Madura - Copy

29
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keperawatan transkultural merupakan suatu arah utama dalam keperawatan yang berfokus pada study komparatif dan analisis tentang budaya dan sub budaya yang berbeda di dunia yang menghargai perilaku caring, layanan keperawatan, niai- nilai, keyakinan tentang sehat sakit, serta pola-pola tingkah laku yang bertujuan mengembangkan body of knowladge yang ilmiah dan humanistik guna memberi tempat praktik keperawatan pada budaya tertentu dan budaya universal (Marriner-Tomey, 1994). Teori keperawatan transkultural ini menekankan pentingnya peran keperawatan dalam memahami budaya klien Pemahaman yang benar pada diri perawat mengenai budaya klien, baik individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat, dapat mencegah terjadinya culture shock maupun culture imposition .Cultural shock terjadi saat pihak luar (perawat) mencoba mempelajari atau beradaptasi secara efektif dengan kelompok budaya tertentu (klien) sedangkan culture imposition adalah kecenderungan tenaga kesehatan (perawat), baik secara diam-diam mauoun terang-terangan memaksakan nilai-nilai budaya, keyakinan, dan kebiasaan/perilaku yang dimilikinya pda individu, keluarga, atau kelompok dari budaya lain karena mereka meyakini bahwa budayanya lebih tinggi dari pada budaya kelompok lain. Teory keperawatan transkultural matahari terbit, sehinnga di sebut juga sebagai sunrise model matahari 1

description

Madura - Copy

Transcript of Madura - Copy

Page 1: Madura - Copy

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keperawatan transkultural merupakan suatu arah utama dalam

keperawatan yang berfokus pada study komparatif dan analisis tentang budaya

dan sub budaya yang berbeda di dunia yang menghargai

perilaku caring, layanan keperawatan, niai-nilai, keyakinan tentang sehat sakit,

serta pola-pola tingkah laku yang bertujuan mengembangkan body of

knowladge yang ilmiah dan humanistik guna memberi tempat praktik

keperawatan pada budaya tertentu dan budaya universal (Marriner-Tomey,

1994). Teori keperawatan transkultural ini menekankan pentingnya peran

keperawatan dalam memahami budaya klien

Pemahaman yang benar pada diri perawat mengenai budaya klien, baik

individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat, dapat mencegah

terjadinya culture shock maupun culture imposition.Cultural shock terjadi saat

pihak luar (perawat) mencoba mempelajari atau beradaptasi secara efektif

dengan kelompok budaya tertentu (klien) sedangkan culture imposition adalah

kecenderungan tenaga kesehatan (perawat), baik secara diam-diam mauoun

terang-terangan memaksakan nilai-nilai budaya, keyakinan, dan

kebiasaan/perilaku yang dimilikinya pda individu, keluarga, atau kelompok dari

budaya lain karena mereka meyakini bahwa budayanya lebih tinggi dari pada

budaya kelompok lain.

            Teory keperawatan transkultural matahari terbit, sehinnga di sebut juga

sebagai sunrise modelmatahari terbit (sunrise model ) ini melambangkan esensi

keperawatan dalam transkultural yang menjelaskan bahwa sebelum memberikan

asuhan keperawatan kepada klien (individu, keluarga, kelompok, komunitas,

lembaga), perawat terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan mengenai

pandangan dunia (worldview) tentang dimensi dan budaya serta struktur sosial

yang, bersyarat dalam lingkungan yang sempit.

Dimensi budaya dan struktur sosial tersebut menurut Leininger di

pengaruhi oleh tujuh faktor, yaitu teknologi, agama dan  falsafah hidup, faktor

sosial dan kekerabatan, nilai-nilai budaya dan gaya hidup, faktor kebijakan dan

peraturan yang berlaku, faktor ekonomi, dan faktor pendidikan.

1

Page 2: Madura - Copy

Peran perawatan pada transcultural nursing teory ini adalah menjebatani

antara sistem perawatan yang dilakukan masyarakat awam dengan sistem

perawatan prosfesional melalui asuhan keperawatan. Eksistensi peran perawat

tersebut digambarkan oleh leininger.oleh karena itu perawat harus mampu

membuat keputusan dan rencana tindakan keperawatan yang akan diberikan

kepada masyarakat. Jika di sesuaikan dengan proses keperawatan, hal tersebut

merupakan tahap perencanaan tindakan keperawatan.

Tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien harus tetap

memperhatikan tiga perinsip asuhan keperawatan, yaitu :

a. Cultural care preservation/maintenance

Mempertahankan budaya dilakukan apabila budaya pasien tidak

bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi

keperawatan diberikan sesuai dengan dengan nilai-nilai yang relevan yang

telah dimilki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan

status kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap pagi.

b. Cultural careaccomodation/negotiation

Membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih condong

ke arah kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan

menentukan budaya lain yang mendukung peningkatan kesehatan. Misalnya

klien sedang hamil mempunyai pantangan makanan yang berbau amis.

c. Cultual care repartening/reconstruction

Restrukturisasi budaya klien dilakukan apabila budaya yang dimiliki

merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya

hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana

hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan

keyakinan yang dianut.

2

Page 3: Madura - Copy

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Mahasiswa dapat menentukan cara pengkajian, diagnosa,

intervensi, implementasi dan evaluasi berdasarkan teori transkultural ras

Madura.

1.2.2 Tujuan Khusus

Mahasiswa dapat mengetahui pengkajian berdasarkan cultural nursing

yang meliputi :

1) Memahami Budaya Madura.

2) Memahami asuhan keperawatan transkultural nursing pada Budaya

Madura.

3

Page 4: Madura - Copy

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Madura

Suku Madura adalah salah satu suku di provinsi Jawa Timur, yang

mendiami pulau Madura dan pulau-pulau kecil sekitarnya, seperti Gili Raja,

Sapudi, Raas, dan Kangean. Populasi suku Madura termasuk yang ke-3 terbesar

di Indonesia, diperkirakan lebih dari 6.800.000 orang. Masyarakat Madura

dikenal memiliki budaya yang khas, unik, dan identitas budayanya itu dianggap

sebagai jati diri individual etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan

masyarakat. Madura dengan empat kabupaten merupakan wilayah dengan

jumlah penduduk yang sangat besar dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa

Timur, dan angka kematian bayi di Madura sangat tinggi dibandingkan dengan

wilayah lain di Jawa Timur. Budaya ini sebenarnya merupakan sarkasme bagi

entitas budaya Madura.

Dalam sejarah orang Madura, carok adalah duel satu lawan satu, dan ada

kesepakatan sebelumnya untuk melakukan duel. Malah dalam persiapannya,

dilakukan ritual-ritual tertentu menjelang carok berlangsung. Kedua pihak pelaku

carok, sebelumnya sama-sama mendapat restu dari keluarga masing-masing.

Karenanya, sebelum hari H duel maut bersenjata celurit dilakukan, di rumahnya

diselenggarakan selamatan dan pembekalan agama berupa pengajian. Oleh

keluarganya, pelaku carok sudah dipersiapkan dan diikhlaskan untuk terbunuh.

Carok ini adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh

orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta dan wanita. Pada intinya

carok ini dilakukan untuk menjaga kehormatan. Ungkapan etnografi yang

menyatakan, etembang pote mata lebih bagus pote tolang (daripada hidup

menanggung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah) inilah yang

menjadi motivasi orang untuk melakukan carok.

Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta

sifatnya yang temperamental dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal

hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Padahal orang madura itu adalah orang yang

mudah menerima keadaan, berusaha mengalah, dan cenderung berprasangka

baik pada orang lain. Hal inilah yang sering melahirkan pemikiran untuk

memperdayai dan memanfaatkan keluguan orang madura. Sehingga pada

4

Page 5: Madura - Copy

akhirnya ketika orang madura berusaha membela diri, emosi dan membalas

secara fisik, terlihat seperti suku yang tempramental.

Bahasa Madura sebagai alat pemersatu orang-orang Madura dimana pun

mereka berada, sebenarnya adalah budaya dasar Madura. Akan tetapi, semakin

hari semakin lama, orang-orang Madura mulai jarang menggunakan bahasanya

sendiri. Sehingga dengan adanya kenyataan ini, pemerintah kota Surabaya

pernah mengadakan lomba pantun dan syair Madura. Tujuannya adalah tidak

lain untuk tetap melestarikan bahasa Madura sebagai bahasa daerah Madura.

Pandangan hidup orang Madura tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai

agama Islam yang mereka anut. Fakta sosiologisnya, yaitu hampir seluruh orang

Madura adalah penganut agama Islam. Ketaatan mereka pada agama Islam

sudah merupakan penjatidirian penting bagi orang Madura. Ini terindikasikan

pada pakaian mereka yaitu sampèr (kain panjang), kebaya, dan burgo’

(kerudung) bagi kaum perempuan, sedangkan sarong (sarung) dan songko’

(kopiah atau peci) bagi kaum laki-laki sudah menjadi lambang keislaman

khususnya di wilayah pedesaan (Rifai, 2007: 446). Oleh karena itu, identitas

keislaman merupakan suatu hal yang amat penting bagi orang Madura.

Sesuai dengan ajaran Islam yang dianutnya, pandangan hidup orang

Madura menuntunnya untuk menjalani kehidupan demi pencapaian kebahagiaan

dunia dan akhirat. Untuk itulah kegiatan berikhtiar/berupaya menjadi sangat

penting bagi orang Madura, sebab pendekatan ini akan memperbesar

kemungkinan pencapaian semua keinginan dan tujuan (Munir 1985: 228).

Orang Madura sangat sadar bahwa ‘hidup’ itu tidak hanya berlangsung di dunia

sekarang ini tetapi juga diteruskan kelak di akhirat. Itu sebabnya orang Madura

sangat yakin bahwa amal mereka di dunia ini akan dapat dijadikan bekal buat

kehidupannya di akhirat kelak. Ibadah agama dilaksanakan dengan penuh

ketekunan dan ketaatan karena dilandasi kesadaran dan keyakinan bahwa

mengaji menjadi bekal atau modal di akhirat.

Pandangan hidup orang Madura yang lain tercermin pula dalam

ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato. Orang Madura pertama-tama harus patuh

dan taat pada kedua orangtuanya, kemudian pada guru (ulama/kiai), dan terakhir

pada rato (pemimpin formal atau biasa disebut birokrasi). Kepatuhan atau

ketaatan kepada Ayah dan Ibu (buppa’ ban Babbu’) sebagai orangtua kandung

atau nasabiyah sudah jelas, tegas, dan diakui keniscayaannya. Secara kulturak

ketaatan dan ketundukan seseorang kepada kedua orangtuanya adalah mutlak.

5

Page 6: Madura - Copy

Jika tidak, ucapan atau sebutan kedurhakanlah ditimpakan kepadanya oleh

lingkungan sosiokultural masyarakatnya. Bahkan, dalam konteks budaya mana

pun kepatuhan anak kepada kedua orangtuanya menjadi kemestian secara

mutlak, tidak dapat dinegosiasikan, maupun diganggu gugat. Yang mungkin

berbeda, hanyalah cara dan bentuk dalam memanifestasikannya. Kepatuhan

mutlak itu tidak terkendala oleh apa pun, sebagai kelaziman yang ditopang oleh

faktor genealogis. Konsekuensi lanjutannya relatif dapat dipastikan bahwa jika

pada saat ini seseorang (anak) patuh kepada orangtuanya maka pada saatnya

nanti dia ketika menjadi orangtua akan ditaati pula oleh anak-anaknya. Itulah

salah satu bentuk pewarisan nilai-nilai kultural yang terdiseminasi. Siklus secara

kontinu dan sinambung itu kiranya akan berulang dan berkelanjutan dalam

kondisi normal, wajar, dan alamiah. Sebagai aturan normatif yang mengikat

setiap orang Madura maka pelanggaran atau paling tidak melalaikan aturan itu

akan mendapatkan sanksi sosial sekaligus kultural. Tentu saja, pemaknaan

sebatas itu tidak sepenuhnya salah. Oleh karenanya, perlu adanya perenungan

kembali yang lebih mendalam.

Figur ghuru dalam konteks kehidupan budaya Madura berfungsi dan

berperan sebagai figur panutan sekaligus rujukan tentang segala hal yang

berkaitan dengan aspek-aspek moralitas dan keagamaan. Dengan demikian,

dalam pandangan dunia (world view) orang Madura figur ghuru lebih merupakan

reprensentasi tentang kehidupan “ukhrowi” (sacred world). Sedangkan figur rato

adalah suatu achievement status yang persyaratannya bukan faktor genealogis

melainkan semata-mata karena faktor achievement (prestasi). Siapa pun yang

dapat dan mampu meraih prestasi itu berhak pula menduduki posisi sebagai figur

rato. Namun demikian, dalam realitas praksisnya tidak semua orang Madura

dapat mencapai prestasi ini. Oleh karena itu, figur rato pun kemudian menjadi

barang langka.

Dalam konteks itu, para bupati-kiai yang secara politik dan legal formal

telah ditasbihkan menjadi rato. Mau tidak mau dituntut harus memiliki sikap dan

perilaku yang jelas, tegas sesuai dengan konteks dan setting sosial-politik serta

budaya yang melingkupinya. Artinya, pada saat dan situasi apa harus berperan

dan berfungsi sebagai figur guru dan pada saat dan situasi sosial budaya mana

pula yang harus berfungsi dan berperan sebagai figur rato. Jika tidak, bukan

hanya warga masyarakat yang akan mengalami kebingungan kultural, melainkan

dirinya sendiri yang akan mengalami hal yang sama. Bila demikian, pelaksanaan

6

Page 7: Madura - Copy

kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah tidak akan berjalan secara

efektif dan efisien.

Namun tidak menutup kemungkinan para bupati-kiai bisa jadi

menyikapinya dengan sikap dan perilaku dalam bentuk “dwi fungsi”. Yakni dalam

sikap dan perilakunya berfungsi dan berperan sebagai figur guru sekaligus

sebagai rato dalam segala macam situasi baik yang bersifat sosial-budaya-

keagamaan maupun bersifat politik formal dalam menjalankan roda

pemerintahan. Dalam konteks ini tentu sangat diperlukan suatu kearifan agar

tidak terjadi benturan-benturan peran dan fungsi antara kedua figur itu yang

akibatnya akan sangat kontra produktif bagi pelaksanaan aktivitas pemerintahan

dan pembangunan daerah.

Mungkin hal lain yang sangat penting diperhatikan dan diperlukan adalah

semangat dan kemampuan kepemimpinan (leadership) yang memadai demi

terlaksananya semua kegiatan dan aktivitas pemerintahan dan pembangunan

daerah dengan sebaik-baiknya. Kepatuhan dan ketaatan dari setiap warga

masyarakat sangat penting demi kelancaraan dan efektifitas pelaksanaan tugas-

tugas pemerintahan dan pembangunan daerah Madura ke depannya. Ini terkait

dengan upaya menumbuh kembangkan semangat demokratisasi serta

menciptakan clean government dan good governance yang ditandai dengan

semakin meningkatnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Madura

secara lahiriah maupun batiniah.

Dalam kebudayaan Madura terdapat ungkapan mon bhagus, pabhagas,

mon soghi pasogha’. Dalam pengertian luas, jika orang Madura telah memiliki

harta (kekuasaan) dan menjadi figur rato (karena telah mencapai prestasi

tertentu) hendaknya harus bersikap santun dan berwibawa. Caranya janganlah

bersikap dan berperilaku arogan (congkak), semena-mena, otoriter, tidak

menghargai bawahan, dan mau menang sendiri hanya karena dirinya menjadi

figur yang dipatuhi sehingga menjadi lupa daratan dalam mengimplementasikan

kekuasaannya. Oleh karena itu, setiap orang Madura yang memiliki kekuasaan

dan menjadi figur rato sudah seharusnya bersikap andhap asor (sopan santun,

arif dan bijaksana) sesuai dengan falsafah dan etika dalam kebudayaan Madura.

Budaya gotongroyong sangat terlihat saat ada prosesi kematian atau

pernikahan yang diselenggarakan oleh penduduk Madura. Karena di saat itulah

sanak saudara yang berada jauh dari Madura akan dengan rela hati

7

Page 8: Madura - Copy

menyempatkan diri datang ke Madura untuk membantu keluarganya yang di

Madura, begitu pula dengan tetangga-tetangga dekat atau jauhnya.

Akulturasi adalah proses secara bertahap, seseorang mendeteksi

kesamaan dan perbedaan budayanya sendiri dengan lingkungan barunya. Orang

Madura dan orang Jawa pada kenyataannya memiliki  budaya yang sama dalam

hal sopan santun.Keduanya ternyata sama-sama menjunjung tinggi sopan

santun kepada orang lain terutama kepada orang yang lebih tua atau kepada

kedua orang tua. Hanya saja yang berbeda adalah dalam menjaga harga diri.

Jika harga diri orang Madura dilecehkan dan tidak dihargai maka orang Madura

akan marah dan tidak terima akan hal itu. Jika orang lain masih meremehkannya

dan membuatnya sakit hati maka tidak hanya dirinya yang tersakiti yang akan

maju menghadapi orang yang telah membuatnya sakit hati, akan tetapi sanak

saudara dan orang-orang sesama Madura (bagi yang berada di luar Madura)

akan membantu temannya yang sedang sakit hati ini untuk melawan orang

tersebut. Inilah yang membedakan antara orang Jawa dan Madura pada

umumnya.

Dekulturasi adalah proses dimana seseorang tidak mempelajari budaya

mendasar dari budaya barunya. Dan dia masih tetap memegang budayanya

sendiri. Bagi orang Madura yang berada di perantauan, mereka akan tetap

memegang budaya kekeluargaannya, yakni merasa malu jika perbuatan yang

dilakukan itu salah, sopan santun, keramahan, dan “taretan dhibi’”, sebagaimana

telah dijelaskan di atas tadi pada bagian enkulturasi. Akan tetapi yang perlu

diingat dan dijadikan catatan adalah jangan sampai membuat orang Madura sakit

hati.

Asimilasi adalah tingkat akulturasi dengan budaya baru dan tingkatan

dekulturasi dari budaya asalnya. Dan dari asimilasi inilah cikal bakal terjadinya

adaptasi. Dalam masyarakat Madura, adat pernikahan orang Madura dahulu

adalah dengan cara lesehan tanpa ada kursi ataupun pelaminan. Akan tetapi

karena semakin banyaknya orang Madura  yang memiliki pasangan yang berasal

dari luar Madura maka saat ini, adat pernikahan Madura yang awalnya lesehan

itu menjadi tidak ada dan berganti dengan adat pernikahan seperti orang Jawa

kebanyakan. Bahkan jika ada keluarga yang bisa menikahkan anak-anaknya di

gedung-gedung hal itu menjadi kebanggaan tersendiri.

Selain itu pula, prosesi tukar cincin dalam pernikahan orang Madura saat

ini mulai merebak. Padahal sebenarnya prosesi tukar cincin itu bukan berasal

8

Page 9: Madura - Copy

dari adat budaya Islam, hanya sebagian masyarakat Madura yang masih

memegang teguh ajaran Islamnya saja yang tidak melakukan prosesi tukar cincin

tersebut. Karena prosesi itu dilaksanakan sebelum akad nikah, dan dalam Islam

jika belum di akad nikah maka kedua orang laki-laki dan perempuan itu belum

menjadi mahram.

2.2 Perilaku Budaya Madura

Perilaku para ibu hamil di Madura lebih banyak mengkonsumsi nasi dan

sedikit jenis sayuran, dan sangat jarang mengkonsumsi telur dan susu, konsumsi

daging pun sangat kurang, barangkali hanya ikan yang mereka konsumsi, itu pun

jumlahnya sangat tidak mencukupi. Dan terbebani dengan berbagai aktivitas

rumah tangga, sehingga seringkah mereka merasa lebih cepat lelah, hal ini

sebagai 'efek samping' dari anemia yang mereka alami, selain itu juga

menyebabkan bayi lahir secara prematur dan bayi lahir dengan berat badan

rendah. Hal yang menyebabkan angka kematian ibu dan anak tinggi di Madura

adalah ketidak percayaan masyarakatnya terhadap tenaga kesehatan

professional, mereka lebih memilih ke para dukun beranak yang berjenis kelamin

perempuan karena Islam yang melarang seorang perempuan untuk berdekatan

dengan laki-laki yang bukan kerabatnya (mahram = orang yang diharamkan

untuk dinikahi). Selain itu faktor Ekonomi menjadi faktor pendorong mengapa

banyak ibu hamil di Madura lebih memilih untuk mendatangi dukun dan tenaga

kesehatan non- professional.

2.3 Definisi Keperawatan Transkultural

Keperawatan transkultural merupakan istilah yang sering digunakan

dalam cross-cultural atau lintas budaya, intercultural atau antar budaya, dan

multikultural atau banyak budaya (Andrews,1999). Leininger merupakan ahli

antropologi keperawatan sejak pertengahan lima puluhan yang merencanakan

bahwa transkultural nursing merupaer mendefinisikan “transkultural Nursing"kan

area formal yang harus diaplikasikan dalam praktik keperawatan

(leininger,1999;McFarland,2002).

Leininger mendefinisikan”transkultural Nursing” sebagai area yang luas

dalam keperawatan yang mana berfokus pada komparatif studi dan analisis

perbedaan kultur dan subkultur dengan menghargai perilaku caring, nursing care

dan nilai sehat-sakit, kepercayaan dan pola tingkah laku dengan tujuan

9

Page 10: Madura - Copy

perkembangan ilmu dan humanistic body of knowledge untuk kultur yang spesifik

dan kultur yang universasl dalam keperawatan (Andrews and Boyle,1997:

Leininger dan McFarland,2002). Tujuan dari transkultural dalam keperawatan

adalah kesadaran dan apresiasi terhadap perbedaan kultur. Selain itu juga untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dalam keperawatan yang humanis sehingga

terbentuk praktik keperawatan sesuai dengan kultur dan universal

(leininger,1978).

2.4 Konsep Utama Keperawatan Transkultural

Leininger (2002), beberapa asumsi yang mendasari konsep transkultural

berasal dari hasil penelitian kualitatif tentang kultur, yang kemudian teori ini

dipakai sebagai pedoman untuk mencari culture care yang akan diaplikasikan.

1) Human caring merupakan fenomena yang universal dimana

ekspresi, struktur dan polanya bervariasi diantara culture satu tempat

dengan tempat yang lainnya.

2) Caring act dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam

memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku caring

semestinya diberikan pada manusia sejak lahir , masa perkembangan ,

masa pertumbuhan , masa pertahanan sampai dikala meninggal.

3) Caring adalah esensi dari keperawatan dan membedakan,

mendominasi serta mempersatukan tindakan keperawatan.

Keperawatan adalah fenomena transkultural dimana perawat

berinteraksi dengan klien, staff dan kelompok lain.

4) Identifikasi universal dan nonuniversal kultur dan perilaku caring

profesional, kepercayaan dan praktek adalah esensi untuk menemukan

epistemology dan ontology sebagai dasar dari ilmu keperawatan.

5) Culture adalah berkenaan dengan mempelajari, membagi dan

transmisi nilai, kepercayaan norma dan praktek kehidupan dari sebuah

kelompok yang dapat terjadi tuntunan dalam berfikir, mengambil

keputusan, bertindak dan berbahasa.

6) Cultural care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk

mengetahui nilai, kepercayaan dan pola ekspresi yang mana

membimbing, mendukung atau memberi  kesempatan individu lain atau 

kelompok  untuk mempertahankan kesehatan, meningkatkan kondisi

kehidupan atau kematian serta keterbatasan.

10

Page 11: Madura - Copy

7) Nilai kultur berkenaan dengan keputusan/kelayakan yang lebih

tinggi atau jalan yang diinginkan untuk bertindak atau segala sesuatu

yang diketahui yang mana biasanya bertahan dengan kultur pada

periode tertentu.

8) Perbedaan kulturdalam keperawatan adalahvariasidari pengertian

pola, nilai atau simbol dari perawatan,kesehatan atau untuk

meningkatkan kondisi manusia, jalan kehidupan atau untuk kematian.

9) Culture care universality berkenaan dengan hal umum,

merupakan bentuk dari pemahaman terhadap pola, nilai atau simbol dari

perawatanyang mana kiltur mempengaruhi kesehatan atau memperbaiki

kondisi manusia.

10) Etnosentris adalah kepercayaan yang mana satu ide yang dimiliki,

kepercayaan dan prakteknya lebih tinggi untuk kultur yang lain.

11) Cultural imposition berkenaan dengan kecendrungantenaga

kesehatan untuk memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas

kultur lain karena mereka percaya bahwa ide mereka lebih tinggi dari

pada kelompok lain.

11

Page 12: Madura - Copy

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus

Sebuah keluarga di daerah Madura yang istrinya (Ny. B) seorang petani

yang berumur 28 tahun dan suaminya (Tn. B) seorang nelayan berumur 30 tahun

yang pulang ke rumah seminggu sekali. Mereka bersuku Madura beragama

islam yang sangat berpegang teguh pada ajarannya. Suatu ketika istrinya hamil,

dia lebih banyak mengonsumsi nasi dan sedikit mengonsumsi sayuran, dan

sangat jarang mengonsumsi telur dan susu, konsumsi daging pun sangat kurang,

dan hanya mengkonsumsi ikan, itu pun jumlahnya sangat tidak mencukupi. Dia

juga sering memeriksakan kehamilannya kepada dukun beranak yang ada di

desanya karena tidak percaya dengan tenaga profesional.

Setalah sembilan bulan, dia mulai merasakan kontraksi yang hebat.

Kemudian oleh sang suami dibawa ke rumah seorang dukun yang berada di

desanya. Setelah satu jam ditangani oleh dukun tersebut, ternyata bayi (bayi B)

ibu tersebut memiliki berat badan yang kurang dari 2400 gram. Bapak dan ibu

bayi tersebut khawatir dengan kondisi bayinya yang kurang dari berat ideal (3000

gram). Dukun bayi tersebut kebingungan dan tidak bisa berbuat apa-apa karena

dukun tersebut tidak memiliki peralatan medis sama sekali.

Bapak dan ibu tersebut kebingungan karena dukun yang dipercayainya

tidak bisa membantu sang bayi. Akhirnya mereka membawa bayi mereka pulang

ke rumah. Setelah dua hari bayi tersebut berada di rumah, bayi tersebut

mengalami demam yang cukup tinggi. Kemudian oleh kedua orang tuanya, sang

bayi di bawa ke seorang dukun yang dipercayai keluarganya secara turun-

menurun oleh keluarganya. Dukun tersebut memberikan sebotol air untuk

diberikan kepada sang bayi.

Beberapa hari kemudian air yang diberikan oleh kyai itu habis, tetapi sang

bayi masih demam. Tetangga mereka yang menjadi seorang perawat

menyarankan kepada mereka untuk membawa sang bayi ke rumah sakit agar

mendapat penangan medis. Orang tua sang bayi tidak mau karena mereka tidak

percaya pada tenaga medis yang proposional. Akhirnya sang bayi dibawa ke

rumah dukun lagi, karena mereka sangat percaya kepada pengobatan alternatif.

12

Page 13: Madura - Copy

Sang dukun menyarankan untuk dibawa ke rumah sakit, karena sang dukun

tidak mampu mengatasi keadaan sang bayi.

Keesokan harinya, mereka membawa bayi mereka ke sebuah rumah

sakit. Setelah diperiksa, bayi tersebut berat badannya kurang karena dari factor

sang ibu pada saat hamil hanya mengkonsumsi nasi, sedikit jenis sayuran,

sangat jarang mengkonsumsi telur dan susu. Padahal makanan tersebut sangat

bermanfaat bagi kesehatan karena protein berperan untuk mendukung

perkembangan tubuh dan sel otak, manfaat sayur bagi kesehatan yaitu

membentuk sel darah merah untuk sang ibu dan mencegah anemia bagi sang

bayi, dan manfaat susu bagi kesehatan yaitu membentuk tulang dan gigi bayi.

Sehingga diduga untuk bayi yang berat badannya kurang dari berat ideal

bayi baru dilahirkan karena efek dari sang ibu yang kurang mengkonsumi sayur,

telur, protein, dan susu. Jadi untuk menghindari bayi lahir dengan berat badan

kurang ideal yaitu dengan mengkonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna secara

rutin.

3.2 PENGKAJIAN

1. Nama perawat : Bhisma Prihaswara

Tgl pengkajian : 12 September 2014

Jam pengkajian : 09.00 WIB

2. Identitas pasien

Nama pasien : Ny. B

Usia : 28 Tahun

Agama : Islam

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Petani

Alamat : Jl.Cemara 12, Sumenep

Suku : Madura

Bangsa : Indonesia

Tgl masuk RS : 12 September 2014

Jam masuk RS : 07.00 WIB

No rekam medis : 12324501

13

Page 14: Madura - Copy

3. Penanggung jawab

Nama : Tn. B

Usia : 30 Tahun

Agama  : Islam

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Nelayan

Status pernikahan : Menikah

Hubungan dengan klien : Suami

Alamat : Jl.Cemara 12, Sumenep

Suku : Madura

Bangsa : Indonesia

                                     

4. Data Biokultural

Beberapa komponen yang spesifik pada pengkajian transkultural:

a. Faktor teknologi

Faktor ini menguraikan alasan klien memilih dukun beranak sebagai

tempat rujukan untuk bersalin. Ini dikarenakan tradisi keluarga klien yang lebih

percaya kepada dukun beranak ketimbang tenaga kesehatan professional.

b. Faktor agama dan falsafah hidup

Pasien beragama islam, dan memeluk erat agama islam. Ini terbukti dari

mereka lebih memilih ke dukun yang berjenis kelamin perempuan. Dalam agama

islam melarang seseorang yang bukan mahramnya untuk berdekatan atau

bersinggungan.

c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga

Klien sangat dekat dengan keluarga nya hubungan nya harmonis, di

tinjau dari suaminya yang mengantarkannya ke dukun beranak dan ke rumah

sakit. Menunjukkan bahwa pasien juga dekat dengan keluarganya. Dan sangat

patuh terhadap tradisi keluarga terbukti mereka mengutamakan bersalin ke

dukun beranak.

14

Page 15: Madura - Copy

d. Nilai budaya dan gaya hidup

e. Gaya hidup dalam klien ini membutuhkan pembenaran dan pendekatan

perawat dalam pemilihan bantuan proses persalinan dan kebiasaan dari

klien yang lebih banyak mengonsumsi nasi dan sedikit mengonsumsi

sayuran, serta sangat jarang mengonsumsi telur dan susu, konsumsi

daging pun sangat kurang, dan hanya mengkonsumsi ikan, itu pun

jumlahnya sangat tidak mencukupi.

f. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku

Dari hasil analisa kasus, klien sangat mengandalkan dukun beranak

desa tempat tinggalnya. Klien juga memerlukan pembenaran tentang “kebiasaan

makan yang tidak bergizi” dari perawat, agar klien mengikuti peraturan yang

berlaku di rumah sakit dengan mengganti konsumsi nasi dan sedikit

mengonsumsi sayuran, serta sangat jarang mengonsumsi telur dan susu,

konsumsi daging pun sangat kurang, dan hanya mengkonsumsi ikan menjadi

makanan berprotein tinggi.

g. Faktor ekonomi

Hasil analisa kasus didapatkan bahwa klien merupakan seorang yang

kurang berkecukupan dalam keluarganya. Ditinjau dari sudut pekerjaan nya,

yaitu petani dan suaminya seorang nelayan. Serta ditinjau dari kendaraan becak

yang di pakainya menuju dukun beranak dan rumah sakit .

h. Faktor pendidikan

Di tinjau dari kasus, klien merupakan orang yang berpendidikan rendah.

Karena dilihat dari segi pekerjaannya dia seorang buruh tani, dan suaminya yang

merupakan seorang nelayan. Hanya saja klien beserta keluarganya kurang

mengetahui bahwa makan cabai setelah melahirkan itu dianggap kurang baik.

15

Page 16: Madura - Copy

BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Intervensi

Dalam kasus ini, perawat menggunakan pendekatan negosiasi. Intervensi

yang bisa dilakukan berupa :

4.1.1 Memberikan pemahaman terhadap klien melalui pengetahuan kesehatan

tentang budaya masyarakat madura yang lebih mempercayai pengobatan

alternatif daripada pengobatan secara medis.

4.1.2 Memberikan solusi bahwa ketika hamil mengkonsumsi makanan 4 sehat

5 sempurna secara rutin dan proses melahirkan di bantu oleh tenaga

kesehatan professional.

4.1.3 Melakukan penyuluhan tentang pengobatan secara medis yang dilakukan

sebagai penanganan pertama sebelum melakukan pengobatan alternatif.

Negosiasi dengan pendekatan problem solving ini diharapkan dapat

meluruskan persepsi klien. Maka perawat harus mampu mengubah budaya klien.

Hanya saja dalam pelaksanaan tindakannya tidak dapat langsung menyalahkan

tetapi dengan dukungan, dengan pemberian informasi yang kuat dan dengan

penuh kesabaran memberikan informasi tentang bahayanya bagi kesehatan si

bayi.

Pada bab ini membahas tentang asuhan keperawatan pada Ny. B.

Adapun ruang lingkup dari pembahasan ini adalah sesuai dengan proses

keperawatan yaitu mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan

(intervensi), pelaksanaan (implementasi) dan evaluasi.

4.2 Pengkajian

Proses pengkajian yang dilakukan pada Ny. B dilakukan dengan

wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik langsung ke Ny. B, selain itu

penulis mendapatkan keterangan dari keluarga Ny. B, diskusi dengan perawat

ruangan dan dari catatan medis keperawatan Ny. B . Pelaksanaan pengkajian

mengacu pada teori, akan tetapi disesuaikan dengan kondisi Ny. B saat dikaji.

16

Page 17: Madura - Copy

Pada saat dilakukan pengkajian, Ny. B dan suami cukup terbuka dan

sudah terjalin hubungan saling percaya antara pengkaji dengan Ny. B dan

suami, sehingga memudahkan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Hal ini

dibuktikan dengan Ny. B dan keluarga klien mau menjawab pertanyaan dan

menerima saran yang diberikan oleh pengkaji. Dari data yang terkumpul

kemudian dilakukan analisis dan identifikasi masalah yang dihadapi oleh klien

yang merupakan data fokus dan selanjutnya dirumuskan diagnosa atau masalah

keperawatan. Kondisi klinis yang ditunjukkan oleh klien pada kasus Ny. B saat

dikaji sesuai dengan teori yang ada yaitu permasalah utama klien pada budaya

keluarga klien, yang memiliki kebiasaan apabila salah satu dari keluarga yang

akan melahirkan dibawa ke dukun dan mempercayai tenaga kesehatan

profosional..

Proses pengkajian dalam kasus di atas sesuai dengan teori Sunrise Model

yaitu dikaji berdasarkan 7 komponen Sunrise Model yaitu Faktor teknologi

(technological factors), Faktor agama dan falsafah hidup (religious and

philosophical factors), Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social

factors), Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways), Faktor

kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors, Faktor ekonomi

(economical factors), dan Faktor pendidikan (educational factors). Proses

pengkajian juga disesuaikan dengan kondisi klien.

4.3 Pelaksanaan (Implementasi)

Setelah rencana keperawatan dibuat, kemudian dilanjutkan dengan

pelaksanaan. Pelaksanaan rencana asuhan keperawatan merupakan kegiatan

atau tindakan yang diberikan Ny. B dengan menerapkan pengetahuan dan

kemampuan klinik yang dimiliki oleh klien berdasarkan ilmu-ilmu keperawatan

dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait. Seluruh perencanaan tindakan yang telah

dibuat dapat terlaksana dengan baik.

Pada kasus diatas semua intervensi kami implementasikan, kemudian 

tujuan pada intervensi sudah tertasi sehingga pada evaluasi intervensi dihentikan

atau dipertahankan.

17

Page 18: Madura - Copy

4.4 Evaluasi

Evaluasi adalah tahap akhir dalam proses keperawatan. Tahap evaluasi

dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subjektif dan data

objektif.

Tujuan tahap evaluasi adalah untuk memberikan umpan balik rencana

keperawatan, menilai, meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui

perbandingan asuhan keperawatan yang diberikan serta hasilnya dengan

standar yang telah ditetapkan lebih dulu.

Keberhasilan mengubah budaya yang sesuai dengan kesehatan. Ditandai

dengan pemahaman klien dan keluarga mengenai pentingnya suatu pelayanan

kesehatan.

18

Page 19: Madura - Copy

BAB 5

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Keperawatan Transkultural adalah suatu area/wilayah keilmuan budaya

pada proses belajar dan praktek keperawatan yang focus memandang

perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat

dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan

ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya

atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002).

Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada

“Sunrise Model” yaitu :

1)      Faktor teknologi (technological factors)

2)      Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)

3)      Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)

4)      Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (culture value and life ways)

5)      Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)

6)      Faktor ekonomi (economical factors)

7)      Faktor pendidikan (educational factors)

5.2 SARAN

5.2.1 Masyarakat suku Madura masih berpegang teguh pada tradisi

mengkonsumsi makanan yang kurang bergizi dan mempercayakan

proses persalinan pada dukun beranak

5.2.2 Strategi intervensi yang bisa dilakukan perawat adalah melakukan

negosiasi budaya yaitu secara bertahap menawarkan

substitusi/perubahan pola hidup penggunaan/mengkonsumsi makanan 4

sehat 5 sempurna.

19

Page 20: Madura - Copy

DAFTAR PUSTAKA

Dochter, Joanne Mecloskey, Phd dkk. 2004. Nursing Intervention Classification.

Jakarta : Mosby Elevier

Doengoes, Marilyann E Dkk. 1993 Rencana Asuhan Keperawatan. Pedoman

Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan. Jakarta :

EGC

dr. Suririna.2008.Buku Pintar Kehamilan dan Persalinan.Jakarta:Gramedia

Pustaka Utama.

Astawan, Made.2008.Khasiat Warna-warni Makanan.Jakarta:Gramedia Pustaka

Utama.

http://MADURA/DENGAN/MASALAH/

KESEHATAN_IPUTUJUNIARTHASEMARA PUTRA.htm (diakses

pada tanggal 15 November 2014. Pukul 09.00 WIB)

http://www.maduratea.com.au/ (diakses pada tanggal 15 November 2014. Pukul

11.00 WIB)

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1260/suku-madura (diakses pada

tanggal 15 November 2014. Pukul 14.00 WIB)

http://PerilakuKomunikasiAntarBudayaSukuMadura.htm (diakses pada tanggal

16 November 2014. Pukul 7.00 WIB)

20