K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam...

26

Transcript of K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam...

Page 1: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme
Page 2: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

K. Mustarom

Laporan Edisi 7 / April 2019

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,

kirimkan e-mail ke:

[email protected]

Seluruh laporan kami bisa didownload di website:

www.syamina.org

SYAMINA

MITOS KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

Page 3: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINA Edisi 7 / April 2019

3

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3

EXECUTIVE SUMMARY — 4

Bagaimana Mitos Kekerasan Agama Diciptakan? — 9

Munculnya Negara Sekuler — 12

Mati Demi Negara — 14

Apakah Kekerasan Selalu Identik Dengan Agama? — 19

Kekerasan Sekularisme — 22

Kesimpulan — 24

Daftar Pustaka — 26

Page 4: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINAEdisi 7 / April 2019

4

Di era modern hari ini, sudah menjadi semacam keyakinan umum bahwa

agama adalah penyebab utama konflik paling berdarah di dunia. Keyakinan

ini tidak hanya muncul di kalangan yang memandang rendah agama, tapi

juga ia juga tumbuh di kalangan yang mendakwahkan ajaran agama.

Di era di mana tumbuh keyakinan kuat bahwa agama tidak boleh dicampurkan

dengan politik, agama menjadi tertuduh utama. Untuk itu negara bangsa dihadirkan,

dengan tawaran sebagai pelindung dari kekerasan agama dan menjaga perdamaian.

Asumsi ini sering menjadi dasar bagi kebijakan negara, di dalam maupun

luar negeri. Membatasi peran agama dalam rangka menjaga perdamaian dan

mempromosikan demokrasi.

Saat konflik terjadi, seketika tokoh agama dikumpulkan, diminta meredam

semangat keberagamaan umatnya. Faktor lain diabaikan, seolah semua kekerasan

berpangkal dari keberagamaan seseorang.

EXECUTIVE SUMMARY

Page 5: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINA Edisi 7 / April 2019

5

Saat bicara tentang konflik dan kekacauan di Timur Tengah, agama dianggap

sebagai penyebabnya. Saat bicara invasi tentang Amerika Serikat di Irak dan

Afghanistan, agama juga dituduh sebagai akar masalahnya. Bahkan, sekalipun umat

Islam jadi korban, keberagamaan merekalah yang jadi alasan utama.

Klaim bahwa agama rentan terhadap kekerasan, pada praktiknya, menjadi

justrifikasi ideologis bagi dilakukannya kekerasan atas nama tatanan sekuler. Ia

menjadi bahan baku utama untuk menguatkan loyalitas masyarakat kepada negara

bangsa dan melegitimasi kekerasan yang dilakukan negara.

“Agama sering menyebabkan kekacauan, menjadi penyebab dari semua perang

besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, atau yang sejenisnya, sering

kita dengar. Terus diucapkan, seperti sebuah mantra yang seolah tidak boleh

dipertanyakan, yang melekat kuat, dari politisi hingga akademisi. Sampai-sampai,

kita tidak bisa mengenalinya sebagai sebuah mitos.

Agama dihilangkan kekuatannya. Di kampus-kampus, teori sekularisme

diajarkan sebagai fakta yang sudah mapan. Anggapan bahwa agama berbahaya bagi

politik sudah menjadi semacam kebenaran umum, menjadi sebuah asumsi tanpa

pikiran dari orang-orang yang selama ini menganggap dirinya berpikir.

Mereka yang mengucilkan agama sebenarnya takut akan kebangkitan agama.

Mereka mengecam agama, dengan deklarasi bahwa agama bertanggungjawab atas

banyak kekerasan saat ini. Beberapa saat kemudian, mereka akan mengatakan

dengan semangat penuh dogma bahwa agama sudah mulai luntur oleh modernitas,

tidak lagi relevan dengan zaman.

Laporan ini berupaya untuk menjelaskan bahwa mitos kekerasan agama adalah

produk dari dongeng di Barat untuk mengalihkan dari kekerasan yang mereka sendiri

lakukan.

Mitos ini sampai sekarang masih sangat kuat melekat, karena ia digunakan untuk

melegitimasi negara sekuler modern. Mitos ini adalah mitos yang menjadi dasar bagi

negara sekuler. Dan sebagaimana layaknya sebuah mitos, ia tidaklah sepenuhnya

benar, bahkan berpotensi membuat kita terbutakan oleh kekerasan irasional yang

dilakukan oleh negara sekuler.

Page 6: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINAEdisi 7 / April 2019

6

MITOS KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

Saat kita melihat para pasukan Islamic State (IS) mengamuk di Timur Tengah,

menghancurkan negara-bangsa modern di Suriah dan Irak yang diciptakan

oleh para penjajah Eropa, mungkin sulit untuk percaya bahwa kita hidup di

abad ke-21. Melihat kekerasan yang tidak pandang bulu, mengingatkan kita pada

pasukan Mongol di bawah kepemimpinan Jenghis Khan yang menyerang Cina,

Anatolia, Rusia dan Eropa Timur. Menghancurkan seluruh kota dan membantai

penduduk mereka.

Di sisi lain, kita melihat gambar-gambar yang sangat familiar, bahkan lebih

dramatis. Bom-bom yang dijatuhkan di kota-kota Timur Tengah yang menewaskan

anak-anak yang sedang berangkat sekolah hingga keluarga yang sedang

melangsungkan pesta pernikahan. Namun, kali ini pelakunya berbeda. Amerika

Serikat, Rusia, dan beberapa sekutu Arabnya. Prediksi suram bahwa perang ini bisa

Page 7: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINA Edisi 7 / April 2019

7

menjadi Vietnam kedua bagi Amerika, mengingatkan kita bahwa perang ini adalah

perang yang sangat modern.

Tindakan pasukan Islamic State (IS) seketika mendorong pada satu kesimpulan:

hubungan antara agama dan kekerasan. Tindakan mereka seolah menjadi bukti

dari argumen yang selama ini diluncurkan tokoh atheis, Sam Harris, bahwa

"sebagian besar Muslim benar-benar gila dengan keyakinan agama mereka".1 Ia juga

menyimpulkan bahwa "agama itu sendiri menghasilkan solidaritas sesat yang harus

kita temukan cara untuk melemahkannya”. Banyak yang mempropagandakan narasi

Richard Dawkins, yang dalam tulisannya berjudul The God Delusion menyatakan

bahwa "hanya keyakinan agama yang dapat mendorong kegilaan total pada orang

yang waras dan baik hati".

Bahkan, bagi mereka yang menganggap pernyataan ini terlalu ekstrem, mungkin

masih percaya, secara naluriah, bahwa ada esensi kekerasan yang melekat dalam

agama. Karena begitu para pejuang diyakinkan bahwa Tuhan ada di pihak mereka,

kompromi menjadi hal yang tidak mungkin dan kekejaman menjadi tidak mengenal

batas.

Ada sebuah asumsi yang banyak berkembang dan dikembangkan akhir-akhir

ini, yaitu bahwa agama mempunyai kecenderungan untuk melakukan kekerasan.

Asumsi ini banyak tercermin dalam banyak kebijakan domestik dan juga kebijakan

luar negeri negara di dunia ini.

Salah satu mitos abadi yang dikembangkan di negara sekuler adalah bahwa

agama sangat berbahaya, mudah terbakar, sehingga kemungkinan besar akan

meledak ke dalam api kekerasan. Untuk itu, satu-satunya perlindungan yang dimiliki

untuk menghindari perusakan masyarakat adalah dengan mendirikan tembok tebal

yang memisahkan agama dari negara.2

Setelah mendengar kisah-kisah horor yang tak berkesudahan tentang perang

agama di Eropa—terutama Perang Agama di Prancis dan Perang Tiga Puluh Tahun

yang menewaskan lebih dari sepertiga penduduk Eropa— kita mungkin cenderung

meyakini mitos itu.

Mitos itu seolah menggambarkan agama dan politik bak bensin dan korek api.

Bukankah itu yang diajarkan sejarah kepada kita?

Tidak. Sejarah sebenarnya mengajarkan kita dua hal.

Pertama, seperti yang dikatakan William Cavanaugh dalam bukunya Myth of

Religious Violence, ketika kita melihat lebih dekat pada perang agama abad ke-16 dan

ke-17 di Eropa, kita menemukan bahwa konflik antara umat Katolik dan Protestan,

Protestan dengan Protestan lainnya, adalah motif sekunder dari tujuan aslinya, yaitu

1 http://www.samharris.org/site/full_text/the-reality-of-islam2 DiIndonesia,khalayakramaiacapkalimemahamibahwanegarainibukanlahnegarasekulerdanbukanpula

negaraagama, tetapinegarayangberdasarkanKetuhananYangMahaEsaataunegara religius.Narasi inimewarnaiberbagaiperdebatansosial-politikdanhukumdi Indonesia,mulaidariperdebatandasarnegarasampaikeabsahanhukumpenodaanagama.Sementaraitu,beberapapakarlebihterangmenyebutIndonesiasebagai negara sekuler, dengan kategorisasi yang khas dan apresiatif. Alfred Stepan dalam Rethinking Secularism,misalnya,melakukankategorisasiterhadapberagamjenissekularisme(multiple secularisms)dariberbagainegaradanmenempatkanIndonesiabersamaSenegaldanIndiadalammodelsekularismedenganperhormatanterhadapsemuaagama(respect to all),adanyakerjasamapositif(possitive cooperation)antaranegaradanagama,danupayapenghindarandiridaribiasmayoritarianisme(principled distance).

Page 8: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINAEdisi 7 / April 2019

8

negara-bangsa yang sedang muncul dan berbagai intrik politik dan dinasti yang

terjadi waktu itu. Sederhananya, penyebab utama dari perang ini adalah politik,

bukan agama.3

Bagaimana itu bisa terjadi?

Jika perbedaan agama adalah penyebab utama dari konflik berdarah ini, kata

Cavanaugh, maka kita akan berharap untuk menemukan bahwa mereka selalu

diperjuangkan di sepanjang garis denominasi yang rapi. Namun, yang justru kita

temukan adalah kaisar Katolik yang menyerang paus, raja-raja Prancis Katolik yang

menyerang kaisar Katolik, raja-raja Protestan dan para pangeran yang berpihak

pada raja-raja Katolik melawan para Protestan lainnya, Lutheran dan raja-raja

Katolik yang bersatu melawan kaisar-kaisar Katolik, para bangsawan Huguenot

Protestan4 dan para bangsawan Katolik di Perancis bersatu melawan rakyat jelata

Katolik dan Huguenot Protestan yang juga bersatu melawan para bangsawan,

bangsawan Protestan dan Katolik di Perancis bersatu melawan raja Katolik mereka,

Protestan menolak Uni Protestan (koalisi negara-negara Protestan Jerman), para

pangeran Lutheran mendukung hak-hak seorang kaisar Katolik, Katolik Prancis yang

mendukung para pangeran Protestan di Jerman, kaum Calvinis Belanda membantu

raja Katolik untuk menekan pemberontakan kaum Calvinis Prancis, seorang Lutheran

yang memimpin pasukan kekaisaran Katolik, dan tentara bayaran dari setiap garis

agama yang menjual diri mereka kepada penawar tertinggi, baik dari pihak Katolik

maupun Protestan.

Itu hanya gambaran singkat dari contoh-contoh yang diberikan oleh Cavanaugh.

Ia melakukan sebuah penelitian tentang apa yang disebut perang agama.

Hasilnya mengejutkan, karena apa yang selama ini disebut sebagai perang agama

ternyata bukanlah perang agama. Mereka adalah perang politik yang sama-sama

mengabaikan perbedaan agama ketika tujuan politik yang lebih penting menuntut

kerja sama dengan musuh agama atau bermusuhan melawan mereka yang memiliki

kepercayaan agama yang sama, dan menggunakan perbedaan agama ketika dianggap

bisa digunakan untuk melayani tujuan politik.

Itu pelajaran sejarah pertama.

Pelajaran kedua tak kalah penting, dan terkait dengan yang pertama. Seperti

yang dijelaskan oleh Cavanaugh, negara sekuler membutuhkan (dan masih

membutuhkan) orang untuk mempercayai cerita bahwa agama adalah penyebab

kekerasan. Mengapa? Karena kepercayaan ini memungkinkan terciptanya negara

sekuler yang sebenarnya. Negara sekuler adalah apa yang muncul ketika agama secara

paksa dihapus dari ruang publik melalui kekuasaan negara. Mitos kekerasan agama

membenarkan penghapusan agama dari ruang politik, dan melalui penghapusan

itulah negara mencapai sekularisasi.

Pada pertengahan abad ke-20, sekularisme telah menguasai kaum intelektual

dan, melalui pendidikan, telah membentuk pola pikir para sarjana hukum dan ahli

3 WilliamT.Cavanaugh,The Myth of Religious Violence: Secular Ideology and the Roots of Modern Conflict, New York, NY: Oxford University Press, 2009, h. 142-151

4 KaumHuguenotadalahorangKristenProtestan(Calvinisme)asalPrancispadaabadke-16hinggake-18.

Page 9: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINA Edisi 7 / April 2019

9

hukum. Mereka dibentuk oleh mitos Era Pencerahan bahwa kehadiran agama akan

memberikan dampak negatif yang, demi kemajuan manusia, perlu dihilangkan

demi tercapainya perdamaian. Untuk itu, digaungkan sebuah narasi, tentang

mengerikannya kekejaman akibat perang agama.

Negara sekuler lahir dari upaya aktif untuk memisahkan agama dari negara dan

peningkatan tembok yang memisahkan keduanya. Dalam sejarah, pemisahan aktif

ini, dan juga pembangunan tembok, telah melahirkan sebuah negara sekuler yang

belum pernah ada sebelumnya.

Kini, kita bisa menyaksikan hubungan antara pelajaran sejarah pertama dan

kedua. Jika gagasan bahwa agama adalah penyebab kekerasan terbukti sebagai

mitos, dan apa yang disebut sebagai perang agama pada hakikatnya adalah perang

yang dipicu oleh ambisi politik, maka tekanan untuk mempertebal tembok pemisah

antara agama dan negara pun akan runtuh.

Mitos kekerasan atas nama agama adalah gagasan sekuler yang menganggap

agama sebagai penyakit bagi umat manusia, karena ia mempunyai kecenderungan

untuk mempromosikan kekerasan. Agama dianggap cenderung mempromosikan

kekerasan dengan dalih ia rawan terhadap absolutisme, perpecahan, dan irasionalitas.

Untuk itu, dengan dalih demi tercapainya perdamaian, agama harus dipisahkan

dari ruang publik.

Hari ini, kita menerima begitu saja konsep nasionalisme dan sekulerisme,

sehingga sulit bagi kita untuk berpikir bahwa ia adalah konsep yang baru. Sebelum

zaman modern, tidak ada lembaga "sekuler" dan tidak ada negara "sekuler" dalam

arti yang selama ini umum dipahami. Kreasi baru ini membutuhkan pengembangan

pemahaman yang sama sekali berbeda tentang agama, yang unik bagi negara Barat

modern. Tidak ada budaya lain yang memiliki pengalaman yang sama dengan Barat.

Bahkan konsep tersebut, sebelum abad ke-18, tidak akan dapat dipahami oleh umat

Katolik Eropa sekalipun.

Spiritualitas tradisional tidak mendorong orang untuk mundur dari aktivitas

sosial dan politik.

Bagaimana Mitos Kekerasan Agama Diciptakan?Terkait dengan hubungan antara kekerasan dan agama, kita bisa simpulkan

bahwa perang di Eropa pada abad ke-16 dan 17 lah yang menjadi awal mula

diciptakannya “mitos kekerasan atas nama agama”.

Sebelum periode modern, agama bukanlah kegiatan yang terpisah, tertutup

rapat dari semua yang lain; melainkan, ia merasuki semua usaha manusia, termasuk

ekonomi, pembangunan negara, politik, dan perang.

Sebelum tahun 1700, mustahil bagi orang untuk memisahkan agama dengan

politik. Perang Salib tentu saja diilhami oleh semangat keagamaan, tetapi mereka

juga sangat politis: Paus Urbanus II membiarkan para pasukan Kristen kehilangan

wilayah di dunia Muslim untuk memperluas kekuatan gereja ke arah timur dan

Page 10: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINAEdisi 7 / April 2019

10

menciptakan monarki kepausan yang akan mengendalikan Kristen Eropa. Inkuisisi

Spanyol adalah upaya yang sangat cacat untuk mengamankan tatanan internal

Spanyol setelah perang saudara yang memecah belah, pada saat bangsa itu takut

akan serangan kekhilafahan Utsmani. Demikian pula, perang agama Eropa dan

perang tiga puluh tahun tentu saja diperparah oleh pertikaian sektarian Protestan

dan Katolik, tetapi kekerasan mereka merefleksikan kepedihan lahirnya negara-

bangsa modern.

Perang-perang Eropa inilah, pada abad ke-16 dan ke-17, yang membantu

menciptakan apa yang disebut "mitos kekerasan agama". Dikatakan bahwa orang-

orang Protestan dan Katolik begitu meradang oleh hasrat teologis Reformasi

sehingga mereka saling membantai dalam pertempuran tak berperikemanusiaan

yang menewaskan 35% penduduk Eropa Tengah.

Memang, tidak ada keraguan bahwa para pelaku konflik menganggap perang

ini sebagai perjuangan hidup dan mati atas nama agama. Namun, perang ini juga

merupakan konflik antara dua kelompok pembangun negara: para pangeran Jerman

dan raja-raja Eropa lainnya bertempur melawan Kaisar Romawi, Charles V, dan

ambisinya untuk mendirikan hegemoni trans-Eropa yang meniru kekhilafahan

Utsmani.

Jika perang agama semata-mata dimotivasi oleh kefanatikan agama, kita

seharusnya tidak berharap menemukan fakta bahwa umat Protestan dan Katolik

bertempur di pihak yang sama, namun pada kenyataannya mereka sering

melakukannya. Katolik Perancis berulang kali berperang melawan Habsburg Katolik,

yang secara teratur didukung oleh beberapa pangeran Protestan.

Dalam perang agama Perancis (1562-98) dan Perang Tiga Puluh Tahun, para

pasukan di masing-masing pihak sering melewati batas-batas agama, sehingga tidak

mungkin membicarakan populasi yang "Katolik" atau "Protestan". Perang ini bukan

"semua tentang agama" atau "semua tentang politik". Bukan pula masalah negara

hanya "menggunakan" agama untuk tujuan politik. Belum ada cara yang koheren

untuk memisahkan tujuan agama dari tujuan sosial dan politik.

Orang-orang berperang untuk berbagai visi masyarakat, tetapi mereka tidak

akan, dan tidak bisa, membedakan antara faktor-faktor keagamaan dan faktor lain

dalam konflik-konflik ini. Sampai abad ke-18, memisahkan keduanya sangat sulit,

jika bisa dikatakan tidak mungkin.

Perang agama di Eropa pada abad enam belas dan 17 seringkali digunakan untuk

memvalidasi eksistensi negara bangsa. Dari perspektif negara bangsa, penghapusan

agama dari ruang publik berhasil mengakhiri perang agama. Namun, menurut

Cavanaugh, asumsi yang selama ini berkembang bahwa pembangunan negara

bangsa berhasil menciptakan solusi bagi konflik agama adalah keliru secara historis.

Cavanaugh mendekonstruksi asumsi perang agama tersebut dengan melakukan

evaluasi sejarah konflik. Katolik membunuh Katolik lainnya, Protestan membunuh

Protestan lainnya, dan terkadang Katolik dan Protestan bekerjasama memerangi

musuh bersama yang juga berasal dari Katolik dan Protestan. Cavanaugh juga

memberikan contoh bagaimana para pendiri negara bangsa menggunakan perbedaan

Page 11: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINA Edisi 7 / April 2019

11

agama sebagai metode untuk menyerukan kekerasan. Jadi, gagasan bahwa para elit

negara bangsa membantu mengatasi masalah kekerasan agama tidaklah benar.

Bahkan, sejatinya mereka membantu menciptakan kekerasan untuk tujuan politik.

Pada akhir perang tiga puluh tahun, orang Eropa telah berjuang melawan bahaya

kekuasaan kekaisaran. Untuk selanjutnya, Eropa akan dibagi menjadi negara-negara

kecil, masing-masing mengklaim kekuasaan berdaulat di wilayahnya sendiri, masing-

masing didukung oleh tentara profesional dan diperintah oleh seorang pangeran

yang bercita-cita untuk memerintah secara absolut.

Konfigurasi kekuasaan politik yang baru mulai memaksa gereja memainkan

peran yang lebih rendah, suatu proses yang melibatkan realokasi otoritas dan sumber

daya, dari gereja kepada raja. Ketika kata "sekularisasi" diciptakan pada akhir abad

ke-16, kata itu awalnya merujuk pada "perpindahan kepemilikan barang dari milik

gereja kepada milik dunia". Kata “dunia” ini merujuk pada penguasa sekuler, dengan

memberinya kendali penuh atas masyarakat dan meletakkan kekuasaan absolut di

tangannya.

Ini adalah eksperimen yang sepenuhnya baru. Itu bukan masalah Barat

menemukan hukum alam; sebaliknya, sekularisasi adalah perkembangan yang tidak

pasti. Ia berakar di Eropa. Sebagian besar karena mencerminkan struktur kekuasaan

baru yang mendorong gereja keluar dari pemerintahan.

Perkembangan ini membutuhkan pemahaman baru tentang agama. Martin

Luther menyediakannya. Ia adalah orang Eropa pertama yang mengusulkan

pemisahan agama dan negara. Menurutnya, gereja tidak mampu mengelola seluruh

aspek kehidupan manusia sendirian. Karena itulah, menurut Luther, tugas utama

negara adalah mengendalikan perilaku manusia dengan kekuatan.

Bagi Luther, tugas utama negara adalah menahan secara paksa rakyatnya yang

jahat, "dengan cara yang sama seperti binatang buas buas terikat dengan rantai dan

tali". Negara yang berdaulat dan mandiri mencerminkan individu yang mandiri dan

berdaulat. Pandangan Luther tentang agama, sebagai pencarian yang pada dasarnya

subyektif dan pribadi di mana negara tidak memiliki hak yurisdiksi, pada akhirnya

menjadi dasar dari cita-cita negara modern.

Paradoksnya, bagi Luther, masyarakat sekuler tidak berarti perdamaian atau

demokratis. Tanggapan Luther terhadap perang kaum tani di Jerman pada tahun

1525, selama tahap-tahap awal perang agama, menunjukkan bahwa teori politik

sekuler tidak berarti perdamaian atau demokrasi. Para petani, yang menentang

kebijakan sentralisasi para pangeran Jerman—yang merampas hak-hak tradisional

mereka—tanpa ampun dibantai oleh negara.

Luther percaya, bahwa mereka, para petani, telah melakukan dosa utama, yaitu

mencampur agama dan politik: penderitaan adalah milik mereka, dan mereka

seharusnya memberikan pipi yang lain, dan menerima untuk kehilangan nyawa dan

harta benda mereka.

"Kerajaan duniawi," tegasnya, "tidak bisa ada tanpa ketidaksetaraan manusia.

Beberapa ada yang bebas, ada yang dipenjara, ada yang jadi penguasa, ada yang

Page 12: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINAEdisi 7 / April 2019

12

tunduk." Luther memerintahkan para pangeran, "Biarkan semua orang yang bisa

untuk memukul, membunuh, dan menikam, diam-diam atau terang-terangan,

mengingat bahwa tidak ada yang lebih beracun, menyakitkan, atau jahat selain

pemberontakan.”

Meski sudah banyak bukti yang membuktikan bahwa kekerasan tidak ada

hubungannya dengan agama, banyak yang secara membabibuta meyakini sebaliknya.

Bahkan teori politik kontemporer masih meyakini bahwa “fanatisme” adalah sifat

instrinsik agama, dan itu semua bisa dicegah melalui penciptaan negara sekuler yang

memisahkan agama dari politik.

Konsep agama sebagai ranah pribadi diciptakan dalam konteks perubahan sosial

yang terjadi di Eropa Barat pada periode sejarah tertentu. Ada konteks ruang dan

waktu yang harusnya diperhatikan. Namun anehnya, hari ini masih banyak yang

meyakini bahwa pemisahan agama dari negara adalah prasyarat perdamaian.

Hari ini, dunia diyakinkan untuk menerima sekularisme begitu saja, baik secara

spontan maupun melalui pengaruh misterius, evolusi hukum sosial yang tidak bisa

ditawar, yang pada puncaknya adalah anggapan bahwa demokrasi liberal modern

adalah pencapaian tertinggi umat manusia.

Sekularisme diperkenalkan kepada umat manusia, direncanakan secara

sistematis dan dikendalikan oleh kepentingan konkret mereka. Niat sejati mereka

sebenarnya adalah untuk memisahkan agama dari negara, dan tujuan akhir mereka

adalah untuk memberikan kebebasan pada negara untuk mengejar kepentingannya

dengan segala alat yang tersedia, termasuk hak mutlak untuk secara sewenang-

wenang menggunakan kekerasan.5

Munculnya Negara SekulerMenjelang akhir abad ke-17, para filsuf telah menyusun versi ideal cita-cita

sekuler yang lebih sopan. Bagi John Locke, “gereja itu sendiri adalah sesuatu yang

benar-benar terpisah dan berbeda dari persemakmuran. Batas-batas diantara kedua

belah pihak adalah tetap dan tidak bergerak."

Pemisahan agama dan politik, bagi Locke, dituliskan ke dalam sifat segala sesuatu.

Tetapi negara liberal adalah inovasi radikal, sama revolusionernya dengan ekonomi

pasar yang berkembang di Barat dan akan segera mengubah dunia. Karena hasrat

keras yang muncul, Locke bersikeras bahwa pemisahan "agama" dari pemerintah

adalah hal yang paling diperlukan untuk penciptaan masyarakat yang damai.

Tentu saja, sikap ini jauh dari toleransi. Konsep ini justru memberikan negara

seluruh instrumen yang diperlukan untuk mencapai tujuannya.

Dalam negara liberal yang diajukannya, hanya penganut Kristen Anglikan yang

diijinkan untuk menikmati kebebasan beragama. Locke bersikeras bahwa negara

liberal tidak bisa mentolerir baik umat Katolik maupun Muslim. Ia mengutuk mereka

sebagai sesuatu yang berbahaya.

5 Idem,h.33

Page 13: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINA Edisi 7 / April 2019

13

Locke adalah pembela utama teori hak asasi manusia, yang awalnya dipelopori

oleh kaum humanis Renaisans. Sekularisasi muncul pada saat Eropa mulai menjajah

Dunia Baru. Ia memberikan pengaruh besar pada cara Barat memandang mereka

yang telah dijajah, sebagaimana hari ini, dimana ideologi sekuler memandang

masyarakat Muslim yang dianggap tidak mampu memisahkan agama dari politik

sebagai perilaku cacat.

Namun, realita sering menunjukkan inkonsistensi. Bagi kaum humanis

Renaisans, tidak mungkin ada hak-hak alami bagi penduduk asli Dunia Baru. Mereka

dianggap layak dihukum karena gagal memenuhi norma-norma Eropa.

Teori liberalisme dan praktik sekularisasi sangat terkait dengan proses penjajahan.

Tidak hanya di Dunia Baru, namun juga di wilayah Afrika, Asia, Australia, dan Selandia

Baru. Kolonialisme yang dilakukan oleh Inggris, Belgia, Spanyol, Portugal, Belanda,

begitu juga Jerman dan Rusia seringkali berujung pada genosida dan pembantaian

penduduk lokal.

Pada abad ke-16, Alberico Gentili, seorang profesor hukum perdata di Oxford,

berpendapat bahwa tanah yang belum dieksploitasi secara pertanian adalah "kosong",

dan bahwa "penyitaan tempat kosong [seperti itu] adalah hal yang wajar dilakukan."

Locke setuju bahwa penduduk pribumi tidak memiliki hak untuk hidup, kebebasan,

atau properti. "Raja-raja" Amerika, menurutnya, tidak memiliki hak kepemilikan

yang sah atas wilayah mereka. Dia juga mendukung "kekuasaan absolut, sewenang-

wenang" dari tuan atas budaknya, termasuk "kekuatan untuk membunuhnya kapan

saja". Karena opini tersebut dan keuntungan besar yang didapat dari praktik tersebut,

perbudakan terus berlangsung di Amerika Serikat selama 90 tahun sejak deklarasi

kemerdekaannya.

Para pelopor sekularisme jatuh ke dalam kebiasaan lama yang sama sebagaimana

para pendahulu agama mereka. Sekularisme dirancang untuk menciptakan tatanan

dunia yang damai, tetapi agama begitu rumit terlibat dalam struktur ekonomi, politik

dan budaya masyarakat sehingga tatanan sekuler hanya dapat dibangun melalui

kekerasan.

Di Amerika Utara, di mana tidak ada pemerintahan aristokrat yang mengakar,

penghancuran berbagai gereja dapat dilakukan dengan relatif mudah. Tetapi di

Prancis, gereja hanya bisa dibongkar dengan serangan kekerasan. Pemisahan agama

dan politik pun terjadi sebagai pengalaman traumatis dan menakutkan.

Selama revolusi Perancis, salah satu tindakan pertama majelis nasional yang

baru didirikan pada tanggal 2 November 1789, adalah menyita semua properti gereja

untuk melunasi hutang nasional: sekularisasi melibatkan perampasan, penghinaan

dan marjinalisasi. Puncaknya, terjadi pembantaian pada September 1792, ketika

massa masuk ke penjara Paris, membantai dua hingga tiga ribu tahanan, kebanyakan

dari mereka adalah pendeta.

Pada awal 1794, empat tentara revolusioner dikirim dari Paris untuk memadamkan

pemberontakan di Vendée yang melawan kebijakan anti-Katolik yang dikeluarkan

oleh rezim. Instruksi mereka adalah untuk tidak menyayangi siapa pun. Pada akhir

kampanye, Jenderal François-Joseph Westermann dilaporkan menulis kepada

Page 14: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINAEdisi 7 / April 2019

14

atasannya: “Vendée tidak ada lagi. Saya telah menghancurkan anak-anak di bawah

kuku kuda kami, dan membantai para wanita ... Jalanan penuh dengan mayat.”

Ironisnya, tidak lama setelah kaum revolusioner membersihkan diri dari satu

agama, mereka malah menemukan agama yang lain. Tuhan-tuhan baru mereka

adalah kebebasan, alam, dan bangsa Prancis, yang mereka sembah dalam

festival rumit yang dikoreografi oleh seniman Jacques Louis David. Pada tahun

yang sama ketika dewa akal itu dinobatkan di altar tinggi katedral Notre Dame,

pemerintahan teror menjerumuskan bangsa baru ke dalam pertumpahan darah

yang tidak rasional, di mana sekitar 17.000 pria, wanita dan anak-anak dieksekusi

oleh negara.

Negara sekuler melakukan politiknya secara sangat agresif. Mereka

memperkenalkan secara paksa sekularisme pada masyarakat yang mereka jajah, yang

sebenarnya bertentangan dengan sistem nilai masyarakat lokal. Model masyarakat

tradisional dan sistem nilai masyarakat lokal serta hak asasi mereka diabaikan secara

total, bahkan di negara yang tradisi budayanya sudah berlangsung selama ribuan

tahun.

Praktik inilah yang merangsang arogansi penjajah Barat atas masyarakat kolonial

mereka. Sikap ini masih berlangsung hingga hari ini. Contoh nyata dari sikap ini

adalah anggapan bahwa masyarakat Muslim masih terbelakang dan inferior menurut

standar ideologi sekuler. Karenanya, Muslim dianggap layak untuk dihukum karena

tidak mau melepaskan keyakinan agama, tradisi budaya, dan sistem nilai mereka,

serta tidak mau mengadopsi model sekularisme yang dibawa oleh para penjajah

Barat.

Mati Demi Negara Seiring dengan perkembangan demokrasi liberal, negara sekuler

memproklamirkan status kesucian atas dirinya.

Pada awal abad ke-19, bersamaan dengan perang Napoleon, konsep negara

bangsa dipromosikan sebagai pengganti wakil Tuhan. Mengadopsi konsep agama

tentang loyalitas total kepada Tuhan, negara sekuler meminta warga negaranya

memberikan loyalitas total kepadanya. Loyalitas baru ini membawa kepada

keyakinan bahwa sudah menjadi tugas warga negara untuk mati demi negaranya.

Ketika pasukan Napoleon menginvasi Prusia pada tahun 1807, filsuf Johann

Gottlieb Fichte mendesak warga negaranya untuk menyerahkan nyawa mereka

kepada Tanah Air. Bangsa, yang disebut Benedict Anderson sebagai "komunitas

khayalan", telah datang untuk menggantikan Tuhan. Hari ini, mati demi negara

dianggap sebagai sesuatu yang mengagumkan, tetapi tidak untuk agama Anda.

Ketika negara bangsa semakin kokoh pada abad ke-19, bersamaan dengan

revolusi industri, warga negaranya harus terikat erat dan dimobilisasi untuk

industri. Komunikasi modern memungkinkan pemerintah untuk menciptakan dan

Page 15: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINA Edisi 7 / April 2019

15

menyebarkan etos kebangsaan, dan memungkinkan negara untuk masuk ke dalam

kehidupan warga mereka lebih dari yang pernah terjadi sebelumnya.

Bahkan jika mereka berbicara dengan bahasa yang berbeda dari penguasa

mereka, rakyat sekarang menjadi milik “bangsa,” baik mereka suka atau tidak. John

Stuart Mill menganggap integrasi paksa ini sebagai kemajuan.

Tetapi pada akhir abad ke-19, sejarawan Inggris Lord Acton khawatir bahwa

sanjungan yang berlebihan pada semangat nasionalisme yang menekankan pada

etnis, budaya dan bahasa, akan menghukum mereka yang tidak sesuai dengan

norma nasional: “Karena itu, sampai pada tingkatan kemanusiaan dan peradaban di

dalam tubuh dominan yang mengklaim semua hak komunitas, ras yang lebih rendah

dimusnahkan atau direduksi sebagai budak, atau dimasukkan ke dalam kondisi

ketergantungan."

Untuk memenuhi kebutuhannya, negara bangsa sekuler menyerukan kesetaraan

seluruh umat manusia. Daya tarik keuntungan yang begitu besar membuat mereka

rela berkompromi atas sifat inegalitarian yang secara instrinsik ada pada negara

bangsa sekuler.

Industri yang sedang berkembang semakin membutuhkan tenaga kerja. Semakin

banyak orang yang harus ditarik ke dalam proses produktif. Untuk itu, diperlukan

pendidikan untuk para pekerja, paling tidak pendidikan dasar. Pada akhirnya, mereka

akan menuntut hak untuk berpartisipasi dalam keputusan pemerintah.

Untuk pertama kalinya, praktik pemilu memberikan hak suara bagi para wanita.

Di sisi lain, muncul toleransi yang tidak diharapkan pada orang-orang Yahudi yang

sebelumnya didiskriminasi. Mereka dimasukkan dalam kehidupan sosial politik

Eropa Barat pada akhir abad ke-19.

Namun toleransi ini hanya setebal kulit ari. Ketika kebutuhan tersebut

bertentangan dengan aspirasi negara sekuler yang lebih tinggi, politik kesetaraan dan

toleransi digantikan dengan diskriminasi keras terhadap etnis dan budaya minoritas.

Dan seperti yang telah diprediksi Lord Acton, intoleransi terhadap etnis dan budaya

minoritas akan menjadi salah satu kelemahan utama negara-bangsa.

Etnis minoritas menjadi sebagai objek kebencian di negara-bangsa yang baru.

Thomas Jefferson, salah satu pendukung utama Pencerahan di Amerika Serikat,

menginstruksikan kepada menteri perangnya pada tahun 1807 bahwa penduduk asli

Amerika adalah “bangsa terbelakang” yang harus “dimusnahkan” atau diusir sejauh

mungkin, bersama dengan binatang buas hutan. Bahkan, hingga hari ini, keturunan

pribumi di Amerika Serikat secara resmi didefinisikan sebagai “anggota bangsa yang

kalah”, sinonim dengan “tawanan perang”.

Tahun berikutnya, Napoleon mengeluarkan "dekrit terkenal", yang menyangkal

hak beragama orang-orang Yahudi. Ia memerintahkan orang-orang Yahudi

Perancis untuk mengambil nama-nama Prancis, memprivatisasi iman mereka, dan

memastikan bahwa setidaknya satu dari tiga pernikahan per keluarga adalah dengan

kaum non-Yahudi.

Page 16: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINAEdisi 7 / April 2019

16

Perkembangan negara sekuler berdasarkan demokrasi liberal dilakukan dengan

kekuatan yang lebih brutal ketika sekularisasi dibawa ke daerah jajahan. Perlawanan

terbesar dilakukan di dunia Islam, dimana sistem kehidupan dan nilai-nilai agama

mengakar dengan sangat kuat. Sekularisme dianggap sebagai serangan terbuka

terhadap keyakinan agama mereka. Karena datang dari tangan pemerintah kolonial,

konsep ini dipandang sebagai impor dari penjajah, dan ditolak sebagai sesuatu yang

sangat tidak wajar.

Di sebagian besar wilayah di dunia di mana pemerintah sekuler didirikan dengan

tujuan memisahkan agama dan politik, sebuah gerakan kontra-budaya berkembang

sebagai perlawanan, bertekad untuk membawa agama kembali ke kehidupan publik.

Di dunia Islam, sekularisasi diperkenalkan melalui kekerasan, sehingga praktik ini

seringkali dianggap sebagai tindakan yang kejam dan invasif.

Apa yang kita sebut sebagai "fundamentalisme" selalu ada dalam hubungan

simbiotik dengan sekularisasi yang prosesnya dilakukan secara kejam, keras

dan invasif. Seringkali sekularisme yang agresif telah mendorong agama ke arah

kekerasan. Setiap gerakan fundamentalis, baik di dalam Yudaisme, Kristen, dan

Islam berakar pada ketakutan bahwa kaum liberal atau penguasa sekuler bertekad

untuk menghancurkan cara hidup mereka. Hal ini nampak terutama di dunia Islam.

Dan kekhawatiran tersebut, tragisnya, menjadi kenyataan hari ini.

Seringkali sekularisme wujud pada titik terburuknya, membuatnya tidak

enak bagi rakyatnya. Mustafa Kemal Ataturk, yang mendirikan republik sekuler

Turki pada tahun 1918, sering dikagumi di Barat sebagai pemimpin Muslim yang

tercerahkan, tetapi bagi banyak orang di Timur Tengah ia melambangkan kekejaman

nasionalisme sekuler. Dia membenci Islam, menggambarkannya sebagai "mayat

yang dibusukkan". Ia merepresi Muslim di Turki, merampas harta benda mereka,

dan menutup madrasah-madrasah. Dia juga menghapuskan lembaga kekhalifahan

yang dicintai umat Islam.

Ataturk juga melakukan kebijakan pembersihan etnis, dalam upaya untuk

mengendalikan kelas-kelas komersial yang meningkat. Ia secara sistematis

mendeportasi orang-orang Kristen berbahasa Armenia dan Yunani, yang terdiri

dari 90% kaum borjuis. Turki Muda, yang merebut kekuasaan pada tahun 1909,

mendukung positivisme anti-agama yang terkait dengan August Comte dan juga

bertekad untuk menciptakan negara Turki murni.

Selama perang dunia pertama, sekitar satu juta orang Armenia dibantai dalam

genosida pertama abad ke-20: pria dan pemuda terbunuh di tempat mereka berdiri,

sementara wanita, anak-anak dan orang tua didorong ke padang pasir di mana

mereka diperkosa, ditembak, kelaparan, diracun, mati lemas atau terbakar sampai

mati.

Terinspirasi oleh rasisme berbungkus ilmiah bernama nasionalisme, Mehmet

Resid, yang dikenal sebagai "gubernur eksekusi", menganggap orang-orang

Armenia sebagai "mikroba berbahaya" bagi tanah air Turki. Ataturk menyelesaikan

pembersihan rasial ini. Selama berabad-abad orang Muslim dan Kristen hidup

bersama di kedua sisi Aegean. Namun Ataturk mempartisi wilayah itu, mendeportasi

Page 17: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINA Edisi 7 / April 2019

17

orang-orang Kristen Yunani ke Yunani, sementara Muslim yang berbahasa Turki di

wilayah Yunani dikirim ke arah sebaliknya.

Penguasa sekuler seperti Ataturk seringkali menginginkan negara mereka

terlihat modern, yaitu seperti Eropa. Di Iran, pada tahun 1928, Reza Shah Pahlavi

mengeluarkan hukum keseragaman pakaian: tentaranya merobek kerudung wanita

dengan bayonet dan merobeknya menjadi berkeping-keping di jalan. Pada tahun

1935, polisi diperintahkan untuk menembaki kerumunan yang telah melakukan

demonstrasi damai terhadap undang-undang berpakaian tersebut, menewaskan

ratusan warga sipil yang tidak bersenjata.

Mengikuti contoh dari Perancis, penguasa Mesir melakukan sekularisasi dengan

melemahkan dan memiskinkan ulama. Modernisasi Mesir telah dimulai sejak

periode kekhilafahan Utsmani di bawah gubernur Muhammad Ali. Ia membuat

kebijakan yang secara sengaja membuat kelaparan para ulama secara finansial,

mengambil status bebas pajak mereka, menyita harta wakaf yang menjadi sumber

pendapatan utama mereka, dan secara sistematis merampok mereka dari segala

kekuasaan. Ketika Jamal Abdul Nasser berkuasa pada tahun 1952, ia mengubah taktik.

Ia menjadikan ulama sebagai pejabat negara. Selama berabad-abad sebelumnya,

para ulama berperan sebagai benteng perlindungan antara rakyat dan kekerasan

sistemik negara. Kini, orang Mesir membenci mereka karena sudah menjadi antek

pemerintah.

Dalam misi sekularisasi, yang terjadi sesungguhnya bukanlah pemisahan

agama dari politik, tapi perpindahan “kesucian” dari agama kepada negara, dalam

rangka membangun idealita mati dan membunuh demi negara. Kita tidak melihat

berhentinya kekerasan melalui sekularisasi, tapi yang terjadi adalah munculnya

kekerasan baru, bukan atas nama agama, tapi atas nama membela negara dan

kepentingannya. Jika memang kekerasan dan pengorbanan nyawa akan berhenti

dengan adanya sekularisme dan negara bangsa, tentunya kita tidak akan melihat

pembunuhan dan kekerasan di dunia ini, paling tidak di Barat sebagai penemu

sekularisme.

Perpindahan loyalitas dari agama kepada negara bukanlah akhir dari

pengorbanan diri di Eropa, tapi perpindahan menuju jenis pengorbanan baru: mati

demi negara—dan membunuh demi negara.6

Mati demi membela agama kini digantikan oleh mati dan membunuh demi

negara. Tak salah jika sebagian menganggap nasionalisme sebagai agama modern.

Dalam salah satu bukunya, Migrations of the Holy, William Cavanaugh

berpendapat bahwa banyak semangat yang semula diarahkan kepada agama kini

diarahkan kepada negara-bangsa di zaman modern. Cavanaugh menggambarkan

kultus kebangsaan ini sebagai bentuk “penyembahan berhala” yang hendaknya

ditentang. Carolyn Marvin, dalam artikelnya Religion and Realpolitik: Reflections on

Sacrifice, berpendapat bahwa suatu agama adalah komunitas orang-orang beriman

6 WilliamCavanaugh,Destroying the Church to Save It: Intra-Christian Persecution and the Modern State,dalamWitness of the Body: The Past, Present, and Future of Christian Martyrdom,dieditolehMichaelL.BuddeandKarenScott,125–50.GrandRapids,Mich.–Cambridge,UK.:WilliamB.EerdmansPublishingCompany,2011,h.126

Page 18: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINAEdisi 7 / April 2019

18

yang kadang-kadang rela mengorbankan diri demi kelompok. Dengan definisi ini, ia

memandang negara-bangsa modern sebagai komunitas agama, karena warga negara

menyatakan keinginan yang kuat untuk mati demi hal itu.

Marvin, sebagaimana Freud, Burkert, dan Girard, melihat pengorbanan adalah

inti dari ritual keagamaan. Ia juga melihat komunitas kebangsaan sebagai objek

penting dari pengabdian agama baru ini. Cavanaugh mengutip jajak pendapat

publik di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa kebanyakan orang lebih rela

mati untuk bangsanya daripada mati karena keyakinan agama mereka.

Kewarganegaraan tetap dihubungkan dengan simbol dan praktik semi ritual,

sebagian besar diantaranya baru diciptakan: bendera, gambar, upacara, dan lagu.

Benedict Anderson mengatakan bahwa dalam modernitas, negara menggantikan

agama sebagai institusi primer yang berhubungan dengan kematian. Negara

memberikan jenis baru pengorbanan: kematian tidak akan terasa sakit jika dilakukan

demi bangsa dan negara.7

Karena itu, Marvin menganggap “nasionalisme adalah agama paling kuat di

Amerika Serikat, dan mungkin di banyak negara”.8

Dalam sebuah negara bangsa, rakyat diminta berkorban untuk negaranya,

sebagaimana sebelumnya umat beragama berkorban untuk agamanya. Dan rakyat

pun menerima begitu saja doktrin ini, karena bagi mereka kematian demi bangsa

tidaklah menyakitkan. Halbertal menyatakan:

“Manusia tidak pernah menciptakan tempat pemujaan yang lebih besar dari

Molech9 dibandingkan negara. Rasa haus negara modern akan pengorbanan manusia

sungguh sangat tidak bisa dipuaskan.”10

Jadi, narasi yang mengatakan bahwa negara modern datang untuk menyelamatkan

kita dari fanatisme dengan menyingkirkan agama dari kekuasaan hanyalah omong

kosong belaka. Yang kita saksikan adalah perpindahan “kesucian”, dari agama

menuju negara, dan perpindahan pengorbanan, dari agama menuju negara.

Lebih dari sekadar pelajaran sejarah, hal ini memberikan alasan bagi kita untuk

skeptis terhadap cara Barat berinteraksi dengan non-Barat. Mereka mengklaim

bahwa perang mereka adalah misi perdamaian untuk menyebarkan demokrasi

liberal ke “negara terbelakang” seperti Irak dan Afghanistan. Yang terjadi adalah

membunuh dan terbunuh demi bendera negara yang berujung pada kekerasan yang

tidak pernah terjadi sebelumnya.

7 BenedictAnderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London:Verso,1991,h.9-12

8 CarolynMarvindanDavidW.Ingle,Blood Sacrifice and the Nation: Totem Rituals and the American Flags, Cambridge:CambridgeUniversityPress,1999,h.767

9 MolechadalahdewasembahanbangsaAmon.Merekamemujadewainidenganmengorbankananakkecilsebagaipersembahan.

10 MosheHalbertal,On Sacrifce,Princeton–Oxford:PrincetonUniversityPress,2012, h.105

Page 19: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINA Edisi 7 / April 2019

19

Apakah Kekerasan Selalu Identik Dengan Agama?Pemenang Nobel Conrad Lorenz melalui riset panjangnya membuktikan bahwa

akar dari kekerasan jauh lebih tua dibanding sejarah masyarakat yang terorganisir.

Ia menunjukkan fakta tak terbantahkan bahwa agresi, kekerasan, dan peperangan

selalu menjadi bagian dari keberadaan umat manusia, dan komponen kunci dalam

kehidupan politik.11

Namun, sejak era Pencerahan, banyak negarawan dan intelektual liberal yang

berpendapat bahwa konflik agama merupakan ancaman besar bagi perdamaian

dan bahwa satu-satunya cara untuk mencapai ketertiban masyarakat adalah dengan

memisahkan agama dari negara. Hanya dengan menyangkal kekuasaan bagi agama

dan menjadikan agama murni sebagai urusan pribadi, dunia dinilai akan aman dari

ancaman kekerasan. John Rawls, dalam bukunya, Political Liberalism, berpendapat

bahwa "perang agama" di Eropa awal era modern menunjukkan bahaya yang

ditimbulkan oleh agama terhadap tatanan politik. Untuk itu, ia mengusulkan

perlunya membangun fondasi sekuler bagi kehidupan politik. Hampir semua ahli

teori liberalisme modern, termasuk Judith Shklar, Ronald Dworkin dan Charles

Larmore, mengutip "perang agama" untuk membuktikan perlunya negara sekuler

modern.

Liberalisme modern dibangun atas dasar pandangan bahwa agama adalah

ancaman utama bagi harmoni dan kebebasan politik.

Dengan berakhirnya perang dingin dan munculnya konflik "agama" di Bosnia dan

di seluruh dunia Islam, kepercayaan bahwa agama adalah sumber utama kekerasan

menyebar secara dramatis. Banyak tokoh konservatif, seperti Samuel Huntington

dan Bernard Lewis, berpendapat bahwa agama, terutama Islam, menimbulkan

ancaman unik bagi perdamaian dunia. Mereka melihat konflik mendasar antara

Yahudi-Kristen dan peradaban Islam. dan konflik ini akan menjadi pusat konflik

selama bertahun-tahun yang akan datang.

Daripada mencoba menjawab pertanyaan mengapa agama begitu rentan

terhadap kekerasan, Cavanaugh mengajukan pertanyaan yang berbeda: mengapa

kita begitu rentan untuk percaya bahwa agama identik dengan kekerasan? Apa fungsi

ideologis dari keyakinan bahwa agama itu identik dengan kekerasan?

William Cavanaugh dalam bukunya The Myth of Religious Violence

mengidentifikasi tiga argumen utama yang digunakan untuk menjelaskan bahwa

agama adalah pelaku utama kekerasan: agama dikatakan bersifat absolutis, memecah

belah, dan non-rasional.

Pertama, agama digambarkan sebagai absolutis dalam arti bahwa agama

membuat klaim tentang sifat tertinggi dari nilai moral. Keyakinan agama bersifat

komprehensif dan dogmatis: mereka menawarkan pandangan dunia yang kuat

kepada orang yang percaya. Kedua, agama sering digambarkan sebagai pemecah-

belah yang unik dalam arti bahwa identitas keagamaan didasarkan pada perbedaan

yang sangat kuat antara “kita” dan “mereka”. Banyak agama mengaku tidak toleran

11 Ednan Aslan & Marcia Hermansen (eds), Religion and Violence: Muslim and Christian Theological and Pedagogical Reflections,Wiesbaden:SpringerVS,2017,h.32

Page 20: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINAEdisi 7 / April 2019

20

terhadap agama lain. Ketiga, agama sering digambarkan secara fundamental tidak

rasional. Umat beragama cenderung rentan terhadap kekerasan karena kepercayaan

mereka sering membuat mereka mudah bersemangat, marah, dan fanatik.

Apakah agama memang secara unik identik dengan kekerasan? Pada tingkat

konseptual, sebagian besar penulis yang berpendapat bahwa agama bersifat absolut,

memecah-belah, dan non-rasional juga mengakui bahwa ideologi sekuler, seperti

fasisme, nasionalisme, dan komunisme, juga bersifat absolut, memecah-belah, dan

tidak rasional. Jadi, sifat absolut, memecah belah, dan non-rasional tidak hanya ada

dalam agama, namun juga keyakinan sekular.

Buktinya?

Ideologi sekuler abad kedua puluh menyebabkan lebih banyak pembunuhan

daripada gabungan semua kekerasan agama dalam sejarah dunia. Benjamin

Valentino telah mempelajari semua perang pada abad ke-20 dan mengajukan

pertanyaan: "Apakah perang antar negara dengan agama yang berbeda lebih

mematikan daripada perang antara negara dengan agama yang sama?" Jika agama

cenderung memperburuk kekerasan, maka kita berharap perang yang melibatkan

agama yang berbeda lebih mematikan. Tapi bukan itu yang kita temukan.12

Charless Kimball dalam bukunya When Religion Becomes Evil mengidentifikasi

lima “tanda peringatan” ketika agama condong pada kekerasan. Menurut Kimball,

agama berpotensi mengarah pada kekerasan jika terlihat tanda-tanda sebagai

berikut: klaim kebenaran absolut, ketaatan buta, pembangunan masa “ideal”,

keyakinan bahwa tujuan menghalalkan cara, dan deklarasi perang suci.

Apa yang terjadi jika kita gunakan tanda yang diberikan oleh Kimball untuk

menguji sifat kekerasan yang ada pada nasionalisme?

Pertama, tentang kebenaran absolut. Di Abad ke-21, saat George W. Bush

mendeklarasikan Perang Melawan Terorisme sebagai turunan dari konflik antara

Kristen melawan Islam, ia juga membuat dualisme “good nations”, yang dipimpin

oleh Amerika, melawan “kekuatan kejahatan”. “Kalian harus bekerjasama dengan

kekuatan kebaikan dan membantu menyingkirkan kekuatan kejahatan, atau jika

tidak, akan dianggap sebagai musuh dalam perang melawan terorisme.”13

Bukankah klaim kebaikan universal yang selama ini dilakukan oleh demokrasi

liberal tersebut sama dengan klaim kebenaran mutlak?

Kedua, ketaatan buta. Ketaatan dilembagakan secara kaku bagi mereka

yang tugasnya melakukan kekerasan atas nama negara-bangsa. Dalam angkatan

bersenjata, misalnya, tidak ada ijin bagi keberatan hati nurani selektif, yaitu, prajurit

memutuskan berdasarkan hati nurani bahwa perang tertentu tidaklah benar. Setelah

dilantik, prajurit itu harus berperang dalam perang apa pun yang dianggap perlu

oleh atasannya, dan prajurit itu harus bertarung sesuai dengan perintahnya. Apakah

ini bukan ketaatan buta untuk melayani kekerasan?

12 BenjaminValentino,etal.,Covenants Without the Sword: International Law and the Protection of Civilians in Times of War,WorldPolitics,vol.58,no.3(April2006).

13 CharlesKimball,When Religion Becomes Evil,SanFrancisco,CA:HarperSanFrancisco,2002,h.36

Page 21: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINA Edisi 7 / April 2019

21

Ketiga, pembangunan masa “ideal”. Pembangunan masa ideal secara luas

terdefinisikan dalam “akhir dari sejarah”-nya Fukuyama atau dalam pernyataan

“membuat dunia aman bagi demokrasi”.

Keempat, tujuan menghalalkan cara. Sejarah perang modern antara negara

bangsa menjadi bukti bahwa tujuan menghalalkan cara. Mulai dari pembantaian

sipil di Hiroshima hingga praktik penyiksaan yang dilakukan oleh lebih dari sepertiga

negara bangsa di dunia ini, termasuk negara yang mengaku demokratis.

Kelima, deklarasi perang suci. Perang antara kebaikan dan kejahatan yang

diyakini Bush di bawah komando Amerika masuk dalam kriteria ini.

Jadi, nasionalisme sekuler mencentang semua tanda kecenderungan pada

kekerasan yang yang dibuat oleh Kimball.

Dengan demikian, baik secara konseptual maupun secara empiris, tidak

ada sesuatu yang unik tentang penyebab kekerasan. Banyak dari mereka yang

memperdebatkan sifat kekerasan agama mengakomodasi fakta-fakta ini dengan

menggambarkan fasisme, nasionalisme, komunisme, dan kapitalisme sebagai jenis

agama.

Cavanaugh dalam penelitiannya tentang konsep agama menemukan bahwa:

1. Gagasan kita tentang agama sebagai genus yang spesiesnya adalah Islam, Kristen,

Yahudi, Hindu, dll. adalah gagasan Eropa modern yang muncul hanya setelah

abad ke-17.

2. Deskripsi Shintoisme, Budha, Hindu, Konfusianisme, Animisme, dll sebagai

"agama" dipaksakan oleh kekuatan kolonial Eropa atas keberatan dari orang-

orang yang dijajah, yang sering menyangkal bahwa praktik budaya mereka adalah

"agama." Gagasan bahwa budaya non-Barat harus memiliki sesuatu yang sesuai

dengan gagasan Barat tentang "agama" hanyalah fiksi imperialis mereka.

3. Jika ideologi sekuler terbukti memunculkan kekerasan yang sama sebagaimana

yang dituduhkan atas ideologi agama, dan jika gagasan tentang apa itu agama

dan apa yang bukan agama sangat tidak jelas, maka bagaimana kita bisa

menjelaskan keyakinan yang meluas bahwa agama sangat identik dengan

kekerasan? Cavanaugh menjelaskan bahwa dengan menyalahkan agama sebagai

pelaku utama kekerasan, kita dengan mudah mengabaikan sumber kekerasan

lainnya.

Cavanaugh memberikan ilustrasi mengenai hal ini dari sejarawan Martin Marty

yang, dalam Politics, Religion, and the Common Good, menggambarkan bagaimana,

selama tahun 1940-an, anggota Saksi Jehova di Amerika Serikat dikebiri, dipukuli, dan

dipenjara tanpa dakwaan. Mengapa? Karena mereka menolak memberi hormat pada

bendera Amerika. Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kekerasan ini? Di sini kita

melihat fungsi mitos kekerasan agama: untuk mengalihkan perhatian dari kekerasan

patriotik, imperialis, ideologis, dan jenis kekerasan sekuler lainnya.

Ahli teori politik Ronald Weed dalam artikelnya Putting Religion First? Diagnosing

Division and Conflict in the Religious Violence Thesis, membahas bentuk kuat dari

tesis kekerasan agama. Hampir setiap orang setuju bahwa perbedaan agama dapat

Page 22: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINAEdisi 7 / April 2019

22

menjadi sumber perpecahan dan konflik. Namun, pertanyaannya adalah apakah

perbedaan agama adalah satu-satunya hal yang bersifat memecah-belah dan rawan

berujung pada konflik kekerasan?

Weed menunjukkan bahwa bahwa perpecahan terdalam di sebagian besar

masyarakat politik berasal dari sumber selain agama. Sebagian berpendapat bahwa

konflik politik bermula dari distribusi kekayaan, kehormatan, dan jabatan yang tidak

merata di setiap masyarakat. Ketika konflik ini berubah menjadi konflik kelas, kita

bisa melihat potensi kekerasan yang sangat berbahaya. Sebagian lain berpendapat

bahwa akar dari konflik adalah egoisme psikologis yang mendalam.

Karenanya, Weed menunjukkan bahwa ada sumber konflik sosial yang mungkin

lebih mendasar daripada agama dan, bahkan kalaupun terjadi konflik agama,

mungkin lebih didorong oleh persaingan untuk mendapatkan status dan oleh

kesombongan manusia.

Bagian dari mitos yang diciptakan oleh liberalisme modern adalah bahwa

"perang agama" di awal era modern mengancam akan menghancurkan kehidupan

politik sampai liberalisme menjinakkan agama dengan memisahkan agama dari

negara.

Cavanaugh menunjukkan dalam bukunya, bahwa banyak sejarawan berpendapat

bahwa "perang agama" di Eropa yang menjadi dalil diperlukannya negara sekuler,

tidak benar-benar tentang agama, tetapi tentang pembangunan negara, nasionalisme,

dan ekonomi.

Jika perang agama di Eropa waktu itu adalah tentang agama, kata Cavanaugh,

maka kita akan berharap untuk melihat umat Katolik secara konsisten memerangi

orang Protestan. Namun, ia mencatat, umat Katolik sering membentuk aliansi

dengan Protestan untuk memerangi umat Katolik lainnya.

Cavanaugh menantang beberapa asumsi utama dalam liberalisme sekuler

modern tentang ancaman yang diduga ditimbulkan oleh agama terhadap perdamaian

dan harmoni di masyarakat.

Asumsi-asumsi ini sebagian besar merupakan dasar bagi pemisahan agama dan

negara pasca era Pencerahan. Dengan memprivatisasi agama, negara-negara liberal

modern mengklaim membuat dunia aman dari kekerasan agama. Negara bangsa

selanjutnya akan menjadi penjaga dari semangat keagamaan.

Tapi, kata Cavanaugh, siapa yang akan melindungi kita dari para penjaga baru

ini?

Kekerasan SekularismeGagasan bahwa agama secara inheren cenderung pada kekerasan kini seolah

menjadi gagasan yang diterima begitu saja. Seringkali kita jumpai, agama digambarkan

kejam dan agresif. Agama digambarkan sebagai penyebab semua perang besar dalam

sejarah umat manusia. Padahal, dua perang dunia yang menewaskan puluhan juta

Page 23: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINA Edisi 7 / April 2019

23

manusia tidak dilakukan atas nama agama. Namun, bawah sadar dunia tidak pernah

melihat itu. Kekerasan selalu saja ditempelkan pada agama.

Tabel 1. Korban Jiwa dalam Konflik Abad ke-16 hingga Abad ke-20

Pemisahan agama dari kehidupan politik digunakan untuk melayani tujuan yang

lebih gelap. Ia tidak hanya memberikan pondasi bagi berdirinya negara bangsa yang

terpisah dari agama, namun juga memberi topeng bagi kekerasan yang dilakukan

oleh negara bangsa.

Saat agama sudah digambarkan rentan terhadap kekerasan, maka kekerasan

apapun yang dilakukan oleh negara bangsa dengan mudah dijustifikasi sebagai

sebuah tindakan yang diperlukan untuk melindungi rakyat. Saat sebuah negara diberi

sanksi karena melakukan kekerasan, sanksi tersebut diberikan karena kekerasan

yang dilakukannya, bukan karena karakter yang melekat pada negara tersebut.

Kontroversial? Mungkin. Tapi, mari kita tengok sejarah.

Dengan menempatkan agama di ruang privat, kita menutup mata dari realita

yang lebih dalam bahwa negara bangsa telah menjadi agama baru—sebuah cara

hidup total yang kehidupan manusia sehari-hari ditata dengannya. Baik dalam

bentuk nasionalisme, kapitalisme, Marxisme, liberalisme, atau serangkaian ideologi

dan institusi sekuler lainnya. Berhala baru ini tak segan menggunakan kekerasan

secara kejam untuk mengejar tujuannya.

Agama apa yang kita anut? Kekerasan yang mana yang kita dukung?

Ada satu pelajaran sederhana dari semua hal di atas, hati-hati dengan mitos

yang kita yakini. Belajarlah membaca tanda-tanda zaman, tanyakanlah pertanyaan

sederhana: siapa yang mendapat keuntungan dari ini atau itu?

Karen Armstrong dalam bukunya berjudul "Fields of Blood" menuliskan

bahwa kekerasan sejak awal tertanam dalam sifat struktural negara-bangsa melalui

persaingan untuk sumber daya, ekspansi ekonomi, pemeliharaan ketertiban internal,

dan perlindungan perbatasan. Mengutip sejarawan Inggris, Perry Anderson, ia

menulis, “Perang mungkin merupakan mode tunggal ekspansi ekonomi yang paling

rasional dan cepat. . . tersedia untuk kelas penguasa tertentu."

Page 24: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINAEdisi 7 / April 2019

24

Konflik-konflik yang dicap religius sering kali merupakan pergulatan politik untuk

kekuasaan dan wilayah tetapi diberi patina suci ketika para penguasa membenarkan

agresi mereka sebagai sebuah misi dari Tuhan. Armstrong berkomentar bahwa

pembuangan agama dari politik mungkin telah menciptakan negara sekuler tetapi

bukan negara yang bebas dari kekerasan.14

Pertimbangkan misalnya konflik seputar nasionalisme yang mendasari Perang

Dunia I, yang merenggut nyawa 15 juta orang,15 atau fasisme yang terlibat dalam

Perang Dunia II, yang merenggut nyawa sekitar 60-80 juta orang.16 Revolusi Perancis,

yang sering dikatakan berakar pada prinsip-prinsip liberalisme dan Pencerahan,

mencapai puncaknya dengan pemenggalan kepada empat puluh ribu orang!

Dengan ukuran statistik apa seseorang berpendapat bahwa ideologi agama

membawa potensi perang yang lebih besar daripada ideologi lainnya?

KesimpulanDunia, terutama umat Islam, seringkali menyaksikan upaya sekularisasi yang

sangat mematikan. Banyak yang menganggap pengabdian Barat pada pemisahan

agama dan politik tidak sesuai dengan cita-cita ideal Barat itu sendiri, seperti

demokrasi dan kebebasan.

Pada tahun 1992, kudeta militer di Aljazair menggulingkan seorang presiden yang

terpilih secara demokratis. Mereka memenjarakan para pemimpin Islamic Salvation

Front (FIS), yang memenangkan mayoritas suara. Kegagalan pemerintahan Islam

untuk diterapkan di Aljazair disambut dengan riang gembira di beberapa kantor

pusat media Barat. Di sini paradoks tercipta, sebuah tindakan tidak demokratis yang

dilakukan untuk melindungi demokrasi.

Dengan cara yang hampir sama, kelegaan serupa terdengar di Barat ketika

Ikhwanul Muslimin digulingkan dari kekuasaan di Mesir tahun 2013 silam.

Sejarah menunjukkan, sekularisme tidaklah universal. Ia muncul sebagai fitur

khusus dan unik dari proses sejarah di Eropa.

Pada praktiknya, sekulerisme digunakan bukanlah untuk memastikan

tercapainya perdamaian atau untuk mencapai kemajuan, tapi sekulerisme sejatinya

digunakan untuk mempertahankan hegemoni Barat. Sekularisme bukan lagi tentang

pemisahan agama dari politik, tapi untuk mendepolitisasi Muslim. Meski dengan

kekerasan sekalipun. Muslim yang melakukan politik dianggap bukan Muslim sejati.

Karena berpolitik diartikan sebagai menjadi modern, yang juga berarti menjadi

manusia tanpa sejarah.

Islam, sebagai agama yang tidak hanya mengatur persoalan pribadi namun juga

sosial, pada akhirnya menjadi hambatan terbesar bagi sekulerisme dan modernitas

itu sendiri. Pergeseran dari Barat menuju Islam pun akan meruntuhkan klaim

universalitas sekularisme.

14 https://www.vision.org/book-review-history-of-violence-and-religion-476915 JasonTurner,World War I: 1914–1918 (Wars Day by Day)16 http://necrometrics.com/20c5m.htm

Page 25: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINA Edisi 7 / April 2019

25

Mundurnya agama dari ranah publik dalam sejarah Islam seringkali justru

berhubungan dengan runtuhnya perdamaian di masyarakat. Tatanan sekuler yang

di Turki yang banyak dipuji, contohnya, dipaksakan dari atas ke bawah, terhadap

masyarakat yang sudah letih dengan perang. Sekularisme Turki bukanlah atas

kehendak rakyat Turki, tapi merupakan proyek Westernisasi yang otoriter yang

dilakukan oleh kaum Kemalis. Sekularisme dalam konteks masyarakat Islam

seringkali bermakna deislamisasi, dan dalam kebanyakan kasus justru dipaksakan

oleh para kolonial, rezim komunis atau Kemalis. Proyek tersebut pun bukannya

mengurangi tapi justru meningkatkan konflik sosial.

Secara empirik, skala dan intensitas kekerasan di negara Muslim yang dikuasai

oleh rezim sekuler justru menunjukkan bahwa sekulerisme tidak otomatis

berhubungan dengan terciptanya perdamaian masyarakat.

Klaim bahwa agama rentan terhadap kekerasan, pada praktiknya, menjadi

justrifikasi ideologis bagi dilakukannya kekerasan atas nama tatanan sekuler. Ia

menjadi bahan baku utama untuk menguatkan loyalitas masyarakat kepada negara

bangsa dan melegitimasi kekerasan yang dilakukan negara.

Mereka yang mengucilkan agama sebenarnya takut akan kebangkitan agama.

Mereka mengecam agama, dengan deklarasi bahwa agama bertanggungjawab atas

banyak kekerasan saat ini.

Dalam misi sekularisasi, yang terjadi sesungguhnya bukanlah pemisahan

agama dari politik, tapi perpindahan “kesucian” dari agama kepada negara, dalam

rangka membangun idealita mati dan membunuh demi negara. Kita tidak melihat

berhentinya kekerasan melalui sekularisasi, tapi yang terjadi adalah munculnya

kekerasan baru, bukan atas nama agama, tapi atas nama membela negara dan

kepentingannya.

Perpindahan loyalitas dari agama kepada negara bukanlah akhir dari

pengorbanan diri di Eropa, tapi perpindahan menuju jenis pengorbanan baru: mati

demi negara—dan membunuh demi negara.

Mati demi membela agama kini digantikan oleh mati dan membunuh demi

negara. Tak salah jika sebagian menganggap nasionalisme sebagai agama modern.

Page 26: K. Mustarom - syamina.org Edisi 7 April 2019.pdfMunculnya Negara Sekuler — 12 ... besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, ... Di kampus-kampus, teori sekularisme

SYAMINAEdisi 7 / April 2019

26

DAFTAR PUSTAKAArmstrong, K (2000) The battle for god: Fundamentalism in Judaism, Christianity and

Islam. New York: Knopf/Harper Collins

Armstrong, K (2014) Fields of blood: Religion and the history of violence. London:

Bodley Head

Asad, T (2003) Formations of the secular: Christianity, Islam, modernity Stanford:

Stanford University Press

Cavanaugh, William T (2009) The myth of religious violence: Secular ideology and the

roots of modern confict New York: Oxford University Press

Ednan Aslan & Marcia Hermansen (2017), Religion and Violence: Muslim and

Christian Theological and Pedagogical Reflections, Wiesbaden: Springer VS