Laporan Aldp Tahun 2011 Ina

download Laporan Aldp Tahun 2011 Ina

of 24

Transcript of Laporan Aldp Tahun 2011 Ina

Aliansi Demokrasi untuk Papua (Alliance of Democracy for Papua)YAYASAN KERJA SAMA UNTUK DEMOKRASI DAN KEADILAN

Laporan Akhir Tahun 2011

Simbol, Bahasa dan Peristiwa Kekerasan Ada Dimana mana

I. PENDAHULUAN : Papua tahun 2011 masih dipenuhi dengan aksi kekerasan bahkan meningkat dibanding tahun sebelumnya. Berlangsung masif di kampung maupun di kota, terjadi secara intensif pada rentang waktu yang begitu lama di wilayah atau tempat tertentu seperti kasus PT Freeport,Puncak Jaya dan Jayapura.Di ruang agama, etnis dan berbagai profesi serta korbannya beragam yakni masyarakat sipil dan aparat keamanan. Meskipun kita mencatat banyak aksi kekerasan dan korban jiwa namun tetap sulit untuk mengetahui fakta yang sebenarnya. Aksi aksi tersebut seolah memaksa public untuk mengidentifikasi pelaku dan motifnya, saling mencurigai dan hidup dalam ketakutan. Uang dan kekuasaan diduga masih menjadi motif yang sangat kuat untuk mengorbankan siapa saja, rakyat ataupun pihak keamanan. Pemerintah khususnya aparat hukum belum mampu mencegah ataupun mengungkapkan pelaku dan motif serta hubungan dari berbagai aksi kekerasan. Ketidakmampuan bersikap netral dan tingginya kontestasi internal dalam institusi hukum dan aparat keamanan lainnya untuk kepentingan uang dan kekuasaan menjadi pemicu utamanya. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah, siapa yang akan melindungi mereka apalagi pada sejumlah peristiwa, aparat keamanan menjadi juga korban. Pemerintahan sipil di daerah tidak mampu menyelenggarakan pemerintahan dan melindungi rakyatnya meskipun memiliki otoritas dan sumber dana termasuk respon terhadap berbagai aksi kekerasan disaat penyelenggaraan pemerintahan masih berstatus Tertib Sipil. Dominasi pemerintah pusat semakin kuat, baik dalam bentuk intervensi berbagai regulasi maupun perilaku.

II. ISU ISU UTAMA 1. Pemerintahan Sipil di Daerah Tidak Mampu Menyelenggaraan Pemerintahan dan Melindungi Rakyatnya. a. Setidaknya dalam 6 bulan terakhir, pemerintahan sipil di propinsi Papua dijalankan oleh penjabat Gubernur yang tidak memiliki perspektif daerah, masih menjabat sebagai Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri dan sangat berorientasi pada kepentingan pusat. Sehingga tidak mampu menjalankan tugas dengan maksimal, gagal berkomunikasi dengan lembaga pemerintahan lainnya di daerah dan dengan rakyat. Selain itu masih melihat pendekatan keamanan sebagai jurus utama untuk mengatasi masalah di Papua. b. Sejalan dengan itu pada kabupaten-kabupaten yang intensitas aksi kekerasannya cukup tinggi para bupatinya ikut mencalonkan diri pada pilgub Papua. Sangat sibuk mempersiapkan kemenangannya sehingga penyelenggaraan pemerintahan di daerah menjadi macet. Tidak ada peran yang maksimal untuk turut mengatasi permasalahan di daerahnya, justru membuka intervensi pada pusat (pendekatan keamanan). c. Banyaknya dana-dana yang langsung turun ke kampung menyebabkan peran pemerintah distrik menjadi melemah sebab kampung cenderung memilih berkomunikasi langsung di kantor bupati sehingga aparat kampung juga lebih banyak di kota. Meksipun banyak dana turun ke kampung namun belum ada perubahan yang berarti terutama untuk kampung atau desa di wilayah terpencil selain perubahan pola hidup yang berorientasi ke uang. Monitoring ataupun pengawasan ke kampung atau desa jarang dilakukan. d. Institusi MRP telah dilumpuhkan dalam hal regulasi maupun personal dapat dilihat mulai dari proses pemilihan dan penetapan anggota MRP, pemilihan pimpinan dan kedudukan MRP semua dikendalikan oleh Jakarta. Pimpinan Daerah dan para anggota MRP sendiri tidak mampu bersikap konsisten dan dengan mudah meninggalkan komitmen yang sudah dibuat. Terbentuknya MRP dan MRPB menyebabkan munculnya persoalan internal seperti perubahan Tata Tertib, pemilihan pimpinan MRP yang baru dan ketegangan diantara anggota. Demikian juga pendanaannya sebab ketika terpilih dan mulai bekerja MRP dan MRPB belum memiliki pos tersendiri di dalam APBD sehingga masih bergantung pada pembiayaan dari Sekretariat Daerah. e. Peran DPRP hanya berkembang pada focus isu tertentu yang dilakukan atau dimobilisasi oleh orang orang tertentu sedangkan peran dari anggota yang lain sulit dipantau. Akibatnya tidak adanya koordinasi dan berakibat pada buruknya mekanisme pengambilan keputusan dan proses adminitrasi. Fokus pembahasan regulasi daerah tahun 2011 hanya pada PERDASUS Pemilihan Gubernur dan

Holding Company,menunjukkan bahwa orientasi peraturan mengarah pada kepentingan kekuasaan dan sumber pendanaan bagi pemerintah daerah bukan pada kepentingan rakyat. f. Upaya upaya konstitusional yang dilakukan oleh berbagi pihak menuju pilgub, misalnya mengenai periodesasi jabatan gubernur dan hak konstitusional warga negara diduga masih sarat dengan kepentingan politik. Sementara itu berbagai instrument hukum yang berbeda masih tetap diberlakukan sehingga pendidikan demokrasi dan politik di tingkat rakyat belum berkembang bahkan makin membingungkan sebab hanya dimainkan untuk kepentingan actor- actor politik. Kini isu-isu gerakan separatis ikut dikaitkan dalam pemerintahan daerah, misalnya saat pilkada,penyelenggaraan pemerintahan ataupun pada proyek infrastruktur. Ada dugaan bahwa scenario melibatkan TPN/OPM pada batalnya proyek inftrastruktur yang bernilai milyaran rupiah sengaja dilakukan agar dananya dapat diselewengkan sekaligus keterlibatan TPN/OPM dapat menimbulkan ketakutan bagi pihak pihak yang akan memeriksa atau mendatangi tempat proyek infrastruktur tersebut.Isu separatis juga makin kuat sebagai alat justifikasi untuk pengerahan aparat keamanan di sejumlah areal perusahaan(besar atau kecil) dan alat pertarungan eksistensi dari aparat keamanan.

g.

2.

Sepuluh Tahun Otonomi Khusus(Otsus) : Gagal Memenuhi Hak hak Dasar Rakyat Papua Setelah tuntutan pengembalian Otsus di tahun 2010,tahun 2011 lebih didominasi oleh berita berita mengenai evaluasi Otsus setidaknya berita evaluasi yang dilakukan oleh DPD RI, DPRP dan Kemendagri namun belum ada laporan dan tindaklanjut dari proses evaluasi tersebut. Hingga kini pemerintah masih mempertahankan Otsus sebagai kebijakan yang dinilai mampu mengatasi berbagai persoalan Papua, setidaknya belum ada pilihan lain. Pelaksanaan Otsus masih difokuskan pada penyelesaian permasalahan kesejahteraan sedangkan pemenuhan hak sipil dan politik terutama dengan institusionalisasi instrument Hak Asasi Manusia yang tercantum di dalam Otsus termasuk hak hak berdemokrasi dan kebebasan berekpresi justru di represif. Meningkatnya kasuskasus sipol dan ekosob di tahun 2011 semakin menunjukkan gagalnya Otsus sebagai solusi buat Papua. Otsus bukan saja membuat banyak uang masuk ke Papua, Otsus juga membuat banyak uang yang ditarik ke luar dari Papua mulai dari praktek pencairan dana Otsus pada lembaga pemerintahan di pusat dengan praktekuang kecil beli uang besar,

a.

b.

c.

praktek uang beli proyek, budaya upeti untuk pejabat pemeriksan, budaya konsumtif untuk menghambur-hamburkan uang ke luar Papua dan praktek korupsi lainnya. d. Dugaan korupsi muncul dalam berbagai versi, mulai dari pernyataan pihak polda Papua, Kejaksaan Tinggi Papua, Laporan PCW hingga temuan BPK yakni bahwa ada dugaan indikasi penyalahgunaan dana Otsus sejak 2001 2010 sekitar Rp.4 Trilyun namun sebagian besar temuan belum ditindaklanjuti.Penjelasan Kajati Papua ada 142 kasus korupsi di Papua dan Papua Barat(Bintang Papua 3/8/2011), 69 ditahap penyelidikan ,44 sudah dilimpahkan dan di tahun 2011 ada sekitar 20 kasus yang baru diputus di Pengadilan Tipikor sebagaimana penjelasan ketua PN Jayapura(Cepos/4/01/2012). Kebijakan bagi bagi uang dalam bentuk dana RESPEK, pemberdayaan ataupun khusus dana BK3 untuk kab Keerom belum mampu didistribusikan dan dipertanggungjawabkan dengan baik hanya sebagian kecil saja yang mampu membuat perubahan. Meskipun disediakan pendamping namun proses pendampingan tidak berjalan maksimal. Kadang pihak di kampung atau desa menggunakan uang terlebih dahulu baru memberitahukan pendamping, pendamping tidak mampu mendatangi setiap kampung karena keterbatasan dana,ataupun pendamping yang mengundurkan diri. Selain itu sistem adminisitrasi yang rumit menyebabkan kesulitan dalam pelaporan keuangan. Pengawasan yang dilakukan cenderung hanya di atas kertas,karena tidak disediakan dana khusus untuk turun ke lapangan,demikian penjelasan seorang pegawai inspektorat di Kab Keerom. Pendistribusian bantuan phisik termasuk dari dana Otsus seringkali hanya terbatas di pusat kota atau hanya berakhir di pusat- pusat pemerintahan distrik.Pendistribusian bantuan ke tempat tujuan seringkali dibebani ke dinas ataupun distrik tanpa disertakan dukungan dana. Akibatnya bantuan yang menumpuk,tidak terpakai atau hilang. Otsus belum menjadi sesuatu yang khusus buat Papua selain banyaknya uang yang sulit dikendalikan,masuk dan keluar dari Papua.Sejalan dengan makin tidak jelasnya implementasi Otsus maka kekhususan yang awalnya dilekatkan pada identitas kepapuan dan kebijakan pembangunan wilayah, makin kabur secara regulasi maupun perilaku.

e.

f.

g.

3. Aksi Kekerasan Meningkat dan Semakin Terbuka a. Bendera Bintang Kejora masih menjadi alat propaganda untuk memberikan alamat pada gerakan Papua Merdeka.Setidaknya masih terjadi aksi pengibaran bendera pada waktu tertentu seperti tanggal 1 Desember 2011, seperti yang terjadi di Merauke, Wamena, Timika, Puncak Jaya dan Jayapura. Ataupun dikibarkan atau

ditemukan saat operasi penyisiran seperti pengibaran di Tanah Hitam dan kasus Nafri di Jayapura pada bulan agustus. b. Aksi kekerasan terhadap warga sipil terus terjadi dan di depan mata seperti kasus Kali Kopi 7 April 2011,Samabusa Nabire Derek Adi 14 Mei 2011, Penembakan Nafri Agustus 2011, Keerom Dasnum Gomba 17 Agustus 2011, Gorong Gorong Timika 10 Oktober 2011 , KRP III 19 Oktober 2011 dan Matias Tenouye di Degewo 13 November 2011 serta lainnya. Meskipun pada kasus tertentu ada indikasi yang jelas mengenai pelakunya namun pihak kepolisian seolah hanya menindalanjutinya sebagai proses internal semata seperti kasus Matias Tenouye, belum mampu mengungkapkan pelaku bahkan diwaktu yang bersamaan pemerintah menunjukan sikap tidak bersalah ataupun tidak mau bertanggungjawab seperti terhadap korban di KRP III. c. Aparat keamanan turut menjadi korban dari sejumlah aksi kekerasan seperti kasus Pintu Angin Puncak Jaya 21 Juli 2011, Puncak Senyum 3 Agustus 2011, Perumnas IV pada agustus 2011, AKP Dominggu Awes Puncak Jaya 24 Oktober 2011, Berap 1 Desember 2011 dan 3 desember 2011 Wandigobak Mulia serta lainnya.Sayangnya meskipun pihak kepolisian dan TNI telah melakukan berbagai operasi baik gabungan maupun sendiri-sendiri dan mendatangkan pasukan dari luar Papua namun pelakunya yang seringkali disebut berasal dari kelompok TPN/OPM, sebagian besar belum berhasil ditangkap. d. Peristiwa pilkada di beberapa kabupaten telah menjadi salah satu pemicu dari munculnya aksi kekerasan diantara pendukung akibat dari lemahnya pendidikan politik dan demokrasi, inkonsistensi partai politik dan penyelenggara pilkada (KPU) serta kontestasi diantara penyelenggara pemerintahan sebagaimana yang terjadi di kab Puncak, Yahokimo dan Lanny Jaya. e. Aksi dan publikasi dari berbagai kelompok yang mengatasnamakan TPN/OPM semakin terbuka termasuk berinteraksi dengan masyarakat dan media, menjadi sumber berita bahkan melakukan klaim terhadap sejumlah aksi kekerasan seperti pasca kasus Nafri dan penembakan kapolsek Mulia AKP Dominggu Awe. Meskipun pihak kepolisian melakukan proses hukum namun pada sebagian pelaku sulit untuk diyakini sebagai pelaku kekerasan yang sebenarnya.

f. Pengerahan aparat TNI secara berlebihan dan terbuka seperti saat penyisiran setelah kasus Nafri dan Kongres Papua III (KRP III) dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor 34 tahun 2004 yakni dengan kewenangan dari presiden dan harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini menunjukkan masih sangat dominannya peran TNI para wilayah yang menjadi kewenangan pemerintah sipil dan pihak kepolisian.

g. Informasi yang beredar di masyarakat semakin terbuka dan sulit dikendalikan, hanya mampu dikontrol oleh kelompok tertentu secara terbatas. Masyarakat sipil belum mampu mengembangkan satu sistem respon cepat yang berfungsi sebagai media konfirmasi atas suatu peristiwa atau pemberitaan tertentu. Hal ini terlihat dari banyaknya pesan provokatif yang menyebar melalui berbagai alat komunikasi sehingga sangat meresahkan komunitas tertentu seperti komunitas di asrama mahasiswa dan pendatang. Apalagi jika isinya diprovokasi ke arah konflik etnis dan agama seperti peristiwa bulan Agustus di Nafri,BTN Tanah Hitam, Angkasa maupun pembunuhan tukang ojek termasuk pemberitaan menjelang dan setelah KPP JDP Juli 2011, Konferensi ILWP di London Agustus 2011, KRP III Oktober 2011 dan 1 desember 2011. h. Inflitrasi aparat keamanan pada institusi sipil dan terlibat dalam berbagai aktifitas sosial kemasyarakatan termasuk kerja-kerja jurnalis masih cukup kuat. Demikian juga intimidasi, stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap pekerja HAM, Tokoh agama dan jurnalis yang bekerja untuk demokrasi dan keadilan terus dilakukan untuk menghentikan proses proses pengungkapan fakta baik untuk kepentingan hukum maupun advokasi yang lebih luas.

4. PT Freeport : Aksi Kekerasan Bernilai Strategis a. Aksi demo dari PUK SPSI PT Freeport yang berlangsung cukup lama dan menelan korban jiwa meskipun telah dilakukan mediasi berulang kali (triparti dan biparti) dan berakhir dengan kesepakatan yang tidak tuntas menunjukan PT Freeport telah sampai pada masalah manajemen yang sangat serius. Apalagi konflik yang semula merupakan hubungan industrial berkaitan dengan kesejahteraan pekerja kini (kembali) melibatkan masyarakat adat dan pihak keamanan sehingga konflik menjadi lebih terbuka dan sarat dengan nuansa politik. b. Kuatnya peran aparat keamanan mem back up perusahaan, melakukan bisnis dengan mem back up pendulang tradisional, dugaan keterlibatan dalam pembentukan milisi serta perebutan posisi manajemen dan sumber keuangan diantara otoritas keamanan menyebabkan aksi kekerasan di sekitar areal penambangan PT Freeport makin sulit diatasi. c. Tidak hentinya aksi kekerasan yang terus menelan korban di sekitar areal penambangan PT Freeport menunjukkan kesan bahwa areal penambangan PT Freeport masih menjadi pentas yang sangat menarik dan menguntungkan untuk memunculkan berbagai isu strategis secara bersamaan yakni Investasi, masyarakat

adat dan pihak keamanan karena ada pertarungan kekuasaan dan uang yang sangat kuat di sana. 5. Pembangunan di sector Pendidikan, Kesehatan,Ekonomi Kerakyatan dan Infrastruktur Belum Sejalan Dengan Kebutuhan Rakyat a. Pendidikan dasar di kampung kampung masih menjadi masalah serius terutama karena ketidakhadiran tenaga didik. Keterbatasan dana, transportasi serta tanggungjawab urusan kepangkatan seringkali menjadi alasan utamanya. Menurunnya kualitas pendidikan bukan saja terjadi di kampung-kampung tetapi juga di perkotaan. Tenaga didik menuntut disediakan fasilitas yang memadai sejalan dengan tuntutan meningkatnya kualitas pendidikan seperti komputer,laptop ataupun sepeda motor. b. Sekolah-sekolah kejuruan di kota berkembang lebih pesat dan melakukan penataan yang lebih baik dibanding sekolah umum lainnya. Terutama didukung dengan berbagai fasilitas yang memadai dari berbagai lembaga di luar dana Otsus namun belum mampu mengembangkan peluang usaha yang maksimal. Angka pengangguran masih sangat tinggi, orientasi pekerjaan masih berfokus pada dukungan dari pemerintah seperti modal usaha dan jadi pegawai negeri.

c. Maraknya aksi demonstrasi menimbulkan masalah tersendiri bagi dunia kampus terutama Universitas Cenderawasih sebab mulai berimplikasi pada aktifitas belajar mengajar. Selain itu kampus tidak lagi menjadi tempat yang menyenangkan karena kampus menjadi salah satu target dari kekerasan.Lembaga perguruan tinggi swasta meskipun cukup banyak namun tidak mampu berkembang maksimal, mengeluh karena tidak diperhatikan oleh pemerintah terutama dari dana Otsus padahal mereka menampung mayoritas orang asli Papua yang datang dari kampungkampung dan memiliki keterbatasan secara ekonomi. d. Aksi protes dari para perawat dan petugas medis seperti pada RSUD Dok II Jayapura dan RSUD Jouwarry Kab Jayapura menunjukkan pemerintah,khususnya pihak manejemen rumah sakit tidak mampu mengelola sumber-sumber keuangan untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan seperti dana Jamkespa, pengadaan obat-obatan,peralatan operasi, peralatan sterilisasi,perabotan meja kursi,biaya makan pasien dan lain sebagainya. Serta di sisi lain turut mengabaikan keselamatan dan kesejahteraan perawat dan tenaga medis lainnya. e. Pembangunan kesehatan di beberapa kampung berjalan relative lebih baik daripada pendidikan terutama ketersedian fasilitas,tenaga medis dan obat-obatan hanya saja biaya operasional untuk Puskesmas dan Pustu seringkali tidak dibayarkan tepat

waktu atau disalahgunakan serta bantuan dari puskesmas ke kampung-kampung seringkali tidak mampu didistribusikan secara maksimal karena keterbatasan biaya. f. Disparitas antara kampung dan kota, orang kaya dan miskin, diantara orang Papua dan pendatang serta diantara orang Papua sendiri menjadi sangat tinggi akibat dari kebijakan ekonomi yang tidak memihak pada kelompok-kelompok yang memiliki keterbatasan akses. g. Kebijakan pemerintah untuk pengusaha kecil(GEL) melokalisir pengusaha Papua dari kompetesi diantara pengusaha sedangkan di bagian lain ruang untuk pemilik modal besar terbuka sangat luas. Selain itu kesulitan modal usaha dan persyaratan administrasi di bank-bank belum memberikan kemudahan bagi orang Papua. Akibatnya tingkat kesejahteraan pengusaha orang Papua tidak mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Di kampung-kampung,bantuan ekonomi kerakyatan seringkali hanya berlangsung musiman,tidak disediakan pendamping dan belum mampu dijalankan secara kontinyu. h. Langkah pemerintah untuk mengatasi keterbatasan demografis terutama dari kabupaten induk ke daerah-daerah pemekaran melalui pembangunan jalan darat ataupun kerjasama dengan berbagai perusahaan penerbangan masih belum direncanakan dengan baik. Sehingga berimplikasi terhadap pembangunan di sector lainnya seperti pendidikan,kesehatan,perekonomian termasuk kehadiran pemerintah itu sendiri.

6. Advokasi Pengelolaan SDA Belum Searah a. Pengelolaan sumber daya alam sebagian besar masih ditangani secara tradisional, sebagian pengusaha masih meragukan situasi keamanan dan birokrasi yang berbelit belit di Papua serta masih banyaknya konflik kepemilikan hak ulayat diantara masyarakat adat. b. Perijinan pengelolaan SDA yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota dan mudahnya menggunakan aparat keamanan di sejumlah areal perusahaan menjadi senjata pengusaha untuk melakukan praktek pengalihan lahan masyarakat.Seringkali pada saat mengeluarkan ijin, pemerintah tidak memperhatikan kepemilikan hak ulayat apalagi ketika pemerintah mendapatkan keuntungan dalam bentuk upeti atau kepemilikan saham dari perusahaan yang ada. c. Gerakan masyarakat adat masih belum focus antara penguatan masyarakat adat, ketertarikan ekonomi ataupun terlibat dalam sejumlah agenda politik akibatnya sikap dan komitmen terhadap investasi menjadi tidak fokus,investasi dengan

mudah masuk dan memecah belah kekerabatan adat. Selain itu budaya konsumtif membuat masyarakat dengan mudah terpengaruh, mengalihkan hak ulayatnya dan menilai tanah secara ekonomis. Konflik internal meluas dan memicu munculnya tokoh tokoh adat buatan perusahaan. d. Agenda advokasi terhadap pengelolaan sumber daya alam belum sinergis antara mengajak rakyat menolak ataukah menyiapkan rakyat. Akibatnya seringkali rakyat lolos dari satu bujukan investor tapi terjebak pada investor yang lain. Advokasipun berakhir dengan kegagalan apalagi jika periode waktu advokasi berjalan singkat dan jauhnya jarak antara masyarakat adat dan pihak pihak yang melakukan advokasi. Advokasi di wilayah seperti Degewo Nabire, Depapre dan Senggi harus berbasis pada kedekatan phisik dengan alokasi waktu relative lama.

e. Perempuan dan Anak Masih Menjadi Isu Domestik a. Meskipun faktanya praktek KDRT cukup tinggi di perkotaan akibat dari beredarnya uang dalam jumlah besar yang sebagian besar dikuasai oleh laki-laki namun perempuan korban KDRT masih sulit untuk mengungkapkan kasusnya secara terbuka. Budaya untuk mempertahankan status sebagai istri apalagi jika suami tetap memberikan fasilitas dan uang yang cukup besar membuat perempuan enggan untuk meneruskan masalahnya ke ruang hukum. b. Sosialisasi peraturan UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak berjalan cukup merata hanya saja masih sulit untuk diterapkan sebab biasanya hanya sebatas sosialisasi dan kurang ada pendampingan terhadap sejumlah aksi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Resolusi PBB 1325 mengenai pentingnya keterlibatan perempuan di dalam perundingan formal belum banyak dikampanyekan. c. Advokasi kelompok perempuan belum dibangun secara sinergis antara level ekonomi, budaya dan gerakan politik sehingga masih cenderung muncul pada momentum-momentum tertentu saja atau sengaja dihadirkan sebagai alat justifikasi. d. Angka criminalitas yang dilakukan oleh anak usia sekolah meningkat seperti pencurian(termasuk kendaraan bermotor), penganiayaan dan persetubuhan anak di bawah umur. Akibat dari godaan budaya konsumtif,kebebasan informasi di ruang publik dan renggangnya interaksi di dalam rumah.

7. Gagasan Dialog : Mencari Defenisi a. Konsultasi public sebanyak 26 Papua dan 6 pada komunitas strategis yang telah dilakukan oleh Jaringan Damai Papua (JDP) merupakan modal terbesar untuk merawat dukungan terhadap gagasan dialog sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah di Papua. Selain sejumlah dukungan, muncul juga berbagai penolakan terhadap JDP dan aktifitasnya, JDP mengalami tekanan dan pembusukan baik secara institusi maupun individu . b. Konferensi Perdamaian tanah Papua (KPP) yang diselenggarakan oleh JDP merupakan momentum penting untuk mempertemukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersamaan dengan perwakilan rakyat Papua meskipun semua pihak menunjukan posisinya secara tegas. KPP menghasilkan Indikator Papua tanah Damai untuk dijadikan rujukan pada diskusi thematic untuk merawat dukungan terhadap dialog. Deklarasi yang dihasilkan pada KPP menimbulkan kontroversi sehingga menuntut kejelasan dari posisi JDP. Setelah KPP, JDP mempertegas posisinya : Fasilitator untuk semua,pernyataan ini diperkuat pada evaluasi akhir tahun. Sehubungan dengan diterima gagasan dialog oleh pemerintah sebagaimana pidato SBY tanggal 9 November 2011 maka JDP dituntut untuk mengubah objektifitasnya. c. Statement SBY menawarkan dialog untuk menyelesaikan permasalahan di Papua dilakukan pada momentum yang tepat serta menimbulkan apresiasi dari berbagai pihak luar terhadap pemerintah Indonesia namun tidak membuat situasi berangsur baik sebab kekerasan masih dilanjutkan. Sikap SBY dengan menunjuk dr.Faridh Husein sebagai utusan khusus dan dibentuknya UP4B masih juga dipertanyakan berkaitan dengan wewenang dan komunikasi diantara keduanya dalam rangka membangun dialog sebagai salah satu solusi damai di Papua.

d. Para pihak yang awalnya menolak dialog kini mengambil peran besar bahkan saling berlomba mencari posisi yang strategis. Cara yang muncul kadang diterjemahkan sebagai persaingan antara satu kelompok atau individu tertentu sehingga kampanye pembunuhan karaktek terkadang dilakukan. Ketika gagasan dialog semakin terbuka, semua pihak makin sulit bersepakat untuk merumuskan defenisi mengenai dialog.

III. SITUASI GERAKAN MASYARAKAT SIPIL 1. Aksi demonstrasi sebagai bentuk protes terhadap berbagai kebijakan pemerintah cukup tinggi intensitasnya di Papua khususnya Jayapura.Gerakan masyarakat adat, kelompok agama dan LSM sebagai aksi represif cenderung melemah dan tidak bersinergis.Padatnya agenda formal masing-masing lembaga dan berbagai masalah internal membutuhkan perhatian khusus seperti masalah manajemen, sumber daya manusia dan sumber dana. Proses pilkada telah juga membuat berbagai komponen masyarakat sipil seperti LSM, kelompok perempuan, adat, pemuda dan lembaga keagamaan terlibat agenda-agenda politik. 2. Politik pecah belah terhadap masyarakat sipil terus dilakukan antara lain melalui domestikasi, penyusupan dan perlawanan dari dalam. Akibatnya setiap perkataan dan perbuatan melahirkan kecurigaan, orang sulit membedakan antara berkomunikasi, bernegosiasi dan membangun aliansi. Tokoh-tokoh kunci pada level masyarakat sipil tidak mampu membangun komitmen yang sinergis meskipun intensitas komunikasi berjalan baik namun cenderung tetap memainkan agenda masing-masing. Tidak pernah ada satu skenario bersama dalam satu momentum. Akibatnya advokasi pun sering tidak maksimal . 3. Meskipun aksi kekerasan makin meningkat di Papua namun peran lembagalembaga internasional terutama pihak kedutaan asing masih lebih pada kepentingan lembaganya untuk mendapatkan informasi yang akurat secara maksimal, yang paling mungkin didapat melalui lembaga-lembaga masyarakat sipil.Namun kontribusinya terhadap gerakan masyarakat sipil makin hati-hati akibat kebijakan pemerintah Indonesia. Hal ini menjadi kontradiktif dengan agenda-agenda mereka mengenai penegakan hukum, pemerintah yang bersih dan berwibawa, resolusi konflik maupun penguatan masyarakat sipil lainnya.

IV. PENDEKATAN PEMERINTAH 1. Pemerintah masih menggunakan pendekatan etis melalui kebijakan Otsus dan UP4B yang hanya berorientasi pada alasan peningkatan kesejahteraan. Pemenuhan hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak sipil politik terutama kebebasan berekspresi dan perlindungan hukum masih belum jelas. Penambahan dana Otsus termasuk untuk biaya infrastruktur tetap belum mampu menjawab persoalan mendasar yang dihadapi oleh orang asli Papua. Pendekatan hukum yang bersifat diskriminatif, misalnya digunakan untuk menghentikan kebebasan berdemokrasi dan berekspesi seperti kasus KRP III namun tidak mampu mengungkap pelaku penyiksaan dan pembunuhan

2.

masyarakat sipil saat KRP III tersebut. Kasus kasus korupsi yang diduga melibatkan pimpinan lembaga pemerintahan di provinsi dan kabupaten berjalan sangat lambat, tidak ditindaklanjuti namun tidak juga dikeluarkan SP3 seperti kasus yang melibatkan Bupati atau politisi. 3. Adanya beberapa pernyataan khusus Presiden SBY mengenai Papua setidaknya pada tanggal 9 November 2011 yang menyatakan bersedia dialog dengan rakyat Papua dengan menggunakan 3 pilar yakni NKRI, OTSUS dan UP4B, sebelumnya pada tanggal 16 Agustus 2011 presiden menyatakan Membangun Papua dengan Hati. Selain itu SBY juga meminta perhatian dari kementrian untuk melakukan kunjungan langsung ke Papua. Meskipun SBY mengeluarkan beberapa pernyataan khusus untuk merespon persoalan di Papua namun pendekatan keamanan tetap menjadi primadona utama terbukti baik dalam bentuk operasi terbuka gabungan TNI Polri, dropping pasukan maupun berbagai operasi intelejen. Bahkan tindakan kekerasan aparat dengan mudah diberi defenisi sebagai ekses dan bukan bagian dari kejahatan kemanusiaan sebagaimana pernyataan pemerintah terhadap korban jiwa pasca KRP III atau saat insiden Bukit Eduda Enarotali.

4.

V. TANTANGAN DAN REKOMENDASI TAHUN 2012 A. TANTANGAN 1. Masyarakat menilai UP4B sebagai pengganti UU Otsus. Sebagai kebijakan yang datang dari pusat,dipermasalahkan dan dinilai tidak aspiratif terhadap kebutuhan di Papua. Penolakan UP4B juga datang dari pemerintah daerah karena UP4B dikhawatirkan akan mereduksi sejumlah peran yang sebelumnya menjadi kewenangan dari pemerintah daerah. 2. Sejalan dengan makin melemahnya implementasi Otsus maka pendefenisian orang asli Papua akan makin mudah dipolitisir pada tataran regulasi, birokrasi maupun individu, bukan untuk memperkuat posisi orang Papua tapi untuk memperkuat kepentingan kelompok. Papuanisasi di bidang pemerintahan dan swasta terutama perekonomian akan berubah orientasi ke kelompok yang memiliki akses pada kekuasaan dan uang. 3. Proses pilgub Papua 2012 akan sarat dengan mobilisasi kekuatan pemerintahan, memanfaatkan sentiment etnis, agama dan uang sehingga berpotensi untuk konflik. Pilgub menjadi ruang pertarungan politik di tingkat institusi dan sikap mengenai defenisi orang asli Papua. Partai politik cenderung digunakan untuk kepentingan mengumpulkan modal dan anggota partai tidak bersikap konsisten. Pilgub masih kental dengan pertarungan pemodal bukan pesta demokrasi.

4. Makin besarnya DIPA Papua 2012,belum dipisahkannya pengalokasian dana Otsus di APBD,pendistribusian dan pengawasannya yang tidak jelas serta sikap diskriminasi dalam penanganan kasus korupsi akan berimplikasi pada meningkatnya praktek praktek korupsi dan memperkuatnya resistensi dari pihak- pihak yang diduga melakukan tindak pidana korupsi,makin keluar dari ranah hukum dan menguat pada isu politik. 5. Aksi kekerasan masih akan berlangsung termasuk pada wilayah-wilayah tertentu yang bernilai strategis seperti areal PT Freeport dan Mimika serta Enarotali, Jayapura sepanjang aparat hukum tidak berani bersikap netral dan professional dan ketika distribusi informasi dan komunikasi diantara berbagai kelompok masyarakat masih mengalami disorientasi. Sehingga pendekatan keamanan masih menjadi pilihan utama yang akan digunakan oleh pemerintah meskipun pemerintah menawarkan dialog atau menjalankan kebijakan etis lainnya buat Papua. 6. Sejalan dengan ketidakjelasan penyelenggaraan pemerintahan terutama di tingkat regulasi dan munculnya aksi-aksi yang berimplikasi pada situasi politik seperti pilgub, gagasan dialog dan aksi kekerasan maka relasi diantara masyarakat sipil terutama antara Papua dan Pendatangpun masih sangat politis dan mudah rapuh serta berakibat pada terbukanya ruang intervensi dari pihak keamanan. 7. Tuntutan pemenuhan hak hak dasar sesuai Otsus akan terus dipermasalahkan terutama mengenai hukum dan HAM serta hak hak ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Pengelolaan sumber daya alam dan pengalihan lahan untuk sejumlah investasi masih menjadi salah satu sumber konflik pertanahan. 8. Respon mengenai dialog dari kalangan pemerintahan, pihak internasional dan berbagi organisasi masyarakat sipil semakin meningkat,masih sulit untuk disinergiskan. Masing masing pihak merumuskan scenarionya termasuk dengan menterjemahkan statemen SBY yang bersedia berdialog 3 pilar(NKRI, OTSUS dan UP4B). Permasalahan terberat di Papua masih terletak pada kesediaan dan kemampuan untuk membangun konsolidasi yang optimal diantara berbagai faksi yang ada.

B. REKOMENDASI 1. Pemerintah harus melakukan evaluasi yang menyeluruh mengenai Otsus dan memberikan rekomendasi dan sikap yang jelas pasca evaluasi. Melalui UP4B pemerintah memberikan focus pada membangun kepercayaan melalui intensitas

komunikasi yang berkualitas dengan rakyat Papua dan mendorong perbaikan penyelenggaraan pembangunan di daerah. Selain itu perlu menghasilkan kerja yang konkrit mengenai lanhkah-langkah pemenuhan hak asasi manusia termasuk terhadap korban dan tahanan/narapidana politik di Papua. 2. Menata kembali hubungan diantara pemerintah sipil di daerah serta memperbaiki permasalahan internal di dalam kelembagaan masing masing. Patuh pada mekanisme kelembagaan dan bersedia mengembangkan komunikasi formal dan informal secara maksimal sebagai upaya untuk memperkuat konsolidasi masyarakat sipil. 3. Pemerintah sipil di daerah harus berani menggunakan otoritasnya melalui penegakan regulasi yang memihak kepada hak hak sipol dan ekosob serta penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Melalui institusionalisasi instrument HAM yang terdapat dalam UU Otsus, pemenuhan dan rehabilitasi hak hak korban, Tapol dan napol serta penguatan institusi penyelenggaraan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. 4. Pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pelayanan public seperti pendidikan, kesehatan, perekonomian rakyat serta infrastruktur harus diperkuat dan diberikan sanksi yang tegas bagi yang melakukan penyelewengan. Melalui perbaikan manajemen dan sarana dan perhatian pada tenaga medis dan guru di daerah daerah terpencil,pendampingan kegiatan ekonomi kerakyatan serta menyediakan kemudahan akses transportasi. 5. Aparat penegak hukum harus menolak untuk terus menerus diintervensi oleh kepentingan kekuasaan dan uang apalagi terhadap peristiwa peristiwa yang secara terbuka mempermalukan institusi kepolisian melalui sikap yang lebih berani,profesional dan terbuka termasuk terhadap berbagai kasus korupsi. 6. Reformasi sektor keamanan harus dilakukan sebagai salah satu syarat mutlak untuk meminimalisir siklus kekerasan di Papua. Pengerahan pasukan dan sejumlah operasi militer di Papua harus merujuk pada UU Nomoro 34 tahun 2004. Struktur dan peran bebagai lembaga intelejen harus diperbaiki sehingga mampu mengantisipasi, merespon ataupun memberikan informasi yang akurat melalui koordinasi dan pengenalan nilai-nilai local. 7. Gerakan konsolidasi masyarakat sipil: komponen agama, adat,NGO dan lainnya harus diperbaharui agar lebih sinergis melalui pemetaan peran dan kapasitas serta meningkatkan kemampuan dalam menggunakan setiap momentum dengan lebih tepat

agar advokasi yang dilakukan berjalan lebih maksimal. Sejalan dengan itu perlu mengembangkan pendidikan politik,demokrasi dan komunikasi yang berkualitas untuk menghilangkan stigmatisasi dan defenisi tunggal atas suatu kelompok maupun perilaku tertentu. 8. Pengelolaan sumber daya alam dan alih fungsi untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi harus dibekali dengan kajian transformasi ekonomi dan sosial sesuai dengan perubahan yang akan dihadapi rakyat melalui advokasi yang sinergis terhadap masyarakat pemilik hak ulayat. Sejalan dengan itu, agenda agenda memperkuat kapasitas dan menciptakan budaya kompetisi di tingkat rakyat harus diperbanyak terutama untuk merespon perubahan ekonomi melalui pemberian modal, kemudahan adminsitrasi dan pendampingan yang maksimal serta melengkapi factor-faktor penunjang lainnya seperti transportasi dan pasar. 9. Para pendukung dialog bersedia bekerja secara sinergis untuk mengembangkan, mereproduksi dan melakukan kanalisasi gagasan dialog guna melahirkan format dialog yang sejajar dan bermartabat. Serta melakukan konsolidasi dari berbagai faksi untuk mendapatkan legitimasi maksimal agar mendapatkan alamat yang jelas. 10. Berbagai lembaga asing yang memberikan perhatian kepada permasalahan di Papua semestinya menempatkan lembaga masyarakat sipil di Papua dengan lebih adil dan menciptakan peluang-peluang untuk mendukung agenda-agenda penegakan HAM,pemerintahan yang bersih dan berwibawa,resolusi konflik maupun penguatan masyarakat sipil lainnya.

VI.

KELEMBAGAAN ALDP : 1. Diawal tahun AlDP 2011 melakukan sejumlah perubahan yang sifatnya stategis untuk memperbaiki dan memperkuat pencapaian Visi dan Misi lembaga serta meningkatkan profesionalitas. Pada akhir 2011 jumlah staff ALDP sebanyak 6 orang terdiri dari 3 perempuan dan 3 laki-laki ditambah dengan 3 relawan yakni Harry Kapouw, Richard Mayor dan Gustaf Griapon sehingga total berjumlah 9(Sembilan) orang. Di akhir tahun 2011, 2 staff AlDP (Yusman Conoras SH dan Cory Silpa SH) berhasil lulus mendapatkan lisensi Advokad untuk memperkuat kerja-kerja litigasi. 2. Secara umum di tahun 2011, sebagian besar aktifitas AlDP masih melanjutkan agenda tahun 2011 yakni Diskusi kampung lintas etnis dan launching film Tumbuh Bersama: belajar perdamaian dari kampung, kampanye Dialog Jakarta Papua untuk Komunitas Startegis, Legal Drafting Raperdasi Komisi Hukum Ad Hoc, Monitoring Narapidana Politik, Pembenahan dan Kampanye HAM melalui website ALDP , Pemberdayaan Partisipasi Politik dan Studi Mekanisme Perwakilan, Advokasi Yudicial Review Pasal

Makar(Koalisi LSM), Kampanye Hari Anti Penyiksaan dan Pertemuan jaringan IRCT di Manila dan kegiatan UN Women serta berbagai kajian dan respon cepat terhadap perkembangan Papua. Staff ALDP berperan aktif ikut mempersiapkan Konferensi Perdamaian tanah Papua (KPP) yang diselenggarakan oleh JDP. Melakukan advokasi perusahaan Nikel Depapre, penambangan Degewo, masalah hak Ulayat di Pantai Barat Sarmi dan serta berbagai pertemuan lainnya. AlDP menangani sejumlah kasus hukum dan HAM baik secara sendiri maupun berkoalisi mulai dari tingkat konsultasi dan hingga pendampingan di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.(Lampiran : Catatan Dialog ALDP dan Penanganan Kasus ALDP). 3. Dengan kerja-kerja lembaga dan fasilitas yang tersedia, ALDP berusaha terus untuk membuka akses yang lebih luas kepada berbagai kelompok masyarakat mengajak terlibat dalam aktifitas ALDP agar terjadi transformasi penyadaran dan pemahaman pada kalangan kelompok potensial secara meluas. Sejalan dengan itu peluang dan jaringan kelembagaan (lokal, nasional dan internasional) makin terbuka. Peningkatan peran staf, profesionalisme dan kinerja lembaga juga ditingkatkan melalui berbagai penyediaan sarana, training dan memperdalam materi pertemuan bulanan dan program hingga perubahan strategis. 4. Komposisi Badan Pelaksana/Eksekutif Tahun 2011-2013 Direktur Wakil Direktur Divisi Demokrasi Divisi Keadilan Divisi Keuangan Divisi Adm&Umum Relawan : : : : : : : Latifah Anum Siregar Yusman Conoras Hamim Mustafa Cory Silpa Evi Irian Tiong Otis Breiram Harry Kapouw, Richard Major dan Gustaf Griapon

Alamat

Contact Person

: Jl. Raya Sentani Padang Bulan, Jayapura, Papua 99351 Telp/Fax: +62 967 587890 Email: [email protected], Facebook: [email protected], Twitter : @aldp2, Website : www.aldepe.com : Latifah Anum Siregar, SH: 0852 440 60000 / [email protected] Yusman Conoras: 0813 4486 0725 / [email protected]

Jayapura, 10 Januari 2012

Aliansi Demokrasi untuk Papua (Alliance of Democracy for Papua)YAYASAN KERJA SAMA UNTUK DEMOKRASI DAN KEADILAN

Lampiran I Rangkuman Konsultasi Publik Dialog Jakarta Papua Pada Komunitas Strategis tahun 2011 Pengantar AlDP bekerjasama dengan Jaringan Damai Papua (JDP) melakukan sesi Kampanye Dialog Jakarta Papua untuk komunitas pendatang yang disebut sebagai komunitas strategis. Tujuannya (1). Memperkenalkan gagasan Dialog Jakarta Papua dari Konsep JDP (buku saku JDP) dan (2). Memperluas dukungan gagasan dialog Jakarta Papua. Konsultasi Public untuk komunitas strategis dinamakan Seminar Membangun Perdamaian di Tanah Papua diawali dengan Pemaparan situasi terkini di Papua dengan tujuan sharing informasi dan memetakan persoalan bersama yang dihadapi oleh penduduk Papua, agar semua merasa terlibat dan menjadi bagian dari persoalan di Papua dan presentasi gagasan dialog Jakarta Papua. Dilakukan di 6 tempat yakni Jayapura, Merauke, Nabire, Manokwari, Timika dan Fak Fak. I. Simpulan Umum: 1. Komunitas strategis di setiap kota atau kabupaten memiliki karakteristik tersendiri. a) Di kota Jayapura sebagai pusat komplesitas persoalan menyebabkan peserta cenderung lebih kritis memahami berbagai persoalan di Papua akan tetapi mengalami kesulitan untuk merumuskan kebutuhan bersama akibat beragamnya informasi dan komunitas di berbagai lapisan masyarakat. b) Di Merauke Komunitas strategisnya memiliki kekuatan yang besar terutama di perkotaan.Sebagai komunitas yang sangat aman dan menghadapi situasi yang hampir tanpa ada tantangan,meski tidak secara tegas dinyatakan serta keberpihakan terhadap pemerintah cukup kuat.Menyadari bahwa perlu ada komunikasi untuk membangun pemahaman bahwa ada persoalan bersama dan berdampak bagi setiap orang saja yang hidup di Merauke. c) Di Nabire konfigurasi etnis yang sangat beragam dan konsolidasi masyarakat sipil yang berjalan sangat baik. Sosialisasi dan internalisasi gagasan dialog berjalan sangat efisien untuk menyadari adanya persoalan dan kebutuhan bersama. d) Di Manokwari sebagai pusat pemerintahan provinsi Papua Barat,komunitas strategis memiliki kompleksitas masalah termasuk isu agama dengan komunitas yang sangat beragam sehingga agak sulit merumuskan prioritas bersama. e) Di Mimika, komunitas strategis juga beragam, hampir tidak ada interaksi yang signifikan antara komunitas startegis dengan pemerintah dan masyarakat

Papua, Hal ini dipengaruhi dengan beberapa konflik yang memprovokasi jurang antara Papua dan pendatang. f) Di Fak-Fak, kabupaten yang sejak dulu interaksi antar etnis Papua dan pendatang relatif tinggi karena perdagangan, ada kemiripan perilaku budaya dan ada kesamaan agama maka alkulturasinya jauh lebih kuat. II. Rangkuman Pendapat Saat Seminar: 1. Ada kekhawatiran bahwa bicara dialog berarti bicara Papua Merdeka sehingga menimbulkan ketakutan seperti bayangan kerusuhan dan pengusiran terhadap kelompok pendatang namun ada dorongan untuk ingin mengetahui gagasan dialog tersebut sehingga bersedia hadir. 2. Perlunya mendiskusikan dan mencarikan defenisi yang tepat mengenai orang Papua dan pendatang. Papua dan pendatang seolah menunjukkan gap bukan saja budaya tetapi juga secara politis padahal di sisi lain cukup banyak pendatang yang bekerja dengan sungguh-sungguh,menghabiskan hidupnya bahkan lahir dan besar di Papua dan menghendaki Papua yang damai untuk semua orang tanpa perbedaan dan diskriminasi. 3. Apakah yang dimaksud dengan Papua dalam dialog Jakarta Papua. Apakah Papua dalam pengertian etnis ataukah dalam pengertian permasalahan? Klarifikasi ini penting agar pendatang dapat merumuskan posisi dan perannya. 4. Disadari adanya penolakan terselubung diantara Papua dan pendatang, meskipun intensitas komunikasi ataupun pertemuan keseharian cukup tinggi. Di sisi lain, diantara komunitas pendatang sendiri hampir tidak ada forum bersama diantara berbagai etnis dan agama yang berjalan sinergis. 5. Pembangunan di Papua, apakah pembangunan wilayah ataukah manusianya? Dan pada situasi tertentu orang berhak diperlakukan adil dalam pembangunan. Setiap pihak harus memahami masalah dan mampu mengidentifikasi dirinya apakah bagian dari konflik ataukah bagian dari instrument penyelesaian masalah di Papua. 6. Tidak ada konsolidasi politik dan idiologi yang jelas sehingga pemerintahan berlangsung tidak transparan, tidak profesional dan hanya berorientasi pada etnis tertentu. Persoalan pemerintahan yang terjadi tidak sepenuhnya kesalahan pemerintah pusat tetapi kesalahan pemerintah daerah yang tidak mau berdialog dengan rakyatnya, selain itu terjadi korupsi dan inefisiensi birokrasi. 7. Adanya kegagalan pembangunan di Papua, khususnya kebijakan Otsus yang menimbulkan masalah bagi orang Papua sendiri. Adanya kehati hatian di kalangan pendatang ketika membahas Otsus, sebab Otsus diperuntukan bagi orang Papua, meskipun muncul pandangan pendatang yang sejalan dengan orang Papua yakni Otsus telah gagal sebagai kebijakan pemerintah untuk membangun Papua. 8. Tidak ada persepsi yang sama diantara pembuat keputusan dan masyarakat mengenai Otsus dan kesenjangan terjadi di berbagai sector sebab Otsus hanya dinikmati segelintir orang. Seharusnya Otsus adalah sikap otonomi untuk membangun kebudayaan yang mandiri dan kebudayaan yang tidak semaunya sendiri.

9. Terhadap berbagai penolakan Otsus di kalangan rakyat Papua, apakah semua orang Papua menolak Otsus? Ataukah ada orang Papua lainnya yang sedang menikmati kemewahan Otsus?. Kampanye untuk mengembalikan Otsus dilakukan berulang kali sehingga menunjukkan perlunya kesatuan komitmen diantara orang Papua untuk konsisten menerima atau menolak Otsus. 10. Mengidentifikasi perwakilan dari Papua tidaklah mudah sebab tingginya fragmentasi oleh karena itu perlu dilakukan konsolidasi komponen agar menentukan keterwakilan yang legitimate. Setiap perwakilan harus memahami perannya dan membawa kepercayaan rakyat. 11. Pemaparan tawaran dialog Jakarta Papua memberikan pemahaman dan menghilangkan kekhawatiran oleh karena itu sosialisasi mengenai tawaran dialog harus dilakukan multi level dengan berbagai komunitas. 12. Sebagai gagasan sangat sistematis dan kurang praktis, ide dialog masih cenderung timbul tenggelam dan ada upaya untuk menggagalkan proses kampanye dialog yang sedang dijalankan.Selain itu dialog harus dilakukan bertahap dan apakah setiap orang patuh pada tahapannya? 13. Dialog akan memberikan penghargaan dan kedudukan yang sama terhormat dan memecahkan kebutuan structural untuk membawa rakyat keluar dari persoalan yang dihadapi. Oleh karena itu hasil dialog adalah adanya kesepakatan yang jauh lebih baik oleh karena itu dialog harus dibangun dengan iklas, kesamaan pemahaman, mau berkompromi, ada kerendahan hati dan keterbukaan dari semua pihak. 14. Bagaimana cara mengakomodir kepentingan pendatang? Apakah pendatang hanya dijadikan justifikasi atau dilibatkan secara konkrit?. 15. Perlunya memaksimalkan instrument adat termasuk meningkatkan peran MRP sebagai corong representase orang Papua. 16. Sejauhmana peran yang dilakukan oleh JDP dan dimana posisi JDP? III. Rangkuman Pendapat Saat Evaluasi AlDP bersama JDP: 1. Konteks persoalan di Papua sangat berbeda, komunitas strategis lainnya perlu diajak memahami persoalan di Papua. Mengapa ada tawaran dialog mengingat konflik yang berkepanjangan selama ini. Sebelumnya berbagai langkah penyelesaian telah ditempuh akan tetapi masih menimbulkan kekecewaan. Tawaran dialog di antara orang Papua sendiri masih mendapatkan perdebatan. 2. Komunitas strategis yang hadir tentu memiliki pemahaman dan perspektif yang berbeda tentang Papua tergantung periode waktu kedatangan mereka di Papua dan sejauhmana mereka ikut dalam perubahan-perubahan yang terjadi di Papua. 3. Ketakutan dari kalangan non Papua dapat dipahami karena kurangnya sosialisasi mengenai dialog dan lagi selama ini gap diantara papua dan non papua sudah terbangun kuat. Sehingga perlu dipikirkan defenisi yang pas untuk sebutan pendatang. 4. Pendekatan territorial perlu memperhatikan relasi komunitas strategis dengan pemilik otoritas (pemerintah sipil dan militer), perlu diperlajari reaksi-reaksi penolakan dan cara membangun dukungan.Sosialisasi ini akan semakin membuka dan mempertemukan gagasan dari berbagai komunitas.

5.

6.

7. 8.

Persinggungan atau polarisasi mungkin saja terjadi, yang terpenting adalah merumuskan langkah antisipasi dan menciptakan sinergisitas. JDP harus semakin solid dan diharap dapat menjadi pioner untuk mengubah perspektif yang keliru diantara kelompok Papua dan non Papua ketika muncul persoalan di papua termasuk persoalan yang berkaitan dengan peristiwa pelanggaran HAM. Seminar membangun perdamaian sangat penting untuk memperkaya perspektif mengenai masalah yang dihadapi oleh orang Papua dan masalah yang dihadapi bersama. Seminar telah memberikan semangat dan harapan untuk semua orang sehingga proses perdamaian yang dijalankan dapat bermanfaat.Melalui seminar dapat diketahui pandangan berbagai pihak: orang yang memiliki keterbatasan akses baik Papua atau non Papua akan mengalami ketidakadilan. Isu pendidikan,perempuan,kesehatan,HAM dan politik termasuk Otsus merupakan isu-isu yang disampaikan oleh peserta saat seminar menunjukkan kepekaan peserta terhadap permasalahan yang seringkali dibahas orang Papua. Persiapan,pendekatan dan pemilihan waktu kegiatan secara tehnis harus diperhitungkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal terutama berkaitan dengan tingkat partisipasi peserta.

Lampiran IIMATRIKS PENANGANAN KASUS ALDP TAHUN 2011 NO TGL KEJADIAN PERKARA/WAKTU PENDAMPINGAN AWAL 20 November 2010 Juni 2011 TEMPAT KEJADIAN Desa Wananuk, Distrik Yalengga kb. Jayapura TERSANGKA/ TERDAKWA Obeth Kosay, Toebaga Kilungga,Wombi Tabuni, Wiki Meaga, Pdt.Ali Yikwa dan Meki Tabuni Perawat Rumah Sakit Dok II Jayapura-papua KORBAN/SAKSI KASUS PROSES PENANGANAN Pendampingan Terdakwa, sedang menjalani pidana di LP wamena(8 tahun) KET.

1

--------------------

Makar, Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP

ALDP dan advokad Ratna Ida Silalahi,SH

2

15 Maret 2011

RSUD Dok II Jayapura Kasus Dana Insentif antara Perawat RSUD Dok II dengan Pemda

--------------------- Penghasutan, Pasal 335 ayat 1 KUHP

3

31 Desember 2010 BTN Puskopad Blok E, Juni 2011 distrik Sentani kabupaten Jayapura. 31 Desember 2010-Juni 2011 BTN Puskopad Blok E distrik sentani kabupaten

OI

Margaretha Rumngivur

4

HH

Margaretha Rumngivur

Pendampingan 6 Tersangka, Penahanan Ditangguhkan, berkas msh di POLDA Papua (Penyidik kurang bukti) Pencurian, psl Pendampingan 363 ayat (1) ke- Terdakwa,sedang 4 dan ke-5 menjalani pidana KUHP di LP Abepura (4 bulan) Pencurian, psl Pendampingan 363 ayat (1) ke- Terdakwa,

ALDP ,KontraS Papua dan advokad Nurwahidah,SH

Tim ALDP

Tim ALDP

Jayapura. 5 4 Maret 2011 Depan Toko sinar Timur, Jl.percetakan,Distrik Jayapura Utara,kota Jayapura Bucen II Entrop, distrik Jayapura selatan IM (Dibawah umur) Yohanes E.Tipawael,ST

4 dan ke-5 KUHP Pasal 362 KUHP Curanmor

6

2 Mei 2011

FYM (dibawah umur)

Dewi Pulung

Pasal 365 ayat (1) KUHP jo Pasal 53 Ayat (1) KUHP Penganiayaan Pertambangan Nikel Kasus SDA

7

20 Juni 2011

Masyarakat Kampung Tablasupa distrik Depapre kab. Jayapura.

PT Tablasupa Nikel Masyarakat Meaning Moi-depapre

8

20 Juni 2011

Distrik Depapre, kab. Jayapura

Perusahaan

Masyarakat Maribu (Moi)

Kepemilikan Tanah.

Sedang menjalani pidana di LP Abepura (7 bulan) Pendampingan Terdakwa ,sedang menjalani pidana di LP Abepura( 1,6 tahun) Pendampingan Terdakwa, sedang menjalani pidana di LP Abepura (2,5 tahun) Negosiasi : Menyurat, bertemu Pihak perusahaan dan memfasilitasi pertemuan dengan kepolisian,TNI dan DPRP. Negosiasi : Mendampingi masyarakat pertemuan dengan perusahaan

Tim ALDP

Tim ALDP

ALDP proses negosiasi

Tim ALDP

9 10

Juni 2011 Juli 2011

Jalan Raya kotaraja (Mall Ramayana) Kawasan Hutan Pantai Barat- Sarmi

Walikota dan Mall Ramayana PT. Bina Blantak Utama (BBU)

Steve J. Hamadi Kepemilikan Tanah Masyarakat Penebangan Pantai Barat Pohon (kayu) (Kab.Sarmi)

11

Agustus 2011

Polimak III Jayapura

Suami korban

Ns (istri)

KDRT

12

Agustus 2011

Kompleks Expo Waena

Suami Korban

Sl(Istri)

KDRT

Konsultasi : Steven J. Hamadi Negosiasi : Mendampingi masyarakat adat pertemuan dengan perusahaan Pendampingan Korban : KDRT, Perceraian dan hak Asuh anak Konsultasi : Perceraian dan Pembagian Harta Konsultasi: Laporan di Polsek Abe dan dengan pihak yayasan Pendampingan Hukum di Polsek Abe - Perdamaian

Tim ALDP Tim ALDP

Tim ALDP

Tim AlDP

13

Oktober 2011

Pesantren Pasar Baru

Pengurus Yayasan

Sn

Dugaan Penggelapan Dokumen Yayasan Persetubuhan Anak Dibawah Umur Dugaan Penggelapan Beras raskin di distrik Depapre

14 15

7 November 2011

Perumnas III Waena

RR (dibawah umur) ..

RM (dibawah umur) Aparat di distrik Depapre dan Karyawan Dolog Papua

Tim ALDP

28 Oktober 2011

Distrik Depapre

Konsultasi dan Tim AlDP pendampingan di Polres Jayapura

16 17

28 Oktober 2011 16 October 2011

Kantor DPRP Camp Wolker Waena Ny.Sm

AW,SS,HL dan MK Gani Herman

Pemalsuan TTD Konsultasi dan Ketua DPRP pendampingan Pengrusakan, Pasal 170 KUHP Makar dan Senjata tajam Konsultasi dan Pendampingan di Polresta Jayapura 6 Tersangka kini tahanan kejaksaan dan dititipkan pada LP Abepura

Tim ALDP Tim ALDP

18

19 October 2011

Lapangan Zakeus Padang

Forkorus dkk Kongres Rakyat Papua III

ALDP koalisi: Foker LSM, Kontras Papua, LBH Papua dan Advokad Gustaf Kawer SH,Roberh korwa, Harry Maturbongs SH ,Ivon Tetcuari SH, dll

Keterangan : 1. Koalisi terdiri dari ALDP dan gabungan Pengacara dari LSM lainnya dan pengacara privat lainnya. 2. Sebagian Pendampingan dilakukan antara ALDP dan Pengacara privat Perempuan yakni : Nurwahidah SH, Ivon Tetcuari SH dan Ratna Ida Silalahi SH.