Laporan Kasus Splinting

7
A. PENDAHULUAN Kegoyahan gigi merupakan salah satu gejala penyakit periodontal dapat disebabkan adanya kerusakan tulang yang mendukung gigi, trauma dari oklusi, dan adanya perluasan peradangan dari gingiva ke jaringan pendukung yang lebih dalam, serta proses patologik rahang (Strassler and Brown, 2001; Strassler, 2004) seringkali terjadi pada pasien dengan trauma karena oklusi disertai periodontitis kronis (Caputo and Wylie, 2009). Periodontitis kronis merupakan penyakit pada jaringan periodontal yang disebabkan terutama oleh bakteri spesifik pada subgingiva, yang dapat menimbulkan respon inflamasi gingiva menuju struktur periodontal pendukung dan berlanjut dengan hilangnya perlekatan jaringan pendukung hingga resorpso tulang alveolar sekitar gigi. Keadaan ini dapat mengakibatkan hilangannya perlekatan gingiva, pembentukan poket periodontal lalu terjadi kerusakan tulang alveolar sehingga meningkatkan kegoyahan gigi dan berakibat tanggalnya gigi (Carranza dkk., 2006). Salah satu perawatan yang dapat dilakukan untuk stabilisasi kegoyahan gigi akibat penyakit periodontal adalah splinting, setelah sebelumnya dilakukan perawatan scaling dan root planning atau kuretase. Menurut Fedi dkk (Fedi dkk., 2000) kegoyahan gigi diklasifikasikan menjadi tiga derajat. Derajat 1 yaitu kegoyahan sedikit lebih besar dari normal. Derajat 2 yaitu kegoyahan sekitar 1 mm, dan derajat 3 yaitu kegoyahan > 1 mm pada segala arah dan/atau gigi dapat ditekan ke arah apikal. Salah satu perawatan untuk stabilisasi kegoyahan gigi adalah splinting. Splinting diindikasikan pada keadaan kegoyahan gigi

description

laporan

Transcript of Laporan Kasus Splinting

Page 1: Laporan Kasus Splinting

A. PENDAHULUAN

Kegoyahan gigi merupakan salah satu gejala penyakit periodontal dapat disebabkan

adanya kerusakan tulang yang mendukung gigi, trauma dari oklusi, dan adanya perluasan

peradangan dari gingiva ke jaringan pendukung yang lebih dalam, serta proses patologik

rahang (Strassler and Brown, 2001; Strassler, 2004) seringkali terjadi pada pasien dengan

trauma karena oklusi disertai periodontitis kronis (Caputo and Wylie, 2009). Periodontitis

kronis merupakan penyakit pada jaringan periodontal yang disebabkan terutama oleh bakteri

spesifik pada subgingiva, yang dapat menimbulkan respon inflamasi gingiva menuju struktur

periodontal pendukung dan berlanjut dengan hilangnya perlekatan jaringan pendukung

hingga resorpso tulang alveolar sekitar gigi. Keadaan ini dapat mengakibatkan hilangannya

perlekatan gingiva, pembentukan poket periodontal lalu terjadi kerusakan tulang alveolar

sehingga meningkatkan kegoyahan gigi dan berakibat tanggalnya gigi (Carranza dkk., 2006).

Salah satu perawatan yang dapat dilakukan untuk stabilisasi kegoyahan gigi akibat penyakit

periodontal adalah splinting, setelah sebelumnya dilakukan perawatan scaling dan root

planning atau kuretase.

Menurut Fedi dkk (Fedi dkk., 2000) kegoyahan gigi diklasifikasikan menjadi tiga

derajat. Derajat 1 yaitu kegoyahan sedikit lebih besar dari normal. Derajat 2 yaitu kegoyahan

sekitar 1 mm, dan derajat 3 yaitu kegoyahan > 1 mm pada segala arah dan/atau gigi dapat

ditekan ke arah apikal. Salah satu perawatan untuk stabilisasi kegoyahan gigi adalah

splinting. Splinting diindikasikan pada keadaan kegoyahan gigi derajat 3 dengan kerusakan

tulang berat (Fedi dkk., 2000; Kegel dkk., 1979) Adapun indikasi utama penggunaan splint

dalam mengontrol kegoyahan yaitu imobilisasi kegoyahan yang menyebabkan

ketidaknyamanan pasien serta menstabilkan gigi pada tingkat kegoyahan yang makin

bertambah (Mc-Guire, 1996) Ditambahkan oleh Strassler dan Brown (Strassler and Brown,

2001) splinting juga digunakan untuk mengurangi gangguan oklusal dan fungsi mastikasi.

B. LAPORAN KASUS

Seorang pria berumur 32 tahun datang ke RSGM Prof Soedomo bagian periodonsia

dengan keluhan gigi bawah bagian depan goyah sehingga mengganggu saat pengunyahan,

hasil pemeriksaan subjektif pasien tidak menderita kelainan sistemik dan tidak ada alergi.

Hasil pemeriksaan klinis menunjukkan OHI pasien buruk, indeks plak >50%, terdapat resesi

hampir di semua gigi dan poket periodontal sebesar__ pada gigi _________, gigi 41

mengalami kegoyahan derajat 2, dan pemeriksaan radiografi menunjukkan adanya horizontal

alveolar boneloss pada mesial gigi 32 sampai mesial gigi 42 lebih dari ½ apeks gigi.

Page 2: Laporan Kasus Splinting

Diagnosis klinis dari kasus ini adalah periodontitis kronis pada gigi 41. Prognosis baik

karena pasien tidak memiliki penyakit sistemik, usia yang masih muda, dan memiliki

motivasi tinggi serta kooperatif.

C. PENATALAKSANAAN

Kunjungan awal dilakukan fase inisial berupa kontrol plak dan skaling. Pada

kunjungan satu minggu terlihat poket periodontal pada gigi 41 berkurang namun derajat

kegoyahan tidak berkurang, Tindakan awal splinting adalah membersihkan daerah kerja yaitu

dengan skaling dan polishing gigi 41 42 dan 43. Setelah polishing, dilakukan pengukuran

panjang daerah splint dengan menggunakan wire, fiber dipotong sesuai panjang wire

kemudian diletakkan diatas glassplate. Isolasi daerah kerja dengan cotton roll. Permukaan

lingual gigi 41 42 dan 43 dietsa dengan asam phosporik 30% selama 15 detik, bilas dengan

air dan keringkan. Lalu aplikasi bahan bonding dan disinari 10 detik. Aplikaso selapis resin

komposit flowable ke area lingual gigi 41 42 dan 43. Fiber yang telah dipotong dibasahi

dengan bonding lalu diletakkan diatas resin komposit flowable dan diratakan. Penyinaran

dilakukan bertahap masing-masing gigi yang displinting. Kemudian resin komposit flowable

diaplikasikan diatas fiber dan dibentuk sesuai kontur yang diperlukan. Dilakukan penyinaran

masing-masing 20 detik. Pada daerah diastema dilakukan penambalan dengan komposit dan

dibentuk. Pemolesam dilakukan bila diperlukan.

Kontrol satu minggu setelah pemasangan splinting pasien tidak ada keluhan sakit,

merasa lebih nyaman, tidak goyah. Pemeriksaan objektif menunjukkan poket periodontal 41

berkurang.

D. PEMBAHASAN

Terapi inisial disebut juga terapi fase I atau terapi higienik. Terapi inisial bertujuan

untuk membuang semua faktor lokal yang menyebabkan peradangan gingiva serta pemberian

instruksi dan motivasi pasien dalam melakukan kontrol plak. Terapi inisial juga disebut

sebagai fase etiotropik karena bertujuan untuk menghilangkan faktor etiologi penyakit

periodontal. Terapi inisial mencakup kontrol plak yang meliputi motivasi, edukasi dan

instruksi dari pasien, skaling. Pencapaian perawatan melalui bedah periodontal dapat

dilakukan bilamana terapi inisial berhasil dengan baik (Carranza, 2006).

Dari pemeriksaan klinis dapat disimpulkan etiologi disebabkan karena periodontitis

kronis. Penatalaksanaan gigi goyah dapat dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu

menghilangkan faktor penyebab dan faktor pengaruh (terutama traumatik oklusi) dan

menstabilkan gigi yang masih goyah (Prayitno, 1997). Pada kasus ini, tahap menghilangkan

Page 3: Laporan Kasus Splinting

faktor penyebab dan faktor pengaruh dilakukan untuk mengurangi keparahan kegoyahan

yang diakibatkan keadaan mulut yang kurang bersih. Setelah 1minggu pasca skaling,

kegoyahan gigi tidak berkurang sehingga perlu dilakukan splinting. Splint yang dipilih pada

kasus ini adalah fiber reinforced composite resin yang dipasang ekstrakoronal

Splinting adalah suatu alat yang bertujuan untuk imobilisasi atau stabilisasi

kegoyangan gigi. Splinting biasanya dilakukan pada fase I, sebelum fase bedah, baik berupa

splinting sementara maupun splinting permanen. Beberapa penelitian menunjukkan splinting

dapat meningkatkan resistensi jaringan terhadap kerusakan periodontal lebih lanjut dan

mempercepat respon penyembuhan (Noyan dkk., 1997).

Dahulu splinting pada gigi depan menggunakan wire splinting, kombinasi wire-

komposit atau meshkomposit. Terkadang wire splinting menimbulkan rasa sakit bagi pasien,

mudah kendor atau patah. Material tersebut hanya dapat secara mekanik terkunci di sekitar

resin, dan secara kemis tidak bersatu dengan resin. Kegagalan klinis disebabkan karena

muatan beban hanya ditempatkan pada splint dalam keadaan normal dan parafungsi, serta

menyulitkan dalam pembersihan dan mendorong terjadinya retensi plak, serta menimbulkan

rasa sakit dan ketidaknyamanan (Lie dkk., 1998). Adanya kelemahan pada bahan tersebut,

maka pada dekade terakhir dikembangkan penggunaan Fiber Reinforce Composite (FRC)

yaitu material berbahan dasar resin yang mengandung fibre yang bertujuan untuk

meningkatkan stabilitas gigi (Ganesh and Tandon, 2006).

Fiber Reinforce Composite dapat digunakan untuk palatal atau lingual splinting,

labial splinting atau occlusal splinting dan dapat digunakan untuk menutup diastema.

Keuntungan dari bahan ini adalah mudah pemeliharaan, bebas logam, transparan, estetik dan

tampak natural. FRC Splinting merupakan suatu terobosan baru, modern, efektif, estetik, dan

memberikan kenyamanan bagi pasien serta memudahkan dalam pembersihan, sehingga dapat

menjadi alternatif sebagai pengganti wire splinting baik dalam hal kekuatan maupun estetik

(Strassler and Brown, 2001).

Kontrol satu minggu setelah pemasangan splinting pasien tidak ada keluhan sakit,

merasa lebih nyaman, tidak goyang, gingiva bagian lingual terasa membengkak. Pemeriksaan

intra oral terlihat gingiva pada labial dan lingual gigi 41 kemerahan dan bengkak. Tindakan

yang dilakukan adalah melakukan skaling untuk menghilangkan deposit yang berupa plak,

kalkulus maupun endotoksin pada subgingiva yang menyebabkan kerusakan jaringan

periodontal dan berperan pada rekolonisasi mikroorganisme yang bersifat patogen. Pasien

dianjurkan untuk konsultasi dengan dokter gigi spesialis periodonsia untuk dilakukan terapi

Page 4: Laporan Kasus Splinting

tambahan berupa aplikasi bahan antibiotik dan bone graft agar perlekatan jaringan

periodontal meningkat dan menurunkan kedalaman poket sehingga terapi lebih maksimal.

KESIMPULAN

- Kegoyahan gigi pada kasus ini disebabkan oleh iritasi lokal dari plak dan kalkulus

sehingga menjadi periodontitis kronis.

- Kegoyahan gigi dapat diatasi dengan perawatan splint. Pada kasus ini digunakan

splint ekstrakoronal fiber reinforced composite yang dipasangkan secara

permanen untuk menstabilkan gigi yang goyah.

- Diperlukan perawatan tambahan oleh dokter spesialis periodonsia agar perlekatan

jaringan periodontal meningkat dan menurunkan kedalaman poket

DAFTAR PUSTAKA

Carranza FA. 2006. Clinical diagnosis dalam Carranza FA, Newman MG, (eds). Clinical

periodontology. 8th ed. Philadelphia: WB Saunders Company

Noyan U, Yilma S, Kuru B. 1997. A clinical and microbiological evaluation of sistemic and

local metronidazole delivery in adult periodontitis patients. J Clin Periodontol., 24:

158-65.

Strassler HE., Brown C. 2001. Periodontal splinting with a thinhigh modulus polyethylene

ribbon. Compend Contin Educ Den., 22: 610-20.

Strassler HE. 2004. Periodontal splinting with fiber reinforced composite resin. Compend

Contin Educ Dent., 25: 53-9.

Fedi PF, Vernini AR, Gray JL. 2000. The Periodontics syllabus. Lippincott : Williams and

Wilkins.

Kegel W, Kelsinki H., Philip C. 1979. The Effect of splinting on tooth mobility during initial

therapy. J Clin Periodontol., 6: 45-58

Mc-Guire MK. 1996. Periodontal-restorative interrelationships. Dalam: Carranza FA,

Newman MG, (eds). Clinical periodontology. 8th ed. Philadelphia: WB Saunders

Company.

Lie T, Bruun G, Boe OE. 1998. Effect of topical metronidazole and tetracycline in the

treatment of adult Perioidontitis. J Periodontol., 69: 819-27.

Page 5: Laporan Kasus Splinting

Ganesh M, Tandon S. 2006. Versatility of ribbond in contemporary dental practice. Trend

Biometer Artif Organs., (1): 53-8.

Prayitno SW. 1997. Penatalaksanaan Gigi Goyang Akibat Kelainan Jaringan Periodontium,

Cermin Dunia Kedokteran., 115 : 56-9.