memiliki sebuah ginjal.

Komplikasi yang paling sering ditemui adalah pendarahan intrarenal

dan perirenal.

Penatalaksanaan GGA

Ada tiga sasaran dalam penatalaksanaan GGA, yaitu mencegah

perluasan kerusakan ginjal, mengatasi perluasan kerusakan ginjal, dan

mempercepat pemulihan ginjal. Terapi non farmakologi yang dapat

diberikan pada pasien GGA yaitu terapi suportif berupa pengelolaan

cairan. Curah jantung dan tekanan darah harus dijaga agar tetap

memberikan perfusi jaringan yang adekuat. Cairan harus dihindarkan

pada keadaan anuria dan oliguria sampai pasien mengalami hipervolemia

(edema paru). Apabila pemberian cairan tidak dibatasi, edema seringkali

terjadi terutama pada pasien dengan hipoalbumenia. Sebaliknya

vasopresor seperti dopamin dengan dosis >2μg/kg/menit atau

norefrineprin digunakan untuk memelihara perfusi jaringan, tetapi juga

bisa menginduksi hipoksia ginjal melalui pengurangan aliran darah ginjal.

10

Page 11: Laporan Kunlap CKD

Hiperkalemia dan hiperfosfatemia merupakan gangguan elektrolit yang

umum pada pasien GGA.

Pemberian terapi obat pada pasien GGA kadang masih

kontroversial. Diuretik digunakan pada pasien overload cairan dan non

oliguria. Obat yang paling efektif menyebabkan diuresis pada GGA adalah

manitol dan diuretik kuat. Manitol hanya bisa diberikan melalui jalur

parenteral. Dosis awal biasanya 2,5-25 gram lewat infus intravena selama

3-5 menit. Klirens non renal manitol sangat kecil sehingga bila diberikan

pada pasien anuria atau oliguria bisa menimbulkan keadaan

hiperosmolar. Manitol juga bisa menyebabkan GGA sehingga penggunaan

pada GGA harus dimonitor dengan hati-hati dengan melihat output urin,

osmolalitas serum, dan elektrolit.

Furosemid, bumetamid, torsemid dan asam etakrinat merupakan

jenis diuretik kuat yang digunakan pada pasien GGA. Furosemid

merupakan diuretik kuat yang paling sering digunakan karena harganya

murah, aman dan juga bisa digunakan secara oral atau parenteral. Asam

etakrinat digunakan pada pasien yang alergi terhadap komponen sulfa.

Torsemid dam bumetamid memiliki bioavailabilitas oral yang lebih baik

dibandingkan furosemid.

Penatalaksanaan GGA antara lain sebagai berikut :

a. Individu yang mengalami syok (penurunan tekanan darah) cepat

diterapi dengan penggantian cairan untuk memulihkan tekanan

darah

b. Memperbaiki keseimbangan elektrolit

c. Tindakan pencegahan fase oligurik untuk menghasilkan prognosis

yang baik, antara lain :

- Ekspansi volume plasma secara agresif

- Pemberian diuretik untuk meningkatkan pembentukan urin.

- Vasodilator, terutama dopamin, yang bekerja secara spesifik

sebagai vasodilator ginjal untuk meningkatkan aliran darah

ginjal.

11

Page 12: Laporan Kunlap CKD

d. Pembatasan asupan protein dan kalium. Selain itu, asupan

karbohidrat tinggi akan mencegah metabolisme protein dan

mengurangi pembentukan zat-zat sisa bernitrogen.

e. Terapi antibiotik untuk mencegah atau mengobati infeksi karena

tingginya angka sepsis pada GGA dengan obat non nefrotoksik

f. Memperbaiki keseimbangan asam basa dengan Na-HCO3 po/iv.

g. Dialisis selama stadium oliguria GGA, untuk memberi waktu pada

ginjal untuk memulihkan diri. Dialisis juga mencegah penimbunan

zat-zat bernitrogen, dapat menstabilkan elektrolit, dan mengurangi

beban cairan.

Indikasi yang mutlak untuk dialisis adalah terdapatnya sindroma

uremia dan terdapatnya kegawatan yang mengancam jiwa yaitu

hipervolemia (edema paru), hiperkalemia, atau asidosis berat yang

resisten terhadap pengobatan konservatif. Dialisis ginjal mengacu kepada

proses penyesuaian kadar elektrolit dan dalam darah. Hal ini dilaksanakan

dengan dengan melewatkan darah melalui suatu medium artifisial yang

mengandung air dan elektrolit dengan konsentrasi yang telah ditentukan

sebelumnya. Medium artifisial adalah cairan dialisis.

a. Hemodialisis adalah dialisis yang dilakukan di luar tubuh. Pada

hemodialisis, darah dikeluarkan dari tubuh, melalui sebuah kateter,

masuk ke dalam sebuah alat besar. Hemodialisis tampaknya ikut

berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah

rusak dalam proses tersebut. Infeksi juga merupakan faktor resiko.

b. Dialisis peritoneum adalah berlangsung di dalam tubuh. Membran

peritoneum digunakan sebagai sawar permeabel alami. Masalah-

masalah yang terjadi pada dialisis peritoneum adalah infeksi dari

kateter atau malfungsi kateter.

c. Hemofiltrasi adalah bentuk terapi primer luar tubuh yang terus

menerus yang digunakan untuk pengobatan GGA dan cara ini

berdasarkan pada prinsip konveksi; darah dapat melalui jalan arteri

dan kembali ke vena. (CAVH) atau melalui jalan vena dan kembali

ke vena yang lain (CVVH).

12

Page 13: Laporan Kunlap CKD

d. Hemodiafiltrasi , juga terutama digunakan untuk mengobati GGA.

Cara ini berdasarkan pada prinsip konveksi dan difusi.

GAGAL GINJAL KRONIS

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama

lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda

kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal,

diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi

glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel 2.1

berikut:

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium

ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih

tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah.

Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium.

Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih

normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang

ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi

ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal,

dan stadium 5 adalah gagal ginjal.

13

Page 14: Laporan Kunlap CKD

Etiologi

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian

Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi

terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus

(23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%).

a. Glomerulonefritis

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit

ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum

memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus.

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis

dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila

penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan

glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat

penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus

sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis. Gambaran klinik

glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara

kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau

keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti

ginjal seperti dialisis.

b. Diabetes melitus

14

Page 15: Laporan Kunlap CKD

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator,

karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan

menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat

bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan

sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti

minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering

ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat

berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang

tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya.

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan

tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat

antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya,

hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial

atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau

idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi

renal.

d. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi

cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista.

Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di

kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena

kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan

atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang

paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai

adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney

disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia

di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus,

bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat

dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.

Faktor risiko

15

Page 16: Laporan Kunlap CKD

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes

melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50

tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi,

dan penyakit ginjal dalam keluarga.

Patofisiologi

Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus

meskipun penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini

menunjukkan adanya mekanisme adaptasi sekunder yang sangat

berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada penyakit ginjal

kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut adalah

adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik

yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi

nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan

menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang

lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu

siklus yang berakhir dengan gagal ginjal terminal

Gambaran klinik

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia

sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti:

kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan

neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular

a. Kelainan hemopoeisis: Anemia normokrom normositer dan

normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal

ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum

darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml

per menit.

b. Kelainan saluran cerna: Mual dan muntah sering merupakan

keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama

pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum

jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora

16

Page 17: Laporan Kunlap CKD

usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan

iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-

keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah

pembatasan diet protein dan antibiotika.

c. Kelainan mata: Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai

pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus

cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal

ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf

mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.

Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun

anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.

Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva

menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan

hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa

pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme

sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit: Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya

masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan

hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang

setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan

bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit

muka dan dinamakan urea frost

e. Kelainan selaput serosa: Kelainan selaput serosa seperti pleuritis

dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama

pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah

satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.

f. Kelainan neuropsikiatri: Beberapa kelainan mental ringan seperti

emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada

pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi,

dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai

pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering

dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan

tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).

17

Page 18: Laporan Kunlap CKD

g. Kelainan kardiovaskular: Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK)

pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti

anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering

dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium

terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran

berikut:

Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible

factors)

Menentukan strategi terapi rasional

Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan

pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis,

pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin

dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua

keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin

azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor

yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik

(keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium)

mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan

tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

b. Pemeriksaan laboratorium

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan

menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi

dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor

pemburuk faal ginjal.

18

Page 19: Laporan Kunlap CKD

Pemeriksaan faal ginjal (LFG): Pemeriksaan ureum, kreatinin

serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji

saring untuk faal ginjal (LFG).

Etiologi gagal ginjal kronik (GGK): Analisis urin rutin, mikrobiologi

urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.

Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit :

Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit,

endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama

faktor pemburuk faal ginjal (LFG).

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan

tujuannya, yaitu:

Diagnosis etiologi GGK: Beberapa pemeriksaan penunjang

diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG),

nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan

Micturating Cysto Urography (MCU).

Diagnosis pemburuk faal ginjal: Pemeriksaan radiologi dan

radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).

Penatalaksanaan

a. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah

memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-

keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki

metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan

dan elektrolit.

Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah

atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat

merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

Kebutuhan jumlah kalori

19

Page 20: Laporan Kunlap CKD

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat

dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif

nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat

supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual

tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal

disease).

b. Terapi simtomatik

Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum

kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis

metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium

bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau

serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

Anemia

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah

satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian

transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan

kematian mendadak.

Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang

sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan

keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal

yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.

Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat

dan obat-obatan simtomatik.

Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan

kulit.

20

Page 21: Laporan Kunlap CKD

Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi

hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi

subtotal paratiroidektomi.

Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular

yang diderita.

c. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik

stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut

dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi

ginjal

Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah

gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak

boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan

memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis,

yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk

dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati

azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak

responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten,

dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10

mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m²,

mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.

Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal

Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia.

Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur

lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit

21

Page 22: Laporan Kunlap CKD

sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan

mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan

pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal

ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien

nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi

non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi

untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari

pusat ginjal.

Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan

faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:

- Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih

seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya

mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah

- Kualitas hidup normal kembali

- Masa hidup (survival rate) lebih lama

- Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama

berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah

reaksi penolakan

- Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.

22

Page 23: Laporan Kunlap CKD

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

I. Identitas Pasien

a. Nama : Ibu Saimah

b. Jenis Kelamin : Perempuan

c. Usia : 29 tahun

d. Status : Menikah

e. Alamat : Kekeri, Gunung Sari

f. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

g. Tanggal Masuk : 11/09/2013

II. Anamnesis

a. Keluhan utama : Sesak napas dan nyeri pinggang belakang

b. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien merupakan rujukan dari PKM Penimbung. Pasien mengeluh sesak napas

terus-menerus ± 2 hari sebelumnya. Sesak napas yang dirasakan menjalar hingga

ke punggung disertai dengan adanya nyeri pinggang. Pasien mengeluhkan batuk

berdahak disertai darah dari sebelum masuk RS. Riwayat muntah darah disangkal

dan pasien tampak pucat dan kuning. Pasien mengeluhkan adanya bengkak di

perut sebelah kanan dan bengkak pada kaki. Berdasarkan pemeriksaan tanda vital

di UGD didapatkan hasil yaitu :

KU : sedang

Kesadaran : Composmentis

TD : 200/100 mmHg

Nadi : 92x/menit

RR : 30x/menit

T : 36,7C

Riwayat gatal pada kulit (-)

mual (+)

muntah (+)

23

Page 24: Laporan Kunlap CKD

lemas (+)

nafsu makan menurun

BAK (+) lancar frekuensi tidak diketahui, warna urine putih, Riwayat nyeri saat

kencing disangkal.

Riwayat minum alcohol (-), jamu-jamuan (-), kopi (-)

c. Riwayat penyakit dahulu :

Keluhan sesak napas dan nyeri pinggang pernah dirasakan sebulan yang lalu, dan

pasien juga pernah dirawat di rumah sakit dengan keluhan yang sama.

Riwayat Hipertensi (+), DM (-), Asma (-), batuk lama (+), keganasan (-), sakit

kuning (-)

Riwayat alergi makanan (-), alergi obat (-)

d. Riwayat keluarga :

Riwayat keluarga dengan keluhan serupa (-)

Riwayat Hipertensi (-), DM (-), Asma (-), batuk lama (-)

e. Riwayat sosial : Pasien merupakan ibu rumah tangga

III. Pemeriksaan fisik

a. Pemeriksaan fisik umum : (21/9/2013)

KU : sedang

Kesadaran : Composmentis

TD : 170/120 mmHg

RR : 108x/menit

N : 30x/menit

T : 36,5C

b. Pemeriksaan fisik khusus :

Kepala + Leher : Normochephali, anemia +/+, ikterus +/+, pembesaran KGB

(-),

Thorax

Cor : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : VCS +/+, rhonki +/+, wheezing -/-

Abdomen

Inpeksi : distensi (+), scar (-), massa (-)

Auskultasi : Bising Usus (-)

24

Page 25: Laporan Kunlap CKD

Perkusi : Hepatomegali (+) batas atas di costa V

Palpasi : Nyeri tekan di perut (+)

Ektremitas : akral hangat (+), edema tungkai (+)

IV. Assessment

Pemeriksaan Darah

Parameter 11/09/2013 14/09/2013 18/09/2013

Hb 7,7 g/dL 6,7 g/dL 6,1 g/dL

Hct 24,7 % 19,7 % 18 %

MCV 89,3 fL 82,8 fL 85,9 fL

MCH 27,8 pg 28,2 pg 27,7 pg

MCHC 31,2 g/dL 34 g/dL 32,3 g/dL

RBC 2,77 x 106 /uL 2,38 x 106 /uL 2,2 x 106 /uL

WBC 15,8 x 103 /uL 13,07 x 103 /uL 14,05 x 103 /uL

PLT 291 x 103 /uL 230 x 103 /uL 23 3x 103 /uL

Kreatinin 10,2 mg/dL 9,2 mg% 14,8 mg%

Ureum 213 mg/dL 154 mg% 137 mg%

GDS 153 mg/dL

Na serum 129 mmol/L

K serum 3,8 mmol/L

Ca serum 97 mmol/L

Foto rotgen thorax (15/8/2013)

Dari hasil foto rotgen thorax terdahulu didapatkan hasil :

o Cardiomegali dengan CTR 60%

o Bronchiolitis

o Efusi pleuran kanan minimal

B. PEMBAHASAN

25

Page 26: Laporan Kunlap CKD

Planning Diagnostik : Pemeriksaan Penunjang untuk diagnosis pasti

1. Pemeriksaan Fungsi Ginjal

Pemeriksaan fungsi ginjal bertujuan untuk mengetahui fungsi dan progresi penyakit

pada ginjal. Pada penilaian fungsi ginjal diperiksa laju filtrasi glomerulus dan

kemampuan ekskresi pasien.

a. Fungsi Filtrasi Glomerulus dan Konsep Klirens ginjal

Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) merupakan pengukuran terhadap banyaknya

filtrate yang dapat dihasilkan oleh glomerulus. Pengukuran LFG merupakan

pemeriksaan yang paling baik dalam menilai fungsi ekskresi. Untuk setiap

nefron, filtrasi dipengaruhi oleh aliran plasma, perbedaan tekanan, luas

permukaan kapiler dan permeabilitas kapiler. Jadi, LFG merupakan jumlah

dari hasil semua nefron. Namun, LFG dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni

usia, kelamin, dan luas permukaan badan. Nilai LFG pada usia 80 tahun

adalah kurang lebih 50% dari LFG dewasa muda. LFG pada kehamilan

meningkat 50% pada trimester pertama dan kembali normal setelah

melahirkan.

b. Pemeriksaan Laju Filtrasi Glomerulus, Kreatinin Plasma, dan Bersihan

Kreatinin

Manfaat klinis dari pemeriksaan LFG adalah:

Deteksi dini kerusakan ginjal

Pemantuan progesifitas penyakit

Pemantauan kecukupan terapi ginjal pengganti

Membantu mengoptimalkan terapi dengan obat tertentu

Penetapan LFG menggunakan petanda eksogen (inulin, iotalamat, iosotalamat,

atau marker endogen β2 mikroglobulin, α1 mikroglobulin, retinol). Zat

eksogen untuk tes ini harus memiliki syarat:

Bebas difiltrasi di glomerulus

Tidak diabsorpsi oleh tubulus

Tidak disekresi oleh tubulus

Mempunyai kadar stabil dalam darah tanpa ekskresi di luar ginjal,

mudah, akurat dalam pengukuran, dan tidak toksik

26

Page 27: Laporan Kunlap CKD

Zat yang terutama berasal dari metabolism organ ini hanya mengalami proses

filtrasi glomerulus, sedangkan sekresi tubulus sangat minimal sehingga dapat

diabaikan. Oleh karena itu kreatinin sangat beguna untuk menilai fungsi

glomerulus. Kenaikan plasma kreatinin 1-2 mg/dL dari normal menandakan

penurunan LFG kurang lebih 50%.

Namun terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi plasma kreatinin;

Meningkat: diet tinggi kreatinin (daging atau suplemen kaya kreatinin)

dan menurunnya sekresi kreatinin akibat kompetisi dengan asam keton

atau obat (simetidin, sulfa)

Menurun: asupan kreatinin atau berkurangnya massa otot karena kurus,

tua, atau diet rendah protein

c. Pemeriksaan Konsentrasi Ureum Plasma

Ureum merupakan produk nitrogen terbesar yang dikeluarkan melalui ginjal

yang berasal dari diet dan protein endogen yang telah difiltrasi glomerulus dan

sebagian di reabsorbsi olehtubulus. Nilai normal konsentrasi ureum plasma

20-40 mg%. Ureum akan lebih banyak lagi di reabsorbsi pada keadaan

dehidrasi. Pada pasien gagal ginjal, kadar ureum lebih memberikan gambaran

gejala-gejala yang terjadi dibandingkan kreatinin.

d. Metode Sistatin C serum

Beberapa laporan menunjukkan bahwa sistatin C dalam serum merupakan

petanda LFG yang akurat, lebih baik daripada kreatinin. Sistatin C diproduksi

oleh seluruh sel berinti secara konstan dan tidak dipengaruhi inflamasi,

keganasan, perubahan masa tubuh, nutrisi, demam atau jenis kelamin.

2. Pemeriksaan Radiologi Ginjal

a. Ultrasonografi (USG)

USG dibagi menjadi dua, yakni: klasik dan kontras USG.

Resolusi USG berkisar 1-2 cm dapat dipergunakan untuk memeriksa korteks,

medulla, piramid ginjal dan pelebaran sistem kolekting ureter. Ukuran ginjal

berbeda 1,5 cm antara kedua ginjal menandakan adanya kelainan pada ginjal

tersebut. Bila panjang < 9cm, ginjal dianggap mengecil.

Indikasi pemeriksaan USG ginjal:

i. Mengukur ginjal (panjang dan lebar)

ii. Skrining hidronefrosis

27

Page 28: Laporan Kunlap CKD

iii. Memastikan massa di ginjal

iv. Abses atau hematoma

v. Skrining kista ginjal

vi. Melihat lokasi ginjal untuk tindakan invasive

vii. Mengukur volume/sisa urine kandung kemih

viii. Menilai thrombosis vena renalis

ix. Menilai aliran darah ginjal

USG klasik (tanpa kontras) realtif murah, tak tergantung fungsi ginjal, dan

sangat mudah dilakukan dan dapat menentukan lokasi, bentuk dan ukuran.

Masa kistik atau solid, obstruksi atau regresi hidronefrosis dapat diketahui.

b. Foto Polos Abdomen

Pemeriksaan foto polos ginjal, ureter dan kandung kemih merupakan

pemeriksaan yang sangat penting. Pasien diletakkan pada posisi telentang

dengan sinar x terarah ke tubuh pasien terutama ginjal dan kandung kemih.

Pada pemeriksaan bentuk ginjal dapat diketahui ukuran ginjal. Ukuran ginjal

bervariasi tergantung tinggi badan, berat badan dan jenis kelamin pasien. Pada

keadaan terjadi pembesaran ginjal dapat ditandai dengan pergeseran lemak

perinefrik.

Perhatikan juga gambaran kandung kemih. Ukuran panjang kandung

kemih di atas simfisis pubis sangat berkaitan erat dengan volume kandung

kemih. Oleh karena itu pemeriksaan ini dilakukan setelah pasien miksi untuk

mengosongkan kandung kemih. Selain itu, dari foto polos abdomen dapat

dinilai gambaran kalsifikasi. Kemungkinan kalsifikasi diperhatikan pada

daerah ginjal, ureter dan kandung kemih.

c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

MRI sangat jarang menjadi pemeriksaan pertama untuk evaluasi ginjal, namun

MRI dapat menjadi pemeriksaan pelengkap. Untuk menilai staging lesi pada

renal, penggunaan MRI lebih akurat. Selain itu MRI dapat mendeteksi

thrombus tumor pada pembuluh darah besar.

3. Biopsi Ginjal

28

Page 29: Laporan Kunlap CKD

Biopsi ginjal dapat memberikan gambaran dasar klasifikasi dan pengertian penyakit

ginjal primer maupun sekunder. Tindakan ini cukup aman bila dilakukan secara tepat

apalagi memakai panduan agar lebih terarah (mis: dengan USG dan CT).

Manfaat biopsy ginjal yakni;

Menegakkan diagnosis baik kelainan primer atau sistemik

Menentukan prognosis

Menentukan opsi pengobatan

Mengetahui patofisiologi penyakit ginjal

Walaupun biopsi ginjal sangat bermanfaat, namun biopsi ginjal memiliki beberapa

kontraindikasi, yakni;

Gangguan koagulasi dan trombositopenia

Disfungsi trombosit (dapat diatasi dengan dialysis atau demopresin yang akan

merangsang koagulasi thrombosis

Hipertensi

Pielonefritis

Persiapan untuk biopsi:

USG Ginjal: keduanya normal, tanpa sikatrik dan tanpa tanda obstruksi

Tekanan diastolic < 95mmHg

Kultur urine: steril

Status hematologi:

o Aspirin/NSAID dihentikan 5 hari sebelum biopsi

o Hitung trombosit > 100.000

o Waktu perdarahan: < 10 mnt

o PT <1,2 x kontrol

o APPT <1,2 x kontrol

29

Page 30: Laporan Kunlap CKD

Tatalaksana & Follow-up

A. Terapi Konservatif

Manajemen yang dilakukan untuk CKD merupakan terapi konservatif, hingga pasien

tersebut tidak dapat lagi melanjutkan aktivitas mereka. Yang termasuk terapi konservatif

antara lain:

1. Pengobatan penyakit dasar

Pengobatan terhadap penyakit dasar yang masih dapat dikoreksi mutlak harus

dilakukan. Termasuk disini adalah pengendalian tekanan darah, regulasi gula darah

pada pasien DM, koreksi jika ada obstruksi saluran kencing, serta pengobatan infeksi

saluran kemih (ISK).

2. Pengendalian keseimbangan air dan garam

Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urine, yaitu produksi urine 24 jam

ditambah 500 ml. Asupan garam tergantung evaluasi elektrolit, umumnya dibatasi 40-

120 mEq (920-2760 mg). diet normal mengandung rata-rata 150 mEq. Furosemide

dosis tinggi masih dapat dipakai pada awal PGK, akan tetapi pada fase lanjut tidak

lagi bermanfaat dan pada obstruksi merupakan kontra indikasi. Penimbangan berat

badan, pemantauan produksi urine, serta pencatatan keseimbangan cairan akan

membantu pengelolaan keseimbangan cairan dan garam.

3. Diet rendah protein dan tinggi kalori

Asupan protein dibatasi 0.6-0,8 g/kgBB/hari. Rata-rata kebutuhan protein sehari pada

penderita CKD adalah 20-40 gram. Kebutuhan kalori minimal 35 kkal/kgBB/hari.

Diet rendah protein tinggi kalori akan memperbaiki keluhan mual, menurunkan BUN,

dan akan memperbaiki gejala. Selain itu diet rendah protein akan menghambat

progresivitas penurunan faal ginjal.

4. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa

Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada PGK adalah hyperkalemia dan

asidosis. Hyperkalemia dapat tetap asimtomatis walaupun telah mengancam jiwa.

Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hyperkalemia membahayakan

jiwa. Pencegahan meliputi diet rendah kalium (hindari buah seperti pisang, jeruk, dan

tomat serta sayuran berlebih) dan menghindari pemakaian diuretika K-sparring.

Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air-hunger, dan drowsiness. Pengobatan

intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada keadaan asidosis berat, sedangkan

jika tidak gawat dapat diberikan secara per-oral.

30

Page 31: Laporan Kunlap CKD

5. Pengendalian tekanan darah

Berbeda dengan pengendalian hipertensi pada umumnya, Pada PGK masalah

pembatasan cairan mutlak dilakukan. Target tekanan darah 125/75 diperlukan untuk

menghambat laju progresivitas penurunan faal ginjal. Penghambat ACE dan ARB

diharapkan akan menghambat progresivitas PGK. Pemantauan faal ginjal secara serial

perlu dilakukan pada awal pengobatan hipertensi jika digunakan penghambat ACE

dan ARB. Apabila dicurigai adanya stenosis arteria renal, penghambat ACE

merupakan kontra indikasi.

6. Pencegahan dan pengobatan osteodistrofi renal

Termasuk dari tindakan ini adalah:

- Pengendalian hiperfosfatemia

Kadar P sserum harus diperhatikan kurang dari 6 mg/dl. Dengan cara diet rendah

fosfor saja kadang tidak cukup, sehingga perlu diberikan obat pengikat fosfat.

Aluminium hidroksida 300-1800 mg diberikan bersama makan. Cara ini sekarang

ditinggalkan karena efek samping terjadinya intoksikasi aluminium dan

konstipasi. Sebagai pilihan lain dapat diberikan kalsium karbonat 500-3000 mg

bersama makan dengan keuntungan menambah asupan kalsium dan mengoreksi

hipokalsemia. Makanan yang mengandung tinggi fosfor harus dihindari, misalnya

susu, keju, yoghurt, es krim, ikan, dan kacang-kacangan. Pengendalian

hiperfosfatemia juga dapat menghambat progresivitas penurunan faal ginjal.

- Suplemen vitamin D3 aktif

1,25 dihidroksi vitamin D3 (kalsitriol) hanya diberikan jika kadar P normal.

Batasan pemberian jika Ca x P < 65. Dosis yang diberikan adalah 0,25

mikrogram/hari.

- Paratiroidektomi

Dilakukan jika proses ODR terus berlanjut.

7. Pengobatan gejala uremi spesifik

Termasuk disini adalah pengobatan simtomatis dari pruritus, keluhan gastrointestinal,

dan penanganan anemia. Diet rendah protein, pengendalian P serta pemberian

difenhidramin dapat memperbaiki keluhan pruritus. Diet rendah protein juga

memperbaiki keluhan anoreksia dan mual-mual. Anemia yang terjadi pada PGK

terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. Selain itu juga bias disebabkan oleh

defisiensi Fe, asam folat, atau vitamin B12. Pemberian eritropoietin rekombinan pada

penderita PGK yang menjalani HD akan memperbaiki kualitas hidup, dapat pula

31

Page 32: Laporan Kunlap CKD

diberikan pada penderita PGK pra-HD. Sebelum pemberian eritropoietin dan

suplemen Fe diperlukan evaluasi kadar SI, TIBC, dan Ferritin.

8. Deteksi dini dan pengobatan infeksi

Penderita PGK merupakan penderita dengan respon imun yang rendah, sehingga

kemungkinan infeksi harus selalu dipertimbangkan. Gejala febris terkadang tidak

muncul karena keadaan respon imun yang rendah ini.

9. Penyesuaian pemberian obat

Beberapa obat memerlukan penyesuaian dosis karena ekskresi metabolitnya melalui

ginjal. Penggunaan obat nefrotoksik misalnya aminoglikosida, co-trimoxazole,

amphotericin sebaiknya dihindari dan hanya diberikan pada keadaan khusus. OAINS

juga menurunkan fungsi ginjal. Tetrasiklin meningkatkan katabolisme protein.

Nitrofurantoin juga harus dihindari dan penggunaan diuretic hemat kalium harus pula

berhati-hati karena menyebabkan hyperkalemia.

B. Terapi Non-Konservatif

Terapi ini dilakukan pada pasien yang tidak dapat lagi melakukan aktivitasnya

sebagaimana mestinya. Terapi ini antara lain:

1. Deteksi dan pengobatan komplikasi

Dengan makin lanjutnya PGK, kemungkinan timbul komplikasi makin besar.

Beberapa komplikasi merupakan indikasi untuk segera dimulainya hemodialysis

(HD) meskipun penderita belum sampai pada tahap PGK stadium 5. Komplikasi

yang merupakan indikasi untuk tindakan HD antara lain:

a. Ensefalopati uremik

b. Pericarditis atau pleuritis

c. Neuropati perifer progresif

d. ODR progresif

e. Hyperkalemia yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan

medikamentosa

f. Sindroma overload

g. Infeksi yang mengancam jiwa

h. Keadaan sosial

2. Persiapan dialysis dan transplantasi

32

Page 33: Laporan Kunlap CKD

Penderita PGK dan keluarganya sudah harus diberitahu sejak awal bahwa pada

suatu saat penderita akan memerlukan HD atau transplantasi ginjal. Pembuatan

akses vaskuler sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens kreatinin dibawah 15

ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vaskuler jika klirens kreatinin telah

dibawah 20 ml/menit. Perlu membatasi punksi pembuluh darah daerah ekstremitas

yang akan dipakai untuk akses vaskuler. Disamping persiapan dari segi medic

perlu pula persiapan non medic.

C. Terapi Berdasarkan Stadium

Menurut stadiumnya, terapi yang dapat diberikan untuk pasien dengan gagal ginjal

kronis (CKD) yaitu:

1. Memperlambat perkembangan penyakit

Tindakan-tindakan ini dimaksudkan untuk menstabilkan atau memperlambat

pengurangan fungsi ginjal. Tindakan-tindakan yang dilakukan antara lain:

a. Restriksi protein

Restriksi protein ditujukan untuk mengurangi gejala-gejala uremia dan

memperlambat laju penurunan fungsi ginjal pada stadium awal dari gagal ginjal.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa restriksi protein merupakan salah

33

Page 34: Laporan Kunlap CKD

satu tindakan efektif dalam memperlambat progresivitas CKD, khususnya

penyakit ginjal diabetic dan proteinuric. KDOQI menyarankan intake protein per

hari sebanyak 0,60-0,75 g/kg/hari, dan dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan

seperti penyakit-penyakit komorbid, ada/tidaknya proteinuria, dan status nutrisi

pasien. Jika pasien telah mencapai stadium 5 CKD, intake protein spontan akan

berkurang, dan pasien dapat memasuki fase malnutrisi protein-energi. Pada

keadaan ini, intake protein harian sebanyak 0,90 g/kg/hari dapat

direkomendasikan, khususnya protein dengan nilai biologis yang tinggi.

b. Mengurangi hipertensi glomerular dan proteinuria

Peningkatan tekanan filtrasi intraglomerular dan hipertrofi dari glomerular

terjadi sebagai respon dari berkurangnya jumlah nefron akibat beberapa penyakit

ginjal. Kejadian ini merupakan suatu proses maladaptive, yang akan

memperburuk fungsi ginjal. Control terhadap hipertensi sistemik maupun

glomerular sama pentingnya dengan restriksi protein pada CKD. Oleh karena itu,

dengan tujuan untuk mengurangi resiko penyakit jantung dan pembuluh darah,

pemberian terapi anti-hipertensi pada pasien dengan CKD juga ditujukan untuk

memperlambat progresivitas kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi

intraglomerular. Peningkatan tekanan darah meningkatkan proteinuria melalui

transmisi ke glomerulus.

ACE-I dan ARB menginhibisi vasokonstriksi yang disebabkan oleh efek

angiotensin pada arteriol eferen dari mikrosirkulasi glomerular. Inhibisi ini akan

menyebabkan pengurangan dari tekanan filtrasi intraglomerular serta proteinuria.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obat ini dapat mengurangi

progresivitas gagal ginjal secara efektif pada pasien dengan penyakit ginjal

diabetic maupun nondiabetik. Hal ini berkaitan erat dengan efek pengurangan

proteinuria yang dimilikinya.

2. Memperlambat perkembangan penyakit ginjal diabetic

Nefropati diabetic merupakan salah satu penyebab tertinggi dari CKD yang

membutuhkan terapi penggantian ginjal, terutama pada negara berkembang. Oleh

karena itu, penting bagi kita untuk merumuskan suatu strategi untuk mencegah atau

memperlamat progresivitas nefropati diabetic pada pasien-pasien ini.

a. Kontrol glukosa darah

34

Page 35: Laporan Kunlap CKD

Control glikemi yang baik dapat mengurangi resiko penyakit ginjal dan

progresivitas dari diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Direkomendasikan bahwa nilai

plasma untuk glukosa preprandial (sebelum makan) dijaga pada 5,0-7,2 mmol./L

(90-130 mg/dL) dan hemoglobin A1C sebanyak <7%.

b. Control tekanan darah dan proteinuria

Hipertensi banyak ditemukan pada pasien-pasien diabetes tipe 2. Penemuan ini

berkorelasi dengan adanya albuminuria dan merupakan suatu penentu kuat dari

penyakit kardiovaskular dan nefropati. Mikroalbuminuria menunjukkan penurunan

GFR dan komplikasi ginjal dan kardiovaskular. Terapi menggunakan anti-hipertensif

dapat mengurangi albuminuria dan memperlambat progresivitas pada pasien-pasien

diabetic normotensive.

3. Mengatasi komplikasi-komplikasi lain dari CKD

a. Penyesuaian dosis obat

Untuk penggunaan obat-obat yang diekskresi sebanyak 70% dengan jalur

nonrenal, seperti eliminasi hepatic, penyesuaian dosis tidak diperlukan. Beberapa

obat yang harus dihindari antara lain metformin, meperidine, dan hipoglikemik

yang dieliminasi oleh ginjal. Obat-obatan NSAID juga perlu dihindari karena

beresiko dapat memperburuk fungsi ginjal. Beberapa antibiotic, antihiperteni, dan

antiaritmia memerlukan penyesuaian dosis atau perubahan pada interval dosisnya.

b. Persiapan untuk terapi penggantian ginjal

Restriksi protein dapat mengurangi gejala-gejala uremia, seperti mual,

muntah, anoreksia, pruritus, dll. Namun, restriksi protein dapat beresiko malnutrisi

protein-energi, oleh karena itu manajemen jangka panjang perlu diperhatikan.

Dialysis dan terapi penggantian ginjal telah terbukti memperpanjang hidup

dari ratusan bahkan ribuan pasien dengan CKD di seluruh dunia. Indikasi untuk

persiapan terapi penggantian renal yaitu pericarditis, ensefalopati, kram otot,

anorkesia, bukti terjadi malnutrisi, serta abnormalitas cairan dan elektrolit.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan dialysis sebelum

onset dari gejala yang berat dan tanda-tanda uremia dapat memperpanjang umur

pasien.

c. Edukasi pasien

35

Page 36: Laporan Kunlap CKD

Persiapan social, psikologis, dan fisik serta pilihan pasien untuk transisi terapi

penggantian ginjal paling baik dilakukan dengan pendekatan perlahan. Sangat

penting bagi klinisi untuk mempersiapkan pasien dengan program edukasi intensif

yang akan menjelaskan mengenai kemungkinan dan timing dari inisiasi terapi

penggantian ginjal dan terapi-terapi lain yang tersedia. Semakin bertambahnya

pengetahuan pasien mengenai hemodialysis, peritoneal dialysis, dan transplantasi

ginjal, maka akan semakin mudah serta cocok pula keputusan mereka.

36

Page 37: Laporan Kunlap CKD

KESIMPULANDari anamnesis, diketahui pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang bagian

belakang dan sesak. Dari pemeriksaan fisik, tampak edema pada tungkai bawah pasien. Jika

pasien datang dengan keluhan tersebut maka dapat dicurigai adanya gagal jantung ataupun

gagal ginjal. Pasien mengaku sesak memburuk jika ia tiduran dan membaik dengan

perubahan posisi yaitu dengan menegakkan badannya. Maka dipastikan adanya perpindahan

cairan yang menumpuk diluar vaskular (edema). Edema yang dialami pasien harus ditelusuri

asal usulnya. Setelah dilakukan pemeriksaan darah, didapatkan pasien mengalami anemia,

peningkatan nilai kreatinin, dan nilai ureum. Peningkatan kreatinin mengindikasikan adanya

penyakit ginjal, peningkatannya mengindikasikan penurunan fungsi ginjal. Penurunan fungsi

ginjal yang dialami pasien dicurigai telah terjadi sejak lama karena pasien mengaku telah

mengeluhkan sakit pinggangnya selama paling tidak 3 bulan. Hal ini dapat disebabkan oleh

destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus-menerus. Diketahui pasien memiliki riwayat

hipertensi, hipertensi diketahui sebagai salah satu etiologi dari gagal ginjal kronik. Apapun

sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif yang ditandai dengan penurunan

GFR yang progresif.

Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan penimbunan

produk sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi

ginjal turun kurang dari 25% fungsi normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronis mungkin

minimal karena nefron-nefron lain yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak.

Nefron yang tersisa meningkatkan laju filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya serta mengalami

hipertrofi pada proses tersebut. Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, nefron

yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut

rusak dan akhirnya mati. Seiring dengan penyusutan progresif nefron, terjadi pembentukan

jaringan parut dan penurunan aliran darah ginjal. Pelepasan renin dapat meningkat, dan

bersama dengan kelebihan beban cairan, dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi

mempercepat gagal ginjal, mungkin dengan meningkatkan filtrasi protein plasma dan

menimbulkan stres oksidatif. Kelebihan beban cairan juga dapat meningkatkan curah jantung

yang jika terjadi progresif akan mengakibatkan hipertrofi miokardium. Pada kasus ini, dari

hasil pemeriksaan rontgen didapatkan CTR >60% yang menunjukkan adanya pembesaran

jantung, bahkan terdapat efusi pleura kanan minimal. Efusi pleura akibat peningkatan curah

jantung ini dapat menimbulkan batuk seperti yang dikeluhkan pasien.

37

Page 38: Laporan Kunlap CKD

Kegagalan ginjal membentuk eritropoetin dalam jumlah yang adekuat seringkali

menimbulkan anemia. Diketahui pada kasus ini, pasien mengalami anemia yang ditunjukkan

dengan konjungtiva anemis, kulit pucat, dan nilai Hb dan hematokrit dibawah normal.

Anemia yang dialami pasien menyebabkan penurunan oksigenasi jaringan ke seluruh tubuh

dan mengaktifkan reflek-reflek yang ditujukan untuk meningkatkan curah jantung guna

memperbaiki oksigenasi. Akhirnya perubahan tersebut merangsang individu yang menderita

gagal ginjal mengalami gagal jantung kongestif sehingga penyakit ginjal kronis menjadi satu

faktor risiko yang terkait dengan penyakit jantung.

38

Page 39: Laporan Kunlap CKD

DAFTAR PUSTAKA

Braunwald, et al. 2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine. Edisi 17. The Mc-Graw

Hills Companies, Inc.: USA.

Corwin, J.E. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. EGC : Jakarta

McPhee, S.J., & Papadakis, M. A. 2009. Current Medical Diagnosis and Treatment. Edisi 48.

The Mc-Graw Hills Companies, Inc.: USA.

Tanagho, E. A., & McAnich, J.W. 2008. Smith’s General Urology. Edisi 17. The Mc-Graw

Hills Companies, Inc.: USA.

Tjokroprawiro, A., Setiawan, P. B., Santoso, D., & Soegiarto, G. 2007. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Airlangga University Press: Surabaya.

39