JUMAT, 31 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Nasib Pahit … · 2011-01-01 · MENJEMUR KAYU MANIS:...

1
Nasib Pahit Petani Kayu Manis Nusantara | 7 JUMAT, 31 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA P AGI itu, cuaca kurang cerah. Mendung terus menggelayuti langit di kaki pegunungan Meratus. Daun pepohonan dan jalan aspal di sepanjang lereng di Desa/Kecamatan Loksado, Ka- bupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, ini masih basah, bekas guyuran hujan sepanjang malam. Di sudut kampung, sejumlah warga desa tidak menghirau- kan muramnya cuaca. Mereka sibuk menghampar kulit-kulit kayu berwarna kuning kecoke- latan di sepanjang tepi jalan desa. Kulit-kulit kayu yang berasal dari tanaman hutan pe- gunungan Meratus ini adalah kayu manis atau Cinnamomum verum. Selama berabad-abad suku Dayak Bukit, penduduk asli Meratus, mengandalkan kayu manis sebagai mata penca- harian utama, selain memanen buah kemiri (Aleurites moluc- cana). Belakangan, beberapa tahun terakhir, sebagian warga mulai beralih dengan mena- nam karet. Nasib petani Dayak Bukit tidak semanis nama dagangan andalan mereka, kayu manis. Mungkin sama dengan nasib petani kecil di banyak wilayah di Indonesia, mayoritas warga masih hidup dalam kemiskinan dan terbelakang. “Harga kayu manis tidak menentu. Tapi, ini merupakan mata pencaharian kami tu- run temurun,” tutur Jahri, 35, anak Kepala Desa (pembakal) Loksado. Selain didera uktuasi harga, satu pohon kayu manis asal belantara Kalimantan hanya bisa dipanen satu kali. Untuk mengambilnya, warga harus memasuki hutan belantara, berjalan hingga berjam-jam. Dari waktu ke waktu jarak yang ditempuh semakin jauh, karena jumlah pohon makin berkurang. Panen dilakukan untuk po- hon kayu manis yang sudah berukuran besar berdiameter 15-20 cm. Pohon ditebang, dan kulitnya diambil dengan cara disamak atau dikuliti dengan kampak. Kayu pohon yang sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai kayu bakar, jarang diambil. Kayu ditinggalkan di hutan, karena sulit untuk dibawa ke luar. Pohon kayu manis yang sudah ditebang otomatis mati. Waktu tumbuh pohon kayu manis hingga siap dipanen berkisar antara 10-15 tahun. “Saat ini tanaman kayu manis di hutan sudah semakin jarang. Beberapa warga mulai terge- rak untuk membudidayakan, peninggalan untuk anak cucu mereka,” ucap Jahri. Tumpuan Pria beranak dua ini berha- rap anak-anaknya kelak dapat mengubah nasib mereka. Pa- ling tidak, bisa hidup lebih baik dan tidak bergantung pada kondisi alam. Ya, kondisi alam memang sangat memengaruhi hidup Jahri dan warga suku Dayak Bukit lainnya. Saat cuaca bu- ruk, ketika hujan terus-menerus turun sepanjang tahun, mereka tidak bisa bercocok tanam padi gunung atau beras merah dan menyadap karet. Memanen kayu manis dan kemiri menjadi pilihan utama untuk bertahan hidup. Harga kayu manis kering yang dijual warga ke tangan para tengkulak sekarang ini, mencapai Rp8.000 per kilo- gram. Harga ini jauh lebih baik dibanding awal tahun lalu Rp5.000 per kilogram. Jhonson Maseri, Ketua Per- satuan Masyarakat Adat Dayak (Permada) Kalimantan Selatan mengakui ketergantungan warga Dayak pada kemurah- an alam. “Sebagian besar masyarakat suku Dayak yang bermukim di sepanjang kaki pegunungan Meratus, mengan- dalkan kayu manis dan kemiri sebagai mata pencaharian.” Baru beberapa tahun ter- akhir, pembudidayaan pohon kayu manis dilakukan dengan bantuan pemerintah daerah. Budi daya kayu manis dipu- satkan di beberapa wilayah hutan balai adat di Kecamatan Loksado. Kayu manis dari Hutan Me- ratus dikenal berkualitas baik dan harum. Banyak pembeli- nya berasal dari Pulau Jawa. Mereka adalah para pedagang yang kemudian mengekspor kayu manis ke luar negeri. Kayu manis adalah bahan rempah-rempah yang sudah dikenal dunia. Secara tradisio- nal warga Dayak menjadikan- nya sebagai suplemen dan obat herbal untuk berbagai penya- kit. Kayu manis yang dicampur madu, konon, ampuh meng- obati berbagai penyakit seperti radang sendi, kulit, jantung, dan perut kembung. Camat Loksado, Rubingan, mengakui membaiknya harga kayu manis tidak mampu me- ningkatkan kesejahteraan war- ganya. Sebab, kendali pemasar- an dan harga kayu manis ada di tangan para tengkulak. (N-2) denny_susanto@ mediaindonesia.com Di Meratus, suku Dayak bergantung pada alam. Tapi saat berdagang, nasib mereka diatur para tengkulak. Denny Susanto MENJEMUR KAYU MANIS: Dua warga suku Dayak menjemur kayu manis di kaki pegunungan Meratus, Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, pekan lalu. Warga di sana mengandalkan kayu manis sebagai mata pencaharian. MI/DENNY SUSANTO

Transcript of JUMAT, 31 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Nasib Pahit … · 2011-01-01 · MENJEMUR KAYU MANIS:...

Page 1: JUMAT, 31 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Nasib Pahit … · 2011-01-01 · MENJEMUR KAYU MANIS: Dua warga suku Dayak menjemur kayu manis di kaki pegunungan Meratus, Kecamatan Loksado,

Nasib Pahit Petani Kayu Manis

Nusantara | 7JUMAT, 31 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

PAGI itu, cuaca kurang cerah. Mendung terus menggelayuti langit di kaki pegunungan

Meratus. Daun pepohonan dan jalan

aspal di sepanjang lereng di Desa/Kecamatan Loksado, Ka-bupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, ini masih basah, bekas guyuran hujan sepanjang malam.

Di sudut kampung, sejumlah warga desa tidak menghirau-kan muramnya cuaca. Mereka sibuk menghampar kulit-kulit kayu berwarna kuning kecoke-latan di sepanjang tepi jalan desa. Kulit-kulit kayu yang berasal dari tanaman hutan pe-gunungan Meratus ini adalah kayu manis atau Cinnamomum verum.

Selama berabad-abad suku Dayak Bukit, penduduk asli Meratus, mengandalkan kayu manis sebagai mata penca-harian utama, selain memanen buah kemiri (Aleurites moluc-cana). Belakangan, beberapa tahun terakhir, sebagian warga mulai beralih dengan mena-nam karet.

Nasib petani Dayak Bukit

tidak semanis nama dagangan andalan mereka, kayu manis. Mungkin sama dengan nasib petani kecil di banyak wilayah di Indonesia, mayoritas warga masih hidup dalam kemiskinan dan terbelakang.

“Harga kayu manis tidak menentu. Tapi, ini merupakan mata pencaharian kami tu-run temurun,” tutur Jahri, 35, anak Kepala Desa (pembakal) Loksado.

Selain didera fl uktuasi harga, satu pohon kayu manis asal belantara Kalimantan hanya bisa dipanen satu kali. Untuk mengambilnya, warga harus memasuki hutan belantara, berjalan hingga berjam-jam. Dari waktu ke waktu jarak yang ditempuh semakin jauh, karena jumlah pohon makin berkurang.

Panen dilakukan untuk po-hon kayu manis yang sudah berukuran besar berdiameter 15-20 cm. Pohon ditebang, dan kulitnya diambil dengan cara disamak atau dikuliti de ngan kampak. Kayu pohon yang sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai kayu bakar, jarang diambil. Kayu ditinggalkan di hutan, karena sulit untuk dibawa ke luar. Pohon kayu manis yang sudah ditebang

otomatis mati. Waktu tum buh pohon kayu manis hingga siap dipanen berkisar antara 10-15 tahun.

“Saat ini tanaman kayu manis di hutan sudah semakin jarang. Beberapa warga mulai terge-rak untuk membudidayakan, peninggalan untuk anak cucu mereka,” ucap Jahri.

TumpuanPria beranak dua ini berha-

rap anak-anaknya kelak dapat mengubah nasib mereka. Pa-ling tidak, bisa hidup lebih baik dan tidak bergantung pada kondisi alam.

Ya, kondisi alam memang sangat memengaruhi hidup Jahri dan warga suku Dayak Bukit lainnya. Saat cuaca bu-ruk, ketika hujan terus-menerus turun sepanjang tahun, mereka tidak bisa bercocok tanam padi gunung atau beras merah dan menyadap karet. Memanen kayu manis dan kemiri menjadi pilihan utama untuk bertahan hidup.

Harga kayu manis kering yang dijual warga ke tangan para tengkulak sekarang ini, mencapai Rp8.000 per kilo-gram. Harga ini jauh lebih baik dibanding awal tahun lalu Rp5.000 per kilogram.

Jhonson Maseri, Ketua Per-satuan Masyarakat Adat Dayak (Permada) Kalimantan Selatan mengakui ketergantungan warga Dayak pada kemurah-

an alam. “Sebagian besar masyarakat suku Dayak yang bermukim di sepanjang kaki pegunungan Meratus, mengan-dalkan kayu manis dan kemiri sebagai mata pencaharian.”

Baru beberapa tahun ter-akhir, pembudidayaan pohon kayu manis dilakukan dengan bantuan pemerintah daerah. Budi daya kayu manis dipu-satkan di beberapa wilayah hutan balai adat di Kecamatan Loksado.

Kayu manis dari Hutan Me-ratus dikenal berkualitas baik dan harum. Banyak pembeli-nya berasal dari Pulau Jawa. Mereka adalah para pedagang yang kemudian mengekspor kayu manis ke luar negeri.

Kayu manis adalah bahan rempah-rempah yang sudah dikenal dunia. Secara tradisio-nal warga Dayak menjadikan-nya sebagai suplemen dan obat herbal untuk berbagai penya-kit. Kayu manis yang dicampur madu, konon, ampuh meng-obati berbagai penyakit seperti radang sendi, kulit, jantung, dan perut kembung.

Camat Loksado, Rubingan, mengakui membaiknya harga kayu manis tidak mampu me-ningkatkan kesejahteraan war-ganya. Sebab, kendali pemasar-an dan harga kayu manis ada di tangan para tengkulak. (N-2)

[email protected]

Di Meratus, suku Dayak bergantung pada alam. Tapi saat berdagang, nasib mereka diatur para tengkulak.

Denny Susanto

MENJEMUR KAYU MANIS: Dua warga suku Dayak menjemur kayu manis di kaki pegunungan Meratus, Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, pekan lalu. Warga di sana mengandalkan kayu manis sebagai mata pencaharian.

MI/DENNY SUSANTO