Laporan Krim
-
Upload
nidiagalih-rizqi-imandasari -
Category
Documents
-
view
376 -
download
16
description
Transcript of Laporan Krim
I. TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa dapat mengetahui formula dari krim dan evaluasinya
Mahasiswa dapat melakukan pembuatan sediaan krim berdasarkan formula
yang dipilih dan melakukan evaluasi terhadap sediaan yang dibuat
II. TEORI DASAR
Histamin
Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel mast, dan
menimbulkan berbagai proses faalan dan patologik. Histamin pada manusia
adalah mediator penting untuk reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi
inflamasi, mempunyai peranan penting pada sekresi asam lambung, dan berfungsi
sebagai neurotransmitter dan modulator. (Udin Sjamsudin)
Histamin adalah senyawa jenis amin yang terlibat dalam reaksi imun lokal,
selain itu senyawa ini juga berperan dalam pengaturan fungsi fisiologis di
lambung dan sebagai neurotransmitter. Jika tubuh terpapar patogen, maka tubuh
memproduksi histamin di dalam basofil dan sel mast, dengan adanya histamin
maka terjadi peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler terhadap sel darah putih
dan protein lainnya. Hal ini akan mempermudah sel darah putih dalam memerangi
infeksi di jaringan tersebut. Histamin adalah suatu amin nabati (bioamin) yang
ditemukan oleh dr. Paul Ehlirch (1878) dan merupakan produk normal dari
pertukaran zat histidin melalui dekarboksilasi enzimatis. (Tan Hoan Tjai: 2006)
Histamin didapatkan pada banyak jaringan,sehingga dinamakan histamine
(histos= jaringan) memiliki efek fisiologis dan patologis yang kompleks melalui
bebagai subtype reseptor, dan sering kali dilepaskan setempat. Histamine dan
serotonin bersama dengan peptide endogen, prostaglandin dan leukotrien .
histamine dihasilkan oleh bakteri yang terkontaminasi ergot. (Anonim, 2007)
Histamin adalah suatu senyawa nitrogen organik lokal yang terlibat dalam
respon imun serta mengatur fungsi fisiologis dalam usus dan bertindak sebagai
neurotransmitter. Jika tubuh terpapar patogen, maka tubuh memproduksi histamin
di dalam basofil dan sel mast, dengan adanya histamin maka terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler-kapiler terhadap sel darah putih dan protein lainnya. Hal ini
akan mempermudah sel darah putih dalam memerangi infeksi di jaringan tersebut.
Histamin berasal dari dekarboksilasi dari asam amino histidin , reaksi
dikatalisis oleh enzim -histidin dekarboksilase L yang merupakan hidrofilik
vasoaktif amina. Setelah dibentuk, histamin disimpan dan di nonaktifkan oleh
enzim histamin-N-methyltransferase atau oksidase diamina . Dalam SSP, histamin
dilepaskan ke dalam sinaps dan diuraikan oleh histamin-N-methyltransferase.
Bakteri juga mampu menghasilkan dekarboksilase histamin menggunakan
enzim yang berbeda dengan enzim yang ditemukan pada hewan. Bentuk non
infeksi penyakit dari keracunan makanan adalah karena produksi histamin oleh
bakteri dalam makanan basi, terutama ikan.
Penyimpanan Dan Pelepasan Histamin
Histamin dapat dibebaskan dari sel mast oleh beberapa factor:
Rusaknya sel
Histamine banyak dibentuk di jaringan yang sedang berkembang
dengan cepat atau sedang dalam proses perbaikan, misalnya luka.
Senyawa kimia
Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenic, sehingga akan
melepaskan histamine dari sel mast dan basofil. Contohnya adalah
enzim kemotripsin, fosfolipase, dan tripsin.
Reaksi hipersensitivitas
Pada orang normal, histamine yang keluar dirusak oleh enzim histamin
dan diamin oksidase sehingga histamine tidak mencapai reseptor
Histamin. Sedangkan pada penderita yang sensitif terhadap histamine
atau mudah terkena alergi jumlah enzim-enzim tersebut lebih rendah
daripada keadaan normal.
Sebab lain
Proses fisik seperti mekanik, thermal, sinar UV, atau radiasi cukup
untuk merusak sel terutama sel mast yang akan melepaskan histamin.
Mekanisme Kerja Histamin
Histamin memegang peranan utama pada proses peradangan dan system daya
tangkis. Kerjanya berlangsung melaui beberapa reseptor. Histamin memiliki
khasiat farmakologi yang hebat, antara lain dapat menyebabkan vasodilatasi yang
kuat dari kapiler-kapiler, serentak dengan konstriksi (penciutan) dari vena-vena
dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah perifer.
Sehubungan dengan sirkulasi darah yang tidak sempurna ini, maka diuresis
dihalangi. Juga permeabilitas dari kapiler-kapiler menjadi lebih tinggi, artinya
lebih mudah ditembusi, sehingga cairan dan protein-protein plasma dapat
mengalir ke cairan diluar sel dan menyebabkan udema. Disamping ini organ-
organ yang memiliki otot-otot licin, sebagai kandungan dan saluran lambung usus,
mengalami konstriksi, sehingga menimbulkan rasa nyeri, muntah-muntah, diare.
Begitu pula di paru-paru terjadi konstriksi dari ranting-ranting tenggorok
(bronchioli) dengan akibat nafas menjadi sesak (dyspnoe) atau timbulnya
serangan asma (bronchiale).
Histamin juga mempertinggi sekresi kelenjar-kelenjar, misalnya ludah, asam
dan getah lambung, air mata dan juga adrenalin. Dalam keadaan normal jumlah
histamin dalam darah adalah sedikit sekali, sehingga tidak menimbulkan efek-efek
tersebut diatas. Histamin yang berlebihan diuraikan oleh enzim histaminase
(=diamino-oksidase) yang terdapat pada ginjal, paru-paru, selaput lendir usus, dan
jaringan-jaringan lainnya.
Jenis Lokasi Fungsi
Reseptor
histamine H1
Ditemukan pada otot
polos, endotel , dan sistem
saraf pusat jaringan, di
kulit (epidermis hidup dan
dermis)
Penyebab, bronkokonstriksi , bronchial otot
polos kontraksi, pemisahan sel-sel
endotel (bertanggung jawab untuk gatal-
gatal ), dan nyeri dan gatal-gatal karena
sengatan serangga, reseptor utama yang
terlibat dalam rhinitis alergi gejala
dan mabuk ; peraturan tidur
Reseptor
histamine H2
Terletak di sel parietal dan
sel-sel otot polos
pembuluh darah
Terutama yang terlibat dalam
vasodilatasi. Juga merangsang sekresiasam
lambung
Reseptor
histamine H3
Ditemukan pada sistem
saraf pusat dan tingkat
yang lebih rendah sistem
saraf perifer jaringan
Penurunan neurotransmiter rilis:
histamin, asetilkolin , norepinefrin ,serotoni
n
Reseptor
histamine H4
Ditemukan terutama
dibasofil dan di sumsum
tulang . Hal ini juga
ditemukan
pada timus ,usus
kecil , limpa , dan usus.
Memainkan peran dalam chemotaxis
(F. Estelle R. Simons, M.D., 2004)
Antihistamin
Antihistaminika adalah zat zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek
histamin terhadap tubuh dengan jalan mengeblok reseptor histamine
( penghambatan saingan). Pada awalnya hanya di kenal 1 tipe antihistaminikum,
tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor kusus pada tahun 1972, yang disebut
reseptor H2, maka secara farmakologis reseptor histamine dapat di bagi dalam 2
tipe yaitu reseptor H1 dan reseptor H2. (Hoan Tjai, 2006, 815)
Secara umum, antihistaminika juga dapat dibagi dalam 2 kelompok, yakni
antagonis reseptor H1(singkatnya disebut H1 blokers atau antihistaminika )
antagonis reseptor H2(H2 blokers atau zat penghambat asam) . (Hoan Tjai, 2006,
815)
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah
penglepasan atau kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk
menjelaskan antagonis histamin yang mana pun, namun seringkali istilah ini
digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang bekerja pada reseptor
histamin H1.
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang
disebabkan oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi),
seperti serbuk sari tanaman. Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin
dalam jumlah signifikan di tubuh.
Menisme Kerja
Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghindarkan
efek atas tubuh dari histamin yang berlebihan, sebagaimana terdapat pada
gangguan-gangguan alergi.
Bila dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin,
yang juga terdapat dalam molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali
berbentuk suatu rangkaian lurus, tetapi dapat pula merupakan bagian dari suatu
struktur siklik, misalnya antazolin.
Antihistaminika tidak mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat berlawanan
dengan histamin seperti halnya dengan adrenalin dan turunan-turunannya, tetapi
melakukan kegiatannya melalui persaingan substrat atau ”competitive inhibition”.
Obat-obat inipun tidak menghalang-halangi pembentukan histamin pada reaksi
antigen-antibody, melainkan masuknya histamin kedalam unsur-unsur penerima
didalam sel (reseptor-reseptor) dirintangi dengan menduduki sendiri tempatnya
itu. Dengan kata lain karena antihistaminik mengikat diri dengan reseptor-reseptor
yang sebelumnya harus menerima histamin, maka zat ini dicegah untuk
melaksanakan kegiatannya yang spesifik terhadap jaringan-jaringan. Dapat
dianggap etilamin lah dari antihistaminika yang bersaing dengan histamin untuk
sel-sel reseptor tersebut. Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan
bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga
berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa
mengurangi permiabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos
saluran cerna serta napas.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil
farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan
juga bisa menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih
minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan antilergi tambahan,
yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi
pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium
melintasi sel mast/membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion
kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja
pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet
activating factor.
Penggolongan
Antihistaminika dapat digolongkan menurut struktur kimianya sebagai berikut
: Persenyawaan-persenyawaan aminoalkileter (dalam rumus umum X = O)
difenhidramin dan turunan-turunannya; klorfenoksamin (Systral), karbinoksamin
(Rhinopront), feniltoloksamin dalam Codipront. Persenyawaan-persenyawaan ini
memiliki daya kerja seperti atropin dan bekerja depresif terhadap susunan saraf
pusat. Efek sampingannya: mulut kering, gangguan penglihatan dan perasaan
mengantuk.
Persenyawaan-persenyawaan alkilendiamin (X = N) tripelenamin, antazolin,
klemizol dan mepiramin. Kegiatan depresif dari persenyawaan ini terhadap
susunan saraf pusat hanya lemah. Efek sampingannya: gangguan lambung usus
dan perasaan lesu.
Persenyawaan-persenyawaan alkilamin (X = C) feniramin dan turunan-
turunannya, tripolidin. Didalam kelompok antihistaminika ini terdapat zat-zat
yang memiliki kegiatan merangsang maupun depresif terhadap susunan saraf
pusat.
Persenyawaan-persenyawaan piperazin : siklizin dan turunan-turunannya,
sinarizin
Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur
kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan
fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif,
akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih
dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni
generasi pertama, kedua, dan ketiga. (F. Estelle R. Simons, M.D., 2004)
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi
pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang
lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu
berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua.
Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein
plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa
metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine).
Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin
yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. Faktanya,
fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih rendah
dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine
atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau
loratadine. (F. Estelle R. Simons, M.D., 2004)
Pengelompokan berdasarkan sasaran kerjanya terhadap reseptor histamine:
Antagonis Reseptor Histamin H1
Secara klinis digunakan untuk mengobati alergi. Contoh obatnya
adalah: difenhidramina, loratadina, desloratadina, meclizine,
quetiapine (khasiat antihistamin merupakan efek samping dari obat
antipsikotik ini), dan prometazina.
Antagonis Reseptor Histamin H2
Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah
meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian antagonis
reseptor H2 (antihistamin H2) dapat digunakan untuk mengurangi
sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani
peptic ulcer dan penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya
adalah simetidina, famotidina, ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan
lafutidina.
Antagonis Reseptor Histamin H3
Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat
kemampuan kognitif. Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati
penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia. Contoh obatnya adalah
ciproxifan, dan clobenpropit.
Antagonis Reseptor Histamin H4
Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai
antiinflamasi dan analgesik. Contohnya adalah tioperamida.
(F. Estelle R. Simons, M.D., 2004)
Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya adalah
obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang
awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai
antihistamin.
Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan nedocromil, mampu
mencegah penglepasan histamin dengan cara menstabilkan sel mast, sehingga
mencegah degranulasinya.
Anatomi dan Fisiologi Kulit
Kulit merupakan lapisan pelindung yang sempurna terhadap pengaruh luar,
baik pengaruh fisik maupun pengaruh kimia dimana kulit berfungsi sebagai sistem
epitel dalam tubuh untuk menjaga substansi-substansi penting dalam tubuh dan
masuknya substansi-substansi asing ke dalam tubuh. Meskipun kulit relatif
permeabel terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam keadaan tertentu kulit
dapat ditembus oleh senyawa-senyawa obat/bahan yang berbahaya yang dapat
menimbulkan efek terapetik atau efek toksik baik yang bersifat setempat/
sistemik. Secara mikroskopis kulit dari berbagai lapisan yang berbeda-beda dari
luar ke dalam yaitu epidermis, lapisan dermis dan subkutan (Aiache, 1993).
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh,
merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Kulit berfungsi sebagai
thermostat dalam mempertahankan suhu tubuh, melindungi tubuh dari serangan
mikroorganisme, sinar ultraviolet, dan berperan pula mengatur tekanan darah.
Secara anatomi kulit terdiri dari banyak lapisan jaringan, tetapi pada umumnya
kulit dibagi dalam tiga lapisan jaringan : epidermis, dermis dan lapisan lemak
dibawah kulit (Lachman, et al., 2008).
Epidermis terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung
selmelanosit, langerhans dan merkel. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari
seluruhketebalan kulit. Terjadi regenerasi sel kulit pada epidermis setiap 4-6
minggu. Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai
yang terdalam) yaitu:
1. Stratum Korneum, terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan
berganti.
2. Stratum Lusidum, berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal
telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.
3. Stratum Granulosum, ditandai oleh 3 - 5 lapis sel poligonal gepeng yang
intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan
granulakeratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin.
4. Stratum Spinosum, terdapat berkas - berkas filamen yang dinamakan
tonofibril, dianggap filamen - filamen tersebut memegang peranan penting untuk
mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada
tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum spinosum
dengan lebih banyak tonofibril
5. Stratum Basal (Stratum Germinativum), terdapat aktivitas mitosis yang
hebatdan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan.
Stratum basal dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi.
Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini
tergantung letak, usiadan faktor lain. Stratum germinativum merupakan satu lapis
sel yang mengandung melanosit (Lachman, et al., 2008).
Golongan Etanolamin
Obat golongan ini memiliki daya kerja seperti atropin (antikolinergik) dan
bekerja serhadap SSP (sedative). Antihistamin golongan ini antara lain :
Difenhidramin : Benadryl Di samping daya antikolinergik dan sedative
yang kuat, antihistamin ini juga bersifat spasmolitik, anti-emetik dan
antivertigo (pusing-pusing). Berguna sebagai obat tambahan pada
Penyakit Parkinson, juga digunakan sebagai obat anti-gatal pada
urticaria akibat alergi (komb. Caladryl, P.D.) Dosis: oral 4 x sehari 25-
50mg, i.v. 10-50mg.
Metildifenhidramin = orfenadrin (Disipal, G.B.) Dengan efek
antikolinergik dan sedative ringan, lebih disukai sebagai obat
tambahan Parkinson dan terhadap gejala-gejala ekstrapiramidal pada
terapi dengan neuroleptika. Dosis: oral 3 x sehari 50mg.
Metildifenhidramin (Neo-Benodin®) Lebih kuat sedikit dari zat
induknya. Digunakan pada keadaan-keadaan alergi pula. Dosis: 3 x
sehari 20-40mg
Dimenhidrinat (Dramamine, Searle) Adalah senyawa klorteofilinat dari
difenhidramin yang digunakan khusus pada mabuk perjalanan dan
muntah-muntah sewaktu hamil. Dosis: oral 4 x sehari 50-100mg, i.m.
50mg
Klorfenoksamin (Systral, Astra) Adalah derivate klor dan metal, yang
antara lain digunakan sebagai obat tambahan pada Penyakit Parkinson.
Dosis: oral 2-3 x sehari 20-40mg (klorida), dalam krem 1,5%.
Karbinoksamin : (Polistin, Pharbil) Adalah derivat piridil dan klor
yang digunakan pada hay fever. Dosis: oral 3-4 x sehari 4mg (maleat,
bentuk,dll).
Klemastin: Tavegyl (Sandos) Memiliki struktur yang mirip
klorfenoksamin, tetapi dengan substituent siklik (pirolidin). Daya
antihistaminiknya amat kuat, mulai kerjanya pesat, dalam beberapa
menit dan bertahan lebih dari 10 jam. Antara lain mengurangi
permeabilitas dari kapiler dan efektif guna melawan pruritus alergis
(gatal-gatal). Dosis: oral 2 x sehari 1mg a.c. (fumarat), i.m. 2 x 2mg.
(F. Estelle R. Simons, M.D., 2004)
Difenhidramin ( diphenhdramin)
Struktur Difenhidramin
Difenhidramin merupakan generasi pertama obat antihistamin. Dalam proses
terapi difenhidramin termasuk kategori antidot, reaksi hipersensitivitas,
antihistamin dan sedatif. Memiliki sinonim Diphenhydramine HCl dan digunakan
untuk mengatasi gejala alergi pernapasan dan alergi kulit, memberi efek
mengantuk bagi orang yang sulit tidur, mencegah mabuk perjalanan dan sebagai
antitusif, anti mual dan anestesi topikal.
Diphenhydramine merupakan amine stabil dan cepat diserap pada pemberian
secara oral, dengan konsentrasi darah puncak terjadi pada 2-4 jam. Di dalam tubuh
dapat terdistribusi meluas dan dapat dengan segera memasuki system pusat saraf,
sehingga dapat menimbulkan efek sedasi dengan onset maksimum 1-3 jam.
Diphenhydramine memiliki waktu kerja/durasi selama 4-7 jam. Obat tersebut
memiliki waktu paruh eliminasi 2-8 jam dan 13,5 jam pada pasien geriatri.
Bioavailabilitas pada pemakaian oral mencapai 40%-60% dan sekitar 78% terikat
pada protein. Sebagian besar obat ini dimetabolisme dalam hati dan mengalami
first-pass efect, namun beberapa dimetabolisme dalam paru-paru dan system
ginjal, kemudian diekskresikan lewat urin.
Difenhidramin ini memblokir aksi histamin, yaitu suatu zat dalam tubuh yang
menyebabkan gejala alergi. Difenhidramin menghambat pelepasan histamin (H1)
dan asetilkolin (menghilangkan ingus saat flu). Hal ini memberi efek seperti
peningkatan kontraksi otot polos vaskular, sehingga mengurangi kemerahan,
hipertermia dan edema yang terjadi selama reaksi peradangan. Difenhidramin
menghalangi reseptor H1 pada perifer nociceptors sehingga mengurangi
sensitisasi dan akibatnya dapat mengurangi gatal yang berhubungan dengan reaksi
alergi. Memberikan respon yang menyebabkan efek fisiologis primer atau
sekunder atau kedua-duanya. Efek primer untuk mengatasi gejala-gejala alergi dan
penekanan susunan saraf pusat (efek sekunder).
Kerja antihistaminika H1 akan meniadakan secara kompetitif kerja histamin
pada reseptor H1, dan tidak mempengaruhi histamin yang ditimbulkan akibat
kerja pada reseptor H2. Reseptor H1 terdapat di saluran pencernaan, pembuluh
darah, dan saluran pernapasan. Difenhidramin bekerja sebagai agen antikolinergik
(memblok jalannya impuls-impuls yang melalui saraf parasimpatik), spasmolitik,
anestetika lokal dan mempunyai efek sedatif terhadap sistem saraf pusat.
Efek samping : pusing, mengantuk, mulut kering
Kontra indikasi : Hipersensitif pada difenhidramin, asma akut dan tidak boleh
untuk neonates.
Macam Difenhidramin :
Diphenhydramine Citrate
Diphenhydramine sitrat diberikan secara oral dengan dosis 76 mg pada
malam hari di persiapan kombinasi untuk perusahaan hipnotis
tindakan.
Diphenhydramine Di(acefyllinate)
Diphenhydramine di (acefyllinate) diberikan sebagai antiemetik untuk
pencegahan dan pengobatan mabuk. Dosis oral biasa adalah 90-135
mg, yang dapat diulang jika perlu dengan interval sedikitnya 6 jam,
sampai maksimum 540 mg sehari.
Diphenhydramine Hydrochloride diberikan dalam dosis oral biasa 25
sampai 50 mg tiga atau empat kali sehari. Dosis untuk anak-anak
adalah 6,25-25 mg tiga atau empat kali sehari, atau dosis total harian 5
mg / kg dapat diberikan dalam dosis terbagi. Maksimum dosis pada
orang dewasa dan anak-anak adalah sekitar 300 mg per hari. Dosis 20
sampai 50 mg dapat digunakan sebagai hipnosis pada orang dewasa
dan tua anak di atas 12 tahun. Ketika terapi oral tidak layak,
diphenhydramine hidroklorida dapat diberikan melalui suntikan
intramuskular dalam atau dengan konsentrasi injeksi menggunakan
intravena dari 1% atau 5%. Dosis biasa adalah 10 sampai 50 mg,
meskipun dosis 100 mg telah diberikan. Tidak ada lagi dari 400 mg
harus diberikan dalam 24 jam. anak-anak dapat diberikan 5 mg / kg
sehari dalam dosis terbagi untuk maksimum dari 300 mg dalam 24
jam. diphenhydramine hydrochloride diterapkan secara topikal,
biasanya dalam persiapan mengandung 1 sampai 2% meskipun, seperti
dengan antihistamin lain, ada risiko sensitisasi.
Klemastin
Klemastin (Klemastin Fumarat) adalah antihistamin penenang dengan sifat
antimuskarinik dan sedatif moderat. Telah dilaporkan memiliki durasi kerja
sekitar 10 sampai 12 jam. Sekarang digunakan untuk mengurangi gejala-gejala
dari kondisi alergi termasuk urtikaria dan angioedema (p.565), rhinitis (p.565) dan
konjungtivitis (p.564), dan kulit gatal gangguan (p.565). Clemastine diberikan
sebagai fumarat meskipun dosis yang dinyatakan dalam dasar Clemastine fumarat
1,34 mg setara dengan sekitar 1 mg clemastine dasar. Dosis oral biasa adalah 1 mg
dua kali sehari. Sampai 6 mg sehari telah diberikan, terutama untuk urticaria dan
angioedema. Anak-anak berusia 1 sampai 3 tahun dapat diberikan 250 sampai 500
mikrogram dua kali sehari; mereka yang berusia 3 sampai 6 tahun, 500 mikrogram
dua kali sehari; dan mereka yang berusia 6 sampai 12 tahun, 0,5-1 mg dua kali
sehari. Clemastine fumarat dapat diberikan oleh intramuskular atau injeksi
intravena lambat dalam total setara dosis harian 4 mg clemastine untuk reaksi
alergi akut; untuk profilaksis 2 mg diberikan melalui suntikan intravena. Dosis
untuk anak-anak adalah 25 mikrogram / kg sehari dalam dua Dosis dibagi dengan
injeksi intramuskular. Clemastine fumarat juga telah digunakan secara topikal,
walaupun seperti antihistamin lain, ada risiko dari sensitisasi. (Martindale 36 th
edition, page 573)
Krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih
bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Krim
mempunyai konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak
atau minyak dalam air. Sekarang batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk
yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam-asam
lemak atau alkohol berantai panjang dalam air yang dapat dicuci dengan air
(Anonim,2010).
Selain itu, Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental
mengandung tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Tipe
krim ada dua yaitu:
1. Krim tipe air - minyak (A/M) contohnya sabun polivalen, span, adeps lanae,
kolesterol dan cera.
2. Krim tipe minyak - air (M/A) contohnya sabun monovalen seperti
triethanolaminum stearat, natrium stearat, kalium stearat dan ammonium stearat
(Anief, 2005).
Untuk membuat krim digunakan zat pengemulsi, umumnya berupa surfaktan-
surfaktan anionic, kationik dan nonionik (Anief, 2005).
Keuntungan penggunaan krim adalah umumnya mudah menyebar rata pada
permukaan kulit serta mudah dicuci dengan air (Ansel, 2005). Krim dapat
digunakan pada luka yang basah, karena bahan pembawa minyak di dalam air
cenderung untuk menyerap cairan yang dikeluarkan luka tersebut. Basis yang
dapat dicuci dengan air akan membentuk suatu lapisan tipis yang semipermeabel,
setelah air menguap pada tempat yang digunakan. Tetapi emulsi air di dalam
minyak dari sediaan semipadat cenderung membentuk suatu lapisan hidrofobik
pada kulit (Lachman, 2008).
Prinsip pembuatan krim adalah berdasarkan proses penyabunan (safonifikasi)
dari suatu asam lemak tinggi dengan suatu basa dan dikerjakan dalam suasana
panas yaitu temperatur 700- 800C. (Dirjen POM,1995). Krim merupakan obat
yang digunakan sebagai obat luar yang dioleskan ke bagian kulit badan. Obat luar
adalah obat yang pemakaiannya tidak melalui mulut, kerongkongan, dan ke arah
lambung. Menurut defenisi tersebut yang termasuk obat luar adalah obat luka,
obat kulit, obat hidung, obat mata, obat tetes telinga, obat wasir dan sebagainya.
( Anief, 1999 ).
Dalam pembuatan krim diperlukan suatu bahan dasar. Bahan dasar yang
digunakan harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Kualitas dasar krim yang
diharapkan adalah sebagai berikut :
a. Stabil
b. Lunak
c. Mudah dipakai
d. Dasar krim yang cocok
e. Terdistribusi merata
Fungsi krim adalah:
a. Sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit
b. Sebagai bahan pelumas bagi kulit
c. Sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah kontak langsung dengan zat-zat
berbahaya. (Anief,1999)
Stabilitas krim akan menjadi rusak, jika terganggu oleh sistem campurannya
terutama disebabkan perubahan suhu, perubahan komposisi dan disebabkan juga
oleh penambahan salah satu fase secara berlebihan atau pencampuran dua tipe
krim jika zat pengemulsinya tidak tercampurkan satu sama lain. Pengenceran krim
hanya dapat dilakukan jika diketahui pengencer yang cocok yang harus dilakukan
dengan teknik aseptis. Krim yang sudah diencerkan harus digunakan dalam waktu
satu bulan. Dalam penandaan sediaan krim, pada etiket harus tertera “Obat Luar”
dan pada penyimpanannya harus dalam wadah tertutup baik atau tube dan
disimpan di tempat sejuk (Depkes RI, 1979).
Beberapa perbedaan mekanisme kerja disebabkan komponen sediaan yang larut
dalam lemak dan larut dalam air.
Salep
Salep dengan bahan dasar hidrokarbon se-perti vaselin, berada lama di atas
permukaankulit dan kemudian berpenetrasi. Oleh karenaitu salep berbahan dasar
hidrokarbon digunakan sebagai penutup. Salep berbahan dasar salep serap (salep
ab-sorpsi) kerjanya terutama untuk memperce-pat penetrasi karena komponen
airnya yang besar. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air dan dasar salep larut
dalam air mampu berpe-netrasi jauh ke hipodermis sehingga banyak dipakai pada
kondisi yang memerlukan pe-netrasi yang dalam.
Krim
Penetrasi krim jenis W/O jauh lebih kuat dibandingkan dengan O/W karena
komponen minyak menjadikan bentuk sediaan bertahan lama di atas permukaan
kulit dan mampu menembus lapisan kulit lebih jauh. Namun krim W/O kurang
disukai secara kosmetik karena komponen minyak yang lama tertinggal di atas
permukaan kulit. Krim O/W memiliki daya pendingin lebih baik dari krim W/O,
sementara daya emolien W/O lebih be-sar dari O/W. Sediaan krim lebih disukai
karena mudah dibersihkan bila dibandingkan sediaan salep berlemak yang sulit
dibersihkan dan meinggalkan noda pada pakaian.
Pasta
Sediaan berbentuk pasta berpenetrasi ke lapisan kulit. Bentuk sediaan ini lebih
domi-nan sebagai pelindung karena sifatnya yang tidak meleleh pada suhu tubuh.
Pasta berle-mak saat diaplikasikan di atas lesi mampu me-nyerap lesi yang basah
seperti serum.
Pasta pendingin
Sedikit berbeda dengan pasta, penambahan komponen cairan membuat
sediaan ini lebih mudah berpenetrasi ke dalam lapisan kulit, namun bentuknya
yang lengket menjadikan sediaan ini tidak nyaman digunakan dan telah jarang
dipakai.
Gel
Penetrasi gel mampu menembus lapisan hipodermis sehingga banyak
digunakan pada kondisi yang memerlukan penetrasi seperti sediaan gel analgetik.
Rute difusi jalur transfo-likuler gel juga baik, disebabkan kemampuan gel
membentuk lapisan absorpsi
III. EVALUASI PRODUK REFEREN
NO NAMA DAGANGNAMA
PABRIK
KOMPONEN/
BAHAN AKTIFKEMASAN
1. BANOPHEN ANTI ITCH MajorDiphenydramin HCl
Zinc Acetate28.4 g
2.BOOTS SKIN ALLERGY
RELIEF
Boots Pharmace
uticalDiphenhydramine HCl 2 % 25 g
3.BENADRYL EXTRA
STRENGTH ITCH STOPPING
BenadrylDiphenydramin HCl
Zinc Acetate28.3 g
4. ABTI ITCH CREAM NeopharmDiphenydramin HCl 2 %
Zinc Acetate 0,1%
5. DIPHENYDRAMINE D Nex MedDiphenydramin HCl 2%
Zinc Acetate 1%28
IV. STUDI PRAFORMULASI BAHAN AKTIF
Tabel 1. Hasil Studi Pustaka Bahan Aktif
No Bahan
Aktif
Efek
Utama
Efek
Samping
Karakteristik
Fisik
Karakteristik
Kimia
1.
Monoethan
olamines
Diphenhydr
amin HClAntihistam
ine
Depresi
CNS efek
bermacam-
macam
mulai dari
sedikit
mengantuk
hingga tidur
lelap,
lemah,
Clark’s
Analisis of
Drug and
Poison :
serbuk
kristalin
putih, sedikit
gelap jika
terkena
cahaya
Clark’s
Analisis of
Drug and
Poison
TL 16601700
Larut 1:1
pada air, 1:2
pada etanol,
1:50 pada
pusing,
tidak
koordinasi
sakit
kepala,
pelemahan
psikomotor,
efek
antimuskari
nik seperti
mulut
kering,
cairan
pernafasan
mengental,
penglihatan
kabur,
susah
kencing,
konstipasi
(Martindale
, p561)
Ph Eur 6.2
Putih atau
hampir putih,
serbuk
kristalin
USP 31
Putih tidak
berasa,
serbuk
kristalin,
sedikit gelap
pada cahaya
terbuka
FI IV
Serbuk hablur
putih tidak
berbau,
perlahan-
lahan gelap
jika terken
cahaya,
larutan
praktis netral
pada kertas
lakmus biru,
TL 1670-1720
aseton, 1:2
pada
klorofom,
sedikit larut
dalam
benzena dan
eter. pKa 9,0
(250) Log P
Octanol/air=
3,3
Ph Eur 6.2
Sangat larut
dalam air
dan alkohol
5 %, larutan
pH 4,0-6,0
USP 31
Larut 1:1
dalam air,
1:2 dalam
alkohol dan
klorofom,
1:50 dalam
aseton,
sedikit larut
dalam
benzena.
Incompatibil
itas dengan
amphoterici
n B,
Cefmetazole
sodium,
cefalotin
sodium,
cefatotin
sodium,
beberapa
barbiturat
larut, larutan
alkalis dan
basa kuat
Dilindungi
dari cahaya
FI IV
Mudah larut
dalam air,
etanol,
klorofom:
agak sukar
larut dalam
aseton,
sangat sukar
larut dalam
benzena dan
dalam etr.
2 Clemastine
Fumarate
Antihistam
ine
Depresi
CNS efek
bermacam-
macam
mulai dari
sedikit
Ph. Eur. 6.2
Putih atau
hampir putih,
serbuk
Ph. Eur. 6.2
Sangat
sedikit larut
dalam air,
sedikit larut
mengantuk
hingga tidur
lelap,
lemah,
pusing,
tidak
koordinasi
sakit
kepala,
pelemahan
psikomotor,
efek
antimuskari
nik seperti
mulut
kering,
cairan
pernafasan
mengental,
penglihatan
kabur,
susah
kencing,
konstipasi
(Martindale
, p561)
kristalin,
USP 31
Tidak
berwarna/puc
at sampai
kuning
lemah, tidak
berasa,
serbuk
kristalin
dalam
alkohol 70
% dan 50 %
metilalkohol
10%
suspensi
dalam air
mempunyai
pH 3,2-4,2
USP 31
Sangat
sedikit larut
dalam air
dan
klorofom,
sedikit larut
dalam metil
alkohol, pH
10%
suspensi
dalam air
antara 3,2-
4,2. Simpan
dalam
tempat suhu
tidak lebih
250.
Lindungi
dari cahaya
Alasan Pemilihan Bahan Aktif :
Bahan aktif yang dipilih : Difenhidramin HCL
Alasan : Bila dibandingkan dengan turunan etanolamin yang lain,
seperti klemastin fumarat, difenhidramin HCL ini sangat larut dalam air sedangkan
klemastin fumarat sedikit larut dalam air. Sediaan yang kami buat memiliki target
organ di dermis, sehingga butuh obat yang larut di air agar dapat mencapai dermis.
Untuk itu dipilih difenhidramin HCL sebagai zat aktif.
Target organ yang dituju : Dermis
Rute penetrasi: Transepidermal
Obat akan menembus stratum korneum melalui ruang antar sel pada lapisan lipid yang
mengelilingi sel korneosit. Difusi dapat berlangsung pada matriks lipid protein dari
stratum korneum. Setelah berhasil menembus stratum korneum obat akan menembus
lapisan epidermis.
Bentuk sediaan yang dipilih adalah : krim (O/W)
Alasan:
1. Sediaan krim lebih disukai karena mudah dibersihkan bila dibandingkan
sediaan salep berlemak yang sulit dibersihkan dan meinggalkan noda pada
pakaian. Sediaan salep juga sulit untuk menuju dermis karena sifatnya yang
berlemak, sehingga salep hanya akan tertahan dibagian permukaan kulit.
2. Bila dibandingkan dengan gel, sediaan gel ini mudah terpenetrasi sampai ke
dalam hypodermis, sedangkan target organ yang diinginkan adalah
epidermis, sehingga bentuk sediaan yang dipilih adalah krim.
3. Dipilih sediaan krim tipe O/W karena krim tipe O/W ini dapat terpenetrasi ke
organ yang dituju (dermis) karena kandungan airnya lebih banyak,
sedangkan krim tipe W/O sulit untuk menembus hingga ke epidermis karena
lebih berminyak. Krim W/O juga kurang disukai karena komponen minyak
yang lama tertinggal di atas permukaan kulit dan sulit untuk dicuci, sehingga
dipilih sediaan bentuk krim tipe O/W.
Dosis dan Perhitungan
Dosis untuk pengunaa topikal: 2% krim 3-4x sehari (Martindale 36th edition hal. 577-
578)
Perhitungan :
1. Difenhidramin HCL
15 g : x 15 = 0,3 g
100 g: x 100 = 2 g
2. Vaselin Album
15 g : x 15 = 1,47 g
100 g : x 100 = 9,8 g
3. Parafin
15 g : x 15 = 1,47 g
100 g : x 100 = 9,8 g
4. Setil Alkohol
15 g : x 15 = 0,75 g
100 g : x 100 = 5 g
5. Propilenglikol
15 g : x 15 = 2,25 g
100 g : x 100 = 15 g
6. Nipagin
15 g : x 15 = 0,015 g
100 g : x 100 = 0,1 g
7. Nipasol
15 g : x 15 = 0,045 g
100 g : x 100 = 0,3 g
8. Air
15 g : x 15 = 8,7 g
100 g : x 100 = 58,2 g
V. JENIS DAN CONTOH BAHAN TAMBAHAN DALAM FORMULA
1) Pelarut
a. Purified Water
Fungsi : Pelarut/solven
Pemerian : Air dideskripsikan sebagai air yang diminum. Komposisi kimia dari
air tersebut bervariasi tergantung dari sumbernya. Air wujudnya cairan jernih,
tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau.
Inkompatibilitas : Air dapat bereaksi dengan obat dan bahan lainnya
menyebabkan hidrolisis (dekomposisi akibat adanya air atau kelembaban)
Alasan pemilihan bahan : Air merupakan bahan tambahan yang paling banyak
digunakan dalam sediaan Farmasi.
(Handbook of Pharmaceutical Excipient 5th edition, hal 802)
b. Propilen Glikol
Fungsi : humektan, pelarut Pemerian : jernih, tidak berwarna, kental, cairan yang praktis tidak berbau,
dengan rasa manis, sedikit asan mirip seperti gliserin Inkompatibilitas : inkompatibel dengan agen pengoksidasi seperti KmnO4.
Kelarutan : larut dalam aseton, kloroform, etanol 95%, gliserin, dan air. Larut 1
bagian dalam 6 bagian eter, tidak larut pada miyak mineral dan fixed oil, tapi
akan larut dalam beberapa minyak esensial/
Konsentrasi yang digunakan : 15%
Titik lebur : -59oC
Alasan pemilihan bahan : propilen glikol larut pada berbagai bahan terutama larut
dalam air sehingga saat dicampur tidak akan terjadi pemisahan serta propilen glikol
tahan terhadap panas karena memiliki titik didih yang tinggi. Selain itu propilen
glikol juga dapat melarutkan pengawet yang kita gunakan lebih baik dibanding air.
Sehingga pengawet yang kita gunakan juga akan meningkat kelarutannya di dalam
air karena propilen glikol dapat larut dalam air. Propilen glikol juga dapat
menghaluskan krim sehingga lebih mudah dan nyaman untuk digunakan.
(Handbook of Pharmaceutical Excipient 6th edition, hal 592-593)
2) Basis
a. Vaselin album
Fungsi : basis
Pemerian : masa lunak, lengket, bening, putih, berflouresensi lemah, jika
dicairkan tidak berbau dan hampir tidak berasa
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol 95% P., larut dalam
kloroform P., dalam eter P., dan dalam eter minyak tanah P.
Titik lebur : 38oC – 56oC
Inkompatibilitas : merupakan bahan inert yang tidak dapat banyak bercampur
dengan banyak bahan.
Konsentrasi : 10% - 30%
Alasan penggunaan bahan : bahan yang sering digunakan, selain itu lebih
disukai karena warnanya putih dan tidak berbau sehingga meningkatkan
acceptability.
(Farmakope Indonesia IV, hal 633)
b. Parafin Hard
Fungsi : basis
Pemerian : tidak berbau, tidak berasa, tembus cahaya, tidak berwarna, atau
padatan berwarna putih. Sedikit berminyak saat dipegang dan mungkin akan
menunjukkan butiran-butiran. Parafin akan terbakar dengan adanya nyala api.
Ketika mencair parafin tidak berflouresensi pada cahaya matahari.
Inkompatibilitas : -
Kelarutan : Larut dalam kloroform, eter, minyak atsiri, dan kebanyakan fixed
oil; sedikit larut dalam etanol; praktis tidak larut dalam aseton, etanol (95%),
dan air. Parafin dapat dicampur dengan sebagian besar lilin jika meleleh dan
didinginkan.
Titik lebur : bisa diberbagai titik.
Alasan pemilihan bahan : parafin sering digunakan untuk sediaan topical di
farmasi. Parafin ini juga bersifat tidak iritan. Selain itu kita memilih parafin
dalam bentuk solid karena tidak mudah teroksidasi seperti parafin cair sehingga
kita tidak perlu menambahkan bahan pengoksidasi lagi.
(Handbook of Pharmaceutical Excipient 6th edition, hal 474-475)
3) Emulsifying agent
a. Setil alkohol
Fungsi : emulsifying agent
Pemerian : berlilin, kepingan, granul, atau kubus yang berwarna putih.
Memilliki karakteristik bau yang lemah dan rasa yang tawar.
Inkompatibilitas : inkompatible dengan agen pengokidasi yang kuat.
Kelarutan : sangat larut dalam etanol 95% dan eter, kelarutannya meningkat
dengan meningkatnya temperatur, praktis tidak larut dalam air. Ketika meleleh
larut ke dalam lemak, parafin cair ataupun solid, dan isopropil miristate
Titik lebur : 45oC – 52oC
Konsentrasi : 2% - 5%
Alasan pemilihan bahan : sering digunakan didalam sediaan farmasi. Selain itu
setil alkohol dapat meningkatkan stabilitas, tekstur, dan konsistensi dari krim.
(Handbook of Pharmaceutical Excipient 6th edition, hal 155-156)
4) Pengawet
a. Nipagin/metil paraben
Fungsi : pengawet/antimikrobial
Pemerian : kristal tidak berwarna atau bubuk kristal putih. Tidak berasa atau
hampir tidak berasa dan memiliki rasa yang sedikit membakar.
Inkompatibilitas : sifat antimikroba metilparaben akan berkurang dengan adanya
surfaktan nonionik. Namun dengan adanya propilen glikol akan meningkatkan
sifat antimikroba metil paraben dan akan mencegah terjadinya reaksi antara
metil paraben dengan surfaktan nonionik.inkompatibel dengan bahan lain
seperti bentonit, magnesium trisilicate, talk, tragacant, Na alginat, sorbitol,
atropin, dan minyak esensial
Kelarutan : dapat dilihat ditabel dibawah ini :
Titik lebur : 125oC – 128oC
Konsentrasi : 0.02% - 0.3%
Alasan pemilihan bahan : sering digunakan dalam sediaan farmasi. Selain itu
nipagin dapat memberikan efek pada rentang pH yang luas dan dapat bekerja
sebagai aktivitas antimikroba pada spektrum yang luas.
(Handbook of Pharmaceutical Excipient 6th edition, hal 441-444)
b. Nipasol/propil paraben
Fungsi : pengawet/antimikroba
Pemerian : serbuk kristal putih tidah berbau dan tidak berasa
Inkompatibilitas : sifat antimikroba metilparaben akan berkurang dengan adanya
surfaktan nonionik. Inkomptibel dengan magnesium aluminium silicate,
magnesium trisilicate, yellow iron oxide, dan ultramarine blue.
Kelarutan : dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Titik lebur : -
Konsentrasi : 0.01% - 0.6%
Alasan pemilihan bahan : sering digunakan dalam sediaan farmasi. Selain itu
nipagin dapat memberikan efek pada rentang pH yang luas dan dapat bekerja
sebagai aktivitas antimikroba pada spektrum yang luas.
(Handbook of Pharmaceutical Excipient 6th edition, hal 596-598)
VI. SUSUNAN FORMULA DAN FUNGSI BAHAN
No. Bahan FungsiJumlah
dalam 100 g
Jumlah
dalam 15 g
Jumlah
dalam 50 gkonsentrasi
1.Difenhidramin
HCLBahan aktif 2 g 0.3 g 1 g 2%
2. Vaselin album Basis 9.8 g 1.47 g 4.9 g 9.8%
3. Parafin solid Basis 9.8 g 1.47 g 4.9 g 9.8%
4. Setil alkoholEmulsifying
agent5 g 0.75 g 2.5 g 5%
5. Propilen glikolHumektan,
pelarut15 g 2.25 g 7.5 g 15%
6. Nipagin Pengawet 0.1 g 0.015 g 0.05 g 0.1%
7. Nipasol pengawt 0.3 g 0.045 g 0.15 g 0.3%
8. Purified water Pelarut 58 g 8.7 g 29 g
VII. METODE
Alat :
1. Timbangan
2. Mortar dan stamfer
3. Pinset
4. Peralatan gelas
5. Kertas saring
6. Perangkat alat uji daya lekat
7. Kaca penutup
8. Cawan porselin
9. Penangas air
Bahan :
9. Difenhidramin HCL
16 g = 0,3 g
101 g = 2 g
10. Vaselin Album
16 g = 1,47 g
101 g = 9,8 g
11. Parafin
15 g = 1,47 g
100 g = 9,8 g
12. Setil Alkohol
16 g = 0,75 g
101 g = 5 g
13. Propilenglikol
16 g = 2,25 g
101 g = 15 g
14. Nipagin
16 g = 0,015 g
101 g = 0,1 g
15. Nipasol
16 g = 0,045 g
101 g = 0,3 g
16. Air
16 g = 8,7 g
100 g = 58,2 g
Prosedur Pembuatan
Menyiapkan alat dan bahan
Menimbang Vaseline album sejumlah 1.47 gram
Fase Minyak
Fase Air
Menyiapkan mortir panas dengan cara menuangkan air panas ke dalam mortir
Memasukkan ketiga bahan tersebut ke dalam cawan porselen kemudian meleburnya diatas waterbath suhu 80 deg. C
Menimbang propilenglikol sebanyak 2.25g
Menimbang Paraffin sejumlah 1.47 gram
Menimbang Setil alkohol sejumlah 0.75 gram
Melarutkan Propilenglikol dengan 4 mL air panas dalam gelas beker
Menambahkan Diphenhydramine HCl sebanyak 0.3 gram ke dalam air panas yang telah berisi propilenglikol
Setelah Diphenhydramine + Propilen glikol + air panas telah larut -> ditambahkan Nipagin 0.015 gram dan nipasol
sebanyak 0.045 gram. (dalam keadaan panas)
Melarutkan kedua fase tersebut ( Fase Minyak dan Air ) dengan cara : Memasukkan terlebih dahulu fase minyak ke dalam mortir panas -> Memasukkan Fase air ke dalam Fase Minyak sedikit demi sedikit sambil diaduk cepat -> dilanjutkan hingga kedua fase bercampur dan homogen.
Evaluasi Sediaan
a. Organoleptis
Evaluasi organoleptis menggunakan panca indra, mulai dari bau, warna,
tekstur sedian, konsistensi pelaksanaan menggunakan subyek responden ( dengan
kriteria tertentu ) dengan menetapkan kriterianya pengujianya ( macam dan item ),
menghitung prosentase masing- masing kriteria yang di peroleh, pengambilan
keputusan dengan analisa statistik.
b. Evaluasi pH
Evaluasi pH menggunakan alat pH meter, dengan cara perbandingan 60 g :
200 ml air (ata menyesuaikan) yang di gunakan untuk mengencerkan , kemudian
aduk hingga homogen, dan diamkan agar mengendap, dan airnya yang di ukur
dengan pH meter, catat hasil yang tertera pada alat pH meter.
c. Evaluasi daya sebar
Dengan cara sejumlah zat tertentu di letakkan di atas kaca yang berskala.
Kemudian bagian atasnya di beri kaca yang sama, dan di tingkatkan bebanya,
dan di beri rentang waktu 1 – 2 menit. kemudian diameter penyebaran diukur pada
setiap penambahan beban, saat sediaan berhenti menyebar ( dengan waktu tertentu
secara teratur ). Uji ini dilakukan dengan menggunakan alat–alat seperti sepasang
lempeng kaca bundar (extensometer) dan anak timbang gram. Krim ditimbang ± 0,5
gram diletakkan di tengah kaca bundar, di atas kaca diberi anak timbang sebagai
beban dan dibiarkan 1 menit. Diameter krim yang menyebar (dengan mengambil
panjang rata-rata diameter dari beberapa sisi) diukur kemudian ditambahkan 50 gram,
100 gram, 150 gram, 200 gram sebagai beban tambahan, setiap penambahan beban
didiamkan setelah 1 menit dan dicatat diameter krim yang menyebar seperti
sebelumnya. Cara di atas diulangi untuk setiap formula krim yang diperiksa masing-
masing 3 kali. Pengujian pertama dilakukan pada hari sediaan krim dibuat, kemudian
Krim yang telah terbentuk kemudian dimasukkan ke dalam wadah
disimpan selama satu minggu dan diuji lagi daya sebarnya, begitu seterusnya setiap
minggu selama satu bulan.
d. Uji aseptabilitas sediaan.
Dilakukan pada kulit, dengan berbagai orang yang di kasih suatu quisioner di buat
suatu kriteria , kemudahan dioleskan, kelembutan, sensasi yang di timbulkan,
kemudahan pencucian. Kemudian dari data tersebut di buat skoring untuk
masing- masing kriteria. Misal untuk kelembutan agak lembut, lembut, sangat
lembut
e. Uji homogenitas krim.
Masing-masing krim yang akan diuji dioleskan pada 3 buah krimas obyek untuk
diamati homogenitasnya. Apabila tidak terdapat butiran-butiran kasar di atas ketiga
krimasobyek tersebut maka krim yang diuji homogen. Pengujian homogenitas ini
dilakukan sebanyak 3 kali. Pengujian pertama dilakukan pada hari sediaan krim
dibuat setelah jadi krim langsung diuji homogenitasnya. Sediaan krim kemudian
disimpan selama satu minggu dan diuji lagi homogenitasnya, begitu seterusnya setiap
minggu selama satu bulan.
f. Uji viskositas krim.
Uji viskositas krim dilakukan dengan menggunakan alat viskometer Cup and Bob.
Rotor dipasang pada viskotester dengan menguncinya berlawanan arah dengan jarum
jam. Cup diisi sampel krim yang akan diuji setelah itu tempatkan rotor tepat berada
ditengah-tengah cup yang berisi krim, kemudian alat dihidupkan. Rotor mulai
berputar dan jarum penunjuk viskositas secara otomatis akan bergerak menuju ke
kanan, kemudian setelah stabil viskositas dibaca pada skala dari rotor yang
digunakan. Satuan yang digunakan menurut JLS 28809 standar viskositas yang telah
dikalibrasi adalah desipaskalsecond (dPas) setelah selesai pengukuran viskotester
dimatikan. Pengujian viskositas ini diulangi sebanyak tiga kaliuntuk tiap formula.
Pengujian pertama untuk viskositas dilakukan pada hari sediaan krim dibuat. Sediaan
krim kemudian disimpan selama satu minggu dan diuji lagi viskositasnya, begitu
seterusnya setiap minggu selama satu bulan.
g. Uji daya lekat krim.
Uji ini dilakukan dengan alat tes daya melekat krim. Dua objek glass, stopwatch,
anak timbangan gram dan dilakukan dengan cara melekatkan krim secukupnya di atas
objek glass yang lain di atas krim tersebut kemudian ditekan dengan beban 0,5 kg
selama 5 menit kemudian pasang objek glass pada alat tes setelah itu lepaskan beban
seberat 20 gram dan dicatat waktunya hingga kedua objek tersebut terlepas diulangi
cara di atas pada setiap formula masing-masing 3 kali. Pengujian pertama dilakukan
pada hari sediaan krim dibuat. Sediaan krim kemudian disimpan selama satu minggu
dan diuji lagi daya lekatnya, begitu seterusnya setiap minggu selama satu bulan.
h. Penentuan kadar bahan aktif dalam sediaan krim
Pengujian kadar dari bahan aktif suatu sediaan krim dapat dilakukan dengan
secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT) atau High Perpormance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan suatu
tekhnis analisis obat yang paling cepat berkembang. Cara ini ideal untuk analisis
beragam obat dalam sediaan dan cairan biologi karena sederhana dan kepekaannya
tinggi. KCKT biasanya dilakukan pada suhu kamar, jadi senyawa yang tidak tahan
panas dapat ditangani dengan mudah. Peralatan KCKT memiliki kepekaan yang
sangat tinggi sehingga menghasilkan data yang lebih akurat dan membutuhkan waktu
yang tidak lama.
VIII. HASIL PENGAMATAN
Uji organoleptis
Warna : putih
Bau : tidak berbau
Bentuk : konsitensi seperti krim
Uji Viskositas : -
Uji pH : -
Uji Daya Sebar : -
IX. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, kami melakukan pembuatan krim antihistamin
menggunakan bahan aktif diphenhidramine HCl. Menurut Farmakope Indonesia Edisi
III, krim adalah bentuk sediaan setengah padat, berupa emulsi mengandng air tidak
kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar. Kualitas dasar krim, yaitu:
1. Stabil, selama masih dipakai mengobati. Maka krim harus bebas dari
inkopatibilitas, stabil pada suhu kamar, dan kelembaban yang ada dalam kamar.
2. Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi
lunak dan homogen.
3. Mudah dipakai, umumnya krim tipe emulsi adalah yang paling mudah dipakai
dan dihilangkan dari kulit.
4. Terdistribusi merata, obat harus terdispersi merata melalui dasar krim padat
atau cair pada penggunaan (Anief, 1994).
Diphenidramine HCl merupakan antihistamine golongan turunan
monoethanolamine yang punya efek sedative dan antimuskarinik tetapi sedikit
memberikan efek gastrointestinal. Diphenidramine juga digunakan sebagai anti
emetik dalam pengobatan mual muntah, khususnya pada pencegahan dan pengobatan
mabuk(saat pemberian kurang dari 30 menit sebelum perjalanan) dan karena
pengobatan vertigo karena beberapa penyebab. Pemerian dari diphenidramin HCl
adalah serbuk kristalin putih, sedikit gelap jika terkena cahaya TL 16601700Larut 1:1
pada air, 1:2 pada etanol, 1:50 pada aseton, 1:2 pada klorofom, sedikit larut dalam
benzena dan eter. pKa 9,0 (250) Log P Octanol/air= 3,3. Diphenidramine HCl dengan
pemberian topikal dibuat dalam sediaan cream dengan konsentrasi 2 %.
Diphenidramin hidrokloride merupakan antagonis dari reseptor H1 histamin.
Diphenidramine menghambat pelepasan histamin H1 dengan cara meniadakan secara
kompetitif kerja histamin pada reseptor H1 dan tidak mempengaruhi histamin yang
ditimbulkan akibat kerja pada reseptor H2.
Formulasi yang digunakan dalam pembuatan krim diphenhidramin HCl adalah
Diphenidramin HCl Bahan aktif
Vaselin album basis
Paraffin solid basis
Setil alkohol Emulsifying Agent
Propilen glikolhumektan
Nipagin pengawet
Nipasol pengawet
Air pelarut
Sediaan krim yang dibuat adalah dalam bentuk O/W (minyak dalam air).
Pemilihan sediaan ini dikarenakan sifat fisika kimia dari bahan aktif yaitu
diphenidramine lebih larut dalam air, selain itu, sediaan O/W akan memudahkan
bahan aktif mencapai target reseptor.
Pada formulasi tersebut, basis yang digunakan adalah vaselin album dan parafin
solid, pemilihan ini berdasarkan acceptabilitas dari pemakai. Vaselin album dan
parrafin liquid berwarna putih dan tidak toksik sehingga lebih diterima oleh pemakai.
Pengawet yang digunakan adalah nipagin dan nipasol. Pemilihan ini dikarenakan
nipagin dan nipasol efektif pada pH4-8, dan sediaan krim yang dibuat mempunyai pH
6,2-6,5. Selain itu nipasol termasuk dalam antibakteri berspektrum luas. Penggunaan
kombinasi tersebut dapat meningkatkan keefektifan pada fungsinya sebagai pengawet.
Selanjutnya adalah Propilen glikol. Sebelumnya Propilen glikol adalah propana-1,2-
diol dengan rumus molekul C3H8O2 dan berat molekul 76,10. Propilen glikol berupa
cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis, dan higroskopik.
Propilen glikol dapat campur dengan air, dengan etanol (95%) P dan dengan
kloroform P, larut dalam 6 bagian eter P, tidak dapat campur dengan eter minyak
tanah P dan dengan minyak lemak.
Propilen glikol dapat berfungsi sebagai pengawet, antimikroba, disinfektan,
humektan, solven, stabilizer untuk vitamin dan kosolven yang dapat bercampur
dengan air. Sebagai pelarut atau kosolven, propilen glikol digunakan dalam
konsentrasi 10-30% larutan aerosol, 10-25% larutan oral, 10-60% larutan parenteral
dan 0-80% larutan topikal. Propilen glikol digunakan secara luas dalam formulasi
sediaan farmasi, industri makanan maupun kosmetik, dan dapat dikatakan relatif non
toksik. Digunakan untuk pembuatan resin sintetik; sebagai plasticizer; surface-active
agent; antifreeze; pelarut; agen pengemulsi; disinfektan; agen higroskopik; bahan
pendingin dalam sistem pendingin; bahan tambahan pangan; digunakan dalam produk
farmasi; minyak rem. Komponen dalam cellophane. Humektan; skin conditioning;
agen pengontrol viskositas.
Dalam formulasi atau teknologi farmasi, propilen glikol secara luas digunakan
sebagai pelarut, pengekstrak dan pengawet makanan dalam berbagai sediaan farmasi
parenteral dan non parenteral. Propilen glikol merupakan pelarut yang baik dan dapat
melarutkan berbagai macam senyawa, seperti kortikosteroid, fenol, obat-obat sulfa,
barbiturat, vitamin (A dan D), kebanyakan alkaloid dan berbagai anastetik local.
Propilen glikol dalam sediaan farmasi berfungsi sebagai humektan, pelarut,
pelicin, dan sebagai penghambat fermentasi dan pertumbuhan jamur, desinfektan, dan
untuk meningkatkan kelarutan (Weller, 1994). Selain itu juga penambahan propilen
glikol pada sediaan topikal juga dapat meningkatkan laju difusi (Agoes dkk, 1983)
Untuk mengetahui laju dan pengaruh zat peningkat penetrasi perlu dilakukan
pengujian pelepasan zat aktif secara in vitro dari sediaan semi solid dapat dilakukan
dengan metode lempeng agar dan metode membran. Kedua metode ini digunakan
untuk membandingkan pelepasan obat dari sediaan semi solid yang bervariasi
(Voight, 1994).
Pada pembuatan krim diphenhydramine HCl ini, Propilenglikol digunakan
sebanyak 15% yang artinya Propilen Glikol tersebut digunakan sebagai pelarut,
sekaligus pengawet dan antimikroba pada sediaan, berkombinasi dengan Nipagin &
Nipasol. Sebagai pelarut, Propilen glikol digunakan untuk melarutkan Nipagin,
Nipasol.
Selanjutnya adalah Setil alkohol. Setil alkohol berupa serpihan lilin berwarna
putih atau granul, memiliki sedikit bau dan rasa yang lemah. Umumnya
digunakan sebagai bahan penyalut, emulsifying agent dan stiffener. Setil alkohol
banyak digunakan pada kosmetik dan sediaan farmasi seperti supositoria, sediaan
padat dengan pelepasan termodifikasi, emulsi, lotion, dan krim. Pada emulsi air
dalam minyak (W/O), setil alkohol digunakan sebagai bahan pengabsorbsi air dan
sebagai emulgator lemah yang dapat mengurangi jumlah penambahan emulgator
lain dalam sediaan. Selain itu setil alkohol juga dilaporkan dapat meningkatkan
konsistensi emulsi W/O (Unvala, 2009).
Pada pembuatan krim Diphenhydramine HCl ini, setil alkohol digunakan sebagai
emulgator. Sehingga memudahkan pencampuran antara fase minyak dan fase air.
Selain itu juga digunakan sebagai pengental agar terbentuk masa krim yang
diinginkan.
Pada pembuatan krim Diphenhydramine HCl ini, sediaan yang diinginkan (krim)
tidak begitu saja terbentuk, diperlukan lebih dari 5 kali pengulangan saat
pembuatannya, hingga didapatkan massa krim yang diinginkan. Sediaan krim yang
tidak sesuai dengan yang diinginkan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal
seperti; suhu antara fase minyak dan fase air yang tidak sama, suhu mortir yang
kurang panas, pengadukan yang kurang kuat dan cepat juga konstan, jumlah air yang
kurang atau terlalu sedikit, hingga sifat dari emulgator yang lemah.
Saat pembuatan sediaan suhu antara fase minyak dan fase air kurang lebih harus
setara, agar fase minyak dapat tercampur homogen dengan fase air. Ketika fase
minyak dituang kedalam mortir panas kemudian ditambahkan dengan fase air dengan
suhu yang lebih dingin, kemungkinan kedua fase tersebut untuk bercampur adalah
kecil. Karena ketika fase air dengan suhu yang lebih rendah ditambahkan,
menyebabkan suhu dari fase minyak turun dan terpisah dari fase air.
Begitu juga bila mortir yang digunakan tidak panas, mortir tersebut dapat
mempengaruhi suhu dari fase minyak dan fase air. Fase minyak bersuhu tinggi dalam
bentuk cair yang seharusnya dapat bercampur, menjadi tidak dapat bercampur karena
suhu yang berubah.
Kemudian saat pengadukan dari campuran tersebut, setidaknya dilakukan
pengadukan yang cepat dan kuat juga konstan, agar fase minyak dan fase air
tercampur homogen. Pengadukan yang cepat membantu proses pencampuran agar
lebih cepat pula.
Meskipun suhu antara fase minyak dan fase air telah setara, pengadukan juga telah
dilakukan dengan kuat, cepat, dan konstan, namun bila jumlah air yang ditambahkan
terlalu sedikit, menyebabkan sediaan yang diinginkan tidak dapat terbentuk.
Konsistensi dari krim tersebut menjadi tidak sesuai dengan konsistensi krim yang
seharusnya. Bisa jadi krim yang terbentuk terasa seperti salep karena jumlah air yang
kurang atau terlalu sedikit. Sehingga penambahan air pun harus sesuai dengan
perhitungan.
Hal terakhir yang mempengaruhi hasil akhir sediaan adalah emulgator. Emulgator
yang digunakan pada sediaan krim ini adalah Setil alkohol, namun sifat Setil alkohol
sebagai emulgator tersebut termasuk lemah. Sehingga sulit didapatkan konsistensi
krim yang sesuai. Adapun untuk menutupi sifat emulgator yang lemah dari Setil
alkohol tersebut perlu dilakukan penambahan dari emulgator lain untuk membantu
proses emulsifikasi hingga didapatkan konsistensi krim yang tepat. Emulgator yang
dapat ditambahkan sebagai kombinasi yaitu seperti span 80, stearil alkohol, asam
stearat, TEA, dll.
X. KESIMPULAN
Pada praktikum kali ini dapat diambil kesimpulan yaitu :
Difenhidramin merupakan generasi pertama obat antihistamin.
Antihistaminika adalah zat zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek
histamin terhadap tubuh dengan jalan mengeblok reseptor histamine
( penghambatan saingan).
Pengelompokan berdasarkan sasaran kerjanya terhadap reseptor histamine:
1. Antagonis Reseptor Histamin H1
2. Antagonis Reseptor Histamin H2
3. Antagonis Reseptor Histamin H3
4. Antagonis Reseptor Histamin H4
Difenhidramin menghalangi reseptor H1 pada perifer nociceptors sehingga
mengurangi sensitisasi dan akibatnya dapat mengurangi gatal yang
berhubungan dengan reaksi alergi.
Diphenidramin hidrokloride merupakan antagonis dari reseptor H1 histamin.
Diphenidramine menghambat pelepasan histamin H1 dengan cara meniadakan
secara kompetitif kerja histamin pada reseptor H1 dan tidak mempengaruhi
histamin yang ditimbulkan akibat kerja pada reseptor H2.
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat, berupa emulsi mengandng air
tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar. Kualitas dasar
krim, yaitu:
1. Stabil
2. Lunak
3. Mudah dipakai
4. Terdistribusi merata
Sediaan krim yang dibuat adalah dalam bentuk O/W (minyak dalam air).
Pemilihan sediaan ini dikarenakan sifat fisika kimia dari bahan aktif yaitu
diphenidramine lebih larut dalam air, selain itu, sediaan O/W akan
memudahkan bahan aktif mencapai target reseptor.
Sediaan krim yang tidak sesuai dengan yang diinginkan tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa hal seperti; suhu antara fase minyak dan fase air
yang tidak sama, suhu mortir yang kurang panas, pengadukan yang kurang
kuat dan cepat juga konstan, jumlah air yang kurang atau terlalu sedikit,
hingga sifat dari emulgator yang lemah.
XI. KEMASAN DAN LABEL
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 2005. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Anonim. 2010. Tinjauan Pustaka. Available at: http://repository.usu. ac.id/ bitstre
am/123456789/26573/4/Chapter%20II.pdf (Last opened: 18 Oktober 2012)
Ansel C. Howard. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta. UI Press.
Bertra M,Katzung.1997. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 6. Jakarta : EGC
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 21.
Jakarta: Salemba Medika.
Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta:
FKUI
Budi, Imam. 2008. Pemakaian Antihistamin Pada Anak : FK-USU.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakolog dan terapi edisi 5. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
F. Estelle R. Simons, M.D.. 2004. Advances in H1-Antihistamines. The new england journal
Of medicine
Lachman,L., Herbert A.L., and Joseph L.K, 1994, Teori dan Praktek Farmasi Industri ed. 3,
UI Press, Jakarta
Rengganis, Iris. Yunihastuti, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Sukandar, Elin Yulinah, ISO Farmakoterapi. 2008. Jakarta: PT. ISFI
Sweetman, Sean C. 2009. Martindale Thirty-Edition. London-UK: Pharmaceutical Press.
Tan, Hoan Tjai. Obat-obat Penting. 2007.Jakarta: PT. Gramedia
Udin Sjamsudin, Hedi RD. 1995. Histamin dan Antihistamin dalam Farmakologi Dan Terapi
edisi 4, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta.
Voigt. R,.(1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Penerjemah Dr. Soendani
Noerono. Edisi Kelima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI SEDIAAN LIKUIDA DAN SEMISOLID
“FORMULASI KRIM DIPHENHYDRAMINE HCl”
KELOMPOK B3
ANGGOTA :
ALIFIANTI BALINDA P. 122210101067
AULIA ADITYA A. 122210101071
NIDIA RIZQI I. 122210101073
NORA PUTRI N. 122210101075
AFIFAH 122210101077
TGL. PRAKTIKUM : 05 NOVEMBER 2014
DOSEN : BUDIPRATIWI W., S.Farm., M.Sc., Apt.
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
NOVEMBER, 2014