Jurnal Widya Praja Edisi 01 Tahun 2014
-
Upload
arum-yoga-pratama -
Category
Documents
-
view
263 -
download
0
description
Transcript of Jurnal Widya Praja Edisi 01 Tahun 2014
1
2
3
4
DAFTAR ISI
Penerbit ……................................................................. i
Daftar Isi ……................................................................ ii
Pengantar Redaksi ……............................................... iii
Implementasi Kebijakan Pembinaan
Widyaiswara (Pelajaran Yang Bisa Dipetik
Dalam 30 Tahun), Sutarwi
…… 1
On The Job Training, Wardi Astuti …… 22
Good Governance : Antara Wacana Dan
Realita, Ali Moechson
…… 35
Otonomi Daerah Di Indonesia, Dari Masa Ke
Masa, IrawanRumekso
…… 54
Pembelajaran dari Bocornya Rahasia Negara,
Didik Singgih Hadi
....... 70
5
PENGANTAR REDAKSI
Salam Pembaharuan Tim Redaksi sangat bersyukur atas rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami dapat menghadirkan Jurnal Kediklatan Widya Praja untuk yang pertama kalinya. Lahirnya Jurnal Kediklatan ini dimaksudkan untuk memberikan media bagi para pihak terkait kediklatan khususnya Widyaiswara untuk menuangkan pemikiran kritis terkait pengembangan kualitas aparatur sipil negara. Kami sangat berterima kasih kepada para penulis artikel kali ini baik yang berupa hasil penelitian maupun refleksi inovatif, karena hanya dengan dukungan artikel-artikel tersebut Jurnal Kediklatan Widya Praja dapat diterbitkan. Penerbitan jurnal ilmiah ini juga dimaksudkan untuk mendukung pengembangan profesi Widyaiswara melalui penulisan karya tulis ilmiah yang memang merupakan salah satu kewajiban bagi seorang Widyaiswara. Dengan adanya Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan diterapkannya Kurikulum Diklatpim Pembaharuan sejak tahun 2014 ini menunjukkan semakin pentingnya diklat aparatur. Dalam kerangka inilah maka Jurnal Kediklatan Widya Praja menampilkan artikel tentang kebijakan pembinaan Widyaiswara selama ini, dan artikel lainnya yang terkait dengan kediklatan aparatur. Semoga sajian kami yang baru pertama kali ini, meskipun masih perlu pengembangan, dapat bermanfaat bagi para pembaca terutama pengelola diklat, penyelenggara diklat, widyaiswara, peserta dan alumni diklat.
Semarang Mei 2014 Redaksi
6
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBINAAN WIDYAISWARA
(PELAJARAN YANG BISA DIPETIK DALAM 30 TAHUN)
Oleh Dr. Ir. Sutarwi,MSc
Abstrak
Jabatan fungsional widyaiswara telah terbentuk pada tahun 1985 yaitu
dengan ditetapkannya Kepmenpan No. 68/MENPAN/1985. Widyaiswara
adalah PNS yang diberi tugas mendidik, mengajar dan atau melatih secara
penuh oleh pejabat yang berwenang pada unit diklat instansi pemerintah.
Dalam perkembangannya Permenpan tersebut telah mengalami revisi tiga kali
yaitu pada tahun 2001, tahun 2005, dan tahun 2009. Implementasi kebijakan
pembinaan widyaiswara tersebut tidak selamanya menguatkan widyaiswara
tetapi kadang juga melemahkan widyaiswara. Diantaranya kebijakan
pembinaan widyaiswara yang melemahkan adalah kastanisasi pada tahun
2005 dan rekruitmen jalur khusus pada tahun 2009. Demikian juga penilaian
angka kredit yang lebih menekankan aspek administrasi dibandingkan aspek
substantive akademis. Banyak pelajaran yang dapat dipetik setelah
mengimplementasikan kebijakan pembinaan widyaiswara selama tiga puluh
tahun antara lain rekruitmen, TOT, penilaian angka kredit, kenaikan
pangkat/jabatan, pemberhentian dari jabatan widyaiswara. Pelajaran tersebut
sangat bermanfaat untuk masukan dalam rangka merumuskan kebijakan
pembinaan widyaiswara di masa datang.
Kata Kunci: Widyaiswara, Kebijakan, Pembinaan, Angka Kredit,
1. Latar Belakang
Di awal tahun ini Undang Undang
No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara (ASN) telah diundangan.
Dalam Undang-Undang ASN tersebut,
salah satu aspek yang perlu mendapat
perhatian adalah adanya hak
pengembangan kompetensi yang
diberikan kepada ASN..Untuk
memenuhi hak ASN ini pemerintah
harus memberikan kesempatan diklat
yang luas bagi ASN. Dalam kaitan
penyelenggaraan diklat ASN, faktor
sangat penting yang perlu mendapat
perhatian adalah Widyaiswara.
7
Apa itu widyaiswara ?.
Widyaiswara tidak banyak dikenal di
lingkungan masyarakat karena tugasnya
memang tidak banyak berkaitan
langsung dengan masyarakat, namun di
lingkungan Pegawai Negeri Sipil (PNS)
sudah dikenal dengan baik. Pada saat
dibentuk dengan Keputusan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 68/MENPA/1985
tentang Angka Kredit Bagi Jabatan
Widyaiswara, yang dimaksudkan
Widyaiswara adalah PNS yang diberi
tugas mendidik, mengajar, dan atau
melatih secara penuh oleh pejabat yang
berwenang pada unit pendidikan dan
latihan (Diklat) Instansi Pemerintah;
Kalau ditinjau dari asal kata,
widyaiswara berasal dari bahasa
Sansekerta vidya yang artinya ilmu
pengetahuan, ish artinya memiliki dan
vara artinya terpilih. Dengan demikian
widyaiswara dapat diartikan seseorang
yang terpilih karena memiliki ilmu
pengetahuan. Sampai saat ini
keberadaan widyaiswara sudah hampir
tiga puluh tahun (1985 s/d 2014).
Jumlah widyaiswara madya dan
widyaiswara utama sampai saat ini
mencapai 3400 orang (LAN,2014). Pada
tahun 1994 dengan ditetapkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 16 tentang
Jabatan Fungsional PNS, widyaiswara
termasuk dalam rumpun pendidikan
lainnya. Kebijakan ini semestinya bisa
menguatkan keberadaan widyaiswara
Selama kurun waktu hampir 30 tahun,
kebijakan pembinaan widyaiswara telah
beberapa kali mengalami perubahan
yang kadang menguatkan widyaiswara
tetapi juga kadang melemahkan
widyaiswara bahkan kadang ada yang
menyebutnya bukan pembinaan tetapi
pembinasaan widyaiswara. Dengan latar
belakang tersebut, tulisan ini
dimaksudkan untuk menjawab
pertanyaan: “ bagaimana perkembangan
kebijakan pembinaan widyaiswara
dalam tiga puluh tahun dan pelajaran
apa saja yang bisa dipetik untuk revisi
kebijakan pembinaan widyaiswara di
waktu yang akan datang?”
2. Siapa Instansi Pembina
Widyaiswara?
Berdasarkan Peraturan Bersama
Kepala LAN dan Kepala BKN Nomor 7
Tahun 2005 dan Nomor 17 Tahun 2005
tentang petunjuk pelaksanaan jabatan
fungsional Widyaiswara dan angka
kreditnya disebutkan bahwa Lembaga
Administrasi Negara selaku instansi
pembina.
Adapun kewajiban instansi
pembina adalah melakukan : (a).
penyusunan kurikulum diklat
8
fungsional/teknis fungsional bagi
widyaiswara, (b) penyelenggaraan diklat
fungsional/teknis bagi widyaiswara,
(c) penetapan standar kompetensi
widyaiswara, (d) penyusunan formasi
jabatan widyaiswara, (e) pengembanagn
system informasi jabatan widyaiswara;
(f) fasilitasi penyusunan dan penetapan
etika profesi widyaiswara.
Selanjutnya, berdasarkan Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 14 Tahun 2009
pasal 5 disebutkan bahwa Instansi
Pembina Jabatan Fungsional Widya-
iswara adalah Lembaga Administrasi
Negara (LAN). Lembaga Administrasi
Negara wajib melakukan tugas
pembinaan yang meliputi:
a. Menetapkan pedoman formasi
Jabatan Fungsional Widyaiswara;
b. Menetapkan standar kompetensi
Jabatan Fungsional Widyaiswara;
c. Menyelenggarakan dan mem-
fasilitasi seleksi dan pengembangan
Jabatan Fungsional Widyaiswara;
d. Menyusun kurikulum Diklat Jabatan
Fungsional Widyaiswara;
e. Menyelenggarakan dan mem-
fasilitasi Diklat Fungsional
Widyaiswara dan Diklat Teknis bagi
Widyaiswara;
f. Melakukan evaluasi dan penempatan
Jabatan Fungsional Widyaiswara;
g. Melakukan monitoring dan evaluasi
Jabatan Fungsional Widyaiswara;
h. Menetapkan pedoman sertifikasi
jabatan Fungsional Widyaiswara;
i. Menyelenggarakan dan mem-
fasilitasi proses sertifikasi Jabatan
Fungsional Widyaiswar;
j. Mensosialisasikan Jabatan fung-
sional Widyaiswara serta petunjuk
pelaksanaannya;
k. Mengembangkan system informasi
Jabatan Fungsional Widyaiswara;
l. Memfasilitasi penyusunan dan
penetapan etika profesi dank ode
etik Widyaiswara.
Adapun pembinaan kepegawaian
secara umum adalah pembina
kepegawaian pada Kementerian/ Daerah
yang bersangkutan.
3. Kebijakan Pembinaan Widya-
iswara
Dalam tulisan ini kebijakan
pembinaan widyaiswara lebih
difokuskan pada implementasi
kebijakan pembinaan widyaiswara
terutam implementasi kebijakan
pembinaan di Daerah. Formulasi
kebijakan yang menjadi kewenangan
Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara tidak banyak dibahas dalam
tulisan ini.
9
Menurut Mustopadidjaja (2002)
menyatakan bahwa dalam implementasi
kebijakan sering dijumpai hambatan-
hambatan sebagai berikut:
- Pengambil kebijakan lebih
mengutamakan formulasi ke-
bijakan dibandingkan dengan
implementasi kebijakan;
- Diseminasi kurang dilaksanakan;
- Terjadinya KKN
- Kurangnya dukungan dana bagi
organisasi pelaku kebijakan
- Penegakan hukum sangat lemah;
- Kelompok sasaran kebijakan
kurang mematuhi kebijakan.
Dalam tulisan ini juga akan dikaji
hambatan apa saja yang dijumpai dalam
implementasi kebijakan pembinaan
widyaiswara. Untuk lebih memahami
efektivitas Implementasi kebijakan
pembinaan widyaiswara, akan diuraikan
ke dalam empat periode waktu yaitu
selama tahun 1985-2001, tahun 2001-
2005, tahun 2005-2010, dan tahun
2010-2014 Pemilihan periode waktu
tersebut lebih didasarkan pada waktu
berlangsungnya perubahan kebijakan
pembinaan widyaiswara.
A. Pada Tahun 1985-2001:
Kebijakan pembinaan
widyaiswara dalam periode ini
tertuang dalam Keputusan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 68/MENPAN/1985
tentang Angka Kredit Bagi Jabatan
Widyaiswara. Dalam Keputusan
Menpan tersebut diatur tentang
jenjang jabatan widyaiswara, tugas
pokok widyaiswara, Unsur kegiatan
widyaiswara yg memperoleh angka
kredit untuk kenaikan pangkat/
jabatan, Tim Penilai Angka Kredit,
pengangkatan dan pemberhentian
dalam dan dari jabatan widyaiswara.
Keputusan Menpan ini
ditindaklanjuti dengan dikeluar-
kannya Surat Edaran Bersama
Kepala Badan Administrasi
Kepegawaian Negara dan Ketua
Lembaga Administrasi Negara No.
31/SE/1985 dan No.
240/SEKLAN/XII/1985 tentang
Angka Kredit Bagi Jabatan
Widyaiswara.
Jabatan Widyaiswara saat itu
dari yang terendah sampai dengan
tertinggi adalah sebagai berikut:
10
Tugas pokok Asisten
Widyaiswara Muda, Asisten
Widyaiswara Madya, dan Asisten
Widyaiswara adalah :
a. Dikjartih peserta diklat pada
bidang tertentu;
b. Membantu penyusunan
kurikulum diklat;
c. Membantu melakukan evaluasi
diklat;
Tugas pokok Ajun
Widyaiswara Muda, Ajun
Widyaiswara Madya, dan Ajun
Widyaiswara adalah :
a. Dikjartih peserta diklat dalam
bidang tertentu;
b. Membantu penyusunan
kurikulum diklat
c. Membantu melkukan evaluasi
diklat
d. Membimbing peserta diklat
e. Membimbing Widyaiswara
yang lebih rendah;
Tugas pokok Widyaiswara
Pratama, Widyaiswara Muda,
Widyaiswara Madya adalah :
a. Dikjartih peserta diklat pada
bidang tertentu;
b. Menyusun kurikulum diklat;
c. Mengadakan evaluasi diklat
d. Membimbing peserta diklat
e. Membimbing widyaiswara di
bawahnya
11
f. Mengembangkan bahan dan
metodologi diklat
g. Membantu melakukan kegiatan
penelitian dan pengembangan
diklat
Tugas pokok Widyaiswara
Utama Pratama, Widyaiswara
Utama Muda, WidyaiswaraUtama
Madya, Widyaiswara Utama adalah:
a. Dikjartih peserta diklat pada
bidang tertentu;
b. Menyusun kurikulum diklat;
c. Mengadakan evaluasi diklat
d. Membimbing peserta diklat
e. Membimbing widyaiswara di
bawahnya
f. Mengembangkan bahan dan
metodologi diklat
g. Menyusun rencana dan
program kegiatan diklat
h. Melakukan kegiatan penelitian
dan pengembangan diklat
Pengangkatan pejabat
widyaiswara untuk pertama kali,
PNS harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
a. Memiliki pendidikan dan atau
latihan dalam bidang dikjartih,
atau pengalaman sekurang-
kurangnya 1 tahun dalam
melakukan kegiatan dikjartih;
b. Memiliki pengetahuan dan atau
pengalaman dalam bidang
tertentu yang berhubungan
dengan subyek yang diajarkan;
c. DP3 sekurang-kurangnya baik.
Untuk kenaikan pangkat /
jabatan widyaiswara harus
memenuhi jumlah angka kredit
seperti pada tabel tersebut diatas
dengan ketentuan:
a. Sekurang-kurangnya 70%
angka kredit dari unsur utama
yaitu pendidikan, kegiatan
dikjartih, dan kegiatan litbang
diklat;
b. Sebanyak-banyak 30% angka
kredit dari unsur penunjang
yaitu kegiatan pengabdian
masyarakat, keikutsertaan
dalam kegiatan ilmiah,
peningkatan mutu widyaiswara,
dan penghargaan ilmiah.
Untuk perhitungan angka
kredit bagi Asisten Widyaiswara
Muda (II/a) s/d Widyaiswara Muda
(III/d) dilakukan oleh Tim Penilai
Daerah/Instansi. Sementara
penilaian angka kredit untuk
Widyaiswara Madya (IV/a) sampai
dengan Widyaiswara Utama (IV/e)
dilakukan oleh Tim Penilai Pusat.
Bagi Asisten Widyaiswara
Muda (II/a) sampai dengan
Widyaiswara Utama Madya (IV/d)
apabila dalam jangka waktu 4
12
(empat) tahun tidak dapat
mengumpulkan angka kredit yang
diperlukan untuk kenaikan jabatan
Widyaiswara setingkat lebih tinggi
dibebaskan sementara dari jabatan
widyaiswara. Adapun bagi
Widyaiswara Utama (IV/e) yang
dalam waktu 2 (dua) tahun tidak
dapat mengumpulkan angka kredit
minimal 20 (dua puluh) berasal dari
unsur dikjartih dan litbang
widyaiswara dibebaskan sementara
dari jabatan widyaiswara
Kebijakan pembinaan
widyaiswara di awal pembentukanna
juga tertuang dalam Keputusan
Presiden Nomor 63 Tahun 1986
tentang Batas Usia Pensiun Pegawai
Negeri Sipil yang Menjabat Jabatan
Fungsional Widyaiswara dan
Penyuluh Pertanian.
Namun demikian pada tahun-
tahun awal implementasi kebijakan
pembinaan widyaiswara dirasakan
belum efektif. Hal ini disebabkan
oleh beberapa hal sebagai berikut:
a. Minat PNS menjadi
widyaiswara saat itu masih
didominasi oleh pejabat yang
menjelang usia pensiun, baru
setelah tahun 1990 an PNS
yang berusia muda mulai
tertarik dengan jabatan
widyaiswara;
b. Tidak adanya batasan usia
maksimal yang dipersyaratkan
untuk menjadi widyaiswara
terkesan memang hanya
sebagai perpanjangan masa
pensiun;
c. Pengangkatan widyaiswara
pada tahun-tahun awal tanpa
melalui persetujuan Lembaga
Administrasi Negara tetapi
langsung persetujuan oleh
Kementerian (Departemen saat
itu), dan baru setelah tahun
1990 pengangkatan widya-
iswara harus mendapatkan
rekomendasi Lembaga
Administrasi Negara RI
Jakarta;
d. Pemberian sanksi pembebasan
sementara cenderung tidak
dilaksanakan karena
kebanyakan widyaiswara yang
terkena sanksi waktunya sudah
menjelang masa pensiun;
e. Sistem informasi kewidya-
iswaraan belum berkembang,
sehingga widyaiswara yang
tidak memenuhi angka kredit
dan tidak melaporkan ke
Lembaga Administrasi Negara
tidak mendapatkan sanksi
13
pembebasan sementara dari
jabatan widyaiswara;
f. Tugas pembinaan dari Instansi
Pembina Widyaiswara belum
terlaksana secara terprogram.
Sebagai contoh, pembinaan
teknis perhitungan angka kredit
widyaiswara baru dilaksanakan
apabila instansi/ daerah
memintanya setelah daerah
menghadapi berbagai masalah.
B. Pada Tahun 2001-2005
Dengan diterbitkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 1994 tentang Jabatan
Fungsional PNS, semakin
memperkuat keberadaan jabatan
fungsional pada umumnya termasuk
jabatan fungsional widyaiswara.
Dalam PP tersebut Widyaiswara
termasuk dalam rumpun pendidikan
lainnya; Demikian juga dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 101 Tahun 2000 tentang
Pendidikan dan Pelatihan Jabatan
Pegawai Negeri Sipil. Lebih dari itu,
dalam ketentuan umum (pasal 1) UU
No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas disebutkan bahwa
Widyaiswara termasuk Pendidik.
Kebijakan pembinaan
widyaiswara pada periode ini
tertuang dalam Keputusan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 01/KEP/M.PAN/
1/2001 tentang Jabatan Fungsional
Widyaiswara dan Angka Kreditnya.
Jenjang jabatan fungsional
widyaiswara mengalami perubahan
yang signifikan yaitu berubah dari
13 (tiga belas) jenjang jabatan
menjadi 4 (empat) jenjang jabatan
saja seperti tertuang dalam tabel
sebagai berikut:
14
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
yang diangkat untuk pertama kali
dalam jabatan widyaiswara juga
berubah yaitu harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut::
- Serendah rendahnya Sarjana/D4
sesuai kualifikasi yang
ditentukan;
- Pangkat serendah rendahnya
Golongan III/a
- Nilai DP3 rata-rata termasuk
baik;
- Telah mengikuti dan lulus diklat
fungsional widyaiswara yg
ditentukan;
- Memiliki pengalaman mendidik
mengajar dan melatih minimal
2(dua) tahun
- Usia setinggi-tingginya 2(dua)
tahun sebelum pensiun;
Jumlah angka kredit
kumulatif yang harus dipenuhi untuk
naik pangkat juga mengalami
perubahan yang menekankan pada
kegiatan unsur utama. Sementara
ketentuan jumlah angka kredit
maksimal dari kegiatan unsur
penunjang semakin dikurangi.
Kebijakan pembinaan widyaiswara
saat itu menetapkan sebagai berikut:
a. Sekurang-kurangnya 80% dari
unsur utama termasuk di
dalamnya 30% unsur
pelaksanaan diklat;
b. Sebanyak-banyaknya 20%
berasal dari unsur penunjang.
Ketentuan pembebasan
sementara dari jabatan widyaiswara
juga masih diberlakukan. Dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
diangkat tidak dapat mengumpulkan
angka yang ditentukan untuk
kenaikan pangkat bagi widyaiswara
pertama (III/a) sampai dengan
widyaiswara utama madya (IV/d).
Sementara untuk Widyaiswara
Utama (IV/e) setiap tahun
diwajibkan mengumpulkan angka
kredit sekurang-kurangnya 50 (lima
puluh) angka kredit dengan
ketentuan sekurang-kurangnya 40
(empat puluh) angka kredit dari
unsur utama dan sebanyak-
banyaknya 10 (sepuluh) angka kredit
dari unsur penunjang. Apabila
Widyaiswara Utama (IV/e) tidak
memenuhi kewajiban tersebut
diberikan sanksi pembebasan
sementara dari jabatan widyaiswara.
Dengan Kepmenpan No. 1
Tahun 2001 ini, mulai dikenalkan
adanya “kastanisasi” yaitu jenjang
widyaiswara tertentu hanya boleh
melakukan kegiatan-kegiatan
tertentu yang mendapatkan penilaian
15
angka kredit. Widyaiswara selain
melakukan dikjartih sesuai jenjang
diklat yang bersangkutan hanya
diperbolehkan untuk satu jenjang di
bawah satu jenjang di atas jenjang
yang bersangkutan. Sebagai contoh
bagi seorang widyaiswara utama
maka yang bersangkutan selain
melakukan dikjartih pada diklat
tingkat tinggi hanya diberbolehkan
melakukan dikjartih pada diklat
tingkat menengah. Apabila
widyaiswara tersebut melakukan
dikjartih pada diklat tingkat dasar
dan tingkat lanjutan tidak diberikan
angka kredit.
Bagi widyaiswara yang
melakukan dikjartih untuk PNS di
luar instansinya angka kredit yang
diberikan termasuk unsur penunjang.
Demikian juga melakukan dikjartih
untuk non PNS meskipun termasuk
warga binaan lembaga diklat yang
bersangkutan.
Diklatpim Tk I digolongkan
ke dalam diklat tingkat tinggi,
Diklatpim Tk II digolongkan ke
dalam diklat tingkat menengah,
Diklatpim Tk III digolongkan ke
dalam diklat tingkat lanjutan, dan
Diklatim Tk IV digolongkan ke
dalam diklat tingkat dasar.
Orasi ilmiah sebagai
pengukuhan dalam jabatan
widyaiswara utama diwajibkan bagi
widyaiswara yang telah menduduki
jabatan widyaiswara utama. Dalam
implementasinya meskipun orasi
ilmiah sebagai kewajiban ada
widyaiswara tidak melakukannya
karena merasa sudah Widyaiswara
Utama dan tidak ada sanksi
Terkait dengan penilaian
angka kredit widyaiswara, sejalan
dengan berlangsungnya desen-
tralisasi penyelenggaraan peme-
rintahan, penilaian angka kredit
untuk widyaiswara pertama (III/a)
sampai dengan widyaiswara madya
(IV/b) dilakukan oleh Tim Penilai
Daerah/Instansi (TPD/I) sedangkan
untuk widyaiswara madya (IV/c)
sampai dengan widyaiswara utama
(IV/e) dilakukan oleh Tim Penilai
Pusat (TPP). Pada periode
sebelumnya, Tim Penilai Daerah/
Instansi hanya menilai angka kredit
sampai dengan Widyaiswara Muda
III/d saja.
C. Pada Tahun 2005-2010
Kebijakan pembinaan pada
periode ini tertuang dalam
Permenpan No.PER/66/M /
PAN/6/2005 tentang Jabatan
16
Fungsional Widyaiswara dan Angka
Kreditnya. Jenjang jabatan
widyaiswara tidak berubah dari
sebelumnya yaitu Widyaiswara
Pertama (III/a dan III/b),
Widyaiswara Muda (III/c dan III/d),
Widyaiswara Madya (IV/a, IV/b,
IV/c), Widyaiswara Utama (IV/d
dan IV/e). Pada periode ini
kebijakan pembinaan jabatan
fungsional widyaiswara juga
tertuang dalam Peraturan Presiden
Nomor 59 Tahun 2007 tentang
Tunjangan Jabatan Fungsional
Widyaiswara. Dalam Perpres
tersebut besarnya tunjangan jabatan
fungsional widyaiswara mengalami
sedikit peningkatan dibandingkan
sebelumnya yang tidak pernah naik
seperti jabatan fungsional lainnya.
Pada periode ini, kebijakan
“kastanisasi” yang sangat merugikan
widyaiswara tetap berlanjut.
Kegiatan widyaiswara dikjartih yang
mendapatkan angka kredit selain
yang memang sudah sesuai jenjang
jabatan widyaiswara hanya satu
jenjang di bawah dan di atas jenjang
widyaiswara yang bersangkutan.
Sebagai perbandingan, pada jabatan
dosen, seorang Guru Besar
(Profesor) yang bersedia mengajar
S1 mendapat apresiasi. Sebaliknya
untuk Widyaiswara Utama yang
bersedia mengajar diklat tingkat
dasar tidak dinilai angka kreditnya.
Beberapa ketentuan baru
dalam kebijakan pembinaan
widyaiswara yaitu: (a) pengangkatan
widyaiswara usia paling tinggi 50
(lima puluh) tahun, (b) kenaikan
pangkat bagi Widyaiswara Madya
(IV/a) sampai dengan Widyaiswara
Utama (IV/e) perolehan angka kredit
minimal 12 AK dari unsur
pengembangan profesi, (c) untuk
kenaikan jabatan ke Widyaiswara
Utama (IV/d) widyaiswara
diwajibkan melakukan orasi ilmiah.
Orasi ilmiah berdasarkan hasil
penelitian. Orasi ilmiah widyaiswara
tidak lagi untuk pengukuhan sebagai
widyaiswara utama tetapi sebagai
syarat yang harus dipenuhi untuk
naik menjadi Widyaiswara Utama.
Bagi Widyaiswara Madya (IV/c)
meskipun jumlah AK untuk
kenaikan pangkat sudah terpenuhi
yaitu 850 AK, apabila belum
melakukan orasi ilmiah berdasarkan
hasil penelitian tidak bisa diusulkan
naik ke Widyaiswara Utama (IV/d).
Widyaiswara Utama (IV/e)
diwajibkan mengumpulkan angka
kredit minimal 25 AK yang berasal
dari unsur pelaksanaan dan
17
pengembangan diklat yaitu dikjartih.
Apabila Widyaiswara Utama (IV/e)
dalam satu tahun tidak bisa
mengumpulan sesuai ketentuan
tersebut akan diberikan sanksi
pembebasan sementara dalam
jabatan widyaiswara. Bagi
Widyaiswara Utama IV/d saat itu
belum diwajibkan mengumpulkan
25 AK. Hal inilah yang
menyebabkan protes dari
Widyaiswara Utama IV/e menuntut
diberikannya sanksi yang sama
terhadap Widyaiswara Utama baik
yang berpangkat golongan IV/D
maupun IV/E.
Kewenangan penilaian angka
kredit tidak mengalami perubahan.
Untuk jabatan widyaiswara pertama
(III/a) sampai dengan widyaiswara
madya (IV/b) dilakukan oleh Tim
Penilai Daerah/Instansi (TPD/I)
sedangkan untuk widyaiswara
madya (IV/c) sampai dengan
widyaiswara utama (IV/e) dilakukan
oleh Tim Penilai Pusat (TPP).
D. Pada Tahun 2010-2014
Kebijakan pembinaan
widyaiswara pada periode ini
tertuang pada Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor 14 Tahun 2009 tentang
Jabatan Fungsional Widyaiswara
dan Angka Kredit. Dalam ketentuan
tersebut terdapat beberapa
perubahan bila dibandingkan dengan
ketentuan pada periode sebelumnya.
Permenpan No. 14 tahun 2009
tersebut ditindaklanjuti dengan
diterbitkannya Peraturan Bersama
Kepala LAN dan Kepala BKN
Nomor 1 dan Nomor 2 Tahun 2010
tentang Petunjuk Pelaksanaan
Jabatan Fungsional Widyaiswara
dan Angka Kreditnya serta.
Peraturan Kepala LAN Nomor 3
Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis
Jabatan Fungsional Widyaiswara
dan Angka Kreditnya.
Jenjang diklat terdapat
perubahan yaitu: Diklatpim Tk I dan
Diklatpim Tk II termasuk ke dalam
diklat tingkat tinggi, Diklatpim Tk
III termasuk ke dalam diklat tingkat
menengah, Diklatpim Tk IV
termasuk alam diklat lanjutan.
Sedangkan untuk Diklat Prajabatan
Golongan I dan II, Golongan III
termasuk diklat tingkat dasar. Diklat
Teknis yang tidak berjenjang
digolongkan ke dalam diklat tingkat
dasar.
Kebijakan “kastanisasi”
masih berlanjut namun lebih
fleksibel. Seperti tertuang pada
18
pasal 11 ayat 2: “ widyaiswara dapat
melaksanakan kegiatan pada
beberapa jenjang diklat sepanjang
telah memiliki sertifikat kompetensi
sesuai dengan bidang dan
tingkatannya”. Demikian juga pada
pasal 9 ayat 1 “ widyaiswara yang
melaksanakan butir kegiatan tatap
muka, menyusun bahan ajar diklat,
GBPP/SAP, dan bahan tayang pada
suatu lembaga diklat pemerintah
yang memiliki tugas pokok dan
fungsi dikjartih non PNS diberikan
angka kredit”.
Kewajiban widyaiswara
untuk mengumpulkan angka kredit
dari unsur pengembangan profesi
juga mengalami perubahan. Pada
kebijakan sebelumnya yang
diwajibkan mengumpulkan angka
kredit dari pengembangan profesi
hanya untuk widyaiswara madya
IV/a ke atas, Namun untuk periode
waktu ini semua widyaiswara
diwajibkan mengumpulkan angka
kredit dari pengembangan profesi.
Kewajiban mengumpulkan angka
kredit pengembangan profesi yaitu
dari III/a s/d III/c sejumlah 4 AK,
Dari III/d ke IV/a diwajibkan
mengumpulkan 8 AK dari unsur
pengembangan profesi.
Sedangkan dari IV/a s/d IV/c
wajib mengumpulkan 12 AK dan
dari IV/c ke IV/d dan IV/e wajib
mengumpulkan 16 AK
pengembangan profesi.
Widyaiswara Utama (IV/d)
dan Widyaiswara Utama (IV/e)
setiap tahun diwajibkan
mengumpulkan paling rendah 25
AK dari sub unsur pengembangan
dan pelaksanaan diklat dan sub
unsur pengembangan profesi.
Apabila Widyaiswara Utama dalam
satu tahun tidak dapat
mengumpulkan 25 AK tersebut
dibebaskan sementara dari jabatan
widyaiswara.
Dalam kewenangan untuk
melakukan penilaian angka kredit
terdapat perubahan yaitu untuk
widyaiswara pertama III/a s/d
widyaiswara madya IV/a dilakukan
oleh Tim Penlai Daerah (TPD).
Sedangkan untuk widyaiswara
madya IV/b s/d IV/e dilakukan oleh
Tim Penilai Pusat (TPP).
Widyaiswara Madya IV/b yang
semula dinilai oleh TPD ditarik
kembali ke TPP di Lembaga
Administrasi Negara (LAN) RI
Jakarta. Latar belakangnya adalah
PAK digunakan untuk kenaikan ke
IV/c, sementara pejabat yang
19
berwenang menerbitkan surat
keputusan kenaikan pangkat ke IV/c
adalah Presiden. Oleh sebab itu
wajar kalau penilaian angka kredit
untuk kenaikan pangkat IV/c ditarik
ke TPP. Namun demikian dengan
kebijakan ini menyebabkan sering
terlambatnya penilaian AK karena
banyaknya usulan yang masuk ke
TPP di LAN RI Jakarta.
Dalam periode waktu ini,
terdapat kebijakan yang
kontroversial yaitu penerimaan
widyaiswara dari pejabat struktural
yang sudah mendekati pensiun
seperti yang pernah terjadi di awal
pembentukan jabatan fungsional
widyaiswara yaitu pada tahun 1985
yang lalu. Meskipun hanya
diperuntukkan mengisi formasi
widyaiswara untuk melaksanakan
tugas pokok widyaiswara pada
Diklatpim Tk I dan Tk II,
mekanisme ini melanggar ketentuan-
ketentuan yang telah ada
sebelumnya. Sebagai contoh, calon
widyaiswara tanpa mengikuti Diklat
Calon Widyaiswara ternyata dapat
diangkat menjadi widyaiswara.
Dalam kebijakan ini, pengertian
untuk mengisi formasi widyaiswara
Diklatpim Tk I dan TK II terkesan
tidak jelas. Apakah widyaiswara
yang diterima hanya mengampu
pada Diklatpim Tk I dan Tk II atau
diperbolehkan mengampu Diklatpim
Tk III dan Tk IV. Kalau ditugaskan
pada Diklatpim Tk III dan Tk IV
yang menggunakan pendekatan
pembelajaran yang berbeda dengan
Diklatpim Tk II dan Tk I,
semestinya calon widyaiswara juga
harus memenuhi persyaratan yang
ditentukan misalnya persyaratan
telah mengikuti Diklat
Kewidyaiswaraan Berjenjang yang
dipersyaratkan. Kondisi ini juga
membingungkan bagi pengaturan
kerja bagi kelompok widyaiswara
yang terdiri dari berbagai jenjang
jabatan widyaiswara. Demikian juga
saat belum ada jadwal
penyelenggaraan Diklatpim Tk II,
kalau tidak didayagunakan untuk
mengajar pada diklat-diklat yang
lain juga dapat menyebabkan
widyaiswara yang bersangkutan
tidak produktif.
Untuk seleksi memang
diadakan uji kompetensi, namun
bagi calon widyaiswara yang
usianya sudah 59 tahun yang
diterima, bagaimana dengan
perhitungan angka kreditnya. Kalau
diberikan angka kredit setara dengan
Widyaiswara Madya maka segera
20
akan memasuki masa pensiun karena
Widyaiswara Madya batas usia
pensiunnya 60 th. Kalau diberikan
angka kredit setara Widyaiswara
Utama sebenarnya juga tidak adil
karena belum pernah melakukan
kegiatan mengajar , membuat
GBPP/SAP, menyusun modul,
belum pernah membuat soal ujian,
tiba-tiba langsung diangkat menjadi
Widyaiswara Utama. Sementara
dalam rekruitmen widyaiswara
melalui jalur regular, kebanyakan
widyaiswara diangkat pada jabatan
widyaiswara setingkat atau dua
tingkat di bawah pangkat yang
bersangkutan. Sebagai contoh, calon
widyaiswara golongan pangkat IV/b
diangkat setara dengan Widyaiswara
Muda III/d.
Selanjutnya pada tahun 2014
yang merupakan tahun awal
pelaksanaan kurikulum diklatpim
pola baru juga dirasakan adanya
pembinaan widyaiswara yang
kurang efektif bahkan ada yang
mengatakan sebagai pelemahan
peran dan fungsi widyaiswara.
Sebagai contoh untuk persyaratan
pengampu diklatpim pola baru
adalah widyaiswara atau non
widyaiswara yang lulus Training of
Fasilitator(TOF). Sementara TOF
dirancang untuk lebih memahami
proses pembelajaran daripada
substansi setiap mata diklat yang ada
dalam proses tersebut. Peserta TOF
beragam dari pejabat struktural
eselon IV s/d eselon II, widyaiswara
dari widyaiswara pertama s/d
widyaiswara utama. Anehnya juga
semua dinyatakan lulus untuk
memfasilitasi Diklatpim Tk IV, III,
II. Pemberian bekal untuk substansi
masing-masing mata diklat sangat
kurang. Untuk pembinaan
widyaiswara semestinya setelah
lulus TOF dilanjutkan dengan TOT
substansi masing-masing mata diklat
sesuai dengan jenjang diklatpim dan
diikuti oleh widyaiswara yang sesuai
jenjang jabatannya.
Jenjang diklat (tingkat dasar,
lanjutan, menengah, dan tinggi) serta
jenjang jabatan widyaiswara
(pertama, muda, madya, utama)
telah diatur dalam Permenpan No.
14 Tahun 2009 yang saat tulisan ini
dibuat dalam proses revisi kebijakan.
E. Pelajaran yang bisa dipetik
Mustapadidjaja dalam
bukunya berjudul Studi Kebijakan
(1992) menyatakan bahwa sistem
kebijakan terdiri dari 4(empat)
elemen sistem kebijakan yaitu
21
pelaku kebijakan, kebijakan itu
sendiri, lingkungan kebijakan, dan
kelompok sasaran kebijakan.
Keempat elemen tersebut
berhubungan secara timbal balik di
antara empat elemen tersebut. Dalam
kebijakan pembinaan widyaiswara,
kelompok sasaran kebijakannya
adalah widyaiswara. Widyaiswara
punya pengaruh yang penting
terhadap keberhasilan kebijakan
pembinaan terhadap diri mereka.
Oleh sebab itu dimensi widyaiswara
harus diperhatikan dalam merevisi
kebijakan pembinaan widyaiswara.
Dari perspektif widyaiswara
sebagai kelompok sasaran ( target
group) kebijakan, berdasarkan
uraian tentang kebijakan pembinaan
widyaiswara tersebut di atas dapat
diungkapkan beberapa pelajaran
yang bisa dipetik sebagai berikut:
a. Pada periode awal
pembentukan jabatan fung-
sional widyaiswara bisa
dipahami apabila pengisian
jabatan tersebut didominasi
oleh pejabat yang sudah
menjelang pensiun dan kurang
mendasarkan pada
pertimbangan kompetensi dan
formasi widyaiswara. Untuk
periode seterusnya ada
kebijakan yang relatif tepat
yaitu dengan adanya syarat
calon widyaiswara maksimal
usia 50 tahun.Kebijakan ini
mendukung pembentukan
profesionalitas widyaiswara
karena masuk menjadi
widyaiswara memang dilandasi
minat dan kompetensi serta
formasi dan bukan hanya ingin
memperpanjang usia pensiun.
Sayangnya kebijakan yang baik
ini diubah dengan rekruitmen
widyaiswara melalui dua jalur
yaitu jalur regular dan jalur
khusus untuk widyaiswara
Diklatpim Tk II dan Tk I.
b. Rekruitmen widyaiswara
langsung dari CPNS yang
masih berlaku sampai saat ini
perlu ditinjau kembali.
Widyaiswara perlu pengalaman
kerja dalam waktu tertentu
untuk mendukung kompeten-
sinya. Widyaiswara dari CPNS
cenderung sudah matang dalam
metode pembelajaran tetapi
masih sangat lemah dalam
penguasaan substansi mata
diklat yang diampunya.
Dengan rekruitmen widya-
iswara dari PNS yang sudah
memiliki pengalaman tertentu
22
dapat meningkatkan kompeten-
si widyaiswara yang bersang-
kutan. Peran widyaiswara
dalam diklat tidak hanya
sebagai fasilitator dan konselor
tetapi juga sebagai pelatih
(coach) yang memerlukan
pengalaman lapangan.
c. Persyaratan mengkikuti diklat
kewidyaiswaraan tertentu bagi
calon widyaiswara (diklat
cawid) sangat berguna untuk
mempersiapkan widyaiswara
yang professional. Persyaratan
ini semestinya diberlakukan
untuk semua calon widya-
iswara baik jalur regular
maupun jalur khusus ( kalau
jalur ini dipertahankan). Hal ini
sangat diperlukan mengingat
kenyataan di lapangan
meskipun jalur khusus semula
hanya menyiapkan untuk
widyaiswara Diklatpim Tk II
dan I tetapi dalam prakteknya
juga banyak penugasan untuk
mengajar diklat-diklat lain
yang memerlukan metode
pembelajaran yang berbeda
dengan Diklatpim Tk II dan
Tk I.
d. Pendidikan dan Pelatihan
Kewidyaiswaraan Berjenjang
sangat bermanfaat dalam
meningkatkan kompetensi
widyaiswara. Diklat
Kewidyaiswaraan Berjenjang
Tingkat Pertama dapat
membekali kompetensi meng-
ajar secara umum bagi
Widyaiswara Pertama. Diklat
Kewidyaiswaraan Berjenjang
Tingkat Muda.dapat mem-
bekali kompetensi berbagai
macam metode pembelajaran
bagi Widyaiswara Muda.
Selanjutnya Diklat Kewidya-
iswaraan Berjenjang Tingkat
Madya dapat membekali
kompetensi penulisan karya
tulis ilmiah dan penyusunan
bahan ajar diklat. Demikian
juga Diklat Kewidyaiswaraan
Berjenjang Tingkat Utama
dapat membekali kompetensi
pembimbingan bagi Widya-
iswara Tingkat Utama. Namun
kebijakan diklat berjenjang
kewidyaiswaraan tersebut
kurang mendapatkan perhatian
baik oleh widyaiswara maupun
instansi pembina widyaiswara.
Kesempatan mengikuti diklat
kewidyaiswaraan berjenjang
yang diselenggarakan oleh
Lembaga Administrasi Negara
23
RI Jakarta sangat terbatas.
Sementara penerapan sanksi
bagi widyaiswara yang tidak
mengikuti diklat berjenjang
juga tidak diterapkan.
e. Kebijakan pembinaan widya-
iswara melalui kastanisasi
mempunyai dampak positif dan
negatif. Dengan kastanisasi
widyaiswara jenjang tertentu
hanya dinilai angka kreditnya
apabila melaksanakan tugas
pada diklat jenjang tertentu
yang ditentukan. Dengan
kebijakan ini dimaksudkan agar
widyaiswara yang semakin
tinggi jenjangnya semakin
besar tanggung jawabnya yaitu
dengan mengajar diklat jenjang
yang semakin tinggi.
Sebaliknya widyaiswara yang
masih rendah jenjangnya dan
belum banyak berpengalaman
sebagai widyaiswara diberikan
tugas mengajar diklat jenjang
yang lebih rendah. Namun
kebijakan ini juga mempunyai
dampak negatif yaitu adanya
pelaksanaan tugas widyaiswara
yang harus dilakukan namun
tidak dinilai angka kreditnya
sehingga mempersulit widya-
iswara dalam perolehan angka
kredit untuk kenaikan pangkat.
1. Kebijakan Pembinaan Widya-
iswara yang Akan Datang
Pelajaran yang dapat dipetik
dari pembinaan widyaiswara di
waktu yang lalu dapat bermanfaat
untuk merumuskan kebijakan
pembinaan widyaiswara di masa
yang akan datang. Kebijakan
pembinaan widyaiswara di waktu
yang akan datang sudah barang tentu
tidak terlepas dari diberlakukannya
Undang-Undang No. 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara
(ASN).
Beberapa kebijakan pembi-
naan widyaiswara yang dapat
diusulkan adalah sebagai berikut :
a. Rekruitmen widyaiswara
sebaiknya tidak perlu lagi
melalui dua pola yaitu pola
regular dan pola khusus
widyaiswara diklatpim Tingkat
II dan I tetapi dengan satu pola
rekruitmen yaitu dengan batas
usia calon widyaiswara minimal
42 tahun maksimal 52 tahun.
Dengan batasan ini akan
diperoleh calon widyaiswara
yang memang benar-benar
berminat untuk menjadi
24
widyaiswara dan telah memiliki
bekal pengalaman lapangan
yang relatif cukup.
b. Diklat bagi widyaiswara baik
diklat berjenjang (Pertama,
Muda, Madya, Utama) maupun
diklat teknis substantive harus
mendapat perhatian serius.
Apabila ASN secara umum
diberikan hak meningkatkan
kompetensi selama 12 hari
setiap tahunnya, maka bagi
widyaiswara semestinya
diberikan hak meningkatkan
kompetensi selama lebih dari 12
hari dalam setiap tahunnya
misalnya 24 hari setiap tahun.
c. Penilaian angka kredit bagi
widyaiswara harus lebih
menekankan aspek substansial
dari pada aspek administrasi dan
prosedural. Persyaratan adminis-
trasi dalam pengusulan daftar
usulan angka kredit ditetapkan
seminimal mungkin sementara
untuk aspek substansial
akademik harus lebih
diutamakan. Rigiditas butir-butir
kegiatan widyaswara yang
diatur dalam Peraturan Menpan
dan RB semestinya disempur-
nakan sehingga lebih sederhana
tetapi tidak mudah untuk
.direkayasa dalam pengajuan
angka kredit dari kegiatan
tersebut.
d. Sejalan dengan otonomi daerah
maka jumlah widyaiswara di
daerah semakin banyak, maka
memerlukan pembinaan dari
instansi pembina secara terus
menerus. Pembinaan widya-
iswara selama ini dirasakan
masih terbatas yaitu hanya
dalam penilaian angka kredit
dan penyelenggaaan diklat
kewidyaiswaraan yang frekuen-
sinya sangat sedikit. Keter-
batasan anggaran pada instansi
pembina semestinya dapat
diatasi dengan kemitraan antara
instansi pembina dan Badan
Diklat Provinsi se Indonesia dan
juga dengan organisasi profesi
widyaiswara yaitu Ikatan
Widyaiswara Indonesia;
e. Pembinaan widyaiswara juga
bisa dilakukan dengan member
kesempatan widyaiswara untuk
mengikuti berbagai lokakarya
baik tingkat nasional maupun
tingkat internasional terkait
substansi diklat tertentu bagi
para widyaiswara sehingga
menambah pengetahuan dan
wawasan widyaiswara.
25
f. Peningkatan kompetensi widya-
iswara menjadi tanggung jawab
instansi pembina yaitu LAN RI
Jakarta. Widyaiswara yang
kompetensinya dinilai masih
kurang harus terus dipacu oleh
instansi pembina melalui
kepesertaan dalam berbagai
TOT, bukan hanya dengan cara
berkompetisi secara bebas
dengan pejabat struktural seperti
saat ini.
g. Upaya peningkatan kesejah-
teraan widyaiswara perlu terus
dilanjutkan. kesejajaran kesejah-
teraan antara widyaiswara
dengan jabatan fungsional
sejenis lainnya seperti jabatan
fungsional peneliti dan
dosen.Tunjungan jabatan
fungsional widyaiswara mulai
jenjang widyaiswara pertama,
muda,madya dan utama masih
termasuk rendah dibandingkan
dengan tunjangan dosen dan
peneliti..
h. Perlunya dukungan bagi
widyaiswara untuk mengikuti
pendidikan formal tertinggi (S3)
guna mendukung pengem-
bangan kompetensi widya-
iswara. Dukungan yang
diberikan dapat berupa
kemudahan pemberian ijin
belajar, tugas belajar, pemberian
bea siswa dan bantuan dana
untuk riset bagi widyaiswara
yang memenuhi persyaratan..
2. Kesimpulan
Dari penelusuran kebijakan
pembinaan widyaiswara sejak
pembentukan jabatan fungsional
widyaiswara sampai saat ini dapat
disimpulkan beberapa hal sebagi
berikut:
a. Dari perspektif kelompok
sasaran kebijakan yaitu
widyaiswara, setiap kebijakan
pembinaan widyaiswara
memiliki karakteristik tertentu,
dan kebijakan pembinaan
widyaiswara tidak selalu
semakin memperkuat peran
dan fungsi widyaiswara
bahkan terdapat kebijakan
pembinaan widyaiswara yang
melemahkan keberadaan
widyaiswara.
b. Kebijakan pembinaan
widyaiswara yang belakangan
kadang mengulang kesalahan
kebijakan pembinaan
widyaiswara yang lebih
terdahulu. Sebagai contoh
dalam rekruitmen widyaiswara
26
dengan dua jalur yang kurang
memperkuat keberadaan
widyaiswara tetapi lebih
mengacaukan pembinaan karir
widyaiswara.
c. Peningkatan kompetensi
widyaiswara belum banyak
mendapatkan perhatian serius
dan berkelanjutan oleh instansi
pembina yaitu Lembaga
Administrasi Negara.
d. Penilaian angka kredit saat ini
masih mengutamakan aspek
yang bersifat administratif dan
prosedural dibandingkan aspek
kompetensi substantif yang
dimiliki widyaiswara.
e. Pembinaan widyaiswara terkait
kesejahteraan widyaiswara
lebih diserahkan kepada
pembina kepegawaian di
Daerah/Instansi masing-
masing, sedangkan pembinaan
dari Lembaga Administrasi
Negara belum signifikan.
----------------------------------
Daftar Pustaka
Kepmenpan No.68/MENPAN/1985
tentang Jabatan Fungsional
Widyaiswara dan Angka
Kreditnya;
Kepmenpan No. 01/KEP/M.PAN/
1/2001 tentang Jabatan
Fungsional Widyaiswara dan
Angka Kreditnya;
Mustopadidjaja, 1992. Studi Kebijakan.
LAN RI Jakarta, 2002
-----------------, 2002. Kajian Kebijakan
Publik. Modul Diklatpim Tk
II. Penerbit LAN RI
2012
Permenpan No.PER/66/M/PAN/6/2005
tentang Jabatan Fungsional
Widyaiswara dan Angka
Kreditnya;
Permenpan No. 14 Tahun 2009 tentang
Jabatan Fungsional
Widyaiswara dan Angka
Kreditnya.
Undang-Undang No. 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil
Negara.
22
ON THE JOB TRAINING (OJT)
Oleh : Wardi Astuti
ABSTRAK
Keputusan untuk menerapkan suatu program OJT melibatkan banyak
pertimbangan yang berkaitan dengan situasi pelatihan dan anggaran.
Penempatan peserta diklat dalam dunia usaha atau dunia industri akan
meningkatkan kompetensi peserta sebelum memamngku jabatan. OJT mungkin
merupakan salah satu solusi pilihan, terutama untuk pelatihan beberapa orang
dan dalam OJT harus ada penasehat atau mentor yang akan memimpin pelatihan.
OJT efektif memerlukan suatu pendekatan sistematis yang berkaitan dengan
desain program pelatihan dan memastikan persiapan pelatih cukup. Jika
digunakan dengan baik, OJT bisa merupakan suatu solusi kreatif bagi suatu
tantangan pelatihan yang dapat meningkatkan pengalaman pelatih maupun
peserta pelatihan.
Kata Kunci : On The Job Training , Dunia usaha dan dunia industri, Mentor
A. Pendahuluan
Karyawan dalam suatu organisasi
sebagai sumber daya manusia, dan
sebagai hasil dan proses seleksi harus
dikembangkan agar kemampuan mereka
dapat mengikuti perkembangan
organisasi. Salah satu upaya untuk
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas
karyawan adalah melalui pendidikan
dan pelatian. Adapun tujuan
pengembangan pegawai yang efektif,
adalah untuk memperoleh tiga hal
yaitu :
1) menambah pengetahuan;
2) menambah keterampilan;
3) merubah sikap.
Malthis (2009) berpendapat bahwa
pengembangan sumberdaya manusia
melalui pelatihan merupakan proses di
mana orang mendapatkan kapabilitas
untuk membantu pencapaian tujuan
organisasional. hasil pelatihan dan
pengembangan akan membuka peluang
bagi pengembangan karier individu
dalam organisasi. Peningkatan karier
atau promosi ditentukan oleh pemilikan
kualifikasi skill. Sementara dalam
situasi sulit dimana organisasi
cenderung mengurangi jumlah
karyawannya, pelatihan dan
pengembangan memberi penguatan bagi
individu dengan memberi jaminan job
23
security berdasarkan penguasaan
kompetensi yang dipersyaratkan
organisasi. Lebih jauh disebutkan
bahwa:
1. Training and devolopment has the
potensial to improve labour
productivity;
2. Training and devolopment can
improve quality of that output, a
more highly trained employee is not
only more competent at the job but
also more aware of the significance
of his or her action;
3. Training and development improve
the ability of the organisation to
cope with change; the succesful
implementation of change wheter
technical (in the form of new
technologies) or strategic (new
product, new markets, etc) relies on
the skill of the organisation’s
member.
Dalam terjemahan bebas dapat
dinyatakan bahwa manfaat dan tujuan
dari kegiatan pengembangan sumber
daya manusia adalah
a. Meningkatkan produktivitas
Dengan mengikuti kegiatan
pengembangan berarti pegawai juga
memperoleh tambahan ketrampilan
dan pengetahuan baru yang
bermanfaat bagi pelaksanaan
pekerjaan mereka. Dengan semikian
diharapkan juga secara tidak
langsung akan meningkatkan
produktivitas kerjanya
b. Mengurangi dan menghilangkan
kinerja yang buruk
Dalam hal ini kegiatan
pengembangan akan meningkatkan
kinerja pegawai saat ini, yang
dirasakan kurang dapat bekerja
secara efektif dan ditujukan untuk
dapat mencapai efektivitas kerja
sebagaimana yang diharapkan oleh
organisasi.
c. Meningkatkan fleksibilitas dari
angkatan kerja
Dengan semakin banyaknya
ketrampilan yang dimiliki pegawai,
maka akan lebih fleksibel dan mudah
untuk menyesuaikan diri dengan
kemungkinan adanya perubahan pada
lingkungan organisasi. Misalnya bila
organisasi memerlukan pegawai dengan
kualifikasi tertentu, maka organisasi
tidak perlu lagi menambah pegawai
yang baru, oleh karena pegawai yang
dimiliki sudah cukup memenuhi syarat
untuk pekerjaan tersebut.
Salah satu bentuk pelatihan di
tempat kerja bagi seorang tenaga kerja
baru adalah pelatihan di tempat kerja
atau on the job training. Pengertian on
the job training dapat diadopsi dari
kamus Wikipedia, yang menyebutkan
24
on-the-job training, sometimes called
direct instruction, is one of the earliest
forms of training (observational
learning is probably the earliest). It is a
one-on-one training located at the job
site, where someone who knows how to
do a task shows another how to perform
it. Bila diterjemahkan secara bebas
definisi tersebut di atas adalah pelatihan
di tempat kerja, kadang-kadang disebut
instruksi langsung adalah salah satu
bentuk pelatihan yang paling awal.
Adalah salah satu pelatihan yang
berlangsung di tempat kerja, dimana
seseorang yang tahu cara mengerjakan
sesuatu menunjukkannya kepada orang
lain bagaimana ia harus mengerjakan.
Seorang pelatih ataupun seorang
manajer baru yang ditempatkan di
tempat kerja dapat membuat sebuah
format OJT sendiri. Dimana dalam
program baru ini manajer dapat sebagai
contoh dari seorang karyawan baru,
dengan memberikan contoh dari seorang
karyawan baru, dengan memberikan
contoh pola pekerjaan yang dilakukan
oleh karyawan tersebut untuk
menjadikan keahlian dan kecakapannya.
On The Job Training menurut Siswanto
Sastrohadiwiryo (2003:204) adalah
“pelatihan di tempat kerja yang
diselenggarakan dengan maksud
membentuk kecakapan tenaga kerja
yang diperlukan untuk suatu pekerjaan
tertentu”. On the job training adalah
suatu bentuk pembekalan yang dapat
mempercepat proses pemindahan
pengetahuan dan pengalaman kerja atau
transfer knowledge. Pelatihan ini
langsung menerjunkan peserta didik
sesuai dengan job description atau
jobdesc masing-masing di bawah
pengawasan dan bimbingan.
On The Job Training merupakan
pelatihan yang langsung dilaksanakan di
tempat kerja dengan penerapan
pengetahuan dan ketrampilan yang
diperoleh di sekolah. On The Job
Training dilakukan untuk memperbaiki
dan meningkatkan penguasaan berbagai
ketrampilan dan teknik pelaksanaan
kerja tertentu dan rutin sehingga
diharapkan dapat bekerja secara efektif
dan efisien.
Pada tingkatan dasar OJT ini setiap
orang kapan saja dapat menyampaikan
pengetahuan dan ketrampilan yang
diperlukan untuk melakukan suatu
tugas/pekerjaan. Dengan kata lain, pada
bentuk informal ini setiap karyawan
dapat dilibatkan dalam beberapa aspek
pengarahan pekerjaan.
Interaksi informal dalam OJT
merupakan suatu kenyataan tiap
organisasi, perusahaan dan lain
sebagainya dimana karyawan lama
25
dapat memberikan pengalaman,
pengetahuan, dan ketrampilan serta
menjelaskan setiap langkah-langkah
pekerjaaan tanpa harus melalui
pemanfaatan material khusus, instrumen
evaluasi dan arsip.
B. On the Job training vs off the job
training
b.1. On the job Training
Teknik-teknik on the job
training merupakan metode latihan
yang paling banyak digunakan, di
mana karyawan dilatih tentang
pekerjaan baru dengan supervisi
langsung seorang pelatih yang
berpengalaman (biasanya karyawan
lain). Berbagia macam teknik ini
yang biasa digunakan dalam praktik,
dijelaskan oleh Hani Handoko
(2000:112-116) sebagai berikut : (1)
Rotasi Jabatan, pelatihan yang
ditujukan untuk memberikan
pengetahuan kepada karyawan
tentang bagian-bagian organisasi
yang berbeda dan praktik berbagai
macam keterampilan manajerial; (2)
Instruksi Pekerjaan, pelatihan yang
ditujukan untuk memberikan secara
langsung petunjuk pekerjaan, dan
digunakan terutama untuk melatih
para karyawan tentang cara
pelaksanaan
perkerjaan; (3) Magang
(apprenticeships), merupakan
proses belajar dari seorang atau
beberapa orang yang lebih
berpengalaman. Pelatihan ini
sangat tepat untuk pekerjaan yang
membutuhkan keterampilan
tertentu seperti ahli kerajinan; (4)
Coaching, pelatihan yang
diberikan oleh penyelia atau atasan
kepada karyawan dalam
pelaksanaan kerja rutin mereka
dalam bentuk bimbingan dan
pengarahan; (5) Penugasan
Sementara, berupa penempatan
karyawan pada posisi manajerial
atau sebagai anggota panitia
tertentu untuk jangka waktu yang
ditetapkan, di mana karyawan
terlibat dalam pengambilan
keputusan dan pemecahan
masalah-masalah organisasional
secara nyata; (6) Sistem Penilaian
Pekerjaan, merupakan penilaian
yang diberikan kepada karyawan
setelah menyelesaikan suatu tugas
atau pekerjaan, yang selanjutnya
dapat digunakan untuk
pengembangan lebih lanjut dari
diri karyawan yang bersangkutan.
b.2. Off the Job Training
Teknik-teknik yang termasuk
dalam off the job training meliputi:
26
metode-metode simulasi dan
presentasi informasi. Pada metode
simulasi karyawan peserta latihan
menerima representasi tiruan
(artificial) suatu aspek organisasi
dan diminta untuk menanggapinya
seperti dalam keadaan sebenarnya.
Metode silulasi yang umum
digunakan meliputi: (1) Metode
Studi Kasus, pada metode ini
kepada para peserta disediakan
deskripsi tertulis suatu situasi
pengambilan keputusan, aspek-
aspek organisasi terpilih diuraikan
pada lembar kasus. Karyawan
peserta pelatihan diminta untuk
mengidentifikasi maslah-masalah,
menganalisis situasi dan
merumuskan penyelesaian-
penyelesaian alternatif. Dengan
metode ini dimungkinkan
karyawan dapat mengembangkan
keterampilan dalam pengambilan
keputusan; (2) Role Playing, pada
teknik ini peserta pelatihan atau
karyawan diminta untuk
memainkan berbagai peran yang
berbeda. Selanjutnya diminta
untuk menanggapi para peserta
lain yang berbeda perannya. Tidak
disediakan naskah yang mengatur
pembicaraaan dan perilaku peserta
pelatihan, namun hanya
dihadapkan pada suatu situasi yang
memerlukan pemecahan masalah.
Dengan metode ini dapat
mengubah sikap karyawan menjadi
lebih toleransi terhadap perbedaan
individu dan dapat
mengembangkan keterampilan
antar individu; (3) Business
Games, merupakan suatu simulasi
pengambilan keputusan dalam
skala kecil yang dibuat sesuai
dengan situasi kehidupan nyata.
Para peserta memainkan game
dengan mengambil suatu
keputusan tertentu sesuai dengan
hati nurani dan berusaha
menjelaskan pilihan yang diambil;
(4) Vestibule Training, merupakan
bentuk pelatihan yang dirancang
agar tidak mengganggu kegiatan
normal yang terjadi pada lembaga.
Bentuk latihan ini dilaksanakan
bukan oleh atasan (penyelia),
tetapi oleh pelatih-pelatih khusus,
dengan mengambil area terpisah
dari lembaga tempat pelaksanaan
pekerjaan sebenarnya, namun pada
tempat latihan tersebut
menggunakan fasilitas yang sama
persis dengan yang digunakan
pada tempat kerja; (5) Laboratory
Training, yaitu suatu bentuk
latihan kelompok yang terutama
27
digunakan untuk mengambangkan
keterampilan-keterampilan antar
pribadi. Latihan ini berguna untuk
mengembangkan perilaku
tanggungjawab terhadap pekerjaan
yang menjadi tugasnya; (6)
Program Pengembangan Eksekutif,
adalah program yang biasanya
diselenggarakan oleh lembaga-
lembaga pendidikan seperti
universitas, di mana berbagai
lembaga atau instansi yang
berminat dapat mengirimkan para
karyawannya untuk mengikuti
paket-paket khusus yang
ditawarkan. Kegiatan ini juga
dapat dilakukan dalam bentuk
kerjasama antara lembaga atau
instansi dengan lembaga
pendidikan untuk
menyelenggarakan kegiatan
pendidikan atau pelatihan secara
khusus sesuai kebutuhan
organisasi.
Sementara itu mengenai
teknik-teknik presentasi informasi
sebagai upaya untuk mengajarkan
sikap, konsep, atau keterampilan
kepada peserta pelatihan, dapat
dijelaskan sebagai berikut: (1)
Kuliah, merupakan suatu metode
tradisional dengan kemampuan
penyampaian informasi, banyak
peserta dan biaya relatif murah; (2)
Presentasi Video, teknik ini biasa
digunakan sebagai pelengkap
bentuk latihan lainnya; (3) Metode
Konperensi, metode ini analog
dengan bentuk seminar dan
merupakan pengganti metode
kuliah, di mana proses latihan
berorientasi pada diskusi tentang
masalah yang telah ditetapkan
sebelumnya; (4) Programmed
Instruction, metode dengan
menggunakan mesin pengajar
seperti komputer untuk
memperkenalkan kepada peserta
topik-topik yang harus dipelajari,
dan memerinci serangkaian
langkah dengan umpan balik
langsung pada penyelesaian suatu
langkah; (5) Self Study, teknik ini
biasanya menggunakan manual-
manual atau modul-modul tertulis
dan kaset-kaset atau videotape
rekaman.
C. Efektifitas OJT
Jika suatu pekerjaan mudah untuk
dilakukan dan dapat dijelaskan kepada
pekerja baru, maka OJT informal bisa
digunakan. Akan tetapi jika suatu
pekerjaan yang kritis dan kompleks
serta membutuhkan betul-betul
kemampuan dari seorang pekerja baru
28
untuk dapat melakukannya dengan
tepat, maka perlu adanya suatu pelatihan
formal yang di dalamnya terdapat bahan
material pelatihan yang harus dikuasai,
instrumen evaluasi yang dapat
memantau perkembangan dan
kecakapan yang harus diketahui dan
dikuasai untuk melakukan pekerjaan
yang kritis dan kompleks tersebut.
OJT dikatakan dapat dilakukan
dengan baik ketika sasaran pelatihan
mampu mengembangkan teori dan
ketrampilan dengan pengulangan
pelatihan yang diawasi oleh petugas
pengawas. Dalam menggunakan OJT
sering dikaitkan atau dipertimbangkan
dengan situasi/aspek-aspek dari suatu
perusahaan: Apakah dengan
mengirimkan karyawannya untuk
mengikuti pelatihan nanti akan ada
pembengkakan anggaran? Bagaimana
dengan tujuan produksi ketika
ditinggalkan untuk pelatihan?Apakah
dengan OJT dapat meningkatkan
kemampuan, skill dan kinerja pekerja?
Penempatan peserta On The Job
Training memerlukan pertimbangan
yaitu: harus ditetapkan terlebih dahulu,
pelaksanaannya harus sesuai dengan
program yang telah disepakati, lamanya
peserta di institusi pasangan ditentukan
sesuai waktu pelatihan yang
disyaratkan, pelaksanaan pembelajaran
dilengkapi dengan jurnal kegiatan
diklat, monitoring, dan perangkat yang
diperlukan di institusi pasangan.
Penempatan peserta ke tempat
praktek on the job training hendaknya
memperhatikan hal-hal berikut:
1) Industri relevan dengan program
diklat
Artinya industri yang dipilih sebagai
institusi pasangan adalah
mempunyai jenis pekerjaan yang
sesuai dengan program diklat.
2) Memiliki fasilitas dan sarana praktek
yang sinkron dengan sasaran
kurikulum
Sarana yang ada pada institusi
pasangan sebaiknya memiliki
teknologi yang mendukung tuntutan
kemampuan yang diinginkan oleh
program studi yang diselenggarakan
di sekolah. Selain itu, sarana yang
ada harus memadai sebab hampir
tidak ada manfaatnya jika lembaga
diklat memaksakan diri bekerjasama
dengan dunia usaha atau dunia
industri bila sarananya tidak
memadai.
3) Memiliki instruktur yang mampu
membimbing peserta praktek
Instruktur dalam on the job training
sangat diperlukan, karena untuk
membimbing dan mengarahkan
siswa yang sedang melaksanakan
29
pelatihan kerja. Oleh karena itu,
industri sebaiknya memiliki tenaga
kerja yang menguasai bagian
pelaksanaan on the job training.
4) Waktu lamanya kerja dan daya
tampung sudah ditentukan secara
bersama-sama antara dunia usaha
atau dunia industri dengan pihak
sekolah.
Waktu kapan siswa akan
melaksanakan program on the job
training hendaknya disepakati oleh
kedua belah pihak serta berapa
jumlah siswa yang dikirim karena
tidak mungkin dunia usaha dapat
menampung semua siswa.
5) Diadakan seleksi berkaitan dengan
jumlah industri dan jumlah peserta.
Pihak diklat sebelum menerjunkan
peserta ke tempat praktek
mengadakan seleksi berapa jumlah
peserta yang akan di terjunkan
dengan melihat jumlah industri yang
menjadi institusi pasangannya.
6) Diadakan pembekalan bagi peserta
diklat yang akan mengikuti on the
job training
Peserta diklat yang akan diterjunkan
ke tempat praktek dibekali dengan
hal-hal yang berkaitan dengan dunia
usaha atau dunia industri, perlu juga
diberi rangsangan dan motivasi
dalam bekerja. Motivasi adalah
pendorong suatu yang disadari untuk
mempengaruhi tingkah laku
seseorang agar tergerak hatinya
untuk bertindak melakukan sesuatu
sehingga mencapai hasil atau tujuan
tertentu. Dengan pemberian motivasi
maka peserta akan melaksanakan on
the job taraining dengan semangat.
7) Penilaian pelaksanaan program on the
job training.
Tahap akhir dari program on the job
training adalah penilaian yang
meliputi ujian dan sertifikasi yaitu:
merupakan proses pengujian dan
pemberian sertifikat bagi peserta on
the job training untuk memperoleh
pengakuan dan legalitas akademik
bahwa yang bersangkutan memiliki
potensi atau keahlian dalam bidang
tertentu.
Selama melaksanakan program On
The Job Training di DUDI (Dunia
Kerja Dunia Industri) perlu adanya
penilaian terhadap peserta, sehingga
diperlukan adanya pedoman
penilaian proses dan hasil pekerjaan
selama On The Job Training.
Kegiatan dalam penilaian tersebut
biasa disebut monitoring dan
evaluasi, monitoring dilakukan oleh
pembimbing secara periodik,
sedangkan evaluasi dilakukan oleh
instruktur dari DUDI dengan
30
menggunakan instrumen yang telah
disiapkan bersama pada penyusunan
program. Aspek yang dinilai dalam
On The Job Training adalah:
a) Aspek teknis yaitu penguasaan
ketrampilan peserta dalam
menyelesaikan pekerjaan.
b) Aspek non teknis yaitu sikap dan
perilaku selama berada di DUDI
yang menyangkut tanggung
jawab, disiplin, kemandirian dan
kreativitas.
8) Tahap Penarikan
Penarikan dari lokasi OJT dilakukan
oleh pembimbing, selanjutnya dari
DUDI menyerahkan kembali ke
pihak diklat beserta berkas-berkas
administrasi dan hasil-hasil evaluasi
bagi setiap peserta OJT. Penarikan
ini dilakukan setelah program On
The Job Training selesai
dilaksanakan.
D. Pengembangan Program OJT
Langkah-langkah untuk mengem-
bangkan suatu program OJT :
- Analisis kebutuhan
- Analisis situasi
- Analisis inventarisasi tugas
- Spesifikasi sasaran tingkah laku
yang dituju
- Pemilihan materi pelatihan, desain
dan produksi
d.1. Desain Pelatihan
Dalam mendesain suatu
pelatihan OJT, terkadang
karyawan yang ditunjuk sebagai
pelatih/instruktur harus pula
dikembangkan kemampuannya
oleh karena itu dalam merancang
desain pelatihan seorang instruktur
perlu berkonsultasi dengan tenaga
ahli. OJT menjadi lebih baik
ketika instruktur bukan perancang
program tetapi sebagai tenaga ahli
pokok yang bekerjasama dengan
perancang program untuk
mengembangkan isi desain suatu
pelatihan. Agar OJT dapat efektif
maka perancang desain pelatihan
harus mengembangkan suatu
pemandu pelatih dan pemandu
pengikut latihan (modul). Adapun
posisi OJT dalam siklus pelatihan
dapat digambarkan dalam sebuah
lingkaran yang meliputi:
pencapaian target kompetensi di
tengah lingkaran sebagai tujuan
yang hendak dicapai. Adanya
pengembangan kurikulum yang
disesuaikan dengan kesenjangan
kompetensi, pelaksanaan pelatihan
dan penempatan pada dunia usaha
dan dunia industri, serta penilaian
ulang ( reasssesment).
31
d.2. Memilih Pelatih (Trainer) OJT
Untuk menjadi pelatih OJT
perlu memiliki karakteristik
sebagai berikut :
1. Pengetahuan yang mendalam
tentang materi
Seorang pelatih OJT harus
menguasai materi yang
digunakan untuk pelatihan
sekaligus menguasai
ketrampilan dalam setiap
pelatihan tersebut step – by –
step.
2. Bersedia untuk menjadi pelatih
d.3. Pelatihan Pelatih ( Mentor) OJT
Ketika seorang karyawan telah
terpilih sebagai seorang pelatih
atau mentor , jika ia ingin sukses
dalam menjalankan program
pelatihan OJT maka harus
memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Prinsip Belajar Orang Dewasa:
1) Orang dewasa membawa
pengalaman dalam situasi
belajar
2) Orang dewasa menyukai
variasi
3) Orang dewasa ingin belajar
Gambar 1. Posisi OJT dalam pendidikan dan pelatihan
32
4) Orang dewasa belajar
terbaik dengan bekerja/
praktek
5) Memperlakukan orang
dewasa dengan dewasa
6) Memastikan pelatihan yang
praktis
2. Ketrampilan Pelatihan Umum:
Pelatih OJT harus mempunyai
ketrampilan pelatihan umum
berikut:
1) Phisik kehadiran
2) Pengamatan
3) Mau mendengarkan pada
peserta
4) Melakukan pertanyaan pada
peserta
3. Ketrampilan Pelatihan Langkah
demi Langkah
Agar pelatih OJT dapat
berhasil, maka ada tiga tahapan
yang harus disiapkan untuk
diimplementasikan dalam
program yaitu : perencanaan,
menyiapkan, dan mempresen-
tasikan.
1) Perencanaan
Di dalam langkah
perencanaan, pelatih perlu
meninjau ulang panduan
untuk pelatih dan peserta
dengan mempelajari dan
mampu menguasai sasaran
program dan menggunakan
metodologi untuk
menyampaikan masing-
masing modul itu sehingga
dia dapat menyampaikan
program secara efektif.
Beberapa metode yang
digunakan untuk
menyajikan program
pelatihan:
- Ceramah / kuliah
- Pembacaan ditugaskan
kepada peserta
pelatihan, dengan waktu
melengkapi pertanyaan
dan jawaban
- Demonstrasi untuk
menunjukkan kepada
peserta pelatihan
bagaimana cara
melaksanakan pekerjaan
atau tugas yang
ditentukan
- Demonstrasi untuk
menunjukkan kepada
peserta pelatihan
bagaimana cara
melaksanakan pekerjaan
atau tugas yang
ditentukan
- Diskusi
- Bermain peran dan
simulasi
33
2). Persiapan
Di dalam langkah ini
pelatih OJT perlu meninjau
ulang material pelatihan
yang terakhir, melakukan
pertemuan dengan peserta
latihan, dan menetapkan
waktu dan tempat untuk
mulai pelatihan.
3).Presentasi
Presentasi informasi atau
ketrampilan mempertunjuk-
kan kepada peserta dapat
mengiikuti pola teladan ini:
- Katakan/ceritakan
- Tunjukkan
- Praktekkan
4) Ketrampilan Penanganan
Masalah
Pelatih OJT harus diberi
bimbingan di dalam
penanganan situasi jika
pada saat itu ada suatu
masalah yang mereka
hadapi. Situasi masalah
dari peserta latihan antara
lain adalah :
- Takut gagal
- Kemarahan ke arah
pelatih
- Issue di luar pelatihan
E. Penutup
Dalam suatu organisasi atau
suatu perusahaan untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas kemampuan
pekerjanya sering melakukan suatu
pelatihan-pelatihan.
Untuk meningkatkan motivasi
dan ketrampilan pada arah tindakan
maka perlu suatu pembelajaran dan
pelatihan. Pelatihan merupakan
tanggung jawab dari ketiga partener :
organisasi dari peserta, peserta, dan
lembaga pelatihan.
OJT dapat dilakukan oleh
perusahaan dengan membuat badan
pelatihan tersendiri misalnya pelatihan
yang dilakukan oleh R & D, baik dari
segi produksi, kualitas, dan motivasi
pekerja, dapat juga dilakukan oleh suatu
lembaga pelatihan misalnya kursus-
kursus, maupun lembaga pelatihan
lainnya.
Demi keberhasilan suatu
pelatihan harus dengan menggunakan
strategi yang tepat baik dalam
menentukan presfektif tindakan, tujuan,
spesifikasi pelatihan dan jenis
pemrogramman yang akan
dilaksanakan.
Selain memperhatikan strategi
maka harus pula menentukan cara-cara
pelatihan yang akan digunakan : yaitu
apakah hubungan langsung atau
34
pelatihan jarak jauh, pelatihan formal
ataukah pelatihan non formal, organisasi
terpusat atau tersebar, ancangan isi atau
proses.
Ada beberapa jenis
pemrograman pelatihan antara lain
program yang berorientasi akademis,
program laboratorium, program
kegiatan, program tindakan, program
pengembangan orang, ataupun program
pengembangan organisasi.
---------------------
DAFTAR PUSTAKA
George M. Pikurich, dkk. 2000.
Handbook of Training Design
and Delivery. New York :
McGraw-Hill.
Handoko, T. Hani. (2000). Manajemen
Personalia dan Sumber Daya
Manusia. Edisi 2. Yogyakarta:
BPFE
Irianto, Jusuf. (2001). Prinsip Prinsip
dasar Manajemen Pelatihan
(Dari Analisa
Kebutuhan sampai Evaluasi
Program Pelatihan). Surabaya
: Insan Cendikia
Mathis, Robert L. & John H. Jackson.
(2009). Human Resource
Management. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat
Rolf P. Lynton, Udai Pareek. 1992.
Pelatihan dan Pengembangan
Tenaga Kerja. Jakarta : PT
Karya Unipress.
http://www.anitaramdhani.blogspot.com
35
GOOD GOVERNANCE : ANTARA WACANA DAN REALITA
Oleh :
Ali Moechson
ABSTRAK
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang tentang Pemerintahan Daerah dan UU
Nomor 33 Tahun 2004 tentang tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah menandaskan bahwa pemerintah dan masyarakat di
daerah diberi kewenangan yang lebih luas untuk mengurus rumah tangganya
sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah pusat tidak lagi mempatroni,
apalagi mendominasi pemerintah daerah. Otonomi daerah yang memberikan
kesempatan untuk membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan
kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karier politik dan administrasi yang
kompetitif serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif.
Sejalan dengan bergulirnya waktu yang sudah mencapai satu dasawarsa,
ternyata amanah tersebut belum dapat dilaksanakan sepenuhnya dengan baik oleh
aparatur pemerintah daerah. Masyarakat melihat dan merasakan bahwa, aparatur
pemerintah daerah belum melaksanakan sistem birokrasi yang efektif dan efisien,
supremasi hukum masih lemah, manajemen pemerintahan kurang akuntabel dan
kurang transparan. Bahkan para pemimpin dalam menjalankan birokrasi
pemerintahan belum sepenuhnya mengacu pada visi dan misi yang telah ditetapkan,
namun masih berdasarkan peraturan yang kaku; mengandalkan kewenangan
formal; kompetensi kepemimpinan yang kurang memadai, sehingga mengakibatkan
pelayanan publik belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya dan masih
banyak menimbulkan keluhan serta ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan
aparatur pemerintah.
Hal-hal tersebut merupakan pencerminan bahwa pemerintah daerah belum
mampu menerapkan prinsip-prinsip good governance. Prinsip-prinsip good
governance yang mencakupi (1) partisipasi, (2) penegakan hukum, (3) transparansi,
(4) kesetaraan, (5) daya tanggap, (6) wawasan ke depan, (7) akuntabilitas, (8)
pengawasan, (9) efesiensi dan efektivitas, dan (10) profesionalisme; belum dapat
dilaksanakan dengan baik dan optimal. Akibat dari belum dapat dilaksanakannya
prinsip-prinsip tersebut, pelayanan birokrasi yang bermuara pada kesejahteraan
36
rakyat terabaikan. Dalam konteks inilah esensi otonomi daerah yang diharapkan
dapat mewujudkan good governance dalam pemerintahan daerah, ternyata justru
tidak terwujud. Dengan demikian, good governance masih menjadi harapan dan
masih berada dalam tataran wacana belum menjadi sebuah realita.
Katakunci: Good governance, pemerintah daerah, efektif dan efisien.
PENDAHULUAN
Konsep Good Governance
muncul pertama kali diperkenalkan oleh
United Nation Development Program
(UNDP). Munculnya konsep good
governance merupakan salah satu
bentuk perhatian dari negara-negara
maju / donatur kepada negara-negara
dunia ke III (negara berkembang),
berkaitan dengan pemberian bantuan
dana/hibah dari negara-negara maju
yang diberikan kepada negara dunia ke
III dalam rangka peningkatan
kesejahteraan masyarakatnya. Pem-
berian bantuan dana/hibah pada awalnya
disepakati oleh kedua belah pihak
(negara donor dan negara dunia ke III)
untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di negara dunia ke III.
Namun setelah negara donor
memberikan bantuan dana (uang)
kepada negara dunia III,negara
berkembang yang diberi bantuan berupa
dana (uang) oleh negara-negara maju,
tidak menepati janjinya sesuai
kesepakatan. Ternyata bantuan dana
tersebut banyak yang disalahgunakan.
Dana bantuan dari negara maju banyak
yang dikorupsi, banyak yang
diselewengkan oleh pribadi pejabat
maupun untuk kepentingan kelompok-
kelompok tertentu. Dalam pelaksanaan
bantuan dana yang diberikan oleh
negara maju tidak dijalankan
sebagaimana mestinya untuk
kepentingan bangsa dan negara. Hal ini
menunjukkan bahwa negara ketiga tidak
memiliki komitmen dalam hal
akuntabilitas dan transparansi dalam
menjalankan birokrasi pemerintahan.
Keadaan tersebut bermuara pada
amburadulnya birokrasi pemerintahan,
yakni menciptakan sistem birokrasi
pemerintahan tidak efektif, tidak
efesien, dan tidak adanya transparansi.
Konsep good governance
tersebut tidak hanya menyoroti sistem
birokrasi pemerintah, tetapi juga pada
ranah reformasi publik. Di dalam
disiplin atau profesi manajemen publik,
konsep good governance dipandang
sebagai paradigma baru dalam ilmu
administrasi publik. Paradigma yang
menekankan pada peran manajer publik
37
agar memberikan pelayanan yang
berkualitas kepada masyarakat,
mendorong dan meningkatkan otonomi
manajerial terutama mengurangi campur
tangan dan kontrol yang dilakukan oleh
pemerintah pusat, adanya transparansi,
akuntabilitas publik, dan menciptakan
pengelolaan manajerial yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN).
Berkaitan dengan konsep tata
pemerintahan yang baik (good
governance) tersebut, yakni pelaksanaan
pemerintahan yang akuntabilitas,
transparan, melayani masyarakat dengan
baik, sehingga masyarakat merasa aman
dan nyaman, bebas KKN; menjadi
fenomena dan permasalahan pelik bagi
pengelolaan pemerintahan Indonesia.
Sejak era orde baru hingga reformasi
sekarang ini, menurut pengamatan
penulis, pemerintah belum melak-
sanakan dan belum mengimplemen-
tasikan sistem birokrasi sebagaimana
diharapkan. Apalagi jika berbicara
sistem pelayanan publik, masyarakat
belum ditempatkan sebagai subjek yang
harus dilayani dengan baik. Akan tetapi,
mayarakat (rakyat) justru dijadikan
objek yang dapat dipermainkan dalam
berbagai kebijakan dan pelayanan.
Bahkan dalam istilah kasar (sarkasme),
rakyat sering dijadikan kambing hitam
dan kambing congek dalam berbagai
urusan pelayanan, fenomena sosial,
ekonomi, dan politik.
Implementasi konsep good
governance tersebut juga semakin
mengalami ketimpangan dan
memprihatinkan pada era otonomi
daerah sekarang ini. Otonomi daerah
yang menurut amanat Undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang
Undang Nomor 33 Tahun 2004 bahwa
pemerintah dan masyarakat di daerah
dipersilahkan mengurus rumah
tangganya sendiri secara bertanggung
jawab. Pemerintah pusat tidak lagi
mempatroni, apalagi mendominasi
pemerintah daerah. Otonomi daerah
yang memberikan kesempatan untuk
membangun struktur pemerintahan yang
sesuai dengan kebutuhan daerah,
membangun sistem dan pola karier
politik dan administrasi yang kompetitif
serta mengembangkan sistem
manajemen pemerintahan yang efektif.
Amanat Undang-Undang terse-
but ternyata dalam realita
penyelenggaraan pemerintahan daerah
belum dilaksanakan dengan baik.
Banyak “bias dan imbas” jika tidak
boleh dikatakan penyelewengan dan
penyalahgunaan jabatan dan wewenang
sehingga rakyat tidak terlayani dengan
baik. Banyak pemerintah daerah sistem
38
birokrasinya tidak akuntabel dan
transparan. Hal ini bertentangan dengan
apa yang dinyatakan oleh Ryaas Rasyid
(dalam Salam, 2004:XIII-XIV) bahwa
otonomi daerah membuka ruang bagi
lahirnya pemerintahan daerah yang
dipilih secara demokratis, memung-
kinkan berlangsungnya penyeleng-
garaan pemerintahan yang respontif
terhadap kepentingan masyarakat
luas,memelihara suatu mekanisme
pengambilan keputusan yang taat pada
asas pertanggungjawaban publik.
Otonomi daerah yang mengantarkan
munculnya demokratisasi pemerintahan
yang berarti transparansi kebijakan. Hal
ini berarti untuk setiap kebijakan yang
diambil harus jelas siapa yang
memprakarsai kebijakan itu, apa
tujuannya, berapa ongkos yang harus
dipikul, siapa yang akan diuntungkan,
apa resiko yang harus ditanggung, dan
siapa yang harus bertanggung jawab
jika kebijakan itu gagal.
Butir-butir pokok permasalahan
yang mengemuka tersebut merupakan
hal yang sangat mendasar dalam
konteks pembahasan pelaksaanaan good
governance di Indonesia. Beranjak dari
permasalahan tersebut, maka penulis
dalam bahasan ini tergerak untuk
mengangkat topik “Good Governance
Antara Wacana dan Realita”. Terutama
good governance dalam ranah
penyelenggaraan pemerintah daerah
(otonomi daerah) yang berkaitan dengan
pelayanan publik atau masyarakat. Hal
ini didasari pertimbangan bahwa secara
teori (wacana) bangsa Indonesia,
terutama para pemimpin, pejabat,
birokrat, dan petinggi negara telah
memahami sepenuhnya tentang konsep
good governance. Akan tetapi,
bagaimana dalam tataran pelak-
sanaannya atau implementasinya dalam
birokrasi pemerintahan daerah? Hal
inilah yang selalu melahirkan pro dan
kontra pendapat maupun perilaku. Oleh
sebab itu, sangat menarik untuk dibahas.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Good Gavernance
Good governance secara
umum diterjemahkan dengan
pemerintahan yang baik atau tata
kepemerintahan yang baik.
Pengertian istilah aslinya memiliki
pengertian yang lebih luas, yakni
tidak hanya terbatas pada bidang
pemerintahan, tetapi mencakupi
tindakan atau perilaku (tingkah laku)
yang didasarkan pada nilai-nilai
yang bersifat mengarah,
mengendalikan, atau mempengaruhi
masalah publik untuk mewujudkan
nilai-nilai yang bersangkutan dalam
39
tindakan dan kehidupan sehari-hari
atau keseharian.
Good governance juga dapat
dimaknai efisiensi dalam manajemen
sektor publik, menciptakan
akuntabilitas publik, tersedianya
infrastruktur hukum, adanya sistem
informasi yang menjamin akses
masyarakat terhadap informasi yang
berisi kebijakan, dan adanya
transparansi dari berbagai kebijakan.
Good governance mengakui
bahwa dalam masyarakat terdapat
banyak pusat pengambilan
keputusan yang bekerja pada tingkat
yang berbeda. Menurut Bank Dunia
dalam laporannya tentang
governance and development tahun
1992 mengartikan good governance
sebagai pelayanan publik yang
efisien, sistem pengadilan yang
dapat diandalkan, pemerintahan
yang bertanggung jawab pada
publik.
Berdasarkan batasan-batasan
tersebut, maka dapat dinyatakan
bahwa ada beberapa aspek yang
sangat penting dalam membangun
atau mewujudkan good governance,
yakni pelayanan publik ( birokrasi)
yang efisien, sistem pengadilan yang
dapat diandalkan (supremasi hukum)
dan pemerintahan yang bertanggung
jawab (transparansi dan akuntabel).
2. Prinsip Good Governance
Salah satu produk organisasi
pelayanan publik yakni memberikan
pelayanan publik kepada pengguna.
Berkaitan dengan pelayan publik,
Keputusan Menteri Pemberdayaan
Aparatur Negara (Kepmenpan)
Nomor 81/995 menandaskan bahwa
kinerja organisasi publik dalam
memberikan pelayanan harus
memenuhi hal-hal berikut ini.
(1) Kesederhanaan, yakni prosedur
atau tatacara pelayanan umum
harus didesain sedemikian
rupa, sehingga penyeleng-
garaan pelayanan umum
menjadi mudah, lancar, cepat,
tidak berbelit-belit, mudah
dipahami dan mudah
dilaksanakan.
(2) Kejelasan dan kepastian
tatacara, rincian biaya layanan
dan cara pembayarannya,
jadwal waktu penyelesaian
layanan, dan unit kerja atau
pejabat yang berwenang dan
bertanggung jawab dalam
memberikan pelayanan umum.
(3) Keamanan, yakni usaha untuk
memberikan rasa aman dan
bebas pada pelanggan dari
40
adanya bahaya, resiko dan
keragu-raguan. Proses serta
hasil pelayanan umum dapat
memberikan keamanan dan
kenyamanan serta dapat
memberikan kepastian hukum.
(4) Keterbukaan, yakni pelangganb
dapat mengetahui seluruh
informasi yang mereka
butuhkan secara mudah dan
jelas.
Dalam hal ini termasuk
informasi tatacara, persyaratan,
waktu penyelesaian, biaya, dan
semua hal ikhwalnya.
(5) Efisiensi, yakni persyaratan
pelayanan umum hanya
dibatasi pada hal-hal yang
berkaitan langsung dengan
pencapaian sasaran pelayanan
dengan tetap memperhatikan
keterpaduan antara persyaratan
dan produksi layanan publik
yang diberikan. Selain itu, juga
perlu mencegah adanya
pengulangan di dalam pe-
menuhan kelengkapan per-
syaratan, yakni memper-
syaratkan kelengkapan syarat
dari satuan kerja atau instansi
pemerintah lain yang terkait.
(6) Ekonomis, yakni pengenaan
biaya pelayanan ditetapkan
secara wajar dengan mem-
perhatikan nilai barang atau
jasa dan kemampuan
pelanggan untuk membayar.
(7) Keadilannyang merata, yakni
caupan atau jangkauan
pelayanan umum harus
diusahakan seluas mungkin
dengan distribusi yang merata
dan diperlakukan secara adil.
(8) Ketepatan waktu, yakni
pelaksanaan pelayanan umum
dapat diselesaikan dalam kurun
waktu yang telah ditentukan.
Mengenai prinsip-prinsip good
governance mencakupi hal-hal berikut
ini.
(1) Partisipasi
Mendorong setiap warga untuk
menggunakan hak dalam
menyampaikan pendapat dalam
proses pengambilan keputusan
yang menyangkut kepentingan
masyarakat, baik secara
langsung maupun tidak
langsung. Partisipasi dalam
konteks ini dimaksudkan untuk
menjamin agar setiap kebijakan
yang diambil mencerminkan
aspirasi masyarakat. Dalam
rangka mengantisipasi berbagai
isu yang ada, pemerintah harus
menyediakan saluran komu-
41
nikasi sehingga masya-rakat
dapat mengemukakan pendapat
dengan leluasa. Wahana
komunikasi ini mencakupi
pertemuan umum, temu wicara,
konsultasi dan penyampaian
pendapat secara tertulis.
Adapun bentuk lain untuk
merangsang keterlibatan
masyarakat yakni melalui
perencanaan partisipatif untuk
menyiapkan agenda pem-
bangunan, pemantauan, eva-
luasi dan pengawasan secara
partisipatif dan mekanisme
konsultasi untuk menyele-
saikan berbagi isu dan
permasalahan.
Mengenai instrumen dasar
partisipasi yakni peraturan
yang menjamin hak untuk
menyampaikan pendapat dalam
proses pengambilan keputusan,
sedangkan instrumen-
instrumen pendukung yakni
pedoman-pedoman pemerintah
partisipatif yang menga-
komodasi hak penyampaian
pendapat dalam segala proses
perumusan kebijakan dan
peraturan, proses penyusunan
strategi pembangunan, tata
ruang, program pembangunan,
penganggaran, pengadaan dan
pemantauan.
Adapun indikatornya semakin
meningkatnya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah,
meningkatnya jumlah masya-
rakat yang berpartisipasi
pembangunan, meningkatnya
kuantitas dan kualitas masukan
(kritik dan saran) kepada
pemerintah, dan masyarakat
lebih peduli terhadap
implementasi program-
program pemerintah.
(2) Penegakan Hukum
Pelaksanaan atau perwujudan
penegakan hukum bagi siapa
saja masyarakat Indonesia
tanpa perkecualian, menjun-
jungi tinggi HAM dan sangat
memperhatikan nilai-nilai yang
ada dan hidup dalam
masyarakat. Pemerintah ber-
dasarkan kewenangannya harus
mewujudkan supremasi hukum
dengan melakukan berbagai
penyuluhan peraturan undang-
undang dan menghidupkan
kembali nilai-nilai dan norma-
norma yang berlaku di
masyarakat. Pemerintah harus
mengupayakan budaya bebas
KKN.
42
Adapun instrumen penegakan
hukum yakni peraturan
perundang-undangan yang ada,
dengan komitmen politik
terhadap penegakan hukum
maupun keterpaduan dari
sistem yuridis (kepolisian,
pengadilan, dan kejaksaan);
sedangkan insturmen-
instrumen pendukungnya yakni
penyuluhan dan fasilitas
ombusdsman.
Mengenai indikator terlak-
sananya yakni semakin
berkurangnya praktik KKN dan
pelanggaran hukum, mening-
katnya (kecepatan dan
kepastian) proses penegakan
hukum, berlakunya nilai atau
norma atau nilai di masyarakat
(living law) dan munculnya
kepercayaan masyarakat
kepada aparat penegak hukum
sebagai pembela kebenaran.
(3) Transparansi
Transparansi dalam konteks ini
yakni menciptakan kepercaya-
an timbal-balik antara
pemerintah dengan masyarakat
melalui penyediaan informasi
dan menjamin kemudahan
didalam memperoleh informasi
yang akurat dan memadai. Hal
ini harus disadari bahwa
informasi merupakan
kebutuhan penting bagi
masyarakat untuk berpartisi-
pasi dalam pengelolaan
pemerintahan. Oleh karena itu,
pemerintah harus proaktif
memberikan informasi yang
lengkap berkaitan dengan
kebijakan dan pelayanan bagi
masyarakat. Pemerintah harus
memanfaat berbagai sarana
untuk penyebaran informasi
sehingga masyarakat dengan
mudah dapat memperoleh
informasi secara cepat, tepat,
dan akurat berkaitan dengan
informasi beserta prosedur
pengaduan.
Adapun instrumen dasar yang
berkaitan dengan transparansi
yakni peraturan yang menjamin
hak untuk mendapatkan
informasi, sedangkan instru-
men-instrumen pendukung
yakni fasilitas database dan
sarana informasi dan
komunikasi serta petunjuk
penyebarannya produk-produk
dan informasi yang ada di
tataran penyelenggaraan
pemerintahan beserta prosedur
pengaduannya.
43
Mengenai indikator keber-
hasilannya yakni semakin
bertambahnya wawasan dan
pengetahuan masyarakat
terhadap penyelenggaraan
pemerintah. Meningkatnya
kepercayaan masyarakat ter-
hadap pemerintah, mening-
katnya jumlah masyarakat yang
berpartisipasi dalam pem-
bangunan dan berkurangnya
pelanggaran terhadap peraturan
dan perundang-undangan.
(4) Kesetaraan
Kesetaraan berarti memberikan
peluang yang sama bagi setiap
anggota masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan.
Hal ini bertujuan untuk
menjamin agar kepentingan
pihak-pihak yang kurang
beruntung, seperti mereka yang
miskin dan lemah tetap
terakomodasi dalam peng-
ambilan keputusan. Begitu
juga, pemerintah perlu
memberikan perhatian secara
khusus terhadap kaum
minoritas agar mereka tidak
terpinggirkan dan tersingkir.
Dengan demikian kebijakan
khusus disusun untuk
menjamin adanya kesetaraan
terhadap wanita dan kaum
minoritas dalam eksekutif
maupun legislatif.
Adapun instrumen dasar dalam
kesetaraan yakni undang-
undang yang menjamin
kesetaraan dengan komitmen
politik terhadap penegakan dan
perlindungan HAM, sedangkan
instrumen-instrumen
pendukungnya berupa
penyuluhan yang bekaitan
dengan terjaminnya pelak-
sanaan kesetaraan.
Mengenai indikator ter-
capainya pelaksanaan kese-
taraan yakni semakin ber-
kurangnya kasus-kasus dis-
kriminasi, adanya kesetaraan
jender, dan mingkatnya
pengisian jabatan sesuai
dengan ketentuan.
(5) Daya tanggap
Meningkatnya daya tanggap
atau kepekaan para
penyelenggara pemerintahan
terhadap semua aspirasi
masyarakat tanpa kecuali.
Dalam hal ini pemerintah harus
membentuk wadah jalur
komunikasi untuk menampung
segala aspirasi masyarakat
guna dijadikan bahan
44
pertimbangan atau dasar dalam
penentuan kebijakan. Wahana
ini dapat berbentuk forum
aspirasi masyarakat, forum
pertemuan antar masyarakat
dan pemerintah, layanan
hotline, dan sejenisnya.
Pemerintah harus mendekatkan
diri dengan masyarakat untuk
menggali berbagai macam
aspirasi masyarakat.
Mengenai instrumen dasar
dalam daya tanggap ini, yakni
adanya komitmen politik untuk
menerima aspirasi dan
mengakomodasi kepentingan
masyarakat, sedangkan
instrument-instrumen
pendukung yakni penyediaan
berbagai fasilitas komunikasi
bagi masyarakat seperti kotak
saran, prosedur dan fasilitas
pengaduan dan prosedur bading
pada pengadilan.
Adapun indikator tercapainya
implementasi daya tanggap
tersebut yakni semakin
meningkatnya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah,
tumbuhnya kesadaran masya-
rakat, jumlahnya masyarakat
yang berpartisipasi dalam
pembangunan semakin
meningkat, dan semakin
berkurangnya berbagai
pengaduan masyarakat kepada
pemerintah.
(6) Wawasan ke depan
Pemerintah daerah didalam
menjalankan roda peme-
rintahan dan proses pem-
bangunan harus berdasarkan
visi dan strategi yang jelas dan
taktis serta mengikutsertakan
masyarakat.
Dengan cara ini maka
masyarakat merasa memiliki
dan wajib bertanggungjawab
terhadap kemajuan daerahnya.
Tujuan ditetapkan visi dan
strategi yakni untuk
memberikan arah yang jelas
dan tegas pembangunan secara
umum bagi daerahnya sehingga
sangat membantu dalam hal
pemanfaatan sumber daya
dengan efektif. Oleh sebab itu,
didalam penyusunan visi harus
secara terbuka dan transparan
yang melibatkan partisipasi
aktif seluruh elemen
masyarakat daerah. Cara
penyusun visi tersebut secara
jelas mendapat dukungan
langsung dari masyarakat
dalam implementasinya.
45
Dalam hal tersebut, instrumen
dasarnya yakni komitmen
politik terhadap masa depan
Indonesia secara umum dan
masa depan daerah secara
khusus; sedangkan instrumen
pendukung berupa proses
perencanaan partisipasi,
peraturan-peraturan yang
memberikan kekuatan hokum
pada visi, strategi, dan rencana
pembangunan. Adapun indi-
kator keberhasilan implemen-
tasinya, yakni visi dan strategi
yang jelas serta mantap dengan
kekuatan hukum yang semakin
mantap, adanya dukungan yang
kuat dari masyarakat serta
jelasnya tingkat konsistensi
antara perencanaan dan
anggaran.
(7) Akuntabilitas
Yakni meningkatnya akunta-
bilitas peran pengambil
keputusan dalam segala bidang
yang menyangkut kepentingan
bagi masyarakat luas. Semua
jajaran pengambilan keputusan
harus sadar bahwa segala
keputusan yang telah diambil
harus dipertanggungjawabkan
kepada publik atau masyarakat.
Tentu saja hal ini implikasinya
berupa kinerja para pengambil
keputusan. Oleh sebab itu,
harus ada alat ukur yang jelas
dan tegas serta objektif
terhadap proses dan hasil knijer
para pengambil keputusan.
Sistem pengawasan harus
diperkuat serta hasil audit
harus dipublikasikan yang
bermuara jika terdapat
kesalahan harus diberi sanksi.
Adapun instrumen dasar
akuntabilitas yakni adanya
peraturan perundang-
undangan, komitmen politik
terhadap akuntabilitas derta
mekanisme pertanggungjawab-
an. Mengenai instrumen pen-
dukung yakni adanya pedoman
tingkah laku dan pemantauan
kinerja penyelenggara peme-
rintah dan system pengawasan
dengan sanksi yang jelas dan
tegas.
Bagaimana Indikatornya?
Yakni semakin meningkatnya
kepercayaan dan kepuasan
masyarakat terhadap peme-
rintah, tumbuhnya kesadaran
masyarakat, meningkatnya
keterwakilan berdasarkan
pilihan dan kepentingan
46
masyarakat serta berkurangnya
kasus-kasus KKN.
(8) Pengawasan
Semakin meningkatnya upaya
pengawasan terhadap penye-
lenggaraan pemerintah dan
pembangunan dengan meng-
usahakan partisipasi pihak
swasta dan masyarakat, Dalam
pengawasan ini meskipun telah
dilakukan oleh lembaga yang
berwenang, tetapi tetap harus
melibatkan organisasi ke-
masyarakatan maupun masya-
rakat luas untuk ikut aktif
dalam pemantauan, pengawas-
an, dan evaluasi terhadapa
kinerja penyelenggara
pemerintah sesuai dengan
bidangnya masing-masing.
Dalam konteks ini juga perlu
adanya auditor independen dari
luar dan hasil auditnya
dipublikasikan kepada
masyarakat.
Instrumen pengawasan ini
berbentuk peraturan
perundang-undangan dan
komitmen politik. Adapun
instrumen pendukungnya
berupa sistem pengawasan dan
fasilitas atau lembaga
pengawasan (ombudsman).
Mengenai indikator keber-
hasilannya ditunjukkan dengan
meningkatnya masukan dari
masyarakat terhadap penyim-
pangan (kebocoran, pem-
borosan, penyalahgunaan
wewenang) dan berkurangnya
penyimpangan.
(9) Efesiensi dan Efektivitas
Yakni menjamin terse-
lenggaranya pelayanan kepada
masyarakat dengan meng-
gunakan sumber daya yang
tersedia secara optimal dan
bertanggung jawab. Dalam
pelayanan ini harus meng-
utamakan kepuasan masyarakat
dan didukung mekanisme
penganggaran serta pengawas-
an yang rasional dan
transparan. Lembaga-lembaga
yang melayani jasa umum
harus memberikan informasi
secara jelas perihal biaya dan
jenis pelayanannya. Dalam hal
ini pemerintah daerah harus
menciptakan pelayanan efisien
dengan menerapkan mana-
jemen modern untuk
administrasi pelayanan dalam
berbagai tingkatannya dan
perlu adanya desentralisasi
kewenangan layanan masya-
47
rakat sampai pada tingkat
kelurahan atau desa.
Adapun instrumen dasar
efisiensi dan efektivitas yakni
komitmen politik sedangkan
instrumen pendukungnya
adalah struktur pemerintahan
yang sesuai kepentingan
pelayanan masyarakat, adanya
standar dan indikator kinerja
untuk menilai efektivitas
pelayanan, pembukuan keu-
angan yang memungkinkan
diketahuinya satuan biaya, dan
adanya survei kepuasan
konsumen.
Mengenai indikatornya yakni
meningkatnya kesejahteraan
dan nilai tambah dari
pelayanan masyarakat, mening-
katnya masukan dari
masyarakat terhadap praktik
penyimpangan oleh pejabat
pemerintah; semakin ber-
kurangnya penyimpangan
(pemborosan, kebocoran,
penyalahgunaan wewenang),
dan berkurang biaya
operasional.
(10) Profesionalisme
Kemampuan dan moral
penyelenggara pemerintah
semakin baik sehingga mampu
memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara mudah,
cepat, dan tepat dengan biaya
terjangkau. Konteks profe-
sionalisme bertujuan men-
ciptakan birokrasi profesional,
efektif, dan memenuhi
kebutuhan masyarakat. Oleh
karena itu, perlu didukung
mekanisme penerimaan staf
yang efektif, sistem
pengembangan karier dan
pengembangan staf yang
efektif, penilaian, promosi, dan
penggajian staf yang wajar.
Instrumen dasar profesionalis
yakni komitmen politik,
sedangkan instrumen pen-
dukungnya yakni sistem
pendidikan birokrat maupun
penerima, penempatan,
evaluasi, dan pola karier
pegawai yang baik, standar,
indikator kinerja, sistem
penghargaan, sistem sanksi,
dan sistem pembangunan
sumber daya daya manusia.
Adapun indikatornya yakni
meningkatnya kesejahteraan
dan nilai tambah dalam
pelayanan pada masyarakat,
berkurangnya pengaduan
masyarakat, berkurangnya
48
KKN, mendapatkan ISO
pelayanan.
Prinsip-prinsip good gover-
nance tersebut bertujuan untuk
menciptakan penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang bersih
(clean governance). Dalam konteks
inilah muncul pertanyaan besar
“Apakah pemerintah daerah
(kota/kabupaten) di era otonomi
daerah ini telah menyelenggarakan
sistem pemerintahan dengan baik
dan bersih?”
3. Antara Wacana dan Realita
Jika berbicara tentang
prinsip-prinsip good governance
yang bermuara pada
penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih (clean governance),
terbayang di depan mata sebuah
pelaksanaan pemerintahan daerah
yang bersih, akuntabel, transparan,
efektif, dan efisien; sehingga
berbagai pelayanan berjalan lancar,
baik, dan masyarakat nyaman. Akan
tetapi, dalam praktik penye-
lenggaraan pemerintah daerah (pada
era otonomi daerah) masih ada
kesenjangan yang lebar antara teori
(wacana) dengan praktiknya
(realita). Dalam praktik
penyelenggaraan good governance
oleh para birokrat daerah
memunculkan berbagai ketimpangan
yang memperhatinkan. Ada
beberapa aspek yang dapat dijadikan
parameter untuk mengetahui
berbagai ketimpangan dan
kesenjangan praktik good
governance bagi pemerintah daerah.
Pertama, birokrasi yang
efesien yang merupakan salah satu
unsur untuk mengukur implementasi
good governance bagi pemerintah
daerah. Dalam parameter ini,
pemerintah daerah belum
menunjukkan citra birokrasi yang
bersih dan baik, tetapi justru masih
mencitrakan negatif. Dalam
pelaksanaan birokrasi, pemerintah
daerah masih menunjukkan motto
birokrasi “jika bisa dipersulit,
mengapa dipermudah!” Hal ini
terjadi jika masyarakat mengurus
berbagai keperluan yang berkaitan
dengan birokrasi, pelayanan masih
sangat lamban dan tidak bisa cepat.
Masyarakat dihadapkan bahwa
birokrasi seperti rantai yang teramat
panjang, yakni dari pos yang satu ke
pos yang lain sehingga masyarakat
bersusah payah untuk melaluinya.
Bahkan kadang-kadang masih
dikenai atau dipungut biaya pelicin.
Kedua, supremasi hukum
masih belum berjalan. Pada era
49
otonomi daerah membuka peluang
munculnya raja-raja kecil yang amat
berkuasa. Raja-raja kecil ini bisa
berupa pemerintah daerah, DPRD,
partai politik, pengusaha, dan
pemimpin informal. Raja-raja kecil
ini bisa mempermainkan hukum
sehingga masyarakat menjadi
korban. Banyak masyarakat di era
otonomi daerah menjadi korban
perlakuan sewenang-wenang para
pejabat, partai politik, dan
kelompok-kelompok yang ber-
wenang atau memiliki kekuatan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa
supremasi hukum belum berjalan.
Yakni masyarakat atau rakyat
kecil masih dengan mudah ditekan
oleh orang atau kelompok yang
memiliki kekuatan atau kekuasaan.
Hal ini banyak terjadi di berbagai
daerah pada era otonomi daerah.
Ketiga, transparansi dan
akuntabilitas. Salah satu spirit
otonomi daerah yakni semakin
dekatnya antara pengambil
kebijakan dengan masyarakat (antara
penyelenggara pemerintah dengan
masyarakatnya). Bagaimana peme-
rintah daerah mampu mem-
berdayakan masyarakatnya. Bagai-
mana pemerintahan daerah harus
terbuka untuk dikontrol oleh
masyarakat. Dalam tataran ini,
masih banyak pemerintah daerah
yang menutup diri sehingga
masyarakat tidak mendapatkan
informasi perihal sistem birokrasi
dan berbagai aspek penting
penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan demikian masyarakat tidak
dapat mengetahui dan memahami
implementasi sistem birokrasi
pemerintah, sehingga masyarakat
tidak dapat melakukan pemantauan,
pengawasan, pengevaluasian, dan
pengontrolan terhadap jalannya roda
pemerintahan.
Dalam implementasi good
governance bagi pemerintah daerah,
pemimpin memainkan peranan
sangat strategis; terutama dalam
birokrasi publik. Hal ini juga sangat
berpengaruh terhadap implementasi
good governance bagi pemerintah
daerah. Jika diidentifikasi secara
umum terdapat beberapa fenomena
kepemimpinan pada birokrasi
publik.
Pertama, pemimpin birokrasi
publik dalam menjalankan roda
birokrasi pada umumnya belum
digerakkan oleh visi dan misi.
Pemimpin dalam menjalankan
birokrasi masih digerakkan oleh
peraturan yang sangat kaku. Hal ini
50
mengakibatkan pemimpin yang
bersangkutan tidak dapat
mengembangkan potensi organisasi
dan tidak dapat menyesuaikan
tuntutan lingkungan eksternal dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kedua, pemimpin birokrasi
lebih mengandalkan kewenangan
formal yang dimilikinya. Hal ini
mengantarkan kekuasaan menjadi
kekuatan dalam menggerakkan
bawahan untuk memenuhi berbagai
kepentingan pemimpin.
Ketiga, rendahnya kom-
petensi pemimpin birokrasi. Hal ini
terlihat dari pola promosi birokrasi
yang kurang mempertimbangkan
pejabat yang akan ditempatkan pada
suatu jabatan struktural tertentu.
Pemimpin lebih banyak melihat
pada siapa orang yang akan
ditempatkan pada suatu jabatan
tertentu dari pada memperhatikan
dan mempertimbangkan bagaimana
kapabilitasnya. Bahkan tidak jarang
penempatan seseorang pada jabatan
tertentu berdasarkan faktor
kedekatan. Hal ini menunjukkan
bahwa penilaian terhadap seseorang
akan menjabat pada jabatan tertentu
bersifat irrasional (tidak rasional).
Keempat, lemahnya akun-
tabilitas pemimpin birokrasi. Tidak
adanya transpa ransi dalam
pertanggungjawaban publik atas apa
yang telah dilakukan oleh birokrasi.
Oleh sebab itu, masyarakat tidak
pernah mengetahui kebijakan apa
yang telah dibuat dan dilaksanakan,
bagaimana proses pelaksanaan dan
hasilnya, bagaimana tolok ukur
evaluasinya, dan aspek-aspek mana
yang harus dikritisi dan diperbaiki
sebagai dasar pijakan untuk
perencanaan ke depan (pelaksanaan
kebijakan selanjutnya dan
berikutnya). Padahal akuntabilitas
sangat penting dilakukan oleh
birokrasi agar masyarakat dapat
memberikan koreksi dan kontrol
terhadap kinerja birokrasi.
Berbagai ketimpangan yang
ada dalam penyelenggaraan sistem
birokrasi pemerintahan daerah dan
sikap pemimpin daerah yang
timpang tersebut, semakin
menguatkan bahwa prinsip-prinsip
good governance yang bermuara
pada clean governance belum
dilaksanakan dengan baik. Bahkan
dalam perjalanan pelaksanaan
pemerintahan otonomi daerah
banyak ditemukan berbagai ketim-
pangan dan penyimpangan.
Terciptanya raja-raja kecil di daerah
membuka peluang yang sangat lebar
51
dan leluasa melakukan penyim-
pangan birokrasi dan ekonomi
(korupsi).
Penyimpangan- penyimpang-
an terjadi hampir di seluruh daerah.
Hingga akhir Agustus 2013, tercatat
297 Kepala Daerah menjadi
tersangka, terpidana/ saksi dlm kasus
korupsi. Tahun 2004 s/d 2013 1.367
PNS & 2.545 anggota DPRD
berurusan dengan aparat penegak
hukum dalam dugaan tindak pidana
korupsi (Suara Merdeka, Sabtu 31
Agustus 2013, Staf Ahli Mendagri
Bidang Hukum,Politik & antar
Lembaga). Kenyataan (realita) ini
semakin menguatkan bahwa good
governance pada era otonomi daerah
ini belum dilaksanakan dengan baik,
ibarat panggang jauh dari api.
Hal-hal tersebut berakibat
tidak terwujudnya pendidikan politik
kepada masyarakat (demokrasi)
sebagai tujuan primer pelaksanaan
good governance, dan sistem
pelayanan yang efektif dan efisien,
serta akuntabilitas yang merupa kan
tujuan sekunder implementasi good
governance, terabaikan (ter-
bengkelai).
Pelayanan publik dalam
negara demokrasi harus memenuhi
tiga indikator (1) responsiveness
atau responsivitas, yakni daya
tanggap penyedia layanan
(pemerintah daerah) terhadap
harapan, keinginan, aspirasi maupun
tuntutan pengguna layanan
(masyarakat); (2) responsibility atau
responsibilitas, yakni suatu ukuran
yang menunjukkan seberapa jauh
proses pelayanan publik diberikan
atau dilakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip atau ketentuan-
ketentuan administrasi dan
organisasi yang benar sebagaimana
telah ditetapkan ; dan (3)
accountanbility atau akuntabilitas,
yakni suatu ukuran yang
menunjukkan seberapa besar proses
penyelenggaraan pelayanan sesuai
dengan kepentingan stakeholders
dan norma-norma yang berkembang
dalam masyarakat.
Ketiga indikator tersebut
dalam penyelenggaraan sistem
birokrasi pemerintah daerah belum
dilaksanakan dengan baik. Banyak
pelaku birokrasi pemerintah daerah
tidak tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat sebagai pengguna
layanan. Banyak urusan masyarakat
yang diselesaikan dengan cara yang
berbelit-belit dan berkepanjangan
sehingga menghasilkan kekecewaan.
Begitu juga dalam menangani
52
birokrasi yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat, pemerintah
daerah tidak memiliki standar yang
jelas, tegas, dan tepat. Bahkan aturan
yang ada tidak digunakan untuk
mempermudah dan memperlancar
urusan-urusan masyarakat, tetapi
justru dimanfaatkan oleh birokrat
atau pejabat untuk menakut-nakuti
masyarakat. Hal-hal tersebut
mengakibatkan berbagai kepen-
tingan masyarakat terabaikan dan
norma-norma masyarakat dijadikan
barang pajangan saja.
4. Pelayanan Publik yang Baik
Tata kelola pemerintahan
dapat dinyatakan baik dan bersih,
jika sistem pelayanan berjalan
dengan baik yang sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan. Yakni
pemberian layanan publik yang
professional, efektif, efisien,
sederhana, transparan, tepat waktu,
adaptif, responsiveness atau
responsivitas, responsibility atau
responsibilitas, accountanbility atau
akuntabilitas, dan dapat membangun
kualitas individu dalam arti
meningkatkan kapasitas individu dan
masyarakat agar aktif dan memiliki
orientasi demi kebaikan bagi masa
depan.
Responsif, yakni pelaku
birokrasi harus membantu konsumen
(pengguna layanan), bertanggung
jawab terhadap mutu layanan yang
diberikan,memiliki kom
petensi, pengetahuan, dan
ketrampilan yang berkaitan langsung
dengan sistem pelayanan. Dalam
konteks ini, aparatur negara sebagai
abdi masyarakat dan negara harus
menyadari bahwa pelayanan publik
bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Oleh
sebab itu, aparatur Negara dalam
bertugas memberikan pelayanan
kepada masyarakat harus
menerapkan prinsip-prinsip good
governance secara optimal. Dengan
demikian good governance tidak
hanya sekadar wacana, tetapi
menjadi suatu realita di
pemerintahan daerah.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan,
penulis dapat menarik simpulan sebagai
berikut :
Pertama, pemerintah kota/
kabupaten (pemerintah daerah) belum
menerapkan good governance. Hal ini
ditunjukkan bahwa pemerintah daerah
belum melaksanakan sistem birokrasi
yang efektif dan efisen, lemahnya
53
supremasi hukum, dan tidak akuntabel
serta kurang transparan. Adapun dari
faktor kepemimpinan daerah masih
melekat kelemahan-kelemahan (a)
pemimpin birokrasi publik dalam
menjalankan roda birokrasi pada
umumnya belum digerakkan oleh visi
dan misi, dan dalam menjalankan
birokrasi masih digerakkan oleh
peraturan yang sangat kaku; (b)
pemimpin birokrasi lebih mengandalkan
kewenangan formal yang dimilikinya,
sehingga kekuasaan menjadi kekuatan
dalam menggerakkan bawahan untuk
memenuhi berbagai kepentingan
pemimpin; (c) rendahnya kompetensi
pemimpin birokrasi; dan (d) lemahnya
akuntabilitas pemimpin birokrasi,
sehingga tidak ada transparansi dalam
pertanggungjawaban publik atas apa
yang telah dilakukannya.
Kedua, para pemimpin daerah
harus menyadari bahwa dirinya dipilih
oleh rakyat, harus mengabdi kepada
rakyat yang bermuara pada memberikan
pelayanan yang baik dan memuaskan
kepada rakyat (masyarakat). Oleh sebab
itu, seluruh aparatur negara di
pemerintahan daerah harus mewujudkan
good governance sebagai suatu
kewajiban mutlak atau fardhu ain
(kewajiban yang harus dilakukan oleh
semua aparatur negara di daerah) bukan
fardhu kifayah (kewajiban yang hanya
dilakukan oleh sebagian aparatur
Negara di daerah).
Dalam konteks inilah aparatur
pemerintah daerah harus menjalakan
prinsip-prinsip good governance dalam
memberikan pelayanan publik atau
pelayanan kepada masyarakat. Dengan
demikian, tuntutan tentang good
governance bagi pemerintah daerah oleh
masyarakatnya, tidak sekadar wacana
tetapi menjadi realita.
------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan
Good Governance Melalui
Pelayanan Publik.
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
LAN. 2003. Penyusunan Standar
Pelayanan Publik. Jakarta:
LAN
Salam, Dharma Setyawan. 2004.
Otonomi Daerah: Dalam
Perspektif Lingkungan, Nilai,
dan Sumber Daya. Jakarta:
Djambatan.
Sulistiyani, Ambar T. 2004. Memahami
Good Governance dalam
Perspektif Sumber Daya
54
Manusia. Yogyakarta: Gava
Media.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan
Politik di Indonesia. Jakarta:
Raja Wali Press.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah
Utomo, Warsito. 2001. Reformasi
Birokrasi. Hand-out, Program
Administrasi Negara,
Program Pascasarjana UGM,
Yogyakarta.
-------------------
55
OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
DARI MASA KE MASA
Oleh :
Irawan Rumekso
Abstrak
Setelah memasuki era reformasi, kehidupan politik Indonesia mengalami
perubahan fundamental. Tatanan, sistem dan kultur poltik Indonesia mengalami
perubahan yang sangat drastis, meninggalkan begitu jauh realitas politik yang
dilakoni pada masa-masa sebelumnya. Kultur politik yang dianggap tabu pada
periode sebelumnya, menjadi begitu lumrah dipraktekkan di era yang telah berubah
kini. Perubahan tersebut merupakan respon terhadap gerakan reformasi, sehingga
bangsa Indonesia kemudian memformat kembali kehidupan berbangsa dan
bernegaranya, agar dapat menyesuiakan diri dengan tuntutan dan perkembangan
zaman.
Respon nyata di bidang pemerintahan terhadap perubahan tatanan, sistem dan
kultur poltik Indonesia adalah perubahan pola penyelengaraan pemerintahan dan
pola hubungan dan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dengan
diterapkannnya otonomi daerah secara nyata, luas dan bertanggung jawab. Sejak
diluncurkan pada tahun 1999 melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, otonomi daerah telah mengambil tempat yang luas
dalam pemberitaan dan wacana publik. Namun sejatinya, otonomi daerah di
Indonesai mempunyai sejarah yang panjang.
Kata kunci : Otonomi Daerah, Reformasi
OTONOMI DAERAH SEBELUM
MASA PENJAJAHAN
Menurut BN. Marbun (2010 : 27,
28), otonomi daerah sebagai aplikasi
dari konsep desentralisasi seperti yang
kita kenal sekarang, sangat sulit
mencarinya dalam praktek kerajaan-
kerajaan atau kesultanan yang ada di
nusantara sebelum kedatangan penjanah
di abad XVI. Sampai sekarang, belum
ada hasil penelitian yang sahih tentang
pelaksanaan otonomi di nusantara
seperti rumusan otonomi yang kita
kenal sekarang ini.
56
Pola hubungan antara kerajaan
atau kesultanan dengan daerah
taklukannya atau yang mengakuinya
sebagai raja atau sultan lebih bercorak
hubungan atasan dan bawahan atau
pengakuan formal lewat pembayaran
pajak, atau upeti secara reguler.
Artinya, daerah taklukan membayar
upeti atau persembahan setiap tahun dan
kewajiban-kewajiban lainnya kepada
raja atau sultan yang menjadi penguasa
tertinggi di daerah tersebut.
Seperti kita ketahui lewat sejarah
nusantara, pusat-pusat kekuasaan yang
berupa kerajaan atau kesultanan tersebar
mulai dari Aceh sampai ke bagian timur
nusantara. Dari sejarah kita mengenal
Sriwijaya yang berpusat di Palembang,
Majapahit yang berpusat di Jawa,
Mataram yang berpusat di Jawa, berikut
beberapa kesultanan yang terkenal
seperti kesultanan Aceh, kesultanan
Deli, kesultanan Siak, kesultanan
Banten,kesultanan Gowa, kesultanan
Kutai, kesultanan Tidore, dan lain-lain,
tidak meninggalkan uraian rinci tentang
cotak pemerintahannya mulai dari pusat
sampai daerah taklukannya (vazal).
Namun, menurut sejarahwan MC.
Ricklefs dalam bukunya : Sejarah
Indonesia Modern, 1200 – 2004
(halaman 53), disebutkan sepintas lalu,
bahwa “seorang penguasa pusat
mempunyai tiga teknik utama yang
dapat digunakan untuk mempertahankan
kekuasaannya. Pertama : dia dapat
member otonomi yang cukup luas dan
keuntungan-keuntungan langsung yang
berbentuk kekayaan, martabat, dan
perlindungan kepada penguasa daerah,
sebagai imbalan dukungan mereka
kepadanya. Kedua, dia dapat
memelihara kultus kebesaran mengenai
dirinya dan istananya yang
mencerminkan kekuatan-kekuatan gaib
yang mendukung dirinya. Ketiga, dan
yang paling penting di antara semua
teknik, dia harus memiliki kekuatan
militer untuk menghancurkan setiap
oposisi.
Dari sumber-sumber lain kita
membaca tentang eksistensi darah atau
wilayah tertentu yang relative
independen dan mempunyai system
pemerintahan lokal yang khas dan
diteruskan secara sinambung yang
sampai sekarang masih dapat kita
telusuri seperti halnya, Desa di Jawa,
Marga, Kuria, Huta, Nagari, Gampong
(semuanya Sumatera) dan nama lain
bagi beberapa kelompok tertentu yang
tersebar di nusantara pada waktu dulu,
yang sosoknya masih mungkin ditelusir
sampai sekarang. Sangat saying
penelitian ilmiah terhadap tafsir atau
prkatek otonomi di nunsantara sebelum
57
kedatangan penjajah barat abad XVI,
belum kita jumpai.
OTONOMI DAERAH MASA
HINDIA BELANDA
Pada awal keberadaannya
melaksankan kolonialisme di tanah air
Indonesia abad XVI sampai dengan
tahun 1903, pemerintah kolonial Hindia
Belanda menerapkan model
monopolistik dan sentralistik dalam
penyelenggaraan kekuasaannya. Semua
kekuasaan (eksekutif, legislatif dan
yudikatif) dikendalikan oleh Gubernur
Jenderal (Gouverneur Generaal) sebagai
wakil raja Belanda. Penyelenggaraan
kekuasannya berpedoman kepada
Peraturan Dasar yaitu semacam
konstitusi yang disebut Regering
Reglement (RR) yang dibuat pada tahun
1854 di negeri Belanda. Dalam RR
tidak ditemukan pasal atau ketentuan
yang mengatur pelaksanaan otonomi
daerah atau asas desntralisasi. Dalam
praktek penyelengaraan pemerintahan-
nya, pemerintah kolonial Hindia
Belanda menerapkan strategi devide et
impera, yaitu daerah-daerah diberi
kekuasaan mengatur daerah sendiri
dalam arti sempit, namun kewenangan
mengatur daerah sendiri bukan dalam
kerangka dan tidak ada kaitannya
dengan pengertian otonomi daerah
seperti yang kita pahami sekarang.
Pada masa berlakunya RR 1854,
wilayah kolonial Hindia Belanda dibagi
menjadi wilayah-wilayah administrasi
sebagai implementasi asas dekon-
sentrasi, yang terdiri dari : gewesten
(yang kemudian disebut Redisentie),
afdelingen dan onderafdelingen yang
masing-masing wilayah dipimpin oleh
seorang pamong praja dengan sebutan
Gubernur, Residen, Asisten Residen dan
Kontrolir. Disamping itu masih ada
kabupaten yang dipimpin oleh Bupati
dan daerahnya merupakan Swapraja,
kecamatan yang dulu bernama
Onderdistrict sebagai keatuan wilayah
administrative terkecil dan dipimpin
oleh Camat atau nama lain. Di tingkat
desa yang merupakan daerah otonom
dipimpin oleh Kepala Desa atau nama
lain sesuai ciri khas masing-masing
daerah.
Menurut Josef Riwu Kaho (2010 :
23), sesuai dengan perkembangan
politik dan pemerintahan, baik di Hindia
Belanda maupun di Negeri Belanda
sendiri, sistem yang sentralistis itu tidak
dapat dipertahankan terus. Karena itu
pada tahun 1903 Pemerintah Kerajaan
Belanda menerapkan suatu
Wethoudende Decentralisatie van het
Bestuur in Nederlandsch Indie
58
(Staatblaad/Stb.1903/329) atau yang
lebih dikenal dengan sebutan
Decentralisatiewet 1903 yang
dikeluarkan pada tanggal 23 Juli 1903.
Decentralisatiewet 1903 ini memberi
kemungkinan bagi pembentukan Gewest
atau bagian Gewest yang mempunyai
keuangan sendiri untuk membiayai
segala kegiatannya. Pengurusan
keuangan tersebut dilakukan oleh
sebuah Raad yang dibentuk bagi
masing-masing daerah yang
bersangkutan.
Untuk menindaklanjuti Decen-
tralisatiewet 1903 ini kemudian
dikeluarkan Decentralisatie Besluit
(Stb.1905/137) dan Locale
Radenordonantie (Stb.1905/181).
Menurut kedua peraturan ini, daerah
yang diberi keuangan sendiri itu disebut
Locale Ressort, sedang Raad-nya
disebut Locale Raad. Locale Raad
dibedakan ke dalam Gewestelijke Raad
bagi Gewest dan Plaatselijke Raad bagi
daerah-daerah yang merupakan bagian
dari Gewest. Salah satu jenis dari
Plaatselijke Raad ini adalah
Gemeenteraad.
Karena pelaksanaan desentralisasi
sesuai Decentralisatiewet 1903 kurang
memuaskan, dalam perkembangan
selanjutnya pada tahun 1922,
pemerintah kolonial Hindia Belanda
mengeluarkan Wet op de
Bestuurshervorming/Undang-undang
(Stb 1922/216). Dengan undang-undang
ini dibentuk sejumlah provincie,
regentschap, stadsgemeente, dan
groepmeneenschap yang semuanya
menggantikan locale ressort. Disamping
entitas pemerintahan seperti itu, terdapat
juga entitas pemerintahan yang
merupakan persekutuan asli masyarakat
setempat (zelfbestuurende land-
schappen).
Menyangkut eksistensi kerajaan-
kerajaaan nusantara yang ada pada
waktu itu, pemerintah kolonial
mengeluarkan ketentuan yang mengikat
dengan sejumlah kontrak politik
(kontrak panjang maupun kontrak
pendek). Kondisi seperti ini
mengakibatkan warga masyarakat
dihadapkan dengan dua sistem
administrasi pemerintahan.
OTONOMI DAERAH MASA
PENDUDUKAN JEPANG
Dalam Perang Dunia II, Jepang
berhasil mengambil alih kekuasaan di
seluruh Asia Timur mulai Korea Utara,
Daratan Cina, Burma, Malaya, Filipina
dan Indonesia (Jawa dan Sumatera).
Jepang berhasil menaklukkan
pemerintahan kolonial Inggris di Burma
dan Malaya, mengalahkan Amerika
59
Serikat di Filipina serta Belanda di
Daerah Hindia Belanda. Jepang berhasil
menguasai Indonesia pada tahun 1942.
Kekuasaan kolonial Jepang di Indonesia
berlangsung singkat, sekitar tiga
setengah tahun.
Pada mulanya Jepang menjanjikan
perubahan sistem pemerintahan
kolonial, namun Jepang ternyata
menerapkan sistem dekonsentrasi yang
sentralistik, hanya mengadakan
perubahan-perubahan kecil seperti
perubahan nomenklatur jabatan dan
daerah. Nomenklatur jabatan diganti
menggunakan bahasa Jepang, disamping
itu pejabat-pejabatnya juga diangkat
dari orang-orang Jepang untuk
menggantikan pejabat-pejabat Belanda
yang dulunya menduduki jabatan-
jabatan tersebut. Wilayah Provinsi,
jabatan Gubernur dan Dewan Provinsi
dihapus. Pada masa Jepang pemerintah
daerah hampir tidak memiliki
kewenangan. Dengan demikian
desentralisasi yang telah diterapkan
Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun
1903 dicabut dan tidak diberlakukan
lagi. Namun demikian kabupaten dan
kotapraja tetap eksis walaupun tanpa
keberadaan dewan.
Sebagai respon terhadap situasi
kondisi yang masih diliputi dengan
situasi perang dunia, Jepang kemudian
merubah sistem pemerintahan versi
pemerintah Hindia Belanda menjadi
kekuasaan yang berbasis strategi militer,
yaitu :
1. Sumatera di bawah Komando
Panglima Angkatan Darat XXV
(Rikugun) yang berpusat di
Bukittinggi.
2. Jawa dan Madura dibawah
Komando Panglima Angkatan Darat
XVI (Rikugun) yang berkedudukan
di Jakarta.
3. Daerah-daerah lainnya di bawah
Komando Panglima Angkatan Laut
(Kaigun) yang berkedudukan di
Makasar.
Nyatalah bahwa dengan model
pembagian dan pengendalian kekuasaan
seperti itu, kekuasaan dipegang
sepenuhnya oleh militer yang
dilaksanakan oleh Komando Angkatan
masing-masing yang disebut Gunseikan.
dan itu dalam kerangka kepentingan
perang bukan dalam kerangka
penyelenggaraan pemerintahan yang
desentralistis dengan pembagian
kewenangan. Baru kemudian pada
tanggal 11 September 1943, kekuasaan
pemerintahan berada di bawah satu
tangan, yaitu kekuasaan dipegang oleh
Saikosikikan yang berkedudukan
sebagai Gubernur Jenderal.
60
OTONOMI DAERAH MASA
KEMERDEKAAN
1. Periode Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1945 Tentang Peraturan
Mengenai Kedudukan Komite
Nasional Daerah
Rancangan undang-undang
(RUU) Nomor 1 Tahun 1945
merupakan produk Badan Pekerja
Komite Nasional Pusat
sebagaimana dituangkan dalam
Pengumuman Nomor 2 tanggal 30
Oktober 1945 mengenai Rancangan
Undang-undang tentang Kedudukan
Komite Nasional Daerah. RUU ini
kemudian disetujui oleh pemerintah
pada tanggal 23 November 1945
menjadi Undang-undang Nomor 1
Tahun 1945 tentang Peraturan
Mengenai Kedudukan Komite
Nasional Daerah.
Undang-undang Nomor 1
Tahun 1945 merupakan produk
hukum pertama berupa undang-
undang yang mengatur
pemerintahan daerah yang
dikeluarkan oleh Pemerintah
Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sebagai produk hukum
pertama tentang pemerintahan
daerah, UU 1/1945 diharapkan
menjadi peletak dasar
penyelenggaraan pemerintah daerah
di Indonesia, namun sayangnya
UU No.1 Tahun 1945 hanya
mengatur hal-hal yang bersifat
darurat dan segera saja. Batang
tubuhnyapun hanya terdiri dari 6
pasal dan 6 pasal penjelasan yaitu
penjelasan umum dan penjelasan
pasal demi pasal. UU 1/1945
mengatur pembentukan Komite
Nasional Daerah (kecuali di
Daerah Surakarta dan Yogyakarta)
di karesidenan, di kota berotonomi,
di kabupaten, dan lain-lain daerah
yang dianggap perlu oleh Menteri
Dalam Negeri.
Walaupun secara umum UU
1/1945 menitikberatkan pada
sentralisasi, namun demikian, UU
1/1945 juga memberikan ruang
terhadap pelaksanaan asas
desentralisasi. Hal ini dapat dilihat
pada Pasal 2 yang selengkapnya
menyebutkan :
“Komite Nasional Daerah
menjadi Badan Perwakilan
Daerah, yang bersama-sama
dengan dan dipimpin oleh
Kepala daerah menjalankan
pekerjaan mengatur rumah
tangga daerahnya, asal tidak
bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah
61
yang lebih luas
daripadanya”.
Dengan UU 1/1945, wilayah
Indonesia dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu :
a. Provinsi
b. Kabupaten/Kota Besar
c. Desa/Kota Kecil.
2. Periode Undang-Undang Pokok
Nomor 22 Tahun 1948 Tentang
Pemerintahan Daerah
Dalam perkembangannya
setelah berjalan selama kurang
lebih tiga tahun, penyelenggaraan
pemerintahan daerah berdasarkan
UU 1/1945 ternyata menimbulkan
ketidakpuasan daerah-daerah,
karena UU 1/1945 sangat simpel,
banyak urusan pemerintahan daerah
yang belum diatur, sehingga kurang
jelas untuk dijadikan sebagai
pedoman. Sebagai konsekwensinya
menurut BN. Marbun ( 2010 : 55 ),
banyak urusan pemerintahan daerah
yang masih berpegang kepada
peraturan lama dari masa Hindia
Belanda atau dari masa penjajah
Jepang.
Oleh karena itu pada tahun
1948, pemerintah mengajukan RUU
tentang Pemerintahan Daerah yang
baru. RUU tersebut disetujui oleh
Badan Pekerja KNIP yang
ditetapkan dan mulai berlaku pada
tanggal 10 Juli 1948 menjadi
Undang-undang Nomor 22 Tahun
1948 tentang Penetapan Aturan-
aturan Pokok mengenai
Pemerintahan Sendiri di Daerah-
daerah yang Berhak Mengatur dan
Mengurus Rumah Tangganya
Sendiri, namun kemudian UU ini
lebih dikenal sebagai Undang-
undang Pokok Nomor 22 Tahun
1948 tentang Pemerintahan Daerah.
Negara Kesatuan Republik
Indonesia tersusun dalam tiga
tingkatan yakni :
a. Provinsi
b. Kabupaten/Kota Besar
c. Desa/Kota Kecil, Nagari,
Marga dan sebagainya yang
berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri.
Selanjutnya Pasal 2 UU
22/1948 menyebutkan :
a. Pemerintah Daerah terdiri dari
Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan Dewan Pemerintah
Daerah.
b. Ketua dan Wakil Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
dipilih oleh dan dari anggota
Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
62
c. Kepala Daerah menjabat Ketua
dan anggota Dewan
Pemerintahan Daerah.
Adanya Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Dewan
Pemerintahan Daerah adalah
dimaksudkan bahwa tugas-tugas
Pemerintahan Daerah dijalankan
secara bersama-bersama (kolegial),
karena sesuai UU 22/1948,
Pemerintah Daerah terdiri dari
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan Dewan Pemerintah saja.
3. Periode Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1957 Tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Daerah
Setelah UU 22/1948
diberlakukan, belum setahun
berjalan dan banyak daerah yang
belum menerapkannya, di
Indonesia terjadi perang
kemerdekaan yang diakhiri dengan
Konferensi Meja Bundar yang
melahirkan negara Republik
Indonesia Serikat berbentuk federal
dan diberlakukannya Konstiruti
RIS. Kenyataanya Konstitusi RIS
juga tidak berusia lama, pada tahun
1950 diberlakukan Undang-undang
Dasar Sementara Republik
Indonesia Tahun 1950 (UUDS RI
1950) yang berlaku sejak 15
Agustus 1950 sebagai pengganti
Konstitusi RIS.
Dalam perkembangannya,
UUDS 1950 menimbulkan
kekacauan dalam praktek
penyelenggaraan negara, karena
UUDS 1950 dengan Konstitusi
RIS-nya dalam prakteknya
bertentangan dengan bentuk negara
kesatuan dan menimbulkan
semangat kedaerahan yang
berlebihan. Hal ini antara tercermin
dalam pasal 131 ayat 2 yang
menyebutkan :
“Kepada daerah-daerah akan
diberikan otonomi seluas-
luasnya untuk mengurus
rumah tangganya sendiri”.
Sehingga kemudian timbul
tuntutan dari para politisi di
parlemen dan daerah-daerah agar
UUDS 1950 dicabut dan
disesuaikan dengan semangat
Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Setelah melalui
pedebatan yang panjang dan
melelahkan, ditetapkan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1957
tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah yang terdiri dari 76 pasal
dalam 9 Bab.
Sesuai UU 1/1957, daerah
otonom diganti dengan istilah
63
daerah swatantra. Wilayah NKRI
dibagi menjadi daerah besar dan
kecil yang berhak mengurus rumah
tangga sendiri, dalam tiga tingkat,
yaitu:
a. Daerah Swatantra Tingkat I,
termasuk Kotapraja Jakarta
Raya Daerah Isimewa Tingkat
Tingkat I
b. Daerah Swatantra Tingkat II,
termasuk Kotapraja
c. Daerah Swatantra Tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini
menitikberatkan pelaksanaan
otonomi daerah seluas-luasnya
sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
Hal yang tentang kedudukan Kepala
Daerah dalam UU 1 Tahun 1957
adalah :
a. Kepala Daerah dipilih oleh
DPRD
b. Kepala Daerah dapat
diberhentikan oleh DPRD
lewat satu keputusan
c. Kepala Daerah adalah alat dari
daerah yang bersangkutan
d. Dewan Pemerintahan Daerah
bertanggung jawab kepada
DPRD.
4. Periode Penetapan Presiden Nomor
6 Tahun 1959 Tentang Pemerintah
Daerah
Setelah dalam beberapa
tahun penyelenggaraan pemerin-
tahan negara kita meninggalkan
UUD 1945, melalui Dekrit
Presiden 05 Juli 1959 UUD 1945
dinyatakan berlaku kembali sebagai
konstitusi negara menggantikan
UUDS 1950 yang bercorak
federalisme dan menerapkan sistem
demokrasi parlementer. Berlakunya
kembali UUD 1945 menimbulkan
implikasi yang luas dalam
ketatanegaraan kita. Hal ini karena
produk hukum yang mengacu
kepada UUDS 1950 harus diganti
untuk disesuaikan dengan jiwa dan
semangat UUD 1945.
Dalam rangka menindak-
lanjuti penyesuaian tata kenegaraan
yang sesuai dengan jiwa dan
semangat UUD 1945, pada tanggal
7 September 1959 Presiden
menetapkan Penetapan Presiden
(Penpres) Nomor 6 Tahun 1959
tentang Pemerintahan Daerah.
Penpres ini merevisii sebagian
besar pasal-pasal dalam UU 1/1957.
Penpres Nomor 6 Tahun
1959 menitikberatkan pada
kestabilan dan efisiensi
pemerintahan daerah, dengan
memasukkan elemen-elemen baru
dalam pemerintahan daerah.
64
Penyebutan daerah yang berhak
mengatur rumah tangganya sendiri
dikenal dangan nomenklatur
Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat
II, dan Daerah Tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol
pada kebijakan otonomi daerah
pada masa ini. Kepala Daerah
diangkat oleh pemerintah pusat,
terutama dari kalangan pamong
praja.
Sesuai Penpres Nomor 6
Tahun 1959, bentuk dan susunan
pemerintahan daerah mengalami
perubahan yang mendasar.
Perubahan-perubahannya antara
lain :
a. Pemerintah Daerah terdiri dari
Kepala Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
b. Dalam menjalankan tugasnya
Kepala Daerah dibantu oleh
Badan Pemerintah Harian
c. Kepala Darah Tingkat I
diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden
d. Kepala Daerah Tingkat II
diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah dari
calon-calon yang diajukan oleh
DPRD yang bersangkutan.
Namun satu tahun kemudian,
Penpres Nomor 6 Tahun 1959
direvisi dengan Penpres Nomor 5
Tahun 1960 yang mengatur tentang
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong dan Sekretariat Daerah.
5. Periode Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah
UU 18/1965 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Daerah pada
hakekatnya merupakan penyem-
purnaan dari Penpres 6 Tahun 1959
dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960.
Namun demikian dalam
pelaksanaannya UU 18/1965 masih
belum dapat memenuhi harpan,
karena ternyata pengaturan tentang
penyelenggaraan pemerintahan
daerah terdapat dalam berbagai
peraturan sehingga menimbulkan
duplikasi dan kesimpangsiuran.
Kemudian timbullah keinginan-
keinginan untuk merubah UU
18/1965, harapannya dengan
undang-undang yang baru nanti,
pengaturan tentang penyelenggaraan
pemerintahan lebih mantap dan
dapat dijadikan pedoman yang
mampu mengawal penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang lebih
65
sesuai dengan jiwa dan semangat
UUD 1945.
Setelah melalui berbagai
tahapan dan proses yang cukup
lama, akhirnya pada tanggal 1
September 1965 Presiden Republik
Indonesia mengesahkan berlakunya
Undang-undang Nomor 18 tahun
1965 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah
Menurut UU ini, wilayah
NKRI dibagi-bagi dalam tiga
tingkatan yakni:
a. Provinsi dan atau Kotaraya
sebagai Daerah Tingkat I
b. Kabupaten dan atau
Kotamadya sebagai Daerah
Tingkat II
c. Kecamatan dan atau Kotapraja
sebagai Daerah Tingkat III
Sebagai alat pemerintah
pusat, Kepala Daerah bertugas
memegang pimpinan kebijaksanaan
politik polisional di daerahnya,
menyelenggarakan koordinasi antar
jawatan pemerintah pusat di daerah,
melakukan pengawasasan, dan
menjalankan tugas-tugas lain yang
diserahkan kepadanya oleh
pemerintah pusat. Sebagai alat
pemerintah daerah, Kepala Daerah
mempunyai tugas memimpin
pelaksanaan kekuasaan eksekutif
pemerintahan daerah, menanda-
tangani peraturan dan keputusan
yang ditetapkan DPRD, dan
mewakili daerahnya di dalam dan di
luar pengadilan.
Dengan berlakunya UU
18/1965, beberapa peraturan
perundang-undangan dicabut , yaitu
:
a. UU Nomor 1 Tahun 1957;
b. Penpres Nomor 1 Tahun 1959;
c. Penpres Nomor 2 Tahun 1960;
d. Penpres Nomor 5 Tahun 1960
e. Penpres Nomor 7 Tahun 1965.
6. Periode Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 Tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Di Daerah
Sebagai penyempurnaan
terhadap penyelenggaraan peme-
rintahan daerah, pada tahun 1974
pemerintah mengesahkan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan
di Daerah. Undang-undang ini
merupakan tonggak sejarah
berkuasanya orde baru dalam
mengatur penyelenggaraan peme-
rintahan daerah.
UU 5/1974 menggunakan
pendekatan azas dekonsentrasi, azas
desentralisasi dan azas tugas
pembantuan. Berdasarkan asas
66
desentralisasi, lahirlah daerah-daerah
otonom yang disebut Daerah
(dengan huruf D besar). Daerah
berhak mengatur dan mengatur
rumah tangganya sendiri. UU 5/1974
membagi NKRI menjadi dua
tingkatan daerah otonom, yaitu
Daerah Tingkat I dan Daerah
Tingkat II.
Disamping itu berdasarkan
pada asas dekonsentrasi dibentuk
wilayah-wilayah administrada
dengan sebutan Wilayah untuk
entitas pemerintahan di daerah yang
merupakan kepanjangan dari
pemerintah pusat. Willayah-wilayah
tersebut tersusun secara hierarkis
vertikal, yaitu :
a. Provinsi/Ibukota Negara
b. Kabupaten/Kotamadya
c. Kota Administratif
d. Kecamatan
Titik berat otonomi daerah
terletak pada Daerah Ttingkat II
karena Daerah Tingkat II
berhubungan langsung dengan
masyarakat sehingga lebih mengerti
dan memenuhi aspirasi masyarakat.
Prinsip otonomi dalam UU ini
adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
7. Periode Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999
Pelaksanaan UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dimulai pada Januari 2000
dengan diterapkannya pemilihan
Kepala Daerah dengan sistem paket
dan langsung dilakukan oleh DPRD
tanpa campur tangan pemerintah
pusat, dalam hal ini Departemen
Dalam Negeri. Penetapan Peraturan
Daerah juga sudah dinyatakan final
di daerah, tidak lagi memerlukan
pengesahan dari Depdagri. Dalam
hal pemilihan Kepala Daerah
pemerintah pusat hanya membuat
Surat Keputusan Presiden, yang
untuk Kepala Daerah Kabupaten dan
Kota didelegasikan kepada Menteri
Dalam Negeri. Dalam hal peraturan
daerah, pemerintah pusat hanya
menerima laporan dari tiap-tiap
daerah untuk dinilai apakah
kandungan isinya tidak bertentangan
dengan aturan yang lebih tinggi dan
atau yang bertentangan dengan
kepentingan umum. Dengan dua
kelonggaran itu diharapkan DPRD
dan masyarakat di daerah dapat
secara jernih dan obyektif
menghadirkan Kepala Daerah
dengan intergritas yang teruji,
kompetensi yang tinggi dan diakui,
67
serta komitmen yang layak
dipercaya. DPRD dan Kepala
Daerah diharapkan dapat melahirkan
Perda-Perda yang secara langsung
atau tak langsung dapat
mempercepat peningkatan kualitas
pelayanan publik, perluasan
kesempatan bagi masyarakat untuk
memberdayakan diri mereka sendiri
dan peningkatan kesejahteraan
rakyat.
Undang-undang Nomor 22
tahun 1999 memperkuat fungsi
DPRD. DPRD mempunyai
kewenangan untuk memilih dan
memberhentikan Kepala Daerah.
Undan-undang Nomor 22/1999
hanya menunjuk Gubernur sebagai
pelaksana dekonsentrasi disamping
sebagai penyelenggara otonomi
daerah di tingkat provinsi. Undang-
undang ini juga mengatur asas
pembantuan dan juga pengaturan
penyelenggaraan pemerintahan desa.
Pada prinsipnya UU 22/1999
mengatur penyelenggaraan pemerin-
tahan daerah yang lebih
mengutamakan desentralisasi. Pokok
pikiran dalam penyusunan UU
22/1999 adalah sebagai berikut:
a. Sistem ketatanegaraan
Indonesia wajib menjalankan
prinsip pembagian kewenangan
berdasarkan asas desentralisasi
dalam kerangka NKRI.
b. Daerah yang dibentuk
berdasarkan asas desentralisasi
dan dekonsentrasi adalah
daerah provinsi sedangkan
daerah yang dibentuk
berdasarkan asas desentralisasi
adalah daerah kabupaten dan
daerah kota.
c. Daerah di luar provinsi dibagi
dalam daerah otonomi.
d. Kecamatan merupakan pe-
rangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22
tahun 1999 banyak membawa
kemajuan bagi daerah dan
peningkatan kesejahteraan ma-
syarakat. Tetapi sesuai perkem-
bangan keinginan masyarakat
daerah, ternyata UU ini juga
dirasakan belum memenuhi rasa
keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakat.
Adapun pelaksanaan UU No.
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah baru dimulai pada
Januari 2001 dengan diterapkannya
desentralisasi fiskal yang memberi
keleluasaan kepada daerah untuk
merancang dan melaksanakan
penerimaan dan pengeluarannya.
68
Bantuan atau alokasi anggaran
daerah yang diambil dari APBD
sebagian besar diberikan dalam
bentuk uang, bukan proyek seperti
yang dilakukan di masa sebelum
otonomi. Alokasi itu secara umum
dikenal sebagai Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi Khusus, dan
Dana Bagi Hasil. Sejak berlakunya
UU. 25/1999 ini terjadilah
pembesaran sektor penerimaan
APBD. Komponen pembayaran gaji
memang termasuk dalam DAU,
bahkan mengambil porsi terbesar,
namun secara umum penerimaan
daerah meningkat secara signifikan.
Keleluasaan daerah merancang
alokasi dana pembangunan dan
menetapkan prioritas pembiayaan
diharapkan dapat mempercepat
perluasaan dan peningkatan
kesejahteraan.
8. Periode Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober
disahkan UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Uu
32/2004 merupakan koreksi total
terhadap UU 22/1999, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 239 yang
dengan tegas menyatakan bahwa
dengan berlakunya UU ini, UU No.
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dinyatakan tidak berlaku
lagi. UU baru ini memperjelas dan
mempertegas hubungan hierarki
antara kabupaten dan provinsi,
antara provinsi dan pemerintah pusat
berdasarkan asas kesatuan
administrasi dan kesatuan wilayah.
Pemerintah pusat berhak melakukan
kordinasi, supervisi, dan evaluasi
terhadap pemerintahan di bawahnya,
demikian juga provinsi terhadap
kabupaten/kota. Di samping itu,
hubungan kemitraan dan sejajar
antara Kepala Daerah dan DPRD
semakin dipertegas dan diperjelas.
Asas pemerintahan daerah
yang digunakan dalam UU Nomor
32/2004 adalah :
a. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah
digunakan asas desentralisasi
dan tugas pembantuan.
b. DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat dan
merupakan unsur (bagian
integral) dari pemerintahan
daerah.
c. Otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban
daerah untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan
69
masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan.
d. Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dipilih secara
langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil oleh
rakyat di daerah bersangkutan.
P E N U T U P
Perjalananan pelaksanaan oto-
nomi daerah di Indonesia dinamikanya
sangat tinggi, mengalami pasang surut
yang sangat fluktuatif. Situasi politik,
keamanan, keuangan negara dan
kepemimpinan nasional yang sedang
berkuasa merupakan faktor-faktor yang
sangat signifikan mempengaruhi corak
ragam, kedalaman dan intensitas
pelaksanaan otonomi daerah.
Secara regulasi juga kita
temukan fakta bahwa kita tidak pernah
konsisten menerapkan peraturan
perundang-undangan. Kita dengan
mudahnya tidak melaksanakan atau
bahkan melanggar peraturan
perundangan yang telah dibuat.
Memasuki era reformasi ada
kemajuan yang lumayan terkait dengan
pelaskanaan otonomi daerah. Ada
political will yang nyata dari negara
untuk mengimplementasikan otonomi
daerah. Hal ini antara lain dapat kita
lihat dari dibuatnya berbagai regulasi
dan ditetapkannya secara jelas
hubungan keuangan antara pusat dengan
daerah, sehingga otonomi daerah
menjadi semakin bermakna.
Namun ketidakpuasan masih
banyak kita temukan, bahkan ada
kritikan yang sangat tajam bahwa
otonomi daerah menjadi penyebab
terjadinya korupsi di berbagai daerah.
Sementara di lain pihak ada pertanyaan
besar yang senantiasa menunggu
jawaban pasti, yaitu: sudahkan otonomi
daerah berdampak postif terhadap
upaya-upaya untuk mewujudkan tujuan
negara, yaitu terwujdunya masyarakat
yang adil dan makmur ? Menjadi PR
kita bersama tentunya untuk
mewujudkannya.
--------------------------
DAFTAR PUSTAKA :
BN. Marbun, Otonomi Daerah 1945 –
2010 Proses dan Realita,
Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2010
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi
Daerah di Negara Republik
Indonesia,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2010
70
PEMBELAJARAN DARI BOCORNYA RAHASIA NEGARA
Oleh :
Didik Singgih Hadi
Abstrak
Perlindungan atas kerahasiaan dokumen terletak pada keaslian, tempat
penyimpanan, dan pelakunya. Pelaku dalam kerahasiaan dokumen ada pada
pembuat, penerima, dan penjaga. Kerahasiaan dokumen pada peristiwa Supersemar
terletak pada Soekarno, Soeharto, dan Trio jenderal (Basuki Rachmad, Amir
Machmud, dan M Yusuf). Sedangkan terjadinya invasi Amerika Serikat beserta
sekutunya ke Irak adalah kesalahan mengemas tesis Ibrahim Al Marasi yang tidak
rahasia ke dalam kemasan dokumen rahasia yang mengakibatkan mudah sekali
bocor. Bocornya rahasia Negara di Amerika Serikat ketika pada tahun 80an
memberikan senjata anti tank kepada Iran dan memberi bantuan kepada
pemberontak Sandinista di Nicaragua. Hal yang disoroti disini adalah skandal
Amerika dengan Iran. Peristiwa Edward Snowden yang membocorkan rahasia
penyadapan terhapan negara – negara di dunia adalah karena Amerika Serikat
alpa dengan memperkerjakan tenaga kontrak untuk mengamankan rahasia negara
Kata kunci : Dokumen, Rahasia Negara
I. PENDAHULUAN
“ … Negara tanpa arsip ibarat tentara tanpa senjata, dokter tanpa obat, petani tanpa benih, tukang tanpa alat. Arsip adalah suatu kesatuan yang utuh, dapat diibaratkan sebagai tanah yang kokoh sebagai pijakan dalam melakukan aktivitas kenegarawanan dalam mengurusi bangsa. Arsip merupakan sosok yang diam, tidak memihak, dan dapat diandalkan. Arsip merupakan saksi abadi dalam pelaksanaan kerja keras untuk kemuliaan dan pertumbuhan suatu bangsa” (R.J. Alfaro, President of Panama, 1937)
Terjadinya suatu peristiwa
akan membuahkan suatu hikmah.
Peristiwa terjadinya kebocoran
rahasia negara di dunia akhir
akhir ini membuahkan suatu
proses pembelajaran yang sangat
berharga. Kemasan atas
kerahasiaan negara ada dalam
arsip. Bagaimana arsip itu
dikelola? Dan apa makna dari
arsip itu sendiri? Dikemukakan
suatu kutipan yang sangat
monumental.
71
Kutipan di atas
menunjukkan betapa pentingnya
arsip. Arsip memang penting bagi
pelaksanaan kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan
kehidupan kebangsaan. Ia
merupakan tulang punggung
manajemen, bukti akuntabilitas
kinerja organisasi dan
aparaturnya, serta sebagai bukti
sah di pengadilan. Karena begitu
pentingnya sehingga ia perlu
diatur dengan undang-undang.
Di Indonesia rahasia negara
dapat dikatakan terkemas rapi
tidak bocor. Hal tersebut karena
para ”penjaga kerahaian negara”
sedemikian militan untuk
mengamankannya. Namun kita
melihat adanya kebocoran negara
yang begitu ramai dibicarakan di
pertengahan hingga akhir tahun
2013 dan disambung dengan
pemberitaan yang gencar dimedia
elektronika dan media cetak
hingga kini. Kita kenal sosok
Edward Snowden seorang
pekerja kontrak di National
Security Agency (NSA) Amerika
Serikat yang menghebohkan
dunia. Hal ini tidak lepas dari
pengelolaan arsip.
Di Indonesia sendiri
pengelolaan arsip sedemikian
rapi tidak mudah bocor. Hal ini
karena bangsa kita sedemikian
peduli. Karena sedemikian
pedulinya, tidak tanggung-
tanggung ia diatur oleh 2 (dua)
undang-undang, yaitu Undang-
undang Nomor 43 tahun 2009
tentang Kearsipan dan Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1997
tentang Dokumen Perusahaan.
Namun sayang, walaupun dia
telah diatur oleh dua undang-
undang bahkan dalam gegap
gempita pemberantasan Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN),
pelaksanaan good governance
dan clean government,
masyarakat madani dan otonomi
daerah, arsip masih saja
dipinggirkan dan dimarginalkan.
Ia tidak dihargai sebagaimana
mestinya. Ia hanya dianggap
sebagai pertinggal atau kertas
usang dan hasil samping
administrasi. Keadaan seperti ini
tentu tidak dapat dibiarkan terus
menerus.
Dalam rangka memini-
malisasikan efek dipinggirkan
dan memperkokoh fungsi
arsipnya Negara Kesatuan
72
Republik Indonesia telah
memperbaharui arsip dengan
Undang Undang yang baru yaitu
Undang Undang No 43 Tahun
2009 tentang Kearsipan.
Sedangkan UU yang lama adalah
Undang Undang no 7 Tahun
1971 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kearsipan. Pada
UU Kearsipan yang lama hanya
memuat 13 pasal dan sangat
sederhana. Sedang Undang
Undang yang baru memuat 92
pasal dan sangat komprehensif.
Sebelum jauh membahas
tentang arsip yang dipergunakan
untuk membongkar rahasia,
terlebih dahulu diketengahkan
tentang definisi arsip. Menurut
Undang Undang No 43 Tahun
2009 tentang kearsipan yang
dimaksud arsip adalah Rekaman
kegiatan atau peristiwa dalam
bernbagai bentuk dan media
sesuai dengan perkembangan
teknologi informasi dan
komunikasi yang dibuat dan
diterima oleh Negara, Pemerintah
Daerah, Lembaga Pendidikan,
Perusahaan, Organisasi Politik,
Organisasi Kemasyarakatan, dan
perseorangan dalam pelaksanaan
kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Sedangkan dalam UU
Nomor 7 tahun 1971 tentang
Ketentuan ketentuan Pokok
Kearsipan yang dimaksud arsip
adalah naskah-naskah yang
dibuat dan diterima oleh
Lembaga-lembaga Negara,
Badan-badan Pemerintah,
Lembaga/Badan Swasta dan
Perorangan dalam bentuk corak
apapun dalam keadaan tunggal
maupun berkelompok dalam
rangka pelaksanaan kegiatan
pemerintahan dan kehidupan
kebangsaan
Dalam UU Nomor 8 tahun
1997 yang dimaksud arsip adalah
dokumen. Definisinya Dokumen
perusahaan adalah data, catatan
dan atau keterangan yang dibuat
atau diterima oleh perusahaan
dalam rangka pelaksanaan
kegiatannya, baik tertulis di atas
kertas atau sarana lain maupun
terekam dalam bentuk corak
apapun yang dapat dilihat, dibaca
atau didengar
Dalam KUHAP pasal 187
yang dimaksud dengan arsip
adalah surat. Sebagaimana dalam
ayat 1. Surat yang dibuat atas
73
sumpah jabatan. Ayat 2 Surat
yang dikuatkan dengan sumpah.
Sedangkan bentuk suratnya
seperti Berita Acara, Surat yang
dibuat menurut Ketentuan
Perundang-undangan, Surat
Keterangan, Surat lain yang
berhubungan dengan alat bukti.
Dalam ISO 15489 tentang
Record Management yang
dimaksud arsip adalah document
is recorded information or object
can be treated as a unit
Peter Walne (1988) yang
dimaksud dengan arsip adalah
records. Records is “recorded
information regardless of form or
medium, created, received and
maintained by an agency,
institution, organization or
individual in pursuance of its
legal obligation or in the
transaction of its business”
Terminologi Internasional
menyebut arsip dengan record
yaitu arsip yang masih dinamis.
Dan Archive yaitu arsip statis.
Secara sederhana arsip
dapat diartikan sebagai /rekaman
kejadian atau peristiwa, naskah-
naskah, dokumen, data, catatan,
keterangan, surat, informasi yang
direkam, record, archive.
Bentuk atau corak arsip
dibagi menjadi dua yaitu arsip
Human Readable dan Arsip
Machine Readable. Arsip Human
Readable atau arsip bacaan
manusia disebut juga arsip kertas,
arsip konvensional, arsip tekstual,
arsip paperfull. Sedangkan Arsip
Machine readable atau arsip
bacaan mesin disebut juga arsip
elektronika, arsip modern, arsip
nontekstual, arsip paperless.
II. MAKSUD DAN TUJUAN
Memperjelas arsip dan
ilmu arsip sebagai alat untuk
menganalisis dan menyelidiki
suatu peristiwa. Ilmu arsip tidak
hanya terbatas untuk hal-hal rutin
seperti pengurusan surat,
penataan berkas, penyusutan
hingga pengabadian arsip.
Namun lebih dinamis untuk
dipergunakan pada peristiwa
peristiwa yang aktual.
III. PENYAJIAN DATA
Arsip menyimpan informasi
yang bisa dibuka untuk
keperluan penyidikan dan
sebaliknya mempunyai sifat yang
ditutup untuk keperluan
74
kerahasiaan. Atau ilmu arsip itu
sendiri bisa dipergunakan
sebagai alat penyidikan.
“Supersemar” merupakan
peristiwa besar di negara kita.
Bagaimana kejelasan Supersemar
? Sampai sekarang tidak jelas.
Senjata Pemusnah Masal isu
yang dihembuskan Inggris dan
Amerika sebagai alat untuk
menginvasi Irak sehingga hancur
lebur berasal dari dokumen yang
tidak valid. Skandal Iran-Contra
yang melambungkan Ronald
Reagen menjadi Presiden
Amerika Serikat terkuak dari
penelusuran arsip.
Dilain fihak Amerika
Serikat sedemikian kalang kabut
ketiga sejumlah negara
mengklaim atas kerahasian
negaranya terbongkar. Khusus
pembahasan tentang kasus ini
tidak bisa lepas dari peran
Edward Snowden.
Permasalahannya seperti ini.
Sejak Edward Snowden
membocorkan sejumlah
dokumen dari National Security
Agency (NSA) pada awal Juni
2013, seluruh dunia dibuat
terhenyak. Pasalnya, dokumen
itu ternyata mengungkap
berbagai data penting yang
berkaitan dengan negara-negara
lain, termasuk Indonesia.
Dokumen itu mengungkap
bahwa ternyata jaringan telepon
Presiden SBY dan sejumlah
pejabat penting disadap oleh
Australia.
Selain Indonesia, beberapa
negara penting juga disebut-
sebut si pembocor rahasia
tersebut. Negara itu di antaranya
Hong Kong, Cina, dan Amerika
Latin. Berikut pembocoran
rahasia yang dilakukan Snowden
mengenai negara-negara tersebut,
seperti dikutip dari laman Al
Jazeera.
14 Juni 2013
Hong Kong dan Cina
South China Morning
Post menerbitkan informasi yang
diungkap Edward Snowden
tentang peretasan NSA terhadap
jaringan komputer sipil di Hong
Kong dan Cina Selatan.
16 Juni 2013
Amerika dan Inggris
memantau diplomat asing
Serangkaian artikel di The
Guardian mengungkapkan bahwa
75
AS dan Inggris memata-matai
para pemimpin asing dan
diplomat di KTT G20 pada tahun
2009. Mereka juga menyadap
Kementerian Luar Negeri Afrika
Selatan dan berencana untuk
memata-matai utusan berbagai
negara dalam Commonwealth
Summit 2009.
29 Juni 2013
Amerika menyadap Uni Eropa,
PBB, dan kedutaan
Laura Poitras, pembuat film
dokumenter, di mana dia terbang
ke Hong Kong dengan Glenn
Greenwald untuk bertemu
Edward Snowden, melaporkan
kebocoran NSA. Dalam sebuah
artikel di harian Jerman, Der
Spiegel, dia merinci pengawasan
elektronik yang dilakukan AS
dan mengganggu sejumlah
kantor Uni Eropa di New York,
Washington, dan Brussel.
Keesokan harinya
Guardian juga melaporkan
bahwa AS melakukan
pengawasan terhadap Kedutaan
Besar Prancis, Italia, Yunani,
Jepang, Meksiko, Korea Selatan,
India, dan Turki. Sebuah laporan
Poitras berikutnya menyebutkan
bahwa NSA bahkan menyadap
PBB dan Badan Energi Atom
Internasional.
30 Juni 2013
Sambungan data Jerman
Dalam sebuah harian
Jerman, Der Spiegel, Poitras
mengungkap bahwa NSA juga
memata-matai 500 juta
sambungan data di Jerman setiap
bulannya.
9 Juli 2013
NSA mendengarkan panggilan
Amerika Latin
Glen Greenwald penulis
artikel di O Globo
mengungkapkan pengawasan
NSA pada sejumlah warga di
negara Amerika Latin seperti
Meksiko, Venezuela, Kolombia,
Ekuador, Argentina, Panama,
Kosta Rika, Nikaragua,
Honduras, Paraguay, Chili, Peru,
dan El Salvador. AS tampaknya
tengah mencari informasi
mengenai penjualan senjata,
minyak, energi, dan perdagangan
di wilayah ini.
1 September 2013
76
NSA memata-matai Presiden
Brasil dan Meksiko
Dalam sebuah berita di
majalah berita TV mingguan
Brassil Fantasticco, wartawan
Glenn Greenwald mengungkap-
kan bahwa NSA memata-matai
Presiden Brazil Dilma Rousseff
dan Presiden Meksiko Peña
Nieto.
20 Oktober 2013
NSA memata-matai (mantan)
Presiden Meksiko
Der Spiege mengungkapkan
bahwa NSA menyusup ke
akun e-mail mantan Presiden
Meksiko Felipe Calderon dan
rekening milik menteri kabinet.
21 Oktober 2013
AS memantau warga,
perusahaan, dan diplomat
Prancis
Serangkaian dokumen yang
diterbitkan oleh harian Prancis
Le Monde mengungkapkan
adanya pengawasan NSA pada
warga, perusahaan, dan
diplomat Prancis. NSA
mengumpulkan lebih dari
70.300.000 catatan telepon dari
warga Prancis selama 30 hari.
Mereka juga melakukan
pemantauan sebagian besar lalu
lintas Internet dari dua
perusahaan telekomunikasi
terbesar di Prancis,
yakni Wanadoo dan Alcatel.
23 Oktober 2013
Amerika memata-matai
Kanselir Jerman
Kanselir Jerman Angela
Merkel mengeluh kepada
Presiden Barack Obama setelah
mengetahui bahwa intelijen AS
mungkin telah memantau telepon
genggamnya. Merkel menuntut
klarifikasi langsung dari Obama.
24 Oktober 2013
NSA mendengarkan panggilan
telepon 35 pemimpin dunia
Dokumen baru yang
diterbitkan oleh The
Guardian menunjukkan bahwa
NSA memantau panggilan
telepon dari 35 pemimpin dunia
pada tahun 2006.
25 Oktober 2013
NSA memata-matai pemimpin
dan warga Spanyol.
Harian Spanyol, E Pats dan
Ei Mundo mengungkapkan
77
pengawasan NSA pada para
pemimpin dan warga negara
Spanyol. Salah satu dokumen
yang ditunjukkan kepada El
Mundo menjelaskan bahwa NSA
mengumpulkan 60 juta panggilan
telepon Spanyol selama 30 hari
pada akhir 2012 dan hingga awal
2013.
27 Oktober 2013
Ada mata-mata di 80 kedutaan
besar AS
Sebuah laporan baru di Der
Spiegel menunjukkan bahwa
NSA memiliki tim pengawasan
yang ditempatkan di 80
Kedutaan Besar AS di seluruh
dunia, termasuk 19 di Eropa.
Menurut laporan itu, para
pengintai mengaku sebagai
diplomat. Artikel tersebut juga
merinci penggunaan Internet
canggih dan peralatan telepon
untuk pemantauan tersembunyi
di kedutaan.
30 Oktober 2013
AS memantau Vatikan
Tanpa mengutip sumber,
laporan Panorama menyebutkan
bahwa NSA memata-matai
Vatikan, termasuk pemantauan
pemilihan Paus Fransiskus.
31 Oktober 2013
Mata-mata juga ditempatkan
di kedutaan Australia
Dokumen yang dibocorkan
ke Sydney Morning
Herald mengungkapkan bahwa
Australia's Defence Signals
Directorate memiliki tim
pengawas yang ditempatkan di
seluruh kedutaan Australia di
seluruh Asia dan Pasifik. Tim
pengawas ini akan berbagi data
dengan AS, Kanada, Inggris, dan
Selandia Baru.
Di lain alur cerita Sosok
Edward Snowden dianggap
sedemikian heroik, karena dia
diusulkan mendapat hadiah nobel
perdamaian tahun ini. Inilah
kutipan usulan itu:
Anggota parlemen
Norwegia pada Rabu
mencalonkan mantan pegawai
kontrak Badan Keamanan
Nasional Amerika Serikat (NSA)
Edward Snowden sebagai
penerima hadiah Nobel
Perdamaian 2014. Anggota
parlemen tersebut, Baard Vegar
Solhjell, menganggap
pembocoran dokumen oleh
78
Snowden membuat dunia
menjadi lebih aman. Solhjell,
mantan menteri pendidikan dan
lingkungan untuk partai Kiri
Sosialis, mengatakan
pembocoran oleh Snowden
memperkaya pemahaman umum
menyangkut negara penyadap
warga negaranya sendiri.
"Tidak ada keraguan bahwa
tindakan yang dilakukan Edward
Snowden mungkin telah merusak
kepentingan keamanan sejumlh
negara dalam waktu singkat,"
kata Solhjell serta rekannya
sesama anggota parlemen, Snorre
Valen, dalam pernyataan
bersama. "Namun demikian,
kami teryakinkan bahwa debat
publik dan perubahan-perubahan
kebijakan yang mengikuti
pembocoran yang dilakukan
Snowden itu telah membawa
aturan dunia yang lebih damai
dan stabil," kata mereka.
"Tindakan yang dilakukannya
menimbulkan dampak yang
membawa kembali kepercayaan
dan keterbukaan sebagai prinsip
utama dalam kebijakan-
kebijakan keamanan global."
Snowden, yang saat ini tinggal di
Rusia dengan status suaka
sementara --setelah membongkar
rahasia pemerintah AS soal
program penyadapan serta
kegiatan-kegiatan lainnya,
menghadapi tuntutan kejahatan
di Amerika Serikat. Snowden
pergi meninggalkan AS tahun
lalu ke Hong Kong dan
kemudian ke Rusia.
Ribuan orang di seluruh
dunia memiliki kelayakan untuk
dicalonkan sebagai penerima
Hadiah Nobel Perdamaian,
termasuk anggota parlemen
negara manapun. Untuk hadiah
Nobel Perdamaian tahun lalu,
tercatat ada 259 calon penerima.
Nobel Perdamaian itu sendiri
akhirnya dimenangi oleh
Organisasi untuk Pelarangan
Senjata Kimia atas upaya badan
tersebut menghapuskan
persenjataan kimia Suriah.
Komite Nobel Norwegia akan
mengumpulkan calon-calon
penerima hadiah tahun 2014
hingga tanggal 1 Februari dan
menyelesaikan daftar kandidat
pada tanggal 4 Maret. Pada
tanggal tersebut, komite akan
melakukan pertemuan
pertamanya tahun ini dan para
anggota komite menyerahkan
79
daftar calon mereka. Pemenang
Hadiah Nobel Perdamaian akan
diumumkan pada tanggal 10
Oktober. Kita tunggu apakah
Edward Snowden mendapatkan
Nobel perdamaian yang
dimaksud?
Hal yang unik dilakukan
Amerika Serikat dan Inggris
dalam mencuri dokumen rahasia
adalah dengan mempergunakan
jalur teknologi hand phone.
Sasaran yang dituju adalah
pengguna smartphone.
Berita mengenai digunakannya
aplikasi game popular Angry
Birds sebagai sarana mata-mata
oleh National Security Agency
(NSA) dan Government
Communications Headquarters
(GCHQ) cukup membuat orang
terperangah.
Dalam informasi tersebut
dijelaskan bahwa dengan
menggunakan game tersebut,
maka kedua badan nasional dari
dua negara itu dapat memanen
data pribadi pengguna perangkat
mobile. Namun bagaimana cara
kedua badan nasional itu
melakukannya?
Dikutip dari Telegraph
(28/01), dalam penjelasan
Edward Snowden, semua orang
yang menggunakan perangkat
mobile sebagai sarana untuk
publikasi diri di jejaring sosial
akan dapat dengan mudah dicuri
datanya. Hubungannya dengan
game Angry Birds adalah karena
game satu ini menjadi populer
dan ketenarannya santa tinggi di
banyak negara di tahun-tahun
belakangan ini.
Seperti halnya proses di
dalam sebuah smartphone, setiap
orang yang memainkan game
Angry Birds (yang terhubung
dengan internet) secara tidak
langsung akan terkoneksi dengan
server pusat. Dalam proses
koneksi tersebut, ada teknik
khusus yang digunakan oleh
NSA dan GCHQ untuk
'mencegat' data itu di tengah
perjalanan sebelum masuk ke
server pusat. Thomas Labarthe,
Managing Director untuk Eropa
di firma keamanan mobile
Lookout, menjelaskan bahwa
sebagian besar aplikasi tidak
menggunakan enkripsi ketika
transmisi informasi atau hanya
mengenkripsi detail tertentu saja
seperti transaksi keuangan.
Alasan lain aplikasi smartphone
80
mungkin lebih 'bocor'
dibandingkan platform lain
adalah karena pengguna
perangkat mobile tidak terlalu
peduli dengan sisi keamanan
gadget mereka. "Ketika
pengguna menginstal aplikasi
mereka biasanya akan disajikan
dengan pesan peringatan.
Sayangnya, kebanyakan
orang tidak membaca peringatan
tersebut dan langsung
menggunakan aplikasi itu," kata
Michael Darlington, Technical
Director dari Global Cloud
Security Company Trend Micro.
Ketekunan penyadapan yang
dilakukan Amerika serikat sangat
menakjubkan. Dalam seharinya
bisa menyadap 200 juta sms.
Segala cara digunakan NSA
untuk menguntit siapapun yang
dikehendakinya. Hal ini
termasuk dengan menyadap 200
juta SMS per harinya yang
beredar di dunia lewat program
Dishfire. Seperti yang dilansir
oleh Mashable (16/1), menurut
laporan yang diungkap oleh The
Guardian, disebutkan bahwa
agensi mata-mata Amerika
Serikat ini mengumpulkan pesan
tersebut untuk membongkar
berbagai data personal dari orang
yang ingin disadapnya. Berbagai
data seperti lokasi, aktivitas
keuangan, dan detail kontak
pribadi dari sang pengirim dan
penerima SMS berhasil dicuri
berkat aksi ini.
NSA sendiri menganggap
bahwa SMS merupakan ladang
emas yang tidak boleh disia-
siakan. Hal ini dikarenakan
penggunaan SMS di dunia makin
meningkat dan isi SMS
kebanyakan selalu padat dan
kaya. Oleh karenanya, NSA
kemudian serius untuk membaca
banyak sekali SMS yang
dikirimkan pengguna ponsel tiap
harinya. Bahkan, menurut
laporan dari James Ball, editor
The Guardian, pada suatu hari di
April 2011, NSA dilaporkan
membaca setidaknya 194 juta
SMS yang terkirim pada hari itu.
Data ini sendiri ternyata juga
bisa diakses oleh agensi mata-
mata lain yang jadi sekutu
Amerika Serikat. Nama agensi
yang ketahuan ikut membaca
data SMS tersebut adalah GCHQ
Inggris. Menanggapi hal ini,
GCHQ masih tidak mau
berkomentar. "Semua yang kami
81
lakukan tidak bertentangan
dengan hukum," kilah juru bicara
GCHQ.
Di lain pihak perusahaan
yang mngeluarkan Hand phone
yang berteknologi smartphone
mengklaim bahwa teknologinya
tidak mudah disadap. Mengutip
dari pengakuan Edward
Snowden, National Security
Agency (NSA) milik Amerika
Serikat mampu melakukan
penyadapan terhadap berbagai
macam perangkat elektronik,
namun ada satu perangkat mobile
yang diklaim anti-sadap. Mulai
dari telepon rumah atau PSTN
sampai dengan internet, tak lepas
dari pengawasan dan aksi sadap-
menyadap NSA. Bahkan,
walaupun dikecam banyak
negara, NSA tetap melakukan
aksinya dengan alasan ingin
memerangi terorisme.
Terlepas klaim dari
Perusahaan smartphone yang
mengklaim aman dari
penyadapan, hal yang factual
adalah keberhasilan NSA
menyadap 200 juta sms perhari
perlu diperhitungkan. Sebuah
komisi independen yang
dipimpin oleh mantan Menteri
Luar Negeri Swedia, Carl, Bildt,
akan menyelidiki tentang
kelanjutan masa depan internet
yang disebabkan oleh bocoran
file NSA Edward Snowden.
Penyelidikan ini akan dilakukan
dengan perkiraan waktu selama 2
tahu ke depan dan diumumkan
pada Forum Ekonomi Dunia di
Davos. Perlu diketahui,
kebebasan serta sensor internet di
setiap negara menjadi fokus
utama dalam hal ini, seperti yang
dikutip dari The Guardian
(22/1).
Evolusi yang cepat dari internet
telah membuat semua nya
berkembang pesat dengan model
fleksibel. Tapi semakin ke sini,
semakin banyak serangan.
Sebelumnya, Tim Berners-Lee,
penemu Word Wide Web (www),
mengungkapkan bahwa ada
ancaman besar pada internet. Dia
juga mengatakan bahwa
ancaman tertentu ini diajukan
oleh beberapa pihak yang
mencoba terhubung dengan
internet secara diam-diam.
Berdasarkan penyelidikan ini,
pihak Bildt menyatakan dengan
tegas bahwa internet sebentar
lagi akan benar-benar berubah.
82
Sebab penyelidikan tersebut akan
menguak masalah lain yang lebih
penting dan belum terjamah.
NSA pun dikatakan bukan satu-
satunya lembaga pemerintah
yang melanggar privasi individu
di seluruh dunia.
Jumlah dokumen (SMS)
yang disadap Amerika perhari
sebanyak 200 juta. Dari jumlah
yang disadap tersebut Edward
Snowden berhasil
membocorkannya hanya
sebanyak 1.7 juta dokumen.
Jumlah yang relative kecil bila
dibandingkan dengan jumlah
yang disadap Amerika. Namun
dampak yang timbul sedemikian
menghebohkan dunia. Kepala
Komite Intelijen Amerika Serikat
Mike Rogers mengatakan
pembocor rahasia Badan
Keamanan Amerika (NSA)
Edward Snowden telah
mengunduh 1,7 juta dokumen
rahasia dari intelijen Amerika.
Rogers mengatakan itu setelah
melihat laporan rahasia
Pentagon.
Rogers menyatakan
dokumen-dokumen rahasia yang
diambil Snowden itu banyak
menyangkut soal rahasia militer
dan bisa membuat sejumlah
orang berada dalam risiko seperti
dilansir surat kabar Russia
Today, Jumat (10/1). "Laporan
ini membenarkan ketakutan
terbesar saya. Aksi Snowden
telah membuat orang-orang di
militer berada dalam risiko
mematikan. Perbuatan dia bisa
membahayakan tentara di
lapangan," ujar Rogers dalam
sebuah pernyataan. Sebelumnya
Rogers pernah bergurau dengan
mengatakan Snowden
seharusnya masuk dalam daftar
target militer yang harus
dibunuh.
Snowden mengunduh
semua dokumen yang kemudian
dia bocorkan ke publik saat dia
bergaji Rp 1,2 miliar per tahun
ketika bekerja sebagai pegawai
kontrak di fasilitas intelijen di
Hawaii tahun lalu. Koran the
Washington Post melaporkan
jika benar Snowden mengunduh
1,7 juta dokumen maka dia
diperkirakan baru membocorkan
sebagian kecil informasi rahasia
kepada para wartawan.
Dokumen yang disenangi
Edward Snowden untuk
dibocorkan adalah dokumen
83
tentang Amerika dan Israel.
Mantan kontraktor badan
intelijen Amerika Serikat itu,
memiliki lebih banyak rahasia
untuk dibeberkan terkait Israel.
Ini menurut seorang wartawan
yang pertama kali mengungkap
kebocoran itu kepada dunia. Di
antara sejumlah tuduhan yang
dibeberkan Snowden tahun lalu
adalah bahwa Badan Keamanan
Nasional Amerika (NSA) dan
rekannya dari badan itelijen
Inggris GCHQ pada 2009 telah
menyasar sebuah alamat surat
elektronik yang terdaftar sebagai
milik Perdana Menteri Israel saat
itu Ehud Olmert dan memantau
surat elektronik para pejabat
senior pertahanan Israel, seperti
dilansir Reuters, Rabu (8/1).
Israel meremehkan
pengungkapan itu. Namun
Perdana Menteri Benjamin
Netanyahu mengatakan dia telah
memerintahkan hal tersebut
untuk diperiksa dan mengatakan
bahwa ada hal-hal yang tidak
boleh dilakukan antara sekutu.
Glenn Greenwald, seorang
wartawan koran asal Inggris the
Guardian yang bertemu langsung
dengan Snowden, yang menjadi
buronan, dan telah menulis
banyak artikel di surat kabar
berdasarkan bahan-bahan dari
Snowden, ditanya dalam
wawancara televisi Israel apakah
mantan kontraktor itu memiliki
lebih banyak materi terkait
Israel.
Pembahas kisah yang
belum diterbitkan, tapi ini jelas
kasus yang masih memiliki
banyak kisah sangat signifikan
yang tersisa untuk disiarkan.
Dokumen-dokumen ini selama
tujuh bulan mengingat jumlah
dan kerumitannya, ini bukan
waktu yang lama. Jelas ada kisah
yang melibatkan Timur Tengah,
yang melibatkan Israel.
Pelaporan terus terjadi
bersamaan dengan peristiwanya.
Bulan lalu, sejumlah
anggota kabinet Israel
mengatakan berita tentang aksi
mata-matai dilakukan Amerika
pada Israel adalah peluang bagi
media untuk menekan Negeri
Adikuasa itu agar membebaskan
agen Israel yang dipenjara,
Jonathan Pollard. Pollard,
mantan analis intelijen Angkatan
Laut Amerika, dihukum seumur
hidup pada 1987 di Amerika
84
sebab melakukan mata-mata
untuk Israel. Suksesi presiden
Amerika Serikat telah menolak
seruan Israel untuk
pengampunannya. Apa yang
tampaknya merupakan upaya
untuk menenangkan seruan
Netanyahu mengatakan jika
Israel terus mengupayakan
pembebasan Pollard dan tidak
memerlukan 'kesempatan
istimewa' untuk membahas
kasusnya dengan Washington.
Greenwald menyuarakan
pandangannya terkait kasus
Pollard. Untuk membandingkan
kasus Jonathan Pollard dengan
pengungkapan aksi mata-mata
Amerika Serikat pada sekutu
dekatnya dalam pemerintah
Israel, menggarisbawahi
kemunafikan yang menjadi inti
dari apa yang dilakukan
pemerintah Amerika Serikat.
Inggris dalam
mengantisipasi beredarnya
dokumen rahasia Snowden agar
tidak bocor lebih luas
mengadakan penghancuran
perangkat kerasnya. Surat kabar
asal Inggris the Guardian
mengeluarkan rekaman video
memperlihatkan para
redakturnya menghancurkan
perangkat keras penyimpan
dokumen-dokumen dari
pembocor Badan Keamanan
Amerika Serikat (NSA) Edward
Snowden. Aksi itu mereka
lakukan atas perintah intelijen
Inggris dan disaksikan langsung
oleh mereka.
Rekaman video
penghancuran itu baru pertama
kali dikeluarkan ke Internet sejak
perangkat keras itu dihancurkan
pada 20 Juli tahun lalu di lantai
bawah kantor the Guardian di
King Cross, London, seperti
dilansir surat kabar Russia
Today, Sabtu (1/2). Tiga staf
Guardian dan Wakil Redaktur
Paul Johnson, Direktur Eksekutif
Sheila Fitzsimons dan ahli
komputer David Blishen
menggunakan alat gerinda dan
pengebor komponen perangkat
keras komputer untuk
menghancurkan informasi di
dalamnya. Mereka disaksikan
oleh dua intelijen Inggris
(GCHQ). Guardian baru-baru ini
menyebut mereka bernama Ian
dan Chris. Mereka merekam aksi
itu melalui telepon pintar iPhone.
Diperlukan tiga jam untuk
85
menghancurkan perangkat keras
itu.
Awalnya GCHQ ingin
memeriksa isi dokumen rahasia
dari Snowden itu sebelum
menghancurkannya, tapi pihak
the Guardian menolak. Dokumen
rahasia itu tersimpan di empat
komputer yang tidak satu pun
terhubung ke Internet. Meski
sudah dihancurkan tapi
kemungkinan dokumen Snowden
itu sudah disalin oleh pihak the
Guardian.
Melihat tindakan Edward
Snowden sedemikian membuat
Amerika Serikat menjadi kalang
kabut atas tindakannya. Negara
itu merencanakan untuk
melenyapkan Snowden dari
muka bumi ini. Dalam
wawancara dengan sebuah kanal
televisi Jerman kemarin,
pembocor rahasia Badan
Keamanan Amerika Serikat
(NSA) Edward Snowden
mengungkapkan kehidupannya
terancam karena diburu agen
intelijen Amerika.
Snowden, 30 tahun, kini
berada di Rusia setelah mendapat
suaka pada Agustus tahun lalu,
meyakini dia dalam perlindungan
intelijen Rusia (FSB) seperti
dilansir surat kabar the Daily
Mail, Senin (27/1). "Mereka,
orang-orang pemerintah, sudah
bilang mereka akan sangat
senang jika bisa menembak
kepala saya atau meracuni saya
ketika saya keluar dari
supermarket, dan melihat saya
mati saat sedang mandi," kata
Snowden.
Terjemahan kalimat
Snowden itu disampaikan lewat
stasiun televisi publik Jerman
ARD dan siaran itu ditayangkan
di Ibu Kota Moskow secara
diam-diam. Pernyataan Snowden
itu diikuti munculnya sebuah
artikel di BuzzFeed berjudul
'Intelijen Amerika Ingin
Snowden Mati' yang mengutip
pernyataan seorang pejabat
Pentagon. "Saya senang sekali
jika bisa menembak kepala
Snowden," ujar sumber tidak
diketahui namanya itu. Pejabat di
NSA itu mengungkapkan dia
tidak akan ragu membunuh
Snowden. Pengacara Snowden
pekan lalu mengatakan tambahan
keamanan boleh jadi diperlukan
bagi Snowden setelah muncul
ancaman itu.
86
Ancaman terhadap nyawa
snowden Negara yang
berseberangan dengan Amerika
Serikat yaitu Rusia berencana
memperpanjang suaka untuk
Snowden. Kepala Urusan Luar
Negeri Parlemen Rusia Alexy
Pushkov hari ini mengatakan
Rusia akan memperpanjang
suaka bagi pembocor rahasia
Badan Keamanan Nasional
Amerika Serikat (NSA) Edward
Snowden. "Tapi terserah
keputusan Snowden jika dia
ingin kembali (ke Amerika
Serikat)," ujar Pushkov dalam
pernyataannya di pertemuan
Forum Ekonomi Dunia di Kota
Davos, Swiss, seperti dilansir
stasiun televisi CNN, Jumat
(24/1).
Dalam pembicaraan melalui
Internet kemarin, Snowden
menyatakan kembali ke Amerika
adalah jalan terbaik bagi semua
pihak tapi sayangnya kondisi
hukum saat ini tidak
memungkinkan bagi seorang
pembocor rahasia. Snowden
mendapat suaka di Rusia
Agustus tahun lalu setelah dia
membocorkan sejumlah
dokumen rahasia NSA di Hong
Kong. Rusia memberinya suaka
untuk jangka waktu satu tahun.
Koran The Guardian
Inggris dan The New York
Times Amerika Serikat yang
semula tidak sejalan dengan
Edward Snowdenpun akhirnya
angkat bicara untuk
mengampuninya. Surat kabar
berpengaruh di Amerika Serikat
The New York TImes dan harian
asal Inggris The Guardian
kemarin meminta pemerintah
Amerika memberikan
pengampunan kepada pembocor
rahasia Badan Keamanan
Amerika (NSA) Edward
Snowden.
Dalam editorialnya kedua
koran besar itu membela
Snowden yang kini berada di
Rusia setelah mendapat suaka
sementara. "Dia mungkin sudah
berbuat kejahatan karena
membocorkan rahasia tapi dia
sudah berjasa besar bagi
negaranya," kata editorial Times,
seperti dilansir situs
asiaone.com, Jumat (3/1). "Ini
saatnya bagi Amerika untuk
menawarkan pengampunan
kepada Snowden."
Sedangkan The Guardian
87
mendesak Washington untuk
mengizinkan Snowden pulang ke
Amerika dengan kebanggaan.
Koran Inggris itu juga menyebut
perbuatan Snowden sebagai
bentuk keberanian moral. Times
menyerukan pemerintah Amerika
menawarkan Snowden sebuah
kesepakatan yang bisa membuat
dia mau pulang ke negerinya dan
setidaknya mendapat hukuman
ringan.
Dewan Keamanan Amerika
di dalam pemerintahan Presiden
Barack Hussein Obama menolak
berkomentar atas desakan Times
dan Guardian itu. Pertengahan
bulan lalu Gedung Putih
menyatakan Snowden tetap
seorang buron yang akan
menghadapi pengadilan jika
tertangkap. "Posisi kami belum
berubah dalam masalah itu.
Snowden dituntut atas kasus
pembocoran informasi rahasia
dan dia harus diadili di Amerika
Serikat," ujar juru bicara Gedung
Putih Jay Carney.
IV. PEMBAHASAN
Arsip dan ilmu arsip
diterapkan dalam menganalisis
dan menyelidiki tiga peristiwa
besar. Pertama Peristiwa
Supersemar, Kedua Isu senjata
pemusnah masal Irak, Ketiga
Skandal Iran-contra.
Pertama Supersemar
dianalisis dari disiplin ilmu arsip
dari bagian ilmu pengurusan
surat sudah jelas alurnya.
Sipengirim Surat (Presiden
Soekarno) mengirim surat lewat
Mayor Jenderal Basuki Rahmat,
Brigadir Jenderal Amir
Machmud, dan Brigadir Jenderal
M Yusuf. Trio Jenderal berperan
sebagai pengurus surat yang
menyampaikan Supersemar
kepada Sialamat surat (Letnan
Jenderal Soeharto). Alur
pengurusan surat sudah lengkap
dan sempurna sejak diciptakan
sipengirim hingga diterima
sialamat. Jadi jelas bahwa
Supersemar ada pada Soeharto.
Permasalahan timbul karena
sipengirim surat (Presiden
Soekarno) tidak merasa
memberikan kewenangan tugas
seperti yang dilaksanakan
sialamat surat (Letjen Soeharto).
Kerumitan masalah
Supersemar semakin tinggi
karena makna dan keberadaannya
menjadi kabur. (Didik Singgih
88
Hadi, Suara Merdeka 10 Maret
2007) Jumlah lembar Supersemar
ada yang satu (versi 30 Tahun
Indonesia Merdeka) ada yang dua
(versi Dephankam), kerumitan
Supersemar ditambah lagi dengan
makna isinya. Tidak ada kalimat
yang tegas untuk peralihan
kekuasaan. Namun dari
Supersemar tersebut
dipergunakan oleh Letjen
Soeharto untuk melarang dan
membubarkan PKI pada tanggal
12 Maret 1966 dengan nomor
surat 1/3 1966.
Melihat kejadian yang
seperti demikian Presiden
Soekarno mengeluarkan Surat
Perintah yang mencabut
Supersemar pada tanggal 13
Maret 1966. Surat Perintah ini
diperbanyak 5000 eksemplar oleh
Hanafi Dubes Indonesia untuk
Kuba yang diberikan kepada para
pendukung Soekarno. Sanggahan
atas Supersemar diulang lagi oleh
Presiden Soekarno ketika
berpidato pada tanggal 17
Agustus 1966. Dikatan bahwa
supersemar bukan penyerahan
kekuasaan atau transfer of
property. Pidato Presiden
Soekarno ini dikenal dengan
nama Jas Merah (Jangan
Meninggalkan Sejarah). Namun
upaya-upaya sanggahan tersebut
tidak berdampak apapun bagi
Soeharto untuk mempergunakan
Supersemar sebagai sarana
suksesinya untuk menggapai
jabatan Presiden. Pada tahun
1966 dikeluarkan dua ketetapan
MPRS yang bersumber dari
Supersemar yaitu Tap MPRS
IX/1966 tentang Surat Perintah
Presiden Panglima
TertinggiABRI/PBR/Mandataris/
MPRS. Ketetapan ini
mengukuhkan Supersemar, dan
Tap MPRS XV/1966 yang
menyatakan Apabila Presiden
berhalangan, maka pemegang
Supersemar memegang jabatan
Presiden. Soeharto dilantik
menjadi Presiden pada tanggal 22
Pebruari 1967 dengan landasan
Tap MPRS IX/1966.
Hal Kedua yang dianalisis
dengan ilmu arsip adalah Isu
senjata pemusnah masal Irak.
Dasar Amerika Serikat dan
sekutunya menginvasi Irak
adalah Bahwa Irak mempunyai
senjata pemusnah masal yang
bisa diaktifkan dalam 45 menit.
Pengemas isu senjata pemusnah
89
masal adalah Badan Intelejen
Internasional Inggris (MI-6).
Ketika isu digulirkan, Amerika
Serikat sudah memperingatkan
Inggris bahwa isu tersebut tidak
sahih. Namun isu tersebut tetap
dikedepankan dalam rangka
mengadakan invasi ke Irak.
Inggris mendapatkan Informasi
senjata pemusnah masal dari tesis
seorang mahasiswa pascasarjana
bernama Ibrahim Al Marashi.
Ada kejanggalan sumber
dokumen yang dikemas oleh MI-
6 bila ditinjau dari ilmu arsip.
Tesis merupakan produk buku
bukan arsip. Sedang buku
mempunyai sifat tidak rahasia,
tidak terbatas untuk digandakan,
informasinya bersifat terbuka.
(Didik Singgih Hadi, Suara
Merdeka 15 Sep 2003)
Informasi yang bersifat
terbuka dari buku inilah yang
akhirnya menjebak sendiri
Badan Intelejen Internasional
Inggris (MI-6) sekaligus sebuah
ironi. Informasi dari tesis yang
tidak rahasia dikemas dalam
informasi intelejen yang sangat
rahasia yang akhirnya melahirkan
kejanggalan.
Carut marut pengemasan
informasi intelejen Inggris ini
diminimalisir oleh Menteri Luar
Negri Inggris Jack Straw dengan
meminta maaf kepada pemilik
tesis Ibrahim Al Marashi pada
tanggal 25 Juni 2003. Namun
carut marut ini tetap
berkepanjangan hingga
mengakibatkan tokoh penting
dalam pengemasan invasi Irak Dr
David Kelly mengakhiri
hidupnya. Dia adalah ahli
mikrobiologi persenjataan.
Tokoh kedua adalah Kepala
Badan Intelejen Internasional
Inggris (MI-6) Sir Richard
Dearlove yang memilih mundur.
Irak hancur lebur hanya
karena isu informasi yang
dikemas tidak benar. Hingga
sekarang senjata pemusnah masal
Irak tidak diketemukan.
Hal ketiga yang dianalisis
adalah Skandal Iran-Contra.
Dinamakan Skandal Iran –Contra
karena Amerika Serikat pada
tahun 80an memberikan senjata
anti tank kepada Iran dan
memberi bantuan kepada
pemberontak Sandinista di
Nicaragua. Hal yang disoroti
90
disini adalah skandal Amerika
dengan Iran.
Awal kasus dimulai ketika
Dua calon kandidat Presiden
Amerika berkampanye. Posisi
Presiden incumbent Jimmy Carter
sedemikian kuat. Sedangkan
posisi Ronald Reagen belum
tampak. Tim sukses Ronald
Reagen yang dipimpin George
Bush dan William Casey
mendapatkan isu yang baik untuk
diangkat yaitu pembebasan 52
sandra Amerika di Iran.
Pembicaraan rahasia
dilaksanakan di Hotel Hilton
Paris dengan Perdana Menteri
Bani Sadr sebagai wakil dari Iran
. Terjadi Kesepakatan Antara
Pemimpin Revolusi Islam Iran
Ayatollah Khomeini dengan
George Bush bahwa Amerika
Serikat akan memberikan senjata
antitank yang akan dipergunakan
untuk mengalahkan Irak dalam
perang Iran-Irak, ditambah bonus
40 juta dollar AS. Sedangkan
Iran akan menyerahkan 52
sandera warga AS. Permintaan
Bush agar 52 sandera diserahkan
pada saat pelantikan presiden.
Pelantikan Presiden Ronald
Reagen pada Januari 1981
memukau rakyat Amerika Serikat
karena pada hari yang sama 52
sandera tiba di AS. Sebagai
hadiah George Bush diangkat
menjadi Wakil Presiden dan
William Casey sebagai Kepala
CIA.
Kasus skandal Iran ini terus
dikritisi oleh pers karena banyak
saksi yang membenarkan adanya
pertemuan di Hotel Hilton Paris.
Namun semua dimentahkan.
Misalnya Kepulangan George
Bush dari Paris ke Washington
mempergunakan pesawat
supersonic SR-71 Blackbird
dengan kecepatan 2.4 mach yang
dipiloti Guther Russbehcer
disanggah agen CIA Frank Snepp
di koran lokal Village Voice
bahwa Russbehcer tidak bisa
menerbangkan pesawat SR-71.
Hal yang menjadikan titik
terang bahwa Skandal Iran terjadi
adalah adanya perintah untuk
menghapus dokumen dari
komputer oleh Kepala CIA
William Casey. Dokumen
terhapus tetapi perintah
menghapus dokumen tidak
terhapus. Sebagaimana kita
ketahui bahwa komputer
mempunyai sifat rewritable dan
91
erasable. Penyelidikan dimulai
dari berkas arsip ini ditambah
dengan dokumen PM Iran Bani
Sadr, Agen Mosad Israel. Pada
kejadian skandal Iran inilah
William Casey mendapat tekanan
luar biasa yang akhirnya
diketemukan meninggal dengan
penyebab yang misterius.
Mengenai kebocoran
rahasia negara di dunia. Tidak
bisa lepas dari sosok Edward
Snowden. Arsip selain fisik dari
arsip itu sendiri. Rahasianya juga
ada di para pelaku yang
menangani arsip. Baik yang
menciptakan arsip maupun yang
merawat. Bocornya rahasia
negara yang ada didunia ini
karena kepiawaian Edward
Snowden. Sayang Ia tidak bisa
mengendalikan diri. Katagori
kerahasiaan surat ada empat
tingkatan dalam terminologi di
Indonesia yaitu sangat rahasia,
rahasia, terbatas, dan biasa. Hal
ini mengacu dalam terminologi
kerahasiaan dokumen dalam
terminologi Inggris yaitu. Top
secret, Secret, Convindential.
Dalam terminologi Inggris ada
tiga tingkatan sedang dalam
terminologi Indonesia ada empat
tingkatan.
Pada dasarnya dokumen itu
mempunyai sifat rahasia. Dia
akan menjadi tetap rahasia atau
menjadi tidak rahasia bergantung
kepada jenis dokumen itu sendiri.
Dokumen rahasia negara ada sifat
yang sangat melekat
kerahasiaannya hingga tidak
terbatas. Namun ada yang
sifatnya sementara saja
rahasianya, kemudian harus
diketahui oleh publik. Sebagai
contoh adalah Naskah proklamasi
kemerdekaan.
Hal yang perlu
diperhitungkan adalah peran dari
Institusi. Dalam hal ini adalah
peran agen rahasia Amerika
Serikat National Security Agency
(NSA). Kenapa untuk pekerjaan
yang sedemikian sangat rahasia,
NSA merekrut Sumberdaya
Manusianya lewat kontrak. Tidak
mengemas dengan rekrut
pegawai tetap.
Kejadian yang sangat
mengejutkan adalah Edward
Snowden dianggap sebagai
penjahat. Sangat dicari untuk
diketemukan dalam keadaan
hidup atau mati oleh Amerika
92
Serikat. Namun di lain pihak
dianggap sebagai pahlawan yang
harus dilindungi (oleh Rusia),
bahkan diusulkan untuk
mendapatkan nobel perdamaian
di Swedia, serta diusulkan
mendapat gelar doktor
kehormatan dari Universitas
Rostock di Jerman
V. KESIMPULAN
Ilmu arsip yang dipergunakan
sebagai alat analisis pada ketiga
kejadian diatas adalah :
a. Pengurusan Surat. Pada
permasalahan Supersemar
Sipengirim adalah Presiden
Soekarno, sialamt adalah
Letjen Soeharto. Sedang
Trio jenderal adalah
pengurus Surat. Si pengirim
sudah memberikan
Supersemar dengan
mediator Trio Jenderal
kepada sialamat.
Supersemar sudah diterima
sialamat kemudian
dipergunakan untuk dasar
membubarkan PKI dan
sebagai landasan keluarnya
Tap MPRS IX/1966 serta
Tap MPRS XV/1966.
Ketetapan MPRS IX/1966
inilah yang menjadi dasar
pengukuhan Jenderal
Soeharto sebagai Presiden
RI yang kedua pada tanggal
22 Pebruari 1967.
b. Perbedaan Arsip dan Buku.
Ciri khas Arsip dan Buku
inilah yang dipergunakan
sebagai alat analisis
pengemasan informasi
intelejen Inggris (MI-6)
yang berasal dari tesis
Ibrahim Al Marashi. . Tesis
merupakan produk buku
bukan arsip. Sedang buku
mempunyai sifat tidak
rahasia, tidak terbatas
untuk digandakan,
informasinya bersifat
terbuka. (Didik Singgih
Hadi, “Kaburnya
Supersemar” Suara
Merdeka 15 Sep 2003)
c. Arsip yang berada
dikomputer bisa dihapus
dan ditulis kembali. Namun
Arsip Skandal Iran terkuak
karena perintah menghapus
arsip tidak terhapus,
walaupun arsipnya
terhapus. 52 Sandera AS
bebas pada saat Ronald
Reagen dilantik menjadi
93
Presiden. Sedangkan
William Casey selaku
Kepala CIA mendapat
sorotan luar biasa dari pers
dan lawan politik Partai
Republik karena
memerintahkan untuk
menghapus arsip dari
komputer. Disaat
penyelidikan berlangsung
Casey diketemukan mati
secara misterius
misteriusnya.
d. Kebocoran rahasia negara
di dunia tidak bisa lepas
dari sosok Edward
Snowden. Arsip selain fisik
dari arsip itu sendiri.
Rahasianya juga ada di para
pelaku yang menangani
arsip. Baik yang
menciptakan arsip maupun
yang merawat. Bocornya
rahasia negara yang ada
didunia ini karena
kepiawaian Edward
Snowden. Sayang Ia tidak
bisa mengendalikan diri.
Hal yang perlu
diperhitungkan adalah
peran dari Institusi. Dalam
hal ini adalah peran agen
rahasia Amerika Serikat
National Security Agency
(NSA). Kenapa untuk
pekerjaan yang sedemikian
sangat rahasia, NSA
merekrut Sumberdaya
Manusianya lewat kontrak.
Tidak mengemas dengan
rekrut pegawai tetap
DAFTAR PUSTAKA
1. ,_____________, Undang Undang No 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan
2. ,_____________, Undang Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
3. Hadi, Didik Singgih , artikel Kaburnya Supersemar. Suara Merdeka 10 Maret 2007
4. Hadi, Didik Singgih, artikel Tinjauan Arti Dokemen. Suara Merdeka 15 September 2003
5. Utomo, Djoko , Makalah Seminar Nasional Kejahatan Dokumen/arsip. Jakarta 2005
6. International Standard Organization 15489 tentang Record Management
7. Jurgen, Charles, International Training on Archives, Denpasar 2007
8. ,__________, Negara-negara ini juga disadap Amerika. http://tempo.co, 29 Januari 2014
94
9. ,__________, Snowden diusulkan raih Nobel perdamaian. http://republika.co.id , 19 Nopember 2013
10. ,__________, Ini cara Amerika dan Inggris curi data smartphone, http://merdek.com 29 Januari 2014
11. ,__________, NSA baca 200 juta sms setiap harinya. http://merdek.com 17 Januari 2014
12. ,__________, Smartphone ini diklaim tidak bisa disadap pihak manapun. http://merdek.com 16 Januari 2014
13. ,__________, Dua tahun lagi, masa depan internet di dunia dipertaruhkan. http://merdek.com 23 Januari 2014
14. ,__________, Snowden unduh 1,7 juta dokumen rahasia intelejen Amerika, http://merdek.com 24 Januari 2014
15. ,__________, Snowden punya lebih banyak rahasia Amerika-Israel untuk diungkap. http://merdek.com 29 Januari 2014
16. ,__________, Video redaktur the Guardion hancurkan dokumen dari Snowden. http://merdek.com 1 Pebruari 2014
95
BIODATA PENULIS Sutarwi, lahir di Pati 17 Oktober 1956 menyelesaikan pendidikan Sarjana Muda (BSc) pada tahun 1979 dan Sarjana (Ir.) pada tahun 1981 di Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Pada tahun 1987-1989 menyelesaikan tugas belajar pada program Master of Science (MSc) in Development Management di The American University Washington DC Amerika Serikat. Pada tahun 2004 s/d 2008 menyelesaikan Program Doktor Studi Pembangunan di UKSW Salatiga. Pada tahun 1980 mengawali karir Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai perencana pembangunan di Kabupaten Blora dan saat ini masih aktif sebagai Widyaiswara Utama (tenaga pengajar) pada Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah untuk berbagai Diklat Aparatur Sipil Negara (ASN). Wardi Astuti, Ir. M.Pd. dilahirkan di Yogyakarta 18 Agustus 1966, menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Gunungkidul, Yogyakarta, mendapatkan gelar Sarjana Pertanian dari Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor tahun 1988, Gelar Magister Pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2004. Saat ini sebagai Widyaiswara Madya pada Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah yang ditugaskan di Balai Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPSDM Tan) Soropadan, Jawa Tengah. Saat ini tinggal di rumah : Paten, RT. 5 RW. 5, Tridadi, Sleman, Yogyakarta. Ali Moechson, S.Sos, M.Pd, Lahir di Kendal 25 Juni 1956, menyelesaikan pendidikan Sarjana Muda (B.A.) jurusan Perhotelan di Akademi Kepariwisataan Indonesia (AKPARI) Semarang Tahun 1984. Pada tahun 1998 menyelesaikan Sarjana Sosial (S.Sos) Jurusan Administrasi Negara, dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, dan tahun 2003 menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (M.Pd) dari Universitas Negeri Semarang (UNNES). Mengawali karier Pegawai Negeri Sipil (PNS) tahun 1987 di Kantor Wilayah VII Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (DEP.PARPOSTEL) Jawa Tengah pada Seksi Bina Usaha Pariwisata. Tahun 2001- 2006 bertugas di Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, dan saat ini aktif sebagai Widyaiswara Madya pada Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah.
96
Irawan Rumekso, lahir di Banjarnegara 16 November 1967, menyelesaikan pendidikan dasar sampai menengah di Banjarnegara. Selepas SMA melanjutkan pendidikan di APDN Semarang (lulus 1991). Gelar sarjananya diperoleh dari Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Depdagri Jakarta tahun 1996, sementara pendidikan Pasca Sarjananya ditempuh pada Program Magister Manajemen Sumber Daya Manusia STIE AUB Surakarta dan lulus tahun 1997. Sejak bulan Juli 2011 menjabat sebagai Widyaiswara Muda Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah. Sebelum menjadi Widyaiswara menjabat sebagai Ajudan Bupati, Kelurahan, Kepala Sub Bagian Bagian Penyusunan Program, Kasubag Bagian Pembangunan serta Kasubag Bagian Umum dan Perlengkapan SETDA Kabupaten Banjarnegara. Tahun 2006 diangkat menjadi Sekretaris Kecamatan dan Tahun 2008 diangkat sebagai Camat. Didik Singgih Hadi, SE, MSi dilahirkan di Klaten, 23 September 1963, menyelesaikan Pendidikan Dasar dan Menengah di Klaten, Mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto tahun 1988, Gelar Magister Sain dari Fakultas Pascasarjana program Magister Akuntansi Universitas Diponegoro Semarang tahun 2009. Saat ini sebagai Widyaiswara Muda pada Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah. Sebelum Menjadi Widyaiswara menjabat sebagai Arsiparis Madya pada Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah. Di samping sebagai PNS juga sebagai Relawan (SAR) yang terjun pada berbagai kegiatan Kebencanaan di tanah air. Saat ini tinggal di Rumah : Griya Bukit Indah A 105 Bawen Ambarawa Kabupaten Semarang.
97
98