MACAPAT MADURA
-
Upload
helmi-rohmanil-aziz-kun -
Category
Documents
-
view
1.718 -
download
34
Transcript of MACAPAT MADURA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Siapapun tidak dapat mengelak atau pun membantah tentang bukti-bukti keberhasilan
para Wali Songo ketika berdakwah menyiarkan agama Islam di bumi nusantara. Keberhasilan
para Wali tak terlepas dari metode yang dipergunakan pada saat itu, yaitu menggunakan
media kesenian. Adapun media seni tersebut antara lain, gamelan, berbagai upacara,
pertunjukan wayang ataupun menciptakan bentuk tembang (nyanyian). Untuk tembang mula-
mula dipakai sebagai media untuk memuji Allah SWT (pujian keagamaan), di surau-surau
sebelum didirikan shalat wajib. Tembang tersebut berbahasa Jawa, penuh sentuhan lembut
dan membawa kesahduan pada jiwa.
Tembang tersebut dinamakan tembang Macapat. Selain berisi pujian kepada Tuhan
Pencipta alam semesta, tembang tersebut menyampaikan ajaran, anjuran, serta ajakan untuk
mencintai ilmu pengetahuan, ajakan untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan
budi pekerti, mencari hakekat kebenaran serta membentuk manusia ber-kepribadian dan ber-
budaya. Melalui tembang Macapat setiap hati manusia diketuk untuk lebih mendalami serta
memahami tentang makna hidup. Lebih dalam lagi, syair-syair yang terkandung dalam
tembang Macapat merupakan manifestasi hubungan manusia dengan manusia, manusia
dengan alam, serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta.
Para wali yang menciptakan tembang Macapat adalah ;
1. Sunan Giri menciptakan tembang Sinom yang berarti Nur, yaitu tentang cahaya hidup
yang tak pernah tua,
2. Sunan Majagung, tembang Maskumambang yang melambangkan ilmu,
3. Sunan Kalijaga, menciptakan tembang Dandang Gula, berisi mengajak pada rasa
manis, yaitu mengharap kebahagiaan,
4. Sunan Bonang, menciptakan tembang Durma “harimau”. Harimau adalah lambang
dari 4 nafsu manusia, yaitu : ego centros – nafsu angkara, polemos – nafsu mudah
marah/berangasan, eros – nafsu birahi/sofia, relegios – nafsu keagamaan, kebenaran
dan kejujuran,
5. Sunan Murya, menciptakan tembang Pangkur yang melahirkan tembang pembirat,
yaitu tembang yang berisi bagaimana membasmi hati yang jahat,
6. Sunan Giri Parepen, menciptakan tembang Megatruh yang berisi ajaran meninggalkan
alam kotor,
7. Sunan Giri Jati, menciptakan tembang Pucung, melambangkan perasaan yang
memuncak (rasa perasaan itu puncak kehendak).
Seiring dengan penyebaran dan perkembangan agama Islam di berbagai wilayah
nusantara, tembang Macapat inipun menyebar sampai ke pulau Madura. Tembang Macapat
Madura awal keberadaannya berasal dari tembang Macapat Jawa dan tembang Macapat
Madura pada dasarnya adalah kumpulan beberapa tembang Jawa kuno. Oleh sebagian
penikmatnya, tembang Macapat diterjemahkan ke dalam bahasa Madura. Namun oleh
sebagian penikmat lainnya, setiap pembacaan tembang Macapat tetap menggunakan bahasa
Jawa kuna (kawi). Untuk mengetahui dan memahami makna, isi serta maksud tembang
tersebut, dipergunakan seorang penerjemah yang disebut “panegges”.
Kesenian tembang atau puisi tradisional “macapat”, kini terancam punah karena tidak
ada generasi penerusnya. Hanya para orang tua saja yang saat ini bisa nembang. Kalau dari
kalangan generasi mudah, sudah tidak ada lagi. Tidak adanya generasi muda yang mau
mempelajari kesenian tembang macapat ini karena jenis kesenian tradisional itu dinilai sulit.
Ada beberapa macam dalam tembang macapat dengan jumlah metrum bervariatif, mulai dari
lima hingga 10 metrum. Seperti tembang Artateh, Sinum (Senum), Kinanthi, Pangkur,
Pocung, Durma, Maskumambang, Asmaradana, Mijil, Jurudemung, Wirangrong, Balabak,
Gambuh, Megatruh, Girisa, dan Dhandhanggula.
Di Madura, jenis tembang macapat yang biasa digunakan hanya sekitar tujuh
tembang, yakni Artateh, Sinum, Pangkur, Pocung, Kinanthi, Kasmaran, dan tembang
Maskumambang. Ia menuturkan, jenis kesenian ini tergolong sulit dipelajari. Selain jenis
tembang dan cengkok lagi yang sangat banyak, juga dibutuhkan ketelatenan untuk berlatih.
Selain sulit mulai langkanya pelantun tembang macapat adalah karena gempuran budaya
modern yang oleh para generasi muda dianggap lebih keren, atraktif, dinamis, dan lebih
menarik untuk ditonton. Namun para maestro yang saat ini sudah mulai lanjut usia berkata
"Kalau kami-kami ini nanti tutup usia, jelas tidak akan ada lagi generasi penerusnya, karena
anak-anak muda sekarang tidak ada lagi yang mau belajar," katanya menjelaskan.
Oleh karena itu sangat perlu dilakukan antisipasi sebelum tembang macapat benar-
benar hilang seperti menjadikan tembang macapat pelajaran muatan lokal disekolah-sekolah
ataupun diadakan tempat kursus untuk belajar tembang macapat namun tentu saja hal tersebut
bukanlah hal mudah karena dari aspek-aspek yang telah dijelaskan diatas bahwa dalam
mempelajari tembang macapat sangatlah sulit, dan hal ini harus dilakukan dengan sabar dan
tekun agar rencana tadi benar-benar bisa terealisasi. Sehingga warisan luhur yang sangat
berharga ini dapat terus dipertahankan keberadaannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa tembang macapat Madura itu ?
2. Bagaimana mengatasi permasalahan semakin menghilangnya kesenian tembang macapat ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui dan memahami secara lebih mendalam tentang kesenian tembang
macapat.
2. Untuk mencari solusi apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan semakin
menghilangnya kesenian macapat Madura ?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kebudayaan
Karakteristik Tembang Macapat Madura
Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai
baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru
wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu. Macapat
dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali, Sasak, Madura, dan Sunda.
Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin. Biasanya macapat
diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara
membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya
ada pula. Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh
Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa
Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya
ditulis menggunakan metrum macapat. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran
pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi'
saja. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat
Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang
cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Macapat digolongkan kepada kepada kategori
tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin
atau puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru,
tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek. Di sisi lain tembang
tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.
Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih
mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang
didasarkan pada bahasa Sanskerta, dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan
pendek diabaikan.
Seni membaca tembang yang berasal dari tanah Jawa ini juga berkembang sampai ke
Pulau Madura. Namun, kini mulai terpinggirkan dan ditinggal masyarakatnya, khususnya di
Madura. Mengapa? Macapat mengandung makna dalam. Dengan mendengarnya, bisa
menyejukklan hati. Apalagi jika bisa tahu maknanya, akan sangat berarti dalam kehidupan.
Namun, seiring dengan berkembangnya berbagai musik modern, saat ini seni macapat kurang
digemari. Berdendang dengan dengan macapat dianggap kuno atau malah katrok. Meski
dengan peminat sedikit, macapat masih bertahan. Dan tidak menutup kemungkinan orang
kota juga menggemari kesenian macapat, meski yang menggemari sebatas kalangan tua.
Karena berasal dari satu pohon, maka tembang Macapat Madura memiliki banyak
persamaan dan kesamaan dengan tembang Macapat Jawa. Keduanya diikat oleh suatu aturan
tembang, yaitu jumlah gatra (padde) dari masing-masing tembang berbeda, mengikuti aturan
guru lagu dan guru wilangan yang sama. Adapun perbedaannya terletak pada syair yang
dinyanyikan, pada tembang Macapat Jawa syair mengikuti aturan not balok atau angka,
sedangkan di Madura lebih mengutamakan cengkok atau lagu.
Jenis tembang Macapat Madura dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu tembang raja, tembang
tengahan dan tembang Macopat atau tembang kene’. Tembang Macopat atau tembang kene’
ada 11 tembang, yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu ; (1) Salanget (Kinanti), (2)
Pucung, (3) Mejil (Medjil), (4) Maskumambang, (5) Durma, (6) Kasmaran (Asmaradana), (7)
Pangkor, (8) Senom (Sinom), (9) Artate’ (Dandanggula), (10) Megattro (Megatruh), (11)
Gambuh.
Ciri-ciri yang membedakan antara tembang yang satu dengan lainnya ;
1. Tembang Salanget (Kinanti), tembang ini melukiskan cerita-cerita percintaan (kasih
sayang). Tembang ini mempunyai guru gatra (baris), yang terdiri dari enam baris,
baris pertama mempunyai sepuluh suku kata yang berakhir bunyi i (10 i ), kemudian
berturut-turut 6o – 10e – 10i – 6i dan 6u.
2. Tembang Pucung. Nama Pucung diambil dari nama biji pohon kepayang, dalam
tembang ini terdapat empat gatra (baris) dengan guru wilangan dan guru lagu 12u –
6a – 8i –12a, maksudnya adalah pada baris pertama ada dua belas suku kata dengan
vokal akhir u, baris kedua dengan enam suku kata diakhiri vokal a, baris ketiga ada
delapan suku kata diakhiri vokal I dan baris keempat terdapat dua belas suku kata
diakhiri vokal a. watak dari tembang ini adalah sembrana parikena (sembarangan),
biasanya dipakai untuk menceritakan hal-hal yang ringan, jenaka atau teka-teki.
3. Mejil (Medjil), Mijil dalam bahasa Jawa berarti Medal artinya keluar, yaitu tembang
yang mengungkapkan dan melukiskan rasa sedih. Di samping itu tembang Medjil
memuat pula kisah-kisah nasehat yang berisi tentang kebesaran Sang Pencipta.
Adapun tembang Medjil mempunyai guru gatra (baris) yang terdiri atas enam baris.
Baris pertama mempunyai sepuluh suku kata yang berakhir bunyi i (10i), kemudian
berturut-turut 6o –10e – 10i –6i dan 6u. Watak yang terkandung dalam tembang ini
berbicara tentang keprihatinan.
4. Maskumambang atau Kumambang mempunyai arti “mengapung”. Dalam tembang
ini terdapat empat gatra (baris) pertama ada duabelas suku kata dengan diakhiri vokal
i, baris kedua enam suku kata diakhiri vokal a, baris ketiga ada delapan suku kata
diakhiri vokal i dan baris keempat ada delapan suku kata dan diakhiri vokal a.
5. Durma atau Sima (Jawa) artinya harimau. Sesuai dengan arti tersurat tembang
Durma cenderung bersifat keras. Karena tembang ini melambangkan tiga nafsu
manusia yang mewakili nafsu angkara, nafsu mudah marah serta nafsu birahi.
Tembang ini menggambarkan cerita-cerita perkelahian, perang serta kondisi
psikologi. Tembang ini mempunyai tujuh gatra (baris). Baris pertama sampai dengan
baris ketujuh berturut-turut 12a – 7i –6a – 7a – 8i – 5a dan 7i.
6. Asmaradana atau Kasmaran (Madura), berarti suka, kasengsem (jatuh cinta).
Tembang ini biasanya digunakan untuk menggambarkan perasaan cinta ataupun rasa
sedih. Selain itu juga memberikan gambaran rasa senang, bahagia, tidak ada pikiran
susah dan senantiasa berada dalam kondisi gembira. Tembang ini mempunyai tujuh
baris, baris pertama terdiri atas delapan suku kata yang berakhir huruf i (8i),
kemudian berturut-turut 8a – 8o –8a – 7a –8u dan 8a.
7. Pangkur atau Pangkor (Madura) berarti penghujung, tembang ini biasanya
ditembangkan pada bagian akhir suatu cerita. Tembang ini mempunyai tujuh gatra
(baris), dan guru wilangan lagu masing-masing 8a – 11i – 8u – 7a – 12u – 8a – 8i.
Pangkor biasanya dipakai untuk mengungkap hal-hal yang bersifat keras, seperti
kemarahan, perkelahian dan perang. Meskipun tembang Pangkor identik dengan
nuansa heroic, namun banyak diantara-nya memberikan gambaran yang lugas dan
gamblang tentang kekerdilan manusia dihadapan Sang Pencipta.
8. Sinom (Senom) diambil dari pucuk daun asam. Tembang ini mempunyai sembilan
gatra (baris), baris pertama sampai kesembilan masing-masing 8a – 8i – 8a – 8i – 7i –
8u – 7a – 8i – 12a. Tembang ini biasanya dipakai untuk mengungkapkan ha-hal yang
bersifat romantis, baik dalam hubungannya dengan kisah percintaan ataupun
hubungan antar sesama manusia.
9. Dhandanggula (Artate’) terdiri dari dhandang dan gula, dhandang mengandung arti
pangarep (Madura), gula berarti manis. Tembang ini mempunyai sepuluh gatra
(baris), guru wilangan dan guru lagu masing-masing 10i – 10a – 8e – 7u – 9i –7a – 6u
– 8a – 12i – dan 7a. Tembang ini mempunyai maksud dan sebuah pengharapan
tentang sesuatu dengan tujuan akhir mencapai kebaikan. Tembang Macopat ini
biasanya dipakai untuk mengungkapkan perasaan suka cita atau pun ketika mencapai
sebuah kemenangan.
10. Megatruh atau Duduk Wuluh (Jawa), duduk artinya suling sedangkan Wuluh berarti
bambu. Tembang ini mempunyai lima gatra (baris) dengan guru wilangan dan guru
lagu, masing-masing baris 12a –8i – 8u – 8i – 80. tembang ini biasanya dipakai untuk
melukiskan perasaan kecewa ataupun kesedihan yang mendalam.
11. Gambuh dalam bahasa Jawa “prigel”, dengan maksud bahwa segala sesuatu bisa
diatasi. Tembang ini terdiri atas lima gatra (baris) dengan guru wilangan dan guru
lagu berturut-turut 7u – 10u – 12i – 8u- 8o. watak dari tembang ini adalah memberi
penjelasan.
B. Semiotika
Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-
empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-
satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. Seorang pakar Sastra Jawa, Arps menguraikan
beberapa arti-arti lainnya di dalam bukunya Tembang in two traditions. Selain yang telah
disebut di atas ini, arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis
(sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.
Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat
merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah "melagukan nada keempat".
Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu. Konon
maca-sa termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada
pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri. Ternyata
ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé. Maca-ro termasuk
tipe tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah
sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara. Maca-tri atau
kategori yang ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka,
pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya.
Dan akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan
kepada semua wali.
Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan
dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa
Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.
Sebagai contoh ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung
Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi. Namun di sisi lain,
tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua
naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali.
Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin, mana
yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa
macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara. Pendapat ini
disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai
metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul
setelah pengaruh India semakin pudar.
Struktur macapat
Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara
setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada. Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama.
Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.
Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang
digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik
atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah
suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula. Aturan mengenai
penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan. Sementara aturan pemakaian
vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.
Jenis metrum macapat
Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi
tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Kategori tembang cilik
memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum dan tembang gedhé satu
metrum.
Tabel macapat
Supaya lebih mudah membedakan antara guru gatra, guru wilangan lan guru lagu dari
tembang-
tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini :
Metrum Gatra I II III IV V VI VII VIII IX X
Tembang cilik / Sekar alit
Dhandhanggula 10 10i 10a 8é 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a
Maskumambang 4 12i 6a 8i 8a
Sinom 9 8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a
Kinanthi 6 8u 8i 8a 8i 8a 8i
Asmarandana 7 8a 8i 8é 8a 7a 8u 8a
Durma 7 12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i
Pangkur 7 8a 11i 8u 7a 12u 8a 8i
Mijil 6 10i 6o 10é 10i 6i 6u
Pocung 4 12u 6a 8i 12a
Tembang tengahan / Sekar madya
Jurudhemung 7 8a 8u 8u 8a 8u 8a 8u
Wirangrong 6 8i 8o 10u 6i 7a 8a
Balabak 6 12a 3é 12a 3é 12u 3é
Gambuh 5 7u 10u 12i 8u 8o
Megatruh 5 12u 8i 8u 8i 8o
Tembang gedhé / Sekar ageng
Girisa 8 8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a
Sebagian warga di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, meyakini, kitab tembang
"macapat" tidak hanya untuk kesenian, tapi juga bisa berfungsi sebagai kitab untuk meramal
nasib seseorang. Orang-orang Madura sendiri menyebut ramalan dengan menggunakan kitab
tembang macapat ini dengan sebutan 'oghem'," Kitab bertuliskan "Arab-Jawa" (tulisan
menggunakan huruf Arab, tapi berbahasa Jawa halus) ini dijadikan ramalan dengan cara
memasang uang kertas pada halaman kitab, kemudian dari tempat uang kertas itu, si
penembang mulai membaca alur cerita tembang macapat. Ada beberapa persyaratan bagi
orang yang hendak melakukan ramalan dengan menggunakan kitab tembang macapat atau
dengan sebutan lain kitab layang tersebut. Selain harus konsentrasi terhadap apa yang
diinginkan atau menjadi cita-citanya, juga harus dengan niatan meminta petunjuk kepada
Allah SWT.
Kebanyakan orang yang melakukan ramalan dengan menggunakan kitab tembang
macapat ini tepat, sesuai kenyataan yang akan terjadi. Ketentuan bagi orang yang akan
diramal, antara laki-laki dan perempuan berbeda. Jika orang yang hendak diramal itu laki-
laki, maka pembacaan kitab tembang macapat dimulai dari halaman sebelah kanan, tapi kalau
perempuan mulai dari halaman sebelah kiri. ramalan dengan menggunakan kitab tembang
macapat terhadap diri seseorang tersebut dikiaskan dengan alur cerita yang ada di halaman
kitab, seperti yang telah ditentukan orang tersebut dengan menggunakan satu lembar uang
kertas.
Meskipun bukan uang sebenarnya kertas juga bisa. Tapi orang Madura menganggap
uang itu sebagai sedekah bagi pembacanya, dan pembacanya oleh orang sekitar disebut
'Salabat'. Jika dalam alur cerita kitab itu mengisahkan tentang tokoh yang dalam kesulitan,
lalu mencapai sukses, maka nasib orang yang diramal itu dipercaya sebagai pertanda akan
menuai sukses dikelak kemudian hari. Kepercayaan orang-orang Madura akan keberadaan
kitab macapat yang bisa digunakan sebagai alat untuk meramal ini timbul, karena kitab-kitab
jenis ini biasanya ditulis orang-orang yang memang memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi
atau wali.
Selain itu, timbul anggapan bahwa kitab tembang macapat, atau kitab layang tersebut,
merupakan kitab yang bisa menjadi pegangan hidup terhadap pribadi seseorang. Kendatipun,
kitab-kitab itu memang mengandung nilai filsafat hidup yang sangat tinggi. Kitab tembang
macapat yang biasa digunakan untuk meramal ini biasanya kitab yang mengisahkan
kehidupan Nabi Yusuf, karena menurut sumber nabi Yusuf itu merupakan nabi yang ahli
dalam bidang ramalan.
C. Kritik Seni
Makna Tersirat Dan Tersurat Tembang Macapat
Kebijaksanaan para Wali Songo dalam usaha dakwah melalui media seni, ternyata
membawa hasil luar biasa. Hampir 90 % rakyat di wilayah nusantara mengaku dirinya ber-
agama Islam. Keberhasilan tersebut tentunya berkat kegigihan, keuletan, kesabaran serta
pembagian program secara terperinci dan ter-organisir rapi. Walaupun hidup para Wali tidak
seluruhnya satu jaman, namun perjuangan atau usahanya merupakan satu gerak langkah yang
terus-menerus, teratur, rapi dan disadari (bukan suatu hal yang kebetulan belaka).
Melalui tembang Macapat, dapatlah digali arti, maksud dan makna filosofi yang
mendalam dalam setiap tembang, walaupun satu sama lainnya berbeda dan mempunyai ke-
spesifikan tersendiri, namun satu sama lainnya merupakan rangkaian cerita yang tidak dapat
dipisahkan. Disamping itu isi dari tembang-tembang Macapat mempunyai nilai-nilai relegius
yang tinggi, sehingga nilai-nilai moralitas yang terkandung didalamnya mudah dipahami oleh
penikmatnya.
Seperti halnya tembang Macapat Jawa, tembang Macopat Madura berisi syair-syair
yang indah, dengan demikian ajaran, anjuran, ajakan menuju pintu kebaikan mudah dicerna
dan diserap oleh pengikutnya. Sehingga nilai budi pekerti luhur, nilai kejujuran, disiplin,
amanah dan nilai relegius yang tersirat maupun tersurat lebih mudah ditanamkan dalam hati
sanubari. Nilai-nilai yang tertanan tersebut diharapkan mampu membentuk manusia ber-
budaya sekaligus mencetak pribadi muslim menjadi manusia paripurna.
Secara lebih gamblang isi maupun makna dari masing-masing tembang akan dibahas
secara terperinci, sehingga dapat diketahui tujuan dari masing-masing tembang tersebut
diciptakan. Adapun rinciannya sebagai berikut ;
1. Tembang Salanget (Kinanti)
1. Mara kacong ajar onggu, kapenterran mara sare
ajari elmo agama, elmo kadunnya’an pole
sala settong ja’ pabidda, ajari bi’onggu ate
Nyare elmo pataronggu
sala settong ja’ paceccer
elmo kadunnya’an reya
menangka sangona odhi’
dineng elmo agamana, menangka sangona mate.
Paccowan kenga’e kacong, sombajang ja’ la’ ella’e, sa’ are samalem coma
salat wajib lema kae
badha pole salat sonnat, rawatib ban salat lail
(Anggoyudo, 1983: )
(Ayo anakku belajar yang tekun, kepandaian itu harus dicari, belajar pengetahuan agama,
juga pengetahuan dunia, jangan dibedakan, belajar dengan kesungguhan hati. Mencari ilmu
harus serius, salah satu jangan ditinggalkan, ilmu keduniaan itu, keperluan hidup, sedangkan
ilmu agama, adalah bekal untuk mati. Selain itu ingatlah anakku, sembahyang jangan sampai
lubang, satu hari satu malam, sholat wajib lima kali, ada juga shalat Sunnah, rawatib dan
shalat malam hari).
2. Bungka nyeor buwa bhalulug
Bhalulugga daddi tjengker
Se tjengker daddiya buggan
Se buggan daddiya pathe
Se pathe daddiya minyak
Mennya’ daddi damar kene’
(Asmoro, 1950:27)
(Pohon kelapa berbuah beluluk, beluluk menjadi cengker, buah cengker menjadi
kelapa, kelapa menjadi santan, santan menjadi minyak, minyak bisa menjadikan terang)
Secara lugas, Salanget (Kinanti) mempunyai arti sudah selesai menanti, sesuai dengan
arti apabila dipakai sewaktu dicari sudah diketemukan, apa yang diinginkan sudah tercapai.
Di samping itu tembang Salanget (Kinanti) banyak berisi nasehat atau anjuran kepada
manusia, untuk saling memberi, saling menerima, saling mengingatkan dan saling
ketergantungan sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, Penguasa alam semesta.
Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain dalam memotivasi diri
menuju arah kebajikan. Sebagai makhluk lemah dan dhoif, manusia membutuhkan tuntunan
dalam kehidupan ber-masyarakat. Melalui tembang Kinanti inilah, manusia akan lebih peka
menangkap arti hidup dan kehidupan di dunia.
Di samping itu tembang Salanget (Kinanti) mengajak setiap manusia untuk lebih
meningkatkan mutu individu melalui proses belajar. Manusia diingatkan agar menguasai ilmu
pengetahuan, baik dalam bidang IPTEK maupun disiplin ilmu agama. Karena kedua disiplin
ilmu tersebut, memiliki intensitas yang tinggi bagi kemaslahatan umat manusia. Dengan
menguasai IPTEK, manusia akan lebih menyadari tentang kebesaran Tuhan yang
diperlihatkan melalui ciptaan-Nya. Bahwa semua yang ada di alam, merupakan sumber ilmu
yang tak pernah habis apabila digali dan di pelajari. Dan semua itu harus diimbangi oleh
penguasaan ilmu agama. Sehingga terjadi keseimbangan, bahwa hidup manusia bukan hanya
memenuhi kebutuhan jasmaninya saja, tapi aspek rohani merupakan kebutuhan yang sangat
vital.
Allah SWT telah memberikan semua sarana dan prasarana yang memadai kepada
umat manusia. Semua yang ada di bumi, baik dalam perut bumi, di daratan, lautan, angkasa
raya, tata surya ataupun semua yang tumbuh di bumi semua diciptakan untuk manusia.
Semua ciptaan Allah, sekecil apapun sangat bermanfaat bagi manusia. Melalui tembang
Salanget (Kinanti), manusia diajak untuk lebih peka, arif dan bijaksana, terbuka cakrawala
berfikir dan wawasan.
Di bawah ini, cuplikan 2 tembang Salanget (Kinanti)
2. Pucung
Pon angongngong pa’na Putjung
Dja’ onengga ngotja’
Lora tore rassa’agin
Kasennengan tebbasa mlarat sampeyan
(Asmoro, 1950:21)
Terjemahannya sebagai berikut :
(Sudah terdengar ceritanya bapak Putjung, jika saja bisa mengutarakan, coba rasakan
kesulitannya, kesenangan terbayar dengan kemiskinan-mu)
Tembang ini mempunyai watak sembrana parikena (sembarangan), biasanya dipakai
untuk menceritakan hal-hal yang ringan, jenaka atau teka-teki. Adapun tataran yang lebih
luas, isi dari tembang Pucung memberikan penggambaran hubungan yang sangat harmonis
dan serasi antara sesama manusia sebagai makhluk Tuhan. Apakah manusia itu mempunyai
kedudukan dan status tinggi dalam masyarakat, ataupun manusia itu hanya sebagai hamba
sahaya. Tembang ini mengingatkan kepada manusia, terutama kepada para penguasa, para
majikan, para juragan, para atasan agar tidak berbuat sewenang-wenang.
Tembang Pucung menggambarkan hubungan antara pemberi perintah dan penerima
perintah. Walaupun berada dalam posisi yang lebih tinggi, kaya dan mapan, manusia
dihimbau agar tidak silau dan berbuat tidak adil kepada para pelayan, bawahan, hamba
sahaya. Karena para bawahan, pembantu mempunyai andil yang sangat besar bagi
kesuksesan yang di raih. Hal itu sebagai suatu bukti, bahwa manusia membutuhkan orang
lain, manusia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi sebagai makhluk individu maupun
makhluk sosial.
Tembang ini mengungkapkan tentang nasehat kepada sesama manusia, dalam
menjalin hubungan dengan sesama untuk lebih mementingkan rasa rendah hati dan tenggang
rasa yang tinggi. Seseorang yang mempunyai status dan kedudukan lebih tinggi, dihimbau
memperlakukan bawahan untuk lebih bersikap manusiawi.
3. Mejil (Medjil)
1 . Tapa tedhung ka dhaja alowe,
Biridda emaos,
Atena sorat Yasin se dhingen.
Paparengnga ma’ keyae,
Enggi ebaca bajengnge,
Pon ta’ poron ambu
Sakeng rajana terro dha’ pottre,
Nyegga’ nase’ juko’,
Pon ta’ tedhung salanjangnga are,
Asena brang tadha’ pottre raddin,
Dha’ Allah amoji,
Nyo’on duli kabbul.
Kacator se atapa pon abit,
Badanna pon geddur,
Ta’ aguliyan sakale-kale.
Matang-matang enga’ oreng mate,
Ta’ kowat akebbi’,
Gun nyaba akelbu’……
(Asmoro, 1930…)
Terjemahannya sebagai berikut :
(Tapa tidur ke paling utara, wiridnya dibaca, hatinya surat Yasin yang dulu diberi Ulama,
sudah dibaca dengan rajin, dan tidak mau berhenti. Karena besarnya keinginan ke putri,
makan nasi ikan, sudah tidak tidur sehari-semalam, hampa tanpa rasa putri cantik, kepada
Allah memuji minta dikabulkan. Sudah berjalan tapanya sudah lama, tubuhnya lemas tanpa
urat, tidak ada gerak sedikit pun, kelihatan sudah seperti orang mati, tidak kuat menahan,
Cuma nafas yang kelihatan).
2. Langnge’ biru bintang tep ngarettep
Sabenne mancorong
Bulan bunter tjahya pote koneng
Tera’ ngantar ampon sasat are
Neng panas ta’andi’
Gneko bidha epon
Terjemahannya sebagai berikut :
(Langit biru bintang bertebaran sinarnya, Sinarnya menyilaukan, Bulan bulat cahaya
keemasan. Terang bulan karena hari suah senja, Panas tidak ada, Itu perbedaannya).
Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Allah SWT.
Begitu besar kasih sayang Allah kepada makhluk yang bernama manusia, sehingga seluruh
alam raya yang diciptakan hanya untuk kemaslahatan umat manusia. Namun banyak sekali
manusia yang lupa bersyukur akan kebesaran kasih sayang Allah SWT. Alunan syair
tembang Medjil mengingatkan, supaya manusia tidak melupakan nikmat yang diterimanya.
Manusia diajak untuk menggunakan kepekaan batin sekaligus rasionya untuk memikirkan
kebesaran alam semesta. Dengan begitu manusia dapat menarik sebuah kesimpulan, bahwa
Sang Maha Pencipta, Allah Ajja wa Jalla merupakan muara akhir dari perjalanan hidup
manusia.
Dalam syair-syairnya tembang Medjil mengisyaratkan sebuah pesan tersirat, bahwa
dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani maupun rohani
manusia tidak mampu bersandar pada kemampuan diri semata. Ada sebuah Zat yang
senantiasa memberi pertolongan, perlindungan sekaligus memberikan rahmat dan karunia. Di
samping itu manusia senantiasa diingatkan pada sebuah kesadaran yang hakiki, bahwa Sang
Maha Pencipta adalah tempat memohon, tempat bersandar, tempat meminta, tempat
berpasrah diri, tempat berharap dan merangkumkan doa-doa sebagai pengakuan diri sebagai
makhluk yang dhoif dan lemah.
4. Maskumambang
Mon nyaroan ratona banne ngerenge
Mastena nyarowan
Tao se ekabutowen
Dha’ ka oreng a manfaat
Terjemahannya sebagai berikut :
(Kalau lebah pemimpinnya bukan kecoak, seharusnya lebah, mengerti tentang kebutuhan,
kepada manusia sangat bermanfaat).
Tembang Maskumambang menyiratkan sebuah hubungan yang sangat serasi,
seimbang dan harmonis antara manusia dan semua makhluk hidup. Dengan akal pikirannya,
manusia diajak untuk membaca, menyimak memperhatikan serta memikirkan serta
mengambil manfaat dari keberadaan makhluk hidup lainnya. Hal itu sesuai dengan kapasitas
manusia sebagai pengemban amanah di bumi.
Melalui alunan tembang Maskumambang, manusia diajak untuk membaca secara
detail fenomena alam dan mengambil hikmah dari semua makhluk ciptaan Allah SWT.
Sekecil apapun bentuk dari makhluk ciptaan-Nya tetap memberikan nilai dan manfaat yang
sangat besar bagi manusia. Di samping itu tembang Maskumambang mengungkapkan
suasana hati yang rawan akibat kesedihan dan keprihatinan yang mendalam.
5. D u r m a
Lamon dika epassrae panggabayan
Ampon mare apekker
Terang ka’ekko’na
Adjanji maranta’a
Pon pon brinto tarongguwi
Anggap tanggungan
Ma’ ta’ malo da’ oreng
(Asmoro, 1950 ; 19)
Terjemahannya :
(Jika kamu mendapat beban pekerjaan, sudah selesai dipikir, tentang seluk-beluknya kerja,
usaha untuk menyelesaikan, jika demikian haruslah serius, bekerja dengan penuh tanggung
jawab, agar tidak mengecewakan orang).
Di samping melambangkan tentang nafsu manusia, tembang ini menyiratkan
hubungan yang sangat erat antar manusia sebagai makhluk sosial. Dalam menjalankan
kehidupannya, manusia senantiasa memiliki ketergantungan pada manusia lainnya. Dengan
adanya ketergantungan tersebut, maka setiap individu dituntut untuk bertanggung jawab
terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Terutama tanggung jawab dalam mengemban tugas.
Dalam arti nilai-nilai profesionalisme benar-benar dijunjung tinggi.
Tanggung jawab akan melahirkan rasa aman sekaligus rasa percaya terhadap diri
sendiri ataupun orang lain. Dengan bertanggung-jawab hubungan antara sesama manusia
menjadi serasi dan harmonis, sehingga menghilangkan rasa saling curiga dan buruk sangka.
Dengan demikian maka hubungan yang dilandasi saling percaya, saling ketergantungan,
saling bertanggung-jawab serta memiliki keterikatan yang kuat akan menjauhkan manusia
dari segala permusuhan.
6. Kasmaran (Asmaradhana)
1. Dhu tang ana’ reng se raddin, se ganteng pole parjuga
spopre enga’ ba’na kabbi.ja’ odhi’ badha neng dunnya
kodu ba’na enga’a, sabban are korang omor, sajan abid sajan korang.
Sabellun dhapa’ ka janji, la mara pong-pong sateya
bannya’-bannya’ pangabekte, alakowa parentana, jauwi laranganna
Guste Allah Maha Agung, ngobasane alam dunnya.
Dhu tang ana’ estowagi, asareya kabecce’anmenangka sangona odhi’.
Neng dunnya coma sakejje’, omor ta’ asomaja, tako’ dhapa’ dha’ ka omor
abali ngadep dha’ Allah
Terjemahannya :
(Duh, anak-anak yang cantik, yang bagus dan gagah, supaya kamu ingat semua, hidup ada di
dunia, harus kamu perhatikan, setiap hari umur berkurang, tambah lama tambah berkurang.
Sebelum sampai ke janji, ayu kerjakan sekarang juga, banyak-banyak berbakti, kerjakan
perintah Tuhan, jauhi larangan Tuhan, Gusti Allah Maha Agung, menguasai alam dunia. Duh
anak yang mendapat restu, carilah kebajikan, sebagai bekal hidup, takut sampai kebatasnya
umur, kembali menghadap Allah).
2. O, Alla se Maha Socce, Pangeranna alam dunnya,
Ngera-ngera pon ta’ oneng, Ran-maheran paparengnga, Se badha neng e jagat, Mecem-macem jutan ebun, hawa aeng apoy tana.
Akadi bintang e elangnge’, Gunggungnga sera onengnga
Nyo’on maaf langjkong sae
Opama badha atanya, mara kagali tretan
Pera’, emas menya’ lantong, tatombuwan ka’bungka’an
Durin salak jeruk manggis
Dha’-tedha’an manca barna
jaran macan juko’ rengnge’
Lantaran dhari bannya’na
Lerressa ta’ bangal tanggung
Ressem lecek lamon mongkat.
(Anggoyudo, 1983 :)
Terjemahannya :
(Allah Yang Maha Suci, penguasa alam dunia, diperkirakan jumlahnya tidak tahu, sangat
mengherankan pemberiannya yang ada di dunia, beribu-ribu, berjuta, udara, air, api dan
tanah. Seperti bintang di langit, besarnya siapa yang tahu, minta maaf lebih baik, sekiranya
ada yang tanya, ayo pikirkan saudara, perak, emas, minyak, pepohonan dan tumbuh-
tumbuhan lainnya. Buah durian, salak, jeruk, manggis, buat makanan beraneka warna, macan,
kuda, ikan sampai nyamuk, tak sanggup menghitung, sebenarnya tidak berani menanggung,
karena banyaknya ciptaan).
Asmaradhana atau Kasmaran (Madura), berarti suka, kasengsem (jatuh cinta).
Tembang ini biasanya digunakan untuk menggambarkan perasaan cinta ataupun rasa sedih.
Selain itu juga memberikan gambaran rasa senang, bahagia, tidak ada pikiran susah dan
senantiasa berada dalam kondisi gembira.
Walaupun tembang Kasmaran senantiasa menyiratkan aroma kegembiraan dan
kebahagiaan, tembang ini juga memberikan gambaran utuh tentang kewajiban manusia
terhadap sesama manusia ataupun kewajiban manusia terhadap Khalik-Nya. Dalam arti
manusia harus seimbang dan selaras dalam menata hubungan, baik secara vertikal maupun
secara horizontal.
Tembang ini mengingatkan betapa pentingnya tali silaturahmi ditautkan. Saling
menyapa, saling berkunjung, saling membantu terhadap tetangga ataupun sanak saudara.
Menyambung tali silaturahmi merupakan ungkapan perasaan kasih sayang dan akan
memberikan dampak kegembiraan serta kebahagiaan terhadap sesama manusia.
Salah satu sifat manusia adalah senantiasa berbuat khilaf dan lalai. Dalam syair-
syairnya, tembang Kasmaran mengingatkan tentang kewajiban manusia terhadap Sang
Pencipta. Segala keindahan perhiasan yang ada di dunia ini, jangan sampai memalingkan
manusia dari Sang Pencipta. Kewajiban manusia yang utama adalah beribadah kepada-Nya.
Untuk itulah manusia senantiasa diajak berbuat kebajikan, menjauhkan diri dari perbuatan
hina, keji, khianat dan mungkar. Di samping itu juga diingatkan tentang batas umur yang
dikaruniakan oleh-Nya, jangan sampai terbang percuma dan sia-sia. Karena kehidupan
manusia ibarat berada di persimpangan untuk menuju kehidupan yang lebih hakiki dan abadi.
Di sisi lain tembang Kasmaran menyiratkan kebesaran alam ciptaan-Nya. Dengan
sifat Rahman dan Rahim-Nya, seluruh alam semesta dan semua penghuni yang ada di bumi,
mulai tumbuh-tumbuhan, hewan darat maupun hewan laut ditundukkan serta diperuntukkan
oleh Sang Maha Pencipta kepada umat manusia. Melalui tembang ini manusia diingatkan
untuk senantiasa bersyukur atas kenikmatan yang demikian besar. Selain mensyukuri nikmat-
Nya, manusia diingatkan untuk memikirkan kebesaran Sang Pencipta dalam upaya
mempertebal iman sebagai bekal beribadah dan mengabdi hanya kepada-Nya.
7. Pangkur (Pangkor)
1. Raja onggu panremanna
Tanenmanna pon a nglebbi’I oreng
Oreng se mratane lebur
Klamon cokop landhu’na
Buwana ba’ lebba’ ka’ bungka’enna dhuluk
Nyaman bai long polongan
Panyeramanna la mare
Terjemahannya :
(Besar sekali rasa syukurnya, tanamannya sudah setinggi orang, orang yang merawat
gembira, jika sudah cukup mencangkulnya, buahnya lebat sampai pohonnya meliuk, jika
butuh tinggal mengambil, sebelumnya setiap saat di siram).
2. Perak-peral mare pasa
Tello polo are nakso e karengkeng
Tabu’ lapar nante’ bakto
Ta’ kenneng sarombanna
Pangaterro maste ngala ban atellok
Da’ ka atoranna pasa
Buka saor se epantje
(Asmoro, 1950 :19)
Terjemahannya :
(Gembira sekali setelah selesai puasa, tiga puluh nafsu ter-penjara, perut lapar menanti waktu
buka, tidak bisa sembarangan, keinginan harus kalah oleh ketentuan, dan aturannya puasa,
berbuka dan sahur sesuai waktu).
Tembang Pangkor ini biasanya dipakai untuk mengungkap hal-hal yang bersifat
keras, seperti kemarahan, perkelahian dan perang. Meskipun tembang Pangkor identik
dengan nuansa heroic, namun banyak diantara-nya memberikan gambaran yang lugas dan
gamblang tentang kekerdilan manusia dihadapan Sang Pencipta.
Selain itu, tembang ini menyiratkan satu sisi lain tentang nilai-nilai kebahagiaan yang
luar biasa pada diri manusia. Kebahagiaan tersebut dicapai karena keberhasilan menjalankan
perintah-Nya. Yaitu sebuah perintah untuk menahan hawa nafsu, membersihkan hati, jiwa
dan pikiran serta berbuat jujur. Kewajiban menjalankan perintah-Nya, selama sebulan penuh
di bulan Ramadan yang penuh berkah.
Puasa merupakan cerminan hubungan yang paling dekat dan langsung antara manusia
dengan Sang Khalik. Hal itu disebabkan seseorang yang sedang ber-puasa dituntut jujur
terhadap diri sendiri, tidak berbohong, taat serta berbuat baik. Akibat yang paling
mencengangkan dan menakjubkan dari orang yang ber-puasa adalah intropeksi diri. Dengan
melakukan intropeksi diri, seseorang akan mampu untuk selalu jujur pada diri sendiri, orang
lain dan jujur pada Tuhan-Nya.
Selain itu, syair-syair yang diguratkan dalam tembang Pangkor menyiratkan tentang
perlunya manusia menjaga serta merawat lingkungannya. Dengan perawatan yang baik, maka
semua yang ada di permukaan bumi ini memberikan keuntungan dan bermanfaat bagi
manusia. Dari gambaran diatas dapatlah dikatakan bahwa manusia sangat bergantung kepada
makhluk lainnya, sehingga keseimbangan dan ekosistem alam akan terjaga apabila manusia
berlaku arif dan bijaksana ketika mengelola kekayaan yang diciptakanNya.
8. Senom (Sinom)
1. Sakalangkong loros bungkana
Pappa bi’ tolop dha’ andhi’
Dhauna bi’ topeng padha
Buwa bannya’ raja kene’
Dha’ bungka padha nyelpe’
Ta’ asa pesa apolong
Se ngodha biru barnana
Ding towa oba koneng
Mon buwa eporrak, bigi katon kabbi
( Sastrodiwirjo)
(Pohonnya sangat lurus, pelepah dan ranting tidak punya, daunnya bisa dipakai payung,
buahnya banyak besar dan kecil, bersatu melekat pada pohonnya, bersatu tidak terpisah, yang
muda biru warnanya, bila tua berubah warna kuning, kalau buah sudah dibelah, biji baru
kelihatan).
2. Mon ta’ rokon sataretan,
Pedjer apadu ban are’
Ontong tada’ rogi bada
Oreng towa lake’ bine’
Tlebet sossa mekkere
Daddina saaherrepon
Ta’ burung salbut salsal
San bada se klero diddi
Pon ta’ ngabbru atjaggik napso e lombar
(Asmoro, 1950: 18)
(Kalau tidak rukun se-saudara, pastilah bertengkar setiap hari, untung tidak rugi pasti, orang
tua laki dan perempuan, sangat susah memikirkan, bagaimana akhirnya, paling tidak rusak
berserakan, kalau ada yang salah mintalah maaf. Kalau tidak minta maaf, bertengkar dengan
nafsu membara).
Tembang Sinom ini biasanya dipakai untuk mengungkapkan ha-hal yang bersifat
romantis, baik dalam hubungannya dengan kisah percintaan ataupun hubungan antar sesama
manusia. Di samping itu, bait-bait dalam tembang ini menyiratkan tentang kemampuan
membangun hubungan yang harmonis dan romantis antar sesama manusia sebagai makhluk
sosial. Apabila hubungan baik telah terbangun dan terjalin, maka akan terbentuk tatanan
sosial yang mapan. Saling menghargai, saling tolong menolong dan bersama-sama menjaga
kerukunan.
Manusia merupakan makhluk yang senantiasa lalai dan berbuat kesalahan. Oleh sebab
itu pintu maaf harus senantiasa terbuka. Apalagi hidup dalam suatu masyarakat yang
homogen, berbagai karakter berbaur, berbagai kepentingan saling mendahului. Maka setiap
manusia hendaknya membekali diri dengan sikap toleransi dan tenggang rasa yang tinggi,
mempunyai kebijaksanaan dalam bergaul sehingga tercipta kedamaian yang hakiki untuk
mencapai kebahagiaan lahir maupun batin.
Menuntut ilmu agama dan mewariskan kepada generasi penerus merupakan
kewajiban utama. Dengan berbekal ilmu agama, manusia mampu membentengi diri dari sifat
iri, dengki dan tamak serta mampu berbuat jujur baik pada diri sendiri, orang lain serta
terhadap Tuhan-Nya. Di sisi lain, tembang ini mengingatkan agar manusia senantiasa berada
dalam lintasan lurus, yaitu dengan cara menjalankan semua perintah-Nya, serta menjauhi
semua larangan-Nya.
9. Artate’ (Dhandanggula)
1. Lamon sedha ngadek rato radin
Sentosa’a neggu ka adillan
Aseya dha’ bala kene’
Ja’ lebur dha’ panggunggung
Ajja’ pesan a pele kase
Ja’ baji’ dha reng juba’
Pan jurgaepon
Soppeya mare juba’na
Ban ja’ nyeya dha’ reng nestha ban mesken
Maka sedha bellasa
(Asmoro. 1991 )
(Jika sudah berani menjadi pemimpin, pegang rasa keadilan dan buat sentosa, jangan suka
pekerjaab kecil, dan jangan suka mendapat pujian, jangan sekali-kali pilih kasih, janganlah
benci pada orang jelek/bodoh, supaya cepat selesai kejelekannya, dan jangan menyia-nyiakan
orang nestapa dan miskin, kalau bisa kasihani).
2. Oreng odhi’ neng e dunnya mangken
Ngagaliya dha’ kabajibanna, onenga se nyama odhi’
emota dha’ sal osol, Asallepon odhi’na dibi’
Odhi’na du parkara, Saparkaraepon
Odhi’ epon badan kasar, badan alos enggi sokma enyamae
Moga ekagaliya, badan kasar badan alos enggi
Sadajana buto ka teddha’an, sareng angguy se e sae, se raja gunaepon
Se faeda amanfaate,
Banne angguy teddha’an
Se parsasat racon, Se oneng daddi lantaran
Rosakkepon badan kasar alos pole
Se kasebbut e adha’
(Orang hidup dalam dunia sekarang, dipikirkan apa kewajibannya, tahunya cuma hidup, ingat
asal-usulnya, asalnya hidup sendiri, hidup ada dua perkara, perkara pertama, kehidupan
badan kasar (tubuh) dan badan halus yaitu jiwanya, semoga direnungkan, badan kasar (tubuh)
dan badan halus (jiwa), semuanya butuh makanan, yang dapat dipakai untuk kebaikan, yang
besar manfaatnya, bukan makanan yang dapat membawa kejelekan, yang dapat menjadi
lantaran, rusaknya badan kasar dan badan halus, seperti yang disebutkan di atas).
Tembang ini mempunyai maksud dan sebuah pengharapan tentang sesuatu dengan
tujuan akhir mencapai kebaikan. Tembang Macopat ini biasanya dipakai untuk
mengungkapkan perasaan suka cita atau pun ketika mencapai sebuah kemenangan. Ada pun
rasa suka cita dalam tembang Artate (Dhandanggula), adalah rasa suka cita yang
berlandaskan nilai-nilai tinggi ilahiyah. Bagaimana tidak ? sebagai makhluk ciptaan yang
paling sempurna, manusia dikaruniai kecerdasan akal, kecerdasan emosional maupun
kecerdasan spiritual dalam upaya mengenali serta mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Melalui kecerdasan akalnya, manusia dapat memilih dan memilah kebutuhan hidup, baik
yang bersifat material maupun spiritual.
Untuk bertahan dan melangsungkan kehidupannya, manusia memerlukan makanan.
Dalam upaya pemenuhan kebutuhan inilah, manusia diingatkan supaya berhati-hati, teliti, dan
cermat agar makanan yang akan menjadi penopang kehidupannya tidak tercampur dengan
makanan yang dihasilkan dari pekerjaan yang nista dan haram. Tembang ini mengingatkan
agar manusia bekerja dengan tekun, rajin dan jujur, sehingga hasil yang dicapai akan
menghasilkan rejeki yang halal. Rejeki halal tersebut akan menjadi makanan yang berguna
dan bermanfaat bagi perkembangan jiwa maupun pertumbuhannya.
Di sisi lain, jiwa (roh) yang bersemayan dalam tubuh manusia juga memerlukan
makanan. Adapun makanan yang dibutuhkan oleh jiwa adalah keimanan dan ketakwaan,
yaitu dengan jalan senantiasa menjalankan amal kebajikan. Dengan demikian, baik tubuh dan
jiwa merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dalam mengemban tugas
sebagai makhluk ciptaan-Nya.
Tembang ini juga menyiratkan sebuah pesan tentang keberadaan manusia sebagai
seorang pemimpin. Karena pada hakekatnya setiap manusia adalah pemimpin, tapi
bagaimanakah figur dan sosok pemimpin sejati ? Bait-bait tembang ini memberikan nasehat,
bahwa seorang pemimpin haruslah adil, terbuka, jujur dan penuh kasih sayang. Rasa keadilan
tersebut harus diterapkan terutama pada sesama manusia yang berada dalam posisi lemah,
miskin dan serba kekurangan. Disamping itu, figur pemimpin dapat dilihat dari
kemampuannya dalam menata diri, mawas diri, mampu menahan ambisi pribadi serta
mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Makna suka cita dan kemenangan yang tersirat dalam tembang Artate
(Dhandanggula), adalah kemenangan besar manusia melawan diri sendiri. Baik sebagai
makhluk individu, makhluk sosial maupun sebagai makhluk ciptaan-Nya.
10. Megattro (Megatruh)
Pojur onggu reng se kateban Wahyu
Enggi se olle pamanggi
Parkara se sanget parlo
Da’ bangsa amanfaadi
Asmana kodu epondjung
(Sungguh beruntung orang yang mendapat Wahyu, yaitu yang mendapatkan penerangan lahir
bathin, urusan yang sangat perlu, dalam kehidupan sangat bermanfaat, namanya haruslah
dijunjung tinggi).
Tembang ini biasanya dipakai untuk melukiskan perasaan kecewa ataupun kesedihan
yang mendalam. Makna yang terkandung dalam syair-syairnya, selain melukiskan perasaan
kecewa dan kesedihan mendalam, tembang ini menggambarkan secara jelas dan gamblang
tentang ketergantungan manusia dengan Sang Pencipta. Karena sifat Maha dari Allah, maka
manusia mendapat uluran kasih sayang-Nya, limpahan anugerah yang melimpah ruah,
karunia serta Rahmat-Nya.
Selain itu tembang Megatruh mengabarkan tentang manusia-manusia pilihan (utusan)
Allah SWT yang telah diturunkan ke bumi untuk menjadi figur teladan dan panutan. Para
Nabi dan Rasul merupakan utusan yang mempunyai kedudukan sangat tinggi. Hal itu
disebabkan, para utusan Allah merupakan pembawa pesan serta ajaran-ajaran yang harus
dilaksanakan oleh manusia. Kewajiban untuk melaksanakan semua ketentuan-ketentuan
Allah dan utusan-Nya, tidak boleh ditawar-tawar sebagai wujud totalitas ketergantungan
manusia pada Khalid-Nya.
Di sisi lain, secara khusus tembang ini menyiratkan tentang keberuntungan manusia
yang mendapatkan anugerah serta hidayah dari Allah SWT. Hidayah tersebut berupa
keterbukaan pintu hati dalam menerima kehadiran Allah dalam bentuk utuh dalam jiwanya.
Dengan demikian, sosok individu itu akan mampu meningkatkan kadar keimanan dan
ketakwaan-nya. Dengan keimanan dan ketakwaan yang tinggi, maka manusia tersebut akan
mampu meng-implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
11. Gambuh (Gambu)
Maneh-maneh welingku
Ngabektia maring rama ibu
Uga guru kabeh paring suluh becik
Kanggo nata urip besuk
Paring teken miwah obor
(Suwito, 1983:41)
(Sekali lagi nasehatku, berbakti-lah terhadap bapak dan Ibu, juga guru sebab semua memberi
nasehat yang baik, untuk menjalani kehidupan kelak, memberi tongkat dan cahaya).
Watak dari tembang ini adalah memberi penjelasan, selain itu tembang Gambu
menyiratkan satu sisi tentang ketergantungan manusia kepada manusia lain. Manusia
memerlukan figur lain dalam membentuk kepribadian diri yang baik dan mantap. Orang tua,
guru, ulama merupakan sosok yang paling ideal dan pas dalam menanamkan proses menuju
kemandirian dan pendewasaan diri.
Tembang ini penuh berisi petunjuk-petunjuk dan nasehat kepada generasi muda
tentang pentingnya menghormati serta menghargai orang lain, terutama kepada orang yang
lebih tua (baik orang tua/guru). Bentuk penghargaan dan penghormatan dengan jalan meng-
implementasikan dalam kehidupan sehari-hari, semua ajaran, perintah dan petuah yang
berkaitan dengan proses menuju arah kebaikan.
Manusia merupakan makhluk yang senantiasa lalai, oleh sebab itu tembang ini
mengingatkan supaya antar sesama manusia saling mengingatkan, saling memberi nasehat
dan saling memberi petunjuk, baik terhadap anggota keluarga, sanak saudara atau pun orang
lain. Hal itu dilakukan sebagai kewajiban yang harus dilakukan sebagai hamba Allah sebagai
bentuk tanggung jawab moral terhadap sesama.
Proses Pelaksanaan dan Perkembangannya
Pelantunan tembang Macapat biasanya diadakan oleh masyarakat pecinta seni
tradisional di pedesaan. Pementasan ini biasanya diadakan ketika sedang melaksanakan
hajatan, misal ; selamatan kandungan (pelet kandung), Mamapar (potong gigi), sunatan, ritual
rokat (ruwatan anak), pesta perkawinan dan ketika memperingati hari-hari besar Islam.
Durasi pembacaan Macopat pun beragam, dari durasi pendek sekitar satu jam sampai durasi
panjang selama semalam suntuk. Acara ini biasanya dilaksanakan pada malam hari.
Adapun cerita yang dibawakan, tergantung dan disesuaikan kepada situasi dan
kondisi pelaksanaan hajatan. Terkadang setiap tembang dinyanyikan secara terpisah,
terkadang pula mengambil variasi dari berbagai tembang. Untuk permainan semalam suntuk,
dinyanyikan bermacam tembang, dari masing-masing tembang dipilih dan disesuaikan
dengan cerita yang dibawakan. Biasanya untuk acara ritual rokat (ruwatan anak) menyajikan
cerita Pandawa atau Betarakala, untuk Mamapar (potong gigi) dibacakan cerita Maljuna,
cerita Nabbi Yusuf dibacakan pada acara selamatan kandungan (pelet kandung). Sedangkan
cerita Nabi Muhammad, dibacakan ketika memperingati hari-hari besar Islam.
Ada pun lagu/ laras yang ada dalam tembang ada dua, yakni laras Pelog dan laras
Slendro. Ada beberapa tembang yang dibacakan tanpa alat musik, misalnya dalam acara rokat
pandabha atau Careta Nabbi, namun ada pula yang menggunakan musik pengiring. Musik
pengiring dalam pembacaan Macapat menggunakan seruling ataupun iringan seperangkat
gending. Tiupan musik tunggal atau pun alunan gending tersebut ternyata mampu membawa
suasana lebih hidup. Disela-sela pembacaan Macapat yang mendayu-dayu, memiriskan serta
merawankan perasaan, liukan-liukan seruling maupun alunan gending membawa suasana hati
lebih menyatu dengan tembang-tembang yang dinyanyikan. Komposisi yang sangat harmonis
tersebut, mampu menghanyutkan perasaan sekaligus mempermudah memahami serta
memaknai isi dari tembang-tembang yang dibacakan.
Sampai saat ini tembang Macapat masih mampu bertahan dan tetap digandrungi oleh
masyarakat, terutama yang berdomisili di pedesaan. Kegiatan pelantuman Macapat
dipentaskan sebagai ritual yang tak terpisahkan ketika memperingati berbagai peristiwa yang
berhubungan dengan prosesi kehidupan manusia. Dimulai ketika manusia masih dalam
kandungan, masa kanak-kanak, memasuki masa akil balig dan ketika memasuki alam dewasa,
bersatu dalam mahligai perkawinan.
Kesenian tembang macapat sangat kompleks hal inilah yang membuat kesenian ini
saat ini terancam punah, hal ini merupakan kelebihan sekaligus kelemahan kesenian macapat,
kelebihannya adalah karena kekomplekannya kesenian tembang macapat menjadi suatu
kebudayaan yang dianggap sakral, namun dibalik kelebihan itu tersimpan kelemahan yaitu
kekomplekan adi membuat generasi muda jarnag yang ingin mempelajarinya karena kesulitan
dalam mempelajari cukup tinggi.
D. Estetika
Tradisi lisan merupakan salah satu kebudayaan yang telah berkembang di tengah-
tengah masyarakat pemakainya. Tradisi lisan diartikan segala wacana yang diucapkan
meliputi yang lisan dan yang beraksara atau dikatakan juga sebagai sistem wacana yang
bukan aksara (Pudentia, 1998:vii). Dalam perkembangan dari waktu ke waktu, jenis budaya
ini kurang mendapat perhatian. Padahal, tradisi lisan memiliki nilai dan muatan yang sangat
bermakna bagi komunitas masyarakat tertentu, dan menjadi penanda budaya kelompok
masyarakat tertentu pula.
Itulah sebabnya, Waiko dalam Djuweng (1998:169) menekankan bahwa wacana lisan
merupakan landasan keasadaran diri dan otonomi sebuah suku bangsa ketika mereka
berhubungan dengan dunia luar, dari yang verbal sampai yang non-verbal. Lewat keasadaran
itu, mereka menemukan kepercayaan diri yang pada gilirannya memainkan peranan penting
dalam membentuk jati diri dan eksisitensi mereka.
Eksistensi manusia selalu dipengaruhi oleh produk budaya yang ada di sekitarnya.
Karena itu, Chair dan Leoni (1995:216) mendeskripsikan bahwa kebudayaan merupakan
segala hal yang menyangkut manusia, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam
masyarakat, hasil-hasil yang dibuat manusia, kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan, dan
termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang digunakan, yakni bahasa dan alat-alat
komunikasi nonverbal lainnya.
Untuk mengenal jati diri suatu bangsa, dapat dilihat dari hasil budaya bangsanya.
Dengan kata lain, sebagai bangsa yang terdiri atas beraneka ragam suku, kebudayaan
merupakan jati diri suatu bangsa. Harus merasa bangga. Karena dengan kebudayaan yang
beraneka ragam akan terjadi kontak antarkebudayaan daerah yang melahirkan kebudayaan
nasional yang dapat diterima oleh seluruh bangsa Indonesia.
Kebudayaan daerah di Indonesia berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan semboyan
bangsa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika. Warna perbedaan budaya sangatlah kental dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Budaya yang berbeda ini selalu berinteraksi dalam Negara
kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, memahami mengapa seorang berucap,
bertindak, berbuat dengan cara mereka masing-masing ini sangat penting dihayati oleh semua
warga Negara Indonesia. Mereka hidup dan selalu berinteraksi dalam masyarakat yang
pluralistik dan multikultural baik etnis, agama, kepercayaan, keyakinan, dan sosial ekonomi.
Perbedaan keyakinan, kepercayaan, sejarah dan politik menyebabkan adanya ketidaksamaan
respsi, persepsi, ekspresi, aktualisasi, dan eksternalisasi terhadap nilai-nilai budaya.
Perbedaan-perbedaan ini, menyebabkan operasionalisasi atau penerapan nilai budaya tidak
sama pula (Yasin, 2004:4).
Oleh karena itu, nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu
masyarakat dan kebudayaannya. Sebagai contoh, sejarah dan keadaan alam yang berbeda
antara masyarakat Madura dan Jawa walaupun mereka selalu berdampingan dan letak
geografisnya tidak terlalu jauh, menyebabkan perbedaan resepsi, persepsi, ekspresi,
aktualisasi, artikulasi, dan eksternalisasi tentang keselarasan, keindahan, dan kebersamaan
dalam budaya dua masyarakat tersebut.
Dalam hal nilai estetik, masyarakat Madura lebih menyukai warna-warna menyala,
seperti merah, kuning, dan biru yang mereka pandang sebagai pemacu semangat untuk
bekerja keras, karena keadaan alam di Madura yang memerlukan semangat yang tinggi untuk
bekerja. Lain halnya dengan pandangan masyarakat Jawa yang lebih menyukai warna-warna
sejuk, yang mereka pandang sebagai cerminan kehalusan budi pekerti.
Namun, keanekaragaman budaya itu merupakan aset (kekayaan) budaya bangsa
Indonesia yang amat tinggi nilainya. Tiap daerah atau masyarakat memiliki corak dan budaya
masing-masing sehingga memperlihatkan ciri khasnya. Karena itu, di Indonesia tampak
berbagai bentuk budaya bangsa yang beraneka ragam, adat-istiadat, upacara ritual, berbagai
seni pertunjukan, tari-tarian, cerita rakyat, bahasa rakyat, dan beraneka nyanyian rakyat.
Salah satu tradisi lisan atau sastra lisan yang berkembang di masyarakat Madura dan
Jawa adalah tradisi macapatan. Tradisi lisan ini lahir dan hidup dalam masyarakat sebagai
salah satu nyanyian rakyat. Jika kahadiran lagu-lagu pop atau dangdut yang selama ini
menggejala mendominasi di masyarakat berdampak sebagai sebuah hiburan belaka,
keberadaan tembang dalam tradisi macapatan yang memang tercipta secara alamiah
memberikan nuansa yang berbeda, yang mampu memberikan gambaran identitas diri dari
kelompok sosial masyarakat yang berdomisili di daerah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
tradisi macapatan (nyanyian rakyat) yang dimaksud memiliki peranan dan nilai yang tinggi
dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.
Di Madura, khususnya di wilayah Kabupaten Sumenep terdapat tradisi macapatan
(mamaca). Menggejala dan hidup di wilayah perkotaan maupun pelosok pinggiran. Tradisi
ini diselenggarakan dalam rangka arisan, upacara pembawa berkat di makam keramat (rokat
bhuju’), di rumah pribadi (rokat bengko), upacara sunat atau khitan (sonnat), perkawinan
(penganten), pangur gigi (mapar gigi), nazar, memperingati hari raya Islam, dan acara nujum.
Pembacaan tembang macapatan ini diikuti dengan tukang tegghes sebagai penerjemah isi
tembang. Tukang tegghes digunakan, karena tembang yang dibaca diyakini menggunakan
bahasa Jawa Kuna dalam tulisan Arab Pegon dan perlu dijelaskan kepada pendengar.
Untuk rokat dan niyat, acaranya berlangsung dari pukul 22.00 WIB sampai dengan
pukul 04.00 WIB keesokan pagi hari dan teks yang bersangkutan dibaca secara keseluruhan.
Sementara arisan, acaranya lebih pendek, antara pukul 21.00 WIB sampai dengan 23.00 WIB
dan yang dibacakan hanyalah fragmen dari teks yang dirujuk. Terdapat bentuk-bentuk mitos
macapatan (mamaca) yang diyakini pelaku maupun masyarakat pendukungnya. Penggunaan
instrumen seperti musik suling dan gamelan hanya bisa digunakan untuk tembang-tembang
tertentu, dan tidak bisa digunakan untuk tembang dalam cerita Hadis Norbhuwat Nabbhi,
Nabbhi Mohammad, Nabbhi Yusuf, dan Isra’ Mi’raj. Diyakini akan muncul malapetaka jika
cerita-cerita dalam tembang tersebut diiringi dengan musik instrumen, seperti suling dan
gamelan.
Di samping itu, tradisi melihat perjalanan nasib dan masa depan seseorang melalui
bentuk ramalan juga dilakukan dalam tradisi macapatan ini. Para pewaris menyebut dengan
istilah mokka’ oghem. Setelah pembacaan kitab macapat selesai, penonton atau pendengar
bisa menanyakan segala hal yang berkaitan dengan perjalanan karier, nasib, keluarga, dan
lain-lain. Pertanyaan tidak disampaikan secara vulgar, cukup diucapkan dalam hati. Penanya
diminta membuka kitab tembang (serat yusuf)-diikuti dengan pemberian tebusan sesuai
dengan keikhlasan penanya-kemudian sang ahli membacakan, ditegaskan oleh tokang
tegghes dan ditafsirkan. Penafsiran itu dilakukan dalam rangka menerjemahkan makna-
makna yang terdapat dalam tembang tersebut dan kaitannya dengan isi pertanyaan.
Demikian pula tradisi macapatan di Jawa dilaksanakan sebagai bagian dari perayaan
suatu acara, sebagai hiburan pribadi, dan aktivitas lainnya sebagai seni pertunjukan (Arps,
1961:3). Mitos yang muncul juga sama dengan keyakinan masyarakat pendukungnya di
Madura, yaitu akan lahir malapetaka karena menggunakan instrumen untuk tembang-
tembang tertentu. Namun tradisi pembacaan tembang di Jawa tidak menggunakan tukang
tegghes sebagaimana macapatan di Madura.
Persamaan kedua tembang dalam tradisi macapatan itu tidak lepas dari pencipta dan
penulisnya. Penulis-penulis pesisir yang pada umumnya para wali dan ahli tasawuf
terkemuka, seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunanan Panggung, dan Syekh Siti Jenar
memiliki peran yang cukup besar dalam melahirkan tradisi lisan macapatan di Jawa dan
Madura.
Bentuk tembang tidak lepas dari struktur estetik puisi yang lebih menekankan pada
ritme. Sedangkan isi tembang mengandung unsur ekstraestetik yang menunjukkan keluhuran
budi penulisnya. Hampir semua tembang yang diciptakan melalui macapatan memiliki nilai
profetik vertikal, maupun nilai sosial horisontal. Menggambarkan hablumminallah dan
hablumminannas, termasuk latar belakang sosial budaya masyarakatnya.
Selain berisi puji-pujian juga berisi ajaran, anjuran serta ajakan untuk mencintai ilmu
pengetahuan, ajaran untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan budi pekerti,
mencari hakikat kebenaran serta membentuk manusia berkepribadian dan berbudaya. Melalui
tembang ini setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna
hidup. Syair tembang macapat merupakan manivestasi hubungan manusia dengan alam, serta
ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta.
Baik teks maupun konteksnya dinilai memiliki kesamaan antara tembang macapat
Madura dengan tembang macapat Jawa. Menurut Bouvier (2002:160) semua peneliti sepakat
bahwa kesenian mamaca Madura berasal dari Jawa. Menurut Pigeaud asal itu harus dicari,
untuk Jawa Timur pada zaman pra-Islam, yaitu sebelum abad ke-15. Menurut Munardi, dkk,
di Madura mamaca menggunakan buku berbahasa Madura dan Jawa, dan dengan huruf Jawa
ataupun Arab. Bouvier menyaksikan sendiri penggunaannya ditulis di dalam bahasa Jawa
Kawi, dan beraksara Arab. Imron menyebutkan bahwa korpus tembhang lebih luas daripada
yang saya saksikan. Beberapa tembhang, menurutnya, ditulis di dalam bahasa Madura dan
berasal dari awal abad ke-20. Namun ia juga menegaskan bahwa tembhang yang paling
populer dipinjam dari kesusastraan Jawa.
Kelangkaan kreativitas sastra di dalam bahasa Madura di keraton Sumenep agaknya
menjadi penjelasan mengapa buku-buku yang tersebar di desa-desa ditulis dalam bahasa
Jawa, yang tampaknya merupakan hasil salinan teks-teks keraton. Oleh karena mamaca
berdasarkan pembacaan teks tertulis, kesusastraan Madura dalam bahasa Madura, pada awal
abad ke-20, hanya terjadi di kalangan cendekiawan Sumenep dan sama sekali tidak
menyentuh desa-desa.
Di Gresik, lahirnya tradisi macapatan tidak lepas dari peran para wali sanga dan ahli tasawuf
yang melakukan syiar agama Islam di pesisir utara. Peran wali sanga yang tiada henti dengan
semangat profetik menyebarkan ajaran-ajaran Islam sampai di Sumenep, telah melahirkan
tembang-tembang macapatan sebagai sarana untuk meyakinkan masyarakat dalam
melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang hakiki.
Tembang macapatan yang lahir di Sumenep dan Gresik memiliki karakteristik yang
sama ditinjau dari karakteristik teks. Karakteristik itu, seperti penggunaan (1) gatra, (2) guru
lagu, (3) guru wilangan, (4) watak tembang, dan (5) pedotan. Namun dalam pembacaan
tembang, tradisi macapatan di Sumenep menggunakan tokang tegghes sebagaimana
dijelaskan di bagian awal, sedangkan di Gresik tanpa hal tersebut.
Di sisi lain penggunaan istilah watak tembang mengalami perbedaan antara tembang macapat
Sumenep dan macapat Gresik. Hal itu dapat dipahami melalui tabel di bawah ini.
Perbedaan Watak Tembang dalam Tradisi Macapat Gresik dan Tradisi Macapat Sumenep
No. Macapat Gresik Macapat Sumenep
1. kinanti salanget
2. pucung pucung
3. asmaradana kasmaran
4. mijil lambang sari
5. maskumambang maskumambang
6. pangkur pangkor
7. sinom senom
8. dandanggula artate
9. durma durma
Temuan tersebut mengindikasikan bahwa tembang macapat Madura belum memiliki karakter
mandiri, dan masih merupakan subordinat dari tradisi lisan Jawa. Gambaran itu kemudian
digeneralisasi sebagai gambaran budaya secara umum, bahwa budaya Madura merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Jawa.
Melalui tembang Macapat, dapatlah digali arti, maksud dan makna filosofi yang
mendalam dalam setiap tembang, walaupun satu sama lainnya berbeda dan mempunyai ke-
spesifikan tersendiri, namun satu sama lainnya merupakan rangkaian cerita yang tidak dapat
dipisahkan. Disamping itu isi dari tembang-tembang Macapat mempunyai nilai-nilai relegius
yang tinggi, sehingga nilai-nilai moralitas yang terkandung didalamnya mudah dipahami oleh
penikmatnya.
Seperti halnya tembang Macapat Jawa, tembang Macopat Madura berisi syair-syair
yang indah, dengan demikian ajaran, anjuran, ajakan menuju pintu kebaikan mudah dicerna
dan diserap oleh pengikutnya. Sehingga nilai budi pekerti luhur, nilai kejujuran, disiplin,
amanah dan nilai relegius yang tersirat maupun tersurat lebih mudah ditanamkan dalam hati
sanubari. Nilai-nilai yang tertanan tersebut diharapkan mampu membentuk manusia ber-
budaya sekaligus mencetak pribadi muslim menjadi manusia paripurna.
BAB III
PEMBAHASAN
a. Analisa Kebudayaan
Bagi masyarakat Madura yang memiliki diligensi eklektik dan animo yang kuat
terhadap primordialitas budayanya, mereka tentu membantah terhadap persepsi orang luar
(Jawa) yang beranggapan bahwa mamaca Madura merupakan embrio dari budaya Jawa.
Meski sedikit banyak terdapat pengaruh dari kebudayaan Jawa yang bersumber dari kraton,
namun bukan berarti Madura tidak mempunyai akar budaya sendiri. Mamaca Madura
mempunyai ciri khas tersendiri. Dan munculnya anggapan bahwa mamaca Madura
merupakan imitasi kebudayaan Jawa agaknya lebih terkait persoalan transfer informasi yang
terhambat.
Dinamika budaya mamaca di Madura merupakan manifestasi defensif masyarakat
terhadap kesenian yang diwariskan nenek moyangnya. Dalam perkembangannya, ia tak lepas
dari transisi ajaran Hindu di mana dalam perkembangan berikutnya filosofi Hindu menjadi
bait-bait yang mengandung nilai filosofi Islami sebagai nilai inti (core value). Hal ini terkait
peran para mubaligh di masa lampau yang menjadikan kesenian sebagai media dalam
berdakwah.
Para mubaligh terdahulu menciptakan tembang-tembang kreatif dan inovatif yang
berisi doktrin agama, puji-pujian kepada Allah, anjuran dan ajakan untuk mencintai ilmu
pengetahuan. Menyeru pesan-pesan agama: moralitas, pencarian dan kontemplasi hakekat
kebenaran dan pembentukan manusia yang berkepribadian dan berkebudayaan. Melalui
tembang mamaca tersebut, setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan
mendalami makna hidup
b. Analisa Semiotika
Mamaca atau macapat adalah salah satu seni olah vokal Madura yang merupakan
media dakwah dan pendidikan serta media kontemplasi dan pemahaman filsafat. Mulai
berkembang di Madura sebelum abad ke-15 (pra Islam). Mamaca biasanya dimainkan oleh
dua orang pemain, yaitu pembawa lagu dan panegghes.
Panegghes merupakan juru makna yang bertugas menjelaskan arti dan isi dari lagu
yang dinyanyikan oleh pembawa lagu. Ia juga sebagai penerjemah tembang yang
dinyanyikan dengan bahasa Madura.
Mamaca memiliki dua unsur penting, yakni seni sastra dan seni suara (vokal).
Beberapa nama lagu mamaca Madura antara lain, Artate, Kasmaran, Senom, Salanget dan
Dhurma. Cara membawakannya menggunakan gaya tekanan bahasa mirip aksen seorang
dalang dalam pertunjukan wayang. Ketika mamaca dilantunkan, biasanya diiringi seruling,
gambang, dan instrumen gamelan lain—yang dibunyikan dengan samar atau lirih—dengan
tujuan suara pembawa lagu menjadi lebih dominan. Dan tak jarang, kegiatan mamaca hanya
diiringi seperangkat kecil gamelan: gambang atau seruling saja.
Ciri khas yang paling menonjol adalah suara si penembang yang diembat-embat
(vibrasi) berkepanjangan, seakan tak ada putusnya antara bagian lirik lagu yang satu dengan
yang lainnya. Tembang tersebut menjadi terasa penuh dengan sentuhan kelembutan.
Bang-tembangan mamaca umumnya dengan pembacaan sebuah kakawin secara
bersama-sama. Sedangkan kakawin biasanya dalam bahasa Jawa Kawi atau Madura klasik.
Di sinilah peran panegghes atau tokang tegghes (juru makna) dimainkan. Perhelatan tersebut
biasanya untuk mengiringi prosesi ritual-ritual tertentu, misalnya selamatan kandungan (pelet
kandung), Rorokadan (rokat) seperti rokat bujuk dan pandhaba, potong gigi (mamapar), dan
sunatan.
c. Analisa Kritik Seni
Budaya merupakan hasil karya dan karsa manusia. Begitulah kita sering
memahaminya. Sebagai sebuah hasil karya dan karsa, budaya menjadi identitas sebuah
daerah yang itu sangat ditentukan oleh latar belakang manusianya, baik dari segi tempat, pen
didikan,agama, sosial, ekonomi maupun politiknya. Sehingga, dengan sendirinya perbedaan
latar belakang juga akan menyebab kan perbedaan sebuah kebudayaan.
Bangsa Indonesia, merupakan bangsa yang sangat plural dalam berbagai aspek selain
itu Bangsa Indonesia juga terdiri dari berbagai macam daerah, yang tiap daerah memiliki ciri
khas yang tidak sama dengan daerah yang lainnya. Berangkat dari pluralitas bangsa maka
keragaman dalam banyak hal menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Penyeragaman
justru akan menjadi ancaman bagi integritas bangsa itu sendiri. Upaya mempersatukannya,
malah harus dengan menghargai adanya keragaman. Tanpa memaksakan pada kehendak
sindiri, kelompok maupun golongan.
Kebudayaan adalah salah satu keragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Tidak
bisa dinafikan lagi, dalam bangsa yang plural maka munculnya berbagai macam kebudayaan
menjadi sesuatu yang wajar. Sehingga, sebagai sebuah keragaman, maka keberadaannya
hams diperhatikan dan dipertahanakan. Sebab upaya mempertahkan kebudayaan, bagian dari
upaya mempertahankan integritas bangsa.
Madura merupakan salah satu daerah yang ada di Indonesia. Yang keberdaannya juga
menjadi satu kesatuan dari pada bangsa itu sendiri. Sebagai bagian dari bangsa yang plural,
maka sudah sewajarnya jika Madura juga memiliki keragaman yang berbeda dengan daerah-
daerah lain dan itu menjadi ciri tersendiri yang dimiliki oleh Madura.
Selama ini Madura sangat dikenal dengan daerah yang kaya akan kebudayaan.
Berbagai kebudayaan lokal yang lahir dan berkembang di Madura. Ada kebudayaan yang
berupa kesenian tradisional,benda-benda peninggalan dan ada juga kebudayaan yang kental
dengan nuansa religiusnya.
Salah satu kebudayaan yang dimiliki Madura adalah macopat. Kebudayaan ini sudah
ada sejak puluhan tahun yang silam, dan sampai sekarang juga masih ada dan berkembang.
Kebudayaan ini biasanya banyak kita temui di daerah pedesaan.
Macapat atau juga ada yang menyebutnya dengan mamaca, merupakan kebudayaan
madura yang juga bisa dikategorikan berbentuk kesenian. Tembang yang ditulis dengan
bahasa jawa ini dilantunkan dengan syair-syair tertentu, atau juga yang dikanal dengan istilah
tembeng. Dan selain dibaca dengan syair-syair tertentu, biasanya ketika dibaca ada orang ke
dua yang mengartikan bacaan-bacaan tersebut atau menterjemahkan ke dalam bahasa dearah,
dan orang tersebut biasanya disebut dengan “ panegges atau tokang tegges “ .
Selain panegges, yang tidak kalah menariknya biasanya dalam pembacaan macopat
ini terkadang diringi dengan alunan musik, dan yang sering dengan menggunakan seruling.
Sehingga dengan kolaborasi antara pemabaca tembeng, kemudian ada yang mengartikan
yang disebut tokang tegges, dan diiringi dengan musik seruling, maka tampak kedengaran
dengan begitu indah. Sungguh merupakan kebudayaan yang sangat unik dan patut
diapresisasi, yang paling penting lagi adalah patut untuk dilestarikan keberadaannya.
Dan tak kalah penting lagi, macapat bukan hanya tembang-tembang tanpa makna.
Dibalik keidahan syiar yang dilantunkan, macapat juga berisi tentang cerita-cerita yang
mengandung nilai-nilai luhur yang patut untuk diikuti.
Biasanya juga macapat bacaannya berupa hadist-hadist Nabi yang ditulis dalam
bahasa jawa atau juga cerita-cerita masa lalu. Sehingga dengan demilikian kitajuga bisa
mengambil pelajaran luhur darinya.
Dalam perjalanannya, sebagai bentuk upaya pelestarian budaya ini, di Desa-desa
diadakanlah yang namanya arisan-arisan. Atau masyarakat lebih mengenal dengan sebutan
kompolan mamaca. Dalam kompolan ini selain ada pembacaan macapat juga ditarik uang,
yang nominalnya sebenarnya tidak terlalu besar, sebab bagi mereka (masyarakat) subtansi
nya adalah macapatnya bukan arisannya. Aris an hanya sebagai salah satu media untuk bisa
melestarikan kebudayaan macapat tersebut. Selain ada kompolan mamaca, macapat juga
biasanya dibacakan dalam acara-acara tertentu di desa. Seperti halnya ketika pada rokat,
yakni acara mandi yang dilakukan pada pasangan suami istri yang sedang hamil. Dan pada
acara-acara lainnya.
Bagi sebagian masyarakat pedesaan, kebu dayaan macapat adalah kebudayaan yang
sa ngat penting. Bahkan dulu sampai ada desa dimana di desa tersebut macopat menjadi salah
satu syarat orang untuk mendapatkan tuna ngan. Meski tidak ada kesepakatan secara ter tulis,
namun dengan sendirinya itu sudah men jadi hukum adat di suatu desa. Sehingga belajar
macopat juga sangat diuatamakan. Biasanya dulu seorang anak yang usia SD sudah mulai
belajar macapat pada orang-orang tertentu yang mimang ahli. Setelah habis belajar membaca
Al-Qur’an atau nagaji di Langgar biasanya lang sung pergi belajar macapat. Begitulah kebera
daan kebudayaan Madura yang bernama macopat.
Namun dalam perjalanannya, kubudayaan ini juga tidak beda nasibnya dengan kebuda
yaan-kebudayaan Madura yang lainnya. Kebera daannya ditengah-tengah kehidupan
masyarakat sudah mulai tidak diperhatikan. Jadi yang namanya macapat juga sudah hampir
“punah”, Tidak lagi banyak masyarakat yang peduli dan berusaha untuk melestarikannya.
Seperti di desa yang dulunya meski tidak secara tertulis sudah menjadi prasyarat dapat
tunangan, sekarang tidak lagi. Bahkan tragisnya, sekarang juga sudah banyak orang Madura
yang sama sekali tidak mengenal kebudayaan tersebut.
Itulah realitas memilukan tentang perjalanan kebudayaan kita. Kebudayaan Madura
yang itu menjadi identitas, atau jati diri sebagai masyarakat Madura sudah mulai
ditinggalkan. Masyarakat yang seharusnya berusaha untuk melesta rikan terkadang juga
malah lebih bersifat apriori terhadap kondisi yang demikian. Jika itu yang terns terjadi, maka
masa depan Madura pasti akan suram. Kalau sekarang yang mulai hilang adalah
kebudayaannya, maka tak ayal pada tahun-tahun berikutnya justru Maduranya yang juga akan
hilang dari pusaran zaman. Inilah tantangan terbesar bagi masyarakat Madura, yakni merawat
dan melestarikan budaya-budaya yang dimilikinya.
d. Analisa Estetika
Secara keseluruhan tembang macapat termasuk juga asmaradana mampunyai irama
yang tidak konstan, dalam arti irama tampa birama dan tempo. Seperti di CD bila
didengarkan tidak menggunakan ketukan dengan kata lain menurut si penyanyi dalam
menyanyikannya. Di dalam musik barat seperti irama yang di gunakan lagu-lagu gegrorian
yang sekarang masih digunakan dalam ibadat agama katholik. Untuk irama tembang macapat
tersebut dalam istilah jawa, sunda dan juga bali yaitu disebut irama merdeka.
Tangga nada tembang macapat asmaradana seperti di cd menurut notasi barat
menggunakan tangga nada pentatonik yaitu lima nada ( C+, D+, E, G+, A). Kemudian untuk
picthnya dengan tonalitas nada terkuatnya C+ dan modalitasnya hampir atau sama dengan
tangga nada minor asli yaitu 6 (la) sama dengan C+ dengan medium vokal dan timbre
terdengar jelas kualitas suarannya adalah suara pria yang mempuyai teksture monofonis
(sebuah suara tunggal maupun melodis yang tunggal tampa iringan. Dan untuk dinamikanya
terdapat dalam intensitas volume yaitu terdapat penekanan pada nada akhir di setiap motif.
Yang diuraikan seperti dibawah ini:
(dalam notasi barat/solmisasi)
6 7 1 3 3 3 3 3
C+ D+ E G+———–
3 = 6 7 7 1 6 6 3 4 3
G+ C+ D+ E C+ G+ A
Dan seterusnya
Untuk melodi pada register nadanya nada terendah G+= 3(mi rendah), nada tertinggi
E= 1 (do tinggi), sedangkan untuk Gerakan melodi : melangkah dan melompat. Dan juga
pada dimensi melodi ditentukan oleh motif dan kalimat/frase yang sudah dicontohkan diatas.
Dalam pemahaman tentang tembang macapat khususnya asmaradana di uraian diatas
banyak menggunakan istilah-istilah dari musik barat, itu dikarenakan sebuah tuntutan global
atas kesejajaran akan pengetahuan tentang musik, saling melengkapi dan menambah
khasanah pengetahuan macapat di singkronkan pada istilah-istilah yang terdapat pada musik
barat, dan sebagai perbandingan istilah-istilah tetapi tidak mengurangi estetikanya dan tidak
menunjukan keburukan atau kekurangan akan suatu teori-teori musik barat maupun teori-
teori musik daerah.
Tembang Macapat itu jika disebut tembang macapat yang asli, pada umumnya
digunakan menyebar dimana-mana. Urutan-urutan tembang macapat itu sama dengan
perjalanan hidup manusia dari mulai dari bayi sampai dengan manusia meninggal. Sebagai
contoh tembang asmaradana menurut acuan perjalanan manusia yang diartikan bahwa
asmaradana itu artinya perasaan suka, sayang, cinta kepada pria kepada wanita atau
sebaliknya yang semua itu sudah jadi kodrat yang ilahi.
Uraian diatas adalah sebuah gambaran besar tentang konteks tembang macapat, untuk
seterusnya membahas secara tekstual dari tembang macapat yang berjudul asmaradana.
Hubungan dengan unsur-unsur dari tembang macapat yang berjudul asmaradana tersebut
seperti unsur waktu (meliputi irama, tempo, birama/sukat), unsur bunyi (meliputi nada,
timbre, medium, picth, dinamika, melodi, register nada, dimensi melodi dan lain-lain).
Tembang Asmarada adalah salah satu bentuk sekar macapat. mempunyai vokaboler dalam
teksnya yang meliputi guru lagu, guru gatra dan guru wilangan seperti yang sudah di
contohkan diatas. Isi dari teks yang dicontohkan seperti dibawah yaitu mengenai perintah-
perintah yang mengandung ajaran hidup di dunia.
BAB IV
KESIMPULAN
A. Simpulan Analisa Kebudayaan
Macapat Jawa maupun macapat Madura pada intinya adalah satu karena keduanya
berasal dari sumber yang sama yaitu, berasal dari tembang macapat yang diciptakan oleh para
wali untuk menyebarkan agama islam di pulau Jawa, namun karena penyeberannya tembang
tersebut merambah ke pulau Madura dan di Madura tembang macapat tadi berangsur-angsur
membaur dan menjadi macapat Madura, dan jika dilihat dan diteliti lebih jauh tidak ada
perbedaan signifikan antara keduanya, hanya saja bahasa yang digunakan dalam tembang,
untuk mbang macapat Madura bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura dan untuk
tembang macapat Jawa bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa, lebih dari itu semuanya
hampir serupa.
B. Simpulan Analisa Semiotika
Mamaca pada dasarnya adalah satu bentuk seni suara (vokal) yang bermula dari puisi yang
dinyanyikan, lalu dituturkan. Dalam konteks ini suatu cerita yang dinyanyikan oleh seorang
pembaca (laki-laki), kemudian diterjemahkan, dijelaskan, dan dikembangkan oleh orang
kedua (laki-laki) dengan gaya deklamasi. Pada umumnya kedua mitra dalam acara mamaca
saling bersahutan.
Mamaca biasanya diselenggarakan pada acara arisan. Adapun yang dibaca adalah
fragmendari teks yang ditunjuk. Acara ini biasanyadimulai pada pukul 21.00 – 23.00 WIB.
Selain pada acara arisan, mamaca juga dipentaskan dalam berbagai kesempatan, seperti pada
upacara rokat bhuju (makam keramat) atau di rumah pribadi dalam rangka upacara di
lingkaran hidup individu (sunat, perkawinan dan nazar). Mengingat teks yang harus dibaca
biasanya utuh (seluruhnya), maka waktu yang dibutuhkan relatif lama ketimbang pementasan
mamaca dalam acara arisan (pukul 22.00 – 04.00 WIB.).
Mamaca menggunakan buku yang berbahasa Madura dan Jawa. Sedangkan huruf yang
digunakan adalah huruf Jawa dan atau huruf Arab. Teksnya sendiri menggunakan bahasa
Jawa-Kawi dengan aksara Arab. Beberapa tembang ditulis dalam bahasa Madura yang
berasal dari abad ke-20. namun tembang-tenbang yang populair diambil dari kesusastraan
Jawa. Tembang-tembang berbahasa Jawa tidak hanya terdapat di kalangan luar keraton (di
pedesaan), tetapi juga di kalangan bangsawan. Malahan, tembang-tembang tersebut sangat
digemari di lingkungan bangsawan. Dalam sebuah pementasan mamaca ada dua atau tiga
repertoar, yaitu naratif (cerita), prosodis (tembang) dan musikal (gending). Dan mamaca di
Sumenep mencakup apa yang disebut sebagai mamaca di Madura.
C. Simpulan Analisa Kritik Seni
Macapat termasuk dalam tembang cilik (tembang kecil), dan memiliki derivasi irama
yang kaya. Secara garis besar tembang macapat terdiri atas (berurutan sesuai dengan fase
kehidupan manusia) Masing-masing jenis tembang diatas memiliki aturan baku sendiri-
sendiri seperti berapa jumlah gatraI (baris)nya dalam satu pupuh (bait), Guru lagu serta guru
wilangannya. Macapat merupakan tembang klasik asli Jawa, dan pertama kali muncul adalah
pada awal jaman para Wali Songo, dimana para wali pada saat itu mencoba berdakwah dan
mengenalkan Islam melalui budaya dan diantaranya adalah tembang-tembang macapatan
ini.Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Derajat serta Sunan Kudus adalah kreator awal
munculnya tembang-tembang macapat. Apabila diperhatikan dari asal-usul bahasanya (kerata
basa), macapat berarti maca papat-papat(membaca empat-empat).
Kalo berdasarkan jenis dan urutannya tembang macapat ini sebenarnya menggambarkan
perjalanan hidup manusia, tahap-tahap kehidupan manusia dari mulai alam ruh sampai
dengan meninggalnya. Sebagaimana dalam Al-qur’an disebutkan: “Latarkabunna Thobaqon
An Thobaq”, “Sungguh kamu akan menjalani fase demi fase kehidupan”
Berikut ini penulis rangkaikan urut-urutan dari jenis tembang macapat:
1. Maskumambang
Adalah gambaran dimana manusia masih di alam ruh, yang kemudian ditanamkan dalam
rahim/ gua garba ibu kita. Dimana pada waktu di alam ruh ini Allah SWT telah bertanya pada
ruh-ruh kita: “Alastu Bi Robbikum”, “Bukankah AKU ini Tuhanmu”, dan pada waktu itu
ruh-ruh kita telah menjawabnya: “Qoolu Balaa Sahidna”, “Benar (Yaa Allah Engkau adalah
Tuhan kami) dan kami semua menjadi saksinya”.
2. Mijil
Merupakan ilustrasi dari proses kelahiran manusia, mijil/mbrojol/mencolot dan keluarlah
jabang bayi bernama manusia. Ada yang mbrojol di India, ada yang di China, di Afrika, di
Eropa, di Amerika dst. Maka beruntunglah kita lahir di bumi pertiwi yang konon katanya
Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharjo Lir Saka Sambikala. Dan bukan
terlahir di Somalia, Etiopia atau negara-negara bergizi buruk lainnya.
3. Sinom
Adalah lukisan dari masa muda, masa yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan.
4. Kinanthi
Masa pembentukan jatidiri dan meniti jalan menuju cita-cita. Kinanti berasal dari kata kanthi
atau tuntun yang bermakna bahwa kita membutuhkan tuntunan atau jalan yang benar agar
cita-cita kita bisa terwujud. Misalnya belajar dan menuntut ilmu secara sungguh-
sungguh.”Apa yang akan kita petik esok hari adalah apa yang kita tanam hari ini”.
“In Ahsantum, Ahsantum ILaikum, Walain Asa’tum Falahaa”, “Jika kamu berbuat kebajikan
maka kebajikan itu akan kembali padamu, tapi jika kamu berbuat jahat itu akan kembali
padamu juga”.
5. Asmarandana
Menggambarkan masa-masa dirundung asmara, dimabuk cinta, ditenggelamkan dalam lautan
kasih. Asmara artinya cinta, dan Cinta adalah ketulusan hati, meminjam istilahnya kang Ebiet
G.Ade dalam lagunya: “ Cinta Yang Kuberi Setulus Hatiku Entah Apa Yang Kuterima Aku
Tak Peduli”.
Cinta adalah anugerah terindah dari Gusti Allah dan bagian dari tanda-tanda keAgungan-Nya.
“…..Waja’alna Bainakum Mawwaddah Wa Rahmah, Inna Fi Dzaalika La’aayatil Liqoumi
Yatafakkaruun”. “…Dan Kujadikan diantara kalian Cinta dan Kasih Sayang, sesungguhnya
didalamnya merupakan tanda-tanda(Ke-Agungan-Ku) bagi kaum yang berfikir”.
6. Gambuh
Awal kata gambuh adalah jumbuh / bersatu yang artinya komitmen untuk menyatukan cinta
dalam satu biduk rumah tangga. Dan inti dari kehidupan berumah tangga itu yaitu: “ Hunna
Li Baasulakum, Wa Antum Libaasu Lahun”, “Istri-istrimu itu merupakan pakaian bagimu,
dan kamu adalah merupakan pakaian baginya”.
Lumrahnya fungsi pakaian adalah untuk menutupi aurat, untuk melindungi dari panas dan
dingin.Dalam berumah tangga seharusnya saling menjaga, melindungi dan mengayomi satu
sama lain, agar biduk rumah tangga menjadi harmonis dan sakinah dalam naungan Ridlo-
Nya.
7. Dhandhanggula
Gambaran dari kehidupan yang telah mencapai tahap kemapanan sosial, kesejahteraan telah
tercapai, cukup sandang, papan dan pangan (serta tentunya terbebas dari hutang piutang).
Kurangi Keinginan Agar Terjauh Dari Hutang, sebab kata Iwan Fals: “ Keinginan adalah
sumber penderitaan ”.Hidup bahagia itu kuncinya adalah rasa syukur, yakni selalu bersyukur
atas rezeki yang di anugerahkan Allah SWT kepada kita.
8. Durma
Sebagai wujud dari rasa syukur kita kepada Allah maka kita harus sering berderma, durma
berasal dari kata darma / sedekah berbagi kepada sesama. Dengan berderma kita tingkatkan
empati sosial kita kepada saudara-saudara kita yang kekurangan, mengulurkan tangan berbagi
kebahagiaan, dan meningkatkan kepekaan jiwa dan kepedulian kita terhadap kondisi-kondisi
masyarakat disekitar kita.
“Barangsiapa mau meringankan beban penderitaan saudaranya sewaktu didunia, maka Allah
akan meringankan bebannya sewaktu di Akirat kelak”.
9. Pangkur
Pangkur atau mungkur artinya menyingkirkan hawa nafsu angkara murka, nafsu negatif yang
menggerogoti jiwa kita. Menyingkirkan nafsu-nafsu angkara murka, memerlukan riyadhah /
upaya yang sungguh-sungguh, dan khususnya di bulan Ramadhan ini mari kita gembleng hati
kita agar bisa meminimalisasi serta mereduksi nafsu-nafsu angkara yang telah mengotori
dinding-dinding kalbu kita.
10. Megatruh
Megatruh atau megat roh berarti terpisahnya nyawa dari jasad kita, terlepasnya Ruh / Nyawa
menuju keabadian (entah itu keabadian yang Indah di Surga, atau keabadian yang Celaka
yaitu di Neraka).
“ Kullu Nafsin Dzaaiqotul Maut “, “ Setiap Jiwa Pasti Akan Mati “.
“ Kullu Man Alaiha Faan “, “ Setiap Manusia Pasti Binasa “.
Akankah kita akan menjumpai Kematian Yang Indah (Husnul Khotimah) ataukah sebaliknya ?
Seperti kematian Pujangga kita WS Rendra, disaat bulan sedang bundar-bundarnya (bulan
Purnama) ditengah malam bulan Sya’ban tepat pada tanggal 6 Agustus atau tanggal 15
Sya’ban (Nisfu Sya’ban).
Diatas ranjang kematiannya, menjelang saat-saat Sakratul Mautnya dia bersyair:
“ Aku ingin kembali pada jalan alam,
“ Aku ingin meningkatkan pengabdian pada Allah,
“ Tuhan aku cinta pada-Mu ”
11. Pocung (Pocong / dibungkus kain mori putih)
Manakala yang tertinggal hanyalah jasad belaka, dibungkus dalam balutan kain kafan / mori
putih, diusung dipanggul laksana raja-raja, itulah prosesi penguburan jasad kita menuju liang
lahat, rumah terakhir kita didunia.
“ Innaka Mayyitun Wainnahum Mayyituuna “, “ Sesungguhnya kamu itu akan mati dan
mereka juga akan mati”.
D. Simpulan Analisa Estetika
Mamaca, dalam bahasa Madura artinya membaca. Merupakan satu ekspresi seni yang
tergolong paling tua dari keragaman budaya musik Madura. Pertunjukan ini biasa disajikan
oleh empat orang yang terdiri atas tiga orang penembang (pembaca) dan seorang paneges
(juru terjemah). Secara teknis setiap penggalan dari pembacaan yang dilakukan oleh
penembang, pada bagian akhir selalu disisipi oleh tuturan terjemahan oleh paneges. Pada jeda
antara satu tembang ke tembang lain, biasanya terdapat tambahan bacaan yang fungsinya
mengantar ke pergantian penembang untuk membacakan tembang selanjutnya. Bacaan yang
ditembangkan itu sendiri adalah kisah Nabi Yusuf yang diambil dari layang Barzanji (kitab
Al-Barzanji).
Macapat secara khakikatnya merupakan dakwah yang memiliki unsur seni agar
menjadi fleksibel masuk pada masyarakat. Karena masyarakat secara keseluruhan suka
terhadap unsur-unsur yang terkandung dalam seni. Pertama kali macapat diciptakan oleh
Sunan Kalijaga dengan cerita-cerita mendidik yang dikemas dalam tembang-tembang yang
indah, sehinggah banyak orang tertarik untuk sekedar mendengarkan dan bahkan belajar
macapat dengan makna yang terkandung didalamnya. Oleh sebab itu banyak orang hindu
budha masuk islam karena memahami secara mendalam pesan yang disampaikan.Lama-
kelamaan dengan perantara macapat, umat islam semakin bertambah banyak dan macopat
mengalami peningkatan dengan munculnya iringan musik-musik gamelan dan seruling.
Masuknya macapat ke Madura lama ketika para Sunan yang sembilan sudah wafat
semua dan orang madura kebanyakan sudah beragama islam. Dengan perantara berdagang
antara orang Madura dengan Jawa akhirnya orang madura belajar dengan tujuan menjadi
ajang silaturrahmi satu sama lain, tidak tidur (tatang-ngen), tirakat, dan lain sebagainya.
Ketika masuknya macapat ke Madura sudah tertulis diatas kertas, tinggal orang-orang belajar
membaca dan nembang tanpa harus menghafal teks, sehingga dampaknya juga tak begitu
baik. Sudah mulai menjadi hal langga di Desa-desa saat sekarang ini orang mau belajar dan
membaca macapat tersebut.
Apabila diperhatikan lebih seksama, nada-nada dalam pelaguan tembang cukup
dominan dengan suara yang pitch-nya tinggi serta cenderung dekat dengan sistem nada
pentatonic seperti laras slendro yang dikenal dalam karawitan jawa.
Fungsi seni Mamaca disajikan pada acara-acara perayaan yang berkaitan dengan
siklus hidup manusia seperti slametan, ruwatan, sunat dan yang paling sering adalah untuk
hiburan pada saat musim haji. Satu hal yang cukup unik dari seni Mamaca ini adalah
penamaan tetembangannya yang hampir sama persis dengan nama-nama dalam tembang
yang ada dan dikenal dalam seni Macapat dari Jawa seperti Sinom, Pangkur, Asmarandana
dan lainnya. Namun struktur tembang dalam Mamaca tersebut sesungguhnya samasekali
berbeda dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Macapat jawa.
Sama halnya dengan berbagai bentuk seni tradisi nusantara lainnya, Mamaca pun
kurang mendapat tempat bagi kalangan muda di Madura. Artinya, penerusan maupun upaya
pengembangan warisan budaya yang tak ternilai harganya itu pun harus berhadapan dengan
realita sulitnya regenerasi.
Macapat Madura (Mamaca) Kesenian Tembang Versi Madura
Untuk memenuhi tugas akhir mata kuliahKapita Selekta Budaya
Yang dibina oleh bapak Drs. Mistaram, M.Pd, PH.D
Oleh :
Helmiy Rohmanil Aziz
209251420457
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SENI DAN DESAIN
PENDIDIKAN SENI RUPA
MEI 2012