Kaspan Hipertensi Retinopathy
-
Upload
dewi-mustika -
Category
Documents
-
view
115 -
download
3
description
Transcript of Kaspan Hipertensi Retinopathy
KASUS PANJANG
RETINOPATI HIPERTENSI
Oleh :
Ratih Paramita Suprapto 0610710111
Rizqi Amalia Paramitha 0710710086
Kishern Mathavan 071071
Pembimbing:
dr. Anny Sulistiyowati, Sp.M
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MATA
RUMAH SAKIT Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hipertensi merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas
paling sering di seluruh dunia. Kelainan pembuluh darah ini dapat berdampak
langsung ataupun tidak langsung terhadap sistem organ tubuh, termasuk mata.
Retinopati hipertensi adalah kondisi retina dengan karakteristik terjadi perubahan
vaskularisasi retina, perdarahan retina, eksudat, edema papila, dan edema retina
(Mosby Medical Dictionary, 2009).
Sejak tahun 1990, beberapa penelitian epidemiologi telah dilakukan pada
sekelompok populasi penduduk yang menunjukkan gejala retinopati hipertensi dan
didapatkan bahwa kelainan ini banyak ditemukan pada usia 40 tahun ke atas.
Prevalensi retinopati hipertensi bervariasi antara 2%-15%. Data ini berbeda
dengan hasil studi epidemiologi yang dilakukan oleh Framingham Eye Study yang
mendapatkan hasil prevalensi rata-rata kurang dari 1%. Penelitian yang dilakukan
di Meksiko mendapatkan 70 % penderita retinopati merupakan wanita dengan usia
rata-rata 51±10.4 tahun, dan tekanan darah rata-rata 149±13.3/88±9.7mmHg
(Salvador, 2003). Sedangkan penelitian lain yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi
Semarang, menjelaskan bahwa retinopati hipertensi dipengaruhi oleh usia, dan
derajat hipertensi, dimana ditemukan usia terbanyak penderita retinopati hipertensi
adalah 41-50 tahun (30,4%), serta 59,5% penderita merupakan penderita retinopati
hipertensi dengan hipertensi sistemik stadium II (Kristiani S, Wilardjo, 2001).
Retinopati hipertensi telah lama dianggap sebagai indikator resiko dari
morbiditas dan mortalitas sistemik. Banyak penelitian yang melaporkan hubungan
yang erat antara retinopati hipertensi dengan kejadian stroke dan penyakit penyakit
serebrovaskular. Studi yang dilakukan Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC)
tahun 2002, menunjukkan bahwa penderita retinopati hipertensi memiliki
kecenderungan 2 kali lipat untuk menderita stroke, walaupun faktor - faktor lain
seperti merokok, dan kadar lipidnya terkontrol. Penderita retinopati hipertensi juga
memiliki kecenderungan 2 kali lipat untuk menderita gagal jantung kongestif (Wong
TY et al, 2005), dan juga lebih cenderung menderita disfungsi renal (Wong TY et
al, 2004).
Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure (JNC) dan British Society of Hypertension telah
bersama-sama memberikan penuntun panduan yang menekankan tentang
penanganan yang agresif pada penderita hipertensi retinopati karena penyakit
tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah hipertensi retinopati itu?
2. Bagaimana cara mendiagnosis hipertensi retinopati ?
3. Bagaimana penatalaksanaan hipertensi retinopati ?
1.3 Tujuan
1. Memahami apa yang disebut dengan hipertensi retinopati.
2. Mengenali tanda dan gejala hipertensi retinopati.
3. Mampu memberikan pengobatan dan edukasi kepada pasien hipertensi
retinopati.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi retina mata
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan
semitransparan yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dari dinding bola
mata. Retina membentang ke anterior hampir sejauh corpus cilliare dan berakhir
pada ora serrata dengan tepi yang tidak rata (Vaughan, 2002).
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung
reseptor yang dapat menerima rangsangan cahaya. Retina berbatasan dengan
koroid dengan sel pigmen retina, dan terdiri dari lapisan :
1. Lapisan membran Bruch, sebenarnya merupakan membran basalis epitel pigmen
retina.
2. Lapisan epitel pigmen retina.
3. Lapis fotoreseptor, merupakan lapisan terluar retina dan terdiri atas sel batang dan
sel kerucut.
4. Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi.
5. Lapis nukleus / inti luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang
yang mendapat hasil metabolisme dari kapiler koroid.
6. Lapis pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat sinapsis sel
fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
7. Lapis nukleus / inti dalam, merupakan badann-badan sel bipolar, sel horizontal,
dan sel amakrin / Muller. Lapisan ini mendapat hasil metabolisme dari arteri retina
sentral.
8. Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat sinaps
sel bipolar, sel amakrin, dan sel ganglion.
9. Lapis sel ganglion, merupakan lapisan badan sel daripada neuron kedua.
10. Lapisan serabut saraf, merupakan lapisan akson sel ganglion menuju ke arah saraf
optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.
11. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan
kaca.
Retina menerima darah dari dua sumber, yaitu koriokapilaris yang berada
tepat di luar membran Bruch yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk
lapisan pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen
retina; serta cabang-cabang dari arteri retina sentralis yang mendarahi dua pertiga
dalam retina (Vaughan, 2002).
Lapisan dalam retina mendapatkan suplai darah dari arteri retina sentralis.
Arteri ini berasal dari arteri oftalmikus yang masuk ke mata bersama-sama dengan
nervus optikus dan bercabang pada permukaan dalam retina. Arteri sentralis
merupakan arteri utuh dengan diameter kurang lebih 0,1 mm, yang merupakan
suatu arteri terminalis tanpa anastomose dan membagi menjadi empat cabang
utama yaitu aa.temporalis superior dan inferior dan aa.nasalis superior dan inferior.
Sementara itu, lapisan luar retina tidak mempunyai vaskularisasi. Bagian ini
mendapatkan nutrisinya melalui proses difusi dari lapisan koroid yaitu dari
korioapilaris. (Pavan, 1998).
Fovea seluruhnya didarahi oleh koriokapilaris dan rentan terhadap
kerusakan yang tidak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh
darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang membentuk
sawar darah retina. Lapisan endotel pembuluh darah koroid berlubang-lubang.
Sawar darah-retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina
(Vaughan, 2002).
Warna retina biasanya jingga dan kadang-kadang pucat pada anemia dan
iskemia, dan merah pada hiperemia. Arteri retina biasanya berwarna merah cerah,
tanpa disertai pulsasi manakala vena retina berwarna merah gelap dengan pulsasi
spontan pada diskus optikus (Sidarta, 2011).
Gambar 2.1 Anatomi dari mata
Gambar 2.2 Anatomi dari retina
Gambar 2.3 Lapisan-lapisan retina
2.2 Struktur dan fisiologi retina
Retina adalah jaringan mata yang paling kompleks. Mata berfungsi sebagai
suatu alat optik, suatu reseptor yang kompleks, dan suatu transduser yang efektif.
Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mengubah rangsangan cahaya
menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke
korteks penglihatan oksipital (Vaughan, 2002).
Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga kerapatan sel kerucut
meningkat di pusat makula (fovea), semakin berkurang ke perifer, dan kerapatan
sel batang lebih tinggi di perifer. Fovea berperan pada resolusi spasial (ketajaman
penglihatan) dan penglihatan warna yang baik, keduanya memerlukan
pencahayaan ruang yang terang (penglihatan fotopik) dan paling baik di foveola;
sementara retina sisanya terutama digunakan untuk penglihatan gerak, kontras,
dan penglihatan malam (skotopik) (Vaughan, 2002).
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar retina sensorik
yang avaskular dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mengawali proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung
rhodopsin, suatu pigmen penglihatan yang fotosensitif dan terbenam di dalam
diskus bermembran ganda pada fotoreseptor segmen luar (Vaughan, 2002).
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor batang.
Dengan bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat beragam corak abu-abu,
tetapi warna-warnanya tidak dapat dibedakan. Sewaktu retina telah beradaptasi
penuh terhadap cahaya, sensitivitas spektrum retina bergeser dari puncak
dominasi rhodopsin 500 nm ke sekitar 560 nm, dan muncul sensasi warna. Suatu
objek akan berwarna apabila objek tersebut secara selektif memantulkan atau
menyalurkan sinar dengan panjang gelombang tertentu dalam kisaran spektrum
cahaya tampak (400-700 nm). Penglihatan siang hari (fotopik) terutama
diperantarai oleh fotoreseptor kerucut, senjakala (mesopik) oleh kombinasi sel
kerucut dan batang, dan malam (skotopik) oleh fotoreseptor batang (Vaughan,
2002).
Fotoreseptor diperantarai oleh epitel pigmen retina, yang berperan penting
dalam proses penglihatan. Epitel ini bertanggung jawab untuk fagositosis segmen
luar fotoreseptor, transportasi vitamin, mengurangi hamburan sinar, serta
membentuk sawar selektif antara koroid dan retina. Membran basalis sel-sel
epitel pigmen retina membentuk laisan dalam membran Bruch, yang juga
tersusun atas matriks ekstraselular khusus dan membran basalis koriokapilaris
sebagai lapisan luarnya. Sel-sel epitel pigmen retina mempunyai kemampuan
terbatas dalam melakukan regenerasi (Vaughan, 2002).
2.3 Kelainan dan penyakit dari retina
2.3.1 Retinopati
Retinopati merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh
radang. Retinopati adalah suatu proses yang bersumber dari degenerasi atau
kelainan lain dari retina, yang secara umum disebabkan oleh gangguan pemberian
nutrisi atau vaskularisasi maupun oksidasi, pemberian oksigen dari darah kurang
mencukupi untuk kebutuhan jaringan. Di dalam retina terdapat dua macam
vaskularisasi, yaitu daerah makula yang mendapat nutrisi dari pembuluh
khoriokapilaris serta daerah retina yang lain yang mendapat nutrisi dari pembuluh
darah retina sentral. Retinopati terjadi antara lain disebabkan oleh hipertensi,
arteriosklerosis, anemia, diabetes mellitus, leukemia (Ghozi, 2002). Cotton wool
patches merupakan gambaran eksudat pada retina akibat penyumbatan arteri
prepapil sehingga terjadi daerah nonperfusi di dalam retina. Gambaran ini terdapat
pada retinopati hipertensi, retinopati diabetes, penyakit kolagen, retinopati anemia,
penyakit Hodgkin, dan keracunan monoksida (Sidarta, 2011).
2.3.2 Retinitis pigmentosa
Retinitis pigmentosa dengan tanda degenerasi sel epitel retina terutama sel
batang dan atrofi saraf optic, menyebar tanpa tanda peradangan. Retina
mempunyai bercak dan pita halus yang berwarna hitam. Merupakan kelainan yang
berjalan progrsif sejak masa kanak-kanak. Retinitis pigmentosa merupakan
kelainan autosomal resesif, autosomal dominan, X linked resesif atau simpleks.
Kebanyakan pasien tanpa riwayat penyakit keluarga sebelumnya (Sidharta, 2009).
2.4 Retinopati hipertensi
2.4.1 Definisi
Retinopati hipertensi merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan
kelainan pada retina dan vaskuler retina pada penderita dengan peningkatan
tekanan darah. Kelainan ini pertama kali dikemukakan oleh Marcus Gunn pada
kurun abad ke-19 pada sekelompok penderita hipertensi dan penyakit ginjal.
Tanda-tanda pada retina yang diobservasi adalah penyempitan arteriolar secara
general dan fokal, perlengketan atau “nicking” arteriovenosa, perdarahan retina
dengan bentuk flame-shape dan blot-shape, cotton-wool spots, dan edema papilla.
Pada tahun 1939, Keith et al menunjukkan bahwa tanda-tanda retinopati ini dapat
dipakai untuk memprediksi mortalitas pada pasien hipertensi (Wong, 2008).
Hipertensi memberikan kelainan pada retina berupa retinopati hipertensi,
dengan arteri yang besarnya tidak teratur, eksudat pada retina, edema retina, dan
perdarahan retina. Kelainan pembuluh darah dapat berupa penyempitan umum
atau setempat, percabangan pembuluh darah yang tajam, fenomena crossing, atau
sklerosis pembuluh darah.
Penyempitan (spasme) pembuluh darah tampak sebagai :
1. Pembuluh darah (terutama arteriol retina) yang berwarna lebih pucat
2. Kaliber pembuluh yang menjadi lebih kecil atau iregular (karena spasme lokal)
3. Percabangan arteriol yang tajam
Bila kelainan berupa sklerosis dapat tampak sebagai :
1. Refleks cooper wire
2. Refleks silver wire
3. Sheating
4. Lumen pembuluh darah yang irregular
5. Terdapat fenomena crossing sebagai berikut :
- Elevasi : pengangkatan vena oleh arteri yang berada di bawahnya
- Deviasi : penggeseran posisi vena oleh arteri yang bersilangan dengan vena
tersebut dengan sudut persilangan yang lebih kecil
- Kompresi : penekanan yang kuat oleh arteri yang menyebabkan bendungan
vena
Kelainan pembuluh darah ini dapat mengakibatkan kelainan pada retina yaitu
retinopati hipertensi yang dapat berupa perdarahan atau eksudat retina yang pada
daerah makula dapat memberikan gambaran seperti bintang (star figure).
Eksudat retina tersebut dapat berbentuk :
1. Cotton wool patches yang merupakan edema serat saraf retina akibat
mikroinfark sesudah penyumbatan arteriole, biasanya terletak sekitar 2-3
diameter papil di dekat kelompok pembuluh darah utama sekitar papil.
2. Eksudat pungtata yang tersebar.
3. Eksudat putih pada daerah yang tak tertentu dan luas.
Perdarahan retina dapat terjadi primer akibat oklusi arteri atau sekunder akibat
arteriosklerosis yang mengakibatkan oklusi vena. Pada hipertensi yang berat dapat
terlihat perdarahan retina pada lapisan dekat papil dan sejajar dengan permukaan
retina. Perdarahan vena akibat diapedesis biasanya kecil dan berbentuk lidah api
(flame shaped) (Sidarta, 2011).
2.4.2 Klasifikasi
Klasifikasi retinopati hipertensi di bagian ilmu penyakit mata RSCM adalah
sebagai berikut :
Tipe 1 :
- Fundus hipertensi dengan atau tanpa retinopati, tidak ada sklerose, dan
terdapat pada orang muda.
- Funduskopi : arteri menyempit dan pucat, arteri meregang dan percabangan
tajam, perdarahan ada atau tidak ada, eksudat ada atau tidak ada.
Tipe 2 :
- Fundus hipertensi dengan atau tanpa retinopati sklerose senil, terdapat pada
orang tua.
- Funduskopi : pembuluh darah tampak mengalami penyempitan, pelebaran dan
sheating setempat. Perdarahan retina ada atau tidak ada. Tidak ada edema
papil.
Tipe 3 :
- Fundus dengan retinopati hipertensi dengan arteriosklerosis, terdapat pada
orang muda.
- Funduskopi : penyempitan arteri, kelokan bertambah fenomena crossing
perdarahan multipel, cotton wool patches, makula star figure.
Tipe 4 :
- Hipertensi progresif
- Funduskopi : edema papil, cotton wool patches, hard eksudat, dan star figure
exudate yang nyata.
Klasifikasi Retinopati hipertensi menurut Scheie, adalah sebagai berikut :
1. Stadium 0 : ada diagnosis hipertensi tanpa abnormalitas pada retina.
2. Stadium I : terdapat penciutan setempat pada pembuluh darah kecil.
3. Stadium II : penciutan pembuluh darah arteri menyeluruh dengan kadang-
kadang disertai penciutan pembuluh darah setempat sampai seperti benang,
pembuluh darah arteri tegang dan membentuk cabang keras.
4. Stadium III : lanjutan stadium II dengan cotton wool- exudate, perdarahan,
dapat terjadi pada tekanan darah diastolik diatas 120mmHg, dapat disertai
penurunan penglihatan.
5. Stadium IV : seperti stadium III dengan edem papil dengan starfigure exudate,
disertai penurunan penglihatan dengan tekanan diastolik diatas 150mmHg.
Gambar 2.1 Mild Hypertensive Retinopathy. Nicking AV (panah putih) dan penyempitan
focal arterioler (panah hitam) (A). Terlihat AV nickhing (panah hitam) dan gambaran
copper wiring pada arterioles (panah putih) (B).
Gambar 2.2 Moderate Hypertensive Retinopathy. AV nicking (panah putih) dan cotton
wool spot (panah hitam) (A). Perdarahan retina (panah hitam) dan gambaran cotton wool
spot (panah putih) (B).
Gambar 2.3 Multiple cotton wool spot (panah putih) dan perdarahan retina (panah hitam)
dan papiledema.
Klasifikasi Keith-Wagener-Barker (1939), dimana klasifikasi ini dibuat
berdasarkan meninggalnya penderita dalam waktu 8 tahun :
1. Stadium I : Penyempitan ringan, sklerosis arterioles retina, hipertensi ringan,
asimptomatis. Dalam periode 8 tahun : 4% meninggal.
2. Stadium II : Penyempitan definitif, konstriksi fokal, sklerosis, dan crossing
phenomena, tekanan darah semakin meninggi, timbul beberapa gejala dari
hipertensi. Dalam periode 8 tahun : 20% meninggal.
3. Stadium III : Retinopati (cotton-wool spot, arteriosclerosis, hemoragik); tekanan
darah terus meningkat dan bertahan, muncul gejala sakit kepala, vertigo,
kesemutan, kerusakan ringan organ jantung, otak dan fungsi ginjal. Dalam periode
8 tahun : 80% meninggal.
4. Edema neuroretinal termasuk papiledema, garis Siegrist, Elschig spot;
peningkatan tekanan darah secara persisten, gejala sakit kepala, asthenia,
penurunan berat badan, dispneu, gangguan penglihatan, kerusakan organ jantung,
otak dan fungsi ginjal. Dalam periode 8 tahun : 98% meninggal.
Berdasarkan penelitian, telah dibuat suatu tabel klasifikasi retinopati
hipertensi tergantung dari berat ringannya tanda-tanda yang terlihat pada retina.
Menurut Wijana (1993), berdasarkan patofisiologinya, retinopati hipertensi
dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Retinopati hipertensi yang didahului sklerosis senilis
Pada tahun-tahun pertama dari sklerosis senilis baik tekanan systole
ataupun diastole masih normal. Dapat juga terjadi adanya kenaikan systole yang
ringan, sehingga proses sklerosisnya dapat berlanjut dengan tambahan
angiospasme akibat hipertensinya, kolom darah menjadi lebih sempit. Dengan
adanya sklerosis, dindingnya bertambah tebal variasi kaliber kolom darah lebih
nyata. Arteriola dengan fibrosis yang hebat, melebar karena otot polosnya tidak
berfungsi. Disini hanya terdapat sedikit kenaikan systole, tidak terjadi kenaikan
diastole. Agaknya proses sklerosis senilis mencegah terjadinya hipertoni yang
hebat dari arteriola, sehingga tidak menimbulkan gangguan vaskuler yang hebat,
seperti perdarahan, edema, infark, ablasi retina, yang dapat dilihat pada hipertensi
yang mengenai orang muda. Karena itulah, orang tua jarang yang menunjukkan
retinopati hipertensi yang hebat.
2. Retinopati hipertensi yang tidak didahului sklerosis senilis
Keadaan ini didapatkan pada orang muda dengan usia kurang dari 50
tahun. Dengan adanya hipertensi, timbul hipertoni, sehingga kolom darah arteriola
retina menjadi lebih sempit secara menyeluruh, lebih pucat, lebih lurus,
menyerupai keadaan sklerosis senilis pada orang tua, hanya di sini belum terdapat
penebalan dinding, jadi transparansi dinding arteriola masih baik. Karenanya tidak
terdapat fenomena crossing, perubahan kaliber kolom darah tidak nyata. Kalau
tekanan tetap tinggi, dalam beberapa minggu atau beberapa bulan timbullah
proses hiperplasi, hipertrofi dan fibrosis dari dinding pembuluh darah arteriola.
Akan tetapi, perubahan-perubahan ini tidak bersifat spesifik terhadap
hipertensi saja, karena ia juga dapat terlihat pada penyakit kelainan pembuluh
darah retina yang lain. Perubahan yang terjadi juga tidak bersifat sequential.
Contohnya perubahan tekanan darah yang terjadi mendadak seperti pada
hipertensi maligna, toxemia gravidarum atau penyakit ginjal dapat langsung
menimbulkan hard eksudat tanpa perlu mengalami perubahan-perubahan lain
terlebih dulu (Ilyas et al., 2002; Satria, 2008).
Pada hipertensi maligna, dengan adanya permeabilitas kapiler yang tinggi,
beberapa minggu kemudian dapat terbentuk eksudat keras, terutama terdiri dari
lipid. Kalau hal ini terdapat di daerah makula maka akan membentuk garis-garis
radier berwarna putih, keluar dari makula seperti gambaran bintang, sehingga
disebut starshaped figure. Eksudat retina dapat berbentuk cotton wool patch yang
merupakan edema serabut saraf retina akibat mikroinfark setelah penyumbatan
arteriola, eksudat pungtata yang tersebar, eksudat putih pada daerah yang tak
tertentu dan luas (Ilyas, 2008)
Vasokonstriksi yang hebat pada hipertensi maligna, akan menyebabkan
nekrose dari otot polos dinding arteriola sehingga bagian ini melebar ireversibel.
Dilatasi ini menyebabkan dinding arteriola terbuka terhadap tekanan yang tinggi
sehingga menyebabkan hilangnya barier antara dinding pembuluh darah dan
komponen darah. Dengan demikian, komponen darah dapat keluar dari pembuluh
darah. Keadaan ini dinamakan plasmic vasculosis. Hal ini dapat juga terjadi,
karena intima yang tebal, pada hipertensi maligna, yang terdiri dari lapisan-lapisan
fibrotik. Kemudian terjadi nekrose fibrinoid dari dinding arteriola, sehingga platelet,
sel darah merah, fibrin dan komponen darah lainnya terdapat di luar dinding
pembuluh darah. Keadaan seperti ini terjadi juga di dalam ginjal dan organ lain di
tubuh, seperti otak, sehingga dapat berakhir dengan kematian. Hipertensi maligna
akan menyebabkan pembuluh darah menyempit dan akan mengakibatkan
gangguan aliran darah baik di retina maupun koroid. Hal ini terjadi bila tekanan
hidrostatik aliran darah tidak mampu mengatasi penyempitan yang terjadi.
Gangguan pada koroid yang terutama terdiri dari pembuluh darah, dapat terjadi
atheroma, sklerosis, nekrosis fibrinoid dan juga dapat menimbulkan edema yang
hebat dan mendorong retina, sehingga dapat lepas dari dasarnya, Keadaan seperti
ini disebut ablasi retina (Wijana, 1993; Ghozi, 2002).
2.4.3 Patofisiologi
Ketika tekanan darah menjadi tinggi, seperti pada hipertensi, retina menjadi
rusak. Bahkan hipertensi ringan bisa merusak pembuluh darah retina jika tidak
segera diobati dalam setahun. Hipertensi merusak pembuluh darah kecil pada
retina, menyebabkan dinding retina menebal dan dengan demikian mempersempit
pembuluh darah terbuka dan mengurangi suplai darah menuju retina. Potongan
kecil pada retina bisa menjadi rusak karena suplai darah tidak tercukupi.
Sebagaimana perkembangan Retinopati Hipertensi (Hypertensive retinopathy),
darah bisa bocor ke dalam retina. Perubahan ini menyebabkan kehilangan
penglihatan secara bertahap, terutama jika mempengaruhi macula, bagian tengah
retina (Mandava, 1999).
Perubahan patofisilologi pembuluh darah retina pada hipertensi, akan
mengalami beberapa tingkat perubahan sebagai respon terhadap peningkatan
tekanan darah. Terdapat teori bahwa akan terjadi spasme arterioles dan kerusakan
endotelial pada tahap akut sementara pada tahap kronis terjadi hialinisasi
pembuluh darah yang menyebabkan berkurangnya elastisitas pembuluh darah
(Mandava, 1999).
Tahap awal, pembuluh darah retina akan mengalami vasokonstriksi secara
generalisata. Hal ini merupakan akibat dari peningkatan tonus arteriolus dari
mekanisme autoregulasi yang seharusnya berperan sebagai fungsi proteksi. Pada
pemeriksaan funduskopi akan terlihat penyempitan arterioles retina secara
generalisata. Peningkatan tekanan darah secara persisten akan menyebabkan
terjadinya penebalan intima pembuluh darah, hiperplasia dinding tunika media dan
degenerasi hialin. Pada tahap ini akan terjadi penyempitan arteriolar yang lebih
berat dan perubahan pada persilangan arteri-vena yang dikenal sebagai
”arteriovenous nicking”. Terjadi juga perubahan pada refleks cahaya arteriolar yaitu
terjadi pelebaran dan aksentuasi dari refleks cahaya sentral yang dikenal sebagai
”copper wiring” (Vaughan, 2002).
Dinding arteriol normal bersifat transparan, sehingga yang terlihat
sebenarnya adalah darah yang mengalir. Pantulan cahaya yang tipis dibagian
tengah lumen tampak sebagai garis refraktif kuning sekitar selebar seperlima dari
lebar lumen. Apabila dinding arteriol diinfiltrasi oleh sel lemak dan kolesterol akan
menjadi sklerotik. Dinding pembuluh darah secara bertahap menjadi tidak
transparan dan dapat dilihat, dan refleksi cahaya yang tipis menjadi lebih lebar.
Produk-produk lemak kuning keabuan yang terdapat pada dinding pembuluh darah
bercampur dengan warna merah darah pada lumen pembuluh darah akan
menghasilkan gambaran khas “copper-wire’”. Hal ini menandakan telah terjadi
arteriosklerosis tingkat sedang. Apabila sklerosis berlanjut, refleksi cahaya dinding
pembuluh darah berbentuk “ silver-wire” (Vaughan, 2002).
Tahap pembentukan eksudat, akan menimbulkan kerusakan pada sawar
darah-retina, nekrosis otot polos dan sel-sel endotel, eksudasi darah dan lipid, dan
iskemik retina. Perubahan-perubahan ini bermanifestasi pada retina sebagai
gambaran mikroaneurisma, hemoragik, hard exudate dan infark pada lapisan serat
saraf yang dikenal sebagai cotton-wool spot. Edema diskus optikus dapat terlihat
pada tahap ini, dan biasanya merupakan indikasi telah terjadi peningkatan tekanan
darah yang sangat berat (Wong, 2008).
Perubahan-perubahan yang terjadi ini tidak bersifat spesifik hanya pada
hipertensi, karena selain itu juga dapat terlihat pada penyakit kelainan pembuluh
darah retina yang lain. Perubahan yang terjadi juga tidak bersifat sekuensial,
misalnya perubahan tekanan darah yang terjadi mendadak dapat langsung
menimbulkan hard exudate tanpa perlu mengalami perubahan-perubahan lain
terlebih dahulu (Vaughan, 2002).
2.4.4 Komplikasi
Dalam kondisi yang berat hipertensi retinopati dapat menimbulkan
beberapa komplikasi. Komplikasi tersebut antara lain dapat berupa oklusi cabang
vena retina (BRVO), oklusi arteri retina sentralis (CRAO) dan sindroma iskemik
okuler. Pada oklusi cabang vena retina (BRVO) gambaran funduskopi belum dapat
terlihat dengan jelas. Akan tetapi dalam hitungan jam atau hari dapat menimbulkan
edema yang bersifat opak pada retina akibat infark pada pembuluh darah retina.
Seiring waktu, vena yang tersumbat akan mengalami rekanalisasi sehingga
kembali terjadi reperfusi dan berkurangnya edema. Namun, tetap terjadi kerusakan
yang permanen terhadap pembuluh darah.
Pada oklusi arteri retina sentralis (CRAO) terjadi kehilangan penglihatan
yang berat dan terjadi secara tiba-tiba. Retina menjadi edema dan lebih opak,
terutama pada kutub posterior dimana serat saraf dan lapisan sel ganglion paling
tebal. Refleks oranye dari vaskulatur koroid yang masih intak di bawah foveola
menjadi lebih kontras dari sekitarnya hingga memberikan gambaran cherry-red
spot. CRAO sering disebabkan oleh trombosis akibat arteriosklerosis pada lamina
cribrosa.
Selain CRAO dan BRVO, sindroma iskemik okuler juga dapat menjadi
komplikasi dari retinopati hipertensi. Sindroma iskemik okuler adalah istilah yang
diberikan untuk gejala okuler dan tanda-tanda yang menandakan suatu keadaan
kronis dari obstruksi arteri karotis yang berat. Arteriosklerosis merupakan etiologi
yang paling sering. Simptom termasuk hilang penglihatan yang terjadi dalam kurun
waktu satu bulan atau lebih, nyeri pada daerah orbital mata yang terkena dan
penyembuhan yang terlambat akibat paparan cahaya langsung.
2.4.5 Penatalaksanaan komplikasi retinopati hipertensi
Mengobati faktor primer adalah sangat penting jika ditemukan perubahan
pada fundus akibat retinopati arterial. Tekanan darah harus diturunkan dibawah
140/90 mmHg. Beberapa studi eksperimental dan percobaan klinik menunjukkan
bahwa tandatanda retinopati hipertensi dapat berkurang dengan mengontrol kadar
tekanan darah. Masih tidak jelas apakah pengobatan dengan obat anti hipertensi
mempunyai efek langsung terhadap struktur mikrovaskuler. Berikut diagram
penatalaksanaan retinopati hipertensi.
Gambar 4. Diagram penatalaksaan retinopati hipertensi
2.5 Diagnosis Banding Retinopati Hipertensi
2.5.1 Retinopati diabetik
Retinopati diabetik adalah kelainan retina yang ditemukan pada penderita
diabetes mellitus. Retinopati akibat diabetes mellitus lama berupa aneurisma,
melebarnya vena, perdarahan dan eksudat. Penderita diabetes mellitus akan
mengalami retinopati diabetik hanya bila pasien telah menderita lebih dari 5 tahun.
Bila seseorang telah menderita diabetes lebih 20 tahun maka umumnya telah
terjadi kelainan pada retina (Sidharta, 2009).
Karakteristik utama pada diabetik retinopati yaitu perubahan parenkim dan
vaskuler retina, dimana pada retina ditemukan mikroaneurisma, perdarahan dalam
bentuk dot blot, serta adanya edema retina dan gangguan fungsi makula,
vaskularisasi retina dan badan kaca. Sehingga dengan pemeriksaan laboratorium
lengkap, funduskopi dan angiografi fluorescein akan ditemukan kelainan-kelainan
pada retinopati diabetik yang berbeda dengan hipertensi retinopati, diantaranya
yaitu pada hipertensi retinopati tidak ada mikroanuerisma. Pada hipertensi
retinopati didapatkan kelainan makula yang berupa macular star, sedangkan pada
diabetik retinopati makula mengalami edema. Kapiler pembuluh darah pada
hipertensi retinopati menipis, sedangkan pada diabetik retinopati terjadi penebalan
kapiler pembuluh darah (Sidharta, 2009).
2.5.2 Retinopati anemia
Anemia merupakan salah satu kelainan hematologis dengan manifestasi
penurunan tingkat sirkulasi sel darah merah dan/ atau terjadinya penurunan kadar
hemoglobin. Gejala umum dari amenia adalah lemah dan letih. Manifestasi dari
anemia retinopati tidak spesifik dan dapat dijumpai kemiripan dengan hipertensi
atau diabetik retinopati. Perubahan retina yang terjadi pada pasien anemia
umumnya berupa cotton wool spots, venous tortuosity, dan perdarahan retina yang
dapat ditemukan pada semua derajat kelainan retina dan choroid. Tiga tipe
perdarahan retina yaitu dot blot, flame shape, dan boat shaped dapat dijumpai
pada anemia. Hal ini terjadi apabila kadar hemoglobin di bawah 8 g/100 ml atau
bila penghitungan platelet mencapai di bawah 50.000/mm3. Kombinasi dari anemia
berat dan trombositopenia dapat menyebabkan perdarahan retina pada sebagian
besar pasien (Sidartha, 2009).
2.5.3 Retinopati Sickle Cell
Abnormalitas ocular sickle cell disebabkan oleh sickling intavaskular,
hemolisis, hemostasis, dan thrombosis. Kejadian inisial dalam pathogenesis dari
retinopati sickle cell adalah oklusi arteriolar perifer dan nonperfusi kapiler, yang
dapat berlanjut ke neovaskularisasi retinal biasanya pada batas antara retina yang
terperfusi dan yang non perfusi. Insidens kehilangan visual yang signifikan karena
retinopati sickle cell adalah bervariasi akan tetapi tampak relative rendah
(Clarkson, 1992).
2.5.4 Retinopati akibat radiasi
Pada retinopati radiasi dapat terlihat gambaran yang sama dengan
hipertensi retinopati, riwayat radiasi pada mata atau jaringan adnexa seperti otak,
sinus atau nasofaring dapat menjadi rangsangan. Ini semua dapat berkembang
setiap waktu setelah terapi radiasi, tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama.
Paparan radiasi dapat menimbulkan kerusakan vaskularisasi retina. Penyakit ini
dikenal dengan radiasi retinopati, yang memiliki onset lambat, dengan progresifitas
yang lambat, dan secara klinis menyebabkan perubahan mikroangiopati. Radiasi
retinopati dapat terjadi dalam hitungan bulan sampai tahun setelah terapi radiasi.
Secara umum radiasi retinopati dapat ditemukan sekitar 18 bulan setelah terapi
radiasi (Patel & Schachat, 2008; Shields, et al., 2005).
Secara klinis pasien dapat menunjukkan gejala yang asimptomatik atau
dapat mengeluhkan adanya penurunan tajam pengelihatan. Pada pemeriksaan
mata dapat ditemukan tanda-tanda penyakit vascular retina, yang meliputi cotton
wool spots. Perdarahan retina, mikroaneurisma, perivascular sheating, capillary
telangiectasis, edema makular, dan edema diskus. Capillary nonperfusion
ditemukan dengan pemeriksaan fluorescein angiography. Ischemia retina yang
luas dapat mengarah kepada terjadinya neovaskularisasi retina, iris, dan diskus.
Komplikasi lain dapat timbul, seperti optik atropi, central retinal artery occlusion,
central retinal vein occlusion, neovaskularisasi choroidal, perdarahan vitreous,
glaucoma neovaskularisasi, dan tractional retinal detachment (Patel & Schachat,
2008; Shields, et al., 2005).
2.5.5 Central atau Branch retinal vein occlusion (CRVO atau BRVO)
Oklusi vena retina sentral maupun cabang dapat dijumpai unilateral,
multiple haemorhage, dilatasi / berkelok-keloknya vena, tidak ada penyempitan
arteri dan dapat terjadi sekunder dari hipertensi. Pada CRVO terjadi kompresi vena
pada arteriovenous crossing, perubahan dinding pembuluh darah, dan faktor
hematologis yang abnormal.
Patogenesis dari oklusi vena retina multifaktorial, dimana BRVO dapat
terjadi berkaitan dengan kombinasi terjadinya tiga mekanisme utama, yaitu
kompresi vena pada arteriovenous crossing, perubahan degeneratif dari dinding
pembuluh darah, dan faktor hematologis yang abnormal.
2.5.6 Retinopati Prematur
Retinopati iskemik premature yang terjadi pada bayi berat badan lahir
rendah (Mc Namara & Conolly, 1999). Untuk screening terhadap retinopati
premature berdasarkan pernyataan American Academy of Pediatrics, Section on
Ophth almology; the American Association for Pediatric Ophthalmology and St
rabismus; and the American Academy of Ophthalmology merekomendasikan
paling sedikit dua pemeriksaan funduskopi dilatasi menggunakan biomikroskopi
indirek binokulerbagi semua bayi yang berat badan lahirnya kurang dari 1500 gr
atau bayi dengan usia gestasi kurang dari atau sama dengan 30 bulan, demikian
pula padabayi dengan berat badan lahir 1500-2000 gr dengan usia gestasi lebih
dari 30 minggu.yang klinisnya (American Academy of Pedriatics). Usia
pemeriksaan harus dilakukan pada usia antara 4-6 minggu setelah lahir atau 31-33
minggu setelah usia postkonsepsional atau usia premenopausal (Mc Namara &
Conolly, 1999).
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas pasien
Nama : Ny. Turiyah
No Reg : 109793xx
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 47 thn
Alamat : Jln Kunto Basworo III/5 Polehan Malang
Pekerjaan : Karyawati perusahaan swasta
Suku : Jawa
Agama : Islam
Tanggal periksa : 01 Agustus 2012
3.2 Anamnesa (Autoanamnesis pada tanggal 1 Agustus 2012)
3.2.1 Keluhan utama : penglihatan kedua mata kabur dan kedua mata terasa sakit
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan penglihatan kabur sejak 3 bulan yang lalu dan
semakin lama semakin memberat. Pasien mengeluh kadang penglihatan
mendadak gelap terutama jika tensi naik sampai 250/…. Pasien juga mengeluh
kedua mata terasa sakit. Keluhan mata merah (-), nrocoh (+) jika nyeri pada mata
timbul, gatal (-), melihat pelangi jika melihat ke sumber cahaya (-).
3.2.3 Riwayat penyakit dahulu
Darah tinggi (+) sejak 5 tahun yang lalu tidak rutin kontrol, tekanan darah
sekitar 160/… pada saat keadaan stabil atau tanpa keluhan. Pada saat ada
keluhan seperti pusing, mata kabur dan nyeri dada pasien hanya beristirahat dan
baru memeriksakan diri ke dokter. Pasien riwayat masuk CVCU RSSA 3 bulan
sebelumnya dengan keluhan nyeri dada hilang timbul selama satu bulan dan
diagnosis penyakit jantung sumbatan dan jantung bengkak. Pasien lalu kontrol ke
poli kardiologi setiap bulan dan mendapatkan terapi untuk jantung dan darah tinggi.
Riwayat trauma (-), riwayat mual muntah (-).
3.2.4 Riwayat Pengobatan
Terapi dari poli kardiologi RSSA antara lain ASA 1x80 mg, captopril 3x25
mg, ISDN 3x5 mg, HCT 12,5 mg-0-0, Atenolol 2x50 mg, Simvastatin 0-10 mg, dan
alprazolam 0-0,5 mg. Namun obat juga tidak rutin diminum. Kemudian dari poli
kardiologi pasien dikonsulkan ke bagian poli mata karena pasien mengeluh mata
kabur disertai tekanan darah tinggi 240/150. Dari pemeriksaan di poli mata RSSA
pasien didiagnosis dengan hipertensi retinopati. Riwayat pengobatan mata (-).
3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga dengan hipertensi (-), DM (-), penyakit mata serupa (-).
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : cukup, compos mentis
Nadi : 80 kali/menit
Frekuensi nafas : 16 kali/menit
Tensi : 160/110
Pemeriksaan Oftalmologi
Tabel 3.1 Status oftalmologi pasien hipertensi retinopati
5/30 cc S-0,5 C-1,50x90
5/7,5 PH (-)
Add +1,50
Visus 3/60 cc S-1,00 C-1,00x100
5/8,5 PH 5/7
Add +1,50
Orthoforia Posisi Bola
Mata
Orthoforia
Gerak Bola
Mata
Madarosis (-) Suprasilia Madarosis (-)
Trichiasis (-), entropion (-),
ektropion (-)
Silia Trichiasis (-), entropion (-),
ektropion (-)
Spasme (-), edema (-) Palpebra Spasme (-), edema (+)
Tidak menyempit Rima okuli Tidak Menyempit
CI (-), PCI(-), SCH (-) Konjungtiva CI (-), PCI (-), SCH (-)
Jernih Kornea Jernih
Dalam Kamera Okuli
Anterior
Dalam
Red line (+), coklat Iris Red line (+), coklat
Midriasis e.c middriatyl
diameter 7 mm
Pupil Midriasis e.c middriatyl
diameter 7 mm
Jernih Lensa Jernih
6/5,5 TIO 6/5,5
Tabel 3.2 Status pemeriksaan funduskopi pasien trauma tumpul okuli
FR (+) Fundus
reflek
FR (+)
Jernih Media
Refraksi
Jernih
Bulat, batas tegas, CD ratio 0,3
warna jingga
Papil nervus
II
Bulat, batas tegas, CD ratio 0,3
warna jingga
a/v 1/2, sklerotik (+), crossing (+) Vasa a/v 1/3, sclerotic (+), crossing (+)
Eksudat (+), haemorrhage (-) Retina Eksudat (+), haemorrhage (-)
Reflek fovea (-), eksudat (+) Makula Reflek fovea (-), eksudat (-)
Pemeriksaan Funduskopi
OD
Makula eksudat
Retina eksudat
a/v = 1/2
Sklerosis
Cotton Wool Spots
OS
3.4 Assesment
QDS Astigmatisme Myopia Komplikata + ODS presbiopia + ODS Hypertensi Retinopathy
KW III
3.5 Planning Diagnosis
Fluorescen Angiografi
3.6 Planning Terapi
Terapi antihipertensi
a/v = 1/3
eksudat
AV crossing
Captopril 3x25 mg
Atenolol 2x50 mg
HCT 12,5 mg -0-0
ISDN 3x5 mg
Vitamin B kompleks 2x1
3.7 Planning Monitoring
1. Visus
2. Gejala klinis pada mata
3. Keluhan pada sistemik (nyeri dada)
4. Tanda-tanda vital
5. Respon terapi Keluhan pasien berkurang atau tidak, tekanan darah turun atau tidak
6. Komplikasi yang timbul
7. Efek samping terapi
8. Keteraturan minum obat
3.8 Planning Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
1. Diberitahukan kepada pasien tentang penyakit yang diderita pasien, rencana
pengobatan yang akan dilakukan, serta prognosa penyakit.
2. Diberitahukan kepada pasien cara pemberian terapi, tujuan terapi, dan efek samping
terapi.
3.9 Prognosis
Visam : dubia et malam (ODS)
Vitam : dubia et malam
Sanam : dubia et malam
Kosmetik : dubia et bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien dalam kasus ini Ny J berusia 47 tahun telah menderita hipertensi dalam
waktu yang lama yaitu 5 tahun akan tetapi tidak pernah mengontrol tekanan darahnya baik
dengan perubahan life style, diet rendah garam maupun obat-oabatan. Apabila muncul
gejala hipertensi seperti pusing, mata tiba-tiba kabur dan nyeri dada, pasien hanya
beristirahat dan datang berobat ke dokter apabila dengan istirahat keluhan tidak
berkurang. Pasien diketahui menderita kelainan jantung yaitu Infark Miokard Akut 3 bulan
yang lalu kemudian kontrol ke poli kardiologi RSSA namun pasien juga tidak meminum
obat dengan teratur. Pasien dikonsulkan ke poli mata RSSA karena keluhan mata kabur
sejak 3 bulan yang lalu dan makin lama makin memberat.
Dari keluhan pasien mata kabur makin lama makin memberat dan riwayat pasien
dengan hipertensi tidak terkonrol serta dari pemeriksaan funduskopi yang dilakukan pada
tanggal 1 Agustus 2012 pasien didiagnosis menderita hipertensi retinopati KW III. Pada
pemeriksaan funduskopi ditemukan penyempitan arteri sehingga rasio arteri vena adalah
1/2 untuk mata kanan dan 1/3 untuk mata kiri, ditemukan sklerosis arteria fokal, eksudat
yang tersebar, dan cotton wool spots serta ditemukan eksudat pada macula di retina
sebelah kanan. Dari hasil pemeriksaan funduskopi tersebut maka pasien masuk dalam
Keith Wagener Barker derajat III. Kriteria Hiperensi retinopati Keith Wegener Barker
derajat III yaitu penambahan penyempitan, ukuran pembuluh nadi dalam diameter yang
berbeda-beda dan terdapat fenomena crossing serta ditambah perdarahan retina dan
cotton wool patches. Apabila melihat prognosisnya disebutkan bahwa prognosis pasien
tersebut dalam periode 8 tahun adalah meninggal sebanyak 80%.
Komplikasi dari hipertensi retinopati yang tidak terkontrol antara lain oklusi
cabang vena retina (BRVO), oklusi cabang arteri retina (CRVO), infark choroidal iskemik
(Elschnig’s spots), makroaneurisma arteri retina, neuropati optic iskemik dan ocular motor
nerve palsies. Penatalaksanaan pasien dengan hipertensi retinopati yaitu antara lain
dengan menterapi kelainan primernya yaitu dengan menterapi hipertensi derajat dua.
Pasien diberikan obat captopril 3x25 mg, ISDN 3x5 mg, atenolol 2x50 mg, dan HCT 12,5
mgx1 serta ASA 1x80 mg. Captopril atau golongan ACE inhibitor diketahui bermanfaat
untuk retina yaitu terbukti mengurangi kekeruhan dinding arteri retina. ISDN bermanfaat
merelaksasi pembuluh darah koroner. Atenolol merupakan golongan beta bloker
bermanfaat pada gagal jantung derajat ringan dan menurunkan rate jantung. HCT
merupakan golongan thiazide yang mengurangi beban kerja jantung (pre load). Kesemua
obat tersebut merupakan anti hipertensi. Dengan mengontrol tekanan darahnya
diharapkan dapat menurunkan tekanan darah sehingga mengurangi beban tekanan pada
arteri retina. Pada hipertensi retinopati tekanan darah harus diturunkan hingga 140.90
mmHg. Pasien datang berobat pertama kali dengan tekanan darah 240/150 mmHg
dengan terapi antihipertensi selama 3 bulan tekanan darah pasien dapat turun hingga
160/110 mmHg. Namun, pasien juga tidak rutin mengkonsumsi obatnya. Sehingga kami
menyimpulkan kesadaran pasien akan pentingnya mengkontrol tekanan darah masih
rendah.
Pasien juga di KIE tentang penyakit hipertensi dan dampaknya bagi tubuh
terutama organ jantung dan mata yang telah diserang. Pasien juga diberikan edukasi
tentang bagaimana mengontrol tekanan darah baik secara farmakologis maupun non
farmakologis seperti mengurangi asupan garam dan makanan berpengawet, olah raga
secara teratur, mengurangi makanan berlemak, menurunkan berat badan hingga
mendekati ideal, dan manajemen stress yang baik serta minum obat secara teratur dan
sesuai anjuran.
DAFTAR PUSTAKA