journal reading
-
Upload
radityaul-gonzales -
Category
Documents
-
view
212 -
download
2
Transcript of journal reading
JOURNAL READING
Insidensi, Tingkat Keparahan, dan Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Drug-Induced Keratoepitheliopathy Pada Terapi Glaukoma
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Mata RSUD Saras Husada Purworejo
Pembimbing:
dr. Evita Wulandari, Sp. M
Disusun Oleh:
Marissa Ayu Anindyta
20050310092
SMF ILMU PENYAKIT MATA
RSUD SARAS HUSADA PURWOREJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2010
HALAMAN PENGESAHAN
JOURNAL READING
Insidensi, Tingkat Keparahan, dan Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Drug-Induced Keratoepitheliopathy Pada Terapi Glaukoma
Disusun Oleh:
Marissa Ayu Anindyta
20050310092
Telah disetujui dan dipresentasikan pada Desember 2010
Mengetahui,
Dosen pembimbing
dr. Evita Wulandari, Sp. M
Insidensi, Tingkat Keparahan, dan Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Drug-Induced Keratoepitheliopathy Pada Terapi Glaukoma
Takeo Fukuchi, Kimiko Wakai, Kieko Suda, Tomoko Nakatsue, Hideko Sawada,
Hiroaki Hara, Jun Ueda, Takayuki Tanaka, Akiko Yamada, Haruki Abe
Division of Ophthalmology an Visual Science, Graduate School of Medical and
Dental Sciences, Niigata University, Niigata, Japan
Clinical Ophthalmology 2010:4 203–209
Tujuan : Untuk mengevaluasi insidensi, tingkat keparahan, dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan drug-induced keratoepitheliopathy pada mata yang
menggunakan tetes mata antiglaukoma.
Pasien dan metode : Penelitian cross sectional, 749 mata dari 427 pasien yang
menggunakan satu atau lebih obat tetes mata antiglaukoma diperiksa di Niigata
University Medical dan Dental Hospital atau fasilitas terkait. Insidensi dan tingkat
keparahan keratitis punctata superficial (KPS), jenis kelamin dan usia, tipe glaucoma,
dan tipe tetes mata yang digunakan telah dicatat. KPS ditentukan berdasarkan
klasifikasi AD (A, are; D, densitas). Skor tingkat keparahan atau severity score (SS)
dihitung dengan rumus AxD.
Hasil : KPS telah ditemukan pada 382 (51,0%) dari 749 mata yang menerima tetes
mata antiglaukoma. Sekitar 254 mata (33,9%) telah diklasifikasikan sebagai A1D1
(SS 1), 34 mata (4,6%) mengalami KPS berat dengan SS 4 atau lebih. Jumlah tetes
mata yang digunakan dan total dosis frekuensi harian lebih besar secara signifikan
pada KPS positif dibandingkan mata tanpa KPS. Jumlah tetes mata yang digunakan
sebanding dengan frekuensi dan tingkat keparahan KPS. Diantara mata yang diterapi
dengan tiga atau lebih tetes mata, KPS lebih parah dan lebih sering terjadi pada
pasien kelompok usia tua (≥71 tahun). Sebagai tambahan, kecenderungan perbedaan
telah terdeteksi pada tiaptipe glaucoma.
Kesimpulan : Drug-induced keratoepitheliopathy sering ditemukan pada mata yang
menerima tetes mata antiglaukoma. Jumlah tetes mata yang digunakan, total dosis
frekuensi harian, usia, dan tipe glaucoma dapat berpengaruh pada kondisi ini. Kami
mempertimbangkan tidak hanya efek terhadap TIO namun juga insidensi dan tingkat
keparahan drug-induced keratoepitheliopathy sebagai efek samping dari terapi
glaucoma.
Kata kunci : glaucoma, pengobatan, tetes mata, keratoepitheliopathy, klasifikasi AD
Pendahuluan
Hampir 10 tahun berlalu sejak analog prostaglandin1-5 dan inhibitor karbonik
anhidrase6-8 topikal tersedia sebagai pilihan obat glaukoma yg terus berkembang,
termasuk di jepang. Saat ini, α1 atau α1β blockers telah diperkenalkan sebagai terapi
dengan alternatif mekanisme hipotensi. Tetes mata timolol dalam formula seperti gel9
dan long-acting carteolol telah diperkenalkan sebagai obat harian. Tetes mata tipe
suspensi8 mengurangi iritasi pada saat pemakaian. Tetes mata bebas zat pengawet
atau bebas benzalkonium chloride (BAC) telah tersedia untuk mengurangi pengaruh
dari tetes mata terhadap permukaan okular.4,5,10-12 Oleh karena kelebihannya ini,
sekarang kita dapat memilih dari sekian banyak obat tetes mata antiglaukoma dalam
berbagai bentuk dan mekanisme dan menentukan satu yang paling tepat untuk tiap
pasien. Hal yang penting untuk manajemen glaukoma adalah untuk meningkatkan
efikasi terapi dan kepatuhan. Kami membandingkan follow up tekanan intraokular
(TIO) rata-rata dari sejak 10 tahun yang lalu hingga tahun sekarang pada pasien
dengan glaukoma primer sudut terbuka atau glaukoma normotensi. Follow up TIO
terkini lebih rendah secara signifikan dibandingkan TIO 10 tahun yang lalu.
Penurunan ini tergantung dari terapi medikamentosa dan bukan terapi bedah. Terapi
medikamentosa untuk penurunan TIO,yang merupakan tujuan utama dari terapi
glaukoma telah mengalami kemajuan pesat pada 10 tahun terakhir ini.
Bagaimanapun, interaksi obat dan efek samping obat tetes mata antiglaukoma
belum dievaluasi secara memuaskan. Pengobatan topikal merupakan terapi yang
spesifik dalam praktek klinis ilmu penyakit mata. Tetes mata mempunyai beberapa
pengaruh yang dapat membahayakan permukaan okular. Oleh karena volume dari
satu tetes terlalu banyak untuk conjunctival sac, komponen airmata termasuk
elektrolit, protein, dan mucin harus dipindahkan dari lapisan air mata.13 Tetes mata ini
dapat juga mengubah pH okular dan tekanan osmotik. Tetes mata juga diketahui
dapat menghambat proliferasi, regenerasi, dan turnover dari epitel kornea.13
Komposisi dari obat tetes mata terdiri dari obat aktif dan pengawet dan larutan buffer.
BAC sering digunakan sebagai bahan pengawet dalam obat tetes mata selama
bertahun-tahun.13-16 BAC mudah terlarut dalam air. Oleh karena BAC mempunyai
aktivitas antibakterial yang kuat, tetes mata ini aman digunakan untuk periode yang
lama. Bagaimanapun BAC mempunyai toksisitas yang tinggi terhadap epitel kornea
normal dan berhubungan dengan drug-induced keratoepitheliopathy dan
konjungtivitis alergi atau blepharitis.14-16 Drug-induced keratoepitheliopathy adalah
kemungkinan komplikasi yang paling sering dan merupakan efek samping yang tak
dapat dihindari dalam pengobatan glaukoma.14-30 Terapi untuk glaukoma kronik,
termasuk POAG dan NTG mengharuskan tetes mata tersebut digunakan seumur
hidup. Pada kasus glaukoma sekunder, tetes mata multipel sering digunakan secara
bergantian. Banyak studi klinis18-23 dan penelitian24-27 yang memeriksa drug-induced
keratoepitheliopathy. Beberapa studi telah memeriksa efek dari timolol maleat, yang
biasanya digunakan sebagai pilihan pertama untuk terapi glaukoma jangka panjang.20-
22 Laporan terkini mengevaluasi drug-induced keratoepitheliopathy pada tiap obat,
dan tidak pada kombinasi obat multipel yang digunakan pada praktek klinis. Hanya
penelitian dari Inoue et al23 yang melaporkan bahwa penggunaan obat tetes mata
antiglaukoma multipel termasuk analog prostaglandin dan inhibitor karbonik
anhidrase berhubungan dengan keratoepitheliopathy dan faktor okular.
Kami memeriksa insidensi, tingkat keparahan, dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan drug-induced keratoepitheliopathy pada praktek klinis. Tujuan
utama dari penelitian ini adalah untuk mengklarifikasi keadaan drug-induced
keratoepitheliopathy pada penggunaan kombinasi beberapa obat tetes antiglaukoma
saat ini. In addition, kami membahas bagaimana mengurangi dan menentukan efek
samping yang dapat diterima pada terapi glukoma jangka panjang.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian berbasis praktek, cross-sectional, penelitian
observasi. Pasien-pasien yang dimasukan dalam penelitian ini mempunyai suatu tipe
glaukoma dan telah menggunakan satu atau lebih obat tetes mata antiglaukoma.
Pasien kemudian difollow up di Niigata University Medical dan Dental Hospital atau
fasilitas yang terkait. 10 dokter spesialis mata secara acak mengumpulkan pasien
pada tiap klinik untuk sekitar 4 minggu dimulai dari pertengahan April 2008. Jumlah
kasus yang masuk yakni 749 mata dari 427 pasien.
Keratoepitheliopathy telah dideteksi menggunakan metode tes fluorescein.
Bergantung pada pemeriksaan ophtalmologis atau terapi, termasuk anesthesia topikal,
kornea pasien diperiksa dengan kertas fluorescein (Shouwa Yakuhin Co., Tokyo,
Jepang) dan kemudian diperiksa setelah paling tidak 10 detik. Keratitis punctata
superficial (KPS) dideteksi pada tiap mata dan tingkat keparahannya ditentukan
berdasarkan pemeriksaan slit lamp. Pada penelitian ini, bahkan KPS sangat ringan
ditentukan sebagai hasil yang positif. Dengan menggunakan check list, kami
mencatat jenis kelamin pasien, usia, tipe glaukoma yang diderita, mata yang terkena,
KPS dan tingkat keparahannya, jumlah tetes mata yang digunakan, total dosis per hari
untuk glaukoma, dan penyakit lain. Hanya tetes mata yang bebas pengawet dan
berbahan seperti airmata yang termasuk kriteria eksklusi pada saat penghitungan
jumlah penggunaan tetes mata dan dosis harian yang digunakan. KPS diklasifikasikan
berdasarkan klasifikasi AD yang dibuat oleh Miyata et al.31 Skor tingkat keparahan
atau severity score (SS) dihitung dengan rumus AxD.
Tujuh ratus empat puluh Sembilan mata dari 427 kasus (kedua mata pada 322
kasus dan satu mata pada 105 kasus) telah diikutkan dalam penelitian ini. Rata-rata
usia adalah 69,1 ± 12,2 tahun (± standar deviasi, 27-94 tahun). Sekitar 335 mata dari
198 kasus pada pasien pria, 414 mata dari 229 kasus adalah dari pasien wanita.
POAG termasuk NTG telah didiagnosis dari 566 mata, hipertensi ocular pada 14
mata, glaucoma sudut tertutup pada 40 mata, pseudoexfoliation glaucoma (XFG)
pada 52 mata, glaucoma dengan uveitis atau iridosiklitis pada 22 mata, glaucoma
neovaskular (NVG) pada 15 mata, dan kondisi lainnya pada 40 mata. Diagnosis klinis
pada tiap tipe glaucoma berdasarkan pada guideline dari European Glaucoma
Society32 dan dari Japan Glaucoma Society.33
Analisis statistik
Untuk analisis statistik, nonparametric Mann-Whitney U-test, telah digunakan
untuk rata-rata SS, jumlah tetes mata, dan total dosis per hari, karena parameter tidak
mengikuti distribusi normal. Insidensi KPS telah dianalisis dengan menggunakan
Chi-square test.
Hasil
Pada studi pasien kami, hanya KPS yang tampak sebagai drug-induced
keratoepitheliopathy. KPS telah dideteksi pada 382 (51,0%) dari 749 mata. Rata-rata
jumlah tetes mata yang digunakan dan total dosis frekuensi harian secara signifikan
lebih besar pada mata dengan KPS dibandingkan dengan mata tanpa KPS pada
Mann-Whitney U-test (Tabel 1).
Hasil penelitian terdapat pada table 2 dengan klasifikasi AD. Sekitar 254 mata
(33,9% dari total dan 66,5 % dari KPS positif) telah diklasifikasikan sebagai A1D1
(SS 1), 34 mata (4,6%) mengalami KPS berat dengan SS 4 atau lebih. Gambar 1
menunjukkan skor tingkat keparahan berdasarkan jumlah tetes mata yang digunakan.
KPS positif pada 128 dari 348 mata (36,2%) yang menggunakan tetes mata. KPS
positif pada 167 dari 284 mata (58,8%) dengan 2 tetes mata, 74 dari 103 mata
(72,8%) dengan tiga, dan pada kedua mata (14 total,100%) dengan 4 atau 5 tetes
mata. Frekuensi mata dengan SS 2 atau lebih yakni 8,6% dengan 1 tetes mata, 18,7%
dengan 2 tetes mata, 35,9% dengan 3 tetes mata, dan 57,1% dengan 4 atau 5 tetes
mata. Seiring dengan peningkatan jumlah tetes mata yang digunakan, KPS menjadi
lebih sering muncul dan parah. Insidensi dan nilai SS tidak begitu berbeda pada
pasien pria dan wanita dengan menggunakan Chi-square test dan Mann-Whitney U-
test.
Insidensi, SS rata-rata, jumlah tetes mata yang digunakan, dan total dosis
frekuensi harian berdasarkan kelompok usia dapat dilihat pada table 3. Ketika pasien
dipisahkan menjadi kelompok muda (≤70 tahun) dan tua (≥71 tahun), insidensi (Chi
square test, P=0,0031) dan tingkat keparahan (SS, Mann-Whitney U-test, P<0,0001)
secara signifikan lebih besar pada kelompok usia tua. Selain itu secara signifikan
terdapat perbedaan antara jumlah tetes mata yang digunakan (Mann-Whitney U-test,
P<0,0001) dan total frekuensi per hari (Mann_Whitney U-test, P<0,0001). Kemudian
kami mengevaluasi perbedaan antara kelompok usia tua dan muda berdasarkan
jumlah tetes mata yang digunakan (Tabel 4). Insidensi dan tingkat keparahan hampir
sama antara 2 kelompok usia pada mata yang menggunakan hanya satu tetes mata.
Bagaimanapun, KPS cenderung muncul lebih sering dan lebih parah pada mata yang
menggunakan 2 tetes mata, meskipun secara statistic tidak signifikan. Pada akhirnya,
insidensi dan tingkat keparahan secara signifikan lebih besar pada kelompok usia tua
pada mata yang menggunakan 3 atau lebih tetes mata dibandingkan dengan kelompok
usia muda.
Tabel 5 menyimpulkan jumlah mata, rata-rata usia, insidensi dan tingkat
keparahan KPS, jumlah tetes mata yang digunakan, dan total frekuensi dosis harian
untuk tiap tipe glaucoma.
Diskusi
Pada penelitian ini, hampir separuh dari semua mata yang menggunakan tetes
mata antiglaukoma mengalami KPS dengan tingkat keparahan yang berbeda (Tabel
1). Dua ratus lima puluh empat mata (33,9% dari total dan 66,5% dari mata yang
positif KPS) mengalami hanya lemah atau KPS ringan dengan SS 1 (A1D1). KPS
berat telah terdeteksi pada 18 mata (2,4% dari total) diklasifikasikan dengan SS 6 dan
2 mata (0,3% dari total) dengan SS 9 (Tabel 2). Meskipun sebagian besar kasus drug-
induced keratoepitheliopathy hanya KPS ringan, terdapat sebagian kecil kasus berat
yang berhubungan dengan terapi medikamentosa glaucoma.23
Miyata et al31 mengevaluasi tingkat keparahan KPS dengan menggunakan skala
0-6 dengan nilai berdasarkan A+D. Mereka melaporkan bahwa konsentrasi
fluorescein pada kornea meningkat skala 0 hingga 6, dengan cara yang sama dengan
fungsi kuadrat. Meskipun begitu, kami berpikir bahwa skala untuk menilai tingkat
keparahan KPS berdasarkan nilai AxD lebih tepat digunakan dibandingkan nilai
A+D, terutama pada beberapa kasus yang berat. Insidensi atau tingkat keparahan dari
drug-induced keratoepitheliopathy berkaitan erat dengan jumlah tetes mata yang
digunakan atau total dosis frekuensi harian yang terdapat pada gambar 1 dan 2.
Semakin banyak jumlah tetes mata yang digunakan, lebih serig dan lebih parah KPS
yang ada. Selain itu, semua mata yang menerima 4 atau lebih obat tetes mata
mengalami kombinasi KPS. Hubungan yang sama dapat dilihat pada insidensi,
tingkat keparahan, dan total dosis frekuensi harian. Baik dokter spesialis mata dan
pasien glaucoma mentoleransi KPS ringan sebagai efek samping untuk meneruskan
pengobatan karena merupakan karakteristik dari terapi glaucoma itu sendiri. KPS
ringan tanpa adanya gejala yang subjektif, seperti sensasi benda asing, iritasi, atau
pandangan kabur masih dapat diterima. KPS ringan berarti dalam SS 1, persentase
mata dapat lebih buruk dibandingkan dengan level yang dapat ditoleransi : 8,6% mata
dengan 1 obat tetes mata, 18,7% dengan 2, 35,9% dengan 3, 57,1% dengan 4 atau 5
tetes mata.
Drug-induced keratoepitheliopathy dipikirkan mempunyai hubungan yang erat
dengan usia karena adanya penurunan sekresi air mata34 dan perubahan aktivitas
proliferasi epitel berkaitan dengan usia.13 Pada penelitian ini, mata pada kelompok
usia tua mengalami KPS yang lebih sering dan lebih parah (Tabel 4). Bagaimanapun,
jumlah tetes mata yang digunakan dan total dosis frekuensi harian juga berhubungan
dengan tingkat keparahan KPS. Kami mengevaluasi pasien berdasarkan jumlah tetes
mata yang digunakan dan usia (di atas dan di bawah 70 tahun). Meskipun demikian
insidensi dan tingkat keparahan hampir serupa pada mata yang menggunakan hanya
satu tetes mata, mata yang menggunakan dua obat tetes mata mengalami KPS yang
lebih sering dan lebih parah pada kelompok usia tua, meskipun peningkatan ini secara
statistic tidak signifikan. Pada akhirnya kelompok usia tua menggunakan 3 atau lebih
obat tetes mata menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik (Tabel 5).
Seperti jumlah tetes mata yang digunakan, pertambahan usia juga dapat
meningkatkan terjadinya drug-induced keratoepitheliopathy.
Sebagai tambahan, kecenderungan perbedaan telah dideteksi berdasarkan tipe
glaucoma. Kami membandingkan dengan glaucoma sudut terbuka (OAG termasuk
POAG dan NTG), yang merupakan tipe dasar glaucoma. Mata dengan hipertensi
ocular cenderung menggunakan lebih sedikit obat tetes mata dan lebih rendah
mengalami KPS. Pada pseudoexfoliation glaucoma, insidensi dan tingkat keparahan
sama dengan jumlah tetes mata yang digunakan meningkat dibandingkan dengan
OAG. Mata dengan glaucoma primer sudut tertutup mengalami KPS yang lebih
sering dan lebih parah, meskipun jumlah tetes mata dan dosis frekuensi hariannya
sama dengan OAG. Alasan untuk perbedaan ini belum diketahui. Mata dengan uveitis
mengalami KPS lebih sering ketika menggunakan lebih dari satu tetes mata, dan 3-4
total dosis frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan OAG, kemungkinan
karena 1 atau lebih steroid atau non-steroid tetes mata digunakan untuk mengobati
uveitis. Ketika mata dengan neovascular glaucoma menggunakan lebih sedikit obat
dibanding uveitis, KPS ditandai lebih sering dan lebih parah. Hampir semua kasus
NVG mempunyai kombinasi dengan retinopati diabetic proliferative atau keratopati
diabetic. Epitel kornea pada NVG lebih mudah terluka namun lebih susah untuk
membaik. Perbedaan spesifik pada drug-induced keratoepitheliopathy tergantung
pada terapi spesifik untuk tiap tipe glaucoma.
Insidensi KPS dilaporkan sekitar 1-2%, berdasarkan percobaan klinis untuk
obat tetes mata antiglaukoma. Penemuan ini menimbulkan pertanyaan mengapa KPS
sering dilaporkan pada praktek klinis. Meskipun pasien glaucoma meningkat
berdasarkan usia, pasien dengan kelompok usia tua biasanya tidak dimasukkan pada
percobaan klinis. Hanya satu obat tetes mata yang biasanya diberikan pada percobaan
klinis, atau dua pada sebagian besar kasus untuk tujuan pencatatan post-marketing.
Percobaan klinis menggunakan washout period (biasanya 1 bulan) sebelum memulai
terapi. Jika subjek mengalami KPS ketika menggunakan tetes mata antiglaukoma,
KPS harusnya menghilang dalam 1 bulan tanpa medikasi. Tanpa tetes mata, kondisi
permukaan ocular, termasuk epitel kornea dan lapisan air mata, harusnya membaik
dan menjadi resistan terhadap tetes mata untuk beberapa minggu hingga bulan. Pada
percobaan klinis, banyak pasien glaucoma yang harus melanjutkan penggunaan satu
atau lebih obat tetes mata untuk jangka waktu yang lama, bahkan seumur hidup untuk
kasus POAG atau NTG. Pasien ini sering pada kelompok usia tua. Dasar dari drug-
induced keratoepitheliopathy harusnya lebih parah dan sulit untuk membaik pada
praktek klinis dibandingkan percobaan klinis. Pada penelitian ini, kami juga mancatat
obat mana yang digunakan untuk mata yang spesifik. Selain jumlah tetes mata yang
digunakan, tipe dari tetes mata atau kombinasi tetes mata dapat mempengaruhi
insidensi dan tingkat keparahan ketaoepitheliopathy. Kami bermaksud untuk
memeriksa hal ini pada penelitian selanjutnya.
Efek samping yang ringan seperti keratoepitheliopathy dapat ditoleransi pada
pengobatan glaucoma. Bagaimanapun, kita harus menghindari atau meminimalisir
efek samping ini sebisa mungkin meskipun pasien tidak menyadarinya. Sebagai
contoh, diantara sekian banyak obat tetes mata antiglaukoma yang mempunyai efikasi
hampir sama, kita harus memilih obat mana yang paling aman untuk pemukaan
ocular. Untuk pasien yang lebih tua yang mempunyai defek lapang pandang ringan,
kami merekomendasikan tetes mata pilihan pertama dipilih dari yang paling aman
dan mempunyai efek ringan terhadap permukaan ocular. Ketika ditemukan kasus
yang sedang atau berat, kami menyarankan untuk mengganti obat tetes mata. Kondisi
ini sering mengalami kesulitan untuk membaik karena dasar yang berbeda, seperti dry
eyes dan disfungsi kelenjar Meibom. Kita harus lebih memperhatikan terapi agresif
dengan tetes mata. Penggunaan hanya tetes mata yang bebas pengawet dapat
menormalkan kondisi permukaan ocular, lapisan air mata, dan epitel kornea setelah
beberapa waktu. Pada akhirnya kami harus melakukan terapi bedah selain
medikamentosa pada kasus berat drug-induced keratoepitheliopathy.
Sebagai konsep umum, drug-induced keratoepitheliopathy dihasilkan dari
kombinasi obat aktif dan medianya, termasuk zat pengawet dan zat tambahan.10-30
BAC adalah zat pengawet yang bersifat toksis terhadap kornea.13-16 Sekarang ini,
beberapa tetes mata tanpa pengawet atau BAC telah tersedia.4,10-12 Ketika obat tetes
mata tanpa pengawet telah diperkenalkan menggunakan botol dosis kecil,4 membran
filter dapat diletakkan di atas botol untuk membuat tetes mata yang bebas
pengawet.11,12 Sebagai tambahan, terdapat tetes mata antiglaukoma lain yang tidak
menggunakan BAC sebagai pengawet.4,5,35 BAC dapat melukai fungsi barrier dari
epitel kornea.13 Hal ini berhubungan dengan bahaya terhadap epitel kornea yang
disebabkan BAC, yang dapat membuat penetrasi yang lebih jauh melewati kornea.
Beberapa laporan telah mengkonfirmasi keuntungan tetes mata bebas BAC.4,5,10-12,24,25
Ishibasi et al24 melaporkan timolol tidak mengurangi non-invasive breakup time. Pada
laporan lain, tetes mata antiglaukoma tanpa BAC mempunyai efek yang lebih lemah
untuk mengurangi TIO dibandingkan yang menggunakan BAC. Untuk tavoprost,
kemampuan untuk mengurangi TIO hampir sama dengan atau tanpa BAC.4,5
Keterbatasan penelitian ini adalah kami tidak mengkonfirmasi insidensi KPS
pada pasien glaucoma tanpa tetes mata. Hal ini terdapat pada sekitar 10%, namun
pasien ini bukan merupakan kasus tipe glaucoma yang diteliti. Karena mereka sering
mempunyai riwayat operasi glaucoma atau mengalami defek lapang pandang yang
sangat ringan, hal ini tidak membutuhkan penggunaan obat tetes mata untuk terapi
glaucoma. Keterbatasan lain adalah kami memeriksa tiap mata hanya sekali selama
periode penelitian. Dengan permeriksaan ulang, KPS sering muncul dan menghilang
pada beberapa kesempatan, bahakan pada mata yang sama. Drug-induced
keratoepitheliopathy dapat dipengaruhi musim atau perbedaan regional. Dry eye,
disfungsi kelenjar Meibom, atau riwayat operasi pada ocular dapat berhubungan pada
beberapa kondisi sebagai dasar dari komplikasi. Penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk meneliti hal ini.
Drug-induced keratoepitheliopathy dapat lebih sering ditemukan setelah terapi
dengan obat antiglaukoma. Jumlah tetes mata yang digunakan, total dosis frekuensi
harian, usia pasien, dan tipe glaucoma dapat berhubungan dengan kondisi ini. Kami
tidak mempunyai kecenderungan tidak hanya efek terhadap TIO, tapi juga insidensi
dan tingkat keparahan sebagai efek samping yang sering muncul. Pengamatan yang
lebih hati-hati diperlukan untuk mata yang menggunakan tetes mata multiple
terutama pada kelompok usia tua.
Disclosures
Peneliti melaporkan tidak ada pertentangan yang timbul terhadap penelitian ini.
Referensi
1. Alm A, Stjernschantz J. Effect on intraocular pressure and side effect of 0.005%
latanoprost applied once daily, evening or morning. Ophthalmology.
1995;102(12):1743–1752.
2. Watson P, Stjernschantz J. A six-month, randomized, double-masked study
comparing latanoprost with timolol in open-angle glaucoma and ocular hypertension.
Ophthalmology. 1996;103(1):126–137.
3. Camras CB. The United States latanoprost study group. Comparison of latanoprost
and timolol in patients with ocular hypertension and glaucoma. Ophthalmology.
1996;103(1):138–147.
4. Lewis RA, Katz GJ, Weiss MJ, et al. Travoprost 0.004% with and without
benzalkonium chloride: A comparison of safety and efficacy. J Glaucoma.
2007;16(1):98–103.
5. Gross RL, Peace JH, Smith SE, et al. Duration of IOP reduction with travoprost
BAC-free solution. J Glaucoma. 2008:17(3);217–222. 6. Donohue EK, Wilensky JT.
Trusopt. A topical carbonic anhydrase inhibitor. J Glaucoma. 1996;5(1):68–74.
7. Araie M, Kitazawa Y, Azuma I, et al. The efficacy and safety of dose escalation of
dorzolamide used in combination with other topical antiglaucoma agents. J Ocul
Pharmacol Ther. 2003;19(6):517–525. 8. Silver LH. Clinical efficacy and safety of
brinzolamide (Azopt), a new topical carbonic anhydrase inhibitor for primary open-
angle glaucoma and ocular hypertension. The Brinzolamide Primary Therapy Study.
Ophthalmology. 1998;126(3):400–408.
9. Konstas AG, Mantziris DA, Maltezos A, et al. Comparison of 24 hour control with
Timoptic 0.5% and Timoptic-XE 0.5% in exfoliation and primary open-angle
glaucoma. Acta Ophthalmol Scand. 1999;77(5):541–543. 10. Baudouin C, de Lunard
C. Short term comparative study of topical 2% carteolol with or without
benzalkonium chloride in healthy volunteers. Br J Ophthalmol. 1998;82(1):39–42.
11. Piesella PJ, Fillacier K, Elena PP, et al. Comparison of the effects on preserved
and unpreserved formulations of timolol on the cornea surface of albino rabbits.
Ophthalmic Res. 2000;32(1):3–8.
12. Pisella PJ, Pouliquen P, Baudouin C. Prevalence of ocular symptoms and signs
with preserved and preserved-free glaucoma medication. Br J Ophthalmol.
2002;86(4):418–423.
13. Edelhauser HF, Ubels J. The cornea and the sclera. In: Kaufman PL, Alm A,
editors. Adler’s Physiology of the Eye. 10th ed. St. Louis, MO: Mosby; 2003:47–114.
14. Pfister RR, Burstein NL. The effects of ophthalmic drugs, vehicles, and
preservatives on corneal epithelium: A scanning electron microscope study. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 1976;15(4):246–259.
15. Burstein NL. Corneal toxicity of topically applied drugs, vehicles and
preservatives. Surv Ophthalmol. 1980;25(1):15–30.
16. De Saint Jean M, Brignole F, Bringuier AF, et al. Effects of benzalkonium
chloride on grows and survival of Chang conjunctival cells. Invest Ophthalmol Vis
Sci. 1999;40(3):619–630.
17. Fraunfelder FW. Corneal toxicity from topical ocular and systemic medications.
Cornea. 2006;25(10):1133–1138.
18. Herreras JM, Pastor JC, Calonge M, Asensio VM. Ocular surface alteration after
long-term treatment with an antiglaucomatous drug. Ophthalmology.
1992;99(7):1082–1088.
19. Broadway D, Grierson I, Hitchings R. Adverse effects of topical
antiglaucomatous medications on the conjunctiva. Br J Ophthalmol. 1993;77(9):590–
596.
20. van Buskirk EM. Corneal anesthesia after timolol malate therapy. Am J
Ophthalmol. 1979;88(4):739–743.
21. Wilson RP, Spaeth GL, Poryzees E. The place of timolol in the practice of
ophthalmology. Ophthalmology. 1980;87(5):451–454.
22. Weissman SS, Asbell PA. Effects of topical timolol (0.5%) and betaxolol (0.5%)
on corneal sensitivity. Br J Ophthalmol. 1990;74(7):409–412.
23. Inoue K, Okugawa K, Kato S, et al. Ocular factors relevant to antiglaucomatous
eyedrop-related keratoepitheliopathy. J Glaucoma. 2003;12(6):480–485.
24. Ishibashi T, Yokoi N, Kinoshita S. Comparison of the short-term effects on the
human corneal surface of topical timolol maleate with and without benzalkonium
chloride. J Glaucoma. 2003;12(6):486–490.
25. De Saint Jean M, Debbasch C, Brignole F, et al. Toxicity of preserved and
unpreserved antiglaucoma topical drugs in an in vitro model of conjunctival cells.
Curr Eye Res. 2000;20(1):85–94.
26. Guenoun JM, Baudouin C, Rat P, et al. In vitro study of inflammatory potential
and toxicity profile of latanoprost, travoprost, and bimatoprost in conjunctiva-derived
epithelial cells. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2005;46(7):2444–2450.
27. Ayaki M, Noda Y, Yaguchi S, et al. Cytotoxicity of antiglaucoma ophthalmic
solutions for human corneal endothelial cells. J Jap Ophthalmol Soc.
2009;113(5):576–582.
28. Leung EW, Mediros FA, Weinreb RN. Prevalence of ocular surface disease in
glaucoma patients. J Glaucoma. 2008;17(5):350–355.
29. Lass JH, Khosrof SA, Laurence JK. A double masked, randomized, 1-year study
comparing the corneal effect of dorzolamide, timolol, and betaxolol. Arch
Ophthalmol. 1999;116(8):1003–1010.
30. Reidy JJ, Zarzour J, Thompson HW, Beuerman RW. Effect of topical beta
blocker on corneal epithelial wound healing in the rabbit. Br J Ophthalmol.
1994;78(5):377–380.
31. Miyata K, Amano S, Sawa M, Nishida T. A novel grading methods for superficial
punctate keratopathy magnitude and its correlation with corneal epithelial
permeability. Arch Ophthalmol. 2003;121(11): 1537–1539.
32. European Glaucoma Society. Terminology and Guidelines for Glaucoma.
3rd ed. 2008. Available from: http://www.eugs.org/eng/EGS_guidelines.asp.
Accessed Feb 28, 2010.
33. Japan Glaucoma Society. Guidelines for Glaucoma. Tokyo, Japan: Japan
Glaucoma Society; 2002.
34. Lucarelli MJ, Dart DA, Cook BE, Lemke BN. The lacrimal system. In: Kaufman
PL, Alm A, editors. Adler’s Physiology of the Eye. 10th ed. St. Louis, MO: Mosby;
2002:30–43.
35. Whitson JT, Ochsner KI, Moster MR, et al. The safety and intraocular pressure-
lowering efficacy of brimonidine tartrate 0.15% preserved with polyquaternium-1.
Ophthalmology. 2006;113(8):1333–1339.