Inside Madura

6

description

My first photo story about Madura, enjoy it.visit: http://www.purwoshop.com

Transcript of Inside Madura

Page 1: Inside Madura
Page 2: Inside Madura

102 NatioNal GeoGraphic traveler juli 2010 103

Batik Pamekasan, Aroma Laut

dan Roti SelaiKenangan yang taK luruh oleh waKtu, mesKi seKarang

sudah ada Jembatan suramadu.

Teks oleh Manggalani R Ukirsari, Foto oleh Purwo Subagiyo

Page 3: Inside Madura

104 NatioNal GeoGraphic traveler juli 2010 105

hi dangkan bagi seluruh jajaran pekerja di sana. Ke sanalah sa ya menuju dan menikmati nasi bungkus pemberian ibunda, sem bari menelisik lauk dari rantang-rantang yang berjajar di atas meja panjang. Seorang pegawai asal Madura, antusias me nyendokkan ati-ampela ayam tumis kecap ke nasi bungkus saya. “Nama masakan ini musawaroh,” jelasnya ra mah. Melihat saya menyunggingkan senyum—agaknya ia me mahami kegelian saya atas nama itu, terdengar se perti lafal bahasa Jawa untuk kata ‘musyawarah’—ia malah me nambahkan beberapa contoh. “Memang masakan kami unik didengar, ‘Dek. Ada juga yang namanya potre nyelem dan manto keponakan.”

Saya terpikat cara perempuan itu berbicara. Ia me nyebut ‘adik’ gaya khas Madura. Mengganti ‘i’ dengan ‘e’. Dua hari kemudian, Mbak Annisa—saya selalu memanggilnya nama lengkap, beda dari rekan-rekan kerjanya yang tega memangkas na ma itu menjadi ‘Nesah’, sangat kurang merdu di telinga—membawakan saya potre nyelem atau ‘si gadis penyelam’. Ternyata wujudnya mirip klepon; kue berbahan dasar te-pung ketan, berisi sirup gula Jawa di tengah. Cara meng-hidangkannya tidak digulingkan ke parutan ke lapa, namun disiram kuah santan cair.

Mungkin itulah saat pertama kali saya menyadari; betapa pu lau yang letaknya ada dalam batas pandangan mata dari ko-ta tempat saya dibesarkan ini memiliki potensi untuk dieks-plorasi. Maafkan bila saya menyebutnya sebagai tempat yang

Berbincang soal Madura, sama halnya dengan menguarkan kenangan. Seperti membuka se botol selai marmalade lalu membaui kesegaran aroma kulit jeruk, bercampur uap pa­duan lekat gula dengan daging buah jeruk dilumatkan. Membangkitkan nostalgia akan selembar roti tawar dioles selai marmalade oleh ibunda saya di pagi hari, ditang kup menjadi satu dengan selembar roti lagi, lalu disusun rapi dalam kotak bekal ma kanan milik saya.

Memang kesukaan saya begitu. Roti berselai marmalade tanpa mentega atau butter. Berbeda dengan selera ayahanda saya yang ‘konvensional’; roti berlapis mentega tebal-tebal, bertabur muisjes. Meski begitu, ibunda saya tak pernah salah memasukkan roti-roti bercitarasa apa, ke da lam kotak bekal siapa dan meletakkan dekat tas atau daypack mana. Seperti halnya termos mi-num siapa yang mesti diisi teh atau kopi pekat.

Padahal beliau bukannya tidak punya kesi-buk an sendiri. Ibunda berkantor di tem pat sama dengan ayah saya. Sesudah me nyi apkan bekal kami, ia mematut diri da lam bilangan menit saja, untuk bergabung ber sama kami ke mobil dan bertiga akan menghabiskan waktu sekitar 45 me nit menyusur pesisir pantai timur menuju der maga Tanjung Perak, Surabaya. Di teruskan menyeberang dengan ferry yang kemudian sandar di pelabuhan Kamal, Madura.

Jembatan Suramadu di saat petang. Bertabur cahaya lampu aneka warna (atas). Pak Ebes, dipagut kekinian tapi terus bersemangat me-lestarikan kelangsungan Irama Theatre di kota Pamekasan (samping).

Bila tidak disibuki dengan kegiatan kuliahnya, kadang adik le laki saya satu-satunya ikut dalam rombongan kecil kami. Ta-pi sepanjang ingatan, saya lebih sering turut dibanding dia. Masa-masa memerlukan ketenangan me nyusun tugas akhir.

Kegiatan paling saya sukai di tempat orang tua saya bekerja yang memiliki semboyan ‘Lupakan apa yang telah Anda lihat’ ada lah duduk di bawah kerindangan cemara laut sembari me natap kawasan Ujung, Surabaya. Kelak, patung Jalesveva Jayamahe yang menggambarkan seorang laksamana berdiri tegak menentang cakrawala berdiri di sana.

Tak ada keramaian di sekitar. Hanya desau angin dan ke-cipak air laut. Tangan kiri saya serasa jadi memiliki energi tam-bahan untuk menulis lebih cepat di atas ker tas. Itulah konsep, uraian dan se gala macam kalimat serta angka yang disusun dalam ejaan ba ik dan benar, untuk kemudian sore harinya dituangkan da lam bentuk ketikan komputer di rumah.

Nyaman benar rasanya berada di sana. Ide meng alir lancar. Jeda diisi dengan mengunyah roti berselai mar malade, disusul beberapa teguk teh hangat dari termos. Bia sanya, ibu saya akan menghampiri saat kantornya re hat kopi pagi dan beliau membawakan nasi bungkus daun pi sang. Pengganjal perut yang selalu ia beli di atas ferry dalam per jalanan dari Tanjung Perak menuju Kamal. Porsinya terlalu kecil untuk disantap serius, hingga satu orang dewasa biasanya menghabiskan dua atau tiga bungkus. Isinya teri atau pindang goreng kering, serundeng kelapa serta sambal tak kepalang pedasnya.

Karena sejak dulu lebih menyukai roti lapis marmalade, sa ya akan menyantap nasi bungkus siang hari. Kantor tak me mi-liki kantin, tapi pegawainya bergantian memasak untuk di-

sa rat nilai humoris. Rasanya Mbak Annisa juga tidak dapat memahami, mengapa saya berpikir begitu. Ini spontanitas saya ketika mendengarkan nama-nama unik masakan itu. Rasa keingintahuan saya langsung mengirim sinyal, “This is it!”

Sejak itu pula, saya membangun rasa iri bernilai konstruktif ter hadap ayahanda yang cukup fasih berbahasa Madura. Sa-ngat indah dalam pandangan saya, ketika kami sekeluarga ber libur ke Sumenep dan beliau menggunakan bahasa se-tempat yang dilafalkan dalam intonasi lembut—sangat berbeda dibanding na da-nada yang biasa saya dengar dari para penumpang di atas ferry Kamal—Tanjung Perak.

Sembari menikmati hidangan kare rajungan di sebuah res to, ayahanda saya sesekali bertutur kepada pembeli lainnya. Tak jarang disambut tawa berderai dari lawan bicaranya. Ibun da saya berbisik, “Begitulah cara menjadi dekat dengan mas ya-rakat setempat. Bahasa lokal adalah jembatan agar bisa menge-nal dan memahami sebuah daerah lebih baik.”

Itu pelajaran yang saya terapkan di kemudian hari ketika sa ya menjadi pejalan solo. Saya banyak memaknai tempat le-wat bahasa yang dituturkan masyarakat lokal, meski harus ber susah payah memahami arti perkataan dibalik keelokan arti kulasinya. Bagi saya yang lahir dari suku Jawa, belajar ber-bagai ragam bahasa disamping menekuni bahasa ibu adalah

hal menyenangkan. Sama dengan pandangan ayah saya. Jadi, ketika untuk pertama kalinya saya berani menyapa be li au dalam bahasa Madura, “Da’ remma kabare?” beliau meng acung-kan jempolnya dan menjawab, “Coba lebih halus sedikit, kata-kan; kadhi penapa kabare?”

Pelan-pelan saya mengucapkan, sesuai pengucapan beliau. Pada akhir kata, saya tambahkan kalimat, “Mattor saka langkong, Pa.” Beliau memeluk lalu mengacak-acak rambut sa ya—seperti biasa ia lakukan ketika putra-putrinya ma sih kanak-kanak.

SAYA TERKENANG SAAT-SAAT ITU, ketika kembali men jejakkan kaki ke Pulau Madura, limabelas tahun kemudian. Ini lah kali pertama saya datang tanpa melalui laut, tapi lewat da rat dan melintas Jembatan Suramadu, diresmikan Presiden Su silo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009.

Pandangan tertuju pada konstruksi perpaduan cable-stayed bridge dan box girder bridge. Sebuah jembatan dengan be be rapa pilar penyangga dan kabel untuk memperkuat bagian dek. Lantas di bagian bawah jembatan, terdapat penopang ba lok berstruktur tulangan baja. Lebar jembatan 30 m, terdiri da ri 4 lajur mobil untuk dua arah serta 2 lajur motor yang di tem-patkan pada sisi terluar jembatan.

Page 4: Inside Madura

106 NatioNal GeoGraphic traveler juli 2010 107

Lepas dari area causeway, mengarah ke tengah jembatan, sa ya mendapati sekian banyak mobil dan motor berhenti. Pe-num pangnya berloncatan ke luar untuk mengabadikan diri se jenak di samping si perkasa Suramadu. Dalam situs sarana peng hubung kota Surabaya dengan Pulau Madura ini, saya mem baca bahwa aparat yang berwajib memberlakukan surat buk ti pelanggaran (tilang) kepada siapa saja yang berhenti di ru as jembatan, karena merupakan tindak berbahaya. Namun agak nya para pejalan bandel itu tiada menghiraukan.

Mobil melaju, seakan menyibak Selat Ma du ra dari atas jembatan. Saya merindukan bau laut dan selai marmalade dalam setangkup roti tawar secara bersamaan. Uda ra beraroma asin biasanya langsung tercium ketika mobil ayah anda memasuki dek ferry berjuluk Dharma Ferry atau Potre Koneng. Kini, indera penciuman sa ya terbatasi oleh kaca jendela mobil.

Kembali saya teringat, hari-hari terakhir kun jungan saya di Ma dura dulu, berlangsung ketika para pakar kons truksi sibuk menghitung debit arus Selat Ma dura serta kemungkinan lokasi Jembatan Sura madu. Di hari itu juga, saya berbagi ro ti ta war berlapis selai marmalade kepada dua orang petugas yang menaksir jarak di lo kasi, antara tempat ayah saya berkantor di Madura, dan daerah Nambangan di pesisir timur Sura baya.

Nantinya, bangunan fisik itu tidak berdiri dekat tempat ayah sa ya berkarya. Mereka sebatas mengum pulkan alternatif terbaik. Ada beberapa titik ke mung kinan lokasi di sisi Pu-lau Madura. Se mentara di sisi Surabaya juga dilakukan peng-hitungan se rupa. Titik terpilih di Kota Pahlawan adalah dekat pantai Kenjeran dan kediaman kami sekeluarga.

Setelah le bih dari 10 tahun, kini saya tengah berada di atas buktinya. Pada se buah jembatan masif sepanjang 5 km lebih. Sejak tahun 2009, cuma perlu 10 menit untuk mencapai Pulau

Seperti juga halnya Misnainah. Perempuan asal Pulau Ga-ram yang menjadi salah satu awak kedai sate urap kelapa di bilangan Ondomohen, Surabaya. Ia menyebut, hadirnya jem -batan membuat frekuensi menengok orang tuanya di Kar-duluk—sebuah desa perajin seni ukir Madura—meningkat. “Dulu pakai bus dan menyeberang ferry. Sekarang, naik mo tor dari Ondomohen langsung Kedung Cowek (causeway jem batan di sisi Surabaya) juga bisa,” tandasnya sembari mengipasi ba-ra sate daging sapi bercampur potongan lemak yang dibalur se rundeng kelapa. “Pokoknya sejak ada jembatan Suramadu, sambang omah (menengok keluarga) jadi lebih cepat, ‘Dek.”

MESKI DEMIKIAN, tak semua pelaju Surabaya—Madura serta para perantau Madura yang mencari rezeki di Kota Pahlawan atau sebaliknya, menjadikan Jembatan Suramadu sebagai akses nomor satu. Con tohnya Pak Ebes, pria paruh baya asal Ambengan, Su rabaya yang sudah mengabdikan diri lebih dari separuh umurnya untuk bekerja di Pamekasan. “Saya le bih suka naik angkutan kota Pamekasan—Kamal, disambung bus Kamal - Surabaya,” ucapnya sembari menerawang, pan-dangannya melewati kepul asap yang ditimbulkan sigaretnya. “Ada hal tak tergantikan; dulu belum ada jembatan dan saya melakoni perjalan an panjang melewati ladang-ladang garam Pulau Ma du ra menuju tempat penyeberangan.”

Tersirat nada romantisme dalam ucapan pria tua itu. Ia mengungkap, kepulangan ke Surabaya selalu ia lakoni, mana-

Madura dari kawasan Kedung Cowek di Sura baya, di mana Jembatan Suramadu berada. Sekali masuk, satu mobil dikenai retri busi Rp 30.000 dan sepeda motor se-besar Rp 3.000.

Akhmat Hariyadi, seorang sopir bus layanan wisata ziarah Madura – Surabaya mengungkap, dengan dibukanya Jem batan Suramadu, travel di mana ia bekerja makin diminati masyarakat Madura. Pasalnya, hanya butuh waktu sebentar dan murni lewat darat. “Dulu, bus mesti lewat Selat Madura pakai ferry. Di hari-hari besar dan perayaan, saya mesti bersaing dengan bus-bus yang membawa orang-orang Madura kembali ke kampung halamannya,” cerita bapak tiga anak itu. “Tapi sekarang, akses jauh lebih mudah dan bus bisa langsung masuk tengah kota. Tidak perlu berebut di tempat penyeberangan ferry.”

MoBIL MELAJU, seakan menyibak Selat Madura dari atas jembatan. Saya merindukan bau laut dan selai marmalade dalam setangkup roti

tawar secara bersamaan.

Jual-beli ikan di jalan raya Sampang menjelang petang (kiri atas). Mem-batik di halaman samping sentra kerajinan ‘Batik 12’ (kiri bawah). Mesjid Pamekasan di seberang Monumen Arek Lancor (bawah).

Page 5: Inside Madura

108 NatioNal GeoGraphic traveler juli 2010 109

Seorang Abah (ayah) mengawasi anak dan pegawainya pulang me-laut dan membongkar jala (kiri). Sentra penjualan batu nisan, Kampung Kaseran, Sampang. Perhatian warna dan detail hiasannya (atas).

kala uangnya cukup. Dulu ia bekerja di Hotel Garuda, Jalan Mesigit, Pamekasan. Tak ja uh dari tempatnya sekarang mencari rezeki. “Di ma sa susah dulu, sa-ya pulang dan kembali selalu meng gunakan colt. Sekarang, kondisi kehidupan membaik, tapi naik mobil yang sama membuat saya tetap eling pada Gusti sang pemberi hidup.”

Ia berhenti bercakap sejenak. Mengisap rokok da lam-dalam lalu mengembuskan perlahan. “Sa ya per nah coba naik bus yang lewat Jembatan Sura-ma du. Bayarnya lebih mahal. Tapi di sisi lain, pakai ang kutan pilihan saya juga bukannya tambah cepat, ka re na frekuensi ferry Kamal – Tanjung Perak tidak se per ti dulu. Mesti menunggu cukup lama, akibat ada alternatif jembatan. Bus-bus antarprovinsi Ja wa Timur – Madura juga lebih suka rute lintas Jem batan Suramadu. Ya, itulah hidup. Kadang tidak bisa mem-bahagiakan semua pihak.”

Saya menjumpai lelaki sepuh ini pada suatu siang, ke tika matahari redup sejenak di atas bumi Pulau Ga-ram. Pada sebuah bangunan berlanggam Art Deco nan apik meski dimakan usia, seperti juga raut wajah Pak Ebes yang menua. “Tempat ini adalah sebuah gedung bioskop, Jeng. Di masa lalu pernah berjaya, menjadi satu-satunya bioskop di Pame kasan.”

Lebih dari 30 tahun Pak Ebes bekerja sebagai peng awas tiket sekaligus penjaga bioskop Irama The atre. Sampai kini, tempat tontonan film ini masih ber operasi, dengan pengunjung seki tar 30 orang di akhir pekan dan tarif per kursi Rp 3.000. Atau masih di bawah angka setengah juta per minggu, itu pun be lum dipotong biaya operasional gedung, seperti listrik dan air.

Kami lalu berjalan berdampingan dari selasar me-nuju bal kon gedung berusia lebih dari 40 tahun itu. Pak Ebes menunjukkan beberapa titik kebocoran di langit-langit. Beludru mewah warna merah yang dulu dipasang sebagai tirai pembatas tempat duduk di balkon dengan anak tangga paling atas, kini ditanggalkan. Berganti tabir kain belacu bergambar salah satu film roman Indonesia tahun 1980-an.

Di depan tempat mengantre tiket yang lajur-lajurnya diberi pem batas pipa besi, Pak Ebes meletakkan selembar kasur tipis un tuk beristirahat malam atau siang. “Pemilik pertama gedung ini seorang Arab, bernama Umar Bausir. Arsitek gedung berasal dari Jawa. Memang sudah menjadi cita-cita Pak Umar, untuk mem buat bangunan dengan bentuk unik, yang belum pernah ada di sekitar sini.”

Lantas kami berbincang di depan tempat display poster-pos ter film di lobi Irama Theatre. Pada sederet kursi kayu yang berfungsi sebagai tempat menunggu sebelum masuk. Pak Ebes menyatakan, bau asin air laut adalah hal yang ia sukai bi la tengah berada dalam ferry. Apalagi saat hendak sandar di pelabuhan Tanjung Pe rak. Karena itu berarti, jarak rumah tinggal ‘sejengkal’ lagi dari tem patnya berdiri saat itu.

Saya menjumpai adanya sedikit kemiripan antara kerinduan yang kami miliki. Seandainya saja saya membawa bekal roti se lai marmalade, ingin rasanya berbagi dengan Pak Ebes.

“Bila malam menjelang, rasanya Pamekasan lebih sejuk di-ban ding Surabaya,” komentar pria yang kediamannya di Am-bengan tak jauh dari Balaikota serta kawasan Ondomohen yang terkenal dengan kedai sate kelapanya.

“Beberapa orang ber komentar; gedung ini seram, punya ba nyak cerita menakutkan. Ta pi bagi saya yang sudah lama tinggal di sini, rasa (takut) un tuk hal itu ti dak ada. Justru orang betulan kadang membuat sa ya takut. Ka rena mungkin ada yang berniat buruk atas diri ki ta. Kalau yang tidak terlihat, mereka tidak akan mencederai saya.”

Saya menganggukkan kepala pertanda dapat memaknai penu turan Pak Ebes. Sembari memperhatikan rambutnya yang keperakan, saya bayangkan dirinya dipagut sepi di luar hari-ha ri Sabtu dan Minggu, saat Irama Theatre tidak beroperasi. Du nia terus bergerak dinamis, seperti halnya teknologi yang mam pu menghadirkan home theatre di kediaman masyarakat. Na mun lelaki ini terus bertahan di tengah kekinian. “Keluarga tidak pernah saya pindahkan ke Pamekasan. Anak-anak tum-buh dan besar di Surabaya. Sesekali saja mereka menengok bi la saya sudah lama tidak pulang,” ucapnya pelan.

PERKATAAN PAK EBES TENTANG kedua putranya mem buat saya teringat akan kado pemberian orang tua saya se bagai bukti kelulusan kuliah. Keluarga kami yang terdiri atas empat orang, berpetualang naik mobil, menyusur sepanjang pesisir selatan Pu lau Madura. Peristiwa ini sekaligus menjadi kedatangan pamungkas saya. Setelah itu, saya tak pernah bertandang lagi, termasuk ke tika kantor ayahanda menggelar perhelatan masa purnabakti baginya.

Saya berada sekian ribu mil jauhnya dari orang tua dan hanya menikmati prosesi itu lewat serangkaian potret. Ke tika ayah dan ibu saya dijemput menggunakan semacam ferry pengangkut khusus para personel—di hari-hari biasa, ayah saya lebih memilih menggunakan ferry umum, karena suasana te rasa lebih ‘berwarna’ baginya—lalu berpindah ke sebuah lori yang ditarik melewati terowongan buatan pasukan Jepang, sisa Pe rang Dunia II dan disambut dengan sebuah upacara di mana para pesertanya mayoritas berbusana putih-putih.

Kembali kepada perjalanan kami keliling Madura, ayah saya menggunakan ‘teknik’ reverse atau mendatangi tempat terjauh untuk melaku kan eksplorasi, disusul ke titik-titik yang

lebih dekat ke arah ke pu langan. Hal itu pula yang menjadi kebiasaan saya saat me la kukan backpacking. Membelanjakan waktu lebih lama di tem pat paling diinginkan—meski letaknya paling jauh—disusul pri oritas kedua dan seterusnya.

Jadilah Sumenep sebagai titik terjauh bagi kami. Destinasi kami adalah kompleks makam bangsawan Asta Tinggi dan Kraton Sumenep—dibangun tahun 1750 pada masa Panem-bahan Sumala atau Notokusumo I. Beliau merupakan penerus Raden Ayu Tir tonegoro—pemegang tahta ke-30 sekaligus satu-satunya pe mimpin perempuan dalam sejarah kerajaan Sumenep—yang me nikah dengan Bendara Saod.

Langgam arsitektur Kraton Sumenep yang terdiri atas dua lantai tersimak unik. Menyatukan beberapa gaya. Seperti pilar-pi lar bernuansa Eropa ditambah ornamen berukir burung hong yang begitu dikenal dalam kebudayaan Tiongkok. Dise-but kan bahwa salah satu arsitek pembuatan kraton adalah Lauw Piango, seorang cucu dari warga China pertama yang me ne tap di Sumenep pasca pembantaian etnis Tiongkok di Ba-ta via (Jakarta). Dalam konteks mengenang jasa sang arsitektur, ia dimakamkan di kawasan Asta Tinggi.

Meski tak lagi dihuni, kecuali sebuah sudut di bagian bela-kang yang dibangun menjadi kediaman bupati Sumenep, ista na di ujung paling timur Pulau Madura ini serasa terus me ru ap-kan aura kemegahannya di masa silam. Beberapa perhelatan pemerintahan setempat serta berbagai pergelaran seni kota Sumenep kerap dilangsungkan di Pendopo Agung.

Sedang di bagian barat istana, terdapat Mesjid Jamik atau Mesjid Agung Sumenep beratap meru tiga susun—merupakan pe ngaruh budaya Hindu—dengan lantai ubin keramik khas China. Tempat peribadatan para penghuni istana ini meng-gantikan keberadaan Mesjid Laju atau mesjid lama.

Pengunjung dapat menghayati kehidupan para raja Su-menep yang telah menetakkan trah kebangsawanan di bumi Ma dura, dengan mendatangi museum di seberang kompleks istana. Beberapa artefak antara lain mahkota Raden Ayu Tirtonegoro dan tempat tidur gaya China sekitar 300 ta hun.

Page 6: Inside Madura

110 NatioNal GeoGraphic traveler

Soto Madura serta sate ayam Madura

merupakan menu paling populer dari Pulau

Garam. Selain itu, ada menu khas nasi jagung

dan podak—dodol jagung dibungkus kulit

jagung— karena jagung adalah makanan

pokok mereka. Petis merupakan penyedap

rasa multiguna. Berbentuk pasta kecokelatan,

dibuat dari sari ikan atau udang dipadatkan

dengan tepung serta diberi bumbu. Petis

dapat dicampurkan saat hidangan tengah

dimasak, dihaluskan bersama cabai ditambah

kecap untuk menjadi sambal cocol tahu

goreng, sampai menjadi penyedap saos sate

dan bumbu rujak—karena itu dinamai rujak

petis Madura. Kembali kepada pengertian

saya soal Madura yang sarat nilai humoris,

agaknya bisa ditemui pada nama­nama

hidangan mereka. Setelah potre nyelem dan

musawaroh, ada juga manto keponakan—bisa

saja berarti menjadikan keponakan sebagai

menantu atau hidangan yang pas bagi

menantu hingga keponakan. Bahannya daun

labu diiris halus, dicampur kocokan telur

dan diberi bumbu, dikukus dalam loyang,

lalu dipotong dadu dan ditusuki seperti sate.

Salah satu resto yang saya temui saat berada

di Blega, kabupaten Bangkalan bernama

‘Takdir Illahi’. Seolah menyiratkan tentang

kesungguhan dari pemiliknya untuk melayani

para pembeli sepenuh hati, karena memang

sudah menjadi nasibnya!

Petis dan Nama Unik[ KULINER ]

perjalanan via laut. Menjadi destinasi wisata

dan para pejalan dapat mengabadikan diri

berlatarbelakang jembatan, pilih lokasi sekitar

daerah Nambangan, di sisi Surabaya. Bila

ingin potret sunset dengan objek jembatan,

silakan mengabadikan dari area Kenjeran,

bagian timur dari jembatan. Ruang memotret

lebih leluasa dari sisi Surabaya dibanding

dari Madura. Kraton Sumenep » Istana dan

taman sari yang menjadi destinasi utama

bagi para pejalan yang bepergian ke kota

Sumenep. Dibangun Panembahan Sumala

atau Notokusumo I. Dilengkapi museum

dan dikenai retribusi masuk. Mesjid Jamik

» tempat beribadat kaum muslim yang

memiliki atap meru bersusun tiga. Dulu

merupakan mesjid eksklusif yang hanya

digunakan para penghuni istana. Asta Tinggi

» peristirahatan terakhir raja-raja Sumenep.

Terletak 2 km dari pusat kota, pada sebuah

bukit yang teduh. Makam terbesar adalah

milik Panembahan Notokusumo I. Terdapat

paviliun di mana terdapat bekas tanda pedang

Pangeran Purwonegoro, penyerang Bendara

Saod. Alasannya; si penyerang jatuh cinta

kepada Raden Ayu Tirtonegoro, ratu Sumenep

sekaligus istri Bendara Saod. Eksekusi

pembunuhan gagal dilakukan. Pantai Talang

Siring » pantai di kabupaten Pamekasan

yang menghasilkan rumput laut, penyedap

masakan khas Madura, petis, serta ikan teri.

Belum banyak dieksplorasi. Pantai Camplong

» pantai berlokasi sekitar 60 km dari

Bangkalan. Pengunjung dapat menyaksikan

perahu-perahu nelayan berbentuk khas.

Pasarean Air Mata Ebu » makam permaisuri

raja Tjakraningrat I dan keluarga dinasti

Tjakraningrat yang bertahta di Bangkalan.

pembatikan. “Jujur, saya ini sebenarnya tak per nah pegang canting langsung, karena me miliki alergi terhadap bau malam,” buka Asmak Ismail Koeddah yang berusia 62 tahun. “Tapi justru di antara keduabelas anak dari orang tua saya (ia nomor 6) sayalah yang terjun full pertama dalam usaha batik warisan orang tua, dirintis sejak tahun 1930-an.”

Ibu Asmak menyebut, lepas SMA di tahun 1980, ia langsung meng urusi batik. “Saya juga satu-satunya anak yang tidak ku-liah, karena lebih suka membantu ibu dalam bisnis ini.”

Meski alergi, Ibu Asmak tak merasa terbatasi cuma meng-urus penjualan dan pengiriman ke Surabaya serta berbagai kota di Jawa. “Saya juga mengurusi desain. Merancang sendiri, baik mo tif tradisonal dan kontemporer. Bila sedang ingin mem buat kar ya, coret-coret sebentar langsung jadi.”

Karena sudah lama berkecimpung dalam dunia batik tulis Pa mekasan, ia pun dapat membedakan bermacam bahan dasar ka in batik, hasil pekerjaan tiap pekerjanya—ada 11 pembatik, ma cam motif sampai harga yang pantas serta ber edar di pasar. Semuanya bisa ia lakukan tanpa kesulitan.

Proses pembuatan batik Ibu Asmak yang memberi label to-konya sentra kerajinan ‘Batik 12’ adalah mencuci bahan atau di sebut diketel, agar tidak mengerut dalam proses selanjutnya. Lalu digambar atau diberi pola serta dibatik atau dilapis ma-

HAL UMUMBangkalan, Sampang, Pamekasan dan

Sumenep merupakan empat ibukota

kabupaten Madura. Secara geografis berbatas

Laut Jawa (utara), Selat Madura (selatan),

Pulau Jawa (barat) dan Pulau Sapudi (timur).

Kondisi iklim tropis, frekuensi hujan turun

lebih sedikit dibanding Pulau Jawa. Waktu

GMT+7 atau sama dengan waktu Indonesia

Bagian Barat (WIB). Bahasa daerah Madura

dan pengantar umum bahasa Indonesia.

Bahasa Madura juga banyak dituturkan

di sepanjang pantai Jawa Timur, seperti

Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Paiton, Pasir

Putih, Jember, Situbondo sampai Banyuwangi,

karena ke kota-kota inilah mayoritas

masyarakat Madura merantau. Telepon ke

Madura dari Jakarta, tekan kode area 031

(kabupaten Bangkalan), 0324 (kabupaten

Pamekasan) dan 0328 (kabupaten Sumenep).

ADA DALAM ARTIKELPatung Jalesveva Jayamahe » monumen

sang laksamana karya I Nyoman Nuarta.

Tinggi 30,6 m dan ditopang bangunan

bundar 30 m dan berlantai 4 m yang berisi

diorama perjuangan tentara Angkatan Laut.

Memberi simbol Surabaya sebagai kota

maritim. Dibangun atas inisiatif Kepala Staf

Angkatan Laut, Laksamana TNI Muhammad

Arifin. Diresmikan pada Hari Armada, 5

Desember 1996 oleh Presiden Suharto.

Tanjung Perak » bandar laut kota Surabaya.

Tempat berlabuh ferry Surabaya – Madura

(Kamal), juga kapal penumpang (Pelni) tujuan

Indonesia Timur. Ujung » nama pangkalan

Angkatan Laut Armada Timur (Armatim)

di Surabaya. Tempat di mana monumen

Jalesveva Jayamahe berdiri. Kenjeran » pantai

umum (publik) di pesisir timur Surabaya,

terdiri atas pantai lama dan pantai baru.

Pantai lama dikenal sebagai sentra oleh-oleh

makanan khas seperti krupuk terung, tripang,

grinting udang, petis dan trasi. Lokasi favorit

mengabadikan momen matahari terbenam

dengan objek Jembatan Suramadu. Jembatan

Suramadu » dilafalkan sebagai ‘suromadu’

oleh masyarakat Surabaya dan Madura, sama

seperti cara mereka menyebut nama kota

‘Suroboyo’. Merupakan penghubung via darat

dari Surabaya dan Madura atau alternatif

Oleh MANggALANI R UKIRSARI

Pesisir Timur Maduranarasumber

Dari Sumenep kami bertolak ke barat, singgah di pantai Ta-lang Siring, Pamekasan dan Pantai Camplong, Sam pang serta diakhiri sowan ke kompleks Pasarean Aer Mata Ebu (ibu dalam bahasa Madura) di kecamatan Arosbaya, ka bupaten Bangkalan, yang menjadi favorit ibunda saya.

Di situ, batu-batu nisan berwarna broken white yang ditatah apik me nunjukkan adanya akulturasi budaya Hindu, Buddha dan Islam. Makam intinya adalah peristirahatan Kanjeng Ratu Ibu Syarifah Ambami dan Panembahan Tjakraningrat II, Tjakraningrat III dan Tjakraningrat IV.

DARI IRAMA THEATRE yang mencuatkan kenangan akan per jalanan bersama orang-orang rumah tercinta menyusur Madura, saya melangkahkan kaki menuju Monumen Arek Lancor—lam bang kota Pamekasan. Langkah baru terhenti di sebuah gang di Jalan Di po negoro. Pada sebuah halaman samping toko, di mana terlihat beberapa perempuan mem-batik. Kain belacu berpola diletakkan di pang kuan, ada kompor dan wajan berisi ma lam mendidih, serta canting di ta ngan.

“Saya panggilkan Ebu sebentar, ya?” le laki tampan bernama Dahruji Zain itu menyilakan saya du duk di serambi, dan ia bergegas pergi. “Supaya beliau sendiri yang memilihkan batik mana paling cocok untuk dipakai jebbing dari Sura baya.”

Saya tersenyum sembari geleng kepala. Panggilan jebbing ini di tu jukan bagi anak perempuan. Na mun—saya senantiasa ingat—ayah saya ge mar menggoda dengan memanggil sa ya ‘Cong’. Kependekan dari kacong yang ber arti anak lelaki.

Seorang ibu bertubuh subur meng ham piri saya dan tak la-ma kemudian kami asyik mengobrol sambil me lihat proses

NoSTALgIA TETAP TINggAL, seperti detail yang tertera pada selembar batik tulis Pamekasan.

lam. “Kemudian ada proses yang dalam bahasa kami disebut to letan atau ditolet, yaitu memberi aksen warna cerah, seperti me rah dan oranye, dilanjutkan proses ‘buka tutup’. Artinya detail yang akan diwarnai dibuka lapisan malamnya, yang tidak diu bah dibiarkan tetap tertutup. Setelah seluruh rangkaian proses ‘buka tutup’ se lesai dikerjakan, baru dilorot atau dibersihkan dari seluruh sisa malam yang menempel.”

Sambil menerangkan proses pembuatan itu, Ibu Asmak meng gamit lengan saya. Kami me-nyaksikan Dahruji Zain—karyawannya yang sudah 10 tahun mengabdi di sentra kera jin-an ‘Batik 12’—melakukan proses pencucian batik meng gunakan air mendidih 100ºCelcius. Malam atau wax pun me luruh, sementara toletan detail batik tetap tinggal pada pe mukaan kain.

Bagi saya, seperti itulah kenangan. Ketika se gala hal bersifat umum datang dan pergi, ia akan ting gal di benak, seperti detail yang ter te-ra pada selembar batik tulis Pamekasan.

Kapan saat terbaik mengunjungi Madura? Pulau ini dapat didatangi kapan saja,

mengingat akses makin mudah. Waspadai

cuaca terik menyengat. Masyarakat setempat

mengedepankan nilai­nilai religius, hingga

gunakan pakaian sepantasnya. Diperlukan

effort besar untuk berkunjung ke berbagai

tempat di Madura. Kemungkinan besar

Anda akan banyak ditanya, bila menyandang

kamera SLR. Jawablah dengan santun.

Biasakan meminta ijin sebelum memotret

objek manusia. Bagaimana cara mencapai

Madura? Cara paling nyaman adalah

menggunakan mobil pribadi atau jasa

penyewaan yang banyak tersedia di Surabaya.

Lakukan eksplorasi lewat penyeberangan

ferry di Tanjung Perak atau Jembatan

Suramadu. Sumenep merupakan titik terjauh

desinasi wisata pesisir selatan Madura, hingga

bisa dijadikan tempat beristirahat (biasanya

semalam) sebelum kembali ke Surabaya.

[ PANDUAN & SARAN ]

www.bangkalankab.go.id, www.pameka

san.info, www.sumenep.go.id

Hidangan laut

marak di pesisir.

juli 2010 111

Ladang garam: Mata pencaharian khas masyarakat Madura. Diabadikan dekat jembatan Canglok, Sampang. Dari sini, penduduk naik perahu ke destinasi wisata Pulau Mandangin.

KA

rTog

rA

fI oLEh

DA

nu

PuJIA

Ch

IrI, PETA

oLEh

LAM

BoK

hu

TABA

rA

T, SuM

BEr PETA

: ng

I MA

PS