jumlah pengaduan mkdki
-
Upload
edah-humaidah -
Category
Documents
-
view
105 -
download
0
Transcript of jumlah pengaduan mkdki
-
PUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI) SEBAGAI ALAT BUKTI AWAL DALAM
PENEGAKAN HUKUM KESEHATAN
DECISION INDONESIA MEDICAL DISCIPLINARY BOARD (MKDKI) AS EVIDENCE IN THE BEGINNING OF HEALTH LAW ENFORCEMENT
Nur Alim,1 Musakkir,2 Irwansyah,2
1Bagian Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin 2Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi:
Nur Alim, SH Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 085260943459 Email: [email protected]
-
Abstrak
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa kesehatan merupakan Hak Azasi Manusia, akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan malpraktek makin meningkat dimana-mana, National Health Service (NHS) menyebutkan bahwa dari satu saja kelalaian medik yang dilaporkan, diperkirakan telah terjadi 25 kelalaian medic yang lain. Penlitian ini bertujuan untuk mengetahui Putusan Mejelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dapat dijadikan sebagai alat bukti awal dalam penegakan hukum kesehatan. Seluruh data yang diperoleh dalam penelitian ini, baik data primer maupun data sekunder. Dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Setelah itu dideskripsikan dengan menelaah permasalahan yang ada. Menguraikan, hingga menjelaskan permasalahan-permasalahan yang ada. Hasil penelitian bahwa salah satu cara untuk membuktikan adanya dugaan malapraktek yaitu dengan menggunakan putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai penyelenggara peradilan disiplin untuk dijadikan sebagai alat bukti awal dalam peroses peradilan umumkeputusan sidang Mejelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dapat dijadikan alat bukti awal di pengadilan, karena keduanya mempunyai proses pembuktian yang sama dan putusan Mejelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) pula telah memenuhi syarat sebagai alat bukti surat. Kesimpulan putusan Mejelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) layak dijadikan alat bukti sebagai alat bukti surat.
Kata kunci: Putusan, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Bukti Awal
Abstract
Constitution of 1945 states that health is a human rights, recent lawsuits against doctors under charges of malpractice is increasing everywhere, the National Health Service (NHS) says that of the only reported medical negligence, is thought to have going another 25 neglect medic. The aim of this study to know the decision to discipline Indonesian Medical Honorary Assembly (MKDKI) can be used as evidence in law enforcement beginning of health. All data obtained in this study, both primary data and secondary data. Analyzed using qualitative analysis techniques. After that described by reviewing the existing problems. Elaborating, to explain the problems that exist. The results that one way to prove the alleged malpractice by using decision Indonesian Medical Disciplinary Board (MKDKI) as organizer of judicial discipline to be used as evidence earlier in the trial umumkeputusan peroses judicial disciplinary Indonesian Medical Honorary Assembly (MKDKI) can be used as evidence early in the trial, because both have the same verification process and the decision of the Honorary Panel of Indonesian medical disciplines (MKDKI) also has been qualified as documentary evidence. Conclusion disciplinary decision Indonesian Medical Honorary Assembly (MKDKI) worthy evidence as documentary evidence.
Keywords: Decision, Indonesian Medical Disciplinary Board, Early Evidence
-
PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa kesehatan merupakan
Hak Azasi Manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam
kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk didalamnya mendapaatkan makanan,
pakaian, perumahan, dan pelayanan sosial lain yang diperlukan. Kesehatan adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU No 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan).
Hubungan antara dokter dan pasien didasarakan kepada tiga aspek hubungan
yaitu: hubungan medik, hubungan moral dan hubungan hukum. Dalam hubungan medik
dasar dari hubungan anatara dokter dan pasien adalah atas dasar kepercayaan dari pasien
atas kemapuannya doktrin untuk berupaya semaksimal mungkin menyembuhkan
penyakit yang dideritnya. Dalam hubungan moral didasarkan pada kaidah-kaidah moral
dalam pelaksanaan kewajiban dokter dan kewajiban pasien. Dalam hubungan hukum
antara dokter dan pasien didasarakan pada kewajiban pesien dan hak pasien menjadi
kewajiban dokter, keadaan itu menempatkan kedudukan dokter dan pasien pada
kedudukan yang sama dan sederajat.
Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan
malpraktek makin meningkat dimana-mana, termasuk di negara kita. Ini menunjukkan
adanya peningkatan kesadaran hukum masyarakat, lebih menyadari akan haknya. Disisi
lain para dokter dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan
hati-hati dan penuh tanggung jawab. Seorang dokter hendaknya dapat menegakkan
diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur, memberikan terapi dan melakukan
tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, dan tindakan itu memang wajar dan
diperlukan.
National Health Service (NHS) menyebutkan bahwa dari satu saja kelalaian
medik yang dilaporkan, diperkirakan telah terjadi 25 kelalaian medic yang lain
(Chandawila S, 2001). Oleh karena itu instrumen hukum sebagai salah satu kekuatan
untuk melindungi hak-hak dasar pasien dapat ditegaskan kembali sesuai dengan ruang
lingkup serta batasannya (Ali, 2009). Sebagai fenomena gunung es (iceberg
phenomenon), dugaan malpraktek kedokteran mendapatkan prioritas penanganan lebih
-
saat ini. Tingginya kasus malpraktek yang terjadi akibat kelalaian dokter, memaksa
pemerintah untuk turut serta secara pro-aktif memberikan perlindungan kepada
masyarakat selaku pihak yang dirugikan berupa ketentuan undang-undang serta sanksi-
sanksi hukum yang tegas untuk memberikan efek jera.
Betapa sulitnya menentukan/membuktikan malapraktek medik (medical
malpractice) itu di pengadilan, karena tidak adanya aturan berupa Standar Pelayanan
Minimal (SPM). Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran, MKDKI ini hanya menitik beratkan kepada tindakan disiplin dengan sanksi
administrative yang dalam peroses pembuktian terikat 2 alat bukti yang sama dengan
pembuktian dalam perkara pidana. Walaupun di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 66 Ayat 3 menyatakan, setiap orang tidak
menghilangkan haknya untuk melapor adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang
berwenang atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan. Pasien lebih cenderung
berdiam diri karena pembuktian malapraktek yang sangat susah. Tujuan Penelitian untuk
mengetahui Putusan MKDKI dapat dijadikan sebagai alat bukti awal dalam penegakan
hukum kesehatan.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kantor pusat Majelis Kehormatan Disiplin Indinesia
(MKDKI), Kantor Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dan
Markas Besar Polri (MABES POLRI) Jakarta. jenis penelitian yang digunakan adalah
Normatif dan Empiris dengan menggunakan metode kualitatif.
Populasi Dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang
mempunyai kualitas, kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditentukan oleh peneliti
untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya. Oleh karena itu penulis menentukan yang
dianggap memenuhi kriteria yang menjadi populasi adalah Hakim MKDKI, Kepolisian
dan parktisi hukum kesehatan.
Sampel adalah keputusan yang diambil oleh peneliti tentang siapa yang perlu
diwawancarai, kapan melakukan observasi, atau dokumen apa atau sebanyak apa
dokumen yang perlu dikaji. Penulis mengambil sampel yang akan diwawancarai yaitu
-
dengan berdasarkan Keanggotaan MKDKI terdiri dari 3 orang dokter, 3 orang dokter
gigi, dari profesi masing-masing, seorang dokter dan dokter gigi mewakili asosiasi rumah
sakit dan 3 orang sarjana hukum. Maka penulis mengambil sampel 1 orang dari dokter, 1
orang dokter gigi dan 1 orang dokter yang mewakili asosiasi rumah sakit, sedangkan dari
kepolisian yaitu kepolisian yang pernah menangani kasus malpractic medic. Dan 3 orang
praktisi hukum kesehatan.
HASIL
Tabel 1 memperlihatkan, tingkat pengaduan yang tercatat di KKI/MKDKI dari
tahun 2006 berjumlah 9 pengaduan, 2007 berjumlah 11 pengaduan, 2008 berjumlah 20
pengaduan, 2009 berjumlah 36 pengaduan, 2010 berjumlah 49 pengaduan, tahun 2011
berjumlah 35 pengaduan dan tahun 2012 berjumalah 23 pengaduan, dan jumlah
keseluruhan mencapai mencapai 183 pengaduan, berdasarkan data diatas mulai dari
tahun 2006 sampai tahun 2012, pengaduan mencapai angka tertinggi pada tahun 2010 dan
mengalami penurunan pada tahun 2011 dan 2012, walaupun pengaduan dari tahun 2011
dan 2012 mengalami penurunan, namun isu yang berkembang di masyarakat tentang
dugaan malapraktek semakin meningkat.
Tabel 2 memperlihatkan sumber pengaduan yang masuk di MKDKI yaitu dari
masyarakat sekitar 171 orang, dari instusi 7 orang dan 5 orang dari tenaga kesehatan
lainnya, dan berjumlah 183 pengaduan,
Tabel 3 memperlihatkan dari permasalahan yang diadukan merupakan masalah
kompetensi yang mengakibatkan meninggal dunia, ingkar janji mengakibatkan cacat,
penelantaran, komunikasi dan pembiayaan mengakibatkan kerugian pada pasien,
Tabel 4 memperlihatkan pengaduan yang masuk pada YPKKI, mulai dari Tahun
2005 data permasalah yang diadukan yaitu cacat berjumalah 2 oaranag dan meninggal 3
orang, pada tahun 2006 yaitu cacat 6 orang, tahun 2007 meninggal 3 orang, tahun 2008
cacat 2 orang, tahun 2009 meninggal 2 orang, tahun 2010 cacat 1 orang, tahun 2011
meninggal 1 orang dan pada tahun 2012 mengalami cacat 3 oranga, jumlah keseluruhan
mencatat 13 orang yang mengalamai kecatatan dan 8 orang megngalamai kematian.
Pada Tabel 5 memperlihatkan persamaan pembuktikan yang dianut oleh MKDKI
dan peradilan umum memiliki kesamaan yang sangat urgen dalam proses pembuktian dan
hampir tidak ada perbedaan.
-
PEMBAHASAN
Penelitian ini memperlihatkan apabila dikaji secara umum pembuktian berasal
dari kata bukti yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk
memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan
membuktikan. Menurut Van Bemmelen (Sasangka H,dkk, 2003), membuktikan adalah
memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang : (a) Apakah hal yang
tertentu itu sungguh-sungguh terjadi, (b) Apa sebabnya demikian hal.
Menurut pendapat penulis, walaupun bunyi pasal 66 ayat 3 membuka peluang
cukup luas untuk memasuki wilayah hukum, namun masyarakat masih berdiam diri dan
tidak mengadukan kepada pihak yang berwenang apabila mengalami dugaan
malapraktek. Karena dugaan malapraktek hingga hari ini sangat sulit dibuktikan, karena
di Indonesia tidak adanya aturan tentang Standar Profesi Medik (SPM), yang menjadi
dasar ukuran untuk menetukan telah terjadinya malapraktek atau tidak, jadi para penegak
hukum hanya bisa menduga-duga., walaupun pengaduan dari tahun 2011 dan 2012
mengalami penurunan, namun isu yang berkembang di masyarakat tentang dugaan
malapraktek semakin meningkat.
Berdasarkan data wawancara yang penulis dapatkan oleh (Marius Widjajarta,
ketua YPKKI, jumat 18 januari 2013 jakarta selatan), mengatakan tingkat dugaan
malapraktek hingga hari ini sangat tinggi, namun masyarakat tidak megetahui jalur apa
yang akan ditempuh apabila mendapatkan masalah kesehatan, hanya pasrah terhadap
nasib yang diterima. Kejadian seperti ini menimbulkan kekhawatiran dimasyarakat,
kemungkinan menurunannya tingkat pengaduan yang masuk di MKDKI, menandakan
kejenuhan masyarakat melaporkan adanya dugaan pelanggaran malapraktek, karena tidak
adanya tindak lanjut apalagi efek jera yang dihasilkan MKDKI dalam pencegahan
malapraktek, hal seperti ini menandakan keadaan yang buruk dalam pembangunan
kesehatan (Kolamalawati V, 1989)
Besaranya laporan yang bersumber dari masyarakat, berjumlah 183 pengaduan ini
menandakan tidak adanya kepastian hukum dalam pelayanan kesehatan, masyarakat yang
menjadi korban tidak professional tenaga kesehatan dalam penerapan disiplin
keilmuannya. Menurut penulis, untuk membuktikan dugaan malapraktek tersebut tanpa
menggunakan Standar Pelayanan Medik (SPM), yaitu dengan cara menggunakan Putusan
-
MKDKI yang mengadili khusus disiplin profesi kedokteran, karena pelanggaran disiplin
kedokteran yang diatur dalam buku pedoman Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
(PERKONSIL), jelas tertuang 28 jenis pelanggaran dan pelanggaran tersebut menitik
beratkan pada sebab terjadinya suatu pelanggaran bukan akibat, jadi apabila dokter dan
dokter gigi dalam menerapakan keilmuannya, ternyata terjadi akibat yang merugikan
terhadap diri pasien, dan kemudian ditemukan pelanggaran disiplin dari tindakan
tersebut, maka jelas pula ditemukan pelanggaran hukum, khusus pidananya, Karena
hukum pidana menitik beratkan pada akibatnya bukan sebabnya (Andi, 1984)
Dari beberapa permasalahan yang diadukan merupakan yaitu masalah kompetensi
yang mengakibatkan meninggal dunia, ingkar janji mengakibatkan cacat, penelantaran,
komunikasi dan pembiayaan mengakibatkan kerugian pada pasien, Oleh karena itu,
berdasarka data akibat yang ditimbulakan kelalaian tenaga kesehatan dokter dan
doktergigi dalam menerapkan keilmuannya, pada tabel 3 dan 4 sangat meresahkan
masyarakat, dan hal seperti ini tidak boleh dibiarkan berlansung secara terus menerus
tanpa ada perhatian dari pemerintah atau tanpa ada upaya pemberian efek jera tarhadap
dokter dan dokter gigi (Chirisdiono M, 2004) karena akibat yang ditimbulkan pada
kematian dan kecacatan yang sangat merugikan masyarakat. Pembangunan pelayanan
kesehatan hingga hari ini sangat buruk (Rinanto S, 2011). Oleh karena itu untuk
membuktikan dugaan malapraktek di pengadilan, yang menjadi kekhawatiran
dimasyarakat karena tidak adanya SPM, maka putusan MKDKI dapat dijadikan alat bukti
awal karena memiliki kedunya mempunyai persamaan dalam proses pembuktian.
Persamaan pembuktikan yang dianut oleh MKDKI dan peradilan umum memiliki
kesamaan yang sangat urgen dalam proses pembuktian dan hampir tidak ada perbedaan.
Oleh kararena itu untuk membuktikan dokter dan dokter gigi di hadapan pengadilan
bahwa telah terjadi tindak pidana dalam penerapan ilmunya maka putusan MKDKI
sangat dapat dijadikan alat bukti dalam proses paradilan pidana karena memiliki
parsamaan proses pembuktian.
Berdasarkan hasil Wawancara: Wakil Ketua MKDKI Sabir Alwi. (Jakarta,
15/1/2013). Mengatakan, Putusan MKDKI sangat dapat digunakan sebagai alat bukti
awal dalam proses pengaduan pada tingkat pengadilan khususnya pidana, karena sudah
-
melalui rangkaian proses dan merupakan hasil dari sebuah proses penanganan disiplin,
yang memang kami mengetahui ada adanya dugaan pelanggaran pidana.
Dalam hal ini adapun yang menjadi alat-alat bukti sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 184 KUHAP , adalah sebagai berikut: (a). Keterangan saksi: adalah salah satu bukti
dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia liat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu (Subekti, 2001) (b). Keterangan ahli/verklaringen van een
deskundige/expect testimony adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Sidik, 2004) (c). Surat : surat adalah
yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau
meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran,
tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat. Sudikno Metrokusumo
(Sasangka H, dkk, 2003 ) (d). Petunjuk : adalah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu
perbuatan, kejadian atau keadaan dimana isyarat tadi mempunyai persesuaian antara yang
satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana
itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau mewujudkan
suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinnya suatu tindak pidana dan
terdakwalah pelakunya. (Harahap, 2000) (e). Keterangan terdakwa: adalah apa yang
terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri. (Andi, 1984)
Menurut penulis yang menjadi dasar pula bahwa putusan MKDKI layak dijadikan
alat bukti pertama karena telah memenuhi unsur sebagai alat bukti surat sebagai salah
satu alat bukti yang diakui dalam proses pembuktian KUHAP dalam karena dalam
putusan tersebut terkandung hal-hal: (a). Dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang/
lembaga resmi. (b). Karena dilakukan melalui suatu proses yang sah bedasarkan Undang-
Undang dan prosesnya sama dengan proses beracara pada hukum pidana. (c). Prosesnya
Dilakukan secara mendalam karena dilakukan oleh orang yang professional
-
KESIMPULAN DAN SARAN
Dugaan malapraktek hingga hari ini sangat sulit dibuktikan, karena di Indonesia
tidak adanya aturan tentang Standar Pelayanan Medik (SPM), yang menjadi dasar ukuran
untuk menetukan telah terjadinya malapraktek atau tidak, jadi para penegak hukum hanya
bisa menduga duga. Oleh karena itu keputusan sidang Mejelis Kehormatan disiplin
Kedokteran Indonesia atau MKDKI dapat dijadikan alat bukti awal di pengadilan, karena
keduanya mempunyai proses pembuktian yang sama dan putusan MKDKI pula telah
memenuhi syarat sebagai alat bukti surat karena putusan MKDKI yaitu dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang/lembaga resmi, dilakukan melalui suatu proses yang sah
berdasarakan Undang-Undang dan prosesnya sama dengan proses beracara pada hukum
pidana, prosesnya Dilakukan secara mendalam karena dilakukan oleh orang yang
professional. seyogianya masyarakat menggunakan putusan MKDKI sebagai dasar
laporan ke pengadilan dan untuk menciptakan ketertiban umum, menciptakan pelayanan
kesehatan yang baik tanpa ada rasa kekhawatiran, agar menimbulkan efek jera terhadap
dokter untuk meningkatkan profesionalitasnya sebagai tenaga kesehatan.
-
DAFTAR PUSTAKA
Achadiat Chirisdiono M, (2004), Dinamika dan Etika kedokteran Dalam Tantangan Zaman, Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Achmad Ali, (2009), Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
Hamzah Andi, (1984), Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakartap
Harahap, M. Yahya, (2000), Pembahaasan permasalahan dan penerapan KUHAP (penyidikan dan penuntutan). Sinar garfika, Jakarta
Rinanto S, (2011), Hukum Malapraktek Kedokteran, Total Media, Yogyakarta. Sasangka, Hari dan Lili Rosita, (2003), Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana Untuk
Mahasiswa dan Praktisi, Madar Maju, Bandung Subekti, R, (2001), Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta Sunanto Sidik, (2004), Kapita Selekta Sisitem Peradilan Pidana, Unismuh Malang,
Malang Veronica Kolamawati, (1989), Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Traupeutik,
Citra aditya Bakti, Bandung. Wila Chandawila S, (2001), Hukum Kedokteran, Bandar maju, Bandung.
-
Tabel 1. Jumlah pengaduan yang masuk di MKDKI dari tahun 2006-2012
Tahun Pengaduan Jumlah Pengaduan
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Jumlah
9
11
20
36
49
35
23
183
Sumber data: MKDKI Pusat, Jakarta
Tabel 2. Data sumber pengaduan di MKDKI
Sumber pengaduan Jumlah pengaduan
Masyarakat 171
Institusi 7
Tenaga Kesehatan 5
Jumlah 183 Sumber Data: MKDKI Pusat, Jakarta
Tabel 3 Data akibat yang ditimbulkan
-
Permasalahan yang diadukan Akibat yang ditimbulkan
Kompetensi Meninggal dunia
Ingkar janji Cacat
Penelantaran Kerugian
Komunikasi Kerugian
Pembiayaan Kerugian Sumber Data: MKDKI Pusat, Jakarta
Tabel 4. Data permasalahan yang diadukan di YPKKI
Tahun Permasalahan yang diadukan
Cacat Meninggal
2005 2 3
2006 6 -
2007 - 2
2008 2 -
2009 - 2
2010 1 -
2011 - 1
2012 3 -
Jumlah 1 8
Sumber data: Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia(YPKKI) Jakarta
Tabel 5 Persamaan peroses penyelesaian sengketa melalui MKDKI dan Peradilan
umum
Peroses penyelesaian sengkata Melalui Proses penyelesaian sengketa melalui
-
MKDKI peradilan umum (pidana)
Melalui pengaduan Melalui pengaduan (delik aduan)
Dilakukan oleh lembaga yang berkompeten
yang diamanatkan oleh undang-undang (UU
no.24 tahun 2004 tentang kesehatan)
Dilakukan oleh lembaga yang
berkompeten yang diamanatkan oleh
undang undang (KUHAP)
Proses Pembuktian dengan menggunakan
(pasal 39 Perkonsil No.2/per/KKI/VII/2011
1. Alat bukti yang dapat diajukan pada
sidang pemeriksaan disiplin berupa:
a. surat-surat dan/atau dokumen-
dokumen;
b. keterangan saksi-saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan teradu; dan/atau
e. barang bukti.
2. Hal yang secara umum sudah diketahui
tidak perlu dibuktikan (asas res ispa
Liquitoir).
Proses Pembuktian (pasal 184
KUHAP)
1. Alat bukti bukti yang sah :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
2. Hal yang secara umum sudah
diketahui tidak perlu dibuktikan
2 alat bukti yang cukup 2 alat bukti yang cukup
Putusan Putusan
Sanksi yang bersifat mengikat Sanksi yang bersifat mengikat