Ketika Program Pendidikan Berantakan

3
Ketika Program Pendidikan Berantakan Krisis ekonomi menghantam dunia pendidikan Indonesia. Banyak anak yang putus sekolah karena tidak ada yang membiayai dan program wajib belajar sembilan tahun diundur targetnya. LSM pun ikut membantu.Krisis ekonomi menghantam dunia pendidikan Indonesia. Banyak anak yang putus sekolah karena tidak ada yang membiayai dan program wajib belajar sembilan tahun diundur targetnya. LSM pun ikut membantu. NAIKLAH bus kota di Jakarta rute mana pun. Bisa dipastikan akan berjumpa dengan para pengamen anak-anak bersaing dengan pengamen `profesional` berusia dewasa. Beberapa bersuara lumayan bagus dan membawa ukulele yang mudah dimainkan. Tapi, lebih banyak lagi, hanya berbekal marakas atau botol minuman kesehatan yang diisi pasir. Suaranya pun berantakan. Sekadar bisa bunyi. Para pengamen ini tidak sendirian. Sepanjang jalan ditemui anak-anak seperti itu. Selain mengamen dan menyemir, menjual koran menjadi `pekerjaan` favorit mereka. Anak-anak ini beroperasi dari pagi hingga lampu-lampu jalanan menggantikan terang matahari, jam-jam di mana anak seusia mereka yang dari keluarga `normal` menghabiskan waktu di sekolah atau tempat bermain. Malangnya Indonesia, jumlah pekerja anak ini sangat banyak. Pada 1998, saat krisis ekonomi mencapai puncaknya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 2,1 juta jiwa. Ini adalah perkiraan moderat karena perkiraan Organisasi Buruh Internasional (ILO), jumlahnya bahkan mencapai 6 juta anak, termasuk 2 juta yang bekerja dalam kondisi membahayakan baik mental maupun fisik. ILO juga mencatat mereka tidak memperoleh kesempatan pendidikan dasar baik formal maupun informal. Dan kesimpulan ILO ini sesuai dengan data di Departemen Pendidikan Nasional. Data Ditjen Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olahraga (Diklusepora) menyebutkan terdapat sekitar 5,3 juta anak usia 13 - 15 tahun yang pendidikannya telantar sementara usia 16-18 bahkan mencapai 8,9 juta. Itu untuk usia sekolah menengah. Untuk usia sekolah dasar juga cukup memprihatinkan karena data BPS memperlihatkan pada 1998 terdapat 10 juta anak usia 7 tahun hingga 15 tahun droup-out SD, SMP, atau lulus SD tapi tidak melanjutkan. Tidak heran target Depdiknas, untuk menuntaskan program wajib belajar sembilan tahun pada 2003, gagal dan diundur hingga 2010. Malah, ada suara miring yang menyatakan bahwa program wajib belajar lebih bernuansa politik daripada pendidikan. Pemerintah saat itu bermaksud menampilkan wajah Indonesia di dunia internasional sebagai negara yang amat memperhatikan bidang pendidikan. Padahal, saat program wajib belajar diubah dari enam tahun menjadi sembilan tahun diluncurkan pada 1994, sarana dan prasarana pendidikan

description

materi pendidikian

Transcript of Ketika Program Pendidikan Berantakan

Ketika Program Pendidikan Berantakan

Ketika Program Pendidikan BerantakanKrisis ekonomi menghantam dunia pendidikan Indonesia. Banyak anak yang putus sekolah karena tidak ada yang membiayai dan program wajib belajar sembilan tahun diundur targetnya. LSM pun ikut membantu.Krisis ekonomi menghantam dunia pendidikan Indonesia. Banyak anak yang putus sekolah karena tidak ada yang membiayai dan program wajib belajar sembilan tahun diundur targetnya. LSM pun ikut membantu.

NAIKLAH bus kota di Jakarta rute mana pun. Bisa dipastikan akan berjumpa dengan para pengamen anak-anak bersaing dengan pengamen `profesional` berusia dewasa. Beberapa bersuara lumayan bagus dan membawa ukulele yang mudah dimainkan. Tapi, lebih banyak lagi, hanya berbekal marakas atau botol minuman kesehatan yang diisi pasir. Suaranya pun berantakan. Sekadar bisa bunyi.Para pengamen ini tidak sendirian. Sepanjang jalan ditemui anak-anak seperti itu. Selain mengamen dan menyemir, menjual koran menjadi `pekerjaan` favorit mereka. Anak-anak ini beroperasi dari pagi hingga lampu-lampu jalanan menggantikan terang matahari, jam-jam di mana anak seusia mereka yang dari keluarga `normal` menghabiskan waktu di sekolah atau tempat bermain. Malangnya Indonesia, jumlah pekerja anak ini sangat banyak. Pada 1998, saat krisis ekonomi mencapai puncaknya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 2,1 juta jiwa. Ini adalah perkiraan moderat karena perkiraan Organisasi Buruh Internasional (ILO), jumlahnya bahkan mencapai 6 juta anak, termasuk 2 juta yang bekerja dalam kondisi membahayakan baik mental maupun fisik. ILO juga mencatat mereka tidak memperoleh kesempatan pendidikan dasar baik formal maupun informal. Dan kesimpulan ILO ini sesuai dengan data di Departemen Pendidikan Nasional. Data Ditjen Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olahraga (Diklusepora) menyebutkan terdapat sekitar 5,3 juta anak usia 13 - 15 tahun yang pendidikannya telantar sementara usia 16-18 bahkan mencapai 8,9 juta. Itu untuk usia sekolah menengah. Untuk usia sekolah dasar juga cukup memprihatinkan karena data BPS memperlihatkan pada 1998 terdapat 10 juta anak usia 7 tahun hingga 15 tahun droup-out SD, SMP, atau lulus SD tapi tidak melanjutkan.Tidak heran target Depdiknas, untuk menuntaskan program wajib belajar sembilan tahun pada 2003, gagal dan diundur hingga 2010. Malah, ada suara miring yang menyatakan bahwa program wajib belajar lebih bernuansa politik daripada pendidikan. Pemerintah saat itu bermaksud menampilkan wajah Indonesia di dunia internasional sebagai negara yang amat memperhatikan bidang pendidikan.Padahal, saat program wajib belajar diubah dari enam tahun menjadi sembilan tahun diluncurkan pada 1994, sarana dan prasarana pendidikan termasuk persoalan guru belum dipersiapkan dan ditangani secara matang. Malah, saat diluncurkan menjadi pertanyaan sejumlah kalangan di Depdiknas. ``Sudah menjadi rahasia umum bahwa penanganan program itu dilakukan seadanya tanpa memperhatikan mutu pendidikan,`` kata mantan Dirjen Pendidikan dasar dan Menengah Djauzak Ahmad. Belum lagi data yang tersedia terutama jumlah anak didik cenderung dimanipulasi agar tampak manis di laporan. Untuk menyesuaikan dengan program wajib belajar sembilan tahun, pemerintah juga meluncurkan program pendidikan penyetaraan Paket A setara jenjang pendidikan formal SD dan Paket B setara SLTP. Tapi, celakanya, tanpa memperhatikan mutu.Dirjen Diklusepora Makmuri Muchlas, saat seminar `Model Pendidikan Luar Sekolah Bagi Pekerja Anak` mengatakan Program Paket A dan Paket B harus dilihat dalam perspektif lain, jangan hanya persoalan kualitas atau kuantitas.``Program Paket A dan Paket B dinilai punya makna strategis untuk menggerakkan mobilisasi penduduk agar tidak terjadi ketimpangan sosial yang mencolok,`` kata Makmuri. Selain ini, program ini diharapkan akan mengurangi kemiskinan struktural serta meningkatkan mutu sumber daya manusia menghadapi persaingan yang semakin terbuka ini. Kegagalan program wajib belajar, dan program sampingan seperti Paket B, disebabkan oleh beberapa kendala seperti perencanaan yang kurang mantap, keterbatasan dana, penyediaan sumber daya pelaksana sebagai pendukung program serta persoalan sosial lainnya.Depdiknas juga mensinyalir masih tingginya angka anak yang tidak mendapat kesempatan belajar tersebut di antaranya disebabkan terlalu mahalnya biaya pendidikan bagi masyarakat miskin. Tidak adanya waktu yang cukup bagi anak karena harus banyak membantu orang tua bekerja.``Secara kultural ada anggapan di masyarakat bahwa sekolah tidak dapat menjamin memperoleh pekerjaan atau status ekonomi yang baik karena belum ada sistem pengupahan, pada sektor formal dan informal, belum menghargai tingkat pendidikan,`` kata Damanhuri Rosadi dari Yayasan Lembaga Kesejahteraan Anak Indonesia. ``Sekolah tidak menarik minat bagi anak dan orang tua.`` Saat krisis ekonomi, pemerintah sudah menyadari bahwa ada kemungkinan satu generasi hilang karena tidak bisa mendapatkan pendidikan. Maka, dengan dana bantuan asing, diluncurkan program Jaring Pengaman Sosial untuk bidang pendidikan. Program beasiswa ini ditujukan kepada murid SD hingga SMU di seluruh Indonesia. Tujuan utama, tentu saja, untuk mencegah murid dari keluarga miskin tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya. Sementara bagi para pekerja anak atau bocah telantar, pemerintah seperti tidak ada program yang jelas untuk pendidikan. Hanya ada sejumlah LSM yang bekerja untuk mereka. Misalnya lima sekolah milik LSM Pandu Rakyat Miskin (Param) yang tersebar di Pedongkelan, Jakarta Timur; Kampung Kakap, Penjaringan Utara; Cipete Utara, Jakarta Selatan; Pekojan, Jakarta Utara; dan Bunderan Kamal, Jakarta Pusat. Sayang, sekolah di Pedongkelan telah terbakar bersama 200 rumah lainnya di kawasan tersebut. ``Semestinya Depdiknas juga andil untuk terus mengembangkan sekolah miskin semacam ini bila ingin wajar sembilan tahun berhasil,`` kata Mario, Ketua Litbang LSM Peduli Pendidikan Bangsa (P2B) yang menyelenggarakan sekolah bagi anak telantar di daerah Pluit. ``Anak-anak ini tidak bisa sekolah di sekolah formal karena mereka tidak mampu beli buku yang mahal.`` (Soelistijono/Siswantini Suryandari/B-3)Sumber : Media Indonesia, Sabtu, 24 Februari 2001