KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA...

43
KEARIFAN LOKAL BAGI PENCEGAHAN RADIKALISME AGAMA: Kerja Sama Kelembagaan Adat Minangkabau dan Islam bagi Pencegahan Radikalisme Agama di Sumatera Barat Disertasi Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Pengkajian Islam Oleh: Sefriyono NIM. 31151200000025 Pembimbing: Prof. Dr. Jamhari, MA Prof. Dr. Zulkifli, MA Konsentrasi: Sosiologi dan Antropologi Agama SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018

Transcript of KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA...

Page 1: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

KEARIFAN LOKALBAGI PENCEGAHAN RADIKALISME AGAMA:

Kerja Sama Kelembagaan Adat Minangkabau dan Islam bagi PencegahanRadikalisme Agama di Sumatera Barat

DisertasiDiajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktordalam Bidang Pengkajian Islam

Oleh:Sefriyono

NIM. 31151200000025

Pembimbing:

Prof. Dr. Jamhari, MAProf. Dr. Zulkifli, MA

Konsentrasi:Sosiologi dan Antropologi Agama

SEKOLAH PASCASARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018

Page 2: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

KATA PENGANTAR

Kuatnya integrasi adat, Islam, terutama tarekat dan pemerintahan lokal yang

dalam hal ini nagari sebagai kearifan lokal masyarakatnya telah mampu menjadi pencegah masyarakat di Nagari Sungai Buluah Kabupaten Padang Pariaman dan Koto Tangah Simalanggang Kabupaten Lima Puluh Kota dari radikalisme agama. Ada beberapa bentuk usaha penolakan yang dilakukan masyarakat di kedua wilayah penelitian ini dengan memamfaatkan potensi lokal yang mereka miliki terhadap kelompok-kelompok Islam radikal seperti Salafi dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Usaha-usaha tersebut terlaksana melalui: Pertama, Pengelolaan Tempat Ibadah. Usaha ini dilakukan melaui screening terhadap materi dan penceramah dan dilaksanakan secara sistematis yang melibatkan sinergi kelembagaan adat, agama, dan pemerintahan nagari; kedua, Sanksi adat. Kehidupan berkarib berkerabat telah menjadi prasyarat bagi penolakan terhadap pelembagaan paham keagamaan radikal di nagri ini. Sanksi adat terlaksana mulai dari denda memberi makan orang sekampung di balai adat nagari sampai kepada tidak diakui sebagai kemenakan sebagaimana dialami oleh anggota MMI di nagari Koto Tangah Simalanggang; Ketiga, Membingkai narasi kontra radikalisme. Diantara bentuk-bentuk narasi kontra radikalisme tersebut adalah MMI dan Salafi adalah kelompok teroris dan anti adat. Sementara orang Minangakbau adalah orang yang beradat dan berislam-jo raso jo pareso (kombinasi perasaan dan pemikiran); keempat. Sanksi sosial. Indak dibao duduk samo randah jo dibao tagak samo tinggi (tidak dibawa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi). Aporisme adat ini sangat terkait dengan hukuman pengucilan yang diperoleh seseorang dikarenakan mereka tidak berprilaku sesuai dengan norma berprilaku yang lazim dilakukan oleh keseharian masyarakat;kelima, meberdayakan kepemimpinan Tarekat. Khalifah suluk maupun tuanku sebagai guru tarekat, di kedua wilayah penelitian ini berperan sebagai, kapai tampek batanyo, kapulang tampek babarito. Dagang batapatan, rantau balabuhan (mau pergi tempat bertanya, pulang tempat memberi kabar). Tuanku atau khalifah menjadi tempat berkeluh kesah masyarakat ketika mereka menemukan paham keagamaan baru termasuk paham keagamaan radikal.

Penelitian disertasi ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa kontribusi dari berbagai pihak. Karenanya dari lubuh hati yang paling dalam, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberi penulis kesempatan untuk menjalani proses pendidikan jenjang doktoral di UIN Jakarta.

2. Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, Prof. Dr. Masykuri Abdillah yang telah memberi penulis kesempatan untuk menjalani proses pendidikan jenjang doktoral di Sekolah Pasca Sekolah Paca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Promotor I, Prof. Dr. Jamhari, MA atas segala bimbingannya dalam proses penyelesaian disertasi ini.

4. Promotor II, Prof, Dr. Zulkifli, MA atas segala bimbingannya dalam proses penyelesaian disertasi ini.

Page 3: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

5. Ketua Program Doktoral Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Prof. Dr. Didin Saefuddin, MA atas kemudahan administratif yang diberikan dalam proses penyelesaian disertasi ini.

6. Kepada seluruh dosen Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pengetahuan dan wawasan yang diberikan selama menjalani proses pendidikan SPs UIN Jakarta.

7. Kepada seluruh staf administrasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta atas pelayanan administrasi yang telah diberikan selama menjalani proses pendidikan di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Kepada seluruh staf perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta atas kemudahan akses kepustakaan yang diberikan selama mengunakan jasa perpustakaan.

9. Kepada Kementerian Agama Republik Indonesia atas beasiswa yang diberikan selama proses menjalani proses pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Kepada seluruh teman sejawat yang tidak bisa disebutkan nama satu persatu yang telah beerkontribusi bagi penyelesaian disertasi ini.

11. Kepada orang tua dan segenap keluarga atas dukungan moril dan materil demi kesuksesan dalam penyelasaian pendidikan dan disertasi ini.

Jakarta, 9 Mai 2018

Page 4: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

I

KATA PENGANTAR

Kuatnya kerja sama antara kelembagaan adat, Islam, terutama tarekat dan pemerintahan lokal yang dalam hal ini nagari sebagai sebuah kearifan lokal masyarakatnya telah mampu mencegah masyarakat di dua nagari yang menjadi lokasi penelitian ini yakni, Sungai Buluah Kabupaten Padang Pariaman dan Koto Tangah Simalanggang Kabupaten Lima Puluh Kota dari radikalisme agama. Ada beberapa bentuk usaha pencegahan yang dilakukan masyarakat di kedua lokasi penelitian ini dengan memanfaatkan potensi lokal yang mereka miliki terhadap radikalisasi kelompok-kelompok Islam radikal seperti Salafi dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Usaha-usaha tersebut terlaksana melalui: Pertama, pengelolaan tempat ibadah. Usaha ini dilakukan melaui screening terhadap materi ceramah dan penceramah serta dilaksanakan secara sistematis yang melibatkan kelembagaan adat, agama, dan pemerintah nagari. Kedua, sanksi adat. Kepenganutan yang kuat terhadap pola kekerabatan matrilineal telah menjadi prasyarat bagi pencegahan pelembagaan paham keagamaan radikal. Sanksi adat terlaksana mulai dari denda memberi makan orang sekampung di balai adat nagari sampai kepada tidak diakui sebagai kemenakan/keponakan sebagaimana dialami oleh anggota MMI di nagari Koto Tangah Simalanggang. Ketiga, membingkai narasi lokal kontra radikalisme. Di antara bentuk-bentuk narasi lokal kontra radikalisme tersebut adalah MMI dan Salafi adalah kelompok teroris, anti negara dan anti adat. Sementara orang Minangkabau adalah orang yang kuat memegang adat dan Islam dengan pola raso jo pareso (kombinasi perasaan dan pemikiran), serta bernegara dengan sistem demokrasi. Keempat, sanksi sosial. Indak dibao duduak samo randah jo dibao tagak samo tinggi (tidak dibawa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi). Aporisme adat ini sangat terkait dengan hukuman pengucilan yang diperoleh seseorang dikarenakan mereka tidak berperilaku sesuai dengan norma perilaku yang lazim dilakukan oleh masyarakat. Kelima, memberdayakan peranan kepemimpinan tarekat. Khalifah suluk maupun tuanku sebagai guru tarekat, di kedua lokasi penelitian ini berperan sebagai, kapai tampek batanyo, kapulang tampek babarito. Dagang batapatan, rantau balabuhan (mau pergi tempat bertanya, pulang tempat memberi kabar. Dagang/perantau punya tujuan, rantau punya pelabuhan sebagai tambatan terakhir). Tuanku dan khalifah tarekat menjadi tempat berkeluh-kesah masyarakat ketika mereka menemukan paham keagamaan baru termasuk paham keagamaan radikal.

Penelitian disertasi ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa kontribusi dari berbagai pihak. Karenanya dari lubuk hati yang paling dalam, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede

Rosyada, MA yang telah memberi penulis kesempatan untuk menjalani proses pendidikan jenjang doktoral di UIN Jakarta.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Masykuri Abdillah yang telah memberi penulis kesempatan untuk menjalani proses pendidikan jenjang doktoral di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 5: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

II

3. Promotor I, Prof. Dr. Jamhari, MA atas segala bimbingannya dalam proses penyelesaian disertasi ini.

4. Promotor II, Prof. Dr. Zulkifli, MA atas segala bimbingannya dalam proses penyelesaian disertasi ini.

5. Ketua Program Doktoral Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Didin Saefuddin, MA atas pelayanan administratif yang diberikan selama proses penyelesaian disertasi ini.

6. Kepada seluruh dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pengetahuan dan wawasan yang diberikan selama menjalani proses pendidikan di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

7. Kepada seluruh staf administrasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan administrasi yang telah diberikan selama menjalani proses pendidikan di Sekolah Pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Kepada seluruh staf perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas kemudahan akses kepustakaan yang diberikan selama mengunakan jasa perpustakaan.

9. Kepada Kementerian Agama Republik Indonesia atas beasiswa yang diberikan selama menjalani proses pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Kepada seluruh teman sejawat yang tidak bisa disebutkan nama satu persatu yang telah berkontribusi bagi penyelesaian disertasi ini.

11. Kepada orang tua dan segenap keluarga atas dukungan moril dan materil demi kesuksesan dalam penyelesaian pendidikan dan disertasi ini.

Jakarta, 14 Juli 2018

ABSTRAK

Page 6: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

III

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bagaimana kerjasama antara kelembagaan adat Minangkabau dan Islam sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat di Sumatera Barat mampu mencegah radikalisme agama. Penelitan ini menggunakan metode penelitian Kualitatif dengan pendekatan Studi Kasus. Data penelitian dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data penelitian menggunakan dua model analisis, yakni, interactive analysis model Miles dan Huberman, yakni reduksi data, display data dan verifikasi data dan constant comparative analysis Barney G. Glaser yang digunakan untuk membandingakan pola pencegahan radikalisme agama di dua wilayah adat yang berbeda yakni, nagari Sungai Buluah yang merupakan wilayah adat rantau, sementara Koto Tangah Simalanggang merupakan wilayah adat luhak. Rantau diasumsikan sebagai wilayah yang kuat agamanya karena pusat agama. Sementara luhak diasumsikan sebagai wilayah yang kuat adatnya karena pusat adat. Pemilihan dua lokasi ini didasarkan pada dua pertimbangan yakni: Pertama, karena perbedaan wilayah adat yang diasumsikan terdapat perbedaan pola pencegahan radikalisme agama; Kedua, masyarakat pada dua nagari ini pernah melakukan penolakan terhadap aktivitas dakwah Majelis Mujahidin Indonesia dan Salafi.

Hasil penelitian ini menunjukan, kuatnya kerjasama antara kelembagaan adat Minangkabau, Islam, dan pemerintahan nagari mampu mencegah masyarakatnya dari radikalisme agama. Adapun pola-pola pencegahan radikalisme agama terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan tempat ibadah seperti surau kaum dan masjid nagari melalui screening yang dilakukan secara sinergis antara kelembagaan adat, agama, dan pemerintahan nagari terkait dengan materi ceramah dan da’i yang akan berceramah; Kedua, memberdayakan kelembagaan adat melalui sanksi adat terhadap MMI dan Salafi, karena keduanya menganggap adat tidak perlu. Sikap ini mereka perlihatkan dalam bentuk tidak melibatkan adat dalam urusan-urusan yang terkait dengan kekerabatan seperti perkawinan dan menganggap jabatan penghulu sebagai sesuatu yang bid’ah; Ketiga, pembingkai narasi lokal kontra radikalisme melalui sikap-sikap seperti orang Minangkabau tidak hanya menganut Islam dengan pola raso jo pareso (kombinasi nilai adat dan Islam/olah rasa dan fikir), tetapi juga beradat, dan bernegara dengan sistem demokrasi. Sikap-sikap ini kontra dengan sikap-sikap kelompok Islam radikal yang anti adat, ekslusif dalam beragama dan anti negara dengan sistem demokrasi; Kempat, memfungsikan peran kepemimpinan tarekat. Tuanku, khalifah, dan mursyid tarekat menjadi tempat mengadu bagi masyarakat dalam masalah-masalah agama, terutama masalah-masalah yang terkait dengan radikalisme agama.

Perbedaan pola pencegahan radikalisme di kedua lokasi penelitian ini terlihat dalam bentuk: Di nagari Sungai Buluah karena penetrasi Tarekat Syattariyyah sangat kuat terhadap kelembagaan adat dan pemerintah nagari, pengelolaan tempat ibadah dilengakapi dengan blue print yang disepakati oleh kelembagaan adat, Tarekat Syattariyyah, dan pemerintah nagari, berupa: Nagari Sungai Buluah menganut paham keagamaan Ahlussunnah Wal Jamaah dengan tiga sistem nilai yakni, teologi Ash’ariyah, tasawuf al-Ghazali dengan pola Tarekat Syattariyyah dan fiqh Imam Syafi’i dan dilakukan secara sinergis antara mufti nagari, ketua

Page 7: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

IV

KAN, dan pemerintah nagari. Semantara di Koto Tangah Simalanggang antara kedua kelembagaan ini (adat dan agama) berjalan sendiri-sendiri dalam melakukan penolakan terhadap MMI dan Salafi—persoalan agama di selesaikan oleh pengurus masjid atau mushalla. Sementara urusan adat diselesaikan oleh penghulu, tanpa blue print yang disepakati. Sementara pemerintah nagari tidak terlibat dalam penolakan terhadap MMI dan Salafi dimaksud. Terkait dengan pemahaman keagamaan sebagai basis pencegahan radikalisme agama, masyarakat nagari Koto Tangah Simalanggang menggunakan paham keagamaan inklusif yang mereka sebut dengan Islam-Raso Jo Pareso (olah rasa dan fikir). Pemahaman keagamaan seperti ini kontra dengan pemahaman keagamaan kelompok Islam radikal yang ekslusif. Sementara di nagari Sungai Buluah kekokohan memegang nilai-nilai tarekat dan kepatuhan terhadap tuanku menjadi modal tercegahnya masyarakat dari radikalisme agama.

Penelitian ini menghasilkan sebuah kesimpulan: kuat kerjasama antara kelembagaan adat, Islam, terutama tarekat dan pemerintahan lokal yang dalam hal ini pemerintah nagari memberikan ketahanan masyarakat terhadap pengaruh radikalisme agama. Sebaliknya lemahnya kerjasama antara kelembagaan adat, Islam, terutama tarekat dan pemerintah nagari menyebabkan masyarakat rentan terhadap pengaruh radikalisme agama. Penelitian ini merupakan pengembangan terhadap teori-teori kearifan lokal yang selama ini lebih banyak digunakan untuk pemecahkan masalah-masalah konflik sosial, dikembangkan menjadi pencegahan radikalisme agama. Penelitian ini bertentangan dengan temuan pemelitian Maarif Institut yang menyatakan bahwa Sumatara Barat terutama Kota Padang merupakan salah satu kota yang sangat rentan radikalisme agama melalui bimbingan rohani Islam (rohis) di sekolah-sekolah dan hasil penelitian Delmus Puneri Salim yang menyatakan bahwa Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah sebagai bentuk identitas regional masyarakat Sumatera Barat yang menguat pasca reformasi membuka ruang yang sangat lebar bagi diskriminasi terhadap non-Islam. Setidaknya di dua wilayah penelitian ini (nagari Sungai Buluah dan Koto Tangah Simalanggang), kelompok-kelompok Islam radikal seperti MMI dan Salafi, aktivitas dakwah mereka ditolak oleh masyarakat. Kata Kunci: pengelolaan, surau kaum, masjid nagari, creening, tarekat, mufti dan nagari

الملخص

Page 8: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

V

يقوم البحث في هذ الرسـالة علـى أسـاس واحـد وهـو سـؤال كيـف يكـون اإلنـدماج بـين المؤسسـات العرفيـة

واإلســـالم فـــي مجتمـــع ســـومطرة الغربيـــة قـــادرا علـــى الوقايـــة مـــن التطـــرف (Minangkabau)مينانجكابـــاو

يكــون مــنهج البحـث المســتخدم مــنهج البحــث النــوعي مـن خــالل دراســة الحالــة الواقعيــة. الـديني. فلــذلك

ين, األول ويــتم جمــع بيانــات عــن طريــق الحــوار والمقابلــة والمالحظــة. وســيقوم تــم تحليــل بياناتهــا بنمــوذج

إظهارهـــا الـــذي قــدم تخفـــيض البيانــات ثـــم (Huberman) وهوبرمـــان (Miles)التحليــل التفـــاعلي لمــايلز

لت مــن المنطقتــين ين أنمــاط الوقايــة مــن التطــرف الموجــودة التــي حصــ وتحققهــا. والثــاني تركيــز المقارنــة بــ

Koto) كوتـــو تانغــا ســيماالنجانج و (Sungai Buluah)المختلفتــين وهمــا قريــة ســونغاي بولــوا

Tangah Simalanggang) بطريــق التحليــل المقــارن الثابــت لبــارني ج. جالســير(Barney G.

Glaser) القريــة األولــى معروفــة بصــفة المنطقــة العرفيــة رانتــاو .(rantau) بب شــدة التــدين هنــاك, وأمــا بســ

بب شــدة العــرف فيــه. ويعتمــد اختيــار هــذين المن (luhak)باســم لوحــاك الثانيــة معروفــة ين علــى بســ طقتــ

نظرين: فرق بين أنماط الوقاية من التطرف الموجودة وإجراء الرفض على أنشطة دعوة مجلـس المجاهـدين

السلفية من قبل المنطقتين. و (Majelis Mujahideen Indonesia) االندونيسي

حكومـــة ال اإلنـــدماج بـــين المؤسســـات العرفيـــة مينانجكابـــاو و شـــدةأثبـــت البحـــث فـــي هـــذ الرســـالة أن

ـذ بأربعـة أشـكال: أوال, واإلسالم قادرا على الوقايـة مـن التطـرف الـديني. أمـا أنمـاط الوقايـة مـن التطـرف تنف

إدارة اســــتخدام أمــــاكن للعبــــادة مثــــل المصــــليات والمســــاجد وأيضــــا مــــادات المحاضــــرة والــــدعاة بواســــطة

علـــى أتبـــاع مجلـــس العرفيـــةذ العقوبـــات تنفيـــالمؤسســـات العرفيـــة والدينيـــة والحكوميـــة. ثانيـــا, الترشـــيح مـــن

فــي المســائل المتعلقــة رفــض المشــاركة العرفيــةالمجاهــدين االندونيســي والســلفية ســببا علــى فكــرهم عــن

جمـع القـيم بـين الدينيـة والعرفيـة كمـا بالقرابة نحو الزواج ويعتقدون أن مماثل المجلس العرفي بدعـة. ثالثـا,

نحـو . رابعـا, أداء دور قيـادة الطريقـة (raso jo pareso) جـو باويسـوبفعـل راسـو مينانجكاباوطبقها أهل

للمجتمــــع فــــي المســــائل الدينيــــة خصوصــــا مســــائل الجماعــــات ســــيد وخليفــــة ومرشــــيد كمكــــان الشــــكوى

المتطرفة.

ســونغاي فــي قريــة .ظــاهرة التطــرف الــديني واإلرهــابومواجهــة هاتــان القريتــان لــديهما طــرق مختلفــة لمنــع

ويرجـع : المؤسسـة العرفيـة والمؤسسـة الدينيـة والوكـاالت الحكوميـة. جهـاتعـاون بـين ثـالث بولـوا هنـاك ت

Page 9: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

VI

ذلــك إلــى وجــود أعضــاء الطريقــة الشــطارية داخــل المؤسســات العرفيــة والمؤسســات الحكوميــة. لــذلك، تــم

تجهيـز إدارة أمـاكن العبـادة بمخططـات الواضــح ومنهجيـة ومتفـق عليهـا مـن قبــل تلـك الجهـات التـي تقــول

بمــنهج األشــاعرة عقيــدة، ومــنهج بــأن قريــة ســونغاي بولــوا تتبــع مــنهج أهــل الســنة والجماعــة الــذي تتميــز

الغزالـي تصـوفا، ومــنهج الشـافعي فقهـا. بينمــا فـي قريـة كوتــو تانغـا سـيماالنجانج ال يوجــد تعـاون بـين تلــك

بشــكل مســتقل الجهــات كمــا ال توجــد مخططــات واضــحة ومنهجيــة ومتفــق عليهــا، فتعمــل هــذ الجهــات

في رفضها لتأثيرات من جماعة مجاهدي اإلندونيسـية والحركـة السـلفية. لـذلك يـتم حـل مسـائل الـدين مـن

قبل مجلس المسجد أو المصلي بينما يتم حل المشكلة العرفيـة مـن قبـل ممثـل المجلـس العرفـي فـي حـين

.أن الحكومة ال تشارك في رفض جماعة مجاهدي اإلندونيسية والحركة السلفية

يما ين ثــالث جهــات: المؤسســة العرفيــة والمؤسســة الدينيــة ال ســ وخلــص البحــث إلــى أن التكامــل القــوي بــ

أثير ظـاهرة التطــرف الــديني جماعـة أهــل الطريقـة والوكــاالت الحكوميـة يمكــن أن تحصـن المجتمــع ضـد تــ

ثير واإلرهــاب. مــن ناحيــة أخــرى، فــإن ضــعف التكامــل بــين تلــك المؤسســات يجعــل المجتمــع عرضــة لتـــأ

التطـرف الــديني. هـذا البحــث هــو محاولـة لتطــوير نظريـة الحكمــة المحليــة التـي تــم اسـتخدامها أكثــر لحــل

الصــراع االجتمـــاعي، لكـــن فـــي هـــذ الورقـــة يســـتخدم المؤلـــف تلـــك النظريـــة لمنـــع إنتشـــار فكـــرة و موقـــف

التطرف الديني داخل المجتمع.

المفتي, القرية.قرية , الترشيح, الطريقة, الكلمات المفتاحية: السيطرة, مصلى القوم, مسجد ال

Page 10: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

VII

ABSTRACT

This research aims to prove how the cooperation of the institutional custom of Minangkabau and Islam as a local wisdom in West Sumatera is able to prevent the religious radicalism. This research uses the Qualitative Rsearch Method with the case study approach. The data colection techniques are observation, interview and documentation. The data analysis techniques use the two analysis models those are Miles and Huberman’s Interactive Analysis Models and Barny G. Glaser’s Comparative Constant Analysis. The interactive analyisis models includes data reduction, data display and data verification. While the Comparative Constant Analysis is used to compare the prevention patterns of religious radicalism in the two custom areas that is Sungai Buluah Village as a custom area of rantau and Koto Tangah Simalanggang as a custom area of luhak. The selection of the two areas of research is based on the consideration: First, through the differences of custom areas, it is assumed that there is a difference in the prevention patterns of religious radicalism; Second, these two villages have rejected the activities of da’wah of Salafi and Majelis Mujahidin Indonesia.

The result of this research revealed: the strong cooperation between the institutional custom of Minangkabau, Islam, and nagari (the local government based on custom) are able to prevent the people in these two areas of the research from the religious radicalism. The paterns of prevention of religious radicalism are taken in some forms: First, the management of the places of worship such as the clan surau (surau kaum) and the village mosque (masjid nagri) that is conducted by the screening of the subject and preacher synergistically involving custom insitution, Islmic institution, and local government; Second, empowering the Minangkabau custom institution through giving the custom sanction to Salafi and Majelis Mujahidin Indonesia; Third, framing local narative counter radicalism. Framing the local narative through such as attitudes; Minangkabau people are not only a devout Muslim, but also a strong custom holder and a good citizen. These attitudes opposite to the attitudes of the radical groups that is anti-adat, exclusive and anti-state; Fourth, functioning the tarekat leaders. Tuanku, khalifah, and mursyd are empowered as a reference in religion.

The differences paterns of the prevention of religious radicalism in the two areas of research are: in Sungai Buluah village because the penetration of the Tarekat Syattariyyah is very strong to the custom institution and local government, the management of the places of worship is equipped by the blue print that is Sungai Buluah village embaraces Ahlussunnah Wal Jamaah religious beliefs with the tree system of values: the fiqh of Imam Syafi’i, the misticism of Imam al-Gazali, and the theology of al-Ash’ari. The screening is conducted sinergistically by islamic institution (tarekat leaders), local government and custom institution (custom leaders). While in Koto Tangah Simalanggang village the screening is conducted without the blue print and sinergistically between custom institition, religious institution and local government. The rejection of Salafi and Majelis Mujahidin Indonesia related to religious issues are resolved by the board of the mosque. While related to custom issues are resolved by custom leader. Related to

Page 11: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

VIII

the relegius understanding as a basis for rejection of the religious radicalism, the Islamic inclusivism like Islam-Raso Jo Pareso used to reject the Islamic exclusivism in Koto Tangah Simalanggang. While the values of tarekat and obedience to a tuanku are used to reject the religious radicalism in Sungai Buluah Village.

The conclusion of this research is the strong cooperation between the institutional custom of Minangkabau, Islam, and local government give people an endurance to the influences of religious radicalism. On the contrary, the weak cooperation between the institutional custom of Minangkabau, Islam and local government causes people to be vulnarable to the influences of religious radicalism. This research aims to develop the theory of local wisdom from the beginning is used to the resulution of social conflict to the prevention of religious radicalism. This research is also opposite to the research of Maarif Institute and Delmus Puneri Salim which is concluded: West Sumatera by Islamic spritual guidance (rohis) in schoools and their local identity like Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah are very potential to the development of Islamic Radicalism.

Key Word: management, surau kaum, masjid nagari, screening, nagari, mufti nagari, tarekat

DAFTAR ISI Abstrak

Page 12: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

IX

Kata Pengantar Daftar Isi BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah ................... 13 C. Tjuan Penelitian ....................................................................... 15 D. Signifikansi Penelitian ............................................................. 16 E. Penelitian Terdahulu yang Relevan .......................................... 16 F. Kajian Teori ............................................................................. 19 G. Metodologi Penelitian ............................................................. 25 H. Sistematika Penulisan .............................................................. 30

BAB II. PENCEGAHAN RADIKALISME AGAMA BERBASIS KEARIFAN LOKAL A. Radikalisme dan Agama .......................................................... 31 B. Deradikalisasi, Disengagement, dan Pencegahan ...................... 51 C. Kearifan Lokal bagi Pencegahan Radikalisme Agama .............. 61 D. Mobilisasi Sumber Daya Lokal bagi Pencegahan

Radikalisme Agama ................................................................. 68 E. Politik Lokal bagi Pencegahan Radikalisme Agama ................... 69 F. Pembingkaian Narasi Lokal Kontra Radikalisme Agama ............ 73 G. Kerangka Pemikiran ................................................................... 75 BAB III. ISLAM, ADAT, DAN DINAMIKA GERAKAN

SOSIAL KEAGAMAAN DI SUMATERA BARAT A. Islam dan Adat Minangkabau .................................................. 81 B. Luhak dan Rantau: Varian Keislaman Minangkabau ................ 93 C. Gerakan Padri .......................................................................... 113 D. Gerakan Salafi ......................................................................... 131 E. Gerakan Majelis Mujahidin Indonesia/MMI ............................. 157 F. Koto Tangah Simalanggang dan Sungai Buluah ....................... 168

BAB IV. PENGELOLAAN TEMPAT IBADAH BAGI PENCEGAHAN RADIKALISME AGAMA A. Surau Kaum dan Masjid Nagari ............................................... 196 B. Pola Pengelolaan Surau dan Masjid ......................................... 203 C. Strategi Pengelolaan Tempat Ibadah ....................................... 216

BAB V>. PEMBERDAYAAN ADAT BAGI PENCEGAHAN RADIKALISME AGAMA A. Alasan Adat Menolak Kelompok Radikal ................................ 233 B. Sikap Adat Terhadap Kelompok Radikal ................................. 240 C>. Sanksi Adat Terhadap Kelompok Radikal ................................ 256

BAB VI. PEMBINGKAIAN NARASI LOKAL KONTRA RADIKALISME AGAMA A. Diagnosis Pencegahan Radikalisme Agama ............................. 263 B. Prognosis Pencegahan Radikalisme Agama ............................. 270 C. Bingkai Motivasi Pencegahan Radikalisme Agama ................. 277

BAB VII. PERANAN TAREKAT BAGI PENCEGAHAN

Page 13: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

X

RADIKALISME AGAMA A. Tarekat dan Struktur Sosial Nagari ....................................... 291 B. Kharisma Tokoh Tarekat ....................................................... 300

BAB VIII. PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 315 B. Saran ....................................................................................... 318

DAFTRA PUSTAKA

Page 14: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebuah lembaga survei, Lazuardi Biru menyebutkan bahwa Indonesia masih rentan terhadap radikalisme dan terorisme. Survei yang dilakukan pada bulan Juni hingga Juli tahun 2011 menunjukan indeks kerentanan radikalisme di Indonesia sebesar 43, 6, turun 1,44 dari tahun sebelumnya 45,4. Hasil ini diperoleh setelah dilakukan survei dengan teknik multistage random sampling terhadap 4.840 responden di 33 provinsi di Indonesia. Adapun komposisi perbandingan agama responden adalah Islam sebesar 86, 3 persen, Kristen 11,1 persen, dan agama lainnya 2,6 persen. Meski indeks kerentanan radikalisme itu turun dari tahun sebelumnya, namun statusnya masih rentan radikalisme. Karena hasil sebesar 43,6 itu masih jauh dari tingkat aman, yaitu pada level 33,3. Angka-angka itu mungkin bisa berubah dikarenakan peningkatan eskalasi tindakan radikalisme agama yang marak terjadi belakangan ini seperti kasus Talikora dan Singkil.1 Sementara hasil survei terbaru terkait dengan tindakan radikal adalah hasil survei yang dilakukan oleh Wahid Foundation bersama Lingkar Survei Indonesia pada tahun 2016 yang mengungkapkan bahwa 11 juta dari 150 juta penduduk Indonesia siap melakukan tindakan radikal. Jumlah tersebut mencapai 7,7 persen dari total penduduk Muslim Indonesia. Sedangkan 600 ribu atau 0,4 persen penduduk Muslim Indonesia pernah melakukan tindakan radikal.2

Gerakan Islam radikal secara umum dapat diartikan sebagai tindakan yang secara sadar dilakukan baik merupakan aksi, reaksi maupun tanggapan, yang dilandasi oleh seperangkat sistem keyakinan (ideologi) yang dianut oleh kelompok-kelompok tersebut. Gerakan ini tidaklah bersifat individual, tetapi kolektif dan terorganisir, serta ditujukan untuk perubahan tatanan lama (sistem nilai, budaya, politik yang bersifat sekularistik) ke arah tatanan yang benar-benar baru (berdasarkan nilai-nilai Islam).3 Azra di samping membagi gerakan Islam radikal kepada dua tipologi yakni pra-moderen yang direpresentasikan oleh gerakan Wahabi dan kontemporer yang direpresentasikan oleh Ikhwanul Muslimin (IM) dengan tokoh-tokoh seperti al-Bana, Quthb, dan Maududi yang lebih banyak berbicara tentang kebobrokan modernitas karenanya perlu ditolak, juga menyebut adanya radikalisme klasik yang dipelopori oleh kelompok Khawarij yang lebih

1Fathiyah Wardah, “Indeks Radikalisme di Indonesia Menurun”, VOA Indonesia, 5

Oktober 2011, https://www.google.co.id/amp/s/www.vaoindonesia.com/amp/99010.html?espv=1 (diakses, 5 April 2018)

2 Imam Hamdi, “Yeny Wahid: 11 Juta Warga Siap Lakukan Tindakan Jihad”, Tempo.co, 17 Februari 2017, https://nasional.tempo.co/read/847391/yenny-wahid-11-juta-warga-siap-lakukan-tindakan-radikal (diakses,21 April 2018)

3M. Zaki Mubarak, Geneologi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2007), 53

Page 15: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

2

eksrim dengan motto, tidak ada hukum, kecuali hukum Allah.4 Berdasarkan tindak kekerasan yang dilakukannya baik simbolik maupun aktual, Nur Syam, merilis gerakan-gerakan Islam yang tergolong radikal yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Mujahidin Indoneisa (MMI), Salafi, Laskar Jundullah, Laskar Jihad, dan Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKWJ).5

Ryamizard Ryacudu mengatakan, radikalisme telah menjadi ancamaan terbesar bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Indonesia saat ini telah menjadi sasaran radikalisme. 4,4 % dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia ideologinya masih rentan, karena memilih untuk tidak menjawab penolakan terhadap ISIS. Berarti ada 8 juta jiwa warga negara ini perlu diwaspadai, karena idologinya masih rentan.6

Pasca konflik Talikora dan Singkil, radikalisme agama juga tak kunjung pupus di negara ini. Tahun 2016 ini saja, telah terjadi beberapa tindak radikalisme agama. Di beberapa daerah aksi-aksi radikal banyak bermunculan di antaranya: pertama, ketua Forum koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT), Adul Muhaimin mengatakan Yogyakarta merupakan daerah subur penyebaran paham radikal. Di samping didorong oleh sikap permisif warganya, di kampus-kampus juga ada klaster-klaster diskusi pendidikan nilai dasar Islam, Usroh, di samping berkembang juga komando jihad.7 Di antara bentuk-bentuk tindakan radikal di daerah ini adalah, tanggal 2 April 2016 Forum Jihad Islam (FJI) Yogyakarta mengeruduk acara Lady Fast di Studio Survive Gerage Batul, DIY dengan alasan, acara tersebut ajang maksiat8; kedua, 8 April 2016 FPI dan beberapa ormas Islam lain mendatangi Pusat Kebudyaan Perancis, IFI, Bandung dan meminta aparat kepolisian membatalkan acara teater Tan Malaka, karena dianggab berbau komunis.9

4Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme,

Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), 113 5Nur Syam, “Radikalisme dan Masa Depan Hubungan Agama-Agama: Rekonstruksi

Tafsir Sosial Agama” (Makalah dipresentasikan pada Pengukuhan Guru Besar 11 Juni 2010, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010), 2

6Ilham Wibowo, “Menhan Sebut 8 Juta WNI Rawan Radikal”, Media Indonesia, 29 Maret 2016. http://m.mediaindonesia.com/read/detail/37054-menhan-sebut-8-juta-wni-rawan-radikal. (diakses 5 April 2018)

7 Muhammad Syaifullah, “Bibit Radikalisme dan Terorisme Tumbuh Subur di Yogyakarta”, Tempo.co, 25 Maret 2016. https://nasional.tempo.co/read/756917/bibit-radikalisme-dan-terorisme-tumbuh-subur-di-yogya, (diakses 5 April 2018)

8 Editor, “Polisi dan Ormas Bubarkan Acara Lady Fast di Yogyakarta”, BBC Indonesia, 3 April 2016 http://www.bbc.com/indonesia/2016/04/160403-indonesia-diskusi-perempuan-bubar-ormas. (diakses, 5 April 2018)

9Anwar Siswadi, “FPI Ancam Bubarkan Teater Tan Malaka”, Tempo.co., 23 Maret 2016.https://nasional.tempo.co/read/756359/fpi-ancam-bubarkan-teater-tan-malaka, (dikses 5 April 2018)

Page 16: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

3

Terkait dengan tumbuh suburnya aksi-aksi radikalisme di pulau Jawa apabila dibandingkan dengan di daerah lain, menarik untuk mencermati pernyataan Bambang Pranowo dalam bukunya Orang Jawa Jadi Teroris. Dalam buku ini Bambang Pranowo menceritakan, kalau tahun 80--90-an beliau terkesan dengan proses Islamisasi di Jawa yang sangat kultural sehingga sulit membedakan mana orang Jawa yang abangan dengan mana yang santri. Tetapi sekarang terutama pasca reformasi persoalannya semakin rumit, sulit membedakan mana yang santri dan mana yang teroris.10 Buku ini ditulis oleh Bambang Pranowo didorong oleh pertanyaan Azyumardi Azra, kenapa para teroris itu kebanyakan orang Jawa?, meski tidak bisa dipungkiri bahwa Sumatera Barat juga dikenal radikal melalui gerakan Padri.11 Karenya Jeffrey Hadler menyebut perang Padri sebagai jihad Islam versus Islam pertama di Asia Tenggara.12 Tetapi pasca konsensus kelompok adat yang sering juga disebut dengan kelompok hitam (karena orang adat lazim menggunakan pakaian warna hitam) dan kelompok agama dengan sebutan kelompok putih (karena orang Padri memakai jubah berwarna putih), radikalisme agama tidak lagi menjadi fenomena yang kentara di Sumatera Barat yang dihuni oleh mayoritas masyarakat beretnik Minangkabau ini.13 Terkait dengan hal ini Azra mengatakan, radikalisme Islam tidak hanya terjadi pada skala global dan regional, tetapi juga pada skala lokal. Tingkat ancamannya juga beragam, mulai dari ringan, menengah, sampai pada tingkat ancaman yang berat. Untuk kasus Sumatera Barat, radikalisme nampaknya masih berada pada tingkat ancaman ringan dan juga termasuk kategori lokal.14

Pernyataan Azra di atas juga dikuatkan oleh hasil survei yang dilakukan oleh BNPT yang tidak memasukan Sumatera Barat pada kategori daerah-daerah zona merah tindakan terorisme. Kepala Subdit Kewaspadaan BNPT RI, Andi Intan Dulung merilis 12 daerah yang masuk zona merah tindakan terorisme, yakni: Jawa Tengah, Aceh, Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, NTB, dan Bali.15 Terkait dengan fenomena di atas, menarik juga untuk ditelususi lebih jauh pernyataan Dobbin bahwa Padri tidak pernah secara mutlak menguasai daerah yang luas, apalagi menguasai Minangkabau, karena Padri tidak mengakar di nagari dengan bingkai kultur matrilineal. Kemudian dalam nasehatnya kepada putranya sebagai

10Bambang Pranowo, Orang Jawa Jadi Teroris (Jalarta: Alvabet, 2011), i 11 Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisonal dalam Transisi dan

Modernisasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), 72 12 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformasi Agama, dan

Kolonialisme di Minangkabau (Jakarta: Freedom Institut, 2008), 33 13Yulizal Ynus, Minangkabau Social Movement (Padang: Imam Bonjol Pres, 2015),

135 14Azyumardi Azra, “Memahami Radikalisme” (dalam Islam Radikal di Sumatera

Barat Pasca Orde Baru 1998-2012, Tangerang, LSIP, 2015), vi 15Ika Fitriana, “Ini 12 Daerah yang Masuk Zona Merah Terorisme”, Kompas.com. 1

Juni 2016. https://regional.kompas.com/read/2016/06/01/07410011/Ini.12.Daerah.yang.Masuk.Zona.Merah.Terorisme, (diakses Rabu 1 Juni 2016

Page 17: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

4

pengganti dirinya, Tuanku Imam Bonjol sebagai tokoh Padri telah memoderasi sikapnya terhadap penghulu yang semula dianggapnya musuh dengan ungkapan, akui hak-hak penghulu adat, taati aturan mereka, kalau tidak bisa ditaati, maka ia bukan penghulu yang benar dan hanya memiliki gelar saja. Sedapat mungkin setialah pada adat, dan kalau pengetahuanmu belum cukup, pelajarilah dua puluh sifat-sifat Allah.16

Terkait dengan hal di atas, dua hal yang membutuhkan kajian lebih lanjut adalah kenapa ancaman kelompok-kelompok radikal masih berada pada level ancaman ringan di Sumatera Barat? apa yang menjadi piranti bagi masyarakatnya sehingga tercegah dari paham-paham radikal dimaksud? apakah kuatnya kerjasama kelembagaan adat Minangkabau, Islam, dan pemerintah nagari sebagai sebuah kearifan lokal masyarakatnya bisa dianggap sebagai piranti untuk tercegah dari radikalisme agama, merupakan masalah-masalah pokok yang ditelaah lebih jauh dalam penelitian ini.

Sumatera Barat adalah satu dari 35 provinsi di Indonenesia. Provinsi ini dihuni oleh mayoritas masyarakat beretnik Minangkabau. Karenanya sistem sosial Minangkabau mempengaruhi sistem sosial masyarakatnya. Pasca digulirkannya otonomi daerah, Sumatera Barat kembali kepada sistem pemerintahan berbasis adat yang disebut dengan nagari. Dalam Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 dinyatakan, bahwa nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau yakni, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dan atau berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat dalam Wilayah Provinsi Sumatera Barat. Pemerintahan nagari adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Nagari dan Badan Permusyawaratan Nagari berdasarkan asal-usul nagari di wilayah Provinsi Sumatera Barat yang berada dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan

16 Christine Dobbin, Kebangikitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang

Berubah, Jakarta: INIS, hal 178 dan 193. Permasalahan ini juga dikupas oleh Jeffrey Hadler (2010) dalam hasil penelitiannya, Sengketa Tiada Putus; Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau. Dalam buku ini Hadler mengatakan, di Sumatera Barat, reformisme Padri membatasi diri sendiri dan akhirnya menjadi fleksibel, bahkan mau berdamai. Dan matriarkat selamat melalui kolonialisme, karena ia terlebih dahulu sudah terideologisasi dan diperkuat waktu menghadapi kritikan Padri. Tradisi matriarkat bertahan bukan walaupun ada serangan Padri neo-Wahabi, melainkan karena itu. Dengan formula “Adat Sasandi Syarak, Syarak Sasandi Adat” pemimpin-pemimpin Padri dan adat berhasil berkompromi dan mempertahankan kekhasan budaya Minangkabau. Intervensi militer Belanda tidak menyembuhkan Minangkabau dengan memotong putus infeksi Padri. Konflik tersebut terselesaikan secara internal dan lewat dialog. Hal yang sama juga bisa dilihat dalam buku Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, dengan mengutip Ronkel, Taufik mengatakan, dalam kata perpisahannya dengan anaknya, sebelum di buang, Imam Bonjol menekankan keharusan memberlakukan adat dan agama, dalam mengatur kehidupan sosial dan pribadi.

Page 18: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

5

Republik Indonesia.17 Secara tradisional, nagari memiliki beberapa persyaratan yakni: 1) masjid dan balairung, 2) bersawah dan berladang, 3) bertepian tempat mandi, 4) berpasar dan bergelanggang. Selain itu untuk melengkapi sebuah nagari mesti ada pula urang nan ampek jinih (orang yang empat jenis), yakni: a) penghulu, b) alim ulama, 3) manti, dan d) dubalang.18

Dalam kontek Sumatera Barat radikalisme agama tidak jarang dikaitkan dengan gerakan Padri. Azra mengatakan, gerakan Padri bermula dari pembaharuan moderat yang dilancarkan Tuanku Nan Tuo dari murid-muridnya di Surau Koto Tuo, Agam, sejak perempatan terakhir abad ke-18. Oposisi keras dari para pembaharu moderat dan kaum adat merupakan faktor penting yang mendorong terjadinya radikalisasi gerakan pembaharuan ini oleh murid-murid Tuanku Nan Tuo, khususnya Tuanku Nan Renceh. Kembalinya pada tahun 1803 tiga haji—Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang setelah melaksanakan ibadah haji di Mekah pada waktu kaum Wahabi berjaya di Tanah Suci dianggap sebagai trigger gerakan jihad kaum Padri melawan kaumuslimin yang menolak mengikuti ajaran keras mereka. Di antara pokok-pokok pandangan Kaum Padri yang kelihatan mirip dengan ajaran Wahabi adalah oposisi terhadap bid’ah dan khurafat, dan pelarangan penggunaan tembakau dan pakain sutra.19

Di samping gerakan Padri, beberapa gerakan militan lain yang pernah mengisi lembaran sejarah orang Minangkabau adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Silungkang pada tanggal 1 Januari 1927 dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 15 Februari tahun 1958. Berbeda dengan gerakan Padri, dua gerakan ini lebih bernuansa politik. Schrieke mengatakan, penerimaan masyarakat Sumatera Barat terhadap ajaran komunis yang sering disebut oleh masyarakat lokal Sumatera Barat sebagai ilmu komunih lebih banyak dikaitkan dengan perpaduan ajaran Islam dengan ide-ide anti penjajahan Belanda, anti imperealisme, anti kapitalisme yang diusung oleh PKI. Karenanya, perjuangan PKI yang pertama di bawa oleh Datuk Batuah

17Sekretariat Daerah Sumatera Barat, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat

Nomor 2 Tahun 2007 tentang “Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari” 18Duski Samad, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau; Syarak Mandaki

Adat Manurun, (Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2002), hal. 119-120. Hal ini juga bisa dilihat dalam buku Amir M, S., Adat Minangkabau; Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Dalam buku ini dijelaskan, nagari memiliki persayaratan sebagai berikut; 1) baampek suku—pemukiman baru boleh disebut nagari bila penduduk di pemukiman itu sudah tersusun sekurang-kurangnya empat suku, 2) babuah paruik—terdiri dari sekurang-kurangnya empat generasi yang dihitung dari perempuan, 3) tuo kampuang—orang yang dituakan dalam satu suku, biasanya mamak tertua, 4) tungganai—mamak rumah yang yang diambil dari saudara laki-laki ibu. Sementara perangkat pemerintahan nagari terdiri dari empat unsur yakni; penghulu—menyelesaikan dan menghukum anak-kemenakan yang bersalah sepanjang adat; malin—menyelesaikan dan menghukum anak-kemenakan yang bersalah sepanjang syarak; manti, menyelesaikan dan menghukum sengketa anak nagari; dubalang—menghukum dan mengamankan nagari bila terjadi keributan dan perperangan.

19Azra, Surau, 111

Page 19: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

6

pada tahun 1923 ke Sumatera Barat ini lebih banyak ditujukan pada usaha-usaha melepaskan diri dari penjajahan Belanda yang memerankan diri sebagai penjajah, imperealis, dan kapitalis.20 Sementara George McT. Kahin, menyebut gerakan PRRI sebagai gerakan militan regional untuk otonomi politik--sebuah gerakan yang merefleksikan tumbuhnya ketidakpuasan lokal yang disebabkan oleh pola ekonomi yang terpusat di pulau Jawa.21

Pasca reformasi ada dua kelompok kegamaan dalam Islam yang mengemuka di Sumatera Barat, yakni Salafi dan Majelis Mijahidin Indonesia (MMI). Sama halnya dengan Padri, Salafi juga mengusung ide purifikasi praktek ubudiyah dari praktek-praktek tahyul, khurafat, dan bid’ah dan mengetatkan diri pada kehidupan nabi dan shabat. Salafi muncul di Suamtera Barat tahun 1998.22 Kajian-kajian Salafi dilaksanakan di rumah-rumah jemaah Salafi seperti di rumah dr. Amri Mansur--ex laskar Jihad dari Sumatera Barat ketika Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKWJ) terbentuk dan memfatwakan wajib jihad ke Maluku. Polemik tentang keharusan jihad ke Maluku inilah yang pada akhirnya membelah Salafi Sumatera Barat menjadi dua yakni Salafi Yamani yang masih kokoh dengan nilai-nilai kesalafiannya yang murni seperti tidak ikut memilih dalam pemilu, tidak berorganisasi dan lainnya dan Salafi Sururi yang sedikit merelatifkan dokrin kesalafiannya dengan membolehkan jemaahnya untuk ikut memilih dalam pemilu dengan persyaratan kedekatan manhaj dengan tokoh atau partai peserta pemilu. Tetapi keduanya masih memiliki komitmen yang sama--kehadiran mereka di Sumatera Barat mengutip aporisme Minangkabau adalah mambangkik batang tarandam/menghidupkan kembali dari bengkalai/ kerja yang belum terselesaikan oleh kaum Padri. Tokoh Salafi Sumatera Barat, Muhammad Elvy Syam menegaskan, dakwah Salafi pada mulanya telah disebarkan oleh tokoh-tokoh Minangkabau semenjak dua abad yang lalu yang dipelopori oleh tiga orang ulama atau pemuka masyarakat Minangkabau yakni Haji Sumanik, Haji Piobang, dan Haji Miskin. Ketiga ulama ini menimba ilmu di masjid Haram dengan gurunya di sana pada zaman itu adalah Syeikh Muhammad Abdul Wahab. Namun dakwah mereka menurun setelah tertangkapnya Tuanku Imam Bonjol. Sekarang masyarakat Sumatera Barat dangkal dalam berakidah dan beribadah sesuai sunnah. Tugas dari kehadiran Salafi di Sumatera Barat sebagaimana telah menjadi motto yayasan Dar el Iman sebagai lembaga milik Salafi adalah “menjadikan Sunnah sebagai cahaya yang akan menerangi gelapnya bid’ah”.23 Dalam aktivitas dakwahnya Salafi tidak jarang terlibat konflik dengan masyarakat yang berujung pada penolakan terhadap dakwah-dakwah mereka.

20BJ.O, Schrieke, Indonesian Sociological Studies I (Bandung: Sumur Bandung,

1960), 155 21 George McT. Kahin, “In Memoriam: Syafruddin Prawiranegara” (1911-1989),

Indonesia, No. 48 (Oct., 1989, PP.103, http://www.jstor.org/stable/3350680 (accessed: 30-05-2017)

22Hilmi, Tesis: “Pergulatan Kumunitas LDII di Kediri Jawa Timur” (Jakarta: UI, 2012), 152

23Sefriyono, Gerakan Kaum Salafi (Padang: Imam Bonjol Press, 2015),33

Page 20: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

7

Masyarakat nagari Sungai Buluah Kabupaten Padang Pariaman melakukan penolakan terhadap dakwah Salafi, salah satu alasan penolakan itu adalah perubahan pola khotbah jumat yang sebelumnya berjalan dengan tradisi Tarekat Syattariyah, diganti oleh Salafi dengan pola khotbah yang mereka miliki.

Di samping Salafi, Majelis Mujahidin Indoneisa (MMI) juga merupakan salah satu ormas keislaman yang memperlihatkan eksistensinya di Sumatera Barat pasca reformasi dan dalam aktivitas dakwahnya juga banyak terlibat konflik dengan masyarakat lokal di Sumatera Barat, salah satunya dengan masyarakat Nagari Koto Tangah Smalanggang yang juga berujung pada penolakan terhadap aktivitas dakwah mereka. Di antara faktor penolakan tersebut adalah MMI diduga terkait dengan jaringan teroris dan MMI merendahkan adat Minangkabau dengan pandangan-pandangan keagamaan mereka, seperti adat tidak perlu dalam upacara pernikahan. MMI ada di Sumatera Barat pada tahun 2004 dengan ketuanya Zulkifli Lc. dan sekretarisnya Hasnul. Di Sumatera Barat MMI menjadikan Payakumbuh sebagai pusat gerakan.24 Sebagai ormas Islam yang berkomitmen pada penegakan syariat Islam, MMI didukung oleh ormas penyokong yakni Komite Penegak Syariat Islam (KPSI). Perubahan konstelasi politik nasional dan lokal telah ikut mempermudah pelembagaan KPSI di Sumatera Barat. Pada tingkat nasional, lahirnya Unang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah telah menguatkan tokoh-tokoh Sumatera Barat untuk menyegerakan terselenggaranya pemerintahan lokal yang disebut dengan nagari. Respon terhadap Undang-undang ini melahirkan Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari. Melalui adagium kembali ka surau (kembali ke surau), kehadiran nagari merupakan salah satu usaha untuk mewujudkan aporisme adat Minangkabau, Adat Basandi Syarak Syarak Basabdi Kitabullah (ABS-SBK). Dua momen ini dimanfaatkan oleh MMI untuk menguatkan keberadaan mereka di ranah Minangkabau. Bagi MMI, ABS-SBK mesti didukung oleh lembaga pendamping yang dalam hal ini adalah KPSI>. Karenanya tanggal 26 Juli 2006 KPSI dideklarasikan di Sumatera Barat oleh ketua MMI pusat yakni Abu Bakar Ba’asyir. Adapun visi dari KPSI adalah terwujudnya penegakan syariat Islam sebagai sumber hukum secara kaffah di Minangkabau. Melalui visi tersebut gerakan KPSI bermaksud meluruskan dan memberikan contoh konkrit bagaimana layaknya menjadi umat Islam seutuhnya yang berlandaskan pada Al-Quran dan Sunnah. Sama halnya dengan gerakan penegakan syariat Islam terdahulu di Ranah Minangkabau yakni gerakan Padri, MMI juga menjadikan puritanisme sebagai ideologi gerakannya.25

Untuk tingkat Sumatera Barat, terutama pasca reformasi, radikalisme agama terlihat dari sikap-sikap beragama berikut: pertama, tudingan penyakit masyarakat (PEKAT) oleh Salafi terhadap amalan-amalan tarekat di kabupaten Lima Puluh Kota dan Kota Payakumbuh, sehingga memicu konflik sosial antara kedua

24Hasnul, Mantan Sekretaris MMI Sumbar, Wawancara 25 Oktober 2017 25Rudi Hartono, Skripsi. “Komite Penegakan Syariat Islam/KPSI Sumatera Barat

(2006-2009)”. (Padang: Universitas Andalas, 2012), 4 http://repository.unand.ac.id/id/eprint/16815. (diakses, 24 Juni 2018)

Page 21: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

8

kelompok keagamaan ini; kedua, di Kota Padang terutama Salafi Yamani tidak mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) pada pemilihan umum, dengan alasan demokrasi bid’ah, tidak sesuai dengan sistem Islam26 ; ketiga, terkait dengan kasus dugaan pelecehan al-Quran oleh Muhammad Kristiawan, dosen filsafat pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Paga Nagari Sumbar, Komite Penegakan Syariat Islam Indonesia (KPSI), dan MTKAAM Sumatera Barat menyelenggarakan acara pentaubatan ulang terhadap Muhammad Kristiawan di hotel Nabawi Padang pada tanggal 27 April 201527; kempat, penggantian pola khotbah jumat dengan pola Tarekat Syattariyyah ke pola salafisme oleh da’i Salafi di nagari Sungai Buluah dan tuduhan liberal terhadap Pesantren Nurul Yakin Kabupaten Padang Pariaman28; kelima, adat tidak perlu karena bertentangan dengan Islam yang benar oleh Salafi dan MMI di Nagari Koto Tangah Simalanggang kabupaten Lima Puluh Kota.29

Meski Indonesia rentan radikalisme dan terorisme, namun penanganannya lebih banyak berada pada level kekerasan senjata ketimbang kultur--penanganan radikalisme agama banyak dilakukan dengan cara represif atau kuratif ketimbang preventif dan preservatif--pengendalian sosial kuratif lazim dilakukan pada tindak radikalisme agama yang telah terjadi, dalam rangka memulihkan keadaan. Sementara penanganan prenventif terlaksana dalam bentuk pencegahan terjadinya radikalisme agama dimaksud.30 Penanganan preservatif yang dilakukan dalam bentuk memelihara kelompok-kelompok moderat seperti Muslim moderat juga jarang dilakukan dalam pola penanganan radikalisme agama di Indonesia.31

Yudi Zulfachri, mantan narapidana teroris mengungkapkan bahwa program deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah hanya baru sampai mengubah perilaku radikal tetapi tidak menghilangkan ideologi radikal yang sudah tertanam pada seorang teroris. Salah satu objek deradikalisasi tersebut adalah memoderasi paham radikal, karenanya sangat terkait dengan ideologi, tetapi hal ini tidak banyak tersentuh.32

26Sefriyono, Gerakan, 105 27 Editor, “Dosen Liberal Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB)

Penginjak Al-Quran Akhirnya Bertaubat” MinagkabauNews.com., 28 April 2015,https://www.google.co.id/amp/s/minangkabaunews.com/amp-5633-dosen-liberal-umsb-penginjak-alqir’an-akhirnya-bertaubat.html?espv=1. (diakses 19/05/2015)

28Latiful Kabir, Da’i Salafi, Wawancara, 8 Agustus 2017 29Dt. Mangiang Nan Sati, Penghulu, Wawancara, 19 Desember 2017 30Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan

Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pencegahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 255-256

31Abu Rokhmad, “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi, Walisongo”, Volume 20, Nomor 1, (Mai 2012): 110

32 Editor, “Ini Kelemahan Porgram Deradikalisasi BNPT Menurut Eks Napi Terorisme”, Liputan6, 19 Mai 2018. https://www.liputan6.com/news/read/3531373/ini-kelemahan-program-deradikalisasi-bnpt-menurut-eks-napi-terorisme. (diakses, 25 Juni 2018)

Page 22: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

9

Pada dasarnya masyarakat mempunyai cara-cara tersendiri dalam menangani persoalan mereka, termasuk persoalan radikalisme agama. Salah satu cara dimaksud adalah dengan memberdayakan potensi sosio-kultural yang mereka miliki. Sayangnya pendekatan ini jarang diberdayakan dalam menangani persoalan radikalisme agama. Selama ini kearifan lokal lebih banyak diberdayakan dalam penanganan konflik sosial--masyarakat bisa terimun dari konflik destruktif melalui kepatuhan mereka terhadap nilai dan norma lokal yang mereka miliki. Radikalisme dan konflik pada dasarnya mempunyai kesamaan yakni sama-sama menempuh cara-cara kekerasan dalam mewujudkan cita-cita mereka. Ke depan diharapkan penanganan radikalisme agama bisa dilakukan dengan cara lebih banyak mengakomodasi kearifan lokal yang ada dalam masyarakat.

Kearifan lokal bisa dimaknai dengan suatu sintesa budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang berulang-ulang, melalui internalisasi dan interpretasi atas ajaran agama dan budaya yang disosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman hidup sehari-hari bagi masyarakat. Kearifan lokal yang merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat tersebut, berupa: (1) tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirarki dalam pemerintahan adat, aturan perkawinan antar klan, dan tata krama dalam kehidupan sehari-hari, (2) tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan alam, binatang, tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi alam seperti di Maluku ada sisa darat dan sisa laut, (3) tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya Tuhan dan roh-roh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, dan kata-kata bijak.33

Kearifan lokal memiliki peran vital dalam masyarakat. Di antara peran-peran tersebut adalah: pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas seperti identitas yang menunjukan bahwa komunitas tersebut memiliki budaya perdamaian yang berarti komunitas tersebut merupakan komunitas yang beradab; kedua, menyediakan adanya aspek kohesif berupa elemen perekat lintas agama, lintas warga, dan kepercayaan; ketiga, berbeda dengan penerapan hukum positif sebagai media resolusi konflik yang selama ini jamak dilakukan oleh para penegak hukum yang kesannya mamaksa; keempat, memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas dan dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama menepis berbagai kemungkinan yang dapat meredusir, bahkan merusak solidaritas komunal, yang dipercaya berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas yang terintegrasi; kelima, merubah pola pikir dan hubungan timbal balik antara individu dan kelompok, dengan meletakannya di atas kebudayaan yang dimiliki.34

33Editor, “Kearifan Lokal Sebagai Landasan Pembangunan Bangsa”, Harmoni: Jurnal

Multikultural dan Multireligius, Volume IX, Nomor 34, April—Juni (2010): 5 34Wasisto Raharjo Jati, “Kearifan Lokal sebagai Resolusi Konflik Keagamaan”

Wali Songo, Volume 21, Nomor 2, November (2013): 398

Page 23: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

10

Kearifan lokal layaknya sebuah kebudayaan selalu melakukan reproduksi sesuai dengan tingkat kebutuhan manusia dan pola-pola adaptasi kebudayaan. Proses reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang menegaskan kebudayaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.35 Sebagai sebuah produk kebudayaan, reproduksi kearifan lokal sangat bergantung pada apa yang disebut Geertz dengan world view kelompok sosial tertentu. World view merujuk pada sebuah pemahaman intelektual, cara berfikir tentang dunia dan kerjanya yang lazim pada kelompok sosial tertentu baik dengan basis agama, etnik, dan politik.36 Ketika world view tersebut dinggab tidak lagi dianggap mumpuni dalam menyelesaikan problem sosial seperti pelagandog yang selama dianggab sebagai world view harmoni sosial, akan tetapi karena dianggap belum mampu meredam konflik yang terjadi di Ambon dan Maluku, maka reproduksi kebudayaan akan terjadi sehingga terbentuk world view yang baru yang dianggab lebih mumpuni. Ketika desa-desa di Ambon misalnya dilanda konflik etno-religius yang berkepanjangan, masyarakat desa Wayame kecamatan Teluk Ambon, Baguala mereproduksi dan meintrodusir pranata lama yang diperbarui dengan membentuk Tim 20 untuk melindungi desa mereka dari konflik destruktif. Tim ini merupakan bentukan warga berdasarkan musyawarah. Anggotanya 20 orang, 10 orang mewakili Muslim dan 10 orang mewakili Kristen. Tugas tim ini adalah merespon dan memecahkan berbagai masalah yang dapat mendorong terjadinya konflik, menetapkan sanksi sosial bagi warga yang tidak menaati peraturan di desa ini dan melakukan koordinasi dengan pemerintah. Reproduksi kearifan lokal ini telah mampu menyelamatkan masyarakat Wayame dengan tingkat keragaman agama yang tinggi dari konflik destruktif.37

Salah satu cara yang paling ampuh untuk pencegahan, penanganan, dan pemeliharaan perdamaian adalah dengan memfungsikan pranata-pranata sosial yang ada, atau dibentuk dan disepakati pranata sosial baru. Pranata sosial itu dapat berbentuk norma, nilai, kepercayaan, dan aturan yang disepakati bersama dan diakui. Pranata lama, sebagaimana yang telah dianggap sebagai kejeniusan setempat (local genius), kearifan masyarakat lokal (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge) seperti pelagandong di Maluku, strata kekerabatan dalihan na tolu di Sumatera Utara, tungku tigo sajarangan di Sumatera Barat, subak di Bali dan slametan di Jawa.38 Dalam konteks nagari di Sumatera Barat, refleksi dari tungku tigo sajarangan ini adalah unsur agama direpresentasikan oleh mamak ibadat, unsur Adat Minangkabau direpresentasikan mamak adat/penghulu, dan cadiak pandai direpresentasikan oleh pemerintah nagari. Ketiga unsur ini merupakan turunan dari struktur sosial Minangkabau,

35Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2010), 41 36A. Syafi’i Mufid, “Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Pemberdayaan Masyarakat”

Harmoni Jurnal Multikultural dan Multireligius, Vol. IX Nomor 34, (2010): 85 37A. Syafi’i Mufid, Revitalisasi, 85 38A. Syafi’i Mufid, Revitalisasi, 89

Page 24: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

11

yakni Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat. Tiga unsur yang memegang otoritas dalam kepepemimpinan di Minangkabau ini bekerja secara sinergis.

Tidak masifnya dan mengancamnya kelompok-kelompok radikal di Sumatera Barat tidak bisa dilepaskan dari masih kuatnya relasi adat, agama, dan pemerintah di tingkat lokal yang lazim disebut dengan nagari, di samping nilai-nilai budaya Minangkabau itu sendiri yang tidak akomodatif terhadap kekerasan. Umumnya kelompok-kelompok radikal seperti Salafi dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) anti terhadap adat, sementara masyarakat Minangkabau memiliki moto Adat Basandi Sarak Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), Syarak Mangato adat Mamakai (SMAM). Relasi agama dan adat ini pada masa perang Padri diprakporandakan oleh kaum Padri seperti yang dilakukan oleh Tuanku Nan Renceh yang banyak menghancurkan surau, yang dalam masyarakat Minangkabau tidak hanya dijadikan sebagai pusat agama tetapi juga pusat pelestarian dan pelembagaan adat. Mengganti struktur masyarakat Minangkabau dari berbasis geneolgis matrilineal yang puncaknya adalah sistem pemerintahan nagari yang otonom menjadi struktur masyarakat agama berbasis keyakinan yang universal dan sentralistik. Sejarah kelam konflik kaum adat dengan kaum agama ini dihentikan oleh kedatangan Belanda dan konsensus antara keduanya (kaum adat dan kaum Padri) yang akhirnya melahirkan moto orang Minangkabau yakni ABS-SBK di atas.39 Di samping itu, Minangkabau memiliki aporisme-aporisme adat yang sangat mendorong terciptanya keharmonisan sosial sebagai piranti untuk tidak radikal seperti lamak dek awak katuju dek urang (enak sama kita, juga enak sama orang/tidak egois), sadancing bak basi, saciok bak ayam (sama-sama menjaga keutuhan masyarakat lawan dari perpecahan), dima bumi dipijak disinan lagging dijunjuang, dima rantiang dipatah disinan aia disauk (taat pada aturan), ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun (kebersamaan), sasakik sasanang (saling merasakan sakit), sahino samalu (sama-sama menanggung malu), rantau balabuhan, dagang batapatan (orang yang merantau mesti ada yang dituju/ditepati) dan lain-lain.40 Kearifan lokal seperti ini yang disebut Doddy Soedigdo dengan kearifan lokal intangibel–kearifan lokal yang tidak berwujud seperti yang terdapat dalam petuah-petuah yang disampaikan secara verbal dan

39Yulizal Yunus, Minangkabau, 142 40Sefriyono, Harmoni dalam Keragaman Agama: Dari Politik Rekognisi ke Politik

Representasi (Padang: Imam Bonjol Press) hal. 50. Hal ini juga bisa dilihat dalam buku Pertalian Adat dan Syarak, karya Hamdan Izmy. Dalam buku itu disebutkan beberapa pepatah adat yang mengharuskan orang Minangkabau bersikap moderat dan komformis seperti “lain nagari lain adat, lain lubuak lain ikan, lain padang lain belalang. Di mana batang terguling di sana cendawan tumbuh, di mana tanah dipijak di sana langit dijunjung, di mana nagari dihuni di sana adat dipakai”. Kearifan bersikap orang Minangkabau terutama dalam menyelesaikan masalah juga bisa dipahamai dari pepatah adat berikut; “ibarat menarik rambuik dalam tapuang/tepung, tepung tidak berserak/berantakan, rambuik indak putuih/putus”.

Page 25: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

12

turun-temurun dapat berupa nyanyian yang mengandung ajaran-ajaran tradisional.41

Pada level kelembagaan, antara kelembagaan agama, adat, maupun pemerintahan di Sumatera Barat terdapat sinergi yang kuat. Konsensus sosial yang tercipta mesti melalui hasil kesepakatan dari ketiga elemen ini. Pada tingkat pemerintahan lokal seperti pemerintahan nagari, ketiga elemen ini direpresentasikan oleh ulama yang dalam kontek lokal memiliki variasi nama. Di Kabupaten Padang Pariaman yang sering juga disebut wilayah rantau, ada Mufti Nagari, Ampu Syarak, dan Anku Kadi yang umumnya bergelar tuanku yang didaulat oleh masyarakat sebagai pembina mamak-mamak ibadat yang ada pada setiap suku seperti labai, imam, dan khatib nagari. Di wilayah darek seperti di kabupaten Lima Puluh Kota dikenal Unku Luma dan orang jinis yang empat lainya seperti imam, khatib, dan bilal. Kelompok adat direpresentasikan oleh tokoh adat seperti penghulu/mamak adat yang ada pada setiap suku di Minangkabau. Di Kabupaten Padang Pariaman kedua elemen ini sama-sama ada dalam kepengurusan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Sementara elemen ketiga direpresentasikan oleh pemerintah nagari, yang berpusat di Kantor Wali Nagari. Inilah yang merupakan wujud konkrit dari sistem sosial masyarakat Minangkabau, yakni masyarakat yang ditata oleh tiga elemen yang memiliki otoritas masing-masing yang selalu menjaga keseimbangannya satu sama lain, yakni Rajo Alam, Rajo Adat, dan Rajo Ibadat (raja/pemerintah, adat, dan agama).42 Baik di wilayah rantau Minangkabau, maupun di wilayah darek, ketiga elemen ini bekerja secara sinergis. Konsensus sosial, termasuk hal yang terkait dengan agama adalah hasil kesepakatan ketiga elemen masyarakat Minangkabau ini.

Terkait dengan dua wilayah penelitian ini, yakni Kabupatan Padang Pariaman dan Lima Puluh Kota merupakan basis tarekat. Padang Pariaman merupakan basis Tarekat Syattariyyah, sementara di Kabupaten Lima Puluh Kota basis Tarekat Naqsyabandiyyah. Tarekat dalam sejarahnya, terutama Sumatera Barat, musuh dari kelompok radikal seperti Salafi-Wahabi dan MMI. Sampai saat ini dialektika itu masih tetap berlanjut. Meski demikian, nagari Sungai Buluah khususnya dan Padang Pariaman umumnya sebagai bagian daerah rantau Minangkabau yang jauh dari pusat adat dan merupakan daerah yang kuat agamanya terutama Tarekat Syattariyyah tidak pernah dikuasai oleh Padri. Sementara nagari Koto Tangah Simalanggang khususnya dan kabupaten Lima Puluh Kota dan Payakumbuh umumnya merupakan pusat adat yang kuat adatnya dan pernah dikuasai oleh Padri. Perbedaan ini terlihat pada pola penanganan yang mereka lakukan terhadap kelompok-kelompok radikal seperti Salafi dan MMI yang ingin melembagakan paham keagamaannya di kedua wilayah ini. Di Padang Pariaman sebagai daerah

41Doddy Soedigdo et.al., “Elemen-Elemen Pendorong Kearifan Lokal pada Arsitektur

Nusantara”, Perspektif Arsitektur, Volume 9, Nomor 1, Juli (2014): 37 42Nurus Shalihin, “Nagari di Titik Nadir: Rapuhnya Institusi Sosial dan Kultural

Masyarakat Minangkabau”, ed. Bakaruddin R. Ahmad dalam Dari Desa ke Nagari, (Padang: Laboratorium Ilmu Politik Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Andalas, 2012), 1.

Page 26: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

13

yang kuat tarekat, tarekat masuk dalam struktur sosial seperti menjadi pembina surau kaum, menjadi mufti nagari, dan masuk dalam kepengurusan KAN. Karenanya pengaruh tarekat terhadap penanganan kelompok-kelompok radikal seperti terhadap LDII dan Salafi sangat kuat dan didukung oleh kelompok adat dan politik lokal seperti pemerintahan nagari. Sementara di Kabupaten Lima Puluh Kota, meski Tarekat Naqsyabadiyah merupakan amalan mayoritas masyarakatnya, tarekat tidak masuk dalam struktur sosial budaya masyarakatnya, sehingga perjuangan tarekat melawan MMI dan Salafi berjalan sendiri tanpa dukungan kelompok adat dan pemerintah nagari. Pada tingkat yang lebih kecil, yakni nagari Koto Tangah Simalanggang kabupaten Lima Puluh Kota, meski tidak merupakan basis Tarekat Naqsyabandiyah, sinergi antara adat dan agama dalam menolak aktivitas dakwah MMI dan Salafi juga terlaksana secara terpisah. Tidak ada sinergi antara kedua unsur masyarakat Minangkabau ini dalam menangani kelompok-kelompok radikal--penolakan terhadap aktivitas dakwah MMI di masjid dan mushalla terlaksana melalui otoritas pengurus tempat ibadah dimaksud. Sementara pelanggaran Salafi dan MMI terhadap adat Minangkabau dilaksanakan melalui otoritas penghulu. Otoritas ungku luma sebagai unsur agama dari pihak adat telah digantikan oleh pengurus masjid dan mushalla. Meski demikian dengan kekuatan adat dan Islam masyarakat nagari ini mampu menolak aktivitas dakwah MMI dan Salafi.

Di Kabupaten Padang Pariaman umumnya dan di nagari Sungai Buluah khususnya, kuatnya kerjasama kelembagaan adat, Islam, tarutama tarekat dan pemerintah lokal yang dalam hal ini nagari sebagai sebuah kearifan lokal telah mampu menjadi imunitas masyarakatnya dari paham-paham keagamaan radikal seperti MMI, Salafi dan LDII. Sebaliknya di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kota Payakumbuh umumnya dan nagari Koto Tangah Simalanggang khususnya, kepenganutan Adat Minangkabau yang kuat, sikap beragama yang inklusif, rasa nasionalisme yang kuat dan kharisma kepemimpinan tarekat telah mampu menjadi imunitas masyarakatnya dari paham-paham radikalisme agama. Penelitian ini mengungkap bagaimana pengelolaan tempat ibadah; pemberdayaan kelembagaan adat; pembingkaian narasi lokal kontra radikal; dan peran kepemimpinan tarekat di kedua wilayah penelitian ini mampu menjadi media pencagahan radikalisme agama.

B. Identifikasi Masalah, Perumusan Masalah, dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah Dari paparan masalah sebagaimana terungkap dalam latar belakang masalah di atas, teridentifikasi beberapa masalah terkait dengan radikalisme agama dan pola-pola pencegahan yang telah dilakukan oleh masyarakat, baik atas inisiatif negara maupun masyarakat sendiri. a. Indonesia masih rentan radikalisme. Indikator kerentan ini terlihat dari hasil

survei yang dilakukan oleh Lazuardi Biru tahun 2011, tingkat kerentanan radikalisme Indonesia adalah sebesar 43,6, itu masih jauh dari tingkat aman kerentanan radikalisme agama, yaitu pada level 33,3. Hal ini didukung oleh beberapa data berikut: Pertama, ada 4,4 % dari 250 juta jiwa warga negara

Page 27: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

14

Indonesia ideologinya masih rentan. Hal ini dibuktikan dengan adanya 4,4 % dari 250 juta warga negara Indonesia tidak menjawab penolakan terhadap ISIS. Berarti ada 8 juta jiwa warga negara yang perlu diwaspadai karena idiologinya masih rentan akan radikalisme agama seperti bersimpati terhadap ideologi radikal seperti ISIS; kedua, terjadi beberapa tindakan radikal di beberapa daerah seperti Forum Jihad Islam (FJI) Yogyakarta 2 April 2016 mengeruduk acara Lady Fast di Studio Survive Gerage Batul, DIY dengan alasan acara tersebut ajang maksiat. Di samping Yogyakarta juga merupakan tempat bersemainya radikalisme agama, usroh, komando jihad, FJI. Di Badung FPI dan aliansinya menggugat acara teater Tan Malaka karena diduga komunis, di Pekan Baru, FPI juga menghentikan acara diskusi yang dilakukan HMI, karena dianggab berbau Syiah.

b. Kebanyakan yang menjadi teroris itu orang Jawa. Karenanya sekarang, di Jawa, sebagaimana dikatakan Bambang Pranowo sulit membedakan antara santri dengan teroris, kalau sebelumnya sulit membedakan antara santri dengan abangan. Sumatera Barat, sebagaimana diungkap Yulizal Yunus, meski radikalisme agama pernah dikenal melalui Padri, pasca terjadinya konsensus antara tokoh agama dan adat yang menghasilkan ABS-SBK, SM-AM, radikalisme agama tidak lagi menjadi ancaman berat di daerah ini. Meski kelompok radikal baik regional maupun lokal ada di Sumatera Barat seperti HTI, Salafi, FPI, Paga Nagari, Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI). Hal ini juga dikuat oleh hasil penelitian Dobbin dan Hadler, meski dikuasai Padri selama 16 tahun, orang Minangkabau tidak pernah teradikalkan. Ini juga dikuatkan oleh hasil survei BNPT, dari 12 daerah yang masuk zona merah tindakan terorisme, Sumatera Barat tidak termasuk dalam zona itu. Yang termasuk zona merah tersebut adalah Jawa Tengah, Aceh, Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, NTB, dan Bali.

c. Pendekatan pencegahan radikalisme agama lebih banyak terlaksana dalam bentuk simptomatik approach—penanganan radikalisme agama yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan seperti penembakan terhadap terduga teroris. Sementara menjadi teroris tidak bisa dilepaskan dari teologi radikal yang bersumber dari pemahaman agama yang kurang tepat, di samping kemiskinan, kesenjangan sosial, pengangguran, dan penegakan hukum. Terkait dengan ideologi radikal yang muncul dari pemahaman agama, pendekatan yang mungkin lebih tepat digunakan adalah pendekatan deradikalisasi dengan mengkampanyekan Islam yang moderat. Dari tiga level penanganan radikalisme agama, yakni preventif, kuratif, dan preservatif, level kuratif/amputasi lebih banyak digunakan. Preventif/mencegah dengan kultur dan presevatif/mengembangkan kelompok-kelompok moderat relatif jarang dilakukan.

d. Kearifan lokal yang berkembang di tengah-tengah masyarakat berupa nilai-nilai, aturan, petuah-petuah adat, dan kelembagaan-kelembagaan lokal seperti pelagandong, bermamak adat, ibadat, dan bernagari di Minangkabau misalnya belum banyak diberdayakan dalam pencegahan radikalisme agama.

Page 28: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

15

Pada hal kerjasama kelembagaan adat, agama, dan pemerintah lokal yang dalam hal ini nagari seperti yang ada di Sumatera Barat atau Minangkabau merupakan potensi lokal yang kalau diberdayakan mampu mencegah radikalisme agama.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada identifikasi masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana kerjasama kelembagaan adat Minangkabau dan Islam sebagai sebuah kearifan lokal masyarakatnya mampu mencegah radikalisme agama. Adapun sub-sub rumusan masalah penelitian ini adalah: a) bagaimana pengelolaan tempat ibadah bagi pencegahan radikalisme agama?, b) bagaimana pemberdayaan adat bagi pencegahan radikalisme agama?, c) bagaimana membingkai narasi lokal kontra radikal bagi pencegahan radikalisme agama?, d) bagaimana peranan kepemimpinan tarekat bagi pencegahan radikalisme agama?.

3. Pembatasan Masalah Berangkat dari rumusan masalah di atas, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, pembatasan tema. Di antara tema-tema yang ditelaah dalam penelitian ini adalah: a) pengelolaan tempat ibadah bagi pencegahan radikalisme agama; b) pemberdayaan kelembagaan adat bagi pencegahan radikalisme agama; c) pembingkaian narasi lokal kontra radikal bagi pencegahan radikalisme agama; dan d) peranan kepemimpinan tarekat bagi pencegahan radikalisme agama.

Kedua, pembatasan waktu. Karena penelitian ini penelitian kualitatif yang membutuhkan keintensifan di lapangan, maka penelitian ini berlangsung selama satu tahun mulai dari Januari sampai dengan Desember 2017. Ketiga, pembatasan lokasi. Penelitian ini dilaksanakan pada dua nagari di dua kabupaten di Sumatera Barat, yakni: nagari Suangai Buluah Kabupaten Padang Pariaman dan Koto Tangah Simalanggang Kabupaten Lima Puluh Kota. Adapun pertimbangan dalam pemilihan dua wilayah ini adalah di samping kedua nagari ini pernah melakukan penolakan terhadap aktivitas dakwah Salafi dan MMI, di sisi lain keduanya merupakan wilayah Adat Minangkabau yang berbeda karakteristik. Kabupaten Padang Pariaman merupakan wilayah adat rantau yang kuat agamanya dan tidak pernah dikuasai oleh Padri. Semantara Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan wilayah adat luhak yang kuat adatnya dan pernah dikuasai oleh Padri. Perbedaan karakteristik ini mempengaruhi pola penanganan terhadap radikalisme agama.

C. Tujuan Penelitian

Ada dua tujuan penelitian ini: pertama, tujuan penelitian umum. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kerjasama kelembagaan adat Minangkabau dan Islam sebagai sebuah kearifan lokal di Suamtera Barat mampu mencegah masyarakatnya dari radikalisme agama? kedua, tujuan khusus. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan: 1) pengelolaan tempat ibadah mampu menjadi alat pencegahan radikalisme agama, 2) pemberdayaan kelembagaan adat

Page 29: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

16

Minangkabau mampu menjadi alat pencegahan radikalisme agama, 3) Pembingkain narasi lokal kontra radikalisme agama mampu menjadi alat pencegah radikalisme agama, 4) peran kepemimpinan tarekat mampu menjadi alat pencegahan radikalisme agama. D. Signifikansi Penelitian Pertama, signifikansi praktis. Penelitian ini bisa dijadikan alternatif pendekatan pencegahan radikalisme agama yang berbasis kearifan lokal. Pendekatan keamanan yang diterapkan negara terhadap penanganan kelompok-kelompok radikal dan terorisme belum lagi menuai hasil yang bisa diharapkan dengan indikator masih banyaknya tindak radikalisme agama yang terjadi. Di tambah lagi dengan objek deradikalisasi selama ini lebih banyak ditujukan pada mereka yang telah teradikalkan. Semenatara masyarakat dengan kearifan lokal yang dimilikinya mempunyai cara-cara tersendiri dalam menangani kelompok-kelompok radikal seperti yang dilakukan di nagari Sungai Buluah dan Koto Tangah Simalanggang. Pendayagunaan kearifan lokal bagi pencegahan radikalisme agama diharapkan dapat menjadi aternatif bagi penanganan radikalime agama di Indonesia.

Kedua, signifikansi teoritis. Semoga hasil penelitian ini mampu mengembangkan teori-teori pencegahan radikalisme agama seperti kearifan lokal dari yang semula lebih banyak digunakan untuk memecahkan masalah-masalah ekologi dan konflik sosial, digunakan untuk menelaah pola-pola pencegahan radikalisme agama. E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Ada beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini, di antaranya: Umar Efendi et.al. (2014) dengan judul penelitian, “Analysis of Anti-Terorism Policy in Indonesia: A Preventive Study in Preventing Terror Action from the Perspective of Action Theory”. Penelitian dengan menggunakan teori aksi sosial kolektif ini menyimpulkan, kebijakan pemberantasan tarorisme harus dilaksanakan secara kolektif yang melibatkan: komisi III DPR, BNPT, sektor Swasta, Pemerintah dan masyarakat. 43 Kalau Umar Efendi et.al., menekankan penelitiannya pada perencanaan kebijakan penanganan terorisme, Aijas Ahmad Bun, dalam penelitiannya, “Social Work Intervention for Ex-Militan of Khasmir” lebih menekankan pada cara mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh mantan radikal, terutama masalah-masalah yang terkait dengan ekonomi, dengan cara melakukan intervensi ekonomi, baik level mikro, menengah,

43Umar Efendi, et.al., “Analysis of Anti-Terorisme Policy in Indonesia: A Perspective

Study in Preventing Terror Action from the Perspective of Action Theory”, Asian Journal of Management Science & Education Vol 3 July (2014):144. www.ajmse.leena-luna.co.jp. (diakses, 26 Juni 2018)

Page 30: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

17

dan makro.44 Masih dalam kontek usaha pencegahan radikalisme agama, Katerine Anspha dalam hasil penelitiannya, “The Integration of Muslim in Eroupe: Preventing Radicalization of Muslim Diasporas and Antiterorism Policy”, mengungkap beberapa kebijakan pencegahan radikalisme yang dilakukan oleh Uni Eropa yang meliputi:1) Pemerintah Uni Eropa mendukung kelompok-kelompok Muslim moderat dan menolak populisme sayap kanan; 2) Uni Eropa harus memonitor dana-dana mesjid-mesjid lokal dan organisasi-organisasi Islam dalam rangka menyetop pendanaan terorisme; 3) membatasi aktivitas individu dan kelompok radikal di ruang publik seperti di tempat ibadah, sekolah, dan madrasah; 4) imam-imam yang terindikasi radikal harus dididik dan disertifikat tidak di negara Muslim, tetapi di Eropa; 5) Menemukan motif terlibat radikal dalam aktivitas pemuda teroris, seperti marjinalisasi Islam, pengangguran, kemiskinan, untuk memudahkan memperoleh pendekatan anti terorisme; 6) Mencegah individu memperoleh akses terhadap training teroris, seperti melakukan perjalanan ke daerah konflik; 7) Memonitor penggunaan internet oleh kelompok-kelompok Islam ekstremis, khususnya forum chating dalam mencegah imigran Muslim termotivasi oleh radikalisasi agama.45 Masih terkait dengan usaha pencegahan radikalime agama, akan tetapi lebih ditekankan pada memberdayakan nilai, Magnus Ranstrop dalam hasil penelitiannya, “Preventing Violent Radicalization and Terorism; the Case of Indonesia”. Peneliti pada Centre for Asymetric Treath Studies ini melihat bagaimana peran nilai-nilai kebangsaan seperti Bhinneka Tungal Ika, Pancasila, dan Undang-Undang 1945 bisa digunakan untuk memendung laju radikalisasi di Indonesia.46

Kalau Magnus menjadikan nilai-nilai kebangsaan sebagai basis pencegahan radikalisme, Nurdin dalam hasil penelitiannya, “Basis Nilai-Nilai Perdamaian: Sebuah Antitesis Radikalisme Agama di Kalangan Mahasiswa”, mengungkap pentingnya nilai-nilai perdamaian sebagai antitesis radikalisme agama di kalangan mahasiswa. Peneliti pada Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ini mengungkapkan bahwa terapi anti radikalisme bisa dilakukan melalui Pembumian Peace Values Based Education. Pada konteks ini, dalam rangka memposisikan pendidikan sebagai terapi anti radikalisme, formulasi penting yang dapat diupayakan adalah: 1) Gerakan ideologisasi keagamaan perspektif humanitarian. 2) Paradigma pendidikan berbasis perdamain di arahkan pada kehendak dan motivasi, dan bukannya intelektualitas. 3) Indikator keberhasilan pendidikan berbasis nilai perdamain

44 Aijas Ahmad Bun, “Social Work Intervention for Ex-Militan of Khasmir”,

International Journal of Science and Research, Volume 2, Issue 11, November (2013):152. http://www.net.achive. (diakses 26 Juni 2018).

45Katrine Anspaha, “The Integration of Muslim in Eroupe: Preventing Radicalization of Muslim Diasporas and Antiterorism Policy”, (Paper presented at the ECPR Fourth-Pan European Conference on EU Politics, (2008): 12-13

46Magnus Ranstorp “Preventing Violent Radicalization and Terorism; the Case of Indonesia”, Centre for Asymetric Threat Studies, Swedish National Defence Colllege, (2009): 20

Page 31: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

18

bermula dari tumbuhnya kesediaan untuk menghargai nilai. 47 Masih dalam kaitannya dengan pentingnya nilai bagi antitesis radikalisme agama, Omar Ashour dalam hasil penelitiannya, “Islamist Deradicalization in Algeria: Succes and Failures” mendekatkan nilai tersebut dengan kesuksesan dan kegagalan proses deradikalisasi di Aljazair. Kesuksesan deradikalisasi ditopang oleh nilai-nilai kharismatik pemimpin kelompok radikal. Sementara kegagalan dari deradikalisasi disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan kelompok radikal dimaksud dan berkembangnya nilai pragmatisme dalam program deradikalisasi dan kurang dilandasi oleh nilai-nilai teologi dan ideologi dalam melakukan delegitimasi terhadap kekerasan.48

Kalau penelitian-penelitian di atas banyak berbicara tentang antitesis radikalisme agama berbasis kebijakan negara, penelitian berikut ini berbicara tentang pentingnya memberdayakan kearifan lokal sebagai pencegah radikalisasi dan resolusi konflik keagamaan. Kamaldeep S. Bhui et. al., dalam penelitianya, “A Public Health Approach to Understanding and Preventing Violent Radicalization” mengungkapkan, faktor-faktor protektif bagi radikalisasi. Di antara faktor-faktor tersebut adalah dukungan sosial, kohesi sosial, modal sosial, kepercayaan terhadap lembaga, perasaan selamat dan aman dalam bertetangga, identitas kultural yang terintegrasi, sukses dalam kerja, akses terhadap cara-cara demokratis, dan akses terhadap kepemimpinan agama yang kritis.49 Lebih spesifik dari Kamaldeep, Priyambudi Sulistiyanto dalam penelitiannya, “Muhmmadiyah: Local Politics and Local Identity in Kotagede” mengungkapkan, bagaimana slamatan sebagai kearifan lokal masyarakat Kotagede Yogyakarta mampu memerankan diri sebagai vivic forum di mana masyarakat lokal bisa bertemu dan mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi sehingga forum tersebut mampu berkontribusi bagi ketahanan dan kesatuan sebuah komunitas.50 Pada tema yang sama, meski dalam konteks yang berbeda, Wasisto Raharjo dalam penelitiannya, “Kearifan Lokal sebagai Resolusi Konflik Keagamaan” mengungkapkan, Pelagandong sebagai kearifan lokal masyarakat Maluku mempunyai peranan penting bagi rekonsiliasi dengan menyatukan kembali solidaritas masyarakat Maluku yang terpecah selama konflik.51 Hasil penelitian berikutnya lebih banyak berbicara tentang reproduksi kearifan lokal bagi resolusi konflik sosial. A. Syafi’i Mufid dalam hasil penelitiannya, “Revitalisasi Kearifan Lokal dalam

47Nurdin, “Basis Nilai-Nilai Perdamaian: Sebuah Antitesis Radikalieme Agama di

Kalangan Mahasiswa”, Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligious, Volume 12, September-Desember (2013): 79-80

48Omar Ashour, “Islamist Deradicalization in Algeria: Succes and Failures”, The Midle Eas Institute Policy Breif, Nomor 21 November (2008):1-2

49Kamaldep S. Bhui, “A Publict Health Approach to Understanding and Preventing Radicalization”, BMC Medicine, (2012): 6

50Priyambudi Sulistianto, “Muhmmadiyah: Local Politics and Local Identity in Kotagede”, Sojurn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 21, Nomor 2, (2006): 262, http://www.jstor.org/stable/41308078. accessed: 30-09-2016.

51 Wasisto Raharjo, Kearifan Lokal sebagai Resolusi Konflik Keagamaan, Walisonggo, Volume 21, Nomor 2, November (2013): 410-414

Page 32: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

19

Pemberdayaan Masyarakat”. Peneliti Utama Puslitbang Kehidupan keagamaan ini mengungkapkan, ketika masyarakat Ambon mengalami konflik komunal yang sangat destruktif, masyarakat Wayame Ambon berhasil menjaga kerukunan antara warga Muslim dan Kristen dengan membentuk Tim 20. Tim 20 berperan sebagai katup pengaman bagi pencegahan konflik destruktif. 52 Yang juga berbicara tentang kearifan lokal tetapi dikait dengan fenomena alam seperti gempa adalah Ali Imron dan Aat Hidayat dalam hasil penelitiannya, “Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal dalam Proses Kebangkitan Masyarakat Yogyakarta Pasca Gempa” mengungkapkan, nilai-nilai kearifan lokal dan nilai-nilai agama dapat bersatu dan digunakan secara bersama-sama untuk membangkitkan semangat hidup masyarakat korban gempa. Sifat-sifat seperti sabar, syukur, nrimo ing pandum, dan pedoman hidup bahwa kehidupan ini seperti cokro manggilingan telah terbukti membuat masyarakat Kasongan kuat dan tabah dalam menghadapi bencana gempa dan bahkan menjadi modal berharga bagi mereka untuk segera bangkit kembali.53 Berdasarkan pola pencegahan radikalisme agama yang dilakukan, maka penelitian-penelitian di atas bisa dikategorikan kepada: pertama, pencegahan radikalisme berbasis kebijikan negara. Negara berperan sebagai pengambil inisiatif bagi pencegahan radikalisme agama, tanpa mengesampingkan pihak lain seperti sektor swasta, NGO, dan masyarakat. Penelitian pada kategori pertama ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Umar Efendi, Aijas Ahmad Bun, dan Katrine Anspha dan Kamaldeep; kedua, pencegahan radikalisme agama bebasis nilai, baik nilai-nilai keabangsaan maupun nilai-nilai kemanusian seperti nilai-nilai perdamaian. Penelitian yang digolongkan pada kategori ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Magnus, Omar dan Nurdin; ketiga, penggunaan kearifan lokal bagi penaganan masalah-masalah sosial dan alam seperti penanganan konfilik dan bencana alam. Penelitian yang digolongkan pada kategori ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Wasisto Raharjo, A. Syafi’i Mufid, dan Ali Imron. Berbeda dari penelitian-penelitian di atas, penelitian yang peneliti lakukan ini bermaksud mengembangkan teori yang telah ada yakni teori kearifan lokal. Kearifan lokal yang semula lebih banyak digunakan pada resolusi konflik sosial, pada penelitian ini digunakan untuk penelaah pola-pola pencegahan radikalisme agama. Kearifan lokal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana kelembagaan adat Minangkabau, Islam, terutama tarekat dan pemerintahan lokal yang dalam hal ini pemerintahan nagari berkerja secara sinergis dalam melakukan pencegahan terhadap radikalisme agama, terutma terhadap aktivitas dakwah Salafi dan MMI di dua wilayah penelitian ini yakni di nagari Sungai Buluah Kabupaten Padang Pariaman dan Koto Tangah Simalanggang Kabupaten Lima Puluh Kota.

52A.Syafi’i Mufid, “Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Pemberdayaan Masyarakat”,

Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligious Vol. IX, No. 4, April-Juni (2010): 86 53Ali Imron dan Aat Hidayat, “Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal dalam Proses

Kebangkitan Masyarakat Yogyakarta Pasca Gempa”, ESENSIA Vol. XIV No. 1 , April (2013):125-126

Page 33: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

20

F. Kajian Teori 1. Teori Pembentukan Tradisi

Relasi Islam dan budaya lokal banyak dianalisis mengunakan empat teori yakni: pertama, pribumisasi—Pribumisasi juga bisa dimaknai dengan bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan diakomodasikan dengan kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Arabisasi merupakan bentuk tercerabutnya satu kelompok etnik dari akar budayanya sendiri. Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan; kedua, negoisasi—negoisasi agama (Islam), dengan segenap perangkat doktrin yang dipunyai, berdialektika dengan berbagai budaya yang ada dalam sebuah masyarakat. Karenanya di sana ada kebutuhan untuk saling sama mengubah tradisi yang dimiliki; ketiga, konflik—Pola ini mengandaikan adanya sikap yang saling bertahan antara agama dan budaya dalam pergumulan antara keduanya. Hal ini akan terwujud dari pola yang relatif menyimpang yang dilakukan di antara keduanya;54keempat, integrasi dan dialog. Pembentukan tradisi yang bersifat integratif, terutama terkait dengan proses Islamisasi menghendaki proses ortogenetik atau pemribumian Islam secara konseptual dan struktural. Islam menjadi bagian intrinsik dari sistem kebudayaan secara keseluruhan.55 Sementara Tradisi dialog menghendaki terjadinya keselarasan dan kesesuaian di antara unsur-unsur kebudayaan.56 Integrasi dalam penelitian ini lebih dimaknai dengan kerjasama kelembagaan--bagaimana kelembagaan agama dalam hal ini Islam, Adat Minangkabau dalam hal ini kerapatan adat nagri/KAN dan pemerintahan nagari bersinergi dalam usaha pencegahan radikalisme agama. Masyarakat terintegarasi atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, general agreements yang memiliki daya untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antra para anggota masyarakat. Penganut teori integrasi sosial memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk ekuilibrium. Terkait dengan hal ini, penganut pendekatan integrasi sosial lebih populer disebut dengan structural-fuctional approach. Pendekatan fungsionalisme struktural mula-mula sekali tumbuh dari cara melihat masyarakat yang menganalogikannya dengan organisme biologis.57

Pendekatan fungsional struktural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parson dan para pengikutnya, dapat dikaji melalui sejumlah anggapan dasar yang mereka anut sebagai berikut: 1) masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain. 2) dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut

54Mangun Budiyarto, “Pergulatan Agama dan Budaya: Pola Hubungan Islam dan

Budaya Lokal di Masyarakat Tutup Ngesor Lereng Merapi Magelang Jawa Tengah”, Jurnal Penelitian Agama, Volume XVII, Nomor 3, (2013): 4-6

55 Taufik Abdullah, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1988), 84

56Taufik Abdullah, Tradisi, 91-93 57Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), 12

Page 34: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

21

adalah bersifat ganda dan timbal balik. 3) sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah ekuilibrium yang bersifat dinamis menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sebagai akibatnya hanya akan mencapai derajat yang minimal.58

Durkheim mengatakan, integrasi bisa tercipta melalui penguatan supremasi hukum yang berbeda sesuai dengan tipe masyarakatnya. Masyararakat dengan tipe solidaritas mekanis dengan tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan pembagian kerja yang minim, integrasi sosial dapat dicapai melalui hukum yang menekan (represif). Sedangkan masyarakat dengan tipe organis di mana tingkat heterogenitas yang sangat tinggi dan kompleks sehingga tingkat ketergantungan sangat tinggi satu sama lainnya, pola hukum restitutif berfungsi untuk mempertahankan dan melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang berspesialisasi dalam masyarakat. Sanksi dalam pola hukum ini tidak bersifat balas dendam sebagaimana dalam pola hukum represif, akan tetapi lebih pada usaha memulihkan keadaan.59 Di samping pola hukum baik represif maupun restitutif bisa menjadi pendorong integrasi sosial, faktor-faltor lain yang juga ikut berperan adalah: pertama, perasaan memiliki satu kebudayaan termasuk makin pentingnya nilai-nilai nasionalisme; kedua, munculnya berbagai individu dan kelompok-kelomok tipe campuran yang berfungsi sebagai perantara sehingga terjadi keseimbangan dalam struktur sosial; ketiga, toleransi umum yang didasarkan atas suatu relativisme kontekstual yang menganggap nilai-nilai terntentu sesusai dengan konteksnya; keempat, pertumbuhan mekanisme sosial yang mantap menuju kepada bentuk-bentuk integrasi sosial yang majemuk dan non sinkritis yang di dalamya orang-orang yang memiliki berbagai pandangan sosial dan nilai-nilai dasar yang berbeda secara radikal dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain untuk menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.60

Masyarakat yang terintegrasi merupakan masyarakat yang selalu melaksanakan kerjasama dengan segala aspek kehidupannya. Ada beberapa bentuk kerja sama yakni, spontaneous cooperatiaon, derected cooperation, contractual cooperation, dan traditional cooperation. Yang pertama disebut dengan kerjasama yang terjadi secara spontan, yang kedua merupakan kerjasama sebagai hasil dari perintah atasan atau penguasa, yang ketiga merupaka kersjasama atas dasar hukum dan yang terakhir merupakan bentuk kerjasama sebagai bagian atau unsur sistem sosial.61

58Nasikun, Sistem, 13 59Paul Doyle Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Moderen, (Jakarta: Erlangga,

1986), 181-184 60Ronal Robertson, Agama dalam Interpretasi Sosiologis, (Jakarta: Rajawali Pers,

1998), 207 61Sulaiman, B. Taneko, Struktur dan Proses Sosial, (Jakarta: Rajawali Perss, 1990),

118

Page 35: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

22

Teori-teori ini digunakan untuk menganalisis bagaimana kerjasama kelembagaan Adat Minangkabau, Islam dan Pemerintahan nagari di dua wilayah penelitian ini, yakni nagari Sungai Buluah Kabupaten Padang Pariaman dan Koto Tnagah Simalanggang Kabupaten Lima Puluh Kota dalam usaha pencegahan radikalisme agama. 2. Teori Gerakan Sosial

Penelitian ini juga dikonstruksi dengan tiga teori gerakan sosial: pertama, teori Mobilisasi Sumber Daya (TMSD), yang di motori oleh (McCarthy dan Zald;1987 dalam Rejendra Singh, 2010; Quintan Wiktorowicz, 2012, Robert Mirsel, 2004). Teori gerakan sosial ini menelaah bagaimana gerakan sosial termasuk gerakan sosial keagamaan itu berlansung dengan memberdayakan sumber daya gerakan yang dimiliki oleh aktor bagi pencegahan radikalisme agama.62 Teori ini akan penulis gunakan untuk memahami bagaimana masyarakat di nagari Sungai Buluah Kabupaten Padang Pariaman dan Koto Tangah Simalanggang Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat memberdayakan kelembagaan lokal yang mereka miliki seperti kelembagaan agama, adat, dan pemerintahan nagari bagi pencegahan radikalisme agama.

Kedua, struktur peluang politik. Sydney Tarrow mengatakan, dua hal penting yang selalu mengemuka ketika membincangkan politik bagi gerakan sosial adalah peluang dan tantangan yang bersumber dari kekuasaan. Dua hal ini dalam terminologi Tarrow disebut dengan opportunity for dan constraints upon. Opportunity for dimaknai dengan peluang-peluang politik yang bisa dimanfaatkan untuk keberlangsungan sebauh gerakan atau aksi kolektif. Sementara constraints upon dimaknai dengan perhitungan tantangan yang bakal dihadapi oleh sebuah gerakan sosial--dinamika kekuasaan merupakan salah satu faktor yang ikut berpengaruh besar terhadap keberlangsungan sebuah gerakan sosial. 63 Teori digunakan untuk melihat peran politik lokal dalam hal ini pemerintahan nagari dalam mencegah radikalisme agama.

Ketiga, teori pembingkaian (framing). David Snow dan Robert Benford (1988) mengidentifikasi tiga fungsi utama pembingkaian bagi gerakan sosial: Pertama, gerakan sosial membangun bingkai-bingkai yang mendiagnosis kondisi sebuah persoalan yang perlu ditangani. Hal ini mencakup pelekatan tanggung jawab dan target-target kesalahan; kedua, gerakan memberikan pemecahan terhadap persoalan tersebut, termasuk taktik dan strategi tertentu yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai obat untuk ketidakadilan; ketiga, gerakan memberikan alasan-alasan dasar untuk memotivasi tumbuhnya dukungan dan tindakan kolektif. 64 Teori-teori ini digunakan untuk memahami bagaimana

62Quintan Wiktrowicz, “Islamic Activism and Social Movement Theory”, dalam

Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach, ed. Quintan Wiktorowicz (Indiana: Indiana University Press, 2004), 9-13

63Sidney Tarrow, Power in Movement Sosial Movements and Contentious Politics (New York: Cambridge University Press, 2005), 71

64Quintan Wiktorowicz, Aktivisme, 60

Page 36: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

23

masyarakat di kedua wilayah menelitian ini membingkai narasi lokal kontra radikalisme agama bagi pencegahan radikalisme agama di dua wilayah penelitian ini. 3. Teori Radikalisme Agama, Deradikalisasi, Kounter-Radikalisasi

Radikalisme diartikan sebagai tindakan dan/atau sikap atas paham yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kehidupan berbangsa yang menjunjung tinggi sikap toleran dan terbuka terhadap sesama warga yang majemuk dari latar belakang primordialnya yang dijamin keberadaannya oleh konstitusi, atau yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemanusiaan. 65 Istilah radikalisme Islam di Indonesia digunakan untuk menjelaskan kelompok-kelompok Islam di Indonesia kontemporer atas pemahaman keagamaan mereka yang literal (literal religious understanding) dan tindakan-tindakan mereka yang radikal (radical action). Kelompok-kelompok ini berbeda dengan kelompok Islam lain yang disebut moderat. Kelompok-kelompok Islam Indonesia yang terindetifikasi terkait dengan pola-pola beragama seperti ini adalah Front Pembela Islam/Islamic Defender Front/FPI, Majelis Mujahidin Indonesia/Indonesia Mujahidin Council/MMI, Laskar Jihad/Jihad Pramelitery Troops/LJ, dan yang debatable adalah Jama’ah Islamiyah.66

Azra di samping membagi gerakan Islam radikal kepada dua tipologi yakni pra-moderen yang direpresentasikan oleh gerakan Wahabi dan kontemporer yang direpresentasikan oleh Ikhwanul Muslimin (IM) dengan tokoh-tokohnya seperti al-Bana, Quthb, dan Maududi yang lebih banyak berbicara tentang kebobrokan modernitas, karenanya perlu ditolak, juga menyebut adanya radikalisme klasik yang dipelopori oleh kelompok Khawarij yang lebih eksrim dengan motto tidak ada hukum, kecuali hukum Allah. 67 Berdasarkan tindak kekerasan yang dilakukannya baik simbolik maupun aktual, Nur Syam dalam tulisannya “Radikalisme dan Masa Depan Hubungan Agama-Agama: Rokonstruksi Tafsir Sosial Agama”, merilis gerakan-gerakan Islam yang tergolong radikal yakni, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Mujahidin Indoneisa (MMI), Salafi, Laskar

65Dyah Madya Ruth, “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme”, dalam

Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme, ed. Dhyah Madya Ruth (Jakarta: Lazuardi Biru, 2010), 1

66Azyumardi Azra, Agama dan Otentisitas Islam, Republika 25 Oktober 2002. Fenomena radikalisme agama tidak hanya milik Islam, akan tetapi miliki semua agama. Dalam bukunya Kontek Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam, halaman 136-138 Azra mengungkapkan bahwa kesamaan ideologi yang diusung oleh kelompok-kelompok radikal adalah memiliki pemahaman yang rigit dan kaku terhadap doktrin-doktrin keagamaan dan anti penggunaan ilmu pengetahuan modern terhadap kitab suci dalam rangka mengkontekstualkan ajaran agama dengan perkembangan modern. Kontektualisasi ajaran agama pada prinsipnya dalam rangka penyelerasan ajaran agama dimaksud dengan dinamika modern sehingga agama tersebut tidak ditinggalkan oleh pemangkunya.

67Azyumardi Azra, Memahami, 194

Page 37: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

24

Jundullah, Laskar Jihad, dan Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKWJ).68

Deradikalsisi bermakna upaya untuk membendung laju radikalisme. Karena gerakan radikal mengarah pada kekerasan, peperangan, dan teror, sangat berbahaya bagi umat manusia. 69 Deradikalisasi dilaksanakan dalam bentuk preventif, kuratif, preservatif. 70 Sementara deradikalisasi ditujukan kepada individu atau kelompok yang terduga atau telah terhukum teroris dengan maksud melakukan rehabilitasi dan mengintegrasikan mereka kembali kepada masyarakat atau setidaknya mencegah mereka dari lebih jauh mengunakan kekerasan politis, kounter-radikalisasi merupakan dorongan yang yang bersifat antisipatif. Kounter-radikalisasi berusaha mencegah anggota masyarakat yang belum teradikalkan dari yang telah teradikalkan tanpa penggunaan kekerasan karena dianggap kontra produktif. Pencegahan radikalisme dalam kajian ini lebih banyak mengunakan konsep-konsep kounter-radikalisasi dengan mendayagunakan keraifan lokal yang dimiliki masyarakat itu sendiri, bukan atas inisiatif negara.71 Pencegahan radikalisme agama dalam penelitian ini dilakukan melalui: pengelolaan tempat ibadah, pemberdayaan kelembagaan adat, pembingkaian narasi lokal kontra radikalisme agama dan memfungsikan peranan kepemimpinan tarekat.

4. Teori Kearifan Lokal

Kearifan lokal layaknya sebuah kebudayaan selalu melakukan reproduksi sesuai dengan tingkat kebutuhan manusia dan pola-pola adaptasi kebudayaan. Proses reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang menegaskan kebudayaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.72 Sebagai sebuah produk kebudayaan, reproduksi kearifan lokal sangat bergantung pada apa yang disebut oleh Geertz dengan world view kelompok sosial tertentu. World view merujuk pada sebuah pemahaman intelektual, cara berfikir tentang dunia dan kerjanya yang lazim pada kelompok sosial tertentu baik dengan basis agama, etnik, dan politik.73 Ketika world view tersebut dinggab tidak munpuni lagi dalam menyelesaikan problem sosial seperti pelagandog yang selama dianggab sebagai world view harmoni sosial akan tetapi belum mampu menjadi peredam konflik yang terjadi di Ambon dan Maluku, maka reproduksi kebudayaan akan terjadi sehingga terbentuk world view yang baru yang dianggab lebih mumpuni. Ketika desa-desa di Ambon dilanda konflik etnoreligius berkepanjangan, masyarakat desa

68Nur Syam, Radikalisme, 2 69 Syamsul Arifin dan Hanan Bachtiar, Deradikalisasi Ideologi Gerakan Islam

Transnasional Radikal, Harmoni, Vol. 12 September-Desember (2012): 21 70Abu Rokhmad, Radikalisme, 33 71Alex P. Schimid, Radicalization, De-Radicalization, Counter-Radicalization: A

Conseptual Discussion and Literature Review, (Netherlands: International Centre For Counter-Terrorism, 2013), 50

72Irwan Abdullah, Konstruksi, 41 73A. Syafi’i Mufid, Revitalisasi, 85

Page 38: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

25

Wayame kecamatan Teluk Ambon, Baguala mereproduksi dan meintrodusir pranata lama yang diperbarui dengan membentuk Tim 20 dalam melindungi desa mereka dari konflik destruktif. Tim ini merupakan bentukan warga berdasarkan musyawarah. Anggotanya 20 orang, 10 orang mewakili Muslim dan 10 orang mewakili Kristen. Tugas tim ini adalah merespon dan memecahkan berbagai masalah yang dapat mendorong terjadinya konflik, menetapkan sanksi sosial bagi warga yang tidak menaati peraturan di desa ini dan melakukan koordinasi dengan pemerintah. Reproduksi kearifan lokal ini yang menyelamatkan masyarakat Wayame dengan tingkat keragaman agama yang tinggi dari konflik destruktif.74 Sementara kearifan lokal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kerjasama kelembagaan adat, Islam dan pemerintahan nagari dalam usaha pencegahan radikalisme agama. Kerjasama kelembagaan ini terlihat pada: pengelolaan tempat ibadah bagi pencegahan radikalisme agama, pemberdayaan adat bagi pencegahan radikalisme agama, pembingkaian narasi lokal kontra radikalisme agama bagi pencegahan radikalisme agama, dan memfungsikan peran kepepemimpinan tarekat bagi pencegahan radikalisme agama.

G. Metodologi Penelitian

Penelititan ini menggunakan metode Penelitian Kualitatif dengan pendekatan Studi Kasus. Studi kasus lebih menekankan perhatiannya pada cornerville--nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat pada lingkungan sosial tertentu yang mereka gunakan dalam menyikapi persoalan-persoalan yang mereka hadapi.75 Sementara kasus yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana masyarakat di dua wilayah penelitian ini yakni nagari Sungai Buluah Kabupaten Padang Pariaman dan Koto Tangah Simalanggang Kabupaten Lima Puluh Kota mengelola tempat ibadah bagi pencegahan radikalisme agama, memberdayakan kelembagaan adat bagi pencegahan radikalisme agama, membingkai narasi lokal kontra radikalisme agama bagi pencegahan radikalisme agama, dan memfungsikan peran kepemimpinan tarekat bagi pencegahan radikalisme agama. Ada beberapa prosedur penelitan yang dilalui dalam tahapan penelitian ini yakni:

1. Menetapkan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada dua nagari di dua Kabupaten di Sumatera Barat, yakni nagari Sungai Buluah Kabupaten Padang Pariaman dan Koto Tangah Simalanggang kabupaten Lima Puluh Kota. Adapun pertimbangan penetapan lokasi ini adalah pada satu sisi kedua nagari ini pernah melakukan penolakan terhadap aktivitas dakwah Salafi dan MMI, di sisi lain keduanya merupakan wilayah adat Minangkabau dengan karakteristik yang berbeda. Kabupaten Padang Pariaman merupakan wilayah adat rantau yang kuat agamanya dan tidak pernah dikuasai Padri. Semantara Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan wilayah adat luhak sebagai pusat adat yang kuat adatnya dan pernah dikuasai Padri. Dari

74A. Syafi’i Mufid, Revitalisasi, 85 75Robert K. Yin, Studi Kausus Desain & Metode (Jakarta: Rajawali Perss, 2012), 5

Page 39: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

26

perbedaan karakteristik ini terdapat perbedaan pola pencegahan radikalisme agama.

2. Data dan Sumber Data Penelitian

Ada dua bentuk data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yakni: pertama, gambaran umum lokasi penelitain yang berisi: demogafi, paham keagamaan, dan kepemimpinan adat; kedua, data terkait dengan integrasi kelembagaan Adat Minangkabau dan Islam bagi pencegahan radikalisme agama yang meliputi: 1) pengelolaan tempat ibadah bagi pencegahan radikalisme agama, 2) pemberdayaan kelembagaan adat bagi pencegahan radikalisme agama, 3) pembingkaian narasi lokal kontra radikalisme agama bagi pencegahan radikalisme agama, dan 4) peranan kepemimpinan tarekat bagi pencegahan radikalisme agama. Sumber data penelitian disesuaikan dengan bentuk-bentuk data yang akan dikumpulkan. Data terkait dengan demografi di dua nagari ini yakni Sunngai Buluah dan Koto Tangah Simalanggang diambil dari profil nagari dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nagari. Data terkait dengan paham keagamaan diambil dari tokoh-tokoh agama seperti mamak ibadat, mufti nagari, ungku luma, tuanku, mursyid dan khalifah tarekat dan pendeta. Data terkait dengan kepemimpinan adat diambil dari tokoh-tokoh adat seperti mamak adat, penghulu, dan perangkat kerapatan adat nagari. Sementara data-data terkait dengan bagaimana integrasi kelembagaan Adat Minangkabau, Islam dan pemerintahan nagari bagi pencegahan radikalisme agama diperoleh dari aktor-aktor agama, adat, dan politik lokal yang dalam hal ini pemerintahan nagari, pemuda, dan masyarakat yang terlibat dalam menolak aktivitas dakwah kelompok-kelompok radikal seperti Salafi dan MMI di dua lokasi penelitian ini. Anggota Salafi dan MMI juga menjadi sumber data terkait dengan bentuk-bentuk penolakan masyarakat terhadap aktivitas dakwah yang mereka lakukan. Adapun jumlah informan dalam penelitian ini berjumlah 55 orang yang meliputi: Tabel 1. Daftar Informan Penelitian No Nama Jabatan 1. Rusdi Marjidan Pimpinan Tarekat Naqsyabandiyyah 2. Dahimir Dewan Fatwa Majelis Taklim Naqsyabandiyyah 3. Imam Suhadi Ketua Yasinan Naqsyabandiyyah 4 Dt. Sanggo Pimpinan Suluk Naqsyabandiyyah 5. dr. Etriyel Pimpinan Suluk Naqsyabandiyyah 6. Tuanku Kuniang Guru Tarekat Syattariyyah 7. Ramli Bila Nagari Sungai Buluah/Jemaah Tarekat

Syattariyyah 8. Tuanku Nafri Pengasuh Pesantren Nurul Yakin/Syattariyyah 9. Tuanku Sidi Jalalain Pimpinan Tarekat Syattariyyah 10. Tuanku Rais Guru Pesantren Nurul Yakin/Syattariyyah 11. Tuanku Zelfa Ulama Nagari/ Syattariyyah/Pembina Remaja

Masjid

Page 40: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

27

12. Tuanku Rahmat Jemaah Masjid Jannatussalam/ pimpinan NU 13. Syofwan Karim Pimpinan Muhammadiyah 14. Nurhariza Pengurus Muhammadiyah 15. Hasnul Sekretaris MMI Sumatera Barat 16. Abdillah Wakil Komandan MMI Sumatera Barat 17. Tuanku Amin Mufti Nagari Sungai Buluah/Syattariyah 18. Nasir Wali Jorong Nagari Sungai Buluah 19. Saharuddin Wali Nagari Sungai Buluah 20. Dt. Bogah Wali Nagari Koto Tangah Simalanggang 21. Indra. Dt. Majo

Sinaro Penghulu/ninik-mamak

22. Dt. Majo Basa Penghulu/KAN Koto Tanang Simalanggang 23. Dt. Majo Putiah Penghulu/ninik-mamak 24. Dr. Tampang Ulu Penhulu/ninik-mamak 25. Dt. Rajo Batuah Sekretaris KAN Sungai Buluah 26. Dt. Rajo Lembang Ketua KAN Sungai Buluah 27. Dt. Rajo Batuah Wakil Ketua KAN Sungai Buluah 28. Zul. Dt. Tandiko Penhulu/ninik-mamak 29. Dt. Mangiang Nan

Sati Penghulu/ninik-mamak

30. Warneri Praktisi Pendidikan Islam 31. Samsuardi Ungku Luma 32. Hendra Ketua Pemuda 33. Erwin Duglas Gultom Guru Agama Kristen 34. Herman Guru Agama Katolik 35. Usmi Zebua Tuheneri/Penghulu Suku Nias 36. Ramilis Nias/Keturunan Zebua 37. Rasman Pegawai Kemenag 38. Safrijon Ketua MUI 39. Haresna Masyarakat/jemaah Masjid Al-Ikhlas 40. Rizal Masyarakat/Remaja Masjid 41. Aminin Ahmad Pengurus Masjid Al-Ikhlas 42. Zulkifli Masyarakat/Jemaah Masjid Al-Ikhlas 43. Muis Pengurus TPA Masjid Al-Ikhlas 44. Yusuf/Abu Hirairah Salafi Yamani 45. Dedi Salafi Yamani 46. Hifzun/Ummu Imad Salafi Yamani 47. Maizar. Dt. Majo

Indo Penhlu/ninik-mamak

48. Welhendri Pengurus LKAAM 49. Eri Keluarga MMI 50. Muhammad Elvy

Syam Salafi Sururi

Page 41: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

28

51. Abu Rayhan Salafi Yamani 52. Abu Ahmad Salafi Yamani 53. Dt. Talanai Sekretaris KAN Sungai Buluah 54. Romo Sudarma Pimpinan Wihara Budhawarman 55. Jufrimal Kemenag Lima Puluh Kota

3. Teknik Pengumpulan Data

Ada beberapa elemen terkait dengan metode pengumpulan data dalam penelitian ini: pertama, jenis data yang digunakan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis data yakni data kuantitatif dan data kualitatif, meskipun data kualitatif merupakan data dominan. Data kuantitatif digunakan dalam hal-hal yang terkait dengan demografi di dua sampel penelitian ini yakni nagari Koto Tangah Simalanggang kabupaten Lima Puluh Kota dan Sungai Buluah kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat, pekerjaan, tingkat pendidikan, penghasilan, agama dan data kuantitatif lainnya. Sementara data kualitatif terkait dengan bagaimana masyarakat di kedua wilayah penelitian ini mengelola tempat ibadah, memberdayakan adat, membingkai narasi lokal kontra radikalisme, dan memfungsikan peran tokoh tarekat bagi pencegahan radikalisme agama76; kedua, klasifikasi data. Penelitian ini juga mengunakan dua klasifikasi data, yakni data primer dan data sekunder. Data primer berupa data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi terkait dengan bagaimana masyarakat di dua nagari ini memberdayakan kearifan lokal yang mereka miliki sebagai strategi pencegahan radikalisme agama. Sementara data sekunder yang digunakan dalam penelitian berupa data pemberdayaan kearifan lokal bagi pencegahan radikalisme agama yang telah terdokumentasi. Terkait dengan record/catatan, bisa berupa kebijakan terkait dengan upaya pencegahan radikalisme agama, program pencegahan radikalisme agama, kesepakatan-kesepakatan tentang pencegahan radikalisme agama, laporan tentang radikalisme agama dan jenis pernyataan tertulis lainnya. Terkait dengan dokumen, ini bisa berupa segala macam hasil penelitian tentang pencegahan radikalisme agama, jurnal, kliping koran berupa berita radikalisme dan deradikalisasi agama, foto, surat, memo dan lainnya yang terkait dengan pencegahan radikalisme agama77; ketiga, cara pengumpulan data. Pengumpulan data terkait dengan bagaimana masyarakat nagari Sungai Buluah kabupaten Padang Pariaman dan Koto Tangah Simalanggag kabupaten Lima Puluh Kota memberdayakan kearifan lokal yang mereka miliki--mengelola tempat ibadah, memberdayakan adat, membingkai narasi lokal kontra radikalisme, dan memfungsikan peran kepemimpinan tarekat bagi pencegahan radikalisme agama menggunakan teknik wawancara dan observasi. Sementara terhadap data-data

76Sanapiah Faisal, “Pengumpulan dan Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif,”

dalam Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, ed. Burhan Bubgin, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), 64

77Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi (Malang: IKIP Malang, 1990), 81

Page 42: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

29

pemberdayaan kearifan lokal bagi pencegahan radikalisme agama yang terdokumentasi atau tercatat, digunakan dokumen dan catatan. 4. Teknik Pengorganisasian Data Teknik ini digunakan untuk memindakan hasil wawancara dan observasi ke dalam transkrip wawancara atau lembaran deskripsi hasil observasi. Dari transkrip wawancara dan observasi dilakukan pengklasifikasian data berdasarkan tema-tema penelitian yang telah ditetapkan pada pembatasan masalah. Dalam analisis data penelitian Miles dan Huberman, proses ini disebut dengan reduksi data/data reduction. Reduksi data dilakukan terhadap data yang terkait dengan pengelolaan tempat ibadah, pemberdayaan kelembagaan adat, pembingkaian narasi lokal kontra radikalisme agama dan memfungsikan peran kepemimpinan terekat bagi pencegahan radikalisme agama di kabupaten Lima Puluh Kota dan Padang Pariaman. Proses mentranskrip ini juga disebut dengan koding.78 Data terkait dengan catatan dan dokumen juga diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi data di atas. 5. Teknik Analisis Data

Setelah data ditranskrip berdasarkan klasifikasi yang sesuai dengan batasan atau tema-tema penelitian yang telah ditetapkan, data tersebut dideskripsikan dalam bentuk matriks data dengan kategori-kategori yang didasarkan pada pembatasan masalah penelitian. Model analisis data ini sering disebut dengan display data—pengorganisasian ke dalam suatu bentuk tertentu sehingga terlihat sosoknya secara lebih utuh. Misalnya pengelolaan tempat ibadah, pemberdayaan kelelmbagaan adat, pembingkaian narasi lokal kontra radikalisme dan kepemimpinan tarekat di nagari Sunagai Buluah Kabupaten Padang Pariaman dan Koto Tangah Simalanggang Kabupaten Lima Puluh Kota. Matriks ini berisi deskripsi keempat pola pencegahan radikalisme agama yang berjalan di kedua lokasi penelitian di atas. Dari matriks ini, peneliti bisa membangun tipologi-tpologi kedua nagari tersebut dalam usaha mereka melakukan pencegahan radikalisme agama. Dan dari tipologi-tipologi ini bisa dilakukan perbandingan. Model perbandingan ini disebut juga dengan model constant Comparative analysis—analsis perbandingan ini dilakukan untuk mempertajam daya jelajah dan daya lacak dalam proses pengumpulan data dan analisis data. Rangkayan kata-kata tanya yang sering dugunakan dalam hal ini adalah apa, siapa, bagaimana, di mana, kapan, dan mengapa. Penelitian ini juga menggunakan teknik analisis Trianggulasi baik teknik, waktu, maupun data79. Karena berbeda wilayah adat, maka terdapat perbedaan tipologi pencegahan radikalisme. Tetapi karena masih berada dalam hukum adat Minangkabau juga terdapat persamaan di antara keduanya. Perbandingan tipologi ini sangat penting dilakukan karena wilayah penelitian penulis adalah dua wilayah Adat Minangkabau yang berbeda yakni wilayah adat

78Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan

Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu (Jakarta: Rajawali Press, 2014), 174 79Sanafiah Faisal, Penelitian, 71-75

Page 43: KEARIFANLOKAL BAGIPENCEGAHANRADIKALISMEAGAMA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44947/1/Sefriyono_Fix.pdf · terlaksana dalam bentuk: Pertama, pengelolaan penggunaan

30

rantau yakni Pariaman dan wilayah adat darek yakni luhak Lima Pulu Kota yang pernah menjadi pusat radikalisme Padri sementara rantau tidak.

Grafik. 1. Siklus Analisis Interaktif Miles dan Huberman

H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan disertaasi ini diurutkan dari Bab I. Pendahuluan, yang

teridiri dari: Latar Belakang Masalah, Indentifikasi, Perumusan dan Pembatasan

masalah;Tujuan Penelitian; Singnifikansi Penelitian; Penelitian Terdahulu yang

Relevan; Kajian Teori; Metodologi Penelitian; Sistematika Penulisan. Bab II.

Pencegahan Radikalisme Agama Berbasis Kearifan Lokal, yang terdiri dari:

Radikalisme Agama, Deradikalisasi, Disengagement, dan Pencegahan; Kearifan

lokal bagi Pencegahan Radikalisme Agama; Mobilisasi Sumber Daya Lokal bagi

Pencegahan Radikalisme Agama; Politik Lokal bagi Pencegahan Radikalisme

Agama; Pembingkaian Narasi Lokal Kontra Radikalisme Agama; Kerangka

Pemikiran. Bab III. Islam, Adat, dan Dinamika Gerakan Keagamaan di Sumatera

Barat, yang terdiri dari: Islam dan Adat Minangkabau; Luhak Rantau: Varian

Keislaman Lokal Minangkabau; Gerakan Padri; Gerakan Salafi; Gerakan Majelis

Mujahidin Indonesia; Sungai Buluah dan Koto Tangah Simalanggang. Bab IV.

Pengelolaan Tempat Ibadah bagi Pencegahan Radikalisme Agama, yang terdiri

dari: Surau Kaum dan Masjid Nagari; Pola Pengelolaan Surau Kaum dan Masjid

Nagari; Strategi Pengelolaan Tempat Ibadah. Bab V. Pemberdayaan Adat

Minangkabau bagi Pencegahan Radikalisme Agama, yang terdiri dari: Alasan

Adat Menolak Kelompok Radikal; Sikap Adat terhadap Kelompok Radikal;

Sanksi Adat terhadap Kelompok Radikal. Bab VI. Pembingkaian Narasi Lokal

Kontra Radikalisme Agama, yang terdiri dari: Diagnosis Pencegahan Radikalisme

Agama; Prognosis Pencegahan Radikalisme Agama; Pembingkaian Motivasi

Pencegahan Radikalisme Agama. Bab VII. Peranan Tarekat bagi Pencegahan

Radikalisme Agama, yang terdiri dari: Tarekat dan Struktur Sosial Nagari;

Kharisma Tokoh Tarekat. Bab VIII. Penutup, yang terdiri dari: Kesimpulan dan

Saran.

Data collection

Data display

Data Reduction Conclusion

drawing/verivying