Lapkas Aiha Ruang 21

28
L A P O R A N K A S U S ANEMIA AUTOIMUN HEMOLITIK Pembimbing : dr. Riki Disusun oleh: Qarina Hasyala Putri 080100367 Dian Primadia Putri 100100013 Romulus P Sianipar 100100180 !hmad Ri"#y Rupa$an 100100%%& DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSU DR PIRNGADI MEDAN 2 0 1 4

Transcript of Lapkas Aiha Ruang 21

L A P O R A N K A S U SANEMIA AUTOIMUN HEMOLITIK

Pembimbing :

dr. Riki

Disusun oleh:

Qarina Hasyala Putri 080100367Dian Primadia Putri 100100013Romulus P Sianipar 100100180Achmad Rifqy Rupawan 100100225

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARARSU DR PIRNGADI MEDAN2 0 1 4

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah melimpahkan berkatnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul Anemia Autoimun Hemolitik ini dengan lancar dan tanpa halangan yang berarti. Terima kasih juga kami ucapkan kepada pembimbing kami, dr. Riki, yang telah bersedia membimbing kami dalam penyusunan laporan kasus ini.Pada laporan kasus ini, kami memaparkan tinjauan teoritis dan penatalaksanaan pada pasien dengan anemia autoimun hemolitik di bangsal XXI penyakit dalam RSU Pirngadi Medan. Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis.Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini baik dari segi isi maupun sistematika penulisan karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk menyempurnakan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2014,

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTARiDAFTAR ISIiiDAFTAR GAMBAR iiiBAB I PENDAHULUAN11.1Latar Belakang11.2Rumusan Masalah11.3Tujuan Penulisan21.4Manfaat Penulisan2BAB II TINJAUAN PUSTAKA32.1Definisi Anemia Hemolitik32.2Epidemiologi Anemia Hemolitik42.3 Etiologi Anemia Hemolitik 42.4 Klasifikasi Anemia Hemolitik 52.5Patogenesis Anemia Hemolitik112.6Manifestasi Klinis Anemia Hemolitik182.7Diagnosis Anemia Hemolitik182.8Penatalaksanaan Anemia Hemolitik232.9Prognosis Anemia Hemolitik25BAB III LAPORAN KASUS26BAB IV KESIMPULAN31DAFTAR PUSTAKA32

BAB IPENDAHULUAN

2.1. Latar BelakangAnemia hemolitik autoimun atau autoimmune hemolytic anemia (AIHA) ialah suatu anemia hemolitik yang timbul karena terbentuknya auotuantibodi terhadap eritrosit sehingga menimbulkan destruksi (hemolisis) eritrosit.1 Ada pula referensi yang menyebutkan anemia hemolitik autoimun ini merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek.2Hemolisis yakni pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya. Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Kadang-kadang tubuh mengalami gangguan fungsi dan menghancurkan selnya sendiri karena keliru mengenalinya sebagai bahan asing (reaksi autoimun), jika suatu reaksi autoimun ditujukan kepada sel darah merah, akan terjadi anemia hemolitik autoimun.2

Anemia hemolitik autoimun yang berhubungan dengan IgG berjumlah sekitar 75% dari keseluruhan, yang mana disebut juga sebagai warm autoimmune hemolytic anemia (WAHA) karena reaksi autoantibodi paling baik pada suhu eritrosit sekitar 37oC. Kasus anemia hemolitik sendirinya sangatlah jarang, Insidens tahunan diperkirakan hanya 1 dari 100.000 orang. Setelah usia 60 tahun, insidens tahunan mencapai 10 dari 100.000 orang. Namun anemia hemolitik tidak memandang usia, meskipun kebanyakan penderita berusia di atas 40 tahun. Sekitar 65% penderita adalah wanita.3

2.2. Rumusan MasalahBagaimana temuan klinis, klasifikasi, diagnosis, serta penatalaksanaan anemia hemolitik pada pasien di RSUP Haji Adam Malik Medan?

2.3. Tujuan Penulisan1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis terapi anemia hemolitik.2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap kasus terapi anemia hemolitik.3. Untuk mengetahui gambaran klinis, perjalanan penyakit, penatalaksanaan, dan tindak lanjut pada pasien dengan anemia hemolitik.

2.4. Manfaat PenulisanBeberapa manfaat yang didapat dari penulisan laporan kasus ini adalah:1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang ilmu penyakit dalam khususnya mengenai terapi anemia hemolitik.2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai pengenalan, diagnosa, dan terapi anemia hemolitik.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. DefinisiAnemia hemolitik didapat adalah anemia hemolitik yang dipicu oleh faktor-faktor ekstrinsik seperti penyakit imun, obat-obatan, infeksi, trauma mekanis terhadap sel-sel darah merah, paparan terhadap toksin, dan penyebab-penyebab lainnya. Pada umumnya, anemia hemolitik didapat terbagi menjadi anemia hemolitik imun dan anemia hemolitik non-imun.4

Hemolisis adalah kerusakan sel darah merah pada sirkulasi sebelum 120 hari (umur eritrosit normal). Hemolisis mungkin asimptomatik, tapi bila eritropoesis tidak dapat mengimbangi kecepatan rusaknya sel darah merah dapat terjadi anemia.3Anemia hemolitik autoimun adalah suatu kondisi dimana imunoglobulin atau komponen dari sistem komplemen terikat pada antigen permukaan sel darah merah dan menyebabkan kerusakan sel darah merah melalui sistem retikuloendotelial. Antibodi yang khas antara lain IgG, IgM, atau IgA dan bekerja pada suhu yang berbeda-beda.3Anemia hemolitik autoimun tipe hangat diperantarai oleh IgG, yang mengikat sel darah merah secara maksimal pada suhu 37oC. Pada anemia hemolitik autoimun tipe dingin diperantarai oleh IgM (cold aglutinin), yang mengikat sel darah merah pada suhu yang rendah (0 sampai 4oC).5Anemia hemolitik autoimun tipe hangat lebih sering dijumpai pada tipe dingin, dan lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Coombs Test dapat menunjukkan adanya antibodi atau komplemen pada permukaan sel darah merah dan merupakan tanda dari hemolisis autoimun.5

2.2. EpidemiologiKasus anemia hemolitik sendirinya sangatlah jarang, Insidens tahunan diperkirakan hanya 1 dari 100.000 orang. Setelah usia 60 tahun, insidens tahunan mencapai 10 dari 100.000 orang. Namun anemia hemolitik tidak memandang usia, meskipun kebanyakan penderita berusia di atas 40 tahun. Sekitar 65% penderita adalah wanita.3

2.3. Etiologi6Pada sebagian besar kasus, fungsi imun yang abnormal dapat menyebabkan tubuh menyerang sel darah merah yang normal. Beberapa penyebab tidak normalnya system imun antara lain:1. Obat-obatan: Alpha-methyldopa L-dopa2. Infeksi Infeksi virus Mycoplasma pneumonia3. Keganasan Leukemia Lymphoma (Non-Hodgkins tapikadangjugapada Hodgkins)4. Penyakit Collagen-vascular (autoimun) misal: Lupus

Kerusakan sel eritrosit pada anak maupun dewasa sering disebabkan oleh adanya mediator imun, baik autoimun maupun aloimun antibodi. Berbagai faktor yang berperan dalam proses kerusakan eritrosit:1. Antigen sel eritrosit2. Antibodi-anti seleritrosit3. Komponen non imunoglobulin, misalnya protein komplemen serum4. Sistem fagosit mononuklear, khususnya reseptor Fc pada makrofag limpa

2.4. Klasifikasi Anemia Hemolitik6HerediterDidapat

MembranImun

Sferositosis herediterAutoimun

Eliptositosis herediterAntibodi Tipe Hangat

Antibodi Tipe Dingin

MetabolismeAloimun

Defisiensi G6PDReaksi transfusi hemolitik

Defisiensi piruvat kinasePenyakit hemolitik neonatus (hemolytic disease of the newborn)

Alografi, khususnya transplantasi sumsum tulang

HemoglobinTerkait Obat

Abnormal (HbS, HbC, tak stabil)

Sindrom fragmentasi eritrosit

Cangkok (graft) arteri katup jantung

Mikroangiopati

TTP

Sindrom Hemolitik Uremik

Sepsis Meningokokal

Pre-eklampsia

DIC

March Hemoglobinuria

Infeksi

Malaria, Clostridium

Zat Kimia dan Fisik

Khususnya obat, zat industri/rumah tangga, luka bakar

Sekunder

Penyakit Hati dan Ginjal

Hemoglobinuria Nokturnal Paroksismal

Anemia Hemolitik Herediter1. Defek Membran1.1. Sferositosis HerediterAnemia hemolitik yang paling sering terjadi pada orang Eropa Utara. Disebabkan oleh defek protein yang terlibat dalam interaksi vertikal antara rangka membran dan lapisan lemak dua lapis eritrosit. Sumsum tulang meproduksi eritrosit berbentuk bikonkaf normal, tetapi eritrosit tersebut kehilangan membrannya dan menjadi semakin sferis (kehilangan luas permukaan relatif terhadap volume) selama bersirkulasi melalui limpa dan sistem retikuloendotelial lainnya. Akhirnya, sferosit tidak mampu melewati mikrosirkulasi limpa, sehingga sferosit mati secara prematur.6

Kelainan ini diwariskan secara dominan autosomal. Anemia dapat timbul pada usia berapaun dari bayi sampai usia tua. Ikterus berfluktuasi dan sangat jelas bila anemia hemolitik disertai penyakit Gilbert (kelainan konjugasi bilirubin di hati), splenomegali terjadi pada sebagian besar pasien. Batu empedu pigmen sering ditemukan, krisis aplastik dicetuskan oleh infeksi parvovirus dapat meningkatkan keparahan anemia yang terjadi secara mendadak.6

Retikulosit biasanya 5-20 %. Sediaan apusan darah memperlihatkan adanya mikrosferosit yang terwarna padat dengan diameter lebih kecil dibandingkan dengan eritrosit normal.6

Bentuk utama pengobatan adalah splenektomi meskipun tidak boleh kecuali diindikasikan secara klinis karena anemia atau batu empedu, karena terdapat resiko sepsis pasca splenektomi , khususnya pada awal masa anak-anak. Asam folat dapat diberikan untuk mencegah terjadinya defisisensi folat.6

1.2. Eliptositosis HerediterPenyakit ini memilki gambaran klinis dan laboratorium yang mirip dengan sferositosis herediter kecuali pada gambaran sediaan apus darah, dan secara klinis lebih ringan. Defek dasarnya ialah kegagalan heterodimer spektrin untuk bergabung dengan dirinya menjadi heterotetramer. Beberapa pasien memerlukan splenektomi.6

2. Kelainan Metabolisme Eritrosit2.1. Defisiensi Glukosa-6 Fosfat DehidrogenaseGlukosa-6 Fosfat Dehidrogenase berfungsi mereduksi nikotinamida adenin dinukleotida (NADPH) sambil mengoksidasi glukosa-6 fosfat. Ini merupakan satu-satunya sumber NADPH dalam eritrosit dan NADPH diperlukan untuk produksi glutation tereduksi sehingga defisiensi enzim ini menyebabkan eritrosit rentan terhadap stres oksidasi.6

Sifat penurunannya adalah terkait kromosom seks, mengenai pria, dan dibawa oleh wanita. Ras utama yang terkena penyakit ini ialah Afrika Barat, Laut Tengah, Timur Tengah, dan Asia Tenggara.6

Gambaran klinisnya ialah gambaran hemolisis intravaskular yang cepat terjadi, disertai hemoglobinuria. Faktor pencetus yaitu infeksi dan penyakit akut lain, obat, atau ingesti kacang fava. Gambaran klinis lainnya meliputi ikterus neonatorum dan kadang-kadang anemia hemolitik kongenital yang terjadi terus-menerus.6

Selama krisis, sediaan apus darah dapat memperlihatkan sel-sel yang mengerut dan berfragmentasi, bite cell, dan blister cell yang badan Heinznya (hemoglobin yang teroksidasi dan terdenaturasi) telah dikeluarkan oleh limpa.6

Prinsip terapi meliputi menghentikan pemakaian obat pencetus, mengobati infeksi yang mendasari, mempertahankan keluaran urine yang tinggi, dan melakukan transfusi darah bila perlu untuk anemia berat. Bayi yang kekurangan G-6PD memiliki kecenderungan menderita ikterus neonatorum dan pada kasus yang berat memrlukan fototerpai dan transfusi tukar.6

2.2. Defisiensi Piruvat KinaseKelainan ini diwariskan secara resesif autosomal, bersifat homozigot atau heterozigot ganda. Eritosit menjadi kaku akibat berkurangnya pembentukan adenosin trifosfat (ATP). Ikterus klinis biasa ditemukan dan batu empedu sering didapatkan. Penonjolan tulang frontal mungkin ada. Sediaan apus darah menunjukkan poikilositosis dan prickle-cell yang terdistorsi, terutama pasca-splenektomi.6

Anemia Hemolitik Didapat1. Anemia Hemolitik Imun1.1.Anemia Hemolitik AutoimunAnemia hemolitik autoimun disebabkan oleh produksi antibodi oleh tubuh terhadap eritrosit sendiri. Kelainan ini ditandai oleh hasil positif terhadap uji antiglobulin langsung yang dikenal sebagai uji Coombs, dan dibagi menjadi tipe hangat dan dingin pada suhu 37C atau 4C.6

a. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe HangatPenyakit ini cenderung mengalami remisi dan relaps; dapat timbul sendiri atau disertai penyakit lain, atau muncul akibat terapi metildopa. Apabila disertai purpura trombositopenik idiopatik, dikenal sebagai sindrom Evans. Limpa seringkali membesar.6

Direct Antiglobulin Test positif akibat IgG, IgG dan komplemen atau IgA pada sel dan pada beberapa kasus, autoantibodi memperlihatkan spesifisitas dalam sistem rhesus. Antibodi di permukaan sel dan yang bebas dalam serum paling baik dideteksi pada suhu 37C.6

b. Anemia Hemolitik Tipe DinginAutoantibodi baik monoklonal (seperti pada sindrom hemaglutinin dingin idiopatik atau yang terkait dengan penyakit limfoproliferatif) atau poliklonal melekat pada eritrosit terutama pada sirkulasi perifer dengan suhu darah yang mendingin. Antibodi biasanya ialah IgM dan paling baik berikatan dengan eritrosit pada suhu 4C.6

Pasien mungkin menderita anemia hemolitik kronik yang diperburuk oleh dingin dan seringkali disertai hemolisis intravaskular. Dapat terjadi ikterus ringan dan splenomegali. Pasien dapat menderita akrosianosis (perubahan warna kulit menjadi keunguan) di ujung hidung, telinga, jari-jari tangan dan kaki yang disebabkan aglutinasi eritrosit dalam pembuluh darah kecil.6

1.2. Anemia Hemolitik AloimunAntibodi yang dihasilkan oleh satu individu bereaksi dengan eritrosit individu lain. Dua keadaan yang penting ialah transfusi yang tidak sesuai secara ABO dan penyakit rhesus.6

1.3.Anemia Hemolitik Imun yang Diinduksi ObatTerjadi melalui tiga mekanisme yang berbeda:6a. Antibodi yang ditujukan pada kompleks membran eritrosit-obat (mis. Penisilin, ampisilin)b. Deposisi komplemen melalui kompleks obat-protein (antigen)-antibodi pada permukaan eritrosit (mis. Kuinidin, rifampisin); atauc. Anemia hemolitik autoimun sejati; peran obat tidak jelas (mis. Metildopa, fludarabin) 2. Sindrom Fragmentasi EritrositKelainan ini timbul akibat kerusakan fisik pada eritrosit, baik pada permukaan yang abnormal (mis. Katup jantung artifisial atau cangkok arteri) atau sebagai anemia hemolitik mikroangiopatik yang disebabkan oleh eritrosit yang melewati benang-benang fibrin yang terdeposit dalam pembuluh darah kecil. Darah tepi mengandung banyak fragmen eritrosit yang berwarna gelap.6

3. March HemoglobinuriaIni disebakan oleh kerusakan pada eritrosit antara tulang-tulang kecil kaki, biasanya terjadi selama berjalan mars atau lari dalam waktu lama. Sediaan apus darah tidak memperlihatkan adanya fragmen.6

4. InfeksiInfeksi dapat mencetuskan krisis hemolisis akut pada defisiensi G6PD atau menyebabkan anemia hemolitik mikroangiopatik, mis pada septikemia meningokokal atau pneumokokal. Malaria menyebabkan hemolisis melalui destruksi ekstravaskular eritrosit berparasit dan lisis intravaskular langsung. Blackwater fever adalah hemolisis intravaskular akut disertai gagal ginjal akut yang disebabkan oleh malaria Falciparum. Septikemia Clostridium Perfringens dapat menyebabkan terjadinya hemolisis intravaskular dengan mikrosferositosis yang nyata.6

5. Agen Kimia dan FisikaDapson dan Salazopirin dosis besar dapat menyebabkan terjadinya hemolisi intravaskular oksidatif dengan pembentukan badan Heinz pada subjek normal. Pada penyakit Wilson, dapat terjadi anemia hemolitik akut akibat kadar tembaga yang tinggi dalam darah. Keracunan kimiawi, seperti timbal, klorat atau arsen dapat menyebabkan hemolisis yang berat.6

6. Anemia Hemolitik SekunderPada banyak penyakit sistemik, lama hidup eritrosit memendek. Hal ini dapat menyebabkan anemia.6

7. Hemoglobinuria Nokturnal Paroksismal (PNH)PNH merupakan penyakit klonal sel induk sumsum tulang yang didapat dan jarang terjadi, dengan gangguan sintesis jangkar glikosilfosfatidilinositol (GPI) yakni struktur yang melekatkan beberapa protein permukaan pada membran sel. Kelainan ini disebabkan oleh mutasi pada kromosom X yang mengkode untuk protein yaitu fosfatidilinositol glikan protein A yang diperlukan untuk pembentukan jangkar GPI. Hasil akhirnya ialah tidak adanya protein terkait GPI (CD55, CD59) dan inhibitor lisis reaktif pada membran (MIRL, CD59) menyebabkan eritrosit menjadi rentan terhadap lisis oleh komplemen dan mengakibatkan hemolisis intravaskular kronik.6

Hemosiderinuria merupakan gambaran yang selalu ada dan dapat menyebabkan terjadinya defisiensi besi yang dapat mengeksaserbasi anemia.Klinis lainnya yang dapat ditemukan ialah trombosis vena besar berulang (vena porta dan vena hepatica) serta nyeri perut intermitten akibat trombosis vena mesenterika.6

2.5. Patogenesis Anemia HemolitikSecara umum mekanisme hemolisis terbagi dua, yakni hemolisis intravaskular dan hemolisis ekstravaskular. Hemolisis intravaskular adalah dekstruksi eritrosit di sirkulasi dengan pelepasan isi sel ke dalam plasma. Hemolisis ekstravaskular adalah dekstruksi eritrosit oleh makrofag di limpa dan hati.5

Darah di sirkulasi difiltrasi terus-menerus melalui sinusoid limpa dengan labirin seperti spons yang mempunyai tonjolan dendritik yang panjang. Eritrosit normal (sekitar 8 m) dapat melewati lubang sinosoid berukuran 3 m karena fleksibilitasnya. Eritrosit dengan perubahan struktural pada permukaan membrannya (misalnya karena adanya antibodi) tidak dapat melewati jaringan ini dan akhirnya tertangkap, difagosit, dan dihancurkan oleh makrofag.5

Pada kebanyakan kasus, etiologi pasti dari anemia hemolitik autoimun tidak diketahui. Pada anemia hemolitik tipe hangat, epitop yang menjadi target tersering adalah protein Rh. Alasan diserangnya target protein tersebut oleh sistem imun tidak diketahui pasti, namun ada satu teori yang menjelaskan bahwa respon imunitas awal terhadap suatu antigen asing mengalami reaksi silang dengan protein Rh sehingga sistem imun gagal menekan respon autoreaktif, dan pada akhirnya terjadilah hemolisis.7

Pada hemolisis tipe hangat yang diperantarai IgG, sel darah merah diselubungi oleh IgG. IgG pada sel darah merah berfungsi sebagai marker (penanda) yang membuat sel-sel darah merah tersebut kemudian mengalami uptake dan dekstruksi oleh makrofag-makrofag di limfa.7

Pada anemia hemolitik tipe dingin, molekul IgM melekatkan komplemen pada permukaan sel-sel darah merah. Terkadang, hal ini dapat menyebabkan aktivasi kaskade komplemen yang akhirnya menyebabkan lisis sel darah merah. Akan tetapi, seringnya aktivasi kaskade komplemen berakhir pada C3. Sel darah merah yang terselubungi C3 akan difagosit oleh sel makrofag hepar.7

Gambar 1.Mekansime hemolisis tipe hangat dan dingin

Pada umumnya, anemia hemolitik didapat terbagi menjadi anemia hemolitik imun dan anemia hemolitik non-imun. Namun penyebab-penyebab tersebut dapat saling tumpang tindih. Misalnya, hemolisis yang diinduksi obat (drug-induced) sering terjadi bersamaan dengan hemolisis imun karena obat-obatan dapat menyebabkan hemolisis baik melalui mekanisme imun ataupun secara langsung menyebabkan kerusakan sel darah merah.4Anemia Hemolitik ImunTipe ini merupakan bentuk yang paling sering dari anemia hemolitik didapat, terbagai menjadi bentuk autoimun, alloimun, atau drug-induced. Terlepas dari penyebabnya, tampilan klinis pada apusan darah tepi terlihat gambaran mikrosferositosis.4 Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA)Adanya autoantibodi yang menyerang sel darah merah prematur. Hal ini dapat bersifat idiopatik (tidak ada penyebab yang teridentifikasi) ataupun sekunder terhadap suatu keganasan, obat-obatan, penyakit jaringan ikat, infeksi, vaksinasi, malignansi limfoid, HIV-induced, sindroma mielodisplastik, atau graft-versus-host disease.4

Untuk kepentingan evaluasi diagnostik, perlu ditentukan tipe autoantibodi, yakni antibodi tipe hangat atau antibodi tipe dingin, berdasarkan rentang suhu antibodi.4 Warm Autoimmune Hemolytic Anemia (WAHA)Lebih dari 70% AIHA merupakan tipe hangat dan diakibatkan oleh terbentuknya autoantibodi terhadap sel darah merah. Autoantibodi yang terbentuk utamanya adalah IgG (subkelas IgG1 dan IgG3), meskipun IgM dan IgA juga dapat terdeteksi. Namun karena kadar IgA dan IgM sangat rendah pada AIHA tipe hangat, maka sangat jarang terdeteksi.4

IgG1 dan IgG3 ialah aktivator komplemen yang baik. IgG2 dan IgG lebih lemah kemampuannya dalam mengaktivasi komplemen, sementara IgG4 tidak mengaktivasi komplemen. Secara keseluruhan, sistem komplemen tidak sepenuhnya diaktivasi dan produk-produk deradasi komplemen (C3c, C3d) dapat terdeteksi sebagai jejak ertitrosit.8

Antibodi tipe hangat (IgG) menyebabkan hemolisis ekstravaskular melalui 2 mekanisme:4,71. Fc-receptor (FcR)-mediated immune adherenceSel darah merah yang dilapisi antibodi kemudian mengalami fagositosis ataupun lisis sel. Selama proses fagositosis, makrofag memfagosit dan melisiskan sel darah merah melalui pembentukan radikal bebas oksigen di sitoplasma. Sementara pada proses lisis sel, kematian sel terjadi karena enzim lisosom yang dilepaskan oleh sel-sel fagosit. Proses fagosit difasilitasi oleh opsonin, termasuk antibodi atau C3b, pada antigen. Sel efektor imun memiliki reseptor Fc (FcRI, FcRII, dan FcRIII) pada permukaannya.Antibodi IgM selain mengaktivasi komplemen, juga secara sinergis meningkatkan hemolisis yang diperantarai IgG. Telah terbukti bahwa hemolisis lebih berat terjadi pada penderita dengan sel darah merah yang secara bersamaan diselubungi oleh IgG dan IgM dibandingkan dengan sel darah merah yang hanya diselubungi oleh IgG saja.4

Antibodi IgA, meskipun jarang, mungkin menginduksi hemolisis melalui reseptor Fc seperti halnya IgG. Meskipun demikian, mekanisme pasti antara reseptor Fc dan berbagai imunoglobulin belum jelas. Jumlah antibodi yang terikat pada sel darah merah juga menentukan mekanisme hemolisis yang diperantarai oleh reseptor Fc. Bila jumlahnya rendah, proses fagositosis-lah yang dominan.4

Pada keadaan normal, makrofag pada limpa memiliki 30.000-40.000 reseptor Fc pada permukaannya. Infeksi ataupun imunisasi memperberat hemolisis dengan meningkatkan jumlah dan afinitas reseptor Fc, melalui sitokin IFN gamma. Peran neutrofil sangat minimal pada fagositosis autoimun.4

2. Complement-mediated hemolysisAktivasi kaskade komplemen hingga jalur terminal meliputi kompleks penyerang membran (membrane attack complex) dan hemolisis intravaskular. Adanya komplemen pada dinding sel berfungsi sebagai opsonin yang memfasilitasi proses fagositosis. Untuk mengaktivasi sistem komplemen, dua reseptor Fc harus berada dekat satu sama lain. IgM adalah imunoglobulin yang paling berperan.4

Cold Autoimmune Hemolytic Anemia (CAHA)Antibodi tipe dingin bereaksi lebih baik pada suhu rendah (