Lapkas Tinea Kruris

9
TINJAUAN PUSTAKA TINEA KRURIS DEFINISI Tinea kruris adalah dematofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. SINONIM Eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, ringworm of the groin. EPIDEMIOLOGI Tinea kruris merupakan salah satu bentuk klinis yang sering dilihat di Indonesia. ETIOLOGI Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatifitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton (EMMONS, 1934). Menurut RIPPON (1974) selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang sama diantara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.

description

lapkas tinea kruris

Transcript of Lapkas Tinea Kruris

Page 1: Lapkas Tinea Kruris

TINJAUAN PUSTAKA

TINEA KRURIS

DEFINISI

Tinea kruris adalah dematofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.

Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya

stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh golongan jamur

dermatofita.

SINONIM

Eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, ringworm of the groin.

EPIDEMIOLOGI

Tinea kruris merupakan salah satu bentuk klinis yang sering dilihat di Indonesia.

ETIOLOGI

Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatifitosis. Golongan jamur ini

mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang

terbagi 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton (EMMONS, 1934).

Menurut RIPPON (1974) selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang sama diantara

dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk

pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.

Hingga kini dikenal sekitar 40 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies

Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton. Pada tahun-tahun

terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh 2 koloni yang

berlainan “jenis kelaminnya”. Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan dermatofita dapat

dimasukkan ke dalam famili Gymnoascaceae. Dikenal genus Nannizzia dan Arthroderma

yang masing-masing dihubungkan dengan genus Microsporum dan Trichophyton.

Page 2: Lapkas Tinea Kruris

KLASIFIKASI

Dermatofitosis dibagi oleh beberapa penulis, misalnya SIMONS dan GOHAR (1954),

menjadi dermatomikosis, trikomikosis, dan onikomikosis berdasatkan bagian tubuh manusia

yang terserang. Pembagian yang lebih praktis dan dianut oleh para spesialis kulit adalah yang

berdasarkan lokasi. Termasuk tinea kruris yang merupakan dermatifitosis pada daerah

genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah. Bentuk-

bentuk lainnya seperti tinea kapitis, tinea barbae, tinea pedis et manum, tinea unguium, tinea

korporis serta 6 bentuk tinea yang mempunyai arti khusus yaitu tinea imbrikata, tinea favosa,

tinea fasialis, tinea akralis, tinea sirsinata. Pada akhir-akhir ini dikenal nama tinea incognito,

yang berarti dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena telah diobati dengan

steroid topikal kuat.

GEJALA KLINIS

Tinea kruris dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang

berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja, atau

meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh

yang lain.

Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada

tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk

yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa

bercak hitam disertai sedkit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Tinea

kruris merupakan salah satu bentuk klinis yang sering dilihat di Indonesia. (BUDI MULJA

dkk, 1972;1974; HUTAPEA dkk, 1974).

PEMBANTU DIAGNOSIS

Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas pemeriksaan

langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan histopatologik,

percobaan binatang, dan imunologik tidak diperlukan. Pada pemeriksaan mikologik untuk

mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan

kuku. Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan sebagai berikut :

terlebih dahulu tempat kelainan dibersihkan dengan spiritus 70 %, kemudian untuk :

Page 3: Lapkas Tinea Kruris

1. Kulit tidak berambut (glabrous skin) : dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian

sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau tumpul steril.

2. Kulit berambut : rambut dicabut pada bagian kulit yang mengalami kelainan.

Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-mula dengan

pembesaran 10 x 10, kemudian dengan pembesaran 10 x 45. Pemeriksan dengan pembesaran

10 x 100 biasanya tida diperlukan. Sediaan basah dibuat dengan meletakan bahan diatas gelas

alas, kemudian dtambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan

rambut adalah 10 % dan untuk kulit dan kuku adalah 20 %. Setelah sediaan dicampur dengan

larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk

mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah di atas api kecil.

Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup. Bila terjadi

penguapan, maka akan terbentuk kristal KOH, sehingga tujuan yang di inginkan tidak

tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan

KOH, isalnya tinta Parker superchroom blue black.

Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh

sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit lama dan/ atau

sudah diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar

(makrospora). Spora dapat tersusun diluar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut

(endotriks). Kadang-kadang dapat terlihat juga hifa pada sediaan rambut.

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan

basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mananamkan

bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium

agar dekstrosa Sabouraud. Pada agar Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja

(kloramfenikol) atau ditambah pula klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk

menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan.

PENGOBATAN DAN PROGNOSIS

Terapi yang dapat diberikan pada pasien bervariasi tergantung derajat lesi yang ada.

Prinsip pengobatan pada tinea kruris lebih kurang sama dengan prinsip pengobatan tinea

korporis.

Page 4: Lapkas Tinea Kruris

Topical

Terapi ini direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya hidup

pada jaringan. Pada masa kini selain obat-obat topical konvensional, misalnya asam salisil 2-

4%, asam benzoate 6-12%, sulphur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 2-5% dan zat warna

(hijau brilian dalam cat Castellani) dikenal banyak obat topical baru. Obat-obat baru ini

diantaranya tolnaftat 2%; tolsiklat, haloprogin, berbagai macam preparat imidazol dan

alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semua obat-obat baru ini memberikan

keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu

tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan allilamin menunjukkan angka perbaikan

perbaikan klinik yang tinggi.Berikut obat yang sering digunakan :

1. Topical azol terdiri atas: Econazol 1 %, Ketoconazol 2 %, Clotrimazol 1%,

Miconazol 2% dll. Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-

alfa-dimetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur.

2. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3 epoksidase

sehingga skualen menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membran sel

jamur, yaitu naftifine 1%, butenafin 1%. Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti

inflamasi ) yang mampu bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari

berturut-turut.

3. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat

masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah

permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang bersifat fungisidal dan

fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta berspektrum luas.

Terapi sistemik

Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology menyatakan

bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama

pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau

pasien tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal.

1. Griseofulvin. Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-

25 mg/kgBB sehari. Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4

minggu, diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada

Page 5: Lapkas Tinea Kruris

perbaikan.

2. Ketokonazol. Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas,

fungistatik, termasuk golongan imidazol. Dosisnya 200 mg per hari selama 10 hari – 2

minggu pada pagi hari setelah makan

3. Flukonazol. Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun

absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.

4. Itrakonazol. Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas,

bersifat fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur

dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan

makanan.

5. Amfoterisin B. Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh

Streptomyces nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah akan

menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan sebagai obat pilihan

pada pasien dengan infeksi jamur yang membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan

preparat azol.

Page 6: Lapkas Tinea Kruris

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 2006.

Gunawan, Sulistia Gan. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi

dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.

Harahap, Marwali. Ilmu Penyakit kulit. Jakarta : Hipokrates, 2000.

Siregar. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : EGC, 2005.