JURNAL HUKUM - icel.or.id · konsistennya kebijakan energi di Indonesia, ... penelitian audit...

176
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA Volume 5 Nomor 1, Oktober 2018 ISSN: 2655-514X Indonesian Center for Environmental Law Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) terbit dengan nomor ISSN baru mulai volume 5 nomor 1. Sebelumnya, “JHLI” terdaftar dengan nomor ISSN: 2355-1350 dengan nama Jurnal Hukum Lingkungan (JHL). JHLI adalah sebuah inisiatif dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) yang digunakan sebagai wadah akademik perdebatan hukum dan kebijakan lingkungan hidup. Redaksi menerima 3 (tiga) jenis tulisan: (1) hukum lingkungan murni (aspek pidana/perdata/administrasi/ hukum internasional terkait lingkungan) dan kebijakan publik yang terkait dengan lingkungan; (2) tinjauan hukum dari ilmu lingkungan yang bersifat teknis terhadap kebijakan dan arah hukum yang ada; atau (3) politik hukum lingkungan. Tulisan dapat dikirimkan melalui surat elektronik sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan (hal. x).

Transcript of JURNAL HUKUM - icel.or.id · konsistennya kebijakan energi di Indonesia, ... penelitian audit...

JURNAL HUKUM

LINGKUNGAN INDONESIA

Volume 5 Nomor 1, Oktober 2018

ISSN: 2655-514X

Indonesian Center for Environmental Law

Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) terbit dengan nomor ISSN baru mulai

volume 5 nomor 1. Sebelumnya, “JHLI” terdaftar dengan nomor ISSN: 2355-1350 dengan

nama Jurnal Hukum Lingkungan (JHL). JHLI adalah sebuah inisiatif dari Indonesian

Center for Environmental Law (ICEL) yang digunakan sebagai wadah akademik

perdebatan hukum dan kebijakan lingkungan hidup. Redaksi menerima 3 (tiga) jenis

tulisan: (1) hukum lingkungan murni (aspek pidana/perdata/administrasi/ hukum

internasional terkait lingkungan) dan kebijakan publik yang terkait dengan lingkungan;

(2) tinjauan hukum dari ilmu lingkungan yang bersifat teknis terhadap kebijakan dan arah

hukum yang ada; atau (3) politik hukum lingkungan. Tulisan dapat dikirimkan melalui

surat elektronik sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan (hal. x).

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA

Vol. 5 Issue 1 / Oktober / 2018

ISSN: 2655-514X

Website: www.icel.or.id/jurnal

E-mail: [email protected]

Diterbitkan oleh:

INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL)

DISCLAIMER

Opini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL,

melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.

yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan

pengelolaan sumber daya alam. Tulisan dapat dikirimkan melalui pos atau e-mail

sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan (hal. x)

Jl. Dempo II No. 21, Kebayoran Baru

Jakarta Selatan 12120

Telp. (62-21) 7262740, 7233390

Fax. (62-21) 7269331

Desain Sampul : Suparlan, S.Sos.

Tata Letak : Tim JHLI

Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, mahasiswa dan mereka

ii

R E D A K S I D A N M I T R A B E S T A R I

Dewan Penasehat

Dr. Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.

Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.

Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.

Indro Sugianto, SH. M.H.

Sandra Moniaga, SH., LL.M.

Ir. Yuyun Ismawati, M.Sc.

Dadang Trisasongko, S.H.

Penanggung Jawab

Henri Subagiyo, S.H., M.H.

Pemimpin Redaksi

Astrid Debora S.M., S.H., M.H

Redaktur Pelaksana

Marsya Mutmainah Handayani, S.H., LL.M

Yanuar Filayudha, S.Hum

Dewan Redaksi

Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum.

Josi Khatarina, S.H., LL.M. Rino Subagyo, S.H.

Dyah Paramita, S.H., LL.M. Raynaldo G. Sembiring, S.H.

Margaretha Quina, S.H., LL.M

Mitra Bestari

Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.

Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M

Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada

Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan dalam

penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.

iii

Rika Fajrini, S.H., M. GES Ohiongyi Marino, S.H. Isna Fatimah, S.H. Wenni Adzkia, S.H. Fajri Fadhillah, S.H. Angela Vania, S.H Adrianus Eryan, S.H

P E N G A N T A R R E D A K S I

“Perumusan Kebijakan Berbasis Kajian Bukti yang Tepat (Evidence-Based Policy Making) dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”

ebijakan Berbasis Kajian Bukti yang Tepat (Evidence-Based Policy Making)

adalah kebijakan yang dibuat berlandaskan bukti-bukti yang mendukung

lahirnya kebijakan tersebut. Kebijakan yang berlandaskan bukti yang tepat

tentunya akan menghasilkan kebijakan yang tepat guna dan tepat sasaran. Namun

demikian, masih sering ditemui kebijakan yang tidak disertai dengan landasan bukti

yang tepat.

Payung hukum formal untuk perumusan kebijakan berbasis kajian bukti yang

tepat memang secara eksplisit belum ada. Namun demikian, Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebetulnya

telah mengatur mengenai kebutuhan penelitian baik hukum maupun penelitian

lainnya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sebelum menerbitkan

sebuah regulasi. Hasil penelitian ini secara formal dituangkan dalam Naskah

Akademik.

Namun demikian, Naskah Akademik hanya diwajibkan ada pada suatu

Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan

kebutuhan hukum masyarakat. Mengingat tidak semua regulasi dikenai kewajiban

didahului dengan Naskah Akademik, tidak heran kemudian banyak regulasi yang

tidak disertai dengan landasan yuridis, filosofis, dan historis termasuk landasan

ilmiah. Banyak regulasi muncul dengan tujuan menyelesaikan persoalan suatu hal,

namun kemudian menimbulkan persoalan lainnya. Ditambah lagi, ada regulasi-

regulasi yang didahului dengan perumusan Naskah Akademik, namun Naskah

Akademik yang ada hanya memenuhi standar formal UU 12 Tahun 2011, bukan

substansi yang menjadi kewajibannya.

Selain mengatur kewajiban pembuatan Naskah Akademik untuk regulasi

tertentu, Bab XI UU 12 Tahun 2011, telah mengatur pula mengenai Partisipasi

Masyarakat dalam perumusan regulasi. Disebutkan bahwa masyarakat berhak

memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Masukan tersebut dapat disampaikan melalui: (a) rapat

dengar pendapat umum (b) kunjungan kerja; (c) sosialisasi; dan/atau (d) seminar,

lokakarya, dan/atau diskusi. Untuk memudahkan keterlibatan tersebut, setiap

rancangan Peraturan Perundang-undangan diatur harus dapat diakses dengan

mudah oleh masyarakat.

Faktanya, tidak jarang masyarakat hanya dilibatkan di akhir proses dan sebagai

formalitas saja. Selain itu, akses tersebut seringkali sulit diperoleh. Biasanya informasi

K

iv

mengenai rancangan regulasi hanya ada di situs resmi pembuat regulasi. Tidak semua

kelompok masyarakat terbiasa mengakses situs resmi pembuat regulasi. Ditambah

lagi, tidak semua rancangan regulasi tersedia di situs resmi pembuat regulasi.

Bagaimana mungkin suatu kebijakan dikatakan dapat berdampak baik apabila

kebijakan tersebut tidak didasarkan pada analisis data akurat, baik dari informasi

yang disampaikan oleh masyarakat itu sendiri, pendapat ahli, hasil penelitian, dan

informasi dari para pemangku kepentingan ataupun fakta di lapangan? Catatan

tersebut menjadi dasar Redaksi mengambil tema “Perumusan Kebijakan Berbasis

Kajian Bukti yang Tepat (Evidence-Based Policy Making) dalam Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.”

Berbagai catatan kritis dan analisis yang terdapat di dalam tulisan-tulisan yang

dimuat di dalam jurnal ini diharapkan mampu memantik diskusi yang lebih dalam

mengenai: (1) Bagaimana permasalahan hukum/kebijakan dari topik yang

bersangkutan dalam tataran norma? (2) Bagaimana persoalan-persoalan yang

dihadapi dalam mengimplementasikan norma hukum/kebijakan dari topik yang

bersangkutan? (3) Bagaimana gagasan-gagasan dalam memperbaiki dan

mengembangkan hukum dan kebijakan terkait topik yang bersangkutan?

Dalam jurnal kali ini, Penulis pertama, Agus Efendi dkk mengulas tentang tidak

konsistennya kebijakan energi di Indonesia, kaitannya terhadap pemberlakuan

standar emisi gas buang Euro 4. Penulis kedua, Windu Kisworo membahas tentang

aplikasi prinsip-prinsip terkait bukti ilmiah di Amerika Serikat dalam pembuktian

perkara perdata lingkungan di Indonesia. Penulis ketiga, Perdinan dkk menjelaskan

tentang telaah inisiatif dan kebijakan Indonesia dalam proses adaptasi perubahan

iklim dan ketahanan pangan. Penulis keempat, Shafira Anindia Alif Hexagraha

menulis tentang trajektori ko-produksi di Indonesia dari telaah geografi kritis.

Melengkapi tulisan tersebut, Penulis kelima, Grita Anindarini Widyaningsih mencoba

membedah kebijakan perencanaan ketenagalistrikan di Indonesia. Penulis ke-enam,

Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M mengulas Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun

2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta

Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit yang dikenal dengan istilah Inpres

Moratorium Sawit.

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para Penulis yang telah

mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya dalam menyelesaikan artikel ini dan

melakukan revisi berdasarkan masukan substantif dari penelaahan sejawat dan

Sidang Redaksi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada segenap anggota Sidang

Redaksi yang telah menelaah dengan cermat dan memberikan masukan substantif

bagi tiap artikel. Tidak lupa kepada Mitra Bebestari edisi ini, Andri G. Wibisana, S.H.,

LL.M., Ph.D dan Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., LL.M. yang telah melakukan blind

peer review terhadap artikel dalam jurnal edisi ini.

v

Akhir kata, JHLI Vol. 5 Issue 1 (Oktober 2018) ini tidak lepas dari kekurangan.

Redaksi mempersilakan semua pihak memberikan kritik dan masukan untuk

memperbaiki proses maupun substansi, maupun hasil akhir artikel yang dimuat

dalam jurnal ini.

Jakarta, Oktober 2018 Redaksi

vi

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA

ISSN: 2655-514X

VOLUME 05, NOMOR 1, OKTOBER 2018

HALAMAN 1-159

D A F T A R I S I

Redaksi & Mitra Bestari…………………………………………………………. iii

Pengantar Redaksi……………………………………………………………….. iv Daftar Isi…………………………………………………………………………... vii Daftar Gambar …………………………………………………………………… viii Daftar Tabel………………………………………………………………………. ix

Artikel Ilmiah

1. Inkonsistensi Kebijakan Energi di Indonesia: Kaitannya terhadap

Pemberlakuan Standar Emisi Gas Buang Euro 4

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, dan Ni Luh Putu Chintya

Arsani………………………………………………………………………….

1-23

2. Aplikasi Prinsip-Prinsip terkait Bukti Ilmiah (Scientific Evidence) di

Amerika Serikat dalam Pembuktian Perkara Perdata Lingkungan di

Indonesia

Windu Kisworo……………………………………………………………… 24-59

3. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan

Kebijakan

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi, dan Woro Estiningtyas …………... 60-87

4. Trajektori Ko-Produksi Kota di Indonesia: Telaah Geografi Kritis

Shafira Anindia Alif Hexagraha…………………………………………... 88-116

Membedah Kebijakan Perencanaan Ketenagalistrikan di Indonesia

Grita Anindarini Widyaningsih…………………………………………... 117-136

Ulasan Peraturan: Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan

Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit

Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M………………………………… 137-153

Daftar Indeks……………………………………………………………………... 154-159

Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia……………........ x

vii

D A F T A R G A M B A R

Gambar 1. Luas panen (kiri) dan distribusi spasial produktivitas (kanan)……………………………………………………………..

65

Gambar 2. Jaringan suplai beras di Indonesia. Sumber: dimodifikasi dari kompilasi rantai pasok beras di Indonesia yang dijelaskan………………………………………………………….

67

Gambar 3. Produksi beras nasional. Tahun El-Nino, Tahun La-Nina. Selisih produksi beras adalah perbedaan produksi tahun berjalan dengan tahun sebelumnya…………………………….

68

Gambar 4. Produksi, Konsumsi, dan Surplus Beras Indonesia tahun 1990 – 2013…………………………………………………………

70

Gambar 5. Identifikasi dampak perubahan iklim global terhadap iklim wilayah di Indonesia. Sumber: dikompilasi dari berbagai laporan penelitian………………………………………………...

71

Gambar 6. Identifikasi dampak perubahan iklim terhadap produksi padi in Indonesia………………………………………………….

71

Gambar 7. Hasil kompilasi bentuk adaptasi perubahan iklim…………. 73 Gambar 8. Program Peningkatan Produksi Padi Nasional dan Paket

Teknologi Anjuran. Sumber: dimodifikasi dari Pratiwi………

78

Gambar 9. Identifikasi kebijakan sektor pertanian terkait adaptasi perubahan iklim…………………………………………………..

79

viii

D A F T A R T A B E L

Tabel 1. Perbandingan Arah Kebijakan Energi dengan

Energi Trilemma Indeks……………………………………………. 123

Tabel 2. Perbandingan Potensi dan Perencanaan Pembangkit…………… 129

Tabel 3. Perbandingan Rencana Pembangunan Pembangkit Berbasis

Energi Terbarukan dalam RUEN dan RUPTL………………….... 132

Tabel 4. Perkembangan Penambahan Kapasitas per Tahun untuk

PLTA, PLTP, dan PLTS………………….………………….………... 133

ix

1

INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA:

KAITANNYA TERHADAP PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI

GAS BUANG EURO 4

Agus Efendi1, Alia Yofira Karunian2, Ni Luh Putu Chintya Arsani3

Abstrak Disahkannya Perpres No. 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak pada 31 Desember 2014 lalu menandakan komitmen Indonesia dalam mengurangi penggunaan energi tak ramah lingkungan. Perpres No. 191 Tahun 2014 ini membatasi pendistribusian Premium untuk wilayah yang menghasilkan gas buang kendaraan bermotor dengan jumlah besar seperti Jawa dan Bali. Namun, pada 24 Mei 2018 lalu, Presiden Jokowi mengesahkan Perpres No. 43 Tahun 2018 yang kembali mewajibkan pendistribusian Premium di wilayah Jawa dan Bali. Rencana ini bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam mengimplementasikan baku mutu emisi gas buang Euro 4 yang diadopsi melalui Permen LH No. 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O. Artikel ini mengaplikasikan metode penelitian audit kebijakan. Simpulan dari artikel ini adalah evidence-based policy making tidak diimplementasikan dalam perumusan Perpres No. 43 Tahun 2018. Meskipun bukti ilmiah menunjukkan bahwa Premium tidak memenuhi standar Euro 4, Pemerintah tetap bersikeras mewajibkan kembali pendistribusian Premium di wilayah Jawa dan Bali. Kata kunci: Evidence-based policy making, Premium, Euro 4

Abstract The enactment of Presidential Regulation No. 191 Year 2014 concerning Provision, Distribution and Retail Price of Fuel Oil on December 31st 2014 signified Indonesia's commitment in reducing the use of not environmentally friendly energy. This regulation limits Premium distribution to areas that produce large amounts of motor vehicle exhaust e.g. Java and Bali. However, on 24th May 2018, President Jokowi promulgated Presidential Regulation No. 43 Year 2018 which will again require Premium distribution in Java and Bali. This plan is contrary to Indonesia's commitment to implement the Euro 4 emission quality standard adopted through Ministerial Regulation No. 20 of 2017 concerning the Exhaust Emission Standards of New Type Motor Vehicle with M, N, O Category. This article applies policy-audit research methodology. This article’s conclusion is, the evidence-based policy making is not

1 Penulis adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan program kekhususan

Hukum Internasional. 2 Penulis adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan saat ini bekerja sebagai Peneliti

Muda di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). 3 Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana.

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

2

implemented in the promulgation of Presidential Regulation No. 43 Year 2018. Although the scientific evidence shows that Premium does not meet Euro 4 standards, the Government still insists to again require the Premium distribution in Java and Bali. Keywords: Evidence-based policy making, Premium, Euro 4

I. Pendahuluan

Secara global, dalam rentang waktu

1990 hingga 2015, tingkat kematian yang

disebabkan oleh polusi udara meningkat

sejumlah 20% dari 3,5 juta orang menjadi

4,2 juta orang.4 Mengontrol emisi gas

buang kendaraan bermotor adalah hal

yang sangat penting untuk dilakukan

demi mengurangi polusi udara.5 Upaya

untuk mengontrol emisi gas buang

kendaraan bermotor dimulai sejak tahun

1990 saat Uni Eropa mengeluarkan

peraturan yang mewajibkan

penggunaan katalis untuk mobil bensin

yang disebut standar Euro 1. Hal ini

bertujuan untuk memperkecil kadar

bahan pencemar yang dihasilkan

kendaraan bermotor. Selanjutnya secara

bertahap Uni Eropa memperketat

4 Cohen AJ, Brauer M, Burnett R, et al., “Estimates and 25-year Trends of the Global Burden of

Disease Attributable to Ambient Air Pollution: An Analysis of Data from the Global Burden of Diseases Study 2015,” The Lancet, 389 (2017), hlm. 1907.

5 Helotonio Carvalho, “The Global Burden of Air Pollution-Associated Deaths - How Many Are Needed for Countries to React?”, Elsevier Vol.1, (2017), hlm.179.

6 Anton Suhartono, “Akan Diberlakukan pada 2018, Apa Itu Standar Emisi Euro4?”, https://news.okezone.com/read/2017/04/03/15/1657747/akan-diberlakukan-pada-2018-apa-itu-stan dar-emisi-euro4, diakses pada 7 September 2018

peraturan menjadi standar Euro 2 (1996),

Euro 3 (2000), Euro 4 (2005), Euro 5 (2009),

dan Euro 6 (2014). Indonesia juga mulai

memberlakukan standar emisi gas buang

Euro 4 dengan berbagai pertimbangan.

Standar emisi gas buang Euro 4 pada

bahan bakar minyak adalah emisi gas

buang yang memiliki kadar gas CO

maksimal 1 gr/km, HC 0,1 gr/km, NOx

0,08 gr/km dan untuk mesin diesel

memiliki kadar gas maksimal CO 0,50

gr/km, HC+NOx 0,3 gr/km, pm 0,025

gr/km.6 Untuk mengetahui apakah

suatu bahan bakar minyak dapat

memenuhi standar baku mutu emisi gas

buang Euro 4, dapat dilihat dari bilangan

oktan bahan bakar tersebut. Bilangan

oktan digunakan sebagai istilah untuk

menyatakan mutu bensin sebagai bahan

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP

PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

3

bakar berkompresi tinggi. Semakin

tinggi bilangan oktan, maka semakin

baik mutu bahan bakar tersebut,7

semakin sedikit emisi gas karbon

dioksida yang dihasilkan,8 dan semakin

lambat bahan bakar tersebut terbakar.

Hal ini membuat residu yang tertinggal

pada mesin sangat sedikit atau bahkan

tidak ada sehingga tidak ada gangguan

pada kinerja mesin.9

Kategori bahan bakar yang

memenuhi standar emisi gas buang Euro

4 adalah bahan bakar bernilai oktan

minimal 9210 e.g., Pertamax dengan

bilangan oktan 92, Pertamax Plus dengan

bilangan oktan 95 dan Pertamax Turbo

dengan bilangan oktan 98.11 Karenanya,

bahan bakar seperti Premium dengan

7 Romany M. Webb, Increasing Gasoline Octane Levels to Reduce Vehicle Emissions: A Review of Federal

and State Authority (New York: Sabin Center for Climate Change Law, 2017), hlm. 20. 8 Tim Theiss, et.al., Summary of High-Octane, Mid-Level Ethanol Blends Study 2, (Oak Ridge: Oak Ridge

National Laboratory, 2016), hlm. 2. 9 Ibid. 10 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Standar Emisi Euro 4 Segera Diberlakukan

Di Indonesia”, http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/579, diakses pada 3 September 2018. 11Praga Utama, “Ini Beda Premium, Pertalite, Pertamax, dan Pertamax Plus”,

https://bisnis.tempo.co/read/678224/ini-beda-premium-pertalite-pertamax-dan-pertamax-plus/full&view=ok, diakses pada 3 September 2018.

12 Ibid. 13 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan Kategori O, Nomor PM 20 Tahun 2017, Lampiran I (C).

14 Arief Hermawan, “Indonesia Masih Terbelakang Soal Standar Emisi Kendaraan”, https://tirto.id/ indonesia-masih-terbelakang-soal-standar-emisi-kendaraan-cjxJ, diakses pada 3 September 2018.

bilangan oktan 88 dan Pertalite dengan

bilangan oktan 9012 tidak memenuhi

standar emisi gas buang Euro 4.13

Premium sendiri sudah tidak beredar di

pasar dunia karena tidak memenuhi

standar emisi gas buang internasional,

selain karena bilangan oktan yang terlalu

rendah yaitu 88, kini standar emisi gas

buang internasional sudah meningkat

menjadi Euro 6.14

Pemberlakuan standar emisi gas

buang ini bukan tanpa alasan.

Perubahan iklim global yang

diakibatkan oleh peningkatan aktivitas

manusia (antropogenik) yang berimbas

pada peningkatan gas rumah kaca,

menjadi alasan utama diberlakukannya

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

4

standar emisi gas buang.15 Emisi gas

antropogenik yang lazim ditemukan di

seluruh dunia (baik sebagai polusi udara

perkotaan dan deposisi atmosfer lintas

batas) adalah, sulfur oksida (SOx),

nitrogen oksida (NOx), karbon

monoksida (CO), ozon (O3), jejak organik

(aldehida, benzena dan hidrokarbon

plyaromatic), beberapa jenis jejak logam

(terutama timbal (Pb)) dan partikulat

tersuspensi, serta polusi udara dari

kapal.16 Pembakaran bahan bakar fosil,

khususnya dari kendaraan bermotor,

menghasilkan 2 (dua) nitrogen oksida;

nitrogen oksida (NO dan nitrogen

dioksida (NO2), yang secara kolektif

dikenal sebagai NOx),17 yang kemudian

turut berkontribusi dalam peningkatan

antropogenik dari gas rumah kaca dan

pada akhirnya akan mengakibatkan

pemanasan global dan kerusakan

lingkungan.

15 Patricia Birnie, et.al., International Law & the Environment, 3rd ed., (UK: Oxford University Press,

2009), hlm. 336. 16 Philippe Sands, Principles of International Environmental Law, 2nd ed., (UK: Cambridge University

Press, 2007), hlm. 323. 17 Ibid. 18 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, “Impor Bensin RON 88 Direkomendasikan

Dihentikan”, https://migas.esdm.go.id/post/read/Impor-Bensin-RON-88--Direkomendasikan-Dihentikan, diakses pada 30 Mei 2018.

19 Abdul Aziz, “Inkonsistensi Pemerintah Soal Kebijakan BBM Premium” https://tirto.id/inkon sistensi-pemerintah-soal-kebijakan-bbm-premium-cKAF, diakses pada 4 September 2018.

Sebagai upaya untuk menyesuaikan

diri dengan standar emisi gas buang

internasional, Presiden Jokowi

kemudian membentuk Tim Reformasi

Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi pada

tahun 2014. Beberapa rekomendasi yang

diberikan oleh Tim Reformasi Tata

Kelola Minyak dan Gas Bumi adalah

menyarankan penghentian impor bahan

bakar beroktan 88 (Premium) atau bahan

bakar lainnya yang beroktan rendah dan

menggantinya dengan Pertamax yang

beroktan 9218 serta pengalihan produksi

kilang domestik dari bensin beroktan 88

menjadi beroktan 92.19

Rekomendasi ini juga didukung oleh

munculnya Peraturan Presiden No. 191

Tahun 2014 tentang Penyediaan,

Pendistribusian dan Harga Jual Eceran

Bahan Bakar Minyak (selanjutnya

disebut Perpres No. 191 Tahun 2014).

Perpres ini mengatur pengecualian

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP

PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

5

penyaluran bahan bakar minyak

beroktan 88, termasuk Premium, di Jawa

dan Bali.20 Perpres ini dinilai sebagai

langkah awal pemerintah untuk

menghapus bahan bakar tak ramah

lingkungan secara bertahap. Pada tahun

2017, standar emisi gas buang Euro 4

secara resmi diberlakukan di Indonesia

melalui Permen LH dan Kehutanan No.

P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/20

17. Adapun masa transisi yang diberikan

oleh Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan (KLHK) terkait

penerapan standar emisi Euro 4 adalah

paling lambat 1 tahun 6 bulan untuk

kendaraan bermotor berbahan bakar

bensin, CNG dan LPG21 serta 4 tahun

untuk kendaraan bermotor berbahan

bakar diesel.22 Setelah mengalami

pengunduran oleh KLHK selama 6

(enam) bulan, penghitungan masa

transisi penerapan Euro 4 ini akan

20 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar

Minyak, Perpres No. 191 Tahun 2014, Ps. 3 ayat (3). 21 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Op, cit., Ps 8 ayat (1) huruf a. 22 Ibid., Ps 8 ayat (1) huruf b. 23 Safyra Primadhyta, “KLHK Undur Masa Transisi Penerapan Standar Emisi Euro 4”

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180417094301-85-291322/klhk-undur-masa-transisi-penerapan-standar-emisi-euro-4, diakses pada 30 Agustus 2018.

24 Alanna Petroff, “These countries want to ban gas and diesel cars”, http://money.cnn.com/2017/09/11/ autos/countries-banning-diesel-gas-cars/index.html, diakses pada 29 Juni 2018.

dimulai terhitung Maret 2019

mendatang.23

Sayangnya, konsistensi pemerintah

dalam menjalankan rekomendasi-

rekomendasi yang diberikan oleh Tim

Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas

Bumi ini tidak berlangsung lama. Pada

Juli 2017, pada saat negara-negara lain

berencana menerapkan kebijakan

mengurangi emisi gas buang dengan

melarang penggunaan kendaraan

bermotor berbahan bakar minyak,24

Pemerintah Indonesia sebaliknya

mengumumkan bahwa Indonesia akan

kembali mewajibkan pendistribusian

bahan bakar minyak beroktan rendah

seperti Premium di seluruh wilayah

Indonesia. Kebijakan mewajibkan

kembali pendistribusian Premium ini

kemudian tercantum dalam Perpres No.

43 Tahun 2018 yang disahkan oleh

Presiden Jokowi pada 24 Mei 2018 lalu.

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

6

Pemberlakuan Peraturan Presiden ini

mengakibatkan masyarakat

mempertanyakan kembali komitmen

Pemerintah Indonesia dalam

mengontrol emisi gas buang kendaraan

bermotor guna mengurangi polusi udara

di Indonesia.

Prinsip pengambilan kebijakan yang

harus didasari oleh bukti ini disebut juga

sebagai prinsip evidence-based policy

making. Dalam pengimplementasian

evidence-based policy making, pemerintah

dituntut untuk memiliki kemampuan

untuk mengelola kebijakan hingga

manfaatnya dirasakan oleh orang

banyak.25 Dengan ditetapkannya Perpres

ini muncul satu pertanyaan yakni:

sudahkah prinsip evidence-based policy

making diimplementasikan dengan baik

dalam proses perumusan Perpres No. 43

Tahun 2018?

25 Sudi Fahmi, “Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup,” Jurnal Hukum, 2, 18 (2011), hlm. 217. 26 EVY/OIN, “Kuota Premium Jawa-Bali Dibatasi”,

https://nasional.kompas.com/read/2010/09/22/09102483/kuota.premium.jawa-bali.dibatasi, diakses pada 4 Oktober 2018.

II. Komitmen Indonesia dalam

Mengurangi Energi Tak Ramah

Lingkungan

A. Komitmen Berdasarkan Peraturan

Presiden Nomor 191 Tahun 2014

Perpres No. 191 Tahun 2014 yang

diundangkan pada tanggal 31 Desember

2014 memuat beberapa ketentuan yang

berkaitan dengan komitmen Indonesia

dalam mengurangi energi yang tak

ramah lingkungan. Pasal 3 mengatur

bahwa pemerintah melalui Perpres

tersebut, membatasi pendistribusian

Jenis BBM Khusus Penugasan atau BBM

jenis Bensin RON minimum 88

(Premium) untuk wilayah Jawa dan Bali.

Pembatasan pendistribusian didasari

atas alasan tingginya konsumsi Premium

pada wilayah Jawa dan Bali.26 Konsumsi

Premium yang tinggi tersebut turut

berkontribusi dalam kualitas udara

bersih di wilayah Jawa dan Bali.

Menurut data yang dirilis oleh

Greenpeace Indonesia, Jakarta dan

Denpasar menempati posisi 5 (lima)

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP

PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

7

besar sebagai kota dengan kualitas udara

terburuk di dunia.27 Karenanya,

pembatasan pendistribusian Premium di

wilayah Jawa dan Bali tersebut juga

merupakan sebuah bentuk kesadaran

Pemerintah akan besarnya

permasalahan lingkungan yang

ditimbulkan oleh gas buang sisa

pembakaran BBM yang mengandung

bahan-bahan pencemar seperti CO2

(Carbon Dioksida), NOx (Nitrogen Oksida),

CO (Carbon Monoksida), VHC (Volatile

Hydro Carbon) dan partikel lainnya.

Bahan-bahan tersebut berpotensi

memicu dampak negatif terhadap

manusia maupun ekosistem bila

melebihi konsentrasi tertentu.28

Kebijakan mengenai pembatasan

pendistribusian Premium untuk wilayah

Jawa dan Bali tersebut sejalan dengan

beberapa peraturan yang berkaitan

dengan pengendalian pencemaran udara

dan permasalahan lingkungan lainnya.

Peraturan perundangan tersebut antara

27 KumparanSAINS, “Jakarta dan Denpasar Masuk Daftar Kota Berpolusi Udara Terburuk Dunia”,

27 Juli 2018, https://kumparan.com/@kumparansains/jakarta-dan-denpasar- masuk-daftar-kota-berpolusi-udara-terburuk-dunia-27431110790555072, diakses pada 4 Oktober

2018. 28 Sugiarti, “Gas Pencemar Udara Dan Pengaruhnya Bagi Kesehatan Manusia,” Jurnal Chemica, Vol.

10, (2009), hlm. 50.

lain; Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun

1999 tentang Pengendalian Pencemaran

Udara, serta Permen LH tentang Baku

Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan

Bermotor. Peraturan-peraturan tersebut

membebankan tanggung jawab kepada

Pemerintah untuk mengatur semua

usaha atau kegiatan agar tidak

mencemari lingkungan, khususnya

dalam kegiatan transportasi dimana

pemerintah diwajibkan untuk

menggunakan BBM yang ramah

lingkungan.

B. Komitmen secara Internasional

mengenai Pengendalian dan

Pengurangan Energi Tak Ramah

Lingkungan

Perubahan iklim merupakan salah

satu permasalahan lingkungan yang

menjadi perhatian utama dari banyak

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

8

negara di dunia. Salah satu penyebab

utama dari perubahan iklim tersebut

adalah meningkatnya emisi gas rumah

kaca yang memicu suhu global rata-rata

di permukaan bumi meningkat.

Peningkatan suhu permukaan bumi

tersebut diperkirakan akan

menyebabkan naiknya permukaan laut

dan bergesernya zona iklim. Kesadaran

luas bahwa risiko kerugian ekonomi dan

lingkungan yang timbul akibat

perubahan iklim akan sangat tinggi,

mendorong masyarakat internasional

melakukan tindakan untuk

mengendalikan potensi perubahan

iklim. Berbagai macam tindakan, seperti

negosiasi antara negara-negara terus

dilaksanakan. Negosiasi yang

dilaksanakan oleh negara-negara

tersebut bertujuan untuk membentuk

sebuah “world-wide agreement”.29

“World-wide agreement” atau

perjanjian internasional ini berkaitan

dengan pengendalian dan pengurangan

energi tak ramah lingkungan, khususnya

29 Carlo Carraro, International Environmental Agreements on Climate Change, (Dordrecht: Kluwer

Academic Publishers, 1999), hlm. 1. 30 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Framework Convention on Climate Change,

(resolution/adopted by the General Assembly, 20 Januari 1994, A/RES/48/189), Ps 2.

yang berkaitan dengan permasalahan

Emisi Gas Buang Kendaraan. Meskipun

terdapat beberapa permasalahan

mengenai pengendalian dan

pengurangan energi tak ramah

lingkungan masih belum dapat

dipecahkan, namun negosiasi antar

negara tersebut akhirnya mampu untuk

merumuskan sebuah perjanjian

internasional. Perjanjian internasional

tersebut yaitu United Nations Framework

Convention on Climate Change

(selanjutnya disingkat UNFCCC).

UNFCCC merupakan sebuah

konvensi internasional yang memiliki

tujuan untuk mencapai “stabilization of

greenhouse gas concentrations in the

atmosphere at a level that would prevent

dangerous anthropogenic interference with

the climate system”30. Selain itu UNFCCC

juga berisi komitmen dari negara-negara

untuk menerapkan langkah-langkah

penting dalam hal pengurangan

kegiatan yang menghasilkan emisi dan

mampu mencemari lingkungan udara.

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP

PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

9

Selain UNFCCC, terdapat sebuah

perjanjian internasional yang juga

memiliki tujuan untuk mengendalikan,

mengurangi atau mencegah emisi gas

rumah kaca, yaitu Kyoto Protocol to the

United Nations Framework Convention on

Climate Change (selanjutnya disingkat

Protokol Kyoto). Protokol Kyoto

memiliki hubungan yang erat dengan

UNFCCC karena Protokol tersebut

dibentuk dan diadopsi pada konferensi

ketiga dari negara anggota UNFCCC

atau the Third session of the Conference of

Parties (COP3) yang diadakan di Kyoto,

Jepang pada tahun 1997. Indonesia telah

meratifikasi Protokol Kyoto dengan

Undang-Undang 17 Tahun 2004 tentang

Pengesahan Kyoto Protocol to the United

Nations Framework Convention on Climate

Change pada tanggal 28 Juli 2004.31

Sama halnya dengan UNFCCC,

Protokol Kyoto juga berisi komitmen-

komitmen dari negara-negara anggota

dalam mencapai tujuan untuk

31 Marsudi Triatmodjo, “Implikasi Berlakunya Protokol Kyoto-1997 Terhadap Indonesia”, Jurnal

Hukum Internasional, Vol. 2, (2005), hlm. 302. 32 Ludivine Tamiotti, Trade and Climate Change: A Report by the United Nations Environment

Programme and the World Trade Organization, (UNEP: Earthprint, 2009), hlm. 71-72. 33 Ashwani Kumar, et.al, Biofuels: Greenhouse Gas Mitigation and Global Warming: Next Generation

Biofuels and Role of Biotechnology, (India: Spinger, 2018), hlm. 6.

membatasi atau mengurangi emisi gas

rumah kaca, dengan cara menerapkan

dan/atau merinci kebijakan dan

tindakan lebih lanjut untuk membatasi

dan mengurangi emisi gas rumah kaca.32

Selain itu, Protokol Kyoto secara umum

dipandang sebagai langkah pertama

yang penting menuju rezim

pengurangan emisi global yang benar-

benar diharapkan akan mampu

menstabilkan konsentrasi gas rumah

kaca.33

Namun demikian, pada masa ini

Protokol Kyoto dianggap kurang adil

dan kurang efektif dalam mengikat

negara-negara anggota untuk ikut

terlibat dalam mengatasi perubahan

iklim yang semakin parah.

Ketidakadilan dan ketidakefektifan

tersebut dikarenakan Protokol Kyoto

hanya membebankan kewajiban kepada

negara-negara maju untuk membatasi

atau mengurangi emisi gas rumah kaca

serta menciptakan kestabilan iklim

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

10

(Annex I Protokol Kyoto), namun

cenderung membebaskan negara-negara

berkembang dari kewajiban tersebut.

Kebijakan tersebut menyebabkan

kewajiban negara-negara dalam

mengurangi atau membatasi emisi gas

rumah kaca tidak merata sehingga

mengakibatkan sulit tercapainya

kestabilan iklim global di bumi.34

Meskipun Indonesia bukan

merupakan negara anggota Annex 1 dari

Protokol Kyoto, Pemerintah Indonesia

kemudian mengesahkan Perpres Nomor

61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi

Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah

Kaca. Perpres ini disusun untuk

menindaklanjuti kesepakatan COP13,

COP15, COP16 dan memenuhi

komitmen Pemerintah Indonesia dalam

pertemuan G-20 di Pittsburg untuk

menurunkan emisi gas rumah kaca.35

Dalam bidang energi dan transportasi,

Perpres ini mengatur bahwa salah satu

34 Christoph Böhringer, The Kyoto Protocol: A Review and Perspectives, Discussion Paper No. 03-61,

ZEWl-Zentrum für Europäische Wirtschaftsforschung/Center for European Economic Research (2003), hlm. 11.

35 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Perpres No. 61 Tahun 2011, bagian Menimbang huruf b.

36 ibid, Lampiran I, hlm. 10. 37 Climate Focus, “The Paris Agreement Summary”, Climate Focus Client Brief on the Paris

Agreement III, Briefing Note, (2015), hlm. 1.

kebijakan yang digunakan untuk

menunjang penurunan emisi gas rumah

kaca di Indonesia adalah penggunaan

bahan bakar yang lebih bersih (fuel

switching).36

Seiring berjalannya waktu,

ketidakefektifan Protokol Kyoto tersebut

berujung pada pelaksanaan Konferensi

Antar Negara Anggota (Conference of the

Parties/COP21) dari UNFCCC ke-21 yang

diadakan di Paris pada tanggal 12

Desember 2015. Dalam COP21 tersebut,

196 negara-negara anggota dari

UNFCCC mengadopsi Paris Agreement

(Perjanjian Paris). Perjanjian Paris

merupakan sebuah kerangka kerja baru

yang mengikat secara hukum sebagai

upaya yang dikoordinasikan secara

internasional untuk mengatasi

perubahan iklim.37 Tujuan utama dari

Perjanjian Paris, sebagaimana diatur

dalam Pasal 2, adalah untuk menahan

kenaikan suhu rata-rata global di bawah

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP

PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

11

2°C (dua derajat Celcius) di atas tingkat

di masa pra-industrialisasi dan

melanjutkan upaya untuk menekan

kenaikan suhu ke 1,5°C (satu setengah

derajat Celcius) di atas tingkat pra–

industrialisasi.

Indonesia menandatangani

Perjanjian Paris pada 22 April 2016, dan

dilanjutkan dengan ratifikasi melalui

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.

Berdasarkan Perjanjian Paris, Indonesia

telah berkomitmen untuk menurunkan

emisi gas rumah kaca (mitigasi) pada

tahun 2030 sebesar 29% dengan

kemampuan sendiri dan sampai dengan

41% bila dengan dukungan

internasional.38

III. Evidence-Based Policy Making

dalam Perumusan Peraturan

Presiden Nomor 43 Tahun 2018

Gagasan evidence-based policy making

merupakan sebuah gagasan yang

38 Nur Masripatin, et.al., Strategi Implementasi NDC (Nationally Determined Contribution), (Jakarta:

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK RI, 2017), hlm. 2-4. 39 I Plewis, Educational Inequalities and Education Action Zones, dalam C. Pantazis dan D. Gordon

(eds), Tackling Inequalities: Where Are We Now and What Can Be Done, (Bristol: Policy Press, 2000), hlm. 96.

40 Philippe, Op.cit., hlm. 6. 41 Suzuette S. Soomai, “The Use and Influence of Scientific Information in Environmental Policy

Making: Lessons Learned from Nova Scotia”, Proceedings of the Nova Scotian Institute of Science Vol.47 Part.1, (2012), hlm. 158.

menitik beratkan pada perumusan

kebijakan lingkungan yang hanya dapat

diadopsi ketika didasari ada bukti ilmiah

yang meyakinkan.39 Evidence-based policy

making hadir sebagai sebuah bentuk

pencegahan kerusakan lingkungan yang

mungkin timbul40 sebagai akibat

kegagalan suatu kebijakan yang diambil

oleh pembuat kebijakan.41

Peran kajian bukti ilmiah dalam

pengembangan dan implementasi

kebijakan terlihat dari berbagai cara

antara lain: pertama, kajian bukti ilmiah

berperan sebagai sumber informasi

mengenai efektivitas masing-masing

opsi kebijakan yang akan diambil

sehingga mempermudah pengambil

kebijakan dalam mengambil keputusan

tentang kebijakan mana yang harus

diambil. Kedua, kajian bukti ilmiah dari

evaluasi kebijakan berperan sebagai

sumber informasi bagi pengambil

kebijakan untuk memutuskan apakah

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

12

kebijakan tersebut dapat dilanjutkan

atau diperlukannya penyesuaian

kebijakan demi efektivitas kebijakan itu

sendiri.42

Pada dasarnya, proses pengambilan

kebijakan lingkungan memiliki ciri

interdisipliner, yang tercermin dalam

proses pembuatannya yaitu ketika para

ahli hukum, peneliti, dan para ilmuwan

berintegrasi untuk memformulasikan

suatu kebijakan lingkungan.43 Oleh

karena itu, bukti kajian ilmiah yang

dibutuhkan untuk mendukung

kebijakan harus juga bersifat

interdisipliner, luas, dan jangka

panjang.44 Selain itu, bukti kajian ilmiah

tersebut harus dikumpulkan secara

cermat dan sistematis45 serta relevan,

representatif dan valid.46

42 Ian Sanderson, “Evaluation, Policy Learning and Evidence-Based Policy Making”, Public

Administration, Vol.80, No.1, (2002), hlm. 4. 43 C. Brodhag dan S. Taliere, “Sustainable Development Strategies: Tools for Policy Coherence”,

Natural Resources Forum Vol.30 No.2, (2006): hlm.136-145.; lihat juga B.W. Head, “Three Lenses of Evidence-Based Policy”, Australian Journal of Public Administration Vol.67 No.1, (2008), hlm. 1-11.

44 Louise Shaxson, et.al., “Developing an Evidence-based Approach to Environmental Policy Making: Insights from Defra’s Evidence & Innovation Strategy”, Science & Technology Policy Research Electronic Working Paper, No. 181, (2009), hlm. 2.

45 Court, et.al. Policy Engagement: How Civil Society Can be More Effective, (London: Overseas Development Institute, 2006), hlm. 5.

46 Palmira Permata Bachtiar, “Producing Evidence to Inform Policy Process in Indonesia: The Challenges on the Supply Side”, dalam The SMERU Research Institute, “Towards Pro-poor Policy Through Research”, Newsletter No.32, (2011), hlm. 4.

47 Carol Hirschon Weiss, “What Kind of Evidence in Evidence Based Policy?” disampaikan dalam Harvard University, 3rd International Interdisciplinary Evidence-Based Policies and Indicator Systems Conference, 2001, hlm. 288-289.

Berdasarkan muatannya, terdapat 4

(empat) jenis bukti kajian ilmiah yang

memiliki dampak pada proses

pengambilan kebijakan, antara lain:47

data deskriptif (biaya hidup, penerimaan

pajak, tingkat pasar saham, tingkat

pengangguran, tingkat kesejahteraan

masyarakat, dampak kesehatan), temuan

analitik (penelitian yang

mengidentifikasi faktor-faktor yang

menyebabkan suatu hal), bukti evaluatif

(mengkaji efektivitas kebijakan yang

ada), dan analisis prediktif kebijakan

(menghitung keuntungan dan kerugian,

kemungkinan biaya dan manfaat, serta

hasil yang diharapkan dari masing-

masing alternatif kebijakan).

Dalam kehidupan nyata, bukti dapat

muncul dari berbagai elemen

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP

PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

13

masyarakat seperti institusi akademik,

badan-badan pemerintahan dan

lembaga swadaya masyarakat48 serta

hadir dalam berbagai bentuk. Sebagai

contoh, Pemerintah Inggris

mendefinisikan bukti sebagai

pengetahuan pakar, hasil penelitian

yang dipublikasikan, data statistik, hasil

konsultasi dengan pemangku

kepentingan (stakeholders), dokumen

evaluasi kebijakan sebelumnya, internet,

hasil konsultasi, dokumen hitungan

biaya opsi-opsi kebijakan, dan keluaran

dari pemodelan ekonomi dan statistik.49

Beralih ke dalam implementasi

evidence-based policy making pada

perumusan Perpres No. 43 Tahun 2018

yang berisi mengenai perubahan

peraturan mengenai penyediaan,

pendistribusian dan harga jual eceran

bahan bakar minyak di Indonesia. Pada

24 Mei 2018, Kementerian Energi dan

Sumber Daya Mineral (ESDM)

mengumumkan bahwa Presiden Jokowi

48 Suzuette, op.cit., hlm. 156. 49 UK Cabinet Office, Modernising Government White Paper, (London: Centre for Management and

Policy Studies, 1999), hlm. 33. 50 TW, “Presiden Jokowi Teken Perpres Nomor 43 Tahun 2018, Premium Wajib Tersedia di Jamali”,

https://migas.esdm.go.id/post/read/presiden- jokowi-teken-perpres-nomor-43-tahun-2018-pertamina-wajib-distribusikan-premium-di-jamali, diakses pada 1 Juni 2018.

51 Abdul Aziz, Op.cit.

telah resmi menandatangani Perpres No.

43 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas

Perpres No. 191 Tahun 2014 tentang

Penyediaan, Pendistribusian dan Harga

Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.50

Melalui Perpres No. 43 Tahun 2018 ini,

Pemerintah menetapkan kembali Jawa

dan Bali sebagai wilayah penugasan

penyediaan dan pendistribusian

premium.

Sejak pertama kali diberlakukan,

Perpres No. 43 Tahun 2018 ini telah

menuai banyak kritik dari masyarakat.51

Pertanyaan yang kemudian muncul

adalah: sudahkah pemerintah

mengimplementasikan prinsip evidence-

based policy making dalam perumusan

Perpres No. 43 Tahun 2018?

Salah satu cara untuk menelusuri

implementasi evidence-based policy making

dalam proses perumusan suatu

peraturan perundang-undangan di

Indonesia adalah dengan mempelajari

naskah akademik yang mendasari

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

14

peraturan perundangan-undangan

tersebut. Sayangnya, UU No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan mewajibkan

pembuatan naskah akademik hanya

untuk Rancangan Undang-Undang,

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,

dan Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota.52 Sehingga dalam

proses perumusan jenis peraturan

perundang-undangan lainnya, seperti

Peraturan Presiden, naskah akademik

tidak menjadi dokumen prasyarat.

Ketika ditelusuri melalui situs

Jaringan Dokumentasi dan Informasi

Hukum Nasional

(JDIHN/www.jdihn.bphn.go.id),

dokumen kajian dan analisis yang

mendasari pembentukan Perpres No. 43

Tahun 2018 juga tidak dapat ditemukan.

Penulis hanya dapat menelusuri alasan

yang mendasari pemberlakuan Perpres

52 Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011,

LN No. 82 tahun 2011, TLN No. 5234, Ps 1 Angka 11. 53 Shintaloka Pradita Sicca, “Pemerintah Ungkap Alasan Pertamina Harus Jual Premium di Jamali”,

https://tirto.id/pemerintah-ungkap-alasan-pertamina-harus-jual-premium-di-jamali-cHzF, diakses pada 30 Agustus 2018.

54 Lani Diana Wijaya, “Presiden Jokowi Resmi Teken Revisi Perpres 191/2014 Soal Premium”, https://bisnis .tempo.co/read/1092758/presiden-jokowi-resmi-teken-revisi-perpres-1912014-soal-premium, diakses pada 26 Mei 2018.

55 Sekretariat Kabinet RI, “Perpres dan Permen Direvisi, Archandra: Presiden Instruksikan Jamin Pasokan dan Harga Premium”, https://setkab.go.id/perpres-dan-permen-di revisi-archandra-presiden-instruksikan-jamin-pasokan-dan-harga-premium/, diakses pada 31 Agustus 2018.

No. 43 Tahun 2018 dari pernyataan-

pernyataan yang dikemukakan oleh

Kementerian ESDM.

Dirjen Migas Kementerian ESDM,

Djoko Siswanto menjelaskan bahwa

pemberlakuan Perpres No. 43 Tahun

2018 adalah upaya Pemerintah untuk

menjaga harga BBM dan daya beli

masyarakat di tengah meningkatnya

harga minyak mentah dunia.53 Selain itu,

Pemerintah juga menyatakan bahwa

Perpres No. 43 Tahun 2018 diberlakukan

untuk menanggulangi kelangkaan

premium di sejumlah daerah di

Indonesia54 dan sebagai upaya preventif

terjadinya inflasi.55

Jika melihat data dari Badan Pusat

Statistik (BPS), pada Juli 2018 memang

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP

PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

15

terjadi inflasi sebesar 0,28 persen56

dengan kenaikan harga bensin dan tarif

pulsa ponsel sebagai dua komoditas

yang dominan memberikan

andil/sumbangan inflasi dalam kategori

transpor, komunikasi dan jasa

keuangan.57 Namun, apakah dengan

hanya mempertimbangkan dampak

ekonomi jangka pendek saja cukup?

Selain mengkaji dampak ekonomi

jangka pendek, Pemerintah juga harus

mempertimbangkan dampak ekonomi

jangka panjang,58 dampak lingkungan

dan dampak sosial sebelum menerbitkan

suatu kebijakan.59 Dari segi dampak

lingkungan, sebuah studi menunjukkan

bahwa penggunaan bahan bakar

beroktan tinggi akan berdampak pada

pengurangan produksi emisi karbon

56 BPS, “Inflasi sebesar 0,28 persen pada Juli 2018. Inflasi tertinggi terjadi di Sorong sebesar 1,47

persen.”, https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/08/01/1435/inflasi-sebesar-0-28-persen-pada- juli-2018--inflasi-tertinggi-terjadi-di-sorong-sebesar-1-47-persen-.html, diakses pada 31 Agustus 2018.

57 BPS, “Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi,” No.59/08/Th.XXI, 2018, hlm. 4. 58 UK Strategic Policy Making Team Cabinet Office, Professional Policy Making for the Twenty First

Century, (London: UK Cabinet Office, 1999), Chapter. 4.1. 59 Philip Davies, “The State of Evidence-Based Policy Evaluation and Its Role in Policy Formation,”

National Institute Economic Review Vol.219, No.1, (2012), hlm. R.48. 60 Romany, Op.cit., hlm. 9. 61 Mark Z. Jacobson, “On the Causal Link Between Carbon Dioxide and Air Pollution Mortality”,

Geophysical Research Letters, Vol.35, (2008), hlm. 2-5. 62 Nicholas Rees, Clear the Air for Children, the Impact of Air Pollution on Children, (US: UNICEF, 2016),

hlm. 30. 63 Jordi Sunyer, et.al., “Association between Traffic-Related Air Pollution in Schools and Cognitive

Development in Primary School Children: A prospective cohort study”, PLOS Medicine 12 (3), (2005), hlm. 19.

dioksida kendaraan bermotor.60 Emisi

karbon dioksida sendiri dapat

menyebabkan pemanasan global,

kenaikan air laut, cuaca ekstrim,

meningkatnya angka kematian dan

penyakit seperti asma dan kanker.61

Dampak negatif terhadap kesehatan

masyarakat tersebut juga memiliki

dampak sosial baik bagi orang dewasa

maupun anak-anak. Sebuah studi

menunjukkan bahwa polusi udara dapat

menyebabkan gangguan kognitif ringan

pada orang dewasa62 dan menghambat

perkembangan kognitif pada anak-

anak.63 UNICEF melaporkan bahwa

hubungan kausalitas antara polusi udara

dan timbulnya berbagai penyakit pada

anak pada akhirnya menyebabkan

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

16

rendahnya tingkat kehadiran64 dan

prestasi akademik anak di sekolah.65

Selain lebih ramah lingkungan,

penggunaan bahan bakar beroktan

tinggi ternyata juga lebih baik dari segi

dampak ekonomi jangka panjang. Dalam

perumusan Perpres No. 43 Tahun 2018,

Pemerintah Indonesia tidak

mempertimbangkan dampak ekonomi

jangka panjang seperti penghematan

penggunaan bahan bakar.66 Biaya terkait

perancangan dan produksi mesin yang

dapat digunakan untuk bahan bakar

beroktan tinggi pun relatif lebih kecil jika

dibandingkan dengan penghematan

biaya bahan bakar selama masa pakai

kendaraan.67 Selain itu, penggunaan

bahan bakar beroktan tinggi juga

diperkirakan akan secara langsung

menghemat 7,9-14,1 miliar dollar

Amerika Serikat per tahun68 atau setara

dengan 117-209 triliun rupiah per tahun.

64 Jianghong Liu dan Gary Lewis, “Environmental Toxicity and Poor Cognitive Outcomes in

Children and Adults”, Journal of Environmental Health, 76, 6 (2014), hlm.130–138. 65 Mohai Paul, et.al., “Air Pollution around Schools Is Linked to Poorer Student Health and

Academic Performance,” Health Affairs, 30, 5 (2011), hlm. 852–862. 66 Raymond L. Speth, et.al., Economic and Environmental Benefits of Higher-Octane Gasoline, (US:

American Chemical Society, 2014), hlm.6566-6567. 67 Ibid. 68 Ibid.

Penjelasan di atas menunjukkan

bahwa pemberlakuan Perpres No. 43

Tahun 2018 ini tidak memperhitungkan

dampak jangka panjang baik dari segi

lingkungan, sosial maupun ekonomi.

Hal ini terlihat dari tindakan Pemerintah

yang mengesampingkan pemberlakuan

standarisasi Euro 4 bagi kendaraan

bermotor di Indonesia dengan kembali

mewajibkan pendistribusian premium di

seluruh wilayah Indonesia.

Sudah saatnya bagi pemerintah

Indonesia untuk kembali menjalankan

komitmennya dalam mengurangi

penggunaan energi tak ramah

lingkungan di Indonesia. Komitmen ini

hanya akan terealisasi jika pemerintah

Indonesia mulai mengimplementasikan

prinsip evidence-based policy making

dalam proses perumusan kebijakan-

kebijakannya, guna mengetahui bentuk

kebijakan terbaik yang berwawasan

lingkungan.

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP

PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

17

IV. Penutup

Gagasan evidence-based policy making

adalah gagasan yang menitikberatkan

pada perumusan kebijakan lingkungan,

yang hanya dapat diadopsi ketika

didasari ada bukti ilmiah yang

meyakinkan. Dalam

mengimplementasikan evidence-based

policy making, diperlukan analisa

terhadap berbagai dampak seperti

dampak ekonomi, lingkungan dan sosial

dari suatu kebijakan. Dalam hal

pemberlakuan Perpres No. 43 Tahun

2018, pemerintah Indonesia tidak secara

seksama mempertimbangkan dampak

jangka panjang ekonomi, lingkungan

dan sosial dari Perpres ini. Hal ini juga

terlihat dari ketiadaan bukti ilmiah yang

dapat diakses publik di balik pembuatan

kebijakan tersebut. Kebijakan untuk

kembali mewajibkan pendistribusian

bahan bakar beroktan rendah seperti

Premium di seluruh wilayah Indonesia

ini merupakan langkah mundur dalam

pemberlakuan standar Euro 4 di

Indonesia.

Ke depannya, guna merealisasikan

komitmen Indonesia untuk mengurangi

penggunaan energi tak ramah

lingkungan, penting bagi Pemerintah

Indonesia untuk melakukan harmonisasi

kebijakan-kebijakan lintas sektor,

khususnya sektor energi dan

lingkungan. Salah satu langkah untuk

mewujudkan harmonisasi kebijakan-

kebijakan lintas sektor tersebut dapat

dilakukan dengan

mengimplementasikan prinsip evidence-

based policy making di berbagai sendi

pemerintahan. Hal ini dilakukan guna

terciptanya kebijakan yang tidak hanya

menguntungkan dalam kacamata

ekonomi jangka pendek, namun juga

kebijakan yang memberi dampak positif

pada lingkungan di Indonesia.

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

18

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Perserikatan Bangsa-Bangsa, United

Nations Framework Convention on

Climate Change, resolution /

adopted by the General Assembly,

20 January 1994, A/RES/48/189.

_____, Kyoto Protocol to the United Nations

Framework Convention on Climate

Change, 1997, 37 ILM 22, UN Doc.

FCCC/CP/1997/7/Add.1

Indonesia. Undang-undang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

UU No. 32 Tahun 2009, LN No.

140 Tahun 2009, TLN No. 5059.

_____. Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan, Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan

tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang

Kendaraan Bermotor Tipe Baru

Kategori M, Kategori N, dan Kategori

O, Nomor PM 20 Tahun 2017

_____. Peraturan Presiden tentang Rencana

Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas

Rumah Kaca. Perpres No. 61 Tahun

2011.

_____. Peraturan Presiden tentang

Penyediaan, Pendistribusian, dan

Harga Jual Eceran Bahan Bakar

Minyak. Perpres No. 191 Tahun

2014.

Buku

Birnie, Patricia, et.al. International Law &

the Environment, 3rd ed. UK:

Oxford University Press. 2009.

Carraro, Carlo. International

Environmental Agreements on

Climate Change, Dordrecht:

Kluwer Academic Publishers.

1999.

Court, et.al. Policy Engagement: How Civil

Society Can be More Effective,

London: Overseas Development

Institute. 2006.

Djamin, Djanius. Pengawasan dan

Pelaksanaan Undang-undang

Lingkungan Hidup. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia. 2007.

Kumar, Ashwani, et.al. Biofuels:

Greenhouse Gas Mitigation and

Global Warming: Next Generation

Biofuels and Role of Biotechnology,

India: Springer. 2018.

Masripatin, Nur, et.al. Strategi

Implementasi NDC (Nationally

Determined Contribution). Jakarta:

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP

PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

19

Dirjen Pengendalian Perubahan

Iklim, KLHK RI. 2017.

Plewis, I. Educational Inequalities and

Education Action Zones, dalam C.

Pantazis and D. Gordon (eds).

Tackling Inequalities: Where Are We

Now and What Can Be Done.

Bristol: Policy Press. 2000.

Sands, Philippe. Principles of International

Environmental Law, 2nd ed. UK:

Cambridge University Press.

2007.

Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan.

Jakarta: Pancuran Alam. 2009.

Speth, Raymond L. et.al. Economic and

Environmental Benefits of Higher-

Octane Gasoline. US: American

Chemical Society. 2014.

Tamiotti, Ludivine. Trade and Climate

Change: A Report by the United

Nations Environment Programme

and the World Trade Organization,

UNEP/Earthprint. 2009.

Weiss, Carol Hirschon. What Kind of

Evidence in Evidence Based Policy?

Harvard University. 3rd

International Interdisciplinary

Evidence-Based Policies and

Indicator Systems Conference.

2001.

Jurnal

AJ, Cohen, Brauer M, Burnett R, et. al.

“Estimates and 25-year trends of

the global burden of disease

attributable to ambient air

pollution: an analysis of data from

the Global Burden of Diseases

Study 2015.” The Lancet Vol. 389,

(2017).

Brodhag, C. dan S. Taliere. “Sustainable

Development Strategies: Tools for

Policy Coherence,” Natural

Resources Forum Vol.30 No.2.

(2006).

Carvalho, Helotonio. “The Global

Burden of Air Pollution-

Associated Deaths - How Many

Are Needed for Countries to

React?” Elsevier Ltd. (2017).

Davies, Philip. “The state of evidence-

based policy evaluation and its

role in policy formation,” National

Institute Economic Review Vol.219,

No.1. (2012).

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

20

Fahmi, Sudi. “Asas Tanggung Jawab

Negara Sebagai Dasar

Pelaksanaan Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.”

Jurnal Hukum No. 2 Vol.18. (2011).

Head, B.W. “Three Lenses of Evidence-

Based Policy.” Australian Journal of

Public Administration Vol.67 No.1.

(2008).

Jacobson, Mark Z. “On the Causal Link

Between Carbon Dioxide and Air

Pollution Mortality,” Geophysical

Research Letters, Vol.35. (2008).

Liu, Jianghong dan Gary Lewis.

“Environmental Toxicity and

Poor Cognitive Outcomes in

Children and Adults,” Journal of

Environmental Health, Vol.76, No.6.

(2014).

Paul, Mohai, et.al. “Air Pollution around

Schools Is Linked to Poorer

Student Health and Academic

Performance,” Health Affairs,

Vol.30, No.5. (2011).

Sanderson, Ian. “Evaluation, Policy

Learning and Evidence-Based

Policy Making,” Public

Administration, Vol.80, No.1.

(2002).

Soomai, Suzuette S. “The Use and

Influence of Scientific Information

In Environmental Policy Making:

Lessons Learned from Nova

Scotia,” Proceedings of the Nova

Scotian Institute of Science Vol.47

Part.1. (2012).

Sugiarti. “Gas Pencemar Udara dan

Pengaruhnya Bagi Kesehatan

Manusia.” Jurnal Chemica. Vol. 10.

(2009).

Sunyer, Jordi, et.al. “Association between

Traffic-Related Air Pollution in

Schools and Cognitive

Development in Primary School

Children: A prospective cohort

study.” PLOS Medicine 12(3).

(2005).

Triatmodjo, Marsudi. “Implikasi

Berlakunya Protokol Kyoto-1997

Terhadap Indonesia.” Jurnal

Hukum Internasional, Vol. 2. (2005).

Lain-Lain

Alanna Petroff. “These Countries Want

to Ban Gas and Diesel Cars.”

http://money.cnn.com/

2017/09/11/autos/countries-

banning-diesel-gas-

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP

PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

21

cars/index.html, diakses pada 29

Juni 2018.

Bachtiar, Palmira Permata. Producing

Evidence to Inform Policy Process in

Indonesia: The Challenges on the

Supply Side, dalam The SMERU

Research Institute, Towards Pro-

poor Policy Through Research,

Newsletter No. 32. 2011.

Böhringer, Christoph. The Kyoto Protocol:

A Review and Perspectives,

Discussion Paper No. 03-61, ZEW-

Zentrum für Europäische

Wirtschaftsforschung/Center for

European Economic Research

(2003).

BPS. “Inflasi sebesar 0,28 persen pada

Juli 2018. Inflasi tertinggi terjadi di

Sorong sebesar 1,47 persen.”,

https://www.bps.go.id/pressrel

ease/2018/08/01/1435 /inflasi-

sebesar-0-28-persen-pada-juli-

2018--inflasi-tertinggi-terjadi-di-

sor ong-sebesar-1-47-persen-

.html, diakses pada 31 Agustus

2018.

BPS. Perkembangan Indeks Harga

Konsumen/Inflasi,

No.59/08/Th.XXI, 2018.

Climate Focus, “The Paris Agreement

Summary”, Climate Focus Client

Brief on the Paris Agreement III,

Briefing Note, (2015).

EVY/OIN. "Kuota Premium Jawa-Bali

Dibatasi."

https://nasional.kompas.com/re

ad/2010/09/22/09102483/kuota.

premium.jawa-bali.dibatasi.

diakses pada 4 Oktober 2018.

Hermawan, Arief. “Indonesia Masih

Terbelakang Soal Standar Emisi

Kendaraan”,

https://tirto.id/indonesia-masih-

terbelakang-soal-standar-emisi-

kendaraan-cjxJ. diakses pada 3

September 2018.

Hermawan. “Inkonsistensi Pemerintah

Soal Kebijakan BBM Premium”

https://tirto.id/inkonsistensi-

pemerintah-soal-kebijakan-bbm-

premium-cKAF. diakses pada 4

September 2018.

Kementerian ESDM. “Impor Bensin

RON 88 Direkomendasikan

Dihentikan.”

https://migas.esdm.go.id/post/

read/Impor-Bensin-RON-88--

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23

22

Direkomendasikan-Dihentikan,

diakses pada 30 Mei 2018.

Kementerian ESDM. “Presiden Jokowi

Teken Perpres Nomor 43 Tahun

2018, Premium Wajib Tersedia di

Jamali.”

https://migas.esdm.go.id/post/

read/ presiden-jokowi-teken-

perpres-nomor-43-tahun-2018-

pertamina-wajib-dis tribusikan-

premium-di-jamali. diakses pada

1 Juni 2018.

KLHK RI. “Standar Emisi Euro 4 Segera

Diberlakukan di Indonesia.”

http://ppid.menlhk.go.id/siaran

_pers/browse/579, diakses pada

3 September 2018.

KLHK RI. “Asas Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.”

http://www.menlh.go.id/asas-

perlindungan-dan-pengelolaan-

lingkungan-hidup/d diakses

pada 30 Mei 2018.

Kumparan SAINS. “Jakarta dan Denpasar

Masuk Daftar Kota Berpolusi Udara

Terburuk Dunia”, 27 Juli 2018,

https://kumparan.com/@kumpa

ransains/jakarta-dan-denpasar-

masuk-daftar-kota-berpolusi-

udara-terburuk-dunia-

27431110790555072. diakses pada

4 Oktober 2018.

Lani Diana Wijaya. “Presiden Jokowi

Resmi Teken Revisi Perpres

191/2014 Soal Premium.”

https://bisnis.tempo.co/read/10

92758/presiden-jokowi-resmi-

teken-revisi-perpres-1912014-

soal-premium, diakses pada 26

Mei 2018.

Rees, Nicholas. Clear the Air for Children,

the Impact of Air Pollution on

Children. US: UNICEF. 2016.

Sekretariat Kabinet RI. “Perpres dan

Permen Direvisi, Archandra:

Presiden Instruksikan Jamin

Pasokan dan Harga Premium”,

https://setkab.go.id/perpres-

dan-permen-direvisi-archandra-

presiden-instruksikan-jamin-

pasokan-dan-harga-premium/,

diakses pada 31 Agustus 2018.

Shaxson, Louise. et.al. 2009. Developing an

Evidence-based Approach to

Environmental Policy Making:

Insights from Defra’s Evidence &

Innovation Strategy. Science &

Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP

PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4

23

Technology Policy Research

Electronic Working Paper.

Shaxson, Louise. Pelajaran untuk

Membangun dan Mengelola Basis

Bukti untuk Kebijakan,

Kementerian PPN/Bappenas

Working Paper, No. 10. 2016.

Suhartono, Anton. “Akan Diberlakukan

pada 2018, Apa Itu Standar Emisi

Euro4?”,

https://news.okezone.com/read

/2017/04/03/15/1657747/akan-

diberlakukan -pada-2018-apa-itu-

standar-emisi-euro4, diakses pada

7 September 2018.

Surat Menteri KLHK kepada Presiden

Jokowi Nomor

S.108/Menlhk/Setjen/PKL.3/3/

2018.

Tempo. “Kebijakan Energi Jokowi Tak

Konsisten.”

https://koran.tempo.co/read/42

9636/kebijakan-energi-jokowi-

tak-konsisten, diakses pada 11

April 2018.

Theiss, Tim. et.al. Summary of High-

Octane, Mid-Level Ethanol Blends

Study 2. Oak Ridge: Oak Ridge

National Laboratory. (2016).

Utama, Praga. “Ini Beda Premium,

Pertalite, Pertamax, dan Pertamax

Plus”,

https://bisnis.tempo.co/read/67

8224/ini-beda-premium-

pertalite-pertamax-dan-

pertamax-plus. diakses pada 3

September 2018.

UK Cabinet Office. Modernising

Government White Paper. London:

Centre for Management and

Policy Studies. 1999.

UK Strategic Policy Making Team

Cabinet Office. Professional Policy

Making for the Twenty First

Century. London: UK Cabinet

Office, 1999.

Webb, Romany M. Increasing Gasoline

Octane Levels to Reduce Vehicle

Emissions: A Review of Federal and

State Authority, New York: Sabin

Center for Climate Change Law.

2001.

24

APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH

(SCIENTIFIC EVIDENCE) DI AMERIKA SERIKAT DALAM

PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI

INDONESIA

Windu Kisworo69

Abstrak

Pengaturan terkait bukti ilmiah dalam penanganan kasus lingkungan di pengadilan di Indonesia masih bersifat umum. Sementara di Amerika Serikat, aturan yang sangat rinci tentang bukti ilmiah telah lama ada dan dipraktekkan dalam pembuatan putusan pengadilan. Tulisan ini akan mengidentifikasi tantangan dalam mendayagunakan bukti ilmiah dalam penanganan kasus lingkungan di pengadilan di Indonesia, dengan mengambil pelajaran dari pengaturan dan metode yang digunakan di Amerika. Tulisan ini menggunakan pendekatan doktrinal terhadap peraturan dan putusan. Tulisan ini fokus pada dua hal yang Penulis anggap relevan dengan konteks Indonesia saat ini: aspek keberadaan metode ilmiah yang valid serta pengetahuan khusus yang mendasari pendapat ahli. Tulisan ini menyimpulkan bahwa hukum dan peraturan di Indonesia memuat berberapa prinsip-prinsip umum yang ada di Amerika Serikat. Namun demikian belum dianggap cukup dan diperlukan penguatan hukum terkait dua hal diatas. Kata Kunci: bukti ilmiah, metode ilmiah, pengetahuan khusus

Abstract The Indonesian regulations concerning the scientific evidence in handling environmental cases in court are still broad. Meanwhile, the United States has a very long established and detail guideline on scientific evidence both under statues and cases laws. This article aims to identify challenges in utilising scientific evidence in handling environmental cases in Indonesia by taking a lesson from the United States. This article will employ a doctrinal approach to specific laws, regulation and court decision. This article will only focus on two aspects relevant for Indonesia: the existing of the valid scientific method and specialised knowledge of an expert witness. This article concludes that the existing law and regulation contains some general principle from the United States. However, it is not adequate. Policy reforms need to further research on the above two aspects. Keywords: scientific evidence, scientific method, specialised knowledge

69 Penulis saat ini sedang menyelesaikan studi Doktoral di Macquarie Law School, University of

Macquarie, Australia.

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

25

I. Pendahuluan

Bukti ilmiah memiliki peranan

yang sangat penting dalam

penanganan kasus lingkungan. Bukti

ilmiah diperlukan untuk membuktikan

adanya hubungan kausalitas (sebab-

akibat) antara perbuatan yang

melanggar hukum dengan dampak

yang ditimbulkan.70 Tingkat

kesuksesan penanganan perkara-

perkara lingkungan di pengadilan

seringkali bergantung pada adanya

bukti ilmiah dan bukti teknis lainnya.71

Hukum lingkungan, baik di tingkat

nasional maupun internasional,

merupakan bidang hukum yang sangat

kompleks. Pada saat yang sama, ilmu

pengetahuan, ekonomi dan teknologi

terus berubah dengan cepat,

70 Valerie Mike, Understanding Uncertainties in Medical Evidence: Profesional and Public Responsibilities,

dalam Acceptable Evidence: Science and Value in Risk Management, 118 (Deborah G. Mayo & Rachelle D. Holladers eds., 1991) sebagaimana dikutip oleh Keum J Park, “Judicial Utilization of Scientific Evidence in Complex Environmental Torts: Redefining Litigation Driven,” 7(2) (1996) Fordham Environmental Law Review, hlm. 486.

71 Keum J Park, op. cit., hlm. 483. 72 George Pring and Catherine Pring, Environmental Courts & Tribunals - A Guide for Policy Makers

(UNEP) | ELAW (2016), hlm. 46 73 George Pring and Catherine Pring, Greening Justice: Creating & Improving Environmental Courts &

Tribunals (The Access Initiative, 2009), hlm. 73. 74 Katherine Bishop, Science Advance so Quickly Nowadays. We can’t just Count Scientific Noses’,

Leap of Science Create Quandaries on Evidence, N.Y. TIMES, April 6, 1990, Sebagaimana dikutip oleh Keum J Park, ‘Judicial Utilization of Scientific Evidence in Complex Environmental Torts: Redefining Litigation Driven’ 7(2) Fordham Environmental Law Review, hlm 487.

75 Periode ini dimulai pada tahun 2000-an pada saat Mahkamah Agung mulai melakukan pelatihan hukum lingkungan bagi hakim dan penegak hukum lainnya. Berberapa putusan kasus kebakaran

mendahului perkembangan hukum

lingkungan itu sendiri.72 Oleh karena

itu, hanya mengikuti perkembangan

hukum lingkungan tanpa disertai

pemahaman sains tidaklah cukup bagi

penegak hukum.73 Hal ini terutama

berlaku bagi hakim dalam menangani

perkara lingkungan di pengadilan,

khususnya dalam proses pembuktian.

Para hakim perlu memiliki

pengetahuan yang memadai tentang

sains dan metodologi ilmiah untuk

menghasilkan keputusan yang tepat.74

Dalam kurun waktu 15 (lima belas)

tahun terakhir, bukti ilmiah telah

banyak didayagunakan dalam berbagai

perkara lingkungan di pengadilan di

Indonesia.75 Di satu sisi, perkembangan

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

26

ini menunjukan adanya harapan bagi

perbaikan putusan perkara

lingkungan,76 namun perlu diakui

masih terdapat beberapa putusan

pengadilan yang dianggap

bermasalah.77 Secara umum dapat

dikatakan bahwa masih banyak

tantangan untuk mendayagunakan

bukti ilmiah dalam penanganan

perkara lingkungan. Hakim masih

menghadapi kesulitan untuk

memaknai bukti ilmiah sebagai bukti

hukum karena terbatasnya

pemahaman hakim tentang sains.78

Padahal pemahaman hakim tentang

sains sangat diperlukan untuk

menentukan dan mengaplikasikan

hutan diantaranya kasus Surya Panen Subur (2013), Kalista Alam (2015), Jatim Jaya Perkasa (2016), Bumi Mekar Hujau (2016), Waringin Argo Jaya (2017), Nasional Sago Prima (2017).

76 Putusan yang dianggap sebagai ‘putusan landmark’ adalah putusan kasus Mandalawangi (2003) yang menerapkan prinsip precautionary principle, Putusan Kalista Alam (2015) dimana pengadilan mendayagunakan bukti ilmiah seperti bukti hotpsot dari citra satelit dalam pembuktian, serta Putusan kasus kebakaran hutan PT. Waringin Argo Jaya (2017) dimana hakim menerapkan prinsip strict liability dalam hal pembuktian.

77 Yenrizal, “Opini: Berkaca Pada Putusan Kasus PT. BMH”, http://www.mongabay.co.id/2016/01/13/opini-berkaca-pada-putusan-kasus-pt-bmh/, diakses pada 12 September 2018.

78 MVT, “Hakim Seringkali Abaikan Bukti Ilmiah,” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d4cf9774f064/hakim-seringkali-abaikan-bukti-ilmiah-, diakses pada 23 Juli 2018.

79 Wawancara dengan Justice Brian J. Preston, Ketua Pengadilan Land & Environment Court, New South Wales, Australia, 7 Maret 2018.

80 Pelatihan hukum lingkungan bagi para penegak hukum dilakukan sejak tahun 2000 oleh Mahkamah Agung berkerjasama dengan beberapa lembaga hukum lingkungan di Indonesia dan Australia. Sejak dibentuk sistem sertifikasi hakim lingkungan pada tahun 2013 telah dilatih sebanyak kurang lebih 1500 peserta yang terdiri dari 600 hakim.

fakta-fakta ilmiah ke dalam kerangka

hukum, sehingga dapat dihasilkan

suatu putusan yang tepat dan

akuntabel.79

Menyadari kendala tersebut,

Mahkamah Agung telah melakukan

berbagai inisiatif untuk memperbaiki

kualitas putusan, antara lain dalam

bentuk pelatihan hukum lingkungan

bagi para penegak hukum.80 Dalam

pelatihan tersebut, materi tentang bukti

ilmiah dan bukti hukum merupakan

materi yang wajib diberikan kepada

para hakim. Upaya lebih lanjut terus

dilakukan dalam skema sistem

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

27

sertifikasi hakim lingkungan.81 Sistem

ini mengatur bahwa perkara

lingkungan ditangani oleh hakim yang

telah lulus sertifikasi. Hakim yang telah

mendapat sertifikat diharapkan dapat

menerapkan ilmu tentang bukti ilmiah

dan bukti hukum yang telah mereka

peroleh selama pelatihan.

Selain itu Mahkamah Agung juga

menyusun pedoman penanganan

perkara lingkungan yang memuat

ketentuan tentang bukti ilmiah dan

ahli.82 Namun demikian, pada banyak

kasus, Hakim memberikan bobot yang

lebih berat kepada bukti selain bukti

ilmiah dalam membuktikan

pencemaran/perusakan lingkungan.83

Hakim yang berlatar belakang hukum

masih kesulitan memahami data-data

ilmiah yang disampaikan oleh ahli

81 Pada tahun 2013, untuk memastikan keberlanjutan dari pelatihan ini dibentuk Sistem Sertifikasi

Hakim Lingkungan oleh Mahkamah Agung dimana kasus lingkungan ditangani oleh hakim yang telah memperoleh sertifikasi.

82 Indonesia, Mahkamah Agung, Keputusan Ketua tentang Pedoman Penanganan Kasus Lingkungan, SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013.

83 Wawancara dengan Fauzul Abrar, S.H pada tanggal 17 Juli 2018. 84 Wawancara dengan Raynaldo Sembiring, Peniliti pada Indonesian Center for Environmental

Law pada tanggal 5 Juli 2018. 85 Terkait penegakan hukum lingkungan, Pring menyebutkan faktor-faktor tersebut termasuk

diantaranya kemauan politik dari pemerintah, tingkat korupsi, dan dorongan masyarakat untuk pertanggungjawaban lingkungan. Lihat George Pring and Catherine Pring, Greening Justice: Creating & Improving Environmental Courts & Tribunals (The Access Initiative, 2009), hlm. 19.

86 George Pring and Catherine Pring, op. cit., hlm. 19.

untuk dikonversi menjadi fakta-

hukum.84

Tulisan ini bertujuan untuk melihat

sejauh mana aplikasi prinsip terkait

bukti ilmiah di Amerika Serikat dalam

proses pembuktian perkara perdata

lingkungan di Indonesia. Penulis

menyadari terdapat banyak aspek yang

perlu dipertimbangkan dalam

melakukan perbandingan hukum.85

Menjadikan model dan pilihan desain

(ketentuan hukum) dari satu negara ke

negara lain membutuhkan analisis

yang mendalam untuk memastikan

bahwa model dan pilihan desain

tersebut (aplikasi) sesuai dengan

kondisi politik dan kondisi khusus

lainnya dari suatu yurisdiksi.86 Oleh

karena itu, tulisan ini hanya

merupakan penelitian awal yang

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

28

memerlukan penelitian lanjutan yang

lebih mendalam dengan

mempertimbangkan aspek-aspek

tersebut.

Sebagai analisis awal, tulisan ini

terbatas pada 2 (dua) aspek dalam

pembuktian dan penggunaan bukti

ilmiah yang dianggap penting,

berdasarkan pengalaman

pendayagunaan bukti ilmiah dalam

perkara lingkungan di pengadilan di

Amerika Serikat. Kedua aspek tersebut

adalah: pertama, aspek keberadaan

metode ilmiah yang valid; kedua,

pengetahuan khusus yang mendasari

pendapat ahli. Namun demikian,

tulisan ini juga akan mengidentifikasi

beberapa hal yang perlu diperkuat

dalam mendayagunakan bukti ilmiah

di pengadilan, baik dari segi

pengaturan maupun praktek dalam

penanganan kasus perdata lingkungan

sebagai masukan untuk penelitian

lanjutan.

87 Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr., Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia v. PT. Jatim Jaya Perkasa; lihat juga Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 727/PDT/2016/PT.DKI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia v. PT. Jatim Jaya Perkasa.

Bagian pertama tulisan ini akan

menjelaskan hubungan antara ilmu

pengetahuan dan hukum. Tujuan yang

diharapkan adalah untuk meberikan

pemahaman tentang kedudukan bukti

ilmiah dalam suatu perkara. Bagian

kedua akan menjelaskan secara singkat

prinsip-prinsip penanganan perkara

lingkungan di Amerika Serikat,

khususnya pedoman bagi hakim untuk

menilai apakah suatu bukti ilmiah

adalah bukti yang dapat diandalkan

(reliable). Bagian ini akan digunakan

sebagai kerangka analisis untuk

mengidentifikasi berbagai hal yang

perlu diperkuat dalam

mendayagunakan bukti ilmiah dalam

penanganan kasus perdata lingkungan

di pengadilan di Indonesia. Dalam

proses identifikasi ini, bagian ketiga

akan menganalisis kebijakan serta

pendayagunaan bukti ilmiah dalam

perkara Jatim Jaya Perkasa.87 Pada bagian

akhir, tulisan ini akan menganalisis

aplikasi prinsip Daubert dalam proses

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

29

pembuktian perkara perdata

lingkungan di Indonesia serta

memberikan beberapa rekomendasi

bagi kebijakan dan penguatan

kapasitas penegak hukum, khususnya

hakim, dalam mendayagunakan bukti

ilmiah dalam penanganan kasus

lingkungan di pengadilan.

II. Bukti Ilmiah dalam Proses

Pembuktian di Pengadilan

Pendayagunaan bukti ilmiah

dalam proses pembuktian di

pengadilan erat kaitannya dengan

sains. Kamus Besar Bahasa Indonesia

mendefiniskan sains sebagai

pengetahuan sistematis yang diperoleh

dari sesuatu observasi, penelitian, dan

uji coba yang mengarah pada

penentuan sifat dasar dari sesuatu yang

sedang dipelajari atau diselidiki.88

Secara sederhana, sains dapat juga

dipahami dengan melihat perannya

dalam menjawab pertanyaan-

pertanyaan yang sifatnya mendasar.89

88 Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, https://kbbi.web.id/sains, diakses 10 September /2018. 89 Keum J Park, op. cit., hlm. 483. 90 Ibid. 91 Ibid. 92 Ibid.

Misalnya terhadap pertanyaan

bagaimana kita dapat meyakini bahwa

suatu teori atau teknik bukan

merupakan sekedar keyakinan atau

opini, melainkan merupakan sains?

Jawaban yang sifatnya umum dari

sudut pandang ilmiah adalah dengan

mendasarkannya pada suatu ‘metode

ilmiah’.90 Hal ini menunjukan bahwa

pendapat para ilmuwan diakui karena

kesimpulan mereka (seharusnya)

diperoleh berdasarkan metode ilmiah

yang dapat dipertanggungjawabkan.91

Dengan demikian, paling tidak ada dua

hal yang penting untuk diperhatikan

ketika mendiskusikan sains. Pertama,

mendiskusikan sains harus

mempertimbangkan fakta bahwa tidak

mudah untuk menentukan sesuatu

adalah ilmiah (scientific) atau tidak – hal

ini dikenal sebagai masalah

demarkasi.92 Kedua, tingkat

kekhususan dalam ilmu-ilmu tertentu

begitu luas sehingga tidak ada

seorangpun yang dapat mampu

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

30

memahami semua hal yang perlu

diketahui tentang satu bidang sains.93

Di dalam praktek pembuktian di

pengadilan, hubungan antara sains dan

hukum sangat kompleks. Beberapa ahli

berpendapat kompleksitas tersebut

terjadi karena tujuan yang melekat

pada keduanya. Hukum dan sains

kadang-kadang memiliki tujuan yang

saling bertentangan, karena masing-

masing telah berkembang sebagai

reaksi terhadap kebutuhan sosial dan

intelektual yang berbeda.94 Tujuan

hukum di satu sisi dianggap sebagai

sarana untuk menyelesaikan konflik

manusia secara adil, sementara tujuan

sains di sisi lain, dipahami sebagai

upaya untuk mencari 'kebenaran'.95

Oleh karena itu, tujuan untuk mencapai

'keadilan' dari sudut pandang hukum

tidak sama dengan menemukan

kebenaran 'hasil yang valid secara

93 Ibid. 94 Ibid. 95 John I. Thornton, Uses and Abuses of Forensic Science, in Science and Law: An Essential Alliance 79,

86 (William A. Thomas, ed., 1983) sebagaimana dikutip dalam Keum J Park, "Judicial Utilization of Scientific Evidence in Complex Environmental Torts: Redefining Litigation Driven," Fordham Environmental Law Review, hlm. 494.

96 Richard L Markus, "Discovery Along the Litigation/Science Interface," Brooklyn Law Review Vol. 57 (1991), hlm. 384.

97 April Muirden and John Bailey, "Presenting Scientific Evidence in Environmental Court Cases: How Science and Law Meet," Environmental Planning and Law Journal, Vol. 25 hlm. 12.

ilmiah' dari sudut pandang sains.96 Di

dalam proses penanganan perkara di

pengadilan, ketidakcocokan antara

sains dan hukum ini seringkali terjadi.

Para ahli di satu sisi mempunyai

kebutuhan untuk menjelaskan adanya

suatu ketidakpastian (uncertainty),

sedangkan pengacara di sisi lainnya

melihat proses pemeriksaan tersebut

sebagai kesempatan untuk

melemahkan nilai bukti ilmiah,

terutama jika hal itu dianggap

menguntungkan mereka.97

Mengingat hal tersebut hakim

perlu memiliki kemampuan untuk

menilai suatu bukti ilmiah. Dalam

perkara-perkara tertentu, hakim dapat

mengandalkan kemampuannya sendiri

untuk menilai bukti ilmiah tersebut.

Namun, dalam perkara-perkara

lingkungan yang sulit dan kompleks,

besar kemungkinan hakim

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

31

memerlukan bantuan ahli untuk

menilai bukti ilmiah. Dalam hal

demikian, hakim membutuhkan ahli

yang memiliki pengetahuan khusus

yang relevan dengan perkara yang

sedang diperiksa. Pertanyaannya

kemudian, apakah yang dimaksud

dengan ‘pengetahuan khusus’

(specialised knowledge)? Dalam kondisi

seperti apa pengadilan membutuhkan

ahli yang memiliki ‘pengetahuan

khusus’? Pertanyaan ini hanya

sebagian kecil dari pertanyaan penting

yang timbul dalam perkara lingkungan

yang melibatkan penggunaan bukti

ilmiah, ketidakpastian (uncertainty) dan

efek ekologi yang timbul yang tidak

dapat dipulihkan (irreverseable effect to

environment).

98 Selain Amerika, sistem di Australia juga memuat pengaturan secara khusus terkait bukti ilmiah,

khususnya dalam menentukan diterimanya pendapat ahli terkait sains. Pasal 79 dari Evident Act

mengatur bahwa: ‘If a person has specialised knowledge based on the person’s training, study or experience, the

opinion rule does not apply to evidence of an opinion of that person that is wholly or substantialy based on that

knowledge’. Ada tiga hal yang menjadi elemen atau kondisi dari ketentuan terkait ‘pengetahuan khusus’

di atas untuk menentukan suatu pendapat ahli dapat diterima sebagai suatu bukti. Pertama, ahli yang

dihadirkan harus memiliki 'pengetahuan khusus'. Kedua, pengadilan menilai bahwa saksi memperoleh

pengetahuan khusus tersebut berdasarkan pelatihan, studi atau pengalaman tertentu. Pada bagian ini,

pengadilan biasanya mempertanyakan kualifikasi pendidikan saksi, keanggotaan ahli dalam

masyarakat yang relevan dengan pengetahuan khusus, publikasi yang relevan, pengalaman sebagai

saksi, dan sebagainya Ketiga, bahwa opini yang disampaikan didasarkan oleh keahlian yang dimiliki

(‘is wholly or substantially based on that knowledge’). Bagian ini mengharuskan pengadilan untuk menilai

apakah ahli memiliki ‘pengetahuan khusus’ (a body of special knowledge), yang dapat memberikan dasar

untuk menyampaikan pendapat yang relevan.

III. Pengaturan tentang Bukti

Ilmiah di Amerika Serikat

Berbagai negara telah mengatur

tentang peran bukti ilmiah dalam

proses pembuktian di pengadilan.

Salah satu negara yang dianggap

memiliki aturan dan sistem

pembuktian yang ketat dan rinci dalam

perkara lingkungan, terutama yang

berkaitan dengan persyaratan

diterimanya bukti ilmiah (admissibility),

adalah Amerika Serikat.98 Selain dalam

bentuk aturan tertulis, sistem hukum di

Amerika Serikat juga mengakui

putusan hakim sebagai sumber hukum.

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

32

A. Rule 702, Federal Rules of Evidence

Di Amerika Serikat, bukti ilmiah

diatur dalam Federal Rule of Evidence,

Rule 702 yang berbunyi:

“A witness who is qualified as an expert by knowledge, skill, experience, training, or education may testify in the form of an opinion or otherwise if:

a) the expert’s scientific, technical, or other specialized knowledge will help the trier of fact to understand the evidence or to determine a fact in issue;

b) the testimony is based on sufficient facts or data;

c) the testimony is the product of reliable principles and methods; and

d) the expert has reliably applied the principles and methods to the facts of the case.99”

Ketentuan tersebut pada

prinsipnya menyatakan bahwa seorang

saksi yang memiliki keahlian

berdasarkan pengetahuan,

keterampilan, pengalaman, pelatihan

atau pendidikan yang ia miliki, dapat

menjadi ahli dan mengemukakan

pendapatnya di pengadilan apabila:

a) pengetahuan ilmiah,

pengetahuan teknis, dan

99 Amerika Serikat, Federal Rules of Evidence, Rule 702. 100 D. Tex, Cano v. Everest Mineral Corp., 362 F. Supp.2d 814 (2005). 101 Ibid.

pengetahuan khusus lainnya

yang dimiliki ahli dimaksud

dapat membantu hakim dalam

mengungkap fakta, untuk

memahami bukti atau

menentukan fakta dalam suatu

perkara;

b) pendapat ahli didasarkan pada

fakta atau data yang memadai;

c) pendapat ahli didasarkan pada

prinsip dan metode ilmiah yang

benar dan dapat diandalkan;

d) ahli menerapkan prinsip dan

metode ilmiah tersebut dalam

proses pembuktian, untuk

mengungkapkan fakta dalam

perkara yang sedang diperiksa.

Di dalam kasus Cano v. Everest

Mineral Corp.100, berberapa Penggugat

mempermasalahkan penyakit kanker

yang diakibatkan dari paparan

Uranium-238 yang bersumber dari

tambang uranium yang dimiliki oleh

Everest Mineral di sekitar tempat tinggal

mereka.101 Penggugat mendalilkan

bahwa salah satu biji uranium jatuh ke

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

33

jalan dan terlindas oleh truk yang

sedang lewat. Hal ini mengakibatkan

penyebaran debu uranium dan

kontaminasi pada makanan dan

sumber air.102 Pengadilan Wilayah

Western Texas meminta kepada

penggugat untuk membuktikan bahwa

paparan debu uranium tersebut adalah

penyebab dari masalah kesehatan

mereka (dalam kasus ini adalah

penyakit kanker). Hanya satu dari ahli

yang disampaikan oleh penggugat

yang memberikan kesaksian tentang

hubungan kausalitas tersebut. Dr.

Malin Dollinger dengan metodologi

baru yang dia ciptakan menunjukan

bahwa debu uranium adalah faktor

yang paling dominan terhadap

kanker.103 Terkait dengan Rule 702,

102 Ibid. 103 Ibid. Berdasarkan hasil eksaminasi terhadap catatan medis dari korban serta penelitian

independen, Dr. Malin Dollinger mengklaim bahwa ionisasi radiasi dari U-238 lebih mungkin menghasilkan pemecahan untai ganda (double-strand breaks) dalam DNA dengan kemampuan untuk memperbaiki (an impaired ability to repair). Ia menemukan bahwa dosis yang lebih tinggi mengarah ke risiko yang lebih tinggi secara proporsional.

104 Ibid. 105 Cancer Council of Australia, “What is Oncology?” https://www.cancer.org.au/health-

professionals/oncology/, diakses 10 September 2018. Onkologi adalah sub-spesialisasi obat yang didedikasikan untuk penyelidikan, diagnosis, dan pengobatan penderita kanker atau kemungkinan kanker (suspected). Ini termasuk obat pencegahan, onkologi medis (kemoterapi, imunoterapi, terapi hormon, dan obat lain untuk mengobati kanker), onkologi radiasi (terapi radiasi untuk mengobati kanker), dan bedah onkologi (operasi untuk mengobati kanker).

106 Dominic J Nardi, Jr., "Do Indonesian Judges Need Scientific Credibility? Indonesia v. PT Newmont Minahasa Raya and the Use of Scientific Evidence in Indonesian Courts," Georgetown International Environmental Law Review, Vol. 21 issue 113, (2009), hlm. 137.

hakim menyetujui latar belakang Dr.

Malin Dollinger dengan berberapa

pertimbangan:104 (1) ahli adalah

professor di bidang kedokteran klinis

pada School of Medicine, University of

Southern California; (2) Ahli telah

menyelesaikan studinya di bidang

kedokteran di Yale University; (3) ahli

telah menyelesaikan program selama

tiga tahun tentang onkologi.105

Namun demikian, kriteria ini

bukanlah satu-satunya cara bagi hakim

untuk menilai bukti ilmiah. Kriteria ini

paling tidak membantu hakim

menyaring ahli yang tidak

kompeten.106 Di dalam kasus Cano v.

Everest Mineral Corp, walaupun hakim

menerima ahli sebagai ahli yang

kompeten dengan 3 (tiga)

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

34

pertimbangan diatas, namun tidak

menjamin bahwa kesaksiannya adalah

kesaksian yang kredibel (admissible).

Salah satu keberatan yang disampaikan

oleh pihak Tergugat adalah belum

adanya konsensus dari metodologi

yang digunakan oleh Dr. Malin

Dollinger serta belum pernah

dilakukan peer review.107 Hakim setuju

dengan bantahan Tergugat dan juga

menilai bahwa ahli tidak

memperhatikan bukti lain yang

bertentangan.108 Salah satunya adalah

Laporan dari the U.N. Scientific

Committee on the Effect of the Atomic

Radiation yang menunjukan tingkat

paparan yang berbeda dari berberapa

jenis kanker yang disebabkan oleh

Uranium.109

B. Perkara Daubert v Merrell Dow

Pharmaceuticals, Inc

Selain merujuk pada Rule 702,

hakim di Amerika Serikat juga

107 Cano v. Everest Mineral Corp., op. cit. 108 Ibid. 109 Ibid. 110 Supreme Court of The United States, Daubert v Merrell Dow Pharmaceuticals, Inc. (1993) 113 S. Ct

113 S. (1993). 111 D.C. Cir, Frye v United States 293F (1923), 1014.

seringkali merujuk pada putusan

Mahkamah Agung ketika menangani

perkara yang melibatkan bukti ilmiah

dan pendapat ahli, termasuk dalam

perkara lingkungan. Putusan tersebut

adalah putusan perkara Daubert v

Merrell Dow Pharmaceuticals, Inc.110

(Putusan Daubert) yang memberikan

kriteria yang lebih ketat dalam menilai

suatu bukti ilmiah (dikenal sebagai

kriteria Daubert).

Putusan Daubert memperjelas

putusan dalam perkara Frye v Amerika

Serikat yang mengakui pendapat ahli

sebagai bukti ilmiah yang didasarkan

pada general acceptance rule.111 General

acceptance rule, atau yang lebih dikenal

sebagai ‘Frye rule’ menyatakan bahwa

suatu pendapat ahli hanya dapat

diterima (admissible) jika menggunakan

teknik yang secara umum telah

mendapat pengakuan dari suatu

komunitas sains yang relevan sebagai

teknik yang andal (reliable). Namun,

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

35

kesulitan seringkali timbul karena

penanganan perkara lingkungan sering

mengandalkan pada teori dan

metodologi ilmiah yang baru.112 Hakim

dalam perkara Daubert menolak general

acceptance sebagai satu-satunya syarat

diterimanya suatu bukti ilmiah dan

menambahkan agar pendapat ahli yang

dijadikan bukti ilmiah memenuhi

kriteria sebagai berikut:113

1. Teori atau metode ilmiah yang

digunakan telah teruji

(falsifiability)

Untuk menentukan apakah

suatu ilmu merupakan

pengetahuan ilmiah (scientific

knowledge) perlu dilakukan

pengujian (to falsify) yang

didasarkan pada observasi

secara empiris.114 Contoh klasik

failsifiability dapat dilihat dalam

112 Steven M. Egesdal, The Frye Doctrine and Relevancy Approach Controversy: An Empirical Evaluation,

Geo.L.J. Vol. 7 (1986), hlm. 1769. 113 Daubert v Merrell Dow Pharmaceuticals, op. cit. 114 Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, edisi 2, 1968, hal 47, sebagaimana dikutip oleh

Clifton T. Hutchinson dan Danny S. Ashby, “Daubert v. Merrell Dw Pharmaceutical, INC.: Redefining the Basis for Admissibility of expert Scientific Testimony”, Cordozo Law Review, 15 (1993), hlm. 1888; lihat Brian J Preston, "Science and the Law: Evaluating Evidentiary Reliability" (tulisan disampaikan pada the Australian Conference of Planning and Environment Courts and Tribunals, Adelaide, 4-7 September 2002), hlm. 280-282.

115 5th Cir. Christophersen v. Allied-Signal Corp, 939 F.2d 1106 (1991), cert. denied, 112 S. Ct. 1280 (1992).

116 Ibid.

perkara Christophersen v. Allied-

Signal Corp dimana penggugat

mendalilkan bahwa bahan yang

digunakan untuk membuat

baterai nikel adalah penyebab

penyakit kanker usus besar yang

menyebabkan kematian.115 Ahli

dari pihak penggugat

memberikan kesaksian adanya

kaitan antara hasil paparan

terhadap nikel dan kadmium

dengan sel karsinoma pada usus

besar penderita.116 Kesaksian

tersebut didasarkan pada

beberapa studi yang dia yakini

mengindikasikan adanya kaitan

antara nikel dan kadmium

dengan sel karsinoma di dalam

paru-paru. Namun demikian

pengadilan menolak kesaksian

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

36

tersebut.117 Pertimbangan hakim

didasarkan pada tidak adanya

preseden di dalam epidemiologi

kanker terkait kesimpulan ahli

tersebut.118 Epidemiologi kanker

adalah studi tentang distribusi

dan determinasi dari

kemungkinan perkembangan

kanker. Epidemiologi kanker

dapat digunakan untuk

mengidentifikasi peristiwa yang

meningkatkan atau

menurunkan insiden kanker

pada populasi tertentu.119 Tidak

ada seorang pun ahli, termasuk

ahli itu sendiri, yang telah

mencoba untuk menyimpulkan

(corroborate) hipotesa yang

menyatakan kesamaan

pathogenic dari kanker pada

organ yang berbeda dapat

diartikan bahwa kanker

117 Ibid. 118 Ibid. 119 nature.com, https://www.nature.com/subjects/cancer-epidemiology, diakses 10 September

2018. 120 Ibid., hlm. 1280. 121 Daubert v Merrell Dow Pharmaceuticals, op. cit. 122 Clifton T. Hutchinson dan Danny S. Ashby, “Daubert v. Merrell Dw Pharmaceutical, INC.:

Redefining the Basis for Admissibility of expert Scientific Testimony”, Cordozo Law Review 15 (1993), 1896.

diakibatkan pada penyebab

yang sama.120

2. Teori atau metode ilmiah

memiliki unsur kesalahan

(potential error rate) yang rendah

dan didasarkan pada standar

operasi yang benar (maintenance

of operating standards)

Analisis potential error rate tidak

digunakan untuk menilai suatu

teori, melainkan digunakan

dalam menilai prosedur

sistematis untuk menghasilkan

tahapan sains.121 Berbeda

dengan falsifiability, yang

mensyaratkan teknik yang

dipakai adalah teknik yang

valid, analisis potential error rate

dilakukan untuk memastikan

validitas dari teknik yang

dipakai serta penerapan yang

tepat dalam suatu kasus.122

Contoh penggunaan potential

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

37

error rate dapat dilihat dari tes

jenis DNA seseorang. Setiap

DNA manusia mempunyai

keunikan tersendiri. Namun

demikian, tidak semua teknik

yang dipakai untuk mengetahui

jenis DNA seseorang dapat

mendeteksi keunikan tersebut

dengan tingkat akurasi yang

tinggi.123 Suatu teknik misalnya

sudah dibuktikan dengan dasar

teori yang valid. Namun

demikian apabila teknik ini

tidak didukung oleh peralatan

yang beroperasi secara baik,

teknisi yang berkualitas dalam

pengoperasian, pengoperasian

dengan prosedur yang benar,

maka akan dapat menghasilkan

hasil yang tidak akurat.124

Terkait dengan kondisi tersebut,

validitas suatu standar operasi

123 Ibid. 124 Paul C. Giannelli, The Admissibility of Novel Scientific Evidence: Frye v. United States, a half

century later, 80 COLUM. L.REV. 1197, 1201 (1980) sebagaimana dikutip oleh Clifton T. Hutchinson dan Danny S. Ashby, op. cit.

125 Lihat 11th Cir, United States v. Else, 743 F.2d 1465, 1474 (1984) sebagaimana dikutip oleh Clifton T. Hutchinson dan Danny S. Ashby, op. cit.

126 Sejauh mana suatu klaim ilmiah dapat dikatakan sebagai ‘good science’ akan tergantung pada sejauh mana klaim tersebut telah melewati proses ‘peer review’ dan publikasi yang berkualitas dari komunitas ilmiah yang relevan.

127 Clifton T. Hutchinson dan Danny S. Ashby, op. cit., 1900. 128 Ibid.

tidak hanya ditentukan apakah

ahli telah mengunakan teknik

yang valid, tetapi juga apakah

ahli tersebut mengoperasikan

teknik tersebut secara benar.125

3. Teori atau teknik yang

digunakan telah direview (peer

review) dan dipublikasikan.126

Peer review adalah metode yang

sudah terinstitusionalisasi untuk

mereview masuk akalnya

(plausibility) suatu output yang

bersifat sains serta tingkat

ketepatan (correctness) dari suatu

metodologi dan analisis yang

digunakan untuk menghasilkan

output tersebut.127 Proses peer

review yang ketat menentukan

sejauh mana suatu klaim tentang

suatu pengetahun dianggap

sebagai suatu sains.128 Menurut

hakim dalam perkara Daubert,

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

38

proses yang ketat tersebut akan

mendeteksi secara seksama

adanya kesalahan subtantif

(substantive flaws) atas

metodologi yang dipakai.129

Namun demikian, hakim dalam

perkara Daubert menyatakan

peer review bukan sebagai

penilaian yang sifatnya

mutlak.130 Misalnya, klaim

tentang sains yang masih sangat

baru (novel) tidak secara

otomatis dapat dianggap tidak

melewati proses peer review yang

cukup.131 Klaim tersebut perlu

ditimbang dengan standar

validasi yang lain sebelum dapat

dikecualikan sebagai suatu

bukti.132

C. Catatan Kritis Terhadap Kriteria

Daubert

Putusan Daubert secara prinsip

telah mengubah panduan proses

129 Daubert v Merrell Dow Pharmaceuticals, Inc, op. cit. 2797. 130 Ibid. 131 Ibid. 132 Ibid. 133 David E Bernstein, “The Admissibility of Scientific Evidence after Daubert v. Merrell Dow

Pharmaceuticals, Inc.” Cardozo Law Review 15, (1993), hlm. 2139.

penerimaan bukti ilmiah di pengadilan

Amerika Serikat. Hakim tidak lagi

hanya mengunakan proses penilaian

berdasarkan general acceptance rules

sebagaimana yang ditentukan dalam

perkara Frye. Sejak perkara Daubert,

hakim perlu melakukan penilaian

terhadap setiap bukti ilmiah, pendapat

ahli serta bukti-bukti lain yang relevan.

Beberapa orang berpendapat

bahwa Kriteria Daubert akan

mendorong proses pembuktian dan

penggunaan bukti ilmiah di pengadilan

secara lebih ketat.133 Namun demikian,

ada juga yang meragukan kemampuan

hakim untuk membuat putusan yang

tepat terkait dengan sains, mengingat

Kriteria Daubert membutuhkan

pemahaman tentang sains yang

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

39

mumpuni.134 Dengan menerapkan

Kriteria Daubert secara ketat,

pengadilan mungkin saja tidak sadar

telah mengenyampingkan suatu bukti

ilmiah yang secara keseluruhan

sebenarnya dapat mendukung

argumentasi ilmiah.135 Untuk

mencegah hal ini terjadi, hakim harus

melakukan penilaian secara

keseluruhan terhadap semua bukti

ilmiah (terintegrasi). Namun, ini

merupakan beban yang sangat berat

buat hakim karena mensyaratkan

hakim memiliki kemampuan layaknya

seorang ilmuwan.136

IV. Pendayagunaan Bukti Ilmiah

dalam Perkara Lingkungan

Perdata di Indonesia

Persyaratan diterimanya pendapat

ahli sebagai bukti ilmiah sebagaimana

diterapkan di Amerika Serikat dapat

menjadi referensi yang menarik bagi

134 Carl F Cranor, “A Framework for Assessing Scientific Arguments: Gaps, Relevance and

Integrated Evidence,” Journal of Law & Policy, Brooklyn Law School Vol. 15 (7) (2007), hlm. 8. 135 Dominic J Nardi, Jr., op. cit., hlm. 119. 136 Carl F Cranor, op. cit., hlm. 25. Misalnya, dalam suatu peristiwa paparan bahan kimia beracun,

hakim mungkin menghadapi kesulitan dalam menilai kesimpulan ahli tentang kadar kontaminasi produk yang dikumpulkan dari 'berbagai jenis bukti yang relevan dan sufisien'.

137 Daubert v Merrell Dow Pharmaceuticals, Inc. op. cit. 138 Wawancara dengan Justice Brian J. Preston, Ketua Pengadilan Land & Environment Court, New

South Wales, Australia.

Indonesia. Tulisan ini mengidentifikasi

setidaknya ada dua aspek penting

dalam membahas bukti ilmiah dan

kesaksian ahli yang relevan dengan

Indonesia. Pertama, keberadaan

metode ilmiah yang valid. Artinya,

bukti ilmiah harus diperoleh

berdasarkan metode sains.137 Kedua,

aspek pengetahuan khusus. Aspek ini

memastikan bahwa opini yang

disampaikan didasarkan oleh keahlian

yang dimiliki. Artinya, setelah suatu

opini atau bukti ilmiah diterima

sebagai suatu pengetahuan ilmiah

(scientific knowledge), tahapan

selanjutnya adalah memastikan apakah

pendapat ahli tersebut didasarkan pada

keahlian yang diperoleh berdasarkan

pendidikan, pelatihan dan pengalaman

di bidang yang terkait dengan masalah

yang dibahas dalam kasus.138

Selanjutnya, tulisan ini akan

membahas sejauh mana hukum di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

40

Indonesia mengatur bukti ilmiah serta

implementasinya dalam penanganan

perkara di pengadilan melalui

pendekatan doktrinal. Tulisan ini

dengan sengaja membatasi peraturan

yang dikaji, yakni Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Perdata dan

Surat Keputusan Ketua Mahkamah

Agung No. 36/KMA/SK/II/2013

tentang Pemberlakuan Pedoman

Penanganan Perkara Lingkungan

Hidup.139 Untuk membantu

menganalisis, akan digunakan satu

studi kasus, yaitu putusan perkara

kebakaran hutan yang terdiri dari

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Utara No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr.

dalam perkara Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia

v. PT. Jatim Jaya Perkasa serta Putusan

Pengadilan Tinggi. DKI No.

727/PDT/2016/PT.DKI dalam perkara

139 Indonesia, Mahkamah Agung, op. cit. 140 Ketika tulisan ini dibuat, Mahkamah Agung pada tanggal 28 Juni 2018 menolak permohonan

kasasi yang diajukan oleh JJP. Putusan kasasi menguatkan putusan yang dibuat oleh Pengadilan Tinggi DKI. https://www.badungkab.go.id/instansi/dislhk/baca-berita/2047/Angin-Segar-Penegakan-Hukum-Karhutla-dari-MA.html. Tulisan ini tidak memasukan pertimbangan putusan Mahkamah Agung dalam melakukan analisis dikarenakan dokumen putusan belum dapat diakses di Mahkamah Agung.

141 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata [Het Herzein Inlandsch Reglement/Reglemen Indonesia yang Diperbaharui], diterjemahkan oleh Tim Visi Yustisia, (Jakarta, Visi Media Pustaka, 2015), ps 1865.

antara Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Republik Indonesia v. PT. Jatim

Jaya Perkasa.140

A. Peraturan tentang Bukti Ilmiah di

Indonesia

Pembuktian hukum perdata

didasarkan pada suatu prinsip bahwa

barang siapa mempunyai sesuatu hak

atau, guna membantah hak orang lain,

menunjuk pada suatu peristiwa,

diwajibkan membuktikan adanya hak

atau peristiwa tersebut.141 Berdasarkan

prinsip ini, dalam persidangan hakim

akan memberikan beban pembuktian

kepada para pihak untuk

membuktikan dalil-dalil yang

disampaikan. Terhadap alat-alat bukti

yang disampaikan tersebut, hakim

selanjutnya melakukan penilaian

sejauh mana kekuatan alat bukti

tersebut berdasarkan ketentuan yang

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

41

berlaku.142 Berbeda dengan hukum

pembuktian pidana yang mencari

kebenaran material,143 dalam

pembuktian hukum perdata hakim

mencari kebenaran formil. Hal ini

berarti bahwa kekuatan alat bukti yang

sah menurut hukum bersifat

‘mengikat’ hakim dalam pengambilan

keputusan.

KUHPerdata mengenal berberapa

jenis alat bukti, yaitu: alat bukti tertulis,

kesaksian, persangkaan, pengakuan,

dan sumpah.144 Sementara itu Pasal 154

HIR menentukan bahwa keterangan

ahli dapat digunakan apabila

diperlukan. Pendapat ahli berfungsi

untuk menambah keyakinan hakim

dan sifatnya tidak dapat berdiri sendiri.

Namun demikian, bukti ilmiah tidak

disebutkan secara khusus dalam jenis-

jenis alat bukti dalam hukum tersebut.

142 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, edisi 1, (Jakarta: Kencana

Perdana Media Group, 2012), hlm. 51. 143 Indonesia. Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981. LN No. 76 Tahun

1981, TLN No. 3258, ps 183 “seseorang hanya dapat dihukum apabila hakim berdasarkan alat bukti yang sah memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi serta terdakwa tersebut telah bersalah melakukannya.”

144 Kitab Undang-Undang Hukum Acara, op. cit. Ps 1866. 145 Indonesia, Mahkamah Agung, op. cit. hlm. 23. 146 Ibid. 147 Ibid.

Surat Keputusan Ketua Mahkamah

Agung No. 36/KMA/SK/II/2013

tentang Pemberlakuan Pedoman

Penanganan Perkara Lingkungan

Hidup menentukan bahwa bukti

ilmiah dapat digunakan dalam perkara

lingkungan. Tujuan bukti ilmiah dalam

kasus lingkungan adalah untuk

menambah keyakinan hakim serta

memberikan panduan bagi hakim

untuk menilai keotentikan suatu alat

bukti.145 Pedoman tersebut

memberikan contoh-contoh bukti

ilmiah, antara lain hasil analisis

laboratorium, penghitungan ganti rugi

akibat pencemaran dan/atau

kerusakan yang disampaikan oleh

ahli.146 Pedoman juga menyatakan

bahwa untuk dapat menjadi bukti

hukum, bukti ilmiah tersebut harus

didukung dengan keterangan ahli di

persidangan.147 Berdasarkan ketentuan

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

42

tersebut, hakim menilai bukti-bukti

yang dihadirkan oleh para pihak secara

keseluruhan. Artinya, Hakim

menentukan validitas dengan melihat

kesesuaian suatu bukti dengan bukti

lain dalam rangka menemukan

peristiwa hukum serta membuat

kesimpulan.148

Lebih lanjut Pedoman tersebut

mengatur apabila hakim dihadapkan

pada beberapa pendapat ahli yang

bertentangan, hakim berdasarkan

keyakinannya memilih keterangan

(yang paling kredibel)149 dengan

memberikan pertimbangan alasan

dipilihnya keterangan alat bukti yang

disampaikan oleh ahli tersebut.150

Hakim juga dapat menunjuk ahli lain

atau menerapkan prinsip kehati-

hatian.151 Terkait dengan penanganan

kasus lingkungan yang banyak

148 Putusan Kalista Alam (2015) menjadi ‘standar’ yang dipakai oleh putusan pengadilan

selanjutnya dalam membuktikan adanya kebakaran hutan dengan penilaian secara keseluruhan dari bukti ilmiah yang disampaikan penggugat yang terdiri dari data hotspot berdasarkan rekaman citra satelit, hasil verifikasi lapangan serta hasil analisis data di laboratorium.

149 Tambahan dari penulis. 150 Indonesia, Mahkamah Agung, op. cit., hlm. 23. 151 Ibid. 152 Pedoman memberikan contoh-contoh dari bukti ilmiah seperti analisa hasil laboratorium, data

hotspot serta interpretasinya. Untuk dapat menjadi bukiti hukum, bukti ilmiah harus didukung dengan keterangan ahli di persidangan. Surat/dokumen pendukung pengambilan contoh harus dilakukan oleh orang/organisasi yang kredibel dan terakreditasi serta dibuat berita acara secara rinci.

153 Indonesia, Mahkamah Agung, op. cit., hlm. 48.

melibatkan bukti ilmiah, Pedoman ini

sudah banyak digunakan dan

membantu dalam pembuktian yang

melibatkan bukti ilmiah dan

keterangan ahli.152

Pedoman ini juga memberikan

kriteria khusus yang harus dimiliki

oleh seorang ahli untuk dapat bersaksi

di pengadilan dalam kasus lingkungan.

Kriteria tersebut meliputi: (1) memiliki

disiplin ilmu sesuai dengan perkara

yang dibuktikan melalui ijazah,

minimal S2 (akademis) atau mendapat

pengakuan masyarakat sebagai ahli; (2)

pernah menyusun atau membuat karya

ilmiah atau penelitian relevan (pakar);

(3) aktif dalam seminar atau lokakarya

dan tercantum daftar riwayat hidup

(CV).153

Peraturan yang berlaku saat ini

terlihat sudah mengakomodir

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

43

pendapat ahli dan bukti ilmiah dalam

proses pembuktian di pengadilan.

Namun, masih ada beberapa hal yang

perlu dipertegas, antara lain tentang

prosedur penilaian suatu bukti ilmiah

atau keterangan ahli sebagai bukti yang

relevan, prosedur untuk menentukan

validitas bukti ilmiah dan penentuan

kriteria pengetahuan khusus bagi ahli.

Artinya, pedoman tidak secara khusus

memberikan pedoman untuk

menentukan suatu bukti ilmiah sebagai

sesuatu yang bersifat sains, diperoleh

melalui metode yang valid yang sudah

mendapatkan pengakuan dari

komunitas sains yang relevan. Terkait

dengan kriteria ahli, prasyarat yang

ditentukan masih bersifat umum yang

tidak memberikan pedoman kepada

hakim untuk memastikan bahwa

pendapat ahli didasarkan pada

keahlian khusus yang terkait.

154 Ann Jeannette Glaubber, dkk, “Kerugian dari Kebakaran Hutan: Analisa Dampak Ekonomi dari

Krisis Kebakaran Tahun 2015”, Laporan Pengetahuan lanskap Berkelanjutan Indonesia No.1 World

Bank Group, 2016, hlm. 1.

B. Bukti Ilmiah dalam Proses

Pembuktian Perkara Jatim Jaya

Perkasa

Kebakaran hutan merupakan

permasalahan yang terjadi hampir

setiap tahun di Indonesia. Kebakaran

hutan terbesar terjadi pada pada kurun

waktu 1997-1998. Sejak saat itu, hampir

setiap tahun berturut-turut, terjadi

kebakaran hutan di berbagai wilayah.

Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BPNB) memperkirakan

bahwa kerugian negara yang

ditimbulkan dari kebakaran hutan

antara tahun 1997-2015 mencapai 221

triliun rupiah.154

Banyak terdapat perkara

kebakaran hutan yang memiliki

dimensi bukti ilmiah. Salah satu

perkara kebakaran hutan yang

memiliki dimensi sains adalah putusan

perkara P.T. Jatim Jaya Perkasa (JJP).

Alasan dipilihnya perkara JJP karena

perkara ini memiliki perdebatan

penting terkait dengan aspek

keberadaan metodologi yang andal

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

44

serta aspek pengetahuan khusus terkait

bukti ilmiah. Hal tersebut dapat dilihat

dari perbedaan pertimbangan hakim

pengadilan negeri dan pengadilan

tinggi terkait bukti ilmiah dalam

perkara tersebut. Pembahasan

perbedaan tersebut dalam kerangka

akademis dapat menjadi pelajaran dan

masukan yang penting khususnya bagi

penguatan hakim.

Perkara ini dimulai pada tahun

2013, ketika Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan (KLHK)

mengajukan gugatan kepada PT. JJP ke

Pengadilan Negeri (PN) Rokan Hilir,

Riau. Dalam gugatannya, KLHK

mendalilkan bahwa perusahaan

tersebut telah lalai dalam melakukan

pembukaan lahan, sehingga

menyebabkan terbakarnya lahan

gambut seluas 1000 ha di

wilayahnya.155 Akibat dari kelalaian

tersebut, Penggugat memperkirakan

negara menderita sebesar Rp.

491.025.500.000,00 156

155 Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr., op. cit. hlm. 15. 156 Ibid., hlm. 38. 157 Ibid., hlm. 166. 158 Ibid., hlm. 167. 159 Ibid., hlm. 170.

PN Rokan Hilir mengabulkan

gugatan KLHK sebagian dengan

menyatakan bahwa P.T. JJP

bertanggung jawab terhadap terjadinya

kebakaran.157 Namun, PN tidak sepakat

dengan penggugat terkait total luas

wilayah yang terbakar.158 Menurut PN,

total luas kawasan yang terbakar

hanyalah 120 ha, jauh lebih kecil dari

perhitungan Penggugat. Akibatnya,

PN menentukan nilai ganti kerugian

yang jauh lebih kecil dari tuntutan

Penggugat, yakni kerugian materiel

sebesar Rp. 7.196.188.475,00. Di

samping itu PN juga mengharuskan

P.T. JJP melakukan tindakan

pemulihan lingkungan terhadap lahan

yang terbakar dengan nilai sebesar Rp.

22.277.130.853,00.159

Atas putusan PN tersebut, KLHK

mengajukan banding ke Pengadilan

Tinggi (PT) Riau. Dalam putusannya,

Majelis Hakim PT menguatkan

putusan PN dan menyatakan bahwa

telah terjadi kebakaran di wilayah kerja

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

45

P.T. JJP. Namun, Majelis Hakim PT

menolak pertimbangan Majelis Hakim

PN terkait dengan luas wilayah

kebakaran. Majelis Hakim PT

menentukan bahwa luas wilayah yang

terbakar jauh di atas perhitungan

Majelis Hakim PN, yakni 1000 ha.160

Sebagai konsekuensi, Majelis Hakim PT

menghukum Tergugat untuk

membayar kerugian materiel yang juga

sangat besar, yakni Rp.

119.888.500.000,00 serta melakukan

tindakan pemulihan lingkungan

terhadap lahan yang terbakar dengan

nilai sebesar Rp. 371.137.000.000,00.161

Tulisan ini berpendapat bahwa

terdapat 3 (tiga) hal terkait bukti ilmiah

yang saling bertentangan yang

diajukan oleh para pihak dalam

perkara PT. JJP ini, yang pada

gilirannya mempengaruhi putusan

hakim. Pertentangan pertama, terkait

160 Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 727/PDT/2016/PT.DKI, op. cit. hlm. 79. 161 Ibid., hlm. 81. 162 Untuk memberikan keyakinan awal apakah benar terjadi kebakaran pada titik-titik hotspot

tersebut telah dilakukan pemeriksaan melalui aplikasi Google Earth dengan mengecek citra yang

terekam oleh satelit pada lokasi-lokasi yang terindikasi adanya titik panas – menunjukan bahwa hotspot

yang terindikasi di titik koordinat yang terbukti masuk wilayah usaha perkebunan. 163 Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr., op. cit., hlm. 9. (1)

Titik koordinat lokasi lahan bekas kebakaran benar terjadi di wilayah PT. JJP; (2) Telah terjadi kebakaran di areal HGU Tergugat khususnya pada lahan inti pada areal kosong tanpa tanaman dan pada areal yang telah ditanami sawit tapi dengan kualitas yang sangat tidak baik; (3) memastikan bahwa

lokasi terjadinya kebakaran lahan.

Kedua, luas wilayah yang terbakar.

Ketiga, besarnya nilai kerugian

lingkungan dan biaya pemulihan yang

diperlukan.

1. Lokasi Terjadinya Kebakaran

Terkait dengan lokasi terjadinya

kebakaran, Ahli dari pihak Penggugat

memberikan bukti data hotspot yang

diperoleh dari satelit MODIS pada

periode bulan Juni 2013. Berdasarkan

data tersebut, peristiwa kebakaran

lahan terindikasi terjadi sejak awal Juni

2013 di berbagai titik yang berbeda.162

Untuk memastikan bahwa titik hotspot

tersebut adalah titik api kebakaran,

Penggugat melakukan verifikasi

lapangan yang dilakukan oleh tim yang

ditunjuk oleh KLHK, yang

beranggotakan para ahli dan staf pada

tanggal 6 November 2013.163 Sementara

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

46

itu, Tergugat berpendapat perlu

dilakukan proses rekognisi dan proses

verifikasi secara real time untuk

memastikan bahwa sebuah hotspot

adalah benar-benar titik api (firespot).164

Tergugat menyatakan bahwa verifikasi

lapangan yang dilakukan oleh

Penggugat pada tanggal 6 November

2013 tersebut bukan merupakan

verifikasi yang dilakukan secara real

time.165

Majelis Hakim juga menerima

pendapat Ahli pihak Tergugat yang

menyatakan bahwa cuaca yang sangat

ekstrim pada periode Mei hingga Juni

2013 berkontribusi pada terjadinya

kebakaran.166 Kondisi ini menyebabkan

adanya temperatur yang sangat tinggi

yang dapat memindahkan materiel

yang terbakar yang berasal dari tanah

masyarakat.167 Ditambah dengan

keterangan saksi masyarakat soal api

kebakaran terjadi bukan tanpa alasan tetapi merupakan bagian dari upaya melakukan penyiapan lahan dengan pembakaran melalui pembiaran; (4) tidak tersedianya sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan di seputar areal yang terbakar; (5) lahan bekas terbakar merupakan lahan gambut; dan (6) Ditemuinya berberapa tanda-tanda fisik bekas kebakaran hutan.

164 Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr., op. cit., hlm. 47. 165 Ibid., hlm. 48. 166 Ibid, hlm. 138 - 139. 167 Ibid, hlm. 139. 168 Ibid, hlm. 157. 169 Ibid, hlm. 15. 170 Ibid, hlm. 16.

yang bersumber dari lahan masyarakat,

Majelis Hakim menerima eksepsi

Tergugat (berdasarkan pendapat para

Ahli) tentang sumber api yang bukan

berasal dari kegiatan Tergugat.168

2. Luas Wilayah yang Terbakar

Terkait dengan luas wilayah yang

terbakar, ahli dari pihak Penggugat

menentukan luas wilayah yang

terbakar berdasarkan verifikasi secara

fisik dengan menggunakan metode

sampling.169 Contoh diambil di 5 (lima)

blok lokasi kebakaran dalam wilayah

Tergugat. Salah satu contoh diambil

dari lahan yang tidak terbakar, sebagai

data kontrol untuk membandingkan

kondisi kandungan tanah yang

terbakar dengan kondisi tanah yang

tidak terbakar.170 Berdasarkan metode

tersebut, ahli dari pihak Penggugat

menyimpulkan bahwa luas wilayah

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

47

yang terbakar adalah 1.000 ha.171

Tergugat menolak hasil

perhitungan tersebut dan menyatakan

bahwa perhitungan tersebut hanya

berdasarkan asumsi dan tidak valid.

Luas yang terbakar menurut Tergugat

hanya seluas 113,9 ha.172 Tergugat

mendasarkan luas tersebut pada

pengakuan Penggugat atas wilayah

yang terbakar pada saat kunjungan

lapangan.173 Tergugat

mempertanyakan tentang metode

sampling yang dilakukan. Walaupun

hanya dilakukan terhadap lima lokasi

blok yang terbakar, tetapi dijadikan

dasar kesimpulan oleh ahli Penggugat

untuk menentukan jumlah

keseluruhan areal yang terbakar

sebesar 1000 ha.174 Majelis Hakim PN

menerima eksepsi yang disampaikan

Tergugat tersebut dengan dasar bukti

luas wilayah terbakar dan saksi-saksi

171 Ibid, hlm. 16. 172 Ibid, hlm. 59 173 Ibid, hlm. 57. Penggugat menyatakan bahwa wilayah yang terbakar terletak pada Blok S3 D-E,

Blok S4, S5, S6, S7, S8 dan S9 A, B, C, D dan E, Blok T4, T5, T6, T7, T8 dan T9. 174 Ibid, hlm. 57. 175 Ibid, hlm. 166. ‘Menimbang bahwa berdasarkan bukti P-28 bahwa lahan Tergugat yang terbakar

adalah pada sebagian blok S dan T seluas 120 Ha, dan dari bukti P-28 tersebut yang apabila

dihubungkan dengan keterangan saksi Handa Saputra dan Tukiman bahwa hanya sebagian lahan di

blok S dan T yang terbakar, maka dengan demikian Majelis Hakim menetapkan bahwa lahan Tergugat

yang terbakar adalah seluas 120 ha…’

yang disampaikan Tergugat.175

Namun, Majelis Hakim PT

menolak pertimbangan tersebut.

Hakim menerima perhitungan dengan

menggunakan metode sampling yang

diajukan oleh ahli dari pihak

Penggugat dalam menentukan luas

wilayah kebakaran hutan. Selain itu,

Majelis Hakim juga mengakui metode

untuk menentukan titik hotspot yang

dijadikan dasar penghitungan, dengan

alasan bahwa metode tersebut sudah

diakui secara ilmiah. Kaidah hukum

yang mendasari pertimbangan hakim

adalah bahwa pembuktian dalam

kerusakan lingkungan tidak hanya

menggunakan keterangan saksi-saksi,

tapi yang paling penting adalah

pembuktian ilmiah, verifikasi di

lapangan dan analisa di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

48

labolatorium.176

3. Besarnya Nilai Kerugian yang

Ditimbulkan Serta Biaya

Pemulihan Lingkungan

Penggugat mendasarkan

penghitungan ganti kerugian serta

biaya pemulihan akibat kebakaran

lahan berdasarkan Peraturan Menteri

Lingkungan No. 7 Tahun 2014 tentang

Ganti Kerugian Akibat Pencemaran

dan Kerusakan Lingkungan.177

Menurut Penggugat, kebakaran lahan

yang terjadi di wilayah Tergugat

mengakibatkan kerugian lingkungan,

yang terdiri dari kerugian ekologis178

serta kerugian ekonomis berupa

hilangnya umur pakai. Sedangkan

biaya pemulihan yang diajukan

176 Ibid., hlm. 78. 177 Dari uraian tersebut, total kerugian lingkungan adalah sebesar Rp. 119.885.500.000 dan total

biaya pemulihan adalah Rp. 371.137.000.000. 178 Terdiri dari biaya pembuatan reservoir, biaya pemeliharaan reservoir, pengaturan tata air,

pengendalian erosi, pembentuk tanah, pendaur ulang unsur hara, pengurai limbah, dan kerugian atas hilangnya keanekaragaman hayati dan sumberdaya genetika, kerugian akibat terlepasnya Karbon ke udara (terdiri dari lepasnya Karbon dan hilangnya perosot Karbon/Carbon Reduction).

179 Salah satunya adalah tidak dilakukannya pemeriksaan dalam waktu yang cepat (real time) atas terlepasnya gas rumah kaca.

180 Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr., op. cit., hlm. 167. Hakim berpendapat karena tidak ada peraturan yang menetapkan besara ganti rugi, selain melalui penghitungan ahli, maka majelis hakim dapat menerima besaran ganti rugi sebagaimana disebutkan Penggugat dalam gugatannya. Hal lain yang menjadi pertimbangan hakim terkait besarnya ganti kerugian adalah: (1) hutan tidak rusak rempurna dan masih dapat ditanah kembali; (2) kebakaran bukan berasal dari lahan Tergugat melainkan dari lahan masyarakat yang merembet ke lahan Tergugat;

penggugat terdiri dari: biaya

pemulihan lahan gambut bekas

terbakar, biaya pembelian kompos,

biaya angkut, biaya penyebaran

kompos, dan biaya pemulihan untuk

mengaktifkan fungsi ekologis.

Tergugat menolak perhitungan

serta nilai yang ditentukan tersebut.179

Majelis Hakim PN menerima metode

penghitungan yang disampaikan oleh

Penggugat, namun sebagaimana telah

disampaikan sebelumnya, Majelis

Hakim tidak sepakat dengan luas

wilayah yang terbakar. Berdasarkan hal

tersebut, Majelis Hakim PN hanya

mengabulkan ganti rugi dan

pemulihan sesuai dengan luas wilayah

terbakar, yakni 120 ha.180

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

49

Berbeda dengan putusan PN,

Majelis Hakim PT mengabulkan

seluruh nilai ganti kerugian dan biaya

pemulihan yang diajukan oleh

Penggugat. Putusan Majelis Hakim

tersebut didasarkan pada

pertimbangan bahwa kebakaran terjadi

di wilayah yang sangat luas, yaitu 1000

ha. Di samping itu Majelis Hakim PT

juga mempertimbangkan bahwa

kebakaran lahan tersebut telah

mengakibatkan kerusakan lingkungan

hidup yang dampaknya berpotensi

tidak dapat dipulihkan lagi.181

V. Federal Rule of Evidence 702,

Kriteria Daubert dan

Pendayagunaan Bukti Ilmiah di

Indonesia

Sebagaimana disampaikan

sebelumnya, penggunaan bukti ilmiah

di Amerika Serikat didasarkan pada

Federal Rules of Evidence, Rule 702 dan

Kriteria Daubert. Tulisan ini melihat

bahwa aturan dan kriteria tersebut

sangat ketat dan rinci, sehingga dapat

(3) dengan kedua hal tersebut majelis hakim menganggap adil apabila dibebankan kepada Tergugat separo (1/2) dari nilai kerugian yang timbul di lahan Tergugat.

181 Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 727/PDT/2016/PT.DKI, op. cit. hlm. 79.

membantu hakim dalam menilai bukti

ilmiah dalam proses pembuktian di

pengadilan. Apabila aturan dan kriteria

tersebut digunakan untuk

menganalisis pendayagunaan bukti

ilmiah dalam penanganan perkara di

pengadilan di Indonesia, maka

diharapkan dapat membantu

mengidentifikasi kekurangan yang

ada.

A. Keberadaan Metodologi Sains

yang Andal

Kriteria Daubert mensyaratkan

agar teori dan metode yang digunakan

dalam menentukan bukti ilmiah telah

teruji secara ilmiah (falsifiability test),

potential error rate-nya rendah, telah

melalui peer review dan telah diterima

oleh komunitas ilmiah (general

acceptance). Jika menggunakan kriteria

tersebut, terlihat bahwa Pedoman

Penanganan Perkara Lingkungan

Hidup yang dikeluarkan Mahkamah

Agung belum memberikan arahan

bagaimana menilai suatu bukti ilmiah

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

50

atau bagaimana memastikan

keterangan ahli didasarkan pada teori

atau metode ilmiah. Pedoman hanya

memberikan acuan yang perlu

dilakukan oleh hakim bila terjadi

perbedaan antara bukti ilmiah dan

keterangan ahli.

Terkait dengan data hotspot,

walaupun hakim menerima telah

terjadinya kebakaran di lahan

Tergugat, Majelis Hakim PN tidak

memberikan pertimbangan secara

khusus tentang validitas bukti hotspot

yang disampaikan oleh Penggugat

terkait verifikasi secara real time. Hal ini

penting untuk dilakukan untuk

memastikan validitas bukti ilmiah.

khususnya apakah metode yang

dilakukan dalam menentukan titik

koordinat kebakaran telah dilakukan

dengan metode yang valid dan

pelaksanaan dilakukan dengan cara

yang benar. Dalam kriteria Daubert,

proses ini terkait dengan pengujian

standar operasi yang benar

(maintenance of operating standards).

182 Ibid.

Sementara itu, Majelis Hakim PT

tampaknya telah menggunakan salah

satu Kriteria Daubert, yakni prinsip

general acceptance. Di sini, Majelis

Hakim PT menilai apakah bukti ilmiah

didasarkan atas suatu metode yang

valid. Misalnya, Majelis menilai data

hotspot dihasilkan oleh foto citra satelit

yang dianggap sudah diakui secara

ilmiah dan data tersebut telah

diverifikasi dan dianalisis di

laboratorium oleh ahli kebakaran

hutan.182 Namun demikian, Majelis

belum secara rinci menilai keberadaan

metode yang valid dalam menentukan

penyebab serta dampak terjadinya

kebakaran.

Terkait dengan penyebab

kebakaran, Majelis Hakim PN belum

membandingkan keterangan ahli

Penggugat yang menjelaskan bukti

hotspot, hasil verifikasi lapangan, dan

analisis laboratorium dengan pendapat

ahli Tergugat tentang pengaruh cuaca

terhadap pemicu kebakaran di wilayah

Tergugat. Majelis tidak menilai apakah

teori atau metode yang mendasari

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

51

pendapat ahli Tergugat adalah valid.

Selain itu, Majelis Hakim PN tidak

secara khusus menilai terkait

metodologi. Hakim tidak menilai

apakah metode sampling tepat

digunakan untuk menentukan luas

seluruh wilayah yang terbakar. Dari

pertimbangan Majelis Hakim PN diatas

dapat dilihat bahwa Majelis Hakim PN

lebih memberikan bobot yang lebih

berat kepada bukti selain bukti ilmiah

dalam membuktikan

pencemaran/perusakan lingkungan.

Hal ini dapat menunjukan adanya

kebutuhan pemahaman ilmiah yang

memadai bagi hakim.

Sementara itu, terkait dengan

dampak kebakaran, ahli-ahli dari

Penggugat menyatakan bahwa

ketebalan gambut yang terbakar

bervariasi sampai kedalaman 75 cm,

sedangkan ahli-ahli dari pihak

Tergugat menyampaikan ketebalan

gambut yang terbakar hanya sampai

kedalaman 15 cm.183 Majelis Hakim PN

mengakui hal ini disebabkan oleh tidak

samanya pengambilan titik sampel.

183 Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr., op. cit., hlm. 165.

Namun demikian, pertimbangan

tersebut tidak disertai dengan

pemeriksaan secara rinci apakah

sampel tersebut adalah sampel yang

relevan dengan kebakaran. Validitas

dari sampel tersebut akan menentukan

apakah pendapat Ahli adalah pendapat

yang kredibel. Terdapat kaitan yang

sangat erat antara opini, metodologi

serta data yang digunakan. Artinya

menilai apakah suatu opini adalah

opini yang valid dapat diuji dengan

memastikan apakah opini tersebut

diperoleh melalui metodologi yang

tepat terhadap data-data yang relevan.

Sehingga walaupun metodologi yang

dipakai sudah tepat tapi data yang diuji

bukan data yang relevan atau valid,

maka opini menjadi tidak valid.

B. Aspek Pengetahuan Khusus

(Specialized Knowledge)

Rule 702, Federal Rule of Evidence

menentukan bahwa suatu pendapat

ahli merupakan bukti ilmiah jika

didasarkan pada data atau fakta yang

akurat, serta diperoleh dari prinsip dan

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

52

metode ilmiah yang dapat diandalkan.

Di Indonesia, peraturan yang ada

belum mengatur kriteria yang jelas

terkait pendapat ahli, sedangkan

kriteria yang ditetapkan dalam

Pedoman Penanganan Perkara

Lingkungan juga masih sangat luas.

Pedoman, misalnya, belum mengatur

tentang perlunya ahli memiliki

pengetahuan khusus (specialized

knowledge) yang sesuai dengan

kebutuhan perkara.

Dalam perkara P.T. JJP, Penggugat

menghadirkan Ahli untuk menjelaskan

besar dan nilai kerugian lingkungan

serta biaya pemulihan yang

diperlukan. Majelis Hakim menerima

penjelasan Penggugat tentang latar

belakang dan keahlian khusus yang

dimiliki oleh para Ahli serta

kredibilitas laboratorium yang

dipakai.184 Putusan Majelis Hakim juga

184 Prof. Bambang Hero Saharjo. M.Agr. telah memperoleh penunjukan dari Menteri Lingkungan

Hidup berdasarkan Surat Penunjukan ahli Nomor SPA-03/Dep.V/LH/HK/12/2014 tanggal 31 Desember 2014 dan juga sebagai Kepala Laboratorium Kebakatan Lahan Fakultas Kehutanan IPB dan anggota Tim Panel Pakar Kebakaran Hutan dan Lahan ASEAN, Chair Souteast Wildlife Network-UNISDR yang bernaung di bawah PBB. Sedangkan DR. Ir. Basuki Wasis, M.Si. adalah peneliti IPB dalam masalah kerusakan lingkungan khususnya kerusakan tanah gambut dan telah sering diminta sebagai ahli dalam penanganan kasus lingkungan oleh aparat penegak hukum.

185 Justice Brian J. Preston, Economic Valuation of the Environment, (makalah disampaikan pada Land and Environment Annual Conference, 28 May 2015, Manly, Australia, 13-17).

186 Ibid., hlm. 14.

sudah dengan jelas menerima

penghitungan ganti kerugian yang

disampaikan oleh ahli Penggugat.

Namun demikian, dalam

menganalisis pertimbangan hakim

tersebut dari aspek pengetahuan

khusus, tulisan ini menganggap

penting untuk membahas lebih lanjut

bagaimana Majelis Hakim menerima

keterangan ahli soal penghitungan

ganti kerugian? kriteria apa yang

dipakai oleh Majelis hakim untuk

menilai bahwa ahli tersebut adalah ahli

yang memiliki pengetahuan khusus?

Sementara itu, secara teori proses

valuasi lingkungan terdiri dari

berberapa tahap. 185 Tahap pertama

adalah menjelaskan ruang lingkup dari

analisis yang dibutuhkan (the scope of

analysis required).186 Kedua,

mengidentifikasi dampak terhadap

lingkungan (identify all the

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

53

environmental impacts).187 Ketiga,

mengkuantifikasi dampak yang telah

diidentifikasi (quantify the environmental

impacts).188 Tahapan terakhir adalah

melakukan penghitungan keuangan

(monetise the environmental impacts).189

Terkait dengan masalah diatas, SK

KMA No. 36 No. 36/KMA/SK/II/2013

tentang Pedoman Penanganan Kasus

Lingkungan sendiri membolehkan

penghitungan kerugian lingkungan

hidup dilakukan oleh ahli kerusakan

lingkungan. Pada saat pembentukan,

SK ini merujuk pada ketentuan Permen

LH No. 13 tahun 2011 tentang Kerugian

Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran

dan/atau Kerusakan Lingkungan

Hidup terkait siapa yang dapat

melakukan penghitungan kerugian.

Permen ini sudah diganti oleh

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

(Permen LH) No. 7 tahun 2014 tentang

Kerugian Lingkungan Hidup Akibat

Pencemaran dan/atau Kerusakan

187 Ibid., hlm.15. 188 Ibid., hlm.16. 189 Ibid., hlm. 17. 190 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang

Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, No. 7 tahun 2014, Pasal 4.

Lingkungan Hidup yang masih

memuat pengaturan pengaturan yang

sama, yakni ahli pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan dapat

melakukan penghitungan kerugian

lingkungan.190

Kemudian, pasal 4 Permen LH No.

7 Tahun 2014 tentang Kerugian

Lingungan Hidup Akibat Pencemaran

dan/atau Kerusakan Lingkungan

Hidup juga membedakan antara ahli

pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan dengan ahli valuasi

ekonomi lingkungan hidup.

Berdasarkan ketentuan ini, pertanyaan

kritis diatas dapat diuji dengan

beberapa pertanyaan lanjutan sebagai

berikut.

Pertama, Rule 702 menyatakan

bahwa seorang saksi yang memiliki

keahlian berdasarkan pengetahuan,

keterampilan, pengalaman, pelatihan

atau pendidikan yang ia miliki, dapat

menjadi ahli dan mengemukakan

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

54

pendapatnya di pengadilan. Apakah

ahli kerusakan lingkungan tersebut

memiliki pengetahuan, pengalaman,

pendidikan serta pelatihan terkait

dengan substansi yang ada pada

tahapan-tahapan tersebut? Kedua,

apakah penghitungan ganti kerugian

yang disampaikan oleh ahli kerusakan

lingkungan telah menguraikan

keempat tahapan diatas?

Pertanyaan-pertanyaan diatas

perlu dijawab melalui penelitian yang

lebih mendalam dalam kerangka yang

lebih luas - perbandingan sistem

penilaian bukti ilmiah dalam kasus

lingkungan di Indonesia dengan

dengan sistem di Amerika serta negara-

negara lain yang dianggap menarik.

Terkait dengan aspek pengetahuan

khusus, salah satu aspek penelitian

dapat ditekankan pada penentuan

kriteria serta tahapan apa yang perlu

dilakukan oleh seorang ahli dalam

melakukan valuasi lingkungan akibat

kebakaran hutan. Sehingga beberapa

ahli mungkin perlu dilibatkan untuk

suatu alat bukti terkait bukti ilmiah.

Pada akhirnya, kemampuan hakim

untuk memastikan apakah pendapat

ahli tersebut dilakukan dengan

metodologi yang valid menjadi salah

satu faktor kunci dalam menilai

kredibilitas dari suatu bukti ilmiah. Hal

ini mensyaratkan kemapuan hakim

yang memadai tentang sains yang

relevan (sufficient level of relevant

scientific knowledge), pedoman yang

jelas dan metode pelatihan yang

komprehensif terkait bukti ilmiah.

VI. Penutup

Kriteria Daubert memuat prinsip-

prinsip penting dalam melihat apakah

suatu bukti imiah adalah bukti yang

dapat diandalkan. Secara umum

pengaturan hukum di Indonesia sudah

memuat prinsip-prinsip dari kriteria

Daubert sebagaimana telah diuraikan

diatas. Selain itu prinsip-prinsip

tersebut juga telah secara umum

digunakan dalam penanganan perkara

perdata lingkungan. Namun demikian,

hal ini belum dapat dianggap cukup.

Terdapat berberapa tantangan yang

dihadapi di lapangan. Tulisan ini

menyimpulkan bahwa tantangan yang

ada di lapangan adalah bahwa aturan

yang ada selama ini belum

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

55

memberikan panduan yang lengkap

untuk menilai validitas bukti ilmiah

yang diajukan dalam persidangan dan

pengetahuan khusus yang dimiliki oleh

ahli. Untuk itu, peraturan dan

pedoman tentang pembuktian dalam

perkara lingkungan di pengadilan

perlu disempurnakan. Perhatian

khusus perlu diberikan pada aspek

penggunaan metode ilmiah dalam

menentukan validitas bukti ilmiah,

serta pendapat ahli yang harus

didasarkan oleh pengetahuan khusus.

Aspek-aspek lain yang relevan dan

penting perlu diidentifikasi lebih lanjut

secara komprehensif.

Namun demikian, perlu diakui

bahwa penyempurnaan peraturan

yang diusulkan tersebut akan

memberikan tantangan tersendiri bagi

hakim. Pengaturan yang detail berarti

mensyaratkan hakim untuk memiliki

pengetahuan ilmiah (scientific

knowledge) yang memadai. Tentunya

hakim tidak diharapkan untuk dapat

memiliki pemahaman layaknya

seorang ilmuwan. Namun, hakim

diharapkan mampu merumuskan

pertanyaan-pertanyaan penting dalam

menilai validitas bukti ilmiah dan

kualifikasi saksi ahli, agar dapat

memberikan pendapat ilmiah yang

relevan dengan perkara. Oleh sebab itu,

penguatan hukum tersebut juga perlu

didukung dengan adanya pelatihan

khusus bagi hakim, dengan materi dan

metode yang tepat. Metode yang

dipakai harus dapat membantu hakim

dalam memilah dan memilih bukti

ilmiah yang relevan, dan menerapkan

ke dalam suatu perkara.

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

56

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Federal Rules of Evidence, Rule 702,

diundangkan pertama kali pada

tahun 1975.

Indonesia. Undang-Undang Hukum

Acara Pidana. UU No. 8 Tahun

1981. LN No. 76 Tahun 1981,

TLN No. 3258.

Indonesia, Mahkamah Agung,

Keputusan Ketua tentang

Pedoman Penanganan Kasus

Lingkungan, SK KMA No.

36/KMA/SK/II/2013.

Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup,

Peraturan Menteri Lingkungan

Hidup tentang Kerugian

Lingkungan Hidup Akibat

Pencemaran dan/atau

Kerusakan Lingkungan Hidup,

No. 7 tahun 2014.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Perdata [Het Herzein Inlandsch

Reglement/Reglemen Indonesia

yang Diperbaharui],

diterjemahkan oleh Tim Visi

Yustisia, (Jakarta, Visi Media

Pustaka, 2015).

Putusan Pengadilan

D.C. Cir. Frye v United States 293F

(1923), 1014.

11th Cir. United States v. Else, 743 F.2d

1465, 1474 (1984).

5th Cir. Christophersen v. Allied-Signal

Corp, 939 F.2d 1106 (1991), cert.

denied, 112 S. Ct. 1280 (1992).

Supreme Court of The United States.

Daubert v Merrell Dow

Pharmaceuticals, Inc. (1993) 113 S.

Ct 113 S. (1993).

D. Tex. Cano v. Everest Mineral Corp., 362

F. Supp.2d 814 (2005).

Mahkamah Agung, Putusan No. 651

K/PDT/2015.

Pengadilan Negeri Jakarta Utara,

Putusan No.

108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,

Putusan No. 456/Pdt.G-

LH/2016/PN.Jkt.Sel.

Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No.

727/PDT/2016/PT.DKI.

Buku

Ali, Achmad dan Heryani, Wiwie. Asas-

Asas Hukum Pembuktian Perdata.

edisi 1. Jakarta: Kencana

Perdana Media Group. 2012.

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

57

Glaubber, Ann Jeannette. et. al.,

“Kerugian dari Kebakaran

Hutan: Analisa Dampak

Ekonomi dari Krisis Kebakaran

Tahun 2015.” Laporan

Pengetahuan lanskap

Berkelanjutan Indonesia No.1.

World Bank Group. 2016.

Mayo, Deborah G. dan Rachelle

D. Acceptable Evidence. New

York: Oxford University Press.

1991.

Popper, Karl R. The Logic of Scientific

Discovery. edisi 2. New York:

Routledge. 1968.

Pring, George and Pring, Catherine.

Greening Justice: Creating &

Improving Environmental Courts

& Tribunals. The Access

Initiative. 2009.

_____, Environmental Courts & Tribunals

- A Guide for Policy Makers

(UNEP) | ELAW (2016).

Artikel

Bernstein, David E. “The Admissibility

of Scientific Evidence after

Daubert v. Merrell Dow

Pharmaceuticals, Inc.” Cordozo

Law Review 15 (1993).

Bishop, Katherine. “Science Advance so

Quickly Nowadays. We can’t

just Count Scientific

Cranor, F. Carl, “A Framework for

Assessing Scientific Arguments:

Gaps, Relevance and Integrated

Evidence. “Journal of Law &

Policy, Brooklyn Law School Vol.

15 (7) (2007).

Egesdal, M. Steven, “The Frye Doctrine

and Relevancy Approach

Controversy: An Empirical

Evaluation,” 74, Geo.L.J. (1986).

Giannelli, Paul C. “The Admissibility of

Novel Scientific Evidence: Frye

V. United States, A Half Century

Later.” Columbia Law Review Vol.

80 No. 6. (1980).

Hutchinson, Clifton T. dan Ashby S.

Danny. “Daubert v. Merrell Dw

Pharmaceutical, INC.:

Redefining the Basis for

Admissibility of expert Scientific

Testimony.” Cordozo Law Review

15 (1993).

Markus, L. Richard. "Discovery Along

the Litigation/Science

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59

58

Interface." Brooklyn Law Review

Vol. 57 (1991).

Muirden, April. dan John Bailey.

"Presenting Scientific Evidence

in Environmental Court Cases:

How Science and Law Meet"

Environmental Planning and Law

Journal Vol. 25 (2008).

Nardi, Jr, J. Dominic, "Do Indonesian

Judges Need Scientific

Credibility? Indonesia v. PT.

Newmont Minahasa Raya and

the Use of Scientific Evidence in

Indonesian Courts." Georgetown

International Environmental Law

Review Vol. 21 Issue 113.

Park J. Keum, “Judicial Utilization of

Scientific Evidence in Complex

Environmental Torts:

Redefining Litigation Driven.”

Fordham Environmental Law

Review Vol. 7 No. 2 (1996).

Preston, J. Brian. "Science and the Law:

Evaluating Evidentiary

Reliability." (tulisan

disampaikan pada the

Australian Conference of

Planning and Environment

Courts and Tribunals, Adelaide,

4-7 September 2002).

_____. “Economic Valuation of the

Environment.” (makalah

disampaikan pada Land and

Environment Annual Conference,

28 May 2015, Manly, Australia).

Thornton, John I. “Uses and Abuses of

Forensic Science.” American Bar

Association Journal. Vol. 69 Issue

3. (1983)

Lain-Lain

Cancer Council of Australia, “What is

Oncology?”

https://www.cancer.org.au/he

alth-professionals/oncology/,

diakses 10 September 2018.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring,

https://kbbi.web.id/sains,

diakses 10 September 2018.

Katherine Bishop, Science Advance so

Quickly Nowadays. We can’t

just Count Scientific Noses’,

Leap of Science Create

Quandaries on Evidence, N.Y.

TIMES, April 6, 1990.

MVT, “Hakim Seringkali Abaikan

Bukti Ilmiah,”

Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI

AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

59

http://www.hukumonline.com

/berita/baca/lt4d4cf9774f064/h

akim-seringkali-abaikan-bukti-

ilmiah-, diakses pada 23 Juli

2018.

Wawancara dengan Justice Brian J.

Preston, Ketua Pengadilan Land

& Environment Court, New

South Wales, Australia, 7 Maret

2018.

Wawancara dengan Raynaldo

Sembiring, Peniliti pada

Indonesian Center for

Environmental Law pada

tanggal 5 Juli 2018.

Wawancara dengan Fauzul Abrar, S.H

pada tanggal 17 Juli 2018.

Yenrizal, “Opini: Berkaca Pada Putusan

Kasus PT. BMH”,

http://www.mongabay.co.id/2

016/01/13/opini-berkaca-pada-

putusan-kasus-pt-bmh/, diakses

pada 12 September 2018.

60

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN: TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

Perdinan191, Tri Atmaja192, Ryco F. Adi2 dan Woro Estiningtyas193

Abstrak

Dalam dua dekade terakhir, berbagai program intensifikasi penggunaan sarana produksi pertanian (misal: bantuan benih, pupuk bersubsidi, pupuk organik, dan perbaikan irigasi) telah berdampak terhadap peningkatan produksi beras nasional. Di balik keberhasilan program tersebut, fluktuasi kondisi iklim memberikan tantangan dalam mempertahankan stabilitas produksi nasional. Kondisi tersebut dapat diperparah dengan adanya potensi dampak negatif perubahan iklim yang berakibat pada penurunan produktivitas ataupun peningkatan serangan hama dan penyakit. Ancaman lainnya adalah peningkatan fenomena iklim ekstrem yang dapat menyebabkan bencana banjir dan kekeringan, sehingga berimplikasi pada gagal panen ataupun gagal tanam. Memperhatikan kondisi tersebut, tulisan ini membahas berbagai inisiatif adaptasi yang dilakukan melalui langkah praktis dan didorong oleh regulasi yang dikeluarkan pemerintah Indonesia. Praktik adaptasi dilakukan melalui insiatif mandiri berdasarkan kearifan lokal maupun bantuan pemerintah. Iniastif pemerintah terkait adaptasi dilakukan melalui Pedoman Umum Langkah-Langkah Adaptasi Perubahan Iklim (Pedum) dan langkah praktis dalam strategi budidaya yang responsif terhadap perubahan iklim. Kata Kunci: Perubahan Iklim, Ketahanan Pangan, Adaptasi, Padi Abstract In the last two decades, programs on intensifying the use of agricultural inputs (e.g. seed support, subsidized fertilizer, organic fertilizer, and irrigation improvement) have increased national rice production. Apart from the success of the programs, fluctuations in climatic conditions present challenges in maintaining national production stability. These conditions can be exacerbated by the potential negative impacts of climate change, which may decrease crop productivity or increase pest and disease attacks. Another threat is the escalation of extreme climate events that can lead to climatic hazards such as flood and drought, resulting in crop damage or crop failure. Considering the climatic impacts, this paper discusses various adaptation initiatives undertaken through practical measures and regulations issued by the Indonesian government. The adaptation practices are done through independent initiatives based on local wisdom as well as government assistance. The government initiatives on

191 Penulis adalah dosen dan peneliti pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut

Pertanian Bogor. 192 Penulis adalah peneliti pada PIAREA. 193 Penulis adalah peneliti pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan

Pertanian.

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:

TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

61

adaptation are endorsed through the Guidelines for Climate Change Adaptation Measures (Pedum) and Practical Steps related to climate responsive farming. Keywords: Climate Change, Food Security, Adaptation, Rice

I. Pendahuluan

Pemenuhan suplai bahan pangan

utama sangat penting dalam menjaga

stabilitas suatu negara. Mengacu pada

dokumen Rencana Pembangunan

Pertanian Indonesia 2015-2019, beras

merupakan makanan pokok bagi

sebagian besar (> 95%) penduduk

Indonesia. Sebagai bahan makanan

utama, beras memainkan peran

penting dalam perekonomian dan

pembangunan nasional. Beras penting

untuk perekonomian Indonesia dengan

pertimbangan: (1) sistem agrobisnis

padi memperkuat ketahanan pangan

nasional; (2) kegiatan pertanian padi

dan kontributor utama sistem

pertanian nasional padat karya; dan (3)

banyak petani padi masih dianggap

miskin dan dengan demikian sensitif

terhadap kerugian produksi.194

194 P. Simatupang dan I.W. Rusastra, “Kebijakan Pembangunan Sistem Agribisnis Padi dalam

Ekonomi Padi dan Beras Indonesia”, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 2004), hlm. 31-52.

Sektor pertanian pada 5 (lima)

tahun terakhir (2015-2019) mengacu

pada Paradigma Pertanian untuk

Pembangunan (Agriculture for

Development) yang memosisikan sektor

pertanian sebagai penggerak

transformasi pembangunan yang

berimbang dan menyeluruh mencakup

transformasi demografi, ekonomi,

antar-sektoral, spasial, institusional,

dan tata kelola pembangunan.

Paradigma tersebut memberikan

arahan bahwa sektor pertanian

mencakup berbagai kepentingan yang

luas dan multifungsi. Selain sebagai

sektor utama tumpuan ketahanan

pangan, sektor pertanian memiliki

fungsi strategis lainnya termasuk

untuk menyelesaikan persoalan-

persoalan lingkungan dan sosial

(kemiskinan, keadilan, dan lain-lain)

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87

62

serta penyedia sarana wisata

(agrowisata).

Mempertimbangkan posisi

strategis beras dalam pembangunan

nasional Indonesia dan paradigma

sektor pertanian ke depan, produksi

padi nasional mendapatkan perhatian

besar dari pemerintah Indonesia.

Berdasarkan laporan Badan Pusat

Statistik (BPS), pada tahun 2017

produksi beras nasional mencapai 81,38

juta ton Gabah Kering Giling (GKG).

Produksi tersebut lebih besar

dibandingkan dekade sebelumnya

yaitu sebesar 57,15 juta ton GKG pada

tahun 2007. Peningkatan produksi

beras nasional tersebut diindikasikan

sebagai keberhasilan program

intensifikasi pertanian yang terkait

dengan peningkatan penggunaan

sarana produksi pertanian (misal:

bantuan benih, pupuk bersubsidi,

195 Purdiyanti Pratiwi, “Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional”, (Bogor:

Departemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor, 2008), hlm. 61-158. 196 Gerrit Hoogenboom, "Contribution of Agrometeorology to The Simulation of Crop Production

and Its Applications", Agricultural and Forest Meteorology 103, No. 1-2 (2000): hlm. 137-157, lihat juga Raymond P. Motha and Wolfgang Baier, "Impacts of Present and Future Climate Change and Climate Variability on Agriculture in The Temperate Regions: North America", Climatic Change 70, No. 1-2 (2005), hlm. 137-164, dan llihat F. N. Tubiello, J.-F. Soussana and S. M. Howden, "Crop and Pasture Response to Climate Change", Proceedings of The National Academy of Sciences 104, No. 50 (2007), hlm. 19686-19690.

197 William Cline, "Global Warming and Agriculture: Impact Estimates by Country,” Choice Reviews Online 45, No. 04 (2007), hlm. 97-98.

pupuk organik, dan perbaikan

irigasi).195 Di balik keberhasilan inovasi

teknologi pertanian tersebut, fluktuasi

kondisi iklim, khususnya kejadian

iklim ekstrem, memberikan sebuah

tantangan dalam menjaga stabilitas

produksi padi nasional. Pertumbuhan

dan perkembangan padi yang

berimplikasi pada produksi padi juga

dipengaruhi oleh variabilitas iklim.196

Perubahan iklim global berdampak

nyata pada produksi tanaman pangan.

Secara global, perubahan iklim

diproyeksikan dapat menurunkan

produksi tanaman, terutama di wilayah

pertanian yang terletak di lintang

rendah akan mengalami dampak

negatif.197 Dampak negatif tersebut

dikarenakan wilayah lintang rendah

memiliki suhu udara yang berada pada

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:

TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

63

batas toleransi tanaman (di bawah 10oC

dan di atas 29oC).198

Berdasarkan simulasi model

tanaman, dilaporkan bahwa kenaikan

suhu 1oC dan kenaikan curah hujan 5%

akan menurunkan produktivitas padi

hingga 0,33 ton/ha.199 Sementara itu,

kejadian iklim ekstrem yang seringkali

berakibat pada kejadian banjir dan

kekeringan di Indonesia juga

berdampak negatif terhadap produksi

tanaman pangan. Proyeksi pemanasan

global dapat meningkatkan frekuensi

kejadian El Niño–Southern Oscillation

(ENSO) yang ditandai dengan kejadian

El Niño dan La Niña. El Nino

merupakan kejadian dimana musim

panas yang relatif lebih panjang

sehingga berimplikasi pada kejadian

kekeringan, sementara La Nina

ditandai dengan intensitas curah hujan

tinggi yang berdampak pada banjir.200

Memahami potensi dampak

perubahan iklim diperlukan langkah

198 G. S. L. H. V Prasada Rao, Agricultural Meteorology (Thrissur: PHI Learning Pvt. Ltd, 2008), hlm.

58-61. 199 Peter Rene Hosang, J. Tatuh, dan Johannes E. X. Rogi, “Analisis Dampak Perubahan Iklim

Terhadap Produksi Beras Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2013-2030,” Jurnal Eugenia 18, No. 3 (2012), hlm. 249-256.

200 A. Timmermann et al., "Increased El Niño Frequency in A Climate Model Forced by Future Greenhouse Warming", Nature 398, no. 6729 (1999): hlm. 694-697.

antisipasi atau dikenal dengan istilah

adaptasi perubahan iklim. Adaptasi

perubahan iklim diarahkan untuk

memanfaatkan dampak positif dan

meminimimalkan dampak negatif

perubahan iklim. Kegiatan adaptasi

dapat dilakukan melalui perbaikan

insfrastruktur maupun melalui

pengembangan kapasitas petani dan

komoditas. Khusus sektor pertanian,

pemerintah Indonesia telah menyusun

langkah dan strategi adaptasi

perubahan iklim untuk pengembangan

pertanian terhadap dampak perubahan

iklim dalam Pedoman Umum Adaptasi

Perubahan Iklim (Pedum) yang

diterbitkan pada 2011 oleh

Kementerian Pertanian. Tulisan ini

akan membahas mengenai dampak

perubahan iklim terhadap produksi

tanaman pangan dengan fokus

komoditas beras, serta inisiatif strategi

adaptasi perubahan iklim dan

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87

64

kebijakan pendukung implementasi

upaya adaptasi di Indonesia.201

Metode yang digunakan dalam

penulisan ini adalah desk study dengan

melakukan pengumpulan data dan

informasi terkait dengan penelitian di

bidang tanaman padi, perubahan iklim,

dan kebijakan terkait pertanian dan

perubahan iklim. Analisis terhadap

data sekunder terkait sektor beras

dalam lingkup nasional juga dilakukan

untuk memperkuat hasil telaah

berbagai dokumen terkait kebijakan

dan program peningkatan produksi

beras nasional. Hasil tulisan

diharapkan dapat menjadi salah satu

referensi terkait informasi adaptasi

perubahan iklim sektor tanaman padi

sejalan dengan upaya ketahanan

pangan nasional.

II. Distribusi Sentra Produksi Padi

dan Rantai Pasok Beras

Merujuk data luas panen padi

nasional yang dikeluarkan BPS tahun

2015, wilayah Jawa Timur, Jawa

Tengah, dan Jawa Barat memiliki luas

panen terbesar untuk produksi padi di

Indonesia (Gambar 1). Luas panen total

tahun 2015 berturut-turut adalah 2,15

juta/ha, 1,88 juta/ha dan 1,86 juta/ha,

setara sekitar 15,2%, 13,3%, dan 13,2%

dari luas panen padi nasional. Sentra

produksi padi di Jawa Timur adalah

Jember, Cilacap untuk Jawa Tengah,

sementara Indramayu adalah daerah

produksi utama padi di Jawa Barat.

201 Naskah disampaikan pada Lokakarya dan Seminar Nasional Adaptasi dan Mitigasi Perubahan

Iklim, Bogor, 13-14 September 2017.

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:

TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

65

Gambar 1. Luas Panen (Kiri) dan Distribusi Spasial Produktivitas (Kanan) Padi di Indonesia Tahun 2015202

Berdasarkan wilayah sebaran,

mayoritas daerah pertanaman padi

tumbuh pada tipe iklim monsun

terutama di Pulau Jawa (Gambar 1).

Jenis iklim dan tanah wilayah tersebut

cocok untuk pertumbuhan dan

perkembangan padi. Wilayah pulau

Jawa, termasuk di dalamnya Provinsi

Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa

Barat, merupakan wilayah yang

berkontribusi paling banyak dalam

produksi nasional, yaitu sebanyak 36

juta ton atau sekitar 52,9%. Kemudian

disusul oleh produksi dari Pulau

Sumatera yang memiliki produksi padi

antara 1 sampai 4 juta ton. Produksi

dari Pulau Kalimantan menempati

posisi ketiga, yakni dengan tingkat

produksi sebesar 0,5 sampai 2 juta ton.

Sedangkan, Pulau Sulawesi berada di

posisi keempat karena memiliki tingkat

produksi padi relatif bervariasi.

Terakhir, produksi padi terendah

202 Badan Pusat Statistik (BPS), “Tanaman Padi Per Provinsi”,

https://www.bps.go.id/site/resultTab, diakses 3 September 2018.

berada di wilayah Indonesia Timur

khususnya wilayah Papua (Gambar 1).

Walaupun demikian, padi yang

diproduksi oleh petani secara umum

tidak dapat langsung diakses oleh

konsumen terakhir. Hal ini karena

sistem distribusi yang dikenal dengan

sebutan rantai pasok, membuat

beberapa jalur rantai untuk

mendistribusikan hasil panen padi dari

petani untuk sampai kepada konsumen

(Gambar 2).

Secara umum, padi yang dipanen

petani akan melewati kegiatan pasca

panen seperti pengeringan dan

penggilingan untuk menghasilkan

beras. Beras tersebut kemudian

disimpan untuk dijual melalui

supermarket atau pedagang besar yang

menjual beras ke pengecer atau pasar

tradisional kecil. Jalur lainnya, pabrik-

pabrik kecil yang memproses padi

menjadi beras mengirimkan beras ke

Koperasi Unit Desa (KUD) atau unit

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87

66

usaha yang dimiliki masyarakat yang

kemudian mengirimkan beras ke

Badan Urusan Logistik (Bulog). Bulog

merupakan perusahaan milik negara

yang dapat menjual beras dengan

harga lebih rendah untuk keperluan

rumah tangga, terutama kepada yang

kurang mampu, melalui program

distribusi beras yang disebut Beras

Sejahtera (Rastera). Upaya ini

menunjukkan komitmen pemerintah

untuk membantu petani dan rumah

tangga mengakses makanan pokok dan

menjaga ketahanan pangan.

Saat ini dengan berkembangnya

teknologi informasi dan transportasi,

para pelaku dalam rantai pasok dapat

berkoordinasi untuk meningkatkan

kinerja distribusi beras di Indonesia.

Dengan rantai pemasaran dipersingkat

dan perbaikan fasilitas yang sesuai,

biaya transaksi dapat dikurangi.

Sebagai contoh, perbaikan dalam

teknologi komunikasi dapat

mempermudah koordinasi, sehingga

menghemat waktu. Perbaikan sarana

transportasi dapat meningkatkan

efektivitas distribusi beras dari satu

daerah ke daerah lain.

Gambar 2. Jaringan Suplai Beras di Indonesia203

203 Disarikan berdasarkan hasil rekapitulasi dari berbagai sumber

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:

TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

67

III. Produksi dan Kebutuhan Padi

Nasional

Selama periode 1993 – 2013, terjadi

peningkatan produksi padi dari 48,1

juta ton Gabah Kering Giling (GKG)

pada tahun 1993 menjadi 71,3 juta ton

GKG pada tahun 2013.204 Dengan

menggunakan faktor konversi GKG ke

beras sebesar 0,62, produksi beras

nasional disajikan pada Gambar 3.

Total produksi tahunan cukup

fluktuatif dengan terjadinya

penurunan produksi pada tahun-tahun

tertentu (1993, 1996, 2000, 2005, 2010).

Penurunan tersebut diidentifikasi

terkait dengan kejadian fenomena

ENSO yang berdampak pada kejadian

iklim ekstrem pemicu kejadian banjir

dan kekeringan di Indonesia.

Walaupun demikian, secara

keseluruhan produksi beras tahunan

nasional menunjukkan tendensi

adanya peningkatan dari tahun ke

tahun, dengan peningkatan cukup

besar terjadi pada tahun 2006 – 2008.

Gambar 3. Produksi Beras Nasional. Tahun El-Nino, Tahun La-Nina. Selisih

Produksi Beras Adalah Perbedaan Produksi Tahun Berjalan Dengan Tahun Sebelumnya205

204 BPS, op. cit. 205 Ibid.

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87

68

Jika dibandingkan dengan negara-

negara Asia lain yang mengkonsumsi

beras sebagai makanan pokoknya,

maka konsumsi beras di Indonesia

termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini

dapat dilihat melalui Survei Sosial

Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh

BPS pada tahun 2015. Survei tersebut

menyebutkan bahwa konsumsi beras

per kapita per Maret 2015 adalah

sebesar 98 kilogram per tahun. Jumlah

ini meningkat dibanding tahun

sebelumnya yang hanya 97,2 kg per

tahun.

Dengan tingkat konsumsi rata-rata

sekitar 98 kilogram per kapita per

tahun (kg/kapita/tahun), Indonesia

melampaui Malaysia (80

kg/kapita/tahun), Thailand (70

kg/kapita/tahun), Jepang (50

kg/kapita/tahun), dan Korea (40

kg/kapita/tahun).206 Lebih lanjut,

estimasi pemenuhan kebutuhan beras

nasional, dengan menggunakan asumsi

tingkat konsumsi beras, yaitu: 139

206 Ibid. 207 Kementan, “Buletin Konsumsi Pangan,” Vol. 9 No. 1 Tahun 2018, hlm. 11-19. 208 Popi Rejekiningrum, Model Optimasi Surplus Beras Untuk Menentukan Tingkat Ketahanan Pangan

Nasional, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2013), hlm. 1-14.

kilogram per kapita per tahun

(kg/kapita/tahun), 130 kilogram per

kapita per tahun (kg/kapita/tahun),

120 kilogram per kapita per tahun

(kg/kapita/tahun), 113 kilogram per

kapita per tahun (kg/kapita/tahun)

dan 114,6 kilogram per kapita per

tahun (kg/kapita/tahun) untuk tahun

2017 dan 2018,207 produksi padi

nasional diperkirakan tetap masih

mencukupi kebutuhan (konsumsi)

nasional atau dengan kata lain

Indonesia masih mengalami ‘surplus’

beras.

Analisis surplus beras dilakukan

dengan cara mengurangi estimasi total

produksi beras dengan total konsumsi

beras nasional. Perbedaan nilai surplus

beras dikarenakan perbedaan asumsi

tingkat konsumsi per-kapita.208 Berikut

estimasi nilai surplus dapat dilihat

pada Gambar 4.

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:

TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

69

Gambar 4. Produksi, Konsumsi, dan Surplus Beras Indonesia tahun 1990 – 2013209

IV. Dampak Perubahan Iklim

Terhadap Tanaman Pangan

Dampak perubahan iklim global

terhadap kondisi iklim wilayah di

Indonesia ditandai dengan berubahnya

parameter iklim permukaan, yaitu:

suhu udara dan curah hujan.

Perubahan parameter iklim seringkali

ditunjukkan oleh analisis

kecenderungan perubahan temporal

suhu udara dan curah hujan.

Berdasarkan kompilasi informasi

analisis kecenderungan dari berbagai

sumber,210 fenomena perubahan iklim

209 Ibid. 210 Perdinan, Rizaldi Boer, and Kiki Kartikasari. “Linking Climate Change Adaptation Options For

Rice Production And Sustainable Development In Indonesia,” J.Agromet 22(2), (2008), hlm. 94-107.

ditandai dengan peningkatan suhu

udara rata-rata dan minimum

permukaan, perubahan intensitas dan

periode kejadian hujan yang bervariasi

(Gambar 5).

Fenomena perubahan iklim

tersebut memiliki implikasi terhadap

produksi tanaman pangan yang

bervariasi, yang dikarenakan adanya

variasi spasial di Indonesia. Secara

umum, suhu udara dilaporkan

meningkat, sementara curah hujan

mengalami perubahan pola dan

besaran yang bervariasi pada berbagai

wilayah di Indonesia. Sebagai

tambahan, kompilasi berbagai

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87

70

penelitian yang dilakukan di Indonesia

menunjukkan adanya potensi dampak

negatif perubahan iklim terhadap

produksi padi berupa penurunan

produktivitas ataupun peningkatan

serangan hama dan penyakit (Gambar

6).

Gambar 5. Identifikasi Dampak Perubahan Iklim Global Terhadap Iklim Wilayah di Indonesia211

Gambar 6. Identifikasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi Padi di Indonesia212

211 Perdinan et. al., “Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan

Kebijakan,” (makalah disampaikan pada FGD IESR, 18 Oktober 2016), hlm. 13. 212 Ibid. hlm. 15.

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:

TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

71

V. Inisiatif Adaptasi Perubahan

Iklim

A. Identifikasi Strategi Adaptasi

Perubahan Iklim

Dalam implementasi strategi

adaptasi, peran pemerintah sangat

diperlukan terutama dalam kegiatan-

kegiatan adaptasi yang memerlukan

investasi relatif tinggi. Kegiatan

adaptasi tersebut di antaranya: 1)

pengembangan dan percepatan adopsi

teknologi usaha tani yang lebih

produktif dan adaptif terhadap

perubahan iklim, 2) penyediaan

infrastruktur pertanian yang efektif

untuk mendukung aplikasi teknologi

adaptif perubahan iklim tersebut, 3)

pengembangan jaringan informasi

213 Sumaryanto, “Strategi Peningkatan Kapasitas Adaptasi Petani Tanaman Pangan Menghadapi

Perubahan Iklim,” Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi 30 No. 2 (2012), hlm. 73-89. 214 Surmaini, et. al. "Upaya Sektor Pertanian Dalam Menghadapi Perubahan Iklim." Jurnal Litbang

Pertanian 30 No. 1, (2010) hlm. 1-7. 215 Zainal Lamid, “Integrasi Pengendalian Gulma dan Teknologi Tanpa Olah Tanah Pada Usaha

Tani Padi Sawah Menghadapi Perubahan Iklim," Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 4 No. 1 (2011), hlm. 14-28.

iklim–pertanian, 4) pengembangan

kelembagaan perlindungan petani

terhadap dampak negatif iklim ekstrem

pada usaha tani, dan 5) kebijakan harga

masukan dan keluaran usaha tani yang

kondusif untuk pendapatan petani.213

Teknologi adaptasi yang dilakukan

dapat berupa: 1) penyesuaian waktu

dan pola tanam, 2) penggunaan

varietas unggul tahan kekeringan,

rendaman, dan salinitas, 3) teknologi

panen hujan, dan 4) teknologi irigasi.214

Teknologi lain yang dapat diterapkan

adalah dengan cara teknologi

penanaman Tanpa Olah Tanah

(TOT).215 Lebih jauh, bentuk adaptasi

lainnya terkompilasi pada Gambar 7.

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87

72

Gambar 7. Hasil Kompilasi Bentuk Adaptasi Perubahan Iklim216

Kegiatan adaptasi perubahan iklim

bila ditilik lebih lanjut dalam tataran

praktis, bukanlah hal baru bagi petani

di Indonesia. Berdasarkan telaah studi

yang dilakukan sebelumnya,217 salah

satu contohnya adalah sistem

pertanaman padi di Indramayu. Petani

di Indramayu melakukan penanaman

kembali jika memungkinkan, setelah

lahan pertanian yang terendam banjir

menjadi surut. Dalam kondisi

kekeringan, petani akan mencari

berbagai sumber air untuk mengairi

lahan pertanian. Pompa air sering

digunakan untuk mendapatkan air dari

tanah atau sungai. Pemerintah juga

216 Surmaini et. al., op. cit. 217 Perdinan, et.al. op. cit.

memberikan bantuan dengan

memberikan akses petani ke pompa air.

Pelaksanaan strategi adaptasi

untuk pertanian merupakan hal

mendasar yang perlu dilakukan baik

oleh petani maupun dengan bantuan

pihak lain. Namun, kegiatan praktis

adaptasi oleh petani seringkali

didasarkan oleh nalar dan pengalaman

di lapangan, belum disandingkan

dengan telaah empiris atau penelitian

ilmiah.

Di sisi lain, bantuan pemerintah

baik dari segi penelitian ilmiah

maupun sarana dan prasarana belum

didukung sepenuhnya dengan

kapasitas petani. Namun, sejauh ini

petani dan pemerintah Indonesia telah

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:

TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

73

berusaha dalam memadukan aksi lokal

dan strategi nasional sebagai aksi

adaptasi pertanian yang terintegrasi.

Hal mendasar strategi nasional ini

adalah agar pelaksanaannya dapat

terstruktur, masif dan tepat sasaran.

Peningkatan kapasitas untuk petani

juga dilakukan sebagai respon dalam

meningkatkan kemampuan adaptasi

petani baik dalam merespons

perubahan iklim maupun dalam

manajemen lahan, hama, dan pestisida.

Sebagai contoh antara lain Program

Kampung Iklim, Analisis Usaha Tani

Padi (AUTP) ataupun program

pemahanan informasi iklim seperti

Kalender Tanam (Katam). Artinya,

program adaptasi yang dilakukan saat

ini sudah diarahkan agar dapat lebih

efektif dan efisien agar tepat sasaran

maupun tepat aksi.

Sebagai contoh, di Indramayu

masyarakat telah mulai dapat

membaca informasi iklim seperti curah

hujan dan dapat menginterpretasikan

secara sederhana ketersediaan air dari

curah hujan. Demikian juga dengan

218 Kurniadi, “Penyusun Bahan Adaptasi Perubahan Iklim BPLHD Provinsi Jawa Barat,”

(disampaikan di BPLHD Purwakarta, 23 Desember 2013), hlm. 14.

kalender tanam, pemerintah melalui

Kementerian Pertanian dan badan

penelitian pertanian terkait telah

menyediakan informasi kalender

tanam nasional dalam tingkat

kecamatan. Manfaat dari informasi ini

adalah petani dapat menanam sesuai

dengan prediksi cuaca/iklim.

Sementara, itu telah terbentuk pula

Proklim. Proklim merupakan program

yang memberikan pengakuan terhadap

partisipasi aktif masyarakat dalam

melaksanakan upaya mitigasi dan

adaptasi perubahan iklim yang

terintegrasi, sehingga dapat

mendukung target penurunan emisi

gas rumah kaca nasional dan

peningkatan ketahanan masyarakat

terhadap dampak perubahan iklim.218

B. Dukungan Pemerintah Terkait

Adaptasi Perubahan Iklim

Beras merupakan komoditas

strategis sebagai bahan pangan utama

di Indonesia. Dengan pertimbangan

tersebut, pemerintah melakukan

berbagai intervensi untuk memenuhi

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87

74

kebutuhan konsumsi beras nasional.

Berbagai program intervensi diarahkan

untuk mengoptimalkan produksi beras

dan kemampuan para petani.

Meskipun program-program terkait

peningkatan produksi padi nasional

dilakukan jauh sebelum dampak

perubahan iklim terhadap produksi

tanaman menjadi perhatian, program-

program tersebut terkait dengan fokus

kegiatan adaptasi perubahan iklim,

yaitu mempertahankan dan/atau

meningkatkan produksi.

Dalam Pedoman Umum Balai

Penelitian dan Pengembangan

Pertanian Tahun 2011, strategi adaptasi

diarahkan pada penyesuaian kegiatan

dan teknologi terhadap dampak

perubahan iklim global melalui

program aksi adaptasi pada sektor

tanaman pangan dan hortikultura yang

menjadi prioritas utama. Sektor

tersebut diprioritaskan dengan tujuan

untuk mendukung ketahanan pangan

nasional.

219 Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Pedoman Umum Adaptasi

Perubahan Iklim Sektor Pertanian, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, 2011), hlm. 24.

220 Ibid.

Strategi adaptasi perubahan iklim

untuk sektor pertanian

dikategorisasikan secara umum

menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:

langkah adaptasi yang bersifat

struktural dan non-struktural.219

Adaptasi struktural merupakan

kegiatan peningkatan ketahanan sistem

produksi pangan melalui upaya

perbaikan kondisi fisik, yang

kegiatannya meliputi: pembangunan

dan perbaikan jaringan irigasi,

pembangunan dam, waduk, dan

embung. Sementara, adaptasi non-

struktural dilakukan melalui kegiatan:

pengembangan teknologi budidaya

toleran cekaman iklim, penguatan

kelembagaan dan peraturan,

pemberdayaan petani dalam

memanfaatkan informasi iklim. Detil

kegiatan juga telah dijabarkan dalam

Pedum, sebagai berikut:220

1. Adaptasi Struktural

a. Pemetaan kondisi jaringan irigasi

dan menyusun program

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:

TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

75

rehabilitasi jaringan irigasi di

Jawa dan rencana

pengembangan wilayah irigasi

baru di luar Jawa. Informasi

perubahan iklim perlu

dipertimbangkan terkait

kegiatan jaringan irigasi.

b. Penetapan wilayah Daerah

Aliran Sungai (DAS) yang perlu

direhabilitasi untuk

mengantisipasi dampak negatif

kejadian iklim ekstrem (misal:

banjir dan kekeringan) yang

diproyeksikan meningkat akibat

perubahan iklim.

2. Pendekatan Non-Struktural

a. Regulasi berkaitan dengan

konversi lahan pertanian,

penyusunan database wilayah

rawan terkonversi, penetapan

prioritas wilayah pengembangan

pertanian pangan.

b. Penetapan program terstruktur

untuk meningkatkan adopsi

petani terhadap teknologi baru,

seperti varietas unggul baru

toleran kekeringan, banjir, dan

salinitas tinggi.

c. Peningkatan program

pengembangan teknologi

pemanfaatan informasi iklim

seperti “Kalender Tanam” yang

lebih bersifat dinamis dan

terpadu. Saat ini Kalender Tanam

sudah tersedia dan dapat diakses

melalui

www.katam.litbang.pertanian.g

o.id. Pengembangan sistem

jaringan stasiun klimatologi

pertanian di kawasan sentra

produksi diperlukan untuk

meningkatkan sistem Kalender

Tanam.

d. Pengembangan Sekolah Lapang

Iklim (SLI) dalam upaya

peningkatan kapasitas petani

dalam memanfaatakn informasi

iklim untuk mendukung

kegiatan pertanian. Kegiatan SLI

sudah dilakukan oleh

Kementerian Pertanian

(Kementan) melalui Direktorat

Perlindungan Tanaman dan

Badan Meteorologi Klimatologi

dan Geofisika (BMKG) pada

tahun 2000-an.

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87

76

e. Pelembagaan pemanfaatan

informasi iklim dalam menyusun

langkah strategis, taktis, dan

operasional dalam mengatasi

masalah keragaman dan

perubahan iklim. Diperlukan

alur penyampaian informasi

iklim yang jelas, mulai dari

penyedia jasa informasi sampai

ke pengguna akhir dan

penguatan kapasitas tenaga di

dinas terkait di daerah dalam

menerjemahkan informasi iklim

ke dalam bentuk dampak dan

penentuan langkah strategis,

taktis, dan operasional.

Dalam penyusunan strategi

adaptasi diperlukan informasi

pendukung. Informasi tersebut

disusun berdasarkan beberapa kajian,

yaitu: (a) identifikasi dampak dan

tingkat kerentanan sektor pertanian

(sumber daya dan sistem produksi); (b)

identifikasi karakteristik dan potensi

sumber daya lahan dan air; dan (c)

identifikasi kesiapan teknologi dan

model Sistem Usaha tani Terpadu

(SUT) adaptif. Sebagai ringkasan

berbagai inisiatif yang telah dilakukan

pemerintah, berikut ini disajikan

berbagai program yang telah dilakukan

pemerintah Indonesia sejak tahun 1950-

an untuk meningkatkan produksi beras

nasional (Gambar 8). Berbagai inisiatif

ini meliputi adaptasi struktural dan

non-struktural. Melalui berbagai

kebijakan produksi padi nasional terus

meningkat seiring dengan perbaikan

produktivitas dan luas areal panen.

Peningkatan produksi mencapai

puncaknya pada tahun 1984 saat

Indonesia berswasembada beras.

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:

TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

77

Gambar 8. Program Peningkatan Produksi Padi Nasional dan Paket Teknologi221

C. Kebijakan Nasional dalam

Mendukung Adaptasi Perubahan

Iklim

Adanya fenomena perubahan iklim

menambah tantangan sistem pertanian

tanaman pangan, khususnya padi di

Indonesia. Pengaruh perubahan iklim

bersifat multidimensi pada sektor

pertanian, mulai dari sumber daya,

infrastruktur pertanian, dan sistem

produksi pertanian. Pengaruh tersebut

dibedakan dengan 2 (dua) indikator,

yakni kerentanan dan dampak.

Kerentanan merupakan kondisi yang

mengurangi kemampuan beradaptasi

terhadap perubahan iklim. Sementara,

221 Perdinan et al, op. cit., hlm. 20. 222 Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, op. cit., hlm. 45-50

dampak adalah potensi kerugian atau

keuntungan dalam bentuk fisik

maupun sosial-ekonomi akibat

kejadian perubahan iklim. Inisiatif

adaptasi perubahan iklim untuk

mengurangi kerentanan dan dampak

perubahan iklim sektor pertanian

terdapat pada Pedum. Adapun

program dan kebijakan untuk

mengurangi kerentan dan dampak

perubahan iklim adalah sebagai

berikut:222

1) Pengembangan sistem

komunikasi seperti Jaringan

Informasi Iklim Pertanian (SJII),

Sistem Peringatan Dini (SPD),

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87

78

dan Sekolah Lapang Iklim

(SLI/SL-PTT).

2) Pengembangan kelembagaan

petani, penyiapan tool atau

pedoman (Permentan

No.47/2006, Permentan

No.14/2009, UU No.41/2009),

blueprint pengelolaan

kekeringan dan banjir, atlas

kalender tanam, dan lain-lain.

3) Perakitan dan pengembangan

model Sistem Usaha tani

Terpadu “SUT” dan inovasi

teknologi adaptif.

4) Penyesuaian dan

pengembangan infrastruktur

pertanian (Jaringan Irigasi

Tingkat Usaha Tani (JITUT),

Jaringan Irigasi Tingkat Desa

(Jides), serta pemanfaatan lahan

sub-optimal, terutama lahan

kering dan lahan rawa untuk

pangan, lahan gambut, dan

lahan yang sudah dibuka

(sudah ada izin) dan/atau lahan

terlantar.

5) Pengembangan Kawasan

Rumah Pangan Lestari (KRPL),

pemanfaatan pekarangan yang

ramah lingkungan untuk

pemenuhan kebutuhan pangan

dan gizi keluarga, serta

peningkatan pendapatan dan

kesejahteraan petani melalui

partisipasi masyarakat.

6) Perlindungan, proteksi, dan

bantuan bagi petani, seperti,

subsidi, asuransi, modal,

Pengembangan Usaha

Agribisnis Perdesaan (PUAP).

Kebijakan terkait dukungan

terhadap langkah adaptasi perubahan

iklim ditujukan untuk menjaga

ketahanan pangan nasional. Upaya

intervensi dapat dilakukan melalui

jaringan produksi, manajemen

pascapanen, distribusi, dan konsumsi.

Walaupun demikian, selama ini

kebijakan nasional lebih

memprioritaskan intervensi pada

sektor produksi. Hal ini dikarenakan

kondisi petani sebagai pemain utama

dalam sektor produksi masih sangat

rentan pada cekaman perubahan iklim.

Dalam rangka perlindungan dan

pemberdayaan petani untuk menjaga

ketahanan pangan maka diterbitkan

berbagai aturan sebagai pedoman

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:

TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

79

untuk mengatur dan menghadapi

kondisi yang ada. Identifikasi kebijakan

terkait upaya adaptasi perubahan iklim

disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Identifikasi kebijakan sektor pertanian terkait adaptasi perubahan iklim223

Selanjutnya berbagai kebijakan

adaptasi perubahan iklim yang

didorong pemerintah terfokus pada

peningkatan kapasitas petani dan

infrastruktur pertanian. Salah satu

kebijakan yang mendukung hal

tersebut adalah Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan

(Permen LHK) No. 33 Tahun 2016

223 Indonesia, Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, UU No.

16 Tahun 2006, LN No. 92 tahun 2006, TLN No.4660. lihat juga Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No. 19 Tahun 2013, LN No. 131 tahun 2013, TLN No. 5433, Ps. 7 ayat (2) huruf f, Ps. 34, dan Ps. 35. Dan lihat Indonesia, Undang-Undang Kehutanan, UU No. 41 Tahun 2009, LN No. 167 Tahun 1999, TLN No.3888, Ps. 1 ayat (1) dan (3), Ps. 37 ayat (2).

tentang Pedoman Penyusunan Aksi

Adaptasi Perubahan Iklim.

Peraturan tersebut memuat arahan

dalam pelaksanaan adaptasi

perubahan iklim secara umum sebagai

proses untuk memperkuat dan

membangun strategi antisipasi dampak

perubahan iklim pada wilayah dan

sektor spesifik termasuk pertanian.

Peraturan tersebut juga memberikan

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87

80

arahan rinci terkait kebutuhan dalam

tahapan pelaksanaan penyusunan aksi

adaptasi sebagaimana telah dituliskan

pada Pasal 4 yang berisi: 1) Identifikasi

target cakupan wilayah dan/atau

sektor spesifik dan masalah dampak

perubahan iklim; 2) Penyusunan kajian

kerentanan dan risiko iklim; 3)

Penyusunan pilihan aksi adaptasi

perubahan iklim; 4) Penetapan prioritas

aksi adaptasi perubahan iklim; dan 5)

Pengintegrasian aksi adaptasi

perubahan iklim ke dalam kebijakan,

rencana, dan/atau program

pembangunan. Adanya tahapan

tersebut mempermudah penyusunan

aksi adaptasi perubahan iklim.

Dukungan kebijakan adaptasi

perubahan iklim secara umum lebih

ditujukan pada arahan jangka

menengah, dengan fokus utamanya

adalah meningkatkan dan menguatkan

beberapa aspek seperti kapasitas lokal

dan pengelolaan pengetahuan.224

Arahan kebijakan mengenai

konvergensi adaptasi perubahan iklim

224 Direktur Adaptasi Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan

dan Kehutanan, “Arah Kebijakan dan Sasaran Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia,” (disampaikan di Jakarta, 26-27 April 2018), hlm. 15-19.

dan pengurangan risiko bencana juga

menjadi aspek penting yang perlu

diprioritaskan, dengan pertimbangan

kondisi ketahanan pangan saat ini juga

rentan terhadap potensi bencana yang

muncul akibat perubahan iklim.

Implementasi dari kebijakan yang

dilakukan mendorong penerapan

teknologi adaptif yang mampu

meminimalisasi potensi dampak

negatif perubahan iklim terutama yang

berkaitan dengan penurunan risiko

pada semua sektor pembangunan

(pertanian, sumber daya air, ketahanan

energi, kehutanan, maritim dan

perikanan, kesehatan, pelayanan

publik, infrastruktur dan sistem

perkotaan).

Kebijakan yang diterbitkan oleh

Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan (KLHK) di atas (Permen

33/2016) telah sejalan dengan

Kementerian Pertanian melalui

Direktorat Perlindungan Tanaman

Pangan dengan diterbitkannya

Petunjuk Teknis Pelaksanaan

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:

TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

81

Penerapan Penanganan Dampak

Perubahan Iklim (PPDPI) pada tahun

2018. PPDPI bertujuan

memberdayakan petani dalam

pengamanan areal pertanaman padi

dari dampak perubahan iklim melalui

penerapan teknologi adaptif di lahan

usaha taninya, terutama pada daerah

yang rawan terkena banjir/kekeringan

serta mengurangi risiko kehilangan

hasil akibat dampak perubahan iklim

(banjir/kekeringan).225

VI. Penutup

Walaupun berbagai upaya

peningkatan produksi padi domestik

sudah dilakukan sejak awal tahun

1950-an dan pemerintah melalui

Kementan juga telah menerbitkan

Pedum, tetap terdapat tantangan untuk

meningkatkan produksi padi domestik

mengingat potensi dampak perubahan

iklim. Persoalannya saat ini adalah

bagaimana implementasi Pedum

tersebut dapat direncanakan sesuai

225 Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Petunjuk Teknis Pelaksanaan

Penerapan Penanganan Dampak Perubahan Iklim, (Jakarta: Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, 2018), hlm. 1-5.

kebutuhan dan dilakukan oleh para

petani.

Pedum sektor pertanian ini

ditujukan untuk memberikan arahan

dan meningkatkan pemahaman dalam

mengidentifikasi dampak perubahan

iklim sekaligus mendorong dan

mengarahkan upaya dan program aksi

adaptasi pertanian untuk mengurangi

atau memanfaatkan variabilitas dan

dampak perubahan iklim baik dalam

bentuk struktural maupun non-

struktural.

Dalam perjalanannya, Pedum ini

mendapat respons yang sangat baik

dari tataran pemerintah selaku

pemangku kewenangan maupun

petani sebagai pelaksana. Lebih lanjut,

permen LHK No.33 Tahun 2016 yang

memuat arahan pelaksanaan adaptasi

perubahan iklim merupakan kebijakan

pendukung pelaksanaan Pedum

tersebut. Kedua kebijakan saling

relevan dan berkesinambungan. Pada

dasarnya pelaksanaan adaptasi secara

luas dapat mengikuti arahan kebijakan

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87

82

Permen LHK 33/2016, sementara

Pedum menjabarkan upaya adaptasi

pada sektor pertanian secara khusus.

Secara terarah strategi adaptasi yang

terdapat pada Pedum dapat dilakukan

mengikuti arahan pada Permen LHK

33/2016.

Sementara pada tataran pelaksana,

petani terbantu dengan adanya

dukungan insfrastruktur maupun

kebijakan daerah. Pelaksanaan Pedum

ini sebagai contoh seperti yang

dilakukan di daerah Jawa Barat dengan

studi kasus di Indramayu melalui

pelaksanaan Sekolah Lapang Iklim dan

pemanfaatan Kalender Tanam

Terpadu. Pada praktiknya petani

terbantu dalam memahami informasi

iklim dan mengantisipasi kejadian

iklim ekstrem, mengamati unsur iklim,

dan menggunakannya dalam

mendukung usaha tani, serta terbantu

dalam menerjemahkan informasi

prakiraan iklim untuk menyusun

strategi budidaya lebih tepat.

Meskipun demikian, implementasi

Pedum tidaklah mudah. Tantangan

yang ditemukan dalam pelaksanaan

adaptasi perubahan iklim sektor

pertanian sekaligus dalam

implementasi Pedum di atas adalah

adanya kesenjangan kapasitas petani

dan insfratruktur pendukung

pelaksanaan adaptasi tersebut.

Ketersediaan perlengkapan sarana

pembelajaran yang kurang memadai

dan minimnya pengetahuan petani

membuat proses implementasi berjalan

lambat.

Selain itu, terdapat kesenjangan

antara pembuat informasi iklim

(BMKG) dengan permintaan pengguna

di sektor pertanian dan pembuat

kebijakan. Informasi prediksi onset atau

awal musim tidak segera diperoleh

pengguna akibat keterbatasan akses

dan kurangnya pemahaman atau

interpretasi informasi. Meskipun

demikian, beberapa informasi iklim

sudah tersedia walaupun belum

maksimal. Hal ini mengharuskan

adanya langkah-langkah yang

koordinatif dan kooperatif dengan

berbagai pengguna infomasi

iklim/perubahan iklim yang akan

memberikan hasil yang

menguntungkan untuk semua pihak

khususnya untuk sektor pertanian.

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:

TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

83

Dalam upaya mendukung dan

menjawab tantangan tersebut terutama

dalam pelaksanaan adaptasi,

ketersediaan data dan informasi serta

ketersediaan alat simulasi dan sistem

pendukungnya diperlukan untuk

perencanaan aksi adaptasi dalam skala

luas. Tantangan lain adalah

pengetahuan petani dan akses

terhadap lembaga keuangan yang

relatif masih terbatas. Contohnya,

pengetahuan petani mengenai Katam

berbasis web agak terhambat karena

pendidikan petani yang kurang,

sehingga diperlukan peran serta

penyuluh yang andal yang memahami

kalendar tanam dan dapat

menerjemahkan sesuai kebutuhan

petani. Upaya pemerintah untuk

mendukung petani padi terhadap

pengenalan varietas baru sebagai salah

satu pilihan adaptasi juga masih perlu

ditingkatkan, misalnya: dalam

kebijakan terkait bantuan benih.

Pemerintah juga perlu

mempertimbangkan suplai benih

unggul dengan mempromosikan

inventor lokal dari daerah asal sentra

produksi padi.

Lebih lanjut, keterlibatan

pemerintah dalam kegiatan

peningkatan kapasitas petani perlu

diteruskan. Kegiatan peningkatan

kapasitas dapat dilakukan melalui

pelatihan/workshop, contohnya dalam

pengenalan varietas baru, teknologi,

dan kegiatan pascapanen. Selanjutnya,

ketersediaan lembaga keuangan dan

akses petani terhadap bantuan modal

untuk mengakses sarana pertanian juga

dapat dilakukan untuk

mempromosikan pilihan adaptasi.

Misalnya tersedianya informasi

manajemen pertanian (dosis

pemupukan dan jenis pupuk, sistem

pertanaman, pengairan) yang sesuai

kondisi iklim, sebagai bagian dari

bantuan permodalan. Skema akses

permodalan tersebut perlu dibangun

melalui kerjasama dengan lembaga

keuangan mikro dalam upaya

mendukung inisiatif kemitraan dan

kerjasama berbagai pihak agar target

ketahanan pangan nasional dapat

terwujud.

Arahan ke depan, proses dan

implementasi Pedum memerlukan

upaya yang sistematis dan terintegrasi

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87

84

dengan strategi yang andal, serta

komitmen, dan tanggung jawab

bersama dari berbagai pemangku

kepentingan dan para pihak. Selain itu,

untuk dapat menjaga keberlanjutan

implementasi di lapangan, susunan

strategi atau pilihan adaptasi perlu

disediakan sebagai pilihan. Di samping

itu, rekomendasi adaptasi yang

disediakan untuk daerah pertanian

juga perlu disesuaikan dengan

kapasitas dan kondisi lokal. Kesesuaian

dan kesiapan daerah perlu menjadi

pertimbangan, dikarenakan beda

daerah akan beda perlakuan dan

pemahaman, serta adanya variasi

dalam ketersediaan sarana pendukung.

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:

TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

85

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Undang-Undang

Kehutanan, UU No. 41 Tahun

1999, LN No. 167 Tahun 1999,

TLN No.3888.

_____, Undang-Undang Sistem

Penyuluhan Pertanian,

Perikanan, dan Kehutanan, UU

No. 16 Tahun 2006, LN No. 92

tahun 2006, TLN No.4660.

_____, Undang-Undang Perlindungan

dan Pemberdayaan Petani, UU

No. 19 Tahun 2013, LN No. 131

tahun 2013, TLN No. 5433.

Buku

Balai Penelitian dan Pengembangan

Pertanian Kementerian

Pertanian. Pedoman Umum

Adaptasi Perubahan Iklim Sektor

Pertanian. Jakarta: Balai

Penelitian dan Pengembangan

Pertanian Kementerian

Pertanian. 2011.

Direktorat Perlindungan Tanaman

Pangan Kementerian Pertanian.

Petunjuk Teknis Pelaksanaan

Penerapan Penanganan Dampak

Perubahan Iklim. Jakarta:

Direktorat Perlindungan

Tanaman Pangan Kementerian

Pertanian. 2018.

Ministry of Environment. Climate risk

dan adaptation assessment for the

agriculture sector- Greater Malang.

Jakarta: Ministry of

Environment. 2012.

Prasada Rao, G. S. L. H. V. Agricultural

Meteorology. Thrissur: PHI

Learning Pvt. Ltd. 2008.

Artikel

Cline, William. "Global Warming and

Agriculture: Impact Estimates

by Country". Choice Reviews

Online 45, No. 04 (2007): 45-2135-

45-2135.

Förster, Hannah, et.al. "Sea-Level Rise

in Indonesia: on Adaptation

Priorities in The Agricultural

Sector". Regional Environmental

Change 11, No. 4 (2011). hlm. 893-

904.

Hoogenboom, Gerrit. "Contribution of

Agrometeorology to The

Simulation of Crop Production

and Its

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87

86

Applications". Agricultural and

Forest Meteorology 103, No. 1-2

(2000): 137-157.

Hosang, Peter Rene, J. Tatuh, dan

Johannes E. X. Rogi. 2012.

"Analisis Dampak Perubahan

Iklim Terhadap Produksi Beras

Provinsi Sulawesi Utara Tahun

2013-2030." Jurnal Eugenia no.

Volume 18 No. (3) (2012). Hlm.

249-256.

Lamid, Zainal. “Integrasi Pengendalian

Gulma dan Teknologi Tanpa

Olah Tanah Pada Usaha Tani

Padi Sawah Menghadapi

Perubahan Iklim." Jurnal

Pengembangan Inovasi Pertanian 4

No. 1 (2011). Hlm. 14-28.

Motha, Raymond P., and Wolfgang

Baier. "Impacts of Present and

Future Climate Change and

Climate Variability on

Agriculture in The Temperate

Regions: North

America". Climatic Change 70,

No. 1-2 (2005): 137-164.

Muslim, C. Mitigasi Perubahan Iklim

Dalam Mempertahankan

Produktivitas Tanah Padi Sawah

(Studi Kasus Di Kabupaten

Indramayu). Jurnal Penelitian

Pertanian Terapan, Vol. 13 No. 3

(2013). hlm. 211-222.

Kementerian Pertanian. “Buletin

Konsumsi Pangan.” Vol. 9 No. 1

Tahun 2018.

Perdinan, Kiki Kartikasari, and Marissa

Malahayati. “Linking Climate

Change Adaptation Options For

Rice Production and Sustainable

Development In Indonesia.”

J.Agromet 22(2). (2008).

Sumaryanto. “Strategi Peningkatan

Kapasitas Adaptasi Petani

Tanaman Pangan Menghadapi

Perubahan Iklim.” Jurnal Forum

Penelitian Agro Ekonomi 30 No. 2

(2012). hlm. 73-89.

Surmaini, et. al. "Upaya Sektor

Pertanian Dalam Menghadapi

Perubahan Iklim." Jurnal Litbang

Pertanian 30 No. 1, (2010). hlm. 1-

7.

Timmermann, A. et al. "Increased El

Niño Frequency in A Climate

Model Forced by Future

Greenhouse

Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:

TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN

87

Warming." Nature 398. No. 6729

(1999): hlm. 694-697.

Tubiello, F. N., J.-F. Soussana, and S. M.

Howden. "Crop and Pasture

Response to Climate

Change". Proceedings of The

National Academy of Sciences 104,

No. 50 (2007): 19686-19690.

Lain-Lain

Badan Pusat Statistik (BPS). “Tanaman

Padi Per Provinsi.”

https://www.bps.go.id/site/re

sultTab. diakses 3 September

2018.

Direktur Adaptasi Direktorat Jenderal

Pengendalian Perubahan Iklim

Kementerian Lingkungan dan

Kehutanan. “Arah Kebijakan

dan Sasaran Adaptasi

Perubahan Iklim di Indonesia.”

(disampaikan di Jakarta, 26-27

April 2018).

Kurniadi. “Penyusun Bahan Adaptasi

Perubahan Iklim BPLHD

Provinsi Jawa Barat.”

(disampaikan di BPLHD

Purwakarta, 23 Desember 2013).

Perdinan et. al., “Crop Insurance Based

on Weather Index for Climate

Risk Management in Indonesia.”

CCROM. 2015.

_____. “Adaptasi Perubahan Iklim dan

Ketahanan Pangan: Telaah

Inisiatif dan Kebijakan.”

(makalah disampaikan pada

FGD IESR, 18 Oktober 2016).

Pratiwi, Purdiyanti. “Efektivitas dan

Perumusan Strategi Kebijakan

Beras Nasional.” Bogor:

Departemen Agribisnis, Institut

Pertanian Bogor. 2008.

Rejekiningrum, Popi, Model Optimasi

Surplus Beras Untuk Menentukan

Tingkat Ketahanan Pangan

Nasional. Jakarta: Universitas

Terbuka. 2013.

Simatupang P. dan I.W. Rusastra.

“Kebijakan Pembangunan

Sistem Agribisnis Padi dalam

Ekonomi Padi dan Beras

Indonesia.” Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, Departemen

Pertanian. 2004.

88

TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH

GEOGRAFI KRITIS

Shafira Anindia Alif Hexagraha226

Abstrak

Perumusan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy making) menjanjikan kebijakan publik yang lebih andal dengan landasan empiris dan ilmu pengetahuan yang kuat. Namun begitu, sebagai suatu proses politik, perumusan kebijakan publik berbasis bukti tidak akan lepas dari pengaruh kekuasaan yang melingkupinya. Demikian pula halnya yang terjadi dalam produksi kota di Indonesia, terus terbentuk melalui berbagai produksi ruang yang diantaranya melalui proses determinan yaitu perencanaan tata ruang. Lewat lensa ko-produksi pengetahuan dan telaah kekuasaan dalam geografi kritis, tulisan ini mengeksaminasi ketelitian tindakan komunikatif dalam perencanaan tata kota di bawah peraturan perundang-undangan mengenai penataan ruang di Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga menjelaskan beberapa kemungkinan dalam trajektori perumusan kebijakan perencanaan tata kota, terutama jika ilmu pengetahuan hendak lebih dalam dilembagakan ke dalam perencanaan yang berbasis bukti dan menguji kecenderungan peran ilmu pengetahuan dalam pluralitas aktor produksi kota sebagai kopula bebas nilai, narasi yang terkonsolidasi kekuasaan atau kemungkinan refleksif lainnya. Kata Kunci: kebijakan berbasis bukti, geografi kritis, penataan ruang, produksi ruang Abstract Evidence-based policy making promises more reliable policy with fortified empirical and scientific bases. However, as a political process, evidence-based policy making can never be entirely separated from the influences of circumventing power. Such manner is also discovered in production of cities in Indonesia which are perpetually formed through various modes of production of spaces such as spatial planning as a determining process. Adopting Jasanoff’s co-production of knowledge and power analytical framework from critical geography studies, this article examines the rigorousness of communicative action in city planning under Indonesian laws concerning under Indonesian laws concerning spatial planning and explore several possibilities within the trajectory if science is to be deeply incorporated into evidence-based city planning primarily, interrogates inclination of science as value-free copula, consolidated narratives of power, or other reflexive possibilities within the plurality of actors in production of space. Keywords: evidence-based policy, critical geography, spatial planning, production of space

226 Penulis adalah sarjana hukum lulusan Universitas Indonesia.

Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

89

I. Pendahuluan

Perencanaan tata kota merupakan

salah satu manifes kemampuan

manusia mengendalikan masa depan

berikut lingkungan yang ditempatinya

untuk mengonstruksikan masa depan

secara kolektif227 yang dilakukan

melalui pengandaian dan rekayasa

konstan akan masa depan kehidupan

manusia berikut alam yang saling

mempengaruhi.228 Pengandaian dan

rekayasa konstan merupakan

rasionalitas-instrumental229 dalam

perencanaan tata kota yang pada

akhirnya akan melahirkan suatu

tatanan ‘komunitas yang dihendaki’

(intentional communities).230

Perencanaan tata kota dapat

227 Pier Carlo Palermo and Davide Ponzini, Spatial Planning and Urban Development: Critical

Perspectives, (New York: Springer, 2010), hlm. 69-73. 228 George Chadwick, A Systems View of Planning Theory: Towards a Theory of the Urban and Regional

Planning Process, (Oxford: Pengamon Press, 1981), hlm. 25. 229 John Friedmann dan Carol Kuester, “Planning Education in the Late 20th Century: An Initial

Inquiry” Journal of Planning Education and Research Vol. 14.1 (1994), hlm. 55-64 dalam Phillip Allmendinger, Planning in Post Modern Time (New York: Routledge, 2001), hlm. 95.

230 Michael Elliott, “History and Theories of Planning,” (disampaikan pada School of City and Regional Planning, Georgia Technological University, Atlanta, 7 Februari 2014), hlm. 26.

231 Sokongan argumentasi bahwa dalam penciptaan berbagai teks otoritatif seperti peraturan perundang-undangan maupun kebijakan publik lainnya yang dibentuk baik oleh penguasa, instansi politik maupun masyarakat yang terlibat lazim terjadi kompromi sebab subjek sebagai pembawa pengetahuan dan kepentingan menghadirkan aspirasi yang bisa saja merupakan persepsinya untuk kepentingan khalayak umum, kelompok tertentu maupun dirinya sendiri. Macam-macam derajat kompromi dalam politik kebijakan publik tersebut dibahas dalam Amy Gutmann dan Dennis Thompson, “The Mindset of Political Compromise”, Perspectives on Politics 8(4) 2010, pp. 1125-1143, hlm. 1134-1137. Lihat juga Samantha Besson, The Morality of Conflict: Reasonable Disagreement and the Law, (Oxford and Portland: Hart Publishing, 2005).

dipersepsikan dari berbagai proyek

intelektual terarah yang terjadi pada

dan untuk membentuk suatu konstitusi

spasial yaitu kota yang merupakan

suatu ruang publik. Seharusnya, tidak

sulit dipahami bahwa proyek

intelektual ini merupakan imajinasi

keruangan yang diandaikan oleh

publik dan diputuskan pula secara

kolektif. Namun, distorsi kekuasaan

yang terlampau banal di ruang publik

telah menjadikan skema kolektif

sebagai suatu kerangka kerja yang

terlalu rumit untuk diandaikan

maupun dipraktikkan. Begitu pula

yang sejauh ini dipertahankan di dalam

hukum oleh para subjek yang terlibat

dalam perumusannya.231

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116

90

Lebih lanjut, tantangan yang

diekspos oleh urbanisasi

sesungguhnya turut mengubah tatanan

institusi ekonomi, politik, dan sosial

kota menjadi semakin terpolarisasi.232

Ekses orientasi terhadap pertumbuhan

yang dibawa urbanisasi meningkatkan

kompetisi ekonomi dalam kota yang

berdampak pada dorongan untuk

mengutamakan strategi pertumbuhan

dalam perencanaan ruangnya dan

membebankan dampak negatif yang

ditimbulkannya pada kepentingan-

kepentingan lain.233 Kontur akses dan

kesejahteraan yang tidak merata dan

menajamnya kompetisi ekonomi di

perkotaan yang tidak disertai dengan

strategi pengendalian urbanisasi, turut

232 Charles Goldblum, “Urban Policies in South-East Asia: Questioning the Right to the City,”

(Geneva: UNESCO and UN Habitat, 2006), hlm. 87. Lihat juga Alison Brown dan Annali Kristiansen, Urban Policies and the Right to the City: Rights, Responsibilities, and Citizenship, (Geneva: UNESCO and UN Habitat, 2009), hlm. 9.

233 Feinstein dalam Sarah Mina Bassett, The Role of Spatial Justice in The Regeneration of Urban Spaces, (Illinois: University of Illinois, 2013), hlm. 3.

234 Fran Tonkiss, Space, the City, and Social Theory: Social Relations and Urban Forms, (Cambridge: Polity, 2005), hlm. 3.

235 Alan Harding and Talja Blokland, Urban Theory: A Critical Introduction to Power, Cities, and Urbanism in the 21st Century, (London: Sage Publisher, 2014), hlm. 128.

236 Kolektivitas sebagai unsur intrinsik dari perencanaan tata ruang ditemukan dalam berbagai literatur. Di antaranya sebagai berikut:

1) Edward Soja, Seeking Spatial Justice, (Minneapolis: University of Minnesota Press), hlm. 72. 2) Pier Carlo Palermo and Davide Ponzini, Op. Cit, hlm. 69-73. 3) Tore Sager, Collective Action: Balancing Public and Particularistic Interests, pp. 26-41 dalam

Rachel Weber dan Randall Crane, The Oxford Handbook of Urban Planning, hlm. 34. 4) Floyd Hunter, Community Power Structure: A Study of Decision Makers, (Chapel Hill: University

of North Carolina Press, 1953), hlm. 11.

meminggirkan kelompok yang

memiliki penuturan dan pemaknaan

selain materi terhadap kota. Misalnya

dalam hal keseharian dan semantik

berbudaya yang secara esensial

membentuk dan termasuk dalam relasi

sosial dari kota.234 Modus produksi

kota yang demikian membentuk kota

secara simultan menjadi produk dan

pelaku reproduksi ketidaksetaraan,

sebab para agensi gagal berperan

dalam membentuk representasi yang

utuh dan setara akan kota.235

Representasi yang tidak sempurna

dalam produksi ruang secara intrinsik

bertentangan dengan perencanaan tata

ruang yang bersifat kolektif.236

Kelemahan ini juga terkandung dalam

Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

91

hukum penataan ruang Indonesia

sebagaimana tercermin dalam Pasal 65

ayat (1) Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

(UU No. 26 Tahun 2007). Hal ini

dikarenakan pemerintah ditempatkan

sebagai aktor sentral dalam penataan

ruang, sedangkan masyarakat

diposisikan sebagai komplemen

semata tanpa disertai dengan kekuatan

yaqng bersifat determinan dalam

pengambilan keputusan.237

Padahal, selain dalam aspek

pengambilan keputusan, representasi

yang menyeluruh pada perencanaan

tata ruang idealnya diupayakan

melalui praksis pemberdayaan. Hal ini

dapat dilakukan dengan mulai

mengakui adanya ketidaksetaraan

237 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan

Ruang, PP No. 68 Tahun 2010, LN No. 118 Tahun 2010, TLN No. 5160, mengatur tentang bagaimana masyarakat dalam berpartisipasi dalam penataan ruang yang penguraiannya dirinci menurut tahapan penataan ruang yakni pada tahap: 1) perencanaan tata ruang, 2) pemanfaatan ruang, dan 3) pengendalian pemanfaatan ruang. Akan tetapi, dalam peraturan ini tidak ada pengaturan yang mengoptimasi peran masyarakat secara lebih aktif pada pengambilan keputusan dalam urusan penataan ruang melainkan sebatas menjabarkan hak dan kewajiban dalam penataan ruang yang memiliki konsekuensi berupa insentif maupun disinsentif.

238 Jürgen Habermas, Postmetaphysical Thinking, (Cambridge, MA: MIT Press, 1994), hlm. 42. 239 Craig Calhoun (Ed.), Habermas and the Public Sphere, (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), hlm. 2. Lihat juga Jürgen Habermas dalam bukunya yang berjudul Between Facts and Norms: Contributions

to a Discourse Theory of Law and Democracy, (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), hlm. 8 dan hlm. 31, menuturkan bahwa rasionalitas prosedural yang komunikatif mampu meredam ketegangan antara faktisitas dan validitas sehingga mampu membentuk legitimasi yang solid dalam suatu tindakan komunikatif dalam ruang publik.

dalam masyarakat dan membongkar

pusaran-pusaran deliberasi yang

tertutup, untuk kemudian

bertransformasi menjadi ruang-ruang

diskursus publik yang terpluralisasi.238

Sehingga, rasionalitas prosedural yang

komunikatif digunakan dalam

pengambilan keputusan ke

depannya.239

Kegagalan agensi

merepresentasikan kota dan distorsi

terhadap kolektivitas dalam ketentuan

hukum perencanaan tata kota

merupakan contoh temuan masalah

hasil telaah geografi kritis. Selayaknya

aliran studi kritis pada berbagai

disiplin, geografi kritis merupakan

suatu studi yang berpancang pada

tanggung jawab teoritis dan etis,

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116

92

bersifat tidak bebas nilai, dan memiliki

komitmen dalam progresivitas politik

maupun perubahan sosial.240 Secara

khusus, geografi kritis menjabarkan

relasi sosio-spasial yang memproduksi

kesenjangan dalam ruang dengan

mengakui adanya ketidaksetaraan,

mengenali berbagai poros kekuasaan,

dan komitmen terhadap politik yang

memberdayakan, serta perubahan

sosial.241 Eksaminasi geografi kritis

dalam tulisan ini memperdalam

tindakan komunikatif yang mampu

memberikan abstraksi terhadap

kesetaraan dalam diskursus publik

secara normatif, namun secara teknis

tidak menjelaskan bagaimana

pengetahuan terbentuk di dalamnya.

Tulisan ini hendak melengkapi tinjauan

abstrak-normatif Habermas, terutama

mengenai rasionalitas komunikatif,

dengan modus pembentukan

pengetahuan secara intersubjektif yang

dijelaskan oleh Jasanoff melalui ‘co-

production’ (ko-produksi). Untuk itu,

240 Ben Agger, Critical Social Theories: An Introduction, (Boulder: Westview Press, 1998), hlm. 180

dalam Nicholas Blomley, Uncritical Critical Geography? Progress in Human Geography 30, 1 (2006), hlm. 6.

241 Phil Hubbard, et al, Thinking Geographically: Space, Theory and Contemporary Human Geography, (London: Bloomsbury Publishing, 2002), hlm. 62 dan hlm. 73.

tulisan ini berupaya menjawab

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana telaah geografi

kritis dalam mengurai

diskursus kekuasaan dan

pengetahuan dalam

penataan ruang di

Indonesia?

2. Bagaimana geografi kritis

mengandaikan upaya-upaya

untuk mewujudkan

kesetaraan dalam

perumusan kebijakan

penataan ruang di

Indonesia?

Adapun yang menjadi ruang

lingkup tulisan ini adalah peraturan

perundang-undangan yang berkenaan

dengan perencanaan tata kota di

Indonesia yaitu UU No. 26 Tahun 2007

dan Peraturan Menteri Agraria dan

Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 1 Tahun 2018 tentang

Pedoman Penyusunan Rencana Tata

Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten,

Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

93

dan Kota (Permen ATR/Ka. BPN No. 1

Tahun 2018), yang mengetengahkan

bahwa perencanaan tata kota menurut

ketentuan tersebut merupakan suatu

perumusan kebijakan yang intensif

bukti. Pada bagian selanjutnya, tulisan

ini menjelaskan telaah pokok yang

menjawab bagaimana perencanaan tata

kota berbasis bukti (evidence-based city

planning) dapat mempertajam distorsi

dalam relasi sosio-spasial perencanaan

tata kota di Indonesia atau sebaliknya,

dan dapat pula menjadi medium yang

memberdayakan.

II. Interaksi Penataan Ruang dan

Perumusan Kebijakan: Senarai

Distorsinya di Indonesia

Dari perspektif hukum

administrasi, penataan ruang

sebagaimana dikenali menurut UU No.

26 Tahun 2007 merupakan suatu tata

cara operasional (administrasi sebagai

242 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indnesia, 1981) dalam

dalam Harsanto Nursadi (ed.), Hukum Administrasi Negara Sektoral, (Depok: Center for Law and Good Governance Studies dan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016), hlm. 11.

243 Harsanto Nursadi, Hukum Administrasi Negara Sektoral: Tindakan Administrasi Negara Bab dalam Harsanto Nursadi (ed.), Hukum Administrasi Negara Sektoral, (Depok: Center for Law and Good Governance Studies dan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016), hlm. 11.

244 Indonesia, Undang-Undang Penataan Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, LN No. 68 Tahun 2007, TLN No. 4725, Ps. 1 angka 5.

245 Indonesia, Ibid., Ps. 1 angka 5 juncto angka 13

proses)242 yang muncul sebab adanya

tujuan berupa kondisi ruang tertentu

yang ditetapkan secara memaksa

(dwingend recht) dan juga berlaku

sebagai pedoman umum bagi

perumusan RTRW dan prinsip-prinsip

yang harus diperhatikan pada

pelaksanaannya.243 UU No. 26 Tahun

2007 merangkai penataan ruang

sebagai suatu proses yang terdiri dari

tahapan berupa: 1) perencanaan tata

ruang, 2) pemanfaatan ruang, dan 3)

pengendalian pemanfaatan ruang.244

Secara lebih terperinci,

perencanaan tata ruang merupakan

salah satu tahapan penataan ruang

yang terdiri dari rangkaian proses

penyusunan rencana tata ruang dan

penetapan rencana tata ruang.245

Perencanaan tata ruang termasuk ke

dalam tindakan hukum publik atau

pernyataan kekuasaan organ

administrasi, dalam hal ini adalah

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116

94

pemerintah menyusun rencana tata

ruang dan menimbulkan akibat hukum

tertentu berupa hak, kewenangan, dan

kewajiban dalam bidang penataan

ruang.246

Hak, kewenangan, dan kewajiban

bagi pemerintah dan masyarakat

sebagaimana diatur dalam UU No. 26

Tahun 2007 merupakan basis bagi

pemetaan aktor dalam penataan

ruang.247 Basis dari pemetaan aktor

penataan ruang diatur dalam Pasal 7

ayat (2) juncto ayat (3) UU No. 26 Tahun

2007 yang menetapkan kewajiban

atributif kepada pemerintah baik pusat

maupun daerah untuk

menyelenggarakan perancangan dan

pelaksanaan tata ruang dengan

keharusan untuk tetap menghormati

hak yang dimiliki orang sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.248

Telaah semantik terhadap

ketentuan tersebut menunjukan bahwa

246 Ridwan HR, Hukum Administasi Negara (Edisi Revisi), (Yogyakarta: Rajawali Press, 2013), hlm.

109-111. 247 Hak dan kewajiban masyarakat, secara individual diatur dalam Indonesia, Penataan Ruang,

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725), Pasal 60-62. Di dalam undang-undang tersebut juga diatur kewenangan Pemerintah pusat pada Pasal 8 dan 9 dan kewenangan pemerintah kota dalam Ps 11.

248 Ibid., Ps. 7 ayat (2) juncto ayat (3). 249 Michel de Certau, The Practice of Everyday Life, (Berkeley: University of California Press, 1984),

hlm. 113-116.

pengaturan tersebut menempatkan

pemerintah sebagai pemegang kendali

utama dalam perencanaan tata ruang,

sedangkan masyarakat, yang dalam

ketentuan tersebut dikenali dalam

satuan individual, dibahasakan

menjadi entitas pasif yang haknya tetap

dihormati. Walaupun pada bagian

selanjutnya, yakni Pasal 65 UU No. 26

Tahun 2007 diatur bahwa masyarakat

dapat berpartisipasi dalam

perencanaan tata ruang, semantik

pemetaan aktor penataan ruang dalam

UU No. 26 Tahun 2007 ini problematis

sebab masyarakat ditempatkan sebagai

subordinat dalam proses tersebut.

Padahal, sesungguhnya masyarakat lah

yang mengalami ruang tersebut sehari-

hari.249

Selain pembahasaan di dalam UU

No. 26 Tahun 2007 yang membuat

pertentangan antara bagaimana

pemerintah yang membentuk ruang

Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

95

dan masyarakat yang mengalaminya,

UU No. 26 Tahun 2007 juga tidak

memberikan peran aktif yang setara

antara pemerintah dan masyarakat

dalam penataan ruang, termasuk

bagaimana forum-forum yang terdapat

di dalam proses tersebut mampu

mengaktivasi peran masyarakat agar

lebih kontributif dan dipertimbangkan

sebagai aktor yang membentuk ruang

secara kolektif.

Selain melihat dari aktor yang

terlibat, investigasi terhadap

perencanaan tata kota sebagai suatu

pembentukan kebijakan juga perlu

ditelaah dari substansi yang menjadi

pertimbangan. Dalam hal ini, UU No.

26 Tahun 2007 mensyaratkan sejumlah

aspek yang menjadi perhatian sebagai

berikut:250

1. kondisi fisik wilayah Indonesia

yang rentan terhadap bencana;

2. potensi sumber daya alam,

sumber daya manusia, dan

sumber daya buatan; kondisi

ekonomi, sosial, budaya, politik,

hukum, pertahanan keamanan,

250 Ibid., Ps. 6 ayat (1).

lingkungan hidup, serta ilmu

pengetahuan dan teknologi

sebagai suatu kesatuan; dan

3. geostrategi, geopolitik, dan

geoekonomi.

Lebih rinci lagi, Permen ATR/Ka.

BPN No. 1 Tahun 2018 mensyaratkan

berbagai data, informasi, serta olahan

ilmiah yang berbeda pada setiap

tahapan perencanaan kota. Untuk

tahapan persiapan perencanaan tata

kota, terdapat berbagai data yang

disyaratkan, diantaranya adalah data

dan informasi yang berkaitan dengan:

1) kependudukan; 2) sosial dan budaya

keruangan; 3) kondisi fisik lingkungan

perkotaan; 4) pengunaan lahan

eksisting; 5) peluang ekonomi dan

potensi lestari lingkungan hidup; 6)

sarana dan prasarana kota; 7) ekonomi

wilayah; 8) kemampuan keuangan

pembangunan daerah; 9) kelembagaan

pembangunan daerah; 10) kebijakan

bidang penataan ruang terkait; 11)

Rencana Pembangunan Jangka Panjang

(RPJP) dan Rencana Pembangunan

Jangka Menengah (RPJM) kota; 12)

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116

96

kebijakan sektoral; 13) pertanahan; 14)

klimatologi; 15) pasar properti

perkotaan; 16) utilitas perkotaan; 17)

pola mobilitas perkotaan; 18) profil

bangunan bersejarah dan bernilai

pusaka budaya; 19) izin pemanfaatan

ruang eksisting; dan 20) konektivitas

informasi.251

Setelah tahap persiapan dan

pengumpulan data serta informasi,

dilanjutkan ke tahap pengolahan dan

analisis data. Permen ATR/Ka. BPN

No. 1 Tahun 2018 mensyaratkan

sejumlah analisis data untuk menjadi

bukti validitas perumusan rencana tata

kota yang setidaknya memuat:252

1. analisis kebijakan spasial dan

sektoral;

2. analisis kedudukan dan

peran kota dalam wilayah

yang lebih luas;

3. analisis fisik wilayah;

251 Indonesia, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Peraturan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota, Nomor PM 1 Tahun 2018, Lampiran III, hlm. 98-99.

252 Ibid., hlm. 100-102. Peraturan ini mengarahkan agar pengolahan dan analisis data dengan kesebelas aspek sebagaimana terperinci pada badan teks untuk menjadi dasar bagi perumusan tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kota, rencana struktur ruang, rencana pola ruang, penetapan kawasan strategis kota, arahan pemanfaatan ruang, dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota. Ringkasan normatif aspek-aspek ini diatur dalam Ps. 7 ayat (3).

4. analisis sosial

kependudukan;

5. analisis ekonomi wilayah;

6. analisis sebaran ketersediaan

dan kebutuhan sarana dan

prasarana wilayah kota;

7. analisis penguasaan tanah

yang menghasilkan status

penguasaan tanah publik

dan privat;

8. analisis bentuk dan struktur

kota serta arah

pengembangannya dalam

kurun waktu perencanaan;

9. analisis lingkungan hidup;

10. analisis pengurangan resiko

bencana; dan

11. analisis kemampuan

keuangan pembangunan

daerah.

Olahan dan hasil analisis

terhadap kesebelas aspek di atas

beserta data dan informasi yang

Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

97

menjadi referensi ini menunjukkan

bahwa perencanaan tata kota, secara

materiel merupakan perumusan

kebijakan yang berbasis bukti. Hal ini

juga dipertegas dengan adanya

ketentuan keahlian subjek yang terlibat

dalam proses perencanaan tata kota,

yakni pemerintah daerah kota beserta

tim ahli yang diketuai oleh profesional

perencana wilayah dan kota yang

bersertifikat dengan pengalaman di

bidang terkait minimal 10 (sepuluh)

tahun dan juga harus memiliki

pengalaman berpraktik di kota yang

rencana tata ruangnya hendak disusun.

Komposisi keahlian dari tim ahli

tersebut juga ditentukan yakni terdiri

dari bidang keahlian: 1) sistem

informasi geografis; survei dan

pemetaan; 3) ekonomi wilayah; 4)

infrastruktur; 5) transportasi; 6)

lingkungan; 7) kebencanaan; 8)

kependudukan; 9) sosial budaya; 10)

pertanahan; 11) hukum; dan bidang

keahlian lainnya yang sesuai dengan

253 Ibid., hlm. 95-96. 254 Nancy Cartwright, Evidence for Policy and Wheresoever Rigor is a Must, (London: The London

School of Economics and Political Science, 2012), hlm. 5 dan hlm. 84. 255 Ibid., hlm. 34-36. 256 Ibid., hlm. 35.

karakteristik wilayah.253 Ketentuan

keahlian subjek yang terlibat pada

dasarnya memang merupakan salah

satu fitur prominen dari perumusan

kebijakan berbasis bukti.254 Peran ahli

dalam perumusan kebijakan berbasis

bukti dianggap sebagai suatu

mekanisme yang menentukan validitas

internal dalam suatu perumusan

kebijakan.255

Namun demikian, keberadaan ahli

dan mekanisme validasi internal

menurut Cartwright tidak menjadikan

suatu perumusan kebijakan berbasis

bukti lengkap. Mekanisme pembuktian

validitas secara eksternal tetap

diperlukan agar suatu proses ilmiah

dalam perumusan kebijakan publik

menjadi sahih ketika diterapkan secara

nyata pada target populasi.256 Untuk

menguji relevansinya dengan target

populasi terkait, validasi eksternal

dapat dilakukan dengan beberapa

prosedur yang bersifat dialogis, seperti

diskusi dan debat yang dikaitkan

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116

98

dengan rujukan pada pengetahuan

yang sahih, proyeksi, dan praktik-

praktik lampau serupa pada target

populasi dari suatu kebijakan.257

Pada rangkaian proses

perencanaan tata kota yang diatur

dalam Permen ATR/Ka. BPN No. 1

Tahun 2018, dalam tahapan

pengumpulan data dan informasi

diarahkan pula untuk melibatkan

masyarakat secara aktif yang

dilaksanakan melalui: 1) permintaan

data dan informasi perorangan

dan/atau kewilayahan yang

diketahui/dimiliki oleh masyarakat; 2)

permintaan masukan, aspirasi, dan

opini awal usulan rencana penataan

ruang; dan 3) penjaringan informasi

terkait potensi dan masalah penataan

ruang, untuk bersama seluruh data dan

informasi yang dipersyaratkan

kemudian didokumentasikan dalam

Buku Fakta dan Analisis.258 Ketiga

sarana tersebut tidak tampak sebagai

suatu sarana yang cukup dialogis

257 Ibid., hlm. 35-36. 258 Indonesia, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, op. cit.,

Lampiran III, hlm. 100. 259 Ibid., hlm. 103.

sebagai suatu validasi eksternal oleh

karena ketiga sarana tersebut terjadi

pada tahap pengumpulan data dan

informasi tanpa disertai dengan forum

diskursif dimana para pihak yaitu

pemerintah, tim ahli, dan masyarakat

melakukan suatu komunikasi

intersubjektif dan mengambil

keputusan.

Tampaknya, validasi eksternal

terhadap dokumentasi pengetahuan

dalam perencanaan tata kota baru

terjadi pada tahap penyusunan konsep

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Kota menurut Permen ATR/Ka. BPN

No. 1 Tahun 2018 dapat dilakukan

antara lain melalui konsultasi publik,

lokakarya, diskusi kelompok

terpumpun, seminar maupun bentuk

komunikasi 2 (dua) arah lainnya.259

Namun demikian, Permen tersebut

tidak menjelaskan dalam hal apa dan

bagaimana forum tersebut

diselenggarakan.

Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

99

Permen ATR/Ka. BPN No. 1 Tahun

2018 terlalu fokus pada hal-hal apa saja

yang harus dilakukan oleh pemerintah

dan materi yang perlu turut serta

dalam merencanakan tata kota.

Padahal, terdapat hubungan yang

secara efektif saling mempengaruhi

antara organisasi ruang (organization of

space) dengan hubungan-hubungan

sosial. Akibatnya, masyarakat

teralienasi oleh suatu koersi baik dalam

proses penciptaan ruang (creation of

space) maupun dalam ruang yang

tercipta (created space).260 Demikian,

kota menjadi ruang yang merupakan

produk pengetahuan dan imajinasi

yang dihendaki oleh yang berkuasa

atau pemerintah, berdasarkan Permen

ATR/Ka. BPN No. 1 Tahun 2018.

Investigasi lebih lanjut mengenai

pembentukan pengetahuan dapat

ditelusuri melalui ko-produksi: suatu

upaya untuk memahami studi tentang

sains dan teknologi melalui dua rute.

Pertama, rute konstitutif yang mencoba

260 David Harvey, Social Justice and the City (Revised Edition), (London: The University of Georgia

Press, 2009), hlm. 310. 261 Sheila Jasanoff, The Idiom of Co-production dalam Sheila Jasanoff (ed.), States of Knowledge: The Co-

Production of Science and Social Order (New York: Routledge, 2004), hlm. 19.

untuk memahami bagaimana orang-

orang mempersepsikan elemen dari

alam dan masyarakat serta

memisahkan sebagian dari

pengalaman dan pengamatannya pada

suatu realitas yang terpisah dari politik

dan budaya. Kedua, rute interaksional

yang bertujuan untuk menjelaskan

keterkaitan antara praktik sosial dan

ilmiah yang terjadi dalam suatu tatanan

sosio-teknis yang ada dengan berfokus

pada konflik di dunia yang telah

terpisahkan ke dalam yang alami dan

sosial.261

Dapat dipahami juga bahwa ko-

produksi merupakan proposisi

bagaimana manusia mengetahui dan

menampilkan dunia yang tidak

terpisah dengan berbagai cara untuk

hidup di dalamnya. Pengetahuan

berikut perwujudan materielnya secara

bersamaan merupakan produk dari

suatu upaya sosial dan bersifat

konstitutif atas dimensi sosial

kehidupan. Hal tersebut tertanam

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116

100

dalam berbagai praktik sosial,

identitas, norma, kebiasaan, wacana,

instrumen, dan lembaga.262 Sebagai

suatu kerangka analisis, ko-produksi

dapat ditinjau dari pembentukan

berbagai aspek, yakni:263

1. identitas;

2. institusi;

3. diskursus; dan

4. representasi.

Kontur identitas pada ko-produksi

kota dalam UU No. 26 Tahun 2007 dan

Permen ATR/Ka. BPN No. 1 Tahun

2018 tidak menunjukkan kepekaan

yang berarti. Permen ATR/Ka. BPN

No. 1 Tahun 2018 hanya menyebutkan

12 kelompok bidang keahlian yang

dibutuhkan dalam Tim Ahli

perencanaan tata kota. Selebihnya,

kedua peraturan perundang-undangan

tersebut tidak memberikan identifikasi

lain yang berkenaan dengan identitas

seperti kebangsaan, agama, gender,

kelas, afiliasi politik, maupun afiliasi

lainnya yang bersifat tunggal maupun

jamak bertindak dan berpengaruh

262 Ibid., hlm. 2-3. 263 Ibid., hlm. 6. 264 Amartya Sen, Identity and Violence, (London: Penguin Books, 2006), hlm. 35-45.

dalam ko-produksi kota.264 Padahal,

bagaimana hukum menunjukkan

kepekaan maupun persepsi dirinya

terhadap identitas merupakan suatu

poin penting untuk lebih jauh

menerangkan seberapa representatif

suatu kebijakan dirumuskan, serta

bagaimana diskursus dan institusi

dibentuk.

Perlu dipahami bahwa, idealnya,

kerangka normatif tidak membatasi

persepsinya pada identitas tunggal.

Sebab, persepsi yang terbatas ini dapat

menciptakan ilusi yang berujung pada

kekerasan yang ditimbulkan dari

koersi untuk membatasi pengalaman

dan konsekuensi historis yang

ditanggung baik oleh individu maupun

kelompok dengan pembatasan pada

satu dimensi tertentu saja untuk

menjadi identitasnya. Pengenalan

terhadap identitas ini tetap diperlukan,

namun dilakukan dengan pendekatan

yang komprehensif sehingga dengan

jelas dapat diterangkan bagaimana

posisi dan perannya dalam kehidupan

Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

101

bermasyarakat, termasuk dalam

aktualisasi kewarganegaraannya265

seperti partisipasi dalam

merencanakan tata kota.266

Institusi, dalam pengertiannya

sebagai subjek, yang terdapat dalam

perencanaan tata kota menurut UU No.

26 Tahun 2007 dan Permen ATR/Ka.

BPN No. 1 Tahun 2018 hanya merujuk

pada pemerintah dan masyarakat.

Maka, untuk memetakan distribusi

kekuasaan dalam penataan ruang

cukup dengan mengamati kedua

subjek tersebut. Meski demikian, perlu

diakui pula mengenai adanya berbagai

sistem lain yang mempengaruhi seperti

ekonomi dan politik.

Namun demikian, jika hendak

dikontekstualisasikan dengan

bagaimana skema perumusan

kebijakan berbasis bukti

mempengaruhi penataan ruang

265 Konsep kewarganegaraan dapat dibedah melalui perangkat teoretis (pasca) strukturalisme

yang mengenali kewarganegaraan sebagai salah satu bentuk subjektivisasi yang dibentuk melalui proses diskursif antara kekuasaan dan pengetahuan. Hal ini dapat didalami lebih lanjut dalam Michel Foucault, Madness and Civilisation, (London: Tavistock, 1967).

266 Alan Harding dan Talja Blokland, Op.cit, hlm. 37. 267 Bruno Latour, Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory, (New York:

Oxford University Press, 2007), hlm. 76. 268 Ibid., hlm. 63-86. Jasanoff mengkritik Latour yang pada hal tersebut kurang memperhatikan

konflik-konflik berdimensi moral dan politik yang pada umumnya menyertai pembentukan dan jalannya suatu sistem pemerintahan.

sebagai suatu proses, actor-network

theory dari Bruno Latour dapat menjadi

suatu perangkat teoretis yang relevan.

Latour menjelaskan bagaimana actor-

network juga dapat memberikan agensi

kepada suatu hal yang non-manusia

(non-human).267 Skema perumusan

kebijakan berbasis bukti memperkuat

agensi pengetahuan (sebagai agensi

non-manusia) dalam jejaring peran

yang ada pada suatu masyarakat.

Dalam hal itu pun, Latour mengakui

bahwa kekuasaan di sepanjang jejaring

tidak terdistribusi dengan setara

sekalipun di sepanjang jejaring tersebut

kekuasaan dikonfrontasi oleh berbagai

pertentangan. Bagaimanapun,

kekuasaan cenderung terkonsentrasi di

sekitar penguasa yang memegang

kendali terhadap berbagai instrumen-

instrumen sebagai perantaranya.268

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116

102

Jika skema perumusan kebijakan

berbasis bukti hendak diinkorporasi ke

dalam perencanaan tata kota, maka

hendaknya beberapa hal perlu

diketahui terlebih dahulu: Model

perumusan kebijakan berbasis bukti

apa yang akan digunakan? Bagaimana

status-quo penguasaan terhadap

instrumen-instrumen perencanaan tata

kota dan bagaimana perubahan yang

akan terjadi jika akan lebih

mengandalkan perumusan kebijakan

berbasis bukti? Bagaimana penguasaan

terhadap instrumen tersebut hendak

didistribusikan agar skema perumusan

kebijakan berbasis bukti sedapat

mungkin menghasilkan tata kota

menjadi representasi kehendak yang

paling demokratis?

Dalam hal pembentukan

diskursus, Permen ATR/Ka. BPN No. 1

Tahun 2018 tidak memberikan

gambaran yang jelas mengenai

bagaimana berbagai opsi forum dialog

publik yang disediakan ini dapat

269 Alan Harding and Talja Blokland, Op.cit, hlm. 36. 270 Craig Calhoun, “Community without Propinquity Revisited: Communications Technology and

the Transformation of the Urban Public Sphere,” Sociological Inquiry, Vol. 68, No. 3 August 1998, pp. 373-397, (Austin: University of Texas), hlm. 377-378.

menjadi suatu arena diskursif.

Peraturan teknis tersebut hanya

memberikan pilihan forum dialog

dengan publik tanpa disertai dengan

pengaturan yang lebih esensial

mengenai representasi yang sangat

berkepentingan dengan legitimasi

suatu kebijakan. Representasi ini

berkaitan dengan bagaimana forum

tersebut diselenggarakan dan hak-hak

setiap pihak yang terlibat di dalamnya

termasuk jika memiliki keberatan

terhadap data dan informasi, analisis,

maupun keputusan yang diambil.

Dengan pendekatan post-positivist¸

relasi antar subjek dan relasi antara

objek telaah dengan penelaah

(researcher and the researched)269 tidak

terilustrasikan dalam peraturan

tersebut yang seharusnya sudah cukup

merinci kualitas dan basis struktural

dari diskursus.270 Isu onto-epistemologi

dari subjektivitas penelaah memiliki

implikasi terhadap status dari

kebenaran yang disampaikan dalam

Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

103

suatu diskursus publik. Isu metodologi

terletak pada subjektivitas dari objek

telaah yakni mengenai pentingnya

menemukan pengalaman yang terjadi

pada alam ‘life-world’ dengan

sedemikian representatif terhadap

kenyataan.271 Hal demikian esensial

untuk dijabarkan karena kondisi

masyarakat tidak setara dengan

berbagai kesenjangannya, terdapat

kelompok minoritas yang perlu

dilindungi dari tirani mayoritas dan

menciptakan kesempatan yang

beragam dalam diskursus publik.272

III. Persepsi Geografi Kritis atas

Penataan Kota: Trajektori Ideal

Studi geografi kritis merupakan

bagian dari studi kritis yang berupaya

untuk memahami secara rasional

segala karakter penindasan yang

terdapat di masyarakat dan

mendorong pembacanya turut

271 Alan Harding and Talja Blokland, op. cit., hlm. 37.

Bruno Latour dalam Sheila Jasanoff, States of Knowledge, menjelaskan bahwa pemisahan tersebut (nature-culture divide) adalah mekanisme komunitas barat memilah dari sekian banyak jaringan hibrida yang melandasi eksistensi kognitif dan material komunitasnya menjadi ‘alam’ dan ‘budaya’. 272 Craig Calhoun, op. cit, hlm. 386. 273 Nicholas Blomley, “Uncritical Critical Geography?”, Progress in Human Geography 30, 1 (2006),

hlm. 88. 274 Ibid., hlm. 92.

berkomitmen dalam praksis

transformatif yang membebaskan

korban penindasan dari segala bentuk

ketidakadilan.273 Secara khusus,

geografi kritis membuka disiplin

geografi untuk berinteraksi secara

intelektual dengan berbagai disiplin

lain yang dapat menguraikan

penindasan maupun kesenjangan yang

terjadi sekaligus membentuk kembali

konsep tentang kemungkinan relasi

sosio-spasial. Lebih jauh dari

identifikasi ilmiah dan penjabaran

teoretis, studi geografi kritis

berkomitmen untuk melakukan

transformasi melalui praksis progresif,

di antaranya dengan menjadikan

pengetahuan sebagai katalis

pemberdayaan untuk melawan

penindasan dan mewujudkan imajinasi

ruang yang setara.274

Salah satu gagasan paling penting

dalam praktik dan teori pengetahuan

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116

104

dan pemerintahan (knowledge and

governance) adalah ko-produksi yang

diusung oleh Jasanoff. Ko-produksi

sejalan dengan studi geografi kritis

dalam menjadikan pengetahuan

sebagai salah satu modalitas

pemberdayaan untuk mewujudkan

ruang yang setara. Hal ini karena ko-

produksi memiliki suatu persepsi

utama dimana pengetahuan, tindakan,

dan identitas bersifat saling bergantung

dan berpengaruh satu sama lain.275

Jasanoff menjelaskan, presentasi

dari fakta dan hipotesis ilmiah kerap

diterapkan secara beragam (multifacade)

bergantung dengan identitas sang

penutur dan peserta-kepada siapa

gagasan tersebut disampaikan.276

Objektivitas pengetahuan ketika

diterapkan dalam perumusan

kebijakan publik, dengan sendirinya

menempatkan pengetahuan itu sendiri

dalam kontestasi. Hal ini karena

perumusan kebijakan publik dalam

49 Sheila Jasanoff, The Idiom of Co-production dalam Sheila Jasanoff (ed.), States of Knowledge: The Co-

Production of Science and Social Order, (New York: Routledge, 2004), hlm. 3-11. 276 Sheila Jasanoff, “Contested Boundaries in Policy-Relevant Science”, Social Studies of Science, Vol.

17 No. 2 (May 1987), pp. 195-230, hlm. 195-197. 277 Ibid., hlm. 198-209. 278 Henri Lefebvre, op. cit, hlm. 112.

suatu pemerintahan memiliki kerangka

proses yang juga diciptakan oleh

politik dan menjadi manifes suatu

kekuasaan formal dengan

dilembagakannya ke dalam suatu

peraturan perundang-undangan

tertentu yang mengatur siapa saja

aktor-aktor yang dilibatkan, bagaimana

mereka terlibat (hak, kewajiban, alur,

proses), dan sejauh apa dialektika

dimungkinkan di dalamnya.277

Penataan ruang sebagai salah satu

perumusan kebijakan publik perlu

memikirkan bagaimana elemen-elemen

tersebut hendak dikonstruksikan.

Salah satu pengonsepan ulang

yang merupakan bagian dari tradisi

intelektual kritis ini dilakukan oleh

Henri Lefebvre terhadap ruang.

Menurutnya, ruang bukan semata

kenyataan material pasif yang bebas

nilai terhadap segala yang terjadi di

dalamnya.278 Pengonsepan ulang yang

dilakukan oleh Lefebvre menghasilkan

Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

105

3 (tiga) wujud ruang, yaitu:279 1) space as

perceived (representation of space)

menjelaskan representasi sebagai

bentuk instrumental dari pengetahuan

yang secara inheren mereduksi

pengalaman empiris untuk

menghadirkan representasi terbatas

dan biasanya narasi ini disampaikan

dalam bentuk tulisan;280 2) space as

conceived (representational space) yakni

ruang sebagai suatu dimensi empiris

yang menjadi tempat hidupnya

berbagai material substantif sekaligus

simbolis dan biasanya terwujud

melalui seni atau penggambaran

manusia terhadap ruang yang dekat

secara emosional dengan

kesehariannya;281 dan 3) space as lived

(spatial practice/phenomenological space)

pada pengertian ini ruang dipahami

dalam dimensi proseduralnya yakni

sebagai suatu format sosio-spasial yang

279 Ibid., hlm. 33 bandingkan dengan Alan Harding and Talja Blokland, op. cit, hlm. 176. 280 Henri Lefebvre, op. cit, hlm. 43-47, 163-164. Lefebvre juga menyatakan dalam hlm. 230:

“The object of knowledge is, precisely, the fragmented and uncertain connection between elaborated representations of space on the one hand and representational spaces (along with their underpinnings) on the other; and this object implies (and explains) a subject—that subject in whom lived, perceived and conceived (known) come together within a spatial practice. ‘Our’ space thus remais qualified (and qualifying) beneath the sediments left behind by history, by accumulation and by quantification.”

281 Ibid., hlm. 33 dan hlm. 41-42. 282 Ibid., hlm. 33, 42-45, 64, dan 298. 283 Neil Brenner and Christian Schmid, “Towards a New Epistemology of the Urban?”, City:

Analysis of Urban Trends, Culture, Theory, Policy, and Action, 19:2-3 (2015), pp. 151-182, hlm. 155.

secara dialektis memproduksi,

diproduksi, dan direproduksi. Sebagai

suatu kenyataan fenomenologis,

menurut Lefebvre, ruang terlebih

dahulu dialami sebelum dikonsepsikan

dengan perpaduan ideologi dan

pengetahuan dalam suatu praksis

sosial.282

Ketiga wujud ruang tersebut

merupakan dukungan argumentatif

dari pandangan yang disampaikan

Lefebvre yang menyatakan bahwa saat

ini ruang perlu dibayangkan dan

dikonsepsi kembali sebagai suatu

prasyarat politik dan epistemologi

untuk memahami masyarakat.283

Sayangnya, secara akademis sekalipun,

baik studi geografi kritis maupun

urban kritis di Indonesia masih menjadi

titik buta. Padahal, untuk dapat

menentukan modus produksi ruang

yang sesuai dengan konstitusi spasial,

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116

106

sejarah, dan perubahan yang

berlangsung, perlu perjuangan kolektif

yang melintasi batasan-batasan disiplin

untuk membedah dan memahami

berbagai hal yang relevan.

Pembedahan ini dilakukan terutama

dengan menghadirkan kelompok

rentan yang teralienasi karena sistem

atau kooptasi dominan tertentu, ke

dalam diskursus publik.284

Tren perumusan kebijakan berbasis

bukti pada dasarnya membuka potensi

bagi aktivitas ilmu pengetahuan untuk

menjadi alat yang menghadirkan

persepsi lain dan menyetarakan

kekuasaan narasi dominan. Di sisi lain,

perumusan kebijakan berbasis bukti

pada dasarnya juga dapat lebih jauh

mengasingkan kenyataan kelompok

terpinggir karena status quo

penguasaan ilmu pengetahuan pun

berada pada tangan yang sama dengan

multi-nodal superiority dari kapital dan

politik yang memiliki kemampuan

untuk menjaga eksklusivitas sumber

284 David Harvey, Op. Cit, hlm. 261-262. 285 Sheila Jasanoff, op. cit, hlm. 2. 286 Karl Marx, Capital: Critic of Political Economy, (London: Penguin Classics, 2004), hlm. 875 287 Alan Harding dan Talja Blokland, Op. Cit, hlm. 35.

daya untuk kepentingannya, termasuk

ilmu pengetahuan. Hal ini dapat

terlihat misalnya dari cari pandang

yang hanya mengakui metodologi

restriktif dalam perumusan kebijakan

berbasis bukti.285 Untuk itu, perlu

disadari bahwa ilmu pengetahuan

yang menjadi bahan pokok dalam

perumusan kebijakan berbasis bukti ini

diakui sebagai suatu sumber daya yang

perlu dikuasai secara adil agar dalam

konteks ko-produksi kebijakan berbasis

bukti, publik yang merupakan

produsen tidak terceraikan dari sarana

produksinya.286

Lebih jauh lagi, kritik-kritik

Marxist soal penguasaan ilmu

pengetahuan juga pada pokoknya

mengetengahkan fungsi pengetahuan

sebagai suatu agensi yang oleh

karenanya tidak hanya semata-mata

berfokus pada penemuan kebenaran

objektif, melainkan perlu juga untuk

memperhatikan aspek-aspek

subjektif.287 Oleh karenanya, untuk

Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

107

menghindarkan dari bencana

“akumulasi dengan perampasan”

(accumulation by dispossesion)288

sebagaimana yang telah terjadi pada

berbagai sarana produksi lainnya, ilmu

pengetahuan—termasuk metodologi

dan riset yang menjadi sarana politis—

dalam diskursus publik yang

dilakukan dengan pluralisasi pusat-

pusat deliberasi politik itu sendiri.289

Kota sebagai suatu ruang,

merupakan kenyataan substansial

sekaligus arena diskursif yang terus

memproduksi dan mereproduksi

maknanya secara kolektif.290 Dengan

demikian, pendekatan teori urban

kritis, dalam wujud abstrak kota ini

memberikan kesempatan untuk

288 David Harvey, Spaces of Capital: Towards a Critical Geography, (Edinburgh: Edinburgh University

Press, 2001), hlm. 281. 289 Myra Marx Ferree, et. al., “Four Models of the Public Sphere in Modern Democracies,” Theory

and Society 31 (2002), hlm. 300. 290 Henri Lefebvre, Op. Cit, hlm. 402-405. 291 Neil Brenner, What is Critical Urban Theory?, in Neil Brenner (ed.), Cities for People, Not For Profit,

(New York: Routledge, 2012), hlm. 22. “It insists that another, more democratic, socially just, and sustainable form of urbanization is possible, even if such possibilities are currently being suppressed through dominant institutional arrangements, practices, and ideologies. In short, critical urban theory involves the critique of ideology (including social-scientific ideologies) and the critique of power, inequality, injustice, and exploitatopm, at once within and among cities.”

292David Harvey, Justice, Nature and The Geography of Difference, (Oxford: Blackwell, 1996), hlm. 296 bandingkan dengan. Henri Lefebvre. Op.cit., hlm. 112.

293 Andy Merrifield, “The Right to The City and Beyond: Notes on a Lefebvrian Reconceptualization,” City, Vol. 15 Nos. 3-4, June-August (2011), hlm. 472.

294 Benedict Spinoza, Theological-Political Treatise, Ed. Jonathan Israel, Trans. Michael Silverthorne and Jonathan Israel, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007) hlm. 202.

membayangkan kembali konsep kota

yang ideal.291 Perencanaan tata kota

merupakan salah satu arena

perumusan kebijakan publik yang

dapat menjadi sarana bagi masyarakat

untuk melakukan perlawanan atau

berpartisipasi dalam pemerintahan.

Peran ini diperlukan untuk

mewujudkan kehendak kolektifnya

dalam membentuk kota sebagai suatu

lanskap politik dan merealisasikan

imajinasi keruangannya.292

Perencanaan tata kota merupakan

suatu praksis aktif293 dimana

masyarakat baik secara individual

maupun kolektif berdemokrasi untuk

mewujudkan kesetaraan.294

Perencanaan tata kota sebagai praksis

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116

108

aktif juga disampaikan oleh Fainstein

yang mengutarakan bahwa hal tersebut

merupakan tindakan berkesadaran

dalam menentukan tujuan dan cara

perkembangan suatu kota atau wilayah

urban. Menurut Fainstein, praksis aktif

tersebut mengutamakan pada

mekanisme perumusan kebijakan yang

ditentukan secara kolektif.295

Menurut telaah teori kritis296

perencanaan tata kota tidak tidak

hanya dilakukan dengan menentukan

tujuan atau imajinasi tata kota secara

kolektif saja, tetapi juga dengan

menentukan mekanisme perumusan

tujuan itu secara kolektif berdasarkan

nilai kesetaraan, demokrasi,

keberagaman, dan mutualitas.297 Maka,

penting untuk merumuskan bersama

bagaimana perencanaan tata kota pada

khususnya dapat memastikan bahwa

secara prosedural, masyarakat,

pemerintah, dan berbagai pemangku

295 Susan Fainstein, Can We Make the Cities We Want?, dalam Sophie Body-Gendrot and Robert

Beauregard (eds)., The Urban Moment, (Thousand Oaks: Sage, 1999), hlm. 249-250. 296 Fainstein dalam Susan Fainstein, Justice, Politics and the Creation of Urban Space, pp. 18-44, dalam

Andy Merrifield and Erik Swyngendouw, eds., The Urbanization of Injustice, (New York: New York University Press, 1997), menguraikan bahwa secara umum pendekatan teori kritis terhadap studi urban kontemporer mencakup tiga pendekatan yaitu: 1) ekonomi politik, 2) pascastrukturalisme, dan 3) populisme urban.

297 Susan Fainstein, Can We Make the Cities We Want?, op. cit. hlm. 250 298 Ibid., hlm. 249.

kepentingan dengan setara dapat

menjalani diskursus tersebut. Hal ini

juga penting untuk mendapatkan akses

yang setara ke berbagai sumber daya

yang relevan seperti informasi publik

dan akuntabilitas sumber daya yang

menjadi bahan pertimbangan

pengambilan keputusan dalam

penataan kota. Artinya, peraturan

perundang-undangan yang menjadi

pedoman penataan kota selain

mengatur kewenangan pemerintah

dalam bidang tersebut perlu juga

mengatur hak masyarakat dalam

penataan kota. Hak ini antara lain

mencakup prosedural keterlibatan

pada penataan kota dan juga hak

substantif lainnya yang berkaitan

dengan penataan kota seperti hak atas

tanah, akses terhadap ruang publik,

informasi publik, layanan perkotaan,

dan kualitas lingkungan hidup yang

layak.298

Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

109

Pentingnya pelibatan masyarakat

secara aktif dalam berbagai bidang

pemerintahan termasuk tata ruang

memiliki urgensi dari aspek peran

keaktoran dalam kewarganegaraan

(citizenship). Peran masyarakat perlu

lebih jauh dilembagakan dalam

penataan kelembagaan serta dimensi

normatif dari reformasi hukum dan

politik yang tuntutannya saat ini

semakin meningkat. Kelestarian dan

kualitas demokrasi kontemporer

sangat mengandalkan desain

institusional dan kultur wargawi299

yang aktif.300 Hal ini selain perlu

dilembagakan dengan kokoh juga

perlu dipertahankan termasuk dengan

cara yang memungkinkan masyarakat

untuk terlibat dalam membentuk dan

menguji institusi beserta keputusan

yang dibuatnya.

299 Wargawi adalah kultur yang terbangun secara dinamis oleh komunitas yang menjadi warga. 300 Robertus Robet dan Hendrik Boli Tobi, Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari Marx Sampai

Agamben, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017), hlm. 16. 301 Andy Merrifield, “The Right to The City and Beyond: Notes on a Lefebvrian

Reconceptualization,” City, Vol. 15 No. 3-4, June-August 2011, hlm. 469-473.

IV. Penutup: Ko-produksi Ruang

dalam Trajektori Hukum

Penataan Kota Indonesia

Ko-produksi yang dituturkan oleh

Jasanoff mengetengahkan poin penting

mengenai perumusan kebijakan yang

dalam hal ini adalah penataan kota

berbasis bukti (evidence-based city

planning) untuk mengarah ke

peningkatan diskursus dan

representasi. Sebagaimana Jasanoff

mengutip Sartre, kegagalan untuk

menghadirkan representasi dan

diskursus hanya akan menjadikan

perumusan kebijakan publik yang

practico-inert dimana penataan kota

menjadi sarana kebijakan publik yang

dilakukan oleh penguasa untuk

meminggirkan masyarakat. Lebih

spesifik lagi, sebagaimana yang

dituturkan oleh Merrifield, kegagalan

membentuk kultur penataan kota

sebagai suatu praksis aktif hanya akan

mewujudkan kota sebagai suatu

totalitas pasif.301

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116

110

Jasanoff dan jejak pemikiran

geografi kritis menyimpulkan bahwa

pengetahuan, sebagai salah satu

modalitas penataan kota, dapat

dikelola menjadi suatu kekuatan yang

refleksif dan mengkonsolidasi

kekuasaan. Gagasan ideal ini juga telah

disinggung oleh Lefebvre yaitu

penataan ruang sebagai suatu praksis

yang dapat membaurkan berbagai

dimensi praksis secara bersamaan,

terutama untuk menjadi tindakan

afirmatif terhadap kelompok yang

secara representatif dan empiris

mengalami diskriminasi.302

Terakhir, kedua ketentuan

peraturan perundang-undangan dalam

bidang penataan kota yang berlaku di

Indonesia sebagaimana diulas dalam

tulisan ini belum mengakomodasi

syarat institusional diskursus ideal

tersebut. Sebagian besar ketentuan

perundang-undangan masih sebatas

mengatur tentang kewenangan yang

dimiliki pemerintah dalam penataan

ruang dan mengakui adanya hak

masyarakat untuk terlibat. Sehingga,

302 Henri Lefebvre, Metaphilosophy, (London: Verso, 2016), hlm. 77.

untuk berkomitmen dalam penataan

ruang sebagai suatu praksis aktif,

pengaturan mengenai dimensi hak

prosedural dalam penataan ruang

penting untuk diatur dan diterapkan

agar medium prosedural tersebut

dapat berperan efektif pula sebagai

suatu ruang demokrasi produksi ruang

yang memberdayakan.

Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

111

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Penataan

Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, LN

No.68 Tahun 2007, TLN No. 4725.

Indonesia, Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional, Peraturan Menteri

Agraria dan Tata Ruang/Kepala

Badan Pertanahan Nasional tentang

Penyusunan Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi, Kabupaten dan

Kota, Nomor PM 1 Tahun 2018.

Buku

Agger, Ben. Critical Social Theories: An

Introduction. Boulder: Westview

Press. 1998.

Allmendinger, Phillip. Planning in Post

Modern Time. New York:

Routledge. 2001.

Bassett, Sarah Mina. The Role of Spatial

Justice in The Regeneration of

Urban Spaces. Illinois: University

of Illinois. 2013.

Brenner, Neil. Cities for People, Not for

Profit: Critical Urban Theory and

the Right to the City. Edited by

Margit Mayer, Neil Brenner and

Peter Marcuse. New York:

Routledge. 2012.

Brown, Alison, and Annali Kristiansen.

Urban Policies and the Right to the

City: Rights, Responsibilities, and

Citizenship. Geneva: UNESCO

and UN Habitat. 2009.

Cartwright, Nancy. Evidence for Policy

and Wheresoever Rigor is a Must.

London: The London School of

Economics and Political Science.

2012.

Certau, Michel de. The Practice of

Everyday Life. Berkeley:

University of California Press.

1984.

Chadwick, George. A Systems View of

Planning Theory: Towards a

Theory of the Urban and Regional

Planning Process. Oxford:

Pengamon Press. 1981.

Craig(ed.), Calhoun. Habermas and the

Public Sphere. Cambridge, MA:

MIT Press. 1992.

Goldblum, Charles. Urban Policies in

South-East Asia: Questioning the

Right to the City. Geneva:

UNESCO and UN Habitat. 2006.

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116

112

Habermas, Jürgen. Between Facts and

Norms: Contributions to a

Discourse Theory of Law and

Democracy. Cambridge, MA:

MIT Press. 1996.

_____. Postmetaphysical Thinking.

Cambridge, MA: MIT Press.

1994.

Harding, Alan, and Talja Blokland.

Urban Theory: A Critical

Introduction to Power, Cities, and

Urbanism in the 21st Century.

London: Sage Publisher. 2014.

Harvey, David. Justice, Nature, and the

Geography of Difference. Oxford:

Blackwell. 1996.

_____. Social Justice and the City. Revised

Edition. London: The University

of Georgia Press. 2009.

_____. Spaces of Capital: Towards a

Critical Geography. Edinburgh:

Edinburgh University Press.

2001.

Hubbard, Phil. et. al. Thinking

Geographically: Space, Theory and

Contemporary Human Geography.

London: Bloomsbury

Publishing. 2002.

Hunter, Floyd. Community Power

Structure: A Study of Decision

Makers. Chapel Hill: University

of North Carolina Press. 1953.

Jasanoff, Sheila. States of Knowledge: The

Co-Production of Science and Social

Order. New York: Routledge.

2004.

Jasanoff, Sheila. "The Idiom of Co-

Production ." In States of

Knowledge: The Co-Production of

Science and Social Order, by Sheila

Jasanoff (ed.). New York:

Routlegde. 2004.

Latour, Bruno. Reassembling the Social:

An Introduction to Actor-Network-

Theory. New York: Oxford

University Press. 2007.

Lefebvre, Henri. Metaphilosophy.

London: Verso. 2016.

_____. The Production of Space.

Massachusetts: Blackwell. 1991.

Marx, Karl. Capital: Critic of Political

Economy. London: Penguin

Classics. 2004.

Merrifield, Andy, and Erik

Swyngendouw (eds.). The

Urbanization of Injustice. New

Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

113

York: New York University

Press. 1997.

Nursadi, Harsanto. Hukum Administrasi

Negara Sektoral, Depok: Badan

Penerbit Fakultas Hukum

Universitas Indonesia. 2016.

Palermo, Pier Carlo, dan David

Ponzini. Spatial Planning and

Urban Development: Critical

Perspectives. New York:

Springer. 2010.

Robet, Robertus, and Hendrik Boli

Tobi. Pengantar Sosiologi

Kewarganegaraan: Dari Marx

sampai Agamben. Tangerang

Selatan: Marjin Kiri. 2017.

Sager, Tore. Collective Action: Balancing

Public and Particularistic Interests.

dalam The Oxford Handbook of

Urban Planning, by Rachel

Weber and Randall Crane, 26-41.

New York: Oxford University

Press. 2012.

Sen, Amartya. Identity and Violence.

London: Penguin Books. 2006.

Soja, Edward. Seeking Spatial Justice.

Minneapolis: University of

Minnesota Press. 2010.

Spinoza, Benedict. Theological-Political

Treatise. Edited by Jonathan

Israel. Translated by Michael

Silverthorne and Jonathan Israel.

Cambridge: Cambridge

University Press. 2007.

Tonkiss, Fran. Space, the City and Social

Theory: Social Relations and Urban

Forms. Cambridge: Polity. 2005.

Weber, Rachel, and Randall Crane. The

Oxford Handbook of Urban

Planning. New York: Oxford

University Press. 2012.

Artikel

Agger, B. (1998). Critical Social Theories:

An Introduction. Boulder:

Westview Press.

Allmendinger, P. (2001). Planning in

Post Modern Time. New York:

Routledge.

Bassett, S. M. (2013). The Role of Spatial

Justice in The Regeneration of

Urban Spaces. Illinois: University

of Illinois.

Blomley, N. (2006). Uncritical Critical

Geography? Progress in Human

Geography, 30, 87-94.

Brenner, N., & Schmid, C. (2015).

Towards a New Epistemology

of the Urban? City: Analysis of

Urban Trends, Culture, Theory,

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116

114

Policy, and Action, 19(2-3), 151-

182.

Brown, A., & Kristiansen, A. (2009).

Urban Policies and the Right to the

City: Rights, Responsibilities, and

Citizenship. Geneva: UNESCO

and UN Habitat.

Calhoun, C. (1998, August).

Community without

Propinquity Revisited:

Communications Technology

and the Transformation of the

Urban Public Sphere.

Sociological Inquiry, 68(3), 373-

397.

Cartwright, N. (2012). Evidence for

Policy and Wheresoever Rigor is a

Must. London: The London

School of Economics and

Political Science.

Certau, M. d. (1984). The Practice of

Everyday Life. Berkeley:

University of California Press.

Chadwick, G. (1981). A Systems View of

Planning Theory: Towards a

Theory of the Urban and Regional

Planning Process. Oxford:

Pengamon Press.

Craig(ed.), C. (1992). Habermas and the

Public Sphere. Cambridge, MA:

MIT Press.

Elliott, M. (2014). History and Theories

of Planning. School of City and

Regional Planning Georgia

Technological University. Atlanta.

Fainstein, S. (1997). Justice, Politics and

the Creation of Urban Space. In

A. Merrifield, & E.

Swyngendouw (eds.), The

Urbanization of Injustice (pp. 18-

44). New York: New York

University Press.

Ferree, M. M., Gamson, W. A.,

Gerhards, J., & Rucht, D. (2002).

Four Models of the Public

Sphere in Modern Democracies.

Theory and Society, 31, 289-324.

Goldblum, C. (2006). Urban Policies in

South-East Asia: Questioning the

Right to the City. Geneva:

UNESCO and UN Habitat.

Habermas, J. (1994). Postmetaphysical

Thinking. Cambridge, MA: MIT

Press.

Habermas, J. (1996). Between Facts and

Norms: Contributions to a

Discourse Theory of Law and

Democracy. Cambridge, MA:

MIT Press.

Harding, A., & Blokland, T. (2014).

Urban Theory: A Critical

Introduction to Power, Cities, and

Urbanism in the 21st Century.

London: Sage Publisher.

Harvey, D. (1996). Justice, Nature, and

the Geography of Difference.

Oxford: Blackwell.

Harvey, D. (2001). Spaces of Capital:

Towards a Critical Geography.

Edinburgh: Edinburgh

University Press.

Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

115

Harvey, D. (2009). Social Justice and the

City (Revised Edition ed.).

London: The University of

Georgia Press.

Hubbard, P., Bartley, B., Fuller, D., &

Kitchin, R. (2002). Thinking

Geographically: Space, Theory and

Contemporary Human Geography.

London: Bloomsbury

Publishing.

Hunter, F. (1953). Community Power

Structure: A Study of Decision

Makers. Chapel Hill: University

of North Carolina Press.

Jasanoff, S. (2004). States of Knowledge:

The Co-Production of Science and

Social Order. New York:

Routledge.

Jasanoff, S. (2004). The Idiom of Co-

Production . In S. J. (ed.), States

of Knowledge: The Co-Production

of Science and Social Order. New

York: Routlegde.

Latour, B. (2007). Reassembling the

Social: An Introduction to Actor-

Network-Theory. New York:

Oxford University Press.

Lefebvre, H. (1991). The Production of

Space. Massachusetts: Blackwell.

Lefebvre, H. (2016). Metaphilosophy.

London: Verso.

Marx, K. (2004). Capital: Critic of

Political Economy. London:

Penguin Classics.

Merrifield, A. (2011, June-August). The

Right to the City and Beyond:

Notes on a Lefebvrian

Reconceptualization. City, 15(3-

4), 468-476.

Merrifield, A., & Swyngendouw (eds.),

E. (1997). The Urbanization of

Injustice. New York: New York

University Press.

Nursadi, H. (2016). Hukum

Administrasi Negara Sektoral:

Tindakan Administrasi Negara.

In H. N. (ed.), Hukum

Administrasi Negara Sektoral.

Depok: Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia.

Palermo, P. C., & Ponzini, D. (2010).

Spatial Planning and Urban

Development: Critical Perspectives.

New York: Springer.

Robet, R., & Boli Tobi, H. (2017).

Pengantar Sosiologi

Kewarganegaraan: Dari Marx

sampai Agamben. Tangerang

Selatan: Marjin Kiri.

Sager, T. (2012). Collective Action:

Balancing Public and

Particularistic Interests. In R.

Weber, & R. Crane, The Oxford

Handbook of Urban Planning (pp.

26-41). New York: Oxford

University Press.

Sen, A. (2006). Identity and Violence.

London: Penguin Books.

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116

116

Soja, E. (2010). Seeking Spatial Justice.

Minneapolis: University of

Minnesota Press.

Spinoza, B. (2007). Theological-Political

Treatise. (J. Israel, Ed., M.

Silverthorne, & J. Israel, Trans.)

Cambridge: Cambridge

University Press.

Tonkiss, F. (2005). Space, the City and

Social Theory: Social Relations and

Urban Forms. Cambridge: Polity.

Weber, R., & Crane, R. (2012). The

Oxford Handbook of Urban

Planning. New York: Oxford

University Press.

117

Membedah Kebijakan Perencanaan Ketenagalistrikan di Indonesia

Grita Anindarini Widyaningsih303

I. Pendahuluan

Saat ini, tingginya angka emisi gas

rumah kaca menjadi fokus di berbagai

negara, termasuk Indonesia. Sebagai

pemicu adanya pemanasan global, dan

yang lebih jauh adalah perubahan

iklim, berbagai negara kini gencar

menginventarisasi dan melakukan

langkah-langkah strategis untuk

mengendalikan tingginya angka

tersebut. Indonesia sendiri, menurut

dokumen strategi penerapan Nationally

Determined Contribution (NDC),

nyatanya telah mencapai 1.334 M Ton

CO2e per 2010 untuk angka emisi gas

rumah kaca304. Tidak hanya itu, angka

ini diperkirakan akan meningkat 3,9%

pada tahun 2030 dan akan semakin

meningkatkan risiko naiknya

temperatur global kedepannya.

Sebagai tindak lanjut dari

permasalahan ini, Indonesia telah

berkomitmen untuk berusaha

303 Penulis adalah Asisten Peneliti Indonesian Center for Environmental Law 304 Nur Masripatin, et.al. Strategi Implementasi Nationally Determined Contribution, (Jakarta: KLHK,

2017), hlm. 9.

menurunkan emisi gas rumah kaca

dengan mengadopsi Paris Agreement to

the United Nations Framework Convention

on Climate Change dan meratifikasinya

melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang

Pengesahan Paris Agreement to the

United Nations Framework Convention on

Climate Change (Persetujuan Paris atas

Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan

Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan

Iklim). Adapun fokus dari konvensi

tersebut adalah menahan kenaikan

suhu rata-rata global di bawah 20C di

atas tingkat di masa pra-industrialisasi

dan melanjutkan upaya untuk

menekan kenaikan suhu 1,50C di atas

tingkat pra-industrialisasi.

Lebih jauh, adanya komitmen dari

Paris Agreement tersebut kemudian

diejawantahkan dalam Nationally

Determined Contribution. Dalam

dokumen ini, Indonesia

menyampaikan komitmen untuk

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136

118

menurunkan emisi gas rumah kaca

(mitigasi) pada tahun 2030 sebesar 29%

dengan kemampuan sendiri dan

sampai dengan 41% bila dengan

dukungan internasional, dibandingkan

dengan tanpa aksi mitigasi305.

Terdapat 5 (lima) sektor yang

menjadi fokus upaya penurunan emisi

tersebut, yakni kehutanan, energi,

pertanian, industri, dan limbah. Dari

kelima sektor tersebut, sektor energi

menempati peringkat kontribusi kedua

dalam upaya penurunan emisi, yakni

11%. Hal ini diperlukan karena

memang tingkat emisi yang dihasilkan

dari sektor energi mencapai 453,2

MTON CO2e per 2010 dengan rata-rata

pertumbuhan tahunan tertinggi hingga

20 tahun ke depan, yakni 6,7%306.

Melihat hal tersebut, NDC 2017 telah

menetapkan arahan untuk

dekarbonisasi dalam pengembangan

energi ke depannya.

Tentunya, komitmen NDC ini

perlu untuk diterjemahkan dalam

dokumen-dokumen perencanaan

energi, khususnya sektor

305 Ibid., hlm. 8.

306 Ibid., hlm. 9.

ketenagalistrikan yang sejalan dengan

komitmen tersebut. Adapun dalam

pemaparan dokumen NDC, untuk

usaha mitigasi dari sektor energi

mengacu pada penetapan yang ada di

dalam Kebijakan Energi Nasional.

Kebijakan ini menetapkan bahwa

dalam hal bauran penyediaan energi

utama, setidaknya harus

mengakomodir 23% dari energi

terbarukan pada tahun 2025.

Untuk mencapai target tersebut,

Penulis berpendapat bahwa perlu

melihat bagaimana perencanaan

proyek ketenagalistrikan di Indonesia.

Adapun perencanaan proyek

ketenagalistrikan di Indonesia

didasarkan atas 4 (empat) dokumen

perencanaan, yakni:

a) Kebijakan Energi Nasional

(KEN): KEN adalah sebuah

kebijakan pengelolaan energi

yang memuat tujuan, sasaran,

hingga arah kebijakan energi

nasional. Adapun kebijakan ini

ditetapkan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 79 Tahun

Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

119

2014 tentang Kebijakan Energi

Nasional;

b) Rencana Umum Energi

Nasional (RUEN): RUEN

adalah sebuah dokumen yang

berisi tentang penjabaran lebih

rinci dari KEN, dan memuat

kondisi energi nasional saat ini

serta ekspektasi masa

mendatang, hingga kebijakan

dan strategi pengelolaan energi

nasional. Ditetapkan dalam

Peraturan Presiden Nomor 22

Tahun 2017 tentang Rencana

Umum Energi Nasional, RUEN

kemudian telah

mengidentifikasi potensi

sumber daya energi per

provinsi dan target

pembangunan pembangkit

listrik tersebut hingga tahun

2050;

c) Rencana Umum

Ketenagalistrikan Nasional

(RUKN): RUKN merupakan

sebuah dokumen yang bersifat

indikatif yang berisikan

tentang rencana

pengembangan penyediaan

tenaga listrik ke depan, kondisi

penyediaan tenaga listrik saat

ini, proyeksi kebutuhan tenaga

listrik untuk 20 (dua puluh)

tahun ke depan, dan potensi

sumber energi primer di

wilayah provinsi tersebut.

Adapun hingga saat ini RUKN

belum ditetapkan, meskipun

rancangan final dari dokumen

terkait telah dapat diakses

bebas. Oleh karena itu, artikel

ini menggunakan rancangan

RUKN tahun 2018 sebagai

bahan analisis;

d) Rencana Umum Penyediaan

Tenaga Listrik (RUPTL):

RUPTL merupakan dokumen

yang berisi daftar proyek

infrastruktur penyediaan

tenaga listrik. Dokumen ini

merupakan pedoman

pengembangan sistem tenaga

listrik di wilayah usaha PLN

untuk sepuluh tahun

mendatang. Adapun RUPTL

yang menjadi acuan artikel ini

adalah RUPTL 2018-2027, yang

disahkan dalam Keputusan

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136

120

Menteri ESDM No. 1567

K/21/MEM/2018.

Berangkat dari hal tersebut, artikel

ini bertujuan untuk mengkaji apakah

arah kebijakan ketenagalistrikan di

Indonesia dalam dokumen-dokumen

tersebut telah sejalan satu dengan

lainnya? Lebih jauh, artikel ini juga

mengkaji apakah perencanaan

ketenagalistrikan di Indonesia juga

telah sesuai dengan target yang ingin

dicapai dalam dokumen NDC?

Sebagai pengecualian, perlu untuk

dipahami bahwa penyusunan rencana

untuk penyediaan tenaga listrik

dibedakan menjadi 2 (dua), yakni

penyediaan tenaga listrik untuk

kepentingan umum dan penyediaan

tenaga listrik yang dilakukan secara

terintegrasi dalam 1 (satu) wilayah

usaha oleh satu badan usaha307. Untuk

mempersempit lingkup pembahasan

dalam artikel ini, pengaturan terkait

perencanaan ketenagalistrikan yang

307 Indonesia (a), Peraturan Pemerintah tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Peraturan

Pemerintah No. 14 tahun 2012, LN No. 28 tahun 2012, TLN No. 5281, Ps. 7 juncto Indonesia (b) Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, PP No. 23 Tahun 2014, LN No. 75 Tahun 2014, TLN No. 5530, Ps. 8.

akan dibahas terbatas pada yang terkait

dengan penyediaan tenaga listrik

untuk kepentingan umum.

II. Arah Kebijakan Perencanaan

Ketenagalistrikan di Indonesia

Menurut Pasal 8 Peraturan

Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014

tentang Kegiatan Usaha Penyediaan

Tenaga Listrik, penyusunan rencana

penyediaan tenaga listrik untuk

kepentingan umum ini dilaksanakan

sesuai dengan Rencana Umum

Ketenagalistrikan dan RUPTL. Lebih

jauh, Rencana Umum

Ketenagalistrikan ini dibagi menjadi 2

(dua), yakni RUKN dan Rencana

Umum Ketenagalistrikan Daerah

(RUKD).

Apabila ditilik kembali ke dasar

hukumnya, Pasal 8 ayat (3) PP No. 23

Tahun 2014 menjelaskan bahwa RUKN

itu sendiri disusun berdasarkan

Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan

Rencana Umum Energi Nasional

(RUEN). Adapun terkait dengan

Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

121

RUPTL, secara implisit dijelaskan

dalam RUEN bahwa RUEN berfungsi

sebagai rujukan dalam penyusunan

RUPTL. Meskipun masih ada

kerancuan akibat hukum dari

terminologi “disusun berdasarkan”

dan “sebagai rujukan” dalam

konstruksi pengaturan tersebut,

setidaknya perlu ada garis merah arah

kebijakan perencanaan

ketenagalistrikan di Indonesia dalam

keempat dokumen tersebut.

Untuk mengkaji konsistensi arah

kebijakan perencanaan

ketenagalistrikan tersebut, tulisan ini

mencoba untuk berangkat dari

pendekatan Energy Trilemma Index (ETI)

yang dipublikasikan oleh World Energy

Council untuk mengukur performa

kebijakan energi di masing-masing

negara. Pada dasarnya, terdapat 3 (tiga)

dimensi untuk mengukur indeks ini,

yakni308:

(1) Energy Security: bagaimana

manajemen penyediaan

energi dari dalam negeri

maupun dari sumber

308 Lianlian Song, et.al., “Measuring National Energy Performance via Energy Trilemma Index: A

Stochastic Multicriteria Acceptability Analysis”, Energy Economics (2017), hlm. 313.

eksternal. Selain itu juga

bagaimana ketersediaan

infrastruktur dan sejauh apa

keterlibatan perusahaan di

bidang energi untuk dapat

berpartisipasi memenuhi

permintaan energi untuk

sekarang dan akan datang;

(2) Energy Equity: bagaimana

keterjangkauan dan

aksesibilitas warga negara

tersebut terhadap

penyediaan energi; serta

(3) Environmental Sustainability:

bagaimana pencapaian

terhadap efisiensi energi dan

pengembangan terhadap

energi terbarukan atau

energi rendah emisi.

Apabila diterjemahkan ke dalam

dokumen perencanaan energi dan

ketenagalistrikan di Indonesia terkait

dengan langkah-langkah untuk

memenuhi seluruh aspek dalam ETI

tersebut, maka arah kebijakan

pengembangan energi dan

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136

122

ketenagalistrikan di Indonesia dapat

dipetakan sebagai berikut:

Aspek

KEN RUEN

Energy

Security309

a) Pengembangan Energi dengan

mengutamakan sumber daya

energi setempat;

b) Pengembangan Energi dan

Sumber Daya Energi

diprioritaskan untuk

memenuhi kebutuhan energi

dalam negeri;

c) Menggunakan batubara

sebagai andalan pasokan

energi nasional dan

meminimalkan penggunaan

minyak bumi;

d) Sasaran dari kebijakan ini

adalah terpenuhinya kapasitas

pembangkit listrik pada tahun

2025 sekitar 115 GW dan tahun

2050 sekitar 430 GW serta

peran batu bara dalam bauran

energi primer minimal 30% di

tahun 2025 dan 25% di tahun

2050

a) Dalam hal menggunakan

batubara sebagai pasokan energi

nasional, RUEN terlihat

menempatkan batubara sebagai

opsi terakhir. Bahwa

berdasarkan lampiran RUEN,

dijelaskan bahwa setelah

memaksimalkan penggunaan

energi terbarukan,

meminimalkan penggunaan

minyak bumi dan

mengoptimalkan pemanfaatan

gas bumi dan energi baru,

kekurangan kebutuhan dalam

negeri dipenuhi dengan

batubara, khususnya dengan

teknologi energi bersih.

b) Dalam hal pemenuhan kapasitas

pembangkit masih mengacu

pada KEN yakni 115 GW pada

2025

309 World Energy Council, Membedah Perencanaan Ketenagalistrikan,

http://www.djk.esdm.go.id/pdf/Coffee%20Morning/Juli%202016/Membedah%20Perencanaan%20Ketenagalistrikan%20Nasional%20--%20Dr.%20Hardiv%20HS.pdf, diakses pada 18 Oktober 2018. Pada presentasi ini dijelaskan beberapa aspek untuk memenuhi energy security meliputi: a) Mengembangkan cross-border transaction, b) Mengembangkan energi rendah karbon dalam bauran energy mix nasional dan sesuai dengan kapasitas daerah setempat; c) Menumbuhkan investasi berskala besar untuk pengembangan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan; d)pengembangan energi efisiensi; e) Memastikan penyediaan energi yang berkelanjutan dan infrastruktur untuk mendukung pengembangan pembangkit tersebut. Adapun untuk membatasil lingkup artikel ini dan untuk menyelaraskan dengan isu terkait target dalam NDC, aspek energy security yang akan dibahas hanya terfokus pada pengembangan energi dengan mengoptimalkan potensi daerah setempat dan usaha untuk pengembangan energi rendah karbon.

Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

123

Energy Equity 1) Memprioritaskan penyediaan

energi bagi masyarakat yang

belum memiliki akses

terhadap energi listrik, gas

rumah tangga, dan energi

untuk transportasi, industri,

dan pertanian;

2) Sasaran kebijakan ini adalah

tercapainya rasio elektrifikasi

sebesar 85% pada tahun 2015

dan mendekati 100% pada

tahun 2020

1) Adapun hal ini juga diukur dari

tercapainya rasio elektrifikasi

sebesar 100% pada 2020.

Environmental

Sustainability

1) Memaksimalkan penggunaan

energi terbarukan dengan

memperhatikan tingkat

keekonomian

2) Sasaran dari kebijakan ini

adalah tercapainya bauran

energi dari energi terbarukan

paling sedikit 23% pada tahun

2025 dan 31% pada tahun 2050.

1) Terkait dengan pengembangan

energi terbarukan, hal yang

perlu diperhatikan selain terkait

ke-ekonomian (harga), namun

juga perlu diperhatikan

lingkungan, peningkatan

aktivitas ekonomi, dan

penyerapan tenaga kerja

2) Dalam RUEN, ditetapkan

bahwa rencana jumlah total

pembangkit dari EBT adalah 45

GW310 atau sekitar 33% dari

total keseluruhan pembangkit

pada 2025. Oleh karena itu,

target pembangkit ini terlihat

ditetapkan lebih besar daripada

yang ada di KEN.

Tabel 1. Perbandingan Arah Kebijakan Energi dengan Energy Trilemma Index311

310 Adapun angka 45 GW tersebut dapat dicapai dari pemodelan sebagai berikut: a) Panas Bumi

7,2 GW; b) Air 17,9 GW; c) Minihidro dan Mikrohidro 3 GW; d) Bioenergi 5,5 GW; e) Surya 6,5 GW; f) Angin/Bayu 1,8 GW; dan g) Energi terbarukan lainnya 3,1 GW.

311 Data ini dihimpun oleh Penulis berdasarkan: a) Indonesia (c), Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional, PP No. 79 Tahun 2014, LN No. 300 Tahun 2014, TLN No. 5609; dan b) Indonesia (d), Peraturan Presiden tentang Rencana Umum Energi Nasional, LN No. 43 Tahun 2017.

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136

124

Dari data tersebut, dapat terlihat

bahwa pada dasarnya untuk

perencanaan ketenagalistrikan secara

umum, kebijakan dalam RUEN telah

menerjemahkan amanat-amanat yang

ada di dalam KEN dengan baik, bahkan

menargetkan pengembangan

pembangkit dari EBT secara lebih

ambisius daripada yang ditetapkan di

dalam KEN. Disamping itu, dengan

ditetapkannya batubara dengan

teknologi bersih sebagai opsi terakhir

sebagai pemenuhan energi nasional

setelah mempertimbangkan energi

terbarukan, juga menajamkan

komitmen RUEN untuk menggenjot

pengembangan energi terbarukan.

Namun, perlu diperhatikan bahwa

target pembangunan 45 GW yang

tercantum dalam RUEN kemudian

dibagi menjadi 2 (dua) kelompok,

yakni: a) Committed Project, sebesar

26.632,7 MW atau 26 GW dan b)

Potential Project 18.520,5 MW atau 18

GW. Tidak jelas bagaimana penjelasan

dari adanya committed project dan

potential project ini. Sekalipun begitu,

apabila perencanaan ini hanya

bergantung pada committed project saja,

maka pada dasarnya perencanaan

dalam RUEN sudah sesuai dengan

amanat KEN, yakni 23% bauran untuk

energi primer.

Kini pertanyaannya adalah apakah

komitmen yang dibangun oleh KEN

dan RUEN ini kemudian

diterjemahkan secara sejalan dalam

dokumen pelaksananya, yakni RUKN

dan RUPTL? Terlebih ketika berbicara

mengenai RUPTL. Dalam dokumen ini,

target perencanaan yang dibangun

dalam KEN dan RUEN kemudian perlu

untuk diatur lebih lanjut per proyek

dalam RUPTL. Untuk itu, penting

untuk dikritisi dengan memperhatikan

Energy Trilemma Index, apakah

kebijakan dalam RUPTL dan nantinya

dalam RUKN telah disusun sejalan

dengan dokumen induknya? Lebih

jauh, perlu untuk ditilik lebih jauh pula

apakah rencana proyek pembangkit

yang ditetapkan dalam RUPTL telah

sejalan dengan komitmen penurunan

emisi gas rumah kaca yang tertera

dalam NDC Indonesia?

Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

125

III. Mengulik RUKN dan RUPTL:

Apakah sejalan dengan dokumen

perencanaan induknya?

Bab ini mencoba menjawab

pertanyaan apakah kebijakan

perencanaan dalam RUKN dan RUPTL

telah disusun dengan

mempertimbangkan komitmen

perencanaan dokumen induknya

maupun potensi yang ada di masing-

masing daerah. Untuk itu, ETI tetap

digunakan sebagai alat analisis dalam

pembahasan ini. Karena tulisan ini

lebih terfokus pada bagaimana

perencanaan ketenagalistrikan di

Indonesia dapat dijadikan alat untuk

mengurangi jumlah emisi gas rumah

kaca, artikel ini akan lebih fokus pada

aspek energy security dan environmental

sustainability dalam indeks ETI

tersebut.

312 Christian Winzer, “Conceptualizing Energy Security”, EPRG Working Paper (University of

Cambridge, 2011), 4-5. Bahwa dalam artikel ini dijelaskan lebih lanjut beberapa hal berikut: a) Menurut Department of Energy and Climate Change (2009), security of supply ini dijelaskan sebagai

berikut: “Secure energy means that the risks of interruption to energy supply, are low” b) Menurut International Energy Agency (2001), security of demand dijelaskan sebagai berikut:

“Energy security is defined in terms of the physical availability of supplies to satisfy demand at a given price”

c) Menurut Noel dan Findlater (2010), terkait penyeimbangan antara supply dan demand dapat dijelaskan sebagai berikut: “Security of gas supply refers to the ability of a country’s energy supply system to meet final contracted energy demand in the event of a gas supply disruption”.

A. Membedah Aspek Energy

Security Dalam RUKN dan

RUPTL

Pada dasarnya, belum ada

kesepakatan tunggal terkait dengan

definisi Energy Security. Namun Winzer

membagi penjelasan terkait energy

security ke dalam 3 (tiga) hal, yakni: a)

Security of Supply; b) Security of Demand;

dan c) Kemampuan untuk

menyeimbangkan supply dan demand312.

Dalam artikel ini, telah dijelaskan

sebelumnya bahwa terdapat 2 (dua) hal

yang menjadi fokus dalam menilai

penerapan aspek energy security dalam

RUKN dan RUPTL. Pertama, apakah

kapasitas pembangkit yang

direncanakan untuk dibangun akan

mencapai 115 GW; Kedua, apakah

kedua dokumen perencanaan ini

benar-benar menggunakan potensi

sumber daya setempat sebagai

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136

126

tumpuan untuk pengembangan

pembangkit listrik di daerah tersebut.

Adapun untuk memenuhi aspek

kedua, hal yang penting untuk

dipertimbangkan adalah apakah

memang RUPTL telah didesain untuk

memaksimalkan penggunaan energi

terbarukan serta mengoptimalkan gas

bumi sebelum pada akhirnya memilih

untuk menggunakan batubara sebagai

pasokan energi setempat – seperti yang

diamanatkan dalam RUEN.

Untuk melihat penerapan

aspek-aspek tersebut dalam RUKN

dan RUPTL, berikut adalah tabel

perbandingan untuk beberapa

provinsi besar:

Daerah Potensi Sumber

Daya Energi

Setempat

(RUKN)

Potensi Sumber

Daya Energi

Setempat (RUEN)

Perencanaan

Pembangkit (RUPTL)

hingga 2025

Aceh

sampai

Lampung

PLT Air/PLT

Minihidro / PLT

Mikrohidro

Paling besar adalah

Surya dan di dalam

RUEN telah

direncanakan

untuk

pembangunan PLT

Surya dengan

kapasitas yang

lebih besar

dibandingkan

pembangkit listrik

berbasis tenaga air

tersebut313

Adapun di provinsi-

provinsi terkait, berikut

adalah pembangkit listrik

yang menjadi tumpuan di

daerah tersebut hingga

2025:

1) Aceh: PLT Air (716

MW)

2) Sumatera Utara: PLTU

Batubara (2,100 MW)

3) Sumatera Barat: PLTU

Batubara 406,5 MW,

namun berdasarkan

pembangkit eksisting.

313 Lihat, Indonesia (d)., Op.cit., Lampiran I, dari data yang dihimpun dalam lampiran tersebut

dapat dilihat bahwa berikut adalah perbandingan potensi PLT Air, PLTM, dan PLT Surya di beberapa provinsi di daerah Aceh hingga Lampung yang dianggap representatif: a) Aceh: PLTS 7,881 MW, PLTM 1,538 MW, PLTA 5,062 PLTA ; b) Sumatera Utara: PLTS 11,821 MW, PLTM 1,024 MW, PLTA 3,808 MW; c) Lampung: PLTS 2,238 MW, PLTM 352 MW; d) Jambi: PLTS 8,847 MW, PLTM 447 MW. Untuk data potensi PLTA di Lampung dan Jambi, data tergabung dalam sistem Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, dan Lampung, yakni 3,102 MW.

Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

127

Untuk pembangkit

baru diutamakan PLT

Air

4) Riau: Pembangkit

Listrik Berbasis Gas

(1,223.1 MW),

Pembangkit listrik

berbasis air tidak

direncanakan untuk

dibangun, PLTS hanya

dalam skala kecil

5) Bangka Belitung:

Pembangkit Listrik

Berbasis Gas (225

GW), Pembangkit

listrik berbasis air

tidak direncanakan

untuk dibangun, PLTS

hanya dalam skala

kecil

6) Jambi: PLTU Batubara

(1,212 MW)

7) Bengkulu: PLT Panas

Bumi (220 MW),

rencana

pengembangan

pembangkit listrik

lainnya ditumpukan

kepada batubara (200

MW), sementara

pembangkit berbasis

air hanya untuk

kapasitas sangat kecil

8) Lampung: PLTU

Batubara (400 MW)

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136

128

Sumatera

Bagian

Selatan

PLTU Mulut

Tambang

Sumatera Selatan

memang memiliki

potensi batubara

paling besar

dibandingkan

seluruh provinsi di

Indonesia. Selain

itu, Sumatera

Selatan juga

memiliki potensi

tenaga surya

terbesar

Tumpuan pembangkit

hingga 2025 adalah PLTU

Mulut Tambang, yakni

3.290 MW, diikuti dengan

PLTP dengan 360 MW.

Hanya sedikit potensi

tenaga surya yang

dibangun.

Jawa dan

Bali

PLT Panas Bumi Jawa Barat

merupakan

provinsi dengan

cadangan panas

bumi terbesar di

Indonesia.

Disamping itu,

Provinsi

Yogyakarta

memiliki potensi

tenaga surya yang

sangat besar, yakni

lebih dari 11.000

MW.

Tumpuan pembangkit

hingga 2025 adalah PLTU

Batubara dengan

penambahan jumlah

kapasitas 12.386 MW

hingga 2025. Adapun

untuk panas bumi

menjadi tumpuan kedua

dengan penambahan

kapasitas adalah 2.503

MW

Kalimantan

Utara

PLT Air Tidak terlihat

jumlah potensinya

di dalam RUEN.

Namun, di dalam

RUKN tercatat

jumlah potensi

adalah 3.282 MW.

Namun, jumlah ini

masih lebih sedikit

dibandingkan

potensi tenaga

Penambahan kapasitas

pembangkit tertinggi

bertumpu pada

PLTGU/PLTG-MG,

yakni sejumlah 141 MW.

Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

129

surya yang

mencapai 4.643MW

Sulawesi

Utara

PLT Panas Bumi Tenaga surya dan

tenaga bayu/angin.

Adapun potensi

untuk tenaga surya

adalah mencapai

2.113 MW.

Sementara itu,

untuk tenaga bayu

mencapai 1.214

MW

Penambahan kapasitas

terbesar bertumpu pada

PLTU Batubara, yakni 356

MW. Disamping itu juga

PLTGU/PLTG-MG

sebesar 330 MW.

Sulawesi

Tengah

dan Selatan

PLT Air PLT Air, PLT Surya,

dan PLT Bayu

memiliki potensi

yang sangat besar.

Penambahan PLT Air

menjadi tumpuan

kapasitas pembangkit

terbesar dengan rencana

penambahan pembangkit

960 MW di Sulawesi

Selatan dan 320 MW di

Sulawesi Tengah

Maluku

dan

Maluku

Utara

PLTG/PLT-MG,

namun untuk

Ambon dan

Halmahera

dapat

diprioritaskan

PLT Panas Bumi

PLTG/PLT-MG.

Disamping itu,

potensi PLT Bayu

juga tergolong

besar, yakni 3.188

MW.

PLTG/PLT-MG menjadi

tumpuan pembangkit,

yaitu dengan

penambahan pembangkit

sebanyak 575 MW.

Tabel 2. Perbandingan Potensi dan Perencanaan Pembangkit

Dari data tersebut dapat dilihat

bahwa tidak semua penetapan dalam

RUKN terkait potensi sumber daya

energi setempat yang harus

dikembangkan sesuai dengan potensi

sumber daya terbesar yang terdata

dalam RUEN. Terlebih ketika rencana

ini diterjemahkan ke dalam RUPTL.

Dari beberapa provinsi besar yang

dipilih untuk dijadikan analisis, terlihat

bahwa RUPTL belum didesain untuk

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136

130

menggunakan potensi energi setempat

sebagai tumpuan pembangkit listrik di

daerah tersebut. Justru, di beberapa

provinsi, PLTU Batubara tetap

digunakan sebagai pembangkit

andalan di provinsi setempat,

sekalipun RUEN telah menyatakan

bahwa seharusnya batubara digunakan

sebagai pilihan terakhir dalam

penyediaan energi di suatu daerah.

Sulawesi Utara adalah contoh tidak

digunakannya potensi sumber daya

setempat. Ketika tenaga surya dan

tenaga angina diidentifikasi sebagai

potensi terbesar dari daerah terkait,

namun di sisi lain RUPTL menetapkan

bahwa penambahan kapasitas terbesar

bertumpu pada PLTU Batubara. Pun

ketika menelisik ke pengembangan di

Jawa dan Bali, baik Jawa Barat maupun

Banten misalnya, masing-masing

memiliki potensi energi surya dan

314 Lihat, Indonesia (d)., Ibid. Dalam lampiran Peraturan tersebut terlihat bahwa potensi energi

surya untuk Jawa Tengah adalah 8,753 MW dan Banten adalah 2,461 MW. Selain itu untuk potensi energi bayu untuk Jawa Tengah adalah7,036 MW dan 1753 untuk Banten.

315 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tahun 2018 s.d 2027, Kepmen No. 1567 K/21/MEM/2918. Tercatat dalam RUPTL adalah bahwa rencana pembangkit untuk PLTU-B untuk Banten adalah 4,637 MW untuk Banten dan 4,845 MW untuk Jawa Tengah hingga 2025. Jumlah ini sangat berbanding terbalik dengan pengembangan PLTS dan PLTB; dimana untuk di Jawa Tengah hanya dialokasikan 100 MW untuk PLTS dan PLTB, serta di Banten hanya 300 MW untuk PLTS dan PLTB.

energi angin yang sangat besar sebagai

potensi setempat314. Namun justru

dalam pengembangan pembangkit

listrik, PLTU Batubara-lah yang

menjadi pilihan, sementara itu

pengembangan untuk PLTS dan PLTB

sangat minim dan tidak sebanding315.

Karenanya, perlu untuk dikaji kembali

lebih lanjut bagaimana proses

pengambilan keputusan oleh PT. PLN

(Persero) untuk pada akhirnya

menetapkan suatu potensi sumber

daya alam menjadi sumber energi

tumpuan daerah tersebut.

Selain perlu mengkritisi proses

pengambilan kebijakan di PT. PLN

(Persero) sendiri, perlu juga melihat

bagaimana rencana target penambahan

kapasitas untuk mencapai 115 GW

pada tahun 2025. Pada kenyataannya,

RUPTL juga belum didesain untuk

memenuhi target total kapasitas

Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

131

tersebut. Hingga saat ini, baru sekitar

53 GW316 kapasitas terpasang. Selain

itu, apabila keseluruhan jumlah

rencana pembangkit dalam RUPTL

dijumlahkan dengan kapasitas yang

telah terpasang, baru sekitar 104 GW317

yang akan terpasang pada tahun 2025.

Hal ini tentu tidak sesuai dengan

perencanaan untuk pemenuhan

kapasitas pembangkit pada tahun 2025.

Oleh karena itu, dari aspek pemenuhan

kapasitas pembangkit dapat dikatakan

bahwa RUPTL-pun belum didesain

untuk pemenuhan energy security di

Indonesia.

B. Pemenuhan Environmental

Sustainability

Untuk menilai pemenuhan aspek

environmental sustainability, Penulis

mencoba mengkaji apakah RUPTL

telah didesain untuk memenuhi

rencana pengembangan pembangkit

dari energi baru dan terbarukan

sebanyak 23% atau sekitar 26 GW.

Sekalipun dari aspek perencanaan

dalam RUEN, target pengembangan

EBT adalah 33%, namun terlihat bahwa

10%-nya adalah potential projects dan

bukan committed projects. Mengingat

belum jelasnya definisi dari potential

projects dan committed projects, artikel ini

menggunakan committed projects

sebagai landasan analisis. Berikut

adalah perbandingan tabel

perencanaan pembangunan

pembangkit listrik berbasis energi baru

terbarukan antara RUEN dan RUPTL

hingga tahun 2025:

Jenis Pembangkit Rencana

pembangunan

dalam RUEN

Rencana

pembangunan

dalam RUPTL

Panas Bumi 7.241,5 MW 6.184,7 MW

Air 13.986,7 MW 10.847,9 MW

Minihidro dan Mikrohidro 1.572,1 MW 986,5 MW

316 Data diolah oleh Penulis dengan menghimpun seluruh jumlah kapasitas pembangkit terpasang

per provinsi yang terdapat dalam lampiran RUPTL 2018-2027. 317 Data diolah oleh Penulis dengan menghimpun jumlah seluruh rencana kapasitas pembangkit

per provinsi dan per jenis pembangkit yang terdapat dalam lampiran RUPTL 2018-2027.

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136

132

Bioenergi 2.006 MW 187,5 MW

Surya 540,5 MW 149,81 MW

Angin 913,9 MW 1.030,75 MW

EBT lainnya 372 MW 320,5 MW

Total 26.632,7 MW 19.697,66 MW

Tabel 3. Perbandingan Rencana Pembangunan Pembangkit

Berbasis Energi Terbarukan dalam RUEN dan RUPTL

Berdasarkan data yang

dihimpun tersebut, tergambar

informasi bahwa pada dasarnya

perencanaan dalam RUPTL

memang belum di desain untuk

mencapai target 23% bauran

energi baru dan terbarukan

tersebut. Apabila seluruh

kapasitas pembangkit yang sudah

ada per provinsi ditambahkan

dengan rencana pembangunan

pembangkit listrik hingga 2025,

maka terlihat bahwa kapasitas

maksimum dari pengembangan

pembangkit listrik berbasis energi

baru terbarukan hanya sekitar

maksimum 17%. Angka ini adalah

jumlah dengan catatan bahwa

seluruh proyek akan berjalan

lancar.

Selain itu, perlu juga

mengkritisi komitmen dari

Pemerintah untuk memenuhi

target pembangunan pembangkit

berbasis Energi Baru Terbarukan

(EBT) ini. Berdasarkan data yang

diperoleh dari RUPTL 2018-2027,

pada awal tahun 2018 hingga

2024, pengembangan pembangkit

listrik berbasis EBT masih belum

terlihat secara masif. Namun,

pada tahun 2025 terjadi

penambahan angka pembangkit

listrik berbasis EBT yang sangat

drastis. Berikut adalah tabel

perkembangan pembangkit listrik

berbasis EBT (khususnya PLTA,

PLTS, dan PLTP) per tahun

hingga 2025:

Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

133

Dari data tersebut, perlu

dikaji lebih lanjut bagaimana

perencanaan pengembangan

kapasitas pembangkit berbasis

energi baru terbarukan. Mengapa

pada akhirnya pengembangan

kapasitas pembangkit listrik

tersebut menjadi bertambah 4

(empat) kali lipat mendekati

tahun 2025? Pola pengembangan

kapasitas pembangkit seperti ini

tentu terlihat tidak realistis dan

perlu untuk dipertanyakan lebih

lanjut. Tidak hanya itu, perlu juga

mempertanyakan terkait rencana

pengembangan kapasitas

pembangkit untuk PLTS maupun

PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga

Bayu/Angin).

318 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral., Op.cit., V-35

319 Indonesia (d)., Ibid.

Berdasarkan data yang

dihimpun dari RUEN,

keseluruhan potensi energi untuk

surya dan angin pada dasarnya

sangat besar. Apabila potensi

energi seluruh Indonesia

dijumlahkan, PLTS dapat

mencapai 207 GW dan PLTB

mencapai 61 GW319. Namun,

dalam penetapan rencana

pembangkit di RUPTL, untuk

PLTS ditetapkan hanya 172,58

MW dan PLTB hanya sekitar 1

GW. Hal ini jauh dibawah rencana

penambahan pembangkit PLTU

Batubara yang mencapai 25 GW

dari 2018-2027.

Memang dapat dipahami

bahwa kedua energi ini termasuk

Pembangkit Rencana Kapasitas Pembangkit (dalam MW)

2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025

PLTA 66 287 193 755 315 196 115 2.041

PLTP 210 150 221 235 405 445 355 2.537

PLTS - - - - - - 520 2.420

Tabel 4. Perkembangan Penambahan Kapasitas per Tahun untuk PLTA, PLTP, dan

PLTS318

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136

134

dalam energi yang bersifat

intermittent (bersifat sewaktu-

waktu), sehingga

pengembangannya cukup sulit

dan memiliki tantangan dalam

pengembangan sistem

transmisinya320. Namun, Penulis

berpendapat seharusnya

Pemerintah dapat lebih

mendorong pengembangan

infrastruktur untuk menyokong

integrasi grid (jaringan) untuk

pembangkit yang bersifat

intermittent tersebut daripada

terus mendorong pembangunan

PLTU Batubara atas alasan lebih

ekonomis dan untuk memenuhi

energy security. Untuk itu, Penulis

berargumen bahwa perencanaan

ketenagalistrikan di Indonesia,

khususnya RUPT belum didesain

pula untuk memenuhi aspek

environmental sustainability.

320 J.O. Petinrin dan M. Shaaban, “Overcoming Challenges of Renewable Energy on Future Smart

Grid”, Telkomnika 10 (Jakarta 2012), hlm. 230. Bahwa dalam artikel tersebut dijelaskan dalam pengembangan grid yang konvensional sangat bergantung pada konsistensi aliran listrik yang dapat masuk ke dalam grid tersebut. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, mengingat dengan sifatnya yang intermittent, konsistensi aliran listrik-pun menjadi tidak stabil dan fluktuatif.

IV. Penutup

Berdasarkan pemaparan pada bab

sebelumnya, maka terdapat dua hal

yang menjadi kesimpulan dalam

penulisan artikel ini, yakni:

(1) Bahwa berdasarkan

penelusuran konsistensi arah

kebijakan ketenagalistrikan di

dalam empat dokumen

perencanaan ketenagalistrikan,

terlihat bahwa perencanaan

kebijakan ketenagalistrikan di

Indonesia belum sejalan satu

sama lain. Ketidakkonsistenan

yang paling jelas terlihat dalam

komitmen untuk menggunakan

batubara sebagai pilihan

terakhir dalam pemenuhan

energi di masing-masing

daerah. Selain itu, hal yang juga

perlu diperhatikan adalah

terkait dengan target-target

perencanaan antara satu

dokumen dengan dokumen

Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

135

lainnya. Bahwa terdapat

ketidakkonsistenan dalam

dokumen-dokukem

perencanaan tersebut antara

target jumlah pemenuhan

kapasitas pembangkit secara

keseluruhan serta target

pembangkit listrik berbasis EBT

pada tahun 2025.

(2) Berkaitan dengan target untuk

pengurangan emisi gas rumah

kaca dari sektor energi dalam

NDC, artikel ini melihat bahwa

RUPTL belum disusun untuk

mendukung komitmen

tersebut. Bahwa proyek-proyek

pembangkit tenaga listrik yang

ditetapkan dalam RUPTL

belum dirancang untuk

memenuhi target 23%

pengembangan energi

terbarukan. Sebaliknya,

penambahan kapasitas

pembangkit yang bertumpu

pada batubara tetap menjadi

tumpuan. Selain itu, hal yang

perlu juga diperhatikan adalah

adanya pola pengembangan

pembangkit listrik berbasis EBT

yang tidak realistis. Adapun

dari temuan dalam RUPTL,

rencana pembangunan

pembangkit listrik berbasis EBT

pada tahun 2018-2024 masih

dalam angka yang sangat

minim, kemudian pada tahun

2025 meningkat drastis hingga

empat kali lipat. Hal ini tentu

menimbulkan keraguan terkait

bagaimana strategi yang

dilakukan untuk pemenuhan

kapasitas tersebut. Lebih jauh,

artikel ini melihat bahwa

pemenuhan target

pengurangan emisi gas rumah

kaca di Indonesia sebagaimana

tercantum dalam Nationally

Determined Contribution (2017)

akan semakin sulit apabila tidak

diterjemahkan secara baik

dalam kebijakan-kebijakan

perencanaan ketenagalistrikan

tersebut.

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136

136

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang

Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga

Listrik, Peraturan Pemerintah

No. 14 tahun 2012, LN No. 28

tahun 2012, TLN No. 5281

_____. Peraturan Pemerintah tentang

Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012

tentang Kegiatan Usaha

Penyediaan Tenaga Listrik, PP No.

23 Tahun 2014, LN No. 75 Tahun

2014, TLN No. 5530.

_____. Menteri Energi dan Sumber

Daya Mineral, Keputusan Menteri Energi

dan Sumber Daya Mineral tentang

Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan

Tenaga Listrik PT. Perusahaan Listrik

Negara (Persero) Tahun 2018 s.d 2027,

Kepmen No. 1567 K/21/MEM/2918.

Buku

Masripatin, Nur, et.al. Strategi

Implementasi NDC (Nationally

Determined Contribution).

Jakarta: Dirjen Pengendalian

Perubahan Iklim, KLHK RI.

2017.

Lain-lain

Petinrin, O. dan M. Shaaban,

“Overcoming Challenges of

Renewable Energy on Future

Smart Grid”, Telkomnika 10.

Jakarta. 2012.

Song, Lianlian, et.al., “Measuring

National Energy Performance via

Energy Trilemma Index: A

Stochastic Multicriteria

Acceptability Analysis”. Energy

Economics. 2017.

Winzer, Christian “Conceptualizing

Energy Security”, EPRG Working

Paper University of Cambridge.

2011.

World Energy Council, Membedah

Perencanaan Ketenagalistrikan,

http://www.djk.esdm.go.id/pd

f/Coffee%20Morning/Juli%202

016/Membedah%20Perencanaa

n%20Ketenagalistrikan%20Nasi

onal%20--

%20Dr.%20Hardiv%20HS.pdf,

diakses pada 18 Oktober 2018.

137

ULASAN PERATURAN:

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8

TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI

PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA

PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (INPRES

MORATORIUM SAWIT)

Henri Subagiyo321 dan Astrid Debora S.M322

I. Pendahuluan

Pada tanggal 19 September 2018

lalu, Presiden menerbitkan Instruksi

Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018

tentang Penundaan dan Evaluasi

Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit

serta Peningkatan Perkebunan Kelapa

Sawit atau lazim disebut Inpres

Moratorium Sawit. Keluarnya Inpres

ini dilatarbelakangi oleh beberapa

persoalan mendasar dalam perkebunan

kelapa sawit, antara lain lemahnya tata

kelola perkebunan kelapa sawit yang

berkelanjutan, kepastian hukum,

kelestarian lingkungan hidup termasuk

penurunan emisi Gas Rumah Kaca,

perlunya pembinaan petani kelapa

321 Henri Subagiyo adalah Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law. 322 Astrid Debora S.M adalah Peneliti dan Deputi Monitoring, Evaluasi, dan Manajemen

Pengetahuan Indonesian Center for Environmental Law.

sawit, dan peningkatan produktivitas

kelapa sawit.

Patut diakui bahwa sektor

perkelapasawitan selama ini telah

memberikan kontribusi bagi Indonesia.

Namun di sisi lain, berbagai persoalan

yang muncul mulai dari tingkat lokal,

nasional hingga internasional tidak

dapat pula diabaikan. Berbagai

persoalan tersebut setidaknya telah

menjadi isu penting yang semakin

berkembang hingga menimbulkan

reaksi internasional, khususnya

rencana Uni Eropa untuk melarang

impor minyak kelapa sawit dari

Indonesia.

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153

138

Greeenpeace mencatat selama

periode 2015-2017 terjadi deforestasi

seluas 1,6 juta ha dimana 19 persen

terjadi di konsesi kelapa sawit.323 Data

ini menjustifikasi bahwa ekspansi sawit

telah memberikan pengaruh pada

deforestasi.

Di sisi lain, Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan RI menyatakan

telah mengidentifikasi sekitar 15 juta ha

lahan di kawasan hutan. Dari 15 juta ha

tersebut, 11 juta ha tercatat sebagai

lahan perkebunan termasuk kelapa

sawit. Sedangkan dari 11 juta ha

tersebut teridentifikasi hanya sekitar

2,3 juta ha yang memiliki izin

perkebunan sawit.324

Pada bulan Mei 2016, Menteri

Perdagangan Thomas Lembong

menyebutkan bahwa 40 persen dari

total 11 juta ha lahan persebunan

kelapa sawit produktivitasnya rendah.

323Tane Hadiyantono, “Polemik Inpres Moratorium Lahan Sawit,

“https://industri.kontan.co.id/news/polemik-inpres-moratorium-lahan-sawit, diakses pada 25 Oktober 2018.

324 Andri Donnal Putera, “Moratorium Kebun Kelapa Sawit, izin di 2,3 Juta Hektar Lahan Dievalusi”, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/10/19/125834526/moratorium-kebun-kelapa-sawit-izin-di-23-juta-hektar-lahan-dievaluasi, Lihat juga https://economy.okezone.com/read/2018/10/19/320/1966224/menteri-lhk-evaluasi-izin-2-3-juta-ha-lahan-sawit, diakses pada 31 Oktober 2018.

325 Septian Deny, “Ini Alasan Pemerintah Ingin Moratorium Izin Lahan Kelapa Sawit”, https://www.liputan6.com/bisnis/read/2516363/ini-alasan-pemerintah-ingin-moratorium-izin-lahan-kelapa-sawit, diakses pada 25 Oktober 2018.

Oleh karena itu, dengan moratorium

yang berarti menghentikan

ekstensifikasi lahan, diharapkan

pemerintah dapat menfokuskan pada

peningkatan produktivitas.325

Beberapa permasalahan di atas

melatarbelakangi terbitnya Inpres

Moratorium Sawit. Diharapkan,

dengan terbitnya Inpres ini

memberikan semangat baru bagi upaya

untuk terus memperbaiki tata kelola

hutan dan lahan.

II. Materi Muatan Moratorium Sawit

Inpres Moratorium Sawit

memberikan perintah kepada beberapa

Menteri terkait, yaitu: Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian,

Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri

Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional, Menteri Dalam

Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8

TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(INPRES MORATORIUM SAWIT)

139

Negeri, Kepala Badan Koordinasi

Penanaman Modal, Para Gubernur,

dan Para Bupati/Walikota. Masing-

masing memiliki tugas dan tanggung

jawab sesuai dengan bidang

kerjanya.326

1. Menteri Koordinator Bidang

Perekonomian

Menteri Koordinator Bidang

Perekonomian

bertanggungjawab untuk

melakukan koordinasi

penundaan dan evaluasi

perizinan perkebunan kelapa

sawit serta peningkatan

produktivitas perkebunan

kelapa sawit. Kegiatan-kegiatan

yang wajib dilakukan dalam

rangka pelaksanaan koordinasi

tersebut antara lain:

a. Memverifikasi data

pelepasan atau tukar

menukar kawasan hutan

untuk perkebunan kelapa

sawit, peta Izin Usaha

Perkebunan atau Surat

326 Indonesia. Instruksi Presiden tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa

Sawit Serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit. Inpres Nomor 8 Tahun 2018, Bagian Kesatu-Ketujuh.

Tanda Daftar Usaha

Perkebunan, Izin Lokasi, dan

Hak Guna Usaha (HGU);

b. Menetapkan standar

minimun kompilasi data;

c. Melakukan sinkronisasi

dengan pelaksanaan

Kebijakan Satu Peta yang

berkaitan dengan

kesesuaian: perizinan yang

dikeluarkan oleh

kementerian/lembaga

dengan pemerintah daerah,

Izin Usaha Perkebunan

dengan HGU, dan keputusan

penunjukan atau penetapan

Kawasan hutan dengan

HGU;

d. Menyampaikan hasil rapat

koordinasi kepada Menteri,

gubernur, dan/atau

bupati/walikota terkait

dalam rangka pengambilan

keputusan sesuai

kewenangannya mengenai:

(1) penetapan kembali areal

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153

140

yang berasal darik hutan

yang telah dilakukan

pelepasan atu tukar menukar

kawasan hutan sebagai

kawasan hutan; (2)

penetapan areal yang berasal

dari kawasan hutan yang

telah dilakukan pelepasan

sebagai tanah negara; (3)

norma, standar, prosedur,

dan kriteria (NSPK) Izin

Usaha Perkebunan atau

Surat Tanda Daftar Usaha

Perkebunan; (4) penetapan

tanah terlantar dan

penghentian proses

penerbitan atau pembatalan

HGU; dan/atau (5) langkah-

langkah hukum dan/atau

tuntutan ganti rugi atas

penggunaan Kawasan hutan

untuk perkebunan kelapa

sawit berdasarkan verifikasi

data dan evaluasi atas

pelepasan atau tukar

menukar kawasan hutan

untuk perkebunan kelapa

sawit.

2. Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan

Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan bertanggung jawab

untuk:

a. Melakukan penundaan

pelepasan atau tukar

menukar kawasan hutan

untuk perkebunan kelapa

sawit bagi: (1) permohonan

baru; (2) permohonan yang

telah diajukan namun belum

melengkapi persyaratan atau

telah memenuhi persyaratan

namun berada pada kawasan

hutan yang masih produktif,

atau (3) permohonan yang

telah mendapat persetujuan

prinsip namun belum ditata

batas dan berada pada

kawasan hutan yang masih

produktif.

Penundaan tersebut

dikecualikan untuk

permohonan pelepasan atau

tukar menukar kawasan

hutan untuk perkebunan

kelapa sawit yang telah

ditanami dan diproses

Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8

TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(INPRES MORATORIUM SAWIT)

141

berdasarkan ketentuan Pasal

51 PP 104 Tahun 2015 tentang

Tata Cara Perubahan

Peruntukan dan Fungsi

Kawasan Hutan.

b. Melakukan penyusuan dan

verifikasi data pelepasan

atau tukar menukar kawasan

hutan untuk perkebunan

kelapa sawit yang

mencakup: nama dan nomor,

lokasi, luas, peruntukan, dan

tanggal penerbitan.

c. Melakukan evaluasi

terhadap: (1) pelepasan atau

tukar menukar Kawasan

hutan yang dimanfaatkan

sebagai perkebunan kelapa

sawit yang belum

dikerjakan/dibangun, masih

berupa hutan produktif,

dan/atau terindikasi tidak

sesuai dengan tujuan

pelepasan atau tukar

menukar dan

dipindahtangankan pada

pihak lain; (2) perkebunan

kelapa sawit yang berada

dalam kawasan hutan tetapi

belum mendapatkan

pelepasan atau tukar

menukar kawasan hutan; (3)

pelaksanaan pembangunan

areal hutan yang bernilai

konservasi tinggi (High

Conservation Value Forest

(HCVF) dari pelepasan

kawasan hutan untuk

perkebunan kelapa sawit,

Hasil evaluasi tersebut

disampaikan kepada Menteri

Koordinator Bidang

Perekonomian.

d. Melakukan identifikasi

perkebunan kelapa sawit

yang terindikasi berada

dalam kawasan hutan.

e. Menindaklanjuti hasil rapat

koordinasi dengan Menteri

terkait mengenai: (1)

penetapan kembali areal

yang berasal dari kawasan

hutan yang telah dilakukan

pelepasan atau tukar

menukar kawasan hutan

sebagai kawasan hutan;

dan/atau (2) langkah-langah

hukum dan/atau tuntutan

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153

142

ganti rugi sesuai ketentuan

peraturan perundang-

undangan atas penggunaan

kawasan hutan untuk

perkebunan kelapa sawit

berdasarkan verifikasi data,

evaluasi atas pelepasan atau

tukar menukar kawasan

hutan untuk perkebunan

kelapa sawit.

f. Melakukan identifikasi dan

melaksanakan ketentuan

alokasi 20% untuk

perkebunan rakyat atau

pelepasan kawasan hutan

untuk perkebunan kelapa

sawit.

3. Menteri Pertanian

Menteri Pertanian bertanggung

jawab untuk:

a. Menyusun dan

memverifikasi data dan peta

Izin Usaha Perkebunan

Kelapa Sawit dan

pendaftaran Surat Tanda

Daftar Usaha Perkebunan

Kelapa Sawit secara nasional

mencakup: nama dan nomor,

lokasi, luas, tanggal

penerbitan, peruntukan, luas

tanam, dan tahun tanam.

b. Melakukan evaluasi

terhadap: (1) proses

pemberian Izin Usaha

Perkebunan dan pendaftaran

Surat Tanda Daftar Usaha

Perkebunan Kelapa Sawit;

(2) Izin Usaha Perkebunan

dan Surat Tanda Daftar

Usaha Perkebunan Kelapa

Sawit yang telah diterbitkan;

dan (3) pelaksanaan

kewajiban perusahaan

perkebunan yang memiliki

Izin Usaha Perkebunan

Kelapa Sawit atau izin usaha

perkebunan untuk budidaya

kelapa sawit untuk

memfasilitasi pembangunan

kebun masyarakat paling

kurang 20% dari total luas

areal lahan yang diusahakan

oleh perusahaan

perkebunan.

Hasil evaluasinya

disampaikan kepada Menteri

Koordinator Bidang

Perekonomian.

Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8

TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(INPRES MORATORIUM SAWIT)

143

c. Menindakanjuti hasil rapat

koordinasi mengenai NSPK

Izin Usaha Perkebunan atau

Surat Tanda Daftar Usaha

Perkebunan.

d. Meningkatkan pembinaan

kelembagaan petani sawit

dalam rangka optimalisasi

dan intensifikasi

pemanfaatan lahan untuk

peningkatan produktivitas

sawit.

e. Memastikan setiap

perkebunan kelapa sawit

untuk menerapkan standar

Indonesian Sustainable Palm

Oil (ISPO).

4. Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional

Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional

bertanggung jawab untuk:

a. Menyusun dan

memverifikasi data HGU

yang mencakup: nama dan

nomor, lokasi, luas, anggal

penerbitan, dan peruntukan.

b. Melakukan evaluasi

terhadap : (1) kesesuaian

HGU perkebunan kelapa

sawit dengan peruntukan

tata ruang; (2) realisasi

pemanfaatan HGU

perkebunan kelapa sawit; (3)

peralihan HGU kepada

pihak lain tanpa pendaftaran

Badan Pertanahan Nasional;

dan (4) pelaksanaan

perlindungan dan/atau

pembangunan areal hutan

yang bernilai konservasi

tinggi/HCVF dari pelepasan

kawasan hutan untuk

perkebunan kelapa sawit.

Hasil evaluasinya

disampaikan kepada Menteri

Koordinator Bidang

Perekonomian.

c. Menindaklanjuti hasil rapat

koordiasi mengenai: (1)

penetapan tanah terlantar

yang berasal dari pelepasan

atau tukar menukar kawasan

hutan sesuai ketentuan

peraturan perundang-

undangan; (2) penghentian

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153

144

proses penerbitan HGU

dalam hal proses perolehan

haknya tidak dilakukan

sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan atau

pembatalan HGU

perkebunan kelapa sawit

yang telah ditetapkan

sebagai tanah terlantar; (3)

pengembalian tanah yang

berasal dari pelepasan atau

tukar menukar kawasan

hutan sebagai kawasan

hutan sesuai ketentuan

peraturan perundang-

undangan apabila belum

diproses dan/atau

diterbitkan Hak Atas

Tanahnya; (4) penetapan

tanah yang berasal dari

pelepasan kawasan hutan

sebagai tanah negara sesuai

ketentuan peraturan

perundang-undangan; dan

(5) pengembalian tanah yang

berasal dari pelepasan atau

tukar menukar kawasan

hutan disampaikan kepada

gubernur untuk diusulkan

kepada Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan

menjadi kawasan hutan.

d. Melakukan percepatan

penerbitan hak atas tanah

kepada masyarakat dalam

rangka pelaksanaan hak

masyarat seluas 20% dari

pelepasan kawasan hutan

dan dari HGU perkebunan

kelapa sawit.

e. Melakukan percepatan

penerbitan hak atas tanah

pada lahan-lahan

perkebunan kelapa sawit

rakyat.

5. Menteri Dalam Negeri

Menteri Dalam Negeri

bertanggung jawab untuk

melakukan pembinaan dan

pengawasan kepada gubernur

dan bupati/walikota dalam

pelaksanaan penundaan dan

evaluasi perizinan perkebunan

kelapa sawit, serta peningkatan

produktivitas perkebunan

kelapa sawit.

6. Kepala Badan Koordinasi

Penanaman Modal

Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8

TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(INPRES MORATORIUM SAWIT)

145

Kepala Badan Koordinasi

Penanaman Modal bertanggung

jawab untuk menunda

permohonan penanaman modal

baru untuk perkebunan kelapa

sawit atau perluasan

perkebunan kelapa sawit yang

telah ada, yang lahannya berasal

dari pelepasan atau tukar

menukar kawasan hutan,

kecuali yang menjadi tanggung

jawab Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan

7. Gubernur

Gubernur bertanggung jawab

untuk:

a. Melakukan penundaan

penerbitan

rekomendasi/izin usaha

perkebunan kelapa sawit

dan izin pembukaan lahan

perkebunan kelapa sawit

baru yang berada pada

kawasan hutan, kecuali yang

menjadi tanggung jawab

Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan.

b. Mengumpulkan dan

memverifikasi data dan peta

izin lokasi dan izin usaha

perkebunan atau Surat

Tanda Daftar Usaha

Perkebunan yang mencakup:

nama dan nomor, lokasi,

luas, tanggal penerbitan,

peruntukan, luas tanam, dan

tahun tanam.

c. Menyampaikan hasil

pengumpulan dan verifikasi

kepada Menteri Pertanian

(yang menyangkut Izin

Usaha Perkebunan) dan

Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional (yang

menyangkut Izin Lokasi).

d. Menindaklanjuti

rekomendasi hasil rapat

koordinasi mengenai

pembatalan Izin Usaha

Perkebunan atau Surat

Tanda Daftar Usaha

Perkebunan yang berada di

dalam kawasan hutan.

e. Menyampaikan usulan

kepada Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan untuk

penetapan areal yang berasal

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153

146

dari pengembalian tanah

dari pelepasan atau tukar

menukar kawasan hutan

menjadi kawasan hutan.

8. Bupati/Walikota

Bupati/Walikota bertanggung

jawab untuk:

a. Melakukan penundaan

penerbitan

rekomendasi/izin usaha

perkebunan kelapa sawit

dan izin pembukaan lahan

perkebunan kelapa sawit

baru yang berada pada

kawasan hutan, kecuali yang

menjadi tanggung jawab

Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan.

b. Mengumpulkan data dan

memetakan seluruh area

perkebunan pada wilayah

kabupatennya yang

diusahakan oleh badan

usaha maupun

perseorangan, yang

mencakup peruntukan, luas

tanam, dan tahun tanam.

c. Mengumpulkan data dan

peta serta memverifikasi Izin

Lokasi dan Izin Usaha

Perkebunan atau Surat

Tanda Daftar Usaha

Perkebunan yang mencakup:

nama dan nomor, lokasi,

luas, tanggal penerbitan,

peruntukan, luas tanam, dan

tahun tanam.

d. Mengumpulkan data dan

peta perkebunan rakyat pada

wilayah kabupatennya yang

berada pada kawasan hutan

dan di luar kawasan hutan

(Area Penggunaan Lain).

e. Menyampaikan hasil

pengumpulan data kepada

gubernur dengan tembusan

kepada Menteri Pertanian,

Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan, dan Menteri

Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional.

f. Menindaklanjuti

rekomendasi hasil rapat

koordinasi mengenai

pembatalan Izin Usaha

Perkebunan atau Surat

Tandar Daftar Usaha

Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8

TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(INPRES MORATORIUM SAWIT)

147

Perkebunan yang berada di

dalam kawasan hutan.

Sebagai koordinator, Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian

melaporkan pelaksanaan Inpres ini

kepada Presiden secara berkala setiap 6

(enam) bulan atau sewaktu-waktu

diperlukan.327 Sebagai penutup, Inpres

ini memerintahkan bahwa pelaksanaan

penundaan perizinan perkebunan

kelapa sawit dan evaluasi atas

perizinan perkebunan kelapa sawit

yang telah diterbitan, dilakukan paling

lama 3 (tiga) tahun sejak Inpres ini

dikeluarkan dan pelaksanaan

peningkatan produktivitas kelapa

sawit dilakukan secara terus

menerus.328

III. Catatan Kritis Inpres

Moratorium Sawit: Prasyarat

Keberhasilan

Diskursus mengenai kebutuhan

moratorium kelapa sawit

sesungguhnya telah berlangsung lama.

Tidak heran, ketika Presiden pada

September lalu menerbitkannya,

327 Ibid., Bagian Kesembilan. 328Ibid., Bagian Kesebelas.

beberapa kalangan, terutama

masyarakat sipil yang peduli terhadap

isu perbaikan tata kelola hutan dan

lahan mengapreasiasinya.

Inpres Motarorium Sawit

hanyalah langkah awal dalam

mewujudkan tata kelola perkebunan

sawit yang ramah lingkungan.

Terdapat beberapa prasyarat bagi

keberhasilan pelaksanaan Inpres ini.

A. Sinkronisasi Data Perizinan

Antar Sektor dan Data Lapangan

Dalam melakukan evaluasi usaha

perkebunan kelapa sawit memerlukan

sinkronisasi berbagai data perizinan

dan pendukungnya, misalnya izin

lokasi, Amdal atau UKL-UPL, izin

lingkungan, izin usaha perkebunan,

izin pelapasan kawasan hutan, Hak

Guna Usaha, dan sebagainya. Selain itu

juga dibutuhkan verifikasi kesesuaian

data lapangan dari aktifitas

perkebunan yang ada. Oleh karena itu,

ketersediaan dukungan data menjadi

sangat penting. Berdasarkan

pengalaman Program Review

Perizinan Kegiatan Ekstraktif (Hutan,

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153

148

Tambang, dan Kebun) yang dilakukan

oleh ICEL bersama dengan jaringan

organisasi masyarakat sipil di beberapa

daerah tahun 2015-2018, banyak

ditemukan indikasi bahwa pemerintah,

khususnya pemerintah daerah tidak

memiliki dukungan ketersediaan data

perizinan. Lemahnya database perizinan

akan menjadi tantangan terbesar pada

kegiatan ini.

B. Penegakan Hukum

Berbagai pelanggaran

perkebunan sawit sesunguhnya bukanl

hal yang baru. Tantangan terbesar

bukan pada identifikasi pelanggaran,

melainkan bagaimana menindaklanjuti

berbagai temuan pelanggaran yang

ada. Sebagai contoh, Panitia Khusus

Monitoring Perizinan dan Lahan

Perkebunan DPRD Provinsi Riau tahun

2016 telah menemukan ribuan hektar

hutan digarap secara ilegal oleh 33 (tiga

puluh tiga) perusahaan perkebunan

329 M. Syukur, “Apa Kabar Kasus 33 Perusahaan Sawit Perambah Hutan Riau?”,

https://www.liputan6.com/regional/read/2830617/apa-kabar-kasus-33-perusahaan-sawit-perambah-hutan-riau, diakses pada 1 November 2018.

330 EoF Investigative Report, “Kebun sawit beroperasi dalam kawasan hutan di Provinsi Riau tanpa izin maupun pelanggaran lainnya”, https://www.eyesontheforest.or.id/reports/kebun-sawit-beroperasi-dalam-kawasan-hutan-di-provinsi-riau-tanpa-izin-maupun-pelanggaran-lainnya, diakses pada 1 November 2018.

sawit. Temuan ini telah dilaporkan

kepada Kepolisian dan Kejaksaan.

Namun hingga saat ini belum jelas

bagaimana kelanjutan penegakan

hukum yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum.329

Koalisi Eyes on the Forest, pada

tahun 2017 menemukan 10 (sepuluh)

perusahaan perkebunan sawit yang

terindikasi berada dalam Kawasan

hutan. Diperkirakan luas 10 (sepuluh)

perusahaan yang teridentifikasi sekitar

73.047 ha dan hanya memiliki HGU

sekitar 40.005 ha. Hal ini berarti, ada

penanaman kebun di luar hak yang

diberikan. Ironisnya, izin HGU tersebut

ada yang berada pada kawasan

hutan.330 Bahkan pada bulan Maret

2017, Pansus DPRD Provinsi Riau

menyatakan terdapat 1,8 juta ha

perkebunan sawit dari total 4,2 juta ha

yang terindikasi tanpa izin pelepasan

kawasan hutan dan diperkirakan

merugikan negara sebesar 34 Triliun

Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8

TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(INPRES MORATORIUM SAWIT)

149

hanya dari kehilangan nilai pajak.331

Sayangnya, hingga saat ini belum jelas

bagaimana tindak lanjut penegakan

hukum terhadap pelanggaran tersebut.

Titik tekan materi Inpres

Moratorium lebih kepada evaluasi

perizinan melalui sinkronisasi data

perizinan dan data lapangan.

Sayangnya, Inpres Moratorium ini

tidak mengatur secara rinci mengenai

tindak lanjut pasca dilakukannya

evaluasi. Tidak ada instruksi terhadap

lembaga penegak hukum dalam Inpres

tersebut. Padahal stagnan-nya

penegakan hukum selama ini menjadi

kendala terbesar dalam membereskan

persoalan pelanggaran perkebunan

sawit yang terjadi.

Belajar dari pengalaman review

perizinan yang dilakukan oleh ICEL

tahun 2015-2018, terdapat beberapa

tipologi pelanggaran perkebunan sawit

yang membutuhkan penanganan yang

berbeda meskipun sebagian besar

memerlukan tidak lanjut penegakan

331 Chaidir Anwar Tanjung, “1,8 Juta Ha Kebun Sawit di Riau Ilegal, Negara Rugi Rp 34 Triliun”,

https://news.detik.com/berita/d-3436256/18-juta-ha-kebun-sawit-di-riau-ilegal-negara-rugi-rp-34-triliun, diakses pada 1 November 2018.

hukum. Beberapa tipologi tersebut

antara lain:

1. Pelanggaran akibat persoalan

kebijakan atau konflik regulasi.

Misalnya, usaha perkebunan

sudah ada sebelum penetapan

kawasan hutan atau adanya

konflik penetapan kawasan

hutan dengan rencana tata

ruang wilayah. Terhadap tipe

pelanggaran seperti ini

diperlukan kebijakan transisi

hingga waktu tertentu dengan

dapat dibarengi disinsentif,

termasuk memulihkan

kerusakan yang diakibatkan

oleh usahanya tersebut

sepanjang tidak ditemukan

adanya pelanggaran prosedural

yang dilakukan oleh pelaku

usaha;

2. Pelanggaran administrasi

perizinan. Misalnya izin usaha

yang dikeluarkan meskipun

jelas-jelas berada di kawasan

hutan ataupun dikeluarkan

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153

150

dengan melanggar ketentuan

prosedur izin yang berlaku.

Terhadap pelanggaran seperti

ini perlu didalami kemungkinan

adanya praktek-praktek korupsi

di balik pelanggaran

administrasi tersebut. Dalam hal

ini ada banyak kasus yang dapat

dijadikan contoh, salah satunya

praktek korupsi yang

melibatkan mantan Gubernur

Annas Maamun tahun 2016 atas

suap alih fungsi kawasan hutan

untuk perkebunan kelapa sawit.

Terhadap kasus seperti ini juga

diperlukan tindakan hukum

yang berkonsekusi terhadap

para pelaku usaha karena

keterlibatannya dalam praktek

korupsi perizinan.

3. Pelanggaran usaha tanpa izin

atau pelaksanaan usaha yang

melanggar kewajiban izin.

Terhadap tipe ini perlu

dilakukan penegakan hukum

secara tegas untuk memulihkan

dampak akibat pelanggaran

yang dilakukannya sekaligus

sebagai bentuk upaya

memberikan efek jera (deterrent

effect) bagi pelanggar maupun

pendidikan kepada publik.

C. Peran Serta Publik

Peran serta publik dalam

moratorium sawit sangat diperlukan

bagi keberhasilan pelaksanaan Inpres

ini meskipun tidak diatur di dalamnya.

Beberapa alasan mengapa peran serta

publik diperlukan, antara lain:

1. Evaluasi yang dilakukan

berdasarkan Inpres ini

utamanya untuk

mengidentifikasi adanya

pelanggaran yang sangat

mungkin hal ini terjadi karena

kontribusi atau keterlibatan

orang dalam, baik pada level

keputusan administrasi

perizinan, pengawasan maupun

penegakan hukum. Oleh

karenanya, potensi adanya

conflict of interest pun sangat

tinggi. Dengan adanya peran

serta publik hasil dan proses

evaluasi akan memungkinkan

bagi publik untuk memberikan

informasi, klarifikasi maupun

Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8

TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(INPRES MORATORIUM SAWIT)

151

melakukan pengawasan selama

evaluasi dilakukan mupun

tindak lanjutnya, terlebih jika

terdapat perbedaan hasil

dengan kondisi di lapangan;

2. Debagaimana disampaikan

sebelumnya, salah satu

tantangan besar bagi

pelaksanaan evaluasi ini adalah

ketersediaan data di lembaga

pemerintah sendiri, khususnya

pemerintah daerah. Dengan

adanya peran serta publik,

dimungkinkan pemerintah

untuk mendapatkan input data

dan informasi dari publik

sehingga memudahkan kerja

pemerintah dalam melakukan

verifikasi dan menindaklanjuti

hasilnya;

3. Dikarenakan salah satu tujuan

pelaksanaan Inpres ini untuk

memitigasi dampak usaha sawit

terhadap lingkungan hidup

maupun masyarakat yang

merupakan kepentingan publik,

maka sudah sewajarnya publik

terlibat dalam prosesnya.

Beberapa langkah yang dapat

dilakukan Pemerintah dalam

mendorong peran serta publik dalam

pelaksanan Inpres ini, antara lain:

1. Membentuk kelembagaan tim

kerja yang terdiri dari berbagai

unsur, selain instansi sektoral

pemerintah juga akademisi,

praktisi maupun masyarakat

sipil. Akademisi, praktisi

maupun masyarakat sipil yang

ditunjuk akan lebih baik jika

terdiri dari berbagai latar

belakang yang relevan misalnya

pemetaan, pertanian,

kehutanan, hukum maupun

kalangan organisasi masyarakat

sipil yang bergerak di bidang

hutan dan lahan. Tim ini selain

berada di tingkat nasional juga

perlu dibentuk untuk tingkat

lokal. Selain itu, dapat

dipertimbangkan pada tim

tersebut unsur-unsur penegak

hukum yang relevan untuk

mendukung tindak lanjut hasil

evaluasi.

2. Membentuk kanal informasi

publik. Kanal informasi publik

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153

152

sangat diperlukan untuk

mendorong peran serta publik

dalam memberikan masukan

mengenai data atau informasi di

lapangan guna mendukung

proses verifikasi yang berjalan.

Berbagai kanal publik milik

pemerintah yang selama ini ada

dapat dioptimalkan, misalnya

situs LAPOR (Layanan Aspirasi

dan Pengaduan Online Rakyat)

melalui

https://www.lapor.go.id/ yang

terhubung dengan berbagai

kementerian maupun situs atau

aplikasi pengaduan lainnya

yang dimiliki oleh kementerian.

D. Agenda Kerja dan Target yang

Terukur

Mengingat Inpres ini muncul di

akhir periode Pemerintahan Presiden

Jokowi-JK, banyak kalangan yang

sebetulnya meragukan hasil dari

kebijakan ini dalam waktu dekat.

Terlebih lagi tahun 2019 adalah tahun

politik yang kemungkinan besar

menyita banyak kerja dan perubahan

situasi politik. Di sisi lain Inpres ini

hanya berlaku 3 (tiga) tahun sejak

diterbitkan atau berakhir pada

September 2021. Oleh karena itu,

agenda kerja dan target terukur yang

disepakati oleh tim maupun diketahui

publik sangat diperlukan.

Selain itu, pendekatan kerja secara

pararel sangat diperlukan, misalnya

untuk tipe-tipe pelanggaran yang jelas

dan nyata perlu segera dilakukan

tindak lanjut tanpa menunggu semua

proses usaha selesai di evaluasi.

Langkah ini diperlukan mengingat

proses penegakan hukum umumnya

membutuhkan waktu yang tidak

singkat dan langkah ini diperlukan

khususnya bagi pelanggaran yang

menimbulkan dampak secara

lingkungan maupun sosial masyarakat.

IV. Penutup: Pekerjaan Rumah terkait

Implementasi Inpres Moratorium

Sawit

Meskipun memiliki kelemahan

dalam pengaturannya, Inpres

Moratorium Sawit mau tidak mau

wajib dijalankan oleh pihak terkait agar

tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Keberhasilan agenda penting yang

Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8

TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(INPRES MORATORIUM SAWIT)

153

diatur Inpres Moratorium Sawit sangat

ditentukan oleh strategi implementasi

yang mumpuni dari penerima mandat

pada akhir periode Pemerintahan

Jokowi-JK. Karenanya, selain ada

beberapa prasyarat keberhasilan di

atas, beberapa pekerjaan rumah yang

perlu dituntaskan untuk mendukung

pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit,

diantaranya:

1. Penegasan kembali mengenai

peran aparat penegak hukum

(polisi dan jaksa) serta unit kerja

teknis di Kementerian terkait

yang membidangi penegakan

hukum. Tanpa adanya

penegakan hukum yang baik,

akan sulit memberikan efek jera

bagi pelaku-pelaku pelanggaran

dan kejahatan sawit serta

kawasan hutan dan lahan.

2. Pemerintah wajib menata

kembali bisnis ‘persawitan’ dari

hulu hingga hilir. Pemerintah

juga perlu memperhatikan

pertumbuhan usaha

perkebunan lainnya, tidak

hanya bergantung pada

komoditas sawit saja.

3. Perlu adanya review kebijakan

menyeluruh yang berpengaruh

sebagai faktor pemicu bagi

pelanggaran-pelanggaran di

bidang perkebunan sawit.

Misalnya aspek kebijakan

tumpang tindih tata ruang,

perlindungan kawasan

ekosistem penting seperti

gambut, sistem perizinan, ISPO,

dan lain-lain.

4. Keterbukaan informasi dan

pelibatan publik dalam

kebijakan moratorium sawit.

Publik yang selama ini menaruh

perhatian terkait dengan hutan

dan lahan perlu dilibatkan

untuk memperkuat proses input

dan akuntabilitas dari agenda-

agenda penting selama

moratorium berjalan.

154

Indeks Subjek

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Volume 05 Nomor 1 Oktober 2018

A

Actor-Network Theory, 101

Adaptasi, 60, 63, 64, 71, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80,

81, 82, 83, 84

Adaptation, 60, 85

Agreement, 8

Agriculture, 61, 62, 85, 86

Ahli, 11, 24, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38,

39, 41, 42, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 96,

97, 98

Air, 15, 19, 33, 47, 72, 73, 76, 80, 126, 127

Air, 2, 15, 19, 20, 22, 123, 126, 128, 129, 131

Akuntabel, 27

Amerika Serikat, 15, 24, 28, 29, 32, 34, 35, 38, 39, 48

Angin, 40, 123, 131, 133

Antropogenik, 3

Atmosfer, 4

B

Badan Urusan Logistik

Bulog, 65

Bahan Bakar, 2, 3, 4, 5, 10, 13, 14, 15, 16

Baku, 1, 2

Bali, 1, 4, 6, 7, 13, 21, 128, 130

Banten, 130

Batubara, 122, 124, 125, 127, 129, 134, 135

BBM, 4, 6, 7, 14, 21

Beras Sejahtera

Rastera, 65

Bioenergi, 123, 131

Bukti, 1, 6, 11, 12, 16, 24, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34,

35, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 51,

53, 54, 59, 88, 92, 96, 97, 101, 105, 109

Bukti Hukum, 27, 41

Bukti Ilmiah, 1, 11, 16, 24, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 34,

35, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 48, 49, 50, 51, 53, 54

C

Cartwright, 97, 111, 115

Citizenship, 108

Climate, 3, 8, 9, 10, 18, 19, 21, 23, 60, 61, 62, 63, 69, 85,

86, 87, 117, 125

Climate Change, 3, 8, 9, 18, 19, 23, 60, 61, 62, 69, 86,

87, 117, 125

Creation Of Space, 99

Critical Geography, 88

Curah Hujan, 62, 69, 73

D

Daerah Aliran Sungai

DAS, 75

Dampak, 7, 12, 14, 15, 16, 17, 26, 50, 52, 60, 62, 63,

70, 71, 73, 74, 75, 76, 77, 79, 80, 81, 90, 150, 151,

152

Daubert, 29, 34, 35, 37, 38, 39, 48, 49, 53, 56, 57

Deforestasi, 138

Dekarbonisasi, 118

Deliberasi, 91, 106

Demokrasi Kontemporer, 108

Deposisi, 4

Determinan, 88, 91

Determinasi, 36

Diesel, 5

Diskursif, 98, 100, 102, 106

Distorsi, 89, 91, 93

Distribusi, 36, 64, 65, 66, 78, 101

Doktrinal, 24, 40

Domestik, 4, 81

Dwingend Recht, 93

E

EBT, 123, 124, 131, 134, 135

Ekologi, 31

Ekosistem, 7, 153

155

Eksepsi, 46

Ekspansi, 138

El Niño, 63, 86

El Niño–Southern Oscillation

ENSO, 63

Elektrifikasi, 122

Emisi, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 14, 21, 23, 73, 117, 118,

121, 124, 125, 134, 137

Emisi Gas Buang, 1, 2, 3, 4, 5

Emisi Gas Rumah Kaca, 9, 10, 117, 135

Energi, 1, 6, 8, 10, 16, 23, 80, 118, 119, 121, 122, 123,

124, 125, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135

Energi Baru Terbarukan, 131, 132, 133

Energi Baru Terbarukan (EBT), 132

Energi Terbarukan, 118, 121, 122, 123, 124, 125, 134,

135

Energy Equity, 121, 122

Energy Security, 121, 122, 125, 136

Energy Trilemma Index

ETI, 121, 123, 124, 136

Environmental Sustainability, 121, 123, 131

Environmentally, 1

Epidemiologi, 36

Euro 4, 1, 2, 3, 5, 16, 22

Evaluatif, 12

Evidence, 1, 6, 11, 12, 13, 16, 17, 19, 24, 25, 32, 88, 93,

109

Evidence-Based Policy, 11

Evidence-Based Policy Making, 1, 6, 11, 12, 13, 16, 17,

88

F

Fainstein, 107, 108, 116

Federal, 3, 23, 32, 48, 51, 56

Firespot, 45

Fluktuasi, 60, 62

Food Security, 61

Fosil, 4

Frye, 35, 37, 38, 56, 57

Fuel, 1

G

Gabah Kering Giling

GKG, 62, 66

Gambut, 44, 45, 47, 50, 51, 78, 153

Ganti Rugi, 41, 48, 140, 141

Gas, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 20, 48, 73, 117, 118, 122,

124, 125, 134

Geografi, 88, 91, 92, 103, 105, 109

Geografi Kritis, 103

Global, 2, 3, 7, 9, 10, 15, 19, 62, 63, 69, 70, 74, 117

Gugatan, 43, 44

H

Habermas, 91, 92, 111, 112, 114, 115

Hak Guna Usaha, 139, 147

Hakim, 26, 27, 29, 31, 32, 33, 34, 36, 38, 39, 40, 41,

42, 43, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 53, 54, 59

Henri Lefebvre, 104, 107, 109

Hidrokarbon, 4

High Conservation Value Forest, 141

Hotspot, 42, 45, 47, 49, 50

Hukum Administrasi, 93

Hukum Lingkungan, 26, 27

Hukum Perdata, 40

Hukum Publik, 93

Hutan, 26, 27, 40, 41, 43, 45, 47, 48, 50, 53, 138, 139,

140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149,

151, 153

Hutan Produktif, 141

I

Indonesia, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 18,

20, 21, 22, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 34, 39, 40, 41, 42,

43, 48, 49, 51, 52, 53, 56, 57, 58, 60, 61, 63, 64, 65,

66, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 76, 77, 79, 80, 85, 86, 87,

88, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 98, 105, 109, 111, 113,

115, 117, 118, 120, 121, 123, 124, 125, 126, 127,

128, 130, 131, 133, 134, 135, 136, 137, 139

Indonesian Sustainable Palm Oil, 143

Indramayu, 64, 72, 73, 82, 86

Industrialisasi, 10, 117

Infrastruktur Pertanian, 71, 77, 78, 79

Instruksi Presiden, 137, 139

Intensifikasi, 60, 62, 143

Intermittent, 133, 134

Intersubjektif, 92, 98

Investigasi, 95

Irigasi, 60, 62, 71, 74

ISPO, 143, 153

Izin Usaha Perkebunan, 139, 140, 142, 143, 145, 146

156

J

Jakarta, 6, 10, 18, 19, 22, 29, 40, 44, 45, 48, 50, 56, 57,

61, 68, 74, 80, 81, 85, 87, 93, 117, 133, 136

Jasanoff, 88, 92, 99, 101, 102, 103, 104, 106, 109, 112,

115

Jawa, 1, 4, 6, 7, 13, 21, 64, 65, 73, 75, 82, 87, 128, 130

Jawa Barat, 64, 65, 73, 82, 87, 128, 130

Jawa Tengah, 64, 65, 130

Jawa Timur, 64, 65

Jepang, 8, 68

K

Kadmium, 36

Kanker, 15, 33, 34, 36

Karbon Dioksida, 15

Karsinoma, 36

Kasus, 24, 26, 27, 28, 29, 33, 34, 37, 39, 40, 41, 42, 51,

53, 59, 82, 148, 150

Katalis, 2, 103

Kawasan Hutan, 141

Kawasan Rumah Pangan Lestari

KRPL, 78

Keahlian, 32, 39, 43, 51, 52, 96, 97, 100

Kebakaran, 26, 27, 40, 41, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49,

50, 53

Kebakaran Hutan, 43

Kebijakan, 1, 4, 5, 6, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 21, 23, 29,

63, 71, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 88, 89, 92, 95,

96, 97, 100, 101, 102, 104, 105, 107, 109, 118, 119,

120, 121, 122, 123, 124, 130, 134, 135, 149, 152,

153

Kebijakan Berbasis Bukti, 97, 101, 105

Kebijakan Energi, 118

Kebijakan Energi Nasional

KEN, 118, 119, 120, 123

Kebijakan Publik, 88, 89, 97, 104, 107, 109

Kebijakan Sektoral, 95

Kehutanan, 80, 118, 151

Kehutanan, 3, 5, 18, 29, 40, 43, 51, 79, 80, 85, 87, 138,

140, 144, 145, 146

Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan

(KLHK), 5, 43, 80

Kendaraan, 1, 2, 3, 4, 5, 15, 16, 21

Keputusan, 11, 26, 41, 91, 98, 102, 108, 109, 130, 139,

150

Kerugian Ekologis, 47

Kerugian Lingkungan, 52

Kesaksian, 24, 33, 34, 36, 39, 41

Kesehatan, 12, 15, 33, 80

Ketahanan Pangan, 60, 68, 70, 87

Ketenagalistrikan, 118, 120, 121, 123, 125, 134, 135

Kewajiban Atributif, 94

Kewarganegaraan, 100, 108

Kilang, 4

Koersi, 98, 100

Komitmen, 1, 5, 6, 8, 9, 10, 16, 65, 84, 91, 117, 118,

124, 132, 134, 135

Konstitusi Spasial, 89, 105

Konsumsi, 6, 67, 68, 74, 78

Kontaminasi, 33, 39

Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-

Bangsa Mengenai Perubahan Iklim, 117

Koperasi Unit Desa

KUD, 65

Ko-Produksi, 88, 99, 100, 103

Kopula, 88

Korea, 68

Kyoto, 8, 9, 10, 18, 20, 21

L

La Niña, 63

Lahan, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 72, 73, 75, 76, 78, 81, 95,

138, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 151, 153

Latour, 101, 102, 112, 115

Laut, 7, 15

Lefebvre, 104, 105, 109, 112, 115, 116

Life-World, 102

Lingkungan, 3, 5, 6, 7, 18, 19, 20, 22, 27, 28, 29, 39, 40,

41, 43, 47, 49, 51, 52, 56, 79, 80, 87, 138, 140, 144,

145, 146

LPG, 5

M

Mahkamah Agung, 26, 27, 28, 34, 40, 41, 42, 49, 56

Majelis Hakim, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 51

Malaysia, 68

Marxist, 106

Merrifield, 107, 109, 112, 115, 116

Metode Ilmiah, 24, 29, 30, 33, 35, 36, 39, 49, 51, 54

Mikrohidro, 123, 126, 131

Mineral, 4, 13, 33, 34, 56, 130, 133, 136

Minihidro, 123, 126, 131

Moratorium Sawit, 137, 138, 147, 152

Multi-Nodal Superiority, 106

Mutu, 1, 2

157

N

Naskah Akademik, 13

Nationally Determined Contribution, 10, 18, 117, 135,

136

NDC, 10, 18, 118, 120, 122, 124, 135, 136

Nikel, 35

Nitrogen Oksida, 4

Nitrogen Oksida, 7

O

Oil, 1

Oktan, 2, 3

Organik, 4, 60, 62

Organisasi Ruang, 98

Organization Of Space, 98

Ozon, 4

P

Padi, 60, 61, 64, 66, 71, 73, 77, 86, 87

Panas Bumi, 123, 127, 128, 129, 131

Paris, 10, 21, 117

Paris Agreement, 10, 21, 117

Partikulat, 4

Partisipasi, 73, 78, 100

Pathogenic, 36

Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup,

24

Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim

(Pedum), 63

Peer Review, 34, 37, 38, 49

Pemanasan Global, 4, 117

Pembangkit Listrik, 119, 122, 125, 126, 127, 129,

130, 131, 132, 133, 134, 135

Pembangunan, 61, 74, 80, 95, 96, 119, 124, 126, 131,

132, 134, 135, 141, 142, 143

Penataan Ruang, 88, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 98,

101, 109, 110

Pencemaran, 7, 28, 41, 50, 52

Penciptaan Ruang, 99

Pendapat Ahli, 32, 35, 39, 43, 50, 51, 53, 54

Penegakan Hukum, 28, 148, 149, 150, 152, 153

Pengacara, 31

Pengadilan, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 36, 38, 40,

41, 42, 43, 48, 53, 54

Pengadilan Negeri (PN), 43

Pengadilan Tinggi (PT), 44

Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan

PUAP, 78

Pengetahuan Khusus, 24, 29, 31, 32, 33, 39, 42, 43,

51, 53, 54

Penggugat, 33, 35, 42, 44, 47

Peran Serta Publik, 150

Peraturan, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 11, 13, 18, 40, 42, 47, 52, 56,

79, 85, 91, 92, 96, 102, 111, 118, 119, 120, 123,

130, 136

Perdata, 39, 40, 56, 57

Perencanaan Tata Kota, 88, 89, 91, 92, 95, 96, 97, 98,

100, 101, 107

Perencanaan Tata Ruang, 88, 90, 91, 93, 94

Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit, 137, 139

Perkara, 34, 39, 40, 41, 43, 49, 51

Perkara Perdata Lingkungan, 29

Permen ATR/Ka. BPN No. 1 Tahun 2018, 92, 95, 96,

97, 98, 100, 101, 102

Persetujuan Paris, 117

Pertalite, 3, 23

Pertamax, 3, 4, 23

Perubahan Iklim, 10, 19, 60, 63, 69, 70, 71, 73, 74, 77,

79, 80, 81, 85, 86, 87, 136

PLN, 119, 130

PLTB, 130, 133

PLTS, 126, 127, 130, 132, 133

PLTU Batubara, 126, 127, 128, 129, 130, 133, 134

Pluralitas, 88

Plyaromatic, 4

Policy, 1, 2, 6, 11, 12, 13, 16, 17, 19, 88

Polusi, 2, 4, 5, 15

Post-Positivist, 102

Praksis Aktif, 107, 109, 110

Premium, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 13, 14, 16, 21, 22, 23

Production Of Space, 88

Produksi, 4, 14, 15, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68,

69, 70, 74, 75, 76, 77, 78, 81, 83, 88, 90, 92, 99, 100,

103, 105, 106, 109, 110

Produksi Ruang, 88, 90, 105, 110

Program Review Perizinan Kegiatan Ekstraktif, 147

Prominen, 97

Protokol Kyoto, 8, 9

Putusan, 24, 26, 27, 32, 34, 35, 38, 40, 41, 43, 44, 45,

48, 59

R

Rasio Elektrifikasi, 122

Refleksif, 88, 109

Regulation, 1, 24

Rekayasa, 89

158

Rekayasa Konstan, 89

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM),

95

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), 95

Rencana Pembangunan Pertanian, 61

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), 98

Rencana Umum Energi Nasional, 119, 120, 123

Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional, 119

Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik, 119

Representasi, 90, 91, 99, 102, 104, 109

Residu, 3

Restriktif, 106

Rice, 60

RUKD, 120

RUKN, 119, 120, 124, 125, 126, 128, 129

Rumah Kaca, 3, 7, 8, 9, 10, 48, 73, 117, 118, 124, 125,

135

RUPTL, 119, 120, 124, 125, 126, 129, 130, 131, 132,

133, 135

S

Sains, 26, 27, 29, 30, 32, 35, 37, 38, 39, 42, 43, 53, 58,

99

Sartre, 109

Sawit, 45, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145,

146, 147, 148, 149, 150, 151, 153

Scientific Evidence, 2, 24

Scientific Method, 25

Security Of Demand, 125

Security Of Supply, 125

Sekolah Lapang Iklim

SLI, 75, 78, 82

Sel, 36

Semantik, 90, 94

Sinkronisasi, 139, 147, 149

Sosio-Spasial, 92, 93, 103, 105

Space As Conceived, 104

Space As Lived, 105

Space As Perceived, 104

Spatial Planning, 88

Specialised Knowledge, 25, 31, 32

Stakeholders, 12

Status Quo, 106

Suhu, 7, 10, 62, 69, 117

Sulfur, 4

Sumber Daya Energi, 119

Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan, 139, 140,

142, 143, 145, 146

Surplus, 68

Surya, 26, 123, 126, 129, 131

T

Tanah, 46, 47, 51, 65, 72, 96, 108, 140, 143, 144, 146

Teknologi Penanaman Tanpa Olah Tanah, 71

Temperatur, 46, 117

Tergugat, 34, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50

Thailand, 68

Thomas Lembong, 138

Titik Api, 45

Titik Panas, 45

Trajektori, 88

Transisi, 5, 149

Transportasi, 7, 10, 66, 97, 122

U

Udara, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 15, 22, 47, 62, 69

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, 91, 94

UNFCCC, 8, 9, 10

Uni Eropa, 2, 137

UNICEF, 15, 22

United Nations Framework Convention On Climate

Change, 8, 18, 117

Urbanisasi, 89

V

Valid, 12, 24, 25, 29, 31, 37, 39, 43, 46, 49, 50, 53

Validitas, 24, 37, 41, 42, 49, 54, 91, 96, 97

Valuasi, 51, 52, 53

Varietas Unggul, 71, 75

W

World Energy Council, 121, 122, 136

World-Wide Agreement, 8

159

Indeks Pengarang

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

Volume 05 Nomor 1 Oktober 2018

A

Agus Efendi, 1

Alia Yofira Karunian, 1

Astrid Debora S.M, 137

G

Grita Anindarini Widyaningsih, 117

H

Henri Subagiyo, 137

N

Ni Luh Putu Chintya Arsani, 1

P

Perdinan, 60

R

Ryco F. Adi, 60

S

Shafira Anindia Alif Hexagraha, 88

T

Tri Atmaja, 60

W

Windu Kisworo, 24

Woro Estiningtyas, 60

PEDOMAN PENULISAN

Term of Reference

Jurnal Hukum Lingkungan

Vol. V Issue 2, April 2019

Dinamika Politik terhadap Kebijakan

Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam

Latar Belakang

Salah satu catatan dalam pendekatan perumusan kebijakan berbasis kajian bukti

yang tepat (evidence based policy-making) adalah pentingnya untuk menganalisis

berbagai aspek ilmiah sebelum menentukan aturan main suatu kebijakan.

Dibutuhkan dukungan dari berbagai aktor yang berkepentingan langsung maupun

tidak langsung, ketersediaan data dan alat untuk menganalisis, kemampuan

menganalisis data, ruang partisipasi, serta keterbukaan informasi. Apabila seluruh

dukungan tersebut telah tersedia, dibutuhkan political will dari penguasa atau

pembuat kebijakan untuk menentukan arah kebijakan, pro perlindungan dan

pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam atau sebaliknya.

Momentum Pemilu 2019 menjadi sarana bagi kita untuk kembali mengevaluasi

pilihan kebijakan yang diambil pemerintah dan catatan untuk perbaikan pasca

perubahan periode pemerintahan. Berganti atau tidak pucuk pimpinan tertinggi di

Indonesia, dapat dipastikan akan tetap terjadi perubahan struktur organisasi dan

pemangku kepentingan setidaknya di beberapa sektor pemerintahan, termasuk

legislatif. Bagaimana dinamika politik yang telah dan akan terjadi mempengaruhi

kebijakan lingkungan hidup dan sumber daya alam?

Sebagai wadah akademik perdebatan hukum dan kebijakan lingkungan hidup,

JHLI mengundang akademisi dan praktisi hukum dan kebijakan lingkungan hidup,

untuk menyumbangkan gagasan mengenai Dinamika Politik terhadap Kebijakan

x

Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam. Redaksi menerima 3 (tiga) jenis tulisan:

(1) hukum lingkungan murni (aspek pidana/perdata/administrasi/hukum

internasional terkait lingkungan) dan kebijakan publik yang terkait dengan

lingkungan; (2) tinjauan hukum dari ilmu lingkungan yang bersifat teknis terhadap

kebijakan dan arah hukum yang ada; atau (3) politik hukum lingkungan.

Tema dan Topik

JHLI Volume 5 Nomor 2, April 2019 memuat tulisan yang mengangkat tema umum:

Dinamika Politik terhadap Kebijakan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam.

Beberapa topik yang dapat menjadi acuan dalam menyempitkan tema tersebut

adalah: (1) Pencemaran air, udara, tanah, dan bahan beracun berbahaya (B3); (2)

Pengelolaan sampah; (3) Perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati; (4)

Tata kelola hutan dan lahan; (5) Perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam

laut; (6) Kesehatan lingkungan dan hak asasi manusia; (7) Keadilan lingkungan; (8)

Tata ruang dan lingkungan hidup; (9) Perubahan Iklim; (10) Perikanan; (11)

Keterbukaan informasi; dan lain-lain.

Untuk setiap topik1, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih pertanyaan

kunci berikut:

1. Bagaimana permasalahan hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan

dalam tataran norma?

2. Bagaimana persoalan-persoalan yang dihadapi dalam mengimplementasikan

norma hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan?

1 Topik tidak bersifat wajib/mutlak, melainkan hanya sebagai panduan untuk mempermudah penulis dalam

memilih isu terkait. Penulis dapat memilih topik apa saja yang masih relevan dan masuk dalam ruang lingkup

tema besar.

xi

3. Bagaimana gagasan-gagasan dalam memperbaiki dan mengembangkan

hukum dan kebijakan terkait topik yang bersangkutan?

Prosedur Pengiriman

Untuk Volume 5 Nomor 2, April 2019, Penulis diharapkan mengirimkan abstrak

paling lambat 30 November 2018 dengan menyertakan (1) nama lengkap; (2) institusi

asal; (3) nomor telepon yang dapat dihubungi. Redaksi akan menghubungi penulis

yang naskahnya yang diterima. Naskah final diterima redaksi paling lambat 31

Januari 2019.

Abstrak maupun naskah artikel dapat dikirimkan melalui surat elektronik yang

ditujukan ke [email protected] dengan di-cc ke [email protected].

Pemilihan Tulisan

Pemilihan abstrak bersifat prosedural untuk menyaring artikel yang relevan dengan

aspek hukum dan kebijakan, dilakukan secara internal oleh para peneliti ICEL.

Redaksi akan menghubungi penulis yang abstraknya diterima.

Pemilihan tulisan akhir melalui penelaahan formil dan plagiarisme oleh Redaksi,

yang dilanjutkan dengan penelaahan substantif oleh Sidang Redaksi yang terdiri dari

para peneliti ICEL dan Mitra Bestari. Tulisan yang dimuat akan diberikan honorarium

yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat akan diberikan notifikasi dan

merupakan hak penulis sepenuhnya. Sidang Redaksi dapat meminta penulis untuk

melakukan perbaikan substansi maupun teknis terhadap tulisannya.

xii

Persyaratan Formil

A. Umum

Naskah harus ditulis dalam Bahasa Indonesia, belum pernah dipublikasikan, atau

dalam pertimbangan dimanapun. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan

ilmiah/seminar/lokakarya namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk

prosiding, perlu disertai keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan

kaki. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan

keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah daftar

pustaka.

B. Badan Naskah

1. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan margin

tepi dalam 3 cm, tepi luar 2 cm, atas 4 cm, dan bawah 3 cm. Tulisan

menggunakan huruf Book Antiqua berukuran 12 pt, spasi satu setengah (1,5)

tanpa spasi antar paragraf, dengan panjang naskah 4000-5000 kata.

Subjudul harus mengikuti, kaidah sebagai berikut:

a. Tingkat satu: angka romawi kapital (I, II, III, …);

b. Tingkat dua: alfabet kapital (A, B, C, …);

c. Tingkat tiga: angka arab (1, 2, 3, …);

d. Tingkat empat: alfabet kecil (a, b, c, …);

e. Tingkat lima: angka romawi kecil (i, ii, iii, …).

Sementara itu, pengaturan heading harus mengikuti, kaidah berikut:

a. Heading 1: Judul

b. Heading 2: Abstrak, subjudul tingkat 1 (I, II, III, dst), Daftar Pustaka,

dan Daftar Tabel/Gambar

c. Heading 3: subjudul tingkat 2 (A, B, C, dst)

d. Heading 4: subjudul tingkat 3 (1, 2, 3, dst)

2. Subjudul pertama harus berisi Pendahuluan dan terakhir berisi Penutup.

3. Kalimat pertama setiap paragraf harus menjorok ke dalam/first line sejauh

lima ketikan atau 0,75cm.

4. Kutipan langsung kurang dari 20 kata harus ditempatkan dalam paragraf

dengan menggunakan tanda kutipan (“........”). Sedangkan kutipan langsung

lebih dari 20 kata harus ditempatkan terpisah dari paragraf dengan margin kiri

1,27 cm, rata kanan kiri, dengan huruf miring dan jarak satu spasi.

C. Catatan Kaki

xiii

1. Semua kutipan, tabel, dan/atau gambar harus mencantumkan referensi,

dengan catatan kaki format Chicago yang menjorok ke dalam/first line sejauh

lima ketikan atau 0,75 cm, sebagaimana contoh berikut ini:

Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge: Cambridge

University Press, 2007), hlm. 342-344;

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan ke-8,

Edisi ke-5, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 201-

208;

Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur der

Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni, 2003),

hlm. 7;

“Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak,” Sinar Harapan,

15 Januari 2014;

Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”,

http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

2. Sementara jika terjadi pengulangan sumber referensi maka menggunakan Ibid.,

untuk referensi yang dirujuk kembali secara berurutan dan op. cit. untuk

referensi yang dirujuk kembali secara tidak berurutan, kemudian ditambahkan

informasi nomor halaman jika berbeda halaman.

D. Daftar Pustaka

Daftar pustaka ditulis pada akhir naskah, dengan judul “DAFTAR PUSTAKA,”

ditulis dalam huruf Book Antiqua 12, spasi satu setengah (1,5), format

menggantung/hanging, dan alfabetis. Jika sumber beragam, maka harus

dikelompokan menjadi:

a) Peraturan perundang-undangan

b) Putusan Pengadilan

c) Buku

d) Artikel jurnal/media massa

xiv

e) Lain-lain

Adapun contoh penulisan Daftar Pustaka adalah sebagai berikut:

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU

No. 32 Tahun 2009. LN No. 140 Tahun 2009. TLN No. 5059.

Indonesia. Menteri Lingkungan Hidup. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau

Kerusakan Lingkungan Hidup. No. 7 tahun 2014.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata [Het Herzein Inlandsch

Reglement/Reglemen Indonesia yang Diperbaharui], diterjemahkan oleh Tim

Visi Yustisia. Jakarta. Visi Media Pustaka, 2015.

Putusan pengadilan

Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr.

Mahkamah Agung, Putusan No. 651 K/PDT/2015.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan No. 456/Pdt.G-LH/2016/PN.Jkt. Sel.

Buku

Dewiel, Boris. “What is the People? A Conceptual History of Civil Society,” dalam

Democracy, A History of Ideas. Vancouver: University of British Columbia

Press. 2000.

Sands, Phillipe. Principles of Environmental Law. Cambridge: Cambridge University

Press. 2007.

Artikel Jurnal/Media Massa

Rahayu, Muji Kartika. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi: Analisis Putusan

MK tentang UU Komisi Yudisial,” Jurnal Konstitusi, Vol. 3, No. 3,

September 2006.

Sinar Harapan. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”. 15 Januari

2014.

xv

Lain-Lain

Burchi, Tefano. “Current Developments and Trends in Water Resources

Legislation and Administration”. (disampaikan pada the 3rd Conference of

the International Association for Water Law (AIDA). Alicante, Spain:

AIDA, 11-14 Desember 1989.

Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia,

http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

xvi