LAJU RESPIRASI DAN SUHU REKTAL BURUNG PUYUH … · Latar Belakang Industri ternak unggas merupakan...
Transcript of LAJU RESPIRASI DAN SUHU REKTAL BURUNG PUYUH … · Latar Belakang Industri ternak unggas merupakan...
LAJU RESPIRASI DAN SUHU REKTAL BURUNG PUYUH
(Coturnix coturnix Japonica) PADA BERBAGAI PAPARAN
WAKTU CEKAMAN PANAS
WINUSUDYASARI NUGRAHENI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Laju Respirasi dan
Suhu Rektal Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) pada Berbagai Paparan
Waktu Cekaman Panas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Winusudyasari Nugraheni
NIM B04120180
ABSTRAK
WINUSUDYASARI NUGRAHENI. Laju Respirasi dan Suhu Rektal Burung
Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) pada Berbagai Paparan Waktu Cekaman
Panas. Dibimbing oleh KOEKOEH SANTOSO dan HERA MAHESHWARI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon burung puyuh terhadap
pemberian cekaman panas akut berdasarkan frekuensi respirasi dan suhu rektal.
Penelitian menggunakan 12 ekor puyuh yang dibagi kedalam dua kelompok
dengan masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor puyuh. Kelompok I dan II
diberikan perlakuan panas akut pada suhu 40°C dengan berbagai waktu cekaman
panas. Kelompok I diberikan cekaman panas dengan waktu 30 dan 60 menit
sedangkan kelompok II diberikan cekaman panas dengan waktu 60 dan 120 menit
kemudian dilakukan pengukuran frekuensi respirasi dan suhu rektal. Hasil
penelitian kelompok I pada pengukuran frekuensi respirasi dan suhu rektal
menunjukkan ada perbedaan nyata (P<0.05) dibandingkan dengan kontrol
terhadap lama waktu pemanasan sedangkan kelompok II menunjukkan hasil yang
berbeda nyata (P<0.05) dalam pengukuran frekuensi namun tidak berbeda nyata
(P>0.05) pada pengukuran suhu rektal. Pengukuran frekuensi respirasi dan suhu
rektal kelompok I dan kelompok II menunjukkan tidak ada perbedaan nyata
berdasarkan uji T. Hasil penelitian dapat disimpulkan semakin lama waktu
cekaman panas maka semakin meningkatkan frekuensi respirasi dan suhu rektal.
Kata kunci : cekaman panas, laju respirasi, puyuh suhu rektal
ABSTRACT
WINUSUDYASARI NUGRAHENI. Respiration Rate and Rectal Temperature of
Quail (Coturnix coturnix Japonica) The Results of Various Heat Exposure.
Supervised by KOEKOEH SANTOSO and HERA MAHESHWARI.
This research is aimed to study the response of respiration rate and rectal
temperature of quails towards acute heat stress. The experiment used 12 quails
that were divided into two groups which each group consists of 6 quails. Group I
and group II were treated by shock heat exposure at 40°C. Group I were treated by
heat exposure for 30 and 60 minutes and group II were treated by heat exposure
for 60 and 120 minutes, the rectal temperature was measured before the
respiration rate. The results showed that respiration rate and rectal temperature in
group I was higher (P<0.05) than control data and increase due to the duration of
heat exposure. In group II the respiration rate was higher than control (P<0.05)
but there was no significant effect (P>0.05) in rectal temperature. Respiration rate
and rectal temperature in group I and group II was no significant effect in T test.
In conclusion, the duration of heat exposure could increased the respiration rate
and rectal temperature of quails.
Keywords: heat exposure, rectal temperature, respiration rate, quail
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
LAJU RESPIRASI DAN SUHU REKTAL BURUNG PUYUH
(Coturnix coturnix Japonica) PADA BERBAGAI PAPARAN
WAKTU CEKAMAN PANAS
WINUSUDYASARI NUGRAHENI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Judul Skripsi : Laju Respirasi dan Suhu Rektal Burung Puyuh (Coturnix coturnix
Japonica) pada Berbagai Paparan Waktu Cekaman Panas
Nama : Winusudyasari Nugraheni
NIM : B04120180
Disetujui oleh
Dr Drh Koekoeh Santoso
Pembimbing I
Dr Drh Hera Maheshwari, M.Sc
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2015 ini adalah
Cekaman Panas, dengan judul Laju Respirasi dan Suhu Rektal Burung Puyuh
(Coturnix coturnix Japonica) pada Berbagai Paparan Waktu Cekaman Panas.
Selama penyusunan skripsi ini penulis mendapat begitu banyak bantuan
yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: Dr Drh
Koekoeh Santoso selaku pembimbing utama atas segala motivasi, kritik, saran,
bantuan, dan kesabaran yang telah diberikan selama penelitian hingga
penyelesaian skripsi; Dr Drh Hera Maheshwari, M.Sc selaku pembimbing kedua
atas segala motivasi, kritik, saran, bantuan, dan kesabaran yang telah diberikan
selama penulisan hingga penyelesaian skripsi; Prof Dr Drh Iman Supriatna
sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis
menjalankan studi di tingkat sarjana; Ibu, bapak, kakak, serta segenap keluarga
besar atas segala doa, kasih sayang, bantuan, dan semangat. Terimakasih juga
penulis ucapkan kepada teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan
karya ilmiah ini Henny Parwita Sari, Nurmayanti, Ayu S Pandiangan, teman-
teman penelitian global warming, serta teman-teman satu angkatan Astrocyte 49.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna, walaupun demikian penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, September 2016
Winusudyasari Nugraheni
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 1
TINJAUAN PUSTAKA 2
METODE 5
Waktu dan Tempat 5
Bahan 5
Alat 5
Prosedur Penelitian 5
Analisis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
SIMPULAN DAN SARAN 11
Simpulan 11
Saran 11
DAFTAR PUSTAKA 12
RIWAYAT HIDUP 14
DAFTAR TABEL
1 Pengaruh cekaman panas akut terhadap frekuensi respirasi burung
puyuh kelompok I 7
2 Pengaruh cekaman panas akut terhadap frekuensi respirasi burung
puyuh kelompok II 8
3 Pengaruh cekaman panas akut terhadap suhu rektal burung puyuh
kelompok I 9
4 Pengaruh cekaman panas akut terhadap suhu rektal burung puyuh
kelompok II 10
DAFTAR GAMBAR
1 Sistem Respirasi Burung 3
2 Bagan Prosedur Penelitian 6
3 Grafik Frekuensi Respirasi Kelompok I 7
4 Grafik Frekuensi Respirasi Kelompok II 8
5 Grafik Suhu Rektal Kelompok I 9
6 Grafik Suhu Rektal Kelompok II 10
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri ternak unggas merupakan subsektor peternakan yang sedang
mengalami peningkatan pesat. Salah satu sektor perunggasan saat ini mulai di
lakukan masyarakat adalah budidaya puyuh. Populasi burung puyuh tahun 2013
adalah 12.594 juta ekor serta diharapkan menjadi sumber penghasil protein
hewani di masa mendatang (Widyatmoko et al. 2013). Menurut Dirjen Peternakan
dan Kesehatan Hewan (2015), tahun 2014 jumlah populasi burung puyuh
(Cortunix cortunix Japonica) memiliki perkembangan yang paling pesat, yaitu
12.69 juta ekor atau mengalami peningkatan 1.11% dibandingkan dengan populasi
tahun 2013 dan populasi tahun 2015 mencapai 12.90 juta ekor.
Salah satu faktor yang menghambat laju produksi peternakan puyuh yaitu
tingginya suhu lingkungan di negara tropis seperti di Indonesia (mencapai 34oC)
pada siang hari dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh,
sehingga ternak mengalami cekaman panas. Berdasarkan pemodelan yang
dilakukan Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC) pada tahun 2100
temperatur bumi akan meningkat 1,8-4°C (IPCC 2007). Temperatur lingkungan rata-
rata di Indonesia adalah 24-33°C, berdasarkan pemodelan dari IPCC maka pada tahun
2100 temperatur rata-rata di Indonesia dapat mencapai 28,7-37,7°C jauh lebih tinggi
dibandingkan suhu nyaman (thermoneutral zone) unggas yakni 20-21°C (Syafwan
2012). Peningkatan temperatur lingkungan menjadi faktor pemicu stres yang
berkelanjutan bagi seluruh makhluk hidup di seluruh dunia, termasuk puyuh.
Cekaman panas akan berdampak pada penurunan produktivitas dan status
kesehatan ternak (Faisal et al. 2008). Ternak unggas akan lebih terkena dampak
cekaman panas dibandingkan mamalia karena memiliki termoregulasi yang tidak
sebaik mamalia dengan tidak adanya kelenjar keringat. Terdapat reseptor di
hipotalamus yang bekerja mengontrol sistem termoregulasi hewan endotermik.
Evaporasi merupakan respon utama dari mekanisme termoregulasi puyuh yang
mengalami hipertermia sehingga pengeluaran panas tubuh secara evaporatif
melalui respirasi menjadi penentu dalam mempertahankan suhu tubuh.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon burung puyuh terhadap
cekaman panas akut berdasarkan laju respirasi serta suhu rektal.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang termoregulasi
burung puyuh terutama laju respirasi dan suhu rektal.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Burung Puyuh
Burung puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi,
ukuran tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Burung puyuh merupakan
burung liar, pertama kali diternakkan di Amerika Serikat pada tahun 1870. Burung
puyuh dipelihara di Amerika disebut dengan Bob White Quail, Colinus Virgianus
sedangkan di China disebut dengan Blue Breasted Quail, Coturnix Chinensis.
Masyarakat Jepang, China, Amerika dan beberapa Negara Eropa telah
mengkonsumsi telur dan dagingnya karena burung puyuh bersifat dwiguna (Tetty
2002).
Burung puyuh terus dikembangkan ke seluruh penjuru dunia, sedangkan di
Indonesia burung puyuh mulai dikenal dan diternakkan sejak tahun 1979. Burung
puyuh liar banyak terdapat di dunia, nampaknya hanya baru Coturnix coturnix
Japonica yang mendapat perhatian dari para ahli. Menurut Pappas (2002)
klasifikasi burung puyuh Coturnix coturnix Japonica adalah sebagai berikut:
kingdom : Animalia
filum : Chordata
class : Aves
ordo : Gallivormes
subordo : Phasianoidea
famili : Phasianidae
sub-famili : Phasianinae
genus : Coturnix
spesies : Coturnix coturnix Japonica
Respirasi Unggas
Sistem respirasi unggas menurut Suprijatna et.al (2005), terdiri dari nasal
cavities, larynx, trachea, syrinx, bronchi, bronchiole dan bermuara di alveoli.
Unggas memerlukan banyak energi untuk terbang sehingga unggas memiliki
sistem respirasi yang memungkinkan untuk berlangsungnya pertukaran oksigen
yang sangat besar per unit hewan. Oksigen yang tinggi diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut sehingga anatomi dan fisiologi sistem respirasi
unggas berbeda dengan mamalia. Perbedaan utama adalah fungsi paru-paru. Pada
mamalia, otot diafragma berfungsi mengontrol ekspansi dan kontraksi paru-paru.
Unggas tidak memiliki diafragma sehingga paru-paru tidak mengembang dan
kontraksi selama ekspirasi dan inspirasi. Paru-paru hanyalah sebagai tempat
berlangsungnya pertukaran gas di dalam darah.
Sistem pernapasan burung berbeda dengan vertebrata lain menurut Scanes
(2015), paru-paru mamalia berukuran 7-15% dari volume tubuhnya sedangkan
paru-paru burung lebih kecil yaitu 1-3% dari volume tubuh. Fungsi pertukaran gas
dan ventilasi pada burung sebagai organ pernapasan dibagi menjadi unit
fungsional yang lebih kecil untuk meningkatkan luas permukaan pada saat
3
pertukaran gas sedangkan alveoli di paru-paru mamalia melakukan kedua fungsi
pernafasan yaitu ventilasi dan pertukaran gas.
Bangsa unggas mempunyai sembilan kantung udara yang dapat
diklasifikasikan sebagai kantung udara depan dan kantung udara belakang.
Kantung udara bagian depan terdiri dari satu pasang kantung udara cervicalis, satu
buah kantung udara clavicularis, dan satu pasang kantung udara anterior thoracic.
Kantung udara cervicalis secara langsung terhubung ke brochus sekunder
medioventral pertama. Kantung udara clavicularis langsung terhubung ke
bronchus sekunder medioventral ketiga, dan terhubung secara tidak langsung
melalui parabronchus. Kantung udara anterior thoracic umumnya terhubung ke
medioventral sekunder ketiga bronchus, serta parabronchus. Kantung udara
bagian belakang terdiri dari sepasang kantung udara caudal thoracic dan sepasang
kantung udara abdominalis. Kantung udara caudal thoracic langsung terhubung
ke latero ventral bronchus dan memiliki sambungan secara tidak langsung ke
kranial (medioventral) bronchus sekunder pada beberapa spesies seperti ayam.
Kantung udara abdominalis terhubung ke bagian belakang dari bronchus primer
intrapulmonary dan terhubung secara tidak langsung dengan parabronchus dari
bronchus sekunder laterodorsal dan mediodorsal bagian belakang bronchus
sekunder. Kantung udara terhubung dengan parabronchus melalui struktur seperti
corong yang disebut saccobronchus (Scanes 2015).
Gambar 1 Sistem respirasi burung
(Sumber: Scanes 2015)
Pernafasan merupakan usaha pengambilan oksigen dari udara dan
pengeluaran karbondioksida beserta uap air melalui sistem pernafasan setelah di
proses dalam paru-paru, kantung udara, dan darah. Sistem pernapasan burung juga
penting untuk termoregulasi dan fungsi selain pernapasan seperti vokalisasi.
Sistem pernafasan memastikan pasokan oksigen cukup ketika kebutuhan oksigen
meningkat (Scanes 2015). Udara luar yang mengandung oksigen masuk ke saluran
pernafasan dan didistribusikan melalui paru-paru yang berhubungan dengan
kantung udara. Proses inspirasi terjadi ketika unggas menarik nafas sehingga otot
inspirasi meningkatkan volume rongga tubuh dan menghasilkan tekanan
subatmosfir selanjutnya udara masuk ke kantung udara dan paru-paru kemudian
4
oksigen disitribusikan oleh darah untuk disalurkan ke seluruh tubuh. Ekspirasi
terjadi ketika otot ekspirasi mengurangi volume rongga tubuh sehingga udara
keluar melalui kantung udara, paru-paru dan menuju saluran pernafasan untuk
diikeluarkan. (Yuwanta 2005).
Suhu Tubuh
Hewan endotermik mampu mempertahankan suhu tubuh tetap untuk
beradaptasi dalam berbagai kondisi lingkungan. Sistem pengaturan suhu tubuh ini
disebut termoregulasi yang berkaitan dengan mekanisme homeostasis. Unggas
dapat mempertahankan suhu tubuhnya dalam core temperature dan surface
(peripheral temperature) untuk mengatasi panas di lingkungan (Scanes 2015).
Perubahan suhu dideteksi oleh dua termoreseptor yaitu peripheral thermoreceptor
dan central thermoreceptor. Central thermoreceptor berperan dalam
mempertahankan core temperature ketika suhu lingkungan lebih tinggi dari zona
nyaman puyuh yaitu 20-25°C. Core temperature merupakan suhu inti yang akan
dipertahankan meskipun unggas hidup pada suhu lebih rendah atau lebih tinggi
dari suhu tubuhnya. Hal ini dikarenakan adanya mekanisme yang disebut setting
point di hipotalamus untuk mengatur suhu tubuh (Guyton 2011).
Cekaman Panas
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
performa unggas. Indonesia sebagai negara tropis, memiliki suhu lingkungan yang
lebih tinggi atau berada di atas zona nyaman bagi pertumbuhan unggas. Rataan
suhu harian daerah tropis di Indonesia berkisar antara 31,32 ± 1,22ºC (maksimum)
dan 22,44 ± 1,48°C (minimum) (BPS 2009). Pertumbuhan optimum bangsa
unggas terutama puyuh tercapai apabila berada pada suhu lingkungan yang
nyaman, yaitu 18-23ºC (Bell dan Weaver 2002). Suhu lingkungan penelitian yang
lebih tinggi dari suhu nyaman unggas dapat mempengaruhi performa unggas
terutama puyuh untuk tumbuh maksimal. Manajemen lingkungan sangat penting
untuk menjaga ternak merasa nyaman. Suhu lingkungan yang optimal untuk
pertumbuhan puyuh adalah 20-25°C (Tetty 2002).
Cekaman yang disebabkan tingginya temperatur lingkungan yang terjadi
secara terus menerus pada hewan dapat mengganggu kesehatan dan proses
homeostasis (Leeson dan Summers 2001). Cekaman ini biasanya berhubungan
dengan iklim yang ekstrim, misalnya terlalu dingin atau terlalu panas. Unggas
akan mengalami cekaman panas ketika suhu lingkungan lebih tinggi dari suhu
nyaman, sehingga akan menurunkan performa. Suhu lingkungan lebih rendah dari
suhu nyaman, akan menyebabkan unggas mengalami cekaman dingin, sehingga
daya tahan tubuh menjadi rendah dan menurunkan performa. Keadaan suhu
lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi
produktivitas unggas. Suhu panas pada suatu lingkungan industri unggas telah
menjadi salah satu perhatian utama karena dapat menyebabkan kerugian ekonomi
disebabkan meningkatnya angka kematian ataupun menurunnya produktvitas (St-
Pierre et al. 2003). Keadaan suhu relatif tinggi pada suatu lingkungan
5
pemeliharaan menyebabkan terjadinya cekaman panas pada unggas (Austic,
2000).
Setiap makhluk hidup memiliki suatu zona fisiologis yaitu zona
homeostasis. Zona homeostasis ini akan terganggu ketika terjadi stres dan tubuh
akan berusaha mengambalikan ke kondisi sebelum terjadi stres. Ternak unggas
yang menderita stres akan memperlihatkan ciri-ciri gelisah, banyak minum, nafsu
makan menurun dan mengepak-ngepakan sayap di lantai kandang. Disamping itu,
ternak yang menderita stres akan mengalami panting dengan frekuensi berbanding
lurus dengan tingkat stres, suhu tubuh meningkat yang disertai dengan
peningkatan kadar hormon kortikosteron dan ekspresi Heat Shock Protein (HSP)
70 (Tamzil et al. 2013).
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Ruang Observasi Departemen Anatomi,
Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
pada tanggal 29 November 2015 sampai dengan 6 Juni 2016 .
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 ekor puyuh betina
fase layer umur 6 minggu sebagai hewan coba, pakan puyuh, vaksin ND, vitamin,
dan air minum.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang percobaan,
lampu penerang dan lampu pemanas, termometer, termostat, kipas exhaust, tempat
pakan serta tempat minum, chamber pengukuran respirasi dan spirometer pod,
powerlab/4st AD instrument, laptop serta aplikasi Chart 5.
Prosedur Penelitian
Persiapan Kandang
Sebelum penelitian dimulai ruangan dan peralatan kandang disuci
hamakan menggunakan desinfektan. Disediakan kandang percobaan dalam
ruangan beserta peralatan yang dibutuhkan yaitu lampu penerang, lampu pemanas,
termometer, termostat, kipas exhaust, termasuk tempat pakan dan minum.
Digunakan dua buah kandang dalam penelitian yaitu satu buah kandang A (suhu
24°C) dan kandang B (suhu 40°C). Setiap kandang masing-masing diisi dengan 6
ekor puyuh. Selain itu digunakan chamber yang dimodifikasi dengan pemasangan
spirometer untuk pengukuran respirasi.
6
Pengukuran Respirasi dan Suhu Rektal
Pengukuran dilakukan pada pagi hari selama 2 hari menggunakan 12 ekor
puyuh umur 6 minggu yang dibagi kedalam 2 kelompok yaitu kelompok I dan
kelompok II yang masing-masing terdiri dari 6 ekor puyuh dan diberikan cekaman
panas akut. Sebelum pemberian perlakuan dilakukan pengukuran frekuensi
respirasi dan suhu rektal sebagai kontrol pada masing-masing kelompok.
Kelompok I diberi perlakuan panas dengan suhu 40°C selama 30 menit dan 60
menit kemudian dilakukan pengukuran frekuensi respirasi dan suhu rektal.
Kelompok II diberi perlakuan panas dengan suhu 40°C selama 60 menit dan 120
menit kemudian dilakukan pengukuran frekuensi respirasi dan suhu rektal.
Pengukuran respirasi menggunakan Data Acquisition System dari AD instrument
yang telah dimodifikasi bagian air flow transducer. Pengukuran frekuensi
respirasi dilakukan lima kali pengulangan dengan masing-masing pengukuran satu
siklus respirasi selama 1 menit. Pengukuran suhu rektal dilakukan menggunakan
termometer.
Gambar 2 Bagan prosedur penelitian
12 ekor puyuh fase layer
Kelompok II
6 ekor
Kelompok I
6 ekor
Ukur frekuensi respirasi dan suhu rektal (kontrol)
Kelompok II
pemanasan 60 menit
Kelompok I
Pemanasan 30 menit
Ukur frekuensi respirasi dan suhu rektal
Kelompok I
pemanasan 60 menit
Kelompok II
pemanasan 120 menit
Ukur frekuensi respirasi dan suhu rektal
7
Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis menggunakan SPSS uji ANOVA one-way
dengan aplikasi SPSS Statistic dan uji Duncan untuk melihat perbedaan nyata
(p<0.05) antara lama pemanasan dengan frekuensi respirasi dan suhu rektal, serta
Regresi Linier munggunakan Microsoft Excel untuk melihat peningkatan
frekuensi respirasi dan suhu rektal dengan diberikannya paparan panas dalam
waktu berbeda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Puyuh tergolong hewan homoithermic (berdarah panas) yang mempunyai
zona nyaman terkait suhu lingkungan. Puyuh mempunyai ciri spesifik tidak
memiliki kelenjar keringat serta hampir semua bagian tubuhnya tertutup bulu
sehingga kondisi biologis ini menyebabkan puyuh akan mengalami kesulitan
untuk melakukan termoregulasi ketika puyuh dipelihara di daerah tropis (Tamzil
2014). Moberg (2000), stres merupakan suatu ancaman sehingga dapat
mengganggu homeostasis hewan, bahkan setiap stresor yang menyebabkan
dampak negatif pada kesejahteraan hewan dapat dikategorikan sebagai stres.
Tabel 1 Pengaruh cekaman panas akut terhadap frekuensi respirasi burung puyuh
Kelompok I
Suhu dan Lama Cekaman Panas Parameter
Frekuensi Respirasi (x/menit)
24°C (kontrol) 64.20±10.13ᵃ
40°C (30 menit) 149.17±38.18ᵇ
40°C (60 menit) 151.00±20.63ᵇ
ᵃ,ᵇ superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan
nyata (P<0.05)
Gambar 3 Grafik frekuensi respirasi kelompok I
8
Pemberian cekaman panas pada puyuh menyebabkan terjadinya peningkatan
frekuensi respirasi pada Tabel 1 dari kontrol 64.20 kali/menit, pemberian cekaman
panas 30 menit meningkatkan laju respirasi sebesar 149.17 kali/menit, cekaman
panas selama 60 menit menghasilkan laju respirasi sebesar 151.00 kali/menit.
Grafik linier kelompok I terlihat adanya kenaikkan frekuensi respirasi
menghasilkan R2=0.564 yang mempunyai arti bahwa lama waktu pemanasan
dapat menjelaskan respirasi sebesar 56,4%. Peningkatan frekuensi pernafasan
terlihat pada Tabel 2 dari kontrol 64.53 kali/menit jika langsung dipanaskan
selama 60 menit 117.57 kali/menit, dan pemanasan selama 120 menit frekuensi
respirasi sebesar 151.10 kali/menit. Grafik linier kelompok II menghasilkan
R2=0.780 yang menunjukkan bahwa lama waktu pemanasan dapat menjelaskan
respirasi sebesar 78%. Berdasarkan hasil uji Anova frekuensi respirasi kelompok I
maupun kelompok II berbeda nyata pada selang kepercayaan (P<0.05). Menurut
Tamzil (2014) pemberian cekaman panas pada suhu 40°C selama waktu 0,5 jam,
1 jam, dan 1,5 jam menyebabkan frekuensi panting sebesar 822.48 kali/menit,
943.47 kali/menit, dan 1069.98 kali/menit. Hasil penelitian ini menunjukkan
kesamaan dengan penelitian Tamzil pada respon fisiologis yaitu semakin lama
waktu paparan panas akan meningkatkan frekuensi respirasi dan panting.
Gambar 4 Grafik frekuensi respirasi kelompok II
Tabel 2 Pengaruh cekaman panas akut terhadap frekuensi respirasi burung puyuh
Kelompok II
Suhu dan Lama Cekaman Panas Parameter
Frekuensi Respirasi (x/menit)
24°C (kontrol) 64.53±15.15ᵃ
40°C (60 menit) 117.57±23.97ᵇ
40°C (120 menit) 151.10±19.54ᶜ
ᵃ,ᵇ superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan
nyata (P<0.05)
9
Penelitian ini terdapat perbedaan dalam hasil pengukuran frekuensi respirasi
kemungkinan disebabkan oleh metode pengukuran yang berbeda yaitu dalam
penelitian ini yang diukur adalah siklus inspirasi dan ekspirasi.
Pemberian cekaman panas berpotensi meningkatkan suhu tubuh atau
hipertermia (Guyton 2011). Puyuh sebagai salah satu hewan endotermik akan
mempertahakan suhu tubuh dalam keadaan tetap. Peningkatan frekuensi respirasi
pada puyuh akibat cekaman panas dilakukan sebagai salah satu upaya untuk
mempertahankan suhu tubuh dalam core temperature oleh karena itu dilakukan
pengukuran suhu tubuh dalam penelitian ini.
Gambar 5 Grafik suhu rektal kelompok I
Tabel 3 Pengaruh cekaman panas akut terhadap suhu rektal burung puyuh
Kelompok I
Suhu dan Lama Cekaman Panas Parameter
Suhu Rektal (°C)
24°C (kontrol) 41.81±0.57ᵃ
40°C (30 menit) 42.08±0.52ᵃᵇ
40°C (60 menit) 42.58±0.28ᵇ
ᵃ,ᵇ superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan
nyata (P<0.05)
10
Suhu tubuh burung puyuh mengalami peningkatan dengan semakin lama
waktu paparan panas (Tabel 3). Grafik linier kelompok I menghasilkan R2=0.335
menunjukkan bahwa waktu pemanasan dapat mempengaruhi peningkatan suhu
rektal sebesar 33.5%. Kelompok II menghasilkan R2=0.224 yang berarti bahwa
lama waktu pemanasan hanya mempengaruhi peningkatan suhu rektal sebesar
22.4%. Beradasarkan uji Anova pada selang kepercayaan (P<0.05) menunjukkan
ada perbedaan nyata pada kelompok I. Tabel 4 tidak terdapat perbedaan nyata
pada selang kepercayaan (P<0.05). Beberapa penelitian melaporkan bahwa
peningkatan suhu lingkungan nyata meningkatkan suhu tubuh (Lin et al. 2005;
Tamzil et al. 2013). Pemeliharaan dalam suhu kandang bila suhu lingkungan
mencapai 40°C dan dibiarkan selama 1,5 jam suhu rektal meningkat mencapai
44,99°C disertai dengan peningkatan frekuensi panting (gular flutter), konsumsi
air minum serta penurunan konsumsi pakan (Tamzil et al. 2013).
Suhu tubuh normal pada ternak unggas berkisar antara 40,5-41,5°C (Etches
et al. 2008). Pembuangan panas dari dalam tubuh ternak unggas dilakukan melalui
dua cara, yaitu secara sensible heat loss dan insensible heat loss (Bird et al. 2003).
Sensible heat loss adalah hilangnya panas tubuh melalui proses radiasi, konduksi
dan konveksi, sedangkan secara insensible heat loss adalah hilangnya panas tubuh
Gambar 6 Grafik suhu rektal kelompok II
Tabel 4 Pengaruh cekaman panas akut terhadap suhu rektal burung puyuh
Kelompok II
Suhu dan Lama Cekaman Panas Parameter
Suhu Rektal (°C)
24°C (kontrol) 41.41±0.67ᵃ
40°C (60 menit) 42.03±0.21ᵃ
40°C (120 menit) 42.01±0.40ᵃ
ᵃ,ᵇ superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan
nyata (P<0.05)
11
melalui proses panting. Pada suhu pemeliharaan 23°C, 75% panas tubuh dibuang
secara sensible, selebihnya 25% dikeluarkan secara insensible, sebaliknya bila
suhu lingkungan meningkat sampai 35°C sebanyak 75% panas tubuh dibuang
melalui proses insensible dan sisanya sebanyak 25% dibuang secara sensible.
Pengeluaran panas akan lebih tinggi dari produksi panas jika suhu tubuh
diatas suhu normal sebaliknya jika suhu tubuh di bawah suhu normal maka
produksi panas akan ditingkatkan dan pembuangan panas akan ditekan.
Mekanisme pengatur suhu tubuh ini disebut setting point yang mengatur suhu
tubuh untuk kembali dalam core temperature. Suhu tubuh hampir seluruhnya
diatur oleh mekanisme umpan balik syaraf yang terletak pada hipotalamus.
Terdapat neuron di hipotalamus anterior yang berfungsi sebagai detektor suhu
untuk menentukan ketika suhu tubuh menjadi terlalu tinggi atau tertalu rendah.
Hipotalamus akan menggertak sistem syaraf otonom simpatis ketika suhu tubuh
menjadi lebih tinggi untuk meningkatkan frekuensi pernafasan sebagai
kompensasi mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran normal. Panting akan
terjadi jika suhu tubuh unggas mencapai 41-43°C (Guyton 2011).
Cekaman panas menurut Deyhim dan Teeter (1991), menyebabkan beberapa
perubahan fisiologi dan metabolis pada unggas seperti meningkatnya suhu tubuh,
panting dan respiratori alkalosis. Pengeluaran karbondioksida yang berlebihan
selama panting akan menurunkan tekanan parsial karbondioksida dalam plasma
darah. Sistem buffer bicarbonate menurunkan konsentrasi ion hidrogen yang
menyebabkan peningkatan pH plasma dan plasma bicarbonate. Kondisi ini akan
menekan asupan pakan dan mempengaruhi performa unggas petelur secara
keseluruhan. Mempertahankan keseimbangan asam - basa menjadi penting untuk
memperbaiki performa unggas dibawah temperatur tinggi guna mencegah dampak
berbahaya dari respiratori alkalosis (Ahmad dan Sarwar 2006).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon burung puyuh terhadap
cekaman panas yang diberikan ditunjukkan dengan cara meningkatkan frekuensi
respirasi dan terjadi peningkatan suhu rektal walaupun masih dalam kisaran
normal.
Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut dan mendalam untuk mengukur pH
darah dan keseimbangan asam - basa untuk melihat potensi munculnya respirasi
alkalosis.
12
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad T, Sarwar M. 2006. Dietary electrolyte balance: implications in heat
stressed broilers. J Poult Sci. 62(2):639-640.
Austic RE. 2000. Feeding Poultry in Hot and Cold Climates. Di dalam MK
Yousef, editor. Stress Physiology in Livestock Vol 3 Poultry. Florida (US):
CRC Pr. hlm. 123-136.
Bell DD, Weafer WD. 2002. Comercial Chicken Meat and Egg Production. Ed
ke-5. New York (US): springer Science and Busines Media, Inc.
Bird NA, Hunton P, Morrison WD, Weber LJ. 2003. Heat Stress in Cage Layer.
Canada (CA): Ministry of Agriculture and Food Publishing.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. Jakarta (ID): BPS.
Deyhim F, Teeter RG. 1991. Research Note: Sodium and potassium chloride
drinking water supplementation effects on acid-base balance and plasma
corticosterone in broilers reared in thermoneutral and heat distressed
environments. J Poult Sci. 70(1):2551 2553.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2015. Statistik Peternakan
dan Kesehatan Hewan 2015. [internet]. [diunduh pada 2016 Juni 25]
Tersedia pada http://ditjennak.deptan.go.id.
Etches RJ, John TM, Verrinder GAM. 2008. Behavioural, Physiological,
Neuroendocrine and Molecular Responses to Heat Stress. Daghir NJ, editor
USA (US). Poult Prod Hot Clim. p. 49-69.
Faisal BA, Abdel SA, Fatah Y, Hommosany ME, Nermin MA, Gawad, Maie F,
Ali M. 2008. Immunocompetance, hepatic haet shock protein 70 and
physiological responses to feed restriction and heat stress in two body
weight lines of Japanese Quail. J. Poult Sci. 7(2): 174-183.
Guyton AC. 2011. Textbook of Medical Physiology. Twelft Edition. Philadelphia
(US): Elsevier.
IPCC (2007). Summary for Policymakers. In: Climate Change 2007: The Physical
Science Basis. Contribution of Working.
Lessons S, Summers JD. 2001. Nutrition of the Chickens. Ed ke-4. Canada (CA):
University Book Publishing.
Lin H, Zhang HF, Du R, Gu XH, Zhang ZY, Buyse J, Decuypere E. 2005.
Thermoregulation responses of broiler chickens to humidity at different
ambient temperatures four weeks of age. J Poult Sci. 84(1):1173-1178.
Moberg GP. 2000. Biological Response to Stress: Implications for Animal
Welfare. In: Moberg GP, Mench JA, editors. Biol Anim Stress.
Oxfordshire (UK): CABI Publishing. Pappas J. 2002. Coturnix japonica. [Internet]. [diunduh 2016 Maret 10]. Tersedia
pada:http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Cotur
nix_japonica.html.
Scanes CG. 2015. Strukie’s Avian Physiology. Ed ke-6. London (UK): Academic
Press Elsevier Inc.
St-Pierre NR, Cobanov B. and Schnitkey G. 2003. Economic losses from heat
stress by US livestock industries. J Dairy Sci. 86(1): 52-77.
Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
13
Syafwan. 2012. Effects of dietary changes on heat stress in broiler and Kampung
chickens [disertasi]. Natherland (NL): Wageningen University.
Tamzil MH, Noor RR, Hardjosworo PS, Manalu W, Sumantri C. 2013.
Keragaman gen heat shock protein 70 ayam Kampung, ayam Arab dan
ayam Ras. J Vet. 14(3): 317-326.
Tamzil MH. 2014. Stres Panas pada Unggas: Metabolisme, Akibat dan Upaya
Penanggulangannya. J Wart. 24(2): 57-66.
Tetty. 2002. Puyuh Si Mungil Penuh Potensi. Jakarata (ID): Agro Media Pustaka.
Widyatmoko H, Zubrizal, Wihandoyo. 2013. Pengaruh Penggunaan Corn
Distillers Grains With Solubles dalam Ransum terhadap Performan
Burung Puyuh Jantan. J. Bul Petern 37(2): 120-124.
Yuwanta T. 2005. Dasar Ternak Unggas. Yogyakarta (ID): Kanisius.
14
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Mei 1994 di Banjarnegara, Jawa Tengah.
Penulis merupakan putri ke-4 dari 4 bersaudara dari pasangan Bapak Tusdi
Samsukri dan Ibu Titi Martyaningsih. Penulis mengawali pendidikan di Sekolah
Dasar Negeri 1 Mandiraja Wetan, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1
Mandiraja, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Banjarnegara. Penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2012 melalui jalur Ujian Talenta
Mandiri (UTM) sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan. Selama
mengikuti pendidikan penulis aktif dalam organisasi Himpro Satwa Liar sebagai
Divisi Infokom. Penulis pernah melakukan magang di Klinik Hewan Kayu Manis
Yogyakarta dan TRMS Serulingmas Banjarnegara.