JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS...
Transcript of JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS...
PENGELOLAAN HARTA WARIS ANAK OLEH WALINYA
(Studi Kasus Di Dusun Ngepos Desa Tingkir Tengah
Kecamatan Tingkir Kota Salatiga )
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Disusun Oleh :
MUHAMMAD MUSLIKHIN
NIM 21111029
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
i
PENGELOLAAN HARTA WARIS ANAK OLEH WALINYA
(Studi Kasus Di Dusun Ngepos Desa Tingkir Tengah
Kecamatan Tingkir Kota Salatiga )
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Disusun Oleh :
MUHAMMAD MUSLIKHIN
NIM 21111029
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
ii
Drs. Badwan, M.Ag.
Dosen IAIN Salatiga
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
KepadaYth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka
naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Muhammad Muslikhin
NIM : 21111029
Judul : PENGELOLAAN HARTA WARIS ANAK OLEH
WALINYA (Studi Kasus Di Dusun Ngepos Desa Tingkir
Tengah Kecamatan Tingkir Kota Salatiga )
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk ditujukan dalam
sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan
sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, Maret 2018
Pembimbing,
Drs. Badwan, M.Ag
NIP. 195612021980031005
KEMENTRIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH Jl. Nakula Sadewa V No.9 Telp: (0298) 323433 Fax 323433 Salatiga 50722
Website: http://syariah.iaiansalatiga.ac.id/ Email:
iii
SKRIPSI
PENGELOLAAN HARTA WARIS ANAK OLEH WALINYA
(Studi Kasus Di Dusun Ngepos Desa Tingkir Tengah
Kecamatan Tingkir Kota Salatiga )
DI SUSUN OLEH :
MUHAMMAD MUSLIKHIN
NIM 21111029
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari‟ah,
Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga pada tanggal 22
Maret 2018 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H.).
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Dr. Ilyya Muhsin, M.Si.
Sekretaris Penguji : Drs. H. Badwan, M. Ag.
Penguji I : H. M. Yusuf Khummaini, M.H.
Penguji II : Evi Ariyani, M. H.
KEMENTRIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH Jl. Nakula Sadewa V No.9 Telp: (0298) 323433 Fax 323433 Salatiga 50722
Website: http://syariah.iaiansalatiga.ac.id/ Email:
Salatiga, 28 Maret 2018
Dekan
Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Dr. Siti Zumrotun, M. Ag.
NIP. 196701151998032002
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Muhammad Muslikhin
NIM : 21111029
Fakultas : Syariah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang
lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik
ilmiah.
Salatiga, 18 Maret 2018
Yang menyatakan
Muhammad Muslikhin
NIM 21111029
KEMENTRIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH Jl. Nakula Sadewa V No.9 Telp: (0298) 323433 Fax 323433 Salatiga 50722
Website: http://syariah.iaiansalatiga.ac.id/ Email:
v
MOTTO
boleh Jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal
ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui. (al Baqarah: 216)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Ibunda tercinta, yang senantiasa mendo‟akan dan memberikan
dukungan.
Ayah yang telah berpulang kepada-Nya, semoga tulisan ini
bermanfaat sehingga termasuk salah satu amal jariyah beliau.
Seluruh keluarga besarku yang selalu mendukung, mendo'akan
dan memberikan segalanya, baik moral maupun spritual bagi
kelancaran studi, semoga Allah senantiasa meridhoinya.
Dosen pembimbing, bapak Drs. Badwan. M.Ag. atas arahan dan
kesabaran beliau sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Seluruh dosen IAIN Salatiga yang telah menularkan ilmunya,
semoga bermanfaat kususnya untuk pribadi saya, umumnya
kepada masyarakat.
Seluruh rekan-rekan mahasiswa yang memberi bantuaan dari
awal perkuliahan, semoga menjadi teman fi dunya hattal akhiat.
Dan seluruh pihak yang tidak dapat saya sebut satu demi satu.
vii
ABSTRAK
Musikhin, Muhammad. 2018. PENGELOLAAN HARTA WARIS ANAK
OLEH WALINYA (studi kasus Di Desa Tingkir Tengah
Kecamatan Tingkir Kota Salatiga). Proposal Skripsi, Fakultas
Syariah. Jurusan Ahwal As-syakhsiyyah IAIN Salatiga. Pembimbing
Drs. Badwan, M. Ag.
Kata Kunci: pengelolaan, harta waris, wali
Harta waris merupakan hak bagi ahli warisnya tanpa adanya batasan usia
bagi ahli waris. Harta anak yang diperoleh sebab mewaris adalah milik anak
tersebut sepenuhnya, tetapi karena belum mampunya anak tersebut mengelola
maka disitulah peran seorang wali untuk menjaganya. Berangkat dari hal tersebut
penulis melakukan study kasus di Dusun Ngepos, Desa Tingkir Tengah dengan
dua fokus masalah. Pertama, bagaimana praktik pembagian harta waris di Dusun
Ngepos? Kedua, bagaimana pengelolaan harta waris yang diperoleh anak oleh
walinya?
Melalui penelitian kualitatif penulis berusaha untuk mengungkap fokus
permasalahan diatas. Dengan metode tersebut penulis langsung melakukan
observasi lapangan untuk melihat secara langsung praktik pengelolaan harta waris
anak oleh walinya. Selain itu, untuk menambah data, penulis juga melakukan
wawancara kepada berbagai narasumber yang diperlukan untuk mengetahui
bagaimana pengelolaan harta waris yang dimaksudkan dalam syariat Islam.
Kemudian untuk menguji hasil temuan data tersebut, maka penulis mengadakan
analisis data dengan menggunakan kerangka teoritik yang dibuat oleh penulis.
Hasil penelitan yang bisa diambil antara lain; pembagian harta waris
diselesaikan dengan dua cara yaitu berdasar Islam, dalam hal ini diselesaikan
secara kekeluargaan dan diselesaikan melalui pengadialan agama dan berdasar
rasa keadilan menurut mereka. Untuk perwalian, penunjukan wali atas
kesepakatan keluarga besar. Harta waris dikelola secara mandiri sehingga hasilnya
kurang maksimal tanpa mengurangi harta anak tersebut. Dikarenakan sulitnya
memisah antar harta pribadi dengan harta anak, wali mencampuradukkan
keduanya sehingga wali turut menikmati hasil dari pengelolaan harta anak. Harta
diserahkan kepada anak setelah anak tersebut berusia 21 tahun atau sudah
menikah.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirahiim
Alhamdulillahi robbil‟alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq serta inayah-Nya yang tiada
terhingga sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan judul “Pengelolaan
Harta Waris Anak Oleh Walinya (Studi Kasus Di Desa Tingkir Tengah
Kecamatan Tingkir Kota Salatiga)”.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta para pengikutnya yang
setia, beliaulah utusan Allah di bumi ini untuk membimbing umat manusia dari
zaman jahiliyah sampai pada zaman modern sekarang ini.
Alhamdulillah berkat kerja keras penulis skripsi ini dapat terselesaikan
tanpa ada halangan. Tentunya dalam penulisan ini tidak akan terselesaikan dengan
sempurna tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu
penulis. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada Bapak Drs. Badwan, M.Ag. selaku dosen pembimbing, serta
pada seluruh keluarga besar IAIN Salatiga, kepada bapak rektor, ibu dekan,
bapak-ibu dosen, karyawan hingga teman-teman mahasisiwa yang selalu
memberikan semangat kepada penulis. Selain itu penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada kepada masyarakat Dusun Ngepos khususnya dan masyarakat
Desa Tingkir Tengah Umumnya yang telah membantu penulisan skripsi ini. Tidak
lupa kepada keluarga penulis ayah, ibu, kakak, adik yang selalu mengasuh,
mendidik, membimbing, memotivasi serta selalu mendoakan penulis.
Penulisan skripsi ini pastinya masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat
membangun dan dapat memperbaiki penulisan skripsi di masa mendatang. Akhirul
kalam, semoga hasil penulisan ini bagi penulis khususnya serta bagi para pembaca
pada umumnya. Amin ya Robbal Alamin.
Salatiga, 18 Maret 2018
Muhammad Muslikhin
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
MOTTO............................................................................................................ vii
PERSEMBAHAN ........................................................................................... viii
ABSTRAK ....................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 5
D. Kegunaan Penelitian ........................................................... 6
E. Penegasan Istilah.................................................................. 6
F. Telaah Pustaka ..................................................................... 8
x
G. Metode Penelitian ................................................................ 9
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan ................................... 9
2. Kehadiran Peneliti ........................................................ 10
3. Lokasi Penelitian .......................................................... 10
4. Sumber Data ................................................................. 10
5. Prosedur Pengumpulan Data ........................................ 10
6. Metode Analisis Data ................................................... 12
7. Pengecekan Keabsahan Data ........................................ 13
8. Tahap-Tahap Penelitian ................................................ 13
H. Sistematika Penulisan .......................................................... 14
BAB II LANDASAN TEORI
A. Waris .................................................................................... 16
1. Pengertian Waris ........................................................... 16
2. Ahli Waris dan Bagiannya ............................................ 17
B. Perwalian ............................................................................ 22
1. Pengertian Perwalian .................................................... 22
2. Dasar dan Hukum Perwalian ........................................ 25
3. Kewajiban dan Kewenangan Wali ............................... 31
4. Syarat-Syarat Menjadi Wali ......................................... 38
5. Dimulai dan Berakhirnya Perwalian ............................. 39
6. Pengelolaan Harta waris Anak...................................... 42
xi
BAB III PEMBAGIAN WARIS
A. Gambaran Umum Dusun Ngepos, Desa Tingkir Tengah,
Kecamatan Tngkir, Kota Salatiga ........................................... 51
1. Letak Georafis .............................................................. 51
2. Batas Wilayah ............................................................... 52
3. Keadaan Demografi ...................................................... 52
B. Pembagian Harta Waris di Dusun Ngepos ............................... 56
C. Tinjauan Hukum Pembagian Harta Waris di Dusun Ngepos ... 59
BAB IV PENGELOLAAN HARTA WARIS ANAK
A. Pengelolaan Harta Waris Anak di Dusun Ngepos ............. 65
B. Tinjauan Hukum terhadap Pengelolaan Harta Waris Anak di
Dusun Ngepos ...................................................................... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 75
B. Saran ................................................................................... 76
C. Penutup ................................................................................ 77
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
1.1 Jumlah Penduduk Menurut Umur ................................................................. 52
1.2 Jumlah Penduduk Menurut Agama .............................................................. 53
1.3 Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan .......................................................... 54
1.4 Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan ........................................................ 55
1.5 Jumlah Penduduk Menurut Status Perkawinan ............................................ 56
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Nota Pembimbing
2. Permohonan Izin Penelitian
3. Lembar Konsultasi
4. Surat Keterangan Keaktifan
5. Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Harta merupakan salah satu amanat yang dititipkan Allah S.W.T., yang
dapat diperoleh manusia dengan atau tanpa usaha. Maksud dengan usaha
adalah manusia bekerja tenaga dan pikirannya guna memperoleh harta,
sedang harta yang diperoleh dengan tanpa usaha antara lain, harta hasil
temuan, hibah, waris, dan lain sebagainya. Dengan harta manusia memenuhi
kebutuhan pokoknya, seperti makan, berpakaian dan membangun tempat
tinggal.
Manusia dengan harta yang dimilikinya sering muncul sifat buruknya,
seperti sombong, riya‟, takabur dan lain sebagainya sehingga manusia lupa
bahwasanya hakikat pemberian harta adalah sarana untuk beribadah kepada-
Nya. Maka Allah memberi peringatan dalam Al Quran surat Al A‟raf ayat 31
(1983: 225) sebagai berikut:
Artinya:
Dalam ayat ini terdapat dua inti pembahasan. Pertama, melaksanakan
ibadah dianjurkan memakai pakaian yang baik. Kedua, makanan dan
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap
(memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan”(Q.S. Al A‟raf: 31)
2
minuman merupakan rizki yang diberikan Allah sehingga dilarang
menggunakannya secara berlebihan. Makanan dan minuman merupakan salah
satu bentuk harta. Jika diperluas pengertiannya, penggunaan harta harus
dalam batas kewajaran.
Selanjutnya mengenai harta yang diperoleh sebab mewaris. Dalam Inpres
no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171(a)
disebutkan bahwasanya yang dimaksud hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing (1999: 81).
Dari pengertian tersebut diatas, sangat jelas inti dari kewarisan adalah
berpidahnya hak atas harta sesuai dengan bagiannya. Tentang siapa saja yang
berhak menjadi ahli waris ada dua sebab, pertama karena mempunyai
hubungan darah, kedua karena perkawinan. Pada masyarakat umum yang
mayoritas beragama Islam, pembagian waris dilakukan dengan pedoman yang
berbeda-beda sehingga bagian yang diterima ahli waris antara satu keluarga
dengan lainnya dapat berbeda.
Mengenai pembagiannya anak mendapatkan bagian yang cukup banyak,
dalam Al Quran surat An Nisa‟ ayat 12-13 (1983: 117) disebutkan:
3
Artinya:
Dari ayat Al Quran diatas, anak perempuan saja bila anak tunggal
mendapat separuh dari seluruh harta waris, sedang anak laki-laki bagiannya
bila bersama anak perempuan adalah dua kali lipatnya. Jumlah tersebut dirasa
pantas dan cukup banyak bila dibandingkan dengan ahli waris lainnya.
Bila anak yang menjadi ahli waris masih dibawah umur atau belum
dewasa sehingga dirasa anak tersebut masih belum mampu untuk mengelola
harta miliknya, maka anak tersebut masih dibawah kekuasaan walinya
(Afandi, 1997: 156). Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer), kekuasaan atas anak terbagi dalam dua hal, yakni kekuasaan atas
pribadi si anak dan kekuasaan atas harta kekayaan si anak. Dalam hal ini wali
mempunyai peran yang sangat penting, sebab wali menjadi pengganti dari
kedua orang tua si anak dalam berbagai hal.
Melihat apa yang terjadi di masyarakat Dusun Ngepos Desa Tingkir
Tengah Kecamatan Tingkir Kota Salatiga yang mayoritas beragama Islam,
pengeloaan harta waris anak tersebut dilakukan oleh wali dari anak.
Perwalian dilakukan oleh ayah, atau ibu, atau saudara, atau, paman ataupun,
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki
sama dengan bagahian dua orang anak perempuan. Dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta
(An Nisaa‟: 11).
4
kakek, atau nenek yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan anak.
Artinya, pewalian dilakuakan oleh kerabat anak sehingga pengelolan harta
waris anak tersebut bersifat tertutup sehingga rawan terjadi penyalahgunaan
baik secara sengaja maupun tidak disengaja karena hanya wali yang
mengetahuinya.
Penulis memiliki pertanyaan berkaitan dengan pengelolaan harta anak
sudah sesuaikah dengan apa yang dimaksudkan dalam surat Al Israa‟ ayat 34
(1983: 429) sebagai berikut;
Artinya:
Kata walaa taqrabuu mal al-yatiim pada surat Al Israa‟ ayat 34 secara
bahasa memiliki arti mendekati harta anak yatim, sedangkan maksud dari
mendekati adalah menjaga dan menggunakan harta anak yatim. Sehingga
maksud dari ayat ini adalah larangan kepada wali untuk menggunakan harta
anak yatim kecuali dengan cara yang pantas, serta hendaknya harta tersebut
diserahkan atau dikembalikan kepada anak yatim tersebut ketika ia sudah
dewasa.
Penulis tertarik ingin mengetahui lebih lanjut bagaimana pembagian
harta waris dalam satu keluarga yang didalamnya terdapat ahli waris seorang
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan
cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan
penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungan jawabnya (Al Israa‟: 34).
5
anak yang masih dibawah umur dan kondisi harta waris anak yang berada
dalam perwalian serta cara wali tersebut mengelola harta warisnya. Penulis
ingin meneliti permasalahan tersebut kedalam sebuah judul skripsi yang
berjudul “PENGELOLAAN HARTA WARIS ANAK OLEH WALINYA
(Study Kasus Di Dusun Ngepos Desa Tingkir Tengah Kecamatan
Tingkir Kota Salatiga)”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana pembagian harta waris yang dilaksanakan oleh masyarakat
Dusun Ngepos?
2. Bagaimana wali mengelola harta waris milik anak yang terjadi di Dusun
Ngepos?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini selesai adalah:
1. Mengetahui metode pembagian waris yang terjadi di Dusun Ngepos.
2. Mengetahui pengelolaan harta yang diperoleh anak sebab waris yang
dilakukan oleh walinya di Dusun Ngepos.
6
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dibidang hukum Islam,
khususnya dibidang kewarisan dan perwalian anak, dan dapat digunakan
sebagai acuan bagi pihak-pihak yang akan melakukan penelitian lanjutan
serta dapat menambah bahan pustaka bagi Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga
2. Secara Praktis
a. Mengetahui batas-batas kekusaan orang tua terhadap pribadi maupun
harta si anak.
b. Digunakan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada jurusan Al-Ahwal Al-Syaksyiyyah IAIN
Salatiga.
E. Penegasan Istilah
Agar didalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda dengan
maksud peneliti, maka peneliti akan menjelaskan istilah didalam judul ini.
Istilah yang perlu peneliti jelaskan adalah:
1. Pengelolaan
Dalam KBBI (2007: 534) pengelolaan berasal dari kata kelola yang
berati proses, cara, ataupun perbuatan mengelola. Sehingga pengelolaan
7
yang dimaksud peneliti adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan
mengelola kususnya berkaitan dengan harta waris milik anak.
2. Harta waris
Dalam KHI pasal 171 (e) pengertian dari harta waris adalah harta bawaan
ditambah dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat (1999: 81). Ringkasnya
dari pengertian ini, harta waris dapat diartikan sebagai harta yang
ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal.
3. Anak
Menurut KUHPerdata pasal 330 ayat 1 dinyatakan bahwasannya seorang
belum dikatakan dewasa jika umurnya belum genap 21 tahun, kecuali
soseorang tersebut telah menikah sebelum umur 21 tahun. Artinya, bila
seseorang tersebut belum dinyatakan dewasa berarti seseorang tersebut
masih merupakan seorang anak. Sedang makna yang ingin ditegaskan
penulis adalah seseorang yang masih dibawah 21 tahun atau belum
menikah.
4. Wali
Wali dapat didefinisikan sebagai orang atau badan yang dalam
kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap
anak (UUPA, 2002: 4). Penulis mempersempit pengertian wali sehingga
wali disini diartikan dengan seseorang yang masih mempunyai hubungan
8
kerabat dengan anak yang berada dalam perwaliannya yang melakukan
kekuasaan asuh kepada anak sebagai orang tua.
Jadi maksud judul penelitian ini adalah pengelolaan harta anak yang
belum berusia 18 tahun sehingga masih dalam perwalian. Harta yang dikelola
disini adalah harta yang diperoleh sebab mewaris dan pengelolaan dilakukan
oleh walinya.
F. Telaah Pustaka
Sejauh pengamatan peneliti, belum pernah ada penelitian yang spesifik
mengenai pengelolaan harta anak oleh walinya di Kota Salatiga. Namun
demikian ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan perwalian dan hak-
hak yang dimiliki wali terhadap harta anak akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Skripsi yang disusun oleh Muhammad Noor Kholis (2012) S.1 Jurusan
Syariah STAIN Salatiga, dengan judul “hak ayah angkat dalam
pengelolaan harta waris anak angkat (study putusan P.A.Salatiga.no
010/pdt.P/2011/P.A.Sal)”. Penelitian ini membahas mengenai undang-
undang perlindungan anak dan pembolehan dalam hukum positif orang
tua angkat mengambil upah atas anak. Sedangkan penelitian yang
dilakukan peneliti memfokuskan pada pengelolaan harta waris anak oleh
walinya.
2. Skripsi yang disusun oleh Riza Umami El Syhab (2008) S.1 Jurusan
Syariah STAIN Salatiga, dengan judul “implikasi praktik adopsi tentang
kedudukan anak angkat (study di Pringapus, Kabupaten Semarang)”.
9
Penelitian ini membahas mengenai sebab-sebab pengangkatan anak serta
akibatnya terhadap lingkungan. Didalamnya juga disinggung mengenai
hak-hak serta kewajiban orang tua atas anak angkat.
Penelitian ini berbeda dengan dua penelitian diatas dalam hal fokus
penelitian. Penelitian ini membahas pratik pengelolahan harta waris anak oleh
walinya yang terjadi di masyarakat, sedangkan dua penelitian diatas berfokus
pada pengelolaan harta waris anak sesuai hukum positif, pengangkatan anak,
dan akibat hukumnya.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang
lebih banyak menggunakan kualitas subyek guna mendiskripsikan apa
yang menjadi temuan (Hermawan, 2004: 14).
Maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologis
dan yuridis normatif. Pendekatan fenomenologi yakni pendekatan dengan
melihat peristiwa dan kaitannya dengan orang-orang pada situasi
tersebut. Digunakan juga pendekatan yuridis normatif yakni pendekatan
yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah
teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta perundang-undangan
yang berhubungan dengan penelitian ini.
10
2. Kehadiran Peneliti
Penelitian dan pengumpulan data-data di Dusun Ngepos Desa
Tingkir Tengah Kecamatan Tingkir Kota Salatiga ini dimulai pada
tanggal 12 Maret 2017 sampai dengan selesai penelitian.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini bertempat di Dusun Ngepos Desa Tingkir Tengah
Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Adapun alasan pemilihan tempat ini
adalah bahwasanya peneliti merasa dapat mengumpulkan data secara
mudah dengan harapan, penelitian ini dapat selesai dengan hasil terbaik.
4. Sumber Data
Sumber data oleh Suharsimi Arikunto yang dikutip oleh Maslikhah
(2013:320) dibagi menjadi tiga ( 3) yakni orang, tulisan dan tempat.
Orang meliputi wali yang melakukan pengelolaan harta waris di Dusun
Ngepos Desa Tingkir Tengah dan ulama di Desa Tingkir Tengah.
Adapun tulisan berupa arsip, buku-buku, dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan penelitian. Dan tempat yaitu di Dusun Ngepos Desa
Tingkir Tengah Kecamatan Tingkir Kota Salatiga.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur untuk mengumpulkan data primer adalah wawancara
dengan wali yang menjadi pengelola harta anak. Disamping data primer
11
tersebut, data sekunder diperlukan guna mendukung penelitian
(Suryabrata, 2009: 39). Data sekunder berupa dokumen misalnya data
mengenai keadaan demografis suatu daerah, data produktifitas suatu desa
dan sebagainya. Dapat diperoleh dengan cara:
a. Wawancara
Wawancara adalah salah satu sumber data studi kasus yang
sangat penting, karena wawancara bertujuan untuk mengetahui suatu
peristiwa tertentu dari orang-orang yang berkaitan (Moleong, 2002:
135). Dalam pengumpulan data, peneliti mewancarai secara
mendalam, diarahkan pada peristiwa tertentu dengan para informan
yang sudah dipilih untuk mendapatkan data yang diperlukan. Pihak-
pihak yang diwawancarai adalah wali atas seorang anak yatim atau
piatu atau keduanya, dan ulama.
b. Pengamatan (Observasi)
Dengan membuat kunjugan lapangan terhadap lokasi studi
kasus, peneliti melakukan observasi langsung yaitu dengan melihat
dan mengamati secara langsung keadaan desa guna memperoleh data
yang menyakinkan dalam proses tersebut.
Observasi dibagi menjadi dua macam yaitu observasi langsung
dan observasi partisipan. (Ruslan, 2010: 33). Dalam observasi ini,
selain melakukan observasi langsung, peneliti juga melakukan
observasi partisipan yaitu ikut bergaul dengan masyarakat yang akan
diteliti.
12
c. Studi Pustaka
Studi Pustaka yaitu penelitian mencari dari bahan-bahan tertulis
(Amirin, 1990: 135) berupa catatan, buku-buku, surat kabar, dan
sebagainya.
6. Metode Analisis Data
Setelah data dikumpulkan dengan lengkap, tahap berikutnya adalah
tahap analisa. Penulis menganalisa data mengunakan tehnik yang
dikemukakan oleh Agus Salim yang dikutip oleh Maslikhah (2013: 323)
yakni sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Yaitu proses pemilihan, pemutusan pada penyederhanaan,
abstraksi, dan transformasi data kasar yang diperoleh dilapangan.
b. Penyajian Data
Menyajikan data berarti mengumpulan informasi yang bersifat
deskripsi yang tersusun serta memungkinkan untuk ditarik
kesimpulan dan diambil tindakan.
c. Verifikasi
Verivikasi adalah tindakan peneliti kualitatif mencari makna
dari setiap gejala yang terjadi di lapangan kemudian mencatat
keteraturan, konfigurasi, alur akusalitas, dan proposisi.
13
7. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam
penelitian, karena dari itulah nantinya akan muncul teori. Dalam
memperoleh keabsahan temuan, penulis akan menggunakan teknik-
teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, ketekunan
pengamatan, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode, teori),
pelacakan kesesuaian, kecukupan refensi dan pengecekan anggota
(Maleong, 2002: 178). Jadi temuan data tersebut bisa diketahui
keabsahannya.
Untuk menggunakan teknik triangulasi dengan sumber dapat
ditempuh dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan
wawancara, membandingkan apa yang dikatakan umum dengan apa yang
dikatakan secara pribadi, membandingkan apa dikatakan orang-orang
tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang masa,
membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan
(Maleong, 2002: 178).
8. Tahap-Tahap Penelitian
Dalam penelitian ini, merujuk pada pendapat Bodgan yang dikutip
Lexy J. Maleong (2002: 85) tahapan-tahapan yang akan ditempuh adalah
sebagai berikut:
14
a. Pralapangan
Sebelum terjun kelapangan, peneliti mengkaji buku-buku yang
berkaitan dengan waris, kekuasaan orang tua dan perwalian terhadap
anak sebagai hipotesis awal.
b. Kegiatan lapangan
Setelah memiliki hipotesis awal mengenai pengelolaan harta
waris, kemudian peneliti melakukan observasi keobjek penelitian
untuk melihat langsung situasi dan kondisi pengelolaan harta waris
di Dusun Ngepos Desa Tingkir Tengah, Kecamatan Tingkir, Kota
Salatiga.
c. Analisis data
Dari hipotesis awal dan data yang ditemukan dilapangan, maka
penulis akan menganalisis kedua data tersebut sehingga dapat ditarik
kesimpulannya.
H. Sistematika Penulisan
Dalam menyusun skripsi ini penulis membagi kedalam beberapa bab dan
masing-masing bab mencangkup beberapa sub bab yang berisi sebagai
berikut:
1. Bab I merupakan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah,
fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan
istilah, metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian dan
15
pendekatan, kehadiran peneliti, tempat/lokasi penelitian, sumber data,
prosedur pengumpulan data, metode analisis data, pengecekan keabsahan
data, tahap-tahap penelitian, dan yang terakhir adalah sistematika
penulisan.
2. Bab II berisikan landasan teori tentang waris yang meliputi pengertian
waris, ahli waris dan bagian masing-masing, perwalian yang meliputi,
pengertian perwalian, dasar dan hukum dalam perwalian, kewajiban dan
kewenangan wali, syarat menjadi wali, dimulai dan berakhirnya
perwalian, serta pengelolaan harta waris anak.
3. Bab III berisikan hasil penelitan yang terdiri dari gambaran umum objek
penelitian yaitu Dusun Ngepos, pembagian harta waris anak oleh walinya
di Dusun Ngepos dan tinjauan hukum mengenai pembagian harta waris
di Dusun Ngepos.
4. Bab IV berisikan praktik pengelolaan harta waris di Dudsun Ngepos dan
tinjauan hukum mengenai pengelolaan harta waris di Dusun Ngepos.
5. Bab V, bab ini merupakan penutup atau bab akhir dari penyusunan skripsi
yang penulis buat. Dalam bab ini penulis kemukakan kesimpulan dari
seluruh hasil penelitian, saran-saran atau rekomendasi dalam rangka
meningkatkan meningkatkan pengetahuan tentang pengelolaan harta
waris, kususnya di desa tersebut.
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Waris
1. Pengertian Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infintif)
dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Makna menurut bahasa
ialah perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari
suatu kaum ke kaum lain. Sedangkan makna Al-miirats menurut
istilah oleh para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari
orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik
yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang
berupa hak milik legal secara syar‟i ( Ash Shabuni, 1995: 33).
Menurut pasal 171 KHI hukum kewarisan adalah:
“Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing”.
Hukum kewarisan Islam yang disampaikan oleh Muhammad
Asy-Syarbini yaitu:
“Ilmu fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka,
pengetahuan tentang cara penghitungan yang dapat
menyampaikan kepada pembagian harta pusaka peninggalan
untuk setiap pemilik hak pusaka” (Budiyono, 1999: 1).
Dengan demikian, waris adalah berpidahnya hak atas harta dari
seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya sesuai
dengan bagiannya.
17
2. Ahli Waris Dan Bagiannya
Yang dimaksud dengan ahli waris adalah sekumpulan orang
atau seorang individu atau kerabat-kerabat atau keluarga yang ada
hubungan keluarga dengan orang yang meninggal dunia (pewaris)
dan berhak mewarisi atau menerima harta peninggalan yang
ditinggal mati oleh seorang (Ramulyono, 1994: 103).
Adapun yang termasuk ahli waris adalah:
a. Anak-anak (walad) beserta keturunan dari orang yang
meninggal dunia baik laki-laki maupun perempuan.
b. Orang tua yaitu ibu dan bapak dari yang meninggal dunia.
c. Saudara-saudara baik laki-laki maupun perempuan
d. Suami atau istri yang hidup lebih lama.
Ahli waris yang dicantumkan pada pasal 174 Kompilasi Hukum
Islam adalah sebagi berikut: pertama, menurut hubungan darah.
Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-
laki, paman dan kakek. Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak
perempuan, saudara perempuan dari nenek. Kedua, menurut
hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda. Ahli waris
menurut hubungan darah tersebut dapat dirinci, ahli waris laki-laki
13 (tiga belas) orang dan ahli waris perempuan 8 (delapan) orang,
jadi seluruhnya 21 orang. Yang termasuk ahli waris laki-laki adalah:
a. Ayah
b. Kakek (dari garis ayah)
18
c. Anak laki-laki
d. Cucu laki-laki garis laki-laki
e. Saudara laki-laki sekandung
f. Saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
i. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
j. Paman, saudara laki-laki ayah sekandung
k. Paman, saudara laki-laki ayah seayah
l. Anak laki-laki paman sekandung
m. Anak laki-laki paman seayah
Urutan tersebut disusun berdasarkan kedekatan kekerabatan ahli
waris tersebut dengan pewaris. Kalau semua ahli waris tersebut ada,
maka yang mendapat warisan anak laki-laki dan ayah. Sedangkan
ahli waris perempuan adalah sebagai berikut:
a. Ibu
b. Nenek dari garis ibu
c. Nenek dari garis ayah
d. Anak perempuan
e. Cucu perempuan garis laki-laki
f. Saudara perempuan sekandung
g. Saudara perempuan seayah
h. Saudara perempuan seibu
19
Apabila semua ahli waris perempuan tersebut ada ketika pewaris
meninggal dunia, maka yang dapat menerima bagian adalah ibu,
anak perempuan, cucu garis laki-laki dan saudara perempuan
sekandung. Jika semua ahli waris laki-laki dan perempuan tersebut
ada, maka yang dapat menerima warisan adalah ayah, ibu, anak laki-
laki dan anak perempuan (Rofiq, 1998: 387).
Bila berpedoman pada syariat Islam, ahli waris berdasarkan
haknya atas warisan terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu dzawil furudl,
ashobah dan dzawil arham. Hak ahli waris dzawil furud adalah
a. Bagian ½ (setengah)
Bagian ½ disebut dalam Al Qur‟an menjadi hak seorang
anak perempuan, seorang saudara perempuan sekandung atau
seayah dan suami bila pewaris tidak meninggalkan anak yang
berhak waris.
b. Bagian ¼ (seperempat)
Bagian ¼ disebut dalam Al Qur‟an menjadi hak suami jika
pewaris meninggalkan anak yang berhak waris dan istri apabila
pewaris tidak meninggalkan anak yang berhak waris.
c. Bagian 1/8 (seperdelapan)
Bagian 1/8 disebutkan dalam Al Qur‟an menjadi hak istri
apabila pewaris meninggalkan anak yang berhak waris.
20
d. Bagian 2/3 (dua pertiga)
Bagian 2/3 disebut dalam Al Qur‟an menjadi hak 2 orang
saudara perempuan kandung atau seayah, dan dua anak
perempuan.
e. Bagian 1/3 (sepertiga)
Bagian 1/3 disebut dalam Al Qur‟an menjadi hak ibu
apabila pewaris tidak meninggalkan anak atau lebih dari seorang
saudara, dan saudara-saudara seibu jika lebih dari seorang.
f. Bagian 1/6(seperenam)
Bagian 1/6 disebut dalam Al Qur‟an menjadi hak ayah dan
ibu jika pewaris meninggalkan anak yang berhak waris, juga ibu
apabila pewaris meningalkan saudara-saudara lebih dari
seorang, dan seorang saudara seibu.
Ahli waris ashabah ialah yang tidak ditentukan bagiannya, akan
tetapi menerima seluruh harta warisan jika tidak ada ahli waris
dzawil furudl sama sekali, jika ada dzawil furudl, berhak atas
sisanya, dan apabila tidak ada sisanya maka tidak mendapatkan
bagian sama sekali. Macam-macam ashabah:
a. Ashabah bi nafsi
Yang berkedudukan sebagai waris ashabah dengan
sendirinya, tidak karena ditarik oleh ahli waris ashabah lain atau
tidak karena bersama-sama dengan waris lain seperti anak laki-
21
laki, cucu laki-laki (dari anak laki-laki) saudara laki-laki
kandung atau seayah, paman dan sebagainya.
b. Ashabah bi ghoiri
Yang berkedudukan sebagai waris ashabah karena ditarik
oleh ahli waris ashabah lain, seperti anak perempuan ditarik
menjadi ashabah oleh anak laki-laki, cucu perempuan ditarik
menjadi waris ashabah oleh cucu laki-laki, saudra perempuan
sekandung atau seayah ditarik menjadi waris ashabah oleh
saudara laki-laki kandung atau seayah dan sebagainya.
c. Ashabah ma‟al ghoiri
Yang berkedudukan menjadi waris ashabah karena
bersama-sama dengan ahli waris lain, seperti saudara perempuan
kandung atau seayah menjadi waris ashabah karena bersama-
sama dengan anak perempuan.
Ahli waris dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai
hubungan famili dengan pewaris, tetap tidak termasuk golongan
waris dzawil furudl dan ashabah. Yang termasuk ahli waris dzawil
arhaam ialah:
a. Cucu laki-laki atau perempuan, anak-anak dari anak perempuan.
b. Kemenakan laki-laki atau perempuan, anak-anak saudara
perempuan kandung, seayah atau seibu.
c. Kemenakan perempuan, anak-anak perempuan saudara laki-laki
kandung atau seayah.
22
d. Saudara sepupu perempuan, anak-anak perempuan paman
(saudara laki-laki ayah).
e. Paman seibu (saudara laki-laki ayah seibu).
f. Paman, saudara laki-laki ibu.
g. Bibi, sudara perempuan ayah.
h. Bibi, saudara perempuan ibu.
i. Kakek, ayah ibu.
j. Nenek buyut, ibu kakek.
k. Kemenakan (Basyir, 1995: 25-27).
B. Perwalian
1. Pengertian perwalian
Perwalian dalam literatur fiqh Islam disebut dengan al walayah.
Berasal dari bahasa arab yang mempunyai kata dasar wala-yali-walyan
yang secara harafiah berarti mencintai, teman dekat, sahabat, yang
menolong, sekutu, pengikut, pengasuh, dan orang yang mengurus perkara
atau urusan seseorang.
Secara etimologi diartikan dengan kekuasaan atau otoritas.
Sedangkan pengertian secara terminologinya menurut para fuqaha adalah
kekuasaan seseorang untuk secara langsung melakukan tindakan sendiri
tanpa bergantung atas seizin orang lain.
Menurut Ali Afandi (1997: 156), perwalian didefinisikan sebagai
pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan terhadap harta kekayaan
23
anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada dalam kekuasaan
orang tua. Dengan demikian bila mana ada anak yang orang tuanya
bercerai atau salah satunya meninggal, maka anak ini berada dalam
perwalian. Terhadap anak yang lahir diluar nikah, dikarenakan tidak ada
kekuasaan orang tua didalamnya maka anak ini selalu dalam perwalian.
Menurut R. Sarjono (1979: 36) bahwa perwalian adalah suatu
perlindungan hukum yang diberikan seseorang kepada anak yang belum
mencapai usia dewasa atau belum pernah kawin yang tidak berada di
bawah kekuasaannya.
Dalam pasal 1 (5) UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindugan Anak,
wali merupakan orang selaku pengganti orang tua yang menurut hukum
diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau yang belum akil
baliq dalam melakukan perbuatan hukum atau orang yang menjalankan
kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.
Menurut hukum Indonesia, perwalian didefinisikan sebagai
kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan,
atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal, atau tidak
mampu melakukan perbuatan hukum atau suatu perlindungan hukum
yang diberikan pada seseorang anak yang belum mencapai umur dewasa
atau tidak pernah kawin yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua
(Darmabrata, 2004: 147).
Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974
pasal 50 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai
24
umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang
tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada dibawah kekuasaan
wali. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun
harta bendanya.
Dalam perwalian Islam dikenal pula istiah al hajru (pengampuan)
yang secara harafiah berarti penyempitan atau pencegahan. Berkaitan
dengan harta, al hajru diartikan pencegahan terhadap seseorang dari
kemungkinan mengelola hartanya.
Pengampuan disini terbagi menjadi dua macam. Pertama,
pengawasan terhadap hak orang lain, seperti terhadap orang yang
mengalami pailit atau bangkrut. Kedua, pengampuan terhadap jiwa atau
diri, seperti pengawasan yang dilakukan terhadap anak dibawah umur,
orang bodoh dan orang gila.
Sementara dalam KUHPer dikenal isitah curateale (pengampuan)
yang merupakan perwalian kusus terhadap orang yang telah dewasa
dengan keterbatasannya sehingga ia tidak dapat bertindak dengan leluasa.
2. Dasar dan Hukum Perwalian
Perwalian bagi orang beragama Islam di Indonesia diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 107-111. Pasal 107 mengatur bahwa
perwalian hanya dapat dilakukan terhadap anak yang belum mencapai
umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.
25
Dalam pasal 108 orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang
atau badan hukum tertentu untuk melakukan perwalian atas diri dan
kekayaan anaknya sesudah meninggal dunia. Selanjutnya pasal 109
menentukan bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian
seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain.
Pasal 110 mengatur kewajiban wali untuk mengurus diri dan harta
orang yang berada dibawah perwaliannya. Pasal 111 apabila anak yang
berada dibawah perwalian telah mencapai usia 21 tahun, maka wali
berkewajiban menyerahkan seluruh hartanya kepadanya. Terakhir dalam
pasal 112, wali dapat mempergunakan harta orang yang berada dibawah
perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut
kepatutan atau bil ma‟ruf kalau wali itu fakir.
Selain dari Kompilasi Hukum Islam, Al Quran dan Hadis menjadi
rujukan mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama
pemeliharaan terhadap harta anak yatim yang telah ditinggalkan oleh
orang tuanya. Dalam hal ini firman Allah dalam Al Quran (1983: 114):
Artinya:
Ayat ini menjadi landasan dalam memelihara harta anak yang telah
ditinggal mati orang tuanya. Dalam ayat ini secara jelas menyatakan
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah
dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik
dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta
mereka bersama hartamu, sungguh (tindakan menukar dan
memakan) itu adalah dosa yang besar.(QS.An-Nisa; ayat 2).
26
mengenai pemeliharaan dan perlindungan terhadap harta sampai mereka
telah cakap dalam pengelolaannya. Artinya jika anak tersebut belum
cakap hukum, maka pengelolaan harta tersebut harus dijaga dan
dipelihara oleh walinya. Kemudian disebutkan pada ayat berikutnya
(1983: 115):
Artinya:
Setelah turunnya ayat ini, kemudian diperjelas dengan hadis nabi
(Muslim: 229) berikut ini:
عائشت ف أبه ع هشاو ع ع ا سه ثا عبدة ب بت حد أب ش ثا أبى بكس ب حد
صنج ف وان يال انتى انري قىو ) قىنه عسوف( قانج أ فقسا فهأكم بان كا وي
ه أكم يه عه يحتاجا أ وصهحه إذا كا
Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk menikah, kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah
kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu tergesa-gesa
(menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa
(diantara pemeliharaan itu) mampu, maka hendaklah dia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan
barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu
menurut cara yang patut. Kemudian apabila kamu
menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah
kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai
pengawas”.(QS An-Nisa; ayat 6).
27
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah
telah menceritakan kepada kami Abdah bin Sulaiman dari
Hisyam dari ayahnya dari Aisyah tentang firmanNya: “Dan
barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta
itu menurut yang patut.” (An Nisaa`: 6) Aisyah berkata:
(ayat ini) turun tentang wali hartanya anak yatim yang
menjaganya dan memperbaikinya, ia boleh makan darinya
jika membutuhkan.
Selain perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik penjagaan
jiwa dan penjagaan terhadap harta, terdapat pula larangan keras bagi wali
memakan harta anak yatim secara zalim. Selain itu, dalam berbagai hadis
Nabi SAW, juga telah menjelaskan mengenai ketentuan dan dasar hukum
mengenai perwalian. Sabda Nabi SAW:
ثا حد عبد للا ث عبد انعصص ب بلل ، قال : حد ب ا سه ، ع ثىز ب
د د ان ش ث ، ع أب انغ سة ، ع أب هس صهى للا انب ه ، ع ع للا زض
ه وسه ، قال " : ى ، قال عه ، ويا ه ىبقاث ، قانىا : ا زسىل للا بع ان اجتبىا انس
با ، وأ إل بانحق ، وأكم انس و للا حس ، وقتم انفس انت حس ، وانس سك بالل كم : انش
ؤياث انغافلث يال انتى ، و حصاث ان حف ، وقرف ان . " انتىن ىو انص
(Bukhari: 500)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin
Abdullah. Beliau berkata: telah menceritakan kepada kami
Sulaiman dari Tsaur bin Zaid dari Abul Ghaits dari Abu
Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda;
"Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan." Para
sahabat bertanya; 'Ya Rasulullah, apa saja tujuh dosa
besar yang membinasakan itu? ' Nabi menjawab;
"menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah
haramkan tanpa alasan yang benar, makan riba, makan
harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh
wanita mukmin baik-baik melakukan perzinahan.
28
Dalam hadis lain Rasulullah SAW juga menyatakan tentang
kedudukan hukum tentang perwalian. Nabi Saw bersabda (Ibnu Hajar:
243):
صهى للا عهه وسهى قضى ف انب ا; ) أ ه ع للا عاشب زض انبساء ب وع
صة نخانتها صنت الو ( ,ابت ح ازي أخسجه انبخ وقال: انخانت ب
Artinya: Dari al-Barra' Ibnu 'Azb bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam telah memutuskan puteri Hamzah agar
dipelihara saudara perempuan ibunya. Beliau bersabda:
"Saudara perempuan ibu (bibi) kedudukannya sama dengan
ibu." Riwayat Bukhari.
Landasan hukum tentang perwalian dalam KUHPerdata telah
disebutkan pada Bab XV dalam Pasal 331 sampai dengan Pasal 418.
Selain perwalian dalam bentuk perorangan, KUHPerdata juga mengatur
tentang perwalian yang dilakukan oleh badan hukum. Dalam pasal 355
ayat 2 KUHPerdata dinyatakan bahwa badan hukum tidak dapat diangkat
menjadi wali.
Tetapi berkaitan dengan hal tersebut, dalam pasal 365 a (1)
KUHPerdata bahwa dalam hal badan hukum diserahi perwalian maka
panitera pengadilan yang menugaskan perwalian itu memberitahukan
putusan pengadilan itu kepada dewan perwalian dan kejaksaan. Tetapi
jika pengurus badan hukum tersebut tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai wali, maka badan tersebut dapat dicabut
kewenangannya sebagai wali.
Selain itu, pasal 379 KUHPerdata mengatur tentang golongan orang
tidak dapat menjadi wali yaitu:
29
a. Mereka yang sakit ingatan (krankzninngen).
b. Mereka yang belum dewasa (minderjarigen).
c. Mereka yang berada dibawah pengampuan (curatele).
d. Mereka yang telah dipecat, baik dari kekuasaan orang tua, maupun
dari perwalian, tetapi hal ini hanya berlaku dengan ketetapan hakim.
e. Hakim ketua, hakim ketua pengganti,hakim anggota, panitera,
panitera pengganti, bendahara, juru buku dan agen Balai Harta
Peninggalan, kecuali terhadap anak-anak atau anak tiri mereka
sendiri
Menurut hukum adat perceraian atau meninggalnya salah satu orang
tua tidak menimbulkan perwalian. Hal ini disebabkan karena didalam
perceraian, anak masih berada pada salah satu dari kedua orang tuanya.
Demikian juga pada situasi meninggalnya salah satu orang tuanya.
Dengan demikian yang lebih memungkinkan terjadinya perwalian,
adalah apabila kedua orang tua dari anak tersebut meninggal dunia dan
anak yang ditinggalkan belum dewasa. Dengan meninggalnya kedua
orang tua, anak menjadi yatim piatu dan mereka semuanya tidak berada
dibawah kekuasaan orang tua.
Pada masyarakat yang matrilineal jika bapaknya meninggal dunia,
maka ibunya meneruskan kekuasaannya terhadap anaknya yang masih
belum dewasa. Jika ibunya meninggal dunia, maka anak tersebut berada
dalam pengasuhan keluarga ibunya. Sedangkan pada masyarakat yang
patrilineal pemeliharaan anak yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya
30
karena meninggal dunia dilakukan oleh kerabat dari pihak ayah
(Soekanto, 2008: 257-258).
Pada dasarnya dalam hukum adat Indonesia tidak ada perbedaan
dalam mengatur pemeliharaan anak dan mengurus harta kekayaan anak.
Pemeliharaan anak tidak hanya sebagai kewajiban ibu atau bapak saja,
melainkan juga sebagai kewajiban kerabatnya. Oleh karena itu dalam
hukum adat tidak memberi kepastian siapa yang menggantikan orang tua
dalam hal memelihara anak tersebut apabila orang tuanya telah tiada
ataupun bercerai.
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro (1960: 85) penyelesaian
pemeliharaan anak pada umumnya erat hubungannya dengan tiga macam
corak kekeluargaan dan perkawinan yang ada di Indonesia. Corak
keibuan, corak kebapakan dan corak keibu bapakan yakni garis
kekeluargaan ibu dan bapak keduanya pada hakikatnya memiliki peranan
yang sama kuat.
Menyangkut perwalian yang tidak berdasarkan pada hukum formal
melainkan berdasarkan pada kebiasaan masyarakat tertentu yang
menunjuk wali berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat sehingga
penunjukan wali tidak memiliki kepastian hukum.
3. Kewajiban dan Kewenagan Wali
Dalam sistem hukum Indonesia, wali memiliki tanggung jawab yang
bertujuan untuk memelihara dan mensejahterakan anak, termasuk dalam
31
pemeliharaan harta benda milik anak. Hal ini sebagaimana dinyatakan
dalam pasal 110-112 KHI.
Dalam pasal 110 dijelaskan wali berkewajiban mengurus diri dan
harta orang yang berada dibawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya
dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan
keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada dibawah
perwaliannya.
Wali dilarang mengikatkan, membebanni dan mengasingkan harta
orang yang berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut
menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang
tidak dapat dihindarkan.
Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada dibawah
perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat
kesalahan atau kelalaiannya.
Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51
ayat (4) Undang-undang No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali
tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap
satu tahun satu kali.
Selanjutnya dalam pasal 111 dinyatakan bahwasannya wali
berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau
telah menikah.
32
Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama
berwenang mengadili perselisihanantara wali dan orang yang berada
dibawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
Terakhir dalam pasal 112, seorang wali dapat mempergunakan harta
orang yang berada dibawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk
kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali tersebut
dalam keadaan fakir.
Sementara dalam Pasal 51 Undang-Undang No.1 Tahun 1974
menyatakan bahwa:
a. Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan
harta bendanya sebaik baiknya dengan menghormati agama
kepercayaan anak itu.
b. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut.
c. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada
dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan
dan kelalaiannya.
d. Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
33
e. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di
bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan atau kelalaiannya.
Terdapat pula tugas maupun kewajiban wali sebagaimana diatur
dalam KUHPerdata. Berdasarkan Pasal 383 KUH Perdata tugas wali
adalah sebagai berikut:
a. Pengawasan atas diri pupil (orang yang memerlukan perwalian).
Wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan anak
yang belum dewasa sesuai dengan kekayaan si yang belum dewasa
itu sendiri.
b. Mewakili pupil dalam melakukan semua perbuatan hukum dalam
bidang perdata.
c. Mengelola harta benda pupilnya sebagai bapak rumah tangga yang
baik (Pasal 385 KUH Perdata).
Setiap wali mempunyai kewajiban terhadap anak-anak yang berada
dibawah perwaliannya. Kewajiban wali ini di kelompokkan berdasarkan
kewajiban wali secara umum dan kewajiban wali secara khusus.
Kewajiban wali secara umum yaitu terdiri atas:
a. Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaanya dan harta
bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan
kepercayaan anak itu.
34
b. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak-anak itu.
c. Wali harus bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada
di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan atau kelalaiannya.
d. Wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anak yang berada di bawah
perwaliannya kecuali apabila kepentingan anak tersebut
menghendakinya.
Sedangkan kewajiban wali secara khusus terkait pada pengelolaan
harta peninggalan adalah terdiri atas:
a. Kewajiban memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan (Pasal
368 KUHPerdata) dengan sanksi bahwa wali dapat dipecat dan dapat
diharuskan membayar biaya-biaya, ongkos-ongkos, dan bunga bila
pemberitahuan tersebut tidak dilaksanakan.
b. Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta kekayaan si
minderjarige (minderjarige ialah apabila seseorang berada di dalam
keadaan yang dikuasai oleh orang lain yaitu kalau tidak dikuasai
oleh orang tuanya, maka dia dikuasai oleh walinya.) (Pasal 386 ayat
1 KUHPerdata). Sesudah 10 hari perwalian dimulai maka wali harus
membuat daftar pertelaan barang-barang si pupil dengan dihadiri
35
oleh wali pengawas dan kalau barang-barang minderjarige itu
disegel maka diminta agar penyegelan itu dibuka.
c. Kewajiban untuk mengadakan jaminan (Pasal 335
KUHPerdata), wali (kecuali perhimpunan-perhimpunan, yayasan,
atau lembaga sosial) mempunyai kewajiban untuk mengadakan
jaminan dalam waktu satu bulan sesudah perwalian dimulai, baik itu
berupa hipotek, jaminan barang, atau gadai. Bilamana harta
kekayaan si pupil bertambah maka wali harus mengadakan atau
menambah jaminan yang sudah diadakan.
d. Kewajiban menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap
tahun oleh minderjarige itu dan jumlah biaya-biaya pengurusan
(Pasal 398 KUHPerdata). Kewajiban ini tidak berlaku bagi perwalian
oleh bapak atau ibu. Weeskamer (Balai Harta Peninggalan) sesudah
memanggil keluarga baik keluarga sedarah maupun periparan akan
menyuruh menentukan jumlah yang dapat dipergunakan pada tiap-
tiap tahun oleh minderjarige dan jumlah biaya yang diperlukan
untuk pengurusan harta benda itu dengan kemungkinan untuk minta
banding kepada pengadilan.
e. Kewajiban wali untuk menjual perabot-perabot rumah tangga
minderjarige dan semua barang bergerak yang tidak memberikan
buah, hasil, atau keuntungan kecuali barang-barang yang
diperbolehkan disimpanin natura dengan izin Weeskamer. Penjualan
ini harus dilakukan dengan pelelangan dihadapan umum menurut
36
aturan-aturan lelang yang berlaku di tempat itu kecuali jika bapak
atau ibu yang menjadi wali yang dibebaskan dari penjualan itu (Pasal
398 KUHPerdata).
f. Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang negara jika
ternyata dalam harta kekayaan minderjarige ada surat-surat piutang
negara (Pasal 392 KUHPerdata).
g. Kewajiban untuk menanam sisa uang milik minderjarige setelah
dikurangi biaya penghidupan dan sebagainya.
Dalam Pasal 393-398 KUHPerdata selanjutnya dijumpai beberapa
perbuatan yang berwenang dilakukan oleh wali dengan mengingat syarat-
syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan perbuatan-perbuatan
yang tidak boleh dilakukannya kecuali ada izin dari hakim sebagai
berikut:
a. Meminjam uang sekalipun untuk kepentingan minderjarige, tidak
boleh juga memindahkan atau menggadaikan barang-barang tidak
bergerak atau surat-surat utang negara, piutang-piutang andelnya
tanpa mendapatkan kuasa dari pengadilan.
b. Membeli barang-barang tak bergerak dari seseorang minderjarige.
Pembelian yang demikian itu hanya diperkenankan kalau dilakukan
atas dasar pelelangan umum dan baru berlaku sesudah ada izin dari
pengadilan.
c. Menyewa ataupun menyewakan barang-barang minderjarige yang
hanya mungkin dengan persetujuan hakim dengan mendengar atau
37
memanggil dengan sepatutnya keluarga sedarah atau periparan
minderjarige.
d. Menerima warisan untuk seseorang minderjarige (perbuatan ini
hanya diperbolehkan sesudah diadakan pencabutan boedel).
e. Menolak warisan barang untuk seseorang minderjarige (hanya
diperbolehkan dengan persetujuan hakim).
f. Menerima hibah bagi seorang minderjarige (hanya diperbolehkan
dengan persetujuan hakim). Ketentuan ini sebenarnya diadakan
terhadap hibah-hibah dengan suatu beban.
g. Memajukan gugatan bagi minderjarige.
h. Membantu terlaksananya pemisahan dan pembagian harta kekayaan
yang menjadi kepentingan minderjarige.
i. Mengadakan perdamaian di luar pengadilan (dading atau kompromi)
bagi minderjarige. Dalam perbuatan ini diperlukan pula persetujuan
pengadilan. (R. Soetodjo, 1971:203.)
4. Syarat-Syarat Menjadi Wali
Menurut perundang-undangan yang berlaku, bahwa setiap orang
dapat menjadi wali, tetapi ada pengecualian-pengecualiannya.
Pengecualian tersebut merupakan golongan orang-orang yang tidak dapat
diangkat menjadi wali dalam perwalian. Adapun syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk menjadi seorang wali adalah:
a. Wali harus seorang yang sehat pikirannya.
38
Orang yang sakit ingatannya tidak dapat mengurus dirinya sendiri,
oleh karena itu orang yang tidak sehat pikirannya adalah dibawah
pengampuan, dan segala tindakannya dalam hukum diwakili oleh
pengampu, maka keadaanya sama seperti yang masih dibawah umur.
b. Wali harus orang yang dewasa.
Seorang dikatakan sudah dewasa jikalau ia telah berumur 21 tahun
atau jika ia belum mencapai umur 21 tahun tetapi ia sudah kawin.
c. Wali tidak berada di bawah pengampuan.
Seseorang yang sudah dewasa dapat ditaruh dibawah pengampuan,
misalnya karena menghambur-hamburkan harta kekayaannya atau
karena kurang cerdas pikirannya. Orang yang berada dibawah
pengampuan adalah yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi wali,
sebab mereka harus diwakili dalam melakukan tindakan-
tindakannya (Asrul, 1986: 20).
5. Dimulai dan Berakhirnya perwalian
Menyangkut dengan mulai berlaku suatu perwalian, Martiman
Prodjohamidjojo (2002: 57) mengatakan suatu perwalian itu berlaku:
a. Sejak perwalian itu diangkat oleh hakim.
b. Sejak seorang wali diangkat oleh salah satu dari orang tua si anak
karena meninggalnya orang tua si anak.
39
c. Sejak seseorang perempuan bersuami diangkat sebagai wali, baik
oleh hakim maupun oleh salah satu orang tua dari kedua orang
tuanya dengan bantuan dari suaminya atau dengan kuasa dari hakim.
d. Sejak suatu perhimpunan yayasan atau lembaga amal atas
permintaan atau kesanggupan sendiri diangkat menjadi wali.
e. Sejak seorang menjadi wali karena hukum.
f. Sejak ditunjuk oleh salah satu orang tua yang menjalankan
kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal dunia dengan surat
wasiat atau pesan yang dilakukan dihadapan dua orang saksi.
Sedangkan dalam Pasal 331 KUHPerdata menentukan mulai
berlakunya perwalian sebagai berikut:
a. Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat
pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatan itu. Bila ia tidak
hadir maka perwalian itu dimulai saat pengangkatan itu
diberitahukan kepadanya.
b. Jika seorang wali diangkat oleh salah satu orang tua, dimulai dari
saat orang tua itu meninggal dunia dan sesudah wali dinyatakan
menerima pengangkatan tersebut.
c. Bagi wali menurut undang-undang dimulai dari saat terjadinya
peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah
satu orang tua (Soetodjo, 1971: 200).
Mengenai berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari 2 sudut pandang
berikut ini:
40
a. Dalam hubungan dengan keadaan anak.
1) Anak telah dewasa.
2) Matinya anak.
3) Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya.
4) Pengesahan seorang anak luar kawin yang diakui.
b. Dalam hubungan dengan tugas wali.
1) Ada pemecatan atau pembebasan atas diri wali.
2) Ada alasan pembebasan atau pemecatan dari perwalian. Sedang
syarat utama untuk dipecat sebagai wali ialah karena
disandarkan pada kepentingan anak itu sendiri.
Dalam Pasal 380 KUHPerdata disebutkan 10 alasan yang merupakan
alasan dapat dimintanya pemecatan:
a. Jika wali berkelakuan buruk.
b. Jika dalam menunaikan perwaliannya, wali menampakkan
ketidakcakapannya atau menyalahgunakan kekuasaannya atau
mengabaikan kewajibannya.
c. Jika wali telah dipecat dari perwalian lain sebab poin (a) dan (b) di
atas atau telah dipecat dari kekuasaan orang tua. Jika wali berada
dalam keadaan pailit.
d. Jika wali untuk diri sendiri atau karena bapak wali itu, ibunya,
istrinya, suaminya, atau anaknya mengajukan perkara pada hakim
untuk melawan anak yang berada dalam perwaliannya yang
menyangkut kedudukan dan harta kekayaan si anak.
41
e. Jika wali dijatuhi pidana yang telah memperoleh kekuatan pasti,
karena sengaja telah turut serta dalam suatu kejahatan terhadap anak
yang berada dalam perwaliannya.
f. Jika wali dijatuhi pidana yang telah memperoleh kekuatan pasti,
karena sesuatu kejahatan terhadap anak yang berada dalam
perwaliannya.
g. Jika wali dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditiadakan lagi dengan
pidana penjara selama dua tahun atau lebih.
h. Jika wali alpha memberitahukan terjadinya perwalian kepada
Weeskamer.
i. Jika wali tidak mau memberikan perhitungan tanggung jawab
kepada Weeskamer.
Kemungkinan pembebasan sebagai wali (ontheffing) diatur dalam
Pasal 382.c KUHPerdata, sedang alasan-alasannya hampir bersamaan
dengan pembebasan dari kekuasaan orang tua (Soetodjo, 1971: 206.)
6. Pengelolaan harta waris anak
Pengelolaan harta anak yatim dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Memelihara Dan Mengembangkan Harta Waris Anak
Memelihara dan mengembangkan merupakan bagian dari
mengasuh atau mengurus mereka. Oleh karena itu, wali atau orang
yang diwasiati mengelola harta tersebut diperkenankan
mengembangkan harta mereka melalui berbagai kegiatan usaha atau
42
investasi yang sekiranya dapat mendatangkan keuntungan atau
kebaikan untuk masa depan anak tersebut (Shihab, 2007: 1107).
Para ulama mempunyai perbedaan pandangan terkait mengelola
dan mengembangkan harta anak. Perbedaan pandangan itu lebih
dikarenakan perbedaan dalam memaknai kata islah (berbuat baik)
pada anak yatim maupun pada hartanya. Kata islah tersebut berasal
dari ayat Al Quran surat Al Baqarah, ayat 220 (1983: 53) sebagai
berikut:
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim,
katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut
adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka.
Dari ayat diatas, madzhab Shafi„i menekankan bahwa
mengembangkan harta anak sesuai kemampuan pengelola hukumnya
wajib. Sementara madzhab Maliki berpendapat, bahwa mengelola
harta anak dengan cara dikembangkan hukumnya sunnah, namun
memelihara harta anak dengan segala cara adalah wajib hukumnya
(Nur, 2011: 124). Firman Allah dalam surat al-Isra‟ (1983: 429) ayat
34:
Artinya:
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim,
kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat)
sampai ia dewasa.
43
Harta tidak boleh didiamkan tersimpan, tidak boleh statis tanpa
berkembang. Allah menghendaki agar rizki berupa keuntungan dari
harta, bukan harta itu sendiri. Suatu harta adalah modal dan rizki
adalah keuntungan yang dianjurkan oleh syara‟.
Maksud mendekati harta anak yatim dalam ayat diatas, adalah
mempergunakan harta anak yatim tidak memberikan perlindungan
kepada harta itu sehingga habis sia-sia. Namun Allah memberikan
pengecualian, apabila untuk pemeliharaan harta itu diperlukan biaya
dengan untuk mengembangkannya, maka diperbolehkan bagi wali
untuk mengambilnya sebagian dari harta tersebut, karenanya
diperlukan orang yang bertanggung jawab untuk mengurusnya
(Kementerian Agama RI, 2011: 476).
Hamka (2004: 63) menjelaskan, bahwa harta anak yatim
sebaiknya dijalankan dan diperniagakan agar tidak membeku hingga
anak yatim tersebut dewasa. Dewasa disini maksudnya mampu
mengelola hartanya sendiri. Selain itu, menurut ketentuan syara‟
walaupun sudah dewasa tetapi dalam keadaan safih (bodoh), maka
wali berhak memegang harta itu dan memberi belanja atau jaminan
hidup bagi orang dewasa yang bodoh tersebut.
b. Penyerahan Harta Kepada Anak
Pada saat wali menyerahan harta anak kepadanya, Al Quran
secara tegas melarang wali melakukan kecurangan-kecurangan.
Sebagaimana dalam surat An Nisa‟ ayat 2 (1983: 114):
44
Artinya:
Sayyid Qutb (2001: 274) mejelaskan, para wali agar
memberikan harta anak-anak yatim yang berada dalam
kekuasaannya dengan tidak memberikan harta yang jelek sebagai
penukaran harta yang baik, seperti mengambil tanah mereka yang
subur ditukar dengan yang tandus, begitupun dengan binatang
ternak, uang, atau jenis harta apapun. Juga larangan memakan harta
si anak dengan mengumpulkannya dengan harta wali, baik semua
atau sebagian.
Sebelum harta anak diserahkan kepadanya, hendaknya wali
menguji kedewasaan mereka agar diperoleh kepastian bahwa mereka
benar-benar telah dewasa dan mampu bertanggung jawab atas segala
tindakannya (Shihab, 2007: 107). Firman Allah dalam surat An Nisa‟
ayat 6 (1983:115):
Artinya:
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah
balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik
dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta
mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-
tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar.
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu
mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.
45
Menurut al Maraghi (1993: 338), menguji anak yatim dilakukan
dengan cara memberi sedikit harta untuk digunakan sendiri, apabila
ia mempergunakan dengan baik berarti ia sudah dewasa. Hal ini
sebagai tanda bahwa ia berakal sehat dan berpikir dengan baik. Ujian
ini terus dilakukan sampai mereka mencapai umur baligh, yakni
ketika mereka sudah pantas membina rumah tangga. Apabila wali
merasakan dalam diri mereka, terdapat tanda-tanda kedewasaan,
maka segera memberikan harta mereka.
Kemudian al Maraghi menukil pendapat Imam Abu Hanifah,
bahwa memberikan harta anak yatim ialah jika mereka telah
mencapai umur 25 tahun, sekalipun cara berpikirnya belum
mentampak dewasa. Sebagian ulama mengatakan bahwa penyerahan
kepada mereka itu hendaknya dilakukan setelah mereka baligh dan
sesudah diperhatikan adanya rushd (kesempurnaan akal).
Menurut ulama fiqh, pengertian kata rushd terbagi dalam tiga
pendapat. Pertama, menurut jumhur ulama kematangan akal dan
kemampuan memelihara harta. Kedua, dari riwayat Ibnu Abbas
mengartikan kata rushd dengan kesalehan beragama dan kemampuan
menjaga harta. Ketiga, pendapat Mujahid dan al Nakha‟i bahwa
rushd hanya bermakna kematangan akal (Ibrahim, 2005: 163-164).
Pada saat penyerahan harta anak yatim dari walinya, hendaklah
dihadapan saksi. Berkata Ibnu Abbas “Apabila usianya sudah baligh,
serahkanlah hartanya dihadapan saksi, karena begitu perintah
46
Tuhan” (Qutb, 2001: 283-284). Adapun dalam mempersaksikan
penyerahan harta itu, hendaklah para wali mempersaksikan dua
orang saksi (Kementerian Agama RI, 2011: 119).
c. Pemanfaatan Harta Anak
Wali sebagai pengasuh dan pengurus harta anak berhak untuk
memanfaatkan (mengambil) sebagian harta itu dengan cara yang
baik, tidak berlebihan, dan tidak dengan cara batil. Wali juga
dibolehkan mencampuradukkan hartanya dengan harta anak tersebut
dengan syarat harus adil dan benar (Ayyub, 1994: 363).
Dalam KUHPerdata pasal 411 wali dibolehkan mengambil upah
atas pengelolaan harta anak, besarannya adalah sebagai berikut; 3%
dari segala pendapatan, 2% dari segala pengeluaran, dan 1 ½% dari
modal yang ia terima selaku pengurus dari harta anak (Sudarsono,
2005: 210).
Ketika turun ayat Al Quran yang memperingatkan supaya
sahabat berhati-hati dengan harta anak yatim. Sahabat memiliki
inisiatif memisahkan harta miliknya dengan harta anak yatim, supaya
tidak bercampur aduk. Kenyataannya mereka menemukan kesukaran
dalam hal itu, maka turunlah ayat Al Quran yang memperkenankan
mereka mencampurkan hartanya dengan harta anak yatim.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 220 (1983:
53):
47
Artinya:
Menurut Abu Ubaidah, seorang wali yang memelihara anak
yatim apabila mengalami kesulitan memisahkan harta anak yatim
dengan hartanya sendiri, maka boleh mencampurkan pembelanjaan
anak yatim dengan pembelanjaannya, dengan menganggap anak
yatim tersebut seperti anak kandungnya sendiri (Hasan, 2006: 84-
85).
Menurut al-Maraghi, yang dilarang terhadap anak yatim yang
berkaitan dengan hartanya adalah jika wali membelanjakan hartanya
secara berlebih-lebihan, meskipun ditujukan untuk anak yatim
sendiri. Sebaiknya, apabila wali tersebut kaya tidak perlu mengambil
bagian dari harta anak yatim, namun jika tidak mampu ia
diperbolehkan mengambil harta anak yatim sekedarnya (Shihab,
2007: 1107). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An
Nisa‟ ayat 6 (1983: 115):
Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya
kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus
urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu
bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu;
dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan
dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah
menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan
kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
48
Artinya:
Kebolehan seorang wali yang miskin mengambil harta anak
yatim mengandung dua pengertian: pertama, diperbolehkan
mengambil harta tersebut sebagai hutang terhadap anak yatim.
Kedua, para wali diperkenankan untuk mengupahi dirinya sendiri
dari harta anak yatim yang ia rawat.
Menurut Ibnu Jauzi dalam menafsirkan kata bil ma„ruf ada
empat jalan yaitu: pertama, mengambil harta anak yatim dengan
jalan qiradl. Kedua, memakannya untuk sekedar memenuhi
kebutuhan saja. Ketiga, mengambil harta anak yatim hanya sebagai
imbalan apabila ia telah bekerja untuk mengurus kepentingan harta
anak yatim. Keempat, memakan harta anak yatim ketika dalam
keadaan terpaksa. Apabila ia mampu, maka ia harus mengembalikan
harta yang telah dimakannya. Jika ia benar-benar tidak mampu untuk
mengembalikan harta itu, maka hal tersebut dihalakan baginya (Nur,
2001: 123).
Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih
dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-
gesa (membelanjakan) sebelum mereka dewasa.
Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka
hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka
bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
49
Dalam hal ini menunjukkan sikap kehati-hatian agar harta anak
yatim tersebut tetap terjaga dengan baik tanpa tindakan kezaliman.
Sebagaimana firman Allah dalam surat An Nisa‟ ayat 10 (1983:
116):
Artinya:
Al-Maraghi menjelaskan bahwa dzulman artinya memakan hak-
hak anak yatim dengan cara aniaya, tidak dengan cara seperlunya
pada saat terpaksa atau dianggap sebagai upah bagi pekerjaan
pengasuh. Firman Allah fi butunihim, artinya sepenuh perut mereka
dan naran artinya perbuatan yang menyebabkan seseorang
merasakan azab neraka (al Maraghi, 1993: 347).
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api
yang menyala-nyala (neraka).
50
BAB III
PEMBAGIAN WARIS
A. Gambaran Umum Dusun Ngepos, Kelurahan Tingkir Tengah,
Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga
Dusun Ngepos merupakan salah satu dusun yang menjadi bagian dari
Desa Tingkir Tengah Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Sejak pemekaran
Kota Salatiga pada tahun 1994, Desa Tingkir Tengah yang sebelumnya
menjadi bagian dari Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang tidak lagi
menggunakan kepala dusun dalam struktur pemerintahannya, melainkan dari
kepada desa langsung kepada RW.
Dusun Ngepos terdiri dari dua RW, yakni RW 07 dan RW 08 serta 9 RT.
Adapun secara rinci akan penulis kemukakan keadaan umum Dusun Ngepos
sebagai berikut:
1. Letak Geografis
Dusun Ngepos terletak di kaki Gunung Merbabu sehingga memiliki
hawa yang cukup dingin. Tepatnya terletak di sebelah barat dari kantor
kelurahan Desa Tingkir Tengah dan di sebelah selatan dari pusat Kota
Salatiga yang jarak dari pusat kota 5 km dan dari kantor Kecamatan
Tingkir 4 km.
51
2. Batas Wilayah
Dusun Ngepos memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
Selatan : Desa Bener, Kecamatan Tengaran
Timur : Dusun Wiroyudan, Desa Tingkir Tengah
Utara : Desa Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir
Barat : Desa Cebongan Kecamatan Argomulyo. (Wawancara
dengan bapak Nur Salim (Humas Kelurahan Tingkir Tengah), Kamis, 7
September 2017 pukul 10.30 WIB, di Kelurahan Tingkir Tengah).
3. Keadaan Demografi
Keadaan demografi merupakan suatu gambaran umum tentang
masalah-masalah yang berhubungan dengan penduduk, yang meliputi:
a. Penduduk Berdasar Usia
Jumlah penduduk Dusun Ngepos Kelurahan Tingkir Tengah
Kecamatan Tingkir Kota Salatiga sampai bulan Juni 2017 adalah
1935 orang dengan rincian usia sebagai berikut:
PENDUDUK MENURUT UMUR DI TAHUN 2017
1 UMUR 0-9 327
2 UMUR 10-19 309
3 UMUR 20-29 261
4 UMUR 30-39 334
5 UMUR 40-49 309
6 UMUR 50-59 238
52
7 UMUR 60-69 89
8 UMUR 70 KEATAS 68
JUMLAH 1935
Tabel 1.1. Jumlah penduduk menurut umur pada tahun 2017 (data diperoleh dari
Kelurahan Tingkir Tengah)
b. Penduduk Berdasar Agama
Penduduk Dusun Ngepos mayoritas adalah beragama Islam.
Berdasarkan agama yang dianut dapat digambarkan melalui tabel
berikut:
PENDUDUK BERDASAR AGAMA
1 ISLAM 1843
2 KRISTEN 80
3 KATHOLIK 13
4 HINDU 0
5 BUDHA 0
6 KANG HU CHU 0
7 KEPERCAYAAN 0
Tabel 1.2. Jumlah penduduk menurut agama pada tahun 2017 (data diperoleh dari
Kelurahan Tingkir Tengah)
53
c. Penduduk Berdasar Pekerjaan
Pengangguran di Dusun Ngepos terbilang tinggi, tetapi
mayoritas bekerja sebagai buruh atau karyawan dan wiraswasta.
Jumlah penduduk berdasar pekerjaan dapat digambarkan sebagai
berikut:
PENDUDUK MENURUT PEKERJAAN DI TAHUN 2017
1 BURUH/KARYAWAN 334
2 PNS 34
3 GURU 32
4 MENGURUS RUMAH TANGGA 98
5 JASA 12
6 PETANI 19
7 PEDAGANG 57
8 WIRASWASTA 168
9 PENSIUNAN 23
10 TNI/POLRI 6
11 BELUM/TIDAK BEKERJA 429
54
Tabel 1.3. Jumlah penduduk menurut pekerjaan pada tahun 2017 (data diperoleh
dari Kelurahan Tingkir Tengah)
d. Penduduk Berdasar Tingkat Pendidikan
Penduduk Dusun Ngepos berdasar tingkat pendidikannya
banyak diantaranya berpendidikan dibawah SLTA. Untuk lebih
jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut:
PENDUDUK BERDASAR TINGKAT PENDIDIKAN
1 TIDAK/BELUM SEKOLAH 362
2 BELUM TAMAT SD/SEDERAJAT 234
3 TAMAT SD/SEDERAJAT 287
4 SLTP/SEDERAJAT 284
5 SLTA/SEDERAJAT 503
6 DIPLOMA I/II 17
7 AKADEMI/DIPLOMA III SARJANA
MUDA
68
8 DIPLOMA IV/STRATA I 169
9 STRATA II 12
10 STRATA III 0
Tabel 1.4. Jumlah penduduk menurut pendidikan pada tahun 2017 (data diperoleh
dari Kelurahan Tingkir Tengah)
55
e. Penduduk Berdasar Status Perkawinan
Penduduk berdasar status perkawinan dapat digambarkan
sebagai berikut:
PENDUDUK BERDASAR STATUS PERKAWINAN
1 BELUM KAWIN 884
2 KAWIN 908
3 CERAI HUDUP 39
4 CERAI MATI 98
Tabel 1.5. Jumlah penduduk menurut status perkawinan pada tahun 2017 (data
diperoleh dari Kelurahan Tingkir Tengah)
B. Pembagian harta waris Di Dusun Ngepos
Pembagian harta waris seharusnya berpedoman pada kaidah-kaidah yang
telah ditentukan. Bagi kelompok masyarakat yang menganut agama Islam
sudah seharusnya menerapkan hal-hal yang berlaku sesuai dengan hukum
kewarisan Islam, yakni sesuai dengan ilmu faraidh.
Berikut hasil wawancara yang dilakukan kepada beberapa wali yang
melakukan pembagian harta waris:
1. Ibu Watini
Ibu Watini adalah seorang yang janda berusia 40 tahun yang
memiliki satu anak laki-laki dan suaminya bernama bapak Mahasin
56
meninggal pada tahun 2008. Pendidikan terakhir beliau adalah SLTP,
dalam kesehariannya beliau berprofesi sebagai penjahit.
Beliau bercerita pada saat bapak Mahasin meninggal, putra beliau
baru berusia 5 tahun dan tidak ada pembagian harta waris setelahnya. Hal
tersebut dikarenakan pada saat ayah dari bapak Mahasin meninggal, tidak
ada pembagian waris. Hanya saja, masing-masing anak sudah dibuatkan
rumah.
Pembagian harta waris baru dilakukan satu tahun yang lalu, tepatnya
setelah ibu dari bapak Mahasin meninggal dunia. Pembagian waris
berdasarkan pada rasa kepantasan dan keadilan tanpa membedakan
antara anak laki-laki dan perempuan, jadi tidak diterapkan bagian-
bagiannya seperti dalam ilmu faraidh. Bapak Mahasin memiliki dua adik
perempuan yang mana pembagian harta waris tersebut hanya dibagi
menjadi tiga, dan bagiannya disama-ratakan yakni berupa rumah beserta
tanahnya dan sepetak tanah seluas ±300m².
Menurut beliau, berapapun yang diberikan dari harta waris beliau
terima, itulah yang menjadi rizki anak beliau. Ibu Watini menuturkan
bahwa beliau sudah merasa seperti orang luar dalam keluarga besar
bapak Mahasin setelah pabak Mahasin meninggal. Sederhananya,
pembagian waris tidak menerapkan apa yang berlaku dalam ilmu faraidh.
Berikut harta waris yang ditinggalkan, ahli waris beserta bagian
masing-masing ahli waris pada saat pembagian warisnya ayah mertua
dari ibu Watini yang bernama mbah Munajad. Sebelum dilakukan
57
pembagian waris, anak-anak dari mbah Munajad yang berjumlah 3 orang
(1 laki-laki dan 2 perempuan) masing-masing telsah dibuatkan rumah
sehingga tidak ada harta waris berupa rumah yang dibagikan. Isteri dari
mbah Munajad yang seharusnya mendapat bagian dari peninggalan
suaminya tidak diberi bagian karena beliau ikut dengan anak-anak yang
kebetulan jarak antara satu dengan lainnya tidaklah berjauhan.
Harta waris yang dibagikan berupa tanah produktif yakni tegalan
seluas ±1500 m². Tegalan tersebut hanya dibagi 3 untuk 3 orang anak
dengan bagian yang sama rata yaitu ±500 m². (Wawacara dengan ibu
Watini, Sabtu, 4 November 2017 pukul 13.00, di kediaman ibu Watini).
2. Ibu Alfiatun
Ibu Alfiatun adalah seorang janda berusia 54 tahun dengan 4 anak
dan kesemuanya laki-laki. Suami beliau bernama bapak Muhisinun
meninggal dunia pada tahun 2002 usia anak-anak beliau pada saat itu
adalah 21, 17, 10, dan 6 tahun. Pendidikan terahir beliau adalah tamat SD
dan berprofesi sebagai penjual dengan membuka warung kelontong di
rumahnya.
Dari penuturan putra tertua ibu Alfiah yang saat itu mewaliki adik-
adiknya dalam pembagian waris, harta waris dibagi sesuai dengan ilmu
faraidh. Harta waris yang ada dinilai dengan nominal rupiah dengan total
450 juta rupiah yang terdiri dari kebun dengan luas ±750m² dan sawah
seluas ±400m² dan rumah sederhana yang berdiri diatas tanah seluas
±300m².
58
Yang menjadi ahli waris pada saat itu adalah ibu dari bapak
Muhsinun yang mendapat bagian 1/6 dari seluruh harta waris yaitu
kurang lebih senilai 75.000.000 rupiah, istri (ibu Alfiah) 1/8 dari seluruh
harta waris yaitu kurang lebih senilai 52.250.000 rupiah, dan anak-anak
sebagai ashobah, sehingga bila dihitung dalam rupiah masing-masing
anak mendapatkan warisan kurang lebih senilai 80.687.500 rupiah.
(Wawancara dengan ibu Alfiatun, Minggu, 3 Desember 2017 pukul
16.30, di kediaman ibu Alfiatun).
3. Bapak Mujiono
Bapak Mujiono adalah seorang wali dari keponakanya yang telah
yatim piatu sejak tahun 2005 pada usia 1 tahun. Menurut penuturan
beliau, keponakannya adalah anak tunggal yang telah yatim pada bulan
Juni tahun 2005 dan kemudian ibunya meninggal 51 hari setelahnya.
Pendidikan terakhir beliau adalah tamat SLTA dan kini beliau sudah
berusia 56 dan merupakan pensiunan dari TNI AL.
Atas kesepakatan dari keluarga ayah dan ibu si anak, hak perwalian
atas si anak diberikan kepada bapak Mujiono. Kemudian atas persetujan
dari keluarga ayah dan ibu si anak, bapak Mujiono mengajukan
permohonan pengangkatan anak ke Pengadilan Agama Salatiga agar
dapat mewakili anak dalam melakukan perbuatan hukum. Permohonan
pengajuan pengangkatan anak tersebut diteriman dan putusan mengenai
sahnya pengangkatan anak keluar pada tahun 2006.
59
Mengenai pembagian waris dari ayah si anak, yang mana adalah
kakak dari isteri bapak Mujiono dilakukan berdasar pada kepantasan dan
keadilan, yakni setelah meninggalnya kedua orang tua dari isteri bapak
Mujiono, harta waris dibagi menjadi dua karena hanya dua bersaudara.
Setelah ayah dari keponakan bapak Mujino meninggal, harta seluruhnya
diwariskan kepada anaknya.
Selanjutnya, mengenai pembagian waris dari pihak ibu tidaklah
selesai secara kekeluargaan dikarenakan harta waris dari mulai kakek
buyut ibu si anak terjadi sengketa dan akhirnya diselesaikan di
pengadilan agama. Kejadian tersebut terjadi setelah ibu dari keponakan
bapak Mujiono meninggal, sehingga bapak Mujiono yang mewakili
keponakannya agar hak waris si anak dari ibunya tetap ada.
Karena tertutupnya nara sember, data yang diperoleh hanya harta
yang diperoleh si anak dari waris tersebut berupa tanah tegalan seluas
±350 m² dan sebagiannya sudah dijual dan ditabung di bank dengan
harapan, bila ada keperluan si anak yang membutuhkan biaya banyak
dapat diambilkan dari tabungan tersebut. (Wawancara dengan bapak
Mujiono, Kamis, 14 Desember 2017 pukul 19.30, di kediaman bapak
Muijono).
4. Ibu Sriyatini
Ibu Sriyatini adalah seorang janda sejak tahun 1998 yang memiliki 4
anak, dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Pendidikan terakhir
60
beliau adalah tamat SD dan kini beliau bekerja sebagai pembantu rumah
tangga.
Suami beliau bernama bapak Kormen dan saat meninggal, anak-anak
berusia 14, 10, 7, dan 4 tahun. Dalam kesehariannya beliau adalah ibu
rumah tangga yang mempunyai pekerjaan sambilan sebagai pembantu
rumah tangga.
Untuk pembagian warisnya, beliau meminta masukan serta saran
kepada saudara dari bapak Kormen dan akhirnya disepakati bahwasannya
yang menjadi ahli waris adalah ibu Sriyatini, mendapat bagian 1/8 sedang
sisanya untuk anak-anak beliau yaitu 2 laki-laki dan 2 perempuan. Harta
waris yang dibagikan adalah sebidang tanah kebun yang mempunyai luas
±750 m² yang ditaksir dengan harga saat itu sebesar 150.000.000 rupiah
serta sebuah rumah sederhanan dan pekarangannya seluas ±300 m² yang
ditaksir dengan harga 200.000.000.
Dengan total harta waris sebesar 350 juta ibu Sriyatini mendapat
bagian 1/8 yaitu sekitar 43.750.000 rupiah. Sedang untuk anak-anak
beliau untuk laki-laki masing-masing sebesar 76.562.500 rupiah dan bagi
anak perempuan masing-masing mendapat 38.281.250 rupiah.
(Wawancara dengan ibu Sriyatini, Jum‟at, 10 November 2017 pukul
16.00 WIB, di kediaman ibu Sriyatini).
C. Tinjauan Hukum Pembagian Harta Waris Di Dusun Ngepos
Dalam kehidupannya manusia tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan
akan harta benda, salah satunya diperoleh dengan jalan mewarisi dari
61
seseorang. Dalam hal siapa-siapa saja yang berhak menjadi ahli waris serta
bagian atas harta waris telah diatur secara terperinci melalui syariat Islam
yaitu dengan ilmu faraidh yang kemudian di Indonesia dijadikan sumber dari
Inpres No. 1 Tahun 1991 atau yang kita kenal dengan Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Selain itu juga berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) yang menjadi pedoman bagi hakim-hakim di pengadilan negeri.
Namun di kalangan masyarakat terdapat pula satu cara pembagian waris yang
tidak berdasar pada hukum hukum diatas, mereka cenderung bermusyawarah
sehingga mencapai kesepakatan dan melegakan seluruh ahli waris.
Penetapan ahli waris adalah dikarenakan dua sebab, pertama karena
adanya hubungan darah, dan kedua karena perkawinan. Dalam ahli waris
terhadap harta waris, tidak ditemukan aturan yang membatasi seseorang
karena usianya. Jadi bagi ahli waris yang masih dibawah umur atau yang
belum dapat mengelola hartanya sendiri, maka diwakilkan oleh seorang wali
dalam pembagian harta warisnya maupun setelah harta waris tersebut sah
menjadi miliknya.
Dalam praktik pembagian waris di Dusun Ngepos setiap keluarga
menggunakan cara yang berbeda-beda. Ada yang dapat diselesaikan dengan
berpedoman pada hukum Islam dan menggunakan selain hukum Islam.
Penyelesaian pembagian waris yang berpedoman pada hukum Islam yakni
menerapkan ilmu faraidh ada pula demi mencegah konflik internal keluarga
harta waris hanya dibagi sama rata tanpa membeda-bedakan apakah itu anak
62
laki-laki atau perempuan. Berikut cara-cara pembagian waris yang dilakukan
masyarakat di Dusun Ngepos:
1. Pembagian waris menurut hukum Islam.
Pembagian waris menggunakan hukum Islam adalah cara yang
sering dipraktikkan masyarakat mengingat mayoritas masyarakat
Indonesia yang beragama Islam. Menurut pedoman yang diterapkan,
pembagian waris yang menerapkan hukum Islam terbagi menjadi dua,
yaitu:
a. Berdasar pada hukum Islam secara kekeluargaan.
Pembagian harta waris secara kekeluargan yang berdasar pada
hukum Islam seperti yang dilakukan oleh keluarga ibu Alfiatun dan
ibu Sriyatini. Cara ini dipandang sebagai yara yang paling tepat
mengingat dalam keluarga tersebut masih memegang teguh ajaran-
ajaran Islam. Menurut penulis, sebagai seorang yang beragama Islam
sudah seharusnya hukum-hukum Islam diterapkan dalam segala hal.
Mengingat hukum Islam diturunkan demi mendatangkan
kemaslahatan dan mencegah kerusakan.
b. Pembagian waris melalui putusan pengadilan agama.
Pembagian waris melalui putusan pengadilan dianggap sebagai
jalan terakhir dalam pembagian waris dikarenakan masing-masing
ahli waris bersikukuh dan tidak mau mengalah terhadap
pendiriaannya mengenai bagian dari harta waris yang diterima,
63
seperti yang terjadi di keluarga dari anak angkat bapak Mujiono dari
pihak ibu.
2. Pembagian waris yang menggunakan selain hukum Islam, yakni berdasar
atas keadilan.
Pembagian waris berdasar atas keadilan yang dilakukan oleh
keluarga ibu Watini dan keluarga dari anak angkat bapak Mujiono dari
pihak ayah dinilai sebagai jalan tengah demi mencegah konflik internal
dalam keluarga. Hal ini dikarenakan salah satu ahli waris merasa
keberatan dan tidak setuju bila dilakukan menurut syariat Islam.
Dimungkinkan bila pembagian dilakukan menurut syariat Islam, maka
sebagian ahli waris akan mendapat bagian yang lebih sedikit.
Dengan demikian, pembagian waris di Dusun Ngepos yang mayoritasnya
beragama Islam tidak seluruhnya menerapkan syariat Islam. Terdapat
sebagian masyarakat yang membagi waris berdasar rasa keadilan bagi
mereka.
64
BAB IV
Pengelolaan Harta Waris Anak
A. Pengelolaan Harta Waris Anak di Dusun Ngepos
Pengelolaan harta waris merupakan satu hal yang sering kali luput dari
perhatian umum terutama pihak keluarga besar, padahal pengelolaan harta
waris tujuan utamanya adalah menjaga apa yang menjadi hak seorang anak,
agar ketika anak tersebut sudah mandiri harta tersebut setidaknya masih
dalam keadaan utuh sewperti saat diserahkan kepada walinya.
Berikut hasil wawancara yang dilakukan kepada beberapa wali yang
melakukan pengeloaan terhadap harta waris:
1. Ibu Watini
Pengangkatan perwalian si anak kepada ibu Watini dilakukan secara
otomatis tentu atas persetujuan dari keluarga besar almarhum bapak
Mahasin juga keluarga besar ibu Watini, hal ini dikarenakan karena
kebiasaan yang berlaku di masyarakat demikian.
Harta waris yang diamanatkan kepada beliau dari si anak adalah
rumah beserta tanahnya dan sepetak tanah seluas ±300m² yang telah
diamanahkan sepada beliau sejak 10 tahun yang lalu.
Sampai saat ini, ibu Watini memberi nafkah anaknya dengan bekerja
sebagai buruh jahit pakaian menurut beliau “bondo waris kanggo anak
kui nek iso ojo sampe kurang, opo maneh sampe dientekne” (harta waris
untuk anak kalau bisa jangan sampai berkurang, apalagi sampai
65
dihabiskan). Dengan alasan tersebut, beliau enggan untuk mengelola
harta yang berwujud sebidang tanah dengan resiko yang besar, beliau
hanya menanam beberapa pohon pisang agar lahan tersebut tidak
mangkrak. Dari pengelolaan yang sangat sederhana tersebut beliau juga
menikmati hasil dari sebidang tanah tersebut.
Beliau beranggapan bahwasannya, bertempat tinggal disitu hannya
menumpang pada suami dan setelah suaminya meninggal, harta
sepenuhnya menjadi hak anak sehingga sampai sekarang beliau
bertempat tinggal di rumah tersebut adalah menumpang pada anak.
Saat ini putra beliau telah berusia 15 tahun dan telah diberitahu
mengenai harta waris yang menjadi haknya, tetapi harta tersebut belum
diserahkan kepada anak karena status si anak seorang pelajar dan beliau
beranggapan bahwa anak belum cukup mampu untuk mengelola hartanya
secara mandiri. (Wawacara dengan ibu Watini, Sabtu, 4 November 2017
pukul 13.00, di kediaman ibu Watini).
2. Ibu Alfiatun
Telah dijelaskan dalam bab sebelunya untuk pengelolaan harta waris
di keluarga ibu Alfiah. Selanjutnya, harta waris yang diperoleh masing-
masing anak dijadikan satu untuk menebus rumah dan kebun seluas
±750m².
Mengenai pengelolaannya, kebun tersebut ditanami ubi-ubian oleh
anak pertama dari ibu Alfiah dan hasilnya dikembalikan pada ibu Alfiah
66
sebagai tambahan nafkah sehari-hari. Meski telah dewasa, anak pertama
dari ibu Alfiah belum mampu untuk mengelola secara mandiri, sehingga
untuk modal pengelolan dan hasil kesemuanya berasal dan kembali
kepada ibu Alfiah.
Untuk nafkah sehari-hari dan biaya pendidikan ibu Alfiah
mengandalkan warung kelontong sederhana di rumah beliau dengan
dibantu anak tertua beliau yang bekerja sebagai karyawan pabrik tekstil.
Setelah anak tertua berumah tangga, anak kedua beliau yang membantu
nafkah dan biaya pendidikan adik-adiknya.
Saat anak bungsu telah berusia 17 tahun, semua anak diberitahu harta
yang ditermia masing-masing dari warisan ayah mereka, harapan beliau
agar semua anak-anak dapat menerima dan memanfaatkan peninggalan
dari jerih payah orang tua, serta pesan beliau berpesan “tinggalane ojo
sampe gawe udur-uduran, awak dewe kwi wong ora nduwe, duwene
mung sedulur dadi seng rukun lan podo tilung-tinulung”
(peninggalannya jangan diributkan, kita orang tak punya, hanya punya
kerabat jadi rukunlah dan tolong-menolonglah).
Saat ini putra-putra beliau telah dewasa sehingga harta yang dulunya
hanya dikelola salah satu anak sekarang telah diserahkan kepada masing-
masing anak, sehingga perwalian ibu Alfiatun terhadap anak-anak telah
selesai dengan dewasanya anak-anak. (Wawancara dengan ibu Alfiatun,
Minggu, 3 Desember 2017 pukul 16.30, di kediaman ibu Alfiatun).
67
3. Bapak Mujiono
Bapak Mujiono adalah seorang wali dari keponakannya yang telah
yatim pada bulan Juni tahun 2005 dan kemudian ibunya meninggal 51
hari setelahnya. Atas kesepakatan dari keluarga ayah dan ibu si anak, hak
perwalian atas si anak diberikan kepada bapak Mujiono. Kemudian atas
persetujan dari keluarga ayah dan ibu si anak, bapak Mujiono
mengajukan permohonan pengangkatan anak ke Pengadilan Agama
Salatiga agar dapat mewakili anak dalam melakukan perbuatan hukum.
Permohonan pengajuan pengangkatan anak tersebut diteriman dan
putusan mengenai sahnya pengangkatan anak keluar pada tahun 2006.
Dari harta waris yang diperoleh dari ayah dan ibu si anak, bapak
Mujiono memiliki inisatif untuk mengivestasikannya berupa tanah seluas
±350m² dan sebagiannya ditabung di bank dengan harapan, bila ada
keperluan si anak yang membutuhkan biaya banyak dapat diambilkan
dari tabungan tersebut. Sementara itu, sebidang tanah tersebut dikelola
oleh bapak Mujiono sendiri dan hasilnya dinikmati oleh bapak Mujiono
berserta seluruh keluarganya termasuk anak tersebut. Untuk nafkah
sehari-hari si anak, dipenuhi oleh bapak Mujiono beserta keluarga tanpa
menggunakan harta waris.
Menurut bapak Mujiono, “kalau sekedar menjaga dan mengelola
harta anak itu mudah mas, tapi untuk mendidik anak kami sangat hati-
hati agar mental dan psikis anak tersebut tidak terganggu, bahkan lebih
kami perhatikan dari pada anak kami sendiri karena sudah yatim-piatu”.
68
(Wawancara dengan bapak Mujiono, Kamis, 14 Desember 2017 pukul
19.30, di kediaman bapak Muijono).
4. Ibu Sriyatini
Ibu Sriyatini adalah seorang janda sejak tahun 1998 yang memiliki 4
anak, dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Pendidikan terakhir
beliau adalah tamat SD dan kini beliau bekerja sebagai pembantu rumah
tangga. Karena kondisi ekomoni yang tergolong kurang mampu, anak-
anak beliau yang saat itu masih dalam usia sekolah, maka anak pertama
dan kedua beliau diasuh oleh orang tua beliau di Madiun untuk
disekolahkan hingga lulus SLTA, sementara beliau mengasuh dua anak
lainnya.
Mengenai sebidang tanah yang berupa kebun dari peninggalan suami
beliau, beliau meminta bantuan kepada orang lain unuk mengolah dengan
sistem bagi hasil. Bila hanya mengandalkan hasil dari kebun tersebut
tentu kekurang untuk biaya sehari-hari apalagi untuk keperluan
pendidikan anak, sehingga beliau bekerja sebagai pembantu rumah
tangga agar sekolah serta biaya sehari-hari dapat tercukupi.
Saat ini, kesemua anak beliau telah dewasa sehingga perwalian
beliau terhadap anak-anak telah berakhir dan seluruh harta yang dulunya
dikelola beliau diserahkan kembali kepada anak-anak mengingat usia
beliau mulai tua dan sebagian dari anak beliau telah berumah tangga.
(Wawancara dengan ibu Sriyatini, Jum‟at, 10 November 2017 pukul
16.00 WIB, di kediaman ibu Sriyatini).
69
B. Tinjauan Hukum Terhadap Pengelolaan Harta Waris Anak di Dusun
Ngepos.
Seorang anak yang belum mencapai usia dewasa tentu memerlukan
dampingan orang dewasa untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan
jiwa serta harta benda yang dimilikinya, terlebih bagi seorang anak yang
memiliki harta dari mewaris orang tuanya. Demi mencegah anak melakukan
pemborosan sehingga harta tersebut sia-sia, maka disinilah peran dari orang
yang lebih orang tua sebagai wali menglola serta mengatur harta serta
memberikan pendidikan terhadap anak.
Dalam hal siapa yang berhak menjadi wali atas anak hampir semua
perwalian jatuh pada perempuan, yakni perwalian dilakukan oleh ibu. Meski
perwalian di Dusun Ngepos tersebut condong kearah matrilinial, tetapi
perwalian menurut hukum adat tidak ada perbedaan dalam mengatur
pemeliharaan anak dan mengurus harta kekayaan anak. Pemeliharaan anak
tidak hanya sebagai kewajiban ibu atau bapak saja, melainkan juga sebagai
kewajiban kerabatnya. Oleh karena itu dalam hukum adat tidak memberi
kepastian siapa yang menggantikan orang tua dalam hal memelihara anak
tersebut apabila orang tuanya telah tiada ataupun bercerai.
Menyangkut perwalian yang tidak berdasarkan pada hukum formal
melainkan berdasarkan pada kebiasaan masyarakat tertentu yang menunjuk
wali berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat sehingga penunjukan wali
tidak memiliki kepastian hukum.
70
Dalam proses ibu menjadi wali atas anak tentu atas persetujuan keluarga
besar dari ayah dan ibu si anak dengan pertimbangan wali tersebut dapat
mendidik serta mengelola harta si anak. Yang menjadi bahan pertimbangan
diantaranya, (1) wali seagama dengan anak, dalam hal ini karena anak
beragama Islam, maka wali juga beragama Islam, (2) wali dalam keadaan
mampu secara ekonomi, hal ini bertujuan agar dalam memenuhi kebutuhan
anak tidak serta merta wali menggunakan harta milik anak. (3) wali
dipandang sebagai orang yang baik dan dapat dipercaya di lingkungan
keluarga serta masyarakat, hal ini bertujuan agar keluarga yakin dalam
menyerahkan perwalian atas jiwa serta harta anak kepada orang yang amanah.
Mengenai pengelolaan harta waris anak yang dilakukan oleh para wali di
Dusun Ngepos yang kebanyakan harta tersebut berupa tanah produktif, dalam
hal ini berupa kebun, tegalan, dan sawah dikelola secara mandiri sehingga
hasilnya kurang maksimal, seperti yang terjadi pada keluarga ibu Watini, ibu
Alfiatun dan bapak Mujiono. Meski kurang maksimal, setidaknya dari harta
tersebut dapat diambil manfaat dan tanah tersebut dapat terpelihara.
Pengelolan dengan cara tersebut tentu tidak sesuai bila dengan
KUHPerdata meski dalam hal tanggungjawab terhadap anak beserta hartanya
tetap menjadi prioritas wali. Bila mengacu pada KUHPerdata wali seharusnya
membuat laporan setiap bulannya kepada badan yang telah ditunjuk oleh
pemerintah yakni Balai Harta Peninggalan.
Sistem pengelolaan yang demikian dalam pandangan mazhab Syafi‟i
adalah besifat menggugurkan kewajiban, karena bila seorang wali telah
71
diserahi harta anak wajib hukumnya untuk dikelola. Sementara dalam mazhab
Maliki mengelola harta anak termasuk dalam kategori sunnah. Bila kita
berpedoman pada kenyataannya bahwa mayoritas muslim di Indonesia
menganut madzhab Syafi‟i, maka wali yang hanya mendiamkan harta anak
yang telah diamanahkan kepadanya hukumnya adalah haram dan berdosa
karena meninggalkan kewajiban.
Bagaimanapun caranya, melakukan pengelolaan terhadap harta anak
merupakan salah satu ikhtiyar dari wali karena pada dasarnya harta adalah
modal, sedang rizki yang dianjurkan dalam syara‟ adalah keuntungan dari
modal tersebut. Mengelola harta anak memiliki tujuan agar wali serta si anak
tersebut dapat merasakan keuntungan sebagai pemodal dan yang diberi modal
sebab perwalian tersebut. Sesungguhnya tujuan dari itu semua adalah agar
manusia mau beriktiyar untuk rizkinya dengan modal harta serta keterampilan
yang dimilikinya.
Mengenai jumlah atau besaran harta yang dibolehkan untuk diambil wali,
dalam praktiknya di Dusun Ngepos wali mencampuradukkan hartanya
dengan hasil dari pengelolaan harta anak tersebut sehingga sulit untuk
diketahui. Dalam KUHPer pasal 411 keuntungan yang boleh diambil wali
tidak kurang dari 5%, jumlah tersebut tentunya sangat sedikit mengingat cara
pengelolaan harta oleh wali yang demikian.
Perihal mencampuradukan harta anak dengan harta wali sebenarnya sah
dan dibolehkan menurut syariat karena sulitnya memisahkan antara keduanya.
Dengan syarat bila suatu saat harta tersebut dikembalikan pada anak minimal
72
harus kembali dalam keadaan utuh seperti pada saat diserahkan. Apabila harta
tersebut sampai berkurang, maka dalam KUHPerdata maupun syariat
dianggap sebagai hutang yang harus dibayar.
Selanjutnya, guna memenuhi nafkah si anak baik untuk keperluan sehari-
hari, biaya pendidikan serta kesehatan, para wali berusaha untuk tidak
menggunakan (dalam hal ini mengurangi dengan cara menjual atau
menggadaikan) harta anak. Wali bekerja guna mendapatkan nafkah untuk
dirinya dan untuk si anak, meski sebenarnya untuk nafkah anak wali boleh
menggunakan harta anak. Hal ini sejalan dengan tujuan dari perwalian itu
sendiri, yakni menjaga serta merawat anak maupun hartanya sehingga ia
dewasa dan mampu mengelola hartanya sendiri.
Penyerahan harta adalah merupakan salah satu indikasi dari berakhirnya
perwalian. Penyerahan harta kepada anak di Dusun Ngepos terjadi setelah
anak tersebut dirasa mampu untuk mengelola hartanya secara mandiri. Dalam
hal ini baligh bagi laki-laki yang diperkirakan pada usia 15 tahun dan 12
tahun bagi perempuan bukan merupakan patokan karena pada kenyataannya
pada usia tersebut si anak masih berstatus pelajar sehingga masih dibutuhkan
wali yang bertanggung jawab atas anak tersebut.
Begitu pula bila mengacu pada perundang-undangan, bahwasanya anak
yang telah dewasa adalah anak yang telah berusia lebih dari 18 tahun juga
bukan merupakan patokan bagi para wali untuk menyerahkan harta tersebut
kepada anak. Karena harta diserahkan pada anak kalau anak tersebut telah
73
berusia lebih dari 21 tahun atau sudah menikah. Sebelum usia 21 tahun anak
hanya diberi pengertian mengenai harta waris yang menjadi haknya.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dengan judul “Pengelolaan Harta Waris
Anak Oleh Walinya (Studi Kasus Di Dusun Ngepos Desa Tingkir Tengah
Kecamatan Tingkir Kota Salatiga)”, penulis akan memberikan kesimpulan
guna untuk menjawab rumusan masalah yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, adalah sebagi berikut:
1. Pembagian harta waris di Dusun Ngepos dilakukan dengan cara-cara
sebagai berikut; (1) Pembagian waris berdasar hukum Islam. Menurut
pedoman yang diterapkan, pembagian waris berdasar hukum Islam
menjadi dua, yaitu; (a) diselesaikan secara kekeluargaan, (b) diselesaikan
melalui putusan pengadilan agama. (2) Pembagian waris berdasar selain
hukum Islam, dalam hal ini masyarakat melakukan pembagian waris
dengan membagi sama rata terhadap setiap ahli waris.
2. Pengelolaan harta waris anak yang dilakukan oleh para wali di Dusun
Ngepos yang kebanyakan harta tersebut berupa tanah dikelola secara
mandiri. Mengenai jumlah atau besaran harta yang dibolehkan untuk
diambil, wali mencampuradukkan hartanya dengan hasil dari pengelolaan
harta anak tersebut sehingga sulit untuk diketahui. Untuk memenuhi
nafkah, para wali berusaha untuk tidak menggunakan harta waris yang
75
diamanahkan kepadanya. Penyerahan harta kepada anak dilakukan
setelah anak tersebut telah berusia 21 tahun atau telah menikah.
B. SARAN
1. Bagi masyarakat umum, pembagian waris hendaknya dilakukan dengan
cara yang terbaik, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Untuk pengelolan harta waris anak hendaknya dilakukan dengan lebih
hati-hati mengingat zalim terhadap amanah dalam melakukan
pengelolaan harta waris merupakan salah satu dosa yang memberatkan
pelakunya.
2. Bagi tokoh masyarakat terlebih bagi tokoh agama, hendaknya masyarakat
dibimbing dan diarahkan, karena bagi sesame muslim hukumnya wajib
mengingatkan dalam hal kebaikan dan mencegah kemunkaran. Sehingga
tercipta dalam masyarakat yang mayoritasnya beragama Islam yang
menjalankan syariat-syariat Islam.
3. Bagi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, penulis berharap agar
terus berusaha mendidik para mahasiswa menjadi para cendikiawan,
memberikan kebebasan bagi para mahasiswa untuk menggali potensi
ilmiah mereka serta melengkapi prasarana yang dibutuhkan para
mahasiswa untuk menunjang prestasi mereka.
4. Mengingat keterbatasan penulis yang melakukan wawancara hanya
beberapa narasumber dan sensitfnya tema yang diangkat sehingga
penulis merasa kesulitan untuk menggali informasi dari narasumber,
76
namun dapat dijadikan rujukan atau refresensi guna mengetahui metode
pembagian waris serta pengelolaan harta waris anak di Dusun Ngepos.
C. PENUTUP
Alhamdulillahirobbil alamin, berkat rahmat dan karunia Allah SWT,
penulis bersyukur pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis
merasa wajib untuk mengucapakan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dosen pembimbing dan semua pihak yang telah membantu
terselesainya skripsi ini. Semoga amal kebaikan dosen pembimbing dan
seluruh pihak yang telah membantu mendapat balasan yang berlipat dari
Allah SWT. Amin ya robbal alamin.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyusun skripsi ini
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, hal ini disebabkan karena
keterbatasan kemampuan penulis. Maka saran dan kritik dari pembaca yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Atas partisipasinya pembaca,
penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Penulis tidak berhenti berharap kajian skripsi ini terus dikaji sehingga
memperoleh kesempuranaan dan manfaat sekarang maupun yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Ali. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta:
Bina Aksara.
Al Asqolani, Ibn Hajar. Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam. Surabaya: Darul
Ilmi.
Al Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar
dan Heri Nur Aly. Semarang: Toha Putra.
Amirin, Tatang M. 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers.
Ash Shabuni, Muhammad Ali. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta:
Gema Insani Press.
Basyir, Azhar H. Ahmad. 1995. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press
Budiyono, A. Rachmad. 1999. Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjari. 2004. Hukum Perkawinan Dan
Keluarga di Indonesia. Jakarta:Fakultas Hukum Indonesia.
Departemen Agama R.I.. 1999. Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991
Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Depatemen Agama
R.I.
. 1983. Al-Quran Dan Terjemahnya. Depatemen Agama R.I.
El Syhab, Riza Umami. 2008. Implikasi Praktik Adopsi Tentang Kedudukan Anak
Angkat (Study di Pringapus Kabupaten Senarang). Skripsi tidak
diterbitkan. Salatiga: Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah.
Hamka. 2004. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hasan, Abdul Halim. 2006. Tafsir al-Ahkam. Jakarta: Kencana.
Hermawan, Asep. 2004. Kiat Praktis Menulis Skripsi, Tesis Dan Disertasi
Untukkonsensi Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ibrahim, Abdullah Lam. 2005. Fiqih Finansial, terj. Abu Sarah. Surakarta: Era
Intermedia.
Jauhari, Imam. 2003. Hak-hak anak Dalam Hukum Islam. Jakarta: Pustaka
Bangsa.
Kementerian Agama RI. 2011. Al-Qur‟an dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya.
Kholis, Muhammad Noor. 2012. Hak Ayah Angkat Dalam Pengelolaan Harta
Waris Anak Angkat (Study Putusan P.A.Salatiga.no010/pdt.P.A.Sal).
Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah.
Maslikhah. 2013. Melejitkan Keahlian Menulis Karya Ilmiah Bagi Mahasiswa.
Yogyakarta: Trustmedia.
Moleong, Lexy J. 2002. Metedologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Nur, Mujahidin. 2011. Keajaiban Menyantuni Anak Yatim. Jakarta: Zahira.
Prodjodikoro, R. Wirjono 1960. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Sumur
Bandung.
Prodjohamidjojo, Martiman. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta:
Indonesia legal Center Publishing.
Qutb, Sayyid. 2001. Tafsir Fi Zilalal-Qur‟an: Di Bawah Naungan al-Qur‟an, juz
IV, terj. As„ad Yasin, dkk. Jakarta: Gema Insani.
Ramulyono, M. Idris. 1994. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam
Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Bw). Bandung: Sinar Grafika.
Rofiq, Ahmad. 1998. Fiqih Mawaris, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Ruslan, Rosady. 2010.Metode Peneliyian Publik Relation Dan Komunikasi.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sarjono, R. 1979. Masalah Perceraian. Jakarta: Academika.
Shihab, M. Quraish. 2007. Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata. Jakarta:
Lentera Hati.
Soekanto, Soerjono. 2008. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada.
Soetojo, R. dan Asis Safioedin. 1972. Hukum Orang dan keluarga, Cet.4.
Bandung: Penerbit Alumni.
Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Suryabrata, Sumadi. 2009. Metode Penelitian. Jakarta: Raja Grafido Persada.
Tim Penyusun Pusat Kamus. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Jakarta: Balai Pustaka.
UU Perkawinan (UU RI No. 1 Th. 1974). Jakarta: Sinar Grafika.
UU Perlindungan Anak (UU RI No. 23 Th. 2002). Jakarta: Sinar Grafika.
http://nasihatsahabat.com/wp-content/uploads/2017/05/Kitab-Shahih-Bukhari-06-
Hadis-nomor-5196-sampai-nomor-6352.pdf. di akses pada 28
Febuari 2018 pukul 00.30 WIB.
http://nasihatsahabat.com/wp-content/uploads/2017/05/Kitab-Shahih-Muslim14-
Hadis-Nomor-4966-sampai-5362.pdf. di akses pada 28 Febuari 2018
pukul 00.40 WIB.
DAFTAR NILAI SURAT KETERANGAN KEAKTIFAN (SKK)
NAMA : Muhammad Muslikhin
NIM : 21111029
FAKULTAS : Syari‟ah
JURUSAH : Hukum Keluarga Islam (HKI)
DOSEN PA : Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si.
No Nama Kegiatan Pelaksanaan Keterangan Nilai
1 Orientasi Pengenalan Akademik
Dan Kemahasiswaan
“Revitalisasi Gerakan
Mahasiswa Di Era Modern
Untuk Kejayaan Indonesia”
20-22
Agustus
2011
Peserta 3
2 Achievement Motivation
Training (AMT) “Membangun
Mahasiswa Cerdas Emosi,
Spiritual, Dan Intelektual
Melalui AMT”
23 Agustus
2011
Peserta 2
3 Orientasi Dasar Keislaman
(ODK) “Menemukan Muara
Sebagai Mahasiswa Rahmatan
Lil Alamin”
24 Agustus
2011
Peserta 2
4 Seminar Enterprenuership Dan
Koperasi
25 Agustus
2011
Peserta 2
5 User Education (Pendidikan
Pemakai)
19
September
2011
Peserta 2
6 Seminar Nasional “Rahasia
Kaya Ilmu, Kaya Hati, Sehat
Dan Kaya Raya”
30 Oktober
2011
Peserta 6
7 Makrab Mahasiswa Syariah
“Semalam Sehati”
8-9 Oktober
2011
Peserta 3
8 Workshop Nasional “Bisa
Ngomong Inggris, Kuasai 500
Kosakata, Kuasai Grammar”
11 Desember
2011
Peserta 6
9 Seminar Regional “Peran
Mahasiswa Dalam Mengawal
BLSM (BLT) Tepat Sasaran”
3 Mei 2012 Peserta 4
10 Seminar Nasional Pendidikan
“Pendidikan Multikultural
Sebagai Pilar Karakter Bangsa”
6 Juni 2012 Peserta 6
11 Seminar Nasional Ekonomi
Syariah “Ekonomi Syariah -
Bukan Ekonomi Biasa”
2 Juni 2012
Peserta 6
12 MAPABA PMII Joko Tingkir
Salatiga “Membentuk Militansi
Kader Menuju Mahasiswa Yang
Ideal”
5-7 Oktober
2012
Peserta 3
13 Tabligh Akbar “Tafsir Tematik
Dan Upaya Menjawab Persoalan
Israel Dan Palestina”
1 Desember
2012
Peserta 2
14 Seminar Nasional “Norma
Hukum Serta Kebijakan
Pemerintah Dalam
Mengendalikan Harga BBM
Bersubsidi”
23 Mei 2013 Peserta 6
15 Sosialisasi Dan Silaturrahim
Nasional “Sosialisasi UU No. 1
Th. 2013 Peran Serta Fungsi
OJK”
30
September
2013
Peserta 6
16 Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan
Dan Seminar Nasional “4 Pilar
Kebangsaan Untuk
Mempertegas Karakter Ke-
Indonesiaan”
24 Oktober
2013
Peserta 6
17 Sosialisasi Pancasila, UUD
1945, NKRI, Dan Bhineka
Tunggal Ika
24 Oktober
2013
Peserta 6
18 Dialog Interaktif Dan Edukatif
“Diaspora Politik Indonesia Di
Tahun 2014, Memilih Untuk
Salatiga Hatti Beriman”
1 April 2014 Peserta 2
19 Seminar Nasional LPM
Dinamika “Idealisme
Mahasiswa”
3 Juni 2014 Peserta 6
20 Talkshow Sukses Kuliah
Bersama KAMMI Salatiga
16
September
Peserta 2
2015
21 Seminar Nasional “Perlindunga
Hukum Terhadap Usaha Mikro
Menghadapi Pasar Bebas
ASEAN”
Desember
2014
Peserta 6
22 Seminar Nasional “Islamisasi
Nusantara Ataukah
Menusantarakan Islam”
5-8
November
2015
Peserta 6
23 Dialog Interaktif SEMA
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Islam IAIN Salatiga “Peran
Politik Dalam Perekonomian Di
Indonesia”
4 Oktober
2016
Peserta 2
24 Seminar Nasional Problematika
Hakim Dan Peradilan
“Rekontruksi Ideal Sistem
Peradilan Di Indonesia”
22
September
2016
Peserta 8
25 Seminar Nasional Meretas
Bullying “Mengembangkan
Layanan Kemanusiaan Berbasis
Kearifan Lokal Komunitas”
17 Desember
2016
Peserta 6
Total 109
Salatiga, 14 Maret 2018
Wakil Dekan
Bidang Kemahasiswaan
Fakultas Syariah
Ilya Muhsin, S.HI., M.Si.
NIP. 197909302003121001
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Muhammad Muslikhin
Tempat/Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 23 Desember 1992
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Tingkir Tengah Rt. 01 Rw. 07 Salatiga
Riwayat Pendidikan Formal :
1. SD Negeri 02 Tingkir Tengah Lulus Tahun 2004
2. SMP N 2 Salatiga Lulus Tahun 2007
3. SMK AL IHSAN Boyolali Lulus Tahun 2010
Riwayat Pendidikan Non Formal :
1. Madrasah Diniyah Mi‟rajul Wildan Tingkir Tengah
2. Madrasah Diniyah Al Huda Pon.Pes. Al Huda Boyolali
Demikian Daftar Riwayat Hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Salatiga, 15 Maret 2018
Hormat saya,
Muhammad Muslikhin