JEIN PRATIWI PONGBULAAN C11114343
Transcript of JEIN PRATIWI PONGBULAAN C11114343
SKRIPSI
DESEMBER 2017
FAKTOR DETERMINAN KEPATUHAN PENGOBATAN OAT PADA
PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS TAMALANREA
MAKASSAR
Diusulkan Oleh:
JEIN PRATIWI PONGBULAAN
C11114343
Pembimbing
Dr. dr. Sri Ramadany Karim, M. Kes
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat
menyelesaikan Strata Satu program studi Pendidikan Dokter
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
ii
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN
Telah disetujui untuk dibacakan pada seminar akhir di Departemen Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, skripsi mahasiswa dengan
judul:
“FAKTOR DETERMINAN KEPATUHAN PENGOBATAN OAT PADA PASIEN
TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS TAMALANREA MAKASSAR”
Hari, Tanggal : Selasa, 7 Desember 2017
Waktu : 10.00 WITA - Selesai
Tempat : Ruang Pertemuan Departemen Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin
Pembimbing,
Dr. dr. Sri Ramadany Karim, M. Kes
NIP 19711021 200212 2 003
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh:
Nama : Jein Pratiwi Pongbulaan
Stambuk : C11114343
Judul : Faktor Determinan Kepatuhan Pengobatan OAT pada Pasien
Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar
Dengan ini telah dinyatakan memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Makassar, 7 Desember 2017
Pembimbing,
Dr. dr. Sri Ramadany Karim, M. Kes
NIP 19711021 200212 2 003
iv
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
Skripsi dengan judul:
“FAKTOR DETERMINAN KEPATUHAN PENGOBATAN OAT PADA
PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS TAMALANREA
MAKASSAR”
Dinyatakan telah dipertahankan dihadapan tim penguji dan telah diperiksa
serta disetujui untuk dinyatakan lulus pada sidang skripsi
di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, 7 Desember 2017
Ketua tim penguji
Dr. dr. Sri Ramadany Karim, M. Kes
NIP 19711021 200212 2 003
Anggota Tim Penguji:
Dr. dr . H. A. Armyn Nurdin, M.Sc dr. M. Rum Rahim, M.Sc
v
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
TELAH DISETUJUI UNTUK DICETAK DAN DIPERBANYAK
JUDUL SKRIPSI:
“FAKTOR DETERMINAN KEPATUHAN PENGOBATAN OAT PADA
PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS TAMALANREA
MAKASSAR”
Makassar, 7 Desember 2017
Pembimbing,
Dr. dr. Sri Ramadany Karim, M. Kes
NIP 19711021 200212 2 003
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Faktor Determinan Kepatuhan Pengobatan OAT pada Pasien
Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar” ini.
Selama penulisan skripsi ini tentu terdapat banyak kesulitan, namun berkat
bimbingan dan bantuan dari banyak pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.
Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Tuhan Yesus yang sungguh mengasihi penulis dan memberikan pertolongan yang
luar biasa dalam proses pengerjaan skripsi ini.
2. Dr. dr. Sri Ramadany Karim, M. Kes sebagai pembimbing yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan arahan serta nasehat dalam penyusunan
proposal sampai pada penyusunan akhir skripsi ini.
3. Dr. dr . H. A. Armyn Nurdin, M.Sc dan dr. M. Rum Rahim, M.Sc sebagai
penguji yang bersedia meluangkan waktunya dalam menguji serta memberikan
saran dan kritiknya.
4. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS, FICS sebagai Dekan Fakultas
Kedokteran dan Seluruh dosen Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
5. Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin beserta staf.
vii
6. Petugas Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit di Puskesmas Tamalanrea
yang telah membantu penulis dalam pengambilan data.
7. Kedua Orang Tua penulis yaitu Bapak Drs. Yohanis Kondo, M.Pd dan Ibu
Examin Ramba’, S.Pd yang telah membesarkan dan mendidik serta senantiasa
mendoakan dan memberikan dukungan kepada penulis baik secara moril dan
materi.
8. Kepada saudara penulis, adik Megatriani Matandung, Nona Utari, tante Susanty
Tandililing dan seluruh keluarga penulis yang senantiasa mendoakan dan
memberikan dukungan.
9. Untuk Kak Kalvin dan Kak Felix, yang selalu mendoakan dan memberikan
semangat serta turut berpartisipasi dalam pengambilan data.
10. Untuk Kak Tirza, kakak PA penulis, yang turut mendoakan dan memberikan
dukungan semangat bagi penulis.
11. Untuk saudara angkat penulis Imanuel Caesar Silamba yang juga mendukung
penulis dalam bentuk pemikiran dan semangat dalam proses penyelesaian skripsi.
12. Untuk teman-teman sepembimbingan, Lanny Fargo dan Ayu Aditya atas
kebersamaan dan dukungan yang selalu diberikan dalam penyusunan skripsi ini.
13. Kepada PMK FK-FKG UNHAS yang menjadi tempat iman penulis bertumbuh
sehingga dalam proses pengerjaan skripsi ini penulis belajar untuk mengandalkan
Tuhan.
viii
14. Sahabat-sahabat “No Wacana”, Adeirma Suryani, Novia Tungadi, Novia
Tenggono, Kwan Silvea, Sulpiana, Apilia Patampang, Nurul Rahmita, Iin
Sakinah yang selalu memacu dalam penyelesaian skripsi
15. Untuk sahabat penulis, Danang Ananta Pramudya, Satrianty Totting, dan
Gabriela Tamara Perutu atas doa dan dukungan kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
16. Seluruh teman-teman dan keluarga Neutrofl14vine angkatan 2014 Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin atas dukungan dalam penyelesaian skripsi.
17. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, untuk itu saran dan kritik
yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan skripsi.Terakhir penulis
berharap, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan
bagi pembaca dan khusunya juga bagi penulis.
Makassar, 5 Desember 2017
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN ....................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................ ................. iii
KATA PENGANTAR............................................................................ ................ vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xiv
ABSTRAK .............................................................................................................. xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepatuhan Berobat ........................................................................................... 4
2.2 Tuberkulosis ..................................................................................................... 5
2.2.1 Definisi .................................................................................................... 5
x
2.2.2 Epidemiologi ........................................................................................... 6
2.2.3 Patogenesis Tuberkulosis Paru ............................................................... 8
A. Cara Penularan ................................................................................... 8
B. Perjalanan Alamiah TB pada Manusia .............................................. 9
C. Klasifikasi .......................................................................................... 10
D. Gejala Klinis ...................................................................................... 13
E. Diagnosis ........................................................................................... 13
F. Penatalaksanaan ................................................................................. 14
BAB 3 KERANGKA KONSEP
3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti ........................................................... 17
3.2 Kerangka Konsep ............................................................................................. 19
3.3 Definisi Operasional Variabel yang Diteliti ..................................................... 19
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian ................................................................................................. 21
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................................... 21
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ....................................................................... 21
4.4 Cara Pengumpulan Data .................................................................................. 21
4.5 Kriterian Inklusi ............................................................................................... 22
4.6 Kriteria Ekslusi ................................................................................................ 22
4.7 Pengolahan dan Penyajian Data ....................................................................... 22
4.8 Etika Penelitian ................................................................................................ 23
xi
BAB 5 HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Responden .................................................................................. 24
5.2 Faktor Latar Belakang Pendidikan Terhadap Kepatuhan Pengobatan OAT
pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar.............. 25
5.3 Faktor Kualitas Interaksi dengan Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan
Pengobatan OAT pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea
Makassar .......................................................................................................... 27
5.4 Faktor Peran Keluarga Terhadap Kepatuhan Pengobatan OAT pada Pasien
Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar ................................. 28
5.5 Faktor Pengetahuan dan Kesadaran Pribadi Pasien Terhadap Kepatuhan
Pengobatan OAT pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea
Makassar .......................................................................................................... 30
5.6 Faktor Jarak Sarana Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pengobatan OAT pada
Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar ...................... 33
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Faktor Latar Belakang Pendidikan Terhadap Kepatuhan Pengobatan OAT
pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar.............. 35
6.2 Faktor Kualitas Interaksi dengan Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan
Pengobatan OAT pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea
Makassar .......................................................................................................... 37
6.3 Faktor Peran Keluarga Terhadap Kepatuhan Pengobatan OAT pada Pasien
Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar ................................. 39
xii
6.4 Faktor Pengetahuan dan Kesadaran Pribadi Pasien Terhadap Kepatuhan
Pengobatan OAT pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea
Makassar .......................................................................................................... 40
6.5 Faktor Jarak Sarana Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pengobatan OAT pada
Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar ...................... 41
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 43
7.2 Saran ................................................................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 45
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tahapan Perjalanan Alamiah Penyakit ................................................... 9
Tabel 2.2 Obat Anti Tuberkulosis dan Efek Sampingnya....................................... 15
Tabel 2.3 Hasil Pengobatan..................................................................................... 16
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Rekomendasi Persetujuan Etik ............................................................ xvii
Lampiran 2 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan .............................................. xviii
Lampiran 3 Pedoman Wawancara. ......................................................................... xix
Lampiran 4 Biodata Penulis .................................................................................... xxi
xv
SKRIPSI
FAKULTAS KEDOKTERAN, UNIVERSITAS HASANUDDIN
Desember 2017
Jein Pratiwi Pongbulaan (C11114343)
FAKTOR DETERMINAN KEPATUHAN PENGOBATAN OAT PADA
PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS TAMALANREA
MAKASSAR
(xvi + 47 halaman + 4 lampiran + 21 referensi)
ABSTRAK
Latar belakang: Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan global, dimana
hampir sepertiga populasi dunia teinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan berisiko
menderita TB. Setiap tahun ada lebih dari 9 juta orang terdiagnosis TB dan 1,6 juta
diantaranya meninggal akibat penyakit tersebut. Lebih dari 90% kasus dan kematian
akibat TB di dunia terjadi di negara berkembang. Salah satu negara berkembang
yang terinfeksi kasus TB adalah Indonesia. Indonesia menempati peringkat ketiga
jumlah penderita TB di dunia, setelah India (1.762.000) dan Cina (1.459.000). Setiap
tahunnya terdapat 528.000 kasus baru TB di Indonesia . Indonesia merupakan negara
dengan penderita TB paru terbanyak kelima di dunia setelah India, Cina, Afrika
Selatan, dan Nigeria. Meskipun saat ini pengobatan OAT telah tersedia secara cuma-
cuma di berbagai layanan kesehatan, namun tahun 2010 didapatkan sebanyak 19,3%
penderita TB paru yang tidak patuh dalam minum obat. Ketidakpatuhan terhadap
pengobatan akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita
TB paru, sehingga akan meningkatkan risiko kesakitan, kematian, dan menyebabkan
semakin banyak ditemukan penderita TB paru dengan Basil Tahan Asam (BTA)
yang resisten dengan pengobatan standar.
Tujuan: Untuk mengetahui faktor determinan kepatuhan pengobatan obat anti
tuberkulosis pada pasien tuberkulosis paru.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data diperoleh melalui
wawancara secara mendalam (in-depth interview).
Hasil dan Kesimpulan: Faktor kualitas interaksi dengan petugas kesehatan dan
faktor kesadaran pribadi pasien memberikan pengaruh yang besar terhadap
kepatuhan pengobatan OAT di Puskesmas Tamalanrea Makassar, sedangkan faktor
latar belakang pendidikan pasien, faktor peran keluarga,faktor pengetahuan pasien,
dan faktor jarak sarana kesehatan tidak memberikan pengaruh yang bermakna.
Kata Kunci: Kepatuhan , Pengobatan OAT, Tuberkulosis Paru.
xvi
UNDERGRADUATED THESIS
FACULTY OF MEDICINE, HASANUDDIN UNIVERSITY
December 2017
Jein Pratiwi Pongbulaan (C11114343)
DETERMINANT FACTOR OF COMPLIANCE TO OAT TREATMENT BY
PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENT IN PUSKESMAS
TAMALANREA MAKASSAR
(xvi + 47 pages + 4 attachments + 21 references)
ABSTRACT
Background: Tuberculosis (TB) is a global health concern, with almost a third of the
world's population infected with Mycobacterium tuberculosis and at risk of
developing TB. Annually, more than 9 million people are diagnosed with TB, 1.6
million among them are fatal cases. More than 90% of TBcases and deaths caused by
TB in the world occur in developing countries. One of said developing countries is
Indonesia. Indonesia ranks third in number of TB patients in the world, after India
(1,762,000) and China (1,459,000). Each year there are 528,000 new TB cases in
Indonesia. Indonesia is the country with the fifth most pulmonary TB patient in the
world after India, China, South Africa, and Nigeria. Although OAT treatment is
available and free of charge in various health services, but in 2010, a survey carried
out that 19.3% of patients with pulmonary tuberculosis does not comply with the
treatment. Noncompliance to the treatment will result in high rates of treatment
failure for pulmonary TB patients, thus increasing the risk of morbidity, death, and
increase the number ofnew pulmonary TB patients with acid-resistant Basil (BTA)
with resistance to standard treatment.
Objective: To identify the determinant factors of compliance to treatment with anti-
tuberculosis drug in pulmonary tuberculosis patient.
Methods: This is a qualitative research. The data is obtained through in-depth
interviews.
Results and Conclusions: Factors concerning quality of interaction with health
personnel and personal awareness have major effect on compliance to OAT
treatment at PuskesmasTamalanrea Makassar, whereas the patient's educational
background, family role factors, patient knowledge factors, and distance to health
facilities hold no significant role.
Keywords: Compliance, OAT Treatment, Pulmonary Tuberculosis
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan global, dimana hampir
sepertiga populasi dunia teinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan berisiko
menderita TB. Setiap tahun ada lebih dari 9 juta orang terdiagnosis TB dan 1,6 juta
diantaranya meninggal akibat penyakit tersebut. Lebih dari 90% kasus dan kematian
akibat TB di dunia terjadi di negara berkembang. (Dhiyantari et al, 2013).
Salah satu negara berkembang yang terinfeksi kasus TB adalah Indonesia.
Indonesia menempati peringkat ketiga jumlah penderita TB di dunia, setelah India
(1.762.000) dan Cina (1.459.000). Depkes RI memperkirakan bahwa setiap tahunnya
terdapat 528.000 kasus baru TB di Indonesia (Menkes RI, 2010). Indonesia
merupakan negara dengan penderita TB paru terbanyak kelima di dunia setelah
India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria (WHO, 2009).
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Short-course) sebagai pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan
strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis efektif
(cost-efective). Sejak tahun 2000, strategi DOTS dilaksanakan secara Nasioanal di
seluruh Fasyankes terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan
kesehatan dasar. (Menkes RI, 2011).
2
Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH,
Rifampisin, Pirazinamid dan Ethambutol selama 6 bulan (Menkes RI, 2011).
Meskipun saat ini pengobatan OAT telah tersedia secara cuma-cuma di berbagai
layanan kesehatan, namun berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun
2010 didapatkan sebanyak 19,3% penderita TB paru yang tidak patuh dalam minum
obat (Dhewi et all, 2013).
Tingkat ketidakpatuhan pemakaian obat TB paru sangatlah penting, karena bila
pengobatan tidak dilakukan secara teratur dan tidak sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan maka akan dapat timbul kekebalan (resistence) kuman tuberkulosis
terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara meluas disebut dengan multidrugs
Resistence (Depkes RI, 2002).
Ketidakpatuhan terhadap pengobatan akan mengakibatkan tingginya angka
kegagalan pengobatan penderita TB paru, sehingga akan meningkatkan risiko
kesakitan, kematian, dan menyebabkan semakin banyak ditemukan penderita TB
paru dengan Basil Tahan Asam (BTA) yang resisten dengan pengobatan standar.
Pasien yang resisten tersebut akan menjadi sumber penularan kuman yang resisten di
masyarakat. Hal ini tentunya akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di
Indonesia serta memperberat beban pemerintah (Depkes RI, 2005).
Mengingat TB paru merupakan penyakit yang menular, penting untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam pengobatan OAT
pada penderita TB paru. Belum adanya gambaran mengenai hal tersebut di
Puskesmas Tamalanrea membuat peneliti tertarik untuk melakukan analisis yang
3
diharapkan dapat menjadi masukan dalam meningkatkan keberhasilan pengobatan
TB di Puskesmas Tamalanrea.
1.2 Rumusan Masalah
Apa sajakah faktor determinan kepatuhan pengobatan obat anti tuberkulosis?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui faktor determinan kepatuhan pengobatan obat anti
tuberkulosis pada pasien tuberkulosis paru.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1. Manfaat aplikatif
Manfaat aplikatif penelitian ini adalah sebagai sumber informasi bagi
praktisi kesehatan dalam tatalaksana penyakit TB untuk mencegah terjadinya
kegagalan pengobatan.
1.4.2 Manfaat Metodologis
Sebagai masukan kepada pihak instansi terkait dalam mengambil dan
memutuskan kebijakan-kebijakan untuk mengurangi angka kejadian
kegagalan pengobatan TB.
1.4.3 Manfaat Teoritis
Sebagai bahan masukan dan pembelajaran bagi peneliti untuk
perkembangan keilmuan
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepatuhan Berobat
Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan atau pasrah
pada tujuan yang telah ditentukan. Literatur perawatan-kesehatan mengemukakan
bahwa kepatuhan berbanding lurus dengan tujuan yang dicapai pada program
pengobatan yang telah ditentukan (Bastable, 2002).
Kepatuhan adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku
yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain. Kepatuhan pasien sebagai
sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas
kesehatan. (Prayogo, 2013).
Ada dua faktor yang berhubungan dengan kepatuhan, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Adapun faktor internal meliputi karakter si penderita seperti usia,
sikap, nilai sosial, dan emosi yang disebabkan oleh penyakit. Adapun faktor
eksternal yaitu dampak dari pendidikan kesehatan, interaksi penderita dengan
petugas kesehatan (hubungan antara keduanya) dan tentunya dukungan dari keluarga,
petugas kesehatan, dan teman. Kemudian menurut Niven, ada 4 faktor yang
berhubungan dengan ketidakpatuhan, yaitu:
a. pemahaman tentang insruksi;
b. kualitas interaksi, antara professional kesehatan dan pasien;
c. isolasi sosial dan keluarga serta keyakinan;
5
d. sikap dan kepribadian (Niven, 2002)
Menurut Eraker dkk (1984) dan Levanthal dan Cameron (1987), kepatuhan
pasien program kesehatan dapat ditinjau dari berbagai perspektif teoritis:
1) biomedis, yang mencakup demografi pasien, keseriusan penyakit, dan
kompleksitas program kesehatan;
2) teori perilaku/pembelajaran sosial, yang menggunakan pendekatan
behavioristik dalam hal reward, petunjuk, kontrak, dan dukungan sosial;
3) putaran umpan balik komunikasi dalam hal mengirim, menerima, memahami,
menyimpan, dan penerimaan;
4) teori keyakinan rasional, yang menimbang manfaat pengobatan dan risiko
penyakit melalui penggunaan logika cost-benefit;
5) sistem pengaturan diri, pasien dilihat sebagai pemecah masalah yang
mengatur perilakunya berdasarkan persepsi atas penyakit, keterampilan
kognitif, dan pengalaman masa lalu yang mempengaruhi kemampuan mereka
untuk membuat rencana dan mengatasi penyakit (Bastable, 2002).
2.2 Tuberkulosis
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sumber penularan yaitu pasien TB
BTA (bakteri tahan asam) positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB meskipun dengan tingkat penularan yang kecil
6
(Kemenkes RI, 2015). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2011).
Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi
kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk suatu
pneumonia, yaitu pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M.
tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian
penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis
ekstrapulmonar (Djojodibroto, 2009).
2.2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global. Dengan
berbagai upaya pengendalian yang dilakukan, insidens dan kematian akibat
tuberkulosis telah menurun, namun tuberkulosis diperkirakan masih menyerang
9,6 juta orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014. India,
Indonesia dan China merupakan negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak
yaitu berturut-turut 23%, 10% dan 10% dari seluruh penderita di dunia (WHO,
Global Tuberculosis Report, 2015).
Pada tahun 2013-2014 dilakukan survei prevalensi tuberkulosis yang
bertujuan untuk menghitung prevalensi tuberkulosis paru dengan konfirmasi
bakteriologis pada populasi yang berusia 15 tahun ke atas di Indonesia. Pada
survei ini dilakukan penambahan metode pemeriksaan selain menggunakan
pemeriksaan dahak mikroskopis dan pemeriksaan foto toraks ditambahkan
pemeriksaan x-ray, gen expert dan kultur. Dengan penambahan metode
7
pemeriksaan dalam penetapan kasus tuberkulosis ini maka jumlah penderita
tuberkulosis yang terjaring menjadi lebih banyak daripada tahun-tahun
sebelumnya (Kemenkes RI, 2016).
Angka prevalensi TB pada tahun 2014 menjadi sebesar 647/ 100.000
penduduk meningkat dari 272/100.000 penduduk pada tahun sebelumnya, angka
insidensi tahun 2014 sebesar 399/100.000 penduduk dari sebelumnya sebesar
183/100.000 penduduk pada tahun 2013, demikian juga dengan angka mortalitas
pada tahun 2014 sebesar 41/100.000 penduduk, dari 25/100.000 penduduk pada
tahun 2013 (WHO, Global Tuberculosis Report, 2015).
Pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 330.910
kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan
pada tahun 2014 yang sebesar 324.539 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang
dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa
Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di tiga provinsi tersebut
sebesar 38% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia (Kemenkes RI, 2016).
Menurut jenis kelamin, jumlah kasus pada laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan yaitu 1,5 kali dibandingkan pada perempuan. Pada masing-masing
provinsi di seluruh Indonesia kasus lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan (Kemenkes RI, 2016).
Menurut kelompok umur, kasus tuberkulosis pada tahun 2015 paling
banyak ditemukan pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 18,65%
8
diikuti kelompok umur 45-54 tahun sebesar 17,33% dan pada kelompok umur
35-44 tahun sebesar 17,18% (Kemenkes RI, 2016).
2.2.3 Patogenesis Tuberkulosis Paru
A. Cara Penularan
1) Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik
dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB
dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman
dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah
kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc
dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis
langsung.
2) Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif
adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif
adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto
Toraks positif adalah 17%.
3) Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang
mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut.
4) Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali
batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Kemenkes
RI, 2014).
9
B. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia
Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut
meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia
yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Tahapan Perjalanan Alamiah Penyaki (Kemenkes RI, 2014)
10
C. Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
Tuberkulosis paru: TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru.
Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi
pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru,
dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan
sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB
paru.
Tuberkulosis ekstra paru: TB yang terjadi pada organ selain paru,
misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi,
selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra
paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.
Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ,
diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan
gambaran TB yang terberat.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
11
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya
pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan
TB terakhir, yaitu:
a) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik
karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB
yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan
terakhir.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan
lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai
pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
d) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil
akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
12
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
a) Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh
uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
b) Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
c) Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
d) Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus
juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin dan Amikasin)
e) Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan
metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).
Selain itu terdapat pula klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV.
(Kemenkes RI, 2014 )
13
D. Gejala Klinis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes
RI, 2011).
E. Diagnosis
Dalam upaya pengendalian TB secara nasional, maka diagnosis TB
paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah
pemeriksaan mikroskopik langsung, biakan, dan tes cepat. Pemeriksaan
dahak mikroskopik langsung berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menetukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang
dikumpulkan dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-
Pagi-Sewaktu (SPS). Pasien ditetapkan menjadi pasien TB apabila minimal 1
(satu) dari pemeriksaan contoh uji dahak hasilnya BTA positif. Pemeriksaan
biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberculosis dilakukan untuk
menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien TB ekstra paru, pasien TB anak,
serta pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopik langsung BTA
negatif. Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka
14
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto
thoraks). Pemeriksaan uji kepekaan obat juga diperlukan untuk menentukan
ada tidaknya resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT
(Kemenkes RI, 2014).
F. Penatalaksanaan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB adalah salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB.
Adapun prinsip dari pengobatan OAT, yaitu:
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah resistensi.
2) Diberikan dalam dosis yang tepat.
3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(Pengawas Minum Obat) sampai selesai pengobatan.
4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan
(Kemenkes RI, 2014).
15
Pada tahap awal, pengobatan diberikan setiap hari untuk menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian
kecil kuman yang mugkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapat
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan
selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa
adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama
2 minggu. Sedangkan tahap lanjutan merupakan tahap penting untuk membunuh
sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga
pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2014).
Adapun Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Obat Anti Tuberkulosis dan Efek Sampingnya (Kemenkes RI, 2014).
16
Adapun hasil pengobatan yang dapat ditemukan adalah sebagai berikut.
Tabel 2.3 Hasil Pengobatan (Kemenkes RI, 2014).
17
BAB 3
KERANGKA KONSEP
3.1 Dasar Pemikiran Variabel Yang Diteliti
Berdasarkan tinjauan kepustakaan, pemikiran penulis, serta tujuan dari
penelitian ini, maka dapat dikemukakan beberapa variabel yang berhubungan
dengan faktor-faktor determinan kepatuhan pengobatan OAT pada pasien TB
paru di Puskesmas Tamalanrea.
a) Variabel Dependen
Kepatuhan pasien TB paru dalam pengobatan OAT.
b) Variabel Independen
1. Latar Belakang Pendidikan Pasien
Latar belakang pendidikan seseorang dapat mempengaruhi
cara berpikir dan sikap pasien selama masa pengobatan dari segi
penerimaan penyakit serta kepatuhan dalam meminum obat. Dengan
pengetahuan yang tinggi, maka individu akan menyadari begitu
pentingnya kesehatan sehingga termotivasi untuk menjalankan proses
berobat dengan patuh, begitu juga sebaliknya.
2. Kualitas Interaksi dengan Petugas Kesehatan
Kualitas interaksi antara pasien dengan petugas kesehatan
dalam hal proses edukasi serta kemampuan petugas pasien dalam
18
memperlakukan pasien dengan ramah serta berempati akan
memotivasi pasien untuk patuh dalam menjalani pengobatan.
3. Peran Keluarga
Keluarga memiliki peranan yang penting dalam penerimaan
pasien terhadap keadaannya. Pasien yang mendapatkan perhatian dari
pihak keluarga diperkirakan akan memotivasi pasien untuk patuh
dalam menjalani pengobatan. Pengobatan yang teratur dapat dibantu
oleh keluarga sebagai Pengawas Minum Obat (PMO).
4. Pengetahuan dan Kesadaran Pribadi Pasien
Pengetahuan dan kesadaran pasien menggambarkan persepsi
pasien terhadap penyakit tuberkulosis dan bagaimana upaya pasien
dalam menghadapinya.
5. Jarak Sarana Kesehatan
Jarak sarana kesehatan merupakan jarak yang harus ditempuh
oleh pasien untuk mencapai sarana kesehatan selama proses
pengobatan. Jauh dekatnya perjalanan yang ditempuh pasien dalam
mencapai sarana kesehatan akan berdampak pada keinginan pasien
untuk datang berobat.
19
3.2 Kerangka Konsep
3.3 Definisi Operasional
1) Kepatuhan pengobatan OAT yang dimaksud adalah menuruti aturan
pengobatan OAT secara lengkap selama 6 bulan dan pemeriksaan secara
rutin.
2) Latar Belakang Pendidikan, yaitu sekolah formal yang berhasil ditamatkan
oleh responden.
3) Kualitas Interaksi dengan Petugas Kesehatan meliputi cara petugas
berinteraksi dengan pasien dalam memberikan instruksi dan pelayanan
kesehatan.
Pendidikan
Kualitas Interaksi
Jarak
Pengetahuan dan
Kesadaran
Peran Keluarga
Kepatuhan Pengobatan
OAT
20
4) Peran Keluarga meliputi keterlibatan keluarga dalam mendampingi dan
memperhatikan pasien selama masa pengobatan.
5) Pengetahuan dan Kesadaran Pribadi Pasien adalah tingkat pemahaman pasien
terhadap penyakit tuberkulosis dan sejauh mana upaya pasien dalam
menjalani pengobatan.
6) Jarak Sarana Kesehatan yaitu jarak tempat tinggal pasien dengan sara na
kesehatan baik dengan menggunakan alat transportasi maupun tidak.
Penilaian jauh dan dekatnya sarana kesehatan relatif bagi tiap responden.
21
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode
wawancara secara mendalam (in-depth interview) untuk mengetahui dan memahami
secara mendalam faktor determinan kepatuhan pengobatan OAT pada pasien
tuberkulosis di Puskesmas Tamalanrea.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Dilakukan di Puskesmas Tamalanrea pada bulan November 2017.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi yang dijadikan objek penelitian adalah pasien TB paru yang berobat di
Puskesmas Tamalanrea pada November 2017. Jumlah sampel tidak menjadi acuan
peneliti. Penelitian ini lebih difokuskan pada informasi yang diperoleh dari
responden.
4.4 Cara Pengumpulan Data
Data diperoleh melalui wawancara secara mendalam (in-depth interview) yang
dilakukan kepada setiap yaitu penderita TB paru yang berobat di puskesmas
Tamalanrea. Pengumpulan data dilakukan dengan mendatangi puskesmas pada
jadwal berobat pasien TB di Puskesmas Tamalanrea yang diadakan tiap hari Selasa.
Data penderita diperoleh dengan melihat kartu pengobatan yang ada di puskesmas.
22
Jumlah responden tidak menjadi acuan. Data dikumpulkan hingga mencapai titik
saturasi yang sesuai dengan tujuan penetilian. Pada wawancara mendalam ini
diberikan beberapa pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup menggunakan
pedoman wawancara, kemudian jawaban responden dicatat atau direkam dengan
menggunakan recorder.
4.5 Kriteria Inklusi
a. Bersedia menjadi partisipan atau responden
b. Memiliki data rekam medik yang lengkap
4.6 Kriteria Ekslusi
a. Pasien TB paru yang menderita dispepsia.
b. Pasien TB paru dengan gangguan berbicara.
c. Pasien TB paru dengan gangguan mental.
d. Pasien TB paru dengan gangguan memori.
4.7 Pengolahan dan Penyajian Data
Pengolahan data dapat dilakukan sejak awal penelitian. Data yang telah
dikumpulkan, data kemudian diolah dengan mengambil intisari dari setiap jawaban
responden yang mengacu pada rumusan masalah dan tujuan penelitian. Setelah itu,
data disusun delam bentuk narasi untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk naskah.
23
4.8 Etika Penelitian
1) Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada instansi yang
bersangkutan sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian.
2) Peserta in-dept interview memberikan persetujuan secara tertulis untuk
dijadikan sabagai responden dalam penelitian.
3) Menjaga kerahasiaan data subjek penelitian yang didapatkan selama proses
wawancara.
24
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan selama kurang lebih 1
pekan, yaitu dari tanggal 7 sampai dengan tanggal 14 November 2014. Yang menjadi
sampel penelitian adalah pasien penderita tuberkulosis paru yang menjalankan
program penanggulangan TB dengan startegi DOTS di Puskesmas Tamalanrea
Makassar.
Wawancara dilakukan pada hari yang bertepatan dengan hari pengambilan
OAT yaitu setiap hari Selasa. Pasien yang datang untuk mengambil OAT diarahkan
oleh petugas puskesmas bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P)
untuk mengikuti wawancara.
Data/hasil wawancara kemudian diolah dengan mereduksi dan mengambil
inti sari dari setiap jawaban responden yang mengacu pada rumusan masalah dan
tujuan penelitian dan hasilnya disajikan dalam bentuk naskah.
5.1 Karakteristik Responden
a. Umur
Umur responden berada pada interval 14-58 tahun. Dengan rincian 1
orang berumur 14 tahun, 2 orang berumur 20 tahun, 1 orang berumur 21
tahun, 1 orang berumur 25 tahun, 1 orang berumur 28 tahun, 1 orang
25
berumur 39 tahun, 1 orang berumur 41 tahun, 1 orang 52 tahun dan 1
orang berumur 58 tahun.
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin responden terdiri atas 3 orang laki-laki dan 7 orang
perempuan.
c. Pekerjaan
Mata pencaharian responden yaitu 1 orang wiraswasta, 4 orang
mahasiswa, 2 orang ibu rumah tangga, 1 orang perawat, 1 orang pegawai
dan 1 orang siswa SMP.
5.2 Faktor Latar Belakang Pendidikan Terhadap Kepatuhan Pengobatan OAT pada
Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar
Dari hasil wawancara, latar belakang pendidikan pasien TB paru berbeda-
beda. Responden yang mencapai pendidikan formal hingga jenjang S1 sebanyak
2 orang, responden yang menyelesaikan pendidikan pada tingkat SMA sebanyak
2 orang, responden dengan latar pendidikan sekolah keguruan 1 orang,
responden yang masih dalam bangku kuliah sebanyak 4 orang, dan responden
yang masih menjalani pendidikan pada tingkat SMP sebanyak 1 orang. Dari
keseluruhan responden, ada 2 responden yang berlatar belakang pendidikan
kesehatan.
26
Ibu R, dengan pendidikan formal terakhir S1 mengatakan, “Dianjurkan
supaya teratur minum obatnya. Artinya kalo teratur, penyembuhannya bertahap
bagus. Bisa sampai 6 bulan sembuh.”
Sedangkan Ibu A, dengan pendidikan formal terakhir pada tingkat sekolah
menengah atas mengatakan, “...cuma pelajaran ji juga itu bagi saya toh karna
saya pikir juga biasa kalo saya tidak minum, mati ka’.”
Seluruh responden mampu menerima arahan dari petugas kesehatan dengan
baik tanpa penolakan yang berarti. Seperti yang dipaparkan oleh Ibu R, ibu
rumah tangga yang mengenyam pendidikan hingga tingkat sekolah menengah
atas sebagai berikut:
“Iya, dia kan sebelumnya sudah ini, pertama berobat dia sudah kasi
penyampaian sebelumnya segala macam. Sudah dikasi tau di awal ini
tergantung dari pasien sendiri. Kalo pasien mau sembuh, rutin ki’ minum obat
karna kita sudah capek-capek kasi arahan kalo pasiennya memang kayak malas-
malasan begitu yah wajar kalo marah kan. Apalagi kalo putus minum obatnya
itu kan terulang lagi jadinya.”
Beberapa responden mengaku tidak masalah jika petugas kesehatan mesti
bersikap tegas dalam masa pengobatan. Secara umum, penerimaan responden
terhadap penyakitnya cukup baik dan sangat terbuka dalam menerima masukan
dan arahan dari petugas kesehatan yang terlibat dalam proses pengobatan OAT.
27
5.3 Faktor Kualitas Interaksi dengan Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan
Pengobatan OAT pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea
Makassar
Di Puskesmas Tamalanrea, petugas kesehatan yang bertugas untuk melayani
pasien TB paru adalah petugas pada bidang Pengendalian dan Pemberantasan
Penyakit (P2P). Dari beberapa hasil wawancara diketahui bahwa petugas P2P
yang memberikan pelayanan dalam masa pengobatan OAT cukup ramah dan
interaktif bahkan bisa dikatakan memiliki relasi yang cukup dekat dengan pasien
yang datang berobat. Petugas P2P memberikan edukasi dan arahan minum obat
dengan cukup baik dan sederhana sehingga mudah dipahami oleh responden.
“Bagus karena jadi disiplin juga minum obatnya. Yang cara makan itu,
pokoknya semuanya.... Iya saya jadi lebih rajin makan. Kadang saya malas-
malas makan. Dulu saya sarapan kadang jam 1, sekarang jam 9 sudah
sarapan.”
(N, 25 tahun)
”Ee... Ada semacam brosur toh dia kasi liat saya, dampak dari obatnya kalo
diminum. Dia kasi arahan supaya rutin karena kalo nda, berkelanjutan katanya
dimulai dari awal lagi. Cara ngomongnya kan bagus ji toh, jadi kita juga nda
terlalu anu ji, nda ragu ji untuk datang.”
(R, 39 tahun)
28
Untuk pendistribusian OAT bagi responden, petugas P2P membuat langkah
yang cukup efektif untuk membantu responden untuk meminum obat secara
teratur. Petugas P2P memberikan catatan pada obat yang akan dikonsumi
responden mengenai waktu pengambilan OAT berikutnya serta waktu meminum
OAT.
“Iya kan ditulis ji di obatnya toh, dikasi tiap dua minggu sekali tiap hari
Selasa.”
(L, 28 tahun)
“Disuruh teratur minum toh biar cepat sembuh. Ditulis di obat tanggal
sekian harus kembali dan juga persis tanggalnya memang obatnya habis”
(R, 52 tahun)
5.4 Faktor Peran Keluarga Terhadap Kepatuhan Pengobatan OAT pada Pasien
Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar
Beberapa responden datang berobat atas dorongan dari keluarga. Secara
umum, responden mengaku bahwa dalam masa pengobatan OAT mereka
didukung dan dimotivasi oleh keluarga mereka. Meskipun demikian, kepedulian
dari anggota keluarga tidak membuat para responden bergantung kepada
keluarga. Dari hasil wawancara, dapat diketahui bahwa seluruh responden
cenderung mandiri dalam menjalani pengobatan OAT.
29
“...Iya datang sendiri. Biasa keluarga ji yang ambilkan obat, biasa kakak,
kalo kuliah.
(O, 20 tahun)
“Ada semua anak-anak, ee... Bapaknya. Waktu saya nda minum obat, marah-
marah ki orang di rumah. Na bilang kenapa nda mau diminum, percuma ko ke
rumah sakit itu.”
(A, 41 tahun)
Bahkan responden berinisial M yang berusia 14 tahun pun secara mandiri
datang mengambil obat di puskesmas tanpa ditemani orang tuanya.
Dalam masa pengobatan OAT, responden juga turut diingatkan oleh anggota
keluarga namun bukan sebagai Pengawas Minum Obat. Hampir semua
responden mengaku meminum obat tanpa harus diingatkan oleh orang lain
kecuali responden M yang masih berusia 14 tahun.
“Saya disuruh ke sini sama keluarga. Ada adek dirumah, kadang orang tua
juga telpon. Untuk minum obat saya pake alarm.”
(E, 25 tahun)
“Sendiri ji, sama kakak biasa tapi lagi kerja ki toh. Ingat sendiri ji.”
(R, 21 tahun)
30
5.5 Faktor Pengetahuan dan Kesadaran Pribadi Pasien Terhadap Kepatuhan
Pengobatan OAT pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea
Makassar
Tingkat pengetahuan responden terhadap penyakit TB paru berbeda-beda.
Beberapa responden mengetahui penyakit TB paru adalah penyakit yang
disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat seperti makan tidak teratur dan
kebiasaan mandi malam. Ada juga yang memahami penyakit tersebut sebagai
akibat dari banyaknya debu yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Dan yang
lainnya mengetahui bahwa TB paru disebabkan oleh virus atau kuman. Beberapa
responden menerima informasi tersebut dari petugas puskesmas. Selain itu ada
juga responden yang mendapatkan informasi dari instansi kesehatan yang
merujuk responden untuk menjalankan pengobatan OAT di Puskesmas
Tamalanrea.
“Na bilang dokter banyak katanya kuman. Na bilang kalo keluar pake masker
begitu, jangan terlalu kena banyak debu.”
(O, 20 tahun)
“Mungkin saya biasa terlambat makan, saya rasakan memang.”
(P, 58 tahun)
“Disuruh rajin makan, jangan suka mandi malam. Karna sering dulu toh,
mandi malam terus.”
(R, 21 tahun)
31
Secara umum pasien memahami penyakit TB paru sebagai penyakit yang
menular dan mengerti cara penularannya. Mereka juga memahami efek samping
yang bisa timbul selama masa pengobatan OAT, dampak jika tidak patuh dalam
berobat, serta jangka waktu pengobatan OAT.
“Ini kan sudah 2 macam saya minum, itu agak berpengaruh sekali efeknya,
sesuai dengan buku yang dia kasi lihat itu. Sampe lemas sekali saya rasa, tapi
yang obat yang berkelanjutannya itu sudah nda terlalu.”
(R, 39 tahun)
“Saat berbicara virusnya bisa menular. Gunakan masker.”
(M, 14 tahun)
“Kalo tidak patuh, kumannya menyebar begitu. Disuntik ki beng orang
katanya baru diulang lagi dari awal obatnya.”
(O, 20 tahun)
Reponden berinisial H, usia 20 tahun, adalah mahasiswa berlatar belakang
kesehatan. Namun dari hasil wawancara didapatkan bahwa pengetahuannya
tentang penyakit yang sedang diderita tidak memadai. Kata responden H, “Saya
kurang tau juga. Paling yah kayak berobat 6 bulan begitu, terus ada pengecekan
lagi setelah berobat.”
32
Sedangkan dari kesadaran tiap responden sendiri, sebagian besar mengerti
pentingnya kepatuhan dalam proses pengobatan OAT yang sedang mereka
jalani. Selain itu, semua responden memiliki tekad yang cukup bagus untuk
berobat tuntas dan memperoleh kesembuhan. Sebagian besar responden
termotivasi untuk patuh berobat akibat gelaja TB paru yang mereka rasakan.
“Awalnya kan selalu dikasi tau saja supaya nda berenti. Tapi karena saya
sudah merasa perlu untuk berobat ya sudah saya sendiri ke sini. Sebenarnya
saya punya penyakit ini sudah lama. Cuma ya karena saya orangnya masa
bodoh, pas sudah titik lemahnya itu saya bilang daripada ini makin parah,
kasian anak-anak juga.”
(R, 39 tahun)
“Iya yakin ji kak, bisa ji pasti sembuh.”
(M, 14 tahun)
“Kalo mau sembuh yah harus rajin.”
(P, 58 tahun)
“Waktu minum obat yang merah, mual, sakit kepala, sampe kencing merah.
Awal yang kuning saya minum, sakit kepala juga. Saya minum terus. Mengeluh-
mengeluh tapi tetap diminum, karena mau ki sembuh toh.”
(A, 41 tahun)
“Itu ji supaya cepat pulih kembali, tidak kayak kemarin. Sempat sebulan nda
kuliah dulu karena sakit.”
(H, 21 tahun)
33
“Saya kalo tidak minum obat saja satu hari langsung sesak. Saya tau ji
karena pengaruhnya ada sama saya toh, saya yang alami. Saya berolahraga
sekarang, dulu kan sya jrang olahraga makanya mungkin saya jadi gampang
sakit. Yah tekad saya yah minum obat saja. Itu saja olahraga sama minum obat.
Ini sudah naik badanku sekarang.”
(R, 52 tahun)
Meski sadar akan pentingnya kepatuhan selama pengobatan OAT, seorang
responden mengaku tidak patuh dalam meminum obatnya dikarenakan kelalaian
dari respoden.
“Takut ka juga karena saya perempuan, nanti dibilang ada apa-apa ta
begitu. Lebih baik duluan daripada anu....”
....“Biasa minum, biasa tidak. Ada ji yang kasi ingat, tapi saya sendiri yang
lupa.”
(O, 20 tahun)
5.6 Faktor Jarak Sarana Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pengobatan OAT pada
Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar
Seluruh responden yang diwawancarai mengaku jarak sarana kesehatan tidak
menjadi kendala bagi mereka untuk datang beribat. Hal tersebut dikarenakan
sebagian besar dari responden tinggal di wilayah kerja puskesmas.
“Nda ji, dekat ji toh.”
(R, 21 tahun)
34
“Nda ada ji kendala, dekat ji dari sini”.
(P, 58 tahun)
Responden N yang tidak tinggal di wilayah kerja Puskesmas Tamalanrea pun
mengaku jarak sarana kesehatan dari tempat tinggalnya bukanlah sebuah
kendala. “Saya tinggal di Daya. Tidak masalah. Kan naik kendaraan. Kalo nda
ada yang antar saya datang sendiri,” kata Responden N.
35
BAB 6
PEMBAHASAN
Ada banyak faktor determinan yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien
tuberkulosis paru. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa
faktor yang sebelumnya diperkirakan mempengaruhi kepatuhan pasien beberapa
diantaranya memiliki pengaruh dan yang lainnya tidak memiliki pengaruh. Berikut
ini adalah pembahasan mengenai faktor-faktor tersebut.
6.1 Faktor Latar Belakang Pendidikan Terhadap Kepatuhan Pengobatan OAT pada
Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar
Latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh responden cukup bervariasi,
mulai dari yang sedang duduk di bangku SMP, tamat SMA, tamat S1, serta yang
sedang menjalankan kuliah. Berdasarkan hasil wawancara, meskipun latar
belakang pendidikan formal pasien berbeda-beda namun penerimaan pasien
terhadap penyakitnya cukup baik. Baik yang berlatar belakang S1 maupun yang
hanya menyelesaikan pendidikan formal pada tingkat SMA memiliki tekad yang
besar untuk sembuh.
Satu dari 10 responden mengaku tidak rutin dalam meminum obat, dimana
responden tersebut berstatus mahasiswa yang notabene lebih tinggi tingkat
pendidikannya dibandingkan responden lain yang hanya tamat sekolah tingkat
menengah serta yang sedang duduk di bangku sekolah menengah pertama.
36
Penerimaan dari tiap responden terhadap penyakitnya serta kepatuhan dalam
meminum obat tidak bergantung dari latar belakang pendidikan formal terakhir
yang diterima oleh responden. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Enny Suswati dalam penelitiaannya mengenai hubungan tingkat
pendidikan dengan kepatuhan minum obat pada penderita tuberkulosis paru.
Berdasarkan penelitian Enny Suswati (2006), didapatkan bahwa dari kelompok
sampel penderita yang tidak bersekoah 74,23% patuh minum obat dan sisanya
25,74% lalai minum obat. Sedang dari kelompok berpendidikan SD 72,42%
patuh munim obat dan 27,58% lalai minum obat, da sisanya 21,62% lalai minum
obat. Dari kelompok berpendidikan SLTP 86,84% patuh minum obat dan
sisanya 13,16% lalai minum obat. Dan kelompok penderita yang berpendidikan
tinggi 50% patuh dan 50% lalai minum obat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan minum obat pada
penderita tuberkulosis paru. Keadaan ini dapat terjadi karena pola pengobatan
tuberkulosis yang memang memiliki aturan tersendiri tentang jenis obatnya yang
lebih dari satu dan lama pengobatannya minimal 6 bulan.
Di samping itu, ada beberapa responden yang berlatar belakang pendidikan
kesehatan. Namun dari hasil penelitian yang diperoleh, responden yang berlatar
belakang pendidikan kesehatan tidak memiliki pemahaman yang jauh berbeda
dengan responden lain yang tidak berlatar belakang pendidikan kesehatan. Hal
tersebut menjadi sebuah persoalan yang cukup ironis karena sebagai orang-orang
yang berkecimpung di dunia kesehatan, risiko untuk terpapar bakteri M.
37
tuberculosis cukup tinggi. Pengetahuan yang tidak memadai sebagai tenaga
kesehatan ataupun mahasiswa berlatar belakang kesehatan akan membuat
penyakit tuberkulosis paru yang harusnya bisa segera dikenali lebih awal oleh
penderita menjadi lebih lambat untuk ditangani.
6.2 Faktor Kualitas Interaksi dengan Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan
Pengobatan OAT pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea
Makassar
Berdasarkan hasil penelitian, kualitas interaksi petugas kesehatan cukup
memberikan pengaruh terhadap kepatuhan pengobatan OAT pada pasien
tuberkulosis paru di Puskesmas Tamalanrea. Hal tersebut didukung oleh hasil
wawancara dari responden yang menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan
oleh petugas kesehatan khususnya yang bertugas di bidang Pengendalian dan
Pemberantasan Penyakit (P2P) cukup baik.
Petugas P2P dinilai cukup ramah dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Adanya regulasi yang baik dalam distribusi OAT serta edukasi yang tepat dalam
menyampaikan infomasi mengenai cara penularan penyakit, efek samping dari
mengkonsumsi OAT, serta adanya jadwal minum obat dan jadwal pengambilan
obat berikutnya yang dikemas bersama OAT yang diambil oleh pasien setiap
kali datang mengambil obat adalah beberapa faktor yang mendukung kualitas
interaksi petugas kesehatan memberikan pengaruh yang besar bagi kepatuhan
responden dalam menjalani pengobatan OAT.
38
Selain itu, petugas P2P yang bertugas di Puskesmas Tamalanrea dinilai
bersikap cukup tegas bagi responden yang tidak patuh dalam menjalani
pengobatan OAT tanpa menimbulkan rasa tidak nyaman bagi responden. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kepedulian petugas kesehatan di Puskesmas
Tamalanrea terhadap kesembuhan responden cukup baik.
Hal ini sesuai dengan Lewrence Green bahwa faktor yang berhubungan
dengan perilaku kepatuhan berobat diantaranya ada faktor yang memperkuat
atau mendorong (reinforcing factor) yaitu berupa sikap atau perilaku petugas
kesehatan yang mendukung penderita untuk patuh berobat.
Menurut teori WHO, adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi
yang dipercayai mempengaruhi perilaku kepatuhan seseorang (Fitriani, 2011).
Petugas kesehatan (perawat) dalam pelayan kesehatan dapat berfungsi sebagai
comforter atau pemberi rasa nyaman, protector, dan advocate (pelindung dan
pembela), communicator, mediator, dan rehabilitator. Peran petugas kesehatan
juga dapat dijadikan sebagai konseling kesehatan, dapat dijadikan sebagai
tempat bertanya oleh individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat untuk
memecahkan berbagai masalah dalam bidang kesehatan yang dihadapi oleh
masyarakat (Mubarak, 2009).
39
6.3 Faktor Peran Keluarga Terhadap Kepatuhan Pengobatan OAT pada Pasien
Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar
Keluarga adalah bentuk sosial yang utama yang merupakan tempat untuk
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit (Campbell, 1994 dalam Potter
& Perry, 2005). Sedangkan menurut Friedman (1998), keluarga adalah dua atau
lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional dan
yang mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga.
Adanya suatu penyakit yang serius dan kronis pada diri seseorang anggota
keluarga biasanya memiliki pengaruh yang mendalam pada sistem keluarga,
khususnya pada struktur perannya dan pelaksaan fungsi-fungsi keluarga
(Friedman, 1998). Berbeda dengan pendapat Friedman, hasil penelitian
menunjukkan bahwa peran keluarga tidak memberikan pengaruh yang signifikan
bagi responden dalam menjalani pengobatan OAT. Responden dapat menjalani
pengobatan OAT secara mandiri tanpa bergantung kepada keluarga. Beberapa
responden pun mengaku tidak memiliki pengawas minum obat selama
menjalankan pengobatan OAT.
Ketidaktergantungan responden terhadap dukungan dari keluarga selama
pengobatan OAT mungkin terkesan baik karena responden akan tetap
menjalankan pengobatan tanpa terpengaruh dengan kondisi keluarga. Namun hal
tersebut dapat menandakan bahwa ikatan emosional antara responden dengan
anggota keluarga yang lainnya tidak begitu kuat sehingga peran keluarga dalam
pengobatan tidak terlalu signifikan memberikan pengaruh.
40
6.4 Faktor Pengetahuan dan Kesadaran Pribadi Pasien Terhadap Kepatuhan
Pengobatan OAT pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea
Makassar
Pengetahuan yang dimiliki responden mengenai penyakit TB paru cukup
bervariasi. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa meskipun penyakit TB
memiliki prevalensi yang cukup tinggi namun pengetahuan responden tentang
TB paru masih cukup rendah. Hal ini didukung oleh pemaparan sebagian
responden yang menganggap TB paru sebagai penyakit yang disebabkan oleh
pola hidup yang tidak sehat seperti makan tidak teratur dan kebiasaan mandi
malam. Ada juga yang memahami penyakit tersebut sebagai akibat dari
banyaknya debu yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Dan yang lainnya
mengetahui bahwa TB paru disebabkan oleh virus atau kuman.
Keterbatasan pengetahuan responden terhadap penyakitnya ternyata tidak
memberikan dampak yang bermakna terhadap kepatuhan mereka dalam
menjalani pengobatan OAT. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang
dilakukan di RSUD Jakarta yang menyatakan bahwa pengetahuan pasien
terhadap penyakitnya tidak memberikan makna yang signifikan terhadap
kepatuhan pasien dalam manjalankan pengobatan OAT (Ida Diana Sari, et al,
2016).
Dari 10 responden yang bersedia menjadi subjek penelitian, 9 diantaranya
patuh dalam menjalani pengobatan OAT. Alasan utama yang sangat
berpengaruh terhadap kepatuhan responden adalah karena mereka merasakan
41
sendiri dampak dari penyakit tuberkulosis paru serta dampak jika tidak berobat
dengan teratur. Adanya keterbatasan fisik dan keluhan yang dirasakan oleh
responden selama menderita penyakit TB paru mendorong mereka untuk rutin
mengkonsumsi obat dan berusaha untuk menyelesaikan pengobatan OAT secara
tuntas. Sebagian besar responden telah memahami akibat yang bisa terjadi jika
mereka tidak berobat secara tuntas. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian
Puspita et al (2017) yang menemukan bahwa alasan ketidakpatuhan berobat
yang paling besar adalah pasien tidak merasakan adanya keluhan atau merasa
sehat.
6.5 Faktor Jarak Sarana Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pengobatan OAT pada
Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar
Sebagian besar responden memiliki lokasi tempat tinggal yang tidak jauh dari
puskemas sehingga tidak ada kendala yang dirasakan dalam menempuh sarana
kesehatan. Namun, ada juga responden yang tidak tinggal di wilayah kerja
puskesmas namun merasa tidak ada hambatan untuk datang berobat. Hal tersebut
menunjukkan tidak adanya keterkaitan antara jarak sarana kesehatan dengan
kepatuhan responden dalam pengobatan OAT.
42
Fakta ini juga didukung oleh penelitian lain yang melakukan uji Korelasi
untuk mengetahui hubungan antara jarak rumah dengan kepatuhan berobat yang
menunjukkan angka -0.088 dengan nilai signifikani sebesar 0.268 dengan nilai
p<0,05 yang artinya ada hubungan negatif antara jarak rumah ke sarana
kesehatan (Sutanta, 2014).
43
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Sebagian besar pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Tamalanrea patuh
dalam menjalankan pengobatan OAT
2. Tingkat pendidikan formal tidak mempengaruhi kepatuhan pengobatan
OAT pada pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Tamalanrea.
3. Kualitas interaksi petugas kesehatan mempengaruhi kepatuhan pasien
tuberkulosis paru dalam menjalankan pengobatan OAT.
4. Peran keluarga tidak mempengaruhi kepatuhan pengobatan OAT pada
pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Tamalanrea.
5. Pengetahuan pasien terhadap penyakit tuberkulosis paru tidak berbanding
lurus dengan kesadaran pasien dalam kepatuhan menjalankan pengobatan
OAT.
6. Kesadaran pribadi pasien menjadi faktor utama dalam keberhasilan
pengobatan OAT.
7. Jarak sarana kesehatan tidak menjadi kendala bagi masyarakat untuk
menjangkau puskesmas karena didukung oleh lokasi puskesmas yang
mudah untuk dijangkau.
44
7.2 Saran
1. Meskipun pengetahuan masyarakat mengenai penyakit tuberkulosis paru
tidak memberikan dampak yang bermakna bagi kepatuhan pasien dalam
pengobatan OAT, namun sebaiknya petugas kesehehatan tetap memberikan
edukasi yang benar secara sederhana kepada penderita mengenai penyakitnya
untuk mencegah kambuhnya penyakit ataupun untuk mencegah penularan
kepada keluarga pasien.
2. Perlu diteliti lebih lanjut mengenai pengetahuan perawat dan petugas
kesehatan yang khusus menangani kasus tuberkulosis paru di berbagai
layanan kesehatan, melihat hasil yang menunjukkan bahwa pengetahuan
pasien terhadap penyakit yang diderita masih cukup rendah.
3. Diharapkan untuk peneliti selanjutnya untuk meneliti variabel yang lebih
banyak dan belum pernah diteliti sebelumnya.
45
DAFTAR PUSTAKA
Bastable, S. 2002. Perawat Sebagai Pendidik: Prinsip-Prinsip Pengajaran dan
Pembelajaran. ECG. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Cetakan ke-8. Depkes RI. Jakarta.
Dhiyantari, N. Trasia, R. Indriyani, K. 2013. Gambaran Kepatuhan Minum Obat
Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bebandem,
Karangasem. Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas-Ilmu Kedokteran Pencagahan
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Dhewi, G. Armiyati, Y. dan Supriyono, M. 2011. Hubungan Antara Pengetahuan,
Sikap Pasien dan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat pada
Pasien TB Paru di BKPM Pati.
Direktoral Bina Farmasi Komunitas Klinik Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. 2005.
Pharmaucetical Care Untuk Penyakit Tuberculosis. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta.
Direktoral Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan RI.
Jakarta.
46
Direktoral Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.
Pedoman Pelaksanaan Hari TB Sedunia 2011. Kementerian Kesehatan RI.
Jakarta.
Direktoral Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2014.
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan RI.
Jakarta.
Djojodibroto, R. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). ECG. Jakarta.
Niven, N. 2002. Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional
Kesehatan Lain. ECG. Jakarta.
Pragoyo, A. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat Anti
Tuberkulosis pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Pamulang Kota
Tanggerang Selatan Provinsi Banten Periode Januari 2013-Januari 2013. Skripsi.
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Pusat dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta
Setiati S, et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Interna Publishing.
Jakarta.
47
World Health Organization. 2015. Global Tuberculosis Report. World Health
Organization. Geneva.
Suswati E, 2006. Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Kepatuhan Minum Obat
pada Penderita Tuberkulosis Paru. Skripsi. Pengembangan Pendidikan. Vol 3.
Fitriani S. 2011. Promosi Kesehatan. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Mubarak W. 2007. Promosi Kesehatan: Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar
Dalam Pendidikan. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Sari I, et al. 2016. Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Kepatuhan Berobat
pada Pasien TB Paru yang Rawat Jalan di Jakarta Tahun 2014. Media
Litbangkes. Jakarta. Vol.26.
Khotimah M. 2014. Hubungan Antara Dukungan Keluarga dan Peran Petugas
Kesehatan dengan Kepatuhan Minum Obat Kusta. Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Ilmu Olahraga Universitas Negeri Semarang.
Ulfah M. 2013. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat pada
Paien Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Kota Tangerang
Selatan Tahun 2011. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Sutanta. 2014. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan PMO, Jarak Rumah dan
Pengetahuan Pasien TB Paru Dengan Kepatuhan Berobat di BP4 Kabupaten
Klaten. Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu”. Yogyakarta.
xvii
LAMPIRAN 1
xviii
LAMPIRAN 2
LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Umur :
Alamat :
Setelah mendapat keterangan secukupnya dari peneliti, serta menyadari manfaat dari
penelitian tersebut di bawah ini yang berjudul:
“Faktor Determinan Kepatuhan Pengobatan OAT pada Pasien Tuberkulosis Paru di
Puskesmas Tamalanrea”
Dengan sukarela dan tanpa paksaan menyetujui untuk ikut serta dalam penelitian ini
dengan catatan bila suatu saat merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak
membatalkan persetujuan ini serta berhak untuk mengundurkan diri.
Makassar,..................................2017
Responden
(.........................................................)
Saksi 1: Saksi 2:
(.................................) (.................................)
Penanggungjawab:
Nama : Jein Pratiwi Pongbulaan
Alamat : Jl. Bung Perumahan Mega Asri Blok D
No. Hp : 085210474692
xix
LAMPIRAN 3
PEDOMAN WAWANCARA
“Faktor Determinan Kepatuhan Pengobatan OAT pada Pasien Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Tamalanrea Makassar”
NO LANGKAH/ KEGIATAN
PERSIAPAN RESPONDEN
1 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada peserta
2 Menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya wawancara
3 Menjelaskan tentang jaminan kerahasiaan semua informasi yang diperoleh dari peserta
4 Memastikan peserta memberikan persetujuan secara lisan maupun tertulis untuk
dijadikan responden dalam penelitian
MENANYAKAN DATA PRIBADI RESPONDEN
5 Menanyakan data pribadi responden dengan baik dan sopan: nama, umur, alamat,
pekerjaan
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN PASIEN
6 Menanyakan pendidikan formal terakhir yang ditempuh responden
KUALITAS INTERAKSI DENGAN PETUGAS KESEHATAN
7 Menelusuri kualitas interaksi petugas kesehatan:
a. Keramahan
b. Empati
c. cara megedukasi
d. motivasi
PERAN KELUARGA
8 Menelusuri tingkat kepedulian keluarga terhadap penderita dari sudut pandang
penderita:
a. Menyadari tanda dan gejala penyakit TB Paru pada penderita dan menyarankan
untuk ke puskesmas.
b. Memberi dorongan dan nasihat, maupun materi.
c. Menemani saat ke puskesmas
d. Bersedia menjadi Pengawas Minum Obat (PMO)
Menelusuri tingkat ketergantungan penderita pada keluarga
a. Keluarga tersebut disegani oleh penderita
b. Ketergantungan materi kepada keluarga
c. Penderita harus ditemani oleh keluarga saat ke puskesmas
PENGETAHUAN DAN KESADARAN PASIEN
9 Menelusuri pengetahuan responden tentang penyakit TB Paru:
a. Pengertian
b. Etiologi
c. Cara Penularan
d. Tanda dan Gejala
xx
e. Pengobatan/bahaya jika tidak berobat dengan baik
Menanyakan sumber informasi yang didapatkan tentang TB Paru
Menanyakan pandangan responden terhadap penyakit TB Paru dan tekadnya untuk
sembuh
JARAK SARANA KESEHATAN
10 Menanyakan jarak puskesmas dari rumah responden
Menanyakan upaya responden dalam menjangkau puskesmas
Menelusuri apakah jarak dan upaya yang dilakukan menjadi kendala dalam
menjangkau puskesmas
xxi
LAMPIRAN 4
BIODATA PENELITI
Nama Lengkap : Jein Pratiwi Pongbulaan
Nama Panggilan : Jein
NIM : C11114343
Tempat, Tanggal Lahir : Tana Toraja, 6 Juni 1995
Agama : Kristen Protestan
Jenis Kelamin : Perempuan
Jurusan/Fakultas : Pendidikan Dokter
Nama Orangtua :
Ayah : Drs. Yohanis Kondo, M.Pd
Ibu : Examin Ramba’, S.Pd
Anak Ke : 1
Alamat : Jl. Frans Karangan Lorong 2 No. 36D, Rantepao, Toraja
Utara
Telepon : 085210474692
Email : [email protected]
Riwayat pendidikan :
SD Inpres Malango’ (2001-2004)
SDN 56 Rantepao IV (2004-2007)
SMP Negeri 1 Rantepao (2007-2010)
SMA Kristen Barana’ (2010-2013)
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (2014-sekarang)