KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

24
1 KRITIK IBNU TAIMIYYAH TERHADAP TAREKAT (Kedudukan Shaikh dan Fungsi Khirqah dalam Tarekat) * Oleh: Muhammad Zulkarnain Mubhar NIM: F0.4.6.10.13 Pendahuluan Kaum mislimin percaya bahwa Allah Swt sejak awal penciptaan telah berkominikasi aktif dengan dan kepada seluruh ciptaan-Nya dalam berbagai bentuk dan cara, diantara cara yang paling banyak digunakan oleh Allah Swt dalam berkomunikasi dengan makhluk-Nya adalah dengan menciptkan berbagai hal dan memenuhi alam semesta ini dengan tanda-tanda ketuhanan dan kebesaran-Nya, bentuk komunikasi Allah Swt yang lebih intim adalah dengan cara memasukkan tanda-tanda ketuhanan-Nya ke dalam setiap jiwa yang berakal 1 agar jiwa tersebut dapat mersakan dan mengetahui betapa Allah Swt sangat memperhatikan setiap langkah dan tingkah laku mereka. hal ini sejalan dengan firman-Nya: Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. 2 Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimasud dengan kalimat “ وﻧﺤﻦ أﻗﺮب إﻟﯿﮫ ﻣﻦ ﺣﺒﻞ اﻟﻮرﯾﺪ" adalah bahwa Allah Swt mengetahui segala hal bahkan waswasah atau bisikan-bisikan terselubung dalam jiwa manusia, dimana pengetahuan Allah ini tidak tertutupi oleh sesuatu apapun melainkan mengalir sebagaimana mengalirnya darah pada urat nadi yang terdapat dileher manusi itu sendiri, al-Qurt} uby menyatakan bahwa kalimat tersebut merupakan kalimat tamthi >l yang bermakna bahwa Allah Swt lebih * Telah dipresentasekan pada forum seminar kelas beasiswa Pps IAIN Suanan Ampel dengan Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam pada tanggal 13-Januari 2011. Dosen Pengmpu: Prof. Syafiq A. Mughni, MA. Ph.D. 1 Jhon Renard, Dimensi-dimensi Islam. Diterj. M Khoirul Anam (Jakarta: Insani Press, 2004), 2. 2 QS. Qa> f : 16.

Transcript of KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

Page 1: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

1

KRITIK IBNU TAIMIYYAH TERHADAP TAREKAT (Kedudukan Shaikh dan Fungsi Khirqah dalam Tarekat)*

Oleh: Muhammad Zulkarnain Mubhar

NIM: F0.4.6.10.13

Pendahuluan

Kaum mislimin percaya bahwa Allah Swt sejak awal penciptaan telah

berkominikasi aktif dengan dan kepada seluruh ciptaan-Nya dalam berbagai bentuk dan

cara, diantara cara yang paling banyak digunakan oleh Allah Swt dalam berkomunikasi

dengan makhluk-Nya adalah dengan menciptkan berbagai hal dan memenuhi alam

semesta ini dengan tanda-tanda ketuhanan dan kebesaran-Nya, bentuk komunikasi Allah

Swt yang lebih intim adalah dengan cara memasukkan tanda-tanda ketuhanan-Nya ke

dalam setiap jiwa yang berakal1 agar jiwa tersebut dapat mersakan dan mengetahui

betapa Allah Swt sangat memperhatikan setiap langkah dan tingkah laku mereka. hal ini

sejalan dengan firman-Nya:

Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.2

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimasud dengan kalimat “ ونحن أقرب

"حبل الوریدإلیھ من adalah bahwa Allah Swt mengetahui segala hal bahkan waswasah atau

bisikan-bisikan terselubung dalam jiwa manusia, dimana pengetahuan Allah ini tidak

tertutupi oleh sesuatu apapun melainkan mengalir sebagaimana mengalirnya darah pada

urat nadi yang terdapat dileher manusi itu sendiri, al-Qurt}uby menyatakan bahwa

kalimat tersebut merupakan kalimat tamthi>l yang bermakna bahwa Allah Swt lebih

* Telah dipresentasekan pada forum seminar kelas beasiswa Pps IAIN Suanan Ampel dengan Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam pada tanggal 13-Januari 2011. Dosen Pengmpu: Prof. Syafiq A. Mughni, MA. Ph.D. 1 Jhon Renard, Dimensi-dimensi Islam. Diterj. M Khoirul Anam (Jakarta: Insani Press, 2004), 2. 2 QS. Qa>f : 16.

Page 2: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

2

dekat kepada hambanya yang merupakan bagian dari dirinya, dan kedekatan yang

dimaksud disini bukan kedekatan dalam arti kedekatan jarak3.

Ayat di atas – setidaknya – memberikan pengertian bahwa dalam diri manusia

terdapat dua perkara yang dalam keadaan tertentu terkadang mengalami pertikaian, dan

pada keadaan yang lain mengalami keserasian, kedua wilayah tersebut adalah wilayah

esoteris dan eksoteris. Wilayah esoteris adalah wilayah bersemayamnya pengtahuan

tentang Tuhan yang senantiasa aktif dalam melakukan interaksi dengannya baik secara

ferbal maupun nonferbal, dan wilayah aksoteris adalah wilayah terbentuknya suatu hasil

dari segala bentuk bisikan-bisikan esoteris. Bisikan-bisikan esoterik memiliki dua

bentuk; pertama, bisikan esoterik positif yaitu bisikan Tuhan yang senantiasa

mengarahkan kepada kebaikan untuk dapat menuai kemuliaan diri di dunia dan akhirat;

kedua, bisikan esoteris negatif yatu bisikan setan (Waswasah al-Shaya>t}i>n)4 yang

senantiasa mengarahkan kepada kesesatan sehingga mendapatkan kemuliaan diri di

dunia dan kehinaan diakhirat. Realisasi eksoterik dari bisikan esoterik positif kemudian

disebut dalam istilah al-Qur’an al-‘Amal al-S}a>leh dan realisasi esoterik dari bisikan

esoterik negative kemudian menghasilkan al-Sayyia>t wa al-Ithm wa al-Fawa>h}sh, bahkan

dalam istilah al-Qur’an mengikuti bisikan esoteris negatif sekalipun tidak terealisasi

secara eksoterik sudah tergolong al-Fawa>h}ish al-Ba>t}iniyyah (kekejian abstrak).

Tentang perkara esoterik baik yang positif maupun negatif5 dalam dunia

sufustik menjadi perhatian yang sangat besar, dimana orang yang berhasil

membumihanguskan sentra-sentra spiritual keburakan dan berhasil membangun sentra-

sentra kebaikan dalam ranah jiwanya, berpeluang untuk mendapatkan pengetahuan

sukmawi yang merupakan realitas abstrak dan transenden (al-H{aqi>qah al-Mujjaradah al-

Muta’a>liyah), sebab realitas ini adalah realitas termulia dan hanya dapat ditangkap

secara baik oleh jiwa yang telah terbebas dari belenggu material, dan Tuhan hanya dapat

3 Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad bin Ah}mad bin Abi> Bakr al-Qurt}uby, al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n wa al-Mubayyinu Lima> Tad}ammanahu min al-Sunnah wa A<yi al-Furqa>n, Vol. 19 (Beiru>t: Muassasah al-Risa>h, 1427 H / 2006 M), 463. 4Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Swt di dalam al-Qur’an Surah Al-Na>s : 1-6. 5Atau dalam istilah lain sentra-sentra kebaikan spiritual dan sentra-sentra keburukan spiritual. Lihat. Muhyiddin Hariri Shirazi, Tikai Ego dan Fitrah. Diterj. Eti Triana dan Ali Yahya (Jakarta: Al-Huda, 2010), 9-10.

Page 3: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

3

dirasakan kehadiran-Nya oleh orang yang memiliki pengetahuan sukmawi6 dengan

membelenggu dan menghanguskan segala bentuk bisikan esoterik negatif dan

mengaktifkan secara simultan dan berkelanjutan segala bentuk bisikan-bisikan esoterik

positif.

Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa tasawwuf lebih memberi aksentuasi

kepada aspek batin (esoterik) yang merupakan bentuk produk ijtihad tentang ajaran

Islam. Ibnu Khaldun (w. 1406) menginformasikan bahwa keberadaan tasawwuf secara

historis bermula dari generasi salaf dengan cara memusatkan diri dengan konsentrasi

sepenuhnya dalam beribadah hanya kepada Allah Swt semata, menjauhi dunia dan

segala pesona kelezatannya, berpaling dai harta dan jabatan, melakukan ‘uzlah untuk

dapat lebih konsentrasi dalam ibdaha (khalwat), dan senantiasa hidup dalam ibadah.

Fenomena ini merupakan fenomena umum dalam kehidupan generasi salaf, kemudian

pada abad ke-2 dan sesudahnya para ‘a>bid dan mereka yang menjauhi sikap tamak dari

kehidupan duniawai (za>hid) kemudian disebut dengan s}u>fy atau mutas}awwifi>n.7 Konteks

ini menunjukkan bahwa sejak saat itu (abad ke-2 dan sesudahnya) tasawuf memasuki

periode intusi, kashf, dan dhauq yang berkembang antara abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.8

Perkembangan tasawwuf di atas kemudian membawa alam tasawwuf pada

perkembangan ke arah munculnya aliran-aliran atau mazhab-mazhab, berikut

kecenderungan dan karakteristik masing-masing9 yang kemudian disebut dengan

Tarekat. Tarekat-tarekat yang berkembang tersebut secara simultan dan berkelanjutan

telah berperan dalam melakukan perubahan tasawwuf yang pada awalnya merupakan

kegiatan yang bersifat individu menjadi gerakan massa yang melemahkan cita-cita

tertinggi golongan sufi klasik.10

Dalam catatan Syafiq A. Mughni, menginformasikan bahwa pada abad

kegelapan muncul suatu kontras yang tampaknya menunjukkan berbagai penyimpangan

dari tradisi sufistik sebelumnya. Kontras ini tampak pada dua kelompok; pertama,

6 Ibid. 7 Ibnu Khaldu>n, Muqaddimah (Kairo: Mat}ba’ah al-Bahiyyah, T.Th), 228. 8 Abu al-Wafa>’ al-Taftaza>ny, Madkhal Ila> al-Tas}awwuf al-Isla>my (Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, 1979), 8-9. 9 Masyharuddin, Pemberontakan Tasawwuf; Kritik Ibnu Taymiyyah atas Rancang Bangun Tasawwuf ( Surabaya: JP Books dan STAIN Kudus Press, 2007), 9. 10 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. Diertj. Supardi Djoko Damono (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), 303.

Page 4: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

4

kelompok sheikh yaitu kelompok tasawwuf yang memiliki organisasi yang jelas dan

kegiatan-kegiatan mereka berpusan di khanaqah yang biasanya terletak di kota-kota;

kedua, kelompok yang disebut oleh Syafiq dengan “Dervish-berkelana” biasanya orang-

orang pencuri, petualang, pesulap, dan bahkan pencuri. Mereka ini sering digambarkan

sebagai kelompok sufi yang menghilangkan aspek pengalaman sufisme yang dianut oleh

para sufi sebelumnya. Kelompok ini memandang bahwa semangat berpetualang

merupakan jalan sufi. Sikap semacam itu telah ada sejak adanya tarekat, dan bahkan

lebih menampakkan diri secara jelas ketika sufisme melembaga secara mapan ditengah

masyarakat.11

Kemunculan berbagai bentuk kontras sufistik sebagaimana yang digambarkan

oleh Syafiq A. Mughni di atas, kemudian memunculkan sikap para tokoh pada masa itu

untuk meluruskan berbagai penyimpangan-penyimpangan tersebut utamanya yang

berhubungan dengan Aqidah. Diantara para tokoh yang sangat memberikan perhatian

dalam upaya memurnikan kembali aqidah Islam yang bermuara pada al-Qur’an, dan al-

Sunnah yang sesuai dengan faham al-Salaf al-S}a>leh adalah Shaikh al-Isla>m Ibnu

Taimiyyah –Rahimahullah ––Rahimahullah – dengan kerangka dasar pemikiran bahwa

Islam dan pembaharuan Islam memerlukan suatu cara, yaitu jalan tengah (al-

Wasat}yyah). Pada kenyataannya, jalan tengah harus dipadukan dengan perkembangan

dalam Islam yang bermacam-macam tersebut dengan tetap berpegang pada ajaran pokok

Islam yang termaktub dalam al Qur’an dan Sunnah yang murni dan sesuai dengan fahan

Salaf al-Ummah, yang tidak terkontaminasi oleh budaya-budaya asing.

Pada masa hidupnya Shaikh al-Isla>m Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah– beliau

banyak melakukan kritikan-kritikan terhadap prilaku menyimpangan paham ke-Islam-an

utamanya para pengikut tarekat-tarekat sufi. Jika demikian bagaimana pandangan Ibnu

Taimiyyah –Rahimahullah –tentang tarekat? Bagaimana kritikan Ibnu Taimiyyah –

Rahimahullah –terhadap kewalian dan karomah seorang shaikh dalam Tarekat? Apakah

yang dimaksud dengan khirqah menurut Ibnu Taimiyyah? Seluruh pertanyaan ini akan

diurai dalam makalah ini sesuai dengan kemampuan penulisnya.

11Syafiq A. Mughni, Dinamika Inteletual Islam Pada Abad Kegelapan (Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LAPAM), 2002), 59.

Page 5: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

5

Riwayat Singkat Hidup Ibnu Taimiyyah

Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –bernama asli Ah}mad bin ‘Abd al-H}ali>m bin

‘Abd al-Sala>m bin Taimiyyah al-H{arra>ny al-Dimasyqy al-H{anbaly bergelar Shaikh al-

Isla>m Taqiyuddi>n dan berlaqab Abu al-‘Abba>s. beliau lahir di kota H{arra>n pada hari

Senin 10 Rabi’ al-Awwal Tahun 661 H bertepatan dengan 25 Januari 1262 M, kemudian

seluruh keluarganya pindah Damaskus pada saat beliau masih kecil.12 Kakek beliau

adalah seorang ahli H{adi>th yang terkenal, Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –pernah

berkata tentang kekek beliau : “Kakek kami meliki hafalan h{adi>th yang sangat

mengangumkan dan beliau juga menghafal seluruh kelompok-kelompok manusia dan

pendapat-pendapat mereka secara baik”. Sementara ayah beliau adalah seseorang yang

memiliki kedalam ilmu, seorang mufti, dan penulis produktif, beliau menjadi seorang

imam menggantikan ayahnya (kakek Ibnu Taimiyyah), beliau adalah seorang imam,

peneliti dan menguasai berbagai cabang ilmu” demikian yang disebutkan oleh Al-

Dhahaby dalam Siyara A’la>m al-Nubala>’ sebagaimana yang dinukil oleh Mus}t}afa>

H{ilmy.13 Dan Ibnu Taymiyyah adalah panggilan untuk salah seorang dari kakek beliau

yang bernama Muh}ammad bin al-Khad}r, terdapat dua riwayat yang berbeda tentang

permasalahan ini –sebagaimana yang diinformasikan oleh al-Dhahaby dan nukil oleh

Banna>ny – Pertama, bahwa ibu dari Muh}ammad bin al-Khad}r bernama Taymiyyah dan

merupakan seorang penasehat sehingga Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –disandarkan

kepada beliau dan dikenal menjadi nama keluarga (fam). Kedua, bahwa nama Taimiyyah

adalah putri dari Muh}ammad bin al-Khad}r dan bukanlah nama dari ibunya Muh}ammmad

al-Khad}r menamai putrinya dengan Taimiyyah disebabkan karena ketika beliau

menunaikan haji beliau melewati suatu daerah yang bernama Taima>’ sebuah kota yang

berdekatan dengan Tabuk Jazirah ‘Arabiyyah, dikota tersebut Muh}ammad bertemu

dengan seorang putrid bernama “Taimiyyah” seembalinya dari haji beliau menemukan

istrinya melahirkan anak perempuan lalu beliau menaminya dengan ‘Taimiyyah”. Dari

kedua riwayat ini –Bana>ny- menyimpulkan bahwa penyebab munculnya nama

12‘Abd al-Muta’a>l al-S}a’i>dy, Al-Mujaddidu>na fi> al-Isla>m min al-Qarni al-Awwal ila> al-Ra>bi’ ‘Ashar (Jaha>mi>z: Maktabah al-Adab, T.Th), 262. Bandingkan. Ah}mad Muh}ammad Banna>ny, Mauqif al-Ima>m Ibnu Taimiyyah min al-Tas}awwuf wa al-S}u>fiyyah (Arab Saudi: Da>r al-‘Ilmi, 1406 H / 1982 M), 24. 13Mus}t}afa> H{ilmy, Ibnu Taimiyyah wa al-Tas}awwuf (Iskandariyyah: Da>r al-Da’wah, T.Th), 357-358.

Page 6: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

6

“Taimiyyah” disebabkan karena riwayat yang kedua, ketika sang putri dewasa menjadi

seorang penasehat yang terkenal, sehingga nama keturunannya disandarkan kepadanya.14

Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –hidup pada masa dinasti Mama>li>k dalam

lingkungan yang penuh dengan ilmu, dimana keluarga beliau adalah keluarga yang

sangat mencintai ilmu dan dikenal sebagai keluarga penuntut ilmu –sebagaimana yang

telah diuraikan sebelumnya- selain itu beliau juga tumbuh di kota yang memiliki

karakteristik keilmuan dan penuh dengan ulama. Para sejarawan yang merekam

perjalanan hidup keluarga Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –utamanya pada saat

melarikan diri dari serangan tentara Tatar terhdap kota mereka –H{arra>n- menuju

Damaskus pada tahun 667 H / 1268 M15, mengungkapkan bahwa keluarga ini membawa

tumpukan buku di atas dokar mereka dan tidak tampak disana selain buku. Ini

menunjukkan perhatian besar dan penghargaan keluarga ini terhadap buku yang

memberikan penekanan bahwa keluarga ini adalah keluarga pecinta ilmu.16

Kecerdasan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –telah tampak sejak kecil, beliau

sangat terkenal dari sebayanya akan kecerdasan, ketekunan, ketelitian dan kekuatan

hafalannya, bahkan telah tersebar dikalangan para ulama masa itu bahwa di tanah

Damaskus terdapat seorang anak yang memiliki keitimewaan hafalan. Hal ini

mengundang salah seorang ulama dari tanah H}alb ke Damaskus untuk membuktikan

kebenaran berita tentang kejeniusan seorang anak yang bernama Ah}mad bin Taimiyyah,

setelah bertemu dengan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –ulama tersebut memintanya

untuk menulis di atas lauh} sebelas hadis beserta sanadnya, kemudian ulama tersebut

memintanya untuk menghapus tulisan tersebut dan menyuruhnya untuk membaca

kembali melalui hafalan apa yang telah dia tulis sebelumnya, setelah Ibnu Taimiyyah –

Rahimahullah –mebacakan kembali kesebelas hadis tersebut secara utuh melalui

kekuatan hafalan, dengan penuh ttakjub ulama tersebut pun berkata: “Jika anak ini

14 Banna>ny, Mauqif…., 24. Bandingkan. Syams al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n al-Dhahaby (w. 748 H), Siyar A’la>m al-Nubala>’. Vol. 22 (Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1405 H / 1985 M), 289. 15 Muh}ammad bin H{asan bin ‘Aqi>l Mu>sa>, al-Mukhta>r al-Mas}u>n min A’la>m al-Quru>n (Jeddah: Da>r al-Andalu>s al-Khas}ra>’, T.Th), 38 16 Muh}ammad bin ‘Abd al-Rah}ma>n al-‘Ari>fy, Mauqif Ibnu Taimiyyah min al-S}u>fiyyah. Vol. I (Riya>d}: Maktabah Da>r al-Minha>j, 1430), 29.

Page 7: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

7

tumbuh dewasa, maka dia adalah seorang ulama besar, karena saya belum menemukan

seorang anak yang sama dengannya”.17

Pendidikan paling pertama yang didapatkan oleh Ibnu Taimiyyah –

Rahimahullah –adalah pendidikan dari ayah dan ibunya, dimana keduanya senantiasa

mengajarkan beliau dari masa kecil tentang pentingnya buku dan ilmu. Ayahnya banyak

memberikan kepadanya hafalan terhadap hadis, dan mengajarkannya bahasa Arab dan

sastranya, hingga beliau telah menghafal banyak syair pada masa dini. Beliau juga

belajar pada banyak guru selain dari ayanya, diantara guru-guru beliau adalah Zainab

binti Makky dimana beliau mendengarkan hadis darinya, selain hadis dan ilmunya beliau

juga mempelajari ilmu-ilmu yang lain, beliau memiliki kekutan hafalan dimana tidaklah

sesuatu yang beliau dengarkan kecuali beliau hafal, beliau senantiasa belajar hingga

beliau menjadi ulama dalam bidang tafsir dan ilmunya, ahli dibidang fiqhi dan

diskursusnya –utamanya fiqhi madhhab H{anbaly-, bahakan dikatakan beliau sangat ahli

dalam fiqhi-fiqhi mazhab dari para penganut mazhab tersebut, beliau sangat menguasai

us}u>l al-Fiqh, Nah}wu, sastara, kala>m, filsafat, Tas}awwuf dan ilmu-ilmu lain baik ilmu

naqly maupun ‘aqly, beliau telah menguasai seluruh ilmu dan cabang-cabangnya selama

30 tahun.18

Pada saat beliau berumur 20 tahun ayahnya mengajarinya cara berfatwa,

sehingga beliau berfatwa dihadapn ayahnya, dan ayahnya senantiasa memotivasinya,

seluruh fatwanya didiskusikan terus menerus hingga ayahnya merasa tenang dan

melepaskan berftwa secara mandiri. Para ulama teman-teman ayahnya terkagum dengan

kedalaman ilmu, ketelitian dan ketepatan dalil yang digunakan oleh Ibnu Taimiyyah –

Rahimahullah –muda dalam berfatwa.19

Sikap ortodoksi Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –utamanya dalam hal debat

(al-muna>z}arah wa al-Muja>dalah) telah tampak sejak beliau berusia 20 tahun dimana

beliau pernah mendebat seorang ulama yang bersebarangan dengan madhhabnya,

seorang ulama yang berumur 50 tahun dan bermadhhab sha>fi’y serta menguasai

pendapat-pendapat al-Ash’ary. Ulama tersebut melakukan kesalahan, yang karena sikap

17‘Abd al-Rah}ma>n al-Syarqa>wy, Ibnu Taimiyyah al-Faqi>h al-Mu’adhdhab (Kairi: Da>r al-Shuru>q, 1420 H / 1990 M), 7-8. 18 al-S}a’i>dy, Al-Mujaddidu>na…., 262. 19 al-Syarqa>wy, Ibnu Taimiyyah al-Faqi>h…, 10

Page 8: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

8

ortodiksinya Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –pun mengatakan kepada ulama tersebut :

“Yang kamu katakana itu adalah bentuk permusuhan atau karena kebodohan terhadap

Sunnah!” pernyataan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –ini diketahui oleh ayahnya dan

diluruskan bahwa hal itu tidak beradab, sehingga beliau harus minta maaf kepada

ayahnya dan juga kepada ulama yang didebtanya dan berjanji kepada kedua orangtuanya

untuk menjadi anak sebagaimana yang mereka inginkan, senantiasa berpegang teguh

pada sunnah, dan berdiskusi secara baik.20 Sepeninggal ayahnya pada tahun 681 H atau

1282 M, Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –menggantikan kedudukan ayahnya sebagai

guru besar Madhhab H{anbaly.21 Beliau memiliki banyak murid diantaranya adalah Ibnu

al-Qayyim al-Jauziyyah dan Ibnu Kathir dan banyak lagi selainnya.

Diantara bentuk perjuangan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah ketika

pasukan Tatar hendak menuju menyerang Sha>m pada tahun 700 H / 1300 M dan menuju

ke Mesir, para penduduk Damaskus merasa takut, kemudian Ibnu Taimiyyah –

Rahimahullah –menenangkan mereka. Kemudian beliau mengutus beberapa orang ke

Mesir untuk menemui al-Na>s}ir Muh}ammad Qalla>wu>n penguasa Mesir dan Sha>m pada

waktu untuk mengirim pasukan ke wilayah Sha>m, disamping itu Ibnu Taimiyyah –

Rahimahullah –pun mengirim pasukannya untuk membantu pasukan pemerintah.

Mengetahui hal ini kaum Tatar pun mengurungkan niatnya untuk menyerang Sha>m dan

menduduki Mesir, karena melihat kekuatan besar kaum muslimin telah menanti mereka

di Sha>m.22

Perjuangan terbesar Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah perjuangan dalam

memurnikan Aqidah Isla>miyyah dalam menghadapi para kaum jumud dari kalangan al-

Mutas}awwifah, al-Ash’ariyyah, bahkan Fuqaha>’. Sehingga tidak jarang Ibnu Taimiyyah

–Rahimahullah –harus mendekam didalam penjara akibat perseteruan ideology dengan

para rivalnya baik dari kalangan s}u>fy, ahlu al-kala>m, dan bahkan fuqaha>’. Oleh

karenanya al-Syarqa>wy menyebutnya dengan al-Faqi>h al-Mu’adhdhab (seorang ahli fiqhi

yang teraniaya), sebab penganiayaan terhadap beliau tidak hanya terjadi semasa beliau

hidup bahkan sampai hari ini ketika beliau telah berkalang tanah dan meninggalkan

20 Ibid., 11. 21 Syafiq A. Mughni, Dinamika….., 99. 22 al-S}a’i>dy, Al-Mujaddidu>na…., 262.

Page 9: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

9

berbagai goresan emas hasil dari buah tangannya pun masih terus teraniaya utamnya

dari kalangan pemikir yang berhaluan filsafat atau kalam dan tasawwuf semua

disebabkan karena kejumudan para pengiut ideologinya.

Imam Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –dikenal sebagai seorang ulama yang

sangat produktif, beliau tidak pernah meninggalkan kertas dan pena, bahkan seluruh

bentuk perdebatan beliau dengan kelompok-kelompok Islam lainnya senantiasa beliau

dokumentasikan. Beliau wafat pada malam senin 20 Dhulqa’dah 728 H / 1328 M23

dengan meninggalkan banyak karya yang tidak terhitung jumlahnya. Diantara karya-

karya yang telah beliau wariskan adalah; Kita>b al-I<ma>n, Dar-u Ta’a>rud} al-‘Aqli wa al-

Naqli, al-‘Aqi>dah al-Wa>sit}iyyah, Minha>j al-Sunnah al-Nabawiyyah fi> Naqd Kala>m al-

Shi>’ah wa al-Qadariyyah, Iqtid}au al-Shira>t al-Mustaqi>m Mukha>lafat As}h}a>b al-Jah}i>m, al-

Siya>sah al-Shar’iyyah fi> Is}la>h} al-Ra>’y wa al-Ra’iyyah, al-Jawa>b al-S}ah}i>h li man Baddala

di>n al-Masi>h}, ‘Aqi>dah al-Tadmu>riyyah, al-Fata>wa> al-Hamawiyyah, al-Furqa>n baina

Auliya>’ al-Rah}ma>n wa Auliya>’ al-Shait}a>n, Muqaddimah fi> Us}u>l al-Tafsi>r, Majmu>’ al-

Fata>wa>, Majmu>’ al-Rasa>il wa al-Masa>il, Ma’a>rij al-Wus}u>l, al-Tibya>n fi> Nuzu>l al-Qur’a>n,

al-Tafsi>r al-Kabi>r, Qa>’idah fi> al-Mu’jiza>t wa al-Kara>mat, al-Istiqa>mah, dan banyak lagi

lainnya.

Tarekat Dalam Pandangan Ibnu Taimiyyah

Untuk mendapatkan pengertian yang utuh tentang term tarekat, secara etimologi

term tersebut berasal dari bahasa Arab طریقة yang merupakan bentuk mashdar (kata

benda) dari kata طریقة -یطرق - طرق dimana secara morfologis berakar dari huruf ،ط، ر dan

,madzhab) المذھب ,(metode, sistem) األسلوب ,(jalan, cara) الكیفیة yang bermakna dasar ق

aliran, haluan), dan الحالة (keadaan).24

Pengertian ini membentuk dua makna terminologis yaitu metode bagi ilmu jiwa

akhlak yang mengatur suluk individu dan kumpulan sistem pelatihan ruh yang berjalan

sebagai persahabatan pada kelompok-kelompok persaudaraan Islam.25 Hanya saja

23 Banna>ny, Mauqif…., 45. 24Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 849. 25Muhammad Tha>bit al-Fandy, Da>irat al-Ma’a>rif al-Isla>miyah, vol.15 (Teheran: Intishira>t Jahannam, t.th), 172.

Page 10: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

10

tarekat dalam pembahasan ini bukan sekedar jalan atau metode biasa, tetapi jalan dan

metode tersebut penekanannya pada hubungan antara hamba dengan Tuhannya.

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tarekat adalah suatu jalan menuju

Tuhan (Allah) yang dapat membawanya kepada kebahagiaan dunia akhirat. Jalan

tersebut dalam lingkup tasawuf memiliki makna ganda –sebagaimana disebutkan di atas.

Pertama, pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi atau sekitar abad ke-1 dan ke-2 Hijriah

berarti cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang menempuh hidup sufi. Kedua,

sesudah abad ke-11 M atau abad ke-3 H. tarekat mempunyai pengertian sebagai suatu

gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani pada

segolongan kaum muslimin menurut ajaran dan keyakinan tertentu.26

Dalam pengertian pertama, istilah tarekat masih berupa teori27 yang digunakan

untuk memperdalam syariat sampai kepada hakikatnya dengan melalui tingkatan

pendidikan tertentu –berupa maqa>ma>t dan ah}wa>l. Dengan kata lain tarekat merupakan

usaha pribadi seseorang melewati jalan yang mengantarkannya menuju Allah SWT,

jalan yang dimaksud –sesuai penjelasan Muhammad Nawawi al Banta>ny al Ja>wy- adalah

melakukan hal-hal yang bersifat wajib dan sunah, meninggalkan sesuatu yang bersifat

larangan, menghindarkan diri dari melakukan sesuatu yang boleh secara berlebihan serta

berusaha untuk bersikap hati-hati melalui upaya muja>hadah dan riya>d}ah.28 Sedangkan

Haidar Bagir menjelaskan bahwa tarekat dalam arti yang pertama adalah jalan spiritual

oleh seorang pejalan (sa>lik) menuju hakikat. Untuk makna ini, ia identik dengan

tasawuf.29

26Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta; RajaGrafindo Persada, 2002), 99-100. 27Sebenarnya kurang tepat bila dikatakan bahwa tarekat –sekalipun pada masa-masa awal- dipahami sebagai metode yang digunakan untuk memperdalam pengamalan syariat. Namun sekalipun demikian, pemaknaan tersebut ingin mengingatkan bahwa antara syariat dan tarekat tidak dapat dipisahkan karena tarekat merupakan suatu cara yang harus ditempuh, maka tidak dibenarkan meninggalkan syariah. Bahkan melaksanakan tarekat berarti melaksanakan syariah. 28Muhammad Nawawi al-Ja>wy, Sharh} Mara>qi al ‘Ubu>diyah ‘ala> Matn Bida>yat al Hida>yah (Semarang; Toha Putra, t.th), 4. 29Sekalipun dalam kajian tasawuf, tarekat termasuk salah satu aspek di dalamnya di samping istilah syariat hakikat dan makrifat. Namun dalam pengertian ini Tasawuf dapat diartikan sebagai usaha dalam menguatkan rohani dan mengesampinkan jasmaniah untuk mengenal Tuhan dengan segala kesempurnaannya. Dengan kata lain tasawuf adalah penyucian hati untuk menanamkan karakter dan akhlak mulia, sehingga dipahami bahwa tasawuf pada dasarnya adalah tatanan moralitas. Lihat Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf (Bandung; Mizan Pustaka, 2006), 14

Page 11: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

11

Dalam pengertian yang kedua, tarekat adalah kelompok-kelompok pengikut

ajaran tasawuf yang menekankan praktik-praktik ibadah dan zikir secara kolektif yang

diikat oleh aturan-aturan tertentu, di mana aktifitasnya bersifat duniawi dan ukhrawi.

Dengan kata lain, ia dapat dipahami sebagai suatu hasil pengalaman dari seorang sufi

yang diikuti oleh para murid, menurut aturan/cara tertentu yang bertujuan untuk lebih

mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengalaman sufi berupa tata cara zikir, riya>d}ah,

doa-doa yang telah diamalkan dan menurutnya –sang sufi- telah berhasil mendekatkan

diri sang sufi kepada Tuhan, inilah yang disusun sedemikian rupa menjadi aturan atau

tata cara yang baku, yang juga harus diikuti oleh murid-murid tarekat.30

Berdasarkan pengertian yang kedua ini, maka dapat dikatakan bahwa fungsi

tarekat adalah untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan denga nafsu serta sifat-sifatnya

untuk kemudian menjauhi yang tercela dan mengamalkan yang terpuji.31

Dari pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa tarekat dalam pandangan sufi

adalah jalan untuk mendapatkan pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan, sehingga

dengan amalan-amalan tertentu seorang sufi dapat mengetahui jalan kebenaran menuju

Allah Swt. yang dengannya dapat sampai kepada suatu ilmu yang disebut dengan ‘ilm

al-Muka>shafa>t (ilmu pembuka tabir dan peleburan jiwa dengan Allah Swt). Dengan

demikan Tarekat dalam pengertiannya yang umum adalah metode untuk mendapat

pengetahuan yang mendalam tentang ilmu agama.

Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –membagi ilmu agama kedalam dua bagian:

Pertama, adalah ilmu yang berhubungan dengan berita yang wajib di yakini seperti; Ilmu

tentang Allah, Malaikat baik tentang keadaan, sifat dan pekerjaan mereka, ilmu tentang

kitab-kitab Allah, ilmu tentang Rasul-rasul Allah, para Nabi Allah, kaum mereka, dan

kedudukan mereka dan yang mencakup tentang berita para wali, sahabat serta

kedudukan mereka, ilmu tetang akhirat yang mencakup Surga, Neraka, dan pahala serata

‘azab dari setiap pekerjaan manusia. Bagian pertama ini disebut pula dengan Us}u>l al-

Di>n, Akidah utama, Ilmu kala>m, Ilmu Akidah, Masalah Ilmiah, Masalah Khabariyah,

atau ilmu al-Muka>shafa>t. Kedua, adalah ilmu yang menuntut amal lahir dan batin

30 M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Miftahus Sufi (Yogyakarta; Teras, 2008), 230. 31Said Aqil Siroj, Tasawwuf Sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi (Jakarta: Yayasan Khas, 2009), 97.

Page 12: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

12

seperti; perkara-perkara yang diwajibkan, diharamkan, dibolehkan (al-Muba>h}at),

dimakruhkan (al-Makru>ha>t). sementara itu perkara perintah dan larangan terkadang

masuk dalam kategori ‘Itiqada>t (perkara yang harus diyakini) jika ditinjau dari segi

ilmu, adapun jika ditinjau dari segi perkara-perkara yang diperintahkan untuk diamalkan

dan larangan untuk ditinggalkan, maka masuk dalam kategori yang kedua.32

Untuk dapat sampai kepada kedua bentuk ilmu tersebut, maka diperlukan

metode (tarekat), dalam pandangan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –bahwa diantara

kaum muslimin ada yang sepakat tentang metode (tarekat) tertentu dan adapula yang

tidak, metode-metode yang diperdebatkan adalah tentang apakah pengetahuan tentang

kebaikan, keburukan, kewajiban, keharaman dapat diketahui melalui ‘akal sebagaimana

dapat diketahui melalui khabar atau hanya dapat diketahui melalui khabar? Dan apakah

khabar itu sebagai landasah hukum atau dia menampakkan hukum sebagaimana apa

yang ditampakkan oleh hakikat dari sesuatu?33 Dari pertanyaan ini kemudian

memunculkan istilah al-‘ilm al-Yaqi>ny (ilmu yang diyakini kebenaarannya) dan al-‘Ilm

al-Z{anny (Ilmu yang masih samar akan kebenarannya).34

Untuk mencapai ilmu al-Yaqi>ny dan al-Z}anny menurut Ibnu Taimiyyah –

Rahimahullah –dapat dilakukan melalui petunjuk (al-Dala>il) atau pengalaman, melalui

batin atau lahir, secara umum atau khusus. Semua perkara ini menjadi perdepatan

manusia, dimana kebanyakan para ahli hadis dan al-sunnah menafikan ilmu yang teelah

dicapai oleh seseorang kecuali ilmu tersebut dicapai melalui satu tarekat (metode) yang

telah mereka ketahui sebelumnya, bahkan menafikan seluruh bentuk perunjuk-petunjuk

akal tanpa hujjah yang benar. Sementara itu perkara al-Kashfiyyah (pengetahuan

khusus) yang dimiliki oleh para wali yang diinkari oleh sebagian ahli kala>m, dan

difahami secara berlebihan oleh para ulama dari kalangan kami, dan sebaik-baik perkara

adalah yang moderat.35

32 Ahmad bin ‘Abd al-H{ali>m bin Taimiyyah, Qa>’idah fi> al-Mu’jiza>t wa al-Kara>ma>t (Urdun: Maktabah al-Mana>r, 1989), 37-38. 33Ibid. 34Ibnu Taimiyyah memandang bahwa hanya terdapat dua macam pengetahuan bagi manusia, yaitu; pengetahua yang beliau disebut dengan ilmu, dan pengetahuan yang beliau disebut dengan z}ann. Lihat. Ibid. 35Ibid.

Page 13: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

13

Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –

memandang bahwa yang dimaksud dengan tarekat dalam pengertian yang umum adalah

sebuah metode untuk mencapai hakikat ilmu dengan menggabungkan antara al-Dala>il al-

Khabariyyah (petunjuk-petunjuk al-Qur’an, Al-Sunnah dan al-Athar) dengan al-Dala>il

al-‘Aqliyyah (petunjuk-petunjuk akal), atau dengan kata lian bahwa dalam masalah al-

T{ari>qah ila> al-‘Ilmi (jalan menuju ilmu) dengan menggunakan sikap al-Wasat}iyyah

(meoderat).

Adapun tarekat dalam pengertiannya yang khusus yaitu penisbatan nama

tarekat kepada salah seorang sheikh sepertai; Qa>diriyyah, ‘Adawiyyah, Sha>dhiliyyah dan

semacamnya, maka dalam pandangan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –bahwa ini adalah

bentuk pemecahan dan pengujian umat dengan apa yang tidak diperintahkan oleh Allah

Swt dan Rasul-Nya Saw. Sebab penamaan semacam ini adalah bentuk kebathilan

dimana Allah swt tidak memberikan wewenang kepada siapapun termasuk Rasulullah

Saw, sebab perkara tersebut tidak terdapat baik di dalam al-Qur’an, al-Sunnah, dan athar

dari kaum salaf. Namun yang wajib bagi seorang muslim jika ditanya tentang latar

belakang keilmuannya, maka tidak perlu menjawab bahwa saya adalah pengikut tarekat

ini dan itu, tetapi cukup menjawab; ‘saya adalah muslim pengikut al-Qur’an dan al-

Sunnah’, oleh karenanya janganlah seseorang atau sekelompok diantara kita bersikap

loyal (wala>’) dengan nama-nama semacam ini, dan memusuhi yang lain dengannya,

karena hamba yang paling mulia disisi Allah Swt adalah yang paling bertakwa dari

kelompok manapun ia berasal.36

Pandangan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –di atas menunjukkan bahwa beliau

membagi tarekat ke dalam dua bagian:

Pertama, Terekat Mah}mudah (terpuji) atau dalam istilah lain T{ari>qah al-

Haqqah yaitu tarekat yang dilalui oleh orang-orang shaleh terdahulu (salaf al-sha>lih})

yang hanya menisbaikan diri sebagai muslim yang mengikuti al-Qur’an, dan Sunnah

Rasulullah Saw dan bangga dengannya.

Kedua, Terekat Madhmu>mah (tercela) dalam istilah ekstrimnya T{ari>qah al-

Ba>t}lah yaitu tarekat yang dilalui oleh sebagian kaum muslimin dengan menisbatkan diri

36Ahmad bin ‘Abd al-H{ali>m bin Taimiyyah, al-Was}iyyah al-Kubra>; Risa>lah Ila> Atba>’i ‘Ady bin Musa>fir al-Umawy (Arab Saudi: Maktabah al-S{iddi>q, 1987), 111.

Page 14: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

14

kepada nama sheikh pendiri tarekat tersebut yang dengannya mereka merasa mulia dan

memusuhi mereka yang tidak mengikuti tarekat sheikh mereka.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tarekat dalam pandangan Ibnu

Taimiyyah –Rahimahullah –dapat dibagi kedalam dua pengertian; Pertama, Tarekat

dalam pengertian umum adalah metode yang dilalui seseorang dalam usahanya untuk

mendapatkan ilmu agama. Kedua, Tarekat dalam pengertian khusus adalah tarekat yang

dinisbatkan kepada sheikh pendiri tarekat tersebut, dan yang kedua ini adalah bentuk

kebatilan.

Sheikh dalam Tarekat dan Kritik Ibnu Taimiyyah

Secara organisasi tarekat-tarekat sufi ini dibangun di atas dasar hubungan intim

yang sebelumnya telah memiliki kemapanan antara sheikh dan muri>d. Para sheikh ini

memiliki hubungan otoritatif dengan sheikh-sheikh sebelumnya sebagaimana isna>d

dalam h}adi>th, dimana silsilah al-masha>yikh (mata rantai guru) dibangun dengan merujuk

seluruh jalan mereka hingga sampai ke Rasulullah Saw. Dalam pandangan para pengikut

tarekat bahwa silsilah ini adalah sisilah spiritual yang menjadi sumber agama, ajaran,

dan praktik sang sheikh, dengan landasan kesalehan, kara>mah, atau kekuatan ajaib yang

dimiliki oleh sheikh tersebut. Dengan landasan ini kemudian seorang sheikh sering

dianggap sebagai waly Allah (kekasih Tuhan)37 bahkan tidak jarang diantara tarekat ada

mengaggap bahwa para sheikh bagaikan Nabi dalam Tarekatnya dimana tingkatan yang

paling tinggi –dalam pandangan mereka- adalah melakukan pendakian melalui

lingkungan para Nabi dalam Islam, dari Adam hingga ‘Isa –‘Alaihim al-Sala>m-.38

Peran seorang sheikh dalam tarekat sangatlah besar diamana terjadi proses

transformasi ilmu di antara keduanya. Murid yang telah sampai pada tingkatan tertinggi

diberi ijazah untuk mengadakan dan mengajarkan tarekat tersebut.39 Untuk masalah

proses tranformasi keilmuan ini dapat difahami secara baik sebagaimana yang

digambarkan oleh Annemarie Shimmel :

Syeh adalah guru alkimia spiritual…. Dengan demikian ia dapat mengubah jiwa seorang pemula dari bahan dasar menjadi murni. Ia adalah laut kebajikan. Debu

37Jhon L. Esposito, Islam The Straight Path; Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus. Diterj. Arif Maftuhin (Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat, 2010), 141. 38Schimmel, Dimensi…., 300. 39Jhon L. Esposito, Islam The Straight Path…., 141.

Page 15: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

15

dikakinya mampu member penglihatan kepada pemula yang buta, sebagaimana obat mata yang dapat mempertinggi kekuatan penglihatan. Dia adalah tangga menuju sorga, demikian sucinya sehingga segala kebajikan yang ada pada diri nabi seakan tercermin penuh pada dirinya. Disamping itu pun dia menjadi cermin yang didahulukan Tuhan daripada para ulama, dan Tuhan mengajarkan kepadanya perilaku yang benar…40

Dari gambaran Schimmel tentang sosok seorang sheikh dalam sebuah kelompok

tarekat di atas dapat disimpulkan beberapa hal; 1) Bahwa seorang sheikh dalam sebuah

tarekat memiliki rahasia pengajaran yang hanya diajarkan kepada muri>d; 2) Seorang

sheikh memiliki nilai magic dalam kelompok tarekat yang dipimpinnya; 3) Seorang

Shaikh memiliki tingkat spiritual tinggi; 4) Kedudukannya dimata Tuhan melebihi

kedudukan para ulama dan sama dengan Nabi; 5) Dalam dirinya tercermin prilaku Nabi;

6) Cerminan Tuhan ada dalam dirinya.

Merujuk kepada enam poin di atas, maka wajar jika dalam sebuah tarekat sufi

seorang sheikh adalah seorang guru spiritual dan uswah (contoh) yang harus diikuti,

sehingga para pengikutnya (muri>d) sering kali igin dekat dengannya apakah sekedar

untuk mendapat berkah dari ketinggian spiritual (kara>mah) sang shaikh, memperoleh

manfaat dari ajarannya, dan atau manfaat dari saran dan nasehatnya.41

Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa Ibnu

Taimiyyah –Rahimahullah –memandang bahwa sebuah kelompok yang dinisbatkan

kepada nama seorang guru adalah bentuk kebatilan dimana tidak ada keterangan tentang

hal tersebut baik dari al-Qur’an, al-Sunnah, dan athar dari para ulama shaleh terdahulu

(al-Salaf al-S}a>lih). Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –memandang bahwa penisbatan

semacam ini merupakan bentuk sikap yang berlebihan (al-Ghuluw) terhadap sheikh.

Beliau berkata:

Barang siapa yang bersikan ghuluw terhadap orang yang masih hidup, atau bersikap ghuluw terhadap orang-orang shaleh seperti ‘Ali bin Abi Thalib atau ‘Ady -bin Musa>fir-, atau yang diyakini memiliki tingkatan spiritual tinggi seperi al-H{alla>j dan al-H{a>kim yang ada di Mesir atau Yunus al-Qaniyyi dan selain mereka, ……… kemudian menyanjung mereka …….. dalam bentuk perkataan atau perbuatan yang didalamnya mengandung rubu>biyyah yang

40Schimmel, Dimensi…., 300. 41Jhon L. Esposito, Islam The Straight Path…., 141.

Page 16: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

16

hanya milik Allah Swt, maka ini merupakan bentuk kesyirikan dan kesesatan42, dan orang yang melakukannya wajib bertaubat, jika tidak, maka halal darahnya. Karena Allah Swt mengutus para Rasul-Nya dengan tujuan agar segala penyembahan hanya kepada-Nya semata dan kita tidak diperbolehkan menjadikan sesembahan selain diri-Nya.43

Problematika al-Ghuluw fi> al-S{a>lih}in ini berpengarus sangat besar pada sikap

patuh terhadap sheikh sampai pada hal-hal yang diharaman dalam Islam sebagaimana

pekerjaan para pengikut tarekat Rifa>’iyyah yang dengan sengaja menggantungkan

kalung besi di leher mereka, karena merupakan bagian dari aturan sheikh mereka,44

dengan demikian mereka tidak berbeda dengan orang-orang Nasrani yang musyrik

dengan menjadikan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan (dalm makna Rubu>biyyah) selain

Allah Swt.45 Untuk menguatkan argument ini Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –menyetir

firman Allah Swt:

Terjemahannya: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.46

Maksud dari ayat di atas bahwa mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang

alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, meskipun orang-orang alim dan

rahib-rahib itu menyuruh mereka berbuat maksiat atau mengharamkan yang halal.

Sementara para Nabi dan Rasul terdahulu termasuk Rasulullah Saw diperintahkan oleh

Allah Swt untuk berkata: 42Maksudnya adalah bahwa mereka menjadikan para shaikh mereka sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan zikir-zikir tertentu dimana didalmnya menyebut nama mereka sebagai wasilah. 43Ibin Taimiyyah, al-Was}iyyah…., 85. 44‘Abd al-Rah}ma>n Dimashqiyyah, Muna>z}arah Ibnu Taimiyyah li T{a>ifah al-Rifa>’iyyah (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1989), 14. 45Zuhair Shafi>q al-Kibby, Fiqh al-Tas}awwuf li Shaikh al-Isla>m Ibnu Taimiyyah (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1993), 274. 46 Qs. Al-Taubah (10) : 31.

Page 17: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

17

Terjemahannya: Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) Aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) Aku mengatakan kepadamu bahwa Aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"47

Ketika mengomentari tentang sheikh yang layak untuk diteladani, Ibnu

Taimiyyah –Rahimahullah –menegaskan bahwa sesungguhnya sheikh saleh yang lebih

layak untuk diteladani dalam masalah keagamaan adalah mereka yang mengikuti jalan

(tarekat) para nabi dan rasul seperti para al-Sa>biqu>n al-Awwalu>n (sahabat) dari kalangan

Muhajiri>n dan Ans}a>r dan yang mengikuti mereka secara baik dan benar, serta mereka

yang memiliki kejujuran lisan, dan tarekat mereka adalah menyeru manusia kepada

Allah, dan menyeru mereka untuk senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta

menyeru merka untuk mengikuti Al-Qur’an dan al-Sunnah.48

Dari uraian menunjukkan bahwa sheikh yang layak dan pantas untuk diteladani

adalah mereka yang senantiasa mengikuti jalan para Nabi dan Rasul serta perpegang

teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah dengan jujur dan ikhlas, dengan dimikian, maka

karakteristik seorang sheikh adalah kejujuran mereka dalam menjalankan perintah Allah

dan Rasul-Nya, dan senantiasa menyeru manusia kepada ketaatan kepada Allah dan

Rasul-Nya.

Pada bagian sebelumnya dinyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –

memandang kesesatan para pengikut tarekat yang bersifat ghuluw terhadap sheikh (guru

spiritual)nya disebabkan karena para muri>d memandang bahwa sheikh mereka adalah

wali Allah yang merupakan cerminan para Nabi dan didahulukan oleh Allah dari para

ulama, dan menurut mereka bahwa sebuah tarekat tanpa wali Allah, maka bukanlah

tarekat. Untuk memperkuat argument para sufi tentang pentingnya wali dalam sebuah

tarekat, mereka menyetir sebuah perkataan yang menurut mereka adalah hadis yaitu:

47 Qs. Al-An’a>m (06) : 50 48 Zuhair Shafi>q al-Kibby, Fiqh al-Tas}awwuf….., 273.

Page 18: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

18

ǃǟ ƃȿ ȴȾɆȥȿ ɍǙ ȷɀȞȶǪƶ ǦȝǠƤ ȸȵǠȵ Terjemahannya:

“Tedakalah sekolompok manusia berkumpul kecuali diantara mereka terdapat wali Allah”

Perkataan ini – yang mereka anggap sebagai hadis untuk membenarkan

pernyataan mereka tentang pentingnya wali Allah dalam sebuah perkumpulan tarekat

sufi – menurt Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah sebuah bentuk kedustaan sebab

kalimat tersebut tidak terdapat dalam karya-karya ulama Islam.49

Ibnu Timiyyah memandang bahwa problem kewalian (al-Wila>yah) sheikh

dalam dunia tasawwuf sangatlah serius, sebab memiliki pengaruh yang sangat besar

secara langsung terhadap aqidah. Oleh karenanya Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –

menyusun karya yang diberi judul al-Furqa>n baina Auliya>’ al-Rah}ma>n wa Auliya>’ al-

Shat}a>n (Perbedaan antara wali Allah dengan Wali setan).

Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah – dalam pendefinisiannya terhadap kata “Wali”

baik yang terdapat dalam al-Qur’an, maupun al-Sunnah beliau menggunakan metode

pendefenesian etimologi dan terminology, dimana kata “al-waly” secara etimologi

dalam pandangannya merupakan lawan dari kata “al-‘Ada>wah” dimana kata “al-Waly”

berkonotasi makna al-Qurbu (kedekatan). sedang al-‘Ada>wah berarti al-Bu’du (jauh).

Sehingga dengan demikian, maka yang dimaksud dengan Waly Alla>h secara terminology

adalah mereka yang mendapatkan taufiq dari Allah Swt dalam cinta-Nya, Kerid}aan-Nya,

dan ia senantias taat atas segala yang diperintahkan oleh Allah Swt kepadanya.50

Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah – menyimpulkan bahwa para wali Allah yang

sesungguhnya adalah mereka yang telah ditetapkan oleh Allah Swt secara Nas} bahwa

mereka adalah ahli surga, seperti al-‘asharah al-Mubashshiri>na bi al-Jannah (10 orang

yang telah mendapat berita gembira bahwa mereka masuk surga) dan selain mereka,

adapun mereka yang memiliki kejujuran dalam perkataan dan iman, maka secara umum

dinyatakan bahwa mereka adalah wali dengan syarat kejujuran dalam iman, dan ikhlas

dalam amal sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.51

49Ah}mad bin ‘Abd al-H{ali>m bin Taimiyyah, Majmu>’at al-Rasa>il wa al-Masa>il (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 49. 50Ibnu Taimiyyah, Majmu>’at al-Rasa>il…., 50. 51 Ibid., 52-53.

Page 19: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

19

Dalam tarekat sufi terdapat hirarki otoritas spiritual para wali dimana

kekuasaan spiritual tertinggi dipegang oleh para qut}b (kutub, poros) atau ghauth

(pertolongan), di kitari oleh tiga nuqaba>’ (pengganti), empat uta>d (tiang-tiang), tujuh

abra>r (yang berlaku baik), empat puluh abda>l (pengganti-pengganti), tiga ratus akhya>r

(manusia pilihan) dan empat ribu wali tersembunyai.52

Tentang pandangan ini Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –mengurai istilah-

istilah tersebut dengan kesimpulan bahwa seluruh istilah dalam hirarki spiritual yang

diungkapkan oleh kaum sufi dan pengikut tarekatnya tidak terdapat dalam keterangan

baik al-Qur’an maupun hadis-hadis s}ah}i>h tentang istilah-istilah ini dan tidak pula

ditemukan penjelasannya dari salah seorang ulama saleh terdahulu (al-Salaf al-S}a>lih}).

Jika pun terdapat hadis yang berhubungan dengan hal tersebut, hadis tersebut pun

bersifat Munqat}i’ dan tidak dapat dijadikan sebagai landasan agama.53

Dari seluruh uraian diatas dapat disimpulkan bahwa seorang sheikh yang layak

untuk ditauladani dalam pandangan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah mereka

yang meniti jalan para Nabi dan Rasul dengan menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah

sebagai ikutannya serta menyeru manusi kepada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya

dan tidak kepada dirinya atau mereka yang dianggap wali Allah. Adapun wali Allah

adalah mereka yang beriman kepada Allah Swt secara jujur dan benar serta mengikuti

apa yang diperintahkan oleh Allah Swt dan menjauhi laranga-Nya sesuai dengan apa

yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Para wali Allah yang sesungguhnya adalah mereka

yang secara Nas} Shar’y (teks syari’at) telah dijelaskan karakteristiknya baik didalam al-

Qur’an dan al-Sunnah al-S}ah}i>h}ah dan mereka tidak memiliki hirarki kekuasaan

sebagaimana yang diklaim oleh para sufi dan para pengikut tarekat mereka.

Khirqah dalam Pandangan Ibnu Taimiyyah

Terdapat perbedaan yang menjadi ciri khas dalam satu tarekat tertentu.

Pertama, al-Khirqah yaitu semacam jubah berwarna yang dipakai oleh seorang sheikh

tarekat dan menjadi cirri khas dari tarekat tertentu. Hanya saja khirqah ini tidak cukup

52 Schimmel, Dimensi…., 253. 53 Ah}mad bin ‘Abd al-H{ali>m bin Taimiyyah, al-Furqa>n Baina Auliya> al-Rahma>n wa Auliya’ al-Shait}a>n (Beiru>t: Maktabah ‘Aly S}a>bih} wa Aula>dih, 1958), 31-32. Bandingkan: Ibnu Taimiyyah, Majmu>’at al-Rasa>il…., 57-64. H{ilmy, Ibnu Taimiyyah….., 397.

Page 20: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

20

untuk membedakan semua tarekat yang ada karena ada beberapa tarekat yang memiliki

khirqah yang sama, misalnya Qa>diriyah, Sa’diyah, dan Baha>miyah yang sama-sama

menggunakan khirqah yang berwarna hijau. Perbedaan kedua adalah bahwa setiap

tarekat memiliki wirid dan h}izb yang berbeda yang diciptakan oleh masing-masing

sheikh dari tarekat-tarekat tersebut.54

Khirqah atau disebut juga dengan khirqah al-Futuwwah adalah bagian dari

shi’a>r kaum sufi yang menunjukkan bahwa seorang muri>d hanya bertarekat sesuai denga

tarekat sheikh yang memakaikan kepadanya khirqah tersebut. Jadi seorang sheikh ketika

menerima seorang muri>d dan hendak memasaukkannya menjadi bagian dari tarekatnya,

maka sheikh tersebut memakaikan kepadanya khirqah tersebut yang menjadi simbol

peenyerahan diri sepenuhnya dalam ketaatan kepada sheikh dan tarekatnya.55

Khirqah ini selain sebagai symbol ketaatan seorang muri>d kepada shaikhnya

juga menjadi symbol silsilah dalam tarekat yang harus dimiliki oleh seorang muri>d agar

senantiasa mendapat keberkahan sheikh dalam menjalankan tarekatnya. Dalam

pandangan mereka bahwa seorang muri>d yang tidak memiliki khirqah ini, maka dia tidak

akan pernah mencapai derajat apapun dalam tasawwuf, bahkan dianggap belum memulai

satu derajatpun utamanya derajat yang teah ditetapkan dalam tarekat sang sheikh.56

Dalam masalah ini Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –memandang bahwa

penggunakan khirqah sebagai syarat agar seseorang dapat mencapai derajat tertentu

dalam tarekat dan mendapat berkah darinya adalah sebuah bentuk kebid’ahan dan

kebathilan, sebab –menurutnya- syarat tersebut dapt berimplikasi pada pengharaman apa

yang dihalalkan oleh Allah Swt dan penghalalan apa yang diharamkan oleh Allah Swt,

dan syarat semacam ini tidak terdapat dalam al-Qur’an.57 Untuk menguatkan pernyataan

ini beliau menyebutkan Hadi>th S}ah}i>h yang diriwayatkan oleh al-Bukha>ry:

ǠŁȵ NJȯǠŁǣ LJȃǠŁȹNJǕ LjȷɀNJȕnjȀŁǪŃȊŁɅ ǠDŽȕȿłȀłȉ ŁȄŃɆLjȱ ɄŇȥ njǡǠŁǪŇȭ ŇȼƋȲȱǟ ŃȸŁȵ LjȓŁȀŁǪŃȉǟ ǠDŽȕŃȀŁȉ ŁȄŃɆLjȱ ɄŇȥ njǡǠŁǪŇȭ ŇȼƋȲȱǟ ŁɀłȾLjȥ džȰŇȕǠŁǣ ǐȷnjǙŁȿ LjȓŁȀŁǪŃȉǟ LjǦLjǝǠŇȵ ňȓŃȀŁȉ NJȓŃȀŁȉ ŇȼƋȲȱǟ ŊȨŁǵLjǕ łȨLjǭŃȿLjǕŁȿ

Terjemahannya:

54Suryadilaga, Miftah……, 233-234. 55‘Abd al-Qa>dir ‘Abd Alla>h al-Suhrawardy, ‘Awa>rif al-Ma’a>rif (Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Araby, 1966), 59. 56‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, al-Munqidh min al-D}ala>l li al-Ghaza>ly ma’a Abh}ath fi> al-Tas}awwuf wa Dira>sa>t ‘an al-Ghaza>ly (Mesir: Da>r al-Kutub al-H{adi>thah, 1394 H), 359. 57 Ibnu Taimiyyah, Majmu>’at al-Rasa>il…., 158-159.

Page 21: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

21

Ada apa dengan manusia yang mensyaratkan beberapa syarat yang tidak terdapat didalam kitab Allah Swt (Al-Qur’an), barang siapa yang mempersyaratkan satu syarat yang tidak terdapat didalam kitab Allah Swt (Al-Qur’an), maka syarat itu adalah batil sekalipun mereka menysun seratus syarat, syarat Allah lebih berhak (untuk ditunaikan) dan lebih kuat (dalam mengikat seorang hamba).58

Adapun tentang masalah pemakain khirqah dari seorang shaikkh kepada muri>d

menurut Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah sebuah bentuk kebatilan yang tidak

berdasar, dan tidak pula pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw, dan tidak pula oleh para

sahabat beliau termasuk ‘Aly bin Abi T}a>lib, dan tidak pula selain mereka dari kalangan

ta>bi’i>n.59

Sementara itu dalil yang dipergunakan oleh mereka perihal sunnahnya khirqah

adalah dalil dengan sanad melalui jalur al-Khali>fah al-Na>s}ir kepada ‘Abd al-Jabba>r,

kepada Thuma>mah yang menyatakan bahwa ‘Rasulullah Saw pernah memakaikan

kepada ‘Aly bin Abi T}a>lib pakaian Futuwwah , kemudian diperintahkan kepadanya

untuk mmemakaikannya kepada siapapun yang dikehendakinya’ adalah dalil dimana

otentitas sanadnya tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan didalam sanadnya terdapat

seseorang yang tidak diketahui (majhu>l) dan tidak layak seorang muslim menyandarkan

sesuatu apapun kepada Nabi Saw dari orang yang majhu>l (asal-usul dan

latarbelakangnya).60

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa khirqah dalam pandangan Ibnu

Taimiyyah –Rahimahullah –adalah sebuah bentuk kebid’ahan dan kebatilan, sebab

didalamnya terdapat syarat yang tidak dipersyaratkan didalam al-Qur’an dan al-Sunnah,

kemudian penyandaran hadis bahwa Rasulullah Saw pernah memakaikan hirqah kepada

Aly bin Abi T}a>lib adalah sebuah bentuk kedustaan kepada Rasulullah Saw dan kepada

Sahabat yang Mulia.

Penutup

Kritik Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –seputar tarekat sangatlah luas dan

permasalahan-permasalahannya tersebar dalam berbagai risalah dan fatwanya, namun

58Muh}ammad bin Isma>’i>l bin Ibra>hi>m al-Bukha>ry, al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h. vol. 2 (Kairo: al-Mat}ba’ah al-Salafiyyah, 1400 H), 103. 59Ibnu Taimiyyah, Majmu>’at al-Rasa>il…., 158-159. 60 Ibid, 157.

Page 22: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

22

demikian dapat temukan beberapa perkara diantaranya adalah keritik beliau tentang

penamaan satu tarekat dengan penisbatan kepada nama sheikh pendiri tarekat tersebut

dimana menurut beliau adalah sebuah bentuk pengkultusan terhadap sheikh (al-

Ghuluww fi> al-S}a>lihi>n) dan berimplikasi pada aqidah seseorang, dan merupakan bentuk

pemecahan umat Islam, perkara ini merupakan bentuk kebid’ahan yang memiliki

kesesatan yang nyata.

Selain itu Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –menyatakan bahwa kedudukan

sheikh yang sesungguhnya adalah untuk menyeru manusia kepada Allah, dan ketaatan

kepada Allah Swt dan Rasul-Nya serta berpegang tegus terhadap al-Qur’an dan al-

Sunnah, sehingga sheikh yang layak untuk diteladani adalah mereka yang secara

istiqa>mah mengamalkan al-Qur’an dan al-Sunnah.

Adapun penggunaan khirqah dalam suatu kelompok sebagai persyaratan

seorang muri>d yang menjadi symbol ketatan kepada sheikh dan symbol derajat dalam

tarekat sufi menurut Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –adalah bentuk kebid’ahan dan

kebatilan sebab mempersyaratkan sesuatu yang tidak memiliki landasan baik dari al-

Qur’an maupun al-Sunnah.

Akhirnya, bahwa seluruh bentuk kritikan Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –

terhadap perkara-perkara yang terdapat dalam tarekat tasawwuf adalah sebuah bentuk

al-Was}iyyat bi al-Haqq (bernasehat dalam kebenaran) karena agama ini sejatinya adalah

nasehat (al-Di>n al-Nas}i>h}ah) agar tetap berada dijalan Allah Swt sebagaimana yang

dilalui oleh para Nabi dan Rasul, para Sahabat dan para Ta>bi’i>n dan salaf al-Ummah al-

S}alih}ah.

Page 23: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

23

Daftar Pustaka

Al-Qur’a>n al-Kari>m

A. Mughni,Syafiq. Dinamika Inteletual Islam Pada Abad Kegelapan. Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LAPAM), 2002.

al-‘Ari>fy,Muh}ammad bin ‘Abd al-Rah}ma>n. Mauqif Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –min al-S}u>fiyyah. Vol. I. Riya>d}: Maktabah Da>r al-Minha>j, 1430.

Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta; RajaGrafindo Persada, 2002.

Bagir,Haidar. Buku Saku Tasawuf. Bandung; Mizan Pustaka, 2006.

Banna>ny,Ah}mad Muh}ammad. Mauqif al-Ima>m Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –min al-Tas}awwuf wa al-S}u>fiyyah. Arab Saudi: Da>r al-‘Ilmi, 1406 H / 1982 M.

al-Bukha>ry, Muh}ammad bin Isma>’i>l bin Ibra>hi>m. al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h. vol. 2. Kairo: al-Mat}ba’ah al-Salafiyyah, 1400 H.

Dimashqiyyah, ‘Abd al-Rah}ma>n. Muna>z}arah Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –li T{a>ifah al-Rifa>’iyyah Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1989.

al-Dhahaby, Syams al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n. Siyar A’la>m al-Nubala>’. Vol. 22. Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1405 H / 1985 M.

Esposito , Jhon L. Islam The Straight Path; Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus. Diterj. Arif Maftuhin. Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat, 2010.

al-Fandy, Muhammad Tha>bit. Da>irat al-Ma’a>rif al-Isla>miyah, vol.15. Teheran: Intishira>t Jahannam, T.Th.

H{ilmy,Mus}t}afa.> Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –wa al-Tas}awwuf. Iskandariyyah: Da>r al-Da’wah, T.Th.

Ibnu Khaldu>n. Muqaddimah. Kairo: Mat}ba’ah al-Bahiyyah, T.Th.

Ibnu Taimiyyah, Ah}mad bin ‘Abd al-H{ali>m. Majmu>’at al-Rasa>il wa al-Masa>il. Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.

--------------------------. al-Furqa>n Baina Auliya> al-Rahma>n wa Auliya’ al-Shait}a>n (Beiru>t: Maktabah ‘Aly S}a>bih} wa Aula>dih, 1958

--------------------------. al-Was}iyyah al-Kubra>; Risa>lah Ila> Atba>’i ‘Ady bin Musa>fir al-Umawy. Arab Saudi: Maktabah al-S{iddi>q, 1987.

--------------------------. Qa>’idah fi> al-Mu’jiza>t wa al-Kara>ma>t. Urdun: Maktabah al-Mana>r, 1989.

Page 24: KRITIK IBNU TAYMIYYAH TERHADAP TAREKAT _Mklh_

24

al-Ja>wy,Muhammad Nawawi. Sharh} Mara>qi al ‘Ubu>diyah ‘ala> Matn Bida>yat al Hida>yah Semarang; Toha Putra, T.Th.

al-Kibby, Zuhair Shafi>q. Fiqh al-Tas}awwuf li Shaikh al-Isla>m Ibnu Taimiyyah. Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1993.

Mah}mu>d, ‘Abd al-H{ali>m. al-Munqidh min al-D}ala>l li al-Ghaza>ly ma’a Abh}ath fi> al-Tas}awwuf wa Dira>sa>t ‘an al-Ghaza>ly. Mesir: Da>r al-Kutub al-H{adi>thah, 1394 H.

Masyharuddin. Pemberontakan Tasawwuf; Kritik Ibnu Taymiyyah atas Rancang Bangun Tasawwuf. Surabaya: JP Books dan STAIN Kudus Press, 2007.

Mu>sa>,Muh}ammad bin H{asan bin ‘Aqi>l. al-Mukhta>r al-Mas}u>n min A’la>m al-Quru>n. Jeddah: Da>r al-Andalu>s al-Khas}ra>’, T.Th.

Muhyiddin Hariri Shirazi, Tikai Ego dan Fitrah. Diterj. Eti Triana dan Ali Yahya. Jakarta: Al-Huda, 2010.

Munawwir,Ahmad Warson. Al Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

al-Qurt}uby, Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad bin Ah}mad bin Abi> Bakr. al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n wa al-Mubayyinu Lima> Tad}ammanahu min al-Sunnah wa A<yi al-Furqa>n, Vol. 19. Beiru>t: Muassasah al-Risa>h, 1427 H / 2006 M.

Renard, Jhon. Dimensi-dimensi Islam. Diterj. M Khoirul Anam. Jakarta: Insani Press, 2004.

Schimmel,Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam. Diertj. Supardi Djoko Damono. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.

Siroj, Said Aqil. Tasawwuf Sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi. Jakarta: Yayasan Khas, 2009.

Suryadilaga, M. Alfatih. dkk. Miftahus Sufi. Yogyakarta; Teras, 2008.

al-S}a’i>dy, ‘Abd al-Muta’a>l. Al-Mujaddidu>na fi> al-Isla>m min al-Qarni al-Awwal ila> al-Ra>bi’ ‘Ashar. Jaha>mi>z: Maktabah al-Adab, T.Th.

al-Sharqa>wy, ‘Abd al-Rah}ma>n. Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah –al-Faqi>h al-Mu’adhdhab. Kairi: Da>r al-Shuru>q, 1420 H / 1990 M.

al-Suhrawardy, ‘Abd al-Qa>dir ‘Abd Alla>h. ‘Awa>rif al-Ma’a>rif. Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Araby, 1966.

al-Taftaza>ny,Abu al-Wafa>’. Madkhal Ila> al-Tas}awwuf al-Isla>my. Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, 1979.