Laporan Kasus Jaundice Obstructive

19
Laporan Kasus OBSTRUKSI JAUNDICE PEMBIMBING : dr. Bayu Rusfandi Nst PENYAJI : - Desy Handayani AFS - Marini Yusufina Lubis - M. Faqih Lazuardi - Fadila Safira - M. Arief Pratama DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP H. ADAM MALIK

description

obstruktif jaundice

Transcript of Laporan Kasus Jaundice Obstructive

Page 1: Laporan Kasus Jaundice Obstructive

Laporan Kasus

OBSTRUKSI JAUNDICE

PEMBIMBING : dr. Bayu Rusfandi Nst

PENYAJI : - Desy Handayani AFS

- Marini Yusufina Lubis

- M. Faqih Lazuardi

- Fadila Safira

- M. Arief Pratama

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN

2014

Page 2: Laporan Kasus Jaundice Obstructive

2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul Obstructive Jaundice”.

Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing, dr. Bayu Rusfandi Nst , yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesiakan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 25 Februari 2014

Penulis

Page 3: Laporan Kasus Jaundice Obstructive

3

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................. 2

Daftar isi............................................................................................................................. 3

Bab 1 Pendahuluan............................................................................................................ 4

Bab 2 Obsruksi Jaundice ................................................................................................. 6

2.1. Definisi........................................................................................................... 62.2. Etiologi........................................................................................................... 62.3. Klasifikasi....................................................................................................... 62.4. Patofisiologi.................................................................................................... 72.5. Gejala klinis.................................................................................................... 82.6. Diagnosis........................................................................................................ 82.7. Pemeriksaan penunjang.................................................................................. 82.8. Komplikasi..................................................................................................... 92.9. Penatalaksanaan.............................................................................................. 9

Bab 3 Laporan Kasus........................................................................................................ 11

Bab 4 Penutup.................................................................................................................... 20

Daftar Pustaka................................................................................................................... 21

Page 4: Laporan Kasus Jaundice Obstructive

4

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gangguan sistem empedu cukup banyak pada populasi dan kasus terbanyak disebabkan

oleh batu saluran empedu (kolelititasis). Di Amerika, 20 % pasien batu saluran empedu

memiliki umur di atas 65 tahun dan 1 juta kasus batu saluran empedu dilaporkan setiap

tahunnya (Bonheur, 2012).

Jaundice merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan konsentrasi bilirubin

serum yang menyebabkan manifestasi klinis berupa kulit dan sklera yang kuning. Ini bisa

disebabkan adanya obstruksi parsial atau total dari empedu dan komponen dari hati ke

saluran cerna (kolestasis). Kolestasis dapat muncul di dalam hati maupun di saluran empedu

karena adanya obstruksi mekanis (jaundice obstruksi) (Briggs, 2007).

Obstruksi jaundice bukan merupakan diagnosis definitf dan dibutuhkan diagnosis yang

cepat karena dapat muncul keadaan patologis jika tidak segera ditangani. Diagnosis yang

cepat baik berupa invasif maupun noninvasif dibutuhkan untuk menegakkan penyebab

obstruksi jaundice. Tes yang invasif dapat menyebabkan kolangitis dan tidak semua daerah

memiliki tes noninvasif seperti Computed Tomography Scan (CT scan) dan Magnetic

Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) sehingga Ultrasonography (USG)

merupakan tes yang masih dapat dipakai (Chalya, 2011).

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah bagaimana gambaran klinis dan

penatalaksanaan serta perjalanan penyakit pasien yang mengalami jaundice obstruksi ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan dalam laporan kasus ini adalah :

1. Untuk memahami tinjauan teoritis mengenai jaundice obstruksi.

2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran terhadap kasus jaundice obstruksi pada

pasien secara langsung.

3. Untuk memahani perjalanan penyakit jaundice obstruksi.

Page 5: Laporan Kasus Jaundice Obstructive

5

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari laporan kasus ini adalah :

1. Memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran di bidan ilmu penyakit dalam

khususnya mengenai jaundice obstruksi.

2. Sebagai bahan informasi bagi para pembaca yang ingin mendalami lebih lanjut

mengenai topik yang berkaitan dengan jaundice obstruksi.

Page 6: Laporan Kasus Jaundice Obstructive

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jaundice Obstruktif

2.1.1. Definisi dan Etiologi

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran

mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat

konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai akibat pemecahan

cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolisme sel darah merah.

Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis jaune yang berarti kuning. Ikterus

sebaiknya diperiksa di bawah cahaya terang siang hari, dengan melihat sklera mata.

Ikterus dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu ikterus hemolitik dan ikterus obstruktif.

Ikterus obstruktif, disebabkan oleh obstruksi duktus biliaris (yang sering terjadi bila

sebuah batu empedu atau kanker menutupi duktus koledokus) atau kerusakan sel hati

(yang terjadi pada hepatitis), kecepatan pembentukan bilirubin adalah normal, tapi bilirubin

yang dibentuk tidak dapat lewat dari darah ke dalam usus.

Ikterus obstruktif atau bisa juga disebut kolestasis dibagi menjadi 2 yaitu kolestasis

intrahepatik dan ekstrahepatik. Penyebab paling sering kolestatik intrahepatik adalah

hepatitis, keracunan obat, penyakit hati karena alkohol dan penyakit hepatitis autoimun

sedangkan penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus

dan kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relatif lebih jarang adalah striktur jinak (operasi

terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus, pankreatitis atau

pseudocyst pankreas dan kolangitis sklerosing (Pratt, 2008)

2.1.2 Klasifikasi

1. Prehepatic : merupakan gangguan hati yang terjadi sebelum organ hepar yang

disebabkan oleh adanya peningkatan hemolisis seperti: malaria, leptospirosis , sindrom

uremik hemolitik , anemia sel sabit,

thalasemia dan G - 6 - PDH defisiensi dapat menyebabkan peningkatan lisis sel darah

merah.

Temuan laboratorium : Urine - tidak ada bilirubin, urobilirubin > 2 unit , serum :

peningkayan bilirubin tak terkonjugasi.

Page 7: Laporan Kasus Jaundice Obstructive

7

2. Hepatic : yaitu dimana jaundice yang berasal dari gangguan hepar sendiri, sehingga

mengakibatkan penyakit kuning yang disebabkan oleh hepatitis akut , hepatotoksisitas ,

sindrom Gilbert , sindrom Crigler - Najjar dan alkoholik. Penyebab lainnya adalah

ikterus neonatal ( biasanya tidak berbahaya , yang berlangsung sampai dsy 8 sampai 14

dalam kelahiran prematur yang disebabkan oleh metabolisme dan penyesuaian

fisiologis setelah kelahiran ) dan primary biliary cirrhosis .

Temuan laboratorium : Urine : adanya bilirubin terkonjugas, urobilirubin > 2 unit .

3. Posthepatic : jaundice terletak setelah konjugasi bilirubin dalam hati .

Ikterus ini , juga disebut jaundice obstruktif , disebabkan oleh gangguan untuk drainage

empedu dalam sistem empedu. Penyebab paling umum adalah batu empedu pada

saluran empedu , kanker di kepala pankreas (Constantin, 2012).

2.1.2. Patofisiologi

Obstruksi ekstrahepatik terhadap aliran empedu dapat terjadi di dalam saluran

sekunder atau kompresi eksternal . Secara keseluruhan , batu empedu adalah penyebab paling

umum dari obstruksi bilier . Penyebab lain penyumbatan dalam saluran termasuk keganasan ,

infeksi , dan sirosis bilier . Eksternal kompresi dari saluran-saluran sekunder dapat terjadi

peradangan ( misalnya , pankreatitis ) dan keganasan .

Akumulasi dari bilirubin dalam aliran darah dan berpindahnya ke kulit menyebabkan

penyakit kuning ( ikterus ) . Ikterus konjungtiva merupakan tanda yang lebih sensitif untuk

hiperbilirubinemia daripada tanda penyakit kuning biasanya . Jumlah nilai bilirubin serum

biasanya 0,2-1,2 mg / dL . Pada ikterus dijumpai nilai bilirubin serum hingga 3 mg / dL .

Urine bilirubin biasanya tidak ada, hanya bilirubin terkonjugasi yang dapat dilewatkan ke

dalam urin . Hal ini dapat dibuktikan dengan urin berwarna gelap terlihat pada pasien dengan

ikterus obstruktif atau penyakit kuning karena cedera hepatoseluler . Namun, strip reagen

sangat sensitif terhadap bilirubin , mendeteksi sesedikit 0,05 mg / dL . Dengan demikian ,

bilirubin urine dapat ditemukan sebelum bilirubin serum mencapai tingkat yang cukup tinggi

untuk mendiagnosa ikterus secara klinis .

Kurangnya bilirubin dalam saluran usus bertanggung jawab atas tinja pucat biasanya

terkait dengan obstruksi bilier . Penyebab gatal ( pruritus ) yang berhubungan dengan

obstruksi bilier tidak jelas . Beberapa kasus ini mungkin berhubungan dengan akumulasi

asam empedu di kulit (Constantin, 2011)

Page 8: Laporan Kasus Jaundice Obstructive

8

2.1.3 Diagnosa

2.1.3.1 Gejala Klinis & Pemeriksaan Fisik

Pada saat datang Pasien biasanya mengeluh tinja pucat, urin gelap, sakit kuning, dan

pruritus.

Pada pemeriksaan fisik, pasien mungkin menampilkan tanda-tanda penyakit kuning (kulit dan

ikterus). Ketika perut diperiksa, kantong empedu dapat teraba (tanda Courvoisier ). Hal ini

dapat dikaitkan dengan keganasan pankreas. Kemudian ditemukan adanya tanda-tanda

penurunan berat badan, adenopathies, dan darah samar pada tinja, menunjukkan lesi

neoplastik. Lalu perhatikan ada atau tidak adanya ascites dan sirkulasi kolateral yang

berhubungan dengan sirosis. Bila diikuti demam tinggi dan menggigil dapat dicurigai adanya

kolangitis .

     Nyeri perut dapat membingungkan diagnosa, beberapa pasien dengan CBD memiliki

penyakit kuning tanpa rasa sakit, sedangkan beberapa pasien dengan hepatitis mengalami

nyeri menyedihkan di kuadran kanan atas. Keganasan lebih umumnya terkait dengan tidak

adanya rasa sakit dan nyeri selama pemeriksaan fisik (Medscape, 2012)

 

2.1.3.2 Pemeriksaan Penunjang

Serum bilirubin: Terlepas dari penyebab kolestasis, nilai bilirubin serum (terutama direct)

biasanya meningkat. Namun, tingkat hiperbilirubinemia tidak dapat membantu mendiagnosa

penyebab obstruksi

Alkaline fosfatase (ALP), ALP yang nyata meningkat pada orang dengan obstruksi bilier.

Namun, tingkat tinggi enzim ini tidak spesifik untuk kolestasis. Untuk menentukan apakah

enzim yang berasal dari hati ukur mennggunakan gamma-glutamil transpeptidase (GGT) atau

5-prime-nucleotidase. Nilai-nilai ini cenderung sama untuk pemeriksaan ALP pada pasien

dengan penyakit hati namun GGT paling sering digunakan. Sementara itu pada bagian untuk

evaluasi rutin obstruksi bilier, tingkat elevasi ALP tidak dapat digunakan untuk membedakan

antara penyebab ekstrahepatik dan intrahepatik dari obstruksi.

Penggunaan radiografi polos adalah pemilihan alat yang terbatas untuk membantu

mendeteksi kelainan pada sistem bilier. Sering, batu tidak dapat divisualisasikan karena

sedikit yang radiopak.

Page 9: Laporan Kasus Jaundice Obstructive

9

Ultrasonografi adalah alat yang paling aman, dan paling sensitif teknik untuk

memvisualisasikan sistem bilier, terutama kantong empedu. Akurasi alat ini mendekati

dengan 95%.

Computed tomography (CT) scan biasanya dianggap lebih akurat daripada USG untuk

membantu menentukan penyebab dan tingkat obstruksi tertentu. Selain itu, membantu

memvisualisasikan struktur hati yang lebih konsisten dari USG. Penambahan kontras

intravena membantu membedakan dan menentukan struktur pembuluh darah dan saluran

empedu (Medscape,2012)

2.1.3. Komplikasi

Komplikasi jaundice bisa menyebabkan sepsis terutama akibat kolangitis, sirosis bilier,

pankreatitis, koagulopati, ginjal dan gagal hati. Komplikasi lain yang terkait dengan penyakit

yang mendasari timbulnya jaundice

Cholangitis terutama jenis supuratif (Charcot triad atau pentad Raynaud) biasanya

sekunder choledocholithiasis (Constantin, 2012).

2.1.4. Tatalaksana

2.1.4.1. Non-Farmakologi

Pengobatan tergantung pada apa yang menyebabkan obstruksi, namun untuk tatalaksana

operasi yang bersifat intervensi operatif adalah dekompresi bilier

dengan pemindahan debris tumor atau bekuan darah tumor

dan jika mungkin reseksi kuratif tumor hati. itu

umum digunakan metode operasi adalah lobektomi (termasuk

tumor primer dan trombus tumor di saluran empedu),

hepatectomy ditambah thrombectomy, choledochotomy dengan T-tube

drainase saja, stenting bilier internal atau pengalihan empedu. (Qin, 2002)

2.1.4.2 Farmakologi

Bile acid–binding resins, cholestyramine (4 g) or colestipol (5 g) ,dilarutkan dalam air

atau jus 3 kali sehari mungkin berguna dalam pengobatan gejala pruritus berhubungan

dengan obstruksi bilier . Namun, kekurangan vitamin A , D , E , dan K dapat terjadi jika

adamya steatorrhea dan dapat diperburuk oleh penggunaan cholestyramine atau colestipol.

Page 10: Laporan Kasus Jaundice Obstructive

10

Antihistamin dapat digunakan untuk pengobatan gejala pruritus , terutama sebagai obat

penenang pada malam hari . Efektivitas mereka sederhana . Opioid endogen telah berperan

dalam pengembangan pruritus kolestasis . .

Rifampisin telah disarankan sebagai tambahan medis untuk pengobatan kolestasis .

Dengan mengurangi bakteri usus , memperlambat konversi utama untuk garam empedu

sekunder dan dapat mengurangi kadar bilirubin serum , kadar ALP ,dan pruritus pada pasien

tertentu (Medscape,2012).

Page 11: Laporan Kasus Jaundice Obstructive

11

a

Page 12: Laporan Kasus Jaundice Obstructive

12

BAB 4

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Laki-laki, 44 tahun mengalami Obstruksi jaundice ec cholangio ca, ca caput pancreas, ca ampula vater + Post PSMBA ec. Stress ulcer, ulcus bleeding, gastritis erosive, sepsis ec. Cholangitis + AKI std injury

Page 13: Laporan Kasus Jaundice Obstructive

13

DAFTAR PUSTAKA

Antignac C. 2002. Genetic models: clues for understanding the pathogenesis of idiopathic nephrotic syndrome. J. Clin. Invest; 109:447–449.

Berre LB. 2002. Extrarenal effects on the pathogenesis and relapse of idiopathic nephrotic syndrome in Buffalo/Mna rats. Diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC150869/

Brady HR. 2008. Glomerular diseases. In: Fauci AS et.al. (eds). Harrison's Principles of Internal Medicine 7th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies. 1684-1688.

Cohen EP et.al. 2011. Nephrotic Syndrome. In: Batuman V. Medscape Reference. [Online]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/244631. [Accessed: June 10th, 2012].

Davis ID. 2004. Glomerular diseases. In: Kleigman, RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF (eds). Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.

Dugdale DC, Lin HY. 2011. Nephrotic syndrome. PubMed Health. A.D.A.M. Medical Encyclopedia. Atlanta (GA): A.D.A.M.; 2011. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001520/[Accessed:10 June 2012].

Grimbert P et al. Recent approaches to the pathogenesis of minimal-change nephrotic syndrome. Nephrol Dial Transplant. 2003; 18: 245–248

Gunawan CA. 2006. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran No. 150; 50-53. Website: kalbe farma. [cited 2010, Nov 28]. Available: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.html.

Frank C. Dominant T cells in idiopathic nephrotic syndrome of childhood. Kidney International, Vol. 57. 2000; 510–517.

Hogg RJ. Adolescents with proteinuria and/or the nephrotic syndrome. Adolesc Med. 16. 2005; 163–172.

Ismail D, et.al. 2006. Sindrom Nefrotik. Rani AA, et.al. (eds). Panduan Pelayanan Medik PAPDI. Jakarta: PB. PAPDI.

Jalanko H. Congenital nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 2009; 24: 2121–2128.

Keddis MT, Karnath BM. The Nephrotic Syndrome. Hospital Physician. 2007; 38: 25 – 30.

Mansjoer A, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 edisi ketiga. Jakarta : fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal.526.

Prodjosudjadi W. 2009. Sindrom Nefrotik. In: Sudoyo AW .et.al.(eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Internal Publishing; 992-1002.

Page 14: Laporan Kasus Jaundice Obstructive

14

SarithaDhruvakumar. 2008. Nephrotic Syndrome. In: Steenbergen M et.al. (eds). The 5-Minute Clinical Consult 2008 - 16th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Seigneux S, Martin P. Management of patients with nephrotic syndrome. Swiss Med Wkly 2009; 139 (29 – 30) : 416 – 422.

Watnick S, Morrison G. 2008. Kidney Disease. In: McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM. CURRENT Medical Diagnosis & Treatment 47th ed. New York: The McGraw-Hill; 805-808.