DIALOG SEBAGAI SEBUAI-I METC>DOLOGI PENDIDII
Transcript of DIALOG SEBAGAI SEBUAI-I METC>DOLOGI PENDIDII
DIALOG SEBAGAI SEBUAI-I METC>DOLOGI
PENDIDII<:AN ALTERNA TlF
(Telaah Pernikiran Paulo Freire)
Olch
NURAINI
NIM: 198011014139
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas llmu Tarbiyah dan l(eguruan UIN SyarifHidayatullah
Jakarta
1424 H/2003 M
DIALOG SEBAGAI SEBUAH METODOLOGI
PENDIDil<AN AL TERNA. TIF
(Telaah Pemikiran Paulo Freire)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguman
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sai:jaiia Tarbiyah
Oleh
Nuraini NIM• 198011014139
Di Bawah Bimbingan
Dr. Dede R s Cla M.A. NlP•l5 231356
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah UIN Syarif IIidayatullah
Jakarta
1424 H/2003 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul DIALOG SEBAGAI SEBILJAH METODOLOGI
PENDIDIKAN ALTERNATIF (TELAAH PEMlKIRAN PAULO FREIRE)
Telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas llmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif l-!idayatullah Jakarta pada tanggal 16 September 2003. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata I
(S-1) pada jurusan Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, 16 September 2003
Sidang Munaqasah :
ekan/
Ko "Morn ~'"°'"
Penguji I
Bahri. alim M.A Nip 150 289 253
Anggota:
Pudek Ill/ Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. H. Mahsusi MD, MM Nip. 150 233 073
Penguji II
'Tjl#pt:t/fr'Pq> l A1ni11uddin Yakuh, M.Ag
Nip. 150 282 685
KATA PENGANTAR
' ~ )1 03" )1 ..&1 ('"""-!
Alhamdulillah, akhirnya skripsi ini usai juga. Seiring dengan banyaknya
tuntutan yang selau datang, banyaknya beban yang harus dipikul dan semua cobaan
yang harus dihadapi, sehingga saya tidak tahu lagi harus bagaimana menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis sadar, bahwa hanya dengan Do 'a dan Harapan kepada sang Maha
Perhatian Yang Menguasai seluruh Jagad Raya inilah akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini, walaupun terkadang mtivasi menjauh dari diri
penulis, dan waktu istirahat yang harus ikhlas untuk di curi.
Oleh karena itu saya ingin menyampaikan terimakasih, kendati ucapan
terimakasih ini belum culrnp untuk membalas semua yang telah diberikan kedapa diri
penulis. Han ya do' a yang dapat say a persembahkan, semoga jasa baik an turn
semuanya dibalas oleh Sang Maha Pemberi dan Maha Adil. Amiin. Ucapan
terimakasih ini kepada :
Pertama dan yang paing utama saya panjatkan Puji dan Syukur tiada terhingga
kepada Allah SWT. Yang dengan Kemurahan-Nya masih memberi hamba ruh dan
waktu luang serta kesehatan, untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tak lupa
pula saya haturkan shalawat dan salam kepada Rasulullah sang junjungan yang
membawa manusia ke zaman terang benderang.
IV
Selanjutnya, saya ucapan terimakasih kepada :
I. Dekan Fakultas Tarbiyah, Bapak Prof Dr. H. Salman Harun, selaku pimpinan
Fakultas.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak Drs. Abdul Fatah Wibisono
M.Ag. dan Sekretaris Jurusan Bapak Akhmad Sadiq M.Ag, yang telah
membimbing dalam penulisan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Dede Rosyada MA, yang dengan tulus clan ikhlas meluangkan
waktunya untuk membaca dan mengoreksi skripsi ini walaupun sebenarnya
beliau sedang sibuk untuk mempersiapkan perjalanan Ice luar negen.
Suhhanallah, semoga Allah memhalas semuajasa baik Bapak, amin
4. Kakek yang terhormat, H. Rohmatullah clan Nenek yang tercinta Hj. Siti
Maryam yang selalu melantunkan do' a untuk diri penuli1 ..
5. Ayahanda H. Abu Bakar (Alm) clan Ibunda Siti Marfu'ah yang selalu
memberikan dukungan moril maupun materiil dan selalu memberi yang
terbaik dalam hidup ini.
6. Adik-adik tersayang, Ipul, Wawan, Santo dan Yuli yang selalu memberi
motivasi. Bibi Hayati beserta suami dan Bibi Hamidah beserta suami, yang
juga selalu memotivasi penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Ora. Elia beserta suami yang selalu mengingatkan ketika penulis sedang
down.
8. Kanda Dedy Sa'dallah SHI, yang telah mengenalkan penulis kepada karya
Paulo Freire dan memberikan informasi untuk penulisan skripsi ini.
v
9. Kanda Safa'at Setiawan S.Pd. I dan istri, yang telah tulus menghadiahkan
waktu istirahatnya untuk membantu penulis dalam memahami basil karya dari
Paulo Freire.
I 0. Keluarga Besar Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak
Mukhsin, Bapak Sinan, Bang Ai, Cecep, dan lain-lain.
11. Teman-teman IRMAFA (Ana, Sari, Ris, Hani, Rusdi & Ajeng, Dewi, Ervan,
Ris, Salman faris, Hadhir, dan Faisal). Teman-teman HIQMA (Bang Zul,
Dayat, Ade, Karlina, Eria, dan Uung). Teman-teman PMII (Bang Hilal, Irul)
dan teman-teman PAI C '98 (Ayu, Wardah, !mas, Fatah, Soleh, Del vi, dll).
12. Dewan Guru TK Taman Hati dan TPA Al-lttihad yang rela menggantikan
tempat dan tugas penulis ketika penulis sedang menyelesaikan tugas skripsi.
Terakhir, saya berharap semoga skripsi ini-walaupun jauh dari sempurna-dapat
bermanfaat bagi kita semua khususnya diri penulis, amiin.
Jakarta, 31 Agustus 2003
Penulis
VI
DAFTAR !SI
HALAMAN JUDUL ...................................................................... .
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .. ... . ... 11
LEMBAR PENGESAHAN ........................ . lll
KATA PENGANTAR ................................ .. IV
DAFT AR ISI ......................................................................................... . VIJ
BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................... ..
B. Tujuan Penulisan ........................................... . 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................. 7
D. Metode Pembahasan ................................................................... . 7
E. Sistematika Penulisan..................................................................... 8
BAB II RIVvAYAT HlDUP PAULO FREIRE
A. Riwayat Hidup ........................................ . IO
B. Kondisi Pendidikan Pada Masa Paulo Freire .................... .. 17
C. Karya-karyanya..................... .. .. .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 20
BAB III KONSEP PENDIDIKAN PAULO FREIRE TENTANG DfALOG
A. Pengertian Dialog, Menurut Paulo Freire ............ .. 26 I
B. Dialog Sebagai Metode Pembelajaran ................. .. 34
C. Dialog Sebagai Motifasi Belajar ...................... .. 45
VII
BAB IV RELEVANSI METODE DIALOG DALAM PRAKSIS
PENDIDIKAN
A. Metode Dialog Antara Realitas dan Target Filosofis ....... . 53
B. Pendidikan Dialog Versus Pendidikan Dogmatif ... 62
C. Dialog Sebagai Sebuah Wacana Masyarnkat Modern...................... 65
BAB V PENUTUP
A. Kesirnpulan ...................................................................... . 68
B. Saran ................................................... . . ...................... 69
DAFTAR PUSTAKA .................................. . 71
Vlll
A. Latar Belakang Masalah
BAB I
PENDAHULUAN
Masih ada catatan-catatan yang perlu digarisbawahi jika kita melihat potret
pendidikan di Republik ini. Catatan itu misalnya tawuran pelajar yang kerap kali
terjadi di kalangan sebagian pelajar baik di Jakarta maupun di kota-kota lain di
Indonesia.
Mengapa pelajar masih terus berkelahi? Padahal setengah hari penuh, mulai
maulai dari pukul 07.00 sampai pukul 13.00 mereka berada dalam lingkungan
sekolah, lingkungan yang akan membentuk sikap, perilaku dan otak mereka agar
terhormat. Tapi sebaliknya, bukannya terbentuk sikap yang santun dan pintar, justru
perilaku premanismelah yang muncul.
Secara teoritis, siswa di sekolah diajari sikap menghormati dan menghargai
antar sesama. Akan tetapi, kenyataan yang berlangsung di luar sekolah adalah siswa
berkelahi, saling baku hantam, bahkan mereka bernafsu untuk saling membunuh.
Adakah yang salah dalam kurikulum di sekolah? Mengapa nilai-nilai
kemanusiaan yang diberikan di kelas pupus setelah siswa berada diluar sekolah.?
Hal ini bisa terjadi, karena di sekolah yang terlihat adalah proses pengajaran
dan bukan proses pendidikan. Murid digiring untuk mengha.pal ilmu pengetahuan
secara teoritis agar mendapat nilai bagus. Akan tetapi mereka tidak diajarkan cara
untuk mengamalkan ilmu pengetahuan itu melalui sikap keseharian, kurang
l
2
diperhatikan oleh i,>um, dan mereka tidak diajarkan bagaimana cara agar mendapat
nilai bagus serta mereka tidak pernah dilibatkan -dimintakan pendapat- tentang
pelajaran yang scdang dipelajari, jadi gurulah yang berbicara dari awal mulai belajar
sampai habis waktu belajar dan murid hanya duduk dan mendengarkan.
Melihat dari fenomena di atas, terlihat bahwa proses pembehtjaran yang
dialogis di kelas tidak terjadi, sehingga murid tidak pemab mendapat kesempatan
untuk mengungkapkan gagasan-gagasan yang ada dipikirannya. Akibat dari tidak
adanya kesempatan murid untuk mengungkapkan gagasan-gagasan itu, maka murid
menjadi malas untuk berpikir kreatit: tidak kritis dan merasa tidak tertantang untuk
membahas pelajaran yang sedang dibahas. Mereka hanya dipaksa untuk menerima
penjelasan dari guru lalu di tulis dan kemudian dihafal. Jika diibaratkan maka siswa
itu seperti dipaksa untuk memakan makanan yang sudah matang tanpa dia harus tahu
apa makanan itu dan bagaimana cara rnarnasaknya .
Menurut Paulo Freire ( ahli pendidikan dari Brazil ), proses pendidikan seperti
itu telah rnemperkuat kebudayaan bisu dan mernperluas penindasan kognitif Lalu,
dari mana kita mulai untuk mernbenahi agar di sekolah benar-benar terjadi proses
pendidikan yang dialogis?
Jika rnengajar itu adalah suatu peristiwa yang rnemiliki tujuan, maim agar
dapat mencapai tujuan itu haruslah dibuat perangkatnya dan perangkat itu adalah
kurikulum.
Secara sederhana kurikulum dapat diartikan sebagai suatu rencana pendidikan
yang disusun berdasarkan prinsip atau pendekatan tertentu untuk memberikan
3
kesempatan terbaik bagi guru dan murid dalam mengembangkan keahlian pribadi dan
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, agar nilai-nilai humanisme terserap dan terpancar
melalui sikap keseharian anak, maka domain kognitif dalam kurikulum perlu
dikurangi. Proses pembelajaran harus benar-benar menged•~pankan domain afektif
clan psikomotor. Jika kurikulumnya adalah pendidikan agama, maka aspek
amaliahnya (afektif) harus ditonjolkan.
Dalam Pedagogy of the Opressed, Freire banyak mengkritik pendidikan yang
tidak kritis, yakni pendidikan yang diarahkan untuk dornestifikasi, (penjinakkan)
penyesuaian sosial dengan keadaan penindasan inilah pendidikan yang lazim selarna
ini oleh pemerintah-pemerintah negara pendidikan dianggap mempunyai investasi
material untuk rneneruskan tradisi dan kekayaan bangsa kepada generasi penerus.
Maka Freire menyebut modul pendidikan semacam ini sebagai hanking education.
Dalam pola pendidikan ini hubungan guru murid bersifat kontras dan
vertikal. Murid adalah objek yang digarap oleh guru, di mana murid itu terkesan
bodoh, pasif dan tidak berpengetahuan. Sementara guru adalah subjek aktif yang
menjadi panutan. Seluruh kekayaan pengetahuan clan nilai-nilai hanya ada pada guru.
Karena itulah, identitas yang ditanamkan adalah murid harus meniru guru. Padahal,
tidak semestinya begitu, belum tentu guru itu pintar selamanya dan murid itu bodoh
selamanya. Sebagai contoh, Freire bercerita bahwa dia perna.h terlibat dalam diskusi
hangat dengan petani-petani yang buta huruf Diskusi sangat ramai, sampai salah satu
petani menghentikan cerita teman-temannya dengan kritik bahwa mereka seharusnya
diam clan mendengarkan Dr. Freire. Kata petani itu, "mana mungkin Freire tidak tahu
4
apa-apa, padahal dia sudah profesor". Freire tertawa dan men1,,'Usulkan mereka untuk
bermain bersama. Dia akan bertanya kepada petani dan kalau petani tidak tahu
jawabannya, maka Freire dapat satu poin. Dia bertanya., misalnya, "bagaimana
pengaruh Hegel dalam pemikiran Marx?" Mereka tertawa, tidak tahu. Freire dapat
satu poin. Kemudian mereka bertanya, "Bagaimana memakai pupuk hijau?" tidak
tahu. Mereka dapal salu poin, dan seterusnya sampai skomya 10-10. 1
Dari cerita di atas, menunjukkan bahwa belum tentu orang yang
berpendidikan tinggi (guru) tahu akan segalanya dan belum tentu pula orang yang
berendidikan rendaha atau tidak berpendidikan tidak tahu segalanya, Dalam hal ini
seperti guru dan siswa. Oleh karena itulah, pembelajaran yang dialogis sangat
diperlukan untuk memancing sebatas mana pengetahuan :;iswa dan didiskusikan
bersama oleh guru dan siswa, sehingga dengan adanya pembelajaran yang dialogis,
siswa menjadi termotivasi untuk bersikap kritis terhadap apapun dan secara otomatis
rasa ingin tahupun timbul sehingga mereka merasa harus belajar untuk memenuhi
rasa ingin tahu mereka.Dengan sedirinya rasa ingin tahu itupun akan membentuk
fikiran yang kritis dan kreatif
Sebagai sebuah upaya pembenahan terhadap kurikulum maka tentu saJa
konsep ini perlu mendapat dukungan dari semua pihak agar dapat mencapa1 hasil
yang maksimal maka dari itu dan juga sebagai sebuah upaya agar kita semua dapat
mengenal lebih jauh tentang konsep pendidikan Paulo Freire dan diri pribadinya
'Paulo Freire, Paedagogya/Hope. (New York:Continuun, 1994) Hal. 46-47
5
maka penulis sengaja memberi judul skripsi ini dengan ")[)ialog Sebagai Sebuah
Metodologi Pendidikan Altematif: Telaah Pemikiran Paulo Freire". Adapun
alasan penulis menggunakan judul ini karena:
I. Tidak selamanya guru itu tahu akan segaJa ha! dan tidak selamanya pula
murid itu bodoh.
2. Dialog adalah cara untuk merangsang anak murid agar bersikap krilis.
B. Tujuan Penulisan
Pendidikan adalah kunci dari kehidupan, pendidikanlah yang membuat
manusia menjadi mampu berfikur kritis dan kreatif da11 mempunyai budaya, dan
pendidikan pulalah yang membuat manusia menjadi bermoraL Tanpa pendidikan,
mungkin bumi ini tidak akan bertahan lama karena tidak adanya keinginan manusia
untuk melestarikannya dengan cara membuat budaya atau berfikir kreatif
Oleh karena itu, penulis sengaja membahas tentang pendidikan Paulo Freire,
terutama dari segi metodologinya adalah agar pendidikan di Indonesia tidak lagi
berada dalarn keterpurukan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak wakil
presiden Hamzah Haz pada pembukaan Book Fair buku-buku Islam di Senayan pada
tanggal 7 Maret 2003 lalu, beliau mengatakan "K walitas pendidikan Indonesia
mendapat ranking I 00 dari seluruh dunia, bahkan Vietnampun masih berada di atas
Indonesia yailu Vietnam lingkal 50 dan Singapura pada tingkal ke-20. 2
2 Pctnbukaan Book Fair, Scnayan, 7 Maret 2003
6
Terpuruknya pendidikan di Indonesia ini karena sumber daya manusia yang
kurang dan orang Indonesia dimanjakan oleh sumber daya alam yang ada. Jadi,
dengan adanya ungkapan bahwa "negara Indonesia kaya, negara Indonesia subur
bahkan kayapun bisa jadi tanaman" itu malah membuat orang Indonesia menjadi
terbuai dengan ungkapan itu dan hanya menghabiskan kekayaan yang ada dan
bukannya berfikir apakah yang mesti mereka lakukan agar negara mereka tetap
menjadi kaya dan subur selamanya?
I ni semua terjadi bukan sepenuhnya kesalahan dari penduduk Indonesia itu
sendiri, tapi ini adalah juga warisan dari penjajah yang pada saat mereka berada di
Indonesia, mereka membuat orang Indonesia bodoh, dengan earn tidak mengizinkan
rakyat miskin untuk sekolah dan hanya orang elitlah yang boleh sekolah itupun
peraturannya ditentukan oleh mereka.
Jadi, walaupun penjajah mengizinkan kaum elit bernekolah, didalamnya ada
peraturan bahwa murid tidak boleh kritis (banyak bertanya), dan hanya gurulah yang
boleh berbicara di dalam kelas. Kebiasaan yang tidak boleh kritis inilah yang
membuat murid enggan berfikir kreatif dan murid hanya difungsikan untuk
mendengar ceramah guru dan menghafalnya.
Tujuan penulisan ini adalah untuk membangkitkan kesadaran dari dalam diri
peserta didik akan pentingnya belajar tanpa ia dipaksa oleh fihak luar atau orang lain.
7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penulis membatasi pembatasan ini pada pengenalan tentang toloh Paulo Freire
dan pembahasan tentang konsepnya mengenai dialog. S·edangkan permasalahan
dalam pembahasan skripsi ini penulis merumuskan sebagai berikut:
I. Siapakah Paulo Freire?
2. Bagaimana Konsep Pendidikan Paulo Freire?
3. Bagaimana Paulo Freire merealisasikan konsep pendiclikannya?
4. Bagaimana konsep Paulo Freire tentang dialog?
D. Metode Pembahasan
Dalam upaya memperoleh data-data clan infomiasi mengenai berbagai ha!
dalam pembahasan skripsi ini, penulis mengadakan penelitian dari berbagai sumber
kepustakaan (Librwy Research), yaitu meneliti sumbe:r-sumber aktual yang
merupakan data-data tertulis baik itu berupa buku-buku maupun sumber lain yang
memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas.
Adapun mengena1 pembahasannya, penulis menggunakan pendekatan
hermeneutik yaitu dengan berusaha memberi penafsiran pada pemikiran Paulo Freire
tentang dialog.
Terdapat dua jenis sumber yang menjadi rujukan dalam pembahasan skripsi
mt, yang pe11ama yaitu sumber primer (pokok) dengan menggunakan buku-buku
karangan asli dari Paulo Freire, walaupun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia seperti Pendidikan Kaum Tertindas, Paedagogi Pengharapan, Paedagogi
8
Hali, Me1!jadi Guru Merdeka. dan juga buku lain yang berhubungan dengan
pernikiran Pulo Freire seperti, Seko/ah Kapita/isme yang Licik. Kedua, yaitu, surnber
sekunder (pelengkap) yaitu penulis menggunakan karya-karya para tokoh lain yang
pembahasannya masih memiliki relevansi dengan isi atau muatan skripsi.
Sedangkan teknik penulisan dalam skripsi ini penulis menggunakan buku, Pedo111a11
pe1111/isa11 Skripsi, Tesis dan Disertasi IAIN Syarif Hidayatu//ah Jakarta sebagai
pedoman dalam penulisan skripsi.3
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini disusun secara sistematis, agar pembaca dapat
dengan mudah rnemahami isi permasalahan yang dibahas. Skripsi ini terdiri dari lima
bab, dan setiap bab terdiri dari atas beberapa pembahasan.
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini diuraikan secarn singkat tentang latar
belakang masalah, tujuan penulisan, pembatasan dan perumusan masalah, metode
pembahasan, dan sistematika penulisan.
Bab II Memaparkan tentang riwayat hidup Paulo Freire, Kondisi Pendidikan
pada masa Paulo Freire dan karya-karyanya.
Bab III Menjelaskan konsep Pendidikan Paulo Freire yang mencakup
pengertian dialog, dialog sebagai metode pernbelajaran, dan dialog sebagai motivasi
belajar.
3TlM Pcnyusun IAIN Jakarta, Pedoman penulisan Skripsi. Tesis dan Diserlasi fil!N Syarif ! !idayatullah .Jakarta, (J<1karta:IAIN Jakarta Press dan Logos, 2000), Cctakan kc-l
9
Bab IV Relevansi metode dialog dalam praksis pendidikan terdiri dari
rRelevansi dialog antara realitas dan target filosofis, pendidikan dialog versus
pendidikan dogmatif, dan dialog sebagai sebuah wacana masyarakat modern.
Bab V Penutup, kesirnpulan dan saran.
Daftar Pustaka.
BABU
RIWAYAT HIDUP PAULO FRE!RJ~
A. Riwayat Hidup
Paulo Freire adalah seorang tokoh pendidikan yang berasal dari Brazil. Ia
lahir pada tanggal 19 September tahun 1921 di kola Recife, daerah timur laul Brazil. 1
Namun menurut Richard Shaull seperti dikutip Hanif bahwa Freire lahir pada tanggal
15 September 1921 di Recife yang merupakan pusat salah satu daerah yang
lerbelakang di dunia keliga.2 Ia dilahirkan dalam keluarga menengah, namun sejak
kecil ia telah hidup dalam situasi kemiskinan sebagai akibat dari krisis ekonomi yang
menimpa Amerika pada tahun 1929, yang akibatnya dirasakan juga oleh masyarakat
Brazil. Keadaan ini menjadikan keluarga Freire bagian dari 'kaum rombeng dari
muka bumi'. Dalam realitas sosial seperti itulah yang memaksa Freire meninggalkan
bangku sekolah dan ikut merasakan sakitnya orang kelaparan. Keadaan yang
demikian itu kemudian mendorong Freire pada usia sebelas tahun menyatakan tekad
untuk mengabdikan hidupnya bagi perjuangan melawan kemiskinan, sehingga ia
ingin anak-anak lain tidak lagi mengenal penderilaan seperti yang ia alami.3
1 Leslie Bentley, DR. Paulo Freire. A Brief Biography, http : // "'ww. Unmnaha. edu·-pto/Paulo
2 Muh. HanifDakhiri, Paulo freire, Islam dan Pe111bebasa11, (Jakarta : Djambatan), 2000, h. 17
.l Richard Shaull, "Kala pcngantar dalarn Paulo Freire". fJendidik.an l{au111 1'ertilulas, (Jakarta: LP3S, 2000), ccl. kc-3, h. XI
JO
I I
Ayah Paulo Freire bernama Joquin Temistockies Freire, yakni seorang polisi
militer tidak telalu taat pada agamanya, sehingga jarang sekali pergi ke gereja.
Sedangkan lbunya, Edeltrus Neves Freire, beragama Khatolik. Kedua orang tuanya
ini, seperti diakui Freire sendiri, sangat baik budi pekertinya clan cakap, serta mampu
menumbuhkan rasa cinta terhadap sesama. Tak lupa pula, kedua orang tuanya juga
bersikap adil. "Merekalah yang dengan contoh dan cinta, mengajarkan dialog dan
menghormati orang lain", begitu kata Freire saat menggambarkan watak kedua orang
luanya. 4
ltulah sebabnya, menurut John W. Donohue bahwa, Cinta dan komunikasi ini
merupakan tema sentral dari segala gagasan Freire. Kata John, "Freire seperti
Socrates yang berasal dari Brazil". Predikat ini, memang ada benarnya juga. Sebab,
keduanya -yakni, Socrates dan Freire- sama-sama menekankan pentingnya sebuah
dialog, meskipun hams diakui ada aspek perbedaannya juga. Misalnya, Socrates lebih
bersifat intelektualistik, sedangkan Freire lebih mengimplementasikan dalam
kerangka praksisnya. 5
Pada saat Freire masih kuliah di Universitas Recife, ia bertemu dengan
seorang wanita yang juga guru di Sekolah Dasar (SD) Maria Casta de Olievera, dan
dialah yang akhirnya menjadi istri Freire, wanita itu bernama Elza. Mereka menikah
pada tahun 1944 ketika Freire berumur 23 tahun. Dari isterinya inilah Freire
4 Budhy Muna\var - Raclunan, Isla111 /:Jrularis, Wacana Kcsctaraan Kau1n Bcrirnan, (Jakarta : Parnmadina), eel.I, 200 L h. 366
5 /hid.
12
memperoleh dorongan-dorongan untuk mendalami pemikiran pendidikan. Bahkan
menumt Leslie Bentley mengutip pendapat Gadotti, bahwa isterinyalah yang
mendorong Freire untuk menemskan studinya dan juga membantunya dalam
mengelahorasi metode pendidikannya dari sejak awaL Dari perkawinannya, Freire
memperoleb lima orang anak, dan liga orang dianlaranya menjadi guru6
Pada tahun 1959 Freire memperoleh gelar Doktor dalam bidang sejarah dan
filsafat pendidikan di Universitas Recife. Inilah soal pertama kalinya ia
mengemukakan pemikirannya tentang filsafat pendidikan melalui disertasi doktornya.
Dan kemudian pemikirannya juga banyak disampaikan melalui karya-karyanya
sebagai maim gum sejarah dan filsafat di Universitas itu pula. Selain itu juga melalui
berbagai percobaannya dalam pengajaran kaum buta humf di kota Recife itu pula.
Pemikiran pendidikan Freire, termasuk disertasi doktomya tidak lepas dari
pengalamannya selama bertahun-tahun dalam melayani masyarakat sehingga
membawanya untuk bersentuhan langsung dengan masyarakat miskin. Dari sinilah
teori pendidikan bermula, dengan tujuan untuk membebaskan masyarakat dari
kepapaan dan kemiskinan, juga dari perampasan hak dan penindasan. Dengan cara
membuat kerangka komunikasi yang dikemas dalam suasana dialogis sebagai metode
dalam pendidikannya terhadap orang dewasa.
Sejak tahun 1961 hingga tahun 1964 Freire kembali bekerja dalam bidang
pendidikan bagi orang dewasa dan juga sebagai pelatih bagi para pekerja, yang
6 Leslie Bentley, Op. cit.,
13
akhirnya mengantarkannya menjadi direktur utama bagian pendidikan dan
kebudayaan di Universitas Recife, setelah sebelurrmya sernpat menjadi pengacara
sebentar dan rnenjadi guru bahasa Portugis (1941-1947). Freire dengan cepat
mendapal pengakuan internasional dikarenakan pengalamannya dalam usaha
pemberantasan buta huruf dengan pelatihan melek hurufoya yang banyak dilakukan
di daerah tirnur laut Brazil terhadap ribuan orang petani. Terutama atas usaha melek
hurufoya yang dilakukan didaerah Anxicos da11 Rio Grande de Norte. Usaha yang
serius mcrnbuat pemcrinlahan Joal Goalarl mcngangkalnya sebagai kctua komisi
Nasional dalam bidang kebudayaan pada lahun 1953.7 Setdah ilu sejak Juni 1963
hingga Maret 1964, tim pemberantasan buta huruf di bawah arahan Freire bekerja
tidak hanya di daerah tirnur laut Brazil melainkan bekerja ke seluruh negeri. Usaha
ini ternyata tidak sia-sia sebab akhirnya mereka meraih kesuksesan dengan membuat
para kaurn buta huruf menjadi bisa rnenulis dan membaca dengan memerlukan waktu
selama 30 jam.
Kampanye pemberantasan huruf yang diprakarsai Freire tidak hanya membuat
masyarakat bisa membaca dan menulis, namun yang paling penting adalah usaha
penyadaran akan realitas dunia yang harus dihadapi dan tidak hanya diterima begitu
saja dengan beradaptasi dengannya.
Pada tahun 1964 Freire ditangkap dan dipenjara selama 70 hari dan ia
dianggap sebagai penghianat negri Brazil dengan metode pendidikannya, yaitu
7 tv1uacir Gadotli, dan Carlos Alberto Torres, !)ratio !•i·eire A /lcnnage, http://nlu.nl. cdu/acc/Homagc.html.
14
pemberanlasan bula huruf 8 Kudela 1964 mengakhiri eksperimen pelalihan
pemberantasan buta huruf tersebut. Freire meringkuk dipenjara selama 70 hari dan
akhirnya dibuang. Dia harus kembali ke Brazil pada talmn 1980. Freire sudah
mengajar di Universitas-universitas Brazil sebelum tahun 1964. Dalam pengasingan,
meskipun ia mengajar di seluruh dunia, ia hanya bekerja sama secara ma1jinal dengan
Universitas, kadang-kadang mengajar seperti di Harvard selama satu semester, tahun
I 969, atau di Universitas Jenewa secara sporadis dari tahun 1970 sampai I 979.
Sekembalinya ke Brazil tahun I 980, Freire mendapat posisi akademisi di Universitas
Campinas dan Universitas Khatolik, keduanya di Sao Paulo. Selain pengalaman dari
reputasinya, baru dua belas tahun terakhir Freire menjadi senang akademis yang
terlibat penuh dalam pendidikan tinggi, penelitian dan penyuluhan di Universitas-
Universitas Brazil dan menghasilkan waktu singkat sebagai profesor terkemuka di
Universilas-Universitas Amerika Serikat, Kanada dan Eropa.9
Setelah 70 hari di penjara, Freire kemudian diasingkan keluar negeri selama
tujuh belas tahun. Setelah beberapa waktu tinggal di Bolivia, ia kemudian menetap di
Chili. Di negara inilah Freire menghabiskan waktunya selama lima tahun untuk
bekerja pada sebuah organisasi internasional (UNESCO) dan Lembaga Pembaharuan
Pertanian Chili dalam program-program pendidikan masyara.kat. IO Hingga akhirnya
8 Paulo Freire. Penclidikan Yang Me111bebaskan (selanjutn.va disebut ,\,fe111bebaskan), (Jakarta: Malibas 200 I), cct. kc-1, h. 86
9 Escobar. Seka/ah Kapitalisme Yang Licik, LKiS, hal. 16
10 Muh. Harif Dakhiri, op, cit., h. 18
15
Chili menjadi salah satu negara diantara lima negara yang telah berhasil dengan baik
mengatasi buta huru[
Freire meninggalkan Amerika Latin untuk kemudian bekerja di Universitas
Harvard. Di sinilah ia memperoleh gelar profesor. la mengajar dalam bidang
pendidikan, ia juga menjadi anggota dalam Pusat Studi Pengembangan dan
Perubahan Masyarakat pada tahun 1969. 11 la meninggalkan Harvard unluk kemudian
memenuhi undangan ke Jenewa pada tahun 1970. Freire ditunjuk sebagai penasehat
pada Kantor Pendidikan Dewan Gereja sedunia di Swiss. Selama waktu inilah Freire
sering berkunjung ke berbagai negara di dunia dalam usaha menolong negara-negara
tersebut dalam memberantas buta huruf clan merealisasikan program pendidikannya.
Salah satu kunjungannya yang sangat berkesan adalah ketika ia diundang ke Guinea
Bissau di Afrika Baral pada tahun 1975. Surat-surat selama ia menangani
pemberantasan buta huruf disana ia kumpulkan dalam bukunya, Pedagogy in
Process. 12
Setelah selama 15 tahun ia dicekal dan diasingkan keluar negri oleh
pemerintahan militer Brazil, pada tahun 1979 ia diperbolehkan kembali ke negaranya,
walaupun ia kembali ke Brazil baru pada tahun 1980. Menurut Leslie Bentley dalam
biografi Freire dikatakan bahwa Freire setelah kembali ke Brazil bergabung dengan
The Worker's Party di Sao Paulo, dan sejak tahun 1980 hingga 1986 ia menjadi
11 Denis Collins, Paulo Fi·eire, http://nlu.nl.edu/acc/resourccs/Freirc.htm.l.
12 Paulo Freire, Pendidikan Sehagai Proses, (Jakarta: Pustaka Pclajar, 2000), eel. kc-I, h. 6
16
pengawas dalam proyek pemberantasan buta huruf pada tahun 1988 partai yang
berikutnya (Worker's Party) memperoleh kemenangan dalam pemilu, sehingga ia
diangkat menjadi menteri pendidikan untuk daerah Sao Paulo. Segala kebijakan dan
bembaharuan dalam pelatihan program melek hurufuya mi~mpunyai dampak yang
besar di kota tersebut dan juga di Brazil hingga saat ini. Dan pada tanggal 12 April
1991 Freire mendirikan Paulo Freire Institute atas inisiatif dari dirinya sendiri.
Berbagai macam penghargaan ia peroleh sebagai pengakuan dunia terhadap
praktek dan konsep pendidikannya. Diantara penghargaan yang ia terima adalah gelar
doktor honoris, penghargaan dari raja Balduin untuk pengembangan internasional,
penghargaan untuk pendidik kristen yang terkenal bersama dengan Elza isterinya
tahun 1985 dan juga penghargaan untuk pendidikan bagi perdamaian dari UNESCO
pada tahun 1986. Namun sayang pada tahun yang sama isterinya meninggal dunia,
yang akhirnya Freire menikah lagi dengan Ana Maria Araujo Freire. u
Freire meninggal dunia pada hari Jum'at tanggal 2 Mei 1997 dalam usia 75
tahun akibat dari serangan jantung yang menimpanya. Walaupun ia telah mati namun
segala kebijaksanaan, konsep, pemikiran dan penemuannya tetap hidup hingga masa
sekarang ..
D Leslie Bentley, op.cit.
17
B. Kondisi Pendidilrnn Pada Masa Paulo Freire
Pada saat Freire kecil, tahun 1930 an, terjadi krisis ekonomi di Recife. Krisis
itulah yang membuat Freire mende1ita kelaparan. Kejatuhan dalam ceruk kemiskinan
membuat Freire belajar makna sosial.
Krisis ekonomi ini berlanjut sampai Freire dewasa. Freire ingin sekali belajar,
namun karena kondisi ekonomi yang membuat perutnya lapar, sehingga dia mcnjadi
tidak konsentrasi pada saat belajar. Sampai pada saat kakaknya bekerja, Freire baru
bisa makan banyak dan iapun bisa belajar dan semakin bisa memahami apa yang ia
baca. 1'1
Pada us1a Freire yang ke-23, Freire diminta untuk mengaJar pada lembaga
industri di Recife yang memberi kesempatan Paulo untuk bertemu peke1ja dewasa.
Namun inilah yang dijadikan Freire untuk memahami kehidupan para pekerja setelah
ia memahami makna sosial pada masa dia kecil dahulu.
Di Universitas, dan juga di pinggiran kota, Freire terus melanjutkan
pekerjaannya diantara para pekerja dewasa, petani, dan menerima mereka sebagai
siswa sekaligus juga sebagai guru. Ini berlangsung selama I 5 tahun.
Pada tahun l 963 Freire diundang oleh Menteri Pendidikan untuk
mengorganisasikan program pemberantasan guna aksara bagi orang dewasa, yang
sekaligus merupakan momen baru yakni manakala dia mulai dikenal luas oleh publik
di Brazil. Namun demikian momen tersebut berlangsung kurang dari setahun karena
1'1[ra Shor dan Paulo Freire, 1'vfenjadi Guru Afercleka (JJetikan JJe11gala111a11), (Yogyakarta: LK;S,
201!' ), CCI. kc-I, ha!. 43
18
te1jadi kudeta, sehingga Freire harus meninggalkan Brazil. Momen Freire selanjutnya
adalah radikalisasi tra11:Jim11asi, yakni keyakinan Freire bahwa seorang pendidik
pada hakikatnya adalah politisi juga. Keyakinan itu muncul ketika Paulo diasingkan
di Chili. Masa pengasingan adalah priode terakhir perkembangan Paulo dalam
pedagogi dan politik, yailu lenlang pemahaman politik pendidikan. 15
Freire berfikir bahwa yang terjadi pada masyarakat adalah akibat dari
pendidikan, terutama bila yang mengajamya kurang profesional dan metode
mengajamya masih tradisional yang pada umumnya menggunakan metode ceramah,
sehingga murid harus patuh dan mendengarkan penjelasan guru, lalu menghafal apa
yang diberikan (diucapkan) guru. Walaupun Freire belum melihat adanya setting
politik dalam pendidikan, tetapi dalam mengajar Freire sudah menggunakan cara
yang dialogis anlara guru ke murid dan murid ke guru. 16
Pada saat terjadi kudeta, yaitu tahun 1964 Freire ditangkap dan diasingkan ke
Chili karena ia dituduh akan menentang negeri Brazil melalui metode pendidikannya
ilu. 17 Di lempal pengasingan, Freire memikirkan kembali tenlang realitas di Brazil.
Sebaliknya, ko11fro11/asi dengan politik dan sejarah ditempat-tempat lain di Chili,
Amerika Latin, Amerika Serikat, Afrika, Karibia dan Jenewa telah mendorong Freire
untuk memahami terhadap apa yang terjadi. Dari semua peristiwa itulah, Freire ban.1
mendapat jawaban yaitu tentang batas-batas pendidikan. Ternyata kudeta yang
15 Ibid., h.47
"'!hid., ha!. 42
17 Skripsi Safa'at Sctiawan, Konsep /)aulo !~'reire Tentang [Je11cfidika11 /Caun1 Tertindav. 2001. h. 12
19
menyebabkan Freire diasingkan ke Chili malah menimbulkan berbagai pertanyaan
tentang batas-batas peran pendidikan. Melalui pendidikanlah. akhirnya Freire dapat
mengetahui peta kekuasaan masyarakat. Freire dapat menyoroti hubungan kuasa yang
sengaja digelapkan oleh kelas penguasa, dan ini adalah bukti bahwa pendidikan itu
sangal berhubungan dengan politik. 18
Salah satu problem klasik pendidikan adalah kenetralan. Pada tahun 1960-an
sekularisme di Amerika sudah marak. Ada kecurigaan dikalangan pendidik negeri
(Public Schools) bahwa sekolah-sekolah swasta, utamanya sekolah berbendera
keagamaan akan membina anak-anak didik mereka menjadi orang-orang yang
sektarian dan kurang loyal pada negara. Dalam menjawab persoalan 1m, seorang
pendidik Katolik menjelaskan bahwa kecurigaan itu tidak berdasar, sebab pada
hakikatnya pendidikan itu netral. Hendaknya dibedakan antara tujuan karya
pendidikan (Fi11is Operi.1~ dan motivasi orang yang berkarya dalam pendidikan (Finis
Opera11tis). Kegagalan memahami perbedaan antara keduanya ini menyebabkan
orang mudah sekali curiga pada setiap kegiatan publik Gereja dan menghadapkan
dengan negara seolah-olah sebagai otoritas lawan yang menantang dan
membahayakan. Pendidikan gereja lantas dipandang seolah-olah sebagai pendidikan
lain dari pendidikan umum.
Dalam kontroversi tersebut, kedua pihak sebetulnya mempunyai kesamaan
dalam pendidikan yang melihat pendidikan sebagai lembaga atau otoritas, bukan
'"Ira Shor. .. h. 47
20
sebagai kegiatan. Sebagai lembaga pendidikan hams bersikap adil terhadap semua.
Pandangan ini memisahkan pendidikan dari para pelakunya. Bagi Paulo Freire,
pendidikan justru merupakan tindak kultural (cultural actior;~ yang tak pernah lepas
dari minat-minat para pelaku. Para pelaku mempunyai molivasi yang berpengaruh
pada negara pendidikan yang dijalankannya. Oleh karena itu pendidikan tidak pernah
bersifat nctral -dcngan kata lain pcndidikan hams mempunyai komitmen- entah itu
pendidikan negeri maupun swasta, demikianpun para pelakunya. Namun, dalam hal
ini, motivasi idcologis ataupun agamis, rnelainkan pragmatis. Artinya, sebagai tindak
kullural, pendidikan akan meleslarikan alau membongkar kenyataan manusia. 19
C. Karya-Karyanya
Ketika berusia sebelas tahun, Freire bertekad untuk mengabdikan hidupnya
bagi pe1juangan melawan kemiskinan. Sehingga anak-anak lain tidak menderita
seperti yang dia alami. Tekad ini terejleksi dalam karya sosialnya, yang pertama kali
dicetuskan dalam program pemberantasan buta huruf, melalui metodologi yang
sangat unik. Metodologi yang dipakai Freire tidak sekedar membantu dalam
mengajarkan bagaimana membaca, tetapi juga mengajarkan bagaimana "membaca
realitas". Kata Freire, mampu membaca berarti menguasai teknik-teknik itu dalam
rangka mengembangkan kesadaran; yakni mengerti apa yang dibaca, dan marnpu
rnenuliskan apa yang dimengerti. Dalam ungkapan lain, mampu membaca berarti
19 BASIS, N0-01-02 tahun kc-50 Januari-Fcbruari, 2001, h.6, yang mcngutip dari Mccluskey, S.J. 1962, hfm 59-60
21
rnarnpu berkornunikasi terlulis. Karena itu, belajar membaca dan menulis, tidaklah
berarti hanya menghafalkan kalimat-kalimat, kata-kata, atau suku kata yang kosong
dan tidak berkaitan dengan lingkungan eksislensial, tetapi juga mengembangkan
kecenderungan untuk menciptakan dan mencipta lagi untuk menangam
lingkungannya, yang akan membuat kreatif dalam berfikir.
Secara metodologis, yang unik dari metode Frire adalah kemampuan dirinya
dalam melihat kenyataan, bahwa di balik praktik pendidikan yang selama ini ada,
terselip ideologi paternalisme, kontrol sosial, dan hubungan satu arah dari guru dan
murid, maka dari itu, metodologi Freire telah mengakibatkan rejleksi ulang terhadap
sistem pendidikan yang selama ini berjalan (di Brazil). Sebagaimana diketahui
bahwa, di Brazil, pendidikan pemberantasan buta huruf, mempunyai arti politik yang
penting. Hak seseorang untuk ikut serta dalam pemilihan umum, misalnya
diakibatkan dengan kemampuan seseorang itu dalam rnenuliskan nama atau identitas
dirinya. Karena itu tidak mengherankan bila setidak-tidaknya bagi Freire -pendidikan
pemberantasan buta huruf harus berkaitan dengan peningkatan kesadaran politik bagi
masyarakat, yang selama ini menjadi sekadar pendukung kepentingan minoritas
berkuasa.
Kesempatan Freire dalam mengupayakan suatu rnetodologi yang benar untuk
membebaskan masyarakat dari belenggu-belenggu politis kaum penguasa inilah, yang
akhirnya mengilhami lerbitnya beberapa buah karya utama Freire, yakni :20
20 Budhy Munawar- Raclunan, Islam Prularisme ... h. 369
22
Pertama,buku Pedagogy qf The Oppressed, pada tahun 1972, yaitu
merupakan hasil pengamatan Freire selama enam tahun dalam pengasingan politik.
Buku ini penuh dengan kritik terhadap realitas pendidikan yang berfungsi sebagai
sebuah sistem dari lingkaran penindasan. Pendidikan harnslah berfungsi sebagai
sarana secara kritis dan kreatif dengan realitas untuk berperan serta dalam merubah
dunia.
Kedua, buku Education The Practice of Freedom, pada tahun 1976 adalah
sebuah analisa tentang kegagalan Freire dalam mengubah Brazil yang berisi tentang
ulasan mengenai kategori masyarakat, dari masyarakat tertutup, peralihan, dan
masyarakat terbuka, serta kesadaran-kesadaran apa yang mengikuti dalam
perkembangan masyarakat tersebut. Dalam buku ini pula Freire menggambarkan
dengan jelas lingkaran-lingkaran kebudayaan dan cara-cara yang digunakan dalam
berdialog dan berdiskusi dengan para peserta didik.
Ketiga, buku pedagogy in Process : 77ie Le!ters to Guinea Bissau, pada
tahun l 978. Buku ini meripakan kumpulan surat-surat Freire ke Guinea Bissau untuk
membantu dalam pemberantasan buta huruf yang masih banyak terdapat di negara
Afrika tersebut. Guinea Bissau saat itu baru ditinggalkan oleh Portugal yang
mengalami kekalahan setelah menjajah negeri itu. Portugal banyak mewariskan
persoalan-persoalan dan luka-luka bagi rakyat. Di sanalah Freire mempraktekkan
sistem pendidikannya dengan membuat lingkaran- lingkaran kebudayaan.
Keempat, buku The Politics <if Education: Culture, Power, and Liberation,
pada tahun 1985. Dalam buku ini, Freire mengungkapkan kritiknya terhadap pola
23
hubungan guru dan murid, kekuasaan, dan juga agama yang dinilainya tidak mampu
mengubah sejarah, dan Tuhan yang hanya membiarkan hamba-hamba-Nya tertindas.
Pendidikan juga seharusnya menjadikan manusia faham dalam bidang politik dan
tidak hanya sekedar talm.
Kelima. buku A Pedagogy for Liberation : Dialogues on Tra11.iforming
Education. pada tahun 1987. Buku ini adalah bagian da.ri refleksi lebuh lanjut
terhadap gagasan Freire. Buku ini berbentuk diskusi dan dialog antara Ira Shor
(seorang pendidik yang telah menguji metode-metode pengajaran yang membebaskan
dan mengkaji "Pedagogi yang Transformatif'') dengan Paulo Freire (Sang penggagas
pendidikan pembebasan). Dengan demikian, untuk kesekian kalinya gagasan Paulo
Freire dikritisi, baik aspek fllos<?fis maupun praksisnya, dan datang dari orang yang
dengan setia dan lama menjalankan dan mengujinya.
Keenam, buku Paulo Freire in Higher Education. p.ada tahun 1994. Buku ini
memuat tentang dialog yang terjadi pada saat "seminar tiga hari" di Universitas
Nasional Meksiko (UNAM, University Nacional Automa <f A1exico). Freire dengan
senang hati bersedia berpartisipai tanpa honorarium, dan Universitas Nasional
Meksiko yang bersedia menyediakan fasilitas untuk penyelenggaraan seminar tiga
hari tersebut. Freire sepakat dengan maksud seminar yang menjadikan dirinya
sebagai perangsang intelektual untuk "debat tiga hari". Dengan asumsi ini, seminar
direncanakan sedemikian rupa sehingga menghasilkan "Buku Perbincangan" bersama
yang diperluas dengan kontribusi baru dari Paulo Freire yaitu pengetahuan mengenai
24
emansipasi pendidikan (mandiri). Seminar itu direkam, ditranskrip, dan draftnya
kemudian direvisi oleh masing-masing peserta.
Ket1{iuh, buku Pedagogy r~f Hope : Reliving Pedagogy r!f ?he Oppressed,
pad a tahun 1995. Di buku ini terlihat jelas bahwa Paulo Freire, melalui
keseriusannya yang kritis, obyektivitasnya yang humanistis, dan sujektivitasnya yang
terlibat, yang dalam semua karya Freire senantiasa terpadukan menjadi inovasi yang
berdata cipta. Pedagogy of Hope (Pedagoi,>y pengharapan) adalah sebuah kesaksian
dan penghargaan daya hidup batin sekian generasi manusia yang tidak berutung, dan
tentang kekuatan yang kerap kali diam, namun lapang pad21 diri berjuta-juta orang
yang tidak pernah rela membiarkan pengharannya padam.
Kedelapan, buku Pedagogy of Heart (Pedagogi Ha:ti), pada tahun 1997.
Dalam buku ini, Freire melihat ke dalam hidupnya sendiri untuk merefleksikan
pendidikan dan politik, politik dan pendidikan. la menampilkan dirinya sebagai
seorang demokrat yang tidak kenal kompromi, dan seorang pembaharu radikal yang
gigih. la hidup dalam masa pemerintahan militer, pembuangan, dan bahkan pernah
memegang kekuasaan politik sebagai Menteri Pendidikan Sao Paulo. Dalam jabatan
itu, ia membuat kebijakan untuk pendidikan beratus-ratus ribu siswa. Semua
pengalamannya ini justru semakin memperbesar komitmennya kepada orang-orang
yang tersingkir, yang tak berdaya, yang terpinggirkan, yang lapar, dan yang buta
huruf Buku ini berbicara banyak tentang Brazil dan soal-soal khusus politik Brazil.
Brazil dalam banyak hal unik. Sebagai salah satu negara perekonomian industrial
yang baru dan besar, negeri yang amat sanga kaya tetapi juga sangat miskin,
25
distribusi pendapatan Brazil adala!i yang paling tidak seimbang dan tidak merata
dibandingkan dengan negeri besar manapun.
Masih ada karya-karya Freire yang lainnya yaitu : Pedagogy '!f The City,
lahun 1993 dan /,etters to Cristina: Neflektio11 of !vfv /,ife and Work, tahun 1995. . . . .
Tetapi pcnulis bclu111 111c11cmuka11 si1w11sis dari buku Lcn;cbut.
Adapun karya-karya Freire yang berkolaborasi dengan penulis lain, yaitu :
1. We A.fake 77ie Road by Walking : Conversation on Education and Sosial
Change, tahun 1990. Paulo Freire dengan Myles Horton.
2. Critical Educalion in The New li!formation Age, tahun 1999. dikarang oleh
Paulo Freire dengan Castells, Manuel Ramon Fleecha, Henry A. Giroux,
Donaldo Macedo dan Paul Willis.
3. Learning to Question: A Pedagogy of Liberation. Dikarang oleh Paulo Freire
dengan Faudez dan Antonio pada tahun 1992.
BABIII
KONSEP PENDIDIKAN PAULO FREIRE TENTANG DIALOG
A. Pengertian Dialog
l. Dialog
Kata 'Dialog' berasal dari bahasa Yunani yaitu dialogos yang berarti
percakapan. 1 Menurul Mairi Robinson Dialog adalah :
a. A Conversation, especially a formal one
b. A Discussion or exchange <?/'ideas and opinions, e.1pecially between two
groups, with a view to resolving coriflict qf ed1ieving egreement. 2
a. Sebuah percakapan, khususnya percakapan formal
b. Sebuah diskusi atau pertukaran ide-ide dan opini-opini, khususnya antara
dua kelompok dengan sebuah pandangan atau pendapat untuk mengatasi
konflik atau pencapaian persetujuan.
Jadi, dialog menurut keterangan di atas adalah bercakap-cakap (chat),
interaksi (interaction), pertukaran fikiran (exchangl~ dan ungkapan atau
pernyataan (exprenion).
1 Lesley Browwn (editor), The New Shorter Oxji>rd English Dictionmy On Historical Principle,
(Oxford: Clarendon Press, 1993), Vo, 11 (A-M),.
2 Mairi Robinson (Editor~inwChicf), CJu1111hers 21 st (~entur.Y f)ictionar.v. Rcsivcd edition, 1999, Pencrbit: Edinburgh: Chambers Harp Publishers Ltd. Page: 369.
26
27
Martin Buber, penulis kontemporcr dalam bidang hermeneutik
berpendapat bahwa dialog itu dapat terjadi secara langsung dan bisa pula
secara tidak langsung. Dialog langsung nampak dalam pertemuan antar
pribadi. Dalarn perternuan ini pihak yang satu rnenerima diri yang orang lain
sebagimana adanya. Dialog dalam bentuk ini disebut dialog rnelalui bahasa
lisan yang tidak terlalu banyak menimbulkan salah pengertian dan salah tafsir,
sebab dari masing-masing orang yang melakukan d:<alog itu bisa bcrtanya
langsung dan juga mendengarkan jawabannya secara langsung. Oleh karena
itulah, dialog dengan bahasa lisan ini dianggap yang paling lubur, paling kaya,
paling intensit; paling hidup serta paling mendasar. Sedangkan dialog tidak
langsung menurut Martin adalah dialog melalui tulisan. Bahasa tulisan, tidak
mempunyai keunlungan seperli halnya pada dialog langsung.3
Sedangkan menurut Hans-Georg Gadarner yaitu, dalam dialog,
keterbukaan antara kedua belah fihak amatlah penting yang di dalamnya
terjadi aksi 'memberi dan mengambil'. Aksi memberi berarti fihak-fihak yang
berdialog menyampaikan apa yang ingin diungkapkan, sedangkan aksi
rnengambil berarti masing-masing fihak berusaha menyerap apa yang
dikatakan oleh partner dialognya. Dengan dialog, pemahaman yang baru
menjadi mungkin.
3 Majalah Filsafal DRIY ARKARA, Dialog dan Pemahaman (Diskursus Hermeneulika Ffans
(Jeorg (hulau1er), ,)'7'fl f)ri.varkarn, .h.
28
Memang secara eksplisit dialog itu adalah sebuah proses yang di
dalamnya terjadi komunikasi yang berbentuk percakapan atau diskusi untuk
saling bertukar fikiran dan opini-opini dari apa yang ada difikiran individu
Ferdinand de Saussure, ahli linguistik mengatakan bahwa "fikiran tanpa
ungkapan dalam kata-kata hanyalah benda yang tidak jelas dan tidak
mempunyai benluk". 4 Dari ungkapan Saussure lersebut jelas bahwa sesualu
yang ada di dalam fikiran seseorang perlu diungkapkan dengan kata-kata dan
kata-kata itu pula yang dipergunakan dalam proses dialog. Dengan kata lain,
dialog adalah manifestasi individu dalam mengutarakan fikirannya dan opini-
opininya, dengan cara itulah masing-masing individu mengadakan perubahan
terhadap diri mereka sendiri, adanya perubahan karena dari dialog itu ada
unsur saling mempengaruhi lawan bicaranya, ini dapat dilihat dari ucapan
masing-masing individu yang melebur menjadi satu sehingga akan muncul
pemahaman-pemahaman baru.
Dalam al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 30, Allah ketika akan
mcnciptakan manusia (Adam) melakukan dialog terlebih dahulu dengan
malaikat. lni berarti bahwa sebenamya dialog itu sangat penting untuk
merumuskan suatu permasalahan dan mencari penyelesaiannya.
" Prof, Drs. Onong Uchjana Effcndy, M.A., I/mu Komunikasi Teori dan l'raktek, (Bandung: PT.
Rcmaja Rosdakarya, 200 I), cct. kc-15, ha!. lO I.
29
Tidak hanya itu, dalam proses pengadilanpun diadakan suatu dialog
sebelum hakim mengetuk palu untuk menentukan bersalah atau tidaknya
seseorang (terdakwa).
Begitu juga halnya dalam dunia pendidikan. Dialog antara murid dan
guru sangatlah penting dalam menciptakan suasana yang harmonis antara
murid dan guru, sehingga dengan suasana yang harmonis itu murid akan
menikmati proses belajar mengajar dengan rasa senang dan nyaman tanpa ia
harus dipaksa, sehingga murid akan mudah memahami apa yang disampaikan
oleh guru dengan melalui dialog (tanyajawab).
Berbeda halnya dengan suasana kelas yang hubungan antara guru dan
muridnya tidak ada dialog, disitu terlihat suasana yang tegang dan sepi dengan
murid yang terlihat duduk patuh tapi kaku seperti patung, mereka diam dan
nyaris sama sekali tak bergerak seperti patung, sementara guru terns
mengoceh di depan kelas seperti gaya orang berpidato. Pada suasana seperti
inilah murid merasa tidak nyaman dan otomatis pema.haman mereka terhadap
pelajaranpun hanya sedikit sekali, mereka hanya dituntut untuk merekam
perkataan guru dan harus menerimanya tanpa ia harus memikirkan apa dan
mengapa. Maka dengan begitu otak mereka tidak oiarhkan agar berfikir kritis.
Tugas pendidik menjadi terlalu mudah bila hanya menyampaikan isi
pelajaran dari buku yang ia baca tanpa dia memikirkan bagaimana agar murid
faham dan kritis.
30
Tujuan pendidikan adalah khas, yakni meningkatkan pengetahuan
seseorang mengenai sesuatu ha! sehingga ia menguasainya. Tujuan pendidikan
itu akan tercapai bila prosesnya komunikatif Jika proses belajar tidak
komunikatif, maka sulit tujuan itu akan tercapai.
Pada umumnya pendidikan berlangsung secara berencana di dalam
kelas secara tatap muka (face-to:face). Karena kelompoknya relatif kecil,
meskipun komunikasi antara pengajar dan pelajar dan ruang kelas itu
termasuk komunikasi kelompok (group communication), sang pengajar
sewaktu-waktu bisa mengubahnya menjadi komunikasi antar person.
Terjadilah komunikasi dua arah atau dialog dimana sipelajar menjadi
komunikan dan komunikator, clemikian pula sang pengajar. Terjadinya
komunikasi atau dialog dua arah ini ialah apabila para pelajar bersikap
respons!f, mengetengahkan pendapat atau mengajukan pertanyaan. Jika si
pelajar pasif saja, yakni hanya mendengarkan tanpa ada gairah untuk
mcngekspresikan suatu pernyataan atau pertanyaan, maka meskipun
komunikasi itu bersifat tatap muka, tatap saja berlangsung satu arah, dan
komuniksi itu ticlak efektif seperti pada contoh yang di atas, yaitu suasana
kelas yang gurunya hanya berpidato saja di dalam kelas tanpa bertanya kepada
muridnya apakah 'faham atau tidak' sehingga mwid hanya duduk diam dan kaku.
Komunikasi atau dialog dalam bentuk diskusi pada proses belajar
mengajar berlangsung sangatlah efektif, baik antar pengajar dengan pelajar
maupun diantara pelajar sendiri sebab mekanismenya memungkinkan si
31
pelajar terbiasa mengemukakan pendapat secara argumenlat!l dan dapat
mengkaji dirinya, apakah yang telah diketahuinya itu benar atau tidak. Dengan
kata lain, pentingnya dialog dalam bentuk diskusi pada proses belajar
mengajar itu disebabkan karena materi yang didiskusikan akan meningkatkan
intelektualitas.
2. Pengertian Dialog menurut Paulo Freire
Menurut Freire, yang pertama kali harus difahami adalah dialog yang
membebaskan bukan teknik, dan dialog itulah yang akan membantu untuk
mendapatkan satu hasil. Paulo sendiripun tidak memahami dialog sebagai
taktik/teknik yang menjadikan siswa sebagai mitranya. Apabila belum
memahami dengan cara demikian, maka dialog hanyalah teknik untuk
manipulasi, bukan untuk mencerahkan dan praktek dehumanisasi tetap saja
terjadi.
Sebaliknya, dialog harus dipahami sebagai sesuatu yang terlihat di
dalam sejarah umat manusia. la adalah bagian dari kemajuan historis dalam
menjadi manusia. Oleh sebab itu, dialog adalah postur yang membuat manusia
menjadi makhluk yang sangat komunikatif-kritis. Dialog adalah momen ketika
manusia memerlukannya untuk merefleksi realitas yang dibuatnya.
Kita adalah makhluk komunikatif yang berkomunikasi satu dengan
lainnya manakala kita lebih mampu me11/ra11.~(or111asi realitas kita, sehingga
kita tahu bahwa kita tahu, dan itu adalah sesuatu yang lebih dari sekedar tahu.
32
Dalam keadaan tertentu, misalnya burung tahu pepohonan. Mereka
juga berkomunikasi satu dengan lainnya. Mereka rnenggunakan satu jenis
bahasa lisan dan simbolis, namun mereka tidak menggunakan bahasa tulis.
Mereka tidak mengctahui bahwa mereka tahu. Secara ilmiah, kita tidak yakin
apakah mereka tahu bahwa mereka tahu. Sebaliknya, kita tahu bahwa kita
tahu, dan sebagai manusia kita juga tahu bahwa kita tidak tahu. Lewat dialog,
dengan merefleksikan bersama-sama apa yang kita tahu dan tidak tahu, kita
kemudian dapat bertindtlk kritis untuk mentransformasi realitas.
Dalam komunikasi antar kita, di dalam proses mengetahui realitas
yang kita transformasi, kita berkomunikasi dan secara sosial mengetahui,
walau proses komunikasi dan mengetahui, berdimensi individual. Namun
demikian, aspek individual tidak cukup untuk menjelaskan proses.
Mengetahui adalah peristiwa sosial yang berdimensi individual. Lalu,
bagaimanakah dialog di dalam momen komunikasi, mengetahui dan
transpormasi sosial ? Dialog akan merekatkan hubungan antara subjek
kognitit: yaitu subjek yang mengetahui, dan siapa yang mencoba tahu.
Dialog adalah merupakan tantangan atas dominasi yang ada. Dengan
cara pemahaman tersebut atas dialog, objek yang hendak diketahui bukan
milik eksklusif satu dari subjek-subjek yang berupaya tahu, yaitu salah satu
orang yang terlibat di dalam dialog.
Dalam kasus pendidikan, pengetahuan atas objek yang harus diketahui
bukan semata-mata milik guru, yang memberikan pengetahuan kepada siswa
33
sebagai kemurahan. Selain sebagai informasi yang diberikan guru kepada
siswa, objek yang akan diketahui me1tjembatani dua subjek kognitif. Dengan
kata lain, objek yang akan diketahui ada di alas meja yang terletak diantara
dua subjek yang akan mengetahuinya. Mereka bertemu dengan
mengelilinginya dan lewat itu mereka lakukan penyelidikan bersama.
Tenlu saja guru memiliki Gno~"iologis5 atau pengalaman inlelektual
dalam meletakkan objek untuk dikaji jauh sebelum siswa masuk ke dalam
kelas dan kemudian mempresentasikan atau melukiskannya untuk
didiskusikan. Kontak awal antara guru dengan objek yang akan diketahui tidak
berarti bahwa guru telah menghabiskan waktu, dimensi, dan tenaganya untuk
mengetahui objek.
Guru membuat ulang lewat Kognosibilitas peserta didik. Artinya,
kemampuan pendidik untuk mengetahui akan dibentuk ulang setiap saat
melalui kemapuan siswa untuk mengetahui dalam rangka mengembangkan
pemahaman kritis di dalam diri mereka sendiri.
Dialog adalah membentuk hubungan epistemologis. Objek yang
hendak diketahui di satu tempat menghubungkan dua subjek kognitif, yang
mengarahkan untuk bersama-sama merefleksi objek. Dialog adalah saling
merekat antara guru dan siswa lewat 'tindakan mengc:tahu"' (act <if knowing)
5 Gnosiologis discbul juga daur gnosiologis (gnociological cycle) yang dimaksud daur gnosiologis adalah saat bcrbcda dari cara kita bclajar. Daur 1ncngctahui (knowing cycle) 1nc1npunyai tahapan lcrpisah yang saling bcrhubungan satu dengan lainnya, dan dengan mcngamali saat-saat tcrscbut kita akan dapat rncn1aha1ni lcbih baik tcntang apa yang tcrjadi jika 1ncncoba tncngajar atau be la jar.
34
dan 'mengetabui ulang' (re-k11owi11g) objek studi secara bersama-sama.
Selanjutnya, selain mengetahui objek studi secara statis, sebagai milik melekat
dari guru, dialog memerlukan pcrkiraan dinamis alas objck 6
Inti dialog adalah ungkapan kata. Ungkapan kata harus mengandung
refleksi dan aksi. Tanpa refleksi, dialog hanya akan menjadi aktivisme,
sedangkan tanpa aksi hanya terjadi verbalisme. Maka, hanya melalui praksis,
yang mernpakan perpaduan antara aksi dan refleksi, kata menjadi benar-benar
hidup dan menggerakkan hati. Dialog adalah pertemuan manusia melalui kata
dengan tujuan memberi nama kepada dunia. Dialog tidak mungkin timbul di
antara manusia yang menyangkut hak untuk berbicara. Dan dialog tidak
mungkin Le1jadi di an Lara manusia yang dirampas haknya unluk berkata. 7
B. Dialog Sebagai Metode Pembelajaran
Sejak tahun 1994, pemerintah telah mencanangkan wajib belajar sembilan
tahun. lni berarti bahwa anak-anak Indonesia nantinya d.iharapkan minimal bisa
mengikuti pendidikan selama sembilan tahun, atau lulus SLTP. Sebelumnya, prestasi
Indonesia dalam mewujudkan wajib belajar bagi anak usia 7-12 tahun sangat
membanggakan karena diakui oleh dunia. Kalau negara kita hanya memerlukan
waktu empat pelita (20 tahun), maka negara-negara industri :>eperti Amerika, lnggris,
"[ra Shor & Paulo Freire, ",\Jenjadi Guru Merdeka ", LKIS, ha!. 153.
1 BASfS, Edisi Paulo Freire, lahun ke-50, 2001. h.
35
Prancis dan Jerman memerlukan waktu 60-100 tahun untuk menerapakan wajib
belajar enam tahun. Atas keberhasilan wajib belajar sembilan tahun inilah malca
UNESCO kemudian menganugerahkan 'Medali Avicena' kepada Presidcn Soeharto
bulan Juni 1993.
Tapi, keberhasilan yang telah dicapai ini dihadapkan pada berbagai kendala,
antara lain, tingginya persentase am1k-anak putus sekolah, anak-anak yang mengulang
karena tidak naik kelas, dan rendahnya kualitas pendidikan sekolah. Ini semua akibat
dari sistem pendidikan yang dianggap belum tepat. Kalau diumpamakan pendidikan
sekolah dasar sebagai fondasi atau akar bagi sumber daya manusia masa depan, maka
apakah fenomena ini lidak mencemaskan kita semua?8 Jawabannya adalah tenlu saja
mencemaskan kita semua. Sebab akan jadi apa bangsa Indonesia ini jika SDM nya
tidak berkualitas, mereka belajar disekolah, tapi setelah (lulus) dari sekolah mcreka
tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Fenomena tersebut rnembuat kita bertanya-tanya apa yang salah? Sistem
pendidikan bagaimana yang tepat? Apakah kurikulurn ataukah metodenya yang
salah? Ternyata begitu kornpleksnya pe1masalahan yang timbul. Sehingga
mengharuskan kita meneliti ulang dari sernua sistem pendidikan yang telah dilakukan
selarna ini.
Sebagaimana telah diungkapkan pada Bab I, bahwa jika mengajar itu adalah
suatu peristiwa yang rnemiliki tujuan, maka agar dapat mencapai tujuan itu harus
8 M;ijalah fcmina. "'Sis/em di SD Kunmjo Mencerdaskan Anak"", Edisi No 19 I X.'CIV-16-22
Mei 1996. ha!. 48.
36
dibual perangkalnya dan perangkal ilu adalah kurikulum. 9 Perlanyaannya adalah,
tujuan apa yang hendak di capai.
Kurikulum yang ideal selalu didasarkan pada tujua.n pendidikan yang mau
dicapai, baik tujuan pendidikan nasional maupun sekolah itu sendiri, sekolah tesebut.
Dalam Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang :;istem pendidikan adalah
untuk mencerdaskan kchidupan bangsa dan mengembangkan budi luhur, mcmiliki
pengetahuan dan keterampilan, berkepribadian mantap sekolah menengah umum
(SMU) untuk menyiapkan siswa melanjutkan ke perguruan tinggi dan juga
meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggola masyarakat 10
Menurut Crow dan Crow tujuan pendidikan ialah mendorong anak didik
untuk berfikir secara efoktit; jernih dan obyektif di dalam suasana yang
bagaimanapun. Anak didik akan secara bebas tanpa dipaksa, mewujudkan tujuan
hidupnya ke dalam tindakan-tindakan yang nyata dan merasa. bertanggung jawab atas
sikap kelakuannya. 11 Sayangnya dunia pendidikan kila mas;ih Lerlalu mendikte serla
menempalkan murid pada posisi obyek dan guru pada posisi subyek. 12
9 Lihat pada Bab I.
10 Paul Suparno, t-:urikulu111 S~'1[J Yang ;\,fenunjang l'endidikan Denzokra.vi, (BASIS) cdisi
khusus Pcndidikan "Pendidikan Menghasilkan Air Mata", 2000. hal. 49.
11 Sutari Imam Barnadib, Penganlar !/mu Pendidikan Sistema/is, (Yogyakarta: FlP lKIP, 1987),
hal. 52.
12 An1ir Daicn lndrakusu1na. /)engantar Iln1u Pendidikan. (Surabaya: Usaha Nasional). h. 23.
37
Menu rut Brubacher dalam bukunya 'A1odern Philosor>hies <!/ /\'d11calio11' yaitu
tujuan pendidikan adalah menjadikan pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya
dengan alam, dengan Leman, dan dengan alam semeslau
Sedangkan menurut Paulo Freire sendiri, tujuan pendidikan adalah
pembebasan masyarakal dari kebodohan, kemiskinan clan penderilaan mereka. 14 Oleh
karena itu dengan menggunakan dialog sebagai metode dalam mengajar, akan dapat
membangkitkan kesadaran bagi peserta didik untuk belajar dan otomatis itu akan
membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan dan penderitaan.
Pada dasarnya tujuan pendidikan itu adalah memanusiakan manusia dan
membuat mereka bebas dan merdeka, saling mencintai dan hormat serta saling
menghargai satu sama lain, dan juga membentuk manusia-manusia yang kritis,
rasional, sosial, bertaqwa, bermoral dan menghargai nilai kemanusiaan. Tapi,
mengapa pendidikan di Indonesia masih dianggap buruk oleh dunia bahkan mendapat
peringkat ke-100 dan banyak lulusan SMU atau Peri,ruruan Tinggi dianggap kurang
berkompetensi.
Tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan, tidak terlepas dari kegiatan belajar
mengajar yang dilakukan di dalam kelas. Guru dituntut agar mampu mengelola kelas
dalam kegiatan bclajar mengajar tersebut.
13 TIM Doscn FIP-lKIP Malang, JJengantar J)asar-!Jasar i~<:1ierllficfika11, (Sun1baya: Usaha Nasional, 1988), hal. 6.
14 BASIS Edisi Klmsus Pcudidikan, Pendidikan Hanya Menghasilkan Jlir Mata. 2000, h. 3.
38
Dalam buku Strategi Belajar Mengajar karangan Ors. Syaiful Bahri Djamarah
dan Drs. Aswan Zain dikemukakan macam-macam metod•" mengajar yang jumlah
keseluruhannya ada 11 yaitu: Metode proyek, Metode eksperimen, Metode tugas dan
resitasi, Metode diskusi, Metode sosiodrama, Metode demonstrasi, Metode problem
solving, Metode karyawisata, Metode tanya jawab, Metode latihan dan terakhir
Metode ceramah. 15 Tapi sayang, dari kesebelas melode ilu guru hanya menggunakan
melode ceramah untuk KBM di dalam kclas.
Mctodc ceramah adalah mclodc yang bolch dikalakan rnclodc trandisional,
karena sejak dulu metode ini dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru
dengan anak didik pada saat proses belajar mengajar berlangsung dan metode
ceramah merupakan suatu cara mcngajar yang digunakan untuk menyampaikan
keterangan atau informasi serta uraian tentang suatu pokok persoalan serta masalah
secara lisan.
Metode ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu :
1 . Kelebihannya a. Guru mudah menguasai kelas b. Mudah mcngorganisasikan tempat duduk atau kclas c. Dapat diikuti oleh jumlah siswa yang besar d. Mudah mempersiapkan dan melaksanakannya e. Guru mudah menerangkan pelajaran dengan baik
2. Kelemahannya a. Mudah menjadi verbalisme (pengertian kata-kata) b. Yang visual menjadi rugi, yang auditif (mendengar) lebih besar
menenmanya.
" Drs. Syaiful Bahri Djamarah dan Ors. Azwan Zain, Strategi Be/ajar Mengajarar, (Jakarta:
Rincka Cipta, 1996), Cct. kc-I, hal. 93.
39
c. Bila selalu digunakan dan terlalu lama, membosankan d. Guru menyimpulkan bahwa siswa mengerti dan tertarik pada ceramahnya e. Menyebabkan siswa menjadi pasif 6
Sampai sekarang kebanyakan guru mengajar s1swa dengan model ceramah
dan mencatat di papan tulis, secara ekstrim, kebanyakan guru menggunakan model
banking sistem seperti diungkap .oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of 7he Opressed,
Boston: Allyn dan Bacon 1990 "Guru mengajar dan siswa diajar; guru mengerti
sernuanya dan s1swa tidak tahu apa-apa; guru berfikir dan siswa difikirkan; guru
berbicara dan s1swa rnendengarkan; guru rnendisiplinkan dan siswa didisplinkan;
guru rnemilih dan rnendesak dan siswa hanya ikut; guru bertindak dan siswa
mernbayangkan bertindak lewat tindakan guru; guru rnemilih isi program dan siswa
mengambil begitu saja; guru adalah subjek dan siswa adalah objek dari proses belajar.
Dalam model banking di atas, gurnlah yang sangat aktif dan siswa menjadi
sangat pasif pada saat proses belajar rnengajar di sekolah. Guru berkuasa untuk
menentukan semuanya sedangkan siswa hanya harus rnenurut saja. Siswa diobjekan
dan tidak punya hak untuk ikut rnenentukan. Aktor utama dalarn proses belajar
mengajar adalah guru dan bukan siswa. hal-hal itu tampak dalam beberapa praktik
guru seperti indoktrinasi, dimana siswa hanya harus mene1ima yang diajarkan gum
tan pa boleh mengungkapkan pertanyaan atau alternatif pemikiran.
Guru seringkali mengajarkan bahan dengan menekankan bahwa hanya ada
satu nilai yang benar. Dalam mengerjakan persoalan, guru mengharuskan siswa
16 Ibid, haL 109.
40
menggunakan satu jalan saja, tanpa boleh menggunakan earn lain. Jawaban yang lain,
cara mengerjakan persoalan yang lain, tidak mendapatkan tempat. Bila siswa
mengungkapkan gagasan alternatif, selalu disalahkan.
Hal ini kadang disebabkan karena guru sendiri tidak punya pengetahuan yang
luas schingga tidak mengerti bahwa ada macam-macam altcrnatif untuk
menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Kadang ada guru yang merasa bahwa siswa
yang banyak bertanya dan usu!, dianggap sebagai pengganggu, apalagi kalau
perlanyaan n1ereka sungguh mendalarn sehingga guru lidak dapal menjawab. 17
Prof Dr. S. C. Utami Munandar Dip!. Psych mengemukakan bahwa dia
merasa prihatin ketika pada suatu hari menyaksikan KBM anak-anak kelas III SD. Ia
melihat betapa anak-anak SD itu duduk dengan patuh tapi kaku. Mereka diam dan
nyaris sama sekali tak bergerak, sementara guru berada cli depan kelas mengajar
seperti orang berpidato. Sifatnya hanya searah saja, karena ia tidak berusaha minta
pendapat atau mengajukan pertanyaan pada murid apakah mereka cukup mengerti
dengan apa yang sudah dia ajarkan. 18
Bahkan Freire juga mengkritik pelajaran-pelajaran verbalistik, dengan bahan
bacaan yang telah ditentukan, seperti seorang guru yang menentukan dalam daftar
bacaannya bahwa buku ini harus dibaca pada halaman sekian sampai dengan sekian.
Bagi Freire sesuatu dalam pendekatan siap pakai seperti ini dapat melumpuhkan
17 BASIS Pcndidikan Mcnghasilkan Air Mata, h. 55.
18 Fcmina, cdisi No. 19/XXIV Mei, 1996, h.49.
4l
pikiran. 19 Ivan Illich pun dengan legas mengalakan bahwa pelajaran tidak boleh
dipaksa unluk lunduk pada kurikulum wajibw Cara ini sama dengan menabungkan
informasi yang guru anggap sebagai pengetahuan yang sebenarnya. Dengan
meminjam istilah Sartre, Freire menyebut konsep ini s1~bagai pendidikan yang
'mengunyahkan' (digeslive) atau 'memberi makan' (nutrilive), dimana pengetahuan
'disuapkan' oleh guru kepada inurid untuk "mengenyangkan mereka'. Murid pun
mcnerima dengan pasir dan pcndidikan ini akan membual mernka lebih pasif lagi. 21
Agar pendidikan dan murid tidak pasif, tapi justru pendidikan membuat murid
aktif dan mampu berfikir kritis serta kreatif, Freire menawarkan konsep. Konsep ini
tidak lagi menggunakan hubungan vertikal guru dan rnurid sebagaimana yang
terdapat dalam gaya bank. Melalui suasana yang dialogis tidak ada lagi guru dan
murid. Dan yang akan muncul adalah suasana baru, guru yang murid dan murid yang
guru. Guru tidak lagi menjadi orang yang meng<rjar, tetapi orang yang mengajari
dirinya -sendiri- melalui dialog dengan murid. Yang pada gilirannya disamping
mengajar mereka juga diajar. Dengan demikian pendidikan merupakan tangt,>1mg
jawab bersama guru dan murid.
Menurut Ira, tidak jarang guru harus berhadapan dengan terlalu banyak kelas,
terlalu banyak siswa, dan terlalu banyak kendali administratif, sehingga mereka yang
19 Paulo Freire, /1raklik /1e111bebasan, h. 57.
"'Ivan Illich, /Jebaskan Mmyarakat dari Belenggu Seko/ail, (Jakarta: Yayasan Obar. 2000). ccl.
kc-2, h. 100.
" Skripsi Safa'al Sclciawan, Konsep Paulo Freire tentang Pendidikan Km1111 Tertirulas. 200 I,
ha!. 35.
42
bekerja didepan kelas memerlukan kekuatan ekstra dibandingkan mereka yang hanya
mempelajari teori. Pun, kegagalan sistem persekolahan telah mengundang munculnya
gagasan-gagasan barn. Bahkan guru yang sudah sangat sibuk sekalipun ternyata
masih menunjukkan rninatnya atas suatu alternatif. Mereka sangat ingin mengetahui
bagaimana menggunakan (pendekatan alternatif), yakni dialog yang melahirkan hasil
yang berbeda di dalam kelas, yang memungkinkannya berbic:ara dalam bahasa situasi
nyata yang tengah mereka hadapi.22 lni berarti tidak semua guru pasrah dengan
metode mengajar tradisional ( ceramah) toh mereka masih berusaha mencari alternatif
yang lain.
Menurut Freire, bahwa dialog didalamnya kreatif dan rekreatif. Artinya,
didalam analisis terakhir, siswa akan merekreasi dirinya sendiri dengan dialog.
Berdialog adalah berinteraksi, bila siswa melalui interaksi itu berarti bahwa siswa
dapat mengubah diri pada saat dialog berlangsung. Sehingga dialog tidak hanya
sekedar rnengucap. Dialog sebenarnya merupakan bagian fitri dari manusia, karena ia
merupakan bagian dari komunikasi. Dialog merupakan bagian upaya ingin tahu, yang
prosesnya tidak pernah individual, walaupun pada akhirnya berdimensi individual.23
Pada metode dialog ini, siswa dirangsang agar mau berbicara. Caranya yaitu
dengan menggambarkan kepada mereka realitas yang ada dalam kehidupan yang
telah atau sedang mereka alami, setelah itu siswa dimintakan pendapat atau
22 Mcnjadi Gum Mcrdcka. h. 3.
23 Ibid. h. 5.
43
dipersilahkan bertanya dari realitas yang telah diamati tersebut dengan bahasa mereka
sendiri. Dengan begitu siswa akan berlatih untuk berfikir, dan berlartjut kepada kritis
yang akan menghasilkan fikiran yang kreatif karena sudah terbiasa diasah.
Menurut Bernhar Adeney-Risakotta (mengutip Freire), cara belajar dialog ini
bisa dengan cara Pendidikan yang Menonjo!kan Masalah Sosial (PMMS) atau
. ' Problem Possing Education yaitu pendidikan hadap masalah. Teori PMMS ini
mengasumsikan bahwa rnurid-murid juga punya ilmu pengetahuan walaupun mcrcka
belum mengerti ilmu yang diketahui oleh gurunya. Si gum sebaiknya membimbing
rnuridnya supaya dia tahu masalah-rnasalah dalarn dunianya dan rnencari sendiri cara-
cara untuk memecahkannya. 24
Dialog penuh dengan sikap saling rnenghormati antara orang-orang yang
berdialog. Dialogisrne rnenganalisakan kematangan jiwa atau semangat bertualang,
kepercayaan dalarn bertanya, dan keseriusan dalarn rnemberikan jawaban-jawaban.
Dalam suasana berdialog, orang yang bertanya mengetahui sebab mengapa ia
bertanya. la tidak mengajukan pertanyaan hanya untuk bertanya atau hanya supaya
kelihatan hidup dimata pendengar.
Hubungan yang dialogis adalah ciri proses gnosiolugis; hubungan yang
dialogis bukan sualu kerelaan atau keramahan. Kesesuaian bcrdialog clan sikap
menyarnbut pencarian yang kritis tidak boleh dikacaukan dengan beromong kosong.
Berdialog bukan beromong kosong. 25
''' BASIS, cdisi Paulo Freire, h. I 5.
25 Paulo Freire, Pedagogi f[ali, (tcrjcmahan), (Yogyakarta: Kanisius, 2001). h. 115.
44
Bila dialog dirangkaikan dengan cinta, harapan dan saling percaya, maka
manus1a dapat melakukan pencanan bersama-sarna. Karena itu, hanya lewat dialog
sa1a yang memungkinkan komunikasi sejati. Dialog adalah satu-satunya cara, yang
tidak hanya dipraktikkan dalam masalah politik sap, tctapi .1uga mcliputi scluruh
eksislensi manusia. Dialog membawa kita ~epada keyakinan bahwa 'saya hanya
dapat menjadi diri saya sejati, jika orang lain juga menjadi sejati'. Bila dialog
semakin mendalam, terjadilah perubahan-perubahan dalam diri setiap mcreka yang
melakukan dialog, 26 ciri seorang pendidik sejali adalah kemampuan berdialog dengan
para lerdidik dalam suatu limbal-balik. 27
Metode ceramah menjadikan guru sebagai otoritas yang mengalihkan
pengctahuan yang tetap kepada siswa. Pengetahuan telah dibentuk dan secara verbal
disampaikan kepada siswa. Para siswa dalam sistem tradisional diharapkan mampu
menyerap fonnulasi yang telah disusun (preset formulatio11) yang diucapkan oleh
guru. Sebaliknya, kelerbukaan guru dialogis lerhadap proses belajar ulangnya28
menjadikan dialog bersifat demokratis. 29
26 Budhy Munawar Rachn1an, lsla1n J>/uralis (lvacana Kesetaracrn Kaunz /3eri11zan), (.Jakarta:
l'ara111adina),cel.l, 2001, h. 377.
27 Prakata dala1n Buku. "Pendidikan sehagai Praktek Pen1hehasan" karangan Paulo Freire~
(Jakarta: Gramedia, 1984), ha!. Xiii.
2~ Lihat hal 8 tcntang "J;ognosihilitas"
29 lra Shor dan Paulo Freire, Menjadi Guru Merdeka (pelikan pengalaman), (Yogyakarta: LKiS.
2001), eel. I, ha!. 155.
45
C. Dialog Scbagai Motivasi Bel:1jar
Dalam belajar mengajar, motivasi atau stimulus ini sangat diperlukan guna
menciptakan suasana bclajar yang mcnyenangkan dan tcnlunya dapat mendukung
proses belajar mengajar yang sedang berlangsug.
Menurut Yumarna, dalam harian terbit Kompas mengatakan bahwa
keberhasilan pendidikan bukan terletak pada isi yang diberikan tetapi atmosfer dan
proses interaksi, yang dalam pendidikan akan mempengaruhi kreativitas, kecerdasan,
mutu dan kualitas yang dihasilkan.30Yang mendukung belajar mengajar adalah
terletak pada atmosfer atau suasana yang mengelilingi te:mpat yang didalamnya
sedang berlangsung proses belajar mengajar dan suasana tersebut akan sulit
diciptakan bila murid tidak mempunyai motivasi untuk belajar.
Motivasi memang merupakan faktor yang mempunyai arti penting bagi
seorang anak didik. Apalah arti anak didik pergi ke sekolah tanpa motivasi untuk
belajar.31
Ada banyak buku yang membahas bahkan memancmg motivasi dan
memaparkan cara-caranya tentang bagaimana agar anak didik termotivasi dalam
belajar, apakah yang harus dilakukan oleh guru agar anak didik tidak jenuh dalam
belajar dan metode apakah yang tepat agar motivasi itu timbul pada diri anak didik.
Diantara buku-buku itu yaitu Dalam buku Strategi Belajar Mengajar yang dibuat
3° Kornn Kompas, cdisi Kamis 8 Mei 2003. ha!. 4.
-~ 1 Drs. Syaiful Bahri Dja1narah & Drs. Aswan Zain, S'trategi [1el<?iar Afeugajar, (Jakarta: PT. Rincka Cipla), l 996, h. 166.
46
oleh SyaitUI Bahri Djamarah dikemukakan bahwa untuk rnembangkilkan motivasi
peserta didik ada berbagai macam bentuk, yaitu :
1. Memberi angka 2. Hadiah 3. Pujian 4. Gerakan tubuh 5. Memberi tu gas 6. Mcmberi ulangan 7. Mengetahui hasil 8. Hukuman 9. Menggunakan melode yang bervariasi32
Dalam buku Quantum Learnig dan Quantum Teaching juga membahas
lentang motivasi belajar peserta didik yang pada intinya adalah memfi.mgsikan
potensi yang ada pada setiap anak didik sepe11i pada Quantum Learnig, yaitu :
I. Selalu berfikir positif
2. Kekuatan AMBAK (Apa Manfaat Bagiku)?
3. Menciptakan minat untuk belajar
4. Percaya diri33
Dan pada buku Quantum Teaching, yaitu :
I. Menumbuhkan minat dengan memuaskan AMBAK 2. Menciptakan atau mendatangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti
semua pelajar. 3. Menyediakan kata kunci, konsep, modul, rumus dan strategi 4. Memberi kesempatan bagi pelajar untuk menunjukkan bahwa mereka tahu 5. Menunjukkan kepada pelajar tentang cara mengulang 6. Meranyakan atau memberi aplaus untuk setiap penyelesaian pa11isipasi dan
perolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan.3
:iZ Syaiful Bc1hri Dja111arah, S~rale,r;i J~elqiar Afengqiar h. l 68.
33 Quantum Learning, Bobbi De Pokr & Mike Hernacki, (Bandung : Kaifa), 2000, h. 4 l.
34 Bobbi De Poler at all, Quantum Teaching, (Bandung : Kaifa), 2000, h. lO.
47
Inti dari semua buku itu adalah untuk membangkitkan motivasi belajar pada
peserta didik walaupun cara dan metode pelaksanaannya berbeda-beda namun
tujuannya adalah sama yaitu agar suasana belajar mengajar dapat berjalan efektif dan
menyenangkan, sehingga peserta didikpun dapat bclajar dengan nyarnan dan mudah
memahami apa yang ia pelajari.
Dalarn kaitannya dengan dialog, jelas rnotivasi itu adalah sebagai sarana bagi
dialog dan dialog adalah sebagai cara agar motivasi tersebut dapat rnuncul atau
bangkit dari peserta didik.
Dialog, sebagaimana diungkapkan pada bab-bab terdahulu adalah proses
menyatunya ide-ide (opini) yang diungkapkan oleh masing-masing orang yang
berdialog dengan mengt,'tmakan penalaran, sehingga akan muncullah pemahaman
pemahaman baru sebagai akibat dari adanya dialog tersebut, dan pada dialog itu pula
tidak adanya rasa 'akulah yang paling benar' sehingga para peserta dialog merasa
mereka ikut berpartisipasi dalam merumuskan atau membahas sualu masalah. Bila
perasaan 'akulah yang paling benar' muncul, maka proses dialogpun tidak akan
berjalan dengan baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Freire 'bila orang
menggunakan metode yang mendorong dialog, maka pertama-tama ia harus memeluk
(ideologi) kesederajatan manusia'. Jadi, agar dialog itu dapat terlaksana dengan baik
rnaka kesenjangan antara guru dan murid, antara profesor dan petani ataupun antara
rektor dan mahasiswa haruslah dihilangkan dahulu, dan yang ada hanya semua
manusia sama derajatnya dan sernuanya pula berhak bicara sesuai keinginannya.
48
Dalam pendidikan, tentunya dialog itu sangat dibutuhkan untuk
menumbuhkan dan atau membangkitkan motivasi siswa dalam belajar, karena posisi
siswa lidak lagi sebagai obyek lelapi sebagai subyek. 35
Dikatakan sebagai motivasi, karena dialog mcmuat suatu pesan agar s1swa
mencari lebih banyak data untuk di dialogkan seperti banyak membaca, sebab jika
tidak membaca, tentu mereka tidak akan tahu apa yang akan dibicarakan pada saat
proses dialog itu berlangsung.
Membaca disini bukan hanya membaca buku sa3a, tetapi juga membaca
babasa kehidupan alau 'membaca dunia""''
Dari hasil bacaan mereka itu, lalu diaplikasikan pada saat dialog berlangsung.
Adapun yang dibicarakan adalah tentang pengalaman, berbicara bebas dan spontan.
Bila guru tidak memfosisikan dirinya yang paling benar dan selalu
menciptakan atau memberi kesempatan siswa unluk mengaplikasikan dengan kata
lain guru terlibat bersama-sama dengan peserta didik mengemukakan
pengalamannya pada saat dialog, maka otomatis sifat selalu ingin tahu bagi siswapun
akan tumbuh dan semangat kritispun akan ada pada diri siswa. Sebagaimana
diungkapkan oleh Freire dalam buku sekolah kapitalisrne yang licik, bahwa rasa ingin
lahu, aspek krilis dan krealif anak harus dirangsang.37
35 f\.1. Agus Nuryatno, I?e.fleksi Pendidikan 1Jer.1·a111a JJaulo F'reire, harian Ko111pas, cdisi Scnin 5 Mei 2003, h. 5.
J() Riris K Toha-Sannnpact. Alerebul Afakna f3elajar Bahasa Kehidupa11, harian Kon1pas, cdisi Seuiu 5 Mei 2003, h. 34.
37 Paulo Freire. Sckolah Kapitalismc yang licik, editor M.Escobcr, dkk, (Yot,'Yakarta : Lkis),
2001, h. 67.
49
Dalam upaya menumbuhkan sifat kritis dari para siswa, hendaknya guru harus
selalu menghargai setiap kali siswa mengekspresikan pemyataan atau pertanyaan,
sebab dengan begitu siswapun merasa dihargai dan tidak lagi merasa minder.
Berfikir kritis adalah memandang suatu masalah secara mendalam dengan
menggunakan penalaran. J elaslah bahwa dalam usaha membangkitkan day a penalaran
dikalangan siswa, mereka sendiri ikut menentukan keberhasilannya. Mereka perlu
sadar akan pentingnya memiliki daya penalaran untuk kepentingan persu11ality11ya,
dan kepribadiannya. Dalam pelaksanaannya, mereka harus menggunakan setiap
kesempatan yang disediakan. Mereka harus siap untuk berpartisipasi pada tiap
kesempalan. 38
Dalam praksisnya, berfikir kritis itu sendiri dapat mernngsang kecerdasan bagi
siswa yang berujung pada pola fikir siswa yang kreatif, pada waktu yang ditentukan,
mereka diminta untuk menceritakan kembali didepan kelas clengan lisan
Pada clasarnya dialog itu aclalah tuntutan kodrat manusia clan mengutamakan
eksistensi manusia clalam dunia baik dalam hal pendiclikan maupun dalam kehiclupan.
Penclidikan yang mengabaikan komunikasi atau dialog tidak lain hanyalah
sebagai pengingkaran terhadap dimensi substansial manusia yang berupa kesadaran
yang berarli menjebak upaya pendidikan ke arah dehumanisasi. 39
38 Prof. Drs. Onong Uchjana Effcndy, MA, J/11111 Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Rcmaja Rosdakaiya), 2001, h. 101.
:>9 Paulo Freire, lslan1 dan JJenzbebasan, Muh. Hanif Dhakiri. (Jakarla : Dja1nbatan & Pena).
2000, h. 58.
50
Dalam teori tindakan dialog Freire, tidak ada tempat bagi penaklukan siswa.
Dialog tidak memaksakan, tidak memanipulasi, dan tidak menjinakkan. Namun
demikian menurut Freire, ini tidak berarti bahwa tindakan dialogis tidak punya
tujuan, tidak juga berarti bahwa manusia dialogis tidak mempunyai gagasan yang
jelas mengenai apa yang dikehendaki atau tujuan-tujuan yang menjadi
kepentingannya.
Kerjasama mengarahkan pelaku-pelaku dialog untuk memusatkan perhatian
pada realitas yang mengantarai mcreka dan yang menantangnya. Kcmudian, dcngan
tindakan bersama, yang senantiasa disertai refleksi, mereka berusaha
memanusiawikan realitas, setelah sebelumnya dilakukan analisis kritis atas pokok
soal mereka. Oleh karenanya, dalam tindakan dialogis, kepercayaan terhadap
kemampuan peserta didik sangatlah penting, sebab mereka adalah bagian terbesar
dari pelaku-pelaku perubahan.40
Paulo Freire juga menyinggung sikap keinginan tahu. Ada unsur mendasar
dalam 'interaksi' yang sifat kompleksnya menjadi lebih besar dalam 'hub1111ga11 '. Dia
mengacu kepada 'keinginan talm', kuriositas, nukriah, semacam sifat terbuka untuk
memahami apa yang ada dalam orbit sensibilitas pengada yang tertantang. ltu adalah
kecenderungan manusia untuk menjadi heran di hadapan orang-orang, apa yang
mereka lakukan, mereka katakan, mereka inginkan, tampak pada diri mereka,
dihadapan fakta-fakta dan fenomena-fenomena, dihadapan keindahan dan kejelekan.
·10 Ibid. h. 63.
74 51
!tu semua adalah kebutuhan yang tak terkendalikan untuk mengetahui agar dapat
menenangkan, mencari sebab mengapa fakta-fakta ada. ltu adalah hasrat keinginan,
yang selalu hidup, untuk merasa, menghayati, dan menyadari apa yang terletak dalam
ranah 'visi-visi kedalaman 'orang.
Tanpa keinginan tahu yang membuat kita manusia senantiasa siap sedia untuk
bertanya maka tidak akan ada kegiatan gnosiologis, ungkapan konkret kemungkinan
kila unluk mengelahui.41 Bagi Freire, molivasi dalam belajar a.kan muncul bersamaan
dengan Lindakan ilu sendiri 42 Artinya siswa akan Lermolivasi bila dia mencoba unluk
terlibat dalam proses dialog dengan kata lain dia tidak hanya menjadi pandangan saja,
tapi dia juga aktif dalam memberikan pernyataan dan pertanyaan.
Dialog penuh dengan sikap saling 111engho1mati antara pelaku (orang-orang)
yang berdialog. Dialogisme mengandalkan bertanya, dan keseriusan dalam
memberikan jawaban-jawaban. Dalam suasana berdialog, orang yang bertanya
mengetahui sebab mengapa ia bertanya. la tidak hanya mengaj ukan pertanyaan hanya
untuk bertanya atau hanya supaya 'kelihatan hidup' dimata pendengar.
Hubungan yang dialogis adalah ciri proses gnosiologis hubungan yang
dialogis bukan suatu kerelaan atau keramahan. Keseriusan berdialog dan sikap
menyambut pencarian yang kritis tidak boleh dikacaukan dengan 'beromong kosong'.
Berdialog bukan beromong kosong, itulah sebabnya mungkin saja ada dialog dalam
'11 Paulo Freire. PaedaKogi lfali. h. I IO.
4 ~ Ira Short..~ Paulo Freire. Afel!jadi (Juru Aierdeka. (Yogyakarla: LKIS). 200 I. h. 7.
52
pemaparan yang kritis, secara ketat metodis yang dilakukan oleh seorang guru besar,
dalam pemaparan ini para pembelajar mendengarkan seakan-akan untuk 'memakan
habis' pembicaraan tetapi juga untuk memahami olah pikir pembicaraan itu.
Pengalaman berdialog merupakan ha! yang mendasar untuk rnembangun
keingintahuan epistemologis. Dialog juga mengandung arti bersikap kritis, '
mengandung arti asyik berfikir tentang raison d'etre (sebab mengapa ada) objek-
objek yang mengantarai subjek-subjek dialog.
Dalarn praktek mengajarnya, Freire menggunakan gambar-gambar yang di
antaranya adalah gambar manusia dengan alam sekitar seperti adanya sumur, pohon,
awan, dan rumah. Dari gambar itu Freire bertanya kepada peserta didik tentang apa
manfaat adanya rumah dan mengapa ada rumah, apa rnanfaat sumur dan siapa yang
membuat dan masih banyak lagi pe11anyaan Freire kepada peserta didik untuk
mernancing mereka agar dapat membaca alam sekitar mereka dan rnengkritisinya
melalui dialog.43 Dan masih banyak lagi gambar-gambar yang digunakan oleh Freire
dalam proses belajar mengajar. Cara inilah yang merupakan distingsi dari metode
dialognya Paulo Freire.
43 Prof. Dr. Paulo Freire, Pendiclikan .S'ehagai Praktek pe111bebasan~ (Jakarta : PT. Grained la), l 984, h. 135.
BAB IV
RELEVANSI METODE DIALOG DALAM PRAKSIS PENDJDIKAN
A. Metode Dialog antara Realitas dan Target Filosofis
Filosofi dari pendidikan adalah memanusiakan manusia, 1 clan mcnjaJikan
manusia sebagai subyek dalam berhubungan dengan manusia clan alam, clan tidak lagi
sebagai obyek. Artinya, pendidikan itu seharusnya membuat pendidik clan peserta
didik sadar akan keberadaan dirinya didalam dunia, sadar apa yang harus ia fikirkan
dan lakukan. Dengan kata lain pendidikan itu menjadikan manusia yang bebas dan
mercleka, 2 clan menjadikan peserla clidik mampu berinisia1.if, krealif, bertanggung
jawab serta mandiri tanpa ia harus bergantung kepada orang Jain ataupun bergantung
kepada alam, karena dengan bergantung kepada orang lain itu akan membuat dirinya
menjadi objek.
Menjadikan manusia sebagai subyek adalah memfosisikan manus1a sebagai
pelaku dalam kehidupan dan memberikan peluang baginya untuk berekspresi dan
menentukan sendiri jalan hidupnya tanpa ada campur tangan dari pihak luar.
Sedangkan manusia sebagai obyek adalah manusia yang hidup ten.is
bergantung kepada pihak luar -baik manusia maupun al am· eksistensinya terhadap
kehidupan tidak ada. Dia hanya sebagai alat untuk melakukan apa yang diinginkan
1 Francis \Vahono. Kapitn/is1ne l)entlidikan,
'Majalah BASIS. cdisi Paulo Freire. h. 3.
53
54
oleh pihak luar, dirinya disetir oleh orang lain. Inilah yang disebut oleh Paulo Freire
'Kaum tertindas'.
Kaum tertindas disini bisa bermacam-macam, tertindas reztm otoriter,
tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminat!f. tertindas karena warna
kulit, jender, ras, dan sebagainya. 3
Bila filosofi pendidikan adalah memanusiakan manu~:ia (humanisasi), maka
terlebih dahulu kita harus memperhatikan apakah kebutuhan dasariah dari manusia itu
sendiri, dan apa bukti dari eksistensi mereka ? .
Menurut Paulo Ricoeur bahwa dalam diri setiap individu terdapat suatu
kemampuan komunikasi yang bersifat umum bagi manusia,4 dan dia juga mengatakan
bahwa manusia pada dasarnya merupakan bahasa bagi semua. pengalaman manusia :
"Kita mengungkapkan diri kita melalui bahasa, kita bergaul clengan masyarakat juga
melalui bahasa, kita mengerti atau memahami sesuatu dengan menggunakan istilah-
istilah yang terdapat di dalam bahasa" .5
Dari pendapat Ricoeur tersebut di atas jelas bahwa kebutuhan dasariah dari
manus1a dan bukti dari eksistensi manusia adalah 'komunikasi' dengan
komunikasilah manusia itu dapat mengungkapkan dirinya dan dapat bergaul dengan
masyarakat.
3 Harian Kornpas, Afasalah Filos<?fis '/'ujuan /1e11didika11 lVasional. cdisi Kan1is S Mei 2003. h . ..J..
4 Ninuk Klcdcn (cd), l'engantar 1'eori-teori Pe111aha1na11 Konte1nporer "/ fern1eneutika ", (Bandung: Yayasan Nuansa Ccndckia), 2001, h. 195.
5 E. Surnaryono, lfermeneutik Se/mah Metode Vilsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993). h. lOO.
55
Jika kebutuhan dasariah manus1a itu sudah diabaikan, itu bera1ti adanya
proses dehumanisasi dan berarti pelanggaran hak azasi bagi manusia sudah dilanggar
karena komunikasi itu sendiri adalah hak azasi manusia, terlebih lagi dalam
pendidikan.
Komunikasi atau disebut juga dialog sangatlah penting dalam manifestasi
lilosoli prndidikan lersebul. lk11ga11 dialog, ,pc11didik dan pescrla didik 111e11capa1
tingkal pcmahaimrn yang baik tanpa ada lagi kcraguan, karcna pada proses dialog
tersebut pelaku dialog bisa langsung bertanya dan memberi jawaban tanpa ada jarak
alau waklu yang memisahkan, sebagaimana pendapal Marlin Buber6 Dengan
demikian, pedidik dan peserta didik ikut berpa1tisipa.si dalam menentukan
keberhasilan pendidikan dan bukan hanya menjalankan atau mempelajari silabus atau
program pendidikan yang ditentukan oleh mereka yang sama sekali jauh -bahkan
mungkin-mereka tidak mengerti sama sekali terhadap pendidikan, tetapi dengan
sombongnya mereka menentukan program pendidikan.
Pendidikan yang pada awalnya bertujuan memanusiakan manus1a dan
menjadikan manus1a yang mandiri serta dapat menghad&.pi tantangan jarnannya
hanyalah utopia belaka, dan menghasilkan air mala (meminjam islilah Sindhunala)7
karena rnasih adanya praktek-praktek ketidak adilan pada masyarakat bawah.
6 Majalah Filsafat Driyarkara, Dia.'og dan Pernaha111an diskursu,1,· her111eneutika ffaris-(Jeon~ Gadamer, h. 26.
7 Sindhunala, Pendidikan Hanya Me/ahirkan ilir Mata, kolom tanda-tanda zaman di imtjalah Basis, Juli-Aguslus 2000.
56
Runtuhnya Orde Baru setidaknya menge,rugah kembali harapan untuk
menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik yakni sisem pendidikan yang
membebaskan masyarakal dari kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan. 8 Tapi
sayang, pendidikan hanyalah dijadikan sarana efektif bagi indoktrinasi politik dan
kepentingan penguasa melalui kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya, yang
kemungkinan besar hanya menguntungkan segtilinlir orang atau golongan saja,9 dan
pendidikan pula dijadikan komoditi yang dengannya bisa menghasilkan keuntungan
seperti adanya seragam sekolah, mulai dari buku pelajaran hingga sepatu yang
dipakai oleh peserta didik yang itu semua mendatangkan keuntungan bagi pengusaha.
Yang lebih menyedihkan lagi, pendidikan itu dianggap sebagai pabrik tenaga
ke1ja yang menuntut agar setiap lulusan siap untuk menempati pos-pos peke1jaan
yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan baru akibat globalisasi. Dalam ha! ini
perekonomian-perekonomiru1 masih diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan barang
barang murah dari negara-negara yang baru merdeka itu dikalangan negara-negara
yang sudah maju industrinya, yang notabere adalah para bekas penjajah. Apakah
barang yang diekspor itu masih berbentuk bahan mentah atau telah diolah, tidaklah
penting. Yang terpenting harganya murah sehingga mcmungkinkan pcngolahan baru
atau lebih lanjut dengan margin laba cukup besar di negarn-negara tempat tujuan
ekspor itu sendiri. Sedangkan pola ekspor seperti itu berarti penekanan upah peke1ja
8 Andrias harcfa. Pembelajaran di Era Serba Olonom, (Jakarta: Kompas. 2001). h. 23.
0 H.Syaukani, HR., Titik Temu dalam /Junia /'endidikan, (Jakarat: Nuansa Madani. 2002). h. 4.
57
serendah mungkin di negara-negara pengekspor.Akhirnya pendidikan itu hanya
berfungsi untuk melayani modal asing yang berupah rendah.
Pendidikan lalu terkait secara salah dengan terna 'pernenuhan kebutuhan
pembangunan', yaitu terkait hanya dengan salah satu aspeknya saja. Pendidikan lalu
rnengarah kepada penyediaan tenaga kerja selengah jadi untuk kepenlingan produksi
barang-barang ekspor rnurah itu, sedang disaat yang sama ia dituntut pula untuk
mcnycdiakan scjumlah sangal kccil /c1111ga pc11gdola di lingkal dunia usaha. lkngan
demikian, 'dunia profesi' dalam arti yang luas menjadi terlalaikan. Sedangkan
pendidikan untuk menghasilkan petani yang mandiri, usahawan kecil yang
berswadaya, dan pengrajin yang dapal tersaing dengan barang impor, tidak pernah
tercapai. Padahal, justru itu yang menjadi kebutuhan sebenarnya bagi masyarakat, dan
diharapkan dapat dihasilkan oleh dunia pendidikan negara-negara yang belum lama
berkembang.
Dari fenomena tersebut di atas menandakan bahwa pendidikan menjadi bagian
dari jaringan saling ketergantungan, yaitu ketergru1tungan negara-negara yang sedang
berkembang kepada negara-negara yang sudah rnaju industr.inya dalam ha! modal,
teknologi, pengelola usaha dan juga saling ketergantungan 'satu sisi' itu dengan
sendirinya membebankan sesuatu yang sangat berat dipikul, yaitu 'sistem pemerasan
keringat'. Secara kosmetis, rnemang adanya hasil pernbangunan, ini ditandai dengan
meningkatnya hasil perorangan dalarn setahun, namun kenyataannya justru proses
pemiskinan yang terjadi, karena peserta didik hanya diarahkan untuk 'siap beketja'
tanpa dia tahu bagaiman dia hams menghadapi zamannya. Dia tidak lain hanyalah
58
dijadikan budak kaum !capita/is yang dengan kedoknya rnemberi pcluang kerja
padahal justru disitulah proses penindasan terjadi. Secara tidak sadar keberadaannya
sebagai rnanusia telah diabaikan dia dijadikan sebagai obyek oleh pemerintah, dengan
dalih untuk 'pembangunan', padahal justru mereka haus keuntungan. Pernerintah
dengan seenaknya menentukan arah pendidikan kepada perekonomian tanpa
mempcrhatikan kebutuhan dasariah dari manusia itu sendiri. Akibatnya lulusan itu
seperti 'sapi perah' yang harus menuruti perintah tuannya untuk memenuhi
kebutuhan tuannya.
Realitas seperti demikian menunjukkan bahwa target filosofis dalam
pendidikan belum tercapai. Jni ditandai dengan masih aclanya praktek peninclasan
pacla pencliclikan. Guru hanya berfi.mgsi sebagai perpanjangan tangan clari ketentuan
pemerintah dalam ha! pencliclikan.
Memang, tantangan pertama dunia pendidikan masa depan sejauh
kecenderungannya sudah dapat kita haca sckarang 1111 yaitu bagaimana
menyelenggarakan pendidikan yang tanggap terhadap tantangan era globalisasi.
Dalam zaman sekarang ini tidak ada negara satupun di dunia ini yang dapat hidup
sama sekali lepas dari negara-negara lain.
Dalam percaturan global, baik clalam melaksanakan ke:giatan ekonomi, politik
maupun budaya, kualitas bangsa kita akan dipertaruhkan. Dalam bidang ekonomi
misalnya, yang pada tahun 2003 sudah ada perdagangan bebas ASEAN (AFT A), clan
tahun 2020 kita akan memasuki 'era perdagangan' bebas da.lam konteks ke1jasama
59
ekonomi Asia dan Pasific (APEC). Pertanyaan kita adalah seberapa jauh dunia
pendidikan kita sekarang ini telah mempersiapkan generasi muda untuk bersaing
secarafair, dan di pihak lain bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
Dunia pendidikan masa depan memang jangan hanya dirancang untuk
melayani kebutuhan pengembangan ekonomi saja, tetapi kedayagunaan para lulusan
untuk memenuhi kebutuhan tersebut juga jangan sampai diabaikan.
Tantangan persaingan dan kerjasama global bukan hanya menyangkut
kehidupan ekonomi, melainkan juga menyangkut politik dan budaya.
Dalam kehidupan politik, globalisasi juga memunculkan beberapa agenda
permasalahan yang harus diperhatikan oleh dunia pendidikan, misalnya dunia
pendidikan kita tidak bisa mengabaikan semakin kuatnya arus demokratisasi dan
perjuangan penegakan hukum dan adanya tuntutan pelaksanaan hak asasi manusia.
Dalam kehidupan budaya, globalisasi menantang dunia pendidikan untuk
menghasilkan lulusan yang kenal, mencintai, dan mampu mengekspresikan budaya
bangsanya seraya mampu menjalin dialog terbuka dan kritis dengan budaya-budaya
lain. Kalau tidak, yang akan muncul adalah generasi yang tak punya identitas, atau
yang selalu gamang, takut, dan bingung menghadapi berbagai perubahan yang
le1jadi. 10
Bila kita amati lagi, maka konsep pendidikan di alas adalah merupakan
'konsep pendidikan gaya bank'.
'0 A. Atmadi dan Y. Sctiyaningsih (editor), Transformasi Pe11d1dika11, Aiemasuki milenium
ketiga, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), h. 4.
60
Menurut Paulo Freire, konsep pendidikan gaya ba.nk melahirkan adanya
kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid. Bahkan, lebih dari itu, konsep
pendidikan gaya bank JUga memeliharanya dan mempertajamnya, sehingga
mengakibatkan terjadinya kebekuan berfikir dan tidak munwlnya kesadaran kritis
pada diri murid untuk berfikir mandiri.
Pendekatan yang biasa dipakai dalam pendidikan gaya bank adalah
pendekatan bercerita (narrative approach) yang mengarahkan murid untuk
menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Dengan demikian, tugas
murid hanyalah mendengarkan cerita guru, mencatat, menghafal dan mengulangi
ungkapan-ungkapan yang disampaikan olch guru, tanpa mcnyaclari dan mcmahami
arti dari makna sesungguhnya. Lebih buruk lagi, murid diubahnya menjacli 'beja11a
b~ja11a ', wadah-wadah kosong untuk diisi oleh guru semakin penuh ia mengisi
wadah-wadah itu, semakin baik pula seorang guru. Semakin patuh waclah-waclah itu
untuk cliisi, semakin baik pula mereka sebagai murid.
Penclidikan karenanya rnenjacli sebuah kegiatan menabung, clirnana murid
adalah celengannya, clan guru aclalah penabungnya. Dalam ha! ini, yang terjadi
bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan
'mengisi tabungan' yang diterima, dihafal, dan diulangi dengan patuh oleh para
murid.
Konsep pendidikan gaya bank tidak mengenal pemecahan masalah
kontradiksi antara guru-murid. Sebaliknya, ia memelihara clan mempertajam
kontracliksi itu melalui cara-cara clan kebiasaan-kebiasaan sebagai berikut :
61
1. Guru mengajar, murid di ajar. 2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa. 3. Guru berfikir, murid difikirkan. 4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan. 5. Guru menentukan peraturan, rnurid diatur. 6. Guru memilih dan mernaksakan pilihannya, murid menye:tujui. 7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan
gurunya. 8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, muricl (tanpa climinta pendapatnya)
menyesuaikan cliri dengan pelajaran itu. , 9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan
jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan muriclnya. 10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.
Konscp pendidikan gaya bank ternyata sangat cfcktif untuk rncmbekukan
kesadaran kritis dan mereduksi keterlibatan murid da!am mengubah dunia. Disamping
itu, pendidikan gaya bank juga memiliki kernampuan untuk rnengurangi atau
menghapuskan daya kreasi pada murid serta menumbuhkan sika.p mudah percaya.
Termasuk dalam konsep pendidikan gaya bank adalah anggapan akan adanya
dikotomi antara manusia dengan dunia : manusia semata-mata ada di dalam dunia,
bukan bersarna dunia atau orang lain , rnanusia adalah penonton, bukan pencipta.
Dalam pandangan ini, manusia bukanlah makhluk yang berkesadaran. 11
Pandangan tersebut kernudian membawa guru dalam anggapan bahwa murid
adalah obyek yang tak berkesadaran, senantiasa pasif clan menerima apa saja yang
diberikan oleh guru. Seorang guru dalam pendidikan gaya bank terkadang tidak sadar
bahwa ia telah sedamg bekerja untuk tujuan dehumanisasi.
11 Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire, !sla111 dan [Jenibehasan, {Jakarta : Dja1nbatan dan Pena, 200), h. 47.
62
B. Pendidikan Dialog Versus Pendidikan Dogmatif
Sebagaimana telah disebut pada pembahasan terdahulu, bahwa pendidikan
dialog dalah pendidikan yang berlujuan memanusiakan manusia, komunikatif atau
terbuka dan mengedepankan kebutuhan dasaiiah dari manusia itu sendiri. Sehingga
akan melahirkan peserta didik yang bebas merdeka dalam mengutamakan opnunya,
kritis dan kreatif serta sadar akan eksistensinya di dunia.
Sedangkan pendidikan dogmatif adalah pendidikan yang mengharuskan
peserta didik menerima 'apa adanya' dari yang diajarkan oleh guru tanpa ia harus
mengerti dan faham serta tahu apa sebabnya. Pendidikan gaya bank, yang memelihara
dan mempertajam adanya dikotomi guru dan murid. Pada pendidikan dogmatif ini
dikembangkan mi/as bahwa jika murid itu banyak bertanya atau kritis terhadap suatu
pelajaran maka dia dianggap melawan guru dan itu berarti pula. melawan ajaran nenek
moyang. Disini, akan timbul sikap 'nrimo' akan apa yang akan diberikan oleh guru .
Itulah yang menjadikan sebab kebekuan dalam berfikir. BHa guru bilang 'benar'
maka murid pun akan mengulanginya 'benar' clan guru bilang 'salah' maka murid
pun bilang 'salah' tanpa boleh ditawar-tawar lagi dan tanpa menggunakan
pertimbangan aka! pikiran. fungsi aka! sangatlah penting dalam kehidupan manusia,
untuk menentukan arah tujuan manusia. !tu berarti, aka! adalah merupakan esensi
bagi manusia yang harus dihormati dan tidak boleh dihapuskan. Esensi itu berarti
pula hak azasi bagi setiap individu untuk menentukan dirinya sendiri dalam
kehidupan. Bila fungsi akal ini diabaikan, maka benar bahwa pendidikan itu tidak lain
63
hanyalah sebuah penindasan bagi peserta didik yang tidak membebaskan murid untuk
mempergunakan akalnya sendiri dalam mengkritisi suatu pelajaran.
Pendidikan dogmatif ini akan melahirkan atau menghasilkan lulusan yang
tidak kritis dan tidak kreatif dalam berfikir karena akalnya tidak digunakan untuk
berfikir pada saat proses belajar mengajar berlangsung denga.n kata lain di kebiri
atau dipasung. mulutnya di bungkam untuk bertanya apalagi memberi pernyataan.
Situasi ini akan berla1tjut pada masa dimana peserta didik itu terjun ke masyarakat. la
akan menjadi orang yang tertutup dan tidak siap menghadapi tantangan zamannya. la
hanya mengikuti arus yang mengalir dalam masyarakat, dan ini pula akan membentuk
suatu masyarakat yang tertutup bila setiap individu seperti halnya lulusan tersebut.
Masyarakat seperti itu hanya bisa menerima apa yang diputuskan dan ditetapkan oleh
pemerintah dan terus mengikuti perkembangan zaman tanpa memfiltemya lebih
dahulu, tanpa memilih mana yang bermanfaat dan tidak bermanfaat baginya dan apa
akibatnya.
Beda dengan masyarakat terbuka yang di dalamnya adalah terdiri dari
individu yang pendidikannya menggunakan dialog pada saat belajar mengajar
berlangsung.
Masyarakat terbuka ditandai dengan munculnya kesadaran kritis rakyat atau
terjadinya pergeseran dari kesadaran transitiina!l menuju kesadaran transit!l-kritis.
Dengan demikian manusia mengalami proses pemandirian sebagai manusia, individu,
maupun kelompok. Secara bebas rnereka mulai mampu rnernunculkan irnajinasi
64
progresif dan kreatifitas yang tentu saJa, tujuannya untuk mernbangun tatanan yang
l b·1 . . d 1· t2 e l 1 manusiaw1 an ega 1 ter.
Masyarakat terbuka yang tak lain merupakan manifestasi dari tatanan yang
demokratis, dimana sctiap orang memiliki kebcbasan untuk bcrbicara dan bcrsikap,
dimana hak setiap orang dijunjung tinggi, dan dialog adalah jalan menuju
penyelesaian rnasalah. Tidak ada penindas dan tertindas dalam masyarakat terbuka,
melainkan kerjasama dan komunikasi yang seimbang. Semua aktivitas ditujukan
untuk upaya huma11isasi, dcngan me1~aga kepentingan kolektif
Prof. Dr. Azyumardi dalam bukunya yang be1judul Paradigma Baru
Pendidikan Nasional, mengatakan bahwa 'Pendidikan Islam' (madrasah)
sesungguhnya memiliki sebuah potensi besar dalam pemberdayaan pendidikan rakyat
secara keseluruhan. Dengan kedekatannya kepada masyarakat muslim, pendidikan
Islam merupakan potensi dalam pembentukan Civil Society, masyarakat madani, atau
masyarakat kewargaan pada tingkat akar rumput kaum muslimin. Dalam konteks ini,
pendidikan Islam (madrasah) itu merupakan pendidikan yang murah dan dapat
dijangkau oleh siapa saja. Hal ini karena beban pembiayaan pendidikan sebagian
besar dipikul oleh komunitas muslim sendiri. 13
Disini, pendidikan Islam dapat menjadi lembaga pendidikan penting dalam
penanaman dan penumbuhan demokrasi. Tetapi dalam praktiknya, pendidikan Islam
12 Muh Hanif· Dhakiri. JJaulo f•J·eire, /sltuu dan />e111heha.w111. (Jakarta: Djan1batan dan Pena. 2000), h. 40.
13 Azyurnardi Azra, J>aradign1a 13aru F'endidikan 1Vasional, (Jakarta : Pcncrbit Buku Ko1npas, 2002), h. 148.
65
belum sepenuhnya mampu menjadi 'pendidikan pembeba.1a11' karena terhadap
dengan masalah-masalah internal dan eksternal, seperti kebijakan pendidikan nasional
yang sentralistik.
C. Dialog Sebagai Sebuah Wacana Masyarakat Modern
Sciring dengan adanya era g!oba!isasi pada masa sekarang ini, yang ditandai
dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi seperti internet, televisi, radio dan
sebagainya, menjadikan manusia harus mampu bersaing. Bersaing disini bukan hanya
dikalangan kita saja, tapi seluruh dunia, baik dari segi ekonomi, politik maupun
budaya.
Oleh karena itulah, untuk menghadapi itu semua manusia terus menerus
mengalami dan/atau melakukan perubahan dalam hidupnya untuk menghadapi
tantangan zamannya. Perubahan-perubahan inilah yang kemudian disebut modern,
sehingga ada istilah 'masyarakat modern'. Masyarakat modern ada!ah masyarakat
yang tanggap terhadap perubahan zamannya dengan melakukan penyesuaian sikap
terhadap tuntutan zaman itu.
Di banyak tempat di dunia, perubahan sosial menjadi begitu cepat sehingga
telah melampaui perubahan generasi. Lingkungan dan alam sosial seseorang begitu
cepat dan sering berubah sehingga apa yang selama ini d.iperlajari dan menjadi
kebiasaan tidak lagi berf\mgsi. Pengalaman masa lalu memang bukannya tanpa guna
sama sekali, tetapi lingkungan hidup sering dan terns berubah, pengalaman masa lalu
tidak lagi memadai untuk menjawab masalah-masalah baru yang dihadapi. Orang
66
perlu mampu belajar terus-menerus. 14 Dari itulah, dialog menjawab sangat penting
perannya dalam masyarakat modern untuk mengkritisi perubahan yang terus-menerus
terjadi. Karena masyarakat dituntut untuk jeli dan teliti dalam melihat perubahan
dilingkungannya ( dimana ia berada), agar segala fikiran dan perbuatannya terarah,
dan tidak sekedar ikut-ikutan belaka.
Jadi, bagi masyarakat modern dialog adalah solusi untuk menyelesaikan
semua masalah yang te1jadi. Dialog ini adalah sebagai alat untuk mengambi!
keputusan sesuai dengan kesepakatan bersama.
Dalam menghadapi tantangan perubahan sosial yang semakin cepat,
pendidikan masa depan perlu sejak dini (mulai pendidikan dasar) melatih peserta
didik untuk marnpu belajar secara mandiri dengan mernupuk sikap gemar membaca
dan mencari, serta memanfaatkan sumber informasi yang diperlukan untuk dapat
menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya. Untuk mendukungnya, maka
sistem belajarpun jangan hanya menekankan hafalan, tapi sistam belajar yang
bersifat pertisipatoris dan antisipatoris perlu dikembangkan. Seperti dicanangkan
oleh suatu komisi UNESCO dalam rnempersiapkan pendidikan manusia abad XX!,
peserta didik perlu dilatih untuk bisa berfikir (learning to think), bisa berbuat atau
melakukan sesuatu (learning to do) dan bisa menghayati hidupnya menjadi seorang
pribadi sebagaimana ia ingin menjadi (learning to he). Tidak kalah pen ting dari itu
1'1 A. At111adi dan Y. Sctiyaningsih (editor). 1·ra.~forn1asi !1entlidika11, Afe111asuki Afileniunl
Ketiga, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), h. 4.
67
semua adalah belajar bagaimana belajar (learning how learn), baik secara mandiri
maupun dalam kerjasama dengan orang lain, karena mereka juga perlu belajar untuk
bersama dengan yang lain (learning to live togethe1).
A. Kesimpulan
BABY
PENUTUP
Dialog atau komunikasi adalah kebutuhan dasariah manusia yang tidak boleh
dihila11gk;111 lk1111.a11 dialog nwn11sia menjadi herh11daya, denga11 dialog 111a1111sia
mampu mcngckspresikan dirinya dan dengan dialog pula manusia mcnjadi krcatiC
Demikian pula dalam hubungannya dengan pendidikan.
Selanjutnya, untuk mengakhiri uraian skripsi 1111, penulis akan menyimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
I. Paulo Freire sebagai seorang tokoh pendidikan yang sejati selalu
memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan termasuk eksistensi manus1a itu
sendiri di dalam dunia. Baginya manusia itu berhak atas dirinya sendiri dan
bebas berfikir seluas mungkin se11a bebas bertanya maupun memberi
pernyataan, tanpa ada faktor lain yang mempengaruhinya. Dalam ha! ini Paulo
Freire mengutamakan adanya dialog dalam pendidikan.
2. Konsep Pendidikan Paulo Freire adalah Membangkitkan kesadaran manus1a
tentang relitas dunia melalui pendidikan serta membebaskan manusia dari
kebodohan, kemiskinan dan ketertindasan.
3. Dalam pendidikan, dialog sangatlah penting untuk melatih siswa agar berfikir
kritis, dan murid tidak pasif Oleh karena itulah, bila. metode dialog sudah
digunakan dalam pendidikan, maka terlebih dahulu guru harus memeluk
68
69
ideologi 'kesarnaan derajat', tidak ada lagi kese1tjangan antara guru dan
rnurid. Yang ada hanyalah 'guru yang rnurid' dan 'rnurid yang guru'.
4. Karena dialog adalah tuntutan kodrat rnanusia, rnaka dialog itu Jangan
diartikan sebagi taktik atau teknik, sebab itu akan rnengarahkan akan kepada
penindasan hak-kak seseorang untuk berbicara (dehuma11isasi).
5. Dalarn praktek dan cara mengajarnya, Paulo Freire rnenarnpilkan gambar
gambar tentang 'alam realitas' yang ada di sekitar rnurid. Setelah gambar
gambar itu ditampilkan, !au Freire merninta mereka (murid) untuk
berkomentar, memberi partanyaan ataupun membe1i pernyataan tentang
garnbar tersebut untuk memancing kekritisan rnere:ka dan membiasakan
mereka melihat serta membaca alam realitas di sekitar mereka sendiri.
B. Saran
1. Dialog sebagai sebuah cara yang sangat manusiawi perlu diterapkan dalam
setiap sisi pendidikan. Pendidikan yang otoriter, yang hanya dimonopoli oleh
guru perlu untuk segera dirubah dengan dialog agar terjadi komunikasi dua
arah yang harmonis antara guru dan murid.
2. Sejak dini murid seharusnya dilatih untuk berfikir kritis dan mandiri. Agar
ketika dia keluar (lulus) dari sekolah, dia tahu apa yang harus dia lakukan.
3. Guru ataupun dosen sudah bukan saatnya lagi mendikte dan memaksakan
pendapatnya tentang 'kebenaran' kepada murid. Murid bukanlah paduan suara
70
yang akan berkata 'benar' bila guru bilang benar dan salah bila guru bilang
'salah'.
4. Dal am menggunakan met ode dialog ini, hendaknya guru memberi batasan
batasan dan jangan terlalu 'vulgar', sebab murid kehilangan sikap so pan
santunnya terhadap guru jika guru sendiri tidak memberi batasan-batasan.
Jadi, walaupun dalam rnetode dialogis harus ada 'kesamaan derajat' tetap saja
murid harus sopan santun terhadap t,>uru.
ratusan anak-anak cikal bakal bangsa yang akan mengalarni zaman yang
berbeda dari sekarang. Oleh karena itu dalam pendidikan metode dialog
amatlah penting untuk melatih mereka berfikir kritis clan hidup mandiri agar
rnereka mampu menghadapi tantangan zamannya kelak.
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran clan kritik dari
pembaca, dan semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua fihak, terutarna bagi
penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ashri (Majalah MP IAIN Jakarta), edisi 23 April 2002
Abdul, Q., Mas'ud Khasan, Kamus llmiah Populer edisi Lux, Bintang Pelajar, 1998, cet. ke-2
Appignanesi, Richard, dan Garratt, Chris, A.1engenal Posmodernisme for Beginners (terj), 1999, cet. ke-4
Atmadi, A, dan Setiyaningsih, y. ( ed), Tran:formasi Pendidikan Memasuki Afilenium Ketiga, Yogyakarta : Kanisius dan Universitas Sanata Dharma, 2000, cet. ke-1
Azra, Azyumardi, Prof Dr., Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan /)emokrasi, Jakarta : Penerbit Buku Kornpas, 2002, cet. ke-1
BASIS, Sekolah atau Pet1jara, edisi Paulo Freire, Yogyakarta: Kanisius, 2001
___ , Pendidikan Hanya A1enghasilkan Air A1ata, Edisi Khusus Pendidikan, Y ogyakarta : Kanisius, 2000
Brown, Lesley, ( ed), The New Shorter Oxford English Dictionary 011 Hislorical Principles, Oxford : Clarendon Press, 1993, vol. I (A-M)
Depag RI, Al-Qur 'an al-Karim, Jakarta : Sari Agung, I 990
De Porter, Bobbi dan Mike Hernacki, Quantum J,eaming : Membiasakan He/ajar Nyama11 dan Nfenyenangkan (terj), Bandung : Kaifa, 2000, cet. ke-Vlll
De Porter, Bobbi, dan Reardon, Mark, dan Nourie, Sarah Singer, Q11a11tu111 Teaching: Akmpraklekkan Q11a11lu111 Leaming di R11a11g-ruang Ke/as (tmj), Bandung: Kaifa, 2000, cet. ke-Il
Dhakiri, Muh. Hanif; Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, Jakarta Djambatan, 2000, cet. ke-1
Djamarah, Syaiful Bahri, Ors., dan Zain, Aswan, Drs., Strategi Be/ajar f\.1engajar, Jakarta : Rineka Cipta, 1996, cet. ke-I
Djuroto, Totok, Drs., MS!., dan Suprijadi, Bambang, Drs. iVl.SI, Me1111/is Artikel da11 Kwya !lmiyah, Bandung: PT. Rcmuja Rosdakarya, 2003, eel. kc-2
71
72
Driyarkara (Majalah Filsafat), Dialog da11 Pe111aha111a11: I>1sk11rs11s Her111e11e11tika Hans-Georg Gadamer, Jakarta : STF Driyarkara, edisi, th. XX, No. 3
Drost, J., Refbrmasi Pengajaran Sa/ah Asuhan Orangtua 9 , Jakarta: PT. Grarnedia Widiasarana, 2000
Effendy, Onong Uchjana, Prof: Drs, M.A., !/mu Ko1111111ilwsi 'f'eori da11 l'reklek, Bandung : Remaja Rosdakarya, 200 I, cet. ke-15
Escobar, M., dkk., Dialog Bareng Paulo Fi·eire: Sekolah Kapitalisme yang Licik, Yogyakarta : LKiS, 2001, cet. ke-3 '
Femina (Majalah Mingguan), Terbitan No. 19/XXIV Mei, 1996
Freire, Paulo, Prof, Dr., Pendidika11 Sehagai Praktek Pe111hehasa11 (terj), Jakarta : PT. Gramedia, 1984
____ , Pedagogi Hali (terj), Yof,>yakarta : Kanisius, 200 I, cet. ke-1
___ , Pe11didika11 Kau111 Tertindas (terj), Jakarta : LP3S, 2000, cet. ke-3
____ , Pedagogi Pe11gharapa11 (terj), Yogyakarta: Kanisius. 2001, cet. ke-l
___ , dan Shor, lra, A1enjadi Guru A4erdelw (te1j), Yogyakarta : LKiS, 200 J, cet. ke-1
Harefa, Andrias, Pemhelajaran di Era Serba Oto110111i, Jakarta Penerbit Buku Kompas, 200 l
http://www. in fed. org/thi nkers/et-freir. htm
____ , !3e1guru Pada Jvfatahari, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, J 998, cet. ke-1
Kleden, Ninuk, ( ed), !'e11gantar Teori-Teori Pe111ahama11 Konte111porer Hermeneutika, Bandung : Yayasan Nuansa Cendekia, 200 I, cet. ke-2
Kompas, Edisi Senin 5 Mei 2003
, Edisi Kamis 8 Mei 2003
Partanto, Pius. A, dan Al Barry, M. Dahlan, Kat1111s flmiah Populer, Surabaya Arkola, l 994
Rachman, Budhy Munawar, Islam Pluralis, Jakarta: Paramadina, 2001, cet. ke-1
73
Robinson, Mairi, Chabers 21st Centwy Dictionaty, 1999,
Saussure, Ferdinand de, Pengantar Linguistik Umum (terj) Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1993, cet. ke-2
Setiawan, Safaat, Skripsi Konsep Paulo Freire lentang Pendidikan Kaum Tertindas, IA!N,2001
Sumaryono, E., Hermeneulik Se/JUah A1etode Filsqfat, Yogyakarta : Kanisius, 1993
Susanto, Budi, Dr., dkk., Nilai-Nilai J<:tis dim Kekuasaan i!topis, Yogyakarta Kanisius, l 992, cet. ke-!
Syaukani, H. HR., 'fltik Temu dalam Dunia Pendidikan, Jakarta Nuansa Madani, 2002. cet. ke-1
Tim lA!N Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Pe1111lisa11 Skripsi, Tesis, da11 Disertasi, Jakarta: Logos, 2000
Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, Surabaya Usaha Nasional, 1998, cet. ke-3
Wahono, Francis, Kapi!alisme l'endidikan A11rw Kompelisi dan Keadilan, Yogyakarta : Insist Press, Cindelaras dengan Pustaka Pelajar, 200 l. cet. ke-l