Jurnal HAM

download Jurnal HAM

of 163

Transcript of Jurnal HAM

Vol. 4 No. 4 Th. 2007ISSN 1693-6027

JURNAL HAM2007

Diterbitkan oleh : KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA 2007JURNAL HAM Vol. 4 No. 4 Th. 2007

i

JURNAL HAMKomisi Nasional Hak Asasi Manusia Semua artikel dalam Jurnal HAM ini dapat digandakan untuk keperluan pemajuan hak asasi manusia dengan menyebutkan sumbernya. Pemberitahuan akan sangat dihargai.

Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi

: Yoseph Adi Prasetyo Saharudin Daming : Atikah Nuraini

Redaktur Pelaksana : S.M.Gusrini Tambunan Dewan Redaksi : Rusman Widodo Kurniasari Novita Dewi Sasanti Amisani : Banu Abdillah : J. Eddy Juwono : J. Eddy Juwono

Distribusi Rancangan sampul Tata Letak

162 halaman, 16 x 24 cm

Diterbitkan oleh

: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) JL. Latuharhary No. 4 B Menteng Jakarta 10310 Tel. +62-21-3925230 ext 218/219 Fax. +62-21-3912026 Email: [email protected] Website: http://www.komnasham.go.id : Perkumpulan OmegaJURNAL HAM Vol. 4 No. 4 Th. 2007

Dicetak oleh

ii

Daftar Isi

Editorial .................................................................................................... Yosep Adi Prasetyo Kovenan HAM Internasional : Pandangan Umum mengenai Signifikasi dan Perkembangan ................................................................ Henry Simarmata Pelaksanaan ICCPR dan ICESCR dalam Konteks Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 2004-2009 ........................... Adhi Santika Bukan Sekedar Menandatangani: Obligasi Negara Berdasarkan Kovenan Hak Ekosob ............................................................................... A. Patra M. Zen dan Andik Hardiyanto Kewajiban Negara dalam ICCPR ............................................................ Jonny Sinaga Prospek dan Tantangan Implementasi ICCPR ....................................... Hendardi Hak Asasi Manusia di Dunia yang Terglobalisasi : Paradoks Janji-janji Kosong .................................................................... Emilie M. Hafner-Burton & Kiyoteru Tsutsui

1

4

12

22

38

48

68

Lembar Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 30 Sistem Perjanjian Hak Asasi Manusia: Pengantar terhadap Perjanjian Hak Asasi Manusia Utama dan Badan-Badan Perjanjian .......................................................................... 102 Resensi Buku ............................................................................................ 152 Tentang Penulis ........................................................................................ 155

JURNAL HAM Vol. 4 No. 4 Th. 2007

iii

iv

JURNAL HAM Vol. 4 No. 4 Th. 2007

EditorialYosep Adi Prasetyo* Memperbaiki kualitas hidup manusia Indonesia kini bukan sekadar slogan saja. Atau sekadar janji-janji kampanye pada saat menjelang pemilihan presiden. Pemerintah tak boleh lagi berleha-leha menjalankan tugas-tugasnya, tapi harus bekerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 45 yaitu mewujudkan negara yang adil-makmur berdasarkan Pancasila. Tentunya ini bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Pada 2005, United Nation Development Program (UNDP) mengumumkan temuan mereka akan kemajuan berbagai negara dalam mensejahterakan masyarakatnya yang ditunjukkan melalui Human Development Index (HDI). Dalam catatan UNDP, HDI Indonesia adalah sebesar 0,692 dan berada di urutan 111. Negara yang memiliki HDI tertinggi dan berada di urutan satu adalah Norwegia. Disusul oleh Swedia (urutan 2) dan Australia (urutan 3). Yang mengejutkan adalah negara sosialis yang mengalami pengucilan semacam Kuba mampu menempati uturan ke-52. Negara yang baru ke luar dari cengkraman konflik seperti Bosnia Herzegovina berada pada urutan ke-66. Sejumlah negara tetangga kita seperti Singapura berada pada urutan ke-25, Malaysia urutan ke-59, Thailand urutan ke-76, dan Filipina urutan ke-83. Menyedihkan memang mendapatkan kenyataan bahwa Indonesia terpuruk di bawah dan berada dalam peringkat yang hampir sama dengan negara seperti Vietnam, Moldova, Bolivia, dan Honduras. Apa yang salah dengan proses pembangunan yang digembar-gemborkan selama ini? Tak mudah menjawabnya. Yang jelas sejak didera krisis ekonomi melandaJURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

kawasan Asia pada Juni 1997, Indonesia adalah negeri satu-satunya yang masih merangkak dan berupaya ke luar dari belitan krisis. Negara tetangga seperti Korea, Filipina, Thailand, Malaysia sudah terlebih dulu bangkit. Di berbagai wilayah di Indonesia masih banyak terdapat kantong-kantong kemiskinan. Angka-angka optimisistis tentang pertumbuhan ekonomi ternyata tak berbanding lurus dengan kenyataan kemiskinan. Jumlah orang miskin justru terus membengkak. Memecahkan persoalan kemiskinan ternyata bukan sekadar menciptakan lapangan kerja, menarik investor luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia, menekan angka inflasi, menjaga kestabilan ekonomi makro, atau mendorong komoditi ekspor semata. Bila diteliti lebih mendalam faktor-faktor penentu kemiskinan secara esensial ternyata memiliki korelasi dengan hal-hal yang lebih mendasar. Antara lain, sulitnya masyarakat memperoleh pendidikan, sulitnya akses pekerjaan (akibat praktek kolusi dan nepotisme), sulitnya akses terhadap pelayanan dan infrastuktur dasar, diskrimansi gender, tak meratanya pembangunan infrasutruktur. Wacana hak asasi manusia kini bukan lagi sekadar wacana tentang kebebasan sipil. Tapi sudah sudah meliputi hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta hak atas pembangunan. Upaya perwujudan kesejahteraan masyarakat ini harus dilakukan pemerintah yang telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant* Komisioner Komnas HAM, Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan periode 2007-2012

1

on Economic, Social and Cultural Rights ICESCR) pada 30 September 2005 melalui proses legislasi yang disetujui DPR. Selain ICESCR, pemerintah juga meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR) pada 28 Oktober 2005. ICESCR disahkan menjadi UU No. 11/2005 dan ICCPR menjadi UU No. 12/2005. Bukan hanya itu, selain bertugas mengimplementasikan ICESCR, pemerintah Indonesia harus membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah-langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan. Juga hasil-hasil yang dicapai dalam implementasi perjanjian tersebut kepada badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam hal ini kepada sebuah komite ditunjuk untuk menangani perjanjian tersebut Secara regular, pemerintah Indonesia harus membuat laporan dalam periode empat tahun sekali. Laporan tersebut harus memuat langkah-langkah dan model kebijakan yang telah diambil, serta hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia. Bisa saja yang terjadi adalah kemajuan dalam langkah-langkahnya, tapi lemah atau gagal dalam implementasinya. Dalam implementasi ini akan tampak apakah pemerintah memang tidak mampu (inability) atau tidak mau (unwilling) untuk menunaikan kewajibannya. Pemerintah punya pekerjaan untuk mencermati kembali berbagai peraturan daerah (perda) yang kini jumlahnya telah melebihi angka 1.000. Baik yang berupa perda otonomi, perda syariah, maupun perda ketertiban yang berpotensi menghambat pelaksanaan UU No. 11/2005 dan UU No. 12/2005. Berbagai macam perda yang tumpang-tindih dan bertabrakan dengan kedua undang-undang tersebut harus segera dicabut karena berpotensi

menghambat pelaksanaan hak ekosob dan juga sipol. Contoh yang paling aktual adalah pemberlakuan Perda Ketertiban Umum oleh Pemda DKI Jakarta pada 8 September 2007 lalu. Perda ini secara nyata tak mencantumkan UU No. 39/Th 1999, UU No. 11/Th 2005, dan UU No 12/Th 2005 sebagai salah satu konsideransnya. Bukan hanya itu, pasal-pasal dalam perda ini ternyata berlepotan dan bertentangan dengan ketiga undang-undang tersebut. Juga bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 serta nilai-nilai sebagaimana pernah diajarkan dalam pelajaran mengenai Pancasila. Perda Ketertiban Umum ini bila diimplementasikan bukan tak mungkin bukan hanya akan mengabaikan hak-hak masyarakat, tapi juga akan menghambat tujuan dan upaya pemerintah. Khususnya dalam merealisasikan kewajiban pemerintah Indonesia untuk memenuhi dan menjalankan kewajibannya sebagai negara yang telah meratifikasi ICESCR dan ICCPR. Bagaimana mencermati ini semua? Negara yang meratifikasi kovenan ICESCR dan ICCPR harus menghormati hak-hak manusia. Negara yang melakukan tindakan yang dilarang atau bertentangan ICCPR melalui campur tangannya akan dikenai tuduhan melakukan pelanggaran melalui tindakan (violation by action). Yang lain, negara harus aktif untuk melindungi hakhak melalui tindakannya. Apabila negara justru tak melakukan apa-apa baik karena lalai dan lupa maupun absent, negara bisa dituduh telah melakukan pelanggaran melalui tindakan pembiaran (violation by omission). Dan apabila negara terus saja memberlakukan ketentuan hukum yang bertentangan dengan ICCPR dan ICESCR maka negara akan dikenai tuduhan telah melakukan pelanggaran melalui hukum (violation by judicial). Jurnal edisi ini sengaja mengangkat masalah dan konsekuensi yang bakal me-

2

JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

nyertai implementasi UU No. 11/Tahun 2005 dan UU No. 12/Tahun 2005. Patra M. Zen dan Andik Hardiyanto melalui tulisan Bukan Sekedar Menandatangani: Obligasi Negara Berdasarkan Kovenan Hak Ekosob mengangkat masalah obligasi (kewajiban) internasional yang melekat pada Negara pasca meratifikasi kedua kovenan tersebut. Juga pembahasan mengenai tema pelanggaran hak ekosob, termasuk indikator keberhasilan dan kegagalan, yang dapat digunakan untuk menilai pelaksanaan obligasi negara. Pada tulisan yang lain, Hendardi melalui tulisan Pelaksanaan ICCPR dan ICESCR dalam Konteks Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 2004-2009 konsekuensi yang muncul sebagai akibat diratifikasinya dua kovenan internasional tersebut oleh pemerintah Indonesia. Persoalan hak-hak manusia di Indonesia telah memasuki tahap di mana kebutuhan untuk menerapkannya telah melampaui kepentingan untuk memperdebatkannya. Serangkaian kontradiksi dalam realitas sosio-ekonomi dan sosio-politik yang sebelumnya hanya dibahas dan diprediksi secara akademis di lembaga-lembaga studi, kini telah meningkat menjadi kenyataan sosiologis yang keras dan konkrit seperti yang dirasakan sebagian orang dalam kasus-kasus perselisihan perburuhan. Juga konflik pertanahan atau penghancuran rumah-rumah penduduk dan pendidikan maupun kebebasan bergerak, berpendapat, berkumpul, berserikat, partisipasi dalam politik, serta penyiksaan, hukuman mati atau pembunuhan di luar proses hukum.

Tulisan Adhi Santika, Pelaksanaan ICCPR dan ICESCR dalam Konteks Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 2004-2009, lebih banyak menguraikan gambaran seputar RANHAM. Pembuatan RANHAM tak lain merupakan sebuah upaya pembuatan pedoman dan rancangan kebijakan untuk mendorong upaya penerapan, penghormatan, pemajuan pemenuhan, dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia. Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 20042009 sesungguhnya merupakan kelanjutan dari Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia sebelumnya yang dibuat untuk tahun 1998-2003, sehingga berbagai sasaran yang belum dapat dipenuhi pada periode yang lalu dapat dilanjutkan pada periode berikutnya. Di Jurnal HAM edisi 2007 ini juga disajikan tulisa karya Emilie M. Hafner-Burton dari Oxford University dan Kiyoteru Tsutsui dari State University of New York, Stony Brook. Dengan suatu sistem penilaian tertentu keduanya mencoba melihat sejauhmana perjanjian internasional hak asasi manusia ketika perjanjian tersebut dapat atau tidak dapat memperbaiki praktik-praktik hak asasi manusia di tingkat negara-negara pihak, dan sudah seharus rejim hak asasi manusia internasional memperbaiki sistem dan mekanisme perlindungan HAM di tingkat internasional. Semua tulisan dalam edisi ini diharapkan bisa menyumbangkan sebuah wacana konkrit tentang cara pengimplementasian, persoalan, dan tantangan bagi penerapan ICESCR sebagai UU No. 11/2005 dan ICCPR sebagai UU No. 12/2005. Selamat membaca.

JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

3

Kovenan HAM Internasional: Pandangan Umum mengenai Signifikasi dan PerkembanganHenry Simarmata*

Abstract Indonesia has just ratified the two most important international human rights covenants, namely, the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) and the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). The implications of these ratifications are enormous, either for the government and other states institutions or for the victims of human rights violation as well as human rights defenders. The two Covenants could become part of the effort of legal reform to improve human rights condition in Indonesia. The two Covenants are related with the history of the world organization, namely, the United Nations, in developing the what so called the international law, in this regard the international human rights law. The human rights law was developed as mechanisms, either Charter-based or Treaty-based. The main purposes of the Indonesian are to maintain peace and prevent violence.

Dua Kovenan HAM internasional, yang sekarang ini sudah diratifikasi dengan Undang-Undang 11 tahun 2005 (untuk Kovenan Ekonomi, Sosial, Budaya), dan dengan Undang-Undang 12 tahun 2005 (untuk Kovenan Sipil dan Politik), mempunyai muatan sejarah dan otoritas yang mengikat, yang membuat dua Kovenan ini sebagaimana adanya sekarang. Fakta pertama yang paling jelas adalah bahwa 2 (dua) Kovenan Internasional ini terkait dengan mekanisme Komisi HAM PBB, dan disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200a (XXI). Setelah resolusi itu, Kovenan itu diberlakukan masing-masing 3 Januari 1976 untuk Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial, Budaya (selanjutnya disebut Kovenan Ekosob), dan 23 maret 1976 untuk Kovenan Internasional Sipil dan Politik (selanjutnya disebut Kovenan Sipol). Sejak saat itu,

kovenan ini menjadi mekanisme yang bersifat mengikat. Sejak tahun 1976, semakin banyak negara yang menjadi pihak dalam 2 kovenan tersebut. Sebanyak 148 negara atau lebih menjadi pihak Kovenan Ekosob, dan sebanyak 150 negara atau lebih menjadi pihak Kovenan Ekosob.

Otoritas 2 Kovenan: Mengapa perlu?Dua kovenan ini menjadi bagian yang integral dari sistem PBB, dan sistem PBB ini mengikat semua negara anggota PBB. Lebih khusus lagi, negara pihak (artinya ne* Riwayat Singkat Penulis: 1995-2002 bekerja di Institut Sosial Jakarta, 2003-2006 bekerja di Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi manusia Indonesia; 1999 dan 2005 mengikuti sesi sidang Komisi HAM; 2004-2006 menjadi anggota Komite Eksekutif Forum Asia sebagai wakil PBHI termasuk menjadi Ketua Komite Eksekutif (November 2005-Februari 2006) JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

4

gara yang meratifikasi) terikat dengan mekanisme dalam Komisi HAM PBB, yang mulai Juni 2006 akan penuh menjadi Dewan HAM (dengan demikian sejajar, misalnya, dengan Dewan Keamanan PBB, minus otoritas veto). Dalam tulisan lain dalam jurnal ini, dijelaskan secara lebih rinci mengenai soal kewajiban negara pihak, implementasi, dan tantangan dari masing-masing Kovenan. Namun, jelas bahwa yang menjadi penghubung dari kesemuanya itu adalah persoalan otoritas 2 kovenan itu. Bagaimana Dewan HAM PBB, antara lain, akan menjalankan mekanisme tersebut, akan membuat kovenan itu efektif mencegah dan/atau menangani pelanggaran HAM. Dengan ini, baik jika dapat kita ulas dan lihat secara khusus sisi lain dalam tulisan ini. Untuk itu, ada beberapa hal yang patut dilihat untuk menggali dimensi mengapanya.1

bukan hanya batas kemanusiaan, tetapi juga batas akal sehat, terutama dengan peristiwa Holocaust (dan ini yang kedua terbesar, setelah Pembantaian Masyarakat Armenia di masa Perang Dunia I). Pendiri PBB, dan kemudian anggota PBB menyadari bahwa perlu ada satu rejim yang dapat memberikan promosi dan perlindungan terhadap perdamaian dan kemanusiaan warga dunia. Hal itu diwujudkan dengan pendirian PBB, dan tentu dengan mekanismenya yang diharapkan bisa lebih efektif, terutama dibandingkan dengan Liga Bangsa-Bangsa. Melihat hal ini, ada 2 hal yang dapat dipenuhi dengan pendirian PBB dan mekanismenya, yaitu terbentuknya rejim perdamaian dan deterrent (daya tangkal) atas kekerasan.

2.

Mendorong terwujudnya hukum internasionalPenjelasan di atas juga berlaku dalam hal kedua ini. Lebih lanjut dapat dijabarkan bahwa sistem hukum dunia yang fractured dianggap sebagai salah satu masalah yang harus ditangani dengan mendorong efektivitas PBB. Hukum internasional dapat secara terus-menerus bertentangan dengan hukum nasional. Persoalannya adalah bahwa jika kemudian kekerasan dilakukan dan menjadi pola, amat sulit untuk menanganinya karena ada pertentangan tersebut. Persoalan seperti human trafficking, agresi bersenjata, perdagangan gelap senjata, antara lain, adalah suatu fenomena transnasional. Tidak ada satu negarapun yang sanggup menanganinya secara sendiri. Dalam konteks hak asasi manusia, kemerosotan kondisi hak asasi manusia yang terjadi amat cepat menjadi bahan ekspos media. Jika tidak ada

1.

Mendorong terwujudnya rejim dan deterrentPBB dibentuk semasa akhir Perang Dunia II. Artinya, PBB didirikan dengan kesadaran bawah Liga BangsaBangsa tidak efektif, baik sebagai organisasi dunia maupun dalam mempromosikan perdamaian. Perang II yang jauh lebih dahsyat dan jauh lebih sistematis dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa ditolerir, karena melewati

1 Dalam penulisan artikel ini, ada alasan untuk me-

naruh pertanyaaan mengapa di bagian terakhir artikel, karena sifatnya yang evaluatif. Namun, dalan tulisan ini, ijinkan saya untuk menaruhnya di depan, mengingat tulisan ini ditaruh dalam bagian pertama bunga rampai (dalam jurnal). Dengan ini, setidaknya, saya berharap pembaca mendapat clue terhadap artikel-artikel berikutnya. Artikel ini, dengan ini, mempunyai struktur sebagai berikut: 1. fakta dasar (yang singkat) 2. signifikasi dari 2 kovenan (mengapa) 3. dinamika dalam enforcement 4. evaluasi terhadap indivisibility dari 2 kovenan (dengan mengelaborasi pemikiran Amartya Sen) JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

5

mekanisme dan hukum internasional maka kondisi hak asasi manusia yang merosot dapat menjadi spekulasi bertahun-tahun. Kondisi inilah yang membuat banyak pembela hak asasi manusia mencita-citakan suatu mekanisme. Mekanisme ini dimulai dan dikembangkan, terutama sebagai mekanisme PBB, dan lama-kelamaan, menjadi hukum internasional.

but menghasilkan comment. Dari informasi dan proses acara ini kemudian dilaksanakan special session2 di dalam sidang Komisi HAM PBB di tahun 1992. (Untuk proses acara special session, dalam kasus lain, East Timor pernah dijadikan agenda di tahun 1999) 4. Tindakan remedial Informasi dan rejim (point 1) kemudian mendorong tindakan, apakah itu tindakan diarahkan pada pelaku (perpetrator), pada situasi, dan pada korban. Dua kovenan ini mempunyai seperangkat instrumen yang memungkinkan untuk diambilnya suatu tindakan apalagi ada implikasi naiknya mekanisme HAM PBB dari komisi (Commission) ke dewan (Council). Khususnya menyangkut korban, amat penting ada suatu tindakan remedial dimana pemerintah negara anggota dan atau negara pihak wajib untuk menyediakannya. Kasus serdadu anak (child soldiers) di DRC/Kongo (dalam istilah setempat dikenal dengan istilah kadogo), misalnya, dibahas baik di dalam Komisi HAM PBB, maupun dalam badan treaty untuk ICCPR serta hak anak. Tindakan remedial muncul dalam kebijakan PBB untuk melakukan demobilisasi serdadu anak dan Pemerintah Negara Kongo dipaksa untuk turut dalam kebijakan PBB tersebut. (Witness, sebuah NGO yang mengembangkan dokumentasi HAM, memotret2 Special Session ini adalah suatu sesi dimana hanya

3. Inform-consent dan public actionIjinkan juga saya menggunakan pemikiran Amartya Sen (Sen, 2000) untuk melihat soal mengapa. Sen menunjuk bahwa tersedianya informasi membuat suatu hal dapat direspon dengan segera (sooner than later). Kasus kelaparan dijadikan contoh dalam penelitiannya bersama Jean Dreze. Kelaparan sering berkepanjangan karena tidak ada informasi yang dapat diakses. Informasi yang dapat diakses menjadi dasar public action. Dalam hal hak asasi manusia secara umum, secara sederhana, dapat dikatakan bahwa pelanggaran HAM seringkali terjadi berlarut-larut karena tidak ada informasi. Peran dan sumbangan terbesar mekanisme HAM PBB, terutama dalam hal 2 kovenan ini, adalah bahwa tersedia informasi yang diusahakan secara teratur, dapat dengan mudah diakses masyarakat luas, disertai dengan catatan-catatan penting dari mekanisme yang dijalankan. Contoh yang menarik misalnya bisa dirujuk pada persoalan Bosnia-Herzegovina (Michael OFlaherty, dalam Alston 2000). Mekanisme di dalam Human Rights Committee (badan treaty yang menjalankan enforcement ICCPR) menyediakan informasi. Proses acara (proceeding) HRC terse-

dibahas satu item selama persidangan. Jika saat itu sedang terjadi persidangan dengan agenda reguler, maka special session berarti bahwa pembahasan reguler berhenti, dan masuk pada proses acara special session (misalnya, di tahun 1999, saat penulis menjadi seorang intern dalam sidang ke-55 Komisi HAM PBB, Kosovo menjadi special session dan itu menghentikan pembahasan reguler yang waktu itu sedang berlangsung). Jika sedang tidak ada sidang, maka seluruh diplomat akan dipanggil untuk untuk datang dalam sidang special session. JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

6

fenomena demobilisasi serdadu anak ini dengan amat tajam).

Otoritas 2 Kovenan: Mengapa ditolak? Mengapa diterima? Seberapa efektif?Pertanyaan berikut adalah apakah mekanisme dari 2 kovenan tersebut memang efektif. Dengan otoritasnya yang terbatas, apakah badan treaty PBB (yang menjalankan fungsi monitoring dan semi-judisial) memang punya gigi sehingga hasilnya akan segera diangkat ke tingkat sidang Komisi HAM PBB untuk dijadikan pembahasan secara lebih panas. Kalau memang dibahas dalam sidang komisi, apakah pemerintah negara pelaku kekerasan memang akan comply pada mekanisme PBB? Tentu saja, seperti penetapan PBB yang lain, ada suatu relativitas dari 2 kovenan ini terhadap hukum atau kebijakan di tingkat domestik. Dinamikanya, sebagai gambaran dan contoh, dapat dilihat sebagai berikut di bawah ini : 1. Kovenan Sipol (ICCPR) Contoh di bawah ini sekedar memberikan gambaran soal efektivitas kovenan (tentu masih banyak contoh lain) Dalam mekanisme PBB, boleh dibilang, negara Eropa-Amerika Utara mempunyai perangkat hukum pidana yang lebih efektif dibandingkan negara di kawasan lainnya. Hal ini memungkinkan mekanisme kovenan Sipol dapat dengan cepat memberikan pengaruh terhadap kasus yang bersangkutan. Kasus yang dibahas dalam HRC-Human Rights Committee (badan enforcement kovenan sipol) akan melecut negara pihak untuk serius baik dengan proses domestik maupun dengan proses di PBB. Kasus Irlandia Utara, sebagaiJURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

contoh, seringkali diajukan secara bersamaan, baik dalam proses pidana domestik di Inggris maupun di mekanisme PBB. Terutama karena muatan hukum darurat Irlandia Utara yang membuat terjadi pelonggaran enforcement kovenan sipol, maka proses di PBB menjadi pelecut yang efektif. Dengan situasi yang sama, justru karena sistem hukum pidana domestik sudah lebih efektif, penetapan dari PBB seringkali tidak begitu berpengaruh. Artinya, hukum domestik lebih cepat, sehingga proses di PBB lebih menjadi catatan atas proses domestik. Negara yang bukan pihak dalam kovenan sipol tentu saja luput dari enforcement kovenan sipol. Hal ini membuat proses enforcement dari kovenan tidak efektif dalam merespon kasus tertentu (tetapi masih bisa menjadi bahan bahasan yang panas dalam sidang Komisi HAM dan sub-Komisi HAM). Kovenan sipol amat persis dan tajam dalam menganalisis konteks pidana, tetapi bagaimana jika kasus itu kemudian menjadi amat banyak (terutama jika membahas kasus kejahatan perang) sehingga amat makan waktu dalam melakukan pembahasannya. Karena memakan waktu yang lama, maka negara pelaku pelanggaran seringkali tidak merasa ditekan, dan tidak melakukan tindakan penanganan, atau tindakan remedial. 2. Kovenan Ekosob Contoh untuk penggambaran efektivitas kovenan ekosob. Sebagai kebalikan dari kovenan sipol, kovenan ekosob seringkali

7

dipakai oleh negara berkembang untuk mengangkat kasus kemaslahatan. Masalah seperti hutang luar negeri, beras, lapangan kerja, beberapa hal di antaranya, menjadi masalah penting. Alasan yang dipakai, dan dalam hal ini mempunyai tingkat keabsahan yang memadai, adalah bahwa kondisi kemaslahatan masyarakat negara mereka tidak luput dari situasi pascakolonialisme dan tingkah-polah pelaku privat dari negara Eropa-Amerika Utara. Namun juga, menjadi catatan kritis pula, bahwa pemerintah negara berkembang juga tidak mengatakan apapun mengenai kelalaiannya (omission) dan kesengajaan (commission) dalam menciptakan masalah kemaslahatan warga negaranya. Dalam persoalan Afrika, misalnya, kondisi pascakolonial seringkali diangkat dengan mengorbankan fakta bahwa pemerintah negara yang bersangkutan tidak melakukan kebijakan yang perlu dalam persoalan ekosob. Penjualan permata, atau ladang minyak adalah bagian dari tindakan pemerintah negara yang bersangkutan yang menimbulkan masalah menurunya kualitas hidup warga negaranya. Dalam kasus yang amat contentious, negara berkembang justru membawa persoalan kemaslahatan sebagai pembahasan publik, dengan sengaja. Persoalan penghapusan hutang, misalnya, negara berkembang tidak ragu-ragu mempergunakan mekanisme PBB termasuk mekanisme kovenan ekosob untuk memecahkan masalah tersebut. Negara pemberi hutang, sebaliknya, melihat masa-

lah itu tidak absah dibahas oleh badan HAM PBB. Kewenangan dan penanganan dalam soal hutang ada dalam IMF (Badan Moneter Dunia) atau murni masalah bilateral. Rumusan odius debt3 dianggap tidak memadai untuk masuk dalam kerangka pemecahan masalah hutang. Seringkali hal ini menimbulkan efek kebijakan luar negeri yang kira-kira berbunyi emang gue pikirin.

Indivisibility 2 Kovenan: komentar evaluatif1. Gagasan Amartya Sen Perkenankanlah, sekali lagi, saya mempergunakan gagasan Amartya Sen untuk membahasa bagaimana dua dimensi hak (sipol dan ekosob) sebenarnya utuh. Mekanisme enforcement baik dalam tingkat PBB maupun di dalam tingkat domestik berbeda lebih karena alasan sejarah perang dingin (blok barat mementingkan sipol, dan blok komunis mementingkan ekosob) dan lebih karena alasan presisi dan profesionalitas. Secara khusus, saya memakai argumen Sen ini untuk menjelaskan, dan juga untuk berargumen apakah memang sipol dan ekosob ini memang bisa secara filosofi dan hukum dijelaskan. Atau juga untuk berargumen bahwa pelanggaran hak ekosob, di tingkat masyarakat, sebenarnya juga adalah pelanggaran hak sipol. Sen membuat argumen yang kuat dan tajam (compelling argument) meski dia tidak secara khusus menggeluti mekanisme3 Sebagai suatu masalah, Universitas Harvard per-

nah membuat studi soal odious debt. JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

8

dan hukum hak asasi manusia internasional. Sen melakukan usaha terus-menerus berusaha memecahkan conundrum antara 2 hal: freedom dan justice. Freedom menjadi dasar argumen dari kovenan sipol, dan justice menjadi dasar argumen kovenan ekosob. Freedom dalam pengertian klasik, mengarah pada konsep individu yang biasanya merujuk pada pemikiran Adam Smith, David Hume, dan dalam bagian tertentu John Locke). Lebih lanjut, secara intelektual freedom dirumuskan (dengan amat sukses) oleh Robert Nozick (Anarchy, State and Utopia), dan Friederich von Hayek (road to serfdom). Dalam sejarah Indonesia, sebagian perdebatan ini dicerminkan pada perdebatan founding fathers dalam merumuskan antara hak individu dan pemajuan sosial dalam konstitusi (UUD 45) dengan rumusan pertanyaan untuk apa individu dilindungi kalau hal tersebut tidak memajukan kemakmuran masyarakat Hayek melihat bahwa sebenarnya layanan publik negara (bahkan jika itu memang bertujuan melindungi warga negara) hanya akan membuat warga negara hidup dalam perbudakan modern (serfdom). Sedang Nozick melihat bahwa hak milik adalah mutlak, tidak soal bagaimana manusia mendapatkan hak miliknya itu. Kelemahan terbesar dari konsep ini adalah sifatnya yang indifferent terhadap pewujudan freedom dalam kehidupan praktis dan sehari-hari, dan terhadap fenomena free rider. Penggambarannya adalah sebagai berikut: Menjadi pengetahuan umum bahwa freedom juga dapat digunakan untuk merugikan orang lain, bahkan jika hal itu atas nama kebaikan.JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

Tindakan spekulasi (penimbunan beras, perdagangan valuta asing, perdagangan senjata, eksploitasi sumber daya alam) semuanya tidak tahan dengan argumen bahwa itu semua justru menjadi penyebab kehidupan manusia kalau tidak dalam jangka pendek, bisa dalam jangka panjang). Tindakan spekulasi (penimbunan beras, perdagangan valuta asing, perdagangan senjata, eksploitasi sumber daya alam) jutru sering dilakukan dengan sadar dan sengaja di atas (at the expense) kehidupan dan penghidupan masyarakat. Menarik mengamati ketika Enron kolaps, dinamika ekonomi AS juga mengalami downturn karenanya.4 Dengan ini, dapat dilihat bahwa tindakan privat dapat menyebabkan kesengsaraan banyak orang. Dalam soal justice, John Rawls (juga dengan amat sukses) membantah kemutlakan hak milik, dan mendorong konsep prioritas keadilan. Konsep prioritas keadilan membawa pada tindakan khusus (special tretment). Kelemahan argumen, menurut Sen, ada baik dalam prioritas itu sendiri maupun dalam eksesnya bersifat draconian dan/atau pemaksaan. Keadilan yang dirumuskan dalam prioritas itu memang tidak perlu diperdebatkan. Ambil contoh, misalnya, Singapura yang amat makmur secara ekonomi dengan welfare-state yang nyaris sempurna, namun dalam konteks hak ber4 Salah satu penyebab penting adalah bahwa diha-

puskannya regulasi pembatasan bank, asuransi, sekuritas (dengan Glass-Steagal Act), dan bertemu dengan derivatif market yang tidak diregulasi. Barulah setelah Enron kolaps dengan segala akibatnya, kemudian dilakukan regulasi dan penegasan indikator keamanan investasi.

9

pendapat dan berpolitik dibatasi dengan amat tajam. Ada anggapan bahwa ekonomi dan welfare yang sudah diwujudkan dengan otomatis akan mewujudkan hak sipol. Argumen Sen dalam merumuskan indivisibility hak sipol dan ekosob dapat dirumuskan sebagai berikut: p.8 [i]t also pointed to the remarkable fact that economic unfreedom, in the form of extreme poverty, can make a person a helpless prey in the violation of other kinds of freedom. Economic unfreedom can breed social unfreedom, just as social or political unfreedom can also foster economic unfreedom5 Sen, dengan ini, juga menyatakan pentingnya perdebatan publik (public discourse) dan proses komunikasi yang menghasilkan nilai dan norma sosial. 2. Nulla Crimen Sine Lege Dua kovenan ini pun sebenarnya masih dalam perkembangan progresif untuk menerjemahkan persoalan pidana. Seperti kita tahu bahwa setiap pelanggaran HAM termunculkan (implies) bentuk-bentuk pidana, dari yang mild sampai yang serius. Dua kovenan ini berkembang seturut bentuk-bentuk pidana tersebut. Jika kita melihat dokumen dalam Human Rights Committee (HRC badan enforcement kovenan sipol) maupun Committee on Economic, Social, Cultural Rights (badan enforcement kove5 (terjemahan longgar) dapat ditunjuk fakta yang

nan ekosob), maka kita bisa melihat bahwa mekanisme 2 kovenan ini memunculkan banyak implikasi pada hukum internasiona, dan kemudian pada hukum domestik. Jika ada keberatan dari negara pihak, atau negara anggota PBB pada umumnya, maka para judiciary justru berargumen bahwa hal ini membuat perkembangan hukum berlangsung secara sehat, karena segala sesuatunya selalu dibahas (contested) dan terukur, dan dengan ini sebenarnya ditegaskan prinsip imparsialitas dari hak asasi manusia. Nulla Crimen Sine Lege, tidak ada kejahatan yang ditindak di luar hukum.

Mekanisme HAM Regional: Perkembangan Mekanisme 2 KovenanPerkembangan terbaru saat ini yang patut diamati adalah proses ASEAN untuk merurmuskan Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Dengan alasan bahwa sekarang sudah saatnya bagi ASEAN untuk mempunyai piagam, dan dengan ini mendorong akuntabilitas pemerintah negara anggota dengan warga negara anggota. Salah satu yang menjadi pengembangan di dalam soal mekanisme HAM regional ASEAN.6 Sebagai titik mula, menurut pengamatan, Hak Perempuan-Anak dan Masalah Migran akan menjadi 2 isu yang dikembangkan untuk dibahas (ini karena dibentuk 2 kelompok kerja di ASEAN untuk membahas 2 hal tersebut). Mekanisme HAM regional di ASEAN adalah sesuatu yang perlu didorong, meski tentu kita tidak bisa langsung menikmati pembahasan mekanisme 2 kovenan (mungkin suatu saat nanti sampai ke sana). Sebagai benchmarking, kita dapat melihat mekanisme serupa di Uni-Eropa (Europan6 Di akhir bulan Juni 2006, ada rencana penyeleng-

amat jelas bahwa tidak adanya hak ekonomi, dalam bentuk kemiskinan ekstrem, dapat membuat orang menjadi mangsa pelanggaran hak yang lain tidak adanya hak ekonomi dapat memunculkan tidak adany hak sosial, sebagaimana juga bahwa tidak adanya hak sosial dan politik dapat menimbulkan tidak adanya hak ekonomi

garaan pembahasan mekanisme HAM regional ini di Kuala Lumpur. JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

10

Convention on Human Rights, beserta courtnya) dan di kawasan Amerika Latin (InterAmerican Human Rights Mechanism). Mekanisme regional ini penting sebagai pengembangan dari enforcement 2 kovenan tersebut. Seperti yang kita lihat dalam proses dan dokumentasi European Court on Human Rights, kasus-kasus di dalam negeri ini dibahas juga di tingkat Eropa sehingga korban dan pekerja HAM dapat semakin menegaskan compliance negara terhadap ketentuan HAM internasional. Indonesia yang dipilih dengan angka voting kedua tertinggi di Asia (sesudah In-

dia) di dalam Dewan HAM mempunyai kesempatan juga untuk mengembangkan mekanisme enforcement HAM di tingkat regional. (Bersama Indonesia, Filipina dan Malaysia juga menjadi anggota Dewan HAM) bersamaan dengan implikasi dari ratifikasi 2 kovenan oleh pemerintah Indonesia Desember 2005 lalu. Bagi korban, pekerja HAM, dan Komnas HAM, untuk menyebut di antara aktor penting, harus aktif untuk menerjemahkan 2 kovenan itu dalam sistem dan praktik hukum di Indonesia, dan membuat mekanisme regional HAM ASEAN mendapatkan dampak dari enforcement domestik tersebut.Harris, David, and Livingstone, Stephen (ed.), The Inter-American System of Human Rights, Clarendon Press Oxford, Oxford 1998. Reid, Karen, A Practitioners Guide to the European Convention of Human Rights, Sweet & Maxwell, London 1998. Roberts, Adam, and Kingsbury, Benedict, United Nations, Divided World, The UNs Roles in International Law, Clarendon Press Oxford, Oxford 1993. Rodley, Nigel S., The Treatment of Prisoners under International Law (second edition), Oxford University Press, Oxford 1999. Sen, Amartya, Development as Freedom, Alfred A. Knopf, New York 2000.

DAFTAR PUSTAKAAlston, Philip and Crawford (ed.), James, The Future of UN Human Rights Treaty Monitoring, Cambridge University Press, Cambridge 2000. Alston, Philip, with Bustelo, Mara, and Heenan (ed.), James, The EU and Human Rights, Oxford University Press, Oxford 1999. Cole, Wade M., Sovereignty Relinquished: Explaining Commitment to International Human Rights, Centre on Democracy, Development, and The Rule of Law, Stanford Institute on International Studies, California 2004 Harris, David, and Joseph, Sarah (ed.), The International Covenant on Civil and Political Rights and United Kingdom Law, Clarendon Press Oxford, Oxford 1995.

JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

11

Pelaksanaan ICCPR dan ICESCR dalam Konteks Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 2004-2009Adhi Santika*

Abstract Indonesias diverse geography, politics, economic, religion, culture and language contribute to wide diversity in the enjoyment of human rights. The dignity of individual cannot and should not be divided into two spheres that of civil and political rights and that of economic, social and cultural rights. Individual must be able to enjoy freedom of wants as well as freedom from fear. The ultimate goal of ensuring respect for the dignity of individual cannot be achieved without that persons enjoying all of his or her rights. The National Plan of Action on Human Rights in Indonesia is intended as a guidance and general plan to enhance the efforts in increasing the respect, promotion, fulfillment and protection human rights. The 2004-2009 Nation Plan of Action on Human Rights is a continuation of the Nation Plan of Action on Human Rights for the year 1998-2003. The new plan of action is intended to complete the unfinished works in the previous period.

PENDAHULUANKeberadaan instrumen HAM internasional seperti halnya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang keduanya telah Indonesia ratifikasi pada tahun 2005, tidak dapat dipungkiri akan dihadapkan pada keragaman masalah dalam implementasinya di Indonesia. Keragaman masalah dimaksud ternyata tidak hanya akan terjadi pada perilaku kehidupan sehari-hari setiap subyek hukum, tetapi juga pada tataran yang mengatur subyek hukum beraktivitas yang dikenal dengan peraturan-perundangan. Sekalipun ICCPR dan ICESCR telah diratifikasi masing-masing melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dan UU

No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), pada kenyataannya Indonesia telah memiliki peraturan perundangan yang secara implisit dan/atau eksplisit sudah menginternalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam dua kovenan tersebut. Adapun peraturan perundangan dimaksud antara lain: UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Keputusan Presiden (Keppres) No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2004-2009. Dalam konteks waktu, keberadaan ICCPR dan ICESCR di Indonesia merupakan hal penting untuk diketahui, dianalisis* Penulis bekerja di Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Departemen Hukum dan HAM JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

12

dan dirumuskan langkah-langkah nyata yang perlu dilaksanakan oleh berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk Pemerintah. Dalam hubungan ini Pemerintah menempati posisi strategis sesuai dengan amanat yang tercantum dalam Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Pertimbangan dimensi waktu merupakan salah satu faktor penting dalam evaluasi pelaksanaan ICCPR dan ICESCR di Indonesia, sehingga evaluasi yang dilakukan seharusnya tidak hanya dibatasi oleh waktu pascaratifikasi kedua kovenan tersebut tetapi juga mencakup semua kegiatan yang dilakukan selama kurun waktu praratifikasi. Oleh karena itu, seyogyanya evaluasi harus dilakukan sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai pascaratifikasi sekalipun ratifikasi kedua kovenan tersebut baru dilakukan pada tahun 2005. Hal ini perlu diperhatikan untuk mengetahui secara obyektif mengenai dua hal utama dalam evaluasi, yaitu kesungguhan dan kendala yang dihadapi Pemerintah selama ini. Pertimbangan dimensi waktu akan terasa benar adanya manakala mempertimbangkan beberapa instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia melalui sejumlah Undang-Undang yang dikeluarkan pemerintah sebelum Indonesia meratifikasi ICCPR dan ICESCR pada tahun 2005, seperti halnya UU No. 7 Tahun 1984 tentang CEDAW, UU No. 5 Tahun 1998 tentang CAT, UU No. 29 Tahun 1999 tentang CERD, dan Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang CRC. Di samping itu terdapat pula beberapa kesepakatan internasional yang secara langsung atau tidak langsung bernuansa HAM, di mana Indonesia termasuk sebagai negara peserta yang turut menandatanganinya, seperti ICPD dan MDGs. Berdasarkan pertimbangan tersebut diJURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

atas, maka pelaksanaan ICCPR dan ICESCR pascaratifikasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan keberadaannya dari upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sebelum ratifikasi.

KONSEKUENSI RASIONAL DARI RATIFIKASISecara eksplisit Lampiran I Keppres No. 40 Tahun 2004 menyebutkan, bahwa RANHAM Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan rencana umum untuk meningkatkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM, termasuk untuk melindungi masyarakat yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Dari materi yang tercantum, sangat jelas diketahui bahwa RANHAM lebih berorientasi ke masa depan, dengan penetapan 6 (enam) Program Utama di dalamnya, yaitu: (1) Pembentukan dan penguatan institusi pelaksanaan RANHAM; (2) Persiapan Ratifikasi instrumen HAM internasional; (3) Persiapan Harmonisasi peraturan perundang-undangan; (4) Diseminasi dan pendidikan HAM; (5) Penerapan norma dan standar HAM; dan (6) Pemantauan, evaluasi dan pelaporan. 1. Pembentukan dan penguatan institusi pelaksanaan RANHAM. Apabila mengamati Program Utama RANHAM dan menghubungkannya dengan ratifikasi ICCPR dan ICESCR, maka ruang lingkup keenam Program Utama merupakan rangkaian tindakan konkrit yang perlu dan akan dilakukan oleh negara dalam aktualisasi pencapaian tujuan ICCPR dan ICESCR di Indonesia. Program Utama yang pertama yaitu Pembentukan dan Penguatan Institusi Pelaksana RANHAM merupakan program yang penting dan merupakan satu syarat keharusan (a necessary condition). Persyaratan ini mengemuka karena ada alasan yang

13

sangat rasional, yaitu 5 (lima) program lainnya sangat tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila program pertama ini tidak terwujud lebih awal. Pembentukan dan penguatan institusi merupakan dua kata penting dalam program ini, seringkali aparat negara dan masyarakat kurang bahkan tidak mampu mengetahui dan mengerti maksud keduanya. Atas dasar ini maka pelaksanaan RANHAM hanya dapat berjalan sesuai dengan rencana, apabila terdapat institusi bentukan baru dan mengalami penguatan sehingga memiliki kompetensi untuk melaksanakan seluruh programnya. Kompetensi merupakan satu kata kunci yang sulit untuk diwujudkan pada tataran lapangan dalam kurun waktu yang cukup singkat. Penguatan hanya dapat dilakukan apabila pembentukan institusinya sudah dilakukan. Guna membentuk institusi baru ternyata seringkali dihadapkan pada berbagai kendala yang umumnya berupa kekurangmampuan sumber daya manusia untuk mengetahui dan mengerti substansi HAM yang secara bersamaan waktunya harus memiliki kecakapan dalam mengelola organisasi untuk menggerakkan program kerja. Masalah HAM di lapangan yang terjadi sangat bervariatif dan struktur organisasi kepemerintahan yang berbeda di setiap provinsi, kabupaten dan kota memberikan kontribusi pada cepat atau lambatnya pembentukan institusi pelaksana RANHAM di pusat dan daerah. Kompleksitas masalah HAM di lapangan yang memiliki karakteristik antara lain: ruang lingkup substansinya sangat luas, melibatkan lebih dari satu subyek hukum, frekuensi dan intensitas kejadiannya sangat berfluktuatif, mencakup lintas batas administratif (spatial) dan

mencakup lintas batas waktu (temporal), cenderung membuat orang memerlukan waktu tambahan untuk sepenuhnya mengerti permasalahan yang ada. Di samping itu struktur organisasi kepemerintahan yang cukup beragam antar wilayah administrasi sejalan dengan adanya UU No. 32 Tentang Pemerintahan Daerah, juga memberikan pengaruh pada kemampuan aparat negara dan masyarakat dalam kecepatan pembentukan institusi pelaksana HAM. Penguatan institusi pelaksana RANHAM adalah satu kegiatan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (multi-stakeholders) karena memerlukan kerjasama dari banyak pihak dengan latar belakang yang beraneka ragam, baik dari sisi pendidikan, pekerjaan, ekonomi, sosial, maupun budaya. Keanekaragaman ini memberikan konsekuensi pada cara penguatan yang akan dilakukan agar materi dan pesan yang akan diberikan tepat sasaran, efisien, dan efektif. Program penguatan seringkali dihadapkan pada 2 (dua) masalah yang cukup serius untuk dapat segera diselesaikan dalam waktu singkat, yaitu: (1) Pemilihan dan penetapan peserta yang akan menerima materi penguatan agar lebih representatif, dan (2) Pemberi materi penguatan perlu lebih membekali diri dengan kecukupan penguasaan substansi dalam pengertian mampu menyeimbangkan materi yang bersifat konseptual dan kontekstual. Dalam hubungan ini, program penguatan sudah seharusnya selalu dibarengi dengan kegiatan evaluasi yang berkesinambungan berdasarkan pendekatan post-training evaluation. Berdasarkan Keppres 40 Tahun 2004, Program Pembentukan dan Penguatan Institusi Pelaksana RANHAM memJURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

14

punyai tujuan/sasaran sebagai berikut: (1) Pembentukan dan penguatan Panitia Nasional; (2) Pembentukan dan penguatan Panitia Pelaksana RANHAM Daerah; (3) Sosialisasi RANHAM kepada berbagai pihak; (4) Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan HAM di daerah; dan (5) Meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak untuk memperkuat kelembagaan HAM yang telah ada. Secara garis besar, dapat diketahui bahwa cakupan kegiatan program pertama tersebut dinilai sangat berat, karena harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dengan segala keragaman karakteristiknya disamping substansi HAM merupakan hal baru bagi sebagian besar pemangku kepentingan. Berbagai kegiatan dalam rangka penguatan institusi, pemerintah (dalam hal ini Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, Departemen Hukum dan HAM) telah melakukan kerja sama antar negara dan dengan sejumlah lembaga internasional di bawah payung Perserikatan Bangsa Bangsa. Kerjasama pemajuan HAM telah dijalin dengan 11 (sebelas) negara dan kerjasama regional dengan ASEAN dan Asia Pasifik, yaitu: Afrika Selatan, Australia, Perancis, Swedia, Norwegia, Kanada, Swiss, Italia, Mesir, Selandia Baru, dan Jerman. Di samping itu, kerja sama dengan lembaga internasional antara lain dilakukan dengan UNHCR, IOM, IDLO, UNICEF, dan ILO. 2. Persiapan Ratifikasi Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional. Hukum internasional seperti halnya ICCPR dan ICESCR merupakan keseluruhan kaidah yang sangat diperlukan untuk mengatur sebagian besar hubungan antar negara. Tanpa adanya kaidah-kaidah ini sungguh tidakJURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

mungkin bagi negara-negara tersebut untuk saling berhubungan secara tetap dan terus menerus. Sesungguhnya hukum internasional merupakan persoalan dengan keperluan hubungan timbal-balik antar negara. Melalui pengesahan yang diwujudkan dalam bentuk ratifikasi, perangkat-perangkat HAM internasional tersebut diharapkan akan memperkuat hukum nasional dalam upaya menjamin penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM agar sesuai dengan harapan. Sebagai anggota masyarakat internasional, apalagi setelah terpilihnya Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB, Indonesia melakukan ratifikasi instrumen-instrumen HAM internasional. RANHAM telah mengagendakan ratifikasi 12 instrumen HAM yang akan dirampungkan sebelum akhir tahun 2009, termasuk Konvensi Internasional Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Proses ini semua bukan tanpa rintangan atau halangan. Situasi perdebatan dan pro-kontra atas dasar identifikasi dan inventarisasi masalah dari setiap proses pembahasan lahirnya suatu produk perundangundangan seringkali juga menimbulkan kekecewaan masyarakat. Belum lagi dinamika masyarakat yang juga diwarnai pro-kontra terhadap suatu isu HAM tentu akan menimbulkan persoalan tersendiri dari setiap proses ratifikasi itu. Namun, semua ini merupakan bagian dari tradisi demokrasi yang harus dilalui. Berdasarkan Keppres 40 Tahun 2004, persiapan ratifikasi sejumlah instrumen HAM internasional ditetapkan dengan skala prioritas sebagai berikut, yaitu: Kovenan Internasional Hak Ekososbud (2004), Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (2004), Konvensi Penghentian Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Pros-

15

titusi (2004), Konvensi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan anggotaanggota keluarga-nya (2005), Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (2005), Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (2005), Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (2006), Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (2007), Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan (2008), Statuta Roma (2008), Konvensi Status Pengungsi (2009), dan Protokol Opsional Tahun 1967 Konvensi Status Pengungsi (2009). Satu hal yang paling mendasar untuk dipertimbangkan dengan seksama adalah langkah melakukan pengkajian terhadap instrumen internasional yang akan diratifikasi berupa penyempurnaan naskah akademik. Langkah dimaksud seringkali dihadapkan pada faktor pembatas berupa kemampuan melaksanakan kajian akademik yang bersifat obyektif dan cepat pelaksanaannya. Di samping itu, faktor keterbatasan pengetahuan dan jumlah pemerhati substansi instrumen yang akan diratifikasi juga merupakan hal yang kerap terjadi. Faktor keterbatasan pengetahuan ini seharusnya tidak boleh dibiarkan karena akan memperparah ketidaksiapan Pemerintah dalam menerima segala konsekuensi ratifikasi, mengingat setelah proses ratifikasi pengertian legally binding menjadi berlaku dengan segala konsekuensinya. Keberadaan faktor pembatas tersebut sangat mungkin dapat diatasi apabila Program Pembentukan dan Penguatan Institusi Pelaksana RANHAM terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama.

3.

Persiapan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Era otonomi daerah merupakan satu ciri dalam pemerintahan sekarang ini dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah landasan yuridis yang digunakan. Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian khusus adalah Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, yaitu: a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Terdapat beberapa permasalahan yang terlebih dahulu perlu dipahami sehubungan dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu: 1. Mengapa perlu dilakukan pengharmonisasian? 2. Aspek-aspek apa yang harus diharmonisasikan dan bagaimana pengharmonisasian tersebut dilakukan? 3. Permasalahan apa yang dihadapi dalam pelaksanaan pengharmonisasian? Sebelum memahami ketiga permasalahan tersebut, terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian dari beberapa istilah kunci, yaitu: a. Pengharmonisasian atau kegiatan untuk mengharmonisasikan atau menyelaraskan. Atau dalam bahasa Inggrisnya harmonize diJURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

16

b.

c.

artikan sebagai bring into harmony danharmony diartikan sebagai pleasing combination of related things. Pembulatan mengandung makna untuk membentuk menjadi bulat atau membentuk kepaduan, keutuhan sebagai suatu keseluruhan. Konsepsi diartikan sebagai pengertian, pemahaman, atau rancangan yang telah ada dalam pikiran (ide). Dalam bahasa Inggris conception diberi arti sebagai conceiving of an idea

3.

Tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan masih terbatas jumlahnya serta belum memiliki spesialisasi pada bidang hukum yang spesifik, karena jabatan fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dianggap tidak cukup menarik untuk ditekuni oleh pegawai.

Perlu disadari bahwa, sebenarnya masih terdapat sejumlah tantangan yang harus diatasi terlebih dahulu, sebelum proses pengharmonisasian perundangan yang ada agar sejalan dengan RANHAM dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tantangan yang dimaksud antara lain meliputi: 1. Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 hanya mengatur pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dan tidak mengatur rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau rancangan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Masih adanya sikap egoisme sektoral dari masing-masing instansi terkait, yang disebabkan oleh belum adanya persamaan persepsi tentang rancangan undang-undang sebagai suatu sistem yang terintegrasi. Sehingga, pembahasan oleh wakil-wakil instansi terkait tidak bersifat menyeluruh, tetapi bersifat parsial dan terfragmentasi menurut kepentingan dari masing-masing instansi.

2.

Dari pengamatan, juga terlihat bahwa peraturan perundangan di Indonesia cenderung memiliki sejumlah kelemahan yang mendasar, yaitu: (a) Antara Undang-undang yang satu dengan yang lainnya seringkali saling bertentangan; (b) Tidak jarang ditemui berbagai inkonsistensi antara satu pasal dengan pasal lainnya di dalam Undang-undang yang sama; (c) Keterlambatan penyusunan aturan pelaksanaan dari Undang-undang yang telah disahkan; dan (d) Produk hukum yang ada di Indonesia lebih cenderung bersifat reaktif dari antisipatif. Dengan demikian, pengharmonisasian peraturan perundang-undangan memiliki arti strategis dalam mewujudkan sistem hukum nasional. Sehingga, diperlukan penyelarasan, baik dengan berbagai peraturan perundang-undangan vertikal maupun horisontal, serta konvensi/ perjanjian internasional hak asasi manusia, agar menghasilkan peraturan perundang-undangan yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih, sejalan dengan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sehubungan dengan itu, langkah yang sedang dilakukan dalam persiapan harmonisasi peraturan perundangundangan adalah mengagendakan

JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

17

pengkajian terhadap Kitab UndangUndang Hukum Pidana, UndangUndang tentang Hak Asasi Manusia, serta Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selain itu, meskipun di dalam agenda RANHAM hanya 3 (tiga) undang-undang tersebut yang dikaji, namun telah dikaji pula Undang-Undang tentang Kewarganegaraan dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. 4. Diseminasi dan Pendidikan Hak Asasi Manusia Kiranya sulit dibantah, bahwa pendidikan merupakan syarat bagi pemenuhan hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, social, dan budaya. Suatu tingkat pendidikan minimal atau setidaknya melek aksara sangat diperlukan bagi perjuangan untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak sipil dan politik, hak hukum, hak untuk turut serta dalam pemerintahan, hak untuk memilih dan dipilih, hak atas kebebasan berkumpul, berorganisasi dan berekspresi, serta hak atas kebebasan informasi dan berkomunikasi. Oleh sebab itu, aspek pendidikan menjadi elemen kunci dalam upaya melaksanakan program diseminasi Hak Asasi Manusia di Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan dalam RANHAM 2004-2009. Menyadari hal tersebut, pemerintah berupaya melakukan sosialisasi berbagai instrumen hak asasi manusia internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, antara lain Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), Convention on the Rights of the Child (CRC), Convention on the Political Rights of Women, Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD), dan

Convention Against Torture, Other Cruel and Inhumance or Degrading Treatment or Punishment (CAT). Dalam hubungan ini, kegiatan simposium hak asasi manusia tingkat nasional dan daerah untuk promosi pendidikan hak asasi manusia yang dilaksanakan oleh anggota Panitia Nasional RANHAM, lembaga nonpemerintah, dan perguruan tinggi merupakan langkah yang sangat strategis untuk mendukung diseminasi dan pendidikan HAM di Indonesia. Di samping itu, pengembangan dan penyebarluasan bahan pengajaran hak asasi manusia yang dilaksanakan oleh anggota Nasional RANHAM, lembaga nonpemerintah, dan perguruan tinggi juga merupakan hal yang harus dilaksanakan secara terus menerus. Pelaksanaan pendidikan hak asasi manusia yang difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Perlindungan HAM Departemen Hukum dan HAM meliputi pembentukan dan perpustakaan HAM di Universitas dan Komnas HAM, program studi S2 HAM (Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, Universitas Samratulangi, dan Universitas Pelita Harapan), pelatihan HAM di luar negeri (Swedia, Norwegia, Australia, Afrika Selatan, dan Perancis bagi pegawai negeri, tenaga pengajar/ dosen perguruan tinggi, aktivis HAM, dan tokoh masyarakat/agama), pelatihan bagi aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, hakim, dan petugas pemasyarakatan), pendidikan di luar jalur sekolah, kurikulum HAM untuk SD s/d SMA, dan pendidikan HAM di Fakultas Hukum, serta lokakarya dan diskusi HAM dengan organisasi sosial dan LSM.

18

JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

5. Penerapan Norma dan Standard Hak Asasi ManusiaDalam perspektif hukum tata negara, norma yang terkandung dalam UUD merupakan sumber hukum (rechtsgulle) bagi aturan yang ada di bawahnya. Konstruksi ini merupakan makna bahwa norma-norma yang ada dalam UUD harus mengalir dalam perundang-undangan di bawahnya, apakah berupa norma original atau norma jabaran yang lebih konkrit. Norma tersebut dapat mengalir dalam perundangundangan yang lebih rendah hierarki atau perundangan yang lebih rendah dapat memberikan norma tafsiran dari peraturan perundangan yang lebih tinggi tersebut. Dengan kata lain, meminjam istilah dari Rudolf Steammler, seorang ahli filsafat yang beraliran Neo Kantian, norma HAM yang terdapat dalam UUD adalah sebagai bintang pemandu (leitstren) bagi pembuat undang-undang di bawahnya agar selaras dengan nilai-nilai HAM. Pandangan keliru bahwa HAM identik dengan pandangan dunia barat, tidak boleh menjadi alasan untuk tidak melaksanakan HAM. Hak asasi manusia adalah persoalan universal, tetapi sekaligus juga kontekstual. Sebagaimana dikatakan Magnis Suseno (1994: 11-12), HAM merupakan pengertian modern. Dalam masyarakat tradisional, HAM tidak banyak dipertanyakan karena struktur sosial tradisional itu masih mampu melindungi hak-hak individu di dalamnya. Indonesia sebagai negara modern tidak mungkin menghindar dari realitas bahwa masyarakatnya menjadi lebih individual daripada masyarakat tradisional. Jika diamati lebih jauh, HAM justru tidak memuat individualisme. Sebaliknya, jaminan terhadap HAM merupakan tanda solidaritas dan kepedulian sosialJURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

dalam masyarakat yang bersangkutan, seperti perlindungan terhadap mereka yang kurang beruntung secara sosial dan ekonomi. Dengan demikian, secara substansi, HAM adalah universal, sedangkan dikatakan kontekstual apabila sudah berbicara tentang relevansinya (aktualisasi). Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang melakukan proses penyusunan norma dan standar perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM, pedoman pemenuhan hak anak, dan tenaga kerja, dan mekanisme kerjasama pemajuan hak sipil dan politik. Selain itu, juga dibentuk Tim Konsultasi Hak Asasi Manusia. Selain itu, beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh Departemen Hukum dan HAM dalam mendukung pelaksanaan RANHAM, antara lain: (a) Menghasilkan sejumlah buku saku mengenai HAM yang diperuntukkan, antara lain, bagi pegawai Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM, pengawas ketenagakerjaan, polisi, pamong praja dan petugas pemasyarakatan berdasarkan hasil kegiatan yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM; (b) Penyampaian rekomendasi kepada instansi terkait atas pengaduan masyarakat tentang pelanggaran hak asasi manusia (yang tidak termasuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat); (c) Berpartisipasi dalam pelaksanaan Nota Kesepahaman Pemerintah Indonesia dengan GAM dalam bentuk memfasilitasi pelaksanaan amnesti dan integrasi anggota GAM bekerjasama dengan IOM dan;

19

(d) Pelaksanaan Focus Group Discussion di beberapa daerah pasca konflik (Kalimantan Barat, NAD, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Ambon, dan Maluku Utara), dengan tujuan terciptanya perdamaian yang abadi.

(a) Pengumpulan data dan informasi yang akurat, terkini, objektif dan dapat dipertanggung jawabkan. (b) Pengorganisasian data dimaksud serta mekanisme pelaporannya. Oleh karena itu, upaya pembentukan dan penguatan kelembagaan RANHAM merupakan satu prasyarat utama yang harus dipenuhi demi menghasilkan laporan pelaksanaan dan perkembangan HAM di Indonesia.

6. Pemantauan, Evaluasi dan PelaporanPemantauan, evaluasi dan pelaporan merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari seluruh rangkaian kegiatan RANHAM, terutama untuk menjamin terlaksananya program kegiatan RANHAM sesuai dengan yang telah direncanakan. Untuk itu, dipandang perlu untuk mengembangkan suatu mekanisme yang tepat untuk melakukan kegiatan pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Sebagai konsekuensi dari telah diratifikasinya instrumen hak asasi manusia internasional, berarti Pemerintah Republik Indonesia telah terikat secara hukum untuk menerima kewajiban membuat laporan penerapan norma dan standar Hak Asasi Manusia yang terkandung dalam instrumen hak asasi manusia internasional yang telah diratifikasi tersebut kepada badan PBB yang terkait. Pada kenyataannya, penyusunan laporan perkembangan pelaksanaan HAM di Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan yang cukup berat yaitu:

PENUTUPHak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi ini menjadi dasar hak dan kewajiban yang lain. Menjadi kewajiban pemerintah atau negara hukum untuk mengatur pelaksanaan hak-hak asasi ini yang berarti menjamin pelaksanaannya, mengatur pembatasan-pembatasannya demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara. Penandatanganan yang dilakukan Indonesia atas 2 (dua) Kovenan HAM Internasional (ICCPR dan ICESCR) untuk saat ini harus dinilai penting. Paling tidak pemerintah mempunyai ikatan moral dan ikatan hukum untuk menerapkan kewajibankewajiban dalam Kovenan tersebut ke dalam hukum nasional. Pemerintah harus terus mengupayakan agar perlindungan terhadap setiap subyek hukum dapat dilakukan sebagaimana tercantum dalam RANHAM.

20

JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

DAFTAR PUSTAKABahan Rapat Kerja Komisi III DPR-RI Dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Tanggal 12 Juni 2006, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 2006. Circle of Rights, Economic, Social and Cultural Rights Activism: A Training Resource, Forum Asia, 2000. Darmodihardjo, Darji dan Shidarta. Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia; PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004. Department of Foreign Affairs and Trade, Human Rights Manual, Australia, 1998. Firdaus, Implikasi Pengaturan HAM Dalam UUD terhadap Ius Constituendum, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, hal. 9-13, PT Refika Aditama, Bandung, Januari 2005. Human Rights in Asia, Annual Human Rights Report 2000. Forum Asia, 2001. Juwana, Hikmahanto, Konvensi Pekerja Migran: Perlukah Indonesia Meratifikasi?, Seminar Memperkuat Sinergi Antar Pemangku Kepentingan Perlindungan HAM Pekerja Migran Perempuan Indonesia, Jakarta, 11 Juli 2006. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2004. Kumpulan Makalah dan Tanggapan Fraksifraksi DPR-RI Mengenai Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992, Diterbitkan atas kerjasama Forum Parlemen Indonesia dan Kependudukan Pembangunan, DPR-RI dan Yayasan Kesehatan Perempuan, Jakarta, 2004. Mahendra, A.A. Oka, Harmonisasi dan Sinkronisasi Rancangan Undang-undang dalam Rangka Pemantapan dan Pembulatan Konsepsi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 2 No. 3, hal. 123134, September 2005. Mardiniah, Naning; Wibowo, Harry; Anharudin, et.al., Meneropong Hak Atas Pendidikan dan Layanan Kesehatan: Analisis Situasi di Tiga Kabupaten : Indramayu, Sikka dan Jayapura; CESDA-LP3ES, Jakarta, 2005. Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh, Bambang Iriana Djajaatmaja, S.H. (terj.), Sinar Grafika, Jakarta, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan-International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Wibisono, Makarim, Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, Seminar Memperkuat Sinergi Antar Pemangku Kepentingan Perlindungan HAM Pekerja Migran Perempuan Indonesia, Jakarta, 11 Juli 2006.

JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

21

Bukan Sekedar Menandatangani:

Obligasi Negara Berdasarkan Kovenan Hak EkosobA. Patra M. Zen dan Andik Hardiyanto*

Abstract After incorporation of International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights by Law No. 11/2005, Indonesia are legally binding to implement all state parties obligation as contained in the Covenant. This article describes and analyzes as well as shows example and practical illustration regarding States obligation. Its formulated into 4 section, explain definition and mean of State obligation; violation of the obligation, including its indicators, and; monitoring procedure and mechanism based on the Covenant.

PembukaBabak baru itu, ditandai dengan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah pada 30 September 2005. Dalam sidang Paripurna, dibacakan hasil sidang untuk meratifikasi piagam hak asasi manusia: International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Selanjutnya, pada 28 Oktober 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU No. 11 dan No. 12 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya selanjutnya dalam tulisan ini disingkat dengan Kovenan Hak Ekosob dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Ratifikasi terhadap the bill of human rights ini membangkitkan harapan baru bagi lahirnya tindakan yang lebih nyata bagi pemajuan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia di negeri ini. Tentu saja pengesahan tersebut, dilakukan dengan sadar, terdapat obligasi (kewajiban) internasional yang melekat pada Negara pasca meratifikasi kedua kovenan tersebut. Dalam tulisan ini, pembahasan

akan difokuskan pada obligasi Negara pasca ratifikasi Kovenan Ekosob. Artikel ini disusun kedalam 4 bagian. Di bagian pertama, akan dipaparkan kelirumologi 3 sesat pendapat berkaitan dengan ketentuan dan implentasi Kovenan Hak Ekosob, khususnya berkaitan dengan tema realisasi bertahap (progresif realization) dan sumber daya (resources). Selanjutnya, bagian kedua, akan dideskripsikan dan dianalisis obligasi (kewajiban) Negara berdasarkan ketentuanketentuan dalam Kovenan Ekosob. Dibagian ini akan dicakup rumpun obligasi pokok Negara dan secara khusus membahas obligasi negara berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob. Bagian ketiga, dimuat tema pelanggaran hak ekosob, termasuk indikator keberhasilan dan kekagalan, yang dapat digunakan untuk menilai pelaksanaan obligasi Negara. Dibagian ini, kemudian, dibahas juga mekanisme pelaksanaan obligasi negara berdasarkan klausula Kovenan Hak Ekosob.* Kedua penulis saat ini bekerja di Yayasan Lembaga Batuan Hukum Indonesia JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

22

Di bagian akhir, merupakan catatan penutup, memuat harapan: peristiwa peratifikasian Kovenan Hak Ekosob, dipaku untuk tonggak upaya mewujudkan keadilan sosial dan kebebasan masyarakat.

A. Keliru Pandang Ketentuan dalam Kovenan Hak-EkosobMeminjam istilah kelirumologi-nya Djaya Suprana, paling tidak ada 3 kesalahan dan sesat pandang yang berkaitan dengan implementasi hak ekosob. A.1. Seluruh prinsip dan pemenuhan Hak Ekosob dipenuhi secara bertahap (progressive realization) Prinsip non-diskriminasi merupakan sebuah prinsip yang secara otomatis menjadi kewajiban negara dalam pemenuhannya. Tidak dikenal implementasi prinsip non-diskriminasi secara bertahap. Karenanya, pemenuhannya dilakukan secara seketika. Obligasi Negara dalam Pasal 2 ayat (2) Kovenan adalah menjamin hak-hak dalam Kovenan Hak Ekosob dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau status sosial, kekayaan atau lainnya. Obligasi Negara dalam konteks ini adalah pernyataan komitmen dan kemauan baik, yang tidak mengenal setengah komitmen atau komitmen setengah-setengah melainkan komitmen penuh untuk menjamin prinsip non-diskriminasi, termasuk memastikan persamaan laki-laki dan perempuan menikmati semua hak-hak ekosob yang dijamin dalam Pasal 3 Kovenan. Selain obligasi dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut, obligasi dalam Pasal 5 Kovenan

juga dapat dipenuhi oleh Negara secara seketika, yakni: menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui dan melakukan pembatasan-pembatasan melebihi prinsip yang diperbolehkan Kovenan. Negara dalam hal ini dapat mengimplementasikan obligasinya dengan seketika. A.2. Semua pemenuhan hak ekosob membutuhkan biaya Ilustrasi ini dapat dijadikan contoh: jika pemerintah daerah (Pemda) belum mampu untuk memberikan fasilitas perumahan yang layak dalam bentuk apapun, sebagaimana menjadi obligasi Negara berdasarkan Pasal 11 Kovenan maka Pemda jangan melakukan penggusuran!1 Tidak melakukan penggusuran paksa merupakan sebuah praktik yang tidak membutuhkan dana. Baru-baru ini Pemda DKI Jakarta dan Pemda Bandung sibuk mencari wilayah untuk tempat pembuatan akhir sampah-sampah penduduk kota. Artinya, pemerintah memberikan perhatian dan mencarikan tempat untuk sampah; sebaliknya apakah masyarakat miskin kota lebih hina dari sampah, sehingga pemerintah daerah hanya main gusur; tanpa mencarikan solusi agar mereka mendapatkan tempat untuk bernaung? A.3. Semua pemenuhan hak ekosob mesti menunggu sumber daya yang berlimpah Komite Hak Ekosob pernah menyatakan dalam pemenuhan hak ekosob, seluruh sumber daya yang ada harus1 Lihat juga CESCR. Sixth session (1991). General

Comment No. 4: The right to adequate housing (art. 11(1) of the Covenant), paras. 8 (a), 13 and 18. Lihat juga secara khusus CESCR. Sixteenth session (1997). General Comment No. 7: The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant): Forced Evictions.

JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

23

digunakan dengan cara yang paling efektif (all existing resources must be devoted in the most effective way).2 Dalam konteks ini, paling baik untuk mencontoh apa yang dilakukan I Gde Winarsa, Bupati Jembrana: sebuah kabaputen yang tidak gemuk PADnya (lihat tabel 1), tetapi mampu menjalankan core-obligation dalam pemenuhan hak-hak ekosob, utamanya hak atas pendidikan dan kesehatan. Tabel 1 Jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Jembrana (2000 2004)Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 APBD PAD (dalam Rupiah) 66.911.688.691 2.551.526.749 131.599.246.286 5.540.224.419 171.703.401.395 11.555.147.609 193.157.562.548 11.055.956.008 205.000.287.634 9.785.500.000

Tabel 2 Contoh Indikator Pemenuhan Hak-hak Ekosob di Kabupaten JembranaIndikator Keluarga Miskin Tahun Perubahan 2001 2002 19,4% 10,9% Berkurang 44%

Kematian Bayi 15.25 8,39 Berkurang (per 1.000 lahir 45% hidup) Tingkat kegagalan 0,08% 0,02% Berkurang menyelesaikan 75% sekolah (drop-out) Sekolah Dasar Sumber: Diolah dari Yayasan TIFA,. 2005: 5.

Sumber: Dharma Santika Putra dan Nanoq da Kansas. 2004: 218.

Dengan jumlah APBD dan PAD tersebut, Bupati I Gde Winarsa, pada dasarnya telah memenuhi obligasi yang dinyatakan dalam Pasal 10 Kovenan memberikan perlindungan dan fasilitas bantuan pada keluarga. Juga perwujudan obligasi yang ditentukan oleh Pasal 13 Kovenan, utamanya hak anak-anak untuk mendapatkan akses pendidikan dasar: menurunkan angka drop-out pelajar (lihat Tabel 2).

Selain itu, I Gde Winarsa, tercatat sebagai pimpinan daerah yang mendapat pengakuan rekognisi publik, seperti mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI), yakni: (1) menjadi pelopor perwujudan program pendidikan dasar yang diwajibkan dan cuma-cuma (compulsory and free of charge); (2) memenuhi hak kesehatan masyarakat: menyediakan dan memfasilitasi pelayanan kesehatan gratis melalui program. Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ); (3) dalam skala tertentu berupaya menyediakan air bersih, dengan menjalankan proyek pengolahan air mineral dari air laut; (3) untuk mendukung hak atas pekerjaan, di kabupaten ini, juga membebaskan pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi lahan sawah. Implementasi obligasi pemerintah dalam memenuhi hak ekosob, sebagaimana contoh-contoh tersebut, suka atau tidak, langsung dan tidak langsung: menghantarkan I Gde Winarsa mencapai rekor MURI baru: memperoleh prosentase suara terbanyak dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 12 Oktober 2005, mencapai 88,56JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

2 Lihat OHCHR. Fact Sheet No. 16 (Rev. 1), The Com-

mittee on Economic, Social and Cultural Rights.

24

persen dari total suara yang sah. Selanjutnya, lagi-lagi langsung dan tidak langsung menghantarkan Ratna Ani Lestari, sebagai Bupati Banyuwangi. MURI mencatat rekor: I Gde Winarsa dan Ratna Ani Lestari sebagai pasangan suami-isteri (Pasutri) pertama yang menjadi Kepala Daerah.3

B. Obligasi Negara Berdasarkan Ketentuan Kovenan Hak EkosobDengan pengikatan Indonesia sebagai Negara Pihak Kovenan Hak Ekosob, maka penafsiran pasal-pasal dalam Kovenan, maka penafsiran tentang isi kovenan ini tidak dapat secara sewenang-wenang diklaim oleh lembaga-lembaga Negara, termasuk DPR dan Pemerintah, namun mesti merujuk pada naskah asli dan sumber-sumber yang diakui, seperti penjelasan yang diadopsi Komite Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Komite Hak Ekosob) yang dibentuk berdasarkan ketentuan Kovenan. Dalam konteks ini, UU No. 11/ 2005, Penjelasan Pasal 1 ayat (2) dinyatakan, jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah asli dalam bahasa Inggris serta pernyataan (declaration) terhadap Pasal 1 Kovenan Hak Ekosob. Hal tersebut penting kembali diingatkan. Sebagai contoh berkaitan dengan hak atas air sebagai hak asasi manusia sebagai elemen hak yang utama dalam Pasal 11 dan 12 Kovenan, maka DPR dan Pemerintah, mesti merujuk pada pengertian the3 Tentang hal tersebut, lihat antara lain A. Patra M.

right to water sebagaimana dijabarkan dalam Komentar Umum (General Comment) Komite Ekosob No. 15 yang menjelaskan Pasal 11 dan 12 Kovenan.4 DPR dan Pemerintah tidak dapat semena-mena menafsirkan hak atas air sebagai water rights a la Bank Dunia (World Bank) atau penafsiran yang dianut UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, yang mengizinkan hak guna pakai dan hak guna usaha atas air, yang pada prinsipnya memperbolehkan komersialisasi air untuk keuntungan orang seorang dan badan usaha privat. Jika didalami, Kovenan Hak Ekosob disusun, tidak lain dan tidak bukan untuk perlindungan dan pemenuhan hak, agar setiap orang dan kelompok masyarakat dapat menikmati semua katalog hak ekosob, setinggi-tingginya dan semaksimal mungkin, yang bisa dicapai manusia. Disinilah kerangka kerja Negara mesti disusun agar meningkatkan penikmatan hak-hak ekosob semua orang, bukan sebaliknya malah Negara berkontribusi terhadap penurunan (degradasi) penikmatan hak ekosob warga-negaranya. Untuk tujuan tersebut, disiplin hukum internasional hak asasi manusia mengenalkan minimum core obligation atau obligasi pokok yang paling minimum yang harus dipatuhi dan diimplementasikan Negara.5 Karenanya, apakah terjadi pelanggaran obligasi Negara atau tidak, akan dieksaminasi dan diperiksa apakah negara yang bersangkutan telah melakukan segala upaya menggunakan segala sumber daya untuk melakukan obligasi pokoknya dalam pemenuhan hak ekosob.

Zen. Cara Mudah Menjadi Kepala Daerah: Dari Komitmen Pemenuhan Hak Ekosob Rakyat, paper pada Pendidikan Kritis untuk Aktivis Partai Politik (Penegakan Demokrasi dan Pemenuhan Hak Ekosob), kerjasama LBH Bandar Lampung dan FES Jakarta, Bandar Lampung, 23-25 Februari 2006. JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

4 Lihat UN doc. CESCR.Twenty-ninth session (2002).

General Comment No. 15: The right to water (arts. 11 and 12 of the Covenant). 5 Lihat UN doc. CESCR. Fifth Session (1990). General Comment No. 3: The Nature of State parties obligations (art. 2, para. 1, of the Covenant), para. 10.

25

Contoh dalam pemenuhan hak atas pendidikan dasar yang diwajibkan dan cuma-cuma sebagaimana dijamin dalam Pasal 14 Kovenan.6 Ironis, anak-anak dari keluarga miskin tidak dapat menikmati pendidikan dasar, sebaliknya para anggota DPR dan DPRD malah menikmati studi banding yang menghabiskan bukan saja ratusan juga bahkan miliar rupiah setiap periode 5 tahun keanggotaan sebagai wakil rakyat. Dalam Komentar Umum Komite Ekosob No. 11, dinyatakan: Article 14 requires each State party which has not been able to secure compulsory primary education, free of charge, to undertake, within two years, to work out and adopt a detailed plan of action for the progressive implementation, within a reasonable number of years, to be fixed in the plan, of the principle of compulsory primary education free of charge for all.7 B.1. Lima Layer Obligasi Pokok: Rumpun Obligasi yang Saling Berkait Atas jasa International Law Commission, disiplin hukum hak asasi manusia mengenal 2 bentuk obligasi Negara yang pokok berdasarkan Kovenan Hak Ekosob: obligations of conduct dan obligation of result.8 Obligation of conduct, merupakan obligasi atau kewajiban Negara untuk melakukan sesuatu, semua upaya dan segala tindakan untuk menerima (to mempromosikan (to promote), menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) memfasilitasi (to facilitate)6 Periksa juga CESCR. Twentieth session (1999). Ge-

dan menyediakan (to provide) penikmatan hak-hak ekosob. a. Mengakui (to recognize)

Klasifikasi obligasi Negara dalam mengakui bahwa hak ekosob merupakan hak asasi manusia. Sehingga, seperti jika terjadi pelanggaran atau kejahatan hak-hak sipil politik, maka semestinya Negara mengakui semua mekanisme dan konsekwensi yang mesti ditanggung para pelaku pelanggaran hak ekosob. Misalnya: jika banyak keluarga miskin yang tidak dapat memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan; tidak dapat memasukan anak-anaknya ke sekolah karena mahalnya biaya pendidikan, maka, pejabat yang berkompeten dalam hal ini, mesti mempertanggunjawabkannya dalam sistem hukum di Indonesia (justiciable).9 Obligasi Negara dalam hal mengakui prinsip-prinsip pemenuhan hak ekosob, juga secara tegas dinyatakan dalam hal upaya-upaya bantuan teknis internasional. Sebagai contoh, Negara berkewajiban untuk menerima the essential importance of international cooperation based on free consent.10 b. Mempromosikan (to promote)

Aparat Negara, termasuk aparat penegak hukum dan birokrasi mesti melakukan promosi hak-hak ekosob. Promosi bukan saja dilakukan melalui penyebaran iklan layanan masyarakat9 Ibid., paras. 7, 9; 10-11; Lihat juga A. Patra M. Zen.

neral comment No. 11: Plans of action for primary education (art. 14). 7 Ibid., para. 1. 8 Lihat UN doc. CESCR. General Comment No. 3. Op.cit., para. 1.

Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Menarik Pengalaman Internasional, Mempraktikannya di Indonesia. dalam Jurnal HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Vol. 1 No. 1 Oktober 2003., pp. 36-47. 10 UN doc. CESCR. Sixth session (1991). General Comment No. 4: The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant), para. 19. JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

26

tetapi juga melalui pelibatan masyarakat sipil secara aktif. Program-program promosi atau seringkali disebut dengan sosialisasi mutlak wajib dilakukan. Hal ini agar dimungkinkan adanya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan distribusi manfaat atau hasil-hasil yang ingin dicapai oleh program pemenuhan hak ekosob. Partisipasi masyarakat semacam ini (full and meaningful participation), dimungkinkan jika Negara mensosialisasikan rencana, peraturan atau kebijakan pembangunan secara luas agar dapat diketahui dan dipahami oleh publik.11 Pentingnya Negara dalam menjalankan obligasi promosi, telah menjadi perhatian yang pokok oleh Komite Hak Ekosob, termasuk dalam hal Pelaporan yang dilakukan Negara Pihak.12 c. Menghormati (to respect)

juan sukarela calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 10 ayat (1) Kovenan). Contoh lain, Negara tidak diperkenankan untuk melakukan intervensi baik melalui peraturan perundangan atau kebijakan, maupun campur tangan langsung hak seseorang atau kelompok untuk membentuk serikat buruh/pekerja atas pilihannya sendiri atau melakukan pemogokan (Pasal 8 Kovenan) d. Melindungi (to protect) Salah satu contoh yang paling prudent obligasi Negara untuk melindungi hak ekosob, yakni memastikan adanya legal security of tenure,13 keamanan hukum kepemilikan atas tanah. Keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 35/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Untuk Kepentingan Umum, pada dasarnya bertentangan dengan obligasi Negara untuk melindungi hak atas tanah: karena tidak diatur dengan jelas mekanisme perlindungan bagi seseorang atau kelompok masyarakat yang tanahnya diambilalih.14 Dalam Perpres ini seharusnya dimuat jaminan reparasi (rehabilitasi, restitusi dan kompensasi) bagi si pemilik tanah.13 Lihat UN doc. CESCR. General Comment No. 4.

Obligasi penghormatan yang mesti dilakukan Negara, mempunyai makna, negara tidak melakukan tindakan yang justru membatasi sebagian atau seluruhnya hak-hak ekosob masyarakat. Pembatasan hanya dapat dilakukan dengan maksud agar terpenuhinya hak-hak itu sendiri. Dalam klasifikasi ini, antara lain, Negara wajib menghormati persetu11 Bahasan yang rinci tentang prinsip full and mean-

Op.cit., para. 8(a).14 Lihat antara lain Siaran Pers Bersama Yayasan

ingful participation dalam proses pembangunan, antara lain lihat A. Patra M. Zen, A critical contextual human rights analysis of Kedung Ombo Large Dam Project in Indonesia. Dissertation for LL.M in International Human Rights Law, University of Essex (2002). Tidak Dipublikasikan, h. 2628; lihat juga What does the rights to participate mean, paper diskusi pada Development and Human Rights, Essex University, 26 September 2002. 12 Lihat UN doc. CESCR. Third session (1989). General Comment No. 1: Reporting by States parties, para. 9. JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

LBH Indonesia, Walhi, KSPA dan ELSAM, 9 Mei 2005 tentang Penetapan Peraturan Presiden No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pemerintahan SBY-Kalla Menunjukkan Watak Aslinya: Mendahulukan Kepentingan Pemilik Modal Daripada Kepentingan Masyarakat; Lihat juga Kompas. 10 Mei 2005. Lebih Represif, Perpres Nomor 36/2005 Harus Dibatalkan; Suara Pembaruan. 10 Mei 2005. Perpres tentang Pengadaan Tanah. Pemerintah Dinilai Lebih Represif; Kompas. 6 Juni 2006. Selesai, Revisi Perpres Tanah. Sejumlah Kalangan Nilai yang Direvisi Tak Signifikan; Kompas. 7 Juni 2006. YLBHI Minta Revisi Perpres Diwaspadai;

27

Contoh lain adalah memberikan perlindungan dalam bentuk peraturan perundang-undangan agar setiap orang dapat menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, termasuk memastikan pekerja/buruh memperoleh upah yang adil, yang dapat menghidupi keluarganya secara layak, kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan memperoleh promosi ke jenjang yang lebih tinggi, serta menikmati istirahat, liburan dan pembatasan kerja yang wajar dan hak-hak yang melekat didalamnya (Pasal 7 Kovenan). Selanjutnya, Negara berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Kovenan wajib memberikan perlindungan khusus kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan, karenanya berhak mendapat cuti dengan upah/gaji dan jaminan sosial yang memadai. Sementara Pasal 10 ayat (3) Kovenan, meminta Negara untuk melakukan perlindungan bagi anak-anak dan remaja dari semua bentuk eksploitasi ekonomi dan sosial. Perlindungan, sebagai obligasi Negara, juga dilakukan seperti memastikan setiap orang bebas dari kelaparan (Pasal 11 ayat (2) Kovenan) dan bebas untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya (Pasal 15 ayat (1) Kovenan). e. Memenuhi: memfasilitasi dan menyediakan (to fulfill: to facilitate and to provide)

Obligasi untuk memenuhi hak asasi manusia secara inheren mempunyai makna Negara melakukan upaya untuk memfasilitasi dan menyediakan hak-hak ekosob setiap warga negaranya. Perwujudan obligasi Negara untuk pemenuhan hak ekosob, sebagaimana dimuat dalam Kovenan sebagai berikut:

Menyediakan lapangan kerja dan memfasilitasi bimbingan teknis, program-program pelatihan, dan kegiatan ekonomi produktif (Pasal 6 Kovenan); Menyediakan dan memfasilitasi jaminan sosial termasuk asuransi sosial bagi setiap warga negara (Pasal 9 Kovenan); Menyediakan bantuan kepada keluarga untuk merawat dan mendidik anak-anak yang masih dalam tanggungannya (Pasal 10 Kovenan); Dengan kerjasama internasional, Negara menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas pangan, sandang dan perumahan, dan perbaikan kondisi hidup semua orang secara terus menerus (Pasal 11 Kovenan); Menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas standar kesehatan fisik dan mental setinggi-tingginya yang dapat dicapai (Pasal 12 Kovenan); Menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas pendidikan, termasuk memenuhi hak setiap orang menikmati pendidikan dasar yang wajib dan cuma-cuma (compulsory and free of charge) (Pasal 13 dan 14 Kovenan). Tidak seperti sekarang, cuma bayar SPP, cuma bayar buku, dan seterusnya pungutan yang membebani siswa dan orang tua murid; Menyediakan dan memfasilitasi (akses) semua orang untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya (Pasal 15 ayat (1) Kovenan);

28

JURNAL HAM Vol. 4 Th. 2007

B.2. Mengenal Lebih Dekat: Obligasi Negara Menurut Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob menyatakan: Setiap Negara Peserta Kovenan ini berupaya untuk mengambil langkahlangkah, secara sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dalam bidang ekonomi dan teknis, sejauh dimungkinkan oleh sumberdaya yang tersedia, yang mengarah pada pencapaian secara bertahap demi realisasi sepenuhnya dari hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dengan semua cara yang tepat, termasuk pada khususnya dengan mengadopsi langkah-langkah legislatif. Menurut Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Komite Hak Ekosob), Pasal 2 tersebut mengandung kepentingan khusus untuk mencapai pemahaman seutuhnya atas Kovenan dan harus dilihat dalam hubungannya yang dinamis dengan semua ketentuan Kovenan lainnya. Pasal 2 ini menjelaskan sifat dari kewajiban yang umum ditempuh oleh Negara Peserta Kovenan.15 Selain itu, nampak penting di sini untuk memahami arti dari istilah-istilah yang digunakan dalam Pasal 2 Kovenan untuk memahami bagaimana implementasi kewajiban Negara seharusnya dijalankan. Istilah-istilah seperti: berupaya mengambil langkah-langkah (undertakes to take steps), sejauh dimungkinkan oleh sumberdaya yang tersedia (to the maximum available resources), pencapaian secara bertahap demi realisasi sepenuhnya (achieving progressively the full realization), dan dengan semua cara yang tepat, termasuk pada khu15 UN doc. CESCR. General Comment No. 3. Op.cit.,

susnya dengan mengadopsi langkah-langkah legislatif (by all appropriate means including particularly adoption of legislative measures) adalah bersifat unik dan tidak terdapat, atau tidak digunakan dalam obligasi yang dimuat dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol). Penggunaan istilah Setiap Negara Peserta... berupaya mengambil langkahlangkah sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 (1) Kovenan Hak Ekosob, memang biasanya ditafsirkan dengan kandungan arti implementasi Kovenan secara bertahap. Namun demikian, Komite Hak Ekosob melalui Komentar No. 3 telah menjelaskan bahwa, walaupun realisasi sepenuhnya atas hak-hak yang relevan bisa dicapai secara bertahap, namun langkahlangkah kearah itu harus diambil dalam waktu yang tidak lama setelah Kovenan berlaku bagi Negara Peserta bersangkutan.16 Langkah-langkah tersebut haruslah dilakukan secara terencana, konkrit dan diarahkan kepada sasaran-sasaran yang dirumuskan sejelas mungkin dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajiban Kovenan. Komite Hak Ekosob mengakui bahwa negaralah yang harus memutuskan langkah-langkah yang tepat dan hal tersebut bergantung pada hak yang hendak diimplementasikan. Selanjutnya Komite menegaskan bahwa, laporan Negara Peserta harus menyebutkan tidak hanya langkah-langkah yang telah ditempuh namun juga alasan mengapa langkah-langkah tersebut dianggap sebagai paling tepat berikut situasisituasinya.17 Interpretasi Komite terhadap istilah all appropriate measures jelas berkaitan baik dengan kewajiban melakukan16 Ibid., para. 2. 17 Ibid., para. 4.

para. 1. JURNAL HAM