Jurnal Tata Kota Edisi 03 MAIL.pdf

download Jurnal Tata Kota Edisi 03 MAIL.pdf

of 116

Transcript of Jurnal Tata Kota Edisi 03 MAIL.pdf

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 20142

    JURNAL

    BekasiNature Meet CreatureDaftar IsiRumah Bukan Sekadar Properti

    16

    Hati-hati, Pengembang

    22

    Rumah Layak versi PBB

    30

    Antisipasi Backlog Rumah di Bekasi

    40

    Sengkarut Perumahan Perkotaan

    46

    Cerita dari Rumah Kontrakan

    52

    Sulitnya Mencari Apartemen Bersubsidi

    62

    Hak Anak Atas Permukiman Layak

    78

    Belajar Menata Kota dari Curitiba

    108

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 3

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    Setelah sempat menghilang selama 6 bulan lebih pascaterbitnya Jurnal Tata Kota edisi 2, akhirnya edisi 3 ini bisa hadir di tangan pembaca sekalian. Ada banyak faktor kecil yang menghambat terbitnya jurnal edisi 3 ini. Namun kami pastikan hal itu tidak mengurangi bobot dari materi yang disajikan. Pertumbuhan penduduk Kota Bekasi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal tersebut tentu berimbas pada pemanfaatan lahan yang sangat agresif khususnya untuk permukiman. Kota Bekasi menempati urutan ke empat Kota Ter-padat di Indonesia, setelah Jakarta, Surabaya dan Bandung. Data Pemkot Bekasi menunjukan alokasi lahan untuk permukiman tinggal meny-isakan 8 persen, diperkirakan dalam 10-20 tahun ke depan lahan permukiman sudah habis terbangun. Hal ini tentu harus disikapi secara serius oleh pemerintah daerah, salah satunya adalah dengan menghentikan izin pembangunan hunian horizontal, dan beralih ke hunian vertikal. Geliatnya sudah mulai terasa, sampai saat ini ada sekitar 15 apartemen yang dibangun, sebagian diantaranya sudah dihuni. Sayangnya, maraknya pembangunan hunian vertikal (Rusunawa, Rusunami dan Apartemen) di Kota Bekasi belum mampu memenuhi kebutuhan perumahan khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kenyatannya, kepemilikan hu-nian vertikal masih didominasi oleh orang-orang berpenghasilan tinggi, baik untuk ditempati atau hanya investasi. Sementara masyarakat berpenghasilan rendah ter-paksa harus tinggal mengontrak atau menempati rumah-rumah di permukiman padat penduduk dan kawasan kumuh. Mekanisme pasar tanpa kontrol tersebut tentu sangat tidak adil, sebab rumah adalah hak setiap warga negara. Pemerintah Daerah harus melakukan intervensi un-tuk melakukan pengaturan distribusi agar semua warga kota dapat menikmati tinggal di rumah layak huni. Persoalan lain adalah, pembangunan apartemen menimbulkan masalah lingkungan dan sosial baru. Jika hal ini tidak diantisipasi maka bisa dipastikan Kota Bekasi akan menjadi daerah padat yang tidak ramah terhadap warganya. Jurnal edisi 3 ini mencoba memaparkan masalah Perumahan dan Permuki-man dari beragam sudut padang. Diharapkan dapat memberikan wacana baru yang bisa melahirkan kebijakan pro rakyat khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah. Tentu masih banyak kekurangan di sana-sini, namun kami yakin bahwa kontribusi sekecil apapun akan bisa bermanfaat bagi masa depan kota ini. Kami memastikan bahwa ke-depan JTK akan terbit tepat waktu secara berkala, sehingga bisa terus menyemai gagasan dan ide bagi pembangunan Kota Bekasi. Selamat membaca!

    Tim Redaksi

    Pimpinan Redaksi:Denny Bratha

    Dewan Redaksi Respati Wasesa, Ichsanuddin

    Sekretaris Redaksi: Dian Asri Finlandia

    Marketing dan Promosi: Anggi Kusumah

    Design Grafis/Layout: Ifank Farizi

    Sosial MediaBene Waluyo

    Telp:(021) 29620571

    Mail:[email protected]

    [email protected]

    Alamat: Rukan Emerald Blok UG 18

    Summarecon Bekasi

    JURNAL

    BekasiNature Meet CreaturePengantar Redaksi

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 20144

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    Harus diakui, dalam bahasa Indone-sia, definisi bukanlah sesuatu yang bisa menjelaskan rumah secara utuh dan memuaskan. Lebih mudah mengatakan, Ini rumah saya. Itu bukan rumah saya,

    atau Rumah ini bagus. Rumah itu jelek, ketimbang rumah adalah..Kita mengenal macam-macam penggunaan istilah rumah. Ada rumah makan, rumah sakit, rumah

    ibadah dan seterusnya. Kita tidak akan membahasnya. Yang kita bicarakan adalah rumah tinggal. Tapi, rumah tinggal apa yang di-maksud? Ada macam-macam rumah tinggal, lho. Ada rumah dinas, rumah yatim-piatu, rumah tahanan dan rumah-rumah yang lain.Daripada bingung, kita patuhi saja definisi rumah versi pemerintah ini: rumah adalah bangunan yang ber-fungsi sebagai tempat tinggal atau hu-nian dan sarana pembinaan keluarga. (Undang Undang nomor 4 tahun 1992)

    Definisi tersebut sebenarnya meru-juk apa yang diartikan di dalam bahasa

    Kota dan Rumah Kita

    Apakah sesungguhnya rumah? Barangkali ini pertanyaan yang kurang pentingatau malah kurang ajar. Tapi, cobalah Anda sebutkan apa definisi rumah. Membingungkan, bukan? Dan sekarang kita akan berbicara panjang panjang lebar tentang pertanyaan yang kurang ajar ini.

    4

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 5

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    Inggris sebagai house, sekaligus home. Kedua kata ini berbeda makna. House lebih merujuk pada bangunan fisiknya. Sedangkan home, mengandung makna lain: tempat di mana kita merasa nya-man di dalamnya. Kita sering dengar ungkapan Saya dibesarkan sejak kecil di rumah ini. Memang benar adanya. Rumah, bukan saja sebagai tempat bernaung dari pa-nas dan hujan, tapi juga sebagai tem-pat membina keluarga dan membesar-kan anak.Dalam dunia pendidikan, rumah adalah tempat belajar pertama-tama bagi seorang anak. Di rumah, ia mendapatkan apa yang dinamakan sebagai pendidikan karakter. Sehingga ketika belajar di sekolah formal, atau pun belajar dengan teman-teman se-bayanya, ia sudah punya bekal.

    Rumah, merupakan tempat kita bertolak pergi dan kembali pulang. Se-tiap pagi, setiap berangkat kerja, kita memulai langkah dari rumah. Sore atau malamnya, kita akan kembali lagi ke rumah. Rumah adalah juga tempat yang privat: tidak boleh orang semba-rangan masuk.Pada akhirnya, rumah juga men-jadi wajah status sosial. Bentuk rumah bisa menggambarkan status sosial pe-miliknya. Jika rumah tersebut besar, megah dan memiliki tiang-tiang yang kokoh, tidak bisa disangkal bahwa si empunya memang orang berduit. Be-gitu pun sebaliknya.Apa yang ditampilkan di depan rumah pun bisa menjadi kebiasaan dan karakter seseorang. Misalkan di rumah tersebut banyak terdapat bu-rung berkicau. Kita segera tahu: pe-

    milik rumah hobi memelihara burung. Jika rumah tersebut bersihbahkan dedaunan pun tidak dibiarkan ber-serakanmaka si empunya akan mendapat macam-macam pujian.Karena peranannya yang sangat penting itu, rumah disejajarkan den-gan hal-hal mendasar lain. Sandang, pangan dan papan. Tiga serangkai ke-butuhan dasar setiap manusia. Undang Undang Dasar 1945 menjaminnya.Rumah merupakan bagian pent-ing yang tidak dapat dipisahkan dalam hidup manusia. Pada rumah melekat dimensi budaya dan sosial sehingga makna rumah tidak dapat diartikan secara sempit dengan tempat berlind-ung yang memiliki atap di atas kepala. Sebagian masyarakat di Indonesia menganggap rumah seperti manusia yang juga harus dihargai dan dihorma-5

    Potret kepadatan Kota Bekasi diambil dari ketinggian Apartemen Mutiara.

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 20146

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    ti. Hal tersebut terlihat dengan adanya upacara adat saat pembuatan rumah di banyak daerah di Jawa dan Sumatera. Di daerah Sumatera Barat misal-nya, seorang anak laki-laki yang pergi merantau dan kemudian berhasil membuatkan rumah orang tuanya di-anggap sebagai laki-laki yang sudah berhasil dan mengabdikan diri kepada orang tua yang akan menghabiskan masa tuanya. Rumah juga dianggap sebagai tempat yang sakral dan suci sehingga harus selalu dirawat dengan baik agar terhindar dari malapetaka. Bagaimana orang memiliki rumah? Ada banyak cara. Duludan mungkin sekarang masih berlansungrumah didapatkan dari warisan orang tua, atau malah pemberian. Biasanya, rumah warisan ini tetap terjaga apa-bila si orangtua memiliki anak tunggal. Kalau anaknya banyak, rumah terse-but bisa dijual, kemudian uangnya dibagi. Inilah yang disebut sebagai hu-kum waris.Selain waris, rumah bisa dimiliki dengan cara membangun dari awal. Yang tidak punya tanah, membeli dulu, baru kemudian dibangun lang-sung maupun berangsur. Cara lainnya, membeli tanah milik orang lain beser-ta rumahnya. Salah satu pendiri bangsa ini, Bung Hatta pernah menulis, Adat hidup yang dipakai orang Indonesia serta sifat tolong-menolong yang menjadi dasar segala usaha yang berat, mela-rang orang mengabaikan rumahnya. Kalau ia hendak mendirikan rumah, ia dapat minta tolong kepada orang banyak yang sekampung atau sedesa. Paham tradisi, yaitu ikatan ke-biasaan, tidak membiarkan orang tel-edor terhadap pemeliharaan rumahn-ya. Tanda kehormatan manusia dile-katkan pada sopan santun bergaul,

    kepada pakaian dan kepada rumah.Di beberapa daerah, memang ada tradisi gotong royong antarwarga un-tuk membangun rumah tetangganya. Merekalah para arsiteknya. Daerah satu dengan daerah lainnya punya gaya arsitektur rumah yang berbeda, tergantung adat-budaya dan lingkun-gan setempat.Kita mengenal rumah panggung: ti-dak menapak tanah, disangga kayu-ka-yu. Konon, bentuk rumah semacam ini telah disesuaikan sedemikian rupa den-gan kondisi lingkungan. Fungsinya un-tuk menghindarkan dari binatang buas.Lingkungan juga memengaruhi bahan baku bangunan rumah. Di dae-rah pegunungan yang dingin, kita bisa menemui rumah-rumah yang atapnya bukan genteng, tapi seng. Tujuannya, agar tidak dingin. Sedangkan di daerah pesisir, orang ogah menggunakan atap seng karena panas.Kita juga sering menyebut gubuk, sebagai nama lain rumah yang diban-gun dengan bahan baku seadanya. Uniknya, istilah gubuk punya beragam pemaknaan. Ia bisa dimaknai sebagai tempat tinggal yang tidak layak, semis-al gubuk reot, gubuk derita dan hal-hal yang serba tidak mengenakkan.Tapi, jangan salah, gubuk juga bisa menjadi kiasan bagi tempat yang asri, alami dan tenang. Beragam hotel mahal menawarkan produk pengina-pannya dalam bentuk resort, dengan penamaan gubuk. Bahkan, penginapan gubuk inilah yang diminati wisatawan karena di dalamnya tersedia fasilitas yang serba desa.Perumahan

    Rumah di perdesaan letaknya ber-jauhan. Satu rumah dengan rumah yang lain jaraknya bisa ratusan meter.

    Ini karena tanah di perdesaan luas, dan belum banyak yang terbangun. Se-hingga setiap rumah memungkinkan memiliki kebun, atau paling tidak, hal-aman. Antar-rumah tersebut bahkan tidak terintegrasi, tidak ada jaringan jalan yang saling terhubung.Tapi, sekarangkhususnya di perkotaantanah semakin terbatas karena pembangunan berlangsung cepat. Penduduk dari berbagai daerah datang ke kota. Harga rumah pun ikut naik. Maka, muncul ide untuk mem-bangun rumah-rumah dalam satu komplek, yang kita kenal sekarang ini sebagai perumahan. Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, konsep pembangunan komplek perumahan sebenarnya sudah ada. Hanya saja, perumahan tersebut masih eksklusif. Artinya, penghuninya adalah golongan tertentu saja. Pada jaman kerajaan, misalnya, ada rumah-rumah yang be-rada dalam satu area atau biasa dise-but komplek keraton. Pada jaman Hindia Belanda, konsep perumahan juga digunakan. Saat itu, pemerintah kolonial gencar mengek-sploitasi hasil pertanian. Mereka membuka perkebunan-perkebunan di banyak tempat. Untuk memfasilitasi para pegawainya, pemerintah kolonial membangun rumah-rumah di sekitar perkebunan.Kita bisa lihat rumah-rumah pega-wai perkebunan tersebut, misalnya, di area pabrik tebu. Di sana ada rumah-rumah yang dibangun dengan desain dan bahan baku yang sama. Jumlahnya puluhan, lengkap dengan jaringan ja-lan, listrik, sumber air. Hal sama juga diadopsi pemerintahan Indonesia un-tuk perumahan tentara, perumahan polisi, perumahan dosen dan lainnya. Sekarang perumahan macam ini dike-

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 7

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    nal sebagai cluster.Pada tahun 1974, pemerintah se-cara resmi membentuk Perusahaan Umum Perumahan Nasional (Perum Perumnas) sebagai Badan Usaha Mi-lik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang perumahan. Ribuan rumah un-tuk masyarakat menengah ke bawah dibangun di kota-kota besar seperti Jakarta, Depok, Bekasi, Cirebon, Sema-rang, Surabaya, Medan, Padang dan Makassar.Pekerjaan Perumnas tersebut ke-mudian diikuti pengembang swasta. Mereka juga membangun perumahan-perumahan baru. Pemerintah mem-berikan intensif berupa bantuan sarana dan prasarana kepada swasta yang turut membangun perumahan murah untuk rakyat melalui program pemban-gunan 500.000 rumah sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS).Peran Perumnas menyediakan rumah murah patut diapresiasi. Dalam kurun tahun 1992 sampai 1998, Pe-rumnas membangun sekitar 50 persen dari total pembangunan rumah nasi-onal. Daya beli masyarakat terhadap rumah yang dibangun Perumnas san-gat tinggi. Perumahan yang tumbuh di banyak kota rata-rata diawali oleh Perumnas.Namun, ketika Indonesia mengal-ami krisis ekonomi pada tahun 1998, Perumnas lesu. Perumnas mengalami kesulitan keuangan sehingga harus melakukan perbaikan perusahaan. Pada saat yang sama, daya beli ma-syarakat terhadap rumah juga menu-run drastis pascakrisis, khususnya masyarakat menengah ke bawah.Ketika ekonomi Indonesia mulai bangkit, diikuti meningkatnya kebu-tuhan rumah yang terus meningkat, Perumnas belum juga sehat. Dalam catatan Perumnas, kelesuan tersebut

    terjadi sejak tahun 1999 hingga 2007. Keadaan ini ternyata malah memberi ruang gerak bagi swasta untuk menyu-plai kebutuhan rumah masyarakat.Bagi pengusaha properti, kebu-tuhan rumah warga perkotaan yang tinggi adalah peluang bisnis yang besar.Para pengusaha properti me-mandang kebutuhan rumah warga perkotaan sebagai peluang bisnis. Se-makin banyak orang datang ke kota, semakin banyak yang membutuhkan rumah. Dan, itu berarti produk mereka semakin laris manis. Rumah menjadi barang komoditi.Istilah perburuan tanah pun menjadi populer di perkotaan. Para pengusaha itumereka tidak send-irianmembeli tanah-tanah milik warga. Yang tidak berniat membangun perumahan, tetap bisa ambil bagian: menjadi makelar tanah. Para makelar ini membeli tanah, kemudian menjual kepada pengusaha properti dengan harga yang lebih tinggi.Kita ambil contoh Jakarta. Ketika pengusaha membangun perumahan di Jakarta, bukan berarti usaha mer-eka sampai di situ saja. Mereka tetap memburu tanah ke daerah-daerah sekitarnya. Jika daerah tanah telah tersedia infrastruktur, maka pengusa-ha segera membangunnya. Jika belum, tanah itu bisa dibangun 10 atau 20 ta-hun kemudian.Ada ungkapan, membeli tanah ti-dak bakal rugi. Dibiarkan saja, tanpa diapa-apakan, harga tanah akan se-makin tinggi. Praktik investasi tanah itulah yang membuat harga tanah di perkotaan tiap tahun semakin tinggi. Kadangkala, naiknya harga tanah mengikuti pembangunan di seki-tarnya. Misalkan ada proyek pemban-gunan jalan tol. Harga tanah di daerah-daerah yang dekat dengan akses pintu

    tol tersebut tentu saja menjadi mahal. Alasannya sederhana, karena daerah tersebut menjadi strategis.Tingginya harga tanah, diikuti harga rumah, membuat warga miskin perkotaan menjadi terpinggirkan. Mereka menyasar daerah padat pen-duduk dan menempati rumah-rumah kontrakan. Kadangkala, karena rumah kontrakan mahal, satu atap saja bisa dihuni 5 hingga 6 orang. Rumah-rumah tersebut saling berdempetan dan pa-dat karena lahan terbatas. Dalam ilmu psikologi, kepadatan semacam itu bisa berakibat buruk bagi penghuninya. Mereka bisa stres. Para ahli membagi kepadatan men-jadi dua: kepadatan di dalam ruangan dan kepadatan di luar ruangan. Yang dimaksud di dalam ruangan adalah rumah padat. Rumah padat penghuni berarti rumah tersebut luasnya tidak sebanding dengan jumlah penghun-inya. Sedangkan yang dimaksud ke-padatan di luar ruangan adalah suatu kawasan yang sudah sangat padat, yang di dalamnya ada penduduk dan bangunan-bangunan. Mengingat pentingnya fungsi rumah sebaiknya rumah dapat di-rasakan sebagai suatu lingkungan psikologis yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi penghun-inya dan perlu dihindarkan rumah yang terlalu sempit. Penyempitan ru-ang individual dalam rumah akan me-nimbulkan berbagai macam perma-salahan psikologis yang serius. Suasana tidak nyaman tersebut disebabkan oleh banyaknya anggota keluarga yang menempati rumah tersebut, banyaknya orang yang ber-lalu lalang di sekitar rumah, dan jarak antar rumah yang terlalu dekat, serta suara bising yang mengganggu terus menerus. Kondisi ini jelas akan meru-

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 20148

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    gikan perkembangan psikologis ang-gota keluarga, terutama pada anak-anak dan remaja.Rumah Vertikal

    Selalu ada peluang meski dalam himpitan. Begitulah, kurang lebih, semboyan para pengusaha properti. Di tengah keterbatasan lahan perkotaan, mereka tetap berpikir keras bagaima-na menetaskan ide untuk menjawab tantangan jaman. Maka, ngetoplah jen-is rumah ini: apartemen. Lahan sempit bisa dibangun berlantai-lantai rumah. Jumlahnya ribuan!Awalnya, barangkali, agak aneh tinggal di rumah tanpa halaman, tidak menjejak tanah dan berada di keting-gian. Namun orang pun akhirnya ter-biasa tinggal di apartemen. Penghuni merasa mantap tinggal di sana karena pengusaha telah lebih tahu apa yang dibutuhkan pembelinya. Lokasi dekat

    tempat kerja, akses mudah.Meski bisa menghemat lahan, pengusaha tetap menjual apartemen dengan harga yang cukup mahal. Ala-sannya, harga bahan baku untuk mem-bangun apartemen tidak murah. Apa-lagi, apartemen mesti dilengkapi fasil-itas-fasilitas lainnya. Tapi, memang ajaib bisnis properti ini, apartemen tetap laris manis. Lagi-lagi pembelinya orang berduit, yang bahkan ada yang sekadar untuk investasi.Untuk menunjukkan keberpihakan kepada warga miskin perkotaan, pemer-intah mulai berpikir sedikit kreatif: merumahkan warga miskin yang ada di slum area ke rumah vertikal. Rumah tersebut tentu bukan apartemen, tapi rumah susun sederhana. Dibuatlah per-aturan. Pengusaha diminta membantu membangun rumah susun tersebut.Rencana lainnya, pemerintah in-gin merapikan daerah-daerah yang ti-dak tertata dan kumuh, namun bukan

    ilegal. Caranya, pemerintah menge-luarkan anggaran untuk membetulkan rumah-rumah yang tidak layak huni. Pemerintah akan memastikan peng-huninya tinggal di dalam rumah dan lingkungan yang sehat.Belum lama ini, pemerintah juga berencana menghentikan program KPR FLPP. Mulai 31 Maret 2015, pemerintah menghentikan subsidi un-tuk rumah tapak dan diganti dengan tipe rumah susun (rusun). Pemerin-tah akan berupaya mendorong pem-bangunan rusun sebagai solusi atas semakin berkurangnya lahan untuk perumahan di Indonesia. Jika rencana-rencana tersebut ber-hasil, kota yang padat penduduk bisa terlepas dari jerat kekumuhan, meski la-han semakin terbatas. Warga pun akan merasa nyaman. Negara memang harus peduli terhadap persoalan ini. Bagaima-na pun, negara adalah rumah besar bagi semua warganya. (Respati/Tim)

    Kepadatan permukiman di kawasan Kelurahan Margahayu Kecamatan Bekasi Timur

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 9

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 201410

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    Pada saat yang sama, harga rumah semakin tahun semakin melambung tinggi dan banyak pihak memanfaat-kannya sebagai peluang investasi. Apa jadinya? Rumah hanya jadi impian, ka-lau bukan utopia bagi warga miskin.Ini merupakan persoalan serius yang harus menjadi perhatian pemer-intah. Jika dibiarkan, persoalan tempat tinggal ini akan menimbulkan dampak

    buruk lainnya baik bagi lingkungan maupun warga penghuninya. An-tara lain dampak kesehatan, dampak psikologis, dampak bagi pertumbuhan anak. Pemerintah mesti tanggap dan

    Rumah adalah Hak Asasi

    Salah satu masalah sosial di perkotaan yang muncul dan belum teratasi ialah tempat tinggal. Banyak orang yang hidup bertahun-tahun di kota namun belum juga punya rumah. Mereka bernaung di rumah-rumah sewa. Bahkan, yang lebih memprihatinkan, banyak orang di kota hidup sebagai tunawisma atau tinggal di kolong jembatan dan pinggiran rel kereta api, bantaran sungai dan sebagainya.

    Salah satu rumah warga miskin di kawasan Medan Satria

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 11

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    memberikan solusi.Di sinilah peran para pengambil keputusan (penyelenggara perkotaan), arsitek, perancang kota, perusahaan swasta dan pebisnis, dibutuhkan. Mer-eka harus dapat menciptakan sebuah strategi yang jelas untuk mengintegra-sikan masyarakat dengan latar belakang beragam ini ke dalam satu kota.UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1 men-jamin setiap orang berhak hidup se-jahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. UU nomor 1 tahun 2011 tentang Peruma-han dan Kawasan Permukiman pasal 5 ayat 1 juga mempertegas bahwa negara bertanggung jawab atas peny-elenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya di-laksanakan pemerintah.Penyelenggaraan rumah dan pe-rumahan tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Penyelengga-ran rumah dilaksanakan pemerintah, pemerintah daerah atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman, setiap orang juga berhak memperoleh infor-masi sejelas-jelasnya.UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 40 menekankan bahwa se-tiap orang berhak bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. UU no-mor 11 tahun 2005 tentang Hak Eko-nomi Sosial Budaya (Ratifikasi Konve-nan Internasional) pasal 11 ayat 1 me-wajibkan negara untuk mengakui hak

    setiap orang atas standar kehidupan yang layak bagi keluarganya, terma-suk cukup pangan, sandang dan papan yang layak, dan atas perbaikan kondisi yang berkelanjutan.Deklarasi Universal Hak-hak Asa-si Manusia Pasal 25 ayat 1 menja-min bahwa setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan per-awatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau ke-adaan lainnya yang mengakibatkan-nya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.Berkaitan dengan anak, Konvensi Hak Anak Pasal 27 Ayat 3 menegaskan bahwa sesuai dengan kondisi nasional dan dalam batas kemampuan mer-eka, Negara harus mengambil langkah-langkah yang layak guna membantu orangtua dan orang-orang lain yang ber-tanggungjawab atas anak untuk melak-sanakan hak ini. Dan bila diperlukan, memberi bantuan material dan program bantuan, terutama yang menyangkut gizi, pakaian dan perumahan.Setelah melihat berbagai instru-men di atas, maka kita dapat memak-nai bahwa hak atas perumahan adalah hak yang melekat pada diri setiap orang untuk mendapatkan rumah/tempat tinggal dan hidup di suatu tem-pat dengan aman, damai dan bermart-abat. Hak atas perumahan merupakan hak yang utama dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Hal tersebut dikarenakan di dalam hak atas perumahan tersebut juga me-nyangkut hak-hak lainnya, seperti hak untuk hidup, hak untuk hidup tentram,

    aman, damai, bahagia dan sejahtera, hak atas lingkungan hidup yang baik, hak atas identitas yang berkaitan den-gan hak atas pelayanan kesehatan dan juga hak atas jaminan sosial serta hak-hak lainnya. Jika hak atas perumahan dilanggar, maka ada banyak hak lain juga yang terancam dilanggar.Negara memiliki empat (4) kewa-jiban penting terkait dengan hak atas tempat tinggal. Pertama, tugas non-diskriminasi. Negera harus memper-lakukan setiap orang setara di hada-pan hukum dan di dalam praktik. Hu-kum dan kebijakan pemerintah tidak boleh membeda-bedakan seseorang dengan orang yang lain atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, umur, bahasa, agama, pendapat politi, dan lain-lain.Yang kedua, adalah tugas untuk menghormati. Negara harus menahan diri untuk menganggu akses masyarakat yang sudah ada terhadap tempat tinggal. Satu cara yang jelas dalam menghormati hak atas tempat tinggal adalah tidak melakukan pengusiran paksa.Yang ketiga, adalah tugas un-tuk melindungi. Negara harus me-lindungi orang-orang dari pelangga-ran yang dilakukan oleh orang-orang lainnya, seperti perusahaan dan tuan tanah. Contohnya, membiarkan peru-sahaan mencemari sumber air bersih yang digunakan untuk minum adalah pelanggaran hak atas tempat tinggal dan hak atas air. Yang keempat, adalah tugas un-tuk memenuhi. Negara wajib mengam-bil langkah-langkah untuk memastikan bahwa setiap orang akan mewujudkan hak mereka atas tempat tinggal yang memadai secara bertahap. Langkah pertama harus termasuk menyusun rencana tindakan secara nasional dan lokal dengan keterlibatan penuh dari

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 201412

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    penduduk setempat, termasuk wanita dan mereka yang tinggal di permuki-man liar. Gusur Jangan Asal

    Fenomena penggusuran tempat tinggal kerap kita saksikan di kota. Orang-orang yang telah lama menem-pati area tertentu tiba-tiba digusur dengan alasan bahwa tanah tersebut bukanlah milik mereka. Namun yang menjadi persoalan adalah karena ti-dak ada solusi bagi mereka yang di-gusur. Misalnya, pihak penggusurdalam hal ini pemerintahtidak me-nyediakan tempat tinggal baru bagi mereka. Ada beberapa hal yang mendasari pandangan pemerintah untuk meng-gusur penduduk ilegal ini. Pertama (1), pemerintah berpendapat bahwa permukiman liar (squatter) adalah tindakan ilegal yang perlu ditertibkan. Kedua (2), mereka bukan warga kota asli. Ketiga (3), pembagian ruang kota

    yang ada sudah adil dan memadai. Kemudian, keempat (4), pemer-intah daerah asal penduduk ilegal tersebut harus bertanggung jawab se-cara mandiri terhadap pembangunan daerahnya masing-masing termasuk menerima kembali penduduknya yang bermigrasi secara liar ke daerah lain. Kelima (5), tindakan terhadap permu-kiman liar adalah penertiban, bukan penggusuran, karena orang-orang itu menduduki tanah bukan miliknya.Namun demikian, penduduk ile-gal memiliki sudut pandang yang berbeda. Ada beberapa alasan yang mendasari mereka untuk tetap tinggal di kota. Pertama (1), daerah asal tidak mendukung kehidupan mereka, tidak ada satu pihak pun dapat memberikan jaminan, termasuk pemerintah. Kedua (2), daerah yang mereka tinggali me-mang bukan tanah mereka, namun mereka dapatkan tidak dengan cuma-cuma misalnya dengan membayar ke oknum tertentu.Ketiga (3), mereka tidak tahu apak-

    ah benar-benar ada hukum yang mela-rang ini karena ada oknum yang mem-berikan jaminan atau melindungi. Ke-empat (4), mereka tidak yakin apakah tindakan tersebut salah, karena sudah sekian lama tidak ada tindakan apa-apa. Kelima (5), pulang ke daerah asal tidak menjanjikan. Keenam (6), kota tidak bisa melarang orang tinggal di wilayah negaranya.Perhatikan, hak asasi atas tempat tinggal yang sudah dibahas di atas se-dikit pun tidak mensyaratkan orang harus memiliki hak atas tanah dan rumah yang didiaminya. Yang din-yatakan, hak setiap orang atas tempat tinggal. Apakah hak itu dapat dituntut dari negara di pengadilan, dalam arti tuntutan agar negara segera menye-diakan tempat tinggal bagi yang tidak mempunyainya, menjadi kontroversi. Yang langsung jelas terkandung sebagai implikasi hak asasi atas pe-rumahan adalah seseorang tidak boleh diusir dari rumah yang digunakan, ke-cuali hak itu tetap dijamin, artinya, ke-cuali disediakan perumahan lain. Hak itu menyatakan, tiap usaha menghilan-gkan tempat tinggal dari seseorang se-bagai pelanggaran hak asasinya, tidak tergantung apakah ia berhak atas tem-pat tinggal itu atau tidak.Jadi, mengusir orang dari rumah yang didiaminya tanpa disediakan perumahan laindengan alasan mer-eka menduduki tanah yang bukan mi-liknyaadalah tindakan kasar yang melanggar HAM yang paling penting. Namun, apa kita harus membi-arkan tiap orang yang berhasil men-duduki tanah yang tidak dimilikinya tetap tinggal di situ? Bila hak milik dikalahkan oleh hak asasi manusia, bukankah kita membuka pintu bagi perebutan, pemaksaan, dan kekerasan yang akan makin merusak tata tertib

    Ilustrasi penggusuran permukiman liar

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 13

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    sosial di masyarakat kita? Bukankah ketidakpastian hukum yang kini sudah menggerogoti segala usaha bangsa In-donesia akan kian merajalela? Coba kita telaah lebih lanjut. Hak asasi atas perumahan tentu tidak menuntut agar tiap perebutan tanah oleh orang kecil dilegitimasikan. Tiap pihak yang melanggar hak hukum, negara wajib menindak. Orang yang membangun gubuk di atas tanah milik orang lain, entah orang kaya, gelan-dangan, atau negara, atas pengaduan pemilik, wajib diusir.Tetapi lain halnya bila pemilik membiarkan pendudukan itu. Yang menentukan adalah faktor waktu. Mis-alnya, sekelompok orang sudah ber-mukim tanpa kekerasan (dari pihak mereka) selama 24 bulan tanpa usaha serius pemilik untuk mengusirnya, hak asasi mereka atas atap di atas ke-pala mengalahkan hak milik abstrak, karena rupanya tidak menjadi kebutu-han sehingga dibiarkan terlanggar.Apalagi bila yang memiliki adalah negara, BUMN, atau badan hukum. Fakta bahwa pemerintah kota membi-arkan bertahun-tahun orang-orang itu tinggal dan membangun tempat ting-gal di tanah-tanah tersebutapalagi bila mereka dipungut pembayaranitulah yang harus dipersalahkan. Setelah orang-orang itu dibiarkan bertahun-tahun, pengusiran melang-gar hak asasi mereka sebagai manusia dan karena itu harus dihentikan. Bah-wa tanah tinggal mereka milik negara atau instansi lain, tidak relevan. Orang berhak atas tempat tinggal.Penggusuran adalah masalah yang perlu diatasi dengan kepala dingin. Penggusuran justru akan membuat orang miskin semakin miskin. Apalagi jika dilakukan dengan kekerasan. Mer-eka memerlukan tempat tinggal dan

    pemerintah hendaknya memikirkan itu. Sudah saatnya pemerintah mulai mengubah paradigma. Yang dilakukan pemerintah jangan lagi menggusur, tapi menggeser atau relokasi. Kata kuncinya: solusi.Beberapa hal yang harus diper-hatikan dalam relokasi antara lain, pemerintah harus memastikan bahwa sebelum ada relokasi berlangsung terutama yang melibatkan banyak orang semua kemungkinan lain telah dijelajahi dengan melakukan pe-rundingan dengan orang-orang yang terkena relokasi, dengan pandangan untuk menghindari paksaan.Kemudian, relokasi tidak boleh membuat seseorang menjadi tunawis-ma atau rentan terhadap pelanggaran hak-hak manusia lainnya. Pemerintah dengan demikian harus memastikan bahwa alternatif tempat tinggal atau lahan yang memadai harus tersedia bagi orang terkena relokasi.Yang lebih penting ialah mengerah-kan aparat pemerintah untuk mence-gah pendudukan ruang publik lebih

    lanjut, dengan kesadaran bahwa ruang publik itu adalah kepentingan umum yang seringkali berupa infrastruktur vital kota. Memang, kita harus bertan-ya dulu untuk mengetahui akar penye-babnya: mengapa selama ini pemerin-tah tidak mencegah secara dini, tetapi hanya rajin menggusur sesudah yang menduduki ruang publik menjadi banyak? Apakah tidak ada kebijakan? Arau lurah dan Satpol PP yang malas, dan hanya mau menunggu proyek penggusuran?Jika permukiman liarterutama di ruang publiksudah bisa diatasi den-gan solusi yang baik tanpa merugikan warga, maka langkah selanjutnya ialah bagaimana menata kembali permuki-man yang sudah terlanjur kumuh.

    (Respati dan Tim)Referensi:

    - Politik kota dan hak warga kota, Kompas, 2006

    - Hentikan penggusuran, Frans-Magnis, Harian Kompas.

    - Hak atas perumahan, bantuanhu-kum.or.id, 22 Agustus 2013

    Ilustrasi penggusuran permukiman liar

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 201414

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    Kaum miskin kota hanya bisa ber-harap di balik gencarnya semangat pembangunan mal, perumahan me-wah yang saling berpacu untuk mem-pertontonkan kemegahannya, semen-tara pembangunan rumah buat mere-ka kian jauh dari apa yang diharapkan.Sektor properti saat ini masih menjadi primadona sebagai anda-lan Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Namun pemberian sumbang-sih ini tetap menjadi ironis karena ti-dak mampu menolong mereka yang kurang mampu dan tidak memiliki rumah. Masalah perumahan berubah menjadi persoalan social cost disebab-kan terjadinya proses pengembangan sistem ekonomi yang kapitalis dalam sistem produksi di dalamnya.Kemajuan industri properti telah mengubah cara pandang kita terhadap

    perumahan. Rumah tidak lagi dipan-dang sebagai fasilitas yang harus dis-elenggarakan sebagai tanggung jawab bersama (public domain) dari berbagai komunitas masyarakat, tetapi sudah berubah menjadi barang komoditas.Harus diakui sangat sulit bagi pihak pengembang bila diminta kerelaannya atau kepeduliannya untuk membantu kelompok yang kurang mampu terse-but. Akar permasalahannya sangat pelik, selain pertimbangan faktor harga tanah yang sudah terlalu mahal, persoalan minimnya infrastruktur kota dan ban-yaknya biaya perizinan menjadi beban tambahan yang harus diperhitungkan.Bagi pengembang, rasanya su-

    lit untuk menjual rumah murah bagi masyarakat miskin. Apakah tidak ada solusi untuk pemecahan persoalanya?Masalah tidak tersedianya tanah yang cukup untuk pembangunan rumah bagi yang berpenghasilan ren-dah disebabkan kita lupa bahwa untuk membangun rumah di perkotaan tidak sekadar memobilisasi kapital yang berorientasi profit semata, tetapi juga harus mempertimbangkan bagaimana caranya memobilisasi kapital sosial.Untuk itu, sebaiknya persoalan penyediaan tanah untuk perumahan (khususnya untuk yang berpenghasi-lan rendah) tidak harus diserahkan ke-pada mekanisme pasar. Kita tidak bisa berharap lebih kepada pengembang

    Rumah Bukan Sekadar Properti

    Persoalan rumah untuk rakyat seakan tidak pernah tuntas untuk diseminarkan, dibahas, dikaji, diteliti, dicermati, akhirnya diakui sampai rakyat kecilnya mati menanti rumahnya yang tidak pernah pasti. Seperti kata pepatah: butuh kesungguhan untuk menolong orang miskin. Tidak ada makan siang yang gratis, begitu juga tidak ada rumah gratis buat yang miskin.

    Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Oktober 201414

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 15

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    untuk menyediakan rumah murah. Ta-nah untuk perumahan harus dijadikan sebagai investasi sosial.Pemerintah harus mampu memper-siapkan pola investasi sosial tersebut. Sebab, selama ini masalah kegagalan untuk memenuhi kebutuhan rumah telah berubah menjadi social cost. Pasar perumahan saat ini telah menambah beban sosial karena semakin banyak masyarakat yang tidak mampu mem-belinya akibat harga yang terlalu ma-hal. Kondisi ini telah merusak struktur kehidupan kota dengan semakin men-jamurnya permukiman kumuh yang pa-dat dan rawan bencana sosial.Jika persoalan rumah bagi yang kurang mampu ini harus dipenuhi, maka prinsip yang harus dijalankan oleh pemerintah adalah bagaimana memo-bilisasi kapital yang dapat diinvestasi-kan untuk maksud sosial, termasuk pe-nyediaan tanah untuk perumahan.Untuk itu, persoalan tanah untuk rumah harus diangkat menjadi wacana publik karena masalah tanah tidak akan mampu dipecahkan oleh orang

    per orang. Bagi yang mampu mungkin tidak persoalan dengan cara membeli sendiri, tetapi kondisi sosial mayoritas masyarakat kita adalah warga miskin.Membangun rumah rakyat adalah bagaimana cara untuk mewujudkan investasi social kapital dalam sistem pasar yang seringkali tidak bersa-habat. Jika rumah sudah dipandang menjadi komoditas, maka kebutuhan rumah akan tergantung pada daya beli kepemilikan modal.Semakin miskin suatu rumah tangga akan semakin sulit untuk mendapatkan rumah. Untuk memban-tu yang kurang mampu, maka diper-lukan sistem pembangunan peruma-han yang siap mengoreksi mekanisme sistem yang berjalan saat ini. Bila demikian, untuk membangun rumah rakyat pemerintah harus berani dan mampu untuk menjinakkan pasar, agar dapat lebih bersahabat, lebih hu-manis, dan peduli terhadap mereka yang kurang mampu.Harus diakui, dengan mekanisme

    sistem pasar perumahan saat ini, un-tuk beberapa kota penting di Indo-nesia, pembangunan sektor peruma-han dan permukiman khususnya dalam skala besar telah dikuasai oleh segelintir kelompok pengusaha ter-tentu yang mengendalikannya.Akibat kondisi ini, sangat sulit rasanya untuk mencari lahan murah, disebabkan hampir semua lahan yang potensial dan strategis telah dikuasai dan dikontrol sekelompok pengem-bang, khususnya pengembang besar.Di tengah rendahnya bentuk kepedulian dan kondisi pasar yang sulit untuk diajak kompromi dalam mendukung mobilisasi investasi sosial di bidang perumahan, maka memban-gun rumah untuk rakyat seperti ber-hadapan dengan harimau yang sedang menjadi penguasa dalam rimba pasar perumahan yang kapitalistik. Mung-kinkah pemerintah bisa lebih peduli dengan keadaan ini?. (Respati dan Tim)

    Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Oktober 2014 15

    Perumahan baru terus tumbuh dan berkembang di Kota Bekasi.Rumah saat ini bukan hanya sekadar property namun merupakan hak asasi.

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 201416

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    Rumah di Mata PengusahaKetika Perumnas mulai kewalahan memasok kebutuhan rumah masyarakat pascakrisis, swasta ambil peran. Para pengusaha properti menjadi pemasok utama kebutuhan rumah masyarakat, hingga sekarang. Tentu saja, peran tersebut sangat penting.

    Atas peranan tersebut, pengusaha properti seringkali dituding sebagai biang keladi tingginya harga tanah di perkotaan. Harga tanah yang tadinya murah, setelah dibeli pengusaha dan

    Ilustrasi pembangunan perumahan berkembang pesat di Bekasi

    dibangun perumahan, menjadi sangat mahal. Mereka mendapatkan keuntun-gan besar. Benarkah begitu?Tim Jurnal Tata Kota mengonfir-masi kebenaran tersebut. Melalui

    situs resmi Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI)tempat berkumpulnya para pengembangkami mendapatkan jawaban cukup memuaskan. REI ternyata sudah mem-

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 17

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    melakukan proses akuisisi lahan. Pros-es akuisisi lahan sampai lahan siap dikembangkan biasanya memerlukan waktu yang panjang, bisa 1-2 tahun, bahkan lebih. Dan ketika pengembang mulai melakukan persiapan lahan, maka, harga lahan sekitar biasanya akan naik.Ini merupakan contoh dugaan peng-gelembungan harga tanah di perkotaan. Tanah yang awalnya dibeli pengembang dengan harga Rp 500.000/m2, kemu-dian dijual kembali dengan harga Rp

    proses panjang dan potensi risiko yang harus dilalui pengembang. Misal-nya, ketika tanah tidak dapat diakuisisi dengan baik, tanah tidak dapat dikem-bangkan, akhirnya hanya menjadi in-vestasi mati.Jika tata ruang mengatur peruntu-kan lahan kawasan perumahan, maka berdasarkan Surat Keputusan Men-kimpraswil RI No: 403/KPTS/M/2002, tentang Pedoman Pembuatan Site Plan, hanya 60 persen luas lahan yang bisa dibangun, untuk dijual ke ma-syarakat. Sisanya, sebanyak 40 persen lahan, harus dijadikan lahan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) sebagai prasarana dan sarana yang harus diserahkan pengembang kepada pemerintah daerah. Kewajiban itu dikenal sebagai PSU (Prasarana Sarana dan Utilitas) yang diserahkan kepada pemerintah daerah dalam bentuk infrastruktur jalan, sal-uran, air bersih, listrik, taman dan lain sebagainya. Bisa dibilang, pengusa-haan tanah oleh pengembang itu han-ya bersifat sementara. 40 persen dis-erahkan kepada pemerintah dan sisa 60 persen didistribusikan kembali ke-pada masyarakat dalam bentuk rumah tinggal, perkantoran, dan lainnya. Jadi tidak lagi dikuasai pengembang.Mengapa harga rumah mahal?Harga rumah, dari tahun ke tahun semakin tinggi. Perumnas tidak bisa berperan banyak karena faktanya pe-rumahan yang ada sekarang ini dipa-sok swasta. Pemerintah memang sudah menetapkan harga jual maksimal rumah sederhana di mana tiap provinsi nilainya berbeda, namun tetap saja harga rumah tetap tinggi. Benarkah swasta menaik-kan harga jual rumah semata-mata un-tuk meraup keuntungan?Tingginya harga rumah yang diban-

    Eddy Hussy (Ketua DPP REI)1.500.000/m2. Pengembang lalu un-tung besar. Benarkah? Model bisnis seperti itu bukan model bisnis pengembang melainkan spekulan tanah. Pengembang harus mengikuti aturan pemerintah bahwa luas efektif tanah yang bisa dikem-bangkan itu hanya 50 persen-60 pers-en dari total luas tanah yang dimiliki. Jadi, kalau harga beli tanah mentah sebesar Rp 3.500.000/m2, maka modal tanah berdasarkan luas efektif sebena-rnya sudah menjadi Rp. 7.000.000/m2.Ketika orang lain melihat bahwa harga pembelian awal murah, mereka langsung mengatakan pengembang untung besar. Mereka tidak melihat

    buat pernyataan terbuka, berjudul: Pengembang Bukan Spekulan Tanah. Selain soal tanah, kami juga mendapatkan jawaban berbagai per-soalan perumahan lainnya. Sudut pan-dang pengusaha, tentu saja, berbeda dengan pemerintah maupun masyara-kat umum. Untuk itu, kami merasa perlu merangkum pandangan terse-but. Kami sajikan dalam bentuk per-tanyaan dan jawaban.Ada beberapa narasumber di dalam rangkuman ini, antara lain Ket-ua Dewan Pengurus Pusat (DPP) REI Eddy Hussy dan Ketua Badan Pendidi-kan dan Latihan REI Sudjadi.Pengusaha properti memainkan harga tanah?Tanah bagi pengembang adalah ba-gian dari faktor produksi seperti hal-nya modal (capital) dan tenaga kerja. Adalah kerugian bagi pengembang menjual tanah sebelum ia kembang-kan menjadi produk lain yang memi-liki nilai tambah bagi lingkungan, ma-syarakat dan perusahaan tentunya.Itulah bedanya pengembang dengan spekulan. Pengembang se-lalu memulai dengan perencanaan, disesuaikan dengan peruntukan tata ruang yang berlaku di masing-masing daerah. Semua langkahsebelum jadi produk propertiharus mendapat-kan izin pihak berwenang.Sebelum membangun proyeknya, pengembang terlebih dahulu harus memiliki berbagai perizinan. Salah satunya adalah Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT). Setelah ada SIPPT, proyek baru bisa dilaku-kan perencanaan pengembangan, disesuaikan dengan aturan perun-dang-undangan yang ada.Untuk dapat memulai pengemban-gan suatu wilayah, pengembang harus

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 201418

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    gun swasta bukan semata-mata untuk meraup keuntungan. Pengembang jus-tru mengeluh karena biaya pemban-gunan rumah semakin hari semakin tinggi. Sehingga, harga yang ditawar-kan pengembang sebenarnya sudah sesuai dengan biaya produksi rumah.Tingginya harga rumah terjadi aki-bat inefisiensi di berbagai bidang. Mu-lai dari proses perizinan yang rumit dan berbelit-belit, ketidaktersediaan infrastruktur, kurangnya kepastian hukum terhadap hak tanah, hingga kepastian hukum terhadap perizinan yang sangat tidak efisien.Jika proses perizinan sangat pan-jang, tentu saja pengembang akan menghabiskan banyak waktu dan bi-aya. Bahkan, waktu dan biaya tersebut tidak ada kepastian. Selain itu, tidak adanya infrastruktur dan transpor-tasi, membuat harga bahan baku men-jadi mahal. Di Papua, misalnya, harga bahan baku bangunan lebih mahal ketimbang di Jawa. Peraturan apa diinginkan pengusaha?Program perumahan tidak hanya merupakan tanggung jawab pemer-intah pusat, pemerintah daerah juga harus turun tangan. Selama ini, pen-gusaha sering mengeluhkan tidak sinkronnya kebijakan pemerintah pusat dengan daerah. Hal ini tentu saja membuat program perumahan untuk masyarakat terkendala.Pengusaha menginginkan pemerin-tah dapat menyinkronkan aturan men-genai perumahan. Jika aturannya tump-ang tindih, pihak pengembang menjadi kesulitan. Kongkritnya, pengembang berharap kebijakan pemerintah pusat dan daerah, atau antardaerah, bisa disat-ukan saja. Karena seringkali pemerintah daerah memanfaatkan aturan untuk memeras pengusaha.

    Kebijakan yang sinkron antara pusat dan daerah itu juga harus di-imbangi dengan pengalokasian dana yang cukup untuk pembiayaan sektor perumahan, khususnya untuk kalan-gan masyarakat berpenghasilan ren-dah (MBR).Terkait dengan penyusunan un-dang-undang, pihak legislatif maupun eksekutif mesti menempatkan pro-gram terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebagai hal yang pent-ing demi untuk kepentingan masyara-kat.Kalau Tapera bisa jalan, ke depan, masalah pembiayaan perumahan bisa lebih gampang teratasi.Pelaksanaan otonomi daerah seha-rusnya menghadirkan kondisi strat-egis bagi upaya penyediaan papan di tengah tingginya angka kelangkaan (backlog) perumahan. Pemerintah daerah memiliki peran strategis, sebab memfasilitasi perizinan bagi pengem-bangan properti.Namun, belum adanya koordinasi yang efektif antara pemangku kebi-jakan baik di pusat dan daerah dan tanpa adanya masterplan pengemban-gan, peran itu tidak berfungsi efektif. Sektor perumahan mestinya juga men-jadi tolak ukur bagi kinerja pemerin-tah daerah. Oleh karena itu, setiap pemda perlu menghadirkan kebijakan yang inovatif bagi pengembangan perumahan. Mis-alnya mengupayakan pemberian lahan atau soal pembiayaan.Bagaimana pandangan pengusaha terhadap MBR?Pengusaha seringkali dipandang tidak peduli terhadap kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pengusaha properti, yang penting, produknya bisa laris ma-nis. Tidak tahu menahu tentang ban-

    yaknya masyarakat miskin yang mem-butuhkan rumah. Kondisi ini tentu saja memprihatinkan jika melihat bisnis properti justru terus berjalan mulus. Lalu, bagaimana pandangan para pen-gusaha?Penyaluran rumah bersubsidi ber-peluang salah sasaran, jika pemerintah tidak kunjung merumuskan kelompok MBR secara lebih mendetail. Penjaba-ran MBR harus mengacu kepada Pasal 54 Ayat (5) UU No. 1/2011 tentang Pe-rumahan dan Kawasan Permukiman.Pasal tersebut mewajibkan pemer-intah untuk memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 19

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    bagi MBR. REI mengusulkan MBR sebai-knya dibagi dalam tiga kelas yakni MBR kelas atas, menengah, dan kelas bawah.Dengan begitu, pemerintah dapat merumuskan jenis subsidi yang sesuai dengan masing-masing kelas.Untuk kelas bawah tidak cukup dengan ban-tuan FLPP (fasilitas likuiditas pembi-ayaan perumahan) saja. Bagi mereka perlu juga ditambah dengan subsidi uang muka.Sejauh ini, Kementerian Peruma-han Rakyat hanya menjabarkan batasan penghasilan bagi MBR yang dianggap berhak menerima subsidi. Namun, peng-hasilan yang dimaksud juga belum jelas

    antara gaji pokok atau total pendapatan yang diperoleh dalam satu bulan.Dalam perumusan MBR juga dibu-tuhkan analisis yang bisa mencakup kemampuan membeli atau kemam-puan mencicil dari masyarakat yang bersangkutan. Selama ini, dasar keten-tuan hanya menyebutkan batasan ter-tentu, tanpa pemaparan lebih detail.REI juga meminta pemerintah segera memberikan solusi kebijakan pembiayaan bagi para pekerja in-formal. REI jauh sebelumnya telah mendesak hadirnya kebijakan yang memberikan kemudahan bagi para pe-kerja informal, seperti para pedagang

    kaki lima, dalam mengakses kredit perumahan.Namun sampai saat ini be-lum ada kebijakannya.Menurutnya, para pekerja infor-mal memiliki kemampuan finansial, namun tidak dapat memeroleh fasili-tas kredit sebab tidak memenuhi persyaratannya.Hal itu menyebabkan para pekerja informal cenderung men-diami kawasan yang tidak tertata dan kawasan kumuh. Mereka tidak punya slip gaji, no rekening, sehingga sulit mengakses kredit. (Respati dan Tim)

    Sumber:Website resmi REI: rei.or.id

    Kawasan kontrakan Bekasi Timur yang di huni oleh masyarakat berpenghasilan rendah

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 201420

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    Pelaporan ini dilakukannya kare-na sudah memasuki akhir masa jabatannya.Peraturan hunian berim-bang ini kan sudah ada sejak 2011 dan sudah disosialisasikan ke semua pihak. Kenapa sampai sekarang tidak dilaksanakan?Walaupun telah dilaporkan me-lalui ranah pidana, tetapi tidak me-

    nutup kemungkinan Djan akan men-cabut laporan ini. Syaratnya, para pengembang harus melaporkan dan bersedia mengikuti aturan hunian berimbang sesuai dengan undang-undang. Kami berharapnya, mer-eka mau melaksanakan kewajiban mereka. Karena rakyat kan butuhnya rumah, bukan hukuman.

    Dari salinan data pengembang dari Kementerian Perumahan Rakyat, terli-hat banyak pengembang besar dima-sukkan ke dalam laporan ke Kapolri, seperti pengembang besar yang mem-bangun perumahan di Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Serpong, Cikarang, dan lainnya. Tidak hanya para pengembang besar, para perusa-haan pelat merah pun ikut dilaporkan ke Polisi.Kami laporkan semua pe-rusahaan BUMN yang punya usaha di bidang properti. Kami minta mereka untuk menyelesaikan kewajibannya.Ada nama PT Perumnas dan be-berapa BUMN properti dan konstruksi lainnya.Djan pun segera berkoordinasi dengan Real Estate Indonesia (REI) selaku asosiasi pengembang untuk menerapkan hunian berimbang ini. Sebelum masa jabatan saya berakhir, saya ingin melaksanakan kewajiban ini. Saya tidak mau disalahkan oleh pemerintah yang akan datang.Kapolri Jenderal Polisi Sutarman menyambut laporan Djan. Koordi-nasi itu terkait penerapan Undang-undang Perumahan yang mewajibkan pengembang menyediakan perumahan murah bagi masyarakat menengah ke bawah.Dalam Undang Undang Peruma-

    Hati-hati, PengembangPertengahan Juni 2014 adalah saat-saat yang menegangkan bagi pengusaha properti. Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz melaporkan 191 perusahaan yang berada di bawah 57 pengembang ke polisi. Pengembang di Jabodetabek tersebut dilaporkan karena tidak memenuhi kewajiban menjalankan konsep hunian berimbang. Para pengembang terancam dipidanakan.

    Ilustrasi pembangunan perumahan mewah di Kota Bekasi

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 21

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    han memang ada ancaman pidana. Akan tetapi, polisi tak langsung memutuskan pidana. Ya soal itu sedang didiskusikan penegakan hukumnya.Polri berjanji memproses para pengembang itu. Polri segera memben-tuk tim untuk menyidik pada pengem-bang yang selama ini tak melak-sanakan konsep hunian pembangunan berimbang. Sekarang terserah pada Kapolri yang akan tentukan proses pe-manggilan. Biasanya prosesnya cepat, memanggil 191 orang mungkin hanya sebulan dan tahun depan akan banyak rumah untuk masyarakat, kata Djan.Apa itu hunian berimbang?

    Ketentuan hunian berimbang tertu-ang dalam Undang-Undang No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Per-mukiman dan ditindak lanjuti dengan Permenpera Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang.Permenpera itu mengatur hunian berimbang dengan mewajibkan para pengembang membangun pemukiman dengan komposisi 1:2:3, yakni pem-bangunan satu rumah mewah harus dibarengi dengan pembangunan dua rumah menengah dan tiga rumah mu-rah untuk masyarakat berpenghasilan rendah.Salah satu tujuan ditetapkannya aturan tersebut adalah untuk menja-min tersedianya rumah bagi masyara-kat berpenghasilan rendah. Kewajiban pengembang untuk menyediakan hu-nian berimbang bukanlah perintah dari pemerintah. Hunian berimbang adalah perintah langsung dari Un-dang-Undang.Bahkan di dalam UU dijelaskan se-cara detail bagaimana kewajiban dari

    pengembang untuk menerapkan hu-nian berimbang ini. Misalnya dalam UU no 1 tahun 2011 pasal 34 ayat 2 disebutkan pengembang yang mem-bangun perumahan skala besar harus membangun hunian berimbang dalam satu hamparan.Dalam Permenpera no 7 tahun 2013 dijelaskan bahwa skala besar yang dimaksud dalam UU no 1 terse-but adalah lebih dari 1000 rumah me-wah. Artinya, pengembang yang akan membangun mulai dari 1001 rumah mewah wajib membangun hunian berimbang dalam 1 hamparan den-gan komposisi perbandingan rumah mewah, rumah menegah dan rumah sederhana adalah 1:2:3. Namun, jika rumah mewah yang dibangun se-banyak 15-1000 unit dibolehkan ti-dak dalam satu hamparan tapi masih dalam 1 kabupaten/ Kota. Dalam kedua UU ini juga disebut-kan bahwa setiap badan hukum mau-pun perorangan harus merealisasikan konsep hunian berimbang. Hal ini ada dalam pasal 34 hingga 37 UU no 1 ta-hun 2011. Di pasal 37 ketentuan ska-la besar, dan kriteria jumlah hunian berimbang diatur dengan Peraturan Menteri.Sedangkan di UU no 20 tentang rumah susun, dalam pasal 16 dise-butkan bahwa pelaku pembangunan rumah susun komersial berkewajiban menyediakan sekurang-kurangnya 20 persen dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun untuk rumah susun umum. Setiap 10 ribu m2 rumah susun komersial yang diban-gun, maka pengembang wajib mem-bangun rusun umum seluas 2.000 m2.Rusun yang dibangun ini dibo-lehkan untuk tidak berada dalam 1 hamparan namun harus dalam 1 ka-bupaten/ kota. Namun, pemerintah

    tidak menjelaskan kewajiban rusun yang dibangun apakah berbentuk ru-sunami atau rusunawa.Kalau sudah ada dalam UU harusnya pengembang sudah tahu tentang hunian berimbang ini dan mentaati serta melaksanakan-nya, meskipun belum ada peraturan di gubernur, bupati atau walikota, kata Menpera.Peraturan hunian berimbang tersebut sebenarnya merupakan hasil revisi. Sebelumnya, pemerintah me-wajibkan komposisi 1:3:6 (satu rumah mewah, tiga rumah kelas menengah, dan enam rumah kelas menengah ke bawah). Tetapi, pelaksanaannya di lapangan tidak berjalan baik. Maka, komposisinya berubah menjadi 1:2:3.Pemerintah pun memberi kelong-garan di undang-undang revisi. Jika yang pertama pengembang diwajib-kan membangun rumah sederhana di satu kawasan rumah mewah, undang-undang revisi membolehkan pengem-bang membangun rumah sederhana di luar kawasan. Namun, tetap dalam satu kota atau kabupaten.Pemerintah sudah memaksimal-kan sosialisasi terkait hunian berim-bang ini. Bahkan Permenpera yang telah dikeluarkan sudah melalui uji publik di berbagai kota seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Pekanbaru, Ma-nado, dan Banjarmasin yang melibat-kan berbagai stake holder. Seperti Real Estate Indonesia (REI), Apersi, Perum-nas, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kab/Kota, Perguruan Tinggi, organisa-si profesi, serta pemerhati dan penga-mat perumahan.Saat ini beberapa kabupaten/ kota sudah membuat Peraturan Daerah ter-kait hunian berimbang ini, antara lain Kota Tangerang Selatan dalam Perda No 3 tahun 2014, Kabupaten Bantul dengan Perda No 05 tahun 2013, Kota Banjar-

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 201422

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    masin melalui Perda No 6 tahun 2013 dan Kota Balikpapan dengan Perda No 7 tahun 2011 tentang rumah susun.Pemerintah Dikritik

    Kebijakan tentang lingkungan hu-nian berimbang terus mendapat so-rotan dari banyak kalangan, terutama para pengembang. Mereka bahkan mempertanyakan kebijakan tersebut dari segi hukum.Konsep hunian berimbang meru-pakan upaya untuk membantu kewa-jiban pemerintah dalam menyediakan rumah untuk Masyarakat Berpeng-hasilan Rendah (MBR) dan mengatasi defisit perumahan alias backlog, ses-uai isi pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang berbunyi Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Mereka berpendapat, jika kewa-jiban merumahkan rakyat dalam hal ini MBR adalah kewajiban Pemerin-tah, dan hunian berimbang dimak-sudkan untuk mengatasi backlog, maka absah jika pemerintah melak-sanakan prasyarat itu. Mengapa?

    Karena hunian berimbang hanya subsistem pendukung dalam ske-nario merumahkan MBR.Tetapi kemudian aturan soal hu-nian berimbang diartikan pemerin-tah sebagai kewajiban pengembang swasta untuk membangun rumah bagi MBR. Ini menjadi salah kaprah. Karena bagaimanapun katanya, rumah bagi MBR itu harus menjadi tanggung jawab dan domain pemerintah untuk menyediakannya, bukan pihak swasta.Itu jelas dibunyikan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, di mana pe-rumahan dan permukiman adalah hak dasar manusia yang harus dipenuhi pemerintah sebagai penyelenggara negara.Ketua Umum DPP Persatuan Pe-rusahaan Realestat Indonesia (REI), Eddy Hussie, mencoba mengerti apa yang dilakukan oleh Menpera.Kami mengerti. Tapi seharusnya pengem-bang diajak duduk bersama untuk mencari jalan keluar.REI berharap, Menpera sebaiknya mengutamakan pemenuhan kebutu-han rumah bagi masyarakat agar tar-get yang telah ditetapkan Kementerian

    Perumahan Rakyat bisa tercapai. Men-pera, seharusnya juga mengerti ma-salah-masalah yang dihadapi pengem-bang dengan kondisi seperti ini.Harga tanah yang melambung tinggi membuat pengembang sulit membangun kompleks rumah murah di kota besar seperti Jakarta, apalagi dengan harga yang ditetapkan pemer-intah. Harga yang ditentukan pemerin-tah tidak sesuai dengan nilai pemban-gunan dan harga tanah.Jika pemerintah ingin konsep hu-nian berimbang terlaksana dengan baik, maka harus dibuat kebijakan yang mendukung. Jika misalnya ham-batannya di tanah, maka pemerintah harus menyediakan lahan yang cukup dan terjangkau untuk pengembangan perumahan bagi MBR.Pemerintah jangan berharap ter-lalu banyak kepada swasta agar dapat menyediakan tanah untuk dibangunk-an perumahan murah sesuai harga patokan pemerintah. Tidak mungkin swasta mampu melakukannya, teru-tama di wilayah-wilayah yang harga tanahnya sudah mengikuti mekanisme pasar seperti Jakarta misalnya. Demikian juga jika hambatan membangun hunian bagi MBR ada di pembiayaan, maka ciptakanlah pola pembiayaan yang bisa diakses dengan mudah oleh seluruh lapisan masyara-kat, baik itu pola mobilisasi dana atau pola penyaluran dananya.Jangan den-gan kekuasaan yang dimiliki, kemudi-an membuat kebijakan yang terkesan menakut-nakuti, supaya tujuan ter-capai. Karena percayalah hal itu tidak akan efektif.Jalan Tengah

    Bisa disimpulkan, konsep huni-an berimbang tidak bisa terlaksana

    Ilustrasi Perumahan sederhana di Kota Bekasi

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 23

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    dengan baik karena harga tanah di perkotaan cenderung mahal. Pengusa-ha keberatan jika membangun rumah murah di lahan yang sudah dibelinya mahal-mahalapalagi komposisi an-tara rumah mewah, menengah dan sederhana 1:2:3. Konsep ini jelas sulit terealisasi.Pemerintah sebenarnya sudah memberikan keringanan kepada pen-gusaha dalam menerapkan hunian berimbang. Jika tidak mau memban-gun rumah sederhana di lahan kota yang mahal, pengembang bisa mem-bangun di tempat lain namun masih dalam satu wilayah kota. Pengembang bisa menyasar daerah-daerah pinggi-ran yang harga tanahnya lebih murah.Namun, persoalannya, pemerintah

    tidak menyediakan infrastruktur yang memadai di daerah pinggiran. Infra-struktur tersebut antara lain jarin-gan listrik, jaringan air dan jalan. Jika pengembang harus membangun infra-struktur tersebut, mereka tentu saja berkeberatan. Mereka tidak mungkin dapat untungatau malah merugi.Untuk itu, pemerintah hendaknya juga mengerti kesulitan tersebut. Es-ensi hunian berimbang adalah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam hal ini, pemerintah punya tang-gung jawab sebagaimana diamanatkan Undang Undang. Pemerintah perlu me-nyediakan infrastruktur agar pengem-bang yang akan membangun peruma-han sederhana merasa terbantu. Pemerintah jangan merasa bahwa

    mengeluarkan anggaran untuk infra-struktur hanya menguntungkan pen-gusaha saja. Pemerintah mesti pandai membaca peluang. Ketika suatu dae-rah infrastrukturnya disediakan, maka daerah tersebut cenderung mengalami kemajuan pesat. Jika daerah tersebut pesat, pemerintah tentu diuntungkan.Menerapkan sebuah kebijakan memang perlu komunikasi yang baik antarpihak. Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian menyediakan pe-rumahan untuk rakyat. Pemerintah butuh bantuan pengusaha. Sebaliknya, pengusaha juga tidak mungkin bisa berkembang tanpa ada jaminan iklim usaha yang kondusif.(Respati dan Tim/Dari berbagai

    sumber)

    Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 23

    Ilustrasi Foto Pembangunan rumah sederhana di Kota Bekasi

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 201424

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    Deputi Bidang Pembiayaan Ke-menpera, Sri Hartoyo, belum lama ini mengatakan, KPR FLPP untuk rumah tapak dihentikan karena pembangu-nan hunian masa depan akan diarah-kan secara vertikal mengingat lahan di perkotaan semakin terbatas. Untuk itu, KPR FLPP hanya diberlakukan un-tuk rumah susun (rusun).Saat ini KPR FLPP sedang dalam masa transisi, karena KPR FLPP un-tuk rumah tapak mulai 31 Maret 2015 akan dihentikan dan diganti dengan tipe rusun, kata Sri melalui keteran-gan resmi tertulis yang disiarkan di media massa, Mei lalu.Dengan dihentikannya FLPP untuk rumah tapak bukan berarti pemer-intah tidak lagi mengintervensi pro-gram perumahan untuk masyarakat. Masyarakat tetap bisa membeli rumah tapak yang dibangun pengembang. Pemerintah berupaya mengontrol har-ga jual untuk rumah tapak sederhana.Kemenpera telah menetapkan harga jual rumah sejahtera tapak dan rusun yang berbeda-beda di setiap

    provinsinya. Sebagai contoh harga jual rumah sejahtera tapak paling rendah berada di Provinsi Lampung sebesar Rp 113 juta dan yang paling tinggi di Provinsi Papua yakni Rp 185 juta. Untuk harga jual rusun paling tinggi di Provinsi Sulawesi Tengah yakni Rp 248,4 juta atau Rp 6,9 juta per meter persegi dan paling tinggi di Provinsi

    Papua Rp 565,2 juta atau Rp 15,7 juta per meter.Batasan harga jual rumah tersebut belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai. Bagi masyarakat yang ingin memi-liki rusun, mereka bisa memanfaatkan subsidi pemerintah. Kriteria rusun yang dimaksud tidak berarti bangunan bert-ingkat tinggi. Bangunan yang dibangun

    Selamat Tinggal, Rumah Tapak MurahKementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) akan menghentikan penyaluran bantuan kredit pemilikan rumah (KPR) yang menggunakan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) rumah tapak mulai Maret 2015. Kredit ini sebenarnya sangat membantu masyarakat berpenghasilan rendah. Tapi mengapa pemerintah justru menghentikannya?

    Ilustrasi pembangunan rumah tapak di Kota Bekasi

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 25

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    mulai dua lantai sudah bisa dianggap se-bagai rusun.Hanya dengan cara paksa seperti ini pemerintah bisa mendorong pembangunan rusun.Dalam dua tahun ke depan, ber-dasarkan data Badan Pusat Statistik, ke-butuhan perumahan di Indonesia men-capai 31 juta unit. Untuk itu, pemban-gunan rumah susun lebih diperlukan untuk menghemat lahan.Dari situ, 18,5 juta unit ada di perkotaan, sedangkan 12,5 juta ada di pedesan. Karena kecen-derungannya nanti itu jumlah penduduk perkotaan akan bertambah, pedesaan berkurang sampai pada titik tertentu.Khusus daerah perkotaan, jika di-penuhi dengan rumah tapak, akan membutuhkan 1,7 miliar meter per-segi atau setara 170.000 hektar tanah. Sementara itu, jika menggunakan ru-sun dengan berbagai analisis bangu-nan 3 lantai, 6 lantai, 8 lantai, 12 lantai, dan 24 lantai, dengan 1 unitnya me-miliki luas 36 meter persegi, berarti membutuhkan tanah seluas 39.000 hektar, atau 0,39 miliar meter perse-gi. Dalam hal ini, kita bisa mencapai efisiensi 436 persen.

    Apa sebenarnya KPR FLPP?

    Program KPR FLPP Sejahtera adalah penyaluran pembiayaan dari pemerintah pusat melalui bank pelaksana kepada MBR dalam kepe-milikan rumah yang dibeli dari pengembang.Jenis penyaluran KPR FLPP antara lain KPR Sejahtera Tapak, KPR Sejahtera Syariah Tapak.Selanjutnya KPR Sejahtera Susun, KPR Sejahtera Syariah Susun. Se-mentara angsurannya maksimal bisa mencapai 20 tahun mulai dari Rp635 ribu hingga Rp1,5 juta per bulan.Untuk menggunakan fasilitas ini setidaknya ada lima persyaratan

    bagi nasabah/debitur KPR FLPP Se-jahtera. Pertama, masyarakat ber-penghasilan tetap dengan gaji pokok Rumah Sejahtera Tapak paling besar Rp3,5 juta dan Rusun Rp5,5 juta. Ked-ua, belum pernah memiliki rumah. Ke-tiga, belum pernah menerima subsidi perumahan dan FLPP. Keempat mem-punyai NPWP.Kelima menyerahkan fotokopi (SPT) tahunan PPh orang pribadi atau surat pernyataan bahwa penghasilan pokok yang bersangkutan tidak melebihi batas penghasilan po-kok yang dipersyaratkan.Sayangnya, penikmat KPR ini ke-banyakan nasabah yang bekerja di sektor formal seperti pegawai negeri dan karyawan perusahaan. Golongan tersebut dianggap terpercaya dan kon-sisten membayar cicilan rumah dari gaji yang diperoleh dari tempat mer-eka bekerja. Itu pun jika gaji bulanan-nya memenuhi kriteria. Rumah Murah Makin Sedikit

    Realisasi penyaluran kredit rumah murah melalui FLPP hingga 31 Maret 2014 telah mencapai 5.240 unit den-gan nilai Rp 291 miliar. Jumlah itu baru mencapai 37,5 persen dari target yang dipatok pemerintah sebanyak 14.448 unit.Tahun ini, alokasi dana FLPP sebesar Rp 4,49 triliun yang dapat

    membiayai penyaluran KPR sebanyak 57.792 unit . Sejak 2010-2013, kinerja penyaluran FLPP sebanyak 585.050 unit dengan nilai Rp 11.88 triliu.Pencapaian yang masih kurang itu salah satunya disebabkan mahalnya harga tanah membuat pengembang sulit membuat rumah dengan harga sesuai dengan ketentuan pemerintah. Setelah pada 2012-2013 transaksi properti mengalami kenaikan cukup signifikan, kini pada 2014 hal itu mulai mengalami perlambatan. Pun, dengan harga tanah yang kian lama kian tidak stabil, bahkan mendekati over-price.Terbatasnya lahan di Indonesia, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, membuat harga tanah berbeda-beda di setiap tempat. Pertumbuhan eko-nomi sebesar 7-8 persen menandakan, bahwa masyarakat butuh lahan-lahan baru untuk melakukan ekspansi usa-hanya. Banyak pebisnis properti rela mengeluarkan uangnya demi membeli tanah di tempat strategis. Itulah ala-san mengapa pemerintah mulai gen-car mendorong pembangunan rusun.

    Bisa dibayangkan sekarang: den-gan harga tanah yang mahal, mung-kinkah pengusaha properti memban-gun rumah-rumah murah? Secara logis, tidak mungkin. Berat di ongkos. Dan, hebatnya lagi, rumah yang dipas-arkan dengan harga mahal ini tetap punya target pasar yang jelas. Rumah mahal tetap laku.Siapa pembeli rumah-rumah ma-hal itu? Tentu saja orang yang berduit. Ajaibnya lagi, ketika tanah kosong mulai susah dicari, investasi beralih ke rumah. Di kota, orang beli rumah tidak melulu untuk benar-benar ditinggali, tapi buat investasi. Semakin lama, semakin men-jadi harga rumah tersebut.(Respati dan Tim/Dari berbagai

    sumber)

    Ilustrasi pembangunan rumah tapak di Kota Bekasi

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 201426

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    Pemkot Bekasi Komitmen Sediakan Rumah Murah

    Menurut Wakil Wali Kota Bekasi Ahmad Syaikhu, program rumah mu-rah tersebut merupakan aturan yang diterbitkan oleh Kementerian Pe-rumahan Rakyat sebagai bentuk ke-berpihakan kepada MBR.Dalam aturan hunian berimbang, pengembang wajib menyediakan hu-nian untuk MBR, kata Syaikhu.Bagaimana jika pengembang ti-dak punya tanah? Menurut Syaikhu, pengembang tidak harus membangun rumah murah di kawasan yang diban-gun rumah mewah.Tidak harus di lokasi yang sama. Rumah murah bisa dibangun di tem-pat lain di Kota Bekasi, kata Syaikhu.Bisa juga nanti dilakukan sistem subsidi silang antara rumah mewah dan rumah sederhana. Intinya, se-

    tiap pengembang perumahan di Kota Bekasi wajib menyediakan sarana rumah murah,terangnya.Selain bekerja sama dengan pengembang, Pemkot Bekasi juga menjalin kerja sama dengan Kemen-pera dalam program pembangunan 1000 tower. Bisa dalam bentuk rumah susun sederhana milik sederhana (ru-sunami) maupun rumah susun seder-

    hana sewa (rusunawa).Untuk kerja sama dengan Kemen-pera, kami yang menyediakan lahan. Nanti Kemenpera yang membangun. Kami memanfaatkan Fasos Fasum mi-liki pemerintah Kota Bekasi, katanya.Kendati program rumah murah tersebut masih dalam tahap penja-jakan, namun pihaknya mengaku op-timis program rumah murah ini akan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.Menurut dia, jika semuanya berja-lan sesuai dengan rencana, pada 2017 mendatang program rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan ren-dah di Kota Bekasi bisa diluncurkan.Saat ini kami sedang melakukan penjajakan dan komunikasi dengan Kemenpera maupun pada pengem-bang perumahan di Kota Bekasi. Kami berharap, program tersebut dapat ber-jalan sesuai rencana, ujarnya.Rumah murah tersebut harganya maksimal sekitar Rp120 juta. Sehing-ga, harga tersebut tidak membebank-an bagi masyarakat golongan menen-gah ke bawah. (Miftah)

    Pemerintah Kota Bekasi berkomitmen menjalankan program hunian berimbang yang mewajibkan pengembang perumahan untuk membangun rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)

    Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Oktober 201426

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 27

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    Rumah Rakyat Expo ala Kemenpera

    Di Rumah Rakyat Expo ni, se-banyak 40 pengembang perumahan memamerkan produk rumah murah mereka. Staf Ahli Kemenpera Arief Setiabudi mengatakan, Kota Bekasi merupakan satu dari sebelas kota besar di Indonesia yang berkesem-patan menggelar pameran dengan tema Pesta Rumah Rakyat, Solusi

    Tempat Tinggal Layak Huni dan Ter-jangkau.Kota Bekasi, juga menjadi kota kedua setelah Jakarta yang menjadi tempat digelarnya Pameran Rumah Rakyat Expo 2014. Animo masyara-kat pada pemeran di Jakarta menu-rutnya sangat tinggi dihitung dari jumlah pengunjung mencapai 100

    Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) menggelar Rumah Rakyat Expo di pusat perbelanjaan Bekasi Junction, Jalan Juanda, Bekasi Timur, Kota Bekasi, pada 25 September hingga 3 Oktober. Masyarakat sangat antusias.ribu sejak 3-7 September 2014.Dalam lima hari terhitung 5000-an transaksi dengan nilai transaksi sebesar Rp 613 miliar. Ini menunju-kan warga masyarakat sangat mem-butuhkan rumah tinggal apalagi dibantu program pemerintah berupa KPR bersubsidi di pameran kali ini, ucap Arief Setiabudi.Sementara itu, Wakil Walikota Bekasi H Ahmad Syaikhu mengucap-kan rasa terima kasihnya kepada Ke-menterian Perumahan Rakyat yang telah dua kali menggelar pameran Rumah Rakyat Expo di Kota Bekasi pada tahun 2013 dan 2014. Ia pun ber-harap respon positif warga masyara-kat terhadap kegiatan pameran rumah yang digelar hingga 3 Oktober 2014.Pameran perumahan ini men-jadi momen penting bagi warga ma-syarakat Kota Bekasi dan sekitarnya untuk tumbuh dan berkembang dari segi kebutuhan rumah yang layak dan memadai. Mudah-mudahan acar ini berjalan dengan lancar dan mendapatkan respon positif warga Bekasi dan sekitarnya yang membu-tuhkan kata Ahmad Syaikhu.Usai Pameran perumahan rakyat ini dibuka secara resmi, terlihat se-jumlah warga Kota Bekasi langsung mengunjungi stand-stand peruma-han yang telah disediakan panitia.Di sini banyak informasi menarik ten-tang perumahan. Ini tentu sangat bermanfaat buat saya yang belum memiliki rumah, kata Ardi, salah satu pengunjung. (Respati)

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 201428

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB mengeluarkan Gen-eral Comment No. 4 (1997) tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak. Dalam General Comment tersebut di-katakan bahwa rumah atau tempat tinggal yang layak haruslah mengand-ung tujuh unsur sebagai berikut:Pertama (1), Jaminan perlindungan hukum.Perlindungan hukum mengam-bil banyak bentuk, di antaranya penye-waan akomodasi (publik dan swasta), perumahan kolektif, kredit, peruma-han darurat, permukiman informal, termasuk penguasaan tanah dan prop-erti. Meskipun ada beragam jenis per-lindungan hukum, setiap orang harus memiliki tingkat perlindungan hukum yang menjamin perlindungan hukum dari pengusiran paksa, pelecehan, dan ancaman lainnya. Negara harus secara bertanggung jawab segera mengambil tindakan-tindakan yang bertujuan memberikan jaminan perlindungan hukum terha-dap orang-orang tersebut dan rumah tangga yang saat ini belum memiliki perlindungan, melalui konsultasi se-cara benar dengan orang-orang atau

    kelompok yang terkena.Kedua (2), ketersediaan layanan, bahan-bahan baku, fasilitas, dan infra-struktur. Rumah yang layak harus memi-liki fasilitas tertentu yang penting bagi kesehatan, keamanan dan kenyamanan. Semua penerima manfaat dari hak atas tempat tinggal yang layak harus memi-liki akses yang berkelanjutan terhadap sumber daya alam dan publik, air mi-num yang aman, energi untuk memasak, suhu dan cahaya, alat-alat untuk meny-impan makanan, pembuangan sampah, saluran air, layanan darurat.Ketiga (3), keterjangkauan. Bi-aya yang dikeluarkan seseorang atau rumah tangga untuk kebutuhan pe-rumahan hendaknya berada pada tingkat yang tidak mengancam dan se-laras dengan pencapaian dan pemenu-han kebutuhan dasar lainnya. Tinda-kan harus diambil oleh negara untuk memastikan bahwa persentasi biaya yang berhubungan dengan tempat tinggal secara umum sepadan dengan tingkat pendapatan. Negara harus menyediakan sub-sidi untuk tempat tinggal bagi mer-eka yang tidak mampu memiliki tem-

    pat tinggal dalam bentuk dan tingkat kredit perumahan yang secara layak mencerminkan kebutuhan tempat tinggal. Dalam kaitannya dengan prinsip keterjangkauan, penghuni ha-rus dilindungi dengan perlengkapan yang layak ketika berhadapan dengan tingkat sewa yang tidak masuk akal atau kenaikan uang sewa. Keempat (4), layak huni. Tempat tinggal yang memadai haruslah layak dihuni, artinya dapat menyediakan ru-ang yang cukup bagi penghuninya dan dapat melindungi mereka dari cuaca dingin, lembab, panas, hujan, angin, atau ancaman-ancaman bagi kesehat-an, bahaya fisik bangunan, dan faktor penyakit. Keamanan fisik penghuni harus pula terjamin. Negara didorong untuk secara menyeluruh menerapkan Prinsip Rumah Sehat yang disusun oleh WHO yang menggolongkan tempat tinggal sebagai faktor lingkungan yang pal-ing sering dikaitkan dengan kondisi-kondisi penyebab penyakit berdasar-kan berbagai analisis epidemiologi; yaitu, tempat tinggal dan kondisi ke-hidupan yang tidak layak dan kurang

    Rumah Layak versi PBB

    Dengan lahan di perkotaan yang semakin terbatas, harga rumah yang mahal di pasaran, mungkinkah pemerintah bisa membangun rumah layak huni khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah?

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 29

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    sempurna selalu berkaitan dengan tingginya tingkat kematian dan ketida-ksehatan.Kelima (5), aksesibilitas. Tempat tinggal yang layak harus dapat diakses oleh semua orang yang berhak. Kelom-pok-kelompok yang kurang beruntung seperti halnya manula, anak-anak, penderita cacat fisik, penderita sakit stadium akhir, penderita HIV-positif, penderita sakit menahun, penderita cacat mental, korban bencana alam, penghuni kawasan rawan bencana,

    dan lain-lain harus diyakinkan menge-nai standar prioritas untuk lingkungan tempat tinggal mereka.Keenam (6), lokasi. Tempat tinggal yang layak harus berada di lokasi yang terbuka terhadap akses pekerjaan, pelayanan kesehatan, sekolah, pusat kesehatan anak, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Di samping itu, rumah hendaknya tidak didirikan di lokasi-lokasi yang telah atau atau akan segera terpolusi, yang mengancam hak untuk hidup sehat para penghuninya.

    Ketujuh (7), kelayakan budaya. Cara rumah didirikan, bahan baku ban-gunan yang digunakan, dan kebijakan-kebijakan yang mendukung kedua unsur tersebut harus memungkinkan pernyataan identitas budaya dan ker-agaman tempat tinggal. Berbagai akti-vitas yang ditujukan bagi peningkatan dan modernisasi dalam lingkungan tempat tinggal harus dapat memasti-kan bahwa dimensi-dimensi budaya dari tempat tinggal tidak dikorbankan. (Respati dan Tim)

    Rusunawa di jalan baru Bekasi Timur

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 201430

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    Tingkat kepadatan Kota Bekasi 119 jiwa per Ha. Tahun 2022 dira-malkan mencapai 3.6 juta jiwa den-gan tingkat pertumbuhan rata-rata 4,2 persen per tahun.Mari kita menengok ke belakang. Ta-hun 1961, penduduk Kabupaten Beka-sisebelum pemekaran691.192 jiwa. Meningkat pada tahun 1971 menjadi 830.721 jiwa. Untuk merespon pemban-gunan Jakarta yang begitu pesat, pada tahun 1982, dibentuklah Kota Adminis-tratif (Kotif) Bekasi.Pertumbuhan penduduk di Kotif Bekasi tahun 1983-1984 cukup tinggi yaitu sekitar 9,5 persen. Terbukti, tahun 1983, penduduk Bekasi 1.203.282 jiwa. Pertumbuhan penduduk Kotif Bekasi ternyata melampaui apa yang sudah direncanakan. Ledakan ter-jadi hingga dua kali lipat pada tahun 1980-1990 dengan rata-rata pertum-buhan 6,29 persen. Maka, tahun 1997, Kabupaten Bekasi melakukan pemekaran. Kotif Bekasi secara mandiri menjadi Kota Bekasi dengan jumlah penduduk ta-hun pertama sebanyak 1.471.477 jiwa. Tahun berikutnya 1,543,847 jiwa dan tahun 1999 meningkat lagi menjadi 1.556.176 jiwa. Mengapa Kota Bekasi meningkat

    begitu cepat? Banyak faktor. Pada ta-hun 1980-an, pemerintah memban-gun Perumnas Bekasi I dan II, serta perumahan lain. Tercatat ada 38 pe-rumahan dengan areal pengembangan seluas 800 Ha di Kota Bekasi. Pembangunan perumahan ini ke-mudian diikuti pengoperasian Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang memudah-kan akses transportasi dan ekonomi. Maka, migrasi penduduk Jakarta ke Kota Bekasi bukan fenomena yang mengejutkankarena infrastruktur sudah tersedia di sini.Di sebelah Utara Bekasi dibangun area industri, seperti Pulogadung dan Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Di sebelah timur Bekasi dibangun ka-wasan industri di Cibitung dan Cika-rang. Di Bekasi bagian selatan diban-gun kawasan industri di Bantargebang.Kawasan industri tersebut tentu saja ikut menyokong pertumbuhan penduduk Kota Bekasi. Para pekerja di kawasan industri Pulogadung dan BKN banyak yang memilih tinggal di Bekasi Utara dengan pertimbangan kedekatan jarak dan kemudahan akses transportasi. Wilayah Bekasi Timur juga menjadi incaran tempat bermukim para peker-ja di Cibitung dan Cikarang. Pekerja

    tidak takut kesusahan akses karena wilayah di Bekasi Timur ini juga berkembang pesat seperti di sekitar Jalan Juanda, Pasar Proyek, Pertokoan Rama dan Terminal Induk Bekasi. Masuknya industri di Bantarge-bang juga berpengaruh pada pertum-buhan penduduk di sekitarnya. Sedangkan wilayah Pondok Gede, meski tidak ada kawasan industri di sana, mengalami laju pertumbuhan yang sangat pesat. Apa sebab? Karena Kecamatan Pondok Gede merupakan daerah yang memiliki banyak akses menuju ke Ibu Kota Jakarta. Sebagai daerah lintasan, kawasan ini dianggap strategis dan banyak orang memilih untuk tinggal disitu karena mudah dan dekat akses ke Jakarta. Hasil sensus BPS Kota Bekasi ta-hun 2010 menggambarkan secara gamblang: penduduk kota ini naik dua kali lipat dalam kurun 10 tahun. Ta-hun 2000 jumlah penduduk sebesar 1.663.802 jiwa. 10 tahun berikutnya menjadi 2.336.489 jiwa. Kecamatan dengan jumlah pen-duduk terbanyak yaitu Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 310.198 jiwa (13.8 %), Bekasi Barat 270.569 jiwa (11,58 %), Bekasi Timur 248. 046 jiwa (10,62%), dan Kecamatan Pondok-

    Gula Kaum UrbanBekasi ibarat gula: memanggil semut berdatangan berebut manisnya. Ia menjadi tujuan utama kaum urban. Jumlah penduduk kota satelit ini sekarang berkisar 2,7 juta jiwa. Menempati urutan keempat kota penduduk terpadat di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya dan Bandung.

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 31

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    gede sebanyak 246.413 jiwa (10,55%). Sex ratio penduduk Kota Bekasi adalah 102. Artinya, jumlah pen-duduk laki-laki lebih banyak 2 persen dari jumlah penduduk perempuan. Tahun 2010, jumlah penduduk laki-laki 1.182.496 jiwa dan perempuan 1.153.993 jiwa. Sex ratio terbesar di Kecamatan Ban-targebang sebesar 112 dan terkecil di Kecamatan Rawalumbu sebesar 100. Memprediksi daya tampung

    Penduduk adalah orang yang ber-tempat tinggal pada suatu ruang wilayah dan telah tercatat sah secara administra-si. Ia subyek sekaligus obyek pembangu-nan. Peningkatan jumlah penduduk ber-banding lurus dengan kebutuhan ruang. Bahkan memengaruhi aspek sosial, eko-nomi, dan kebudayaan.Untuk itu, sebuah kota mesti diren-canakan dengan cermat untuk kepent-ingan jangka pendek, jangka menen-gah dan jangka panjang.Laju pertambahan penduduk dan terbatasnya ketersediaan lahan me-nyebabkan tingkat kepadatan pen-duduk ikut bergerak naik. Dalam dua tahun saja, dari tahun 2010 sampai 2012, wilayah dengan kepadatan pen-duduk tertinggi berubah.Tingkat kepadatan terbesar ada di Kecamatan Bekasi Timur, dengan rata-rata kepadatan 199 jiwa per Ha, kemu-dian kecamatan Pondokkgede 157 jiwa per Ha, Kecamatan Bekasi Barat 154 jiwa per Ha, Kecamatan Bekasi Utara 152 Jiwa per Ha. Sementara kecamatan Bantarge-bang memiliki tingkat kepadatan paling rendah yaitu 52 jiwa per Ha. Jika penduduk Kota Bekasi pada tahun 2022 diprediksi mencapai 3.6 juta jiwa, maka tingkat kepadatannya menjadi 160 jiwa per hektar. Penghi-

    tungan daya tampung ini diperlukan untuk mengetahui kemampuan maksi-mal suatu wilayah dalam menampung jumlah penduduk sampai akhir tahun perencanaan.Daya tampung penduduk dipenga-ruhi dua faktor utama, yaitu jumlah penduduk dan luas wilayah. Keduanya saling berkaitan. Kepadatan penduduk merupakan salah satu acuan dalam menentukan arah perkembangan kota. Misalnya untuk menghitung sam-pai tahun keberapa pembangunan hu-nian tapak (horizontal) bisa dilakukan. Jika pembangunan hunian tapak tidak lagi memungkinkankarena lahan juga sudah terbatasmaka hunian vertikal bisa menjadi pilihan.Berdasarkan Standar SNI 03-171-33 2004 tentang perencanaan ling-kungan permukiman di perkotaan menunjukan bahwa kepadatan kurang dari 150 jiwa per hektar artinya ren-dah. Kepadatan 160-200 jiwa per hek-tar artinya kepadatan sedang, kepa-datan 200-400 jiwa per hektar artinya kepadatan tinggi dan kepadatan lebih dari 400 jiwa per hektar menunjukan kepadatan sangat tinggi.Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) Kota Bekasi pernah menghitung proyeksi daya tampung dalam kegiatan Penyusunan Rencana Kebutuhan Permukiman dan Fasilitas Penunjangnya di Kota Bekasi pada ta-hun 2012. Target pembangunan ditetapkan untuk lima kawasan, sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2012. Lima kawasan tersebut antara lain Pusat Kota, Pondok Gede, Bekasi Utara, Jatisampurna, Mustika Jaya.Hasilnya, untuk tahun 2022, pen-duduk kawasan Pondok Gede diper-kirakan melebihi kapasitas daya tam-pung jika pengembangannya masih

    horizontal. Sedangkan empat kawasan lainnya masih aman sampai tahun 2022, sekalipun dikembangkan secara horizontal. Berikut ulasan lima ka-wasan tersebut;1. Kawasan Pusat Kota, meliputi Ke-camatan Bekasi Timur, Rawalumbu, Bekasi Selatan dan Bekasi Barat. Ada 18 kelurahan. Kawasan ini cender-ung aman. Daya tampung kawasan ini diperkirakan 2.162.434 jiwa sampai tahun 2022.Sedangkan pada tahun 2022, penduduk kawasan ini kurang dari angka tersebut. Namun, jika dilihat per satuan unit kelurahan, ternyata terdapat satu kelurahan yang penduduknya di-perkirakan akan melebihi kapasi-tas pada tahun 2022, yaitu Kelura-han Kota Baru. Sebaiknya kelurah-an ini mulai dikembangkan secara vertikal. 2. Kawasan Pondok Gede, meliputi Kecamatan Pondok Gede, sebagian Kecamatan Pondok Melati (Jatira-hayu dan Jatiwarna), serta seba-gian Kecamatan Jatiasih (Jatime-kar, Jatikramat, Jatiasih dan Jati-rasa). Pada tahun 2022 diprediksi terdapat tujuh kelurahan yang jumlah penduduknya melebihi kapasitas daya tampung. Ketujuh Kelurahan tersebut adalah Kelurahan Jati Keramat, Kelurahan Jati Makmur, Kelurahan Jati Mekar, Kelurahan Jati Asih, Kelurahan Jati Rasa, Kelurahan Jari Rahayu, dan Kelurahan Jati Warna. Untuk itu, pengembangan kawasan ini sebai-knya diarahkan vertikal. 3. Kawasan Bekasi Utara, meliputi Kecamatan Bekasi Utara dan Medan Satria. Keduanya merupakan ba-

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 201432

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 33

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    PROYEKSI PROYEKSI

    PROYEKSI

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 201434

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    gian dari metropolitan area. Asumsi yang digunakan untuk memprediksi daya tampung dan daya dukung ka-wasannya adalah kepadatan pen-duduk kota metropolitan: minimum 350 jiwa per hektar. Kawasan Bekasi Utara diperkirakan memiliki daya tampung 1.202.947 sampai tahun 2022. Sedangkan pada tahun 2022, jumlah penduduk di kawasan ini diperkirakan hanya mencapai 888.928 jiwa. Jadi, ka-wasan ini masih tergolong aman. Kelurahan dengan daya tampung terbesar di kawasan ini ialah Ke-lurahan Pejuang (188.300 jiwa). Kelurahan dengan daya tampung terkecil ialah Kelurahan Kali Baru (52.150 jiwa). Namun, ada beberapa kelurahan yang diperkirakan penduduknya melebihi kapasitas daya tampung. Antara lain Kelurahan Harapan Jaya, Kelurahan Kaliabang Tengah, Kelu-rahan Perwira dan Kelurahan Teluk Pucung. Keempat kelurahan ini ha-rus mendapat perhatian khusus.

    4. Kawasan Jatisampurna, meliputi Kecamatan Jatisampurna, seba-gian Pondok Melati (Jatimelati dan Jatimurni) serta sebagian Keca-matan Jatiasih (Jatiluhur dan Jati-sari). Daya tampung kawasan ini diperkirakan sampai tahun 2022 adalah 1.186.922. Tahun 2022, penduduk di kawasan ini diperki-rakan hanya mencapai 363.778. 5. Kawasan Mustika Jaya, meli-puti Kecamatan Mustika Jaya dan Bantar Gebang. Daya tampung ka-wasan ini 2.067.530 jiwa sampai tahun 2022. Pada tahun 2022, pen-duduk di kawasan ini diperkirakan hanya mencapai 442.836 jiwa.

    Kawasan ini masih bisa dikem-bangkan secara horizontal. Kelura-han dengan daya tampung terbe-sar adalah Kelurahan Mustika Jaya, yaitu 365.364 jiwa. Sedangkan yang terkecil adalah Kelurahan Ciketing Udik, yaitu 190.553 jiwa. Proyeksi kepadatan penduduk Kota Bekasi ini harus benar-benar men-jadi acuan pemerintah untuk pem-bangunan masa mendatang. Daerah-daerah dengan kepadatan penduduk tinggiapalagi yang diperkirakan melebihi kapasitasharus dipikir-kan solusinya. Jika tidak, efeknya bisa menjalar ke mana-mana.Urbanisasi: Peluang atau Ancaman?

    Faktor dominan yang memicu peningkatan jumlah penduduk Kota Bekasi adalah urbanisasi. Orang dari desa pergi ke kota mencari penghidu-pan yang lebih baik. Mereka memilih Bekasi, kota di timur ibu kota ini. Tak ada yang bisa membendung-nya. Hanya ada dua pilihan, dan itu sederhana: mengelolanya dengan baik atau membiarkannya tumbuh bersa-ma kekacauan.Laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi menempati urutan terbesar di Provinsi Jawa Barat. Dalam setahun, rata-rata angka pertumbuhan pen-duduk kota ini mencapai 4,2 persen. Bukan main pesatnya. Rata-rata per-tumbuhan penduduk Jawa Barat saja 1,87 persen, sedangkan pertumbuhan nasional hanya 1,47 persen.Data BPS menunjukkan, pertum-buhan penduduk Kota Bekasi melalui kelahiran hanya menyumbang 1,56 persen. Namun, urbanisasi, menyum-bang 2,5 persen dari total jumlah pen-duduk yang mencapai 2,7 juta jiwa ini.

    Lonjakan signifikan selalu terjadi se-

    tiap tahun usai Lebaran Idul Fitri. Data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Bekasi mencatat laju urbanisasi pascalibur Lebaran Idul Fitri 2012 mencapai 1 persen atau sekitar 23.000 jiwa. Angka ini menurun diband-ing tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2009, laju urbanisasi seki-tar 3 persen, tahun 2010 menurun menjadi 1,7 persen. Begitu pun tahun 2011, menurun menjadi 1,5 persen. Urbanisasi ibarat dua sisi mata uang yang berbeda. Bisa positif bisa negatif. Sisi positifnya, urbanisasi ikut menyumbang peningkatan pendapa-tan asli daerah (PAD). Secara langsung ataupun tidak langsung. Dengan penduduk yang banyak, konsumsi atau daya beli masyara-kat tentu ikut naik. Pemerintah bisa mendapatkan keuntungan melalui pa-jak dan retribusi.Belajarlah dari Cina dan India. Di dua negara ini, arus urbanisasi bisa dikelola dengan baik sehingga setiap 1 persen peningkatan urbanisasi produk domes-tik bruto (PDB) negara tersebut menin-gkat sekitar 6-8 persen. Namun, di Indo-nesia, setiap 1 persen peningkatan ur-banisasi, kenaikan PDB hanya 2 persen.Hal itu terungkap dalam World Cit-ies Summit Southeast Asia In Focus, di Marina Bay Sands, Singapura, 2012 silam. Prof Komara Djaja, Kepala Studi Perkotaan Program Pascasarjana Uni-versitas Indonesia, yang menjadi nara-sumber dalam forum internasional tersebut berpesan begini: Jika melihat urbanisasi sebagai masalah, dia akan menjadi masalah. Tetapi jika melihat urbanisasi sebagai peluang, dia akan menjadi peluang. Sektor informal bisa bergerak maju karena adanya urbanisasi.Upaya pemerintah dalam menekan arus urbanisasi, seperti operasi yusti-

  • Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 03 l Okt-Nov 2014 35

    JURNAL

    BekasiNature Meet Creature

    si, adalah upaya yang sia-sia dan tidak membuahkan hasil. Urbanisasi tidak bisa dicegah, tetapi harus dikelola.Untuk mengelola urbanisasi men-jadi kekuatan, perlu diciptakan lapan-gan kerja baru, seperti ekonomi kre-atif, pusat kuliner, pertunjukan musik, bengkel, dan salon. Sektor informal ini perlu dipikirkan karena tidak mungkin semua kaum urban masuk ke sektor formal seperti menjadi PNS, pekerja pabrik dan lainnya.Setiap tahun, pertumbuhan ekono-mi Kota Bekasi meningkat 6-7 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi terse-but sebagian besar masih disumbang sektor formal, seperti