Jurnal Hasil Print
-
Upload
alwanzaenuri4 -
Category
Documents
-
view
159 -
download
4
Transcript of Jurnal Hasil Print
PENERAPAN THERAPI PSIKORELIGIUS UNTUK MENURUNKAN TINGKAT STRESS PADA PASIEN HALUSINASI
DI RUANG DAHLIA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
TAHUN 2013
Oleh :ALWAN ZAENURIAGUS HARIADI
SUDIRMANRIRIT ANDE DUANA
SRI HASTUTI WIDIYA R(MAHASISWA PROFESI NERS STIKES YARSI MATARAM)
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan jiwa adalah bagian internal dari upaya kesehatan yang
bertujuan menciptakan perkembangan jiwa yang sehat secara optimal
baik intelektual maupun emosional (Kusumawati dan hartono, 2011).
Menurut yosep (2007), masalah kesehatan jiwa mempunyai lingkup yang
sangat luas dan kompleks yang saling berhubungan satu dengan yang
lainnya. Apabila individu tidak bisa mempertahankan keseimbangan atau
kondisi mental yang sejahtera, maka individu tersebut akan mengalami
gangguan dan apabila gangguan tersebut secara psikologis maka akan
mengakibatkan individu mengalami gangguan jiwa.
Dalam masayarakat umum skizofrenia terdapat 0,2-0,8 % dan
retardasi mental 1-3 %. WHO melaporkan bahwa 5-15% dari anak-anak
antara 3-15 tahun mengalami gangguan jiwa. Pada skizofrenia terdapat
90% mengalami Halusinasi, Halusinasi timbul tanpa penurunan
kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai
pada keadaan lain (Maramis 2005).
Halusinansi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam
membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan
eksternal(dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang
lingkungan tanpa ada obyek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh
1
klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yyang
berbicara (kusumawati & hartono 2011).
Kondisi untuk meminimalisi komplikasi atau dampak dari
Halusinasi membutuhkan peran perawat yang optimal dan cermat untuk
melakukan pendekatan dan membantu klien untuk memecahkan masalah
yang dihadapinya dengan memberikan penatalaksanaan untuk mengatasi
Halusinasi. Penatalaksanaan yang diberikan antara lain meliputi
farmakologis dan nonfarmakologis. Penatalaksanaan farmakologis antara
lain pemberian obat-obatan antipsikotik. Penatalaksanaan
nonfarmakologis dari Halusinasi meliputi pemberian terapi-terapi antara
lai terapi modalitas.
Terapi modalitas adalah terapi dalam keperawatan jiwa, dimana
perawat mendasarkan potensi yang dimiliki pasien sebagai titik tolak
terapi atau penyembuhan. Ada beberapa jenis terapi modalitas antara lain
terapi individual, terapi lingkungan, terapi biologis, terapi kognitif, terapi
keluarga perilaku dan bermain (Yosep, 2007)
Pada tahun 1984 WHO memasukkan dimensi spiritual keagamaan
sama pentingnya dengan dimensi fisik, psikologis dan psikososial.
Seiring dengan itu terapi yang dilakukanpun mulai menggunakan
dimensi spiritual keagamaan sebagai bagian dari terapi modalitas
(Yosep,2007).
Salah satu bentuk terapi religious ini antara lain terapi shalat dan
dzikir. Jika dzikir yang di lapalkan dengan baik dan benar sesuai aturan
dalam ilmu tajwid dan dipahami, di hayati maknanya disertai dengan
kesungguhan (Wibisono, 1985 dalam Yosep, 2007)
Terapi religis pada kasus gangguan kejiwaan ternyata membawa
manfaat. Angka rawat inap pada klien gangguan jiwa skizofrenia yang
mengikuti kegiatan keagamaan lebih rendah bila di bandingkan dengan
mereka yang tidak mengetahuinya (Chu dan Klien, 1985 dalam Yosep
2007)
Dari phenomena di atas peneliti tertarik untuk mengkaji dan
membuktikan secara ilmiah tentang bagaiman penerapan therapy
2
psikoreligius dalam menurunkan tingkat stress pasien Halusinasi oleh
perawat di ruang Dahlia Rumah Sakit Jiwa Provinsi Nusa Tenggara
Barat.
1.2 Rumusan Maslah
Melihat fenomena latar belakang diatas, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah sejauh mana tingkat keberhasilan dari penerapan
therapy psikoreligius terhadap penurunan tingkat stress pasien Halusinasi
oleh perawat di Ruang Dahlia RSJ Provinsi NTB.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui penerapan therapy psikoreligius
terhadap penurunan tingkat stress pasien Halusinasi di Ruang
Dahlia RSJ Provinsi NTB tahun 2013.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi penerapan therapy psikoreligius terhadap
penurunan tingkat stress pasien Halusinasi di Ruang Dahlia
RSJ Provinsi NTB tahun 2013.
2. Menganalisa penerapan therapy psikoreligius terhadap
penurunan tingkat stress pasien Halusinasi di Ruang Dahlia
RSJ Provinsi NTB tahun 2013.
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Kesehatan Jiwa
2.1.1 Definisi Kesehatan Jiwa
Menurut UUD No.03 tahun 1966, tentang kesehatan jiwa.
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan
perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari
seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan
orang lain (Kusumawati, 2011). Sedangkan menurut WHO kesehatan
jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan
keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan
kedewasaan keperibadiannya (direja, 2011). Seseorang yang sehat
jiwa memiliki cirri fisik sebagai berikut :
1. Merasa senang terhadap dirinya serta :
a. Mampu menghadapi situasi
b. Mampu mengatasi kekecewaan dalam hidup
c. Puas dengan kehidupannya sehari-hari
d. Mempunyai harga diri yang wajar
e. Menilai dirinya secara realistis, tidak berlebihan dan tidak
pula merendahkan.
2. Merasa nyaman berhubungan dengan orang lain serta :
a. Mampu mencintai orang lain
b. Mempunyai hubungan pribadi yang tetap
c. Dapat menghargai pendapat orang lain yang berbeda
d. Merasa bagian dari suatu kelompok
e. Tidak “mengakali” orang lain dan juga tidak membiarkan
orang lain “mengakali” dirinya.
3. Mampu memenuhi tuntutnan hidup serta :
a. Menetapkan tujuan hidup yang realistis
b. Mampu mengambil keputusan
c. Mampu menerima tanggung jawab
d. Mampu merencanakan masa depan
e. Dapat menerima ide dan penglaman baru
4
2.1.2 Perawat
2.1.2.1 Definisi Perawat
Perawat adalah seseorang yang tealah
menyelesaikan program pendidikan keperawatan,
berwenang di Negara bersangkutan unutk memberikan
pelayanan dan bertanggung jawab dalam peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap
pasien. ( council of nursing 1965)
Menurut undang-undang RI no. 23 tahun 1992
menyatakan bahwa perawat seseorang yang memiliki
kemampuan serta keterampilan dan mempunyai
kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan
ilmu yang di milikinya, yang di proleh melalui pendidikan
perawatan.
2.1.2.2 Peran Perawat
Peran perawat menurut CHS (consorsium Higt
Science ) 1989 dalam nurhasanah (2010) adalah tingkah
laku yang di harapkan oleh seseorang terhadap orang lain
dalam suatu system, antara lain:
1. Pemberi asuhan keperawatan
2. Pembela pasien
3. Pendidik tenaga perawat dan masyarakat
4. Coordinator dalam pelayanan pasien
5. Kolaborator dalam Pembina kerja sama dengan
profesi lain dan sejawat
6. Konsultan atau penasehat pada tenaga kerja dan
pasien
7. Pembaharu system, metodologi, dan sikap
5
Peran perawat menurut lokakarya tahun 1983
adalah:
1. Pelaksana pelayanan keperawatan
2. Pengelola pelayanan keperawatan dan institusi
pendidikan
3. Pendidik dalam keperawatan
4. Peneliti dan pengembng keperawatan
2.1.2.3 Fungsi Perawat
Fungsi perawat adalah pekerjaan yang harus di
laksanakan sesuai dengan peranannya. Tujuh fungsi
perawat menurut phaneuf (1972) anatara lain
1. Melaksanakan instruksi dokter ( fungsi dependen)
2. Observasi gejala dan respons pasien ang
berhubungan dengan penyakit dan penyebabnya
3. Memantau paisen, menyusun dan memperbaiki
rencana keperawatan secara terus menerus
berdasarkan pada kondisi dan kemampuan pasien
4. Mencatat dan melaporkan keadaan pasien
5. Melaksanakan prosedur dan tehnik keperawatan
6. Supervise semua pihak yang ikut terlibat dalam
perawatan pasien
7. Memberikan pengarahan dan penyuluhan unutk
meningkatkan kesehatan fisik dan mental
( nurhasanah, 2010)
2.2 Konsep Dasar Halusinasi
2.2.1 Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa adanya
rangsangan dari luar. Walaupun tampak sesuatu yang khayal
Halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental
penderita yang ‘tersepsi’ Halusinasi dapat terjdi karena dasar-dasar
organic fungsional, psikotik, maupun histeik. ( yosef, 2007)
6
Halusinasi adalah sensasi panca indra, tanpa adanya
rangsangan. Klien merasa melihat, mendengar, membau, dan ada
rasa kecap meskipun tidak ada suatu rangsangan yang tertuju pada
ke lima indra ( damaiyanti, 2008)
2.2.2 Penyebab Halusinasi
Menuruf yosef (2007) penyebab Halusinasi ada factor
predisposisi dan factor presifitasi
1. Factor Predisposisi
a. Genetic
b. Neurobiology
c. Neurotransmitterd. Abnormal perkembangan saraf
e. Psikologis
2. Paktor Presifitasi
a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan
b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal
c. Adanya gejala pemicu
2.2.3 Tahapan Halusinasi
Menurut direja (2011) Halusinasi melalui empat fase , yaitu
sebagai berikut :
1. Fase 1 (no-psikotik)
Pada tahap ini, Halusinasi mampu memberikan rasa nyaman
pada klien, tingkat orientasi sedang, secara umum pada
tahap ini Halusinasi merupakan hal yang menyenangkan
bagi klien.
2. Fase II ( non-psikotik)
Pada tahap ini, biasanya klien bersikap menyalahkan dan
mengalami tingkat kecemasan berat. Secara umum
Halusinasi yang ada dapat menyebab kan antipasti
3. Fase III (psikotik)
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya seniri,
tingkat kecemasan , dan Halusinasi tidak dapat di tilak lagi
7
4. Fase IV (psikotik)
Klien sudah sangat menguasai hlusinasi dan biasanya klien
kelihatan panic. Prilaku yang muncul : resiko tinggi
mencedarai, agitasi/ kataton, tidak mampu merespon
rangsangan yang ada.
2.2.4 Tindakan Keperawatan Pasien dengan Halusinasi
Ada 5 tindakan keperawatan ps dengan Halusinasi menurut
damaiyanti, (2011).
1. Membina hubungan saling percaya perawat-kliena. Sapa klien dengan ramah baik verbal dan non verbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dengan nama panggilan
yang disukai
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
2. Klien dapat mengenali Halusinasi
a. Adakan kontak yang sering dan singkat secara lengkap
b. Bantu klien mengenali Halusinasi
c. Jika menemui klien yang Halusinasi, tanyakan apakan ada
suara yang didengar
d. Jika klien menjawab ada, lanjutkan apa yang dikatakan.
e. Katakana bahwa perawat percaya klien mendengar suara
itu, namun perawat sendiri tidak mendengarnya.
f. Katakana bahwa klien lain juga ada seperti klien
g. Katakana perawat akan membantu klien.
3. Klien dapat mengontrol Halusinasi
a. Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan
jika terjadi Halusinasi (tidur, marah, menyibukkan diri,
dll)
b. Diskusikan manfaatcara yang dilakukan klien, jika
bermanfaat beri pujian.
c. Diskusikan cara baru untuk memutus / mengontrol
timbulnya Halusinasi
8
d. Bantu klien memilih dan melatih cara memutuskan
Halusinasi secara bertahap.
e. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih.
Evaluasi hasil dan beri pujian jika berhasil.
f. Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok
orientasi realistis, stimulus persepsi.
4. Klien dapat dukunga dari keluarga dalam mengontrol
Halusinasi
a. Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga jika
mengalami Halusinasi
b. Diskusikan dengan keluaraga, gejala Halusinasi yang
dialami klien cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga
untuk memutuskan Halusinasi, cara merawat anggota yang
halusisnasi dirumah beri kegiatan jangan biarkan sendiri.
5. Klien memanfaatkan obat dengan baik
a. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosisi,
prekuensi, manfaat obat
b. Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat dan
merasakan manfaatnya
c. Anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan
efek samping obat yang dirasakan
d. Dikusikan akibat berhenti obat-obatan tnpa konsultasi
2.3 Terapi Modalitas
2.4.1 Definisi Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan
jiwa. Terapi ini diberikan dalam upaya merubah prilku pasien dan
prilaku yang maladaptive menjadi prilku adaftip ( husmawati dan
hartono 2012).
Menurut direja (2011) terapi modalitas bertujuan agar pola
prilaku atau kepribadian seperti keterampilan koping, gaya
komunikasi dan tingkat harga diri secara bertahp dapat
berkembang.
9
2.4.2 Jenis- Jenis Terapi Modalitas
Ada beberapa jenis terapi modalita, menurut dahlia, (2009)
antara lain:
1. Terapi individual
2. Terapi lingkungan\
3. Terapi biologis
4. Terapi kognitif
5. Terapi keluarga
6. Terafi kelompok
7. Terapi prilaku
8. Terapi bermain
9. Terapi psikoreligius/spiritual
2.4.3 Terapi Psikoreligius
Menurut wicaksan, (2012) untuk terapi spiritual gangguan
mental bias dibagi dua golongan besar saja, yaitu nonpsikotik dan
psikotik. Untuk nonpsikotik banya k jenisnya, seperti gangguan
cemas, gangguan somatopor, defresi, gangguan kepribandian dll.
Sedangkan gangguan psikotik adalah schizophrenia (5 tipe),
gangguan afektip berat denga gejala psikotik (dipolar manic dan
depresi berat, schizo afektif, psikosis polimopi akut, gangguan
waham menetap, psikosis non oraganik lainnya dan gangguan
psikotik organic.
Salah satu bentuk terapi spiritual atau terapi religious ini
antara lain terapi sholat dan dzikir. Dalam terapi shlat ini semua
gerakan, sikap dan prilaku dalam shlat dapat melemaskan otot yang
kaku, mengendorkan tegangan system syaraf, menata dan
mengkonstruksi persendian tubuh, sehigga mampu mengurangi
dampak positif terhadap kesehatan saraf dan tubuh jika dzikir yang
dilapalkan secara baik dan benar esuai aturan dalam ilmu tajwid
dan dipahami arti dan hayati maknannya disertai kesungguhan
(wibisono, 1985 dalam Yosep, 2007).
10
Dzikir dan bacaan dalam shlat membuat hati seseorang
menjadi tenang. Keadaan tenang dan rileks mempengaruhi kerja
system syaraf dan endokrin. Pada orang yang stress dan tegang,
cortex adrenal akan terangsang untuk mensekresi cortisol secara
berlebihan sehingga terjadi peninggkatan metabolism tubuh secara
mendadak, apa bila hal ini berlangsung lama maka akan
menurunkan system imunitas tubuh. Dengan bacaan do’a dan
berdzikir orang akan menyerahkan segala permasalahan kepada
Allah SWT, sehingga bebean stress yang dihimpitnya mengalami
penurunan. Yosep(2007).
Manfaan komitmen agama tidak hanya dalam penyakit
pisik, tetapi juga dibidang kesehatan jiwa. Dua studi epidemiologic
yang luas telah dilakukan terhadap penduduk. Untuk mengetahuai
sejauh mana penduduk menderipa psychological distress. Dari
studi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa makin religious maka
makin terhindar kalian dari setres linein (1970) dalam Yosep
(2007).
Kegiatan keagamaan atau ibadah atau shlat menurunkan
gejala psikeatrik, riset yang lain menyebutkan bahwa menurunya
kunjungan ketempat ibadah meninggkatkan jumlah bunuh diri di
USA, kesimpulan dari berbagai riset bahwa religiussitas mampu
mencegah dan melindungi dari penyakit kejiwaan, mengurangi
penderitaan meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan.
(Mahone et. All, 1085dalam yosep 2007).
11
Input DokterObat-obatanFasilitas lain
OutputPasien Halusinasi dapat mengontrol stress dengan terapi spiritual
ProsesPenerapan terapi spiritualDzikir
3. KERANGKA PIKIR
Berdasarkan tinjauan kepustakaan yang telah dikemukakan
sebelumnya maka yang akan diteliti adalah penerapan terapi psikoreligius
dalam menurunkan tingkat setres dalam pasien halausinasi oleh perawat
dirawai inap di ruang Dahlia RSJ Provensi NTB. Kerangka pikir ini dalam
menetapkannya menggunakan pendekatan teori system diambil dari aziz
(2007) yang terdiri dari input, peruses dan output. Dari uraian diatas maka
kerangka pikir yang diajukan dalam penelitian ini dengan modipikasi pada
teori adalah terlihat pada bagan.
Gamaba 3.1 Kerangka Pikir
Keterangan
= Area yang diteliti
4. METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain studi kualitatif dengan
meggunakan pendekatan pengamatan dan diskusi yang cermat dan
mendalam pada responden atau pasien untuk mendapatkan informasi
mengenai tingkat keberhasilan terapi psikoreligius pada klien Halusinasi
oleh perawat diruangan Dahlia RSJ Provensi NTB (Fanada, 2012).
4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan diruang Dahlia RSJ Provensi NTB. Penelitian
dilaksanakan pada 11-13 Desember 2013.
12
4.3 Cara Pengumpualan Data
Informasi dikumpulakan dengan menggunak wawancara
mendalam (indepth interview) dan observasi. Wawancara medalam
merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi. Dengan cara
langsung bertatap muka dengan informan. Dengan maksud mendaptkan
gambaran lengkap dengan topic yang diteliti (sugiono, 2009). Informasi
di kumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam.
4.4 Pengelolaan Data Dan Jenis Keabsahan Informasi
Informasi yang didapatkan adalah informasi primer, karena peneliti
langsung memperoleh data dari sumber informasi yaitu lien dengan
Halusinasi. Untuk pengelolaan data dari hasil wawancara mendalam
dengan pasien dilkakukan:
1. Mengumpulkan catatan
2. Menyusun atau membuat traskrip
3. Interprestasi data
5. HASIL PENELITIAN
5.1 Kateristik Responden/Pasien
1. Umur
Distribusi pasien terhadap 7 pasien Halusinasi yang di rawat di ruang
dahlia rumah sakit jiwa provinsi NTB terlihat dalam table sebagai
berikut :
No Nama pasien Umur1234567
Nn.StNy.MrNy.HmNy.SnNy.SyNy.NNn.S
18 tahun48 tahun16 tahun32 tahun42 tahun25 tahun23 tahun
13
2. Pendidikan
No Nama pasien Pendidikan
1234567
Nn.StNy.MrNy.HmNy.SnNy.SyNy.NNn.S
SMPSMASDSDSD
SMPSD
5.2 Hasil Observasi
5.2.1 Pasien Nn.St
Dari hasil observasi pada pasien “St” untuk terapi dzikir,
peneliti mendapatkan hasil bahwa sebelumnya pasien melakukan
dzikir, pasien mengatakan bahwa pasien merasa gelisah, tidak
tenang, pasien tampak sedang melamun, terkadang sperti bicara
sendiri dan merasa takut. Setelah di lakukan terapi dzikir pasien
mengatakan bahwa perasaannya sudah tenang, tidak takut lagi dan
merasa tidak gelisah.
Pasien juga mengatakan bahwa selain berdzikir ia juga
berdo’a tetapi lebih khusus di tunjukan kepaada orang tua dan
orang yang di rumah
5.2.2 Pasien Ny.Mr
Untuk terapi dzikir, pasien “Mr” mengatakan bahwa ia
sering berdo’a untuk keluarga dan diri sendiri. Sebelumnya pasien
M juga mengatakan bahwa jika terlalu lama dan terlalu khusuk
berdzikir dengan dzikirulloh pasien akan merasa dirinya banyak
di datangi setan dan pasien tampak gelisah. Pasien jarang
berdzikir dengan alasan yang di atas. Dengan demikian dapat di
simpulkan bahwa terapi dzikir pada pasien “M” kurang
optimal/maksimal.
5.2.3 Pasien Ny.Hm
Saat peneliti bertanya pada pasien terapi dzikir apakah
pasien sering berdo’a dan berdzikir, pasien menjawab pernah, dan
14
do’a yang di baca adalah do’a untuk orang tuanya. Dengan
demikian dapat di ketahui bahwa pengetahuan pasien tentang
dzikir La illaha illallah dan Astagfirullahal’adzim masih terbatas.
5.2.4 Ny.Sn
Pada pasien “Sn”, sebelum di lakukan terapi dzikir di
ruangan, klien mengatakan bahwa sedang bingung, gelisah.
Pasien tampak selalu melamun, seperti berbicara sendiri dan lebih
melamun sendiri, tatapan mata pasien kosong dan pasien bersikap
apatis/atau acuh tak acuh terhadap orang di sekitarnya. Kemudian
setelah di lakukan terapi dzikir diruangan Dahlia pasien tampak
lebih tenang dan rileks, tetapi pasien hanya berbicara sebentar
saja.
5.2.5 Ny.Sy
Sedangkan pasien “Sy” sebelum dilakukan terapi dzikir
paien mengatakan bahwa pasien tidak tenang, dan pasien tanpak
gelisah. Dari perkataan pasien, dapat di ketahui pasien sedang
dalam keadaan Halusinasi dan stress. Setelah di lakukan diskusi
dengan pasien, pasien bersedia untuk melakukan terapi dzikir di
ruangan. Setelah dilakukan terapi dzikir ini, pasien menjawab
bahwa perasaannya sekarang sudah jauh lebih tenang dan rileks,
pasien tampak senang dan tenang, dan apa yang di bicarakan nya
sesuai dengan kenyaatannya
5.2.6 Ny.Nr
Dari hasil obseravsi pada “Nr” untuk terapi dzikir peneliti
mendapatkan informasi bahwa ia kurang mengetahui terapi dzikir
La illaha illallah dan Astagfirullahal’adzim. Hal ini tampak ketika
obseravsi, pasien mengatakan bahwa meskipun telah mengikuti
terapi tetapi pasien tetap gelisah dan merasa tidak tenang dan
tetap menyendiri.
5.2.7 Nn.S
Dari hasil observasi pada pasien “S” untuk terapi dzikir,
peneliti mendapatkan data bahwa sebelum pasien melakukan
15
dzikir, pasien mengatakan bahwa tidak gelisah, tidak tenang,
pasien tampak sedang melamun, terkadang sperti bicara sendiri
dan merasa takut. Setelah di lakukan terapi dzikir paisen
mengatakan bahwa perasaan telah tenang, tidak takut lagi dan
tidak gelisah.
Pasien juga mengatakan bahwa selain berdzikir ia juga
berdo’a tetapi lebih khusus di tunjukan kepaada orang tua dan
orang yang di rumah
6. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil wawancara mendalam serta hasil observasi pasien
setelah mereka terapi dzikir, pasien juga memanjatkan do’a. Ketika di
tanyakan kepada pasien tentang do’a apa yang di panjatkan, mereka
menjawab bahwa, mereka berdo’a untuk keluarga dan orang tua. Selain itu,
setelah melakuakan therapy dzikir, sebagaian besar pasien/klien mengatakan
merasa tenang, dan tidak gelisah lagi.
Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh dr.Arman
Yurisaldi Saleh yang mengungkapkan phenomena ini melakukan pendekatan
ilmiah neuro science. Beliau adalah spisialis saraf sekaligus seorang klnisi
yang sering menangani dan sering menerima konsultasi penyakit-penyakit
saraf. Berdasarkan pengalaman, di dukung pengamatan langsung kepada
pasien dan disertai studi literature yang serius, dr.Yurisaldi akhirnya sampai
pada kesimpulan adanya hubungan yang erat antara pelafalan huruf
(Maharajjul huruf pada bacaan dzikir la illaha illallah dan Astagfirullah
dengan tampilan klinis kondisi fisik dan psikis) seseorang yang membacanya.
Dzikir yang berdampak positif terhadap kesehatan saraf dan tubuh ini
tentu saja adalah dzikir yang dilapalkan secara baik dan benar, sesuai aturan
dalam ilmu tajwid dan di pahami arti dan di hayati maknanya di sertai dengan
kesungguhan. Dari kajian ilmu tajwid (ilmu yang mempelajari cara membaca
Al-Qur’an), penulis ini mengetahui bahwa kalimat dzikir La illaha illallah dan
Astagfirullah mengandung dampak yang luar biasa. Dalam La illaha illallah
terdapat huruf jahr yang di ulang sebanyak 7 kali, yaitu huruf Lam, dan
Astagfirullah terdapat huruf Ghain, ra, dan dua buah lam. Dari kedua kalimat
16
dzikir itu maka ada empat huruf jahr yang harus di lapalkan secara keras atau
jelas. Hasilnya adalah bahwa udara yang keluar dari paru-paru melalui mulut
akan lebih banyak keluar di bandingkan dari kalimat dzikir yang lain, seperti
Subhanallah (dua huruf jahr) Allahuakbar (tiga huruf jahr) dan Alhamdulilah
(tiga huruf Jahr). (Hendra, 2011).
Di tinjau dari segi medis dan klinis, jika kita melapalkan kalimat dzikir
La illaha illallah dan Astagfirullah secara benar sesuai tajwid berarti kita
sedang mengeluarkan karbodioksida lebih banyak saat udara di hembuskan
keluar mulut, di bandingkan kita melapalkan kalimat dzikir yang
mengandung lebih sedikti huruf jahr. Kalimat dzikir yang lain tetap
bermanfaat dan memberikan ketenangan. Dampak sehatnya, ketika seseorang
melakukan dzikir secara intens dan khusuk seraya menghami dan menghayati
artinya, pembuluh darah di otak akan membuat aliran karbondioksida yang
keluar dari pernapasan menjadi lebih banyak. Karena karbondioksida pun
akan menurun dengan teratur. Sehingga tubuh pun akan segera menampilkan
kemampuan reflex konpensasi, rileks.
Sedangkan berdasarkan data yang didapat dari hasil observasi,
kegiatan terapi dzikir ini bisa di laksanakan secara optimal.ini terbukti dari 5
dari 7 pasien Halusinasi setelah melakukan terapi dzikir ini mereka
mengatakan bahwa hatinya lebih tenang, tidak gelisah dan ada kegiatan yang
dilakukan sehingga psien tidak suka bicara sendiri dan melihat sesuatu yang
membuat mereka jadi takut.
Dengan demikian peneliti berasumsi bahwa untuk pelaksanaan terapi
dzikir ini harus di lakukan secara rutin, di ruang Dahlia RSJ Provinsi NTB
agar bisa menurunkan tingkat stres pada pasien Halusinasi.
17
7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
7.1.1 Dari hasil wawancara mendalam dan observasi terhadap ke-7
pasien di dapatkan kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan terapi
dzikir untuk menurunkan tingkat stress pada pasien Halusinasi
di ruang Dahlia sudah optimal.
7.1.2 Dari hasil wawancara mendalam dan observasi yang telah di
lakuakan terhadap pasien, sebelum mereka berdo’a perasaan
mereka gelisah yang di tandai dengan ekspresi wajah pasien
tampak kebingungan dan tidak tenang. Sesudah berdo’a di
dapatkan data subjektif pasien yaitu sebagian besar pasien
mengatakan bahwa setelah berdo’a perasaan mereka jauh lebih
tenang, data obyektif juga menunjukkan pasien tampak lebih
rileks dan tenang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
dalam pemberian terapi dzikir dapat mengurangi tingkat stress
pasien Halusinasi.
7.2 Saran
7.2.1 Bagi Rumah Sakit
Di harapkan dari pihak Rumah Sakit Jiwa Prov.NTB untuk
dapat memberikan penyuluhan langsung kepada pasien tentang
terapi Religius khususnya terapi dzikir. Sehingga akan tercipta
kesehatan yang holistic atau menyeluruh untuk pasien di RSJ
Prov.NTB
7.2.2 Perawat
Diharapkan perawat mendominankan perannya sebagai pemberi
asuhan dan pendidik bagi pasien dengan memberikan asuhan
keperawatan yang holistic, psiko dan spiritual sehingga hal ini
dapat membantu pasien merasa nyaman dan mengurangi
lamanya waktu rawat inap pasien. Perawat juga harus
meningkatkan pengetahuannya tentang terapi religius khususnya
dzikir untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien.
18
7.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan bagi peneliti lain untuk meneruskan penelitian ini
tentang pemberian terapi religious khususnya dzikir untuk
menurunkan tingkat stress pada pasien dengan Halusinasi.
19