Kematian akibat kekerasan tumpul pada rongga mulut -...
Transcript of Kematian akibat kekerasan tumpul pada rongga mulut -...
Fatmawati Hospital Journal
Kematian Akibat Kekerasan Tumpul Pada Rongga Mulut
Retno Sawitri1, Andriani2
1,2Instalasi Forensik dan Pelayanan Jenazah, RSUP Fatmawati, Jakarta, Indonesia
Abstrak
Kasus, seorang mayat anak laki-laki berusia 12 tahun, dengan riwayat mengalami kekerasan tumpul pada rongga
mulut. Dari hasil pemeriksaan luar, otopsi dan histopatologi ditemukan adanya peradangan dan infeksi pada
kerongkongan, tenggorok dan paru, tanda-tanda asfiksia, serta perdarahan subdural. Penyebab kematian pada
kasus ini adalah kekerasan tumpul yang memasuki rongga mulut dan bagian atas tenggorok dan kerongkongan
sehingga menyebabkan terjadinya luka, peradangan dan pada paru yang mengakibatkan gangguan pernafasan.
Adanya perdarahan dibawah selaput keras otak (subdural hemorrhage) yang diakibatkan adanya guncangan pada
kepala yang dapat memperberat kondisi korban.
Kata kunci: Otopsi, kekerasan tumpul, kekerasan terhadap anak
Abstract
A Case, 12-years old boy died from blunt force trauma in the oral cavity. The results of external examination,
autopsy, and histopathology are found inflammation and infection of the esophagus, trachea and lungs, signs of
asphyxia and subdural hemorrhage. The cause of death is blunt force trauma that enters into the oral cavity, upper
throat and esophagus, causing injury and inflammation of the lungs which results in respiratory disorders. The
subdural hemorrhage due to some shocks to the head that can aggravate the condition of the victim.
Key words: Autopsy, Blunt Force Trauma, Child Abuse
PENDAHULUAN Survey di Amerika Serikat, sekitar 30 %
terlibat dalam kegiatan yang berkaitan
dengan bullying. Data dari Komisi Nasional
Perlindngan Anak pada tahun 2007, jumlah
kekerasan pada anak di Indonesia mencapai
40.398.625 kasus.
Koresponden: Retno Sawitri, Instalasi
Forensik dan Pelayanan Jenazah, RSUP
Fatmawati, Jakarta, Indonesia.
Email: [email protected]
kekerasan fisik terhadap anak adalah
kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik
nyata ataupun potensial terhadap anak,
sebagai akibat dari interaksi atau tidak
adanya interaksi, yang layaknya berada
dalam kendali orang tua atau orang dalam
posisi hubungan tanggung jawab,
kepercayaan atau kekuasaan.1 Kekerasan
terhadap anak dapat terjadi di lingkungan
rumah tangga, maupun sekolah. Kekerasan
terhadap anak yang terjadi di sekolah
dikenal dengan istilah “Bullying”. Jenis
Fatmawati Hospital Journal
Bullying terdiri dari 3, yaitu secara fisik,
verbal, dan relational.2
Kematian akibat kekerasan tumpul
merupakan kasus forensik yang sering
ditemukan oleh ahli forensik. Kekerasan
tumpul yang terjadi terutama pada anak-
anak yang masuk ke dalam rongga mulut
masih sangat jarang. Kekerasan tumpul
tersebut dapat menyebabkan infeksi pada
epiglotis (epiglottitis akut). Insiden
epiglottitis akut pada orang dewasa berkisar
0,97-3,1 per 100.000, dengan angka
kematian sekitar 7,1%.3 Penelitian telah
menunjukkan tingkat kejadian tahunan
epiglottitis pada anak sebesar 0,63 kasus per
100.000 orang.4
Berdasarkan penelitian Howard L.
Needleman, dari 260 anak-anak yang
mengalami penganiayaan, ditemukan 4
kasus kekerasan tumpul yang masuk ke
dalam rongga mulut dan menyebabkan luka
lecet maupun luka terbuka, sedangkan yang
menyebabkan memar terdapat 6 kasus.5
Insidensi trauma di daerah leher yang
masuk ke dalam rongga mulut yang
menyebabkan terjadinya perforasi esofagus
mencapai angka 4 % - 15,3 %, sedangkan
yang diakibatkan oleh trauma tumpul
memiliki angka insidensi yang sangat kecil
yaitu hanya 0,001 %.6
ILUSTRASI KASUS Seorang anak laki-laki, berusia 12 tahun,
dilakukan pemeriksaan luar pada tanggal 4
Mei 2014 pukul 20.40 WIB yang
dilanjutkan dengan pemeriksaan otopsi.
Dari pemeriksaan luar ditemukan adanya
Pada bibir bawah sisi kanan terdapat 4 buah
luka lecet, pada lengan bawah kiri dan dada
terdapat memar. Pada jaringan di bawah
kuku jari-jari kedua tangan dan kaki tampak
berwarna kebiruan.
Pada pemeriksaan dalam (otopsi),
ditemukan jaringan lemak sisi kanan atas
dinding perut bagian depan, terdapat
memar, pada mukosa esophagus terdapat
beberapa luka lecet dan dikelilingi memar.
esophagus bagian belakang tampak memar.
Dan pangkal trachea terdapat luka lecet. Gambar 1. Memar pada esofagus
Gambar 2. Luka Lecet pada Trachea
Pada kedua paru tampak sembab, dan
ditemukan adanya gambaran asfiksia dan
aspirasi. Gambar 3. Gambaran Aspirasi
Fatmawati Hospital Journal
Gambar 4. Gambaran Asfiksia (bintik perdarahan)
Limpa tampak pucat dan permukaannya
licin. Pada mesenterium dan mesocolon
bagian mendatar terdapat resapan darah.
Kedua ginjal tampak pucat dan terdapat
pelebaran pembuluh darah pada permukaan
dan penampang ginjal. Pada pelvis renalis
(piala ginjal) tampak bintik-bintik
perdarahan.
Pada kulit kepala bagian dalam terdapat
pelebaran pembuluh darah. Terdapat
perdarahan subdural di area parietal. Pada
permukaan dan penampang serebri,
serebellum, dan batang otak tampak adanya
pelebaran pembuluh darah. Sebagian batas
antara substansia alba dan grisea tampak
samar. Gambar 5. Gambaran perdarahan subdural
Dari hasil pemeriksaan histopatologi
terhadap organ-organ ditemukan adanya :
• Pada otak besar, terdapat banyak
rongga-rongga kosong, diatas
arachnoidmater terdapat perdarahan.
Arteri dalam jaringan otak tampak
gambaran perbendungan yaitu di dalam
arteri penuh berisi eritrosit). Gambar 6. Gambaran histopatologi otak besar
(perdarahan subdural)
• Pada esophagus, sebagian mukosa
tampak rusak dan hilang, jaringan
submukosa terdapat perdarahan dan
perbendungan (arteri berisi penuh
eritrosit) pada beberapa daerah di
sekitar mukosa yang mengalami erosi
terdapat serbukan monosit. Gambar. 7 Gambaran histopatologi esophagus
• Pada trachea, mukosa sebagian tampak
rusak (erosi) dan hilang, pada
submukosa arteri penuh berisi eritrosit
(perbendungan) dan terdapat perdarahan
dalam jaringan.
• Pada jantung, arteri penuh berisi eritrosit
(perbendungan)
Fatmawati Hospital Journal
• Pada paru-paru, kerapatan alveoli dalam
lapangan pandang berkurang, septum
alveoli dipenuhi oleh eritrosit dan
leukosit serta pigmen coklat, arteri di
alveoli tampak penuh berisi eritrosit
(perbendungan), dan pada beberapa
lapangan pandang alveoli tampak berisi
eritrosit dan leukosit. Gambar 8. Gambaran histopatologi paru (kerapatan
alveoli berkurang)
Gambar 9. Gambaran histopatologi arteri di alveoli
(berisi eritrosit/perbendungan)
Gambar 10. Gambaran histopatologi sebukan sel
darah putih pada septum alveoli
• Pada limpa, gambarannya sudah tidak
jelas, jumlah sel limfosit dan monosit
sangat berkurang. Dalam jaringan limpa
ditemukan banyak pigmen coklat
kuning.
DISKUSI Seorang dokter forensik dalam melakukan
pemeriksaan forensik sesuai dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) Pasal 133 ayat 1 yang berbunyi :
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan atau mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.”7
Kasus ini adalah kasus seorang anak yang
meninggal akibat tindakan kekerasan oleh
kakak kelasnya. Berdasarkan informasi dari
penyidik, bahwa mulut korban disodok
hingga masuk ke rongga mulut
menggunakan gagang pel pada tanggal 28
April 2014. Satu hari setelah kejadian
kekerasan, korban sempat mengeluh
demam kepada orang tuanya, kemudian
korban dibawa ke klinik dekat rumahnya,
dan diberikan pengobatan. Pada tanggal 2
Mei 2014, keadaan korban belum membaik.
Korban masih merasa badannya panas dan
muntah-muntah, sehingga orang tua korban
kembali membawa korban ke Rumah Sakit
yang berada di daerah Halim. Oleh dokter
pemeriksa di Rumah Sakit tersebut, korban
dinyatakan menderita sariawan dan luka di
lambung. Pada tanggal 3 Mei 2014, kondisi
korban membaik. Pada tanggal 4 Mei 2014
sekitar pukul 00.00 WIB, korban terbangun
dari tidurnya kemudian kejang-kejang.
Orang tua korban kemudian membawa
Fatmawati Hospital Journal
korban ke Rumah Sakit Ibu dan Anak Restu
Ibu, karena keterbatasan fasilitas, kemudian
korban dirujuk ke RS. POLRI. Setibanya di
Rumah Sakit Sukanto Kramat Jati Jakarta
Timur pada hari Minggu, 4 Mei 2014 pukul
01.00 WIB, korban dinyatakan telah
meninggal. Karena korban meninggal
akibat tindak pidana yaitu kekerasan, maka
diperlukan pemeriksaan kedokteran
forensik guna memperjelas perkara demi
kepentingan peradilan.
Pada pemeriksaan luar mayat, telah muncul
lebam mayat pada sisi kanan tubuh, wajah,
leher dan dada yang tidak hilang pada
penekana, namun kaku mayat sudah tidak
lagi ditemukan. Kornea mata tampak keruh.
Perubahan paska kematian ini dapat
digunakan untuk memperkirakan saat
kematian. Lebam mayat mulai muncul 20 –
30 menit setelah kematian, semakin lama
intensitasnya semakin bertambah, dan
menetap 8 – 12 jam. Kaku mayat mulai
muncul sekitar 2 jam setelah mati kalinis
kemudian setelah 12 jam kaku mayat
menjadi lengkap dan menghilang setelah 24
jam. Pada mata yang tertutup, perubahan
yang terjadi pada kornea menjadi keruh
sekitar 24 jam setelah kematian.8 Pada
kasus ini, ditemukannya lebam mayat yang
tidak hilang pada penekanan, kaku mayat
yang tidak ada, dan adanya kekeruhan pada
kornea mata maka dapat diperkirakan saat
kematiannya yaitu 12 – 24 jam sebelum
pemeriksaan (tanggal 3 Mei 2014 pukul
20.30 WIB – tanggal 4 Mei 2014 pukul
08.30 WIB). Akan tetapi, pada kasus ini
ditemukan meninggal di Rumah Sakit Said
Sukanto, Kramat Jati, sehingga tidak
diperlukan perkiraan saat kematian.
Dari pemeriksaan luar ditemukan tanda-
tanda sianosis serta 4 buah luka lecet pada
bibir dan memar pada lengan bawah kiri
dan dada. Pada mukosa kerongkongan
ditemukan beberapa luka lecet yang
dikelilingi oleh memar dan pada pangkal
trakea sisi kanan juga ditemukan luka lecet.
Pada pemeriksaan histopatologi esofagus,
ditemukan gambaran erosi pada sebagian
kerongkongan yang ditandai dengan rusak
dan hilangnya mukosa disertai adanya
sebukan sel radang bulat (monosit). Pada
pembuluh darah di kerongkongan penuh
berisi darah yang menandakan adanya
perbendungan serta terdapat perdarahan
jaringan. Pada pemeriksaan histopatologi
pada trakea, ditemukan bahwa sebagian
mukosanya tampak rusak dan hilang, pada
pembuluh darahnya penuh berisi eritrosit
dan juga terdapat perdarahan pada
jaringannya. Temuan histopatologi ini
mendukung bahwa adanya tanda-tanda
kekerasan dan infeksi pada organ tersebut.
Pada pemeriksaan paru, keduanya tampak
sembab dan ditemukan adanya aspirasi
serta tanda-tanda asfiksia. Pada
pemeriksaan histopatologi paru-paru,
didapatkan gambaran berkurangnya
kerapatan gelembung udara (alveoli)
dengan sekatnya dipenuhi oleh eritrosit dan
leukosit. Pembuluh darah pada paru tampak
Fatmawati Hospital Journal
penuh berisi eritrosit yang menandakan
adanya perbendungan serta pada beberapa
lapangan pandang, tampak alveoli dipenuhi
oleh eritrosit dan leukosit. Gambaran
tersebut menandakan adanya aspirasi,
infeksi pada paru-paru dan asfiksia.
Akibat dari aspirasi pada paru adalah dari
tidak ada cedera sama sekali, hingga
pneumonitis atau pneumonia, atau bahkan
kematian dalam hitungan menit karena
asfiksia. Dampak tersebut bisa timbul
tergantung kepada volume, komposisi
kimia, ukuran partikel, ada atau tidak
adanya agen infeksi, dan status kesehatan
yang mendasari seseorang tersebut. Pada
orang yang sehat, aspirasi dalam jumlah
yang kecil jarang menimbulkan penyakit.
Pada orang yang memiliki penyakit penting
yang mendasari, terutama yang dirawat di
rumah sakit, memiliki resiko yang lebih
tinggi terjadinya komplikasi pada
pernapasan setelah terjadi aspirasi paru
dikarenakan beberapa faktor seperti
penurunan kesadaran atau gangguan
pertahanan saluran pernapasan (reflex
muntah dan/atau sistem pertahanan
antimikroba pada saluran pernapasan).9
Berikut adalah tabel perbedaan antara
Apirasi pneumonitis dengan aspirasi
pneumonia.9
Tabel 1. Perbedaan antara Aspirasi Pneumonitis dengan Aspirasi Pneumonia
Aspirasi Pneumonitis didefinisikan sebagai
cedera paru akut setelah menghirup
muntahan isi lambung. Sindrom ini terjadi
pada orang yang memiliki gangguan
kesadaran yang dikarenakan oleh overdosis
obat, kejang, atau penggunaan anestesi.
Fatmawati Hospital Journal
Aspirasi isi lambung memberikan sensasi
seperti terbakar di daerah tracheobronkial
sehingga menyebabkan reaksi inflamasi
hebat pada parenkim. Karena asam
lambung mencegah pertumbuhan bakteri,
maka isi perut yang steril dalam kondisi
normal. Oleh karena itu, infeksi bakteri
tidak memiliki peran penting pada tahap
awal cedera paru akut akibat aspirasi isi
lambung. Infeksi bakteri dapat terjadi pada
tahap berikutnya, namun angka kejadian
terjadinya komplikasi tersebut tidak
diketahui. Kolonisasi isi lambung oleh
organisme patogen dapat terjadi ketika pH
dalam lambung meningkat dengan
menggunakan obat antasida, antagonis
histamine H2, atau proton pump inhibitor.
Dalam keadaan ini, respon inflamasi di
paru-paru mungkin dapat diakibatkan oleh
infeksi bakteri dan respon inflamasi
terhadap isi lambung. Pasien yang
menghirup isi lambung dapat menunjukkan
gejala dan tanda yang dramatis. Pada pasien
dapat ditemukan adanya isi lambung di
daerah orofaring, batuk, sesak nafas,
sianosis, edem paru, hipotensi, dan
hipoksemia dengan perkembangan yang
cepat, dapat menimbulkan gangguan
pernafasan hingga ke kematian.9 Pada kasus
ini, dengan adanya trauma di daerah
orofaring yang mengakibatkan terjadinya
infeksi di daerah orofaring, maka dapat
terjadi kolonisasi bakteri di daerah tersebut.
Pada saat korban masih hidup, sempat
terjadi kejang, sehingga ada kemungkinan
terjadinya aspirasi dari secret orofaring atau
isi lambung yang masuk ke dalam paru-
paru. Hal tersebut dibuktikan pada
pemeriksaan dalam, ditemukan adanya
gambaran aspirasi pada paru.
Pada pemeriksaan jantung ditemukan tidak
ada kelainan, namun pada pemeriksaan
histopatologi, gambaran otot jantung masih
dapat dikenali namun gambaran seran
lintang sebagian besar sudah tidak tampak
lagi dengan inti sel sebagian menghilang
atau menggumpal. Pembuluh darah pada
jantung penuh berisi eritrosit
(perbendungan). Tanda-tanda yang
ditemukan tersebut menandakan adanya
asfiksia.
Asfiksia dapat disebabakan oleh beberapa
hal seperti trauma mekanik, penyebab
alamiah dan keracunan.10 Pada kasus ini,
tidak ditemukan tanda-tanda keracunan.
Akan tetapi, pada kasus ini terdapat trauma
tumpul yang masuk ke dalam rongga mulut
hingga menimbulkan luka lecet dan memar
pada pangkal batang tenggorok dan
kerongkongan sehingga menimbulkan
infeksi (epiglottitis) hingga infeksi pada
paru-paru. Penyakit infeksi paru pada anak
diakibatkan karena trauma masih sangat
jarang namun merupakan penyebab
kematian terbesar karena menyebabkan
gangguan pernafasan hingga asfiksia.
Infeksi pada pangkal batang tenggorok
(epiglottitis) biasanya dimulai sebagai
peradangan dan pembengkakan antara
pangkal lidah dan epiglotis. Hal tersebut
Fatmawati Hospital Journal
dapat menyebabkan struktur tenggorokan
terdorong ke belakang. Dengan inflamasi
lebih lanjut, dan pembengkakan epiglotis
(oedema epiglotis) dapat menyumbat
saluran nafas hingga menyebabkan sesak
nafas dan kematian.6 Berdasarkan perkiraan
sederhana yang dilakukan di Amerika
Serikat, terdapat 10-40 kasus per juta orang
di Amerika Serikat. Pada saat epiglottitis
menyerang, terjadi sangat cepat dalam
hitungan jam hingga beberapa hari. Gejala
klinis yang muncul adalah demam, nyeri
tenggorokan, adanya perubahan suara,
kesulitan berbicara, disfagia (kesulitan
menelan), dan kesulitan bernapas. Pada
kasus ini, informasi yang didapat sebelum
korban meninggal, didapatkan adanya
demam, dan nyeri tenggorokan dan
muntah-muntah yang muncul sehari setelah
kejadian. Korban sempat dibawa ke klinik,
lalu diberikan obat untuk mengurangi nyeri
(analgetik). Pada fase bakteremia, fokal
infeksi mungkin saja terjadi. Pneumonia
adalah salah satu komplikasi penyakit yang
paling sering berkaitan dengan epiglottitis.
Pada pneumonia bakteri, dapat
menyebabkan kerusakan jaringan paru-
paru, sehingga membentuk jaringan parut,
penurunan pertukaran gas secara permanen,
dan hilangnya cadangan pernapasan. Paru-
paru juga menjadi kurang elastis dan
membutuhkan energi yang lebih untuk
mengembangkan paru-paru dan kerja paru-
paru dalam fase inspirasi pernapasan.
Pneumonia bakterial dapat mematikan
apabila terdapat cairan yang mengisi penuh
kantong alveoli dan mengganggu
pertukaran oksigen dengan karbondioksida.
Menurunnya kadar oksigen yang beredar di
paru (hipoksia), dan meningkatnya kadar
karbondioksida (hiperkapnia) dapat
mengakibatkan gagal nafas hingga
kematian. Pada orang yang tidak dirawat di
rumah sakit, bakteri dapat mencapai saluran
pernafasaan dengan salah satu dari empat
rute berikut:
• Terhirupnya mikroorganisme yang
dilepaskan ke udara saat orang
tersebut batuk atau bersin
• Aspirasi bakteri dari saluran
pernapasan bagian atas
• Menyebar dari lokasi yang
terinfeksi yang berdekatan
• Penyebaran secara hematogen
Pada saat bakteri memasuki saluran
pernapasan bagian bawah, bakteri melekat
pada dinding bronkus dan bronkiolus,
memperbanyak diri secara ekstraseluler dan
memicu peradangan. Dengan terjadinya
peradangan, ruang alveolus diisi oleh cairan
eksudatif. Sel-sel radang (pada fase akut
adalah netrofil, kemudian makrofag dan
limfosit pada fase kronis), kemudian
menyerang dinding alveoli. Pneumonia
bakterial dapat terkait dengan hipoksemia
dan hiperkapnia. Eksudat inflamasi (nanah)
berkumpul di ruang alveoli dan menganggu
pertukaran oksigen dan karbondioksida. 11
Subdural hematoma atau lebih dikenal
sebagai subdural hemorrhage biasanya
Fatmawati Hospital Journal
berhubungan dengan cedera otak traumatik.
Darah berkumpul di antara duramater dan
lapisan arachnoidmater. Perdarahan
subdural akut biasanya mengenai pembuluh
darah vena, oleh karena itu prosesnya lebih
lama dibandingkan perdarahan pembuluh
darah arteri pada epidural hemorrhage.
Angka kematian akibat perdarahan
subdural akut antara 60 % hingga 80 %.12
Perdarahan subdural dapat berupa akut,
subakut atau kronik. Perdarahan subdural
akut muncul dalam waktu 72 jam dari
cedera, subakut antara 3 hari hingga 2-3
minggu dan kronik lebih dari 3 minggu
setelah cedera. Perdarahan subdural terjadi
disebabkan oleh peregangan dan robeknya
parasagittal bridging vein yang mendarahi
permukaan otak ke dalam sinus venosus.
Cedera ini terjadi setelah kepala membentur
permukaan yang keras dan otak mengalami
percepatan. Percepatan pada otak tersebut
yang menyebabkan robeknya bridging vein.
Volume darah pada subdural hemorrhage
sebesar 50 ml memiliki arti yang sangat
penting dalam menimbulkan gejala klinis,
volume darah yang mematikan adalah
sebesar 100 ml, dan jumlah maksimalnya
adalah 300 ml. Pendapat lain
mengungkapkan bahwa volume darah pada
SubDural Hemorrhage (SDH) pada orang
dewasa yang mengancam nyawa jika
volumenya mencapai 50 ml. Sedangkan
pada anak-anak, volume darah yang
memiliki makna penting dalam timbulnya
gejala klinis adalah sebesar 30 – 50 ml.12
KESIMPULAN
Penyebab kematian pada kasus ini adalah
kekerasan tumpul yang memasuki rongga
mulut dan bagian atas tenggorok dan
kerongkongan, sehingga menyebabkan
terjadinya luka, peradangan dan infeksi
kerongkongan dan tenggorok, infeksi dan
peradangan pada paru yang mengakibatkan
gangguan pernafasan. Adanya perdarahan
dibawah selaput keras otak (subdurah
hemorrhage) yang diakibatkan adanya
guncangan pada kepala yang dapat
memperberat kondisi korban.
Fatmawati Hospital Journal
DAFTAR PUSTAKA 1. Sampurna Budi, Dharmono Suryo,
Kalibonso Rita Serena, Wiguna Tjhin,
Sekartini Rini, dkk. Deteksi Dini,
Pelaporan dan Rujukan Kasus
Kekerasan dan Penelantaran Anak.
2. Gladden R. Matthew, PhD, Vivolo-
Kantor Alana M., MPH, CHES,
Hamburger Merle E., PhD, Lumpkin
Corey D., MPH. Bullying Surveillance
among Youths Uniform Definitions for
Public Health and Recommended Data
Elements. Centers for Disease Control
and Prevention: Atlanta, Georgia.
2014
3. Abdallah Claude, Dr. Acute
Epiglottitis: Trends, diagnosis and
management. Saudi Journal of
Anaesthesia. Vol. 6 issue 3. July –
September 2012.
4. Tolan Jr Robert W, MD. Pediatric
Epiglottitis. July 30, 2012 (updated).
Cited from :
http://emedicine.medscape.com/article
/963773-overview#aw2aab6b2b6
5. Needleman Howard L, MD. Orofacial
trauma in child abuse : types,
prevalence, management and the dental
profession’s involvement. Pediatric
Dentistry : May 1986 vol.8.
6. Fischer Josef E. Mastery of Surgery. 5th
Ed. Philadelphia : Lippincott Williams
and Wilkins ; 2007. P789
7. Kitab Undang-Undang Acara Pidana
Republik Indonesia.
8. DiMaio Vincent J, DiMaio Dominick.
Forensic Pathology. 2nd Ed. New York
: CRC Press ; 2001. P91
9. Marik Paul E. Aspiration Pneumonitis
and Aspiration Pneumonia. N Engl J
Med. 2001 March 1;344(9):665-671
10. Budiyanto Arif, Widiatmaka WIbisana,
Sudiono Siswandi, Winardi T, Mun’im
Abdul, idhi, Hertian Swasti, et al. Ilmu
Kedokteran Forensik. Edisi Pertama.
Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik.
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 1997
11. Bruyere Jr. Harold J. 100 Cases Study
in Pathophysiology. Lippincott
Williams and Wilkins.
Philadephia.2009 ; 13 : 1 – 11
12. Itabashi Hideo H, Andrew John M,
Tomiyasu Owamie, Erlich Stephanie S,
Sathyavagiswaran Lakshmanan.
Forensic Neuropathology: A Practical
Review of the Fundamentals. 1st ed.
Oxford: Elsevier; 2007. P63 – 68