KONFLIK TANAH PERCATON DI MADURA -...

130
KONFLIK TANAH PERCATON DI MADURA ( Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan Nomor: 240/Pid.H/2005/PN.PKS dan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 115/PEN.MAJ /2006/ PT.SBY ) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : Ahmad Mahfud NIM : 1110043100045 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1437 H/2016 M

Transcript of KONFLIK TANAH PERCATON DI MADURA -...

KONFLIK TANAH PERCATON DI MADURA

( Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan Nomor: 240/Pid.H/2005/PN.PKS

dan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 115/PEN.MAJ /2006/ PT.SBY )

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Ahmad Mahfud

NIM : 1110043100045

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1437 H/2016 M

v

ABSTRAK

Ahmad Mahfud, 1110043100045, dengan judul “Konflik Tanah Percaton

di Madura”. Konsentrasi Perbandingan Mahzab Fiqih, program studi

Perbandingan Mahzab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M

Masalah utama dalam skripsi ini, yaitu terletak pada hasil dua putusan

instutusi pengadilan yang berbeda, yang mengakibatkan konflik tanah Percaton

semakin memanas, sehingga menjadi pertumpahan darah. Tujuan penulisan

skripsi ini untuk mengetahui dasar yuridis antara putusan Pengadilan Negeri

Pamekasan dan Pengadilan Tinggi Surabaya, dan untuk mengetahui latar belakang

faktor perbedaan yang mendasari putusan kedua pengadilan tersebut, dan untuk

mengetahui status tanah Percaton menurut hukum Islam, dan untuk mengetahui

Resolusi yang ditawarkan dalam penyelesaian konflik tanah Percaton menurut

Islam.

Dalam skripsi ini penulis menggunakn metode penelitian Yuridis Normatif

atau Doktrinal, penelitian hanya dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

atau data sekunder yang bersifat hukum, data primer dan sekunder yan telah

dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis dan diberikan interpretasi untuk dapat

menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Dan juga dibandingkan, yang

mana dari perbandingan tersebut dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan

perbedaan dari kedua pengadilan.

Berdasarkan hasil penelitian yang di dapat dalam skripsi ini, adalah bahwa

kedua pengadilan memliki pandangan yang berbeda dalam menentukan

putusanya, perbedaan tersebut terletak pada penafsiran dan pamahaman dalam

pasal pada pasal 263 ayat 1 dan ayat 2 KUHP. Menurut islam tanah percaton

masuk dalam kategori teori kepemilikan yang tidak sempurna, yaitu kepemilikan

seseorang hanya kepada benda atau manfaatnya saja, sebab orang yang

bersangkutan (kepala Desa) hanya berhak atas manfaatnya saja. Sedangkan

bendanya (tanah percaton) menjadi hak milik pemerintah. Resolusi Islam dalam

kasus ini yaitu tentang mekanisme penyelesaian di muka pengadilan merupakan

keputusan yang sesuai dengan mekanisme yang disedikan oleh hukum Islam.

Menyelesaikan permasalahan di hadapan hakim (qadhi) merupakan mekanisme

yang tepat.

Kata Kunci : Konflik, Percaton, Putusan.

Pembimbing I : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.

Pembimbing II : Dr. Nahrawi, SH. MH.

Daftar Pustaka : Tahun 1334 H, sampai tahun 2014.

vi

Kata Pengantar

مة ألمقديم ب ح الر حمن الر هللا سم

نا، أنفس نشرور ينه،ونستغف ره،ونعوذب الل م الحمدلل نحمده،ونستع نسيئات أعمال نا،إ ن وم

هللاوحده إ ل لإ له أن يله.وأشهد له،ومنيضل لفلهاد ل فلمض هللا ه شر يكمنيهد ل

داعبدهورسوله محم لنب يبعداه. له،وأشهدأن

Pertama-tama penulis panjatkan puja dan puji syukur keharibaan Allah

Swt atas karunia limpahan rahmat serta Hidayah-Nya sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konflik Tanah Percaton di Madura”

walaupun dibawah kesempurnaan, sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana

Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH)

jurusan Perbandingan Mazhab Fiqih Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan keharibaan baginda

Nabi Muḥammad Saw yang telah membawa kita dari alam nan gelap gulita

menuju alam terang penuh pelita, dari penjajahan segala aspek mencipta

hakikinya segala prospek, merubah peradaban yang biadab, mencipta hakikat

yang beradab, merubah kedhāliman manyulau kehidupan menuju tepi pantai

kedamaian abadi, mengukir peradaban makhluk yang seutuhnya dibawa tamaran

keimanan dan keislaman.

Penulis sadar dan menyadarinya bahwa penelitian ini tidak akan

terselesaikan tanpa adanya petunjuk dan pertolongan Allah SWT. Serta berkat

berbagai dorongan serta bimbingan dari semua pihak, yang turut membantu baik

vii

secara moril ataupun meteril, yang turut andil dalam terselesainya penelitian ini.

Adapun ucapan terimakasih sebesar-besarnya di antaranya:

1. Bapak Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. Asep Saepudin Jahar,

MA., yang telah banyak membantu penulis dalam menjalankan

perkuliahan. Semoga dapat menjadi pemimpin yang memberikan teladan

dan integritas yang lebih baik.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., selaku Ketua Program Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku pembimbing selaku dosen

pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, meluangkan waktu

dengan penuh keikhlasan, dan kesabaran serta dukungan do’a dan motivasi

sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Hj. Siti Hanna, S. Ag., Lc., MA., selaku sekertaris Program Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah banyak membantu kepada penulis, baik dari sisi intelektual dan

spiritual di dalam segala kesibukan beliau.

4. Bapak Dr. Nahrawi, SH., MH., selaku dosen pembimbing yang telah

tekun, ikhlas dan sabar serta meluangkan waktu untuk membimbing dan

memberikan kritik dan saran dalam proses penyusunan skripsi ini.

5. Segenap jajaran dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, yang

telah ikhlas memberikan ilmunya kepada penulis selama studi. Semoga

keberkahan ilmunya akan tetap mengalir.

viii

6. Para Staf dan Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas

syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga

memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam

penulisan skripsi ini.

7. Kepada kelurga tercinta, khususnya abah dan Ummi (KH. Moh. Hosnan

dan Nyai Hj. Muzayyanah) yang telah membesarkan dan mendidik dengan

penuh kasih sayang dan keikhlasan, yang selalu penulis hormati dan

sayangi, dan yang selalu memberikan kasih sayangnya kepada penulis,

memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan doa demi kesuksesan penulis,

kepada beliau lah karya ini dipersembahkan. Mudah-mudahan Allah selalu

menjaga mereka berdua dengeng rahmat kasih sayang-Nya.

8. Rasa hormat yang tulus kepada kelurga besar Pondok Pesantren Mambaul

Ulum Bata-Bata, khususnya RKH. Abd Hamid Ahmad Mahfud Zayyadi,

selaku pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata. Beliau

yang selalu mengharapkan, agar setiap santrinya menjadi santri yang patuh

pada Agama Islam, yang sudah lama beliau sakit (songkan) tidak sembuh-

sembuh, semoga Allah memberikan kesebuhan dan kesehatan kepada

beliau, sehingga bisa membimbing para santrinya lagi.

9. Ucapan beribu-ribu maaf dan terimaksih kepada Prof, Dr, KH. Ali

Musthafa Yaqub, MA., selaku guru penulis yang baru saja wafat, yang

selalu membimbing santrinya untuk istiqamah dan ikhlas dari segi apapun.

Mudah-mudahan Allah menempatkan beliau di tempat yang tinggi di

surga-Nya.

ix

10. Para sahabat sekelas penulis PMF dan PMH angkatan 2010 yang tidak

dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan bantuan

kepada penulis dalam studi dan selalu memberikan canda tawa.

11. Ucapan terima kasih banyak kepada para family yang ada di Madura,

khususnya kaka Saiuful dan kaconk Muqit, yang telah memberikan waktu,

bimbingan, arahan dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Tidak lupa pula kepada organasisi Laskar Bersarung Jabodetabek, yang

telah mendukung penulis dari berbagai hal, semoga organisasi ini terus

eksis dan istiqamah dalam menyebarkan agam Allah. Amiin.

13. Terimakasih banyak kepada Pengadilan Negeri Pamekasan dan Pengadilan

Tinggi Surabaya, yang telah memberikan waktu dan bahan skripsi kepada

penulis.

14. kepada seluruh pihak yang ikut andil dalam menyelesaikan skripsi ini,

yang mana penulis tidak bisa sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan

terimakasih banyak, mudah-mudahan Allah membalas kebaikan yag

diberikan dengen berlipat ganda.

Semoga skripsi ini dapat menambah khazanah keilmuan dan

bermanfaat bagi seluruh pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi

para pembaca. Amīn Yā Rabbal ‘Alamīn.

Ciputat, 9 Mei 2016

Ahmad Mafud

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................ i

PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UIJAN SKRIPSI ....................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................... iv

ABSTRAK ................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ............................................................................. vi

DAFTAR ISI ............................................................................................. x

BAB I: PENDAHULAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitia ......................................... 7

D. Tinjauan Review Kajian Terdahulu ................................ 8

E. Metode Penelitian ............................................................ 11

F. Sistematika Penulisan....................................................... 14

BAB II: KONSEPSI TANAH PERCATON DAN SEJARAHNYA DI

MADURA

A. Saketsa Umum Tentang Madura....................................... 16

B. Historis Tanah Percaton di Madura.................................. 21

C. Tanah Untuk Rakyat ........................................................ 24

D. Pengertian Tanah percaton............................................... 26

E. Uraiyan Tanah UU PA 1960............................................ 28

F. Tanah Percaton dalam Konfigurasi Perundang-undangan 32

G. Percaton Menurut Islam.................................................... 35

BAB III: PUTUSAN PENGADIALN NEGERI PAMEKASAN NOMOR:

240/ Pid.H/ 2005/ PN.PKS. DAN PUTUSAN PENGADILAN

TINGGI SURABAYA NOMOR: 115/PEN.MAJ /2006/ PT.SBY.

TENTANG STATUS TANAH PERCATON

xi

A. Gambaran Umum Pengadilan........................................... 39

B. Duduk Perkara Putusan.................................................... 46

BAB VI: ANALISA PUTUSA PENGADILAN NEGERI PAMEKASAN

NOMOR: 240/ Pid.H/ 2005/ PN.PKS. DAN PENGADIALAN

TINGGI SURABAYA NOMOR: 115/ PEN. MAJ /2006/ PT.

SBY. DAN RESOLUSI KONFLIK TANAHP ERCATON

MENURUT HUKUM ISLAM

A. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan.............. 54

B. Analisis Putusan Pengadilan Tingggi Surabaya............... 65

C. Resolusi Konplik Tanah Percaton Menurut Hukum Islam 77

BAB V KESIMPULAN

A. Penutup............................................................................. 86

B. Saran-saran........................................................................ 88

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 89

LAMPIRAN.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tiga kabupaten Madura, Bangkalan, Sumenep, dan Pamekasan dalam

abad kesembilan belas merupakan kadipaten-kadipaten agrornanagerial, dalam

pengertian bahwa para penguasa dan rakyatnya memiliki sumber daya alam yang

sama, yaitu tanah pertanian. Para penguasa membagikan sumber daya ekonomi

melalui sistem Apanage atau Percaton, dimana keluarga ningrat memperoleh

desa-desa sebagai sumber penghasilan mereka.1 Adapun Percaton atau tanah

Bengkok (jawa) itu sendiri merupakan sesuatu yang diterima dari raja

atau pemerintah sebagai penghasilan. Penghasilan tersebut dikelola oleh penerima

dengan petani sebagai pekerja. Dalam sistem Percaton, para keluarga, pejabat, dan

abdi dalem memperoleh bagian mereka melalui sebuah piagem (sertifikat) yang

diberikan oleh penguasa dan didaftarkan di kantor perbendaharaan (gedong).

Bahkan ada penarikan pajak dari pemegang Percaton.2

Dari sini dapat diketahui bahwa dalam sejarahnya tanah Percaton

merupakan tanah pemberian, atau dalam hukum Islam disebut hibah dari

penguasa kepada adipati atau yang dianggap berhak menerimanya untuk

pembagian sumber daya ekonomi. Karena pemberian tanah Percaton menjadi

milik pribadi pemegangnya dan menjadi tanggung jawabnya untuk dimanfaatkan

berdasarkan kepentingan yang diinginkan.

1 Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), hlm.81.

2 Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, hlm.82.

2

Namun sejalan waktu setelah kemerdekaan, peraturan lama yang dianggap

kurang memihak kepada kepentingan Negara, dianulir dan dirumuskan dalam

semangat untuk mencapai kesejahteraan sosial bagi seluruh bangsa. Pasal 33

UUD 1945 menegaskan bahwa: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,

karena hukum tanah yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat.3

Dalam hal ini, negara mengambil peran sentral untuk mengatur dan

mendayagunakan sumber daya alam bagi kepentingan bersama. Di samping itu,

Apabila penyelenggara keadilan dalam masyarakat yang dilakukan melalui hukum

dilihat sebagai institusi sosial, maka kita melihat hukum dalam kerangka yang

luas, yaitu dengan melihatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.

Untuk itu, penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat berkaitan erat dengan

tingkat kemampuan masyarakatnya,4 sehingga persoalan pengusaan sumber daya

menjadi sangat sensitif dan potensial memicu konflik jika tidak diberikan terhadap

otoritas yang semestinya.

Termasuk dalam hal ini adalah tanah percaton. Masih segar dalam ingatan

peneliti, tragedi Klebun (Kepala Desa) yang berebut tanah Percaton di Desa Bujur

Pamekasan tahun 2006, yang mengakibatkan tujuh orang tewas. “Permusuhan

3 Freiderich Carl Von Savigny mengatakan bahwa hukum itu bukan hanya dikeluarkan

oleh penguasa publik dalam bentuk perundang-undangan, namun hukum adalah jiwa bangsa.

Lihat, Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,

2006), hlm. 164. 4 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: PT. Suryandaru

Utama, 2005), hlm. 27.

3

yang berujung baku bunuh itu bermula dari sengketa lahan tembakau seluas 5,8

hektar yang merupakan tanah bengkok atau percaton. Baidlowi mengklaim

Percaton telah menjadi miliknya. Alasannya ketika menjabat klebun, dia menukar

dengan tanahnya seluas 4.430 meter persegi.5

Mahfud MD, berpendapat bahwa terjadinya carok massal ini dikarenakan

ketidak pekaan hakim di Pengadilan Tinggi Jawa Timur atas putusan sengketa

tanah. Menurutnya Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yang memenangkan

kepala desa lama juga ikut memberi kontribusi kasus tersebut. Padahal

sebelumnya Pengdilan Negeri Pamekasan memenangkan kepala desa baru

Mursyidin dan menghukum kepala desa lama dengan 6 bulan penjara atas kasus

tukar guling tanah Percaton.6

Ketika putusan berbeda dari dua pengadilan yaitu, Pengadilan Negeri

Pamekasan dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur tentang status tanah percaton,

walaupun putusan dua institusi hukum tersebut sangat dimungkinkan berbeda, dan

yang lebih tinggi bisa menganulir keputusan di bawahnya, namun menjadi

menarik karena hal ini mengindikasikan kuat adanya perbedaan mendasar yang

melatar belakangi perbedaan petusan tersebut.

Dalam hal ini akan menimbulkan pertanyaan mendasar seperti, apakah

tanah tersebut adalah milik pribadi kepala desa, atau milik desa? Jika milik kepala

desa, apakah Kepala Desa boleh memanfaatkan, misalnya seperti menukar dalam

5 Nurlis E.Meuko dan Adi Mawardi, Klebun Berebut Percaton, majalah.

tempo.co/tragedi-klebun-berebut-percaton, diakses senin 24 juli 2006. 6 Muhammad Nur Hayid, Hakim Dituding Sebagai Pemicu Carok Massal,

http://news.detik.com-hakim-pt-jatim-dituding-sebagai-pemicu-carok-massal, diakses padaJumat,

14/07/2006.

4

kasus Baidlowi diatas dan memilikinya walau sudah tidak lagi menjabat sebagai

Kepala Desa?

Apalagi dilaporkan bahwa penguasaan aset desa pada umumnya Kepala

Desa di Madura, termasuk tanah Percaton, menjadi milik pribadi dan untuk

kepentingan pribadi bahkan setelah selesai masa jabatan. Padahal dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004, hasil pengelolaan aset desa digunakan untuk

kepentingan desa. Di sampaikan Wakil Ketua Sementara dewan perwakilan

Rakyat daerah (DPRD) Pamekasan, Suli Faris mengatakan sudah bukan rahasia

lagi bahwa banyak aset desa yang seharusnya untuk kepentingan desa dan bisa

menjadi sumber Pendapatan Asli Desa justru dikuasai secara pribadi oleh kepala

desa.7 Suli Faris melanjutkan Secara aturan itu, harusnya tanah kas desa termasuk

Percaton bisa dimanfaatkan hasilnya untuk kepentingan masyarakat desa bukan

untuk pribadi kades, tidak seperti yang terjadi sekarang yang seluruh aset

langsung dikuasai kades.8

Hal ini jauh dari harapan yang tertuang dalam semangat UUPA 1960, yaitu

semangat yang mendahulukan kepentingan rakyat, yakni dalam pertimbangannya

menegaskan bahwa Hukum Agraria harus memberi keyakinan akan tercapainya

fungsi bumi, air, dan ruang angkasa, sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia

dan perkembangan zaman serta merupakan perwujudan asas Ketuhanan Yang

Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.9

7Ali Syahroni, Kades Kuasai Aset Desa, http://www.koranmadura.com/2014/09/16/

kades-kuasai-aset-desa, diakses 16 September 2014. 8Ali Syahroni, Kades Kuasai Aset Desa, http://www.koranmadura.com/2014/09/16/

kades-kuasai-aset-desa, diakses 16 September 2014. 9 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang

Pertanahan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persama, 2008), hlm. 3.

5

Tanah Percaton yang dalam tinjauan sejarah merupakan pemberian

penguasa kepada pejabat atau yang sejenisnya, akan berbenturan dengan semangat

Negara merdeka yang merubah orientasi bernegaranya ke arah kesejahteraan

sosial bagi seluruh rakyatnya, bukan lagi kesejahteraan individual yang hanya

mencukupi kepentingan yang punya modal.

Selanjutnya status hukum tanah Percaton belum menemukan penjelasan

konkrit. Terlihat dari perbedaan hasil putusan pengadilan dalam kasus sengketa di

Desa Bujur Madura, Pengadilan Negeri Pamekasan dan Pengadilan Tinggi Jawa

Timur. Ditambah lagi tradisi dan rahasia umum para Kepala Desa di Madura yang

menguasai aset-aset Desa, ketika sudah tidak lagi menjabat.

Hal ini memerlukan penelitian serius agar aset negara dapat di tempatkan

pada posisinya berdasarkan semangat kesejahteraaan sosial dan juga untuk

meminimalisir konflik yang tidak perlu terjadi seperti kejadian memilukan di atas.

Diperlukan analisa mendalam berdasarkan hukum negara dan hukum Islam

sebagai pijakan dan dasar bertindak bagi mayoritas orang Madura yang beragama

Islam. Penulis mengharapkan dari studi komparasi berdasarkan hukum Negara

dan hukum Islam ini, dapat di temukan rumusan kongkrit tentang status hukum

tanah Percaton, dan menjadi rumusan yang mudah diterima oleh masyrakat

Madura karena juga dilandasai oleh hukum agama yang menjadi patokan.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka judul skripsi Konflik Tanah Percaton

di Madura, Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan dan Pengadilan

Tinggi Surabaya” sangat penting untuk diteliti.

6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan mengemukakan seputar sengketa

tanah Percaton, mengingat sangat luasnya pembahasan tentang tanah

Percaton, maka penulis hanya memfokuskan pada kasus konflik tanah

Percaton di Madura, analisis putusan Pengadilan Negeri Pamekasan Nomor:

240/Pid.H/2005/PN.PKS dan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor:

115/PEN.MAJ/2006/PT.SBY.

2. Perumusan Masalah

Agar pembahasan menjadi lebih terarah dan fokus, maka perlu dirumuskan

permasalahan yang akan diteliti dan membatasi masalah yang akan uraikan.

Sesuai dengan judul skripsi ini yaitu “Konflik Tanah Percaton di Madura,

Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan dan Pengadilan Tinggi

Surabaya”, maka permasalahan pokok yang akan dirumuskan dalam sripsi ini

sebagai berikut:

a. Apa dasar yuridis putusan Pengadilan Negeri Pamekasan dan

Pengadilan Tinggi Surabaya dalam sengketa tanah Percaton di

Madura?

b. Apa faktor yang melatar belakangi perbedaan putusan Pengadilan

Negeri Pamekasan dan Pengadialan Tinggi Surabaya dalam sengketa

tanah Percaton di Madura?

c. Bagaimana status tanah Percaton dalam pandangan hukum Islam?

7

d. Bagaimna Penyelesaian konflik tanah Percaton di Madura menurut

Hukum Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dasar yuridis putusan Pengadilan Negeri

Pamekasan dan Pengadilan Tinggi Surabaya dalam sengketa tanah

Percaton di Madura .

b. Untuk mengetahui latarbelakang faktor perbedaan putusan Pengadilan

Negeri Pamekasan dan Surabaya dalam sengketa tanah Percaton di

Madura.

c. Untuk mengetahui status tanah Percaton menurut hukum Islam

d. Untuk mengetahui Resolusi yang ditawarkan dalam penyelesaian

konflik tanah Percaton menurut Islam.

2. Manfaat

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini bisa memperkaya

referensi yang ada, memberikan sumbangan positif dalam

pengembangan kajian hukum Islam.

b. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

8

1) Bagi masyarakat umum, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

basic dalam melihat pemanfaatan tanah percaton dan ikut serta

mengawasi dan menikmati pemanfaatan tersebut sesuai peraturan

yang ada. Agar masyarakat menjadi sejahtera dan akhirnya

konflik-konflik yang tidak perlu, akan menghilang dengan

sendirinya.

2) Bagi praktisi hukum, hasil pelitian ini dapat dijadikan panduan

dalam mengembangkan kajian hukum terutama dalam kasu tanah

percaton. Peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi bahan

pertimbangan dalam pengembangan kajian hukum agar lebih

responsif terhadap fenomena yang ada di Negara Indonesia

khususunya dan dunia pada umunya.

3) Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan

untuk penelitian selanjutnya (open problem).

4) Bagi instansi pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan

dalam merumuskan status hukum tanah Percaton secara kongkret.

D. Tinjauan Review Kajian Terdahulu

Sejauh pengetahuan peneliti, pengkajian atau penelitian khusus, baik dalm

bentuk skripsi, tesis, maupun disertasi mengenai “Konflik Tanah Percaton Di

Madura” di atas, tidak ditemukan.

Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan

penelitian mengenai masalah sengketa pertanahan namun secara substansi pokok

9

permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian

yang berkaitan dengan sengketa pertanahan yang pernah dilakukan adalah :

1. Penulis : Ary Anggraito Tobing

Universitas: Universitas Diponegoro Semarang

Judul : Eksistensi Tanah Bengkok Setelah Berubahnya Pemerintahan

Desa Menjadi Kelurahan Di Kota Salatiga

Persamaan dalam tesis yang ditulis Ary Anggraito Tobing adalah sama-

sama membahas tentang tanah Percaton atau tanah Bengkok. Namun yang

menjadi perbedaan dari skripsi penulis adalah di mana dalam tesis yang

ditulis Ary Anggraito Tobing membahas tentang pengelolaan dan

pemanfaatan tanah bengkok sesudah berubahnya Pemerintahan Desa

menjadi Kelurahan di Kota Salatiga.

2. Penulis : Maria Kaban

Universitas: Universitas Sumatera Utara

Judul : Keberadaan Hak Masyarakat Adat atas tanah di tanah Karo

Dalam tesis yang ditulis Maria Kaban membahas tentang status hak ulayat

atas tanah di tanah Karo. Persamaan dalam tesis ini adalah sama-sama

membahas tentang tanah Adat. Perbedaanya dengen skripsi penulis adalah

di mana tesis yang ditulis Maria Kaban membahas tentang Sistem

penggunaan tanah adat karo, dan keberadaan Hak Masyarakat adat atas

tanah di tanah Karo.

3. Penulis : Juniati

Universitas: Universitas Mulawarman Samarinda

10

Judul : Pengelolaan Tanah Desa Di Desa Panca Jaya Kecamatan

Muara Kaman Kabupaten Kutai Kartanegara

Persamaan dalam kripsi ini adalah sama-sama membahas tentang tanah

Desa (Percaton). Perbedaannya dengan skripsi penulis adalah dalam

skripsi ini membahas tentang cara pengelolaan dan solusi hukum dalam

mengatasi permasalah tanah desa yang ada di Desa Panca Jaya Kecamatan

Muara Kaman Kabupaten Kutai Kartanegara.

4. Penulis : Moh.Saiful Ulum

Universitas: Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Judul : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Alih Fungsi Tanah Bengkok

Skripsi ini merupakan studi kasus tanah bengkok yang terjadi di desa

Japolo Kecamatan Gunung Wungkal Kabupaten Pati, Persamaan dalam

skripsi ini adalah sama-sama menrangkan tanah Benkok. Perbedaanya

dengan skripsi penulis adalah dalam skripsi ini berisi tentang bagaimana

status hukum tanah bengkok yang dialih fungsikan untuk pengerusakan

terhadap tanah bengkok, seperti penggalian batu, pertambangan dan lain

sebaginya.

Dengan belum adanya kalangan yang meneliti mengenai Konflik Tanah

Percaton di Madura, maka hal ini menjadikan pentingnya tema tersebut untuk

dikaji.

11

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metode pendekatan yang dilakukan adalah Yuridis

Normatif atau Doktrinal. Artinya penelitian hanya dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat hukum.10

Penelitian ini dilakukan

dengan membaca, menelaah, dan menganalisis content undang-undang dan buku

dan didukung berbagai literatur yang berhubungan dengannnya. Kerangka

tersebut diletakan pada semangat studi komparasi antara putusan Pengadilan

Negeri Pamekasan dan Pengadialan Tinggi Surabaya, agar ditemukan kesimpulan

komprehensip yang dapat menjwab persoalan.

Untuk lebih jelasnya dalam masalah ini, Peneliti uraikan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini berjenis kualitatif, yakni penelitian tentang riset yang

bersifat deskriptif dan menggunakan analisis, yang berlandaskan pada

filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek

yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah

sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan

secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi

(gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitaif, dan hasil penelitian

kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.11

10

Sri Mamudji, Metode Penelitian dan penelitian Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4-5 11

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung; Alfabeta,

2011), hlm.10.

12

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yakni penelitian yang berfungsi

untuk menyelesaikan masalah melalui pengumpulan, penyusunan, dan

proses analisa mendalam terhadap data yang ada untuk kemudian

dijelaskan dan selanjutnya diberi penilaian.12

3. Pendekatan

Penelitian ini mengguakan pendekatan yuridis normatif. Penelitian yuridis

normatif dilakukan dengan cara menelaah menginterpretasikan hal-hal

yang bersifat teoritis yang menyangkut asas, konsepsi, doktrin, dan norma

hukum yang berkaitan dengan pembuktian perkara. Pendekatan ini

dikenal pula dengan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang mengacu

pada norma hukum yang terdapat peraturan dalam undang-undang dan

putusan pengadilan, serta norma-norma yang hidup dan berkembang

dalam masyarakat.13

4. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan menelusuri,

mengumpulkan, dan meneliti berbagai referensi yang berkaitan dengan

dengan tema yang diangkat. Sumber data dalam penelitian pustaka ini

dibagi menjadi dua, yakni data hukum primer dan data hukum sekunder.

12

Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), hlm.

128. 13

Zainun Ali, Metode Penelitian Hukum, (jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm. 105.

13

b. Data Hukum Primer

Dalam penelitian ini, data hukum primer adalah data yang diperoleh

langsung dari objek yang diteliti, yaitu bahan-bahan hukum yang

mengikat.14

yang menjadi data dalam skripsi ini yaitu putusan

Pengadilan Negeri pamekasan, putusan Pengadilan Tingi Surabaya,

Al-Qur’an, Hadis, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,

Undang-undang No. 4 tahun 2007, tentang peraturan Menteri dalam

Negeri dan undang-undang hukum Islam yang dikenal dengan fikih

Islam dari berbagai madzhab yang mu’tabar.

c. Data Sekunder

Data sekunder adalah bahan-bahan hukum lain yang mendukung dan

memperjelas bahan hukum primer.15

Yaitu semua data yang

berhubungan dengan skripsi ini,. baik berupa koran, majalah, jurnal,

artikel-artikel, yang tersebar di situs-situs internet, dan data lain yang

relevan dengan kajian penelitian ini.

5. Tekhnik Analisis Data

Sesuai dengan sifat penelitian ini (library research), data primer dan

sekunder yan telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis dan diberikan

interpretasi untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

14

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2005), hlm.113. 15

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, hlm. 114.

14

Dan juga dibandingkan, yang mana dari perbandingan tersebut dapat

ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan dari kedua pengadilan

yan penulis teliti.16

Data yang diperoleh dari hasil kajian hukum, dalam

kaitan ini berupa berkas putusan perkara Pengadilan Negeri Pamekasan

dan Pengadilan Tinggi Surabaya, peraturan perundang-undangan dan

hukum Islam dalam menentukan status hukum objek kajian.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dalam penelitian skripsi ini berpedoman kepada buku

Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kecuali untuk hal-hal tertentu yang

secara teknis ditentukan oleh pembimbing.

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan penelitian ini bisa mudah dipahami, maka peneliti

memaparkan secara sistematis bab-bab yang menjadi fokus kajian dalam

penelitian ini. Penulis membaginya dalam lima bab. Pada bab satu, penulis

menempatkan pendahuluan yang di dalamnya terdapat: latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah

pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Penempatan item-item

di atas dalam bab satu karena dari item-item tersebut penelitian ini bermula.

Bab dua berisi Tentang Sketsa Umum tentang Madura, Historisitas Tanah

Percaton di Madura, Pengertian Tanah Percaton, Uraian Tanah dalam UU PA

16

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:

Bayumedia Publishing, 2007), hlm. 313.

15

1960, Tanah Percaton dalam Konfigurasi Perundang-Undangan dan Percaton

Menurut Islam.

Bab tiga, Lampiran Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan dan Surabaya,

Alasan Hukum Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan dan Pengadilan Tinggi

Surabaya.

Setelah memahami secara keseluruhan isi dalam penelitian ini, pada bab

empat, ditempatkan analisa penulis terhadap dua putusan pengadilan Negeri

Pamekasan dan Surabaya dan Penyelesain konflik tanah Percaton di Madura

menurut Hukum Islam.

Bab lima sebagai penutup yang berisi kesimpulan secara umum dari

uraian-uraian yang sudah disampaikan, kemudian dilanjutkan dengan saran-saran

dari penulis.

16

BAB II

KONSEPSI TANAH PERCATON DAN SEJARAHNYA DI MADURA

A. Sketsa Umum tentang Madura

Madura merupakan nama pulau yang secara geografis terletak di sebelah

timur laut Jawa Timur. Dilihat secara geologis, Madura merupakan kelanjutan

bagian utara Jawa. Luas keseluruhan pulau ini kurang lebih 5.168 km persegi,

atau kurang lebih sepuluh persen dari luas keseluruhan wilayah Jawa Timur.1

Adapun panjang daratan kepulauannya dari ujung barat di Kamal sampai

dengan ujung Timur di Kalianget sekitar 180 km dan lebarnya berkisar 40 km.

Pulau ini terbagi dalam empat wilayah kabupaten. Dengan Luas wilayah untuk

kabupaten Bangkalan 1.144, 75 km² terbagi dalam 8 wilayah kecamatan,

kabupaten Sampang berluas wilayah 1.321,86 km², terbagi dalam 12 kecamatan,

Kabupaten Pamekasan memiliki luas wilayah 844,19 km², yang terbagi dalam 13

kecamatan, dan kabupaten Sumenep mempunyai luas wilayah 1.857,530 km²,

terbagi dalam 27 kecamatan yang tersebar di wilayah daratan dan

kepulauan.2Dilihat dari administrasi kepemerintahan, Madura masuk dalam

wilayah Provensi Jawa Timur. Meski secara administrasi masuk dalam wilayah

Provensi Jawa Timur, Madura mempunyai keunikan dan karakteristik tersendiri,

baik dari sisi bahasa, maupun budaya.

Keunikan yang dimiliki Madura menjadi salah satu alasan mengapa

banyak kajian dan penelitian akademik, baik dalam bentu skripsi, tesis, maupun

1 https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Madura.

2 https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Madura.

17

disertasi yang mengambil Madura sebagai objeknya. Kajian tentang Madura tidak

hanya dilakukan oleh orang lokal (Indonesia),3 namun juga orang luar.

4

Namun demikian, dalam kajian masa lalu, Madura masih belum mendapat

perhatian dari para pengkaji. Kajian tentang Madura dapat dibilang tertinggal jauh

dari kajian tentang suku Jawa, Sunda, maupun Minangkabau. Setidaknya ada dua

faktor mengapa pada masa lalu Madura kurang mendapat perhatian. Pertama,

adanya streotipe5 bahwa masyarakat Madura mempunyai watak yang keras, suka

carok,6 dan tempramen. Kedua, Madura masih dianggap ekor dari kebudayaan

Jawa sehingga Madura dianggap tidak mempunyai kebudayaan yang mandiri.7

Adanya anggapan bahwa masyarakat Madura mempunyai watak keras dan

temperamental memang tidak sepenuhnya salah. Dalam kehidupan masyarakat

pesisir misalnya, suasana alam yang panas juga turut berkontribusi dalam

3 Untuk orang lokal kita bisa menyebut Kuntowijoyo yang mengkaji tentang perubahan

sosial dalam masyarakat agraris di Madura pada tahun 1850-1940. Kajian tersebut merupakan

Disertasi Doctoral dari Columbia University, tahun 1988. Lihat Kuntowijoyo, Social Change in

Agrarian Society: Madura 1850-1940, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi

“Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura¸1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa,

2002). Juga karya Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman, (Jakarta: Gramedia, 1989). 4 Sedang kajian dari orang luar, nama Huub de Jonge dapat dimasukkan dalam kategori

peneliti luar yang mengkaji Madura. Setidaknya ada dua karya Huub de Jonge tentang Madura.

Pertama, Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman, Jakarta: Gramedia, 1989. Kedua, Huub de

Jonge, Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi, Studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura,

Jakarta: Rajawali Press, 1989. Buku yang kedua ini merupakan hasil penelitian berbagai tokoh

tentang Madura melalu pelbagai disiplin keilmuan, termasuk Huub de Jonge sendiri yang

sekaligus menjadi editornya. 5 Tim KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2008), hlm. 1339. 6 Istilah untuk duel satu lawan satu menggunakan clurit yang dilakukan untuk

mempertahankan harga diri dari gangguan orang lain. Carok menjadi semacam identitas

keberanian bagi masyarakat Madura. Pemenang duel carok akan mendapat tempat tersendiri dalam

masyarakat, ia akan dikenal dengan seorang yang pemberani dan biasanya pasti disegani. Untuk

kajian tentang carok silahkan baca Latief Wijaya, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri

Orang Madura, (Yogyakarta: LKiS, 2002). 7Huub de Jonge, “Kata Pengantar” dalam Huub de Jonge (ed.), Agama, Kebudayaan , dan

Ekonomi, Studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura, cet. ke-1, (Jakarta: Rajawali Press,

1989), hlm. 7.

18

membentuk karakter keseharian masyarakatnya. Di daerah tertentu, sampai saat

ini, peristiwa carok masih kerap terjadi. Namun demikian, yang harus ditekankan,

tidak semua daerah di Madura menganut tradisi yang keras. Di daerah selatan

misalnya, masyarakat bagian selatan tidak sekeras masyarakat di bagian pesisir

utara. Oleh sebab itu, dalam kebiasaan masyarakat selatan, carok hanya menjadi

jalan paling akhir dalam menyelesaikan masalah.

Sementara itu, anggapan bahwa budaya Madura merupakan ekor dari

budaya Jawa masih dapat diperdebatkan. Madura mempunyai identitas budaya

sendiri yang berbeda dengan budaya Jawa. Salah satu contohnya adalah dalam

masalah bahasa. Untuk itu, mengasumsikan bahwa Madura hanya ekor dari

kebudayaan Jawa bisa dikatakan sebagai sebuah asumsi yang keliru. Memang

benar, dalam sejarahnya, Madura adalah bagian dari berbagai kerajaan di Jawa,

baik kerajaan Hindu maupun Islam.8 Namun hal itu tak lantas menjadikan Madura

sebagai ekor yang tak punya kemandirian apa-apa dalam memproduk budayanya.9

Salah satu hal yang menarik dan unik dari Madura adalah agama yang

dianut mayoritas masyarakatnya. Madura dikenal dengan daerah yang mayoritas

masyarakatnya menganut agama Islam. Salah satu indikator mengapa Islam dapat

dikatakan sebagai agama mayoritas adalah banyaknya pondok pesantren yang

8 Kita bisa menyebut kerajaan Singosari, Majapahit, Demak, Kudus, Gresik, dan

Mataram. 9 Salah satu buktinya tentu saja Madura mempunyai seni ukir tersendiri, bahasa sendiri,

dan corak sastra tersendiri. Untuk pembahasan mengenai bagaimana sastra Madura dibangun dan

apa contohnya, silahkan baca D. Zawawi Imron, “Sastra Madura: yang Hilang Belum Berganti”

dalam Huub de Jonge (ed.), Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi, hlm. 181-205.

19

menyebar di empat kabupaten Madura. Di Pamekasan saja misalnya, berdasarkan

data dari pemerintah daerah, terdapat kurang lebih 500 pesantren.10

Keberadaan Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Madura menarik

perhatian para pengkaji untuk meneliti bagaimana Islam masuk ke Madura dan

menjadi agama yang dianut oleh mayoritas masyarakatnya. Di Madura, Islam

menjadi identitas utama masyarakatnya. Oleh sebab itu, secara sosiologis,

masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang relegius. Dalam kehidupan

sehari-hari, masyarakat Madura mempercayai sosok kiai dalam urusan agama.

Dalam kajian akademis, tidak ada teori pasti yang dapat menjelaskan

bagaimana Islam masuk ke Madura, sebagaimana tidak teori pasti yang

menjelaskan bagaimana Islam masuk ke Nusantara.11

Dalam kajian bagaimana

Islam masuk ke Madura, setidaknya ada dua teori utama yang menjelaskan hal

tersebut.

Teori pertama adalah hasil kajian H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud yang

menyatakan bahwa proses perkembangan Islam di Madura dimulai dari dua jalur,

yaitu Madura Barat dan Madura Timur. Baik di Madura Barat maupun Madura

Timur pihak yang berperan di dalamnya adalah para aristokrat. Di Madura Barat,

10

Muhammad Onthu,http://www.pamekasankab.go.id/content/sejarah-pamekasan. diakses

18 Desember 2014. 11

Tidak ada teori tunggal yang menjelaskan sejarah bagaimana Islam bisa sampai ke

Indonesia. Para ahli sejarah Indonesia, mengemukakan teori yang berbeda. Masing-masing dari

teori tersebut mempunyai kekurangan dan keunggulan masing-masing. Untuk masalah kajian

bagaimana proses Islam masuk ke Nusantara, bisa merujuk Azyumardi Azra, Jaringan Ulama’:

Timur Tengan dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Mizan, 1994), Denys

Lombard, Nusa Jawa: Kajian Sejarah Terpadu, Bagian II: Jaringan Asia, (Jakarta: Gramedia,

1996), dan M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 1995).

20

lanjut De Graaf dan Pigeaud, dimulai oleh seorang raja di Gili Mandangin, yang

bernama Lembu Peteng, putra raja Brawijaya dengan putri Islam dari Campa.12

Adapun untuk Madura Timur berdasarkan artefak makam tua, makam

Adipati Kanduruwun, di kampung pasar Pajhingga’an. Di makam tersebut tertulis

tahun 1504 J (1582). Adipati Kanduruwun sendiri mempunyai peranan yang

cukup signifikan di Sumenep pada abad XVI, dan dari peran Adipati Kanduruwun

Islam di Madura Timur berkembang. Adipati Kanduruwun sendiri adalah

keturunan dari kerajaan Demak.13

Teori kedua yang menjelaskan bagaimana Islam masuk ke Madura adalah

hasil kajian Dr. Abdurrahman, seorang ahli sejarah yang banyak menulis tentang

Madura. Menurut Abdurrahman, sebagaimana dikutip Rozaki, proses Islamisasi di

Madura melalui perantara Sunan Giri. Bahkan bisa dikatakan sebelum itu, sudah

ada interaksi antara pedagang Islam dari Gujarat dengan penduduk Madura di

Pelabuhan Kalianget, Sumenep. Dari paparan historis di atas dapat dipahami

bahwa proses Islamisasi di Madura dapat ditelusuri dari tiga jalur utama:

aristokrat istana, saudagar, dan jaringan kiai dan ulama.14

Terlepas dari banyaknya teori yang menjelaskan bagaimana agama Islam

masuk ke Madura, fakta yang tidak dapat dibantah adalah bahwa Islam memang

menjadi agama mayoritas masyarakatnya. Entah teori De Graaf maupun

12

H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah

Politik Abad XV dan XVI, (Jakarta: Grafiti, 2001), hlm. 190-191. 13

Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa Kiprah Kiai dan Blater sebagai

Rezim Kembar di Madura, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), hlm. 45. 14

Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa Kiprah Kiai dan Blater sebagai

Rezim Kembar di Madura, hlm. 45-47.

21

Abdullah, sama-sama mengindikasikan bahwa agama Islam telah lama masuk dan

dipeluk oleh masyarakat Madura.

B. Historisitas Tanah Percaton di Madura15

Pada abad kesembilan, secara keseluruhan organisasi sosial masyarakat

Madura diatur melalui suatu sistem upeti, dimana masyarakat dibagi menjadi dua

kelas utama, yaitu kelas penguasa dan kelas petani kecil. Kelas penguasa tidak

memiliki sumber ekonomi kecuali upeti yang diberikan oleh petani. Organisasi

sosial di Madura itu serupa dengan organisasi sosial kerajaan-kerajaan Jawa.

Organisasi itu terdiri dan dua kompleks hubungan. Pertama, hubungan produksi

yang membentuk sistem upeti yang mengatur pemroduksian dan pembagian

surplus-surplus. Kedua, hubungan administratif yang membentuk birokrasi yang

memerintah negara dan desa. Kedua jaringan kerja itu bertemu dalam tingkat

sosial organisasi yang paling rendah, yaitu desa dan para petani. Para adipati

Madura menguasai desa-desa sebagai daerah kekuasaan mereka. Desa-desa ini,

disebut desa daleman, biasanya terdiri dan tanah pertanian yang terbaik di daerah

bersangkutan. Dalam desa-desa seperti itu, para penguasa mengambil sepertiga

dan seluruh tanah pertanian menjadi milik mereka (sawah daleman). Sementara

sisanya dimiliki oleh para petani. Sawah daleman ini dikerjakan oleh para petani

yang memberikan tenaganya kepada para adipati dengan imbalan dibebaskan dan

semua jenis pajak. Desa daleman harus menyerahkan sepertiga dari hasil produksi

para petani dan lahan pertanian.

15

Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, hlm.81-111.

22

Selain penghasilan dan tanah pertanian, para adipati menerima berbagai

upeti lainnya, terdiri dan barang-barang dan jasa. Penduduk desa diharuskan

menyerahkan hasil-hasil tertentu. Misalnya, patereman diharuskan memberikan

udang, patelloran menyerahkan telur, pajerugan menyerahkan buah jeruk,

paarengan menyerahkan arang. Upeti jasa terdiri dari, antara lain, paembi’an

(penggembala), larangan (pengawas kijang), dan blandong (penebang kayu).

Pada waktu-waktu tertentu, misalnya waktu adipati mengadakan

perjalanan, rakyat harus menyediakan kuda-kuda, kayu api, air untuk minum, dan

lain-lainnya. Jumlah rakyat yang terlibat dalam perjalanan seperti itu sering sangat

banyak karena layanan diperlukan bukan hanya bagi penguasa, tetapi juga untuk

keluarganya

Untuk para keluarga, pejabat, dan abdi dalem, sistem upeti terdiri dari

sistem apanage atau Percaton dan layanan kerja (pancen). Percaton adalah

pembagian desa dan tanah pertanian. Kerja pancen adalah layanan kerja yang

harus diberikan oleh rakyat dalam desa percaton kepada pemegang Percaton.

Tidak ada desa atau petani yang terhindar dari percaton dan pancen, kecuali

mereka yang tinggal dalam desa daleman (desa-desa milik penguasa) dan desa

perdikan (desa-desa bebas).

Dalam sistem Percaton, para keluarga, pejabat, dan abdi dalem

memperoleh bagian mereka melalui sebuah piagam (sertifikat) yang diberikan

oleh penguasa dan didaftarkan di kantor perbendaharaan (gedong). Piagam berisi

nama yang diberi piagam, nama-narna desa yang diberikan, hak-hak dan

kewajiban-kewajiban pemegang piagam. Di desa pemegang apanage menunjuk

23

seorang wakil untuk menjalankan hak-hak pemegang. Walaupun hak itu tidak bisa

diwariskan atau dialihkan, pemegang apanage dibolehkan menyewakan desa

bersangkutan, tetapi harus mernbuat sertifikat sewa (pepadang) yang harus

ditandatangani oleh pejabat gedong. Sistem sewa mi kemudian menjadi penyebab

mundurnya sistem percaton.

Salah satu hak pemegang percaton ini menjadi beban para petani, adalah

penarikan pajak tanah. Cara penarikan pajak tanah berbeda dan tempat sawah ke

tempat lain. Di Pamekasan, pajak tanah pertanian dalam desa-desa percaton

dikumpulkan dengan dua cara, yaitu apakah sebagai pajak uang yang besarnya

seperempat nilai panen bersih, disebut obang tandun, ataupun sebagai pajak

barang yang berjumlah sepertiga hasil panen. Yang biasa dipakai adalah cara

pertama, walaupun memberatkan petani. Selain itu, pemegang Percaton sebuah

desa memiliki hak atas tanah yang tidak bisa diwariskan. Dia boleh mengambil

separuh hasil panen tanah-tanah seperti itu, atau menyewakannya, atau meminta

penduduk desa mengerjakan tanah untuknya dengan hanya memberikan benih dan

membayar upah memanen.

Selain pemberian desa, pemegang apanage mungkin juga memiliki

Percaton yang berupa sawah, yang harus dikerjakan oleh para petani dengan

sistem upeti kerja. Upeti kerja yang diberikan kepada para pemegang apanage

kaum ningrat, pejabat, dan abdi dalem, disebut sistem pancen atau kemit. Berbeda

dengan layanan-layanan kepada penguasa yang melibatkan seluruh desa di seluruh

kabupaten, yang terdiri dan hampir semua layanan yang diperlukan untuk

kesejahteraan adipati, maka layanan-layanan kepada pemegang Percaton terbatas

24

kepada desa-desa Percaton dan hanya untuk kerja-kerja tertentu. Pancen meliputi

layanan-layanan membawa payung kebesaran dan kotak sirih serta mengikuti

perjalanan. Terdapat juga layanan-layanan periodik, baik berbentuk kerja atau

barang, selama pesta-pesta tahunan atau upacara lainnya, misalnya perkawinan

dan sunatan, rakya diharuskan menyumbang buah, ayam, dan keperluan lainnya.

Keperluan-keperluan harian lainnya, misalnya rumput makanan kuda, kayu bakar,

kebersihan rumah, dan tukang kebun juga merupakan kerja pancen atau kemit.

C. Tanah Untuk Rakyat

Tanah merupakan hal penting bagi kehidupan manusia. Diatas tanah

manusia mencari nafkah. Diatas tanah pula manusia membangun rumah sebagai

tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran

dan sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan alam yang

dapat dimanfaatkan manusia.16

Secara hakiki, makna dan posisi strategis tanah dalam kehidupan

masyarakat Indonesia, tidak saja mengandung aspek fisik, tetapi juga aspek sosial,

ekonomi, budaya, politik, pertahanan keamanan dan aspek hukum. Tanah bagi

masyarakat memiliki makna multidimensional. Dari sisi ekonomi, tanah

merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkankesejahteraan. Secara politis

tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan

16

Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah

Untuk Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 45.

25

masyarakat dan sebagai budaya yan dapat menentukantinggi rendahnya status

sosial pemiliknya. 17

Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan salah satu peraturan

perundang-undangan yang menerapkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, pada bagian

konsiderannya mengedepankan bahwa UUPA harus berdasarkan Pancasila yang

sila kelimanya adalah sila keadilan sosial. Ini berarti bahwa Undang-Undang

Pokok Agraria harus berasaskan keadilan sosial dalam Pancasila. Hal ini tidak

berarti bahwa sila – sila lain dalam Pancasila dapat dilepas kaitan dan

pengertiannya satu sama lain. Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menerapkan

sila Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan hal itu. Dalam rumusan pasal

tersebut dinyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam wilayah Republik Indonesia,

sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa

bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Untuk sementara dapat

disimpulkan bahwa terdapat beberapa asas yaitu (1) asas menguasai dari Negara,

(2) asas penggunaan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya, harus untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan (3)

asas keadilan sosial dalam Pancasila dalam arti bahwa di dalam upaya

mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat, sila-sila lain di dalam Pancasila

tidak dapat dilepas dari sila keadilan sosial.18

17

Husein Alting, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat

Hukum Adat Tanah, (Ternate: Lembaga Penerbitan Universitas Khairun, 2010), hlm. 6. 18

Mustofa dan Suratman, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2013), hlm. 1-4.

26

Pada era kebijakan pembangunan ekonomi salah satunya adalah

mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan

penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan

hak-hak rakyat setempat termasuk hak-hak ulayat dari masyarakat adat serta

berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Tanah merupakan salah

satu unsur yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan baik dilakukan

oleh pemerintah, perusahaan swasta maupun masyarakat tidak lepas dari

kebutuhan akan tanah sebagai wadah kegiatannya.19

D. Pengertian Tanah Percaton

Sebelum membahas tanah Percaton, penulis lebih awal akan memaparkan

pengertian tanah secara umum. Definisi “tanah” dalam kamus besar bahasa

Indonesia mempunyai beberapa arti, yaitu:20

1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali.

2. Keadaan bumi di suatu tempat.

3. Permukaan bumi yang diberi batas.

4. Daratan.

5. Permukaan bumi yang terbatas yang di tempati suatu bangsa yang di

perintah suatu negara atau menjadi daerah negara.

6. Bahan-bahan dari bumi, bumi dari bahan suatu.

Adapun “tanah” secara yuridis adalah permukaan bumi,21

sebagai mana

yang tercantum dalam UUPA, pasal 4 ayat 1, yang berbunyi:

19

Mustofa dan Suratman, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri, hlm. 8-9. 20

Tim KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 1390.

27

“ Atas dasar hak mengusai dari Negara sebagai yang di maksud dalam

pasal 2 di tentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang di

sebut tanah, yang dapat di berikan kepada yang di punyai oleh orang-orang lain

serta badan-badan hukum”

Percaton atau tanah Bengkok (jawa) adalah tanah atau lahan adat yang

dimiliki kepala atau perangkat desa sebagai kompensasi gaji atas jabatan dan

pekerjaan yang dilakukan,22

dapat diambil pengertian bahwa tanah bengkok

mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

1. Tanah tersebut merupakan bagian dari tanah desa.

2. Tanah tersebut diberikan kepada warga desa yang sedangmenjabat

sebagai pamong desa.

3. Pemberian tanah tersebut hanya sementara waktu selama

yang bersangkutan menjabat kepala desa atau perangkat desa.

4 Maksud dari pemberian tanah bersebut sebagai upah untuk memenuhi

dan menghidupi diri dan keluarganya.23

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007

tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa Pasal 4, desa adalah kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul

21

Effendi Peragin,Hukum Agraria di Indonesia, Telaah dari Sudut Pandang Praktisi

Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 229. 22

Dianto Bachriadi dan Anton Lucas, Merampas Tanah Rakyat, (Jakaeta: Gramedia,

2001), hlm. 19. 23

Eman Ramelan, Keberadaan Tanah Bengkok atau Ganjaran Dalam Perspektif Hukum

di Indonesia, (Yuridika Volume 14, Maret-April 1999), hlm 111.

28

dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tanah milik adat dapat digolongkan menjadi 2 macam:

a. Tanah milik desa adat, misalnya desa sebagai persekutuan hukum

membeli tanah dan pasar, balai desa, dan dari pengelolaan itu hasilnya merupakan

kekayaan desa, misalnya berasal dari pajak, sewa tempat, dll.

b. Tanah bengkok yaitu tanah atau lahan yang adat miliki sendiri untuk

kepala atau perangkat desa sebagai kompensasi gaji atas jabatan dan pekerjaan

yang dilakukan.24

D. Uraian Tanah dalam UU PA 1960

Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria yang disahkan pada tanggal 24 September 1960

maka telah terjadi unifikasi terhadap dua hukum tanah yang sebelumnya berlaku

di Indonesia, yaitu Hukum Barat dan Hukum Adat, yang masingmasing memiliki

pengaturan sendiri-sendiri mengenai tanah.

Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria mengakhiri kebinekaan

(pluralisme) hukum yang mengatur bidang pertanahan dan menciptakan perangkat

hukum yang berstruktur tunggal. Dalam mencapai terwujudnya kesatuan di

bidang Hukum Tanah, bukan saja hukumnya yang diunifikasikan, tetapi juga hak-

hak atas tanah dan hak-hak jaminan atas tanah yang ada, yang semuanya

bersumber pada berbagai perangkat hukum yang lama. Diakhirinya pluralisme

24

Edy Kuncoro dalam tesis Peralihan Tanah Bengkok dan Akibat Hukumnya (studi

Kasus Putusan PN Boyolalinomor 51/Pdt.G/1999/PN.Bi).

29

dan diciptakannya Hukum Tanah yang tunggal oleh Undang-Undang Pokok

Agraria merupakan perubahan yang mendasar.25

Hak tanah adat yang sebelumnya diatur dalam Hukum Adat dilakukan

ketentuan-ketentuan konversi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Konversi adalah perubahan status

tanah,26

dalam Undang-Undang Pokok Agraria, hak tanah adat yang sebelumnya

diatur dalam hukum adat mengalami konversi. Konversi tersebut adalah

perubahan hak tanah adat menjadi hak pakai. Hal tersebut tertuang dalam

ketentuan-ketentuan konversi UUPA Pasal VI yang menyatakan: “Hak-hak atas

tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang

dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di

bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, yaitu: hak

vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik,

anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga

yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya

Undang-Undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam Pasal 41 ayat 1, yang

memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang

haknya pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, sepanjang tidak bertentangan

dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini”.27

25

Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Penerbit

Universitas Tri Sakti, 2002), hlm 11. 26

C. S. T. Kansil dan Critine S. T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 2001), hlm 67. 27

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(UUPA).

30

Tanah bengkok yang sekarang masih ada di Indonesia secara yuridis telah

menjadi Hak Pakai, Hak Pakai tersebut diatur pada Pasal 41 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960, yaitu:

(1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil

dari tanah yang dikuasi langsung oleh Negara atau tanah milik orang

lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam

keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang

memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang

bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,

segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-

ketentuan Undang-Undang ini.

(2) Hak pakai dapat diberikan:

a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya

dipergunakan untuk keperluan yangtertentu.

b. Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa

berupa apapun.

(3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang

mengandung unsur-unsur pemerasan.28

Isi Undang-Undang Pokok Agraria merupakan peraturan dasar Hukum

Tanah Nasional dan memperbaiki rumusan ketentuan-ketentuannya dengan suatu

peraturan perundangundangan berbentuk undang-undang. Segala sesuatunya

dengan tetap mempertahankan:

28

Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, hlm 17.

31

1. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dengan rumusan

pernyataan pada “Founding Fathers” Negara Kesatuan Republik

Indonesia kita dan Konstitusinya: Bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. Hukum adat sebagai sumber utamanya, dilengkapi dengan lembaga-

lembaga hukum baru dalam memenuhi kebutuhan masa kini dan

mendatang, juga dalam menghadapi tuntutan era globalisasi dan

pelaksanaan kebijakan pemberian otonomi kepada daerah.

3. Tujuan, konsepsi, asas-asas dasar, lembaga-lembaga hukum dan sistem

serta tata susunannya, dengan Hukum Tanah Nasional sebagai hukum

tanah tunggal Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengatur hak-

hak penguasaanatas semua tanah di seluruh wilayah Indonesia, dengan

semangat kebangsaan, kerakyatan, kebersamaan dan keadilan.29

Tanah bengkok dalam sistem agraria di Pulau Jawa adalah lahan garapan

milik desa, tanah bengkok tidak dapat diperjual-belikan tanpa persetujuan seluruh

warga desa namun boleh disewakan oleh mereka yang diberi hak untuk

mengelolanya. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Menteri Dalam

Negeri No. 4 tahun 2007 yang mengatur sebagai berikut:

(1) Kekayaan Desa yang berupa tanah Desa tidak diperbolehkan dilakukan

pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan

untuk kepentingan umum.

29

Chaidir Ali, Yurisprudensi Indonesia Tentang Hukum Agraria, (Bandung: Bina Cipta,

1979), hlm 22.

32

(2) Pelepasan hak kepemilikan tanah desa sebagaimana dimaksud pada

ayat 1 dilakukan setelah mendapat ganti rugi sesuai harga yang

menguntungkan desa dengan memperhatikan harga pasar dan Nilai

Jual Objek Pajak (NJOP).

(3) Penggantian ganti rugi berupa uang harus digunakan untuk membeli

tanah lain yang lebih baik dan berlokasi di Desa setempat.

(4) Pelepasan hak kepemilikan tanah desa sebagaimana dimaksud pada

ayat 1 ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.

(5) Keputusan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diterbitkan

setelah mendapat persetujuan BPD dan mendapat ijin tertulis dari

Bupati/Walikota dan Gubernur.30

E. Tanah Percaton dalam Konfigurasi Perundang-Undangan

Setelah membahas bagaimana konsepsi tanah percaton dan gambaran

tanah dalam Undang-undang Pokok Agraria, secara spesifik penulis akan

memaparkan bagaimana tanah percaton dalam konfigurasi Perundang-undangan

Indonesia.

1) UU No. 5 Tahun 1979

Sejak diberlakukannya Undang-undang No. 5 Tahun 1979

tentang Pemerintahan Desa pada 1 Desember 1979, aparat

pemerintah kelurahan baik Kepala Keluarahan, Sekretaris

Keluarahan, dan Kepala Lingkungan adalah Pegawai Negeri yang

30

Buedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, hlm 28.

33

diangkat oleh Bupati/Walikota, Kepala Daerah Tingkat II atas

nama Gubernur Daerah Tingkat I berdasarkan Pasal 24, Pasal 30,

dan Pasal 31.31

Sementara itu, yang dimaksud Desa dan Kelurahan dalam

Undang-undang tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 huruf a dan b.

Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah

penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi

pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak

menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.32

Adapun penjelasan tentang kelurahan diatur dalam Pasal 1

huruf b. Yang dimaksud kelurahan adalah suatu wilayah yang

ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi

pemerintahan terendah langsung di bawah Camat, yang tidak

berhak melaksanakan rumah tangganya sendiri.33

Dilihat dari kerangka hukum yang dibangun dalam

Undang-undang tersebut dapat dinyatakan bahwa tanah bengkok

merupakan gaji atau upah bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa

selama mereka menjabat sebagai aparat Desa. Sedangkan dilihat

dari sistem pemerintahan kelurahan, tanah bengkok bukan

31

Lihat UU No. 5 Tahun 1979.

32

Lihat UU No. 5 Tahun 1979 Pasal 1 huruf a.

33

Lihat UU No. 5 Tahun 1979 Pasal 1 huruf b.

34

merupakan upah atau gaji, namun tanah bengkok merupakan salah

satu kekayaan atau aset Pemerintah Daerah yang dikelola oleh

kelurahan. Pemasukan aparat kelurahan didapat dari gaji

pemerintah sebab mereka dianggap sebagai pegawai negeri.

2) Undang-undang No. 12 Tahun 2008

Dikeluarkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2008

tentang Perubahan kedua atas Undang-undang No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, menghapus UU No. 5 Tahun 1979

tentang Pemerintahan Desa, yang sebelumnya sudah dihapus

dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Persoalan tanah bengkok tidak dapat dilepaskan dari

otonomi keuangan daerah yang diatur dalam Pasal 155 (1) UU No.

12 Tahun2008 yang menyatakan bahwa: “Penyelenggaraan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari

(oleh) dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Hal ini diperkuat oleh Pasal 201 ayat (1) dan ayat (2).34

Konstruksi yang dibangun dalam Undang-undang ini

menyatakan bahwa kekayaan desa yang berubah menjadi

kelurahan, hak kepemilikannya berpindah kepada daerah, yang

pengelolaannya dibebankan kepada kelurahan. Termasuk dalam

34

Pasal 201 ayat (1): Pendanaan sebagai akibat perubahan status Desa menjadi keluarahan

dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/kota. Sedang ayat (2): Dalam hal desa

berubah statusnya menjadi keluarahan, kekayaan menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh

kelurahan yang besangkutan.

35

masalah ini adalah tanah bengkok/percaton. Berdasarkan aturan

ini, tanah bengkok bukan lagi menjadi penghasilan langsung

perangkat Desa.

F. Percaton Menurut Islam

Dalam sejarah pemerintahan Islam, tidak pernah ditemukan hal yang

menerangkan tentang pemberian hak pengelolaan tanah Negara untuk pejabat

pemerintah sebagai pengganti gaji untuk apresiasi atas tanggung jawab yang

mereka emban dalam menata suatu masyarakat.

Istilah tanah percaton tidak akan ditemukan dalam pelbagai literatur Islam,

baik yang berbahasa Arab maupun bahasa lainnya. Istilah tanah percaton

merupakan hasil kreasi budaya masyarakat Indonesia yang digunakan untuk

kesejahteraan pemangku desa dan aparat-aparatnya.Dalam konteks ini, mencari

terminologi tanah percaton dalam literatur Islam tidak akan ditemukan.

Dalam Islam, upah yang diberikan kepada seseorang biasanya diistilahkan

dengan ujrah. Ujrah merupakan upah yang dibayarkan kepada seseorang sebagai

kompensasi atas apa yang telah diperbuatnya. Dilihat dari perspektif ini, dapat

dikatakan bahwa pemberian tanah percaton kepada kepala desa dan aparatanya

merupakan upah atas jabatan yang diemban.

Kata ujrah, dalam bahasa Arab berasal dari kata al-Ajru yang berarti al-

‘Iwadu (ganti).35

Sedangkan definisi upah, dalam pengertian Kamus Besar Bahasa

35

Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm 203.

36

Indonesia adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalasan jasa

atau tenaga yang sudah dilakukan untuk mengerjakan sesuatu.36

Sebenarnya, kata ujrah dalam bahasa Arab lebih identik dengan upah yang

dibayarkan atas tenaga yang dikeluarkan. Sebenarnya, apabila dianalisis lebih

dalam, pemberian tanah percaton kepada kepala Desa juga termasuk dalam

kategori ujrah. Alasannya, dalam mengurusi rakyatnya, Kepala Desa tidak hanya

menggunakan pikiran, namun juga tenaga fisik. Dengan demikian, apabila melihat

dari perspektif tersebut, dapat dipahami bahwa pemberian tanah percaton kepada

kepala desa merupakan bentuk upah (ujrah) atas apa yang sudah dilakukannya.

Pengertian upah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga sejalan

dengan analisis yang penulis bangun. Upah, sebagaimana sudah dijelaskan di atas,

dimaknai sebagai uang atau apa saja yang dibayarkan atas jasa atau tenaga yang

dikeluarkan. Pembayaran upah berupa tanah percaton tersebut dilakukan atas

dasar tugas yang dibebankan padanya.

Menurut penulis, tanah percaton yang diberikan kepada Kepala Desa tidak

cocok apabila diistilahkan dengan gaji. Sebab, yang penulis pahami, yang

namanya gaji bersifat simultan. Sedangkan tanah percaton, baik pengelolaan

maupun hasilnya, dipasrahkan secara total kepada pihak yang dipasrahi (Kepala

Desa).

Namun demikian, yang harus dipahami, tanah percaton bukan menjadi hak

milik Kepala Desa.Tanah tersebut hanya dimiliki selama orang yang bersangkutan

menjabat Kepala Desa. Dengan demikian, apabila orang tersebut sudah selesai

36

Tim KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 1533.

37

mengemban masa jabatan, maka secara otomatis tanah tersebut lepas dari

kepemilikannya dan dikembalikan kepada pemerintah, untuk kemudian

diserahkan kepada pemikik yang baru.

Dilihat dari teori kepemilikan, tanah percaton masuk dalam kategori teori

kepemilikan yang tidak sempurna. Sedangkan yang dimaksud hak milik dalam

Islam adalah hubungan antara manusia dengan harta yang ditetapkan syara’,

karena adanya hubungan tersebut, ia berhak mentasharrufkan (menggunakan)

harta tersebut, selama tidak ada hal-hal yang menghalanginya.37

Menurut Wahbah Zuahaili, yang dinamakan hak milik adalah suatu

kekhususan terhadap sesuatu yang dapat mencegah orang lain untuk

menguasainya, dan memungkinkan pemiliknya untuk memberdayakannya sejak

awal kecuali ada penghalang yang menghalanginya memberdayakan sesuatu

tersebut.38

Untuk mengetahui status kepemilikan tanah percaton dalam perspektif

hukum Islam, penulis merasa perlu untuk membahas pembagian teori milik dalam

Islam. Teori milik, dalam kajian hukum Islam dibagi dua: kepemilikan sempurna

(Milk al-Tām) dan kepemilikan tidak sempurna (Milk al-Nāqis). Masing-masing

dari pembagian tersebut mempunyai arti dan konsekuensi hukum.

Teori kepemilikan sempurna (Milk al-Tām) dapat diartikan dengan hak

milik terhadap sesuatu, baik benda maupun manfaatnya secara bersamaan. Hal

senada juga disampaikan Abu Zahrah, bahwa yang disebut dengan kepemilikan

37

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm 69. 38

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, hlm 71.

38

sempurna adalah memiliki benda dan manfaatanya sekaligus.39

Disebut sempurna

sebab si pemilik mempunyai hak atas benda dan manfaatnya. Dalam jual beli

misalnya, apabila seseorang sudah membeli sebuah barang, maka secara otomatis

orang tersebut mempunyai hak atas barang dan manfaat barang yang dibelinya.

Adapun yang dimaksud teori kepemilikan tidak sempurna adalah

kepemilikan seseorang hanya kepada benda atau manfaatnya saja.40

Disebut tidak

sempurna sebab orang yang bersangkutan hanya berhak atas benda atau

manfaatnya saja. Dalam masalah sewa menyewa misalnya, seseorang yang

menyewa mobil disebut pihak yang memiliki hak kepemilikan tidak sempurna,

orang tersebut hanya berhak menikmati manfaat dari mobil tersebut, sedang

bendanya (mobil) tetap berada dalam kendali orang yang menyewakan. Teori

kepemilikan tidak sempurna mengindikasikan bahwa eksistensi suatu barang tidak

berpangku pada satu pihak, melainkan ada hubungannya dengan pihak-pihak lain.

Dari pembahasan ini, dapat dipahami bahwa tanah percaton merupakan

upah yang hak miliknya masuk dalam kategori kepemilikan yang tidak

sempurna.Kepala Desa hanya berhak mengambil manfaat dari tanah tersebut

sejauh dia masih menjabat Kepala Desa. Sedangkan bendanya (tanah percaton)

menjadi hak milik pemerintah. Jika dipahami, hak milik tidak sempurna berupa

kepemilikan atas manfaat, sama dengan teori hak pakai dalam Undang-undang

positif. Dengan demikian, Kepala Desa tidak mempunyai hak untuk menjual,

menyewakan, apalagi merubah sertifikat tanah tersebut atas namanya.

39

Wahbah ibn Muṣṭfāal-Zuhaylī,Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu,(Beirut: Dār al-Fikr,2005 ),

hlm. 58. 40

Wahbah ibn Muṣṭfāal-Zuhaylī,Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, hlm. 59.

39

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PAMEKASAN NOMOR: 240/ Pid.H/

2005/ PN.PKS. DAN PENGADILAN TINGGI SURABAYA NOMOR: 115/

PEN. MAJ /2006/ PT. SBY. TENTANG STATUS TANAH PERCATON

Pada uraian ini akan dijelaskan deskripsi secara singkat tentang status,

kewenangan, struktur organisasi dan kronologi kejadian tentang sengketa tanah

percaton. Selain karena deskripsi diatas sudah banyak dikemukakan, diketahui,

dan diakses di situs: www.pn-pamekasan.net dan www.pt-surabaya.go.id dan

juga karena yang menjadi fokus penulis adalah uraian putusan dari kedua

pengadilan dimaksud yaitu, Pengadilan Negeri Pamekasan dan Pengadilan Tinggi

Surabaya yang selanjutnya akan di hubungkan dengan perspektif hukum Islam.

A. Gambaran Umum Pengadilan:

1. Pengadilan Negeri Pamekasan

a. Profil

Pengadilan Negeri merupakan salah satu dari badan peradilan pada tingkat

pertama, yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang

Peradilan Umum yang diperbaruhi dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 2004.

Tempat kedudukan pengadilan ini berada di setiap kota atau ibukota Kabupaten.

Dengan kedudukan pada kotamadya atau ibukota Kabupaten, maka otomatis

daerah hukum Pengadilan Negeri adalah meliputi wilayah kotamadya atau

Kabupaten yang bersangkutan, dikecualikan dari ketentuan ini adalah Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat, karena daerah hukumnya selain wilayah Jakarta Pusat,

40

misalnya tindak pidana yang dilakukan di luar negeri. Dinyatakan pada Pasal 86

KUHAP bahwa:

"Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili

menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

yang berwenang mengadilinya.”

Pengadilan Negeri Pamekasan merupakan Pengadilan Negeri yang berdiri

pada jaman pendudukan Belanda kurang lebih tahun 1915, yang di bangun oleh

Pemerintah Belanda yaitu Lindgertecht yang berlokasi di jalan Pengadilan No. 04

Pamekasan.

Adapun gedung tersebut terdiri dari:

a. 2 (Dua) Ruang siding

b. 1 (Satu) Ruang untuk Ketua Pengadilan

c. 1 (Satu) Ruang untuk Wakil Ketua Pengadilan

d. Serta beberapa untuk Hakim, Karyawan dan Karyawati

Sekitar tahun 1948 kantor Pengadilan Negeri tersebut di bumi hanguskan

pada saat terjadi pertempuran dengan pemerintah Belanda, (Agresi Belanda),

gedung terbakar sehingga sebagian ruangan untuk karyawan atau ruang arsip ikut

terbakar. Kemudian gedung tersebut dibangun kembali hingga berfungsi sampai

sekarang.

Dengan berfungsinya gedung Pengadilan Negeri Pamekasan yang baru

maka gedung yang lama difungsikan sebagai arsip dan sebagian untuk perumahan

Hakim dan Karyawan Karyawati. Adapun Pengadilan Negeri Pamekasan yang

baru terletak di jalan P. Tru nojoyo Kotak Pos 48, juga ada dua gedung sidang

41

pembantu terletak di Kecamatan Pagantenan dan Kecamatan Waru Pamekasan,

masing-masing luas tanah 1450 m2, namun bangunan dalam keadaan rusak berat

ambruk.

Sedangkan wilayah kekuasaan meliputi seluruh wilayah Kabupaten

Pamekasan yang dibagi dalam beberapa Kecamatan, sebagaimana berikut;

a. Kecamatan Pamekasan

b. Kecamatan Talanakan

c. Kecamatan Pademawu

d. Kecamatan Galis

e. Kecamatan Larangan

f. Kecamatan Kadur

g. Kecamatan Pakong

h. Kecamatan Batumarmar

i. Kecamatan Waru

j. Kecamatan Pasian

k. Kecamatan Pagantenan

l. Kecamatan Palenggaan

m. Kecamatan Propo

b. Kewenangan:

Pada prinsipnya Pengadilan Negeri adalah pengadilan yang menerima,

memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara perdata dan perkara pidana

bagi warga negara yang mencari keadilan dan haknya dirampas kecuali undang-

42

undang menentukan lain (UU No. 4 tahun 2004), kemudian wewenang dari

pengadilan Negeri sendiri adalahmeliputi perkara pidana maupun perdata. Hal ini

menambah tugas yang baru diemban oleh pengadilan Negeri sebagai institusi

pemerintahan.

Pengadilan Negeri diperuntukan bagi semua pemeluk agama yang ada di

Indonesia. Karena masalahnya begitu kompleks, maka dalam peraturannya

terdapat bermacam-macam kitab undang-undang seperti kitab undang-undang

hukum acara pidana dan kitab undang-undang hukum acara perdata, dan lain-lain.

Adapun yang menjadi landasan hukum keberadaan pengadilan Negeri ini

tercantum dalam Undang–Undang No. 8 tahun 2004, yaitu:

a. Pasal 2 Undang-Undang No. 8 tahun 2004, “Pengadilan umum adalah

dalam data pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari

keadilan pada umumnya”.

b. Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 8 tahun 2004, “Kekuasaan di

lingkungan atau pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari

keadilan dengan pengadilan tinggi”.

c. Kekuasaan kehakiman di lingkungan pengadilan umum berpuncak

pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi.

43

c. Struktur Organisasi

2. Pengadilan Tinggi Surabaya

a. Profil

Sejak jaman sebelum pemerintahan hindia - belanda sudah terdapat badan

yang mengurus tentang keadilan, namun pada pemerintahan hindia - belanda,

susunan pengadilan mengalami perubahan. Perubahan itu dilakukan untuk

menyesuaikan dengan kebutuhan pemerintah Hindia - Belanda. Pada tahun 1942

muncul undang undang no 14 yang berisikan penambahan akan 2 pengadilan,

yakni : mahkamah agung dan pengadilan tinggi.

Majelis Hakim

Ketua

Wakil Ketua

Panitera/ Seketaris

Wakil Panitera Wakil sekretaris

Panitera

MudaPerdata

Panitera

Muda

Pidana

Panitera Muda

Hukum

Ka. Sub. Bag

Kepegawaian

Ka. Sub. Bag

Keuangan

Ka. Sub. Bag

Umum

Kelompok Fungsi Kepaniteraan Panitera Pengganti/ Juru

Sita/ Juru Sita

44

Pengadilan Tinggi Surabaya dipimpin oleh seorang Ketua Pengadilan

Tinggi (KPT) dan dibantu oleh beberapa petinggi lainya dalam menjalankan tugas

operasional sehari harinya. Pengadilan Tinggi Surabaya beralamatkan di

Jl.Sumatra no 42 Surabaya, Jawa Timur. Instansi ini memiliki sekitar 13 bagian

berserta subnya. Sub bagian tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi yang

berbeda. Tugas dan fungsi Pengadilan Tinggi Surabaya pada umumnya dapat

dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang

digariskan maupun petunjuk-petunjuk Pimpinan Mahkamah Agung RI.

Seiring berjalannya waktu, Pengadilan Tinggi Surabaya menjadi tenar

karena semakin banyaknya kasus baik perdata maupun pidana yang pelaku

ataupun penuntutnya dalam mengajukan banding khususnya di daerah Surabaya.

Sampai saat ini Pengadilan Tinggi Surabaya masih diberikan kepercayaan oleh

masyarakat dalam menuntaskan persoalan di bidang hukum, karena Pengadilan

Tinggi Surabaya memiliki citra yang baik di masyarakat dan mampu atau cepat

dalam menuntaskan perkara.

b. Fungsi Kewenangan

Pengadilan Tinggi Surabaya sebagaimana pengadilan Tinggi lainnya

mempunyai tiga tugas pokok yaitu, menerima, memeriksa dan memutuskan

perkara banding yang masuk. Sedangkan fungsinya adalah melakukan urusan

administrasi kesekretariatan berupa urusan kepegawaian, keuangan dan tata

laksana. Disamping itu juga mengurus administrasi kepaniteraan berupa urusan

kepaniteraan perdata, pidana dan hukum, menyiapkan program dan evaluasi,

melakukan hubungan masyarakat, melakukan pengawasan dan pemeriksaan

45

terhadap satuan kerja/jajarannya di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Surabaya.

Pengadilan Tinggi juga melakukan pembinaan ketatalaksanaan dan sarana serta

pembinaan teknis pengadilan. Hal tersebut didukung oleh surat edaran Ketua

Mahkamah Agung R.I. Nomor : 144 Tahun 2007 dan disempurnakan oleh Surat

Edaran Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor : 1-144 Tahun 2011.

c. Struktur Organisasi

Wakil Sekretaris

Kepaniteraan

Pidsus

Tipikor

Majelis Hakim

Ketua

Wakil Ketua

Panitera dan Seketaris

Wakil Panitera

Sub. Bag.

keuangan

Sub. Bag.

Kepegawaian

Sub. Bag.

Umum

Kepaniteraan

Hukum

Kepaniteraan

Pidata

Kepaniteraan

Perdana

Para Pejabat

Fungional

46

B. Duduk Perkara Putusan

1. Tentang Para Pihak

Terdakwa dalam perkara ini adalah MOH.BAIDAWI, Umur 59 Tahun,

Alamat tempat tinggal Desa Bujur Tengah, Kecamatan Batumarmar Kabupaten

Pamekasan, Pekerjaan Tani ( Mantan Kepala Desa ).1

Penuntut dalam masalah adalah Jaksa Penuntut Umum, yang mana telah

mengajukan tuntunanya pada tanggal 20 Maret 2006. Yang mana Penuntut Umum

berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan

suatu tindak pidana dalam daerah hukumya dengan melimpahkan perkara ke

Pengadialan yan berweanang mengadili.2

Dalam kasus ini korban adalah masyarakat Bujur Tengah Kecamatan Batu

Marmar Kabupaten Pamekasan yang dirugikan secara materiil. Karena setalah

dikabulkannya permohonan tukar guling tanah kas desa Bujur Tengah dengan

tanah milik terdakwa yang didasarkan pada adanya salah satu surat yang

dipalsukan (Risalah Rapat Desa/daftar hadir rapat desa 9 Maret 1998), maka di

sini ada orang yang secara materiil telah dirugikan yaitu P. Juminten karena ada

tanahnya yang dijariyahkan kepada Kyai Usman oleh terdakwa ditukar dengan

tanah kas desa, padahal tanah tersebut oleh P. Juminten telah dijariyahkan kepada

Kyai Usman untuk kepentingan umum bukan untuk ditukar dengan tanah kas

desa.

1 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan Nomor: 240/Pid. H/2005/PN. Pks, hlm. 1.

2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 137.

47

2. Kasus Posisi

Pada tanggal 9 Maret 1998 bertempat di Desa Bujur Tengah, Terdakwa

yang pada waktu itu menjabat sebagai Kades Bujur Tengah bermaksud hendak

melakukan tukar menukar tanah miliknya dengan tanah Kas Desa Bujur Tengah

dan sebagai salah satu persyaratan untuk mengajukan permohonan tukar menukar

tanah Kas Desa, maka terdakwa mengadakan rapat LMD dengan dihadiri oleh

para pamong Desa Bujur Tengah dan tokoh masyarakat Desa Bujur Tengah guna

membahas atau memproses tentang tukar menukar tanah Kas Desa Bujur Tengah

dengan tanah hak milik pribadi terdakwa. Dalam rapat tersebut telah dibuatkan

daftar hadir yang ditandatangani oleh peserta rapat serta dibuatkan risalah rapat

untuk persyaratan mengajukan permohonan tukar menukar tanah Kas Desa

tersebut, yang menjadi masalah dalam rapat tersebut ada dua orang yang

berhalangan hadir, namun namanya tercantum atau terdaftar dalam daftar hadir

yaitu H.Ahdurrahman (sakit) dan P. Sartila ( meninggal dunia tahun 1993 ), dan

terdakwa menandatangani dua orang yang tidak hadir tersebut. Setelah daftar

hadir ditanda tangani semua, selanutnya terdakwa mempergunakan surat tersebut

sebagai salah satu persyaratan untuk mengajukan permohonan tukar menukar

tanah milik pribadi terdakwa dengan tanah Kas Desa Bujur Tengah, kepada

Bupati Kepala Daerah TK.I1 Pamekasan melalui Camat Batumarmar, kemudian

oleh Bupati permohonan tukar menukar tanah Kas Desa diteruskan kepada

Gubernur Jawa Timur untuk memperoleh persetujan, selanjutnya Gubernur

48

Kepala Daerah TK.I Jawa Timur mengabulkan dan menyetujui permohonan tukar

menukar tanah Kas Desa tersebut.3

Dalam hal ini perbuatan tersangka, telah melanggar Perbuatan terdakwa

diatur dan diancam pidana dalam pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP4:

“ Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat

menimbulkan suatu hak perikatan atau pembebasan hutang atau yang

diperuntukkan sebagai bukti daridpada suatu hal dengan maksud untuk memakai

atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut, seolah olah isinya benar dan

tidak palsu, diancam jika pemakain tersebut menimbulkan kerugian, karena

pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.” KUHP pasal

263 ayat 1.

“ Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja

memakai surat palsu atau di palsukan, seolah olah sejati, jika pemakaian surat itu

dapat menimbulkan kerugian.” KUHP pasal 263 ayat 2.

Dengan perbuatan tersangka tersebut, Jaksa Penuntut Umum memberikan

dua dakwaan, yaitu sebagai berikut:

1. Memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau

pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu

hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai

surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.

2. Sengaja memakai surat yang isinya tidak benar, palsu atau seolah-olah

benar dan tidak dipalsu.

3. Mendatangkan kerugian.

Dalam proses persidangan terdakwa telah membenarkan identitas yang ada

dalam surat dakwaan dan selama pemeriksaan. Terdakwa dapat menjawab segala

pertanyaan yang diajukan kepadanya serta pula tidak diketemukan alasan

3 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan, hlm. 3.

4 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan, hlm. 4-5.

49

pembenar maupun pemaaf terhadap perbuatan yang dilakukannya sehingga

terdakwa dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya di depan hukum.

Dengan demikian unsur kesatu telah terbukti dan terpenuhi secara sah menurut

hukum.5

Berdasarkan fakta hukum di atas walaupun terdakwa sudah mengetahui

tanda tangan P. Sartila dan Abdurrahman ada yang memalsu dalam daftar hadir

rapat desa, tetapi daftar hadir rapat desa (Risalah Rapat Desa) yang merupakan

salah satu syarat tukar guling tanah kas desa dengan tanah terdakwa tetap

dilampirkan sebagai kelengkapan syarat permohonan tukar guling oleh terdakwa.

Dengan demikin sebenamya terdakwa sejak dari awal sudah mengetahui bahwa

tanda tangan P. Sartila dan Abdurrahman yang ada di daftar hadir rapat desa palsu

tetapi oleh terdakwa tetap dilampirkan sebagai salah satu syarat kelengkapan

permohonan tukar guling yang diajukan terdakwa. Sedangkan yang dimaksud

sengaja adalah orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa

surat yang ia gunakan itu palsu. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka unsur

kedua juga telah terbukti dan terpenuhi secara sah menurut hukum.6

Mengenai dakwaan Penentut Umum, dapat mendatangkan kerugian, yang

dimaksud disini menurut penjelasan pasal 263 KUHP karangan R. Soesilo adalah

tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya

kerugian itu sudah cukup dan yang diartikan kerugian disini tidak saja hanya

meliputi kerugian materiil akan tetapi juga kerugian dilapangan kemasyarakatan,

5 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan, hlm.13.

6 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan, hlm.15.

50

kesusilaan, kehormatan dan sebagainya, maka unsur ketiga juga telah terbukti dan

terpenuhi secara sah menurut hukum.7

Dengan terbuktinya tersangka melakukan kejahatan di atas, maka Jaksa

Penuntut Umum pada tanggal 20 Maret 2006 telah mengajukan tuntutannya yang

pada pokoknya memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pamekasan

yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar memberi putusan sebagai berikut:8

1. Menyatakan terdakwa MOH. BAIDAWl telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam pasal 263 ayat (2) KUHP sebagaimana dalam

dakwaaan kedua.

2. Menjatuhkan pidanan terhadap terdakwa. MOH. BAIDAWl dengan

pidanan penjara selama 1 (satu) tahun dengan perintah agar terdakwa

ditahan.

3. Menyatakan barang bukti berupa berkas surat permohonan pengajuan

tukar menukar tanah kas desa Bujur Tengah kepada Bupati Pamekasan

beserta lampirannya dikembalikan kepada pemiliknya dan khusus

untuk barang bukti berupa daftar hadir Rapat Lembaga Musyawarah

Deas (LMD) tertanggal 9 Maret 1998 dirampas untuk dimusnahkan.

4. Menetapkan agar terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp.1.000,-

(seribu rupiah).

7 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan, hlm.15-16.

8 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan, hlm.1-2.

51

3. Amar Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan

Setelah mendengerkan dakwaan dan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum,

maka Majelis Hakim memutuskan bahwa terdakwa MOH. BAIDAWl telah

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ' SENGAJA

MENGGUNAKAN SURAT PALSU ", dan menghukum terdakwa dengan pidana

penjara selama 6 (Enam) bulan dan Membebankan biaya perkara kepada terdakwa

sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah), dan menyerahakan barang bukti berupa berkas

surat permohonan pengajuan tukar menukar tanah kas desa Bujur Tengah kepada

Bupati Pamekasan beserta lampirannya dikembalikan kepada Pemerintah Daerah

Kabupaten Pamekasan.9

4. Banding

Banding merupakan jalan selanjutnya apabila dari salah satu pihak baik itu

terdakwa maupun penggugat keberatan atas sautu putusan pengadilan Yang mana

permintaan banding dapat diajukan ke Pengadialn. Tinggi oleh terdakwa atau

Penuntut Umum.10

Pada bulan april 2006 Jaksa Penentut Umum dan Terdakwa sama-sama

melakukan banding, lantaran kurang puas atas putusan Pengadilan Negeri

Pamekasan. Aide permintaan banding yang diajukan oleh Terdakwa dan Jaksa

Penuntut Umum tertanggal 17 April 2006 serta telah diberitahukan kepada

Terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 17 April 2006.

9 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan, hlm.17.

10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 233 ayat 1.

52

Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 24 April 2006 dan telah diberitahukan

kepada Terdakwa pada tanggal 27 April 200611

, melakukan memori banding yang

secara singkat bahwa hukum yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Pamekasan dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan, dirasa sangat

ringan dan tidak menyantuh pota rasa keadilan yang ada dalam masyarakat,

sehingga penjatuhan pidana teraebut bagi terdakwa tidaklah berakibat jera, serta

tidak menjadikan daya tangkal terhadap para pelaku kejahatan pada umumnya

dimasa yang akan datang. Jaksa Penentut Umum meminta kepada Pengadilan

Negeri Pamekasan teraebut untuk diperbaiki tentang beratnya pidana yang

dijatuhkan kepada terdakwa, menjadi 1 (satu) tahun.12

Terdakwa dan Penasehat Hukumnya pada tanggal pada tanggal 27 April

2006 dan telah diberitahukan kepada Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 1 Mei

200613

, untuk melakukan banding Memori banding Terdakwa secara singkat

menggambarkan tentang keberatannya atas putusan Pengadilan Negeri Pamekasan

tertanggal 17 April 2006 No 240/Pid B/2005/PN Pka yang dibuat tanggal 27 April

2006, dimana manyatakan bahwa putuaan Pengadilan Negeri Pamekasan tidak

malakasanakan hukurn acara yang benar, tidak cermat dalam menanggapi

dakwaan dari Jakasa Penuntut Umum.14

11

Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor:115/PEN.MAJ/2006/PT.Sby, hlm. 5. 12

Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, hlm. 8. 13

Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, hlm. 5. 14

Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, hlm. 7.

53

5. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya

Setelah Majlis Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya melakukan

pertimbangan-pertimbangan yang sangat mendalam, maka Pengadilan Tinggi

Surabaya memutuskan, bahwa putusan Pengadilan Negeri Pamekasan tertanggal

17 April 2006 No. 240/Pid.B/2005/PN Pks tidak dapat dipertahankan lagi dan

harus dibaulkan dan membebaskan terdakwa, berdsarkan pasal 97 ayat (1) dan

ayat (2) KUHAP.15

Kemudian Pengadilan Tinggi Surabaya mengadili sendiri, sebagaimana

berikut:

Menyatakan terdakwa MOH BAIDAWI tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana didakwakan

Jaksa Penuntut Umum. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan

tersebut. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat

serta martabatnya. Membebankan biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan

kepada negara. Menetapkan agar barang bukti berupa berkas surat permohonan

pengajuan tukar menukar tanah kas desa Bujur Tengah kepada Bupati Pamekasan

beserta lampirannya dikembalikan kepada pemiliknya dan khususs untuk bukli

berupa daftar hadir Rapat Lembaga Musyawarah Desa (LMD) tertanggal 9Maret

1998 diambil untuk dimusnahkan.16

15

Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, hlm. 12. 16

Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, hlm. 12.

54

BAB IV

ANALISA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PAMEKASAN DAN

PENGADILAN TINGGI SURABAYA SERTA RESOLUSI KONFLIK

TANAH PERCATON MENURUT HUKUM ISLAM.

A. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan Nomor: 240/Pid.

H/2005/PN. Pks.

1. Pertimbangan Dan Putusan Majelis Hakim1

Setelah mengetahui duduk perkara masing-masing Putusan Pengadilan

yang telah dibahas pada bab sebelumnya, maka sampailah terhadapa analisis

Putusan, yang mana setiap Putusan Pengadilan harus ada pertimbangan-

pertimbangan (ratio decidendi)2 Majelis Hakim yang melatar belakangi suatu

Putusan tersebut.

Adapun pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Pamekasan dalam memutuskan perkara ini sebagai berikut:

1. Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Jaksa Penentut umum yaitu

dengan bentuk dakwaan alternatif, yang pertama melanggar pasal 263

ayat (1) KUHP, yang ke dua melanggar pasal 263 ayat (2) KUHP.

2. Majelis Hakim melihat bentuk dakwaan yang diajukan jaksa Penuntut

Umum, maka disini Majelis Hakim dalam melakukan pembuktian

1 Putusan Pengadilan Negeri Pamekaan Nomor: 240/Pid. H/2005/PN. Pks, hlm. 13-17.

2 Ratio decidendi, yaitu pertimbangan-pertimbangan yang menjadi landasan utama untuk

dihasilkannya suatu putusan. Lihat Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 293.

55

dapat memilih salah satu dari dakwaan tersebut, dengan berpedoman

pada fakta yang terungkap dalam persidangan.

3. Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan Majelis hakim akan

membuktikan dakwaan yang kedua yaitu melanggar pasai 263 (2)

KUHP dengan unsur-unsur sebagai berikut:

a) Barang siapa

1. Adapaun yang dimaksud barang siapa adalah subyek pelaku tindak

pidana yang ditujukan pada seseorang yang dapat dipertanggung

jawabkan secara hukum.

2. Terdakwa dipersidangan telah membenarkan identitas yang ada dalam

surat dakwaan dan selama pemeriksaan. Terdakwa dapat menjawab

segala pertanyaan yang diajukan kepadanya serta pula tidak

diketemukan alasan pembenar maupun pemaaf terhadap perbuatan

yang dilakukannya sehingga terdakwa dapat mempertanggung

jawabkan perbuatannya di depan hukum.

3. Dengan demikian unsur kesatu telah terbukti dan terpenuhi secara sah

menurut hukum.

b) Sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-

olah surat itu asli dan tidak dipalsukan

1. Adapun yang dimaksud surat berdasarkan penjelasan pasal 263 KUHP

karangan R. Soesilo adalah segala surat baik yang ditulis dengan

tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin ketik dan lain-lainnya.

56

2. Sedangkan yang dimaksud sengaja adalah orang yang menggunakan

itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu

palsu.

3. Berdasarkan hasil pemeriksaan dipersidangan dapat diambil fakta

hukum sebagai berikut:

a. Pada tahun 1998 terdakwa yang waktu itu sebagai Kepala Desa

Bujur Tengah telah mengajukan permohonan tukar guling tanah

kas desa dengan tanah miliknya kepada Bupati Pamekasan melalui

Camat Batumarmar.

b. Salah satu persyaratan tukar guling salah satunya harus ada surat

risalah rapat desa yang dihadiri oleh anggota LMD, tokoh

masyarakat, perangkat desa dan Pamong dalam rangka membuat

surat keputusan desa yang juga merupakan syarat tukar guling.

c. Dalam membuat surat risalah rapat desa, terdakwa selaku Kepala

Desa mengundang rapat di Balai Desa Bujur Tengah kepada para

Pamong, perangkat Desa, anggota LMD dan tokoh masyarakat

guna membicarakn masalah tukar guling tanah kas desa dengan

tanah milik terdakwa pada tahun 1998.

d. Adapun untuk mengetahui siapa-siapa yang hadir dalam rapat

tersebut, dibuatlah daftar hadir rapat dimana terhadap yang hadir

membubuhkan tanda tangan.

e. Bersumber dari keterangan para saksi-saksi antara lain saksi

Busirin, Patha dan Limuna dipersidangan menyatakan tidak pernah

57

hadir rapat desa yang diadakar di Balai Desa tahun 1998 yang

membicarakan tukar guling dan juga tidak pernah tanda tangan di

daftar hadir walaupun keterangan para saksi tersebut diata dibantah

juga oleh saksi Mukri, H.Usman, Al Walid,SH, Tangken maupu

terdakwa bahwa saksi Busirin, Patha dan Limuna hadir dalam rapat

tersebut.

f. Terlepas dari keterangan para saksi-saksi tersebut di atas maupu

keterangan terdakwa ada lagi orang lain yang tidak hadir dalam

rapat desa tersebut tapi ada tanda tangannya di daftar hadir yaitu P.

Sartila di Abdurrahman dimana waktu itu P.Sartila sudah

meninggal dunia tahun 1993 sedangkan Abdurrahman sakit cuma

tidak diketahui siapa yang memalsukan tarnda tangan tersebut.

g. Ketidak hadiran P. Sartila dan Abdurnunan dibenarkan oleh saksi

Busirin, Patha. Limuna, Mukri, H.Usman, Tangkcn, Tahir. Al

Walid maupun terdakwa sendiri.

4. Berdasarkan fakta-fakta hukum di atas walaupun terdakwa sudah

mengetahui tanda tangan P. Sartila dan Abdurrahman ada yang

memalsukan dalam daftar hadir rapat desa, tetapi daftar hadir rapat

desa ( Risalah Rapat Desa) yang merupakan salah satu syarat tukar

guling tanah kas desa dengan tanah terdakwa tetap dilampirkan

sebagai kelengkapan syarat permohonan tukar guling oleh terdakwa.

5. Dengan demikin sebenamya terdakwa sejak dari awal sudah

mengetahui bahwa tanda tangan P. Sartila dan Abdurrahman yang ada

58

di daftar hadir rapat desa adalah palsu, tetapi oleh terdakwa tetap

dilampirkan sebagai salah satu syarat kelengkapan permohonan tukar

guling yang diajukan terdakwa.

6. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka unsur kedua juga telah

terbukti dan terpenuhi secara sah menurut hukum.

c) Dapat mendatangkan kerugian

1. Adapun yang dimaksud disini menurut penjelasan pasal 263 KUHP

karangan R. Soesilo adalah tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah

ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup dan

yang diartikan kerugian disini tidak saja hanya meliputi kerugian

materiil akan tetapi juga kerugian dilapangan kemasyarakatan,

kesusilaan, kehormatan dan sebagainya.

2. Berdasarkan pemeriksaan di persidangan dapat diambil fakta hukum

sebaigai berikut:

a. Pada tahun 1998 terdakwa telah mengajukan permohonan tukar

guling tanah kas desa Bujur Tengah dengan tanah milik terdakwa

kepada Bupati Pamekasan melalui Camat.

b. Berdasarkan pengajuan tersebut, terbitlah SK Gubernur Jawa

Timur tertanggal 31 Maret 1999 No. 143/3089/013/1999 yang

isinya mengesahkan permohonan tukar guling yang diajukan H.

Ach. Baidawi.

c. Tanah terdakwa yang ditukar guling tersebut diantaranya sudah

ada bangunan sekolahannya yaitu SDN Bujur Tengah I, II dan III

59

dimana untuk yang SDN Bujur Tengah II terdakwa peroleh dari

Kyai Usman yang katanya beli akan tetapi di persidangan

terdakwa tidak bisa menunjukan bukti adanva jual beli padahal

tanah tersebut asalnya milik P. Juminten yang dijariyahkan kepada

Kyai Usman dan hal itu sebelumnya sudah diketahui oleh

terdakwa, sedangkan Mengenai bukti T-l, dan T-2 dari terdakwa

oleh karena dari kedua surat bukti tersebut dalam kolom sebab dan

tanggal perubahan tidak ada kesinkronan sehingga tidak perlu

dipertimbangkan.

d. Dengan dikabulkannya permohonan tukar guling tanah kas desa

Bujur Tengah dengan tanah milik terdakwa yang didasarkan pada

adanya salah satu surat yang dipalsu (Risalah Rapat Desa/daftar

hadir rapat desa 9 Maret 1998), maka disini ada orang yang secara

materiil telah dirugikan yaitu P. Juminten karena ada tanahnya

yang dijariyahkan kepada Kyai Usman oleh terdakwa ditukar

dengan tanah kas desa, padahal tanah tersebut oleh P. Juminten

telah dijariyahkan kepada Kyai Usman untuk kepentingan umum

bukan untuk ditukar dengan tanah kas desa dan selain itu dengan

adanya pemalsuan tanda tangan P. Sartila dan Abdurrahman dalam

daftar hadir rapat desa secara tidak langsung keluarga P. Sartila

maupun keluarga Abdurrahman di lapangan kemasyarakatan telah

dirugikan karena masyarakat desa Bujur Tengah akan

menganggap kedua orang tersebut telah menyetujui adanya tukar

60

guling tersebut, padahal jika sejak awal diketahui ada surat palsu

yang dilampirkan sebagai salah satu syarat tukar guling, maka

permohonan tukar guling tersebut tidak akan dikabulkan sehingga

baik P. Juminten maupun P. Sartila dan Abdurrahman tidak akan

mengalami kerugian sebagaimana tersebut di atas.

3. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka unsur ketiga juga

telah terbukti dan terpenuhi secara sah menurut hukum.

4. Dengan telah terbuktinya semua unsur dari dakwaan kedua, maka

Majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sengaja

menggunakan surat palsu.

5. Maka dari itu dengan terbuktinya dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum

tersebut di atas serta tidak ditemukannya alasan pembenar maupun

pemaaf yang bisa menghapuskan perbuatan terdakwa saat terdakwa

melakukan perbuatannya, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah

dan dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya serta terdakwa

dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.

6. Oleh karena itu terdakwa dinyatakan bersalah, maka harus pula

dibebani untuk membanyar biaya perkara.

7. Mengenai barang bukti berupa berkas surat permohonan pengajuan

tukar menukar tanah kas Desa bujur Tengah kepada bupati kepala

Daerah TK.II Kabupaten Pamekasan beserta lampirannya, karena

61

disita dari Pemda Kabupaten Pamekasan, maka dikembalikan ke

Pemda Kabupaten Pamekasan.

8. Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan Putusan terlebih dahulu akan

dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan.

Hal-hal yang memberatkan:

1. Perbuatan terdakwa merugikan kepentingan Umum.

Hal-hal yang meringankan:

1. Terdakwa mengaku terus terang perbuatannya.

2. Terdakwa bersikap sopan di persidangan.

3. Terdakwa belum pernah dihukum.

4. Terdakwa mempunyai tanggung jawab keluarga dan menyesali

perbuatannya.

Mengingat dan memperhatikan pasal 263 (2) KUHP, serta peraturan

perundang-undangan yang berkaitan:

MENGADILI

1. Menyatakan terdakwa MOH. BAIDAWl telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana 'SENGAJA

MENGGUNAKAN SURATPALSU ".

2. Menghukum terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 6 (Enam)

bulan.

3. Menyatakan barang bukti berupa berkas surat permohonan pengajuan tukar

menukar tanah kas desa Bujur Tengah kepada Bupati Pamekasan beserta

62

lampirannya dikembalikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten

Pamekasan.

4. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1.000,- (seribu

rupiah).

2. Analisa Putusan

Setelah melihat hasil putusan Majelis Hakim tersebut di atas, dengan

demikian Pengadilan Negeri Pamekasan telah memilih salah satu dari tiga jenis

putusan yang dikenal dalam hukum acara pidana sebagai berikut:3

1. Putusan Pemidanaan.

2. Putusan Pembebasan.

3. Putusan Pelepasan.

Putusan yang diambil oleh Pengadilan Negeri Pamekasan merupakan

putusan pemidanaan. Putusan pemidanaan adalah putusan Pengadilan yang

dijatuhkan kepada terdakwa karena dari hasil pemeriksaan sidang kesalahan

terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya.4

Pengadilan Negeri Pamekasan telah menjatuhkan putusan pemidanaan

kepada terdakwa. Hal ini berarti Pengadilan Negeri Pamekasan menilai bahwa

terdakwa terbukti bersalah atas perbuatan yang didakwakan kepadanya. Terdakwa

MOH. BAIDAWl berdasarkan barang bukti serta keterangan dari saksi-saksi,

bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat tukar menukar

tanah kas Desa Bujur.

3 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.

285. 4 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 86

63

Dalam hal penjatuhan pemidanaan terhadap terdakwa, putusan Pengadilan

Negeri Pamekasan tersebut di atas menggunakan alat bukti dan keterangan saksi

atau sejenisnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan

keyakinan Hakim tentang kesalahan terdakwa harus berdasarkan minimal dua alat

bukti yang sah.

Dalam Pasal 183 KUHAP dinyatakan:

"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya"

Penulis memandang Pengadilan Negeri Pamekasan, juga sudah memenuhi

unsur-unsur syarat untuk adanya suatu pertanggung jawaban pidana, yang mana

harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:5

a. Harus ada tingkah laku yang dapat dipidana.

b. Perbuatan yang dapat dipidana itu harus bertentangan dengan hukum.

c. Harus ada kesalahan dari pelaku.

d. Akibat konstitutif.

e. Keadaan yang menyertai.

f. Syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana.

Sebelum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pamekasan menjatuhkan

putusan terhadap terdakwa MOH.BAIDAWl yang telah melakukan tindak pidana

pemalsuan surat, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pamekasan terlebih dahulu

mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan dan memperberat terdakwa,

5 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum pidana I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),

hlm. 81-82.

64

hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman Bab. IV Hakim dan kewajibannya dalam Pasal 28

ayat (2) juga menyebutkan "Dalam mempertimbangakan berat ringannya pidana,

Hakim wajib mempertimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa"

Dengan demikian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pamekasan

memtuskan meringankan hukuman bagi terdakwa, karena sifat-sifat yang baik

maupun yang jahat dari terdakwa wajib diperhatikan hakim dalam

mempertimbangkan sanksi pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan

pribadi seseorang perlu juga diperhatikan untuk memberikan pidana yang sesuai

dengan keadaan terdakwa.

Menurut hemat penulis, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pamekasan di

dalam memberikan hukuman kepada terdakwa sudah secara matang

memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan

masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-

undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya.

Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah, terdakwa harus

tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan

mendapat hukuman (persumtion of innocent) atau sekalipun ia bersalah ia tidak

mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality

before the law).6

Berdasarkan uraian di atas, menurut penulis putusan pengadilan Negeri

Pamekasan dalam menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa MOH. BAIDAWI

6 Luhut MP Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh

Advocat, (Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 3-4.

65

sudah sangat tepat dan mendasar, karena sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

B. Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomorr: 115/ PEN.MAJ

/2006/PT.Sby.

1. Pertimbangan Dan Putusan Majelis Hakim7

Adapun pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi

Surabaya dalam memutuskan perkara ini sebagai berikut:

1. Setelah membaca dan memperhatikan bentuk dakwaan dan Jaksa

Penuntut Umum yang menjadi dasar pemeriksaan perkara ini oleh

Majelis Pengadilan Negeri Pamekasan, maka Majelis Hakim

Pengadilan Tinggi sependapat dengan pandangan Majelis Hakim

Tingkat Pertama dalam hal melakukan pilihan diantara dakwaan kesatu

dan dakwaan kedua namun pertimbangan hukum yang

dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama, oleh Majelis

Hakim Pengadilan Tinggi tidaklah sependapat dengan alasan -alasan

sebagai berikut:

a. Adapun dakwaan kedua adalah melanggar pasal 263 ayat (2)

KUHP dengan unsur - unsur sebagai berikut:

1. Barang siapa.

2. Sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah

surat-surat itu asli dan tidak dipalsukan.

3. Dapat mendatangkan kerugian.

7 Putusan Pengadilan Tingi Surabaya Nomor:115/PEN.MAJ/2006/PT.Sby, hlm. 9-13.

66

b. Dari ketiga unsur tersebut Majelis Pengadilan Tinggi akan menilai

lebih dahulu unsur kedua, karena pada unsur pertama telah jelas

terdakwa yang dihadapkan pada pemeriksaan perkara ini sebagai

terdakwa, hanya dalam hal pembuktian perbuatannya akan

ditentukan oleh unsur kedua, apakah benar terdakwa dengan

sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah

surat itu asli dan tidak dipalsukan.

c. Pasal 263 ayat (2) KUHP mengandung unsur maksud atau niat

untuk melakukan perbuatan pidana, Majelis Hakim Tingkat

Pertama tidak menyadari akan hal ini.

d. Sejumlah 16 orang peserta rapat yang di adakan tanggal 9 Maret

1998 dan dihadiri oleh Perangkat Desa, LKMD serta tokoh

masyarakat desa Bujur Tengah Kecamatan Batu Marmar

Kabupaten Daerah Tingkat II Pamekasan yang dipimpin langsung

oleh camat Batu Manmar dan telah menghasilkan keputusan desa

Bujur Tengah Kecamatan Batu Marmar No.01 Tahun 1998 tentang

tukar menukar tanah Kas Desa Bujur Tengah dengan tanah milik

Sdr. Moh. Baidawi.

e. Rapat desa yang diadakan tanggal 9 Maret 1998, sebagai syarat

dibuatkan daftar hadir yang ditandatangani olah peserta rapat, hal

itu telah terpenuhi dimana daftar hadir tarsebut ditandatargani otah

peserta rapat yang barjumlah 16 orang tersebut, yang disodorkan

oleh PATHA Carik Desa Bujur Tengah, selanjutnya dibuatlah

67

risalah rapat sebagai salah satu persyaratan dalam pengajuan tukar

menukar tanah antara tanah kas dasa dengan tanah terdakwa.

f. Pada saat rapat diadakan dari 16 orang peserta ada 2 orang yang

tidak hadir yaitu saudara Abdurrachman karena pada saat itu sakit

dan saudara P. Sartila karena telah meninggal dunia sebelumnya,

tetapi pada daftar hadir tersebut terdapat tanda tangan mereka dan

bagi saudara P. Sartila pada saat rapat ini tidak hadir, namun

diwakili oleh anak menantunya bemama Tahir.

2. Dakwaan pasal 263 ayat (2) KUHP bunyinya: Barang siapa dengan

sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah

tidak dipalsukan.

3. Pertanyaan dari pasal tersebut apakah benar terdakwa H. ACH.

BAIDAWI dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang

dipalsukan seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan untuk

persyaratan tukar menukar tanah milik kas desa Bujur dengan tanah

miliknya ?

4. Berdasarkan dari hasil pemeriksaan dalam persidangan, saksi-saksi

yang dihadapkan tidak satupun yang menerangkan tentang siapa yang

memalsukan tanda tangan dari H. Abdurrachman tersebut, bahkan

terdakwapun tidak mengetahui tentang adanya pemalsuan tanda tangan

dari sudara H. Abdurrachman dalam daftar hadir, nantinya terdakwa

benar mengetahuinya tentang adanya pemalsuan tanda tangan tersebut

setelah terdakwa diperiksa dalam perkara pidana ini, sehingga pada

68

waktu pengajuan berkas permohonan tukar menukar tersebut, belum

diketahui oleh terdakwa kalau ada pemalsuan tanda tangan dalam

daftar hadir itu, karena bukan terdakwa yang mengedarkan daftar hadir

itu kepada peserta rapat untuk penandatanganannya. Terdakwa hanya

menerima saja rampungnya seluruh hasil kegiatan rapat beserta dengan

daftar hadir yang sudah ditandatangani oleh peserta rapat. Kemudian

hasil dari seluruh kegiatan tersebut termasuk daftar hadir, risalah rapat,

keputusan Desa Bujur Tengah Kecamatan Batu Marmar No. 1 Tahun

1998 yang telah disahkan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II

Pamekasan pada tanggal 29 April 1999 no.206 tahun 1999.

5. Permohonan tukar menukar tersebut telah terbit pula persetujuan

pengesahan keputusan Desa Bujur Tengah Kecamatan Batu Marmar,

pada tanggal 31 Maret 1999 No 143/3089/013/1999 dan akhirnya

pelaksanaan tukar manukar itupun dilakukan dengan baik.

6. Dalam unsur dengan sengaja menggunakan surat palsu dst. Bahwa

unsur maksud atau niat untuk melakukan perbuatan pidana mempunyai

peranan dalam menentukan apakah benar terdakwa menggunakan surat

palsu ?

7. Mengenai niat atau maksud yang harus dibuktikan apabila hendak

mempersalahkan seseorang terdakwa melanggar pasal 263 ayat (2)

KUHP itu menurut pendapat Majelis Pengadilan Tinggi haruslah

dibuktikan bahwa adanya niat terdakwa untuk memperoleh hasil

maksud dari tukar menukar tanah kas desa Bujur Tengah dengan tanah

69

milik terdakwa yang dalam pertimbangan Majelis Hakim Tingkat

Pertama halaman 15 dengan kalimat 'Walaupun terdakwa sudah

mengetahui tanda tangan P. Sartila dan Abdurrachman ada yang

memalsukan dalam daftar hadir rapat desa, tapi daftar hadir rapat desa

yang merupakan salah satu syarat tukar guling tanah kas desa dengan

tanah terdakwa tetap dilampirkan sebagai kelengkapan syarat

permohonan tukar guling dengan terdakwa.

8. Dengan kesimpulan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi, bahwa seluruh

saksi-saksi dan terdakwa sendiri tidak mengetahui siapa orangnya

yang memalsukan tanda tangan dari H. Abdurrachman dan P. Sartila

pada daftar hadir tersebut dan pula yang bertugas melakukan atau

mengedarkan tanda tangan daftar hadir bukanlah terdakwa, melainkan

saudara PATHA selaku Carik, menurut Majelis Pengadilan Tinggi

bukanlah merupakan pembuktian salah satu unsur dari pasal dakwaan

Jaksa Penuntut Umum tersebut.

9. Dengan demikian niat atau maksud terdakwa dengan sengaja

menggunakan daftar hadir sebagai salah satu syarat untuk tukar guling

tanah kas desa dengan tanah terdakwa hingga terpenuhilah syarat-

syarat daripada tukar menukar tanah tersebut, adalah tidak benar,

karena terdakwa tidak mengetahui adanya pemalsuan tanda tangan H.

Abdurrachman dan P. Sartila pada daftar hadir tersebut.

10. Pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Majelis Pengadilan Tinggi

berkesimpulan bahwa unsur niat atau maksud sengaja menggunakan

70

surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah surat itu asli dan tidak

dipalsukan, adalah tidak dapat dibuktikan sscara sah dan meyakinkan

dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu dakwaan kedua.

11. Berdasarkan atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas

maka putusan Pengadilan Negeri Pamekasan tertanggal 17 April 2006

No. 240/Pid.B/2005/PN Pks tidak dapat dipertahankan lagi dan harus

dibaUlkan dan Pengadilan Tinggi akan mengadili sendiri perkara ini

dengan amarnya sebagaimana disebutkan di bawah nanti.

12. Berdasarkan bunyi pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP oleh karena

terdakwa dibebaskan dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum maka hak

terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya

haruslah dipulihkan kembali.

13. Oleh karena itu terdakwa dibebaskan, maka segala biaya yang timbul

dalam kedua tingkat peradilan dibebankan kepada negara.

Mengingat pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, dan ketentuan hukum

yang bersangkutan:

MENGADILI

Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat

Hukum Terdakwa.

Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pamekasan tanggal 17 April

2006 No. 240/PidB/2006/PN. Pks yang dimintakan banding tersebut:

71

MENGADILI SENDIRI

1. Menyatakan terdakwa H. Ach. Baidawi al. MOH BAIDAWI tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan

pidana sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum tersebut.

2. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan tersebut.

3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat

serta martabatnya.

4. Membebankan biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan kepada

negara.

5. Menetapkan agar barang bukti berupa berkas surat permohonan

pengajuan tukar menukar tanah kas desa Bujur Tengah kepada Bupati

Pamekasan beserta lampirannya dikembalikan kepada pemiliknya dan

khususs untuk bukli berupa daftar hadir Rapat Lembaga Musyawarah

Desa (LMD) tertanggal 9Maret 1998 dirampas untuk dimusnahkan.

2. Anilisa Putusan

Dari segi formal, pemeriksaan banding merupakan upaya yang dapat

diminta oleh pihak yang berkepentingan, supaya peradilan tingkat pertama

diperiksa lagi dalam peradilan tingkat banding.8

Posisi Pengadilan Tinggi Surabaya adalah pengadilan tingkat banding atau

juga disebut peradilan terakhir. Banding adalah salah satu upaya hukum yang

dimiliki terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan

8 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan KUHAP, (Jakarta:Sinar Grafika,2000),

hlm. 428.

72

yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum

dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.9

Maka, posisi PT Surabaya melakukan pengecekan kesesuaian putusan

Pengadilan Negeri dengan perundang-undangan yang berlaku sehingga

diputuskan untuk dikuatkan, diperbaiki atau dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi.

Oleh sebab itu, PT Surabaya harus mempunyai dasar hukum yang kuat

untuk menguatkan, memperbaiki atau membatalkan dasar hukum yang dibuat oleh

Pengadilan Negeri sebelumnya.

Pertama yang harus dilakukan PT Surabaya adalah menelaah dasar hukum

PN Pamekasan bahwa terdakwa menurut PN Pamekasan telah melanggar pasal

263 ayat (2) KUHP dengan unsur-unsur sebagai berikut: 1) Barang siapa 2)

Sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah surat-surat itu asli

dan tidak dipalsukan 3) Dapat mendatangkan kerugian.

Dalam hal ini Pengadilan Tinggi melakukan penilaian lebih dahulu

terhadap unsur kedua, karena menurutnya pada unsur pertama telah jelas terdakwa

yang dihadapkan pada pemeriksaan perkara ini sebagai terdakwa, hanya dalam hal

pembuktian perbuatannya akan ditentukan oleh unsur kedua, apakah benar

terdakwa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-

olah surat itu asli dan tidak dipalsukan.

Pengadilan Tinggi Surabaya berpendapat bahwa Pasal yang telah di

dakwakan terhadap terdakwa oleh oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama, yakni

pasal 263 ayat (2) KUHP dinilai kurang tepat, karena tidak dapat dibuktikan

9 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 12.

73

secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa mengunakan surat tersebut dengan

unsur niat atau maksud atau sengaja menggunakan surat palsu atau yang

dipalsukan seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan. Karena Dari hasil

pemeriksaan dalam persidangan, saksi-saksi yang dihadapkan tidak satupun yang

menerangkan tentang siapa yang memalsukan tanda tangan dari saudara H.

Abdurrachman (sakit) dan P.Sartila (meninggal) tersebut, bahkan terdakwapun

tidak mengetahui tentang adanya pemalsuan tanda tangan dari Sdr. H.

Abdurrachman dan P.Sartila dalam daftar hadir, nantinya terdakwa benar

mengetahuinya tentang adanya pemalsuan tanda tangan tersebut setelah terdakwa

diperiksa dalam perkara pidana ini.

Majelis Hakim Pengadilan Tingi juga menambahkan, bahwa kalau ada

pemalsuan tanda tangan dalam daftar hadir itu, karena bukan terdakwa yang

mengedarkan daftar hadir itu kepada peserta rapat untuk penandatanganannya.

Terdakwa hanya menerima saja rampungnya seluruh hasil kegiatan rapat beserta

dengan daftar hadir yang sudah ditandatangani oleh peserta rapat tersebut.

Setelah pertimbangan-pertimbangan diatas, akhirnya Majelis Pengadilan Tinggi

memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pamekasan.

Menurut penulis dalam hal ini pertimbangan Majelis Tingkat Banding

kurang substansial, tidak berhubungan langsung dengan pembuktian pidana.

Seperti bukti Persetujuan Pengesahan Keputusan Desa Bujur Tengah Kecamatan

Batumarmar, tertanggal 31 Maret 1999 No:143/3089/013/1999. Karena

persetujuan tersebut berdasarkan surat tukar-menukar pada tahun 1998 yang

belum dibuktikan keasliannya.

74

Penulis memandang bahwa penjelasan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi

Surabaya bahwa “saksi-saksi yang dihadapkan tidak satupun yang menerangkan

tentang siapa yang memalsukan tanda tangan dari H. Abdurrachman tersebut”,

pun juga kurang tepat, karena hanya saksi Mukri, H.Usman, Ali Walid,SH,

Tangken yang menyatakan tidak tahu siapa yang memalsukan sedangkan Busirin,

Patha dan Limuna tentu tahu siapa yang memalsukan karena mereka menyatakan

tidak pernah hadir dalam rapat dimaksud.

Berdasarkan fakta di pengadilan bahwa terdakwa mengakui ia mengetahui

jika P. Sartila sudah meninggal dan H. Abdurrahman tidak hadir karena sakit.

Jika terdakwa mengetahuinya mengapa dia masih menyodorkan hasil rapat yang

genap tertanda tangani 16, padahal ada dua orang yang belum hadir. Memang

benar bahwa terdakwa dan saksi-saksi yang dihadirkan tidak mengetahui siapa

yang memalsukan tanda tangan keduanya seperti pertimbangan Majelis Hakim

Tingkat Kedua, namun terdakwa mengetahui bahwa keduanya tidak hadir.

Mudah untuk mengatakan bahwa terdakwa tidak mengetahui siapa yang

memalsukan, namun sulit baginya untuk mengelak bahwa dia tahu ada pemalsuan

tanda tangan dalam daftar hadir diatas karena terdakwa mengakui jika P. Sartilla

dan H. Abdurrahman tidak hadir, sedangkan jumlah tanda tangan terisi genap 16

orang.

Maka penulis melihat bahwa pertimbangan Majelis Hakim Tingkat

Banding kurang cermat melihat pertimbangan Majelis Hakim Tinggkat Pertama

dan kurang melihat realita yang terjadi di masyarakat, karena suatu pembentukan

75

hukum interpretasinya maupun penerapannya, hendaknya dihubungkan dengan

fakta-fakta sosial yang ada di masyarakat.10

Mengenai unsur yang ketiga yakni “dapat Mendatangkan Kerugian”,

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya menilai, bahwa terdakwa jelas tidak

terbukti merugikan siapapun, karena dari hasil rapat di Balai Desa Bujur Tengah

dari semua peserta yang hadir itu, telah menyetujui dan tidak ada yang merasa

keberatan kalau tanah kas desa Bujur Tengah di tukar dengan tanah milik pribadi

terdakwa MOH. BAIDAWI, yang sekarang tanah hasil tukar menukar itu sudah

digunakan untuk bangunan Sekolah SDN Bujur Tengah I, II dan III.

Maka dengan hal ini, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Surabya monalak

dakwaan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pamekasan, karena telah salah dan

keliru dalam pertimbangan hukumnya dalam unsur dapat mendatangkan

kerugian, pertimbangannya jelas kabur, karena dalam perkara ini, Negara tidak

mengalami kerugian, maayarakat maupun pihak-pihak tidak mengalami kerugian

baik kerugian materiil, kemasyarakatan kesusilaan maupun kehormatan oleh

karena itu unsur tersebut tidak terbukti atau terpenuhi menurut hukum.

Penulis menilai pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tingi Surabaya

dalam masalah ini kurang tepat, karena tanah terdakwa yang ditukar guling

tersebut khusus yang SDN Bujur Tengah II terdakwa peroleh dari Kyai Usman

yang katanya sudah beli, akan tetapi dipersidangan terdakwa tidak bisa

menunjukan bukti adanya jual beli padahal tanah tersebut asalnya milik P.

10

Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: Alumni, 1989), hlm. 35.

76

Juminten yang dijariyahkan kepada Kyai Usman dan hal itu sebelumnya sudah

diketahui oleh terdakwa.

Maka disini sudah jelas ada orang yang secara materil telah dirugikan

yaitu P. Juminten karena ada tanahnya yang dijariyahkan kepada Kyai Usman.

Dan selain itu dengan adanya pemalsuan tanda tangan P.Sartila dan Abdurrahman

dalam daftar hadir rapat desa secara tidak langsung keluarga P. Sartila maupun

keluarga Abdurrahman di lapangan kemasyarakatan telah dirugikan karena

masyarakat Desa Bujur Tengah, akan menganggap kedua orang tersebut telah

menyetujui adanya tukar guling tersebut, padahal jika sejak awal diketahui ada

surat palsu yang dilampirkan sebagai salah satu syarat tukar guling, maka

permohonan tukar guling tersebut tidak akan dikabulkan sehingga baik P.

Juminten maupun P. Sartila dan Abdurrahman tidak akan mengalami kerugian

sebagaimana tersebut diatas. Seharusnya Majelis Pengadilan Tinggi harus jeli dan

memperhatikan sedetail mungkin, karena Yang dimaksud disini menurut

penjelasan pasal 263 KUHP karangan R. Soesilo adalah tidak perlu kerugian itu

betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah

cukup dan yang diartikan kerugian disini tidak saja hanya meliputi kerugian

materil akan tetapi juga kerugian dilapangan kemasyarakatan, kesusilaan,

kehormatan dan sebagainya.

Disisi lain menurut hemat penulis, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi

Surabaya dalam pertimbangan dan kesimpulannya yang dijadikan dasar dalam

pengeluaran putusan dimaksud jika dihubungkan dengan teori hukum yang ada,

jelas-jelas telah mengesampingkan aliran teori hukum yaitu teori kehendak

77

“kesengajaan” dari Von Hipel yang sampai saat ini masih dijadikan dasar dalam

pembuktian mengenai kesengajaan, dimana menurut teori kehendak kesengajaan,

yaitu kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang

dirumuskan dalam Undang-Undang atau dengan kata lain bahwa perbuatan yang

dilakukan oleh terdakwa harus benar-benar dikehendakinya sehingga untuk

membuktikan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa harus sesuai dengan

motifnya dan tujuan melakukan perbuatan tersebut harus dihubungkan dengan

kuasa (sebab) yang terdapat dalam batin terdakwa. Karena suatu perbuatan

hukum apabila perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum, yang mana akibat

itu di kehendaki oleh yang bertindak (terdakwa).11

C. RESOLUSI KONFLIK TANAH PERCATON MENURUT HUKUM

ISLAM.

Sebelum masuk pada pembahasan Resolusi Hukum Islam atas Konflik

Tanah Percaton, Penulis terlebih dahulu akan memaparkan secara singkat arti dari

resolusi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, re·so·lu·si adalah putusan atau

kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yg ditetapkan oleh rapat

(musyawarah, sidang); pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tentang suatu

hal. Resolusi adalah tujuan atau sesuatu yang hendak saya capai untuk tahun-

tahun ke depan.12

11

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1986), hlm. 121. 12

Tim KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm.

78

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimasksud Resolusi

konflik Tanah Percaton menurut Islam yuitu suatu putusan atau kebulatan

pendapat tentang konflik tanah Percaton menurut pandangan Islam.

Dalam kajian hukum Islam, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya,

tidak ditemukan istilah teknis yang mengarah langsung pada konsep tanah

Percaton. Tanah percaton merupakan istilah teknis yang lahir dari tradisi dan

budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, penyelesaian konflik tanah

percaton harus dilihat dari konsepsi hak milik dalam hukum Islam sebagaimana

sudah disinggung dalam bab sebelumnya.

Persoalan hak kepemelikan, dalam kajian hukum Islam, masuk ke dalam

kategori fiqh muamalah. Untuk melihat masalah ini, penulis perlu membahas

bagaimana mekanisme penyelasaian yang disedikan dalam kajian fiqh muamalah,

apabila terjadi konflik antara dua pihak yang berhubungan dengan masalah hak

kepemilikan. Tentu saja, untuk mencari solusi atas konflik yang terjadi,

memahami detail kasus merupakan suatu keharusan.

Konflik tanah percaton yang terjadi di Pamekasan, Madura, tidak lahir dari

ruang hampa. Konflik ini terjadi akibat gesekan yang terjadi antara Kepala Desa

yang berkuasa dengan mantan Kepala Desa. Tanah Percaton yang seharusnya

menjadi hak Kepala Desa yang berkuasa, justru menjadi hak milik mantan Kepala

Desa. Hak milik atas tanah Percaton tersebut, menurut pengakuan kepala desa,

didasarkan atas tukar guling yang dilakukan mantan kepala desa terhadap tanah

percaton tersebut.

79

Dalam konsepsi hukum nasional, tanah Percaton bukan merupakan tanah

perseorangan yang dimiliki berdasarkan hak milik. Tanah Percaton adalah tanah

negara yang diberikan kepada kepala desa untuk diberdayakan selama ia menjabat

sebagai kepa desa. Tanah ini merupakan “upah” bagi seseorang yang dipercaya

sebagai kepala desa. Dengan demikian, pada hakikatnya, tanah bukan hak milik,

melainkan hak pakai yang dibatasi oleh durasi waktu.

Kasus Tanah Percaton yang terjadi di Pamekasan dapat dilihat melalui

kacamata penyelesaian sengketa kepemilikan, dalam hal ini adalah kepemilikan

atas tanah. Dalam hukum Islam, apabila terjadi konflik antara dua orang tentang

kepemilikan suatu benda, maka pihak yang menuduh harus menunjuukan bukti.

Sedangkan pihak tertuduh, apabila mengingkari, dapat disumpah. Prinsip ini dapat

dilacak dalam salah satu Kaidah Fikih berikut:13

.البينة على المدعى واليمين على من انكر

“Bukti dibebankan atau diharuskan bagi penuduh, sedangkan sumpah

bagi pihak yang mengingkari”

Sumber dari kaidah ini, adalah sabda Nabi Muhammad SAW, yang

berbunyai:14

13

‘Abdul Wahhāb Khalāf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, ( Kairo: Maktabah al-Da‘wah, 1411 H),

hlm. 80. 14

Muḥammad Abū ‘Abdullāh ibn Ismā‘īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrahal-Bukhārī, Ṣaḥīḥ

al-Bukhārī.(Beirut: Dār Ṭawqun Najh, 1422 H), juz. 13, hlm. 6121. Lihat juga di, Muslim ibn al-

Hajjaj Abū al-Ḥusayn al-Qasyayrīal-Naysabūrī,Ṣaḥīḥ Muslim,(Beirut: Dār al-Afāq al-Jadīdah,

1334 H), hlm. 128, Abū Bakar Aḥmad ibn al-Ḥusayn ibn ‘Alī al-Bayḥāqī,Sunan al-Sughrā li al-

Bayḥāqī,(Pakistan: Jamī‘ah al-Dirāsa al-Islāmī, 1410 H), juz. 4, hlm. 188, Alī ibn ‘Umar ibn Abū

al-Ḥasan al-Daruqutnī al-Baghdādī,Sunan al-Daruqutnī, ( Bairut: Dār al-Ma‘rifah, 1386 H), juz. 4,

hlm.157, Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Abū Hatim al-Tamimī al-Bastī, Shahih Ibn Hibban,

(Beirut; Muassasah al-Risalah, 1414 H), juz. 11, hlm. 476. Semua sanad hadis tersebut bersawal

dari sahabat Ibnu ‘Abbas.

80

ثني أبو الطاهر أحمد بن عمرو بن سرح أخبرنا ابن وهب عن ابن جريج عن ابن حد

عليه وسلم قال لو يعطى الناس بدعواه أبي مليكة عن ابن عباس م أن النبي صلى للا

.لدعى ناس دماء رجال وأموالهم ولكن اليمين على المدعى عليه

“Jika semua orang diberi hak (hanya) dengan dakwaan (klaim) mereka

(semata), niscaya (akan) banyak orang yang mendakwakan (mengklaim)

harta orang lain dan darah-darah mereka. Namun, bukti wajib

didatangkan oleh pendakwa (pengklaim), dan sumpah harus diucapkan

oleh orang yang mengingkari (tidak mengaku)”.

Seperti yang kita ketahui kata “al-Bayyinah” atau bukti adalah sesuatu

yang bisa untuk membuktikan sebuah hak atau klaim, dan hal ini untuk

menetapkan kebenaran atas klaim seseorang, pada dasarnya yang dimaksud

dengan al-Bayyinah adalah saksi dalam semua perkara hukum, baik yang

berhubungan dengan darah, harta, tindakan kriminal atau segala sesuatu yang

dapat menjelaskan dan menunjukkan kebenaran suatu tuduhan, baik berupa saksi-

saksi, bukti-bukti penguat atau pun yang lainnya.

Berdasarkan kaidah dan Hadis di atas, maka mekanisme yang dapat

ditempuh dalam kasus di atas adalah memlalui hakim (qādī), yaitu dua jalan

macam,15

yang pertama dengan melihat bukti yang diajukan oleh pihak yang

menuduh, dalam hal ini adalah pihak Kepala Desa. Sedangkan yang kedua

sumpah dari mantan kepala desa merupakan pihak yang tertuduh.

Klaim mantan kepala desa yang menganggap tanah percaton seluas 5,8

hektar merupakan miliknya didasarkan atas tukar guling dengan tanah yang hanya

seluas 4.430 meter persegi, menjadi salah satu latar belakang mengapa konflik

tanah Percaton tersebut terjadi. Luas tanah yang tidak sama dengan tanah

15

Sabath ibn al-jauzī, ītsār al-inshāf Fī ātsāri al-Khalāf, (Kairo, Dār al-Salām, 1408 H ),

hlm. 349.

81

sebelumnya, dan diduga kuat adanya kecurangan dalam membuat surat tanah

Percaton, ditambah ketentuan bahwa tanah percaton tidak dapat dipindah

tangankan ataupun ditukar guling, menjadi salah satu alasan Kepala Desa

menggugat mantan Kepala Desa.

Dalam kajian hukum Islam, tanah percaton termasuk dalam kategori

kepemilikan tidak sempurna. Artinya, hak milik atas tanah tersebut hanya terbatas

pada pemanfaatannya saja, bukan terhadap barangnyapun demikian, hak

mengambil manfaat atas tanah tersebut dibatasi oleh durasi waktu, yakni selama

seseorang tersebut menjabat Kepala Desa.

Apa yang dilakukan oleh mantan Kepala Desa, dalam pandangan hukum

Islam, merupakan perbuatan aniaya karena telah melakukan kecuramgan

pemalsuan tanah, dan mengambil hak tanah Negara, dipindah nama atas

kepemilikan pribadi. Dengan demikian, langkah yang ditempuh oleh Kepala Desa

dalam memperkarakan masalah tersebut ke pengadilan merupakan langkah yang

tepat.

Menurut mekanisme yang diatur dalam hukum Islam, apabila terjadi

pertentangan antara dua orang tentang status hak kepemilikan, maka kasus

tersebut dapat diselesaikan di muka pengadilan, biarkan hakim (qadhi) yang

memutuskannya. Memilih jalur penyelesaian di pengadilan merupakan langkah

tepat, untuk menguji sejauh mana alat bukti yang diajukan oleh masing-masing

pihak.

Dalam konteks kasus ini, sebenarnya yang menjadi akar utama adalah

status tanah yang dalam klaim mantan Kepala Desa dianggap miliknya. Bukti itu

82

didasarkan atas sertifikat tanah yang sudah dirubah, dari yang awalnya tanah

percaton, berpindah menjadi hak milik pribadi. Dengan mekanisme tukar guling,

mantan Kepala Desa merasa bahwa tanah percaton tersebut sudah berpindah

status. Keyakinan inilah yang dipegang oleh mantan Kepala Desa untuk

mempertahankan tanah yang dianggap sudah menjadi miliknya.

Sementara itu, apabila dilihat dari kaidah fiqh di atas, pihak penggugat,

dalam hal ini Kepala Desa yang baru, sudah mengajukan banyak bukti yang

menguatkan bahwa tanah yang diperselisihkan adalah tanah Percaton, bukan tanah

hak milik pribadi. Terbukti, dalam persidangan di Pengadilan Pamekasan, hakim

memutuskan bahwa status tanah tersebut harus dikembalikan sebagai tanah

percaton, dan menjadi hak dari Kepala Desa yang menjabat.

Persoalan hak milik terhadap barang memang menjadi persoalan yang

pelik. Islam dengan tegas melarang mengambil hak orang lain dengan cara yang

batil, seperti firman Allah SWT:

اس ول تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الن

ثم .وأنتم تعلمون بال

Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang

lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu

membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan

sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)

dosa, padahal kamu mengetahui’’. (QS. Al-Baqarah: 188)

Sebab turunnya ayat ini ialah bahwa Rabi’ah ibn Abdan al-Hadramī dan

Imrail Qais ibn Aiys, terlibat dalam suatu perkara soal tanah yang masing-masing

tidak dapat memberikan bukti. Maka Rasulullah menyuruh Imrail Qais (sebagai

83

terdakwa yang ingkar) supaya bersumpah, tatkala Imrail Qais hendak

melaksanakan sumpah itu, turunlah ayat ini.16

Tafsiran lafadz والكم بينكم بالباطل ول تأكلوا أم ; Jangan sebagian kalian makan

harta sebagian yang lain dengan cara yang tidak benar (menurut Syara’); yang

dimaksud dengan "األكل" : yaitu mengambil (al-akhdu) dan menguasai (al-istilā`),

diungkapkan dengan lafadz "األكل" karena tujuan yang terbesar/terpenting dari

harta adalah untuk dimakan. Adapun memakan harta dengan cara bathil ini ada

dua klasifikasi. Pertama, didapatkannya harta itu dengan perbuatan dhalim,

seperti mencuri, merampas (ghasab) dan sebagainya. Kedua, diperolehnya harta

itu dari cara-cara yang dilarang, seperti judi, upah menyanyi, serta semua cara

yang diharamkan oleh Syara’. Dan ayat di atas telah mewanti-wantikan

keharaman semua itu; Lafadz "الباطل" secara bahasa adalah sinonim dengan

dengan lafadz "الزائل" dan "الذاهب" berarti yang tergelincir atau yang hilang,

sedangkan yang dimaksud di sini ialah yang diharamkan oleh Syara’, seperti

mencuri, ghasab, dan mencakup semua pengambilan tanpa ganti atau tanpa ada

kerelaan dari pemiliknya, atau mentasharufkan kepada sesuatu yang nyata-nyata

tidak ada manfaatnya.17

Dalam ayat tersebut juga adanya larangan untuk membawa urusan harta itu

kepada hakim, ام larangan tersebut apabila ada persaksian palsu ,وتدلوا بها إلى الحك

16

Abū Muḥammad ibn Husayn ibn Mas‘ūdal-Baghawī, Ma‘ālim al-Tanzīl Tafsir al-

Baghawī,(Beirut: Dār al-Ṭaybah li al-Nasr wa Tawzī‘, 1417 H), Juz.1, hlm. 210. 17

Wahbah ibn Muṣṭfāal-Zuhaylī, Tafsīr al-Munīr, (Beirut: Dār al-Fikr, 1418 H), Juz. 2,

hlm.162.

84

,(كاذبة) atau sumpah palsu (زور)18

maka dari itu hakim harus jeli dan berhati-hati

menghadpai masalah harta, karna hakim harus memutuskan dengan bijak,

berdasrkan realita dan bukti-bukti yang ada, yakni tidak menghlalkan yang haram,

dan menghramkan yang hala.19

Berbuat aniaya dengan cara mengambil hak orang lain merupakan

perbuatan tercela yang dibenci oleh Allah. Selain berdosa sama Allah, perbuatan

aniaya dengan mengambil hak orang lain, juga berdosa pada orang yang dianiaya.

Berdasarkan argumentasi normatif-teologis di atas, mengambil tanah

percaton sebagai hak pribadi merupakan tindakan aniaya, tidak hanya kepada

Kepala Desa yang menjabat, namun juga terhadap Negara yang punya hak atas

kepemilikan tanah tersebut. Dengan demikian, ditinjau dari perspektif apapun,

perbuatan merubah sertifikat tanah dengan unsur kecurangan, merupakan tindakan

kriminal yang dapat dikenai saknsi hukuman, baik secara perdata maupun pidana.

Penulis melihat, apa yang ditempuh oleh masing-masing pihak, baik

mantan Kepala Desa maupun Kepala Desa yang sedang menjabat, merupakan

langkah yang tepat. Memilih mekanisme penyelesaian di muka pengadilan

merupakan keputusan yang sesuai dengan mekanisme yang disedikan oleh hukum

Islam. Menyelesaikan permasalahan di hadapan hakim (qadhi) merupakan

mekanisme yang tepat, jauh dari sikap merasa paling benar atas keyakinannya

sendiri.

18

‘Abdul Qādir al-Ghāzī, Bayān al-Ma‘ānī, (Damask, mathba‘ah al-tarāqī, 1382 H), Juz.

5, hlm. 140. 19

Muhammad ibn jarīr ibn yazīd Abū ja‘far al-Thabrī, Jāmi‘u al-Bayān Fī Ta’wīl al-

Qur’an, (Beirut; Muassasah al-Risalah, 1420 H), Juz. 3, hlm. 550.

85

Kalaupun ternyata dari konflik tanah justru berkembang menjadi konflik

berdarah, hal tersebut terjadi akibat sikap pihak yang tidak siap untuk menerima

keputusan hakim, baik tingkat pertama, maupun peradialn yang lebih tingi.

Persoalan sikap menerima kekalahan memang tak semua orang memilikinya.

Terlebih dalam kasus ini, yang dipertahankan bukan hanya soal tanah semata,

namun lebih dari itu, ada harga diri yang dalam keyakinan masyarakat Madura

harus dipertahankan sampai mati. Namun demikian, seharusnya, tragedi berdarah

ini tidak terjadi apabila kedua pihak sama-sama mengedepankan asas

musyawarah. Pihak yang menang tak merasa jumawa, yang kalah juga tak perlu

merasa harga dirinya diinjak-injak.

Dengan demikian, dalam pandangan hukum Islam, perbuatan mengambil

hak orang lain dengan cara bathil dapat dikategorikan sebagai tindakan dhālim

(aniaya) yang dilarang oleh agama, dan apabila terjadi pertentangan antara dua

pihak tentang kepemilikan atas suatu hak atau barang, Islam menyediakan

mekanisme penyelesaian di hadapan pengadilan dengan hakim (qādhi) sebagai

instrument utama dalam mengambil keputusan berdasarkan bukti yang diajukan,

baik oleh pihak penggugat maupun tergugat. Maka dengan ini tidak ada konflik

yang perkepanjangan, yang mengakibat konflik baru yang terjadi. Sehingga

kedamaian dan ketentraman masyarakat akan terpenuhi.

86

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan dan analisis data yang telah dikemukakan diatas,

maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dasar yuridis masing-masing pengadilan.

a. Dasar yuridis putusan Pengadilan Negeri Pamekasan yaitu bahwa

terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan surat,

yang terdapat pada pasal 263 ayat 1 dan ayat 2 KUHP, sehingga

dengan perbuatannya tersangka di tahan selama 6 bulan.

b. Dasar yuridis putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yaitu bahwa

terdakwa tidak terbukti melakukuan tindak pidana, seperti apa yang

telah di dakwakan oleh Majelis hakim Negeri Pamekasan, maka dari

itu terdakwa harus dibebaskan, karena mengacu pada pasal 97 ayat 1

dan ayat 2 KUHAP.

2. Faktor-faktor yang melatar belakangi perbedaan putusan Pengadilan

Negeri Pamekasan dan Pengadialan Tinggi Surabaya dalam sengketa tanah

Percaton di Madura, yaitu sebagai berikut:

a. Adanya perbedaan pamahaman tentang pasal 263 ayat 1 dan ayat 2

KUHP dalam kasus ini, Pengadilan Negeri pamekasan menyatakan

bahwa H. ACH. BAIDAWl, telah terbukti mealanggar pasal 263 ayat 1

dan ayat 2 KUHP, yakni melakukan tindak pidana sengaja

menggunakan surat palsu.

87

Sedangkan Pengadialan Tinggi Surabaya menyatakan bahwa H.

BAIDAWI tidak terbukti secara sah melanggar pasal 263 ayat 1 dan

ayat 2 KUHP.

b. Pengadilan Negeri Pamekasan menyatakan bahwa dalam pemalsuan

surat ini mendatangkan kerugian, baik itu materiil, kemasyarakatan,

kesusilaan, kehormatan dan sebagainya.

Berbeda dengan Pengadilan Tinggi Surabaya menyatakan bahwa

pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Pamekasan dalam unsur

dapat mendatangkan kerugian, pertimbangannya jelas kabur, karena

dalam perkara ini, Negara tidak mengalami kerugian, maayarakat

maupun pihak - pihak tidak mengalami kerugian baik kerugian materil,

kemasyarakatan kesusilaan maupun kehormatan dan unsur tersebut

tidak terbukti atau terpenuhi menurut hukum.

3. Menurut Islam tanah percaton masuk dalam kategori teori kepemilikan

yang tidak sempurna, yaitu kepemilikan seseorang hanya kepada benda

atau manfaatnya saja, sebab orang yang bersangkutan (kepala Desa) hanya

berhak atas manfaatnya saja. Sedangkan bendanya (tanah Percaton)

menjadi hak milik pemerintah.

4. Adapun resolusi Islam dalam kasus ini yaitu tentang mekanisme

penyelesaian yang ditempuh oleh kedua belah pihak di muka pengadilan

merupakan keputusan yang sesuai dengan mekanisme yang disedikan oleh

hukum Islam, yaitu menyelesaikan permasalahan di hadapan hakim

(qadhi), hal ini merupakan mekanisme yang tepat, yang mana Islam

88

memandang bahwa lebih cenderung terhadap pendapat Pengadilan Negeri

Pamekasan, yang peutusannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

dan realita masyarakat yang terjadi di lapangan.

B. Saran

1. Harus ada peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih jelas

tentang tanah Percaton (Bengkok) agar kasus-kasus yang banyak terjadi di

masyarakat tidak terulang kembali.

2. Sebaiknya tanah Percaton jangan diperbolehkan ditukar gulingkan, karena

dari sekian banyak kasus dalam masalah percaton berasal dari tukar

menukar tanah Percaton tersebut.

3. Harus ada sosialisasi dari pemerintah daerah, baik itu Bupati, Camat, lurah

dan Kepala Desa, tentang tanah Percaton di daerahnya masing-masing.

Karena kebanyaka masyarakat tidak mengetahui keberadaan tanah tersebut,

dan seperti apa tanah tersebut, dan lain sebagainya.

4. Pemerintah daerah harus peka dan memperhatikan terhadap aset-aset

daerah yang ada di daerahnya, agar tidak disalah gunakan, atua diperjual

belikan, atau menjadi aset pribadi seseorang

89

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahnya.

Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit, 2004.

Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2010.

Ali, Chaidir Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Agraria. Bandung: Bina

Cipta, 1979.

Ali, Zainun. Metode Penelitian Hukum. jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010.

Alting, Husein. Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak

Masyarakat Hukum Adat Tanah, Ternate: Lembaga Penerbitan Universitas

Khairun, 2010.

al-Baghdādī, Alī ibn ‘Umar ibn Abū al-Ḥasan al-Daruqutnī. Sunan al-Daruqutnī.

Bairut: Dār al-Ma‘rifah, 1386 H.

al-Baghawī, Abū Muḥammad ibn Husayn ibn Mas‘ūd. Ma‘ālim al-Tanzīl Tafsir

al-Baghawī. Beirut: Dār al-Ṭaybah li al-Nasr wa Tawzī‘, 1417 H.

al-Bayḥāqī, Abū Bakar Aḥmad ibn al-Ḥusayn ibn ‘Alī. Sunan al-Sughrā li al-

Bayḥāqī. Pakistan: Jamī‘ah al-Dirāsa al-Islāmī, 1410 H.

al-Bastī, Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Abū Hatim al-Tamimī. Shahih Ibn

Hibban, Beirut; Muassasah al-Risalah, 1414 H.

al-Bukhārī, Muḥammad Abū ‘Abdullāh ibn Ismā‘īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah.

Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut: Dār Ṭawqun Najh, 1422 H.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengan dan Kepulauan Nusantara

Abad XVII dan XVII. Jakarta: Mizan, 1994.

Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas. Merampas Tanah Rakyat. Jakaeta: Gramedia,

2001.

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum pidana I, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2002.

De Graaf, H.J dan TH. Pigeaud. Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan

Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: Grafiti, 2001.

90

Denys Lombard. Nusa Jawa: Kajian Sejarah Terpadu, Bagian II: Jaringan Asia.

Jakarta: Gramedia, 1996.

D. Meuko, Nurlis dan Adi Mawardi. Diakses dari: majalah.tempo.co/tragedi-

klebun-berebut-percaton, pada: senin 24 juli 2006.

al-Ghāzī, ‘Abdul Qādir. Bayān al-Ma‘ānī, Damask, mathba‘ah al-tarāqī, 1382 H.

Hamzah, Andi,. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan KUHAP, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2000.

Harsono, Boedi. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional. Jakarta:

Universitas Tri Sakti, 2002.

Hayid, Muhammad Nur. http://news.detik.com-hakim-pt-jatim-dituding-sebagai-

pemicu-carok-massal,diakses padaJumat, 14/07/2006

https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Madura.

Hutagalung, Arie Sukanti dan Markus Gunawan. Kewenangan Pemerintah di

Bidang Pertanahan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persama, 2008.

Huub de Jonge. Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi: Studi Interdisipliner tentang

Masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali Press, 1989.

_________. Madura dalam Empat Zaman, Jakarta: Gramedia, 1989.

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia Publishing, 2007.

al-jauzī, Sabath ibn al-jauzī. ītsār al-inshāf Fī ātsāri al-Khalāf, (Kairo, Dār al-

Salam, 1408 H.

Kansil dan Critine S. T. Kansil. Kamus Istilah Aneka Hukum. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 2001.

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 1986.

Khalāf, ‘Abd Wahhāb. ‘Ilm Ushūl al-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Da‘wah, 1411 H.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

91

Kuncoro, Edy. Peralihan Tanah Bengkok dan Akibat Hukumnya “studi Kasus

Putusan PN Boyolalinomor 51/Pdt.G/1999/PN.Bi”. (Tesis: Universitas

Diponegoro, 2010).

Kuntowijoyo. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura1850-1940.

Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002.

_________. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994.

Mamudji, Sri. Metode Penelitian dan penelitian Hukum, Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Amzah, 2010.

al-Naysabūrī, Muslim ibn al-Hajjaj Abū al-Ḥusayn al-Qasyayrī. Ṣaḥīḥ Muslim.

Beirut: Dār al-Afāq al-Jadīdah, 1334 H.

Onthu, Muhammad. http://www.pamekasankab.go.id/content/sejarah-pamekasan.

diakses 18 Desember 2014.

Pangaribuan, Luhut MP. Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan

oleh Advocat, Jakarta: Djambatan, 2005.

Peragin, Effendi. Hukum Agraria di Indonesia: Telaah dari Sudut Pandang

Praktisi Hukum. Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994.

Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media

Nusantara, 2006.

Ramelan, Eman. Keberadaan Tanah Bengkok atau Ganjaran dalam Perspektif

Hukum di Indonesia, Yuridika Volume 14, Maret-April 1999.

Ricklefs ,M.C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 1995.

Rozaki, Abdur. Menabur Kharisma Menuai Kuasa Kiprah Kiai dan Blater

sebagai Rezim Kembar di Madura, cet. ke-1. Yogyakarta: Pustaka Marwa,

2004.

Sabiq, Sayid. Fiqih Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.

Salman, Otje. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung: Alumni, 1989.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung;

Alfabeta, 2011.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2005.

92

Sutedi, Adrian. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan

Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Suratman, dan Mustofa, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri, Jakarta:

Sinar Grafika, 2013.

Syahroni, Ali. http://www.koranmadura.com/2014/09/16/kades-kuasai-aset-desa,

pada: 16 September 2014.

al-Thabrī, Muhammad ibn jarīr ibn yazīd Abū ja‘far. Jāmi‘u al-Bayān Fī Ta’wīl

al-Qur’an, Beirut; Muassasah al-Risalah, 1420 H.

Tim KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, PT Gramedia Pustaka

Utama, 2008.

Undang-undang Dasar 1945.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(UUPA).

Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Undang-Undang No. 4 tahun 2007, tentang peraturan Menteri dalam Negeri

Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-

Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Warassih, Esmi. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: PT.

Suryandaru Utama, 2005.

Wijaya, Latief. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.

Yogyakarta: LKiS, 2002.

al-Zuhaylī, Wahbah ibn Muṣṭfā. Tafsīr al-Munīr. Beirut: Dār al-Fikr, 1418 H.

__________. Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu. Beirut: Dār al-Fikr, 2005.

LAMPIRAN