Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

14
1 ANALISIS PUTUSAN HAKIM PADA GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DI PENGADILAN NEGERI PEKANBARU PERKARA NOMOR : 139/PDT/G/2011/PN.PBR DICHA ARDITA PRATIWI ABSTRAK Penegakan hukum dalam acara perdata dilakukan melalui proses peradilan dalam bentuk gugatan atau permohonan. Gugatan atau permohonan tersebut dilakukan di pengadilan sebagai benteng terakhir. Sebagai benteng terakhir seyogyanya pengadilan dapat memberikan rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan atau setidak-tidaknya mendekati rasa tersebut. Fenomena yang sering terjadi dalam proses penegakan hukum khususnya hukum perdata adalah ketidakadilan, ketidakpastian dan ketidakmanfaatan dari setiap keputusan yang dilahirkan. Dengan kata lain seringkali keputusan yang dikeluarkan oleh suatu badan peradilan menimbulkan kontroversi, dan juga tidak jarang berbenturan dan prinsip keadilan, kepastian dan kemanfatan. Salah satu contoh kasus menarik adalah perkara perdata nomor 139/PDT/G/2011 /PN.PBR tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT. Abdi Jaya Utama Motor atas tindakannya melakukan take over (tagihan sendiri) kepada konsumen dari CV. Jasa Rimba Motor, akan tetapi jumlah tagihan (take over) tersebut melebih dari jumlah hutang tertunggak, Sehingga mengambil juga sejumlah keuntungan yang akan diharapkan oleh MASTISON ISA. Jumlah keuntungan yang diharapkan dan yang telah hilang sebagai akibat di take over atau diambil alih tagihannya oleh PT. Abdi Jaya Utama Motor terhadap CV. Jasa Rimba Motor adalah sebesar Rp. 771.267.700,- (tujuh ratus tujuh puluh satu juta dua ratus enam puluh tujuh ribu tujuh ratus rupiah), yang hingga hari ini tidak dapat MASTISON ISA nikmati. Hal-hal yang diuraikan di atas menarik minat penulis melakukan penelitian dalam bentuk skripsi, dengan pokok masalah sebagai berikut untuk mengetahui: 1) Dasar pertimbangan hakim dalam perkara nomor 139/PDT/G/2011/PN.PBR sudah memenuhi asas kemanfaatan, 2) bentuk perbuatan melawan hukum dalam perkara nomor 139/PDT/G/2011/PN.PBR tersebut. Dari hasil penelitian diketahui bahwa dasar pertimbangan hakim dalam perkara nomor 139/PDT/G/2011/PN.PBR tersebut di Pengadilan Negeri Pekanbaru belum mencerminkan asas semanfaatan, karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi hukum, menyebabkan majelis hakim pengadilan negeri Pekanbaru mengeluarkan keputusan yang tidak memenangkan siapa- siapa, tidak memberikan keadilan apa-apa, tidak memberikan kepastian hukum apa-apa, bahkan juga tidak memberi manfaat dalam bentuk apapun bagi kedua belah pihak yang berperkara. Bentuk perbuatan melawan hukum dalam perkara nomor 139/PDT/G/ 2011/PN.PBR sudah, jelas, yaitu perbuatan pengambil alihan tagihan (take over) oleh PT. Abdi Jaya Utama Motor terhadap konsumen di Sungai Apit tanpa pemberitahuan kepada CV. Jasa Rimba Motor dan bahkan tanpa melakukan pengurangan hutang tertunggak dari CV. Jasa Rimba Motor. Namun sayangnya fakta ini tidak pernah dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara nomor 139/PDT/G/2011/PN.PBR. Kata Kunci : Putusan Hakim, Perbuatan Melawan Hukum ABSTRACT Enforcement of civil procedure is done through a judicial process in the form of a lawsuit or petition. Lawsuit or petition was conducted in the courts as the last bastion. As the last bastion of the court should be able to give you a sense of fairness, certainty and expediency or at least close to the flavor. Phenomenon that often occurs in the process of enforcement of civil law in particular is injustice, uncertainties and disadvantages of each decision are born. In other words, often the decision issued by a judicial controversy, and also not infrequently in conflict and the

Transcript of Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

Page 1: Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

1

ANALISIS PUTUSAN HAKIM PADA GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DI

PENGADILAN NEGERI PEKANBARU PERKARA

NOMOR : 139/PDT/G/2011/PN.PBR

DICHA ARDITA PRATIWI

ABSTRAK

Penegakan hukum dalam acara perdata

dilakukan melalui proses peradilan dalam

bentuk gugatan atau permohonan. Gugatan

atau permohonan tersebut dilakukan di

pengadilan sebagai benteng terakhir. Sebagai

benteng terakhir seyogyanya pengadilan

dapat memberikan rasa keadilan, kepastian

dan kemanfaatan atau setidak-tidaknya mendekati rasa tersebut.

Fenomena yang sering terjadi dalam proses

penegakan hukum khususnya hukum perdata

adalah ketidakadilan, ketidakpastian dan

ketidakmanfaatan dari setiap keputusan yang

dilahirkan. Dengan kata lain seringkali

keputusan yang dikeluarkan oleh suatu badan

peradilan menimbulkan kontroversi, dan juga

tidak jarang berbenturan dan prinsip

keadilan, kepastian dan kemanfatan.

Salah satu contoh kasus menarik adalah

perkara perdata nomor 139/PDT/G/2011

/PN.PBR tentang perbuatan melawan hukum

yang dilakukan oleh PT. Abdi Jaya Utama

Motor atas tindakannya melakukan take over

(tagihan sendiri) kepada konsumen dari CV.

Jasa Rimba Motor, akan tetapi jumlah

tagihan (take over) tersebut melebih dari

jumlah hutang tertunggak, Sehingga

mengambil juga sejumlah keuntungan yang

akan diharapkan oleh MASTISON ISA.

Jumlah keuntungan yang diharapkan dan

yang telah hilang sebagai akibat di take over

atau diambil alih tagihannya oleh PT. Abdi

Jaya Utama Motor terhadap CV. Jasa Rimba

Motor adalah sebesar Rp. 771.267.700,-

(tujuh ratus tujuh puluh satu juta dua ratus

enam puluh tujuh ribu tujuh ratus rupiah),

yang hingga hari ini tidak dapat MASTISON

ISA nikmati.

Hal-hal yang diuraikan di atas menarik minat

penulis melakukan penelitian dalam bentuk

skripsi, dengan pokok masalah sebagai

berikut untuk mengetahui: 1) Dasar

pertimbangan hakim dalam perkara nomor

139/PDT/G/2011/PN.PBR sudah memenuhi

asas kemanfaatan, 2) bentuk perbuatan

melawan hukum dalam perkara nomor

139/PDT/G/2011/PN.PBR tersebut.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa dasar

pertimbangan hakim dalam perkara nomor

139/PDT/G/2011/PN.PBR tersebut di

Pengadilan Negeri Pekanbaru belum

mencerminkan asas semanfaatan, karena

adanya faktor-faktor yang mempengaruhi

hukum, menyebabkan majelis hakim pengadilan negeri Pekanbaru mengeluarkan

keputusan yang tidak memenangkan siapa-

siapa, tidak memberikan keadilan apa-apa,

tidak memberikan kepastian hukum apa-apa,

bahkan juga tidak memberi manfaat dalam

bentuk apapun bagi kedua belah pihak yang

berperkara.

Bentuk perbuatan melawan hukum dalam

perkara nomor 139/PDT/G/ 2011/PN.PBR

sudah, jelas, yaitu perbuatan pengambil

alihan tagihan (take over) oleh PT. Abdi Jaya

Utama Motor terhadap konsumen di Sungai

Apit tanpa pemberitahuan kepada CV. Jasa

Rimba Motor dan bahkan tanpa melakukan

pengurangan hutang tertunggak dari CV. Jasa

Rimba Motor. Namun sayangnya fakta ini

tidak pernah dijadikan sebagai bahan

pertimbangan oleh majelis hakim dalam

memeriksa dan memutus perkara nomor

139/PDT/G/2011/PN.PBR.

Kata Kunci : Putusan Hakim, Perbuatan

Melawan Hukum

ABSTRACT

Enforcement of civil procedure is done

through a judicial process in the form of a

lawsuit or petition. Lawsuit or petition was

conducted in the courts as the last bastion.

As the last bastion of the court should be

able to give you a sense of fairness, certainty

and expediency or at least close to the flavor.

Phenomenon that often occurs in the process

of enforcement of civil law in particular is

injustice, uncertainties and disadvantages of

each decision are born. In other words, often

the decision issued by a judicial controversy,

and also not infrequently in conflict and the

Page 2: Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

2

principles of fairness, certainty and

happiness. One interesting case is a civil

case 139/PDT/G/2011/PN.PBR number of

illegal actions carried out by PT. Abdi Jaya

Main Motor for its actions do take over (the

bill itself) to consumers from CV. Motor

Rimba services, but the amount of the bill

(take over) that exceeded the amount of debt

in arrears, so take also a number of benefits

to be expected by MASTISON ISA. The

amount of expected return and that has been

lost as a result in the take over or taken over

by PT bill. Abdi Jaya Main Motor to the CV.

Rimba Motor Services is Rp. 771 267 700, -

(seven hundred and seventy-one million two

hundred sixty-seven thousand seven hundred

dollars), which to this day can not enjoy

MASTISON ISA.

The things described above attract authors

conducted a study in the form of paper, with

the following subject matter to know: 1)

Basic considerations in case number

139/PDT/G/2011/PN.PBR judges already

meet the principle of expediency, 2) forms of

tort in the case 139/PDT/G/2011/PN.PBR

number.

The survey results revealed that the basic

consideration of the judge in the case number

on the Court 139/PDT/G/2011/PN.PBR

Pekanbaru not reflect the principle of

happiness, because the factors that affect the

law, causing Pekanbaru district court judge

issued a preliminary injunction not winning

anyone, do not give any justice, the rule of

law does not give anything, not even giving

the benefit of any kind for both the litigants.

Form of an unlawful act in case number

139/PDT/G / 2011/PN.PBR is, obviously, the

deeds of the takeover bill (take over) by PT.

Abdi Jaya Main Motor to the consumer in the

River Apit without notice to the CV. Rimba

Motor and services even without reduction of

debt outstanding CV. Rimba Motor Services. But unfortunately this fact is never used as a

material consideration by the judges in

examining and deciding the case number

139/PDT/G/2011/PN.PBR

Keywords: Judges verdict, Unlawful Deeds

A. Pendahuluan

Penegakan hukum merupakan

rangkaian proses untuk menjabarkan nilai,

ide, cita yang abstrak yang menjadi

sebuah tujuan hukum yang konkrit.1

Tujuan hukum atau cita hukum memuat

nilai-nilai moral, seperti keadilan dan

kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus

mampu diwujudkan dalam realitas nyata.

Upaya penegakan hukum secara

perdata dilakukan melalui pintu proses

peradilan dalam bentuk gugatan atau

permohonan. Pengadilan sebagai pintu

terakhir dari proses penegakan hukum

akan memberikan ouput berupa penetapan

atau keputusan akhir. Akan tetapi sering

terjadi ouput yang dikeluarkan oleh

institusi pengadilan tersebut kerap belum

mampu memberikan rasa keadilan kepada

masyarakat.

Dalam praktik, ada ditemukan

putusan pengadilan menimbulkan

kontroversi, bahkan berbenturan dengan

prinsip keadilan dan kepastian hukum

serta asas kemanfaatan. Tidak jarang suatu

perbuatan yang semula telah dirumuskan

sebagai suatu tindak Perdata oleh Jaksa

Penuntut Umum, tetapi kemudian Hakim

memandang perbuatan tersebut bukan

sebagai tindak Perdata. Sebaliknya tidak

jarang juga terjadi suatu perbuatan yang

berada dalam batas Grey area (abu-abu)

bukan merupakan perbuatan Perdata tetapi

dipaksakan menjadi perbuatan Perdata

1Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu

Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta,

2009, hlm: 1

Page 3: Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

3

(diskriminalisasi), yang pada muaranya

keluarlah keputusan yang kontroversi.

Di satu sisi jika faktanya perbuatan

yang dilakukan oleh Penggugat memang

bukan kategori perbuatan Perdata, maka

putusan lepas dari segala tuntutan hukum

adalah tepat dan benar sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku. Masalah

muncul, jika perbuatan tersebut ternyata

benar merupakan perbuatan Perdata, akan

tetapi ada kekeliruan Majelis Hakim

dalam menafsirkan perbuatan Perdata

tersebut, sehingga seolah-olah perbuatan

tersebut bukan merupakan perbuatan

Perdata, yang berakibat dibebaskannya

Penggugat, maka tentunya keputusan

tersebut bersifat fatal dan melukai rasa

keadilan di masyarakat.

Permasalahan dalam kasus-kasus

yang sering terjadi dalam proses peradilan

adalah adanya ketidakseragaman cara

pandang di kalangan aparat penegak

hukum tentang ”kriteria perbuatan Perdata

atau perbuatan melawan hukum perdata

dengan perbuatan melawan hukum

pidana”. Ketidakseragaman pandangan

mengenai batasan “tindak Perdata atau

pidana” inilah yang pada akhirnya

menimbulkan berbagai persoalan

sehubungan dengan keputusan kontroversi

oleh lembaga peradilan.

Pada Pengadilan Negeri Pekanbaru

ditahun 2011-2012 jumlah perkara perdata

yang masuk adalah 358 perkara. Salah

satu contoh perkaran perdata tersebut

adalah Perkara Perdata Nomor

139/PDT/G/ 2011/PN.PBR atas suatu

Gugatan perbuatan melawan hukum yang

berawal dari Perkara perdata Nomor

73/PDT/G/2007/PN.PBR tentang perkara

Wan Prestasi atas nama Ny. Dewi Yusra

Sari Dewi selaku Direktur PT. Abdi Jaya

Utama Motor (untuk selanjutnya disebut

PT. AJUM) sebagai Penggugat dengan

Mastison Isa bin Iyab selaku Pimpinan

CV. Jasa Rimba Motor (untuk selanjutnya

disebut CV. JRM) sebagai Tergugat.

Perkara Wan Prestasi ini terjadi karena

adanya suatu perjanjian kerjasama

penitipan sepeda motor merek Jialing

antara PT. AJUM dgn CV. JRM.

Penggugat (PT. AJUM) dalam hal

perjanjian penitipan sepeda motor ini

bermaksud menitipkan sepeda motor

merek Jialing dengan tujuan Tergugat

dapat melakukan penjualan sepeda motor

tersebut melalui CV. JRM.

Bahwa adapun jumlah sepeda

motor Merk Jialing milik Penggugat yang

dititipkan kepada Tergugat adalah 312

(tiga ratus dua belas) unit dan Tergugat

melakukan penjualan sebanyak 312 (tiga

ratus dua belas) unit baik secara cash

maupun kredit. Jumlah motor yang terjual

cash sebanyak 70 (tujuh puluh) unit dan

kredit sebanyak 242 (dua ratus empat

puluh dua) unit. Selama kerjasama

berlangsung pada awalnya kewajiban

pembayaran yang dilakukan Tergugat

kepada Penggugat berjalan dengan lancar,

namun sejak bulan November 2005

Tergugat mulai tidak melakukan

Page 4: Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

4

pembayaran terhadap uang sisa penjualan

sepeda motor milik Penggugat baik secara

cash maupun secara kredit dengan total

sejumlah Rp. 725.230.800 (tujuh ratus dua

puluh lima juta dua ratus tiga puluh ribu

delapan ratus rupiah) yang disebabkan

adanya perbuatan penggelapan yang

dilakukan oleh sub chanel dan komplain

nasabah di Sungai Apit dan sekitar yang

tidak ditanggapi oleh Penggugat, sehingga

Tergugat (CV. JRM) tidak dapat

menunaikan kewajibannya (wanprestasi).

Perkara Wanprestasi ini telah

diputuskan sampai ke Mahkamah Agung

R.I dengan Register Nomor.

408/K/PDT/2010 yang dimenangkan oleh

Penggugat (PT. Abdi Jaya Utama Motor),

karena merasa keputusan Majelis Hakim

tidak sesuai dengan asas keadilan, asas

kepastian hukum, dan asas kemanfaatan

maka Terguggat (CV. JRM) mengajukan

gugatan perbuatan melawan hukum

dengan perkara Nomor: 139/PDT/

G/2011/PN.PBR atas nama Mastison Isa

Bin Iyab selaku Pimpinan CV. Jasa Rimba

Motor (untuk selanjutnya disebut CV.

JRM) sebagai penggugat dengan Ny.

Dewi Yusra Sari Dewi selaku Direktur

PT. Abdi Jaya Utama Motor (untuk

selanjutnya disebut PT. AJUM) sebagai

Tergugat.

Selama pembayaran sepeda motor

Jialing tersebut belum dilunasi status

sepeda motor tersebut adalah titipan.

Dengan kata lain PT. AJUM tetap sebagai

pemilik barang tersebut, kecuali sepeda

motor yang telah dilunasi oleh Penggugat.

Akan tetapi dalam proses perjanjian

berlangsung terjadi penunggakan

pembayaran yang disebabkan adanya

perbuatan penggelapan yang dilakukan

oleh sub chanel dan komplin nasabah di

sungai apit dan sekitarnya yang tidak

ditanggapi oleh PT. AJUM, sehingga

Penggugat tidak dapat menunaikan

kewajibannya untuk melakukan

pembayaran kepada PT. AJUM (dengan

kata lain CV. JRM telah wanprestasi).

Terhadap penunggakan

pembayaran tersebut PT. AJUM telah

mengambil kebijaksanaan sepihak tanpa

terlebih dahulu memberitahukan kepada

Penggugat (CV. JRM), dengan cara

melakukan take over atau pengambil

alihan tagihan dari nasabah CV. JRM

(Penggugat) yang ada di Sungai Apit sejak

bulan Juni 2006 hingga saat ini.

Sisa hutang tertunggang tersebut

ditagih langsung oleh PT. AJUM kepada

para nasabah CV. JRM (Penggugat),

dimana terhadap 312 unit sepeda motor

Jialing tersebut CV. JRM (Penggugat)

masih harus menangih kepada para

nasabahnya dengan total keseluruhan

sampai akhir masa kontrak berakhir

sebesar Rp. 1.439.163.000,- yang jika

dipotong dengan hutang Penggugat

sebesar Rp. 725.530.800,-, maka masih

bersisa keuntungan yang diharapkan dari

Penggugat (CV. JRM) sebesar

Rp.713.632.200,-. Faktanya keuntungan

yang diharapkan sebesar Rp.713.632.200,-

Page 5: Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

5

tidak dapat dinikmati oleh Penggugat,

karena sisa keuntungan tersebut diambil

atau ditagih oleh PT. AJUM.

PT. AJUM juga menarik 50 unit

sepeda motor Jialing dari tangan nasabah

dan telah menjual kembali sepeda motor

tarikan tersebut, juga menahan sebagai

agunan (tanpa izin Penggugat) 30 buah

BKPB sepeda motor yang telah dibayar

lunas oleh Penggugat. PT. AJUM yang

telah melakukan tagihan sendiri kepada

konsumen Penggugat di Sungai Apit dan

sekitarnya, bahkan uang hasil tagihan

sendiri tersebut tidak dimasukkan sebagai

angsuran cicilan atau pemotongan atas

hutang Penggugat yang tersisa sebesar Rp.

725.530.800 (tujuh ratus dua puluh lima

juta lima ratus tiga puluh ribu delapan

ratus rupiah).

Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Pekanbaru yang memeriksa mengadili

perkara tersebut, dalam keputusannya

menyatakan bahwa: ”menolak gugatan

Penggugat Untuk seluruhnya”.

B. Rumusan Masalah

Dari fenomena-fenomena yang

telah Penulis kemukakan di atas ada 2

(dua) masalah pokok yang dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah dasar pertimbangan Hakim

dalam Perkara Nomor:

139/PDT/G/2011/PN.PBR sudah

memenuhi asas kemanfaatan?

2. Bagaimana bentuk perbuatan melawan

hukum dalam Perkara Nomor:

139/PDT/G/2011/PN.PBR?

B. DASAR PERTIMBANGAN

PUTUSAN HAKIM PERKARA

NOMOR : 139/PDT/G/2011/PN.PBR

DITINJAU BERDASARKAN ASAS

KEMANFAATAN

Penyelesaian suatu perkara oleh

lembaga atau badan peradilan dilakukan

dengan dikeluarkannya suatu putusan.

Mengenai suatu putusan menurut asas hukum

acara perdata menyatakan bahwa setiap

putusan yang dikeluarkan harus disertai

dengan alasan-alasan dari putusan tersebut.

Alasan-alasan dalam putusan ini

dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban

hakim terhadap putusan yang dikeluarkannya

kepada masyarakat,para pihak, pengadilan

yang lebih tinggi dan kepada ilmu hukum,

sehingga putusan tersebut mempunyai nilai

obyektif.2

Sebelum menjatuhkan putusannya

hakim harus memperhatikan serta

mengusahakan seberapa dapat jangan sampai

putusan yang akan dijatuhkan nanti

memungkinkan timbulnya perkara baru.

Putusan harus tuntas dan tidak menimbulkan

ekor perkara baru.3 Seperti Dalam putusan

perkara Nomor: 139/PDT/G/2011 /PN.PBR

yang menjadi objek sengketa adalah :

- Bahwa dalam tahun 2009 PT.Abdi Jaya

Utama Motor masih melakukan take

over dan melakukan tagihan uang

2 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm: 15

3 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm: 115

Page 6: Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

6

cicilan, melakukan penarikan sepeda

motor Jia Ling kepada nasabah

(konsumen) dari CV.Jasa Rimba Motor

di Sungai Apit dan sekitarnya dan

menjualnya kembali

- Bahwa akibat perbuatan Tergugat yang

melakukan penagihan (take over)

kepada para nasabah di Sungai Apit

dan sekitarnya maka Tergugat telah

mengalami kerugian yaitu :

Jumlah Tagihan yang diharapkan dari

Penguggat

................................. Rp.1.439.163.000.-

Jumlah hutang yang harus dibayar

................................. Rp. 667.895.300.-

Jumlah Keuntungan Penggugat

................................. Rp. 771.267.700.-

Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam

menyelesaikan perkara gugatan perbuatan

melawan hukum, telah memeriksa bukti-

bukti yang dikemukakan oleh masing-masing

pihak yang telah memangil para pihak secara

patut dan layak. Selanjutnya pengadilan

Negeri Pekanbaru mempelajari serta meneliti

bukti-bukti dari berkas perkara yang menjadi

dasar gugatan pihak Penggugat maupun

jawaban dari pihak Tergugat serta bukti

lainnya

Namun bukti-bukti yang diajukan

pihak Penggugat yang diharapkan Penggugat

dapat memberikan ganti rugi terhadap

perbuatan melawan hukum yang dilakukan

Tergugat, menurut hakim Pengadilan Negeri

Pekanbaru tidak cukup kuat untuk meminta

pertanggung jawaban hukum terhadap

perbuatan melawan hukum yang dilakukan

oleh Tergugat.

Perbuatan Melawan Hukum tersebut

yang tercantum dalam putusan Perkara

Nomor : 139/PDT/G/2011/PN.PBR antara

lain :

(1) Menimbang: Tergugat/ PT. Abdi Jaya

Utama Motor mengambil alih (take over)

dari nasabah (konsumen) CV. Jasa

Rimba Motor adalah tidak sah, karena

tidak ada di atur dalam perjanjian.

(2) Menimbang: Tergugat juga mengambil

keuntungan yang seharusnya didapatkan

oleh Penggugat, setelah dikurangi sisa

hutang Penggugat sebesar

RP.771.267.700,- (tujuh ratus tujuh

puluh satu juta dua ratus enam puluh

tujuh ribu tujuh ratus rupiah).

(3) Menimbang: Tergugat juga menahan

angunan berupa surat-surat tanah milik

Penggugat yang apabila dijumlah kan

total anggunan nya melebihi hutang

Penggugat kepada Tergugat yaitu

5.000.000.0000.- (lima miliar rupiah).

Menurut Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Pekanbaru berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan yang disebutkan

diatas bahwa Penggugat tidak berhasil

membuktikan gugatannya agar Tergugat

dinyatakan telah melakukan perbuatan

melawan hukum dan oleh karenanya tuntutan

tentang hal ini haruslah ditolak. Bahwa

tentang surat-surat bukti lainnya, baik yang

diajukan oleh Penggugat maupun Tergugat

oleh karena tidak ada relevansinya lagi dalam

Page 7: Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

7

perkara ini maka surat-surat bukti tersebut

tidak perlu dipertimbangkan lagi.

Atas dasar pertimbangan hakim

tersebut yang menurut hemat penulis tidak

sesuai dengan asas kemanfaatan yang

menimbulkan kerugian yang dialami oleh

Penggugat baik secara materi ataupun secara

non materi.

Putusan hakim akan mencerminkan

kemanfaatan, manakala hakim tidak saja

menerapkan hukum secara tekstual belaka

dan hanya mengejar keadilan semata, akan

tetapi juga mengarah pada kemanfaatan bagi

kepentingan pihak-pihak yang berperkara

dan kepentingan masyarakat pada umumnya.

Artinya hakim dalam menerapkan hukum,

hendaklah mempertimbangkan hasil akhirnya

nanti, apakah putusan hakim tersebut

membawa manfaat atau kegunaan bagi

semua pihak.

Setiap putusan hakim yang

mencerminkan kepastian hukum bukan

berarti tidak memperhatikan asas keadilan

dan kemanfaatan, asas keadilan dan

kemanfaatan tetap ada hanya saja penekanan

lebih condong pada kepastian hukum.

Demikian juga putusan hakim yang

mencerminkan keadilan bukan berarti telah

meniadakan kepastian hukum dan

kemanfaatan, asas kepastian hukum dan

kemanfaatan tercermin dalam putusan hakim

tersebut, tetapi penekananya lebih kepada

asas keadilan. Sebaliknya juga apabila

putusan hakim yang mencerminkan

kemanfaatan bukan berarti tidak

mengakomodir kepastian hukum dan

keadilan.

Ide dasar utilitarianisme sangat

sederhanayang benar untuk diakukan adalah

yang menghasilkan kebaikan terbesar.Karena

fakta menujukkan bahwa ide seperti ini

merupakan cara banyak orang mendekati

putusan-putusan etis, sangat mudah untuk

melihat kenapa teori ini memiliki daya tarik

yang sangat besar. Namun begitu,tetap saja

dia harus diteliti lebih detail.

Definisi singkat prinsip

utilitarianisme dikemukakan Mill dalam

pernyataan berikut ini :

„Kemanfaatan‟ atau prinsip

kebahagian terbesar‟ menyatakan

bahwa tindakan tertentu benar jika

cenderung memperbesar kebahagiaan;

keliru jika cenderung menghasilkan

berkurangnya kebahagiaan. Yang

dimaksudkan dengan kebahagiaan

adalah kesenangan dan tidak adanya

rasa sakit.4

Menurut uraian diatas putusan

perkara perbuatan melawan hukum tidak

sesuai dengan azas kemanfaatan. Karena

gugatan yang diharapkan dapat memeberikan

keadilan dan serta hak-hak Penggugat tidak

terpenuhi pada putusan perkara tersebut.

Putusan hakim yang menolak tuntutan

Penggugat terhadap perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh Tergugat tidak

memberikan rasa bahagia bagi Penggugat

yang menganggap bukti dan saksi yang

diajukan telah memenuhi syarat untuk

4 Ibid, hlm: 10

Page 8: Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

8

membuktikan perbuatan melawan hukum

yang dilakukan Tergugat.

Putusan hakim yang menolak gugatan

perkara perbuatan melawan hukum tidak

sesuai dengan azas kemanfaatan. Hal ini

dapat dilihat dari salah satu tindakan yang

dilakukan oleh PT. Abdi Jaya Utama Motor

(AJUM) (Tergugat) telah melakukan tagihan

cicilan terhadap beberapa konsumen yang

jumlahnya bervariasi; dalam hal ini dikatakan

sebagai perbuatan melawan hukum tetapi

hakim tidak berpendapat lain. Hakim

menolak gugatan perkara perbuatan melawan

hukum yang diajukan oleh Penggugat

terhadap PT. Abdi Jaya Utama Motor

(PT.AJUM) padahal bukti yang diajukan

oleh Penggugat seperti bukti yang telah

disebutkan di atas dan bukti lainnya jelas

membuktikan baawa telah terjadi perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh PT.

AJUM.

Uraian di atas jelas membuktikan

bahwa putusan hakim pada perkara nomor:

139/PDT/G/2011/PN.PBR tidak sesuai

dengan azas kemanfaatan karena dianggap

tidak memberi manfaat dan rasa bahagia

seperti yang disebutkan oleh kaum

utilitiarisme terhadap Penggugat yang dalam

hal ini telah dikesampingkan hak-hak nya

sebagai manusia dan rekan kerja PT. AJUM

yang melakukan tindakan-tindakan yang

tidak sesuai dengan aturan dan kesepakatan

yang berlaku yang menimbulkan kerugian

pada Penggugat (perbuatan melawan

hukum).

C. BENTUK PERBUATAN MELAWAN

HUKUM PUTUSAN PERKARA

NOMOR : 139/PDT/G/2011/PN.PBR

1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Meskipun Pasal 1365 dan Pasal

1356 KUH Perdata, mengatur tentang

tuntutan ganti rugi akibat adanya

perbuatan melawan hukum, namun kedua

pasal tersebut tidak menyebutkan apa

yang dimaksud dengan “Perbuatan

melawan hukum” itu. Pengertian

perbuatan melawan hukum diperoleh

melalui yurisprudensi, yang menunjukkan

adanya perkembangan penafsiran yang

sangat penting dalam sejarah hukum

perdata. Karena hukum perdata kita

berasal dari hukum perdata

Nederland/Belanda, maka dalam

penafsiran ini, kitapun masih harus

berkiblat kesana. Kedua pasal tersebut

berbunyi sebagai berikut :

Pasal 1365 :

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang

membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut”

Pasal 1366 :

“Setiap orang bertanggung jawab tidak

saja untuk kerugian yang disebabkan

karena perbuatannya, tetapi juga

kerugian yang disebabkan karena

kelalaian atau kurang hati-hatinya”5

Apabila suatu perbuatan (berbuat

atau tidak berbuat) tidak melanggar hak

5 Subekti dan Tjitrosudibio: Op.Cit, hlm: 288-

289

Page 9: Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

9

subjektif orang lain atau tidak melawan

kewajiban hukumnya/tidak melanggar

undang-undang, maka perbuatan tersebut

tidak termasuk perbuatan melawan

hukum. Sejak tahun 1919 di negeri

Belanda dan demikian juga di Indonesia,

perbuatan melawan hukum telah diartikan

secara luas, yakni mencakup salah satu

dari perbuatan-perbuatan sebagai berikut :

1. Perbuatan yang bertentangan dengan

hak orang lain.

2. Perbuatan yang bertentangan dengan

kewajiban hukumnya sendiri.

3. Perbuatan yang bertentangan dengan

kesusilaan.

4. Perbuatan yang bertentangan dengan

kehati-hatian atau keharusan dalam

pergaulan masyarakat yang baik.6

Sesuai dengan ketentuan dalam

Pasal 1365 KUH Perdata, maka suatu

perbuatan melawan hukum haruslah

mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Adanya Suatu Perbuatan

2. Perbuatan Tersebut Melawan Hukum

3. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku

4. Adanya Kerugian Bagi Korban

5. Adanya Hubungan Kausal antara

Perbuatan dengan Kerugian

Bahwa ketentuan tentang

perbuatan melawan hukum, prinsip

dasarnya tertuang dalam Pasal 1365 KUH

Perdata. Artinya, setiap perbuatan yang

melawan hukum yang menimbulkan

kerugian bagi orang lain membebankan

6 Dr. Munir Fuady, S.H.M.H.L.LM (Perbuatan

Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, (Bandung

: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm: 6

kewajiban ganti rugi bagi pelaku yang

bersalah. Kemudian, dikembangkan

doktrin-doktrin modern tentang tanggung

jawab mutlak. Akan tetapi, ada beberapa

model perbuatan melawan hukum yang

dilakukan dalam bentuk yang sama oleh

orang-orang tanpa terikat dengan dimensi

ruang dan waktu, sehingga di sepanjang

sejarah hukum terciptalah model-model

baku bagi perbuatan melawan hukum.

Meskipun begitu, jika ada perbuatan

melawan hukum yang tidak termasuk ke

dalam kategori/model tersebut, tetap saja

dianggap sebagai perbuatan melawan

hukum sehingga di pelakunya dapat

dijerat dengan Pasal 1365 KUH Perdata. 7

Berikut ini beberapa model baku

dari perbuatan melawan hukum yang

mengandung unsur kesengajaan,

meskipun harus diakui pula bahwa

perbuatan tersebut mungkin juga terjadi

karena kelalaian. Perbuatan-perbuatan

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Perbuatan Melawan Hukum berupa

Ancaman untuk Penyerangan dan

Pemukulan terhadap Manusia

2. Perbuatan Melawan Hukum Berupa

Pemukulan atau Melukai Orang Lain

3. Perbuatan Melawan Hukum Berupa

Penyanderaan Ilegal

4. Perbuatan Melawan Hukum Berupa

Penyerobotan Tanah Milik Orang Lain

5. Perbuatan Melawan Hukum Berupa

Penguasaan Benda Bergerak Milik

Orang Lain Secara Tidak Sah

7 Dr. Munir Fuady, S.H.M.H.L.LM: Ibid,

hlm: 51

Page 10: Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

10

6. Perbuatan Melawan Hukum Berupa

Pemilikan Secara Tidak Sah Benda

Milik Orang Lain.

7. Perbuatan Melawan Hukum Berupa

Perbuatan yang Menyebabkan Tekanan

Jiwa Orang Lain.

8. Perbuatan Melawan Hukum Karena

Kebisingan

9. Perbuatan Melawan Hukum Berupa

Perbuatan Persaingan Tidak Sehat

dalam Berbisnis

10. Perbuatan Melawan Hukum Berupa

Kebohongan Yang Merugikan Orang

Lain

Berdasarkan uraian diatas tentang

perbuatan melawan hukum dan bentuk

Perbuatan Melawan Hukum yang berlaku di

Indonesia PT. Abdi Jaya Utama Motor (PT.

AJUM) sebagai tergugat terbukti

melakukan Perbuatan Melawan Hukum

berupa Pemilikan secara tidak sah benda

milik orang lain dan Perbuatan Melawan

Hukum berupa Kerugian terhadap orang

lain. Perbuatan Melawan Hukum tersebut

yang tercantum dalam putusan Perkara

Nomor : 139/PDT/G/2011/PN.PBR antara

lain :

(4) Tergugat/ PT. Abdi Jaya Utama Motor

mengambil alih (take over) dari

nasabah (konsumen) CV. Jasa Rimba

Motor adalah tidak sah, karena tidak

ada di atur dalam perjanjian.

(5) Tergugat juga mengambil keuntungan

yang seharusnya didapatkan oleh

Penggugat, setelah dikurangi sisa

hutang Penggugat sebesar

RP.771.267.700,- (tujuh ratus tujuh

puluh satu juta dua ratus enam puluh

tujuh ribu tujuh ratus rupiah).

(6) Tergugat juga menahan angunan

berupa surat-surat tanah milik

Penggugat yang apabila dijumlah kan

total anggunan nya melebihi hutang

Penggugat kepada terguggat yaitu

5.000.000.0000.- (lima miliar rupiah).

Mengenai bentuk perbuatan melawan

hukum dalam perkara nomor 1

39/PDT/G/2011/PN.PBR tersebut tidak ada

dijelaskan. Majelis hakim dalam

pertimbangannya hanya menyebutkan bahwa

Penggugat tidak bisa membuktikan

gugatannya, padahal jelas dan nyata bahwa

baik dan keterangan para saksi maupun dari

surat-surat bukti yang diajukan bahwa yang

melakukan perbuatan yang merugikan orang

lain sebagaimana dimaksud Pasal 1365 KUH

Perdata adalah pihak PT. Ajum yang telah

melakukan take over atau penagihan sendini

tanpa mengirimkan surat pemberitahuan atau

meminta persetujuan dari Penggugat (CV.

JRM) terlebih dahulu sebagai pihak yang

paling berhak melakukan tagihan.

Menurut hemat penulis, seharusnya

sebelum melakukan take over pihak Tergugat

PT. AJUM membuat somasi kepada

Penggugat (CV. JRM) dan melakukan audit

jumlah hutang tertunggak dan jumlah tagihan

yang seharusnya dilunasi oleh Penggugat

kepada Tergugat, atau paling tidak setelah

melakukan Take Over memberitahukan

kepada Penggugat dan mengurangi sisa

hutang dari pada Penggugat.

Page 11: Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

11

Perbuatan Melawan Hukum di

Indonesia secara normatif selalu merujuk

pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.

Rumusan norma dalam pasal ini unik, tidak

seperti ketentuan-ketentuan pasal lainnya.

Perumusan norma Pasal 1365 KUHPerdata

lebih merupakan struktur norma daripada

substansi ketentuan hukum yang sudah

lengkap.

Oleh karenanya substansi ketentuan

Pasal 1365 KUHPerdata senantiasa

memerlukan materialisasi di luar

KUHPerdata. Oleh karena itu perbuatan

melawan hukum berkembang melalui

putusan-putusan pengadilan dan melalui

undang-undang. Perbuatan Melawan Hukum

dalam KUHPerdata. 43 diatur dalam buku III

tentang Perikatan. Perbuatan melawan

hukum Indonesia yang berasal dari Eropa

Kontinental diatur dalam Pasal 1365

KUHPerdata sampai dengan Pasal 1380

KUHPerdata. Pasal-pasal tersebut mengatur

bentuk tanggung jawab atas perbuatan

melawan hukum.

Menurut Pasal 1365 KUH Perdata,

PMH timbul karena perbuatan seseorang

yang mengakibatkan kerugian pada orang

lain. Hak menuntut ganti kerugian karena

PMH tidak perlu somasi. Kapan saja terjadi

PMH, pihak yang dirugikan langsung

mendapat hak untuk menuntut ganti rugi

tersebut. KUH Perdata tidak mengatur

bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi.

Dengan demikian, bisa digugat ganti

kerugian yang nyata-nyata diderita dan dapat

diperhitungkan (material) dan kerugian yang

tidak dapat dinilai dengan uang (immaterial).

Setiap perbuatan pidana selalu

dirumuskan secara seksama dalam undang-

undang, sehingga sifatnya terbatas.

Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum

adalah tidak demikian. Undang-undang

hanya menentukan satu pasal umum, yang

memberikan akibat-akibat hukum terhadap

perbuatan melawan hukum.8

Perbuatan melawan hukum dalam

bahasa Belanda disebut dengan

onrechmarige daad dan dalam bahasa Inggris

disebut tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya

hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi,

khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu

sendiri berkembang sedemikian rupa

sehingga berarti kesalahan perdata yang

bukan berasal dari wanprestasi dalam suatu

perjanjian kontrak. Jadi serupa dengan

pengertian perbuatan melawan hukum

disebut onrechmatige daad dalam sistem

hukum Belanda atau di negara-negara Eropa

Kontinental lainnya. Kata “tort” berasal dari

kata latin “torquere” atau “tortus” dalam

bahasa Perancis, seperti kata “wrong” berasal

dari kata Perancis “wrung” yang berarti

kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga

pada prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu

sistem hukum yang kemudian dikenal dengan

perbuatan melawan hukum ini adalah untuk

dapat mencapai seperti apa yang dikatakan

dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris

praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum

8 Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer

Perbuatan Melawan Hukum, Alumni Bandung, 1982,

halaman 15

Page 12: Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

12

non laedere, suum cuique tribuere

(semboyan hukum adalah hidup secara jujur,

tidak merugikan orang lain, dan memberikan

orang lain haknya).

Onrechtmatige daad (perbuatan

melawan hukum), pada Pasal 1365 Kitab

UndangUndang Hukum Perdata atau Pasal

1401 KUHPerdata, yang menetapkan:

“Elke onrecthamatigedaad, waardoor

aan een ander schade wordt

toegebragt, stelt dengene door wiens

shuld die schade veroorzaakt is in de

verpligting om dezelve te vergoeden

“.

Soebekti dan Tjitrosudibio menterjemah-

kannya sebagai berikut:

“Tiap perbuatan melawan hukum,

yang membawa kerugian kepada

seorang lain, mewajibkan orang yang

karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian

tersebut”.

Para pihak yang melakukan perbuatan

hukum itu disebut sebagai subjek hukum

yaitu bisa manusia sebagai subjek hukum dan

juga badan hukum sebagai subjek hukum.

Semula banyak pihak meragukan,

apakah perbuatan melawan hukum memang

merupakan suatu bidang hukum tersendiri

atau hanya merupakan keranjang sampah

yakni merupakan kumpulan pengertian-

pengertian hukum yang berserak-serakan dan

tidak masuk ke salah satu bidang hukum

yang sudah ada, yang berkenaan dengan

kesalahan dalam bidang hukum perdata. Baru

pada pertengahan abad ke 19 perbuatan

melawan hukum, mulai diperhitungkan

sebagai suatu bidang hukum tersendiri, baik

di negara-negara Eropa Kontinental,

misalnya di Belanda dengan istilah

Onrechmatige Daad, ataupun di negara-

negara Anglo Saxon, yang dikenal dengan

istilah tort.9

Perbuatan Melawan Hukum diatur

dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH

Perdata. Pasal 1365 menyatakan, bahwa

setiap perbuatan yang melawan hukum yang

membawa kerugian kepada orang lain

menyebabkan orang karena salahnya

menerbitkan kerugian mengganti kerugian

tersebut. Perbuatan melawan hukum dalam

KUH Perdata berasal dari Code Napoleon.

Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata Indonesia, maka

yang dimaksud dengan perbuatan melanggar

hukum adalah perbuatan yang melawan

hukum yang dilakukan oleh seseorang, yang

karena kesalahannya itu telah menimbulkan

kerugian bagi orang lain.

Istilah “melanggar” menurut MA

Moegni Djojodurdjo hanya mencerminkan

sifat aktifnya saja sedangkan sifat pasifnya

diabaikan. Pada istilah “melawan” itu sudah

termasuk pengertian perbuatan yang bersifat

aktif maupun pasif.10

Putusan pengadilan secara teoritik

mengandung tiga aspek, yaitu aspek

kepastian hukum, aspek keadilan dan aspek

9www.progresifjaya.com/NewsPage.php(http://

www.progresifjaya.com/NewsPage.php)?, diakses

pada tanggal 7 Juni 2011, pukul 18.30 wib 10

MA. Moegni Djojodirjo, Perbuatan

Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992,

hlm: 346

Page 13: Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

13

kemanfaatan.11

Sedangkan secara normatif

putusan pengadilan mengandung dua aspek,

yaitu aspek procedural justice dan aspek

substantive justice.12

Hakim, sebagai

pengambil keputusan juga dihadapkan pada

resiko kesalahan dalam pengambilan

keputusan akan memberikan dampak yang

besar bagi manusia khususnya Terdakwa.

Kesalahan dalam pengambilan keputusan

oleh hakim mungkin saja terjadi, karena pada

dasarnya hakim juga manusia dengan segala

keterbatasannya.

Peradilan pada dasarnya berhubungan

dengan responsibilitas13

, liabilitas14

dan

akuntabilitas15

. Untuk itu menurut hemat

Penulis perlu adanya kontrol atau

pengawasan terhadap proses peradilan

pidana, karena pada dasarnya proses

peradilan perdata seyogyanya harus

memperhatikan dua hal, yaitu pertama,

kewajiban untuk mempertanggungjwabkan

setiap keputusan atau tindakan yang telah

dilakukan oleh aparatur penegak hukum

khususnya in caso hakim. Kedua, adanya

penilaian oleh institusi sosial di luar lembaga

peradilan. Menurut Sumaryono sebagaimana

dikutip Abdul Kadir Muhammad:

11

Sirajuddin dan Zuikarnain, Komisi Yudisial,

Op.Cit. hlm: 123 12

Ibid, hlm: 122 13

Respobilitas menunjuk pada otoritas

bertindak, kebebasan untuk mengambil keputusan,

kekuasaan untuk mengawasi dan sebagainya. Lihat:

Ibid. hlm: 7 14

Liabilitas sering diartikan sebagai tugas

untuk memperbaiki, mengganti kerugian, membalas

jasa akibat segala kesalahan atau kemiskinan penilaian

atas dampak kebijakan. Lihat, Ibid 15

Akuntabilitas, adalah kewajiban untuk

mempertanggungjawabkan, melaporkan atau

menjelaskan, memberi alasan, serta tunduk kepada

penilaian dari luar. Lihat: Ibid. hlm: 8

“penyalahgunaan dapat terjadi karena

persaingan individu profesional hukum atau

karena tidak ada disiplin diri”.16

D. PENUTUP

Dari apa yang telah diuraikan pada

bab terdahulu, maka pada bab ini ada 2 (dua)

hal pokok yang dapat disimpulkan sebagai

benikut:

1. Dasar pertimbangan putusan hakim

dalam perkara Nomor:

139/PDT/G/2011/PN.PBR dan sudut asas

kemanfaatan belum mencerminkan

terlaksananya asas kemanfaatan, karena

amar dan keputusan tidak memberi

kepastian hukum apa lagi keadilan,

dimana amar keputusannya menolak

eksepsi dari Tergugat dan juga menolak

gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

Dengan keputusan yang demikian,

muncul pertanyaan siapa pihak yang

dimenangkan dalam perkara tersebut?,

Penggugat bukan Tergugat juga bukan.

Sedangkan dalam gugatan tidak terdapat

kesalahan formil dan semuanya telah

terbukti secara jelas dan gamblang.

2. Bentuk perbuatan melawan hukum yang

terjadi dalam perkara nomor

139/PDT/G/2011/PN.PBR tidak

dijelaskan dan tidak dapat ditentukan

dalam perkara tersebut siapa yang telah

melakukan perbuatan melawan hukum,

apakah Penggugat atau Tergugat. Karena

keputusan yang dijatuhi oleh Majelis

Hakim dalam perkara tersebut adalah

16

Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi..., PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm: 70

Page 14: Jurnal Dicha Ardita Pratiwi

14

keputusan banci yang tidak membenikan

kepastian, keadilan dan kemanfaatan bagi

siapapun. Majelis hakim dalam perkara

tersebut tidak menyinggung tentang

perbuatan melawan hukum, sedangkan

faktanya berdasarkan bukti-bukti yang

ada, diketahui bahwa yang melakukan

perbuatan melawan hukum adalah

Tergugat atau PT. Abdi Jaya Utama

Motor, karena telah melakukan

pengambil alihan kredit (take over) tanpa

pemberitahuan terlebih dahulu kepada

Pihak Penggugat sebagai orang yang

paling berhak untuk melakukan tagihan

sesuai perjanjian awal. Bahkan Tergugat

tidak pernah memberikan semosai kepada

Penggugat bahwa atas kredit macet

tersebut akan dilakukan take over.

DAFTAR PUSTAKA

Rahardjo, Satjipto, 2009, Penegakan Hukum

Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta

Publishing, Yogyakarta

Fuady, Munir, 2005, Perbuatan Melawan

Hukum Pendekatan Kontemporer,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Setiawan, Rachmat. 1982. Tinjauan

Elementer Perbuatan Melawan Hukum,

Alumni, Bandung

Djojodirdjo, Moegni, 1982, Perbuatan

Melawan Hukum, Cet II, Pradnya

Paramitha, Jakarta

Muhammad, Abdulkadir. 2006. Etika

Profesi, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lhouksemawe (Aceh Utara)

pada tanggal 30 November1991 sebagai anak pertama

dari tiga bersaudara dari pasangan AKP. Ardinal

Efendi SH.MH dan Masrita. Tahun 1997 penulis

menamatkan pendidikan Taman Kanak-kanak Pertiwi

di Lhouksemawe (Aceh Utara). Tahun 2003

menyelesaikan Sekolah Dasar Yayasan Kemala

Bhayangkari Pekanbaru. Tahun 2006 menyelesaikan

Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Pekanbaru.

Tahun 2009 lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 5

Pekanbaru. Tahun 2009 penulis diterima di Program

Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Riau.