Kanker Paru

38
Kanker Paru, Mesotelioma dan Pajanan Di Lingkungan Kerja Anwar Jusuf*, Agus Dwi Susanto*, Mukhtar Ikhsan* dan Menaldi Rasmin * Departement Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Jakarta PENDAHULUAN Kanker paru dan mesotelioma erat hubungannya dengan pajanan zat berbahaya di tempat kerja. Keduanya berkorelasi dengan rokok sigaret dan bahan-bahan karsinogen di tempat kerja. 1 Data penelitian menunjukkan 3-17% kanker paru berhubungan dengan pajanan di tempat kerja, sedangkan pajanan bahan di tempat kerja berkontribusi terhadap 85-90% kasus mesotelioma pada laki-laki di Amerika Serikat (AS). 1,2 International Agency for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan 150 bahan dan zat yang bersifat karsinogen termasuk seperti asbes, kadmium dan benzen yang terdapat di tempat kerja. Bahan-bahan karsinogen untuk kanker paru di tempat kerja yang tersering adalah asbes, radon, arsenik, krom, silika, berilium, nikel, kadmium dan hasil pembakaran disel, sedangkan bahan karsinogen yang penting untuk mesotelioma di tempat kerja adalah asbes. 1 Asbes adalah bahan yang paling banyak dibicarakan sebagai penyebab mesotelioma dan kanker paru. Dikenal 2 kelompok produk bahan asbes yaitu asbes putih atau chrysotile dan asbes biru atau kelompok amphibole. 3 Asbes kelompok amphibole sudah terbukti bersifat karsinogen baik untuk kasus kanker paru maupun mesotelioma. Sampai saat ini yang masih menjadi perdebatan di dunia adalah keamanan dan karsinogenisiti chrysotile. 3-6 Asbes putih saat ini digunakan luas oleh industri dan produknya di masyarakat. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa asbes putih (chrysotile) mempunyai serat yang lebih pendek dan diretensi dalam waktu relatif singkat. Chrysotile dikatakan relatif aman dan kurang berisiko karsinogen terutama pada kejadian mesotelioma.

description

Kanker

Transcript of Kanker Paru

Page 1: Kanker Paru

Kanker Paru, Mesotelioma dan Pajanan Di Lingkungan Kerja Anwar Jusuf*, Agus Dwi Susanto*, Mukhtar Ikhsan* dan Menaldi Rasmin *Departement Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN

Kanker paru dan mesotelioma erat hubungannya dengan pajanan zat berbahaya di tempat

kerja.  Keduanya berkorelasi dengan rokok sigaret dan bahan-bahan karsinogen di tempat kerja.1

Data penelitian menunjukkan 3-17% kanker paru berhubungan dengan pajanan di tempat kerja,

sedangkan pajanan bahan di tempat kerja berkontribusi terhadap 85-90% kasus mesotelioma

pada laki-laki di Amerika Serikat (AS).1,2  International Agency for Research on Cancer (IARC)

mengklasifikasikan 150 bahan dan zat yang bersifat karsinogen termasuk seperti asbes, kadmium

dan benzen yang terdapat di tempat kerja. Bahan-bahan karsinogen untuk kanker paru di tempat

kerja yang tersering adalah asbes, radon, arsenik, krom, silika, berilium, nikel, kadmium dan

hasil pembakaran disel, sedangkan bahan karsinogen yang penting untuk mesotelioma di tempat

kerja adalah asbes.1

            Asbes adalah bahan yang paling banyak dibicarakan sebagai penyebab mesotelioma dan kanker paru. Dikenal 2 kelompok

produk bahan asbes yaitu asbes putih atau chrysotile dan asbes biru atau kelompok amphibole.3  Asbes kelompok amphibole

sudah terbukti bersifat karsinogen baik untuk kasus kanker paru maupun mesotelioma. Sampai saat ini yang masih menjadi

perdebatan di dunia adalah keamanan dan karsinogenisiti chrysotile.3-6 Asbes putih saat ini digunakan luas oleh industri dan

produknya di masyarakat. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa asbes putih (chrysotile) mempunyai serat yang lebih pendek

dan diretensi dalam waktu relatif singkat. Chrysotile dikatakan relatif aman dan kurang berisiko karsinogen terutama pada

kejadian mesotelioma. Meskipun begitu pajanan dalam dosis cukup besar dalam waktu lama tetap mempunyai risiko karsinogen.4 

 EPIDEMIOLOGI, MORTALITI DAN RISIKO RELATIF

Penelitian di AS tahun 1997 menunjukkan sekitar 6-10% kasus kanker

berhubungan dengan pajanan di tempat kerja, sedangkan data penelitian di Australia

tahun 1998 menunjukkan sekitar 1% kematian disebabkan oleh kanker akibat pajanan

di tempat kerja.1  Pajanan tempat kerja berkontribusi sekitar 5% kasus kanker paru di

AS.7   Dari data penelitian lain ditemukan 3-17% kanker paru berhubungan dengan

pekerjaan.2  Nilai risiko relatif untuk semua karsinogen paru (tidak termasuk radon)

bervariasi 1,31-3,69. Dengan dasar tersebut diperkirakan di AS pajanan tempat kerja

masa lalu menyebabkan masalah 9000-10.000 kanker paru pada laki-laki dan 900-1900

Page 2: Kanker Paru

pada perempuan setiap tahunnya.1  Penelitian di Swedia menunjukkan proporsi sebesar

9,5% diperkirakan kanker paru yang berhubungan dengan pajanan hasil pembakaran

diesel dan bahan-bahan lain serta asbes. Analisis peningkatan dosis menunjukkan

peningkatan risiko kanker paru sebesar 14% perserat asbes pertahun per ml.8 Begitu

pula penelitian di Jerman menunjukkan peningkatan risiko kanker paru dalam hubungan

dengan pajanan bahan/partikel industri dan tempat kerja yaitu kristal silika, man-made

mineral fibers, asbes, hasil pembakaran diesel dan hidrokarbon aromatik.9 Angka kasus

kanker paru yang berhubungan dengan asbes di Inggris diperkirakan sekitar 1800

kematian pada tahun 2002.10  Penelitian di China tahun 1993 menemukan 67 kasus

kanker paru pada pekerja yang terpajan asbes. Dalam penelitian ini ditemukan efek

sinergis dengan kebiasaan merokok sigaret. Pada penelitian lain pekerja perempuan

tidak merokok menunjukkan angka mortaliti yang tinggi karena kanker paru dengan

RRs 6.6 yang terpajan asbes chrysotile.11

Insidens mesotelioma akibat asbes diperkirakan 2 per 1 juta pertahun pada perempuan

dan 10-30 per 1 juta pertahun pada laki-laki. Pada pekerja yang terpajan asbes berat insidens

mencapai 366 per 100.000 pertahun.12 Pajanan di tempat kerja di AS diperkirakan menyebabkan 

85-90% kasus mesotelioma pada laki-laki dan 23-90% pada perempuan.1  Diperkirakan 3000

orang meninggal setiap tahun akibat mesotelioma di AS. Di wilayah Australia insidens

mesotelioma adalah 66 per 1 juta pada laki-laki usia > 35 tahun pada tahun 1980.13  Analisis data

di AS dari tahun 1973-2000 menunjukkan kasus mesotelioma semakin meningkat dan

diperkirakan ada sekitar 7000 kasus mesotelioma pada laki-laki/tahun antara tahun 2003-2054.14

Angka kematian setiap tahun akibat mesotelioma dalam kaitan dengan asbes di Inggris

meningkat dari 153 pada tahun 1968 menjadi 1862 pada tahun 2002 (Gambar 1). Diperkirakan

angka kematian akan mencapai 1950 sampai 2450 setiap tahun pada tahun 2011-2015.10 

Page 3: Kanker Paru

Gambar 1. Kematian pertahun akibat mesotelioma (hubungan dengan asbes) di Inggris

Dikutip dari (10)

World Health Organization (WHO) pada tahun 2004 mengeluarkan pedoman tentang

karsinogen di tempat kerja dan perkiraan risiko relatif terhadap kejadian kanker paru, leukemia

dan mesotelioma. Berdasarkan data tersebut Indonesia termasuk daerah dengan mortaliti rendah

baik pada anak maupun dewasa. Risiko relatif untuk kanker paru akibat pajanan karsinogen di

tempat kerja (tidak termasuk radon) diperkirakan 1,6. Kasus mesotelioma diperkirakan akan

mengalami peningkatan insidens 50-150% pada tahun 2015. Peningkatan insidens terutama pada

wilayah Eropa Barat, Amerika, Australia, Afrika Selatan dan Selandia Baru yaitu 17-35 per 1

juta pertahun. Pada tahun 2004 sekitar 10.000 kasus mesotelioma pertahun untuk Eropa Barat,

Amerika, Australia dan Jepang. Sedangkan untuk Eropa Timur, Asia dan Amerika Selatan tidak

ada data yang akurat. Perkiraan risiko relatif beberapa bahan karsinogen untuk kanker paru dan

angka mortaliti mesotelioma dapat dilihat pada tabel 1. Analisis risiko dilakukan dengan

memperhatikan berbagai faktor antara lain dosis pajanan, jenis kelamin, kebiasaan merokok,

periode laten, nutrisi dan lainnya. 1

Tabel 1. Perkiraan Risiko Relatif Kanker Paru dan Angka Mortaliti Mesotelioma

Page 4: Kanker Paru

Dikutip dari (1)

 

BAHAN KARSINOGEN DI TEMPAT KERJA

            International Agency for Research on Cancer (IARC) telah membuat klasifikasi

bahan-bahan karsinogen terhadap manusia menjadi 5 kelompok, yaitu :1,2,15

Grup 1 : karsinogen terhadap manusiaGrup 2A : probable karsinogen terhadap manusiaGrup 2B : possible karsinogen terhadap manusiaGrup 3 : tidak dapat diklasifikasikan karsinogen terhadap manusiaGrup 4 : kemungkinan tidak karsinogen terhadap manusia

                International Agency for Research on Cancer (IARC 2002) telah

mengelompokkan 150 bahan yang karsinogen atau probable karsinogen terhadap

manusia, terdiri atas 87 agen, campuran atau bahan-bahan pajanan sebagai grup I

yang bersifat karsinogen terhadap manusia termasuk di dalamnya bahan-bahan kimia,

obat-obatan, infeksi bakteri dan virus. Selanjutnya ada 63 agen dan bahan lain yang

Page 5: Kanker Paru

dikelompokkan ke dalam grup 2A yang mungkin bersifat karsinogen pada manusia.1

Berdasarkan data IARC didapatkan 12 bahan karsinogen pada paru yaitu produk

alumunium, arsenik, asbes, bis-chloromethyl ether, berilium, kadmium, krom

heksavalen, coke and coal gasification fume, kristal silika, nikel, radon dan  soot. dikutip dari 

7   Secara jelas pembagian bahan karsinogen di tempat kerja untuk kanker paru dan

mesotelioma dapat dilihat pada tabel 2.15

Tabel 2. Bahan Karsinogen Untuk Kanker Paru dan Mesotelioma

  Bukti Bahan karsinogen

Kanker paru Kuat Produk aluminium, arsen dan komponennya, asbes, berilium, kadmium, krom heksavalen, gas batubara, produksi mining, pajanan radon, radiasi ion, iron& steel founding (besi), komponen nikel, kristal silika, soot

  Sugestif Benz(a)antherene, benzo(a)pyrene, -chlorinated toluene, coal tars & pitches, dibenz(a,h)anthraceneepychlorohidin, hairdresser & barber; asam anorganik terkontaminasi sulfur, manufaktur isopropanol, nonarsen, gas mustard, produksi art glasses, glass container, presed ware, rubber industry , TCDD

Kanker paru (oat cell)

Kuat Bis(Chloromethyl) ether, Chlorormethyl methyl ether

Mesotelioma Kuat Asbes, erionite dan talk yang mengandung asbes

   

Di tempat kerja, bahan karsinogen yang dianggap penting untuk kanker paru

ialah asbes, radon, arsenik, krom, silika, berilium, nikel, kadmium dan hasil pembakaran

diesel.1  Sedangkan bahan karsinogen yang penting untuk mesotelioma adalah asbes,

talk yang mengandung asbes dan erionite.1,15  Sudah barang tentu bahan karsinogen di

dalam asap rokok tetap merupakan faktor paling penting apalagi bila pajanan terjadi

juga di tempat kerja. 

HUBUNGAN ASBES DENGAN KANKER PARU & MESOTELIOMA

            Asbes dibagi atas 2 kelompok besar yaitu serpentine dan amphibole.2,16 Chrysotile atau

asbes putih adalah satu-satunya kelompok serpentine sedangkan kelompok amphibole terdiri atas

crocidolite, amosite, actinolite, anthophyllite dan tremolite.16,17  Pajanan asbes diketahui

memberikan efek terhadap kesehatan seperti asbestosis, kanker paru dan mesotelioma.3  Reaksi

pleura jinak yang lain dapat terjadi akibat pajanan asbes seperti  efusi pleura, plak pleura

(fibrosis lokal pada pleura parietal) dan fibrosis difus serta rounded atelectasis.12  Mekanisme

Page 6: Kanker Paru

asbes sebagai karsinogen belum difahami dengan jelas sampai saat ini. Ada beberapa teori

yaitu :18

1.Kerusakan DNA oleh reactive oxygen species (ROS) yang diinduksi oleh serat

asbes

2.Kerusakan DNA sel secara langsung akibat interaksi serat asbes dengan sel sasaran

3. Peningkatan proliferasi sel oleh serat asbes4. Serat asbes memprovokasi inflamasi kronik sitokin dan growth factor

5.Peran serat asbes sebagai ko-karsinogen atau carier karsinogen kimia lain pada jaringan target.

 Asbes merupakan salah satu penyebab terpenting kanker paru dengan perkiraan risiko

relatif sebesar 2,00 menurut WHO ketiga setelah arsen dan krom.1,3 Asbes sendiri

maupun interaksinya dengan rokok sigaret dapat menyebabkan kanker paru,

biasanya setelah pajanan selama 10-40 tahun.16 Rokok sigaret dan asbes

berinteraksi kuat menyebabkan karsinoma bronkogenik. Risiko meningkat pada

populasi dengan fibrosis interstitial pada asbestosis.7

Kasus kanker paru  yang berhubungan dengan asbes di AS mencapai puncak

pada tahun 1990 yaitu sekitar 1200 kasus pertahun.7  Diperkirakan 6% kasus kanker

paru pada laki-laki dan 1% pada perempuan terjadi akibat pajanan asbes. Data

penelitian di Eropa menunjukkan 11,6% kasus kanker paru di Belanda dan 18,3%

kasus di Italia berhubungan dengan pajanan asbes.2  Antara tahun 1988-1997 sebanyak

209 pekerja di Quebec didiagnosis kanker paru akibat pajanan asbes, sedangkan di

China pada tahun 1993 ditemukan 67 kasus kanker paru akibat pajanan asbes.11,19 

Kanker paru diidentifikasi pada pekerja yang terpajan serat asbes baik

amphibole maupun chrysotile (ATSDR 2001).dikutip dari 16  Begitu pula mesotelioma dapat

disebabkan oleh semua tipe serat asbes, amphibole 4-30 kali lebih karsinogen

dibanding chrysotile.1  Sekitar 10% pekerja yang terpajan asbes akan menderita

mesotelioma dalam kurun waktu > 30 tahun.13  Angka kematian setiap tahun akibat

mesotelioma dalam kaitan dengan asbes di Inggris meningkat dari 153 tahun 1968

menjadi 1862 tahun 2002.10 Sekitar 250.000 kematian akibat mesotelioma diperkirakan

Page 7: Kanker Paru

terjadi di Eropa barat sampai tahun 2035 sebagai hasil penggunaan asbes kelompok

amphibole di Industri.13   Berbagai penelitian tingkat selular pada hewan dan laporan

kasus pada manusia menunjukkan hubungan yang erat antara pajanan asbes dengan

mesotelioma ganas. Terdapat hubungan yang erat dengan dosis pajanan (dose

respons-relationship) dan periode laten dalam 20-60 tahun setelah pajanan.1

            Asbes kelompok amphibole sudah terbukti bersifat karsinogen baik pada kasus

kanker paru maupun mesotelioma, hal ini sudah dibuktikan oleh berbagai

penelitian.6,16,20  Karsinogenisiti amphibole yang tinggi mungkin disebabkan oleh karena

biopersistensinya yang lama dan kandungan besi dalam seratnya yang dapat

mengkatalisis produksi reactive oxigen radicals (H2O2 dan OH-).12   Sampai saat ini yang

masih menjadi perdebatan adalah asbes putih (chrysotile). Sebagian penelitian

menunjukkan bahwa pajanan chrysotile tetap berbahaya dan mempunyai efek

karsinogenik meskipun kurang dibanding amphibole.1,16  Banyak tulisan dan laporan

kasus menunjukkan bukti pajanan chrysotile dan mesotelioma seperti pertambangan

chrysotile di Kanada, Italia, Zimbabwe, Afrika Selatan dan pekerja pabrik atau

perusahaan yang menggunakan bahan yang mengandung chrysotile seperti di AS,

Inggris, Jerman, Australia, Kanada dan Denmark.21  Salah satu alasan chrysotile tetap

dianggap berbahaya adalah tidak ada asbes yang 100% chrysotile dan bebas serat

amphibole, hal ini yang menyebabkan tetap ada efek karsinogen.6 

Penelitian epidemiologi selama 40 tahun oleh McDonald dkk.20 menunjukkan

bahwa chrysotile mempunyai efek karsinogen yang rendah. Serat asbes kelompok

amphibole sering menjadi kontaminan pada chrysotile dan tremolite adalah serat yang

sering ditemukan sebagai kontaminan.16  McDonald dkk.20 menemukan serat tremolite

pada analisis jaringan paru orang yang terpajan asbes di pabrik yang menggunakan

chrysotile. Kemungkinan terpajan serat asbes kelompok amphibole mungkin menjadi

penyebab terjadinya kasus mesotelioma pada pajanan asbes putih.20 Penelitian kaitan

pajanan chrysotile tanpa kontaminasi amphibole dengan  dosis besar dalam jangka

panjang seperti penelitian oleh Yano dkk.22 di China serta penelitian Camus dkk.dikutip dari

21 tetap menunjukkan efek karsinogen. Smith dkk. (1996) dikutip dari 23 menyimpulkan bahwa

chrysotile adalah penyebab utama mesotelioma pada manusia. Hal ini dikemukakan

Page 8: Kanker Paru

berdasarkan data bahwa asbes adalah penyebab utama mesotelioma, sedangkan 95%

asbes yang digunakan di seluruh dunia  sampai saat ini adalah chrysotile. 

BEBERAPA ISYU BARU TENTANG ASBES PUTIH (CHRYSOTILE)

Penelitian terbaru (4-6) memperlihatkan bahwa chrysotile tidak mempunyai efek

karsinogen atau mempunyai sifat karsinogen yang rendah.4-6 Menurut Hodgson dkk.5 pajanan

chrysotile berisiko rendah menyebabkan mesotelioma yaitu 1:100:500 untuk chrysotile, amosite

dan crocidolite.5 Penelitian epidemiologi oleh Yarborough menyimpulkan data-data epidemiologi

yang ada tidak mendukung hipotesis chrysotile yang tidak terkontaminasi amphibole sebagai

penyebab mesotelioma. Beberapa hal yang mendukung hal ini antara lain pekerja yang terpajan

chrysotile dan amphibole mempunyai risiko mesotelioma lebih rendah dibanding bila terpajan

amphibole saja serta kasus mesotelioma yang terjadi pada pajanan yang tidak terkontaminasi

amphibole tidak dapat membuktikan chrysotile sebagai penyebabnya.6  Chrysotile menarik tidak

hanya dalam sifat kimia, ukuran dan bentuk tetapi juga biopersistensinya dan clearance di paru

saat diinhalasi.4,6  Serat asbes yang respirabel adalah serat dengan panjang > 5 um, diameter < 3

um dan ratio panjang dan diameter > 3:1 (NOHSC).dikutip dari 16 Data penelitian pada binatang

percobaan menunjukkan serat dengan panjang minimal 8 um bersifat toksik. Rasio panjang dan

lebar 3:1 dipertimbangkan sangat berbahaya.24  Berbeda dengan amphibole yang merupakan serat

dengan bentuk silindrik dan tunggal, chrysotile merupakan serat yang terdiri atas serat-serat yang

lebih kecil/pendek dan rapuh (fibril). Serat chrysotile di dalam paru akan mudah pecah menjadi

serat yang lebih pendek atau partikel yang lebih kecil. Selain itu penelitian Bernstein dkk.4 pada

binatang percobaan menunjukkan biopersistensi dan clearance chrysotile lebih baik daripada

amphibole. Serat chrysotile mengalami clearance yang cepat  di paru (diretensi relatif dalam

waktu singkat). Rekomendasi European Commision Directive 97/69/EC Nota Q menyatakan

efek karsinogen serat dapat disingkirkan apabila biopersistensi inhalasi serat dengan panjang >

20 um mempunyai waktu paruh (T ½ ) < 10 hari atau biopersistensi instilasi intratrakea serat

dengan panjang > 20 um mempunyai T ½ < 40 hari.Dikutip dari 4  Waktu paruh  (T ½) chrysotile

dengan panjang > 20 um dalam proses clearance di paru bervariasi dari 0,3-11,4 hari  dan

panjang 5-20 um dalam waktu 7-29,7 hari. Berbeda dengan T ½ kelompok amphibole bisa

mencapai > 466 hari sampai tidak terhingga (Gambar 2).4

Page 9: Kanker Paru

Gambar 2. Biopersistensi dan clearancechrysotile & tremolite di paru Dikutip dari (1)

Risiko pajanan asbes terhadap efek kesehatan, khususnya kanker paru dan

mesotelioma berkaitan dengan besarnya dosis pajanan, pajanan total/kumulatif.

Pajanan total merupakan jumlah serat yang diinhalasi pertahun kerja yang

diekspresikan dalam serat/ml tahun (f/ml years).17 Penelitian pajanan jangka panjang

dengan chrysotile Brazil dosis subkronik tidak menemukan fibrosis serta respons

inflamasi yang lebih rendah dibanding serat sintetik CMS. Hasil penelitian juga

memperlihatkan bahwa pada pajanan 5000 kali lebih besar daripada nilai batas WHO

0,1 f/cm3 chrysotile tidak menunjukkan respons patologi yang signifikan.4 

 PENUTUP

Berbagai data penelitian di luar negeri menyimpulkan asbes kelompok amphibole

terbukti sebagai karsinogen baik untuk mesotelioma maupun kanker paru, sedangkan

asbes putih atau chrysotile mungkin aman dan sifat karsinogennya jauh lebih rendah,

meskipun masih menjadi perdebatan. Keamanan asbes putih atau chrysotile di

Indonesia belum sepenuhnya dapat diterima, data penelitian sampai saat ini belum ada

pada hal asbes putih adalah jenis yang dipakai secara luas di Indonesia. Penelitian

lebih lanjut mengenai keamanan chrysotile di lingkungan kerja dan di masyarakat perlu

dilakukan. Dalam menghadapi masalah mesotelioma/penyakit paru akibat kerja

diperlukan kerjasama 3 pihak yaitu dokter paru, dokter kedokteran kerja dan pihak

Page 10: Kanker Paru

advokasi. Dokter paru berperan menetapkan diagnosis, selanjutnya konfirmasi

penyebab di lingkungan kerja dilakukan oleh ahli kedokteran kerja dan apabila dapat

dibuktikan  maka advokasi oleh departemen tenaga kerja atau organisasi

kemasyarakatan perlu dilakukan untuk mengatur aspek legal dan kompensasi bagi

pasien.

 KESIMPULAN

1. Pajanan bahan karsinogen di tempat kerja berpotensi menimbulkan kanker paru dan mesotelioma, sebagian besar bahan karsinogen di tempat kerja berpotensi menimbulkan kanker paru dibanding mesotelioma.

2. Pajanan asbes meningkatkan risiko mesotelioma dibanding kanker paru3. Asbes kelompok amphibole terbukti kuat sebagai karsinogen baik untuk mesotelioma maupun kanker paru4. Chrysotile mungkin aman dan sifat karsinogen lebih rendah meskipun begitu masih menjadi perdebatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Occupational carcinogens. Assesing the enviromental burden of disease at national and local levels. Geneva; WHO: 2004.

2. Ng Gong M, Christiani DC. Lung Cancer. In: Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A. Occupational disorders of the lung. Recognition, management and prevention. London; WB Saunders Company: 2002.p.305-26.

3. Vuyst P, Gevenois PA. Asbestosis. In: Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A. Occupational disorders of the lung. Recognition, management and prevention. London; WB Saunders Company: 2002.p.143-62

4. Bernstein D. Understanding chrysotile asbestos: a new understanding based on current data. Presented at: International scientific symposium. Chrysotile fiber: recent research, strong data, new reality. Jakarta, 1-2 March 2006.

5. Hodgson JT, Darnton A. The quantitative risks of mesothelioma and lung cancer in relation to asbestos exposure. Ann Occup Hyg 2000; 44: 565-601.

6. Yarborough CM. Chrysotile as a cause of mesothelioma : an assesement based on epidemiology. Crit Rev Toxic 2006; 36:165-87.

7. Beckett W. Occupational respiratory disease. N Eng J Med 2000; 342: 406-13.

8. Gustavsson P, Jacobsson R, Nyberg F, Pershagen G, Jarub L, Scheele P. Occupational exposure and lung cancer risk: a population based case referent study in sweden. Am J Epidemiol 2000; 152:32-40.

9. Bruske-hohlfeld I, Mohner M, Pohlabeln H, Ahrens W, Bolm-Audorff U, Kreienbrock L, et al. Occupational lung cancer risk for men in Germany : Result from a pooledcontrol study. Am J Epidemiol 2000; 151: 384-95.

10. Health and safety executive. Occupational health statistic bulletin 2003/2004. Merseiseyde; HSE national statistic: 2003.

11. Wang X, Christiani D. Occupational lung disease in China. Int J Occupt Environ Health 2003; 9: 320-5.

12. Cugell DW, Kamp DW. Asbestos and the pleura. A Review. Chest 2004; 125:1103-17.

13. Gary Lee YC, de klerk NH, Henderson DW, Musk AW. Malignant mesothelioma. In: Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A. Occupational disorders of the lung. Recognition, management and prevention. London; WB Saunders Company: 2002.p.359-80.

14. Price B, Ware A. Mesothelioma trends in united states: an update based on surveillance, epidemiology and end result program data for 1973 through 2003. Am J Epidemiol 2004; 159: 107-112.

15. Siemiaticky J, Richardson L, Straif K, Latreille B, Lakhani R, Campbell S, et al.  Listing occupational carcinogens. Environ Health Prespect 2004; 112: 1447-59.

16. Department of Health and Ageing Australian. Management of asbestos in the non-occupational enviromental. 2005

17. Hoskins J. Currents usage and health significance of chrysotile use today. Presented at: International scientific symposium. Chrysotile fiber: recent research, strong data, new reality. Jakarta, 1-2 March 2006.

18. Health Canada. Health effect of chrysotile and other asbestos fibres. In support of the consultation document on the addition of chrysotile asbestos to the PIC procedure of the Rotterdam Convention. Canada 2004.

19. Dupont M. Asbestos. Change realities. Prev Prac Medic, June 2003. Available at: http://www.santepub-mtl.qc.ca. Accessed May 21

Page 11: Kanker Paru

20. McDonald JC, McDonald AD. The epidemiology of mesothelioma in historical contect. Eur Respir J 1996; 9:1932-42.

21. Lemen R. Chrysotile asbestos as a cause of mesothelioma: application of the hill causation model. Int J Occup Environt Health 2004; 10: 233-9.

22. Yano E, Wang ZM, Wang XR, Wang MZ, Lan YJ.  Cancer mortality among workers exposed to amphibole-free chrysotile asbestos. Am J Epidemiol 2001; 154:538-43.

23. Bryson N. White asbestos. It's still a killer. Available at :  http://www.btinternet.com/~ibas/nb_wh_asb_still_kill.pdf. Accessed 26 May 2006.

24. Chapman PS. Friction materials: A “state of the art” review. Presented at: International scientific symposium. Chrysotile fiber: recent research, strong data, new reality. Jakarta, 1-2 March 2006.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik Sebagai Penyakit Sistemik

Feni Fitriani, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono dan Budhi Antariksa Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI – RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN 

            Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan jalan napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif ini disebabkan inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam waktu lama dengan gejala utama sesak napas, batuk dan produksi sputum.1,2 Beberapa penelitian terakhir menemukan bahwa PPOK sering disertai dengan kelainan ekstra paru yang disebut sebagai efek sistemik pada PPOK.3,4

American Thoracic Society (ATS) melengkapi pengertian PPOK menjadi suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru abnormal terhadap partikel atau gas beracun  terutama disebabkan oleh rokok. Meskipun PPOK mempengaruhi paru, tetapi juga menimbulkan konsekuensi sistemik yang bermakna.5,6

Keterbatasan aktiviti merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat mempengaruhi kualiti hidup. Disfungsi otot rangka  merupakan hal utama yang berperan dalam keterbatasan aktiviti penderita PPOK. Inflamasi sistemik, penurunan berat badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK.4,5,7,8 Efek sistemik ini penting dipahami dalam penatalaksanaan PPOK sehingga didapatkan strategi terapi  baru yang memberikan kondisi dan prognosis lebih baik untuk penderita PPOK.3 

RESPONS INFLAMASI PARU PADA PPOK 

            Sejumlah penelitian menemukan bahwa proses inflamasi pada PPOK tidak hanya berlangsung di paru tetapi juga secara sistemik, yang ditandai dengan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP), tumor necrosis factor-α (TNF- α), interleukin 6 (IL-6) serta IL-8. Respons sistemik ini menggambarkan progresiviti penyakit paru dan selanjutnya berkembang menjadi penurunan massa otot rangka (muscle wasting), penyakit jantung koroner dan aterosklerosis.9 Mekanisme molekuler dan seluler pada PPOK dapat dilihat pada gambar 1.6

Page 12: Kanker Paru

Gambar 1. Mekanisme molekuler dan seluler pada PPOK Dikutip dari (6)

 

Pajanan gas beracun mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel jalan napas dalam membentuk faktor kemotaktik, penglepasan faktor kemotaktik menginduksi mekanisme infiltrasi sel-sel hematopoetik pada paru yang dapat menimbulkan kerusakan struktur paru. Infiltrasi sel ini dapat menjadi sumber faktor kemotaktik yang baru dan memperpanjang reaksi inflamasi paru menjadi penyakit kronik dan progresif.6

Makrofag alveolar penderita PPOK meningkatkan penglepasan IL-8 dan TNF-α. Ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase serta ketidakseimbangan oksidan

Page 13: Kanker Paru

dan antioksidan berperan dalam patologi PPOK. Proteinase menginduksi inflamasi paru, destruksi parenkim dan perubahan struktur paru. Kim & Kadel. dikutip dari 6  menemukan peningkatan jumlah neutrofil yang nekrosis di jalan napas penderita PPOK dapat menyebabkan penglepasan elastase dan reactive oxygen species (ROS) yang menyebabkan hipersekresi mukus.6 

Respons epitel jalan napas terhadap pajanan gas atau asap rokok berupa peningkatan jumlah kemokin seperti IL-8, macrophage inflamatory protein-1 α (MIP1-α) dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1). Peningkatan jumlah Limfosit T yang didominasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi juga pada kelenjar limfe paratrakeal. Sel sitotoksik CD8+ menyebabkan destruksi parenkim paru dengan melepaskan perforin dan granzymes. CD8+ pada pusat jalan napas merupakan sumber IL-4 dan IL-3 yang menyebabkan hipersekresi mukus pada penderita bronkitis kronik.6  

MEKANISME INFLAMASI SISTEMIK 

            Penyakit Paru Obstruktif Kronik tidak hanya menyebabkan respons inflamasi paru yang abnormal tapi juga menimbulkan inflamasi sistemik termasuk stress oksidatif sistemik, aktivasi sel-sel inflamasi di sirkulasi sistemik dan peningkatan sitokin proinflamasi.3 Efek sistemik PPOK dapat dilihat pada tabel 1. Respons inflamasi sistemik ditandai dengan mobilisasi dan aktivasi sel inflamasi ke dalam sirkulasi. Proses inflamasi ini merangsang sistem hematopoetik terutama sumsum tulang untuk melepaskan leukosit dan trombosit serta merangsang hepar untuk memproduksi acute phase protein seperti CRP dan fibrinogen. Acute phase protein akan meningkatkan pembekuan darah yang merupakan prediktor angka kesakitan dan kematian pada penyakit kardiovaskular sehingga menjadi pemicu terjadi trombosis koroner, aritmia dan gagal jantung.9,10 

Tabel 1. Efek sistemik PPOK

Inflamasi sistemik

 Stress oksidatifAktivasi sel inflamasiPeningkatan kadar plasma sitokin dan akut fase protein

Nutrisi abnormal dan penurunan berat badan

 Peningkatan resting energy expenditureKomposis tubuh abnormalMetabolisme asam amino abnormal

Disfungsi otot rangka

 Hilangnya massa ototStruktur/ fungsi abnormalKeterbatasan latihan

Efek sistemik potensial lainnya

  Efek kardiovaskularEfek sistem saraf

Page 14: Kanker Paru

Efek osteoskeletal

  Dikutip dari (3)

Banyak penelitian menemukan bahwa respons inflamasi  paru terhadap pajanan gas atau asap rokok ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit T yang didominasi oleh CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti leukotrien B4, IL-8 dan TNF-α dan bukti bahwa stress oksidatif disebabkan oleh inhalasi asap rokok atau sel inflamasi yang diaktifkan. Perubahan respons inflamasi yang sama juga ditemukan pada sirkulasi sistemik. Konsep ini merupakan kunci untuk memahami efek sistemik PPOK.3

Stres oksidatif mencakup semua perubahan fungsi atau struktur yang disebabkan oleh ROS. Penilaian kadar ROS secara in vivo adalah sulit karena waktu paruhnya sangat pendek sementara yang bisa dilihat adalah konsekuensi biologiknya  atau melalui fingerprint.3 Ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan diduga sebagai patogenesis PPOK yang tidak hanya ditemukan pada jalan napas dan jaringan paru tetapi juga pada darah tepi. Banyak penelitian menyatakan bahwa peningkatan oksidan dapat terjadi karena peningkatan jumlah neutrofil dalam jaringan paru perokok dan penderita PPOK. Efek ini dapat dideteksi dalam plasma berupa peningkatan petanda stres oksidan diikuti dengan penurunan kapasiti antioksidan.11 Rahman dkk.dikutip dari 12

menemukan ketidak seimbangan status reduksi oksidasi pada perokok dan penderita PPOK eksaserbasi akut. Peningkatan stres oksidatif yang menetap dalam plasma penderita PPOK dibuktikan dengan penemuan kadar lipid peroxidation yang tinggi.12

            Peningkatan kadar beberapa mediator sitokin ditemukan pada penderita PPOK stabil. Nougera dkk.dikutip dari 19 melakukan penelitian terhadap penderita PPOK stabil menemukan peningkatan ekspresi Mac-1 (CD11b/CD18) dalam sirkulasi dan kadar yang rendah dari soluble intercellular adhesion mollecule (SICAM)-1 dibanding kontrol.7,13 Penilaian ekspresi guanine nucleotide binding proteins (G protein) dengan mengabaikan kondisi klinis penderita PPOK menemukan hilangnya imunoreactivity G-α yang bermakna dalam sirkulasi neutrofil.3 Sauleda dkk. dikutip dari 11 melaporkan peningkatan aktiviti enzim sitokrom oksidase penderita PPOK dibanding dengan orang sehat. Sitokrom oksidase adalah suatu enzim terminal dalam rantai pernapasan di mitokondria. Keadaan ini berhubungan secara bermakna dengan beratnya penyakit dan derajat obstruksi. Aktiviti sitokrom oksidase meningkat pada otot rangka penderita PPOK dibandingkan dengan orang normal.13    

Perubahan sejumlah mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-8 ditemukan berupa peningkatan kadar acute phase protein walaupun pada penderita PPOK stabil. TNF-α mengatur proses inflamasi pada tingkat multiseluler dengan cara merangsang peningkatan ekspresi molekul adesi leukosit dan sel endotel selain itu juga dengan meningkatkan pengaturan sitokin proinflamasi lainnya (IL-8 dan IL-6) serta menginduksi angiogenesis.13 Proses eksaserbasi PPOK sebagian berhubungan dengan peningkatan inflamasi pada bronkus dan sistemik. Secara umum proses inflamasi akan ditentukan oleh keseimbangan antara mediator pro dan antiinflamasi.14

Page 15: Kanker Paru

Penelitian untuk menilai kadar sistemik mediator anti inflamasi sudah dilakukan terhadap soluble IL-1 receptor type II (sIL-IRII) decoy receptor IL-1 dan soluble TNF receptor 55 dan 75 (sTNF-R55 dan sTNF-R75) yang menghambat aktiviti biologi TNF-α. Pada penderita PPOK stabil ditemukan peningkatan bermakna sTNF-R55 dibandingkan dengan kontrol sTNF-R57 cenderung meningkat. Tidak ada perbedaan yang terlihat pada kadar sIL-IRII antara penderita PPOK dengan kontrol. 11,13 

Peranan Nitric Oxide 

            Nitric oxide (NO) merupakan radikal bebas yang dibentuk dari asam amino L-arginin oleh Nitric Oxide Synthase (NOS) dan ditemukan pada otot dalam 3 bentuk isoform NOS. Bentuk pertama endothelial constitutive NOS (eNOS) berfungsi mempertahankan tekanan pembuluh darah tetap rendah dan mencegah perlengketan leukosit serta platelet ke dinding pembuluh darah. Bentuk kedua neuronal constitutive NOS (nNOS) berperan sebagai neuromodulator atau neuromediator. Bentuk ketiga inducible isoforms NOS (iNOS) melalui rangsangan inflamasi dapat menghasilkan NO 1000 kali lebih banyak. Kelebihan jumlah NO akan diubah menjadi bentuk peroksinitrit (ONOO-) yang mempunyai efek sitotoksik. Pada penderita PPOK ditemukan kadar iNOS yang meningkat pada otot.15 Peningkatan kadar iNOS menyebabkan proses penghancuran protein, meningkatkan proses apoptosis dan menyebabkan kegagalan kontraksi otot sehingga berpotensi sebagai penyebab keterbatasan toleransi

latihan pada penderita PPOK.3 

Penurunan massa sel tubuh pada PPOK 

            Penurunan massa sel tubuh merupakan manifestasi sistemik yang penting pada PPOK dan terlihat berupa kehilangan lebih dari 40% actively metabolizing tissue. Perubahan massa sel tubuh diketahui melalui penurunan berat badan dan penurunan massa lemak bebas. Massa lemak bebas dapat dibagi 2 yaitu kompartemen intraseluler atau  massa sel tubuh  dan kompartemen ekstraseluler. Kompartemen intraseluler menggambarkan bagian pertukaran energi sedangkan kompartemen ekstraseluler menggambarkan substansi di luar sel. Kerusakan jaringan umumnya terjadi pada penderita PPOK dengan prevalensi 20% pada penderita PPOK stabil dan 35% pada penderita yang menjalani rehabilitasi medik.7 Massa lemak bebas yang hilang mempengaruhi proses pernapasan, fungsi otot perifer, kapasiti latihan dan status kesehatan. Penurunan berat badan mempunyai efek negatif terhadap prognosis penderita PPOK.3,7 Schols dkk.dikutip dari 16 melakukan penelitian retrospektif terhadap 400 penderita PPOK. Penelitian ini menemukan bahwa indeks massa tubuh (IMT) kurang dari 25 kg/m2, umur dan PaO2 rendah merupakan prediktor yang bermakna terhadap peningkatan angka kematian sementara  Landbo dkk.dikutip dari 17 menyatakan prognosis yang buruk pada penderita PPOK bila IMT kurang dari  20 kg/m2. 16,17

Beberapa penelitian menunjukkan hubungan langsung antara kadar TNF-α dan laju metabolik istirahat serta hubungannya dengan peningkatan kadar acute phase protein. Tumor necrosis factor-α berhubungan dengan percepatan metabolisme dan perubahan protein serta peningkatan berkurangnya berat badan pada penderita PPOK.4

Inflamasi sistemik menyebabkan metabolisme yang berlebihan dan menginduksi respons katabolik. Beberapa mekanisme yang dapat menimbulkan peningkatan laju metabolisme antara lain pemakaian obat β2 agonis pada penderita PPOK, proses inflamasi serta hipoksia jaringan.3

Page 16: Kanker Paru

Penderita PPOK  cenderung mengalami kaheksia daripada malnutrisi. Asupan nutrisi penderita PPOK biasanya normal  bahkan lebih besar daripada normal sedangkan asupan nutrisi pada malnutrisi memang kurang. Laju metabolisme penderita PPOK biasanya meningkat tidak seperti pada penderita malnutrisi namun respons penderita PPOK terhadap asupan nutrisi seringkali buruk.3 Mekanisme lain yang menerangkan kaheksia adalah hubungan antara sitokin dengan leptin. Leptin adalah protein yang disintesis oleh jaringan lemak  dan berperan dalam keseimbangan energi. Kadar leptin berkurang pada penderita PPOK dengan berat badan rendah.4 Gangguan ketidakseimbangan energi berhubungan dengan peningkatan kadar leptin sebagai respons inflamasi sitemik selama eksaserbasi. Leptin juga berperan dalam imuniti sel T, angiogenesis, reproduksi dan kontrol ventilasi.11

            Ketidakseimbangan proses pemecahan dan penggantian protein juga berperan dalam proses penurunan massa sel tubuh. Penderita PPOK stabil yang tidak mengalami kerusakan jaringan tetap menunjukkan keseimbangan antara proses pemecahan dan pembentukan protein.7 Perubahan hormon juga berhubungan dengan perubahan protein. Insulin, Growth hormon (GH), insulin-like growth factors (IGFs) merupakan hormon anabolik yang membantu sintesis protein sementara glukokortikoid merangsang proses proteolisis pada jaringan otot. Insulin menekan proses pemecahan protein. Growth hormon meningkatkan massa lemak bebas, merangsang produksi hepar dan sekresi IGF-1.3

            Resistensi GH terjadi pada keadaan katabolisme saat inflamasi. Keadaan puasa dan katabolik berhubungan dengan penurunan GH yang terikat pada reseptor, ekspresi gen IGF-1 dan IGF-1 yang terikat protein. Perubahan IGF-1 selama katabolisme diterangkan sebagai mekanisme adaptasi untuk membantu pengurangan proses anabolik pada saat stres atau saat IGF-1 meningkat di jaringan. Pemberian IL-1 dan TNF-α pada hewan percobaan berhubungan dengan kadar IGF-1 plasma yang rendah dan penurunan sintesis protein. Sintesis protein yang dirangsang oleh IGF-1 dihambat pada saat mioblas terpajan TNF-α.11

            Hormon anabolik seperti testosteron bekerja pada otot dengan dua cara. Pertama dengan merangsang efek anabolik protein melalui reseptor androgen, kedua dengan menghambat katabolik protein melalui netralisasi efek glukokortikoid. Penurunan kadar testosteron total dan bebas pada penderita PPOK telah banyak dilaporkan. Pemberian glukokortikoid sistemik dosis rendah sebagai antiinflamasi masih sering digunakan. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai keseimbangan hormon anabolik dan katabolik pada PPOK untuk mendapatkan strategi terapi yang lebih tepat. 13

Pengecilan Otot           

            Proses pemecahan protein sel pada otot merupakan keadaan yang sering didapatkan sebagai respons terhadap asidosis, infeksi atau asupan kalori yang tidak adekuat. Selama keadaan ini, otot dan kulit akan kehilangan protein dalam jumlah lebih besar dibandingkan organ-organ viseral sedangkan otak tidak terpengaruh.

Page 17: Kanker Paru

Pengurangan massa otot pada penderita PPOK terutama terdapat pada ekstremiti bawah.7 Jalur adenosine triphosphate (ATP) tergantung pada ubiquitin-proteasom berperan dalam peningkatan proteolisis pada berbagai tipe atropi otot. Pengaruh TNF-α pada sel otot rangka berupa pengurangan kandungan protein total dan hilangnya adult myosin heavy chain. Guttridge dkk.dikutip dari 7 melaporkan TNF-α merangsang aktivasi nuclear factor κ β (NF- κ β) untuk menghambat diferensiasi otot rangka dengan menekan myoD-mRNA pada saat pasca transkripsi. Tumor necrosis factor-α dan interferon γ (IFγ) mempengaruhi regulasi otot rangka melalui penghambatan terbentuknya serat-serat otot baru, degenerasi serat-serat otot yang baru dibentuk dan menyebabkan ketidakmampuan memperbaiki kerusakan otot rangka.13 Sitokin inflamasi diduga berperan pada pengecilan otot melalui penghambatan difrensiasi miogen melalui jalur NF- κ β dan secara langsung menghambat NF- κ β seperti yang terlihat pada pengurangan otot berhubungan dengan kaheksia. Proses kematian sel yang terprogram atau apoptosis juga berperan pada pengecilan otot.18 

Perubahan metabolisme otot 

            Penurunan serabut otot tipe 1 dan peningkatan relatif serabut tipe 2 didapatkan pada otot rangka perifer penderita PPOK stabil, hal ini menunjukkan perubahan proses oksidatif ke glikolisis. Metabolisme glikolisis menghasilkan ATP yang lebih kecil daripada metabolisme oksidatif sehingga sangat berpengaruh pada metabolisme energi otot rangka penderita PPOK.7 Kadar laktat meningkat lebih cepat selama latihan pada penderita PPOK, keadaan ini berhubungan dengan berkurangnya enzim oksidasi pada otot tungkai bawah. Kadar glutamat didapatkan rendah pada penderita PPOK. Glutamat berperan dalam menyediakan posfat energi tinggi melalui proses metabolik dan menjadi prekursor antioksidan glutation dan sintesis glutamin dalam otot. Kadar glutamat dan glutation yang rendah juga didapatkan pada penderita emfisema. Proses asidosis laktat yang terjadi lebih awal selama latihan pada penderita PPOK berhubungan dengan penurunan kadar glutamat otot.11 

Disfungsi otot rangka 

            Disfungsi otot rangka pada penderita PPOK meliputi perubahan anatomi dan fungsi. Perubahan anatomi terjadi pada komposisi serat otot dan atropi sementara perubahan fungsi berupa perubahan kekuatan, ketahanan dan aktiviti enzim.  Semua ini akan mempengaruhi kapasiti latihan serta kualiti hidup penderita. Peranan diafragma lebih dominan daripada otot rangka dalam proses pernapasan pada penderita PPOK. Hipoksia jaringan dan inflamasi sistemik yang menetap merupakan faktor penyebab disfungsi otot rangka.3,19

            Stress oksidatif pada penderita PPOK dibuktikan dengan peningkatan kadar sitokin sirkulasi dan acute phase reactant termasuk IL-6, IL-8, TNF-α, TNF-R55, TNF-R75, CRP dan lipopolisakarida terikat protein. Semua sel inflamasi ini terlihat lebih aktif pada penderita PPOK. Neutrofil darah tepi memperlihatkan perluasan kemotaksis, proses proteolisis ekstraselular, menghasilkan lebih banyak ROS serta meningkatkan ekspresi MAC. Aktiviti sitokrom oksidase lebih meningkat pada PPOK dan peningkatan

Page 18: Kanker Paru

ini berhubungan dengan petanda nonspesifik terhadap aktivasi limfosit pada penyakit inflamasi kronik. 20 

Efek kardiovaskular 

            Penyakit pembuluh darah jantung sering ditemukan pada PPOK karena keduanya mempunyai faktor risiko yang sama seperti merokok, usia lanjut dan inaktiviti. Pajanan asap rokok atau particulate matter menghasilkan inflamasi sistemik seperti terlihat pada gambar 2. Respons inflamasi ini berupa respons fase akut dengan peningkatan pembekuan darah, penglepasan mediator inflamasi ke dalam sirkulasi selanjutnya mengaktifkan endotelin dan merangsang sumsum tulang melepaskan leukosit dan trombosit. Keadaan ini meningkatkan resiko penyakit vaskular, menyebabkan ketidakstabilan plak aterosklerosis sehingga menjadi ruptur dan menyebabkan trombosis.3,9

Gambar 2. Mekanisme inflamasi paru yang menginduksi penyakit vaskular Dikutip dari (9)

Efek terhadap sistem saraf 

            Perubahan metabolisme bioenergi penderita PPOK diperlihatkan dengan nuclear magnetic resonance spectroscopy, hal ini mungkin disebabkan oleh proses adaptasi terhadap kondisi hipoksia kronik. Tingginya prevalens depresi mungkin

Page 19: Kanker Paru

berhubungan dengan respons terhadap kondisi kelemahan yang menetap akibat penyakit kronik. Perubahan sistem saraf otonom yang abnormal dilaporkan terutama pada penderita dengan berat badan rendah dan berhubungan dengan pengaturan irama sirkadian leptin. Pemberian leptin mempunyai efek penting terhadap fungsi saraf endokrin, pengaturan appetite dan berat badan. Kadar leptin yang rendah berhubungan dengan patogenesis disfungsi otot rangka dan penurunan berat badan pada penderita PPOK. 3,9 

Efek terhadap tulang rangka 

            Prevalens osteoporosis meningkat pada penderita PPOK, hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti malnutrisi yang menetap, merokok, terapi steroid dan inflamasi sistemik.  Keadaan emfisema dan osteoporosis ditandai dengan hilangnya jaringan paru atau jaringan tulang. Gambaran tulang yang mengalami osteoporosis hampir sama dengan jaringan paru yang mengalami emfisema. 3 

TERAPI TERBARU PPOK 

Inflamasi kronik pada PPOK berlangsung pada jalan napas kecil dan parenkim paru yang melibatkan neutrofil, makrofag dan CD8+.  Proses ini menyebabkan fibrosis dan penyempitan pada jalan napas kecil serta destruksi parenkim akibat bermacam-macam protease seperti neutrofil elastase dan matriks metaloproteinase (MMP). Berdasarkan mekanisme inflamasi seluler dan molekuler yang terjadi pada PPOK,  timbul pemikiran untuk mengembangkan terapi yang dapat mengontrol inflamasi dan proses destruksi yang terjadi seperti terlihat pada gambar 3. 21

Page 20: Kanker Paru

Gambar 3. Target terapi PPOK berdasarkan mekanisme inflamasi Dikutip dari (21)

1. Berhenti merokok

Merokok merupakan penyebab utama PPOK dan berhenti merokok merupakan terapi yang sejauh ini dapat mengurangi progeresiviti penyakit. Proses inflamasi di jaringan masih terus berlangsung walaupun sudah berhenti merokok. Kecanduan nikotin merupakan masalah utama yang menjadi target terapi. Terapi pengganti nikotin hanya menunjukkan keberhasilan 5-15%. Saat ini sedang dikembangkan vaksin yang mampu menetralisir nikotin dalam darah.22 Jorenby dkk.dikutip dari 23 menemukan Bupropion yang merupakan suatu anti depresan cukup berhasil bila digunakan sebagai terapi berhenti merokok. Pemberian bupropion selama 6-9 minggu memberikan keberhasilan berhenti merokok sebesar 18% dibandingkan dengan nikotin skin patch 9% dan plasebo 6%. Obat ini ditoleransi dengan baik dan hanya menimbulkan efek samping berupa serangan epilepsi sekitar 0,1% pada penderita.23 

2. Bronkodilator baru

Tiopropium bromid merupakan antikolinergik kerja lama. Inhalasi Tiopropium bromid sebanyak 1 kali sehari memberikan efek bronkodilator yang lebih efektif daripada pemberian ipratropium bromid sebanyak 4 kali sehari. Penelitian jangka

Page 21: Kanker Paru

panjang memperlihatkan perbaikan gejala dan kualiti hidup yang bermakna serta berkurangnya eksaserbasi pada penderita PPOK yang mendapat Tiopropium bromid. Obat ini menjadi pilihan bronkodilator dan mempunyai efek yang lebih baik bila dikombinasi dengan β2 agonis kerja lama.21 

3. Antagonis Mediator

Sejumlah mediator inflamasi berperan dalam proses inflamasi PPOK dan proses ini tetap berlangsung walaupun penderita sudah berhenti merokok. Inflamasi neutrofil merupakan karakteristik PPOK dan pemberian terapi ditujukan pada mediator yang berperan dalam pengaturan dan aktivasi netrofil ini seperti yang terlihat pada tabel 2.13 

Tabel 2. Antagonis mediator untuk PPOK

  - Antagonis leukotrin B4 (LTB4): LY29311, SC-53228, CP-105696, SB 201146, BIIL284

  - Penghambat 5’lipoksigenase: zileuton, Bay x1005

  - Penghambat kemokin

       Antagonis IL-8: antagomis CXCR2, SB225002

       Antagonis monocyte chemotactic protein (MCP), antagonis CCR2

  - Penghambat TNF: antibodi monoklonal, soluble receptors, TNF-α converting enzymes inhibitors

  - Antioksidan: stable glutathione analogues

  - Penghambat iNOS: l-N6-(1-imminoethyl)lysine (L-NIL)

  Dikutip dari (21)

a. Penghambat leukotrin B4 (LTB4)

Leukotrin B4 merupakan chemoattractant neutrofil dan meningkatkan produksi sputum penderita PPOK. Dua subtipe LTB4  yaitu reseptor BLT1 diekspresikan oleh granulosit dan monosit serta reseptor BLT2 diekspresikan oleh limfosit T. Antagonis BLT1 yaitu LY29311 sedang dikembangkan untuk terapi inflamasi neutrofil. Antagonis reseptor LTB4 yang selektif seperti SC-53228, CP-105696, SB201146 dan BIIL284 juga sedang dikembangkan.22 

b. Penghambat kemokin

Kadar IL-8 meningkat pada sputum penderita PPOK dan berhubungan dengan beratnya penyakit. Antagonis IL-8 berupa antibodi monoklonal dapat menghambat respons kemotaktik neutrofil pada hewan percobaan. Antagonis CXCR2, antagonis MCP atau antagonis CCR2 masih dalam tahap uji klinis.21 

c. Penghambat TNF-α

Page 22: Kanker Paru

Antibodi monoklonal (infliximal®) dan soluble receptors TNF-α (etanercept®) efektif digunakan pada penyakit kronik. Pemakaian jangka lama tidak menyenangkan untuk penderita karena harus disuntikkan secara berulang.21,22  

d. Antioksidan

 N-acetyl cystein (NAC) meningkatkan produksi GSH (glutation). Pemberian NAC peroral menunjukkan pengurangan eksaserbasi PPOK. Antioksidan yang lebih efektif seperti senyawa glutation yang stabil, analog dengan SOD serta obat berbasis selenium sedang dikembangkan.21

3.5. Penghambat iNOS

Stres oksidatif menyebabkan peningkatan penglepasan NO dari iNOS yang akan  menghasilkan radikal bebas peroksinitrit. Penghambat selektif iNOS seperti N6-(1-imminoethyl)lysine (L-NIL) dapat mengurangi penglepasan NO jangka panjang.22

 

4.Terapi anti inflamasi baru  

Terapi inhalasi kortikosteroid yang digunakan pada penderita PPOK diduga dapat mencegah progresiviti penyakit tetapi pada kenyataannya kortikosteroid tidak mengurangi progresiviti penyakit dan tidak menghambat inflamasi neutrofil yang diinduksi oleh ozon pada manusia bahkan sebaliknya dapat memperpanjang masa hidup neutrofil. Alasan lain yang menyebabkan resistensi kortikosteroid adalah efek hambatan asap rokok pada histon deasetilase yaitu suatu enzim yang dibutuhkan kortikosteroid untuk menekan gen inflamasi. Beberapa jenis anti-inflamasi baru yang dikembangkan sebagai terapi PPOK dapat dilihat pada tabel 3.21 

Tabel 3. Obat anti-inflamasi baru untuk PPOK 

  - Penghambat posfodiesterase-4: SB207499, CP80633, CDP 840

  - Penghambat NF-κβ: penghambat proteasom, penghambat dari NF-κβ inhibitor, 1κβ-α  gene transfer

  - Penghambat molekul adesi: anti CD11/CD18, anti ICAM-1, penghambat E-selektin

  - Interleukin 10 dan analog

  - Penghambat p38 mitogen activated protein (MAP) kinase : SB 203580, SB 220025, RWJ 67657

  - Penghambat posfoinositid (PI)-3 kinase-γ

  - Imunomodulator:  penghambat CD8+

  Dikutip dari (21)

a. Penghambat posfodiesterase-4 (PDE-4)

Page 23: Kanker Paru

            Penghambat fosfodiesterase-4 merupakan PDE yang diekspresikan pada neutrofil, CD8+ dan makrofag. Diduga penghambatan PDE akan dapat mengontrol inflamasi pada PPOK secara efektif. Penghambat fosfodiesterase-4 seperti cilomilast dan roflumilas sedang dikembangkan dan bermakna dalam menghambat pelepasan TNF-α oleh monosit.21,24 

b. Penghambat NF-κβ

NF-κβ mengatur ekspresi IL-8, TNF-α dan MMP. Efek hambatan jangka lama terhadap NF-κβ dapat menekan sistem imun dan mengganggu kekebalan tubuh. Tikus percobaan yang kekurangan NF-κβ  akan mati akibat sepsis.21 

c. Penghambat molekul adesi

Pengerahan neutrofil, monosit, T sel sitotoksik pada paru dan jalan napas  bergantung kepada ekspresi molekul adesi. Pemberian TBC 129 dapat menghambat molekul adesi E-selektin pada endotel, adesi granulosit dan  neutrofil. Perlu dipikirkan bahwa hambatan terhadap neutrofil akan meningkatkan kejadian infeksi.21 

d. Interleukin 10

Sitokin IL-10 mempunyai aksi antiinflamasi yang luas, mekanisme kerjanya menghambat sekresi TNF-α dan IL-8, menurunkan ekspresi MMP  dan meningkatkan ekspresi tissue inhibitor matrix metalloproteinase (TIMP). Pemberian secara injeksi selama beberapa minggu dapat ditoleransi dengan baik sehingga dapat menjadi terapi yang potensial untuk PPOK.21 

e. Penghambat p38 mitogen activated protein (MAP) kinase

Mitogen activated protein kinase berperan dalam inflamasi kronik. Penghambat nonpeptida seperti  SB 203580, SB 239063, RWJ 67657 merupakan penghambat p38MAP kinase. SB 239063 terbukti mengurangi infiltrasi neutrofil setelah inhalasi endotoksin dan menurunkan konsentrasi IL-6, MMP-9 pada bilasan bronkoalveolar (BAL) tikus percobaan. Pemberian secara inhalasi dianggap aman.21,22 

f. Penghambat posfoinositid (PI)-3 kinase (PI-3K)

Posfoinositid (PI)-3 kinase merupakan kelompok enzim yang meningkatkan pembentukan lipid second messenger yang mengatur beberapa peristiwa seluler termasuk pengerahan dan aktivasi neutrofil. Hambatan terhadap PI-3K akan menyebabkan gangguan pada migrasi dan aktivasi neutrofil sama baiknya dengan hambatan limfosit T dan fungsi makrofag.21 

5.   Penghambat Protease 

Page 24: Kanker Paru

Hambatan terhadap enzim proteolitik atau peningkatan antiprotease endogen diduga akan menguntungkan dan dapat mencegah progresiviti obstruksi jalan napas penderita PPOK. Antiprotease endogen yang diberikan antara lain α1-antitripsin, penghambat leukoprotease, elafin dan penghambat MMP. Pemberian ONO-5046 dan FR 901277 berpotensi menghambat elastase neutrofil  yang menginduksi cedera paru pada hewan percobaan. Obat ini dapat diberikan secara inhalasi dan sistemik.22,25 

6. Agen remodeling  

Mekanisme obstruksi pada PPOK adalah karena hilangnya elastisiti dan rekoil parenkim paru akibat proteolisis jaringan paru. Kerusakan ini tidak dapat diperbaiki tetapi hanya dapat dicegah oleh terapi tertentu.  Asam retinoat meningkatkan jumlah alveoli pada tikus percobaan dan mengembalikan perubahan histologis, fisiologis yang diinduksi oleh terapi elastase. Asam retinoat mengaktifkan reseptornya yang berperan sebagai faktor transkripsi untuk mengatur gen yang berfungsi dalam pertumbuhan dan difrensiasi sel. Perlu penelitian lebih lanjut apakah temuan ini dapat diaplikasikan pada manusia.21 

7. Hantaran Obat

Pemberian bronkodilator dengan cara inhalasi dosis terukur (IDT) atau inhalasi bubuk kering kurang berfungsi pada penderita emfisema dan bronkitis kronik karena proses inflamasi dan destruksi terjadi di parenkim dan jalan napas kecil. Perlu dipikirkan pemberian inhalasi dengan ukuran partikel yang jauh lebih kecil sehingga mencapai bagian perifer paru.22

Obat baru untuk PPOK sangat diperlukan mengingat proses inflamasi terus berlanjut walaupun penderita sudah berhenti merokok. Faktor lingkungan seperti asap dapur, polutan, perokok pasif serta inhalasi zat toksin lainnya perlu diperhatikan karena juga dapat menyebabkan PPOK. Peranan faktor genetik perlu dipertimbangkan karena hanya sekitar 10-20% perokok yang dapat berkembang menjadi PPOK. Penelitian lebih lanjut diperlukan berdasarkan mekanisme molekuler dan seluler yang menjadi patogenesis PPOK sehingga dapat dikembangkan terapi yang lebih baik terhadap penyakit ini.22,26 

KESIMPULAN 

1. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang menimbulkan kelainan secara sistemik seperti penurunan berat badan, penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan depresi.

2. Proses inflamasi pada PPOK tidak hanya terjadi di paru tapi secara sistemik dan tetap berlangsung walaupun proses berhenti merokok sudah dilakukan.

3. Perlu pemahaman mekanisme molekuler dan seluler yang mendasari proses PPOK untuk mendapatkan strategi terapi yang lebih baik.

4. Terapi baru pada PPOK yang berdasarkan kepada mekanisme molekuler dan seluler cukup menjanjikan dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Page 25: Kanker Paru

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunnegoro H, Amin M, Yunus F, Abdullah A, Widjaja A, Surjanto E dkk.. PPOK pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Edisi revisi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2004.p.vii.

2. NHLBI/ WHO workshop report. Global inisiatif for chronic obstructive pulmonary disease. Geneva: WHO; 2001.p.6-95.

3. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquets X. Systemic effect of chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 2003;21:347-60.

4. Andreassen H, Vestbo J. Chronic obstructive pulmonary disease as systemic disease: an epidemiological perspective. Eur Respir J 2003;22suppl: 2-4.

5. Rennard SI. Chronic obstructive pulmonary disease, linking outcomes and pathobiology of disease modification. Proc Am Thorac Soc 2006;3:276-80.

6. Dahesia M. Pathogenesis of COPD. Clin Applied Immunol Rev 2005;5:339-51.7. Wouters EFM, Creutzberg EC, Schols AMWJ. Systemic effects of COPD. Chest

2002;121suppl:127-30.8. Gan WQ, Man SFP, Senthilselvan A, Sin DD. Association between COPD and

systemic inflammation: a systematic review and a metaanalysis. Thorax 2004;59:574-80.

9. Eeden SF, Yeung A, Quinlam K, Hogg JC. Systemic response to ambient particulate matter. Proc Am Thorac Soc 2005;2:61-7.

10. Donalson GC, Seemungal TAR, Patel IS, Bhowmik A, Wilkinson TMA, Hurst JR. Airway and systemic inflammation and decline in lung function in patients with COPD. Chest 2005;128:1995-2004.

11. Wouters EFM. Chronic obstructive pulmonary disease 5: Systemic effect of COPD. Thorax 2002;57:1067-70.

12. Rahman I, Morrison D, Donalson K, MacNee W. Systemic oxidative stress in asthma, COPD and smokers. Am J Respir Crit Care Med 1996; 154: 1055-60.

13. Wouters EFM. Local and systemic inflammation in COPD. Proc Am Thorac Soc 2005;2:26-33.

14. Repine JE, Bast A, Lankhorst and the oxidative stress studying group. Oxidative stress in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156:341-57.

15. Oca MM, Torres SH, Sanctis D, Mata A, Hernandez N, Talamo C. Skeletal muscle inflammation and nitric oxide in patients with COPD. Eur Respir J 2005;26:390-7.

16. Schols AMWJ, Slangen J, Volovics L, Wouters EFM. Weight loss is reversible factor in the prognosis of chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1998;157:1791-7.

17. Landbo C, Prescott E, Lange P, Vestbo J, Amdal TP. Prognostic value of nutritional status in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1999; 160:1856-61.

18. Macnee W. Oxidant/antioxidats and COPD. Chest 2000;117suppl:303-17.19. Noguera A, Busquets X, Sauleda J. Expression of adhesion molecules and G protein in

circulating neutrophils in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care

Page 26: Kanker Paru

Med 1998;158:1664-8.20. Oudijk EJD, Nijhuis EHJ, Zwank MD, Graaf EA, Mager HJ, Coffer P et al. Systemic

inflammation in COPD visualised by gene profiling in peripheral blood neutrophils. Thorax 2005;60:538-44.

21. Barnes PJ. Chronic obstructive pulmonary disease 12: New treatment for COPD. Thorax 2003;58:803-8.

22. Buhl R, Farmer SG. Future direction in the pharmacologic therapy of COPD. Proc Am Thorac Soc 2005;2:89-93.

23. Jorenby DE, Leischow SJ, Nides MA. A controlled trial of sustained release bupropion, a nicotine patch or both for smoking cessation. N Engl J Med 1999;340: 685-91.

24. Sturton G, Fitzgerald M. Phospodiesterase inhibitors for the treatment of COPD. Chest 2002;121suppl:192-196.

25. Stockley RA. Neutrophils and protease/ antiprotease imbalance. Am J Respir Crit Care Med 1999;160:549-52.

26. Debigare R, Cote CH, Maltais F. Peripheral muscle wasting in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2001;164:1712-17.

MI

 

PREVALENSI PENYAKIT BRONKITIS KRONIK, EMFISEMA

DAN ASMA KERJA PADA PEKERJA DI

PT. KRAKATAU STEELRia Faridawati, Faisal Yunus, Tjandra Yoga Aditama, Hadiarto

Mangunnegoro dan Zulasmi Mamdy

To evaluate factors which play a role in prevalence of COPD and occupational asthma among workers of Krakatau Steel factory we conducted a cross sectional study. The exposure area is the area of 2,5 km far from the factory. Three hundred subjects were put in the study by simple random sampling, consisted of 150 from exposure area and the other 150 from non exposure area : exposure workers aged 37 + 4,6 years, the period of work was 13,7 + 3 years. The use of self protection device was good in 92 (61,33%) and moderate to poor in 58 (38,67%) subjects respectively, the non exposure workers aged 38,6 + 5 years, the period of work was 14 + 4 years.

The mean of total dust in exposure area was 3,811 mg/m3, it consisted of 0,456 mg/m3 respirable dust and 0,077 mg/m3 iron dust. In the nonexposure area, the mean of total dust was 0,211 mg/m3, consisted of 0,226 mg/m3 respirable dust and 0,011 mg/m3 iron dust. Dust concentration of both areas was less than threshold value. The found that the prevalence of chronic bronchitis was 14%, 8,33% in exposure

Page 27: Kanker Paru

area and 5,67% in nonexposure area respectively. The prevalence of occupational asthma was 0,33% and no emphisema was found. Lung obstruction was 3,33% in exposure area and 2,67% in nonexposure area.

We conclude that there was no correlation between the prevalence of chronic bronchitis and age, sex, nutritional status, smoke behaviour, work place, length of work, self protection device and total dust. It was many be due to low dust concentration and short time exposured per day.

Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui terjadinya penyakit paru obstruktif kronik hubungannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta perubahan fungsi paru antara daerah terpajan dan tidak di PT. Krakatau Steel, Cilegon. Ditetapkan bahwa daerah terpajan sekitar radius 2,5 km dari pusat pabrik. Responden diambil secara "simple random sampling" yaitu 300 pekerja, daerah terpajan 150 orang (100%) laki-laki dengan rata-rata umur 37 + 4,6 tahun, lama kerja 13,7 + 3 tahun, pemakai alat pelindung diri (APD) 92 orang (61,33%) baik, 58 orang (38,67%) seang/buruk. Daerah tidak terpajan 137 orang (91,33%) laki-laki, 13 orang (8,67%) perempuan dengan rata-rata umur 38,6 + 5 tahun, lama kerja 14 + 4 tahun. Pada daerah terpajan ditemukan rata-rata kadar debu total 3,811 mg/m3, debu respirabel 0,456 mg/m3, debu besi 0,077 mg/m3. Daerah tidak terpajan rata-rata kadar debu total 0,211 mg/m3, debu respirabel 0,226 mg/m3, dan debu besi 0,011 mg/m3. Kadar rata-rata debu tersebut diatas masih dibawah nilai ambang batas (NAB). Ditemukan prevalensi bronkitis kronik 42 orang (14%) daerah terpajan 25 orang (8,33%) dan tidak terpajan 17 orang (5,67%). Prevalensi asma kerja 1 orang (0,33%) dan tidak ditemukan penderita emfisema. Kelainan fungsi paru obstruksi di daerah terpajan 10 orang (3,33%) dan tidak terpajan 8 orang (2,67%). Tidak ditemukan hubungan antara kejadian bronkitis kronik dengan umur, jenis kelamin, status gizi, kebiasaan merokok, lokasi kerja, lama kerja, pemakaiaan APD serta debu total. Penelitian ini kemungkinan karena kadar debu rata-rata umumnya di bawah NAB, singkatnya waktu pajanan debu per hari