KERJASAMA PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT …digilib.unila.ac.id/21264/3/SKRIPSI TANPA BAB...

66
KERJASAMA PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT BERDASARKAN MANADO OCEAN DECLARATION (MOD) 2009 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA (Skripsi) Oleh Anisa Apriyani FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016

Transcript of KERJASAMA PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT …digilib.unila.ac.id/21264/3/SKRIPSI TANPA BAB...

KERJASAMA PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT

BERDASARKAN MANADO OCEAN DECLARATION (MOD) 2009

DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

(Skripsi)

Oleh

Anisa Apriyani

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2016

ABSTRACT

COOPERATION OF SEA ENVIRONMENT MANAGEMENT BASED ON

MANADO OCEAN DECLARATION (MOD) 2009 AND ITS

IMPLEMENTATION IN INDONESIA

By

Anisa Apriyani

Climate change caused by global warming has impact the temperature rise and sea

rise, it is cause the earth become hotter and undefined weather which tasted by states

in the world, especially in developing countries.Climate change can be improvement

by environment conservation to support sustainable development which have circle

perception, such arranged by Manado Ocean Declaration (MOD) 2009, completed

with Coral Triangle Initiative (CTI) who inisiated by Indonesia.The problem of this

research are how international law arrangement about international cooperation of sea

environment conservation and implementation of MOD in Indonesia.The research

method is normative with qualitative analysis. Data of research are based on

primary,secondary, and tertiary substances which collected by library research.

The result of research shows that MOD is an international declaration, it have soft

law character which emphasize to sea ecosystem and coastal, as well as sea

environment conservation. MOD implementation in Indonesia has been formed by

Long Term Development Plan (RPJP) 2005-2025 and Indonesian government policy,

include the Blue Economy System policy which integrated by sea economic policy

and sea circle. Blue economy principle was included on Article 14 (1) LawNo. 32

Year 2014 about Sea which mentions that usage and resources effort use blue

economy principle.Blue carbon programs have same context with blue economy

principle. Blue economy principle as Indonesian economics effort to keep ecosystem,

so it was called by blue economy (economy: have an economic aspect, blue:

environment conservation). It was support Blue Carbon programme. Blue carbon

included by Law Number 32 Year 2014 chapter VIII about Sea Space Management

and Sea Environment Protection. However, there is Implementing Regulation of

Lawsyet (for examples are Presidential Decision/Keppres, Government

Regulation/PP, or Regulation of the Minister /Permen), particulary regulate about

blue carbon action in Indonesia. For sustainable, Indonesia have to plan about

Implementing Regulation of Laws,remind that Indonesia have territory sea,as well as

MOD reinforcement with hard law characteristic (final binding).

Key words: Sea Environment Management, Implementation of Manado Ocean

Declaration (MOD) 2009 in Indonesia

ABSTRAK

KERJASAMA PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT BERDASARKAN

MANADO OCEAN DECLARATION (MOD) 2009 DAN

IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

Oleh

Anisa Apriyani

Perubahan iklim akibat pemanasan global berdampak terhadap meningkatnya

suhu bumidan kenaikan air laut sehingga menyebabkan bumi semakin panas dan

cuaca tidak menentu yang dirasakan seluruh negara didunia khususnya di negara-

negara berkembang. Perubahan iklim dapat ditanggulangi dengan pengelolaan

lingkungan hidup yang menunjang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan, seperti yang diatur dalam Manado Ocean Declaration (MOD) 2009,

dilengkapi dengan Coral Triangle Initiative (CTI) yang di inisiasi oleh Indonesia

bersama. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaturan

hukum internasional mengenai kerjasama pengelolaan lingkungan laut

antarnegara dan implementasi MOD di Indonesia.Jenis penelitian ini adalah

hukum normatif dengan analisis kualitatif. Data yang digunakan bersumber pada

bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang dikumpulkan melalui studi

pustaka.

Hasil penelitian menyatakan bahwa MOD merupakan perjanjian internasional

yang bersifat soft law(mengikat secara moral) yang menekankan pengelolaan

ekosisitem laut dan pesisir, serta lingkungan laut. Implementasi MOD sudah

direncanakan Indonesia sejak 2005 hingga 2025 yang termuat dalam Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005-2025 dan kebijakan-kebijakan

yang dilakukan pemerintah Indonesia, salah satunya yaitu kebijakan Blue

Economy System yang memadukan keselarasan ekonomi kelautan dengan

lingkungan laut.Blue Economy menjadi prinsip yang tercantum dalam Pasal 14 (1)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang menyebutkan

bahwa pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya kelautan dilaksanakan dengan

menggunakan prinsip ekonomi biru. Prinsip ekonomi biru sebagai prinsip

peningkatan ekonomi Indonesia yang tetap menjaga kelestarian ekosistem,

sehingga disebut dengan ekonomi biru (gabungan dari kata ekonomi : memiliki

aspek ekonomi, biru : pelestarian lingkungan). Prinsip inilah yang mendukung

diadakannya program-program Karbon Biru. Program karbon biru secara tersurat

tercantum pada Bab VIII UU No. 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Ruang Laut

dan Perlindungan Lingkungan Laut. Namun, belum ada peraturan pelaksana

(setingkat dengan Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan

Menteri) yang secara khusus mengatur mengenai langkah-langkah pelaksanaan

program karbon biru di Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia perlu merancang

peraturan pelaksana tersebut mengingat Indonesia memiliki wilayah laut yang

tersebar diberbagai daerah serta perlunya penguatan MOD agar bersifat hard law

(mengikat secara hukum).

Kata kunci : Pengelolaan Lingkungan Laut, Implementasi Manado Ocean

Declaration (MOD) 2009

KERJASAMA PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT

BERDASARKAN MANADO OCEAN DECLARATION (MOD)

2009 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

Oleh

Anisa Apriyani

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

pada

Minat Bagian Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2016

RIWAYAT HIDUP

Penulis terlahir sebagai anak pertama dari pasangan bapak Mujiar

dan ibu Sumaryati. Penulis lahir di Pulung Kencana, 7 April 1993.

Penulis menempuh pendidikan di Taman Kanak-Kanak LPMD

Harapan Rejo lulus tahun 1999, Sekolah Dasar Negeri 2 Harapan

Rejo lulus tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1

Seputih Agung lulus tahun 2008, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Seputih

Agung lulus tahun 2011. Tahun 2011, Penulis terdaftar sebagai mahasiswa

Jurusan Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur

Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan mengambil

minat jurusan Hukum Internasional, serta melaksanakan Kuliah Kerja Nyata

(KKN) Tematik di Desa Sukadana Baru, Kec. Tanjung Harapan, Kab. Lampung

Timur pada Tahun 2014.

Selama menempuh studi di Universitas Lampung, penulis aktif dibeberapa

organisasi seperti Forum Silaturahim dan Studi Islam (FOSSI FH) sebagai

Mujahid Muda (MMF) FOSSI pada tahun 2011-2012, wakil ketua umum pada

tahun 2012-2013, anggota Badan Khusus Bimbingan Baca Quran (BBQ FH) pada

tahun 2013-2014. Pada tahun 2014-2015, penulis pernah menjadi wakil ketua II

Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) serta Anggota Komisi II di Dewan

Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPM-U) KBM Unila dan juga aktif dalam

kegiatan-kegiatan di organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

(KAMMI) komisariat Unila diantaranya anggota departemen Kaderisasi tahun

2011-2013, sekretaris biro kesekretariatan tahun 2013-2014, wakil sekretaris

umum tahun 2014-2015.

Selain itu, penulis juga turut serta dalam pelatihan seperti Dauroh Marhalah

KAMMI I dan II, Latihan Kepemimpinan Manajemen Islam Tingkat Dasar

(LKMI TD), Latihan Kepemimpinan Manajemen Islam Tingkat Menengah

(LKMI TM), Sekolah Muslimah 2, Sekolah Politik, dan Dialog Kebangsaan yang

diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Birohmah dan Badan Eksekutif

Mahasiswa (BEM) di Universitas Lampung.

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk

Ibu Sumaryati dan Bapak Mujiar

Atas kasih sayang, kesabaran, do’a, dorongan dan semangat demi keberhasilanku,

Untuk adikku, Elina Apria Novitasari (alm) semoga ALLAH SWT

mempertemukan keluarga kita kelak di Surga-Nya,

Untuk saudara-saudaraku tersayang, langkah kita masih panjang, semangatlah

berjuang,

Bagi almamater tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung

MOTTO

“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu.

Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing.”

(Q.S. Ar-Rahman:19-20)

Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat

memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan

dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera

berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya,

dan supaya kamu bersyukur.

(QS. An-Nahl [16] : 14)

Bersyukur terhadap ilmu yang didapat adalah dengan tidak

menyombongkannya dan tetap membaginya kepada orang lain.

“Mujiar”

Rasa lelah dan semangat sekuat ombak ketika menuntut ilmu menjadi tiada

berguna jika tidak disertai doa dan usaha.

“Anisa Apriyani”

SANWACANA

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas karunia dan rahmat-Nya, sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan sebagai salah satu syarat dalam meraih gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum, Universitas Lampung. Skripsi ini berjudul

“KERJASAMA PENGELOLAAN LAUT BERDASARKAN MANADO

OCEAN DECLARATION (MOD) 2009 DAN IMPLEMENTASINYA DI

INDONESIA”.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari peranan

dan bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih pada:

1. Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung, sekaligus Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan

motivasi yang sangat membantu terselesaikannya skripsi ini.

2. Melly Aida, S.H., M.H., selaku Kepala Bagian Hukum Internasional, Fakultas

Hukum, Universitas Lampung atas saran-sarannya.

3. Prof. Dr. M. Akib, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang selalu

memberikan nasihat-nasihat terbaiknya.

4. Ahmad Syofyan, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang selalu memberikan

motivasi, dan saran yang bermanfaat, serta kesabaran dalam membimbing.

5. Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.H., selaku Pembahas I atas nasihat dan saran

perbaikannya.

6. Desy Churul Aini, S.H., M.H., selaku Pembahas II atas saran-saran perbaikan

dan motivasi yang membangun.

7. Seluruh dosen dan staf administrasi Bagian Hukum Internasional yang selalu

memberikan bantuan serta nasihatnya.

8. Orang tuaku, Bapak Mujiar dan Ibu Sumaryati yang memberikan segala doa

dan upayanya kepada penulis, you’re so inspiring me.

9. Teman-teman di HIMA HI, Very Susan, Kurniawan M., Tan Jessica N.H.,

Beni Prawira C.J., Shinta, Farid, Belardo, Elrenofa, thank’s a lot, we will miss

our little happy family class.

10. Erma dan Fida atas bantuan do’a maupun usaha, serta motivasinya.

11. Seluruh keluargaku yang selalu memberikan doa terbaik.

12. Teman-teman seperjuangan FH 2011, Edelweiss 2, Keluarga FOSSI FH

Unila, KAMMI Unila, MPM/DPM KBM Universitas Lampung 2014/2015

atas simpati dan dorongan semangatnya. Serta seluruh pihak yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memerlukan pengkajian lebih lanjut.

Akan tetapi, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.

Bandar Lampung, Februari 2016

Penulis

Anisa Apriyani

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

DAFTAR ISI . ii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR DIAGRAM v

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR SINGKATAN vii

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 8

1.3. Tujuan Dan Kegunaan

1.3.1. Tujuan 8

1.3.2. Kegunaan Penelitian 8

1.4. Ruang Lingkup 9

1.5. Sistematika Penulisan 10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

2.1.1. Kerjasama 12

2.1.2. Pengelolaan Sumber Daya Alam 13

2.1.3. Konservasi Laut di Indonesia 15

2.1.4. Pengelolaan Lingkungan Laut 16

2.2. Perjanjian Internasional

2.2.1. Pengertian Perjanjian Internasional 17

2.2.2. Daya Mengikat Perjanjian Internasional 20

2.2.3. Asas-asas Hukum Perjanjian Internasional 22

2.3. Perjanjian Internasional yang Berkaitan dengan Pengelolaan

Lingkungan Laut

2.3.1. Pengelolaan Lingkungan Laut Berdasarkan United

Nations Convention on the Law of the Sea

(UNCLOS) 1982 24

2.3.2. Convention on International Trade in Endangered Species

(CITES) 1973 28

2.3.3. United Nations Framework Convention on Climate

Change (UNFCCC) 1992 29

2.3.4. Kyoto Protocol 1997 32

2.3.5. United Nations Conference on Environment and

Development (UNCED) atau Agenda 21 33

2.3.6. Convention on Biological Diversity (CBD) 1992 34

2.3.7. Manado Ocean Declaration (MOD) 2009 35

III. METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Masalah 37

3.2 Sumber Data 38

3.3 Metode Pengumpulan Data . 39

3.4 Analisis Data 40

IV. PEMBAHASAN

4.1 Pengaturan Manado Ocean Declaration (MOD) 2009 Mengenai

Kerjasama Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan Laut Antar

Negara 41

4.2 Implementasi Manado Ocean Declaration (MOD) 2009 di Indonesia

4.2.1. Kebijakan Blue Economy System 60

4.2.1.1. Ekonomi Kelautan 66

4.2.1.2. Lingkungan Laut 71

4.2.2. Langkah Strategis yang Dilakukan Pemerintah Indonesia

4.2.2.1. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable

Development) 72

4.2.2.2. Program Karbon Biru di Indonesia 75

4.2.2.3. Pengelolaan Perikanan Melalui Pendekatan

Ekosistem 78

4.2.2.4. Pelaksana Pengelola Sumberdaya Kelautan di

Indonesia 79

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 84

5.2. Saran 86

DAFTAR PUSTAKA 87

LAMPIRAN 92

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tabel 1 …………………………………………………………. 47

2. Tabel 2 ……………………………………………………………. 49

3. Tabel 3 ……………………………………………………………. 55

4. Tabel 4 ……………………………………………………………. 69

DAFTAR DIAGRAM

Halaman

Diagram 1 ……………………………………………………………. 68

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Gambar 1 ……………………………………………………………. 57

2. Gambar 2 ……………………………………………………………. 65

3. Gambar 3 ……………………………………………………………. 67

DAFTAR SINGKATAN

CBD : Convention on Biological Diversity

CDM : Clean Development Mechanism

CITES : Convention on International Trade in Endangered Species

CO2 : Carbon Dioxcide (Karbon Dioksida)

COP : Conference of Parties

CTI : Coral Triangle Initiatives

EAF : Ecosystem Approach to Fisheries

GEF : Global Environment Facility

GRK : Gas Rumah Kaca

GT : Gross Ton

ICSU : International Council of Scientific Union

ILC : International Law Commision

IMars/USF : University of South Florida

IRD : L’Institut de Recherce por le Developpement (Lembaga

Penelitian untuk Pembangunan

IUCN : International Union for Conservation of Nature

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

KKL : Kawasan Konservasi Laut

KKP : Kawasan Konservasi Perairan

KTT : Konferensi Tingkat Tinggi

MCS : Monitoring, Control, And Surveillance

MPA : Marine Protected Area

MOD : Manado Ocean Declaration

NASA : U.S National Aeronautics and Space Administration (Badan

Penerbangan dan Ruang Angkasa Nasional AS)

NC : National Communication

OTEC : Ocean Thermal Energy Convention

PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa

RRC : Republik Rakyat China

UNCBD : United Nation Convention on Biological Diversity

UNCED : United Nation Conference on Environment and Development

UNCLOS : United Nation Convention on the Law of the Sea

UNEP : United Nation Environment Programme

UNESCO : United Nation Educations, Scientificand Cultural Organization

UNFCCC : United Nations Framework Convention on Climate Change

VLCT : Vienna Convention on the Law of Treaties

WCED : World Commission on Environment and Development

WCMC : World Conservation Monitoring Center

WMO : World Metrological Organization

WOC : World Ocean Declaration

WRI : World Resources Institute

ZEE : Zona Ekonomi Ekslusif

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui secara internasional

didalam Konvensi Hukum Laut Internasional atau United Nations Convention on

the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Upaya Indonesia untuk mendapatkan

pengakuan dan penghormatan internasional sebagai negara kepulauan/maritim

sudah berlangsung lama ketika Kabinet Djuanda yang mengeluarkan “Deklarasi

Djuanda” pada tahun 1957 berupaya untuk memperjuangkan apa yang kemudian

dikenal sebagai Wawasan Nusantara, suatu cara pandang yang melihat Indonesia

bukan saja sebagai wilayah daratan semata melainkan juga wilayah lautnya.

Dikeluarkannya deklarasi ini dimaksudkan untuk menyatukan wilayah daratan

yang terpecah-pecah sehingga akan menutup adanya lautan bebas yang berada

diantara pulau-pulau wilayah daratan.1

Disamping itu, status Indonesia sebagai negara kepulauan juga memerlukan

kerjasama dengan negara-negara tetangga, baik dalam masalah perjanjian-

perjanjian perbatasan, peningkatan ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain.

Perjanjian-perjanjian yang telah dilakukan Indonesia dalam hal penetapan garis

1P. Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2013, hlm. 6.

2

batas dan landas kontinen dan dasar laut diantaranya2: (1) Perjanjian antara

Republik Indonesia dengan Malaysia mengenai Penetapan Garis Batas Landas

Kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan pada tahun 1969; (2) Perjanjian

antara Republik Indonesia dengan Thailand mengenai Penetapan Garis Batas

Landas Kontinen di Selat Malaka dan Laut Andaman pada 1971; (3) Perjanjian

antara Republik Indonesia dengan Malaysia dan Thailand mengenai Penetapan

Garis Batas Landas Kontinen Bagian pada 1971; (4) Perjanjian antara Republik

Indonesia dengan Australia mengenai Penetapan Batas Dasar Laut di Laut

Arafuru, di depan Pantai Selatan Pulau Papua/Irian serta di Depan Pantai Utara

Irian/Papua pada 1971; (5) Perjanjian antara Republik Indonesia dengan Australia

(tambahan perjanjian sebelumnya dengan Australia) mengenai Penetapan atas

Batas-Batas Dasar Laut di Daerah Wilayah Laut Timor dan Laut Arafuru pada

1971; (6) Perjanjian antara Republik Indonesia dengan India mengenai Penetapan

Garis Batas Landas Kontinen di Wilayah Sumatera/Sematera dengan Kepulauan

Nikobar pada 1974.

Perjanjian-perjanjian yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara tetangga

tersebut menunjukkan bahwa Indonesia melakukan upaya-upaya penegasan atas

batas-batas wilayah Republik Indonesia sebagaimana Pasal 47 (6) UNCLOS

1982.3

2Herwan Parwiyanto, Kajian Wilayah Teritori Dalam Kerangka Sistem Administrasi Negara RI,

Semarang: UNS, 2009, hlm. 3. 3Pasal 47 (6) United Nation Convention of The Law on The Sea (UNCLOS) 1982 menyatakan

bahwa “Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu Negara kepulauan terletak di antara dua

bagian suatu Negara tetangga yang langsung berdampingan, hak-hak yang ada dan kepentingan-

kepentigan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradisional oleh Negara tersebut terakhir di

perairan demikian, serta segala hak yang ditetapkan dalam perjanjian antara Negara-negara

tersebut akan tetap berlaku dan harus dihormati”.

3

Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional juga tidak dapat

melepaskan tanggungjawabnya untuk membantu dan memperhatikan kondisi4

lingkungan laut sebagai warisan bersama umat manusia (common heritage of

mankind).5 Bentuk tanggungjawab dan kepedulian Indonesia adalah dengan ikut

menjaga lingkungan laut karena keberadaan laut ternyata memiliki hubungan

dengan iklim ataupun keadaan lingkungan disekitarnya. Pada tingkatan global,

laut menyumbangkan jasa dalam mengurangi pemanasan global. Namun yang

pasti jika pemanasan global semakin buruk dan air laut semakin naik ke daratan,

negara-negara kepulauan seperti Indonesia, Maladewa, negara-negara digugusan

Melanesia, Polynesia dan Micronesia di Pasifik Selatan akan terkena dampak

negatifnya bahkan mungkin ada pulau-pulau kecilnya yang tenggelam. Indonesia

memiliki 17.5046 pulau-pulau besar dan kecil, baik yang sudah bernama maupun

tanpa nama. Dihitung dari panjang garis pantai, Indonesia adalah negara

terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, dengan total panjang garis pantai

mencapai sekitar 81 ribu kilometer. Indonesia juga merupakan negara di Asia

Tenggara yang paling banyak memiliki pulau-pulau terluar (terdepan), sekitar 92

pulau yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga dari Barat sampai

ke Timur, yaitu: India, Burma, Malaysia, Singapura, Republik Rakyat China

4Heryandi, Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Kelautan, Bandar Lampung: Universitas

Lampung, 2010, hlm. 43. 5Penjelasan mengenai warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind) menurut

Teori Grotius, menyatakan bahwa: (1) tidak ada laut yang dapat menjadi kepemilikan dari negara

manapun karena sangatlah tidak mungkin sebuah negara menguasainya secara efektif dan

mengambil kepemilikannya secara okupasi (pendudukan), (2) alam tidaklah memberikan hak

kepada siapapun untuk menguasai suatu benda yang digunakan oleh semua orang dan bersifat

exhaustible atau dengan kata lain laut yang terbuka adalah sebuah res gentium atau res extra

comercium. Lihat Jawahir Thantowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,

Bandung: Refika Aditama, 2006, hlm. 185. 6Ridwan Lasabuda, Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Perspektif Negara Kepulauan

Republik Indonesia, Jurnal Ilmiah Platax, Vol. 1-2, Januari 2013, hlm. 93. Diunduh dari

http://ejournal.unstrat.ac.id/index.php/platax pada 4 Mei 2014 pukul 18.55 WIB.

4

(RRC), Thailand, Filipina, Timor Leste, Australia, Papua Nugini, dan gugusan

kepulauan Micronesia.7 Dari 92 pulau yang berbatasan langsung dengan negara-

negara tetangga tersebut, paling tidak ada 12 pulau terdepan yang mendapatkan

prioritas perhatian utama dari pemerintah Indonesia karena letaknya yang lebih

dekat ke negara lain dibandingkan dengan ke ibukota provinsi terdekat di wilayah

Indonesia, yakni Pulau Rondo, Pulau Sekatung, Pulau Nipa, Pulau Berhala, Pulau

Marore, Pulau Miangas, Pulau Merampit, Pulau Dana, Pulau Fani, Pulau Fanildo,

Pulau Bras dan Pulau Batek.8

Disamping perihal perbatasan, permasalahan lingkungan laut juga sangat menjadi

perhatian dunia setelah terjadinya 6 kasus kapal tanker yang menumpahkan

minyak dalam jumlah besar pada tahun 1975-1976.9 Kasus pencemaran limbah

minyak hitam (sluge oil) beracun yang mengotori perairan pesisir pantai di

Perairan Bintan Utara (Kepulauan Riau) yang merupakan bagian dari perairan

Selat Malaka ditemukan setiap tahunnya.10

Bintan Utara yang strategis berada

pada jalur perdagangan internasional mengindikasikan adanya limbah dari Selat

Malaka yang sengaja dibuang oleh kapal-kapal asing saat melintas yang mengalir

hingga Bintan Utara. Dampak tumpahan minyak tersebut juga dirasakan hingga ke

Kecamatan Teluk Sebong yang menjadi pusat aktivitas pariwisata bagi wisatawan

7Executive Summary Seminar Mengelola Potensi Kelautan Demi Masa Depan Menyongsong

World Ocean Conference (WOC) kerjasama Asosiasi Ilmu Politik Indonesia dan Pemerintah

Provinsi Sulawesi Utara yang dilaksanakan di Manado, 12-13 Maret 2009, hlm. 2. 8Ibid.

9Komar Kontaatmadja, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional, Bandung: Alumni,

1982, hlm. 2. Dapat dilihat pula pada Heryandi (Ed), Hukum Laut Internasional Dalam

Perkembangan, Seri Monograf Vol. III Tahun 2015, Bandarlampung: Justice Publisher, 2015,

dalam artikel Melly Aida dan M. Farid Al Rianto, Kerjasama Regional dalam Pengelolaan dan

Perlindungan Lingkungan Laut di Selat Malaka, hlm. 32. 10

Khaidir Anwar, Kerjasama Pengelolaan Selat Malaka (Menghadapi Masyarakat Ekonomi

ASEAN), Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2015, hlm. 19.

5

mancanegara.11

Tumpahan minyak dan bahan-bahan kimia tersebut mencemari

laut berdampak besar pada biota laut, termasuk terumbu karang. Kerentanan

ekosistem terumbu karang dan aktivitas manusia yang merusak alam

mengakibatkan terdegradasinya terumbu karang.12

Selain itu, deforestasi13

di negara berkembang menyumbang emisi CO2 (karbon

dioksida) sekitar 20% dari emisi global, sementara karbon yang tersimpan dihutan

diperkirakan sebanyak 4500 Gross Ton (GT) CO2 yang ternyata lebih besar dari

yang tersimpan di atmosfer sebanyak 3000 GT CO2, sehingga menimbulkan

pemanasan global diseluruh negara,dari daratan hingga lautannya.14

Permasalahan-permasalahan lingkungan laut tersebut perlu ditanggulangi dengan

tindakan preventif maupun represif dengan sistem pengelolaan yang tidak

merusak ekosistem. Salah satu upaya Indonesia untuk menggalakkan kembali

pengelolaan laut berbasis ekosistem ialah dengan menginisiasi adanya World

Ocean Declaration (WOC) 2009 yang dilaksanakan di Manado pada 11-15 Mei

2009. WOC ditujukan bagi para pemimpin dunia untuk mengambil keputusan dan

komitmen bersama dalam menghadapi isu kelautan dunia serta mencari solusi

bersama atas masalah perubahan iklim global. Ilmuwan internasional dari

berbagai disiplin ilmu berkumpul di Sulawesi memperingati 150 tahun ekspedisi

Walaccea yang mendiskusikan berbagai temuan terkait flora dan fauna di wilayah

11

Ibid. 12

Riyanni Djangkaru, dkk, Beautiful Raja Ampat, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir,

dan Pulau-Pulau Kecil, hlm. 18. 13

Deforestasi merupakan masalah global yang mengacu pada kehilangan atau kerusakan hutan

yang terjadi secara alami, terutama akibat aktivitas manusia seperti penebangan untuk bahan

bakar, pembukaan lahan, pengembangan ternak, pembuatan bendungan, pertambangan dan lain-

lain yang berhubungan dengan pembangunan dan populasi.Lihat di

http://www.artikellingkunganhidup.com/apakah-deforestasi.html.diunduh pada 27 April 2015

pukul 10.36 WIB. 14

Syamsumar Dam, Politik Kelautan. Jakarta: Bumi Aksara, 2010, hlm. 275.

6

Indonesia Timur dan membicarakan berbagai kerjasama penelitian laut dimasa

depan, serta perubahan iklim global.15

Perubahan iklim akibat pemanasan global berdampak terhadap meningkatnya

suhu muka bumi dan kenaikan permukaan air laut sehingga menyebabkan bumi

semakin panas16

dan cuaca tidak menentu. Permasalahan perubahan iklim dapat

ditanggulangi dengan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan

mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan

seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan,17

seperti yang sedang di upayakan Indonesia.

Penyelenggaraan WOC 2009 tersebut didukung oleh 123 negara yang tergabung

dalam The Eighteenth Meeting of States Parties to the United Nations Convention

on the Law of the Sea dan dihadiri oleh 423 delegasi yang berasal dari 87 negara

dan organisasi-organisasi antarnegara.18

Hasil penyelenggaraan WOC ialah

perjanjian bersama mengenai pengelolaan lingkungan laut dan ekosistem laut

yang berbentuk deklarasi, yaitu Manado Ocean Declaration (MOD) 2009.

Agenda utama dalam WOC 2009 adalah (1) Pertemuan antar pemerintah atau

Senior Officials Meeting yang dimaksudkan untuk mengerucutkan perumusan

Manado Ocean Declaration yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran

negara partisipan WOC 2009 terhadap peran penting laut dalam perubahan iklim,

dan (2) kesepakatan Coral Triangle Initiatives atau CTI dalam bentuk CTI

15

Executive Summary, Op.Cit., hlm. 1. 16

A. Sutowo Latief, “Perubahan Iklim Global”, Jurnal Teknis, Vol. V No. 2, Agustus 2010,

hlm.73. 17

Riadiono, “Perlindungan Terhadap Lingkungan Laut”, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 4 No.

2, Desember 2011, hlm. 1. 18

Dewan Kelautan Indonesia, Kebijakan Ekonomi Kelautan Dengan Model Ekonomi Biru, Jakarta:

Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012, hlm. 27.

7

Regional Plan of Action oleh 6 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Papua Nugini,

Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste, untuk meningkatkan

perlindungan terhadap sumber daya lautan dan pantai yang berada di wilayah

Coral Triangle dalam wilayah laut 6 negara tersebut.

MOD 2009 dimasukkan dalam agenda resmi dan dibahas dalam Meeting of the

States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea. Selain itu,

output lainnya dari MOD 2009, yaitu Coral Triangel Initiatives Regional Plant of

Action yang dilakukan oleh 6 negara dalam menyelamatkan keanekaragaman

sumber daya hayati laut dunia, terutama ikan dan terumbu karang. WOC 2009

sebagai upaya mengembangkan, mengelola, dan melestarikan sumber daya laut

nasional dan internasional secara berkelanjutan.

Pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang memperhatikan akibatnya pada

lingkungan laut menjadi perhatian penting dalam penelitian ini, dimana

lingkungan laut tidak hanya terdiri dari benda hidup saja (biotic), tetapi juga

benda tak hidup (abiotic). Pengelolaan sumber daya alam harus diimbangi

adaptasi terhadap perubahan iklim sangat penting bagi seluruh negara, karena bagi

negara-negara berkembang yang perekonomiannya sangat bergantung pada sektor

dengan pengaruh iklim yang tinggi seperti pertanian akan sulit beradaptasi

dibandingkan dengan negara-negara industri. Oleh sebab itu, penulis melakukan

penelitian terhadap hasil perjanjian dari World Ocean Conference (WOC)19

, yaitu

“Kerjasama Pengelolaan Lingkungan Laut Berdasarkan Manado Ocean

Declaration (MOD) 2009 dan Implementasinya di Indonesia”.

19

Syamsumar Dam, Op.Cit.,hlm. 270.

8

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latarbelakang diatas permasalahan yang akan dibahas adalah

sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaturan Manado Ocean Declaration(MOD) 2009

mengenai kerja samapengelolaan dan pelestarian lingkungan laut

antarnegara?

b. Bagaimana implementasi Manado Ocean Declaration (MOD) 2009

dalam rangka pengelolaan lingkungan laut di Indonesia?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan Manado Ocean

Declaration (MOD) 2009 mengenai kerjasama pengelolaan dan

pelestarian lingkungan laut antarnegara.

b. Untuk menjelaskan dan menganalisis implementasi Manado Ocean

Declaration (MOD) 2009 dalam rangka pengelolaan lingkungan laut

di Indonesia.

1.3.2. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan

yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat

sebagai berikut:

9

a. Kegunaan Teoritis

Memberikan masukan terhadap pengembangan ilmu hukum dan untuk

memperluas pengetahuan ilmu hukum, khususnya ilmu Hukum Internasional

yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kerjasama pengelolaan lingkungan laut.

b. Kegunaan Praktis

Seluruh rangkaian penulisan ini diharapkan dapat menambah penguasaan materi

yang dipelajari mahasiswa khususnya yang menempuh konsentrasi dibagian

Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Lampung, sedangkan bagi

mahasiswa, dosen, dan masyarakat pada umumnya, hasil penulisan ini diharapkan

dapat menjadi dokumen akademik yang berguna untuk dijadikan acuan bagi

civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Lampung dan menambah

pengetahuan mengenai perjanjian-perjanjian internasional yang berisi ketentuan-

ketentuan mengenai pengelolaan lingkungan laut.

1.4. Ruang Lingkup

a. Bidang kajian ilmu

Kajian ilmu dalam pembahasan penulisan skripsi ini adalah perpaduan antara

konsep perjanjian internasional mengenai hukum laut dan hukum lingkungan

internasional khususnya implementasi Manado Ocean Declaration (MOD) 2009

di Indonesia.

10

b. Objek kajian

Objek kajian dalam pembahasan yaitu kerjasama pengelolaan lingkungan laut

berdasarkan hukum internasional dan implementasi Manado Ocean Declaration

(MOD) 2009 di Indonesia.

1.5. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam skripsi ini terdiri dari 5 bab yang diorganisasikan ke dalam

bab-bab sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian dan kegunaan penelitian, ruang lingkup,serta sistematika penulisan.Bab

ini memberikan gambaran secara umum latar belakang dibentuknya kerjasama

pengelolaan lingkungan laut berdasarkanManado Ocean Declaration (MOD)

2009 terkait dengan pengelolaan lingkungan laut.

Bab II Tinjauan Pustaka. Bab ini menguraikan pengertian dan prinsip-prinsip

tentang kerjasama (perjanjian internasional) secara ringkas, teori-teori mengenai

pengelolaan laut beserta sumber daya alamnya, pengertian konservasi laut secara

umum, serta uraian singkat mengenai perjanjian-perjanjian internasional yang

berkaitan dengan pengelolaan lingkungan laut. Bab ini bertujuan untuk

memberikan gambaran teoritis terhadap permasalahan yang akan dikaji terkait

Manado Ocean Declaration (MOD) 2009 serta implementasinya di Indonesia.

Bab III Metode Penelitian. Bab ini menguraikan langkah-langkah yang digunakan

penulis dalam melakukan pendekatan masalah, sumber data, prosedur maupun

metode pengumpulan data, serta analisis terhadap data yang diperoleh. Tujuannya

11

yaitu untuk memperoleh data yang lengkap, konkret, serta valid sehingga

memudahkan dalam melakukan penelitian.

Bab IV Pembahasan. Bab ini membahas tentang kerjasama pengelolaan

lingkungan laut berdasarkan Manado Ocean Declaration (MOD) 2009 dan

implementasinya di Indonesia. Bab ini bertujuan untuk menguraikan jawaban atas

permasalahan dalam skripsi dengan sistematis sehingga permasalahan dalam

skripsi terjawab dan informasi dari skripsi ini tersampaikan.

Bab V Penutup. Bab ini merupakan bab yang berisikan jawaban singkat atas

permasalahan dalam skripsi ini berupa kesimpulan dan disertai saran dari penulis

bagi perkembangan pengetahuan mengenai konsep kerjasama pengelolaan laut

yang akan dilaksanakan dimasa datang agar sumber daya laut yang dimanfaatkan

sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat tetap terjaga tanpa merusak

lingkungan.

12

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Laut di Indonesia

2.1.1. Kerjasama

Kerjasama adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan bersama-sama oleh

beberapa pihak.1 Kerjasama internasional merupakan usaha bersama antarnegara

untuk mencapai tujuan bersama dalam rangka mensejahterakan warga negara

masing-masing negara. Secara empirik, tingkat saling ketergantungan

(interdependensi) semakin tinggi sebagai akibat proses transnasionalisme yang

melewati batas-batas negara, seperti peningkatan perdagangan, keanggotaan

kelompok-kelompok ekonomi regional, dan proses globalisasi, telah menjadikan

kondisi dimana tidak ada lagi suatu kebijakan sosial-ekonomi nasional yang

benar-benar bersifat domestik.2 Tingkat saling ketergantungan tersebut yang

mendorong Indonesia sebagai salah satu negara berkembang harus melakukan

kerjasama baik bilateral, trilateral, maupun multilateral, khususnya permasalahan

perubahan iklim yang menjadi masalah global. Kerjasama pengelolaan sumber

daya diperlukan mengingat adanya hubungan antarnegara, dimana terdapat negara

yang sumber daya alamnya melimpah dan ada pula negara yang memiliki sedikit

1Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,

2008, hlm. 704. 2Anak Agung Bayu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan

Internasional, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005, hlm. 77.

13

sumber daya alam namun memiliki teknologi untuk mengolah sumber daya alam

tersebut.

2.1.2. Pengelolaan Sumber Daya Alam

Masyarakat Indonesia secara turun-temurun memanfaatkan sumber daya alam

sejak masa penjajahan Belanda. Hal tersebut dibuktikan dengan pemanfaatan

lestari sumber daya alam seperti adanya Panglima Laot di Aceh, Lubuk Larangan

di Jambi, Kelong di Batam, Mane’e di Sulawesi Utara, Sasi di Maluku dan Papua,

serta Awig-awig di Lombok.3 Istilah pengelolaan yang merupakan terjemahan

dari istilah management (Bahasa Inggris) merupakan istilah dari disiplin ilmu

ekonomi. Pengertian management, terkandung makna adanya segi-segi

keteraturan. Demikian pula dengan mengingat tujuan yang akan dicapai, maka

berkaitan dengan segi-segi kehidupan demi terselenggaranya kelangsungan

barang-barang yang bersifat living resources.4

Secara leksikal, pengelolaan mempunyai arti lain yaitu:

a. Proses melakukan perbuatan tertentu dengan menggerakan tenaga orang lain;

b. Proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi;

c. Proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam

pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan.

Berdasarkan pengertian pengelolaan diatas, dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan pengelolaan adalah upaya yang meliputi kebijakan penataan,

pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan

3Hanoko Adi Susanto, Development and Progress of Marine Protected Area System in Indonesia,

Jakarta: Ministry of Marine Affairs and Fishiers of the Republic of Indonesia, 2011, hlm. 5. 4 Heryandi, Op.Cit., hlm. 11.

14

pengendalian sumber daya alam, khususnya yang berada di wilayah laut

Indonesia.5

Sumber daya alam di laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

rakyat banyak dikelompokkan menjadi sumber daya alam hayati dan non-hayati.6

Potensi kelautan Indonesia dapat dibagi menjadi 4 kelompok sumber daya

kelautan, yaitu7:

1. Sumber daya alam terbarukan (renewable resources) antara lain

perikanan, hutan bakau (mangrove), rumput laut (seaweed), padang

lamun (seagrass) dan terumbu karang (coral reefs).

2. Sumber daya alam tak terbarukan (non renewable resources) yaitu

minyak, gas bumi, timah, bauksit, bijih besi, pasir, kwarsa, bahan

tambang, dan mineral lainnya.

3. Energi kelautan berupa energi gelombang, Ocean Thermal Energy

Convertion (OTEC), pasang surut dan arus laut.

4. Laut sebagai environmental service dimana laut merupakan media

transportasi, komunikasi, rekreasi, pariwisata, pendidikan,

penelitian, pertahanan dan keamanan, pengatur iklim (climate

regulator) dan sistem penunjang kehidupan lainnya (life-

supporting system).

Pengelolaan sumber daya alam kelautan juga tidak terlepas dari prinsip yang

terkait dengan lingkungan dan pembangunan, sebagaimana yang diamanatkan

5Ibid.

6P. Joko Subagio, Op.Cit., hlm. 10

7Dewan Kelautan Indonesia, Kebijakan Ekonomi Kelautan Dengan Model Ekonomi Biru, Op.Cit.,

hlm. 3.

15

dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) 1992, Kerangka Konvensi mengenai

Perubahan Iklim 1992, Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992, UNCLOS 1982

dan Program Aksi Global.8

2.1.3. KonservasiLaut di Indonesia

Pasal 1 (8) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 joUndang-Undang Nomor 45

Tahun 2009 tentang Perikanan menyatakan pengertian konservasi sebagai upaya

melindungi, melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya, yang tercatum juga

pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber

Daya Ikan. Konservasi dikenal juga dengan istilah Kawasan Konservasi Laut

(KKL) sebagai terjemahan dari Marine Protected Area (MPA).9 Definisi Kawasan

Konservasi Perairan (KKP) menurut International Unionfor Conservation of

Nature (IUCN) 199410

adalah perairan pasang surut dan wilayah sekitarnya,

termasuk flora dan fauna di dalamnya dan penampakannya sejarah serta budaya

yang dilindungi secara hukum atau cara yang lain efektif untuk melindungi

sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya. Sedangkan menurut Peraturan

Pemerintah No. 60 Tahun 2007 dijelaskan bahwa KKP adalah kawasan perairan

yang dilindungi dan dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan

pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. KKP

terdiri atas Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam

Perairan, dan Suaka Perikanan. Manfaat keberadaan KKP dalam sistem alam dan

8Ibid., hlm. 12.

9Qadar Hasani, Konservasi Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat, Implementasi Nilai

Luhur Budaya Indonesia Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jurnal Ilmu Perikanan dan

Sumberdaya Perairan, hlm. 36. 10

International Union for Conservation of Nature (IUCN) 1994.

16

sosial, yaitu11

: (1) perlindungan biota laut pada tahap tertentu dalam siklus

hidupnya; (2) perlindungan habitat yang kritis dan tetap (misal terumbu karang

estuari); (3) perlindungan budaya dan lokasi arkeologi; (4) perlindungan terhadap

budaya lokal dan nilai tradisional pengelolaan laut berkelanjutan; (5) menjamin

tersedianya tempat yang memungkinkan bagi perubahan distribusi spesies sebagai

respon perubahan iklim atau lingkungan lainnya; (6) menjamin suatu tempat

perlindungan (refugia) bagi pengayaan stok ikan-ikan ekonomis penting; (7)

menyediakan suatu kerangka kerja untuk penyelesaian konflik multi stakeholders;

(8) menyediakan model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu; (9)

menyediakan sumber pendapatan dan lapangan kerja, (10) menjamin area untuk

penelitian ilmiah, pendidikan, dan rekreasi.

2.1.4. Pengelolaan Lingkungan Laut

Pengertian lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dari ekologi12

, ekosistem, dan

daya dukung lingkungan.Kerusakan lingkungan hidup dan dampaknya telah

menujukkan bahwa sistem pengelolaan lingkungan hidup yang di berlakukan

gagal membuat pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam yang

berwawasan lingkungan. Lingkungan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

berasal dari kata “lingkung” atau “melingkung” artinya memberi batas (pagar)

sekeliling, selanjutnya pengertian lingkungan itu sendiri merupakan daerah

(kawasan dan sebagainya) yang termasuk didalamnya.13

Menurut Ensiklopedia

11

Hanoko Adi Susanto, Op.Cit., hlm. 2-3. 12

Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang mahluk hidup dan tempat tinggalnya

(habitat) dalam sistem kehidupan.Ekologi berasal dari bahasa Yunani, Eikos yang berarti rumah

dan logos berarti ilmu. 13

KBBI, Op.Cit., hlm. 865.

17

Indonesia14

, lingkungan adalah segala sesuatu yang ada diluar suatu organisme

meliputi (i) lingkungan mati (abiotik) yaitu lingkungan diluar suatu organisme

yang terdiri atas benda atau faktor alam yang tidak hidup, seperti suhu, cahaya,

gravitasi atmosfer, bahan kimia, dan lainnya, (ii) lingkungan hidup (biotik) yaitu

lingkungan diluar suatu organisme hidup seperti tumbuhan, hewan, dan manusia.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1993 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup menyatakan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua

benda, daya keadaan dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang

mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk

hidup lainnya.

2.2.Perjanjian Internasional

2.2.1. Pengertian Perjanjian Internasional

Dalam masyarakat internasional, kerjasama antarnegara diwujudkan dalam bentuk

perjanjian internasional. Perjanjian internasional menurut Pasal 2 (1a) Konvensi

Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian adalah persetujuan yang dilakukan oleh

negara-negara, bentuknya tertulis dan diatur oleh hukum internasional. Sedangkan

Konvensi Wina 1986 mendefinisikan perjanjian internasional sebagai persetujuan

internasional yang diatur menurut hukum internasional dan ditandatangani dalam

bentuk tertulis antara satu negara atau lebih dan antara satu atau lebih organisasi

internasional serta antarorganisasi internasional. Konvensi ini bertujuan

14

Diunduh di http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31793/3/Chapter%20II.pdf pada

Sabtu, 13 Juni 2015 pukul 07.02 WIB.

18

memperluas pengertian perjanjian internasional dari Konvensi Wina 1969.15

Pengertian lain mengenai perjanjian internasional menurut Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional16

yaitu perjanjian dalam

bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat

secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban dibidang hukum publik.

Penjelasan mengenai pengertian perjanjian internasional juga dikemukakan oleh

Mochtar Kusumaatmaja yang menyatakan bahwa: “Hukum internasional adalah

perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang

bertujuan mengakibatkan akibat-akibat tertentu berupa17

: (a) aturan atau undang-

undang bagi mereka yang membuatnya, (b) sumber hukum yang mengikat para

pihak yang terlibat, (c) persetujuan atau ikatan hukum serta hubungan hukum

yang diatur oleh hukum internasional, (d) kesepakatan/konsensus bersama antara

subjek-subjek hukum internasional yang terlibat dan diatur oleh hukum

internasional”.

Andreas Pramudianto mendefinisikan prinsip perjanjian internasional bidang

lingkungan hidup yang dibentuk berdasarkan pada18

: (a) adanya para pihak yang

membuat yaitu subjek hukum internasional, (b) para pihak sepakat membuat

perjanjian internasional, (c) perjanjian berbentuk dokumen tertulis, (d)

menimbulkan kewajiban-kewajiban serta hak-hak tertentu sesuai hukum

internasional, (e) topik, tema, dan isi terkait dengan perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup baik terhadap lingkungan hidup baik terhadap lingkungan hidup

15

Andreas Pramudianto, Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional, Malang: Setara Press, 2014,

hlm. 12. 16

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 17

Andreas Pramudianto, Op.Cit., hlm. 13. 18

Ibid., hlm. 14-15.

19

alam, buatan/binaan serta lingkungan hidup sosial, (f) memiliki efek/dampak yang

berhubungan dengan lingkungan hidup dan perkembangan berkelanjutan.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka perjanjian internasional

mengenai laut dalam bidang lingkungan hidup merupakan perjanjian atau

persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional mengenai pengelolaan laut

dengan memperhitungkan potensi sumber daya alam serta perlindungan kondisi

lingkungan hidup. Syarat penting perjanjian internasional adalah bahwa perjanjian

tersebut berdasarkan ketentuan hukum internasional. Perjanjian internasional

dilihat dari jumlah pesertanya dibedakan menjadi bilateral, trilateral, multilateral,

regional, dan universal.

Adapun berdasarkan kaidah hukum yang ditimbulkannya perjanjian dibedakan

menjadi treaty contract dan law making treaty. Treaty contract ditemukan pada

perjanjian-perjanjian yang sifatnya tertutup atau tidak memberikan kesempatan

kepada pihak yang tidak ikut perundingan untuk menjadi peserta perjanjian,

seperti perjanjian-perjanjian bilateral, trilateral, dan regional, misalnya perjanjian

perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, sedangkan law making treaty

adalah perjanjian yang menciptakan kaidah atau prinsip-prinsip hukum yang

mengikat negara peserta perjanjian dan negara pihak ketiga karena sifatnya

terbuka seperti perjanjian multilateral. Contoh perjanjian ini yaitu Vienna

Convention on Diplomatic Relations 1961 (Konvensi Wina 1961 tentang

Hubungan Diplomatik), Vienna Convention on Consuler Relations 1963

(Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler), Genewa Convention of War

Victims 1949 (Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan terhadap Korban

20

Perang), Konvensi Hukum Laut atau United Nation Convention of Law On the

Sea (UNCLOS) 1982 tentang Hukum Laut, Space Treaty 1967, Universal

Declaration of Human Rights 1948 (Deklarasi HAM PBB 1948), Manado Ocean

Declaration (MOD) 2009, dan lain-lain.19

2.2.2. Daya Mengikat Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional berdasarkan daya mengikatnya dibedakan menjadi Hard

Lawdan Soft Law. Hard Law (mengikat secara hukum) yaitu dokumen perjanjian

internasional yang mengikat20

secara pasti, yang termasuk dalam Hard Law yaitu

agreement, treaty, statute, charter, dan protocol. Misalnya United Nation Law of

the Sea (UNCLOS) 1982, United Nation Convention on Biological Diversity

(UNCBD) 1992, United Nation Framework Convention on Climate Change

(UNFCCC) 1992, dan Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban

Perang.Sedangkan Soft Law (not legally binding) yaitu dokumen internasional

yang bersifat tidak mengikat secara hukum,21

namun tetap mengikat negara-

negara yang menyepakati perjanjian internasional tersebut secara moral. Bentuk

soft law seperti deklarasi (declaration), agenda, code, resolution. Contoh soft law

misalnya Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948.

Beberapa contoh dokumen soft law diantaranya Deklarasi Stockhlom 1972

mengenai Lingkungan Hidup Manusia, Deklarasi Manila 1981, Deklarasi Den

Haag 1989 mengenai Lingkungan Hidup, Deklarasi Noordwijk 1989 mengenai

Polusi Atmosfer dan Perubahan Iklim, Deklarasi Brasil 1989 mengenai

19

Sefriani, Hukum Internasional, Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 29. 20

Andreas Pramudianto, Op.Cit., hlm. 275. 21

Ibid., hlm. 274.

21

Lingkungan, Deklarasi Rio 1992 mengenai Lingkungan dan Pembangunan,22

Resolusi Majelis Umum PBB 37/7 mengenai Piagam Alam (World Charter for

Nature), Resolusi Majelis Umum 43/53 mengenai Perlindungan Generasi Umat

Manusia Sekarang dan Mendatang terhadap Perubahan Iklim, Resolusi

Masyarakat Eropa Nomor C 168/2 1975 mengenai Energi dan Lingkungan, dan

Manado Ocean Declaration (MOD) 2009.

Daya mengikat hukum internasional memiliki hubungan erat dengan kaidah

hukum yang dilahirkan, sehingga kekuatan mengikatnya ada yang khusus berlaku

bagi para pihak yang melakukan perjanjian, berlaku dalam suatu kawasan tertentu,

maupun yang berlaku umum dan dilaksanakan oleh seluruh negara. Perjanjian

internasional berdasarkan sifat pelaksanaannya dapat dikelompokkan menjadi23

:

a). Dispositive Treaties (Perjanjian yang Menentukan) adalah perjanjian

yang maksud dan tujuannya dianggap sudah tercapai dengan pelaksanaan

isi perjanjian tersebut. Contohnya yaitu perjanjian tentang perbatasan

negara, penyerahan wilayah, atau kedaulatan.

b). Executory Treaties (Perjanjian yang Dilaksanakan) adalah perjanjian

yang pelaksanaannya tidak sekaligus, melainkan harus dilanjutkan terus

menerus selama jangka waktu perjanjian berlaku. Contohnya yaitu

perjanjian perdagangan.

Perjanjian internasional berperan penting dalam mengatur kehidupan dan

pergaulan antarnegara. Melalui perjanjian internasional, setiap negara

menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan,

22

Ibid., hlm. 275. 23

Syahmin A.K., Hukum Perjanjian Internasional, Menurut Konvensi Wina 1969, Bandung: CV.

Armico, 1985, hlm. 15.

22

menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri.

Selanjutnya sesuai hukum internasional, setiap negara mempunyai hak untuk

membuat perjanjian internasional. Pembuatan perjanjian-perjanjian mengikuti

suatu prosedur yang kompleks dan terkadang memakan waktu lama, karena harus

ditentukan siapa yang mempunyai wewenang disuatu negara dibidang pembuatan

perjanjian (treaty making power), lalu ditunjuklah wakil atau wakil-wakil negara

untuk berunding atas nama pihak berwenang dilengkapi dengan surat

penunjukkan resmi yang dinamakan surat kuasa penuh (full powers). Pembuatan

perjanjian internasional biasanya melalui beberapa tahap yaitu perundingan

(negotiation), penandatanganan (signature) dan pengesahan (ratification).24

Ada

perjanjian yang dapat berlaku melalui dua tahap yaitu tahap perundingan dan

penandatanganan saja, tergantung dari jenis perjanjian itu sendiri. Perjanjian

internasional dapat berbeda istilah dalam penyebutan didalam perjanjiannya

seperti Perjanjian (Treaties), Konvensi (Convention), Persetujuan (Agreement),

Protokol (Protocol),25

Piagam (Charter), Deklarasi (Declaration), Final Act,

Agreed Minutes dan Summary Records, Memorandum of Understanding (MoU),

Arrangement, Exchange of Notes, Process Verbal, Modus Vivendi.26

2.2.3. Asas-Asas Hukum Perjanjian Internasional

Asas-asas dalam pelaksanaan hukum perjanjian internasional setelah perjanjian

disepakati, diantaranya27

:

a. AsasFree Consent muncul ketika para pihak merundingkan dan

24

Boer Mauna, Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 2013, hlm. 82-83. 25

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Tatanusa, 2008, hlm. 17. 26

Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 89-96. 27

I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Bandung; Mandar Maju, 2005,

hlm. 261.

23

menyepakati serta meratifikasi naskah perjanjian.

b. Asas itikad baik (Good Faith) merupakan persyaratan moral agar

perjanjian dilakukan dengan sungguh-sungguh melaksanakan

kewajiban dan prinsip-prinsip perjanjian internasional.28

c. Asas Pacta Sunt Servanda yaitu asas yang mendasar dalam hukum

perjanjian internasional yang membuat negara pihak terkait pada setiap

perjanjian.29

d. AsasPacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt mengandung makna bahwa

perjanjian internasional hanya memberikan hak dan kewajiban kepada

para pihak yang terikat perjanjian, bukan negara ketiga kecuali ada

persetujuan dari pihak ketiga.30

e. Asas Non-Retroactive menyatakan bahwa suatu kaidah hukum tidak

berlaku surut.

f.Jus Cogens

Jus Cogens31

dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan sebagai “a

mandatory or peremptory norm of general international law accepted

and recognized by the international community as a norm from which

no derogation is permitted. A peremptory norm can be modified only

by a later norm that has the same character”. Istilah jus cogens atau

peremptory norm dirumuskan oleh International Law Commision

(ILC) dalam Pasal 53 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969

(VLCT) yang menyatakan bahwa “ a treaty is valid if at the time of its

28

Sumaryo Suryokusumo,Op.Cit., hlm. 83. 29

Ibid. 30

I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Op.Cit., hlm. 263. 31

Ibid.

24

conclusion, it conflicts with a peremptory norm of general

international law. For the purpose of the present convention, a

peremptory norm of general international law is a norm accepted and

recognized by the international community of states as a whole as a

norm from which no derogation is permitted and which can be

modified only by a subsequent norm of general international law

having the same character”.

Pasal 53 Konvensi Wina tahun 1969 mengartikan jus cogens atau

peremptory norm sebagai norma yang diterima dan diakui oleh seluruh

masyarakat internasional sebagai norma yang tidak dapat

dikesampingkan dan hanya dapat diubah oleh hukum internasional

baru yang yang memiliki sifat/karakter yang sama.32

2.3.Perjanjian Internasional yang Berkaitan dengan Pengelolaan Laut

2.3.1. Pengelolaan Laut Berdasarkan United Nations Convention on The Law

of The Sea (UNCLOS) 1982

UNCLOS 1982 merupakan ketentuan umum pengaturan wilayah laut yang

berlaku secara universal, sehingga berbagai ketentuan internasional yang terkait

pemanfaatan sumber daya alam kelautan harus disesuaikan dengan UNCLOS

1982, demikian pula bagi negara-negara yang telah meratifikasi UNCLOS 1982

termasuk ketentuan hukum nasional yang mengatur masalah kelautan. Pengaturan

pengelolaan sumber daya kelautan juga diatur dalam Rekomendasi International

Maritime Organization dan Agenda 21 Perserikatan Bangsa-Bangsa

32

Immanuela Lantang, Penerapan Jus Cogens Terhadap Praktik Imunitas Negara (Studi Kasus

Putusan ICJ Dalam Kasus Jerman Lawan Italia), Jurnal Lex Crimen, Vol. II Nomor I, Januari-

Maret 2013.

25

(PBB).UNCLOS 1982 mengatur prinsip-prinsip dasar kekuasaan negara pantai,

negara tak berpantai, maupun negara kepulauan mengenai masalah zona maritim,

aktifitas pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian sumber daya alam. Zona-zona

maritim terbagi atas: (i) Laut Teritorial diatur pada Bagian I dan 2 Pasal 2, 3,4, 15,

17, serta Bagian III tentang Lintas Damai di Laut Teritorial dan Sub Bagian A

Pasal 22; (ii) Zona Tambahan diatur pada Bagian IV Pasal 33 UNCLOS 1982;

(iii) Zona Ekonomi Eksklusif diatur pada Bagian V Pasal 55-57 UNCLOS 1982;

(iv) Landas Kontinen diatur pada Pasal 76 UNCLOS 1982; (v) Perairan

Pedalaman diatur pada Pasal 8 UNCLOS 1982; dan (vi) Perairan Kepulauan

diatur pada Pasal 47 UNCLOS 1982.

a. Konservasi dan Pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati

Konservasi tidak dapat dipahami hanya sebagai upaya perlindungan, tetapi secara

seimbang upaya pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan yang

diterapkan secara sinergis yang akhirnya berdampak pada kesejahteraan

masyarakat.33

Pada Bab VII Bagian II mengenai Konservasi dan Pengelolaan

Sumber Kekayaan Hayati di Laut Lepas, Pasal 117 menyatakan bahwa:

“Semua negara mempunyai kewajiban untuk mengambil tindakan demikian

bertalian dengan warga negara masing-masing yang dianggap perlu untuk

konservasi sumber kekayaan hayati di laut lepas”.34

Kerjasama mengenai konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati juga

disebutkan pada Pasal 118 UNCLOS1982.35

Selain itu, Pasal 119 juga

33

Riyanni Djangkaru, dkk, Op.Cit., hlm. 6. 34

Pasal 117 UNCLOS 1982.

26

menyebutkan ketentuan mengenai konservasi sumber kekayaan hayati di laut

lepas yaitu36

:

1. Dalam menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan menetapkan

lain-lain tindakan konservasi sumber kekayaan hayati di laut lepas. Negara-

negara harus:

(a) Mengambil tindakan yang direncanakan, berdasarkan bukti ilmiah terbaik

yang tersedia pada negara yang bersangkutan, memelihara atau

memulihkan populasi jenis-jenis yang ditangkap pada taraf yang didapat

memberikan hasil tangkap lestari maksimum, sebagaimana ditentukan oleh

faktor lingkungan dan ekonomi yang relevan, termasuk kebutuhan khusus

dari negara berkembang dan dengan memperhatikan pola-pola

penangkapan ikan, saling ketergantungan antara persediaan jenis ikan dan

setiap standar minimum internasional yang secara umum

direkomendasikan pada taraf sub-regional, regional, maupun global.

(b) Memperhatikan akibat terhadap jenis yang berhubungan dengan

atautergantung dari jenis yang ditangkap dengan tujuan untuk memelihara

atau memulihkan populasi jenis yang berhubungan atau tergantung

demikian diatas taraf dimana reproduksinya menjadi sangat terancam.

2. Keterangan ilmiah yang tersedia, statistik tentang penangkapan dan upaya

penangkapan ikan dan lain-lain yang relevan dengan konservasi persediaan

jenis ikan harus disumbangkan dan dipertukarkan secara teratur melalui

35

Pasal 118 UNCLOS 1982 yang menyatakan “Negara-negara harus melakukan kerjasama satu

dengan lainnya dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di daerah laut lepas.

Negara-negara yang warganegaranya melakukan eksploitasi sumber kekayaan hayati yang sama

atu sumber kekayaan hayati yang berlainan daerah yang sama, harus mengadakan perundingan

dengan tujuan untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk konservasi sumber kekayaan

hayati yang bersangkutan. Mereka harus, menurut keperluan, bekerjasama untuk menetapkan

organisasi perikanan sub-regional atau regional untuk keperluan ini”. 36

Pasal 119 UNCLOS 1982

27

organisasi internasional yang berwenang baik sub-regional, regional, atau

global, dimana perlu dan dengan serta semua negara yang berkepentingan.

3. Negara yang berkepentingan harus menjamin bahwa tindakan konservasi dan

pelaksanaannya tidak mengadakan diskriminasi formal atau diskriminasi nyata

terhadap nelayan dari negara manapun juga.

b. Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut

Pemanfaatan sumber daya laut tidak dapat terlepas dari kegiatan perlindungan dan

pelestariannya, mengingat didalam laut terkandung sumber daya alam terbarukan,

sumber daya alam tak terbarukan, energi kelautan, dan environmental service

yang terus dimanfaatkan dan dikelola oleh manusia. Perlindungan lingkungan laut

diatur dalam Bab XI Bagian II Pasal 145 yang menyatakan bahwa:

“Tindakan-tindakan yang perlu bertalian dengan kegiatan-kegiatan di kawasan

harus diambil sesuai dengan konvensi ini untuk menjamin perlindungan yang

efektif terhadap lingkungan laut dari akibat-akibat yang merugikan yang mungkin

timbul dari kegiatan-kegiatan tersebut. Untuk tujuan ini otoritas dasar laut harus

menetapkan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang

tepat untuk inter alia:

(a) Pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran dan bahaya-

bahaya lainnya terhadap lingkungan laut, termasuk garis pantai, dan

gangguan terhadap keseimbangan ekologis lingkungan laut, dengan

memberikan perhatian khusus pada kebutuhan akan perlindungan terhadap

akibat-akibat buruk dari kegiatan-kegiatan seperti pengeboran,

pengerukan, penggalian, pembuangan limbah, pembangunan dan operasi

atau pemeliharaan instalasi-instalasi, saluran-saluran pipa dan peralatan

lainnya yang bertalian dengan kegiatan-kegiatan tersebut.

(b) Perlindungan dan konservasi kekayaan-kekayaan alam kawasan dan

pencegahan kerusakan terhadap flora dan fauna lingkungan laut”.

Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut diatur pada Bab XII Bagian 1

Pasal 19237

, menyatakan bahwa “Negara-negara mempunyai kewajiban untuk

37

Pasal 192 UNCLOS 1982

28

melindungi dan melestarikan lingkungan laut”. Selain itu diatur juga pada Pasal

19338

yang menyatakan “Negara-negara mempunyai hak kedaulatan untuk

mengeksploitasikan kekayaan alam mereka serasi dengan kebijaksanaan

lingkungan mereka serta sesuai pula dengan kewajiban mereka untuk melindungi

dan melestarikan lingkungan laut”. Terkait pencegahan dan pengendalian

pencemaran lingkungan laut menurut Pasal 193 UNCLOS 1982, maka setiap

negara harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menghindari

terjadinya pencemaran akibat dari pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut.39

Pasal 194 (5) menyatakan bahwa:

“The measures taken in accordance with this part shall include those necessary to

protect and preserve rare or fragile ecosystem as well as the habitat of depleted,

threatened or endangered species and other forms of marine life”

Pasal tersebut menjelaskan pentingnya dilakukan juga perlindungan dan

pengelolaan ekosistem yang hampir punah karena mempengaruhi kelangsungan

hidup laut itu sendiri setelah pernyataan mengenai pencegahan dan pengendalian

pencemaran lingkungan laut.

2.3.2. Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) 1973

Perjanjian ini merupakan perjanjian internasional yang terkait dengan

perlindungan satwa yang terancam punah oleh kegiatan manusia maupun

perubahan iklim. Melalui perjanjian ini, maka beberapa jenis fauna, termasuk

komoditi fauna lautdibatasi pemasarannya karena populasinya dikhawatirkan akan

punah. CITES membatasi ekspor atau bahkan melarang pemasaran penyu,

38

Pasal 193 UNCLOS 1982. 39

Pasal 194 (5) UNCLOS 1982.

29

terumbu karang, kerang, tridacnid, dan ikan cucut.40

Pada tahun 1973, Indonesia

ikut meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species

(CITES) 1973 melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978.41

CITES juga

melindungi spesies tertentu dari kegiatan overexploitation42

dari kebiasaan

perdagangan internasional.

2.3.3.United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)

1992

Peristiwa kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim yang menyebabkan

terancam punahnya terumbu karang sudah dimulai pada tahun 1982, 1987, dan

1992. Kenaikan permukaan air laut paling tinggi yang tercatat pada tahun 1998

yaitu ketika sekitar 17% terumbu karang diseluruh dunia rusak yang sangat

berpengaruh pada sebagian besar terumbu karang yang lain. Contoh lain pengaruh

perubahan iklim terhadap terumbu karang, misalnya di sebelah barat Samudera

Hindia sebanyak 50 % dari seluruh terumbu karangnya rusak parah pada tahun

1998. Pada tahun 2005, diperkirakan bahwa kenaikan temperatur permukaan laut

akan terus berlanjut hingga lebih dari 100 tahun yang akan datang yang diikuti

dengan semakin berkurangnya terumbu karang di beberapa titik di dunia.43

UNFCCC mempunyai anggota 191 negara yang meratifikasi emisinya pada Juni

2007.44

Tujuan utama UNFCCC ialah mencapai penstabilan konsentrasi GRK di

40

Dewan Kelautan Indonesia, Kebijakan Kelautan Indonesia Buku I, Jakarta: Kementerian

Kelautan dan Perikanan Indonesia, 2012, hlm. 72. 41

Hanoko Adi Susanto, Op.Cit., hlm. 6. 42

Overekploitation merupakan kegiatan eksploitasi yang berlebihan, CITES melindungi spesies

langka dari kegiatan tersebut karena akan mengakibatkan punahnya spesies langka tersebut akibat

kegiatan illegal. 43

Marjorie Mulhall, Saving the Rainforest of the Sea: An Analysisof International Efforts to

Conserve Coral Reefs, Jurnal Vol. 19:321, Duke Environmental Law and Policy Forum, 2002,

page 330. 44

Sekilas tentang Perubahan Iklim UNFCCC, Op.Cit., hlm. 32.

30

atmosfer pada tingkat yang mampu mencegah interferensi antropogenik

berbahaya dengan sistem iklim (Pasal 2 UNFCCC) dan dalam kurun waktu

tertentu cukup untuk melindungi ekosistem, produksi pangan, dan pembangunan

ekonomi. Pasal 3 UNFCCC menetapkan asas-asas dasar pembagian beban yang

sama, yaitu bahwa para pihak harus melindungi sistem iklim sesuai tanggung

jawab bersama tetapi berbeda (common but differentiated responsibilities), bahwa

negara-negara maju yang harus memulai upaya pencegahan dampak perubahan

iklim yang merugikan dan negara-negara berkembang mendapatkan perhatian

penuh khususnya negara-negara yang sangat rentan terkena dampak perubahan

iklim.45

Seluruh anggota konvensi ini berkomitmen memberi laporan khusus yang disebut

National Communication (NC)46

yang berisi informasi emisi GRK masing-masing

negara dan menjelaskan langkah yang dilakukan untuk menerapkan komitmen

45

Christian Reus-Smit (Ed), Politics of International Law, Canberra: Cambridge University Press,

2003, on the article of Robin Eckersley, Soft Law, Hard Politics, and Climate Change Treaty, page

127-128. 46

https://unfccc.int/files/indonesia_snc/application/pdf diunduh pada 15 September 2015 pukul

07.42 WIB.

Indonesia continues its efforts and actions towards the implementation of the commitments as a

Non-Annex 1Perty to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Non-Annex:Afghanistan, Albania, Algeria, Andorra, Angola, Antigua dan Barbuda, Argentina,

Armenia, Azerbaijan, Bahamas, Bahrain, Bangladesh, Barbados, Belize, Benin, Bhutan, Bolivia,

Bosnia dan Herzegovina, Botswana, Brazil, Brunei Darussalam, Burkina, Faso, Burundi,

Kamboja, Kamerun, Cape Verde, Republik Afrika Tengah, Chad, Chile, Cina, Kolombia,

Comoros, Congo, Cook Island, Kosta Rika, Kuba, Cyprus, Pantai Gading, Korea Utara, Demokrat

Congo, Djibouti, Dominica, Dominican Republic, Equador, Egypt, El Safador, Equatorial Guinea,

Eritrea, Ethiophia, Fiji, Gabon, Gambia, Georgia, Ghana, Grenada, Guatemala, Guinea, Guinea

Bissau, Guyana, Haiti, Honduras, India, Indonesia, Iran, Iraq, Israel, Jamaica, Jordan, Kazakhstan,

Kenya, Kiribati, Kuwait, Kyrgyzstan, Lao People’s democratic Republic, Lebanon,Lesotho,

Liberia, Libya, Madagascar, Malawi, Malaysia, Maldives, Mali, Marshall Islands, Mauritania,

Mauritius, Mexico, Mikronesia, Mongolia, Montenegro, Morocco, Mozambique, Myanmar,

Namibia, Nauru, Nepal, Nicaragua, Niger, Nigeria, Niue, Oman, Pakistan, Palau, Panama, Papua

Nugini, Paraguay, Peru, Filipina, Qatar, Republik Korea, Republik Moldova, Rwanda, Saint Kitts

and Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent and the Grenadines, Samoa, San Marino, Sao Tome and

Principe, Saudi Arabia, Senegal, Serbia, Seychelles, Sierra Leone, Singapura, Kepulauan

Solomon, Somalia, Afrika Selatan, Sudan Selatan, Sri Lanka, Sudan, Suriname, Swaziland, Syrian

Arab Republic, Tajikistan, Thailand, Macedonia, Timor Leste, Togo, Tonga, Trinidad and Tobago,

Tunisia, Turkmenistan, Tuvalu, Uganda, United Arab Emirates, United Republic of Tanzania,

Uruguay, Uzbekistan, Vanuatu, Venezuela, Vietnam, Yemen, Zambia, Zimbabwe.

31

konvensi ini. Konvensi ini juga mengharuskan seluruh anggotanya menerapkan

program secara nasional dan langkah-langkah dalam mengontrol emisi GRK,

mengatasi pengaruh perubahan iklim, mendorong pengembangan dan penggunaan

teknologi ramah iklim, mendorong pendidikan dan kesadaran publik pada

perubahan iklim serta dampaknya, manajemen berkelanjutan pada sektor

kehutanan dan ekosistemnya yang dapat menyerap CO2 di atmosfer, dan kerja

sama seluruh anggota.47

Negara-negara industri (anggota Annex 148

) mempunyai

komitmen tambahan berupa membuat kebijakan dan memberikan laporan tahunan

terpisah mengenai emisi GRK. Negara-negara maju (Annex II49

) diharuskan juga

mendorong dan memfasilitasi transfer teknologi yang ramah iklim kepada negara-

negara berkembang dan mengalami transisi ekonomi, serta memberikan dana

untuk membantu negara berkembang melalui Global Environment Facility (GEF)

yang melayani mekanisme pendanaan dan kerjasama bilateral maupun

multilateral. Kerangka kerja UNFCCC secara keseluruhan merupakan upaya

untuk memenuhi tantangan perubahan iklim dengan menstabilkan konsentrasi

efek rumah kaca untuk menghindari kerusakan pada sistem iklim, karena

UNFCCC memiliki tujuan yaitu untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca50

47

Sekilas tentang Perubahan Iklim, Op.Cit., hlm. 33. Diunduh dari

https://unfccc.int/files/meetings/cop_13/press/application/pdf/sekilas_tentang_perubahan_iklim.pd

f pada 13 Juni 2015 pukul 07.02 WIB. 48

Anggota Annex 1diantaranya Amerika Serikat,Australia, Austria, Belarusia, Bulgaria, Kanada,

Kroasia, Republik Ceska, Denmark, Uni Eropa, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani,

Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luksemburg,

Monako, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, Rusia, Slovakia,

Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina, Inggris, dan Irlandia Utara. 49

Anggota Annex II diantaranya Amerika Serikat,Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Uni Eropa,

Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Islandia, Italia, Jepang, Luksemburg, Belanda, Selandia

Baru, Norwegia, Portugal, Spanyol, Swedia, Swiss, Inggris, Irlandia Utara. 50

Gas rumah kaca diantaranya meliputi Carbon Dioxide, Methane, Nitrous Oxide,

Hydrofluorocarbons, Perfluorocarbons dan Sulphur Hexafluruoride.

32

(GRK) yang berada di atmosfer akibat campur tangan manusia dan sistem

perubahan iklim.51

2.3.4. Kyoto Protocol 1997

Efek rumah kaca yang tidak hanya mempengaruhi mahluk hidup baik yang berada

didaratan maupun lautan.Efek rumah kaca atau yang sering disebut dengan global

warming bisa dikurangi dengan mitigasi52

.Mitigasi secara global dilakukan

melalui Protokol Kyoto (Kyoto Protocol) dengan mengusahakan Clean

Development Mechanism (CDM) atau mekanisme pembangunan bersih.CDM

merupakan salah satu dari tiga mekanisme inovasi dari protokol selain Joint

Implementation (Kerjasama Penerapan) dan perdagangan emisi.53

Protokol Kyoto

mengkhususkan upaya penstabilan konsentrasi GRK di atmosfer pada level aman

dimana tidak akan mempengaruhi sistem iklim.CDM yang diatur dalam protokol

ini memungkinkan aktivitas pelestarian lingkungan hidup dan ekonomi secara

bersama-sama antara negara maju dan negara berkembang.54

Protokol ini

memastikan negara-negara industri mencapai target menurunkan emisi GRK dan

mendorong pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang.

Protokol Kyoto mengikutsertakan negara berkembang dalam membantu negara

maju dalam menurunkan emisi gas dinegaranya. Selain membantu negara maju,

melalui CDM diharapkan adanya bantuan keuangan untuk memperluas hutan

51

Rajesh Sehgal, Legal Regime Towards Protecting Coral Reefs: An International Perspective and

Indian Scenario, LEAD Journal Vol. 2 No. 2, 2006, page 92. 52

Mitigasi merupakan strategi mengurangi emisi gas pada rumah kaca dengan cara menyimpannya

melalui penyerapan oleh hutan atau tempat carbon sink lainnya, yaitu dengan menggunakan bahan

bakar yang sedikit menghasilkan karbon seperti penggunaan batu bara diganti gas atau

menggunakan energi terbarukan seperti tenaga matahari atau biomassa. 53

Sekilas tentang Perubahan Iklim UNFCCC, Op.Cit., hlm. 34. 54

A. Sutowo Latief, Op.Cit., hlm. 72.

33

mangrove di wilayah pesisir, transfer teknologi, dan pembangunan berkelanjutan

dari negara maju ke negara berkembang. Selain itu juga, simbiosis mutualisme

antara negara maju dan negara berkembang dalam CDM diharapkan mampu

mengurangi perusakan terumbu karang, mempertahankan ekosistem dan

manajemen pesisisr dan pulau-pulau kecil, serta regulasi pemanfaatannya

didukung penegakan regulasi.55

Kyoto Protocol merupakan pelaksanaan dari

UNFCCC.56

2.3.5. United Nations Conference on Environment and Development (UNCED)

atau Agenda 21Tahun 1992

Pengelolaan laut yang diupayakan negara-negara baik upaya nasional,

subregional, regional, maupun global belum mencapai pembangunan

berkelanjutan yang diharapkan dari pelaksanaan UNCLOS 1982.57

Agenda 21

atau United Nations Conference on Environment and Development (UNCED)

merupakan upaya penegasan kembali terhadap tujuan UNCLOS 1982. Pada Bab

XV Pasal 15.5 huruf (g) Agenda 21 menyatakan bahwa:

“Take action where necessary for the conservation of biological diversity through

the in situ conservation of ecosystems and natural habitats, as well as primitive

cultivars and their wild relatives, and the maintenance and recovery of viable

populations of species in their natural surroundings, and implement ex situ

measures, preferably in the source country. In situ measures should include the

reinforcement of terrestrial, marine and aquatic protected area systems and

embrace, inter alia, vulnerable fresh water and other wetlands and coastal

ecosystems, such as estuaries, coral reefs and mangroves”58

Bab tersebut menyatakan desakan dan tindakan tegas diperlukan untuk

melestarikan dan memelihara gen, spesies, dan ekosistem biota laut khususnya

55

Dewan Kelautan Indonesia, Kebijakan Kelautan Indonesia Buku I,Op.Cit., hlm. 72. 56

Andreas Pramudianto, Op.Cit., hlm. 60. 57

Rajesh Seghal, Op.Cit., hlm.190. 58

Agenda 21 1992.

34

terumbu karang dengan maksud mengelola dan memanfaatkan keanekaragaman

hayati. Pada Bab XVII Pasal 17.30 huruf a (v) Agenda 21 juga memberikan

prioritas pada perlindungan terumbu karang dan pelestarian terumbu karang,59

yaitu memberikan tidakan yang menjamin negara pantai dalam mengelola dan

memanfaatkan zona ekonomi eksklusif mereka sesuai hukum internasional dalam

rangka melindungi dan melestarikan ekosistem yang langka dan hampir punah,

seperti terumbu karang dan mangrove.

2.3.6. Convention on Biological Diversity (CBD) 1992

Konvensi ini menetapkan tiga tujuan utama yaitu konservasi keanekaragaman

hayati, pemanfaatan secara berkelanjutan, dan pembagian yang adil dalam

pemanfaatan sumber daya laut. Selain itu juga bertujuan melestarikan

keanekaragaman biota laut (terutama terumbu karang),60

terutama

keanekaragaman jenis/ekosistem yang yang lokasinya merupakan tempat bagi

jenis tertentu yang tidak bisa hidup disembarang tempat. CBD 1992 juga sesuai

dengan rencana pembangunan di Indonesia dimana konvensi ini menekankan

pemanfaatan berkelanjutan yang dimanfaatkan dengan konservasi

keanekaragaman hayati dan membagi adil pemanfaatan sumber daya laut karena

tidak semua negara-negara didunia memiliki letak strategis yang berdampingan

dengan laut namun pemanfaatan disini juga mencoba untuk tetap

mempertahankan pelestarian biota laut agar tidak punah dan dapat dinikmati oleh

penerus bangsa dimasa mendatang.

59

Rajesh Seghal, Op.Cit., hlm.191. 60

Ibid., hlm.

35

2.3.7. Manado Ocean Declaration (MOD) 2009

Deklarasi (Declaration) merupakan suatu perjanjian dan berisikan ketentuan-

ketentuan umum dimana pihak-pihak pada deklarasi tersebut berjanji untuk

melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu dimasa yang akan datang.61

Deklarasi tersebut yang menjadi aturan bagi negara-negara yang menyepakatinya,

misalnya seperti deklarasi-deklarasi yang dihasilkan dari konvensi internasional

yang dipelopori PBB, maka negara anggota PBB harus mematuhi aturan yang

tertuang didalamnya.

PBB menyelenggarakan The First World Climate Conference pada 1979 yang

telah berhasil mengidentifikasi perubahan iklim akibat kenaikan permukaan laut

sebagai permasalahan global yang mendesak, dan mengeluarkan deklarasai untuk

mengundang pemerintah seluruh dunia untuk mengantisispasinya. Program Iklim

Dunia dibentuk atas arahan dari World Metrological Organization (WMO),

United Nation Environment Programme (UNEP) dan International Council of

Scientific Union (ICSU).Program-program tersebut telah memberikan pemikiran

lebih lanjut mengenai pengelolaan laut karena laut berperan penting dalam

kehidupan, sehingga masyarakat dunia sepakat menyelenggarakan World Ocean

Conference (WOC).62

Manado Ocean Declaration (MOD) merupakan hasil dari diadakannya World

Ocean Conference (WOC) yang telah berlangsung di Manado tanggal 11-15 Mei

2009 yang telah dihadiri oleh 1300 delegasi dari 83 negara dan 11 organisasi

61

Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 93. 62

Syamsumar Dam, Op. Cit., hlm. 270.

36

internasional.63

Indonesia menjadi pemrakarsa penyelenggaraan Konferensi

Kelautan Dunia (World Ocean Conference) yang sebelumnya telah diadakan juga

berbagai lokakarya tentang Pengendalian Potensi Konflik di LCS (1990-2005),

Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali tahun 2007. Selain dihasilkan

MOD 2009, Indonesia juga memprakarsai pembentukan kerjasama pemeliharaan

Terumbu Karang (Coral Triangel Initiatives atau CTI) bersama Filipina,

Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini,dan Kepulauan Solomon sejak 2005-2009.

Dasar pemikiran Manado Ocean Declaration pada intinya ialah isu perubahan

iklim global yang merupakan upaya untuk menanggulangi dampak perubahan

iklim global terhadap laut, peran laut terhadap perubahan iklim global, upaya

adaptasi dan kerja sama internasional.64

Manado Ocean Declaration juga

memberi ruang bagi Indonesia dan negara-negara tetangga yang memelopori CTI

dalam pelestarian terumbu karang, karena ekosistem terumbu karang sangat

berpengaruh pada biota laut yang lain. Terumbu karang memiliki fungsi sebagai

penyerap karbon, pemecah gelombang laut, pelindung bagi ikan-ikan laut yang

sangat berguna bagi kesejahteraan masyarakat khususnya yang tinggal di wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil secara khusus dan bagi seluruh rakyat berpantai

maupun tak berpantai yang ikut memanfaatkannya. Hasil penelitian dari Program

Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang menunjukkan ekosistem terumbu

karang memiliki peran penting dalam permasalahan iklim global.65

63

Ibid., hlm. 83. 64

www.setneg.go.id/index.php/option=com_content&task=view&id=3569 diunduh pada Selasa,

13 Oktober 2015 pukul 08.34 WIB. 65

Riyanni Djangkaru, dkk, Op.Cit., hlm. 5.

37

III. METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,

sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya.1 Metode

penelitian secara umum dipahami sebagai suatu kegiatan ilmiah2 yang dilakukan

secara bertahap dengan penentuan topik, pengumpulan data dan menganalisis

data, sehingga diperoleh pemahaman atau pengertian atas topik, gejala, atau isu

tertentu. Tahapan ini dilaksanakan secara sistematis, logis, dan rasional. Tahapan

ini harus diikuti untuk menjamin ketepatan dan keakuratan suatu penelitian.3

Metode penelitian didefinisikan sebagai suatu kegiatan ilmiah yang terencana,

terstruktur, sistematis dan memiliki tujuan tertentu baik praktis maupun teoritis.4

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normatif legal research) yaitu

penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian sumber hukum

internasional berupa perjanjian-perjanjian internasional yang diterapkan terhadap

permasalahan pengelolaan laut antara Indonesia dengan negara-negara tetangga,

1Abdul Kadir. M, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 50.

2Meray Hendrik Mezak, Jenis, Metode, dan Pendekatan Dalam Penelitian Hukum, Jurnal Law

Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Vol. V No. 3, Maret 2006, hlm. 5. 3J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif; Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya, Jakarta:

Grasindo, 2010, hlm. 3. 4Ibid., hlm. 5.

38

bahkan dengan seluruh negara didunia berkaitan dengan pengelolaan dan

perlindungan lingkungan laut.

Penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan studi kasus

normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya mengkaji undang-undang.

Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah

yang belaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Sehingga

penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas

dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik

hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah hukum.5 Jenis

penelitian ini menggunakan sumber data sekunder, yaitu konvensi internasional,

peraturan perundang-undangan, teori hukum, dan pendapat para ahli.

Hal mendasar dalam penelitian ilmu hukum normatif adalah penelitian secara

tepat dan tajam serta metode yang dipilih peneliti untuk menentukan langkah-

langkah dan bagaimana melakukan perumusan dalam membangun teorinya.6

Pada penulisan skripsi ini peneliti mengkaji pokok permasalahan yang berkaitan

dengan kerjasama pengelolaan lingkungan laut berdasarkan Manado Ocean

Declaration (MOD) 2009.

3.2. Sumber Data

Data merupakan hal yang penting dalam suatu penelitian karena dalam penelitian

hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang

5Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti,

2004, hlm. 52 6Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2008, hlm. 88.

39

bersifat normatif.7 Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum

normatif adalah data sekunder yang berasal dari sumber kepustakaan yang terdiri

dari:

1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai

kekuatan hukum mengikat8 yaitu naskah Manado Ocean

Declaration (MOD) 2009.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu terdiri dari bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, terkait kerjasama yang

sudah dilakukan Indonesia dengan negara-negara lain mengenai

pengelolaan sumberdaya kelautan, seperti buku-buku referensi

tentang hukum perjanjian internasional dan hukum lingkungan laut

internasional, jurnal hukum internasional, makalah atau karya tulis

dari materi yang bersangkutan.

3. Bahan hukum tersier, terdiri atas kamus besar bahasa Indonesia,

kamus bahasa Inggris, maupun buku-buku, majalah, surat kabar,

dan buletin dibidang lingkungan dan bidang lain untuk melengkapi

serta menunjang data penelitian.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan

cara studi pustaka. Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai

hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta

dibutuhkan dalam penelitian normatif. Studi pustaka dilakukan dengan

7Ibid.

8Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 2007, hlm. 52.

40

serangkaian kegiatan dengan membaca, menelaah, membuat catatan dan kutipan

peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur yang berhubungan dengan

permasalahan yang akan dibahas.

3.4. Analisis Data

Metode yang digunakan dalam analisis data adalah analisis kualitatif, yaitu

memberikan arti dan makna dari setiap data yang diperoleh dengan cara

menggambarkan atau menguraikan hasil penelitian dalam bentuk kalimat secara

terperinci, kemudian dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai hasil

penelitian dan dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai masalah yang

akan diteliti. Dari hasil analisis tersebut dapat dilanjutkan dengan menarik

kesimpulan secara induktif yaitu cara pengambilan kesimpulan secara umum

yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus dan selanjutnya kesimpulan

tersebut dapat diajukan saran sebagai jawaban masalah yang dikemukakan dalam

penulisan ini.

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan kesimpulan sebagai

berikut:

1. Pengelolaan lingkungan laut dalam hukum internasional salah satunya diatur

dalam Manado Ocean Declaration (MOD) 2009. Manado Ocean Declaration

(MOD) 2009 yang bersifat soft law (mengikat secara moral terhadap negara-

negara yang meratifikasinya dan dilaksanakan secara sadar oleh negara-negara

anggota, namun tidak mengikat secara hukum) menghasilkan kesepakatan-

kesepakatan negara-negara dalam upaya pengelolaan lingkungan laut karena

semakin tidak menentunya perubahan lingkungan yang dapat mengakibatkan

terganggunya keberlangsungan hidup mahluk hidup, baik manusia, hewan,

maupun tumbuhan, yang berada di daratan maupun di lautan. MOD 2009

dalam pelaksanaannya di Indonesia didukung dengan perjanjian lain yaitu

Coral Triangle Initiative (CTI) yang berisi ketentuan kerjasama 6 (enam)

negara yang merupakan negara-negara tetangga Indonesia, diantaranya

Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste.Hal-

hal yang terkandung dalam MOD terkait dengan pengelolaan lingkungan laut

yaitu pernyataan sikap negara-negara untuk (a) membangun dan mengelola

85

kawasan lindung, berkontribusi dalam upaya pelestarian keanekaragaman

hayati dan beradaptasi dengan perubahan iklim; dan (b) setiap negara harus

membuat kebijakan berkelanjutan yang mendukung pendekatan ekosistem laut

besar dan kerja sama antarnegara yang mempertimbangkan masalah polusi,

industri perikanan, produksi utama, pengawasan lingkungan, pengembangan

sosial ekonomi dan pemerintahan.

2. Implementasi MOD dalam pengelolaan lingkungan laut di Indonesia telah

dirangkum dengan kebijakan Sistem Ekonomi Biru (Blue Economy System)

sudah direncanakan Indonesia sejak 2005 hingga 2025 yang tercermin dalam

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia Tahun 2005-2025,

diantaranya (a) Membangkitkan wawasan dan budaya bahari; (b)

Meningkatkan dan menguatkan peranan sumber daya manusia di bidang

kelautan; (c) Melakukan upaya pengamanan wilayah kedaulatan yurisdiksi

dan aset Negara Kesatuan Republik Indonesia; (d) Mengembangkan industri

kelautan secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan; (e) Mengurangi dampak

bencana pesisir dan pencemaran laut; (f) Meningkatkan kesejahteraan

keluarga miskin dikawasan pesisir. Selain itu, ekonomi biru menjadi prinsip

yang tercantum dalam Pasal 14 (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014

tentang Kelautan yang menyebutkan bahwa pemanfaatan dan pengusahaan

sumber daya kelautan dilaksanakan dengan menggunakan prinsip ekonomi

biru.

Program-program karbon biru erat kaitannya dengan prinsip ekonomi biru.

Prinsip ekonomi biru sebagai prinsip peningkatan ekonomi Indonesia yang

tetap menjaga kelestarian ekosistem, sehingga disebut dengan ekonomi

86

biru(gabungan dari kata ekonomi : memiliki aspek ekonomi, biru : pelestarian

lingkungan). Prinsip inilah yang mendukung diadakannya program-program

Karbon Biru.Program karbon biru tercantum pada Bab VIII UU No. 32 Tahun

2014 tentang Pengelolaan Ruang Laut dan Perlindungan Lingkungan Laut.

Namun, belum ada peraturan pelaksana (setingkat dengan Keputusan

Presiden/Keppres ataupun Peraturan Pemerintah/PP, maupun Peraturan

Menteri/Permen) yang secara khusus mengatur mengenai langkah-langkah

yang dilakukan dalam pelaksanaan program karbon biru di Indonesia.

5.2. Saran

Saran yang diberikan penulis diataranya:

1. Seharusnya diadakan perjanjian kembali yang menekankan pengelolaan

lingkungan laut sehingga pelaksanaan MOD 2009 dan CTI lebih didukung

dengan aturan yang bersifat mengikat negara-negara agar ikut serta dalam

pengelolaan lingkungan laut.Indonesia juga perlu merancang peraturan

pelaksana (misalnya keputusan presiden dan peraturan menteri kelautan dan

perikanan) mengingat Indonesia adalah negara maritim yang memiliki laut

yang tersebar diberbagai daerah serta penguatan MOD agar dilaksanakan oleh

seluruh negara di dunia.

2. Harus ada sinergisitas berbagai elemen agar terlaksananya tujuan

pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dan harus diadakan

evaluasi mengenai pelaksanaan program-program karbon biru di Indonesia

agar dapat diperbaiki di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A.K., Syahmin. 1985. Hukum Perjanjian Internasional, Menurut Konvensi Wina

1969. Bandung: CV. Armico.

Anwar, Khaidir. 2015. Kerjasana Pengelolaan Selat Malaka (Menghadapi

Masyarakat Ekonomi ASEAN), Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Dam, Syamsumar. 2010. Politik Kelautan. Jakarta: Bumi Aksara.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Dewan Kelautan Indonesia. 2012. Kebijakan Kelautan Indonesia Buku I, Jakarta:

Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Djangkaru, Riyani, dkk. Beautiful Raja Ampat, Jakarta: Direktorat Jenderal

Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.

Heryandi. 2010. Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Kelautan.

Bandarlampung: Universitas Lampung.

Kontaatmadja, Komar. 1982. Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut

Internasional. Bandung: Alumni.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1976, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Bina

Cipta.

Mauna, Boer. 2013. Hukum Internasional. Bandung: Alumni.

Muhammad, Abdul Kadir. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka

Cipta.

. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra

Aditya Bakti.

Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Mandar

Maju.

Parthiana, I Wayan. 2005. Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2. Bandung:

Mandar Maju.

Parwiyanto, Herwan. 2009. Kajian Wilayah Teritori Dalam Kerangka Sistem

Administrasi Negara RI. Semarang: UNS.

Perwita, Anak Agung Bayu, dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu

Hubungan Internasional, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Pramudianto, Andreas. 2014. Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional.

Malang: Setara Press.

Raco, J.R. 2010. Metode Penelitian Kualitatif; Jenis, Karakteristik dan

Keunggulannya. Jakarta: Grasindo.

Smit, Christian Reus (Ed). 2003. Politics of International Law. Canberra:

Cambridge University Press.

Soekamto, Soerjono. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:

Universitas Indonesia.

Subagyo, P. Joko. 2013. Hukum Laut Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Suryokusumo, Sumaryo. 2008.Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta:Tatanusa.

Susanto, Hanoko Adi. 2011. Development and Progress of Marine Protected

Area System in Indonesia, Jakarta: Ministry of Marine Affairs and Fishiers

of the Republic of Indonesia.

Thantowi, Jawahir, Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional Kontemporer.

Bandung: Refika Aditama

B. Jurnal, Artikel, Makalah, dan Sumber Internet Lainnya

A. Sutowo Latief, Perubahan Iklim Global, Jurnal Teknis, Vol. V No. 2, Agustus

2010, hlm.73.

Abdurrahman, “Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumber Daya

Alam Indonesia”, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII,

Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 2-3.

Anissa Lawrence, Karbon Biru Sebuah Terobosan Baru Untuk Mengurangi

Dampak Perubahan Iklim Melalui Konservasi dan Pelestarian Ekosistem

Pesisir di Kawasan Coral Triangle. WWF Report, Juli 2013. Diunduh di

http://wwf.panda.org/what_we_do/where_we_work/coraltriangle/events/w

orld_ocean_conference/ pada 12 Mei 2014 pukul 17.56 WIB.

Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, “Pembangunan Berkelanjutan:

Penerapan Masa Lalu, Masa Kini dan ke Masa Datang”, Buletin Tata

Ruang, Juli-Agustus 2011

C.L. Huffard, M.V. Erdman, dan T. Gunawan, Defining Geographic Priorities for

Marine Biodiversity Conservation in Indonesia. Jakarta: Conservation

International , 2009, dalam Dadang Setiawan, Kawasan Konservasi

Perairan Berbasis Ekoregion: Upaya Mempersempit Ketimpangan, hlm.

5-6. Artikel ini merupakan data yang diunduh dari

www.academia.edu/Kawasan_Konservasi_Perairan_Berbasis_Ekoregion_

Upaya_Mempersempit_Ketimpangan_pdf pada Minggu, 15 November

2015 pukul 08.51 WIB.

Dewan Kelautan Indonesia. 2012. Kebijakan Ekonomi Kelautan Dengan Model

Ekonomi Biru. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan diunduh pada

29 November 2014 pukul 16.12 WIB.

Executive Summary Seminar Mengelola Potensi Kelautan Demi Masa Depan

Menyongsong World Ocean Conference (WOC) kerjasama Asosiasi Ilmu

Politik Indonesia dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara yang

dilaksanakan di Manado, 12-13 Maret 2009, 15 hlm. Diunduh dari

http://www.aipi-politik.org/dokumen/53-executive-summary-seminar-

tentang-kelautan-manado pada 22 September 2014 pukul 12.04 WIB.

Heryandi (Ed), Hukum Laut Internasional Dalam Perkembangan, Seri Monograf

Vol. III Tahun 2015, Bandarlampung: Justice Publisher, 2015. Dalam

artikel Melly Aida dan M. Farid Al Rianto, Kerjasama Regional dalam

Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Laut di Selat Malaka.

Immanuela Lantang, Penerapan Jus Cogens Terhadap Praktik Imunitas Negara

(Studi Kasus Putusan ICJ Dalam Kasus Jerman Lawan Italia), Jurnal Lex

Crimen, Vol. II Nomor I, Januari-Maret 2013.

Kementrian Luar Negeri, Optimalisasi Diplomasi Ekonomi untuk Meningkatkan

Ekonomi Indonesia, Tabloid Diplomasi No. 40 Tahun IV, Tanggal 15

Februari-14 Maret 2011, dalam artikel Fadel Muhammad, Revolusi Biru

Perubahan Mendasar Cara Berpikir dari Daratan ke Maritim.

Kementrian Kelautan dan Perikanan, Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan

Perikanan di Indonesia, Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan,

WWF Indonesia, PKSPL, IPB, Maret 2011.

Lauretta Burke, Kathleen Reytar, Mark Spalding, dan Allison Perry, Menengok

Kembali Terumbu Karang yang Terancam di Segitiga Terumbu Karang,

World Resources Institute, 2012, ISBN 978-1-56973-798-9, 90 hlm.

Diunduh dari http://creativecommons.org/lisences/by-nc-nd/3.0/pdf. pada

Senin, 16 November 2015 pukul 18.55 WIB.

M. Eko Rudianto, Coral Triangle Initiative for Coral Reefs, Fisheries and Food

Securities, Departemen Kelautan dan Perikanan, hlm. 3-4. Diunduh di

http://www.penataanruang.pu.go.id/Coral-Triangle-Initiative/pdf/ pada 13

Mei 2015 pukul 09.17 WIB.

Marjorie Mulhall, Saving the Rainforest of the Sea: An Analysis of International

Efforts to Conserve Coral Reefs, Jurnal Vol. 19:321, Duke Environmental

Law and Policy Forum, 2002, page 330.

Meray Hendrik Mezak, Jenis, Metode, dan Pendekatan Dalam Penelitian Hukum,

Jurnal Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Vol. V

No. 3, Maret 2006, hlm. 5.

Nirwan Junus, Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisisr dan Laut Menurut

Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Jurnal Inovasi Vol. 9 No. 2, Juni

2012, Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo, hlm. 2. Diunduh

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=40739&val=3590

pada 21 Agustus 2015 pukul 13.20. WIB.

Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir (PELP), hlm. 51. Diunduh dari

http://www.ropeg.kkp.go.id/upload_file/gambar/File/jabfung/profile/penge

lola%20ekosistem%20laut%20dan%20pesisir.pdf pada Sabtu, 21

November 2015 Pukul 20.43 WIB.

Purwito Martosubroto, Modul Pelatihan National Interest Analysis Statement

(NIAS), Kementrian Kelautan dan Perikanan, Oktober 2014, hlm. 6.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Qadar Hasani, Konservasi Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat,

Implementasi Nilai Luhur Budaya Indonesia Dalam Pengelolaan

Sumberdaya Alam, Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan,

hlm. 36. diunduh pada 5 April 2015 pukul 22.22 WIB di

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=8858&val=4014.

Rajesh Sehgal, Legal Regime Towards Protecting Coral Reefs: An International

Perspective and Indian Scenario, LEAD Journal Vol. 2 No. 2, 2006, page

92-191. diunduh pada Selasa, 26 Mei 2015 di www.LEAD-journal.org.

Riadiono, Perlindungan Terhadap Lingkungan Laut, Jurnal Hukum Internasional,

Vol. 4 No. 2, Desember 2011

Ridwan Lasabuda, Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Perspektif

Negara Kepulauan Republik Indonesia, Jurnal Ilmiah Platax, Vol. 1-2,

Januari 2013, hlm. 93. Diunduh dari

http://ejournal.unstrat.ac.id/index.php/platax pada 4 Mei 2014 pukul 18.55

WIB

Sapta Putra Ginting, Konflik Pengelolaan Sumber Daya Kelautan di Sulawesi

Utara dapat Mengancam Kelestarian Pemanfaatannya, Indonesian Journal

of Coastal and Marine Vol. 1 No. 2 Tahun 1998, Bogor: PKSPL, hlm. 44.

Diunduh dari

http://www.crc.uri.edu/download/Journal_Pesisir_Lautan_Vol1_1.pdf

pada 21 Agustus 2015 pukul 13.18 WIB.

Sekilas tentang Perubahan Iklim UNFCCC, Diunduh dari

https://unfccc.int/files/meetings/cop_13/press/application/pdf/sekilas_tenta

ng_perubahan_iklim.pdf pada 13 Juni 2015 pukul 07.02 WIB.

http://www.artikellingkunganhidup.com/apakah-deforestasi.html. diunduh

pada 27 April 2015 pukul 10.36 WIB.

Susi Pudjiastuti dan Fithra Faisal Hastiadi, Menyoal Fiskal Negeri Bahari,

Kementerian Keuangan dan Perikanan, Media Keuangan Volume X No.

91 April 2015, hlm. 20.

USAID Indonesia, Investasi Pembangunan di Indonesia: Indonesia yang Lebih

Kokoh dalam Memajukan Pembangunan Nasional dan Global, Strategi

Kerjasama Pembangunan Indonesia-Amerika Serikat 2014-1018. Diunduh

di http://www.google,com/Indonesia-CDCS-Final-Version/pdf/ pada 18

September 2014 pukul 07.48 WIB

http://jdih.ristek.go.id/?q=naskah-kerjasama/mou-luar-negeri&page=1 diakses

pada Selasa, 5 Januari 2016 Pukul 19.08 WIB.

http://kkp.go.id., pada 5 Januari 2016 pukul 19.09 WIB. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31793/3/Chapter%20II.pdf

diunduh pada Sabtu, 13 Juni 2015 pukul 07.02 WIB

http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/kerjasama-multilateral/default.aspx diakses

pada Selasa, 5 Januari 2016 pukul 19.07 WIB. https://unfccc.int/files/indonesia_snc/application/pdf diunduh pada 15 September

2015 pukul 07.42 WIB.

C. Dokumen

Rancangan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia Tahun 2005-2025.

Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations

Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Hukum Laut) 1982.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional.

Konvensi Hukum Laut (United Nations Convention On The Law Of The Sea

(UNCLOS) 1982.

Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian antara Negara dan Organisasi

Internasional dan antara Organisasi Internasional dengan Organisasi

Internasional.

Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) 1973

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) 1992

United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau

Agenda 21 1992.

Convention on Biological Diversity (CBD) 1992

Kyoto Protocol 1997

Manado Ocean Declaration 2009