jumlah pengaduan mkdki

download jumlah pengaduan mkdki

of 13

Transcript of jumlah pengaduan mkdki

  • PUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI) SEBAGAI ALAT BUKTI AWAL DALAM

    PENEGAKAN HUKUM KESEHATAN

    DECISION INDONESIA MEDICAL DISCIPLINARY BOARD (MKDKI) AS EVIDENCE IN THE BEGINNING OF HEALTH LAW ENFORCEMENT

    Nur Alim,1 Musakkir,2 Irwansyah,2

    1Bagian Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin 2Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin

    Alamat Korespondensi:

    Nur Alim, SH Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 085260943459 Email: [email protected]

  • Abstrak

    Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa kesehatan merupakan Hak Azasi Manusia, akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan malpraktek makin meningkat dimana-mana, National Health Service (NHS) menyebutkan bahwa dari satu saja kelalaian medik yang dilaporkan, diperkirakan telah terjadi 25 kelalaian medic yang lain. Penlitian ini bertujuan untuk mengetahui Putusan Mejelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dapat dijadikan sebagai alat bukti awal dalam penegakan hukum kesehatan. Seluruh data yang diperoleh dalam penelitian ini, baik data primer maupun data sekunder. Dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Setelah itu dideskripsikan dengan menelaah permasalahan yang ada. Menguraikan, hingga menjelaskan permasalahan-permasalahan yang ada. Hasil penelitian bahwa salah satu cara untuk membuktikan adanya dugaan malapraktek yaitu dengan menggunakan putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai penyelenggara peradilan disiplin untuk dijadikan sebagai alat bukti awal dalam peroses peradilan umumkeputusan sidang Mejelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dapat dijadikan alat bukti awal di pengadilan, karena keduanya mempunyai proses pembuktian yang sama dan putusan Mejelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) pula telah memenuhi syarat sebagai alat bukti surat. Kesimpulan putusan Mejelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) layak dijadikan alat bukti sebagai alat bukti surat.

    Kata kunci: Putusan, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Bukti Awal

    Abstract

    Constitution of 1945 states that health is a human rights, recent lawsuits against doctors under charges of malpractice is increasing everywhere, the National Health Service (NHS) says that of the only reported medical negligence, is thought to have going another 25 neglect medic. The aim of this study to know the decision to discipline Indonesian Medical Honorary Assembly (MKDKI) can be used as evidence in law enforcement beginning of health. All data obtained in this study, both primary data and secondary data. Analyzed using qualitative analysis techniques. After that described by reviewing the existing problems. Elaborating, to explain the problems that exist. The results that one way to prove the alleged malpractice by using decision Indonesian Medical Disciplinary Board (MKDKI) as organizer of judicial discipline to be used as evidence earlier in the trial umumkeputusan peroses judicial disciplinary Indonesian Medical Honorary Assembly (MKDKI) can be used as evidence early in the trial, because both have the same verification process and the decision of the Honorary Panel of Indonesian medical disciplines (MKDKI) also has been qualified as documentary evidence. Conclusion disciplinary decision Indonesian Medical Honorary Assembly (MKDKI) worthy evidence as documentary evidence.

    Keywords: Decision, Indonesian Medical Disciplinary Board, Early Evidence

  • PENDAHULUAN

    Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa kesehatan merupakan

    Hak Azasi Manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam

    kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk didalamnya mendapaatkan makanan,

    pakaian, perumahan, dan pelayanan sosial lain yang diperlukan. Kesehatan adalah

    keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

    setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU No 36 Tahun 2009 Tentang

    Kesehatan).

    Hubungan antara dokter dan pasien didasarakan kepada tiga aspek hubungan

    yaitu: hubungan medik, hubungan moral dan hubungan hukum. Dalam hubungan medik

    dasar dari hubungan anatara dokter dan pasien adalah atas dasar kepercayaan dari pasien

    atas kemapuannya doktrin untuk berupaya semaksimal mungkin menyembuhkan

    penyakit yang dideritnya. Dalam hubungan moral didasarkan pada kaidah-kaidah moral

    dalam pelaksanaan kewajiban dokter dan kewajiban pasien. Dalam hubungan hukum

    antara dokter dan pasien didasarakan pada kewajiban pesien dan hak pasien menjadi

    kewajiban dokter, keadaan itu menempatkan kedudukan dokter dan pasien pada

    kedudukan yang sama dan sederajat.

    Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan

    malpraktek makin meningkat dimana-mana, termasuk di negara kita. Ini menunjukkan

    adanya peningkatan kesadaran hukum masyarakat, lebih menyadari akan haknya. Disisi

    lain para dokter dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan

    hati-hati dan penuh tanggung jawab. Seorang dokter hendaknya dapat menegakkan

    diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur, memberikan terapi dan melakukan

    tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, dan tindakan itu memang wajar dan

    diperlukan.

    National Health Service (NHS) menyebutkan bahwa dari satu saja kelalaian

    medik yang dilaporkan, diperkirakan telah terjadi 25 kelalaian medic yang lain

    (Chandawila S, 2001). Oleh karena itu instrumen hukum sebagai salah satu kekuatan

    untuk melindungi hak-hak dasar pasien dapat ditegaskan kembali sesuai dengan ruang

    lingkup serta batasannya (Ali, 2009). Sebagai fenomena gunung es (iceberg

    phenomenon), dugaan malpraktek kedokteran mendapatkan prioritas penanganan lebih

  • saat ini. Tingginya kasus malpraktek yang terjadi akibat kelalaian dokter, memaksa

    pemerintah untuk turut serta secara pro-aktif memberikan perlindungan kepada

    masyarakat selaku pihak yang dirugikan berupa ketentuan undang-undang serta sanksi-

    sanksi hukum yang tegas untuk memberikan efek jera.

    Betapa sulitnya menentukan/membuktikan malapraktek medik (medical

    malpractice) itu di pengadilan, karena tidak adanya aturan berupa Standar Pelayanan

    Minimal (SPM). Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

    Kedokteran, MKDKI ini hanya menitik beratkan kepada tindakan disiplin dengan sanksi

    administrative yang dalam peroses pembuktian terikat 2 alat bukti yang sama dengan

    pembuktian dalam perkara pidana. Walaupun di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun

    2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 66 Ayat 3 menyatakan, setiap orang tidak

    menghilangkan haknya untuk melapor adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang

    berwenang atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan. Pasien lebih cenderung

    berdiam diri karena pembuktian malapraktek yang sangat susah. Tujuan Penelitian untuk

    mengetahui Putusan MKDKI dapat dijadikan sebagai alat bukti awal dalam penegakan

    hukum kesehatan.

    BAHAN DAN METODE

    Lokasi dan Rancangan Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di kantor pusat Majelis Kehormatan Disiplin Indinesia

    (MKDKI), Kantor Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dan

    Markas Besar Polri (MABES POLRI) Jakarta. jenis penelitian yang digunakan adalah

    Normatif dan Empiris dengan menggunakan metode kualitatif.

    Populasi Dan Sampel

    Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang

    mempunyai kualitas, kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditentukan oleh peneliti

    untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya. Oleh karena itu penulis menentukan yang

    dianggap memenuhi kriteria yang menjadi populasi adalah Hakim MKDKI, Kepolisian

    dan parktisi hukum kesehatan.

    Sampel adalah keputusan yang diambil oleh peneliti tentang siapa yang perlu

    diwawancarai, kapan melakukan observasi, atau dokumen apa atau sebanyak apa

    dokumen yang perlu dikaji. Penulis mengambil sampel yang akan diwawancarai yaitu

  • dengan berdasarkan Keanggotaan MKDKI terdiri dari 3 orang dokter, 3 orang dokter

    gigi, dari profesi masing-masing, seorang dokter dan dokter gigi mewakili asosiasi rumah

    sakit dan 3 orang sarjana hukum. Maka penulis mengambil sampel 1 orang dari dokter, 1

    orang dokter gigi dan 1 orang dokter yang mewakili asosiasi rumah sakit, sedangkan dari

    kepolisian yaitu kepolisian yang pernah menangani kasus malpractic medic. Dan 3 orang

    praktisi hukum kesehatan.

    HASIL

    Tabel 1 memperlihatkan, tingkat pengaduan yang tercatat di KKI/MKDKI dari

    tahun 2006 berjumlah 9 pengaduan, 2007 berjumlah 11 pengaduan, 2008 berjumlah 20

    pengaduan, 2009 berjumlah 36 pengaduan, 2010 berjumlah 49 pengaduan, tahun 2011

    berjumlah 35 pengaduan dan tahun 2012 berjumalah 23 pengaduan, dan jumlah

    keseluruhan mencapai mencapai 183 pengaduan, berdasarkan data diatas mulai dari

    tahun 2006 sampai tahun 2012, pengaduan mencapai angka tertinggi pada tahun 2010 dan

    mengalami penurunan pada tahun 2011 dan 2012, walaupun pengaduan dari tahun 2011

    dan 2012 mengalami penurunan, namun isu yang berkembang di masyarakat tentang

    dugaan malapraktek semakin meningkat.

    Tabel 2 memperlihatkan sumber pengaduan yang masuk di MKDKI yaitu dari

    masyarakat sekitar 171 orang, dari instusi 7 orang dan 5 orang dari tenaga kesehatan

    lainnya, dan berjumlah 183 pengaduan,

    Tabel 3 memperlihatkan dari permasalahan yang diadukan merupakan masalah

    kompetensi yang mengakibatkan meninggal dunia, ingkar janji mengakibatkan cacat,

    penelantaran, komunikasi dan pembiayaan mengakibatkan kerugian pada pasien,

    Tabel 4 memperlihatkan pengaduan yang masuk pada YPKKI, mulai dari Tahun

    2005 data permasalah yang diadukan yaitu cacat berjumalah 2 oaranag dan meninggal 3

    orang, pada tahun 2006 yaitu cacat 6 orang, tahun 2007 meninggal 3 orang, tahun 2008

    cacat 2 orang, tahun 2009 meninggal 2 orang, tahun 2010 cacat 1 orang, tahun 2011

    meninggal 1 orang dan pada tahun 2012 mengalami cacat 3 oranga, jumlah keseluruhan

    mencatat 13 orang yang mengalamai kecatatan dan 8 orang megngalamai kematian.

    Pada Tabel 5 memperlihatkan persamaan pembuktikan yang dianut oleh MKDKI

    dan peradilan umum memiliki kesamaan yang sangat urgen dalam proses pembuktian dan

    hampir tidak ada perbedaan.

  • PEMBAHASAN

    Penelitian ini memperlihatkan apabila dikaji secara umum pembuktian berasal

    dari kata bukti yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk

    memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan

    membuktikan. Menurut Van Bemmelen (Sasangka H,dkk, 2003), membuktikan adalah

    memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang : (a) Apakah hal yang

    tertentu itu sungguh-sungguh terjadi, (b) Apa sebabnya demikian hal.

    Menurut pendapat penulis, walaupun bunyi pasal 66 ayat 3 membuka peluang

    cukup luas untuk memasuki wilayah hukum, namun masyarakat masih berdiam diri dan

    tidak mengadukan kepada pihak yang berwenang apabila mengalami dugaan

    malapraktek. Karena dugaan malapraktek hingga hari ini sangat sulit dibuktikan, karena

    di Indonesia tidak adanya aturan tentang Standar Profesi Medik (SPM), yang menjadi

    dasar ukuran untuk menetukan telah terjadinya malapraktek atau tidak, jadi para penegak

    hukum hanya bisa menduga-duga., walaupun pengaduan dari tahun 2011 dan 2012

    mengalami penurunan, namun isu yang berkembang di masyarakat tentang dugaan

    malapraktek semakin meningkat.

    Berdasarkan data wawancara yang penulis dapatkan oleh (Marius Widjajarta,

    ketua YPKKI, jumat 18 januari 2013 jakarta selatan), mengatakan tingkat dugaan

    malapraktek hingga hari ini sangat tinggi, namun masyarakat tidak megetahui jalur apa

    yang akan ditempuh apabila mendapatkan masalah kesehatan, hanya pasrah terhadap

    nasib yang diterima. Kejadian seperti ini menimbulkan kekhawatiran dimasyarakat,

    kemungkinan menurunannya tingkat pengaduan yang masuk di MKDKI, menandakan

    kejenuhan masyarakat melaporkan adanya dugaan pelanggaran malapraktek, karena tidak

    adanya tindak lanjut apalagi efek jera yang dihasilkan MKDKI dalam pencegahan

    malapraktek, hal seperti ini menandakan keadaan yang buruk dalam pembangunan

    kesehatan (Kolamalawati V, 1989)

    Besaranya laporan yang bersumber dari masyarakat, berjumlah 183 pengaduan ini

    menandakan tidak adanya kepastian hukum dalam pelayanan kesehatan, masyarakat yang

    menjadi korban tidak professional tenaga kesehatan dalam penerapan disiplin

    keilmuannya. Menurut penulis, untuk membuktikan dugaan malapraktek tersebut tanpa

    menggunakan Standar Pelayanan Medik (SPM), yaitu dengan cara menggunakan Putusan

  • MKDKI yang mengadili khusus disiplin profesi kedokteran, karena pelanggaran disiplin

    kedokteran yang diatur dalam buku pedoman Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia

    (PERKONSIL), jelas tertuang 28 jenis pelanggaran dan pelanggaran tersebut menitik

    beratkan pada sebab terjadinya suatu pelanggaran bukan akibat, jadi apabila dokter dan

    dokter gigi dalam menerapakan keilmuannya, ternyata terjadi akibat yang merugikan

    terhadap diri pasien, dan kemudian ditemukan pelanggaran disiplin dari tindakan

    tersebut, maka jelas pula ditemukan pelanggaran hukum, khusus pidananya, Karena

    hukum pidana menitik beratkan pada akibatnya bukan sebabnya (Andi, 1984)

    Dari beberapa permasalahan yang diadukan merupakan yaitu masalah kompetensi

    yang mengakibatkan meninggal dunia, ingkar janji mengakibatkan cacat, penelantaran,

    komunikasi dan pembiayaan mengakibatkan kerugian pada pasien, Oleh karena itu,

    berdasarka data akibat yang ditimbulakan kelalaian tenaga kesehatan dokter dan

    doktergigi dalam menerapkan keilmuannya, pada tabel 3 dan 4 sangat meresahkan

    masyarakat, dan hal seperti ini tidak boleh dibiarkan berlansung secara terus menerus

    tanpa ada perhatian dari pemerintah atau tanpa ada upaya pemberian efek jera tarhadap

    dokter dan dokter gigi (Chirisdiono M, 2004) karena akibat yang ditimbulkan pada

    kematian dan kecacatan yang sangat merugikan masyarakat. Pembangunan pelayanan

    kesehatan hingga hari ini sangat buruk (Rinanto S, 2011). Oleh karena itu untuk

    membuktikan dugaan malapraktek di pengadilan, yang menjadi kekhawatiran

    dimasyarakat karena tidak adanya SPM, maka putusan MKDKI dapat dijadikan alat bukti

    awal karena memiliki kedunya mempunyai persamaan dalam proses pembuktian.

    Persamaan pembuktikan yang dianut oleh MKDKI dan peradilan umum memiliki

    kesamaan yang sangat urgen dalam proses pembuktian dan hampir tidak ada perbedaan.

    Oleh kararena itu untuk membuktikan dokter dan dokter gigi di hadapan pengadilan

    bahwa telah terjadi tindak pidana dalam penerapan ilmunya maka putusan MKDKI

    sangat dapat dijadikan alat bukti dalam proses paradilan pidana karena memiliki

    parsamaan proses pembuktian.

    Berdasarkan hasil Wawancara: Wakil Ketua MKDKI Sabir Alwi. (Jakarta,

    15/1/2013). Mengatakan, Putusan MKDKI sangat dapat digunakan sebagai alat bukti

    awal dalam proses pengaduan pada tingkat pengadilan khususnya pidana, karena sudah

  • melalui rangkaian proses dan merupakan hasil dari sebuah proses penanganan disiplin,

    yang memang kami mengetahui ada adanya dugaan pelanggaran pidana.

    Dalam hal ini adapun yang menjadi alat-alat bukti sebagaimana yang diatur dalam

    Pasal 184 KUHAP , adalah sebagai berikut: (a). Keterangan saksi: adalah salah satu bukti

    dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana

    yang ia dengar sendiri, ia liat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

    pengetahuannya itu (Subekti, 2001) (b). Keterangan ahli/verklaringen van een

    deskundige/expect testimony adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang

    memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu

    perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Sidik, 2004) (c). Surat : surat adalah

    yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau

    untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

    Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau

    meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran,

    tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat. Sudikno Metrokusumo

    (Sasangka H, dkk, 2003 ) (d). Petunjuk : adalah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu

    perbuatan, kejadian atau keadaan dimana isyarat tadi mempunyai persesuaian antara yang

    satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana

    itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau mewujudkan

    suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinnya suatu tindak pidana dan

    terdakwalah pelakunya. (Harahap, 2000) (e). Keterangan terdakwa: adalah apa yang

    terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui

    sendiri atau alami sendiri. (Andi, 1984)

    Menurut penulis yang menjadi dasar pula bahwa putusan MKDKI layak dijadikan

    alat bukti pertama karena telah memenuhi unsur sebagai alat bukti surat sebagai salah

    satu alat bukti yang diakui dalam proses pembuktian KUHAP dalam karena dalam

    putusan tersebut terkandung hal-hal: (a). Dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang/

    lembaga resmi. (b). Karena dilakukan melalui suatu proses yang sah bedasarkan Undang-

    Undang dan prosesnya sama dengan proses beracara pada hukum pidana. (c). Prosesnya

    Dilakukan secara mendalam karena dilakukan oleh orang yang professional

  • KESIMPULAN DAN SARAN

    Dugaan malapraktek hingga hari ini sangat sulit dibuktikan, karena di Indonesia

    tidak adanya aturan tentang Standar Pelayanan Medik (SPM), yang menjadi dasar ukuran

    untuk menetukan telah terjadinya malapraktek atau tidak, jadi para penegak hukum hanya

    bisa menduga duga. Oleh karena itu keputusan sidang Mejelis Kehormatan disiplin

    Kedokteran Indonesia atau MKDKI dapat dijadikan alat bukti awal di pengadilan, karena

    keduanya mempunyai proses pembuktian yang sama dan putusan MKDKI pula telah

    memenuhi syarat sebagai alat bukti surat karena putusan MKDKI yaitu dikeluarkan oleh

    pejabat yang berwenang/lembaga resmi, dilakukan melalui suatu proses yang sah

    berdasarakan Undang-Undang dan prosesnya sama dengan proses beracara pada hukum

    pidana, prosesnya Dilakukan secara mendalam karena dilakukan oleh orang yang

    professional. seyogianya masyarakat menggunakan putusan MKDKI sebagai dasar

    laporan ke pengadilan dan untuk menciptakan ketertiban umum, menciptakan pelayanan

    kesehatan yang baik tanpa ada rasa kekhawatiran, agar menimbulkan efek jera terhadap

    dokter untuk meningkatkan profesionalitasnya sebagai tenaga kesehatan.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Achadiat Chirisdiono M, (2004), Dinamika dan Etika kedokteran Dalam Tantangan Zaman, Buku Kedokteran EGC, Jakarta

    Achmad Ali, (2009), Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

    Hamzah Andi, (1984), Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakartap

    Harahap, M. Yahya, (2000), Pembahaasan permasalahan dan penerapan KUHAP (penyidikan dan penuntutan). Sinar garfika, Jakarta

    Rinanto S, (2011), Hukum Malapraktek Kedokteran, Total Media, Yogyakarta. Sasangka, Hari dan Lili Rosita, (2003), Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana Untuk

    Mahasiswa dan Praktisi, Madar Maju, Bandung Subekti, R, (2001), Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta Sunanto Sidik, (2004), Kapita Selekta Sisitem Peradilan Pidana, Unismuh Malang,

    Malang Veronica Kolamawati, (1989), Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Traupeutik,

    Citra aditya Bakti, Bandung. Wila Chandawila S, (2001), Hukum Kedokteran, Bandar maju, Bandung.

  • Tabel 1. Jumlah pengaduan yang masuk di MKDKI dari tahun 2006-2012

    Tahun Pengaduan Jumlah Pengaduan

    2006

    2007

    2008

    2009

    2010

    2011

    2012

    Jumlah

    9

    11

    20

    36

    49

    35

    23

    183

    Sumber data: MKDKI Pusat, Jakarta

    Tabel 2. Data sumber pengaduan di MKDKI

    Sumber pengaduan Jumlah pengaduan

    Masyarakat 171

    Institusi 7

    Tenaga Kesehatan 5

    Jumlah 183 Sumber Data: MKDKI Pusat, Jakarta

    Tabel 3 Data akibat yang ditimbulkan

  • Permasalahan yang diadukan Akibat yang ditimbulkan

    Kompetensi Meninggal dunia

    Ingkar janji Cacat

    Penelantaran Kerugian

    Komunikasi Kerugian

    Pembiayaan Kerugian Sumber Data: MKDKI Pusat, Jakarta

    Tabel 4. Data permasalahan yang diadukan di YPKKI

    Tahun Permasalahan yang diadukan

    Cacat Meninggal

    2005 2 3

    2006 6 -

    2007 - 2

    2008 2 -

    2009 - 2

    2010 1 -

    2011 - 1

    2012 3 -

    Jumlah 1 8

    Sumber data: Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia(YPKKI) Jakarta

    Tabel 5 Persamaan peroses penyelesaian sengketa melalui MKDKI dan Peradilan

    umum

    Peroses penyelesaian sengkata Melalui Proses penyelesaian sengketa melalui

  • MKDKI peradilan umum (pidana)

    Melalui pengaduan Melalui pengaduan (delik aduan)

    Dilakukan oleh lembaga yang berkompeten

    yang diamanatkan oleh undang-undang (UU

    no.24 tahun 2004 tentang kesehatan)

    Dilakukan oleh lembaga yang

    berkompeten yang diamanatkan oleh

    undang undang (KUHAP)

    Proses Pembuktian dengan menggunakan

    (pasal 39 Perkonsil No.2/per/KKI/VII/2011

    1. Alat bukti yang dapat diajukan pada

    sidang pemeriksaan disiplin berupa:

    a. surat-surat dan/atau dokumen-

    dokumen;

    b. keterangan saksi-saksi;

    c. keterangan ahli;

    d. keterangan teradu; dan/atau

    e. barang bukti.

    2. Hal yang secara umum sudah diketahui

    tidak perlu dibuktikan (asas res ispa

    Liquitoir).

    Proses Pembuktian (pasal 184

    KUHAP)

    1. Alat bukti bukti yang sah :

    a. Keterangan saksi

    b. Keterangan ahli

    c. Surat

    d. Petunjuk

    e. Keterangan terdakwa

    2. Hal yang secara umum sudah

    diketahui tidak perlu dibuktikan

    2 alat bukti yang cukup 2 alat bukti yang cukup

    Putusan Putusan

    Sanksi yang bersifat mengikat Sanksi yang bersifat mengikat